laporan blok 9 sk 1
-
Upload
yosa-angga-oktama -
Category
Documents
-
view
251 -
download
0
description
Transcript of laporan blok 9 sk 1
LAPORAN TUTORIAL
BLOK NEOPLASMA SKENARIO I
ADA BENJOLAN DI KAKI SAYA
KELOMPOK A1
ANGGITA DEWI G0012015ASTRID ASTARI AULIA G00120DARMA AULIA HANAFI G00120EMA NOVALIA DEWI K S G0012069LADYSA ASHADITA G00120SABILA FATIMAH G00121GILANG YUKA S. G00121KHAIRUNNISA N. HUDA G00121PARADA JIWANGGANA G0012159ZAKKA ZAYZ Z. G00121LD MUHLIS A. G00122UTARI NURUL ALIFAH G00122
NAMA TUTOR :Mujosemedi, Drs., M.Sc
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
Seorang laki-laki usia 50 tahun, petani, mengeluhkan benjolan di jempol kaki kirinya.
Awalnya berupa luka yang timbul sekitar satu tahun yang lalu, sudah diobatkan ke Pak
Mantri beberapa kali tetapi tidak kunjung sembuh, bahkan makin meluas disertai benjolan.
Pasien khawatir jika lukanya ini makin meluas atau bahkan menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Hasil pemeriksaan fisik dokter menunjukkan: tidak ditemukan kelainan sistemik,
didapati ulkus dengan benjolan eksofitik pada kulit digit I pedis sinistra, berbentuk masa
putih seperti bunga kol, diameter 3 cm, rapuh dan mudah berdarah, tidak nyeri tekan. Di
region patella terdapa keloid ukuran 0,5x4 cm menonjol dipermukaan kulit setinggi 1 cm,
tidak ada pembesaran limfonodi inguinal. Dokter menerangkan bahwa enjolan di jempol
kaki ini kemungkinan adalah tumor kulit ganas yang harus diambil agar tidak menyebar,
berbeda dengan benjolan di lutut kanannya yang bukan tumor. Kemudian dokter merujuk ke
ahli bedah untuk dioperasi dan memberi resep untuk benjolan di lutut pasien. Hasil operasi
dikirimkan ke laboratorium Patologi anatomi untuk mendapatkan diagnosis pasti tumor.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
a. Kelainan sistemik: adalah kelahan yang mempengaruhi organ organ tubuh secara
keseluruhan (Dorlan, 2010).
b. Ulkus: defek lokal atau eksavasi permukaan suatu organ atau jaringan akibat
pengelupasan jaringan radang yang nekrotik (Dorlan, 2008).
c. Benjolan eksofitik:
d. Digit I pedis sinistra:
e. Jaringan parut: daerah pada tubuh dengan kulit yang telah digantikan oleh jaringan
fibrosa, misalnya jaringan parut bekas luka bakar (Corwin, 2009).
f. Keloid adalah pembentukan jaringan parut di kulit yang melebihi cedera awalnya akibat
trauma, cedera, atau luka tusuk. Keloid akan nampak menjadi gembung, merah, dan
padat (Corwin, 2009).
g. Tumor: Suatu lesi sebagai hasil pertumbuhan abnormal dari sel – sel yang
autonom atau relatif autonom, yang menetap walaupun rangsang telah
dihilangkan (Kumar, 2010).
h. Patela: tutup lutut; tulang sesamoid (pipih) berbentuk segitiga yang terletak di
depan lutut pada insersi musculi quadriceps femoris (Dorlan, 2011).
2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimana histologis dan fisiologi dari jaringan epitel kulit?
b. Apakah diagnosis dari tumor tersebut?
c. Apakah hubungan usia dan pekerjaan dengan keluhan pasien?
d. Bagaimana patogenesis dari tumor?
e. Apakah perbedaan dari tumor ganas dan tumor jinak?
f. Bagaimana mekanisme tubuh terhadap kanker?
g. Bagaimana imunitas tubuh terhadap kanker?
h. Bagaimana mekanisme dari mutasi sel kanker?
i. Bagaimana klasifikasi tumor?
j. Apakah hubungan benjolan yang terdapat di patella dengan keloid?
k. Apakah perbedaan dari sel tumor dengan sel normal?
l. Bagaimana mekanisme metastatis pada sel tumor?
m. Mengapa benjolan tidak nyeri tekan, berdarah dan rapuh?
n. Bagaimana penatalaksanaan tumor?
3. Langkah III: Menganalisis permaslahan dan membuat penyataan sementara mengenai
permasalah
a. Histologi dan fisiologi Kulit
Gambar 1. Kulit tebal telapak tangan, lapisan sel superficial, dan pigmen melanin. Pulasan:
hematoksilin dan eosin. Pembesaran sedang. (Eroschenko, 2010).
Lapisan terluar kulit tebal adalah stratum korneum (1,9), suatu lapisan tebal sel-sel
gepeng mati atau berkeratin yang secara terus menerus dilepaskan atau mengalami
deskuamasi (8) dari permukaan kulit. Dibawah stratum korneum (1,9) terdapat stratum
lusidum (2) yang tipis dan terpulas pucat. Lapisan tipis ini sulit dilihat di sebagian besar
preparat. Pada pembesaran lebih kuat garis batas sel-sel gepeng dan butiran eleidin dalam
lapisan ini kadang-kadang terlihat.
Di bawah stratum lusidum (2) terdapat stratum granulosum (3,11) yang sel-selnya
mengandung granula keratohialin (3) terpulas gelap. Tepat dibawah startum granulosum
(3,11) terdapat stratum spinosum (4,12) tebal yang terdiri dari beberapa lapisan sel
bentuk polihedral. Sel-sel ini saling berhubungan melalui prosesus spinosus atau
jembatan interselular yang menunjukkan tempat perlekatan desmosom (makula
adherens).
Lapisan terdalam di kulit adalah stratum basal (5,13) kolumnar yang terletak di
membrana basalis (6,15) jaringan ikat. Aktivitas mitosis dan pigmen melanin (5,13)
coklat biasanya tampak di lapisan yang lebih dalam stratum spinosum (4,12) dan stratum
basal (5,13).
Duktus ekskretorius kelenjar keringat (10) yang terletak jauh di dalam dermis
menembus epidermis, kehilangan dinding epitelnya, dan berpilin melalui lapisan sel
epidermis (1-5) ke permukaan kulit berupa saluran kecil dengan dinding tipis.
Papillae (7) terlihat menonjol di kulit tebal. Beberapa papillae mengandung
corpusculum tactile (Meissner) dan ansa capillaris (capillary loop) (16) (Eroschenko,
2010).
b. Dasar Diagnosis Tumor
Begitu tumor terbentuk, pertumbuhannya bersifat otonom. Karakteristik tumor
diturunkan kegenerasi se lberikutnya, pertumbuhannya relative tidakdapatdikendalikan
tubuh, aktif dan tidak terbatas. Pertumbuhan yang invasive, kelainan metabolisme dan
fungsinya merupakan ancaman bagi tubuh. Jaringan tumor dalam intensita sberlainan
kehilangan kemampuan berdiferensiasi sehingga morfologinya berbeda dari jaringan
normal. Kelainan morfologi tumor merupakan dasar bagi diagnosis patologik tumor.
(Desen, 2011)
c. Tumor
Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat
pengaruh berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat pada
tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya (Desen, 2011).
Tumor adalah penyakit pada gen, basis biologisnya adalah kelainan genetic.
Factor penyebab tumor menimbulkan mutasi gen pada sel tubuh hingga timbul kelainan
genetic, manifestasi gen menjadi kacau, timbul kelainan pada morfologi, metabolism dan
fungsi sel tumor yang berbeda dari sel normal. Penelitian menunjukkan timbulnya tumor
merupakan hasil dari mutasi banyak gen dan melibatkan banyak tahapan. Mutasi gen
yang berbeda dan intensitas mutasi yang berbeda menghasilkan jenis tumor yang berbeda
(Desen, 2011).
Begitu tumor terbentuk, pertumbuhannya bersifat otonom. Karakteristik tumor
diturunkan kegenerasi sel berikutnya, pertumbuhannya relative tidak dapat dikendalikan
tubuh, aktif dan tidak terbatas. Pertumbuhan yang invasive, kelainan metabolism dan
fungsinya merupakan ancaman bagi tubuh. Jaringan tumor dalam intensitas berlainan
kehilangan kemampuan berdiferensiasi sehingga morfologinya berbeda dari jaringan
normal. Kelainan morfologi tumor merupakan dasar bagi diagnosis patologik tumor
(Desen, 2011).
Semua tumor, jinak dan ganas memiliki 2 komponen dasar:
1) Parenkim, yang terdiri atas sel yang telah mengalami transformasi atau
neoplastik.
2) Stroma penunjang nonneoplastik yang berasal dari pejamu dan terdiri atas
jaringan ikat dan pembuluh darah.
Parenkim neoplasma menentukan perilaku biologisnya dan komponen ini yang
menentukan nama tumor bersangkutan. Stroma mengandung pembuluh darah dan
memberikan dukungan bagi pertumbuhan sel parenkim dan sangat penting untuk
pertumbuhan neoplasma (Kumar et al , 2007).
d. Tumor Jinak Dan Tumor Ganas
Tumor dapat dibagi menjadi tumor jinakdan tumor ganas. Daya tumbuh tumor
jinak terbatas, biasanya tumbuh ekspansif local, laju pertumbuhannya relative lambat.
Tumor jinak dapat mendesak jaringan sekitarnya,namun biasanya tidak berinfiltrasi
merusak jaringan sekitarnya, juga tidak bermetastasis. Sehingga bahayanya relative kecil.
Tumor ganas seringkali tumbuh dengan pesat, bersifat invasive (menginfiltrasi jaringan
sekitarnya dan bermetastasis, bila tidak mendapatkan terapi yang efektif biasanya
membawa kematian (Desen, 2011).
e. Mekanisme tubuh terhadap kanker
Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas
tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun
humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses
penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.
Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody
dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity.
Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA)
dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi
bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat
merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat
bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, lekosit
PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam
4 sampai 6 jam (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).
Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke permukaan sel
tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C 1,4,2,3,5,6,7,8,9.
Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM
lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang proses ini (Halim, B dan Sahil, MF,
2001).
f. Imunitas terhadap kanker
Sebuah konsep dengan istilah “surveilans imun” yang dirumuskan oleh Lewis
Thomas dan McFarlant Burnet menjelaskan mengenai pengenalan dan penghancuran sel
tumor bukan-diri saat sel tersebut muncul. Pengenalan dan penghancuran awal ini yang
nantinya akan menentukan nasib sel tumor tersebut. Kenyataan bahwa kanker tetap
timbul, mengisyaratkan bahwa surveilans imun tidak berjalan sempurna, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa kemunculan tumor lain mungkin telah tercegah oleh
surveilan imun ini sendiri (Kumar et.al , 2007).
Efektor antitumor tubuh terhadap antigen tumor melibatkan peran imunitas seluler
dan imunitas humoral. Diantaranya yaitu limfosit T sitotoksik, sel natural killer, dan
makrofag (Kumar et.al , 2007).
Sekitar 5 % orang dengan imunodefisiensi kongenital mengidap kanker, sebuah
angka yang besarnya 200 kali lippat dibandingan dengan orang tanpa imunodefisiensi.
Namun, sebagian besar kanker terjadi pada orang yang tidak menderita imunodefisiensi
yang nyata. Meskipun ada imunosurveilans, sel kanker ternyata dapat menghindari sistem
imun pada pejamu imunokompeten. Beberapa mekanisme pelolosan diri itu antara lain :
1) Pertumbuhan berlebihan selektif varian yang negatif-antigen
Saat progresi tumor, berbagai subklona yang sangat imunogenik akan
tereliminasi.
2) Hilang atau berkurangnya ekspresi antigen histokompatibilitas
3) Imunosupresi
Banyak agen onkogenik menekan respon imun pejamu. Tumor atau produk
tumor juga dapat bersifat imunosupresif. Sebagai contoh adalah zat
Transforming Growth Factor (TGF-β) yang dikeluarkan dalam jumlah besar
oleh banyak tumor, merupakan imunosupresan kuat (Kumar et al , 2007).
Pada usia lanjut, kaitannya dengan tumor ganas, usia di atas 50 tahun
beresiko terkena kanker kulit (tipe squamous cell carcinoma) karena adanya
proses senilitas atau proses kemunduran sel-sel, khususnya sel imunitas tubuh
(Wan Desen, 2011).
g. Mekanisme Mutasi Sel Kanker
Dalam kondisi normal, pembelahan, poliferasi, dan diferensiasi sel dikontrol
secara ketat (Price et al., 2006). Kerusakan genetik nonletal merupakan hal sentral dalam
karsinogenesis. Kerusakan atau mutasi genetik semacam ini mungkin didapat akibat
pengaruh lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus, atau diwariskan dalam sel
germinativum (Kumar et al., 2007; Price et al., 2006).
Telah diidentifikasi empat golongan gen yang memainkan peranan penting dalam
mengatur sinyal mekanisme faktor pertumbuhan dan siklus sel itu sendiri, termasuk
protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen penekan kanker ( tumor suppressor
gene) yang menghambat pertumbuhan ( antionkogen), gen yang mengatur kematian sel
terencana ( programmed cell death), atau apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan
DNA yang rusak (Kumar et al., 2007; Price et al., 2006).
Gambar 2.1 Skema Sederhana Dasar Molekular Kanker.
(Kumar et al., 2007).
Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap, baik pada tingkat fenotipe
maupun genotype. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya
pertumbuhan berlebihan, sifat invasi lokal, dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini
diperoleh secara bertahap, suatu fenomena yang disebut tumor progression. Pada tingkat
molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian
kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA. Perubahan genetik yang
mempermudah tumor progression melibatkan tidak saja gen yang mengendalikan
pertumbuhan melainkan juga gen yang mengendalikan angiogenesis, invasi, dan
metastasis. Sel kanker juga harus melewatkan proses penuaan normal yang membatasi
pembelahan sel (Kumar et al., 2007).
Dalam kondisi fisiologis normal, mekanisme sinyal sel yang memulai proliferasi
sel dapat dibagi menjadi langkah- langkah sebagai berikut: (1) faktor pertumbuhan,
terikat pada reseptor khusus pada permukaan sel; (2) reseptor faktor pertumbuhan
diaktifkan yang sebaliknya mengaktifkan beberapa protein transduser; (3) sinyal
ditransmisikan melewati sitosol melalui second messenger menuju inti sel; (4) faktor
transkripsi inti yang memulai pengaktifan transkripsi asam deoksiribonukleat (DNA).
Ketika keadaan menguntungkan untuk pertumbuhan sel, sel terus melalui fase
replikasi sel, Siklus sel tersebut dibagi menjadi empat fase: G1 (gap 1), S (sintesis), G2
(gap 2), dan M (mitosis). Sel tidak aktif yang terdapat dalam keadaan tidak membelah
disebut G0 (Price et al., 2006).
Banyak yang telah diketahui tentang gen RB karena merupakan gen penekan
tumor yang pertama kali ditemukan. Produk gen RB adalah suatu protein pengikat-DNA
yang diekspresikan pada semua sel yang diteliti; protein tersebut berada dalam bentuk
terhipofosforilasi aktif dan terhiperfosforilasi tidak aktif. Pada keadaan aktif, RB
berfungsi sebagai rem untuk menghambat melajunya sel dari fase G1 ke S pada siklus sel.
Apabila sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan, protein RB diinaktifkan melalui
fosforilasi, rem dilepas, dan sel melewati tahap G1 ke S. saat masuk fase S, sel bertekad
(committed) untuk membelah tanpa memerlukan stimulasi faktor pertumbuhan tambahan.
Selama fase M berikutnya, gugus fosfat dikeluarkan dari RB oleh fosfat selular sehingga
kembali dihasilkan bentuk RB terdefosforilasi (Kumar et al., 2007).
Dasar molekul efek perngereman ini telah diungkapkan secara rinci dan elegan.
Sel tenang (quiescent, pada G0 atau G1) mengandung RB bentuk terhipofosforilasi yang
inaktif. Pada status ini, RB mencegah replikasi sel dengan mengikat, dan mungkin
menyebabkan sekuestrasi, family E2F dari faktor transkripsi. Apabila sel yang tenang ini
dirangsang oleh faktor pertumbuhan, konsentrasi siklin D dan E meningkat, dan aktivasi
siklin D/CDK4, siklin D/CDK6, dan siklin E/CDK2 yang terjadi menyebabkan fosforilasi
RB. RB bentuk terhiperfosforilasi membebaskan faktor transkripsi E2F dan mengaktifkan
transkripsi beberapa gen sasaran. Apabila tidak terdapat protein RB, atau apabila
kemampuannya untuk menyingkirkan faktor transkripsi terganggu akibat mutasi, rem
molecular terhadap siklus sel akan lepas, dan sel berpindah secara bersemangat ke dalam fase
S (Kumar et al., 2007).
Gen penekan tumor TP53 (dulu P53) adalah salah satu gen yang paling sering
mengalami mutasi pada kanker manusia. Gen ini memiliki banyak fungsi dan tidak dapat di
klasifikasikan dengan mudah ke dalam kelompok fungsional tertentu yang serupa dengan gen
lain. TP53 dapat menimbulkan efek anti proliferasi, tetapi yang tidak kalah penting, gen ini
juga mengendalikan apoptosis. Secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu
monitor sentral untuk stress, mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang sesuai, baik
berupa penghentian siklus sel maupun apoptosis. Berbagai stress dapat memicu jalur respons
TP53, termasuk anoksia, ekspresi onkogen yang tidak sesuai, dan kerusakan pada integritas
DNA. Dengan mengendalikan respons kerusakan DNA, TP53 berperan penting dalam
mempertahankan integritas genom (Kumar et al., 2007).
TP53 normal di dalam sel yang tidak mengalami stress memiliki waktu paruh yang
pendek (20 menit). Waktu paruh yang pendek ini disebabkan oleh ikatan dengan MDM2,
suatu protein yang mencari TP53 untuk menghancurkannya. TP53 mengalami modifikasi
pascatranskripsi yang membebaskannya dari MDM2 dan meningkatkan waktu-paruhnya.
Selama proses pembebasan dari MDM2, TP53 juga menjadi aktif sebagai suatu faktor
transkripsi. Sudah ditemukan lusinan gen yang transkripsinya dipicu oleh TP53. Gen tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori umum-gen yang menyebabkan penghentian
siklus sel dan gen yang menyebabkan apoptosis (Kumar et al., 2007).
Penghentian siklus sel yang diperantarai oleh TP53 dapat dianggap sebagai respons
primordial terhadap kerusakan DNA. Hal ini terjadi pada akhir fase G1 dan disebabkan
terutama oleh transkripsi CDK1 dependen-TP53 CDKN1A(p21). Gen CDKN1A, seperti
telah dijelaskan, menghambat kompleks siklin/CDK dan mencegah fosforilasi RB yang
penting agar sel dapat masuk ke fase G1. Penghentian siklus sel ini disambut baik karena
“member napas” bagi sel untuk memperbaiki kerusakan DNA. TP53 juga membantu proses
dengan menginduksi protein tertentu, seperti GADD45( penghentian pertumbuhan dan
kerusakan DNA), yang membantu perbaikan DNA. Apabila kerusakan DNA berhasil
diperbaiki, TP53 meningkatkan ( upregulate ) transkripsi MDM2, yang kemudian menkan
(down regulate) TP53, sehingga hambatan terhadap siklus sel dapat TP53 normal
mengarahkan sel ke “liang kubur” dengan memicu apoptosis. Protein ini melakukannya
dengan memicu gen pencetus seperti BAX (Kumar et al., 2007).
Secara singkat, TP53 mendeteksi kerusakan DNA melalui mekanisme yang tidak
diketahui dan membantu perbaikan DNA dengan menyebabkan penghentian G1 dan memicu
gen yang memperbaiki DNA. Sel yang mengalami kerusakan DNA dan tidak dapat
diperbaiki diarahkan oleh TP53 untuk mengalami apoptosis. Berdasarkan aktivitas ini, TP53
layak disebut “pengawal genom”. Apabila terjadi kehilangan TP53 secara homozigot,
kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi di sel yang membelah
sehingga sel akan masuk jalan satu-arah menuju transformasi keganasan (Kumar et al.,
2007).
Gambar 2.2 Peran TP53 dalam Mempertahankan Integritas Genom.
(Kumar et al., 2007).
h. Sistem Klasifikasi Tumor
Sejak tahun 1950 The International Union Against Cancer dan The American Joint Comittee on Cancer Staging and End Stage Reporting menggunakan sistem TNM dalam pelaporan tingkat neoplastik.
1) T (Tumor)
T0 = Tidak ada tumor yang jelas
T1 = Tumor hanya dalam epidermis eksofitik dengan ukuran <2 cm
T2 = Tumor antara 2-5 cm atau dengan infiltrasi minimal ke dermis
T3 = Tumor >5cm dengan infiltrasi yang dalam ke lapisan dermis
T4 =Tumor meluas ke jaringan sekelilingnya.
2) N (Nodul)
N0 = Kelenjar tidak teraba
N1 = Kelenjar homolateral teraba, bebas bergerak
N2 = Kelenjar bilateral teraba dan bebas bergerak
N3 = Kelenjar merekat erat dengan jaringan sekitar
3) M (Metastasis)
M0 = Belum metastasis
M1 = Metastasis (Hamzah, 1996).
i. Terapi Kanker
Terapi kanker tergantung pada jenis kanker, stadium kanker, usia, status
kesehatan, dan karakteristik pribadi tambahan. Tidak ada pengobatan tunggal untuk
kanker dan pasien sering menerima kombinasi terapi dan perawatan paliatif. Perawatan
biasanya termasuk dalam salah satu kategori seperti operasi, radiasi, kemoterapi,
immunoterapi, terapi hormon, atau terapi gen.
Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan membunuh sel - sel kanker,
mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak
menyebar dan mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker.
1) Operasi
Pembedahan merupakan pengobatan tertua untuk kanker. Jika kanker
belum bermetastasis, kemungkinan besar pasien dapat disembuhkan sepenuhnya hanya
dengan menyingkirkan tumor dengan operasi. Hal ini sering terlihat pada penyingkiran
prostat, payudara atau testis. Setelah penyakit ini telah menyebar, tidak mungkin dapat
menyingkirkan semua sel kanker. Operasi juga dapat berperan besar dalam membantu
untuk mengontrol gejala seperti gangguan pencernaan atau kompresi sumsum tulang
belakang (Crosta, P., 2010).
2) Radioterapi
Radioterapi berarti pengobatan kanker dengan menggunakan sinar radioaktif.
Sinar X, elektron, dan sinar γ (gamma) banyak digunakan dalam pengobatan kanker
disamping partikel lain. Pada prinsipnya apabila berkas sinar radioaktif atau partikel
dipaparkan ke jaringan, maka akan terjadi berbagai peristiwa antara lain peristiwa
ionisasi molekul air yang mengakibatkan terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang
pada gilirannya akan menyebabkan kematian sel. Lintasan sinar juga menimbulkan
kerusakan akibat tertumbuknya DNA yang dapat diikuti kematian sel. Radioterapi
digunakan sebagai pengobatan mandiri untuk mengecilkan tumor atau menghancurkan
sel-sel kanker termasuk yang berkaitan dengan leukemia dan limfoma, dan juga
digunakan dalam kombinasi dengan pengobatan kanker lain (Siswono, 2002).
3) Kemoterapi
Kemoterapi terkadang merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker.
Kemoterapi bersifat sistematik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat
setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin sudah
menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain. Penggunaan kemoterapi berbeda-beda
pada setiap pasien, kadang-kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan
sebelum atau setelah operasi dan radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-
beda tergantung jenis kankernya. Kemoterapi biasa dilakukan di rumah sakit, klinik
swasta, tempat praktek dokter, ruang operasi dan juga di rumah (Crosta, P., 2010).
4) Imunoterapi
Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan
kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh dari sel tumor bisa menaikkan
fungsi tubuh pada antibodi atau sel kekebalan (limfosit T). Walaupun mekanisme tepat
pada tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan
beberapa kanker (Indonesian Pharmacist Update, 2009).
5) Terapi hormon
Kanker dikaitkan dengan beberapa jenis hormon, terutamanya kanker payudara
dan kanker prostat. Terapi hormon dirancang untuk mengubah produksi hormon dalam
tubuh sehingga sel-sel kanker berhenti berkembang atau dibunuh sepenuhnya. Terapi
hormon kanker payudara sering fokus pada pengurangan kadar estrogen (obat umum
untuk ini adalah tamoxifen) dan hormon terapi kanker prostat sering fokus pada
pengurangan kadar testosteron. Selain itu, beberapa kasus leukemia dan limfoma dapat
diobati dengan hormon kortison (Crosta, P., 2010).
6) Molecular Targeted Therapy
Molecular Targeted Therapy adalah obat atau zat lain yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan dan penyebaran kanker dengan mengganggu molekul tertentu
yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan sel tumor. Dengan berfokus pada
perubahan molekuler dan seluler yang spesifik untuk kanker, terapi kanker bertarget
mungkin lebih efektif daripada jenis terapi lain, termasuk kemoterapi dan radioterapi, dan
kurang berbahaya bagi sel-sel normal (Cancer, 2012).
Prinsip kerja dari terapi ini yaitu mengganggu pembelahan sel kanker (proliferasi)
dan menyebar dengan cara yang berbeda . Terapi ini berfokus pada protein yang terlibat
dalam jalur sinyal sel, yang membentuk sistem komunikasi yang kompleks yang
mengatur fungsi dasar dan kegiatan sel, seperti pembelahan sel, pergerakan sel, respon
sel terhadap rangsangan eksternal yang spesifik , dan bahkan kematian sel . Dengan
menghalangi sinyal yang memberitahu sel-sel kanker untuk tumbuh dan membelah tak
terkendali , terapi kanker bertarget dapat membantu menghentikan perkembangan kanker
dan dapat menyebabkan kematian sel kanker melalui proses yang dikenal sebagai
apoptosis . Terapi bertarget lain dapat menyebabkan kematian sel kanker secara langsung
,dengan secara khusus menginduksi apoptosis , atau dengan cara tidak langsung , dengan
merangsang sistem kekebalan untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel kanker dan
atau dengan memberikan zat-zat beracun langsung ke sel-sel kanker (Cancer, 2012).
j. Terjadinya keloid dan kaitannya dengan benjolan di digit I pedis sinistra
Keloid terbentuk karena adanya penyimpangan pertumbuhan sel serta produksi
ECM (Extracelluler Matrix). Yang menyebabkan penumpukan dari serat kolagen
yang sangat banyak dan dapat menimbulkan jaringan parut yang menonjol.
Semua hal tersebut diawali dengan penyembuhan luka (Kumar, 2007).
Sedangkan, benjolan digit I pedis sinistra didiagnosis adalah tumor ganas atau
kanker kulit yang disebabkan oleh zat-zat karsinogen sebagai factor pemicu. Jadi,
tidak ada hubungan antara keloid di patella dengan benjolan digit I pedis sinistra.
4. Langkah IV: Mengeinventarisir permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Mengetahui mekanisme metastatis pada sel tumor.
Mengetahui penyebab benjolan tidak nyeri tekan, berdarah dan rapuh pada
skenario.
Mengetahui penatalaksanaan tumor.
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
a. Mekanisme Metastatis tumor
Keluhan : benjolan di kaki kiri (yang diawali dengan luka sejak satu tahun yang lalu), sudah diobatkan tetapi malah meluas.
hasil pemeriksaaan fisik : tidak ada kelainan sistemik, ulkus dengan benjolan eksofitik pada kulit digit I pedis sinistra, massa putih seperti bunga kol, diameter 3 cm, rapuh, mudah berdarah, tidak nyeri tekan. Regio patella terdapat keloid 0,5x4 cm, setinggi 1 cm, tidak ada pembesaran limfonodi inguinal.
Berdasarkan data-data di atas dihubungkan dengan pekerjaan dan usia pasien, ada kaitan yang jelas. Pekerjaan sebagai petani dengan usia 50 tahun , yang terpapar Sinar UV dalam durasi dan intensitas tinggi, memungkinkan juga terkena kanker kulit. Diawali dengan sebuah benjolan dan selanjutnya terjadi luka dengan massa putih, bisa menjadi indikasi terjadinya karsinoma sel skuamous (Wan Desen, 2011)
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
SARAN
Setelah melakukan diskusi tutorial untuk skenario I Blok Endokrinologi, kami mengalami
beberapa hambatan, antara lain :
1. Kurang memahami tujuan pembelajaran dan menentukan LO.
2. Mengalami kendala dalam memahami artikel/referensi yang didapat sehingga
menimbulkan bias.
3. Kurang dapat mengatur waktu dalam diskusi tutorial.
4. Banyak pendapat yang pada dasarnya sama namun tetap disampaikan tanpa
menyeleksinya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kami memiliki beberapa saran agar dalam diskusi tutorial selanjutnya
hambatan-hambatan di atas dapat diperbaiki, antara lain :
1. Lebih memahami maksud dan tujuan pembelajaran dari skenario, sehinga lebih mudah
menentukan LO (Learning Objective).
2. Membiasakan mencari arti kata-kata dalam Bahasa Inggris yang belum diketahui artinya
dalam kamus.
3. Membuat batas-batas waktu pada setiap tahap dalam pelaksanaan diskusi tutorial.
4. Menyeleksi pendapat sebelum disampaikan sehingga data yang didapat tidak ganda atau
lebih simple.
DAFTAR PUSTAKA
Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 235
Dorland, W.A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Crosta, P 2010. What is cancer? Medical News Today. Available from : http://www.medicalnewstoday.com/info/cancer-oncology/whatiscancer.php[Accessed 20 March 2010] Desen, Wan, et.al. 2011. Buku Ajar OnkologiKlinisEdisi 2. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI
Siswono, 2002. Peran Radioterapi pada Pengobatan Kanker. KOMPAS 6 Januari 2002. Available from : http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1010376116,48600, [Accessed 22 March 2010]
Indonesian Pharmacist Update, 2009. Imunoterapi pada Kanker. Available from: http://farmasiindonesia.com/imunoterapi-pada-kanker.html[Accessed 22 March 2010]
Kumar, Cotran & Robin (2007). Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar (1996). Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia