LAPORAN EDUKASI PERILAKU MEMBUANG SAMPAH UNTUK MASYARAKAT …

of 23 /23
0 Pengabdian Kepada Masyarakat Skema Pembangunan Masyarakat Perjanjian No: III/LPPM/2019-01/02-PM LAPORAN EDUKASI PERILAKU MEMBUANG SAMPAH UNTUK MASYARAKAT DI DESA MEKARJAYA MELALUI FILM Disusun Oleh: Dr. Elvy Maria Manurung Sukawarsini Djelantik, Ph. D. Indraswari, MS, Ph. D. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan 2019

Embed Size (px)

Transcript of LAPORAN EDUKASI PERILAKU MEMBUANG SAMPAH UNTUK MASYARAKAT …

Perjanjian No: III/LPPM/2019-01/02-PM
MASYARAKAT DI DESA MEKARJAYA MELALUI FILM
Disusun Oleh:
Universitas Katolik Parahyangan
Universitas Katolik Parahyangan
Bab 2. Persoalan Mitra Kegiatan ………………………………………… 4
Bab 3. Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian …………………………… 6
Bab 4. Seminar PKM CSR Award di Surabaya ……………………….. 18
Bab 5. Hasil dan Kesimpulan …………………………………………………. 20
2
ABSTRAK
Sungai Citarum dinobatkan sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.Sungai yang terletak di Jawa Barat ini memiliki peran yang cukup besar bagi kehidupan penduduknya. Selain sebagai sumber air minum, irigasi pertanian, perikanan, pembangkit tenaga listrik untuk kota Bandung, Jakarta, Purwakarta dan sekitarnya, Citarum juga merupakan pemasok air utama untuk kegiatan industri. Lebih dari 27 juta orang memanfaatkan sungai ini sebagai sumber kehidupan, termasuk sekitar 1.500 pabrik yang ada di sekitarnya serta beberapa waduk PLTA.Sudah banyak pengabdian kepada masyarakat dilakukan untuk wilayah sungai Citarum, namun belum Nampak hasil yang signifikan dan belum ada yang menggunakan film sebagai media pendidikan. Film sebagai media pendidikan diharapkan dapat meningkatkan transfer ilmu pengetahuan, mengubah mindset yang selama ini berlaku tentang polusi sungai Citarum –dari yang semula membiarkan bahkan menerima dengan “pasrah” kehidupan yang terpolusi seperti itu—berubah menjadi kesadaran yang lebih meningkat dari masyarakat di tepi sungai Citarum. Film sebagai kritik sosial juga diharapkan dapat mendorong masyarakat di sekitar wilayah sungai Citarum untuk menciptakan sendiri ide-ide kreatif dan gagasan- gagasan baru untuk mengubah lingkungan yang tidak sehat, sebelumnya, menjadi lingkungan yang sehat dengan air bersih sebagai sumber kehidupan.
Menggunakan Taxonomy Bloom sebagai kerangka dan strategi pengabdian, pelaksanaan pengabdian ini akan memiliki dua tahapan kegiatan, yaitu aktivitas sayembara dan aktivitas penghargaan (awarding) - pemutaran (movie screening). Aktivitas pertama (UNPAR Movie Award 2019) diadakan mulai bulan Februari sampai Juli 2019. Sayembara UNPAR Movie Award ini ditujukan untuk mahasiswa di Perguruan Tinggi di Bandung dan masyarakat umum. Faktor utama yang dinilai dari pembuatan film adalah kreativitas, orisinalitas, dan pesan yang hendak disampaikan. Dari 65 peserta yang mendaftar, 33 materi film pendek telah diterima oleh panitia. Selama proses penjurian, panitia juga telah melakukan movie gathering and film screening, dengan mengundang Jay Subijakto dan Oscar Matulloh sebagai pembicara. Jay merupakan sutradara film dokumenter berjudul “Banda: The Dark Forgotten Trails” yang piawai di bidangnya. Pada acara movie gathering sekaligus technical meeting tersebut, pembicara membagikan tips mengenai cara-cara membuat film pendek (documentary) yang baik. Aktivitas kedua dilaksanakan sesudah pemenang diumumkan, yaitu mulai tanggal 30 September 2019.Pada anugerah Unpar Movie Award ini, para pemenang dan perwakilan mitra kegiatan dari Sektor IX Citarum Harum diundang untuk menyaksikan pemutaran film-film pemenang sebagai permulaan edukasi.Melalui pesan dan nilai-nilai yang disampaikan melalui film- film pemenang ini diharapkan masyarakat penonton, dapat menambah pengetahuannya dan meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotoriknya untuk kesadaran tentang kebersihan lingkungan.Tahap berikutnya adalah menyebarkan seluas mungkin edukasi tentang sungai Citarum kepada masyarakat yang lebih luas, melalui sosialisasi film-film pemenang ini, sebagai alat pemberdayaan masyarakat untuk kebersihan lingkungan.
Kata kunci: sungai Citarum, film, media pendidikan, pemberdayaan masyarakat.
3
Sesuai Nota Kesepahaman (MoU) antara Universitas Katolik Parahyangan dengan Sektor IX Citarum
Harum yang pada tahun 2018 dipimpin oleh Bapak Sahal sebagai sungai terpanjang di Jawa Barat,
memiliki makna historis yang tinggi bagi peradaban masyarakat di tanah Sunda. Duapuluh lima juta
jiwa penduduk di Jawa Barat dan DKI memanfaatkan sungai Citarum sebagai sumber air untuk
kehidupan sehari-hari. Selain itu, sungai Citarum juga digunakan untuk pembangkit listrik di daerah
Jawa Barat. Sejak tahun 1980-an sejumlah pabrik mulai didirikan di sepanjang sungai ini, hingga
sekarang jumlahnya telah lebih dari 1.500 pabrik dan yang terbanyak adalah pabrik tekstil. Setiap
harinya ada 280 ton limbah industri dari pabrik dan 20 ton sampah dari rumahtangga masuk dan
maengotori sungai Citarum saat ini (Liputan Net TV di sungai Citarum, tanggal 21 Mei 2018)1.
Sebagai tahap awal, kelompok pengabdian kepada masyarakat ini telah mengunjungi 2 desa di area
Sektor IX Citarum yaitu Desa Mekarjaya di Batujajar, Bandung Barat; dan Desa Cangkorah yang juga
terletak di Bandung Barat.
Berikut ini adalah Nota Kesepahaman dengan Sektor IX Citarum dari Kodam III Siliwangi:
4
5
Mitra kegiatan abdimas ini cukup menjanjikan untuk berkembang sebagai sebuah wilayah
desa. Perkembangan itu menuntut dilakukannya pembangunan sarana dan prasarana yang
memadai sehingga mendorong perkembangan desa dengan cepat. Berikut adalah gambaran
sarana dan prasarana yang ada di desa:
Gambar 1. Jalanan yang berlubang
Keadaan buruk lainnya adalah saluran irigasi yang tidak stabil. Hal ini dikarenakan jarak yang
cukup jauh dari pusat mata air ke Desa Jelegong sehingga debit air yang masuk ke Desa
Jelegong tidak terlalu banyak, karena sudah dipakai terlebih dahulu oleh desa-desa sepanjang
saluran irigasi sebelum sampai di Desa Jelegong. Sehingga jika pada musim kemarau walaupun
air irigasi ada tetapi volumenya sangat sedikit untuk bisa mengairi lahan-
lahan sawah yang ada di Desa Jelegong. Untuk keperluan rumah tangga kebanyakan
masyarakat menggunakan sumur bor. Jika musim kemarau tiba, airnya berkurang dan tidak
akan sebanyak waktu musim penghujan. Biasanya masyarakat yang berada di dekat
perusahaan, jika air kering akan mengambil air dari perusahaan yang diangkut menggunakan
drum-drum air.
Sungai Citarum yang mengalir di beberapa kampung di wilayah desa ini. Selain Sungai Citarum
yang melintas di desa ini, di Desa Jelegong juga terdapat empat buah gunung yaitu Lalakon,
Badaraksa, Paseban dan Pancir. Salah satu gunung yang sudah mulai terlihat tandus adalah
6
Gunung Pancir, yang diambil tanahnya sebagai bahan untuk membuat pasir, bahan baku
batako, atau bata. Gunung ini sudah dimiliki oleh sebuah perusahaan dan sudah mulai terkikis
habis. Empat gunung ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai perbukitan karena ketinggian
yang tidak terlalu seperti gunung yang kita bayangkan. Tetapi masyarakat sekitar mengenalnya
dengan sebutan gunung yang sudah turun-temurun.
Desa-desa di sekitar dungai Citarum, memiliki lahan pertanian yang cukup luas tetapi menurut
salah satu informan yang merupakan ketua Gapoktan Desa Jelegong, bahwa luas lahan
pertanian di Jelegong sudah mulai berkurang, salah satu contoh adalah KIP (Kawasan Industrial
Park) yang tadinya merupakan lahan pertanian yang disulap menjadi gudang penyimpanan
untuk industri. Lahan pertanian yang tersisa di desapun pada umumnya kepemilikannya sudah
dimiliki oleh pihak luar desa ataupun pabrik-pabrik. Karena itu jika kita melihat sekilas maka
akan berpikiran bahwa desa ini cukup makmur banyak lahan-lahan yang bisa dijadikan
perkebunan, bahkan kehutanan, tetapi permasalahan kepemilikan tanah tentunya membuat
masyarakat tidak bisa seenaknya dalam menanami lahan-lahantersebut.
Pendidikan di desa, sebagai contoh Desa Jelegong, sudah dimulai dari tingkat paling awal
dengan terdapatnya PAUD dan TK yang jumlahnya sekitar 30 buah. PAUD sendiri cukup
populer di Desa Jelegong, kesibukan orangtua bekerja membuat mereka menjadikan PAUD
tidak hanya sebagai tempat belajar awal bagi anak, tetapi juga sebagai tempat menitipkan dan
menjaga anaknya saat mereka bekerja. Sementara pendidikan formal tingkat dasar sudah
terdapat 5 SD di Desa Jelegong, 1 SD induk dan 4 SD imbas, lima sekolah ini merupakan
sekolah negeri. Kelima sekolah Dasar itu adalah SDN Jelegong 1 (SD induk), SDN Jelegong 2,
SDN Jelegong 3, SDN Gunung Pancir, SDN Ciharuman. Sekolah-sekolah dasar ini tersebar di
beberapa wilayah yang mewakili 4 dusun di Desa Jelegong sehingga cukup mudah diakses oleh
masyarakat. Sementara untuk sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA belum terdapat di Desa
Jelegong. Untuk pendidikan informal hanya terdapat satu kursus di Desa Jelegong, yaitu kursus
menjahit sehingga penduduk yang ingin bekerja di pabrik garmen dapat belajar bagaimana
cara menjahit yang merupakan bagian dari program Ibu PKK di Desa Jelegong. Belum ada
tempat-tempat kursus akademis lainnya seperti bahasa Inggris, bimbingan belajar, ataupun
kursus komputer.
Beberapa dokumentasi sekolah di Desa Jelegong, tampak pada Gambar 2.
Gambar 2. Sekolah-sekolah yang ada
Bab 2 Persoalan Mitra Kegiatan
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk merestorasi sungai Citarum, termasuk kegiatan
pembersihan oleh Kodam III Siliwangi bekerjasama dengan pemerintah provinsi Jawa Barat, belum
banyak memberkan hasil yang signifikan. Menurut Letnan Jenderal TNI Bapak Doni Mordano
(sekarang menjabat sebagai Sekjen Wantannas) dana telah dihabiskan lebih dari 20 trilyun rupiah
untuk mencari solusi bagi masalah tercemarnya sungai Citarum, namun hasilnya belum tampak
(Diskusi Panel Citarum Harum di UNPAR, 16 Mei 2018). Penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat untuk pembersihan sungai Citarum, telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah
“Geohumanism 2016” yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi ITB dan kerjasama
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan tema “Studi Hidrogeologi dan Penyediaan Air
Bersih Bagi Masyarakat Desa Tarumajaya”di Kecamatan Kertasari, Gunung Manglayang Kabupaten
Bandung, yang merupakan titik nol dari sungai Citarum (Meriyen, P., Ganeca Pos 2016)2.
Usaha demi usaha terus dilakukan untuk merestorasi sungai Citarum, namun secara fisik sampah
terus menggenangi sungai ini, dan secara non fisik yaitu perilaku keseharian masyarakat di
sekitarnya, masih terus mengotori sungai Citarum tersebut. Sampai saat ini, belum ada perhatian
serius dan perubahan perilaku serta pola pikir –khususnya penduduk setempat dan masyarakat Jawa
Barat—untuk perubahan pola hidup yang lebih baik, bersih dan sehat, secara serius dan
berkesinambungan (diunduh dari https://daerah.sindonews.com/read/ 1318767/21/mahasiswa-
ugm-dan-upi-kkn-di-bantaran-sungai-citarum-1530689693, 14 Juli 2018)3.
Polusi sungai Citarum mendadak viral di media sosial ketika sebuah film/video dokumenter tentang
pencemaran sungai Citarum muncul di bulan Mei 2018.Video ini dibuat oleh seorang Perancis, Gary
A. Nencheghib dan adiknya Sam.Mereka mendokumentasikan perjalanan menyusuri sepanjang
sungai Citarum, menggunakan kayak (perahu) buatannya sendiri yang terbuat dari botol plastik
bekas.Kejorokan sungai legendaris ini akhirnya populer di mata dunia melalui akun facebook
Gary.Dalam dokumentasinya yang berjudul "Make A Change World", Gary menjelaskan bahwa
niatnya baik, ia berkata:
“Saya mengarungi Sungai Citarum menggunakan perahu dari botol plastik. Selama dua minggu saya
menyusuri Sungai Citarum dari Majalaya... banyak faktor yang membuat Sungai Citarum tercemar
salah satunya, sampah rumah tangga...Saya melihat banyak sekali plastik di atasnya, seperti plastik
chips (makanan ringan), kresek, dan botol minum. Selain itu, juga banyak air limbah dan binatang
aktivis pencinta lingkungan hidup. Presiden Jokowi sendiri akhirnya turun tangan, beliau dari
pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi Jawa Barat langsung bertindak cepat dengan
mencanangkan program Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Citarum selama 7 tahun. (Perdana, P.P., 2018, diunduh dari https://regional.kompas.com
/read/2018/02/23/06135171/berkat-video-dokumenter-bule-ini-pemerintah-tergerak-bersihkan-
sungai)4.
Untuk itu, dihipotesiskan bahwa film sebagai media komunikasi dapat digunakan sebagai salah satu
instrumen untuk mengungkit dan mencuri perhatian dan sekaligus menggugah perilaku masyarakat
terhadap lingkungan, khususnya terhadap masalah pencemaran sungai Citarum.
Tak ada karya seni yang sekuat film, efeknya langsung ke dalam, masuk ke ruang-ruang batin
pemirsanya. Penonton bisa menangis atau tertawa, ikut merasakan kegembiraan dan kesedihan
yang ditunjukkan dalam adegan (Rowlands, M., 2005 dalam Manurung, E.M., 2017)5. Film sebagai
tontonan sekaligus media pembelajaran, terbukti dapat meningkatkan serta mempercepat proses
pemahaman konsep yang hendak disampaikan oleh pengajar dengan adanya instrument-instrumen
khusus dalam film, serta menghasilkan performa (outcome) yang lebih baik dari peserta di kelas
(Moskovich, Y., dan Shart, S., 2012)6.Film yang digunakan sebagai media pendidikan juga terbukti
lebih efektif meningkatkan minat dan hasil belajar siswa, serta terdapat perbedaan hasil belajar
pada siswa yang menggunakan media film dengan siswa yang tidak menggunakan media film (Yasri,
H.l., dan Mulyani, S., 2016)7.
Film sebagai media dapat merepresentasikan budaya atau kultur tertentu (media culture), menjadi
tayangan yang menarik, hidup dan enak dinikmati. Film bisa memberikan kesan mendalam kepada
para penontonnya, ada pesan-pesan yang bisa dideliver dari sebuah film.Kekuatan sebuah film
adalah daya cekam dan totalitas ilusi yang diciptakannya.Manfaat paling cepat yang ditawarkan oleh
film tentu saja hiburan.Hiburan ala film memang bisa dialami secara mantap sebab arus-arus emosi
kuat bisa diciptakan dan dikembangkan hingga mencapai puncak.Ketakutan, kesedihan,
kekhawatiran atau kegelian dengan mudah bisa dikembangkan dan akhirnya diledakkan menjadi
katarsis yang melegakan.
Film juga memelopori dan menularkan gaya hidup. Semakin hari bahkan semakin kuat saja peran ini
bersamaan dengan makin kuatnya film digunakan sebagai media iklan. Bila dahulu seni meniru
kehidupan nyata, agaknya kini situasi kian terbalik : kehidupan meniru seni, perilaku dibentuk
mengikutimode. Menurut Sugiharto, I.B.8, dalam Diskusi Sehari tentang Film di ITB (2007),
masuknya peradaban ke pola audio-visual biasanya membuat orang menduga bahwa kita kembali ke
kerangka budaya lisan. Tapi film sebenarnya bukanlah produk budaya lisan.Film adalah kepanjangan
budaya tulisan.Ia bentuk tiga-dimensi yang bergerak, yang muncul dari tradisi budayabuku.
Bagi beberapa produser (movie-maker) film menjadi sarana bagi aktualisasi diri mereka, sekaligus
menyediakan lapangan kerja untuk orang lain. Seorang Garin Nugroho, mengatakan bahwa bagi
dirinya film adalah sarana bermain, tempat di mana ia “menuangkan” berbagai rasa, dan warna.
Film adalah wadah untuk menuangkan gagasan- gagasannya.Film bukan saja sekedar hiburan atau
peluang bisnis.Film juga bisa bicara tentang kehidupan di dunia nyata. (Wawancara dengan
Nugroho, 2007 dan 2016)9.
dari berbagai sisi pengalaman dan kompleksitas kehidupannya.Belajar dari kenyataan hidup tidak
kalah pentingnya dari pelajaran yang abstrak di dunia akademis.Genre filem apa pun bisa sangat
berguna, baik itu dokumenter, drama, laga, komedi, musikal, sejarah, atau pun fiksi ilmiah (Cheah, P.
et al., 1991)10. Film menurut Chand Parwez, pemilik rumah produksi Starvision, memiliki pengaruh
kuat terhadap keseharian masyarakat penonton hingga kepada perkembangan
karakternya.Masyarakat rela untuk terus menyisihkan waktunya menonton film, baik yang diputar di
bioskop maupun yang ditayangkan televisi.Menonton televisi, terutama film telah merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat baik yang di perkotaan maupun di pelosok tanah air yang telah
dijangkau oleh siaran televisi. Dapat dikatakan bahwa televisi turut serta mempersatukan wilayah
nusantara, setidaknya melalui tontonan yang sama atau bersamaan. Melalui tontonan film,
masyarakat heterogen dalam demografik yang begitu luas, dipersatukan informasinya juga
perkembangan polasikapnya.(Wawancara dengan Parwez, C., 2007)11.
Film dapat dipahami memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kebiasaan masyarakat, dan
berinteraksi positif dengan budaya masyarakat.Di era industri 4.0 ini yang mengedepankan
digitalisasi hampir di segala lapis kehidupan bermasyarakat, bahasa dan berkomunikasi melalui film
sudah sangat lazim dan sesuai dengan teknologi informasi terkini.Masyarakat dapat mengkonsumsi
dengan cepat informasi yang disuguhkan. Sulit untuk disanggah bahwa cara bertutur dan
berkomunikasi secara audio dan visual, cukup besar pengaruhnya terhadap kebiasaan, tingkah laku,
dan pada gilirannya terhadap budaya masyarakat. Agar film memiliki pengaruh terhadap
pembangunan budaya bangsa, perlu peran serta semua pihak yang berkepentingan dan interaksi
positif antara para pembuat film dengan para penikmat film.Perlu peningkatan apresiasi masyarakat
terhadap film, sehingga film-film yang berpengaruh negatif dikurangi sedikit demi sedikit, dan
ditambah dengan film-film yang memberi pengaruh positif. Bila kondisi ideal ini tercapai, maka film
sebgai media pendidikan dapat digunakan untuk “mencuci otak”, mengubah cara pandang dan pola-
pikir, dan pada saatnya diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat penontonnya. Pengabdian
kepada masyarakat dengan judul “UNPAR MOVIE AWARD 2019: Edukasi Kebersihan Lingkungan
Melalui Film” ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pengetahuan dan melakukan
pemberdayaan masyarakat, terhadap perilaku hidup sehat dan kesadaran menjaga kebersihan
lingkungan.
Bab 3 Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian
Tragedi sungai Citarum menjadi persoalan besar dan krisis bagi negara Indonesia khususnya
pemerintah Jawa Barat.Kondisi lingkungan dan kualitas air di sepanjang sungai Citarum semakin
memburuk selama duapuluh tahun terakhir. Sudah banyak penelitian dan pengabdian terhadap
masyarakat dilakukan untuk menangani polusi sungai Citarum dalam kurun duapuluh tahun terakhir,
namun hasilnya belum tampak secara signifikan. Sampah-sampah tetap menggenangi sungai ini dari
waktu ke waktu.Selama dua dekade terakhir, jumlah pendudukpun semakin bertambah di sepanjang
daerah aliran sungai menyisakan persoalan berupa sampah dan polusi yang tak kunjung selesai, dan
makin parah.
Masyarakat yang bermukim di sepanjang wilayah sungai Citarum semakin terbiasa dengan cara
hidup yang tidak sehat. Mereka mencuci, mengambil air minum atau ikan dari sungai tersebut untuk
dikonsumsi.Sungguh, ini adalah cerminan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan
dan pentingnya kebersihan lingkungan. Air dan ikan yang terpolusi ini pada gilirannya akan
menimbulkan berbagai penyakit dan kekurangan gizi yang diwariskan kepada generasi mendatang,
fenomena yang sudah muncul adalah penyakit kulit dan kondisi “stunting” (pertumbuhan kurang
normal) pada anak-anak.
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pelan-pelan mengubah pola-pikir dan perilaku
penontonnya. Melalui film, rekayasa sosial dan budaya dalam bentuk perubahan pola pikir dan
perilaku masyarakat, bisa terjadi.Perubahan perilaku tidak akan terjadi tanpa peningkatan informasi
yang mengandung nilai-nilai kebaruan tentang masalah besar yang dihadapi yaitu polusi sungai
Citarum yang tak kunjung berakhir. Nilai-nilai kebaruan tentang pentingnya hidup sehat dan sumber
air yang bersih, tidak boleh membuang sampah sembarangan, dan harus menjaga lingkungannya
tetap bersih, merupakan output berupa perubahan sikap yang diinginkan.Untuk itu, Teori Taxnomy
Bloom digunakan sebagai strategi sekaligus kerangka berpikir pengabdian kepada masyarakat ini.
Konsep awal taksonomi bloom bermula di tahun 1950-an, ketika Benjamin Bloom mengemukakan
bahwa menghafal ketika belajar sebenarnya merupakan tingkat terendah dalam kemampuan
berpikir (thinking behavior). Masih banyak level lain yang lebih tinggiyang harus dicapai agar proses
pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya. Tahun 1956, Bloom,
Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir
yang dinamakan Taxonomy Bloom,yaitu struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari
tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Konsep ini menjelaskan tiga domain/ranah kemampuan
intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, seperti tampak di Gambar
3.
Gambar 3. Taksonomi Bloom (Sumber: Heick, T., 2018, diunduh dari https://www.teachthought.com
/learning/what-is-blooms-taxonomy-a-definition-for-teachers/, 19 Oktober 2018)13
comprehension), dan keterampilan berpikir (analysis-synthesis). Sedangkan ranah Psikomotorik
berisi perilaku yang menekankan fungsi manipulatif dan keterampilan motorik / kemampuan fisik
(application). Ranah afektif mencakup perilaku terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat,
motivasi, dan sikap (evaluation). Ketiga ranah ini dinamakan Knowledge, Skill and Attitude (KSA).
Kognitif menekankan pada Knowledge, Afektif pada Attitude, dan Psikomotorik pada keterampilan.
Pada tahun 1994, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki
taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan
pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi atas Taksonomi Bloom dan
penjelasannya tampak pada gambar 4.
Gambar 4. Revisi Bloom Taxonomy (Sumber: Anderson and Krathwohl, 2001)14
Menggunakan revisi Taksonomy Bloom yang memiliki enam tahapan seperti tampak di gambar 2,
proses pengabdian kepada masyarakat akan dibagi ke dalam dua tahapan proses dalam jangka
waktu satu tahun. Pembagian tahapan tersebut adalah: (i) proses memahami polusi sungai Citarum
(remembering-understanding) di semester pertama, dan tahap kedua adalah (ii) proses
mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapat dan mulai mengkritisi suasana dan lingkungan
sekitar (applying-analysing). Kedua tahapan tersebut akan menggunakan film sebagai media
pendidikan/edukasi bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang tepi sungai Citarum. Kegiatan
abdimas ini belum masuk ke tahap terkahir yaitu “synthesis” and “evaluation” seperti tampak pada
gambar 2, namun dapat berdampak pada pemahaman masyarakat dan bermanfaat untuk
meningkatkan kesadaran serta kepedulian mereka tentang pentingnya hidup bersih dan sehat,
pentingnya menjaga lingkungan.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap pertama
sampai tahap yang ketiga. Rincian aktivitas dijelaskan sebagai berikut:
1. Kegiatan Sayembara Film: UNPAR MOVIE AWARD
Pada awal Februari sampai akhir Juni 2019, kegiatan abdimas telah dimulai dengan
publikasi secara online pada website UNPAR. Kegiatan “UNPAR Movie Award 2019”
adalah sayembara membuat film pendek (durasi 5-30 menit) dengan topik polusi
sungai Citarum dan dampaknya terhadap masyarakat dan ekosistem.Sayembara ini
ditujukan kepada mahasiswa/i di berbagai perguruan tinggi dan masyarakat umum
di Bandung.Melalui sayembara ini, kaum mahasiswa dan masyarakat umum
diharapkan turut berperan dalam memikirkan dampak polusi Citarum dan
kelangsungan ekosistem di sekitar Citarum --khususnya masyarakat yang tinggal di
sekitar daerah ini, sekaligus menerapkan 3 tahap awal Taxonomy yaitu: remember-
understand-apply. Peserta sayembara bebas mengeksplorasi topik ini dan
mengunjungi beberapa lokasi di sekitar sungai CItarum. Kriteria yang ditekankan
adalah kreativitas, orisinalitas, dan pesan-pesan yang tertuang (story-telling)dari
film tersebut. Para juri akan berasal dari pemerhati lingkungan dan kebudayaan,
serta kaum akademisi. Kegiatan sayembara ini dimaksudkan untuk “mencetuskan”
atau membuat “letupan” awal penyebaran informasi dan pengetahuan tentang
tragedi sungai Citarum ini. Film-film yang sarat makna tentang sungai Citarum dan
dapat menyampaikan pesan-pesan terhadap penontonnya dengan apik dan indah,
akan keluar sebagai pemenang.
2. Kegiatan Pemutaran Film (Movie Screening)
Proses penjurian selama bulan Juli akan diakhiri dengan pengumuman pemenang di
minggu kedua atau ketiga bulan Agustus 2019. Tahap berikutnya adalah memutar
film-film pemenang di UNPAR atau lokasi pilihan lain, dengan mengundang
beberapa wakil pemerintah daerah dan masyarakat dari wilayah sungai Citarum dan
sekitarnya. Dalam sesi pemutaran film ini, masyarakat diajak berdiskusi langusng
tentang isi dan pesan dari film yang mereka tonton serta bagaimana sikap mereka
tentang kondisi sungai Citarum saat itu. Melalui kegiatan partisipatif ini, diharapkan
proses “analyse”, “evaluate”, dan “create” dari kerangka Taxonomy Bloom dapat
diwujudkan.
Jay Subyakto menjelaskan bahwa
nasional, menjadi sebuah ekspresi
menjadi film dokumenter karya Jay yang
pertama. Film yang awalnya akan diberi
judul “Jalur Rempah” ini sangat kental
dengan sejarah perbudakan dan penjajahan di Indonesia di abad pertengahan.
Jay yang adalah keponakan langsung dari Bapak Proklamator Indonesia, yaitu Mohammad Hatta, ia
memiliki ketertarikan dan sedikit pengetahuan tentang jaman penjajahan. Ia lalu menghubungi
Oscar Motulah, sahabatnya, untuk memulai riset di pulau Banda Neira yang kini hanya menyisakan
puing-puing reruntuhan dari kedua belas benteng dari penjajahan Belanda dan Inggris di masa itu.
Film yang diproduseri Sheila Timothy ini akhirnya berhasil diselesaikan dalam waktu beberapa bulan,
dan diputar di bioskop tanah air di tahun 2017.
Film Banda sendiri ditolak di Ambon (Maluku) dan di Belanda.Film Banda merupakan film pertama
yang menceritakan tentang sejarah penjajahan yang sangat kejam, biadab, dan genoside pertama di
Indonesia. Sekarang, sangat sulit untuk mencari sisa-sisa penduduk asli Banda Neira.Beberapa yang
hijrah ke Ambon, tidak mau mengakui dirinya adalah penduduk asli Banda (karena takut dibunuh,
seperti peristiwa genoside dulu) sehingga akhirnya mereka menolak peredaran film Banda ini.
Menggabungkan beberapa konsep arsitektur seperti lighting dan mapping, di beberapa drama
musikal yang pernah dibuat Jay sebelumnya dengan Erwin Gutawa, film Banda ini mulai diproduksi.
Jay pernah membuat beberapa documentary untuk koleksi pribadinya, antara lain fenomena alam
tentang erupsi Bromo, Lumpur Lapindo, dampak pemanasan global di Antartika, dan lain-lain. Ini ia
lakukan semata-mata untuk memperdalam pengetahuan, kepuasan dan koleksi pribadinya saja.
Opening Banda menggunakan 6 kamera secara bersamaan, dengan backsound yang sangat keras,
dan menampilkan tampilan gambar dengan tempo, editing dan music yang cepat. Dalam film ini
ditampilkan sajak Chairil Anwar yaitu “Bintang Naira” tentang seorang gadis Maluku yang tinggal di
Banda. Film ini dinarasikan oleh Reza Rahardian (Indonesian Version) dan Aryo Bayu (English
Version). Film “Banda: The Dark Forgotten Trails” merupakan documentary terbaik dan masuk dalam
nominasi FFI 2017.
Jay dan Oscar membagikan kiat-kiat untuk membuat film dokumenter yang baik, yaitu: (i) melakukan
riset dan survey yang cukup mendalam di titik-titik obyek penelitian/ obeservasi, (ii) Melakukan
wawancara singkat dan santai dengan penduduk/ masyarakat yang terdampak langsung tentang
topik yang ingin diangkat (komunikatif), (iii) Harus memiliki data yang riil (tidak boleh ada
kebohongan sedikitpun). Jangan takut diteror oleh pihak asing, (iv) sebaiknya menyampaikan dan
menjelaskan point mengapa sungai ini menjadi sungai terpolusi di dunia, dan (v) dapat memberikan
solusi atas masalah yang dihadapi. Cara mengonsep film sehingga tidak membosankan dengan
durasi waktu yang telah ditentukan sebelumnya, dengan cara: (i) mencari pokok pikiran yang paling
menarik (terfokus dan tidak bertele-tele) contoh: cerita tentang topeng monyet yang menitik
beratkan pada si monyet sebagai korban. Narator memosisikan diri sebagai si “monyet”, (ii)
menceritakan dengan bahasa sendiri, (iii) orisinal.
Beberapa dokumentasi kegiatan Technical Meeting dan Movie Gathering “UNPAR Movie Award
2019” ditunjukkan pada Gambar 5-8.
Gambar 5-8. Technical Meeting and Movie Gathering, 7 Mei 2019
Anugerah Unpar Movie Awards
Pada tanggal 30 September 2019, bertempat di ruang Audio Visual FISIP, telah dilakukan Anugerah
UNPAR Movie Awards yaitu pengumuman film-film pemenang dan penyerahan hadiah. Universitas
Katolik Parahyangan (Unpar) turut mendukung program restorasi Citarum melalui Unpar Movie
Awards. Program Magister Ilmu Sosial – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (MIS – FISIP) serta
Centre for Human Development and Social Justice (CHUDS) yang dipimpin oleh Bapak Gandhi
Pawitas, Ph. D dan Bapak Pius Suratman, Ph. D. berkesempatan menjelaskan program restorasi
sungai Citarum ini yang berelasi dengan program-program lain di MIS dan CHUDS. Melalui kompetisi
membuat film pendek berdurasi 10 hingga 30 menit ini, berbagai isu diharapkan dapat ditelaah oleh
para peserta diantaranya aspek lingkungan, gender, kesadaran akan kebersihan dan kesehatan, dan
sebagainya.
Acara dibuka dengan penjelasan mengenai rangkaian kegiatan Unpar Movie Awards yang telah
berlangsung sejak akhir Februari silam melalui video pendek “Visit to Citarum River.” Acara
kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Rektor Unpar Mangadar Situmorang, Ph.D., serta
perwakilan dari Program Magister Ilmu Sosial (MIS) FISIP Unpar, CHUDS dan Sektor IX
Citarum.Puncak acara ditandai dengan pemberian Anugerah Unpar Movie Awards kepada para
pemenang sayembara.Anugerah ini dipersembahkan oleh Ibu Atalia Praratya Kamil, istri Gubernur
Jawa Barat Ridwan Kamil yang juga alumnus FISIP Unpar.
Film pendek berjudul “Sungai: Masa Lalu & Sekarang” produksi Bumidega dan ITHB berhasil meraih
Juara Pertama dalam sayembara ini, disusul oleh film “Cerita Citarum” karya kelas Metlit Akuntansi
di peringkat kedua dan “Perempuan Penyintas Citarum” dari SAPA Film sebagai Juara Ketiga. Dua
kelompok lain yang berasal dari kelas Metlit Akuntansi juga mendapatkan gelar Juara Harapan, yaitu
“Anak Citarum” dan “Angel’s Diary.” Selain memperoleh anugerah, para finalis juga mendapat
kesempatan untuk berbagi pengalaman mereka memproduksi film dokumenter Citarum. Beberapa
dokumentasi tampak pada Gambar 9-16.
Karya film dokumenter menjadi bentuk dukungan dari kalangan sineas dan generasi muda dalam
Restorasi Sungai Citarum, dengan meningkatkan kesadaran khalayak akan pentingnya kelestarian
sungai bagi alam dan masyarakat sekitar. Film-film dokumenter hasil karya finalis Unpar Movie
Awards dapat disaksikan melalui Youtube Channel Unpar Official.
Bab 4. Hasil dan Kesimpulan
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Jawa Barat ini, khususnya untuk mereka yang bermukim
di sepanjang wilayah Citarum, sudah selesai. Pemenang sudah diumumkan pada tanggal 30
September 2019, dan sudah diputar dengan mengundang prwakilan masyarakat dari sungai Citarum
beserta para finali dan pemenang.
Sesudah kegiatan abdimas di tahun 2019 ini, pengabdian kepada masyarakat untuk restorasi dan
peningkatan kesadaran tentang kebersihan lingkungan khususnya di wilayah Jawa Barat, akan tetap
dilanjutkan di tahun 2020. Saat ini, tim pengabdi sedang menjajaki kemungkinan berkolaborasi
dengan stasiun televisi lokal dan nasional, untuk memutar film-film pemenang sebagai tandingan
dari FTV atau sinetron yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Liputan Net TV di sungai Citarum, tanggal 21 Mei 2018 (https://www.youtube.com/watch?
v=0ikzUPY3PCc dan https://www.youtube.com/watch?v=LzrPCvKQJH8)
2. Meriyen, P., 2016, Geohumanism 2016: Pengabdian Masyarakat di Titik Nol Sungai Citarum,
Ganeca Ps, Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung.
3. Liputan Sindo News tanggal 14 Juli 2018: “Budianto, A., 2018, 2.221 Mahasiswa UPI Gelar KKN
Di Das Citarum” (https://daerah.sindonews.com/read/1318767/21/mahasiswa-ugm-dan-upi-
kkn-di-bantaran-sungai-citarum-1530689693)
4. Perdana, P. P., 2018, Berkat Video Dokumenter Bule Ini, Pemerintah Tergerak Bersihkan Sungai
Citarum, Kompas Regional Jawa Barat (https://regional.kompas.com/read/2018/02/23/
06135171/berkat-video-dokumenter-bule-ini-pemerintah-tergerak-bersihkan-sungai)
5. Rowlands, M., 2004. Menikmati Filsafat Melalui Film Science Fiction, Mizan, Bandung; dalam
Manurung, E., M., 2008. Strategi Aktor di Gelanggang Perfileman Indonesia Pasca Reformasi,
Tesis Program Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, ITB Bandung.
6. Moskovich, Y., dan Shart, S., 2012, Using Films as a Tool for Active Learning in Teaching
Sociology, The Journal of Effective Teaching, Vol. 12, No. 1, 2012, 53-63
7. Yasri, H.l., dan Mulyani, S., 2016, Efektivitas Penggunaan Media Film Untuk Meningkatkan
Minat dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas X, Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, p-ISSN:
2356-1807 e-ISSN:2460-7916
8. Wawancara dengan Prof. Ign. Bambang Sugiharto, Ph. D, Diskusi Film Di ITB, tahun 2007
9. Wawancara dengan Bapak Garin Nugroho di ITB tahun 2007, dan di ECF UNPAR tahun 2016
10. Cheah, P., et.al., 2004. “Membaca Film Garin”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
11. Wawancara dengan Bapak Chand Parwez di ITB tahun 2007, dan di Jakarta tahun 2017
12. Diskusi Panel Citarum Harum di UNPAR, 16 Mei 2018
13. Revisi Taksonomi Bloom (Heick, T., 2018), https://www.teachthought.com/learning/what-is-
blooms-taxonomy-a-definition-for-teachers/
14. Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R., A Taxonomy for Learning Teaching and Assesing: A
Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives, 2001, Allyn and Bacon, Boston MA,
Pearson Education Group.
harus-dijadikan-acuan.html
16. Joyce, B., and Weil, M., 2003, Model Of Teaching, Allyn and Bacon, Massachusetts.