Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

13

description

 

Transcript of Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

Page 1: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011
Page 2: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

• Kerangka Kebijakan Negara belum mementingkan hak

dan akses pengetahuan bagi masyarakat marjinal 2

• Komodifikasi perkakas pengetahuan dan gap pengetahuan 2

• Otoritas Produksi Pengetahuan, Kebebasan Berekpresi

dan Organisasi masyarakat sipil 3

Laporan Akhir Tahun 2011Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

I. Sekilas tentang RUU Konvergensi Telematika 5

II. Belajar dari UU ITE 6

III. Karena Kita adalah Warga Negara bukan Sekedar Konsumen 7

IV. Riset Tentang Konvergensi Telematika dan Media 8

V. Membangun Lingkar Belajar Telematika 17

VI. Membangun Opini di Media Massa 21

VII. Pembelajaran dari Proses Advokasi 23

Page 3: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

2 3

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

KATA PENGANTAR

Kerangka Kebijakan Negara belum mementingkan hak dan akses pengeta-huan bagi masyarakat marjinal

Pasal 28F UUD menjamin “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi

dan lingkungan sosialnya.”

RUU konvergensi, dalam salah satu penjelasaannya tertulis ‘Tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market)’.

Salah satu dasar pertimbangan dalam RUU Konvergensi tidak konsisten dengan konstitusi,dan menjadikan paradigma telematika, dari menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang diperdagangkan. Ini juga jelas terlihat dalam RUU konvergensi dimana kewajiban pelayanan universal yang menjadi tanggung jawab pemerintah, dan merupakan hak warga negara, namun yang diatur dalam RUU hanya sebatas perlindungan konsumen, sehingga seolah-olah hak warga negara secara umum direduksi dan yang dija-min hanya hak pengguna.

Padahal saat ini masih terjadi ‘digital-inclusion’ dimana situasi akses informasi dan pengetahuan masih terkonsentrasi di Indonesia bagian barat. Pemerintah mencoba men-gatasi problem tersebut dengan konsep USO (Univesal Service Obligation) atau menye-diakan layanan dasar telematika bagi penduduk-penduduk di kawasan terpencil termasuk di Indonesia timur. Namun pelaksanaan USO pun terancam gagal atau tertunda-tunda, karena para perusahaan telekomunikasi tetap menilai membangun jaringan telematika di daerah terpencil dan kawasan timur Indonesia adalah sesuatu yang tidak menguntungkan secara ekonomi.

Dengan situasi diatas, jelaslah RUU Konvergensi akan semakin menjauh dari UUD.

Komodifikasi perkakas pengetahuan dan gap pengetahuanSatuDunia melihat bahwa Kebijakan meliberalisasi telematika, akan berdampak bukan

hanya pada semakin lebarnya gap digital, tetapi juga gap pengetahuan (K-gap), karena akses terhadap internet merupakan akses terhadap pengetahuan (dan informasi, tentu-nya). Internet dalam hal ini dilihat sebagai perkakas pengetahuan, yang penyediaannya harus memenuhi hak semua warga Negara atas pengetahuan dan informasi.

RUU konvergensi merupakan produk kebijakan yang tidak menggunakan perspektif pengetahuan dan perspektif HAM. Ditinjau dari perspektif pengetahuan, maka liberalisasi telematika akan menutup akses terhadap pengetahuan dan berkomunikasi (akses infor-masi dan pengetahuan) masyarakat marjinal.

Otoritas Produksi Pengetahuan, Kebebasan Berekpresi dan Organisasi masyarakat sipil

Di era konvergensi media, dominasi informasi dan pengetahuan di ruang publik menjadi sangat mungkin terjadi. Di dalam praktek bermedia, Konvergensi media merupakan logika teknologi yang bisa diterjemahkan dalam logika ekonomi sebagai Konglomerasi media. Konglomerasi media akan semakin membuat kecendrungan media menjadi semakin tidak independen. Isu tentang kepemilikan media menjadi penting untuk dicermati, karena se-orang konglomerat media bisa memiliki stasiun televisi, media massa, portal berita. Mereka juga menyebarkan informasi dan pengetahuan (wacana) yang ada dimedia tersebut melalui situs jejaring sosial, macam FB dan Twitter, untuk membangun opini publik.

Wikipedia, Wikileaks, media alternatif, citizen journalisme, cyberactivisme merupakan bentuk alternatif untuk menandingi arus informasi dan pengetahuan yang mainstream di ruang publik.

Sayangnya di Indonesia, bentuk-bentuk dan perspektif alternatif tersebut, masih be-lum mampu menandingi yang mainstream, apalagi membangun opini publik, karena masih lemah dari sisi intensitas, kualitas dan kredibilitas. Dalam kasus Prita, peran media main-stream masih kuat membantu karena kebetulan tidak berbenturan secara langsung dengan kepentingan pemilik media, lain halnya dengan kasus Lapindo, misalnya.

Bila menganalisi fenomena diatas dari perspektif pengetahuan, maka jelas terdapat per-tarungan dalam Otoritas Produksi Pengetahuan. Arena pertarungan akan sulit dimenang-kan bila kelemahan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam membangun ruang bertu-tur dengan masyarakat, masih terjadi. Di sisi lain, konvergensi media (baca konglomerasi media) akan memberikan otoritas produksi pengetahuan dan informasi yang lebih banyak kepada kepentingan pemilik media, daripada kepentingan masyarakat, terlebih masyarakat marjinal.

Otoritas produksi pengetahuan sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi (FOE). Pasal UU ITE mempunyai masalah yang berpotensi mengkriminalisasi kekebasan berkspresi di ruang publik on-line. Berbeda dengan pers, yang dilindungi UU Pers, publik, bloggers dan OMS yang beropini dan berkampanye di ruang publik, berpotensi untuk ter-ancam pidana dengan tuntutan penjara maksimal 10 tahun, atau denda 1 milyar rupiah.

Seperti juga RUU konvergensi, UU ITE merupakan kebijakan Negara yang juga tidak menggunakan perspektif pengetahuan dan perspektif HAM, sehingga membangun kondisi yang tidak kondusif terhadap otoritas produksi pengetahuan yang lebih terbuka bagi be-ragam ekspresi (konten) di ruang publik on-line.

Untuk itu, SatuDunia melihat pentingnya untuk mengawal proses pembuatan kebijakan terkait dengan TIK, karena akan mempengaruhi bagaimana hak masyarakat dan akses atas pengetahuan dapat dijamin oleh negara. Laporan akhir tahun ini melihat salah satu kebijakan TIK, yaitu RUU Konvergensi, yang saat ini masih dalam daftar prolegnas. Satu-Dunia berharap bahwa laporan Akhir Tahun ini akan membantu para pihak untuk mema-hami dan menyadari dampak dari RUU Konvergensi.

Oleh:Rini NasutionDirektur Satu Dunia

Page 4: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

4 5

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

Laporan Akhir Tahun 2011Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

Karena Kita adalah Warga Negara, Bukan SekedarKonsumenCopyleft 2011

Team Penyusun:Rini Nasution, Firdaus Cahyadi, Luluk Uliyah, Sugeng, Anwari, Yohan, Misan, Jumono

I. Sekilas tentang RUU Konvergensi Telematika

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika) begitu pesat akhir-akhir ini. Pesatnya perkembangan teknologi telematika itu juga dirasakan di Indone-sia.Pesatnya perkembangan teknologi telematika itu kini mengarah ke konvergensi (peny-atuan). Merujuk definisi konvergensi dari European Union, OECD, ITU,1 konvergensi dapat dipandang sebagai perpaduan layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan hingga diperoleh nilai tambah dari lay-anan tersebut.

Contoh konvergensi telematika adalah ketika kita dapat menonton televisi dan mendengarkan radio via i nternet. Tidak hanya itu, kita juga bisa berkomunikasi secara au-dio visual melalui chating melalui internet (skype). Internet adalah kata kunci dari konver-gensi telematika itu. Internel Protocol Addres (IP) adalah platform dasar dari konvergensi telematika.

Penetrasi pengguna internat di Indonesia begitu pesat. Pada tahun 2011, penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 40-45 persen. Padahal di tahun 2010 lalu rata-rata penetrasi penggunaan Internet di kota urban Indonesia masih 30-352 persen

Sumber gambar: Kompas.com

Dari grafik di atas nampak bahwa terjadi peningkatan penetrasi pengguna internet pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Sekilas dari grafik di atas memperlihatkan bah-wa penetrasi pengguna internet paling banyak di daerah Medan (Sumatera) dan terkecil di Makassar (Indonesia Timur). Namun bila daerah prosentase daerah Jakarta dan Bodetabek (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) digabung, maka penetrasi tertinggi pengguna internat berasal dari kawasan Jabodetabek.

Terkait semakin tingginya pertumbuhan pengguna internet, pemerintah merasa perlu 1 http://biginaict.wordpress.com/2010/11/01/ruu-konvergensi-belum-konvergen/2 http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/16534635/Naik.13.Juta..Pengguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Orang

Page 5: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

6 7

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

membuat kebijakan terkait dengan telematika. Sebelumnya pemerintah telah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun dengan perkembangan teknologi telema-tika yang makin konvergen ini pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan baru yang khusus terkait dengan konvergensi telematika. Muncullah kemudian Rancangan Undang Undang (RUU) Konvergensi Telematika dari pemerintah.

Meskipun platform dasar dari persoalan konvergensi telematika ini adalah internet (IP), persoalan konvergensi telematika bukan hanya sekedar persoalan teknologi. Konver-gensi telematika juga telah mendorong para pemilik media untuk lebih memperkuat bangu-nan dari konglomerasi medianya. Hal inilah kemudian yang kemudian menjadi temuan dari riset kedua Satudunia.

II. Belajar dari UU ITE

Sebelum muncul RUU Konvergensi Telematika, Indonesia telah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam perjalanannya UU ITE kemudian menuai persoalan di publik. Pangkal dari persoalan itu adalah terdapatnya pasal tentang pencemaran nama baik dalam UU itu.

Beberapa warga telah menjadi korban dari pasal karet pencamaran nama baik itu. Na-mun yang kemudian menyedot perhatian publik adalah kasus Prita Mulyasari. Prita adalah seorang pasien rumah sakit internasional yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit tersebut. Kemudian Prita mengungkapkan keluahannya itu melalui email ke kawan-kawannya. Namun kemudian email itu kemudian menyebar kemana-mana hingga akhirnya sampai ke rumah sakit yang bersangkutan.

Akhirnya rumah sakit yang bersangkutan menggunakan instrumen dari pasal karet pencemaran nama baik itu untuk memidakan Prita Mulyasari. Saat kasus itu muncul di publik, menguatlah dukungan terhadap Prita melawan rumah sakit internasional itu. Mun-cullah gerakan dukung Prita di facebook, pengumpulan koin prita dan lima OMS yang bergerak di isu HAM mengirimkan Amicus Curiare (Komentar Tertulis) kepada Pengadilan Negeri Tangerang yang mengadili kasus Prita Mulyasari. Kelima OMS itu adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN).

Sebelumnya, juga sudah muncul upaya masyarakat untuk melakukan peninjauan kembali atas pasal karet pencemaran nama yang ada di UU ITE melalui Mahkamah Konsti-tusi. Namun Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan gugatan itu.

Artinya, masyarkat yang melakukan advokasi terhadap UU ITE baru bergerak ketika UU itu sudah disahkan dan menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat. Namun ketika UU itu masih disusun, tidak banyak atau bahkan tidak ada OMS yang mengawalnya. Nah

belajar dari kasus UU ITE itulah maka SatuDunia berinisiatif membangun partisipasi OMS dan publik untuk terlibat atau mengawal penyusunan UU Konvergensi Telematika sejak dari awal.

III. Karena Kita adalah Warga Negara bukan Sekedar Konsumen

SatuDunia menilai bahwa OMS harus ikut mengawal RUU Konvergensi Telematika ini. Penilaian itu muncul setelah SatuDunia dilibatkan dalam konsultasi publik penyusunan RUU ini. Konsultasi publik yang membahas RUU Konvergensi Telematika itu dilaksanakan di Jakarta, 20 Oktober 2010.

Pada saat itu SatuDunia merasa ada beberapa hal yang perlu dikritisi terkait dengan draft RUU itu. Pertama, adanya reduksi hak warga negara menjadi sekedar hak sebagai konsumen produk telematika. Hal itu nampak tidak adanya secara explisit pasal mengenai hak warga negara atas pelayanan universal atas layanan telematika.

Di dalam Pasal 38 draft RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan mengenai kewajiban negara untuk membangun pelayanan universal3. Tapi di dalam RUU itu tidak dis-ebutkan apa yang menjadi hak warga negara bila kewajiban negara itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, hak warga negara untuk menikmati layanan dasar telematika ini akan mudah dilanggar dalam praktiknya. Praktis yang diatur dalam draft RUU Konvergensi Telematika itu hanyalah hak konsumen bukan warga negara.

Hal kedua yang perlu dikritisi dari RUU ini adalah upaya yang ingin mereduksi per-soalan telematika hanya sekedar komoditas. Dalam penjelasan RUU itu disebutkan salah satu yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan se-makin besar melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market)”.

Hal inilah kemudian yang membuat disingkirkannya hak warga negara untuk menikma-ti layanan universal telematika di RUU Konvergensi Telematika. Karena mereduksi telema-tika hanya sebagai komoditas maka yang harus dilindungi adalah hak konsumen bukan warga negara.

Dari titik inilah kemudian SatuDunia merasa bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS) harus berperan mengawal RUU Konvergensi Telematika. Jangan sampai kemudian RUU ini justru menjadi payung hukum untuk menyingkirkan hak warga negara.

3 Kewajiban pelayanan universal telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika.

Page 6: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

8 9

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

IV. Riset Tentang Konvergensi Telematika dan Media

Untuk mendorong keterlibatan OMS dalam mengawal kebijakan RUU Konvergensi Telematika tentu bukan semudah membalikan telapak tangan. SatuDunia menilai perlu ada semacam riset pendahuluan terkait RUU Konvergensi Telematika ini beserta stakeholder yang terkait dengannya.

Pada akhir Maret 2011, SatuDunia mencoba mengadakan riset pendahuluan menge-nai RUU Konvergensi Telematika. Selain melakukan studi literatur, SatuDunia juga melaku-kan survei online dan wawancara dalam riset ini. Survei tersebut bertujuan untuk melihat bagaimana pandangan publik, dalam hal ini pengguna internet, terhadap RUU Konvergensi Telematika.

Beberapa responden yang telah mengisi survei online tersebut selain individu juga mereka yang tergabung dalam organisasi seperti, Perkumpulan Pikul, Just Associates, YLKMP NTB, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, APJII, DEKOPIN, Universitas Muhammadiyah Malang, Yayasan Langit Tujuh, Forum Warga Kota Jakarta, IDWiBB, YAKOMA - PGI (Pe-layanan Komunikasi Masyarakat Persekutuan gereja-gereja di Indonesia), P3SD Padang, KPAID Kalimantan Barat, ASPIKOM, Blogger Bengawan, Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (Jaringan KuALA) dan beberapa organisasi lain.

Jumlah responden 49 orang. Memang belum mewakili publik pengguna internet. Na-mun setidaknya bisa menjadi gambaran awal mengenai presepsi publik terhadap penyusu-nan RUU Konvergensi Telematika

Mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir sarjana (54%), disusul pasca sar-jana/S2 (23%), SMA (8%), doktoral/S3 (6%), Diploma (4%) dan lainnya (4%). Mayoritas responden menggunakan internet dalam sehari lebih dari 5 jam (63%).

Mayoritas responden juga mengetahui bahwa saat ini pemerintah sedang membahas RUU Konvergensi Telematika (69%). Sementara yang belum atau tidak mengetahui se-banyak 29%. Dan hanya 2% yang tidak peduli pembahasan RUU Konvergensi Telematika. Mayoritas responden mengetahui tentang RUU Konvergensi Telematika melalui media on-line (71%).

Page 7: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

10 11

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

Mayoritas responden mengatakan bahwa kebijakan telematika adalah sesuatu yang penting bagi masyarakat (90%). Meskipun begitu ketika ditanya apakah mereka juga mengikuti perkembangan RUU Konvergensi Telematika? Sebanyak 56% responden men-yatakan tidak mengikuti. Sementara yang mengikuti perkembangan kebijakan telematika ada 44% responden.

Sebanyak 69% responden juga menyatakan tidak mengetahui bagaimana berparti-sipasi dalam penyusunan RUU Konvergensi Telematika. Sementara yang mengetahui bagaimana cara berpartisipasi hanya 31%. Artinya, meskipun ada responden yang telah mengikuti perkembangan RUU Konvergensi Telematika tapi diantara mereka ada yang tidak mengetahui bagaimana mereka bisa berpatisipasi dalam penyusunan RUU tersebut.

Mayoritas responden pun ternyata juga belum atau tidak pernah mengikuti konsultasi publik dari RUU Konvergensi Telematika (90%). Hanya 10% responden yang menyatakan pernah mengikuti konsultasi publik dari RUU Konvergensi Telematika.

Mungkin karena itulah hanya sedikit responden yang menyatakan bahwa pembahasan RUU Konvergensi Telematika ini terbuka dan partisipatif (15%). Sebanyak 44% responden menilai bahwa pembahasan RUU Konvergensi Telematika ini agak tertutup dan kurang par-tisipatif. Sementara 29% responden dengan tegas menilai bahwa pembahasan RUU Kon-vergensi Telematika ini tertutup dan tidak partisipatif. Sementara hanya 13% responden yang menilai di luar semua itu.

Temuan selanjutnya dari survei itu adalah beragam hal yang berpotensi menjadi per-soalan dalam RUU Konvergensi Telematika itu. Pertama, secara teknis, RUU Konvergensi telematika ini dinilai tidak memiliki platform yang jelas. Harusnya platform dari sebuah konvergensi telematika adalah IP (Internet Protocol Address). "Seharusnya dalam RUU Konvergensi Telematika, infrastruktur itu hanya satu yaitu IP," jelas Muhammad Salahud-dien dari ID Sirti4 , "Harusnya yang lebih banyak diatur adalah IP. Tapi yang sekarang kan masih belum jelas, masih kabur, jadi konvergensinya dimana?"

Kedua, persoalan pembagian penyelenggara telematika. "Persoalan pembagian pe-nyelenggara telematika di RUU Konvergensi ini juga menimbulkan pertanyaan," ujar Donny BU dalam wawancaranya dengan SatuDunia, di kantor ICT Watch Jakarta. Persoalan terkait dengan hal itu menurut Donny berasal dari Pasal 8 ayat 1 draft RUU Konvergensi Telematika.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan Telematika terdiri atas. Pe-nyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial dan Penyelenggaraan Telematika yang bersifat non-komersial. Semua penyelenggaraan telematika menurut RUU Konvergensi Telematika dianggap komersial, kecuali pertahanan dan keamanan nasional, kewajiban pelayanan universal, dinas khusus dan perseorangan.

Sedangkan menurut penjelasan pasal 8 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan

4 ID Sirti: Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure. Adalah lembaga yang bertugas melakukan penga-wasan keamanan jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet.

Page 8: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

12 13

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

bahwa yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial” ada-lah penyelenggaraan telematika yang disediakan untuk publik dengan dipungut biaya guna memperoleh keuntungan (profit oriented). Dan yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat non-komersial” adalah penyelenggaraan telematika yang dise-diakan untuk keperluan sendiri atau keperluan publik tanpa dipungut biaya (non-profit ori-ented).

Sementara Pasal 13 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa penyeleng-garaan Telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib mendapat izin dari Menteri berupa perizinan individu atau perizinan kelas.

Selain itu dalam pasal 12 juga disebutkan bahwa setiap penyelenggara telematika wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telematika yang diambil dari persentase pen-dapatan kotor (gross revenue).

Sementara itu menurut RUU Konvergensi Telematika penyelenggaraan Layanan Ap-likasi Telematika adalah kegiatan penyediaan layanan aplikasi telematika yang terdiri dari aplikasi pendukung kegiatan bisnis dan aplikasi penyebaran konten dan informasi.

"Nah pertanyaannya adalah bagaimana dengan Media Online, Situs jejaring komu-nitas seperti suarakomunitas.net, penyelenggara radio streaming (IP-Based), penyedia forum diskusi yang user generated content atau layanan darurat (emergency) seperti Air-Putih/ JalinMerapi?" tanya Donny BU.

Soal penyelenggaraan telematika ini juga pernah diutarakan oleh aktivis koalisi

Masyarakat Informasi (Maksi) dan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Margi Margiyono. "Jadi yang bisa membuat aplikasi itu hanya komersial," ujar Margiyono, "Lantas, kalau NGO membuat aplikasi bagaimana? Bukankah web termasuk juga aplikasi,"

Dalam RUU Konvergensi Telematika itu disebutkan bahwa baik penyelenggara non komersial dan komersial harus izin ke menteri. "Jadi kalau kita bikin portal/website harus izin ke menteri dan bayar BHP /Biaya Hak Penggunaan," lanjutnya.

RUU Konvergensi Telematika ini, lanjut Margiyono, jelas berpotensi menghambat ger-akan sosial digital atau klik activism dan juga jurnalisme warga. "Bagaimana tidak, untuk menjadi citizen jurnalis dan aktivis sosial digital harus mendapat izin, membayar BHP dan melakukan USO," tambahnya, "UU Pers saja menyatakan bahwa pers tidak perlu ijin, lha kok Citizen Jurnalist harus izin”

“Begitu pula pers, kecuali penyiaran, tak bayar BHP,” tambah Margiyono “Lha kok Citizen jurnalist harus bayar BHP?”

Dampak buruk RUU Konvergensi Telematika bagi organisasi non pemerintah mulai dikeluhkan oleh aktivis Combine Resource Institute. "Organisasi kami menggunakan alat dan perangkat telematika untuk pemberdayaan masyarakat (kebutuhan non komersial)," ujar Ranggoaini Jahja, aktivis Combine Resource Institute kepada SatuDunia, "Sehingga jika penerapan RUU ini akan membatasi ruang kami untuk melakukan kerja pemberdayaan,

FGD RUU Konfergensi Telematika di Kantor Yayasan TYFA

Page 9: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

14 15

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

sementara operator swasta memperlakukan jenis layanan kepada masyarakat secara sama maka organisasi kami menolak RUU ini,"

Ketiga, persoalan penguasaan negara atas telematika. Pasal 4 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa Telematika dikuasai oleh Negara dan pembinaannya di-lakukan oleh Pemerintah. “Nah pertanyaannya adalah sejauh mana penguasaan negera terhadap telematika?” Ujar Donny BU dari ICT Watch, “Apakah mampu dan mungkin, khu-susnya dalam hal development TI yang berskala global?”

Lebih jauh Donny BU mengatakan bahwa jika bicara konvergensi telekomunikasi, harusnya basisnya mengarah ke Internet Protocol (IP) based. Secara internasional IP di-pegang oleh organisasi internasional non-profit, ICANN. ICANN kemudian memberikan mandat kepada organisasi yang kredibel di tiap negara. “Di Indonesia, IP dipegang oleh APJII,” jelas Donny BU, “lantas, apakah IP ini juga akan dikuasai oleh negara?”

Penguasaan telematika oleh negara juga dipertanyakan oleh pakar telematika Onno Purbo. “Semua nomor di kontrol pemerintah termasuk IP di kontrol pemerintah,” tulis Onno Purbo dalam emailnya kepada SatuDunia,”Biasanya kalau di kontrol pemerintah urusannya setoran duit”

Keempat, persoalan hak warga negara dalam dalam RUU Konvergensi Telematika. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah persoalan hak warga negara dalam RUU Konver-gensi Telematika ini. “Jika konsep besarnya adalah hak warga negara (masyarakat luas), mengapa yang diatur lebih kental soal hak konsumen/pengguna?” ujar Donny BU, “Se-mentara hak warga negara, utamanya yang belum mendapat akses telematika, belum atau tidak diatur,”. Selengkapnya hasil riset ini dapat dilihat di website satudunia5 dan slide share6 .

Satudunia menilai hasil riset pertama itu belumlah cukup untuk melihat sejauh mana kaitan konvergensi telematika ini dengan konvergensi media. Satudunia memiliki hipotesis bahwa konvergensi telematika ini berdampak pula pada media massa ke depannya. Juli 2011, Satudunia mendapat dukungan dari Yayasan Tifa untuk program advokasi RUU Kon-vergensi Telamatika.

Dalam kerangka kerjasama itulah Satudunia kembali mengadakan riset. Riset Satu-dunia kali ini berjudul, “Kebijakan Telematika dan Pertarungan Wacana di Era Konvergensi Media”. Dalam riset ini muncul temuan bahwa konvergensi telematika dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk memperkuat struktur bangunan dari konglomerasi media.

Selain itu pula muncul temuan, bahwa konvergensi telematika juga berdampak pada menurunnya kualitas produk jurnalistik. di era konvergensi telematika ini memungkinkan seorang wartawan menuliskan berita bukan hanya untuk satu kanal informasi saja, tapi

5 http://www.satudunia.net/content/indepth-report-wajah-bopeng-ruu-konvergensi-telematika6http://www.slideshare.net/satudunia/indepth-report-wajah-bopeng-ruu-konvergensi-telematika-final

berbagai kanal sekaligus. Misalnya, seorang wartawan dapat menulis berita untuk ditampil-kan di media cetak, ditayangkan di running text televisi, disiarkan di radio dan diupload (unggah) di media online.

“Meskipun itu menurut kaidah bisnis dapat lebih efisien, namun menurut saya harus

dibatasi,” ujar Farid Gaban , “Ini akan berpengaruh pada kualitas jurnalistik, wartawan menjadi kekurangan waktu untuk menambah bahan bacaan, akibatnya berita yang dihasil-kannya pun tidak lagi kritis,”

Selain itu, menurut Farid Gaban, posisi wartawan akan semakin lemah. “Dengan membebani wartawan untuk menulis berita di berbagai kanal sekaligus, keuntungan pe-milik modal di media semakin berlipat-lipat sementara penghasilan wartawan sendiri tidak jauh berubah,” katanya, “Ini juga akan berpengaruh pada kualitas karya jurnalistik,”

Bahaya yang lain dari integrasi media cetak, televisi, radio dan online, lanjut Farid Gaban7, media massa cenderung memuaskan yang online atau yang cepat. “Sehingga orang lebih memperhatikan berita yang cepat dibanding berita yang berkualitas,” jelasnya, “Jika tidak ada pengaturan-pengaturan terkait hal ini maka, jurnalistik akan semakin han-cur, kesejahteraan wartawan makin turun dan karya jurnalistik pun makin tak berkualitas,”

Terkait dengan makin kokohnya struktur bangunan konglomerasi media di era kon-vergensi telematika, muncul pertanyaan mendasar, bagaimana publik melawan hegomoni wacana oleh media konglomerasi? Di era konvergensi telematika, publik sebenarnya me-miliki peluang untuk melawan hegomoni wacana dari media konglomerasi melalui media alternatif di internet. Namun, dalam temuan riset Satudunia menyebutkan bahwa terdapat serangkaian kebijakan telematika yang justru menghambat perlawanan dari publik itu. Se-

7 Farid Gaban adalah seorang wartawan senior. Mantan Redaktur Pelaksana Harian Republika (1992-1997) dan Majalah TEMPO (1999-2005). http://fgaban.wordpress.com/about/z

Page 10: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

16 17

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

lengkapnya laporan Satudunia dapat dibaca di website Satudunia8 dan Slide Share9 .

V. Membangun Lingkar Belajar Telematika

Di kalangan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan masyarakat umum, isu telema-tika adalah sebuah isu yang relatif baru. Isu telematika juga relatif kurang menarik karena sebagian OMS dan masyarakat menilai isu ini sangat teknis (technology heavy). Padahal, selain bersentuhan dengan teknologi, isu telematika ini sebenarnya juga bersentuhan den-gan persoalan sosial bahkan juga ekonomi-politik.

Terkait dengan itulah Satudunia mencoba membangun putaran belajar bersama men-genai isu telematika. Putaran belajar itu kemudian dinamakan lingkar belajar telematika. Hingga November 2011, ada tiga putaran lingkar belajar telematika yang telah dilakukan oleh SatuDunia.

Diskusi Lingkar Belajar Telematika pertama diselenggarakan pada Kamis, 18 Agustus 2011 di Kantor Satudunia. Diskusi Lingkar Belajar Telematika pertama itu mengambil tema, ” Kebijakan Telematika dan Masa Depan Gerakan Sosial Digital” .

Pembicara yang diundang dalam Diskusi Lingkar Belajar Telematika pertama itu ada-lah : Andreas Harsono (Yayasan Pantau) dan Margiyono (aktivis AJI dan juga Pokja Tele-matika Masyarakat Informasi/Maksi). Notulensi diskusi itu dapat dilihat di web satudunia10 .

8 http://www.satudunia.net/content/report-kebijakan-telematika-dan-pertarungan-wacana-di-era-konvergensi-media9http://www.slideshare.net/satudunia/final-report-kebijakan-telematika-dan-pertarungan-wacana-di-era-konvergensi-media-sdtifazz10 http://www.satudunia.net/content/notulensi-diskusi-lingkar-belajar-telematika-1

Ada sebanyak 21 organisasi masyarkaat sipil yang diundang dalam diskusi tersebut. Namun OMS yang diundang tidak banyak yang datang. OMS yang datang antara lain: AJI, Pattiro, PSHK, Pantau. Beberapa temuan dalam diskusi itu adalah, bahwa konvergensi telematika sangat berpengaruh terhadap menguatnya konglomerasi media. Konvergensi telematika bersentuhan dengan beberapa sektor lain, antara lain; penyiaran. Perlu alter-natif kelembagaan yang konvergen.

Diskusi Lingkar belajar Telematika ke-2 diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2011 di Kantor Satudunia. Diskusi Lingkar Belajar Telematika ke-2 ini mengambil tema, ”Blogger dan RUU Konvergensi Telematika”. Narsumber yang diundang dalam diskusi ini adalah Rapin dari ICT Watch dan Enda Nasution (Presiden Blogger Indonesia). Menjelang hari pelaksanaan diskusi, Enda Nasution menyatakan tidak bisa datang.

Ada 21 organisasi masyarkaat sipil yang diundang dalam diskusi Lingkar Belajar Tele-matika ke-2 ini. Seperti pada diskusi lingkar belajar telematika ke-2, rupanya tidak begitu banyak pula organsasi masyarakat sipil yang datang. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang datang dalam diskusi ini adalah: Yayasan Air Putih, Paramadina, MediaLink, ICT Watch, MAKSI, Yayasan 28. Adapun notulensi diskusi dapat dilihat di website Satudunia11 .

Diskusi lingkar belajar ke-3 dilakukan pada 30 November 2011, di Komnas HAM. Ling-kar belajar kali ini mengambil tema, ”Kapitalisme 2.0: Intellectual Property Right di Telema-tika”. Kenapa mengambil tema terkait dengan intellectual property right atau hak kekayaan intelektual (HKI)?

Persoalan HKI menjadi penting di telematika. Persoalan HKI ini telah menjadi isu perdagangan di dunia. Bahkan beberapa media juga telah mendapatkan gugatan hukum terkait dengan hal ini. Seperti dimuat oleh Koran TEMPO12 , Singapore Press Holding

11 http://www.satudunia.net/content/notulensi-diskusi-lingkar-belajar-ii-ruu-konvergensi-satudunia12 Koran TEMPO, 24 November 2011

Page 11: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

18 19

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

(SPH), raksasa media Singapura, mengajukan gugatan hukum mengenai pelanggaran hak cipta kepada Yahoo! Inc. Perusahaan tersebut digugat karena memproduksi berita koran tenpa ijin.

Bagi masyarakat, pengaturan mengenai HKI yang terlampau ketat juga berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan. Dan di Indonesia, pengaturan HKI ini ternyata lebih keras daripada pengaturan yang mandatkan oleh World Trade Organization (WTO).

Pada diskusi lingkar belajar telematika ini menghadirkan tiga narasumber antara lain, aktivis Third World Network (TWN) Lutfiah Hanim, penulis buku terkait intellectual prop-erty right di telematika Rudi Rusdiah, dan pakar telematika dan penggiat copy left Onno W. Purbo.

Pembicara pertama Lutfiah Hanim memaparkan dinamika ekonomi-politik global terkait pengaturan Iintellectual Property Right (IPR) di tingkat global. Menurut Hanim, ne-gara-negara berkembang ’didesak’ mengadopsi pengaturan IPR secara lebih keras daripa-da yang diatur oleh WTO. Desakan itu biasanya dilakukan melalui serangkaian perjanjian bilateral terkait dengan FTA (Free Trade Agreement).

Secara ekonomi, menurut Hanim, pengaturan yang terlalu keras dalam HKI tersebut menguntungkan negara maju dan merugikan negara berkembang. Hal itu disebabkan ka-rena negara berkembang adalah importir dari produk-produk barang atau jasa yang men-gandung IPR.

Sementara pembicara ke-2 Rudi Rusdiah, mengatakan bahwa ada indikasi interven-si terhadap Indonesia agar terkait dengan kebijakan mengenai HKI, khususnya di sektor telematika. Intervensi itu dimulai dari desakan untuk sebuah perubahan kebijakan hingga penegakan hukum di lapangan. Tujuan dari intervensi itu adalah perluasan pasar bagi produk-produk HKI di Indonesia.

Pembicara ke-3, Onno W. Purbo menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan konsep Copy Right. Menurutnya konsep Copy Right akan menghambat aliran informasi dan pengetahuan. Ketidaksetujuannya mengenai konsep Copy Right itulah salah satu alasan yang membuat ia mengundurkan diri menjadi dosen di ITB, Bandung.

Page 12: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

20 21

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi TelematikaLaporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

Sejak mengundurkan diri menjadi dosen ITB itulah ia menjadi penggiat Copy Left. Dan menurutnya, meskipun menjadi penggiat copy left dirinya tetap bisa ‘hidup’. Onno W Purbo seperti menawarkan bahwa ada alternatif untuk tetap hidup tanpa mengadopsi copy right.

Kebijakan telamatika di Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi payung hukum bagi copy right namun juga bagi copy left. Selain itu juga pengaturan copy right di telema-tika harus pula memperhatikan hak warga terhadap informasi dan pengetahuan.

VI. Membangun Opini di Media Massa

Advokasi adalah komunikasi. Itu adalah salah satu ungkapan yang melatarbelakangi upaya Satudunia membangun opini publik di media massa mainstream (arus utama). Be-berapa tulisan Satudunia terkait RUU Konvergensi Telematika pernah dipublikasi di berba-gai media massa arus utama.

Di awal tahun 2010, Satudunia menulis artikel di Harian KONTAN13 . Artikel itu ber-judul, “Revolusi Digital dan Target MDGs”. Dalam artikel itu, Satudunia ingin mengungkap-kan bahwa perlu ada sebuah sikap kritis terhadap jargon yang mengatakan bahwa perkem-bangan ICT (Information and Communication Technology) akan mendukung pencapaian target MDGs (Mellenium Development Goals).

Sikap kritis itu didasarkan pada fakta bahwa belanja produk ICT oleh kelompok ke-las menengah-bawah telah melebihi belanja kebutuhannya terhadap makanan. Sementara fakta lainnya justru menunjukan bahwa sebagian perusahaan-perusahaan ICT berasal dari negara-negara maju. Artinya, terdapat potensi uang keluar yang sangat besar yang berasal dari negara berkembang ke negara maju.

Di akhir Desember 2010, Satudunia menulis di harian Bisnis Indonesia14 dengan judul “Perlunya Meninjau Ulang Liberalisasi Telematika”. Pesan dari tulisan itu adalah bahwa lib-eralisasi telematika yang ‘kebablasan’ di Indonesia telah menyebabkan ketimpangan akses telematika di Indonesia bagian timur. Karena tidak dianggap sebagai daerah dengan po-tensi pasar yang besar, maka pembangunan infrastruktur telematika di daerah timur seperti ditinggalkan. Sebaliknya pembangunan infrastruktur di Indonesia bagian barat, khususnya Jawa begitu pesat. Padahal, bila dilihat dari kekayaan sumberdaya alam, Indonesia bagian timur lebih kaya daripada Jawa.

Pada bulan Juni 2011, SatuDunia menulis artikel di harian KONTAN15 berjudul, “Sikap Konsumtif Kita di Era Digital”. Pesan dari tulisan itu adalah keprihatinan SatuDunia terha-dap meningkatnya sikap konsumtif warga Indonesia. Dan telematika adalah salah satu alat yang cukup efektif untuk membentuk sikap konsumtif itu. Terkait dengan itulah SatuDunia mengharap munculnya aturan di sektor telematika yang membatasi penggunaan teknologi

13 Harian KONTAN, 6 Januari 201014 Harian Bisnis Indonesia, 16 Desember 201015 Harian KONTAN, 7 Juni 2011

ini untuk membangun sikap konsumtif warga.

Pada bulan Juli 2011, SatuDunia kembali menulis artikel di Harian KONTAN16 . Artikel itu berjudul, “Membebaskan ICT dari Jeratan Asing”. Pesan dari tulisan itu adalah bahwa ada kecenderungan industri telematika di Indonesia dikuasai oleh perusahan-perusahaan multinasional. Artinya, ada kecenderungan pelarian kapital dari ke luar negeri. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi sektor telematika di Indonesia yang kebablasan. RUU Kon-vergensi Telematika memiliki peluang untuk mengoreksi liberalisasi tersebut seraya mem-bebaskan telematika dari jeratan perusahaan asing.

Di harian Bisnis Indonesia17 , Satudunia kembali menulis artikel dengan judul, “Me-nyoal Konglomerasi Media Baru”. Pesan dari tulisan itu adalah bahwa konvergensi tele-matika cenderung dimanfaatkan oleh pemilik modal di media massa maintsream untuk memperkuat bangunan konglomerasi medianya. Dan persoalan konglomerasi media ini bukanlah sekedar persoalan ekonomi, namun juga hegomoni wacana.

Jika diserahkan ke hukum rimba maka, media massa konglomerasi akan selalu me-menangkan pertarungan wacana publik. Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk mengatur hal ini. Revisi UU Penyiaran, UU ITE dan RUU Konvergensi Telematika adalah pintu masuk bagi negara untuk mengatur konglomerasi media yang dipicu oleh konvergensi telematika.

Selain menulis artikel di kolom opini media mainstream, Satudunia juga mengeluarkan press release terkait dengan kebijakan pemerintah yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan telematika.

Pada saat pembukaan pendaftaran SNMPTN (Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 2011 secara online, SatuDunia mengirimkan press relase di berbagai media massa. SatuDunia mengkuatirkan kebijakan itu akan merugikan warga negara di kawasan-kawasan yang belum terjangkau infrastruktur internet, seperti kawasan timur In-donesia. Beberapa media massa yang memuat press relase itu antara lain: Koran TEMPO18 , Kompas.com19 , Jurnal Nasional20 .

VII. Pembelajaran dari Proses Advokasi

Persoalan telematika bukan sekedar persoalan teknologi semata. Persoalan telema-tika juga bukan persoalan yang netral dari berbagai kepentingan ekonomi-politik. Seiring dengan perkembangan teknologi telematika yang kian pesat, persoalan telematika juga

16 Harian KONTAN, 7 Juli 201117 Harian Bisnis Indonesia, 18 Juli 201118 http://bectrustfund.wordpress.com/2011/02/19/pendaftaran-mahasiswa-online-diminta-direvisi/?utm_source=lhn&utm_medium=twitter19 http://edukasi.kompas.com/read/2011/02/21/12230813/Internet.dan.Celakanya.SNMPTN20 http://www.jurnas.com/news/20633/Pendaftaran_Online_Berpotensi_Diskriminatif/3/Sosial_Budaya

Page 13: Laporan akhir tahun ruu konvergensi telematika 2011

22

Laporan Akhir Tahun 2011 - Dokumentasi Advokasi RUU Konvergensi Telematika

berhubungan dengan persoalan hak-hak warga negara.

Apa yang terjadi pada saat pendaftaran SNMPTN 2011 dan juga pendaftaran masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara online dapat dijadikan contoh. Jika pendaftaran online itu hanya satu-satunya cara untuk masuk perguruan tinggi negeri dan menjadi PNS maka itu artinya telah menyingkirkan hak-hak warga negara di kawasan yang ada di Indonesia yang belum terjangkau infrastruktur internet, seperti sebagian Indonesia tengah dan timur.

Hak warga negara yang terkait dengan persoalan telematika ini antara lain adalah hak berekspresi, akses terhadap informasi (dan pengetahuan), hak atas hasil-hasil pembangu-nan. Namun sebagian dari masyarakat melihat persoalan telematika hanya bersifat teknis. Bahkan tak jarang NGOs dan media massa pun melihatnya seperti itu.

Padahal dampak dari sebuah kebijakan telematika sangat luas. Dari dampak sosial berupa penyingkiran sosial secara digital, pemiskinan warga dengan sikap konsumtif yang dibawa dari telematika hingga potensi pelarian kapital dari negara berkembang ke korpo-rasi-korporasi di negara maju.

Mengkomunikasikan bahwa persoalan telematika bukan hanya sekedar persoalan teknis ini perlu terus dilakukan. Pengemasan isu telematika sehingga mudah dipahami oleh publik secara luas perlu untuk terus dibangun.

Pengalaman SatuDunia dalam menggelar rangkaian advokasi RUU Konvergensi Tele-matika selama ini menunjukan hal itu. NGOs–NGOs yang bergerak di isu hak asasi ma-nusia dan perdagangan yang adil belum melihat isu telematika menjadi sebuah persoalan yang perlu diperhatikan. Karena tidak adanya kontrol publik yang cukup kuat itulah mung-kin yang menyebabkan sektor telematika sangat liberal dibandingkan sektor lainnya.

Karena terlalu liberal, maka warga negara dalam prespektif telematika hanya dipan-dang sekedar konsumen. Hal itu terlihat dalam RUU Konvergensi Telematika. Sebelum menjadi konsumen produk-produk telematika, hak-hak kita ‘tidak dilindungi’ dalam RUU itu.