laporan Biofar piroksikam.docx

28
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4 AKWILA ALBERT D.P (G1F011056) YULIA NUR ULFA (G1F011058) INAS KHAIRANI (G1F011060) FEBRIANA N (G1F011062) KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI

Transcript of laporan Biofar piroksikam.docx

Page 1: laporan Biofar piroksikam.docx

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

AKWILA ALBERT D.P (G1F011056)

YULIA NUR ULFA (G1F011058)

INAS KHAIRANI (G1F011060)

FEBRIANA N (G1F011062)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

2013

Page 2: laporan Biofar piroksikam.docx

PERCOBAAN II

UJI DISOLUSI TABLET PIROKSIKAM

I. TUJUAN

1. Mengetahui cara uji disolusi tablet biasa (immediate release).

2. Mengetahui cara uji disolusi tablet salut (modified release).

3. Dapat melakukan perhitungan dan menganalisis hasil uji disolusi tablet biasa.

II. ALAT dan BAHAN

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat disolusi, timbangan analitik,

botol timbang, spatula, batang pengaduk, beaker glass, gelas ukur, pipet tetes, labu

pengenceran, pipet volum, filler, flakon,corong, kertas saring, stopwatch, dan

spektrofotometer.

Bahan yang di gunakan dalam praktikum kali ini adalah akuadest, dapar posfat,

larutan PBS, tablet piroksikam

III. CARA KERJA

IV. DATA PENGAMATAN

V. PERHITUNGAN

VI. PEMBAHASAN

MONOGRAFI BAHAN

     Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu

kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun

demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek

Page 3: laporan Biofar piroksikam.docx

samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut

juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs) (Anonim,2002).

            Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa

kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek samping. Ternyata

sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan 6

biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme dan sifat dasar obat mirip

aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan (Anonim,2002).

MEKANISME KERJA PIROKSIKAM

            Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa efek terapi

maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis PG.

Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada

tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis

rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah

membuktikan bahwa PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami keruskan (Muhtadi,dkk,

2011).

Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokomiawi,

hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat

AINS secara umum tidak menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek

analgesik, anti piretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak

menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi (Muhtadi,dkk,

2011).

            Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam

arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang

berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah

kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid

yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis

tidak ada. Aspiin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini.

Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan

regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk

Page 4: laporan Biofar piroksikam.docx

menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari

(Muhtadi,dkk, 2011).

            Inflamasi sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih belum dapat

dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati.

Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan likrovaskuler, meningkatnya permeabilitas kapiler

dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah

kalor, rubor, tumor, dolor dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak

mediatpr kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT),

factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Peneitian terakhir menunjukkan autakoid lipid

PAF juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis

membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspiri dapat dikatakan tidak berefek

terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG (Mutchlear, 1991).

            Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam

jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local.

Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vascular, tetapi efek vasodilatasinya

tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin

menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses

inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni

leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten (Mutchlear, 1991).

            Rasa nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan jaringan atau

inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri

terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG meni,bulkan keadaan hiperalgesia kemudian

mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang

nyata (Mutchlear, 1991).

            Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh

efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini

dan bukannya blokade langsung (Mutchlear, 1991).

            Demam, suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat

pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam keseimbangan ini terganggu

tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu

tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti

Page 5: laporan Biofar piroksikam.docx

interleukin-1 (IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik

hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel

serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen

endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak

dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (Mutchlear,

1991).

            Efek anti inflamasi kebanyakan obat mirip aspirin terutama yang baru lebih dimanfaatkan

sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti arthritis rheumatoid,

osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip aspirin hanya

meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik,

tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan

muskulosketal ini.

           Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptic

yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek

samping ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah

iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan

menyebabkan kerusakan jaringan atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui

hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung

dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus

yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Inflamasi

diidetifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non

fisiologik (Mutchlear, 1991).

            Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :

1.            Eritem: vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh perubahan

permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding pembuluh.

2.            Ekstravasasi: keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan udem.

3.            Suppurasidan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan oleh

penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.

4.            Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk pembentukan pembuluh

darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen yang tidak berfungsi (Mutchlear, 1991).

Page 6: laporan Biofar piroksikam.docx

Masing-masing tahap diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti histamin,

serotonin, bradikinin dan prostaglandin. Kebanyakan dari gejala tersebut di atas telah dijadikan

sebagai dasar berbagai metode percobaan untuk mengevaluasi obat-obat antiinflamasi. Gejala

eritem dapat diuji pada marmot yang disinari ultraviolet: pembentukan udem dapat dilakukan

pada kaki tikus dengan penyuntikan seperti karegen, kaolin, serotonin, dekstran dll (Mutchlear,

1991).

Efek terapi maupun efek samping dari obat-obat anti-inflamasi ini tergantung dari

penghambatan biosintesis prostaglandin. Secara in vitro obat-obat AINS menghambat berbagai

reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti-inflamasinya belum

jelas. Selin itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrian, yang diketahui

berperan dalam inflamasi (Mutchlear, 1991). Golongan obat ini menghambat enzim

siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat

menghambat siklooksigenase dengan cara berbeda.

Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam. Waktu

paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi

berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani

siklusenterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-

kira sama dengan kadar sinovia (Muhtadi,dkk, 2011).

Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna, antara lain yang berat adalah

tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala dan eritem kulit.

Piroxicam tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil, penderita tukak lambung dan penderita

yang sedang minum antikoagulan. Indikasi piroxicam hanya untuk penyakit inflamasi sendi

misalnya arthritis reumatoid, osteoarthritis, spondilitis ankilosa dengan dosis 10-20 mg sehari

(Muhtadi,dkk, 2011).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia

zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan

pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya

ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.

Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan

transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan

padat.

Page 7: laporan Biofar piroksikam.docx

Teori disolusi yang umum adalah:

1.      Teori film (model difusi lapisan)

2.      Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

3.      Teori Solvasi terbatas/Inerfisial

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan

utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif

dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi

per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang

dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan

waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897

dan diformulasikan secara matematik.

Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan

jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di

sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat

menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi

pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan

kemungkinan perbaikan  kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien

difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini

juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat

sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif

ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif

ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.

Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya

kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak

teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun

umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.

Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:

Ø   Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Page 8: laporan Biofar piroksikam.docx

Ø   Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Ø   Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :

Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D

Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan

menaikkan nilai Cs

UJI DISOLUSI

Uji disolusi merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam merancang suatu sediaan

tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang memiliki disolusi

yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah

obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi

dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik

mutu yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek

sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan suatu parameter penting dalam pengembangan produk

dan pengendalian mutu obat (Isnawati, 2003).

Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi

partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan

berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya

menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini

tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan

dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan

bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi

dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.

Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet

melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan

efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,

dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak

bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.

Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan

mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi

Page 9: laporan Biofar piroksikam.docx

sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan

mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.;

ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang

diperlukan; pemakaian  manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan

keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak

sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan

dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,

terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda

pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro,

sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua

sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :

1.      Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%

2.      Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan

dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.

Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet

atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat

memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya.

Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di

dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi.

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan

sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung

oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan

zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari

sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan

emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam

media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik.

Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan

kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama

terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :

Zat aktif mula-mula harus larut

 Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna

Page 10: laporan Biofar piroksikam.docx

Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting

dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan

wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil

dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu

peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat

memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk.

Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan

menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :

a)      Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model

disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu

model yang berhasil meniru situasi invivo

b)      Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan

absorbsinya sesuai.

c)      Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk

produk akhir.

d)      Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan

solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.

e)      Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.

f)        Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif

yang baru.

g)      Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo

sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam

biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem.

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana

tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada

tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan

difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi

sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu

kecepatan.

Faktor yang mempengaruhi Disolusi :

1.Suhu

Page 11: laporan Biofar piroksikam.docx

Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat

disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.

2.Medium

Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak

larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan

untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan

kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk

mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap

pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.

Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan.

Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet,

sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.

3.Kecepatan Perputaran

Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan

pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang

dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa

kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium

daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya

dihindarkan.

4.Ketepatan Letak Vertikal Poros

Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan

ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat

menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat

di dalam bejana.

5.   Goyangnya poros

Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat

menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan

bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena

adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.

6.      Vibrasi

Page 12: laporan Biofar piroksikam.docx

Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah

vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari

busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan

harus dicek.

7.      Gangguan pola aliran

         Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan

hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama

percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya.

8.      Posisi pengambil cuplikan

         Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung

(atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm

dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik

pengadukannya.

9.      Formulasi bentuk sediaan

        Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu

disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas

atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran

partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama

dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor

kekerasan tablet.

10.  Kalibrasi alat disolusi

        Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah

satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan

pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet

prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau

keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan

sekali.

Terdapat dua tipe alat uji disolusi, yaitu:

a. Tipe keranjang

Page 13: laporan Biofar piroksikam.docx

Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan

lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan

keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang

sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada

37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air

halus dan tetap.

b. Tipe dayung

Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai

pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada

setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.

Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi

spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan

selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat

disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah

sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan

kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Anonim, 1995

PERBAIKAN KELARUTAN

Untuk menghasilkan kerja terapetik yang optimal maka kelarutan bahan obat dalam

konsentrasi yang memadai seringkali menjadi persyaratan penting. Prinsip untuk perbaikan

kelarutan:

a. Penghalusan

Melalui penghalusan, yang mengarahkan kepada pembesaran permukaan yang tidak

terelakkan, dapat sangat mendukung kepada suatu perbaikan perbandingan

kelarutan. Hal tersebut berlaku terutama untuk bahan suakr larut, dimana dapat

diperlukan suatu mikronisasi.

b. Pengeringan sembur

Pada pengeringan sembur dari larutan cair umumnya membentuk pola berongga 920-

200 μm), yang memiliki suatu karakter busa kering dan disebabkan oleh pembesaran

permukaan yang dihasilkan dengan demikian, memberikan suatu kelarutan yang

cepat.

Page 14: laporan Biofar piroksikam.docx

c. Pemancang sembur

Peningkatan kecepatan melarut bahan obat sangat sukar larut dihasilkan melalui

semburannya bersama-sama dengan polimer hidrofil (metilselulosa, natrium karboksi

metilselulosa, polietilenglikol, polivinilpirolidon).Meningkatnya kecepatan melarut

terdapat dalam perbandingan langsung terhadap bagian bahan aktif yang terdapat

secara kristalografis amof dalam produk sembur.

d. Pemancang leburan, kopresipitas

Juga melalui leburan bersama suatu bahan obat dengan suatu bahan pembawa

(misalnya polietilenglikol 6000 atau urea) dan akhirnya leburan dibekukan

(pemancang leburan) dapat meningkatkan kelarutan.

e. Penarikan pada pembawa padat

Dengan prosedur teknik ini juga dapat dihasilkan suatu peningkatan nyata kecepatan

melarut pada suatu deret bahan obat sukar larut (misalnya digitoksin, benzokain).

f. Pembentukan garam larut air

Metode yang telah lama digunakan ini dijumpai penggunaannya secara luas pada

bahan obat base seperti alkaloida (misalnya pilokarpin hidroklorida, morfin

hidroklorida) dan asam (misalnya natrium benzoat).

g. Pemasukan gugus polar ke dalam molekul

Untuk penghidrofiliksasian dapat dimasukkan gugus polar ke dalam molekul.Hal

tersebut berlangsung melalui karboksilasi, sulfurisasi, sulfonisasi, aminsai, amidasi,

metansulfonisasi hidroksilasi, alkilasi, polioksietilasi dan sebagiannya.

h. Pembentukan kompleks

Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih

penting dari baha obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya, dan tersatukannya,

sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok.

i. Penambah senyawa hidrotropi

Efek yang dinyatakan sebagai hidrotropi   pada hakekatnya adalah diarahkan kembali

terhadap efektifnya ikatan jembatan hidrogen, sebagian terdapat pembentukan

kompleks dan terhadap turunnya tergangan permukaan.

j. Penglarutan dari larutan tensid

Page 15: laporan Biofar piroksikam.docx

Pada bahan yang nyata-nyata hidrofob (misalnya fenasetin, propifenazon) suatu

penghalusan partikel tidak mengarahkan kepada suatu peningkatan, melainkan

kepada suatu penurunan dari perbandingan kelarutannya.Hal ini mempunyai

penyebabnya, bahwa dengan berlangsungnya pembesaran permukaan sekaligus batas

antarpermukaan yang tidak dapat dibasahi meninggi, di mana masuknya ke dalam

larutan sangat dihambat.

k. Pensolubilisasian

Pensolubilisasian adalah suatu perbaikan kelarutan melalui senyawa aktif permukaan,

yang pada tempatnya, untukmerubah bahan obat kurang larut air atau bahan obat tak

larut air menjadi larutan dalam air jernih, setinggi-tingginya beropalesensi, tanpa

menjalani suatu perubahan struktur kimia obat ( Lachman, 1994 ).

Piroksikam termasuk BCS (Biopharmaceutic Classification System) kelas II yang

memiliki karakteristik kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus tinggi sehingga

mempengaruhi proses absorbsi dan laju disolusinya (Sari, 2004). Piroksikam juga termasuk obat

dosis rendah dengan dosis lazim 10-20 mg per hari sehingga jumlah dan macam eksipien yang

digunakan dalam formulasi tablet berpengaruh besar terhadap efektivitas obat ini.

PRINSIP SPEKTROFOTOMETER UV

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suaktu interaksi antara radiasi

elektomagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan

dalam analis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan

serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm,

daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah

inframerah 2,5-40 μm atau 4000-250 cm-1 (Anonim, 1995).

Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif

jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari

panjang gelombang. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang

gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang

ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Nurfaisyah, 2011).

Prinsip spektrofotometri didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi

elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan

Page 16: laporan Biofar piroksikam.docx

teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Dalam

mempelajari analisis kuantitatif dan absorbsi, berkas radiasi dikenakan pada sampel dan

kemudian intensitas radiasi yang diteruskan diukur. Radiasi yang diabsorbsi oleh sampel

ditentukan dengan membandingkan intensitas dari berkas radiasi yang diteruskan bila ada

zat penyerap. Jika radiasi mengenai sampel memiliki energi sesuai dengan yang dibutuhkan

untuk menyebabkan terjadinya perubahan energi, maka terjadilah absorbsi (Sudarmadji dkk.,

1996).

CARA KERJA

Medium disolusi yang digunakan adalah HCl sebanyak 900 mL yang dimasukkan ke

dalam labu disolusi. Cara pembuatannya yaitu 4 ml HCl 37 %. ditambah akuades hingga 1000

mL. Larutan diatur pada pH 1,2 ± 0,05 (Anonima, 1995).

Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan dissolution tester tipe II yaitu tipe dayung.

Kecepatan putar pengaduk dayung diatur pada kecepatan 100 rpm. Suhu percobaan

dipertahankan berada pada 37-38 °C (Anonim, 1994).

Sampel hasil disolusi tablet piroksikam diambil dari medium disolusi pada menit ke 5, 10, 30,

45, 60, dan 90, masing-masing sebanyak 5,0 mL. Sampel yang diambil kemudian diganti dengan

medium disolusi baru dalam jumlah yang sama yaitu 5,0 mL sehingga volume medium disolusi

tetap (Kiran et al., 2010). Sampel yang telah diperoleh dari menit ke 5, 10, 30, 45, 60, dan 90

diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum

piroksikam dalam medium disolusi. Hasil absorbansi yang diperoleh dimasukkan dalam

persamaan regresi linier untuk memperoleh konsentrasinya. Sampel uji disolusi dibaca

absorbansinya pada panjang gelombang maksimum sehingga diperoleh absorbansi sampel.

Page 17: laporan Biofar piroksikam.docx

Dapus (BUAT YANG TIAP PARAGRAF BELUM ADA

DAPUS.NA SILAHKAN KOPI MILIH DARI DAFTAR

DAPUS, DAN DAPUS.NA YANG TIDAK DIPAKAI

TOLONG DIHAPUS !!!! TERIMAKASIH… )

Anonim, 1994, The Pharmaceutical Codex, 12 th ed, The Pharmaceutics Press, London:1010-1011.

Anonima, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta:488-

489,515,683,687,771.

Anonim. 2002. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Isnawati, A., 2003, Profil Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Kotrimoksazol Generic Berlogo dan

Tablet Dengan Nama Dagang, Media Litbang Kesehatan, XIII(2), 21.

Kiran, N.R., Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam

Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621. Kiran, N.R.,

Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam

Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621.

Muhtadi, A, Anas Subarnas, Sri Adi Sumiwi, Rini Hendriani, Ellin Febrina, Gofarana Wilar . 2011.

Penuntun Praktikum Farmakologi. Jatinangor: Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi

UNPAD.

Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.

Sari, Retno, 2004, Peningkatan Laju Disolusi Piroksikam dengan Sistem Dispersi Padat Piroksikam-

HPMC 3 Cps., Majalah Farmasi Airlangga 4(1): 16-19.

Amir, Syarif,dkk, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi kelima, Gaya Baru, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, DepartemenKesehatan RI, Jakarta.

Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.

Day, R.A dan A.L Underwood, 1986, Analisa Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.

Gandjar, I. G. dan Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces , Edisi 18th, Marck

Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.

Page 18: laporan Biofar piroksikam.docx

Khopkar, S.M., 2003, Konsep Dasar Ilmu Kimia Analitik, Universitas Indonesia, Jakarta.

Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph, 1994, Teori dan Praktek Farmasi

Industri Edisi ketiga, Penerjemah  Siti Suyatmi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Nurfaisyah, 2011, Spektrofotometri UV-Visible serta Aspek Kualitatif dan Kuantitatifnya,

http://nurfaisyah.web.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2013.

Shargel, dan Yu, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, diterjemahkan oleh Dr.

Fasich, Apt. danDra. SitiSjamsiah, Apt., edisi II, 96-100, 167-169,181-189, Airlangga

University Press, Surabaya.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi, 1996, Prosedur Analisa Bahan Makanan dan

Pertanian, Liberty, Yogyakarta.

Sulistyaningrum I H et al, 2012, Uji sifat fisik dan disolusi tablet isosorbid dinitrat 5 mg sediaan

generik dan sediaan dengan nama dagang yang beredar di pasaran, Majalah Farmasi dan

Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 21 – 30

Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja, 2002, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-

efek Sampingnya, Edisi kelima, Cetakan kedua, PT. Elex Media Komputindo Kelompok

Gramedia, Jakarta.

Voigt, 1995,  Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.