LAPORAN Biokimia Total Protein
-
Upload
dera-fakhrunnisa-rukmana -
Category
Documents
-
view
376 -
download
10
description
Transcript of LAPORAN Biokimia Total Protein
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK DIGESTIVE
PEMERIKSAAN TOTAL PROTEIN(Metode Biuret)
Disusun oleh :
KELOMPOK 1 :
Dera Fakhrunnisa G1A009020
Ayu Astrini N.P.S G1A009037
Purindri Maharani G1A009050
Noviana G1A009083
Maulana Rizqi Y G1A009089
Pramasanti Hera K G1A009102
Nurtika G1A009105
Aris Wibowo G1A009108
Hafidh Riza P G1A009127
Anggia Puspitasari G1A008058
Affan Sodiq G1A007033
Asisten : Yuditya Dwi Cahya L
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2011
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA
PEMERIKSAAN TOTAL PROTEIN
Oleh :
Kelompok I :
Dera Fakhrunnisa G1A009020
Ayu Astrini N.P.S G1A009037
Purindri Maharani G1A009050
Noviana G1A009083
Maulana Rizqi Y G1A009089
Pramasanti Hera K G1A009102
Nurtika G1A009105
Aris Wibowo G1A009108
Hafidh Riza P G1A009127
Anggia Puspitasari G1A008058
Affan Sodiq G1A007033
Disusun untuk memenuhi tugas
Praktikum Biokimia Blok Digestive
Jurusan Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, Juni 2011
Asisten,
Yuditya Dwi Cahya LNIM. G1A008024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Total Protein (Metode Biuret)
B. Tanggal Praktikum
Jum’at, 24 Juni 2011
C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan total protein dalam darah dengan
metode biuret.
2. Mahasiswa dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan total protein pada saat
praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kondisi/penyakit apa saja yang berkaitan dengan
kadar total protein abnormal dalam darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Protein
Protein merupakan polimer L-α-amino. Suatu asam amino
adalah senyawa yang mengandung gugus amino dan gugus
karboksil. Pada asam amino α-amino, kedua gugus ini terikat pada
atom karbon yang sama, yang dinamakan sebagai karbon-α.
karbon-α setiap asam amino juga berikatan dengan atom H dan
berbagai pengganti, dinamakan gugus R atau rantai samping
(Murray, 2003).
Terdapat 20 asam amino yang lazim didapat dan
membentuk protein. Sembilan belas asam amino hanya berbeda
pada rantai samping R atau karboksil yang terikat pada karbon-α.
Yang kedua puluh, yaitu prolin berbeda pada rantai sampingnya
yang merupakan struktur cincin yang mengandung nitrogen amino.
Berikut ini adalah 20 asam amino yang membentuk protein
(Murray, 2003).
Gambar 1. Tabel asam amino (sumber: biokimia harper,
Murray, 2003)
Ikatan peptide merupakan polimer tak bercabang. Selama
polimerisasi gugus α- bereaksi dengan α- karboksil dari asam
amino lainnya membentuk ikatan amida yang dikenal sebagai
ikatan peptide. Karena alasan ini protein juga dinamakan
polipeptida (Murray, 2003).
Rantai polipeptida dapat dianggap memiliki 2 komponen,
yaitu rangka monoton berulang, dimana karbon-α dan ikatan
peptide saling bergantian; dan berbagai rantai samping yang
berupa asam amino yang terikat pada karbon-α. Semua gugus α-
amino, kecuali α-amino yang terdapat pada asam amino pertama
dan semua gugus α-karboksil, kecuali yang terletak pada asam
amino terakhir berperanan dalam ikatan peptide. Jadi setiap rantai
protein hanya mempunyai satu gugus α-amino bebas dan satu
gugus α-karboksil bebas, masing-masing pada N dan C terminal
(Murray, 2003).
Meskipun adanya pembatasan rotasi yang ditimbulkan oleh
polaritas ikatan peptide, rantai polipeptida mempunyai fleksibelitas
yang besar. Karena karbon-α dari setiap residu asam amino yang
berdekatan dihubungkan ke atom yang berdekatan dalam rantai
oleh ikatan tunggal. Rantai bebas memutar sekitar dua pertiga
ikatan yang membentuk tulang punggungnya. Karena konformasi
bebas ini rantai polipeptida mampu melipat menjadi berbagai
bentuk. Dalam lingkungan alamiahnya, setiap protein cenderung
hanya mengambil satu konformasi, dan dinamakan konformasi asli.
Bentuk lipatan protein ditentukan oleh pembatasan dan tarik
menarik. Rigiditas ikatan peptide dan rintangan antara rantai
smaping mencegah rantai polipeptida mengambil bentuk
konformasi tertentu. Konformasi yang diambil adalah bentuk
dimana jumlah ikatan nonkovalen maksimal yang dibentuk oleh
protein dan pelarut dimana protein ditemukan (Murray, 2003).
Terdapat 4 tingkat struktur protein, yaitu primer, sekunder,
tersier, dan kuartener. Struktur primer protein adalah urutan linear
asam amino dan terminal N sampai terminal C. struktur primer
protein menentukan identitas. Tubuh manusia mengandung
beribu-ribu spesies protein, seperti hemoglobin, pembawa oksigen
dalam darah, dan tripsin, suatu ezim pencernaan yang dihasilkan
oleh pancreas. Masing-masing spesies protein berbeda berbeda
dari protein lainnya dalam struktur primernya. Sebaliknya semua
molekul spesies protein tertentu mempunyai struktur primerb yang
sama. Struktur primer juga menentukan pelipatan polipeptida. Jadi
struktur primer menentukan struktur sekunder, tersier, dan
kuartener protein (Murray, 2003).
Struktur sekunder terdiri atas gambaran lipatan lokal dalam
suatu bagian rantai polipeptida. Struktur sekunder terutama
distabilkan oleh ikatan H yang terdapat antara gugus NH dan CO
dari rantai peptide. Suatu polipeptida cenderung membentuk
struktur sekunder karena regularitas rangka rantai dan karena
struktur sekunder membuat maksimal jumlah ikatan H yang dapat
dibentuk. Pada protein tertentu, lebih dari 60 % residu asam amino
berperanan dalam 2 jenis struktur sekunder, heliks, pleated sheets,
dan reverse turn. Struktur tersier adalah pelipatan secara
keseluruhan suatu rantai polipeptida. Sedangkan struktur
kuartener adalah susunan polipeptida bersama-sama dalam
kompleks ranai multiple (Murray, 2003).
B. Pembentukan Protein
Sebagian besar protein plasma darah kecuali faktor Von Willebrand dan
immunoglobulin di metabolisme di hati. Selain membentuk protein dari asam-asam
amino yang tersedia, hepatosit mengatur perubahan asam amino, menguraikan
protein endogen dan eksogen dan mengubah metabolit-metabolit protein yang sudah
‘aus’ seperti ammonia menjadi urea yang diekskresikan (Sacher, 2004).
Asam-asam amino diperlukan untuk membentuk protein. Sebagian harus
dipasok dari makanan (asam amino essensial) karena tidak dapat dibentuk ditubuh.
Sisanya adalah asam amino non essensial yang berasal dari makanan. Asam amino
yang berasal dari pencernaan protein makanan dan glukosa yang berasal dari
pencernaan karbohidrat diserap melalui vena porta hepatica. Hati memiliki peran
mengatur konsentrasi berbagai metabolit larut air dalam darah (Murray,2009).
Kadar asam amino didalam darah merupakan hasil langsung dari masukan
diet, katabolisme protein jaringan dan sintesis asam amino. Ada 2 sumber energy
utama katabolisme asam amino, yaitu deaminasi oksidatif dan transaminasi
(Sabiston,1994).
Pencernaan protein dimulai di lambung. Di lambung HCL akan
menguraikan protein (denaturasi protein) dan akan mengaktifkan enzim pepsinogen
menjadi pepsin. Pepsin lalu menguraikan protein menjadi polipeptida kecil dan
beberapa asam amino bebas. Di usus halus polipeptida akan diuraikan menjadi asam
amino dengan enzim pancreas dan intestinal. Setelah itu, asam amino akan diserap
oleh dinding usus, lalu diangkut ke sel dimana asam amino tersebut dilepaskan ke
dalam darah (Wang et al, 2007).
Kelebihan protein tidak akan disimpan dalam tubuh melainkan akan
dirombak dalam hati (protein akan mencapai hati dalam bentuk yang paling
sederhana yaitu asam amino) menjadi senyawa yang mengandung unsur N, seperti
NH3 dan NH4OH serta senyawa yang tidak mengandung unsur N, proses ini
dinamakan deaminasi. Senyawa-senyawa tersebut merupakan substansi beracun
yang akan disintesis menjadi urea di hati, karena hati mempunyai enzim arginase.
Urea diangkut dengan zat-zat sisa lainnya ke ginjal untuk dikeluarkan bersama
dengan urin. Senyawa yang tidak mengandung unsur N akan disintesis kembali
(Wang et al, 2007).
Selain itu hati juga memproses asam amino sehingga bisa diubah dan
dipakai sebagai sumber energy. Hati juga mensintesis protein plasma seperti alpha
dan betha globulin, albumin, fibrinogen dan protrombin (Wang et al, 2007).
C. Fungsi Protein
1. Pengikatan
Banyak protein tubuh yang berikatan dengan molekul lain dank
arena itu berperanan sebagai molekul karier. 2 protein sejenis,
yaitu hemoglobin dan mioglobin berikatan dengan oksigen dan
memerantari penyimpanan dan transport energy (Murray,
2003).
2. Katalisis.
Pada kebanyakan reaksi secara in vivo dikatalisis oleh golongan
protein yang dinamakan enzim. Model keadaan bagaimana
reaksi ini berlangnsung disebut sebagai keadaan transisi.
Selama reaksi kimia, molekul yang bereaksi bertabrakan dan
masuk ke keadaan transisi, yaitu gabungan molekul-molekul
perantara yang mengadaka reaksi antara reaktan dan produk.
Keadaan transisi berlangsung singkat dan dengan cepat pecah
menjadi produk atau rekatan (Murray, 2003).
D. Jenis Protein Endogen
Protein endogen adalah protein yang bisa dihasilkan oleh tubuh, protein
endogen memiliki beberapa sifat produksi yaitu :
1. Protein yang diproduksi secara konstitutif (diproduksi pada kondisi normal)
Antara lain enzim, hormone, dan albumin.
2. Protein yang diproduksi secara induktif (diproduksi jika ada stimulus)
Antara lain antibodi, sitokin, faktor pertumbuhan dan enzim
3. Protein yang diproduksi kontitutif dan induktif
Antara lain hormone, enzim, dan albumin (Chen et al, 2005).
E. Hiperalbumin dan Hipoalbumin
Albumin (69 kDa) adalah protein utama yang terdapat
dalam plasma manusia dan membentuk sekitar 60% protein
plasma total. 40% albumin terdapat dalam plasma, dan 60%
lainnya terdapat di ekstrasel. Hepar menghasilkan sekitar 12 gram
albumin per hari, yang berarti bahwa sekitar 25% dari seluruh
sintesis protein terjadi di hepar. Karena massa molekul albumin
yang realtif rendah yaitu 69 kDa, dan konsentrasinya yang tinggi,
albumin diperkirakan menentukan sekitar 75-80% tekanan osmotic
plasma pada manusia. (Murray,2009).
Banyak keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan ataupun peningkatan kadar albumin dalam darah.
Beberapa mekanisme yang berbeda dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kadar albumin atau hipoalbuminemia.
Mungkin penyebab tersering hipoalbuminemia ini adalah
berkurangnya produksi albumin oleh hati (Ronald, 2000).
Pada gangguan hati yang parah, seperti pada sirosis, yang
bisa disebabkan oleh konsumsi alcohol, penyakit hati yang berupa
hepatitis kronis, ataupun gangguan penimbunan besi dapat
menyebabkan terganggunya fungsi sel-sel parenkim hati yang
mensistesi protein, sehingga terjadi penurunan sintesis protein
yaitu albumin (Ronald, 2000).
.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. 1 buah rak tabung
b. 1 buah spuit ukuran 3 cc
c. 1 buah tourniquet
d. 1 buah eppendorf
e. Sentrifugator
f. 2 buah tabung reaksi
g. 1 buah kuvet
h. 1 buah mikropipet ukuran 10-100µl
i. 1 buah makropipet ukuran 100-1000µl
j. 1 buah blue tip
k. 1 buah yellow tip
l. Spektrofotometer (λ = 546 nm, nilai faktor 19)
2. Bahan
a. 20 µl serum darah
b. Reagen Biuret
B. Cara Kerja
1. Persiapan sampel :
a. Diambil darah probandus sebanyak 3cc dengan menggunakan spuit.
b. Darah di masukkan kedalam eppendorf dan disentrifuge dengan kecepatan
4000 rpm selama 10 menit kemudian diambil plasmanya untuk sampel.
2. Sampel (serum) sebanyak 20 µl kemudian dicampur dengan reagen biuret
sebanyak 1000 µl.
3. Campuran diinkubasi selama 10 menit dalam suhu ruangan, kemudian diukur
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm dan nilai faktor 19.
C. Nilai Normal
Bayi : 4,6-7,0 gr/dl
3 tahun s.d dewasa : 6,6-8,7 gr/dl
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Nama Probandus : Affan Sodiq
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Darah 3 cc Disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 4000 rpm
Plasma 10 µl Reagen biuret 1000 µl Campuran
Setelah plasma dicampur dengan Reagen biuret maka campuran harus
diinkubasi selama 10 menit dengan suhu 250C dan kemudian langsung diukur
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm nilai faktor 19,0.
Setelah dilakukan pengukuran hasil total protein plasma probandus adalah
8,1 gr/dl.
Dimasukkan
B. Pembahasan
Praktikum diawali dengan pengambilan sampel darah sebanyak 3 cc pada
probandus di vena mediana cubiti. Darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam
vacum med yang telah diisi EDTA dengan cara memasukkan jarum spuit ke dalam
vacum med, darah akan otomatis terhisap ke dalam vacuum med. EDTA berfungsi
sebagai anti koagulan. Darah dalam vacum med lalu disentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 4000 rpm sehingga dapat diperoleh plasma pada bagian
supernatan.
Supernatan
Natan
Working reagen yang digunakan adalah reagen biuret. Working reagen
diambil 1000 µl untuk dicampur dengan 20 µl plasma kemudian diinkubasi selama
10 menit dan diperiksa menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang yang
digunakan adalah 546 nm. Metode spektrofotometer yang digunakan adalah metode
kinetik, hal ini dikarenakan reaksi yang diperiksa merupakan reaksi enzimatis.
Pemeriksaan dengan metode ini dilakukan untuk mengetahui kadar total
protein di dalam darah, berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan bahwa kadar total
prorein darah probandus 8,1 mg/dl. Berdasarkan hasil ini dapat diketahui bahwa
kadar total protein probandus masih dalam batas normal, yaitu 6,6 – 8,7 untuk anak
usia 3 tahun dan untuk dewasa. Namun dalam melakukan praktikum mungkin ada
beberapa kesalahan-kesalahan diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor di
bawah ini :
1. Faktor Praktikan
Faktor praktikan merupakan kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan
praktikan selama pengukuran. Misalnya, dalam pengambilan reagen serta plama
darah serta kesalahan pengukuran bahan-bahan praktikum lain, dan lain
sebagainya.
2. Faktor Alat-alat yang Digunakan
Dari segi alat-alat praktikum, tidak menutup kemungkinan adanya alat-alat
yang sudah mengalami kerusakan. Selain itu, dapat pula terjadi bahwa alat sudah
tidak akurat dalam menunjukkan hasil. Misalnya kondisi spektrofotometer yang
sudah rusak, sehingga mempengaruhi hasil pengukuran kadar total protein.
Namun secara umum, apabila semua prosedur sudah dijalankan dengan
benar dan alat sudah teruji dalam keadaan baik, maka hasil pengukuran tersebut
merupakan hasil pengukuran yang benar.
C. Aplikasi Klinis
1. Hepatitis akut
Hepatitis viral akut disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya virus
A,B,C,D, dan E mungkin juga F, disamping juga disebabkan oleh virus lainnya
seperti virus mononucleosis infeksiosua, demam kuning, cacar air, sitomegali,
herpes zoster, morbili dan demam berdarah. Pada keadaan hepatitis akut tanpa
komplikasi, derajat kerusakan sel parenkimnya relative ringan akan tetapi
peradangan sel yang terjadi berat. Pada keadaan akut transaminasi bias meningkat
sampai 2000 unit/L sedangkan fosfatase alkali dan γ-GT hanya sedikit meningkat.
Kolinesterase akan menurun sedikit pada minggu ke-2 dan ke-4 untuk kemudian
akan meningkat kembali pada masa penyembuhan (Sanityoso, 2006).
Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya
virus hepatitis B dari tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Diare osmotik
Diare osmotik terjadi jika cairan yang dicerna tidak seluruhnya absorbsi
oleh usus halus akibat tekanan osmotik yang mendesak cairan kedalam lumen
intestinal. Peningkatan volume cairan lumen tersebut meliputi kapasitas kolon
untuk reabsorbsi, nutrien dan obat sebagai cairan yang aggal dicerna dan
diabsorbsi. Pada umumnya penyebab diare osmotic adalah malabsorbsi lemak atau
karbohidrat. Malabsorbsi protein secara klinik sulit diketahui namun dapat
menyebabkan malnutrisi atau berakibat kepada defisiensi spesifik asam amino.
Variasi kelainan ini dihubungkan dengan malabsorbsi dan maldigesti (Sutadi,
2003).
Maldigesti intraluminal terjadi oleh karena insufisiensi eksoktrin pancreas
jika kapasitas sekresi berkurang sampai 90%. Keadaan ini terjadi pada pankreatitis
kronik, obstruksi duktus pancreas, somastostaninoma, kolestasis dan bacterial
overgrowth. Diare osmotik dapat terjadi akibat gangguan pencernaan kronik
terhadap makanan tertentu seperti buah, gula/manisan, permen karet, makanan diet
dan pemanis obat berupa karbohidrat yang tidak diabsorbsi seperti sorbitol atau
fruktosa. Kelainan congenital spesifik seperti tidak adanya hidrolase karbohidrat
atau defisiensi lactase pada laktosa intolerans dapat juga menyebabkan diare
kronik. Malabsorbsi mukosa terjadi pada celiac sprue atau enteropati
sensitiveglutein. Pasien dengan celiac sprue memiliki presentasi atipik yaitu
gangguan pertumbuhan, otot kecil, distensi abdomen, defisiensi besi, retardasi dan
anoreksia. Pada tropical sprue ditandai dengan malabsorbsi dan perubahan
histologik usushalus berupa atrofi villus, hiperplasia kripta, kerusakan epitel
permukaan dan infiltrasi mononuclear ke lamina propria (Sutadi, 2003).
Malabsorbsi Intestinal (Whipp;e’s Disease) disebabkan tropehyma
whippeli, umumnya terjadi pada usia dewasa. Manisfestasi berupa artralgia,
demam, menggigil, hipotensi, limfadenopati dan keterlibatan system saraf.A
betalipoproteinemia disebabkan karena tidak adanya Apo B akibat defekformassi
kilomikron. Pada anak-anak dengan kelainan ini ditandai dengan steatore, sel darah
merah akantositik, ataksia, pigmentosa retinitis. Steatore disebabkan juga oleh
Giardia, Isospora, Strogyloides dan kompleks mycobacterium avium. Steatore yang
disebabkan oleh obet terjadi kerusakan pada enterosit misalnya kolkisine, neomisin
dan paraaminosalisilic acid. Limpangiektasia menyebabkan protein
losingenterophaty dengan steatorea, tetapi absorbsi karbohidrat tetap baik misalnya
pada post mukosal obstruction of lymphatic channels. Penyakit ini dapat congenital
atau didapat misalnya trauma, limfoma, karsinoma atau penyakit whipple. Reseksi
intestinal yang luas dapat menyebabkan short bowel syndrome berupa steatore
akibat tidak adekuatnya absorbsi, menurunnya transit time, dan menurunnya pool
garam empedu. Faktor lain yang mungkin mendukung diare dan short bowel
syndrome adalah efek osmotic cairan non absorbsi, hipersekresi gasterdan
beberapa penyebab dari pertumbuhan bakteri (Sutadi, 2003).
BAB V
KESIMPULAN
1) Protein merupakan polimer L-α-amino yang dibentuk oleh sekitar 20
asam amino yang berikatan satu sama lain melalui ikatan peptide.
2) Asam amino yang merupakan pembentuk protein diproses di dalam hati agar bisa
diubah dan dipakai sebagai sumber energi, selain itu hati juga mensintesis protein
plasma seperti alpha dan betha globulin, albumin, fibrinogen dan protrombin.
3) Fungsi protein adalah untuk pengikatan dan katalisis.
4) Jenis – jenis protein endogen diantaranya adalah protein yang diproduksi secara
konstitutif, protein yang diproduksi secara induktif dan protein yang diproduksi
kontitutif dan induktif.
5) Hasil pemeriksaan total protein probandus dengan menggunakan spektrofotometer
dengan nilai faktor 19,0 dan panjang gelombang 546 nm adalah berada dalam kisaran
normal.
6) Aplikasi klinis yang berhubungan dengan total protein dalam darah yaitu diantaranya
hepatitis akut dan diare osmotik
DAFTAR PUSTAKA
Ascalbiass. 2010. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok Digestive.
Purwokerto: Laboratorim Biokimia Kedokteran FKIK Unsoed: 13 - 15.
Chen, Xei et al. 2005. Endogenous Protein Kinase Inhibitor Terminates Immediate-early
Gene Expression Induced by cAMP-dependent Protein Kinase. (PKA) Signaling. The
Journal of Biochemical Chemistry. vol 28 ; 2700 – 2707.
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 895-
905.
Murray, Robert K.,Granner, Darly K., Mayes, Peter A., Rodwell, Victor W.
2003. Harper’s Ilustrated Biochemistry. London: Lange Medical
Books/ McGraw-Hill.
Murray,K Robert . 2009 . Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Ronald A. Sacher, Richard A. McPherson. 2000. Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan, Laboratorium edisi 11. Jakarta: EGC. 311-313
Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal
73.
Sanityoso, Andri. 2006. Hepatitis Virus Akut, Hepatobilier dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : FK-UI.
Sutadi, S.M. 2003. Diare Osmotik : Diare Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara.
Wang, wei et al. 2007. Excess Capacity of the Iron Regulatory Protein System. The Journal
of Biochemical Chemistry. vol 282 ; 24650 – 24659