LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT...

77
1 No. Registrasi: PTD-2006-013 LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT MADYA PENELITIAN TINGKAT MADYA Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan Hukum Ekonomi Indonesia) Peneliti: 1. Dr. Asyari Hasan, SHI., M.Ag. (Ketua Tim) NIDN : 2019088001 2. Dr. Alimin, Lc., M.Ag. (Anggota) NIDN : 2005057202 DILAKSANAKAN ATAS BIAYA DIPA IAIN BATUSANGKAR SESUAI SURAT PERJANJIAN KONTRAK PENELITIAN NOMOR: B-201/In.27/L.I/TL.00/06/2016 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR 2016

Transcript of LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT...

Page 1: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

1

No. Registrasi: PTD-2006-013

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN

PENELITIAN TINGKAT MADYA

PENELITIAN TINGKAT MADYA

Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek

Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan

Hukum Ekonomi Indonesia)

Peneliti:

1. Dr. Asyari Hasan, SHI., M.Ag. (Ketua Tim)

NIDN : 2019088001

2. Dr. Alimin, Lc., M.Ag. (Anggota)

NIDN : 2005057202

DILAKSANAKAN ATAS BIAYA DIPA IAIN BATUSANGKAR

SESUAI SURAT PERJANJIAN KONTRAK PENELITIAN

NOMOR: B-201/In.27/L.I/TL.00/06/2016

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2016

Page 2: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

2

LAPORAN IDENTITAS DAN PENGESAHAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN

1. a. Judul Penelitian : Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek

Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori

Fiqh Muamalat dan Hukum Ekonomi Indonesia)

b. Nomor Kontrak : B-201/In.27/L.I/TL.00/06/2016

c. Program Penelitian : Peneliti Madya

c. Jenis Penelitian : Kelompok

2. Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Asyari Hasan, SHI., M.Ag

b. Jenis Kelamin : L

c. NIP : 19800819 200604 1 002

d. Bidang Ilmu : Perbankan Syariah

e. Pangkat/Golongan : Lektor/IIId

f. Jurusan / Prodi : Syariah dan Ekonomi Islam/Perbankan Syariah

g. Alamat : Jl. Sudirman no. 137. Kubu rajo, Lima Kaum, Tanah

Datar Sumatera Barat

h. Telp : 081374666317

i. Email : [email protected]

Anggota Tim Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Alimin, Lc., M.Ag

b. Jenis Kelamin : L

c. NIP : 19720505 200212 1 004

d. Bidang Ilmu : Perbankan Syariah

e. Pangkat/Golongan : Lektor/IIIc

f. Jurusan / Prodi : Syariah dan Ekonomi Islam/Perbankan Syariah

g. Alamat : Jl. Sudirman no. 137. Kubu rajo, Lima Kaum, Tanah

Datar Sumatera Barat

h. Telp : 081374666317

i. Email : [email protected]

3. Lokasi Penelitian : Kabupaten Tanah Datar

Page 3: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

3

4. Waktu Penelitian : 15 September 2016 s/d 11 November 2015

5. Biaya : Rp. 15.000.000,-

6. Sumber Biaya : IAIN Batusangkar

Batusangkar, 1 November 2016

Mengetahui, Peneliti,

Kepala LPPM IAIN Batusangkar

Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag. Dr. Alimin, Lc., M.Ag.

Nip. 19730819 199803 1 001 NIP. 19720505 200212 1 004

Page 4: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

4

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………… 1

A. Latar Belakang......................................................... .......................................... 2

B. Batasan Masalah………………………………….............................................. 5

C. Rumusan Masalah…………………………………............................................ 5

D. Sasaran dan Tujuan Penelitian…………………………………........................ 6

E. Definisi Operasional…………………………………........................................ 6

F. Kajian dan Riset Sebelumnya…………………………………………………. 7

BAB II: KAJIAN TEORI…………………………………................................. 9

A. Kajian Teori…………………………………................................................... 9

B. Bagan Kerangka Konseptual………………………………………………….. 12

BAB III: METODE PENELITIAN…………………………………………… 13

A. Metode Penelitian………………………………….......................................... 13

B. Jenis Data Penelitian…………………………………................................... 13

BAB IV: PEMBIYAAN…………………………………................................... 15

BAB IV: HASIL PENELITIAN……………………………………………….. 16

A. Teori Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Hukum Ekonomi Islam.. 17

1. Ganti Rugi dalam Akad (Dhaman ’Aqd) …………………………………… 17

2. Pengertian Kelalaian……………………………………………………………. 21

a. Istilah-istilah terkait dalam Fikih yang Menunjukkan Kelalaian………… 21

b. Pengertian Tafrith.................................. .................................. ........... ..... 22

c. Perbedaan antara Taqshir dan Ta’addiy………………………………….. 22

d. Pengertian Ta’addiy Sebagai Istilah Umum dari Kelalaian........... ........... 23

e. Pendapat Imam asy-Syathibiy tentang Ta’addiy………………………… 24

2. Prinsip-Prinsip Kelalaian Penyebab Ganti Rugi dalam Fikih........... ............. 25

a. Bagaimana Suatu Perbuatan Dianggap Melampaui Batas? ……………... 25

b. Bagaimana suatu perbuatan dianggap lalai? …………………………….. 26

c. Melanggarkan Isi Kontrak…………………………………....................... 27

d. Melanggar Tradisi…………………………………................................... 28

e. Melanggar Suatu Maslahat Akad…………………………………............ 31

f. Melanggar Tabiat Akad………………………………….......................... 31

B. Teori Kelalaian dalam Hukum Positif…………………………………............ 33

1. Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam Integrasi dan Interkoneksi Ilmu.............. 33

2. Teori Tanggungjawab Hukum………………………………….................... 35

3. Perbuatan Melawan Hukum…………………………………....................... 39

4. Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis.................................. ................ 43

5. Sosiologi Hukum…………………………………....................................... 44

6. Hukum Adat………………………………….............................................. 45

7. Kelalaian dan Ganti Rugi dalam Perpektif Hukum Indonesia........... ........... 46

a. Hukum Kelalaian………………………………….................................... 46

b. Ganti Rugi………………………………….............................................. 48

C. Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah…………………………………... 52

D. Analisis Data Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi........... ............. 55

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………............ 61

Daftar Rujukan…………………………………..................................................... 64

Page 5: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

5

Abstrak

Penelitian ini meneliti prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum ekonomi syariah melalui

kajian-kajian hukum fikih muamalah dan hukum perdata Indonesia, selanjutnya diadakan

studi lapangan terhadap aplikasi lapangan terhadap teori kelalaian sebagai penyebab ganti rugi

pada lembaga keuangan syariah. Penelitian ini menemukakan bahwa melakukan perbuatan

yang melebihi kadar yang semestinya (ta’addiy) adalah masuk dalam kategori lalai (ifrath),

dan hal ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu a) melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang

dibolehkan dalam akad, atau tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi

apa yang semestinya dilakukan, dan b) Tidak melakukan perbuatan yang semestinya

dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau

maslahat dalam akad, hal ini juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa

perbuatan itu telah kurang dari apa yang semestinya dilakukan.

Dalam aplikasi hukum kelalaian dalam lembaga keuangan syariah, profesional dalam

aspek manajemen modern adalah salah satu penunjuk yang efektif dalam mengontrol faktor

kelalaian para dalam akad. Selanjutnya dalam hukum ekonomi syariah Indonesia, Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah tidak memuat penjelasan tentang prinsip-prinsip perbuatan yang

dinyatakan tergolong kelalaian tapi lebih menekankan pada pelanggaran terhadap syarat-

syarat yang dibuat oleh para pihak. Sedangkan pada Undang-undang RI No. 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah memuat penjelasan tentang perbuatan tergolong lalai hanya dari

aspek manajemen perbankan syariah, tidak berkaitan dengan pelaksanaan akad atau transaksi.

Page 6: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan bank syariah di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Republik

Indonesia No. 10 Tahun 1988 tentang Perbankan UU no 7 tahun 1992 dan diperkuat secara

lebih utuh pada undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah cukup pesat

karena pada UU ini status dan kegiatan bank syariah sudah diatur secara lebih jelas dan lebih

terperinci dibandingkan dengan UU RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini

menunjukkan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap perbankan syariah dan tingginya

respon masarakat terhadap bank syariah. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan

keluarnya fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman bunga bank konvensional

pada tahun 2004. Perkembangan pesat dunia perbankan syariah tersebut sudah selayaknya

diresponi dengan memberikan perangkat-perangkat lunak dan keras yang dapat menjamin

kelancaran operasional bank syariah, bila tidak maka bank syariah akan berada pada posisi

membahayakan citra bank syariah itu sendiri dan syariah Islam sebagai label yang melekat

padanya.

Operasional bank syariah tidaklah sama dengan bank konvensional karena bank

syariah memiliki masalah yang komplek dalam hal pengumpulan dan penyaluran dana.

Disamping itu bank syariah mempunyai produk dan kegiatan yang lebih banyak dari bank

konvensional diantaranya, ia dibolehkan melakukan kegiatan perdagangan barang dan jasa

seperti dengan adanya akad murabahah, ijarah, salam, istishna’, kafalah, dan lain

sebagainya.

Oleh karena itu, bank syariah harus menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih

optimal dibandingkan bank konvensional. Sementara kebijakan moneter Indonesia secara

tegas dinyatakan dilaksanakan atas prinsip kehati-hatian tersebut sebagaimana yang tertera

dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia sebagai regulator perbankan: “tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan

memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu

kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat,

serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat”. Sedangkan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 pada pasal 7 dan 8 berbunyi:

Page 7: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

7

Pasal 7 : Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Pasal 8 : Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia

mempunyai tugas sebagai berikut : a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b.

mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.

Secara lebih jelas lagi tingginya resiko operasional perbankan syariah ditegaskan

dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan: “Pemberian

kredit atau pembiyaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank mengandung risiko atau

kemacetan dalam pelunasannya”. Pernyataan ini dapat dimaklumi karena umumnya sebagian

besar produk bank syariah mengandung resiko tinggi utamanya produk mudharabah,

musyarakah, dan wadi’ah, yang lebih mengedepankan asas kepercayaan terhadap nasabah

dalam pengelolaan dana yang disalurkan bank syariah. Hal ini bila tidak dicarikan solusi atau

jalan keluar yang baik akan akan membawa dampak yang riskan bagi perkembangan bank

syariah itu sendiri.

Dalam dunia perbankan dan perkembangan sosial budaya yang semakin komplek

mengandalkan asas kepercayaan membuat posisi bank syariah dan juga nasabah pada posisi

beresiko tinggi. Sejak zaman klasik para ulama fiqh juga telah meletakkan piranti-piranti yang

dapat menghindarkan diri dari resiko tersebut diantara piranti hukum tersebut adalah asas

kelalaian (ketidakhati-hatian/taqshir) sebagai penyebab ganti rugi (dhaman).1

Sebagai contoh dalam praktek perbankan syariah, pada produk wadi’ah, bank syariah

penerima titipan wajib menjaga barang yang dititipkan secara hati-hati, kemudian bila terjadi

kerusakan atau kehilangan, maka ia akan tidak menjadi tanggung-jawab bank syariah

penerima titipan selama ia masih dalam batas hati-hati, sedangkan bila terdapat unsur

kelalaian, maka ia akan menjadi tanggungjawab bank syariah. Demikian juga halnya dengan

modal yang berada pada nasabah penerima dana produk mudharabah, ia (mudharib) wajib

mengelola harta yang disalurkan bank syariah atas prinsip kehati-hatian, dan dikenakan ganti

rugi selama terjadi kelalalian.2 Penyewa barang sewaan (al-ajir) dalam akad ijarah

1Dhaman dalam istilah ahli fikih mengandung dua pengertian: (a) ganti rugi, sebagaimana yang

didefinisikan oleh Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah sebagai, “Penyeraham suatu harta pada orang lain, apabila

harta tersebut harta al-mitli (serupa dan dapat diukur atau dihitung dengan tepat), maka harus diserahkan harta

al-mistli pula, akan tetapi harta tersebut harta qiami (Harta yang tidak dapat diukur dengan tepat dan tidak

terdapat jenis yang sama dalam satuannya dalam masyarakat), maka harus dikembalikan pula harta qiami

tersebut”. Secara lebih ringkas al-Syaukâniy mendefinisikannya dengan “ganti rugi dari suatu hal yang rusak

atau lenyap”, (b) tanggung jawab, sebagaimana yang terdapat pada definisi dhaman ahli fikih mazhab Mâliki

sebagai, “Menimpakan suatu tanggung jawab pada orang lain dengan alasan yang benar”. al-Imam al-Syaukâniy,

Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh

Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410 2Fatwa al-Majma' al-Fiqh al-Islâmiŷ (The Council of Islamic Fiqh Academy-OKI) ke-19 di Shariqah,

UAE, tahun 2009, No.179.

Page 8: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

8

bertanggung jawab atas barang yang digunakan selama tidak ada kelalaian selama terjadi

kelalalian.3 Selanjutnya pembuat barang (ash-shani’) dalam akad ishtishna’ yang menerima

bahan dari pemesan (mushtashni’) juga bertanggung jawab atas barang selama terjadi

kelalalian.

Untuk menentukan apakah bank syariah atau nasabah sudah berhati-hati dengan

amanah yang dipercayakan kepadanya dan untuk mencari solusi ideal dalam penerapan asas

kehatian-kahatian yang relevan memerlukan kajian tersendiri karena hal ini saling terkait

dengan tiga hal, yaitu (1) hukum fiqh yang merupakan ciri dari penerapan hukum muamalat

dalam bank syariah, (2) hukum ekonomi Indonesia yang merupakan rujukan penyelesaian

sengketa bagi semua rakyat Indonesia, (3) kondisi sosial budaya dan ekonomi guna solusi

ideal dalam penerapan asas kehatian-kahatian yang relevan.

Jika dilihat dari produk hukum Indonesia yang sudah diproduk, memang terdapat

aturan tentang kelalaian, namun tidak terdapat deteil masalah tentang hakikat dan sebab

kelalaian tersebut:

1. Dalam UU RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Bab 1,

ayat 7, dsebutkan tentang salah satu prinsip kelalaian sebagai penyebab ganti rugi:

Mudarabah adalah Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, yaitu satu pihak

sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian,

keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah

disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya

oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia

tenaga dan keahlian.

2. Dalam Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 43/DSN-

MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (ta'widh) disebutkan: 1. Bahwa para pihak yang

melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat

wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang

melanggar perjanjian, 2. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang

dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari

ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain, 3. Kerugian yang dapat

dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang

dapat diperhitungkan dengan jelas.

3Fatwa Dewan Syariah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions

(AAOIFI) Standar Syariah No.9 Tahun 2003, Pasal: 4/1/7.

Page 9: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

9

3. Dan dalam Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 08/DSN-

MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Musyarakah, juga disinggung tentang masalah

kelalaian sebagai penyebab ganti rugi: d. Setiap mitra memberi wewenang kepada

mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi

wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan

mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

Kajian tentang masalah hakikat kelalaian (taqshir) sebagai penyebab ganti rugi dalam

akad masih langka dilakukan, penelitian ini begitu termotivasi dari hasil penelitian (skripsi)

Muhammad Adfan Yhu’nanda yang berjudul Analisis Unsur Kesalahan dan Kelalaian

Mudharib dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Bermasalah Sebagai Dasar Eksekusi

Jaminan pada Universitas Brawijaya Fakultas Hukum tahun 2014. Penelitian sampai pada

suatu kesimpulan bahwa unsur kesalahan dan kelalaian tidak dijelaskan dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar akad perjanjian mudharabah dalam hukum

perbankan Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan

Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Mudharabah, Kompilasi Hukum Islam, dan Akad Perjanjian Mudharabah, dan secara

Substantif dan secara Prosedural tidak mengatur serta tidak memberikan pengertian

bagaimana kriteria kesalahan dan kelalaian yang dimaksudkan dalam akad perjanjian

mudharabah. Maka, Unsur kesalahan dan kelalain dalam akad mudharabah merujuk pada

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni Kesalahan sebagai wujud Perbuatan Melawan

Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), dan Kelalain sebagai wujud Wanprestasi (ingkar janji)

(Pasal 1234 KUH Perdata).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Muhammad Adfan Yhu’nanda

mengajukan saran pada akhir penelitiannya kepada Pembuat Peraturan Perundang-undangan

khususnya terkait hukum Ekonomi Syariah, agar diperjelas kembali apa yang dimaksaud

dengan kesalahan atau kelalaian dalam peraturan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor

07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah pada bagian ketiga angka 3 bahwa

“pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini

bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau

pelanggaran kesepakatan”. Hal ini penting mengingat landasan penentuan kesalahan

disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan ada pada peraturan ini, tujuannya yakni

Page 10: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

10

agar mempermudah Lembaga Perbankan Syariah untuk mementukan kriteria kesalahan dan

kelalain yang dimaksud.

Ketiadaan aturan tentang masalah ini akan menyebabkan interpretasi berbeda antara

pihak bersengketa, selanjutnya akan terdapat pula hukum yang tidak adil dalam melihat

masalah ini. Serta akan muncul pula perbedaan pandangan antara hukum Islam dan hukum

perdata tentang masalah ini sehingga terjadi dualisme hukum.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik meneliti masalah ini dengan judul

Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi

Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan Hukum Ekonomi Indonesia), selanjutnya bahasan tentang

teori kelalaian dalam regulasi lembaga keuangan syariah perlu diteliti, dan penelitian tentang

aplikasi teori kelalaian tersebut pada perbankan syariah akan mengokohkan teori karena

adanya fenomena nyata di lapangan secara holistik.

B. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini penulis melihat ada beberapa masalah yang terkait

dengan topik penelitian ini, sehingga masalah-masalah tersebut perlu penulis identifikasi

sebagai berikut: 1. Prinsip kelalaian (nazhariyah at-taqshir/tafrith) sebagai penyebab ganti

rugi dalam fiqh muamalat, 2. Prinsip kelalaian sebagai penyebab ganti rugi dalam hukum

ekonomi positif Indonesia (termasuk undang-undang syariah yang sudah dinyatakan sebagai

hokum positif).

Dari aspek aplikasi penerapan teori kelalaian sebagai penyebab ganti rugi dalam

perbankan syariah, penelitian ini penulis batasi pada produk mudharabah, musyarakah, dan

wadi’ah saja karena tiga produk ini lebih dominan di laksanakan oleh lembaga keuangan

syariah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

bagaimana teori hukum ekonomi Islam (fiqh al-muamalat maliyah Islamiyah) dan hukum

ekonomi positif Indonesia dalam memandang dan meletakkan prinsip-prinsip kelalaian dan

kehatia-hatian sebagai penyebab ganti rugi dalam transaksi-transaksi perbankan syariah

Indonesia?

Page 11: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

11

D. Sasaran dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan, penelitian ini bertujuan menemukan

prinsip atau azaz kelalaian atau kehati-hatian sebagai penyebab ganti rugi pada produk bank

syariah ditinjau dari kacamata fiqh al-mu‘âmalah dan hukum ekonomi positif Indonesia. Dan

penelitian lapangan akan ditemukan apa saja aspek kelemahan, kekuatan, dan aspek hukum

lainnya yang dapat menjadi masukan bagi pengembangan hukum ekonomi Islam Indonesia.

Dari hasil penelitian diharapkan akan dapat diperoleh beberapa manfaat berikut,

yaitu:

1. Memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan wacana dan implementasi hukum

perbankan syariah Indonesia.

2. Memberikan masukan ilmiah yang berarti bagi kalangan akademisi dan kalangan lainnya

untuk memperdalam konsep hukum ekonomi Islam dalam upaya meningkatkan kinerja

lembaga perbankan syariah.

3. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dan regulasi pada lembaga keuangan

syariah dalam memproduk hukum ekonomi syariah pada perbankan syariah khususnya,

dan lembaga keuangan non bank, termasuk pada pasar modal syariah dalam produk bagi

hasil seperti saham syariah, sukuk mudharabah, dan sukuk musyarakah.

4. Dapat dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, baik pada IAIN Batusangkar atau jurnal

lainnya.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul penelitian ini, perlu

penulis jelaskan pengertian beberapa istilah-istilah yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Kelalaian yang penulis maksud pada penelitian ini adalah sepadan istilah yang terdapat

pada istilah ekonomi klasik dengan tafrîth dan dalam istilah ekonomi kontemporer dengan

taqshîr, yaitu berlebihan dalam hal tidak menjaga amanah sehingga keluar dari

semestinya.4 Substansi definisi tersebut juga sejalan dengan hukum positif Indonesia,

yaitu kelalaian adalah lengah atau sikap kurang hati-hati5 yang dilakukan oleh salah satu

pihak yang bertransaksi.

4 Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ (IIPH: Saudi Arabia, 1994), hal. 122

5 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 239.

Page 12: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

12

2. Ganti rugi yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah penggantian atas kerugian

yang dialami seseorang, sesuai dengan definisi dalam hukum positif Indonesia.6 Definisi

yang sama juga terdapat dalam fikih muamalah Islam, yaitu: kewajiban untuk mengganti

dengan pengganti yang bersifat harta karena adanya bahaya pada pihak lain dengan

ketentuan barang mitsliy dengan mitsliy dan barang qimiy diganti dengan qimiy.7

3. Teori Fiqh Muamalat yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah kerangka berfikir

yang menafsirkan sekumpulan fenomena ilmiah dalam bidang hokum ekonomi Islam

terkait masalah kelalaian sebagai penyebab ganti rugi, dan meletakkannya dalam suatu

susunan yang saling berkaitan dimana dalam penyusunan tersebut lebih didominasi oleh

usaha akal. Sehingga dari teori dapat diketahui kebenaran yang menjadi pokok dasar

berfikir dalam menentukan apakah sikap seseorang dianggap hati-hati atau tidak.

4. Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masarakat dalam pembiyaan berdasarkan prinsip

syariah

5. Fiqh Muamalat adalah hukum-hukum ekonomi yang terdapat syariat Islam.

6. Hukum Ekonomi Indonesia adalah sekumpulan perintah atau larangan-norma dan aturan-

aturan Negara Republik Indonesia dalam segala kegiatan ekonomi. 8

F. Kajian dan Riset Sebelumnya

Sesuai dengan penjelasan penulis pada latar belakang penelitian ini dari hasil

penelitian (skripsi) Muhammad Adfan Yhu’nanda yang berjudul Analisis Unsur Kesalahan

dan Kelalaian Mudharib dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Bermasalah Sebagai Dasar

Eksekusi Jaminan pada Universitas Brawijaya Fakultas Hukum tahun 2014, bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank

Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi

Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa Dewan

Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah,

Kompilasi Hukum Islam, dan Akad Perjanjian Mudharabah, secara Substantif dan secara

Prosedural tidak mengatur serta tidak memberikan pengertian bagaimana kriteria kesalahan

dan kelalaian yang dimaksudkan dalam akad perjanjian mudharabah. Maka, Unsur kesalahan

6 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 136. 7 Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ (IIPH: Saudi Arabia, 1994), hal. 122 8Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999), h. 2-3

Page 13: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

13

dan kelalain dalam akad mudharabah merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yakni Kesalahan sebagai wujud Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), dan

Kelalain sebagai wujud Wanprestasi (ingkar janji) (Pasal 1234 KUH Perdata). Sementara

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak pula dijelaskan secara rinci bagaimana

kriteria kelalaian tersebut.

Dalam literatur berbahasa Indonesia, penulis tidak menemukan kajian khusus terkait

teori kelalaian ataupun aplikasi tentang teori kelalaian tersebut dalam lembaga keuangan

syariah, sementara teori ini begitu penting dalam memberikan piranti hokum yang kuat guna

menopang perkembangan ekonomi syariah secara lebih kukuh.

Dari aspek teori fikih muamalah, terdapat suatu hasil penelitian Sulaiman Muhammad

Ahmad berjudul Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islâmiy (Hukum Ganti Rugi dalam Hukum

Islam) yang berasal dari sebuah desertasi pada Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Mesir

yang diterbitkan dalam bentuk buku tahun 1985 oleh Maktabat al-Mujallad al-‘Arabi.

Meskipun buku ini berbicara tentang hukum ganti rugi, namun ketika membicarakan tentang

hukum ganti rugi dalam masalah dhaman ‘aqd (ganti rugi yang disebabkan oleh adanya

transaksi), buku ini membahas tentang beberapa aspek penyebab dhaman ‘aqd di antaranya

kelalaian, namun dibahas tidak mendalam.

Dalam Desertasi Ahmad Hafizh Musa Musa berjudul adh-Dhaman fi 'Uqud al-

Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuhu al-Mu'ashirah (Jaminan Ganti Rugi dalam

Akad Amanah dalam Fikih dan Aplikasi Kontemporer), juga membahas setengah halaman

tentang teori kelalaian, namun secara terpisah membahas berbagai aspek tentang teori

kelalaian ini.9

Bahasan secara sepintas tentang teori kelalaian juga dibahas oleh Dr. Ali Muhyiddin

al-Quradaghi (Fakultas Syariah-Universitas Qatar) dalam bukunya Mada Mas.uliyyah al-

Mudharib wa Asy-Syarik, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah (Tanggung Jawab

Mudharib dan Syarik, Bank, dan Dewan Direksi terhadap Kerugian). Dalam makalah ini

terdapat satu kajian khusus tentang prinsip perbuatan melampaui batas (dhawabith at-

ta’addhi) sebanyak satu halaman, namun tidak terdapat bahasan tentang konsep perbuatan

lalai (tafrith).10

9 Ahmad Hafizh Musa Musa, adh-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuhu al-

Mu'ashirah, Desertasi, Universitas Yordan, 2005 10 Dr. Ali Muhyiddin al-Quradaghi (Fakultas Syariah-Universitas Qatar), Mada Mas.uliyyah al-

Mudharib wa Asy-Syarik, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah, (Jeddah: Majallah al-Majma' al-Fiqhiy

al-Islamiy, Majma' al-Fiqh al-Islamiy), tahun ke-8, edisi 10, 28 Mei 2014

Page 14: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

14

Page 15: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

15

BAB II

KAJIAN TEORI

B. Kajian Teori

Pada kenyataannya, nasabah bank syariah berkedudukan sebagai konsumen yang

memanfaat produk-produk yang ditawarkan bank, sehingga ia berhak menuntut bila terjadi

cacat produk bank syariah sebagai produsen. Namun nasabah juga berkedudukan sebagai

pihak yang berakad yang berkedudukan setara dengan bank syariah yang dapat dituntut bila

melakukan hal-hal yang merugikan bank syariah. Prinsip kehati-hatian dalam dua posisi

tersebut harus sejalan. Islam tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik yang berbunyi

“ceveat emptor” atau “let the buyer beware” (pembelilah yang harus berhati-hati)11, tidak

pula “ceveat venditor” (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam yang

berlaku adalah prinsip keseimbangan (al-ta’adul) atau ekuiblirium dimana pembeli dan

penjual harus berhati-hati dimana hal itu tercermin dalam teori perjanjian (nazhariyyat al-

‘uqud) dalam Islam. Sehingga Khalifah Umar ibn al-Khatthab berkata:12 "Orang yang tidak

mengerti hukum pasar, tidak dapat ambil bagian dalam aktivitas pasar kami". (Riwayat

Tirmidzi dari Anas ibn Malik) Dalam kajian fikih Islam terkenal sebuah prinsip dasar hukum

Islam yang berasal dari Nabi saw, berbunyi: "Tidak boleh ada tindakan bahaya dan

membahayakan dalam Islam".(HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbas, sedangkan al-

Hakîm dan al-Dâruquthni dari Abû Sa‘îd al-Khudhri).

Pembahasan ganti rugi akibat transaksi menyangkut banyak cabang permasalahan

fikih, mulai dari prinsip hak dan penggunaannya, prinsip harta, prinsip akad, prinsip sebab

perbuatan kejahatan (nazhariyyat al-sabab), sampai dengan prinsip tanggung jawab (mabda’

al-mas’ûliyyah) dan prinsip ganti rugi (mabda’ al-dhamân). Sebagai contoh dalam al-Qurân,

surah an-Nisâ’, ayat 92, termaktub sebuah hukum bahwa apabila seseorang membunuh orang

lain karena tersalah-tidak sengaja, maka ia terlepas dari hukuman qishash (hukum bunuh

pula), namun demikian ia tidak akan terlepas dari hukuman ganti rugi senilai 100 ekor onta

atau 1000 dinar emas (sekitar 60.000 dolar US).

11Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 55 12Al-Tirmîdziy mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan gharib, Lihat: Abû ‘Isa al-Tirmîdziy, Sunan al-

Tirmîdziy, tahkik Muhammad Muhammad Hasan Nasshar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 1, h.

361

Page 16: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

16

Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan, "Analogi akal dan keadilan

menuntut bahwa barang siapa yang menyebabkan lenyapnya harta seseorang atau

menyebabkan kerugian orang lain, maka ia bertanggung-jawab atas kerugian tersebut

sebagaimana ia bertanggung-jawab atas kerusakan harta tersebut".

Dalam arti kata, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang harus dihapuskan

baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja (al-‘amd) maupun secara

tersalah (al-khata’), sedangkan orang yang mendapat kerugian harus mendapat ganti rugi

(dhamân) atas kerusakan yang ditimbulkan tersebut sebagai konpensasi.13 Dengan demikian,

perbuatan pelaku transaksi yang secara tersalah atau khilaf mengakibatkan kerugian mitranya,

harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.14

Kerugian yang diderita seseorang karena perbuatan orang lain, harus diberi ganti rugi

yang disebut dengan jawabir (penutup maslahat yang hilang). Jawabir terhadap harta

mempunyai suatu kaidah umum “suatu hak harus kembalikan kepada pemiliknya selama

memungkinkan, namun apabila barang atau manfaat tersebut ia kembalikan dalam keadaan

cacat, maka cacat tersebut harus ditanggung dengan nilai (qimah) kerusakan tersebut.

Sedangkan jawabir terhadap kerugian jiwa, cacat tubuh, hilangnya manfaat anggota badan,

dan terluka, maka syara’ sudah menentukan ganti ruginya berupa diyat dan kebijaksanaan dari

pemerintah.

Selanjutnya secara lebih jelas al-‘Iz ibn Abd al-Salâm menerangkan tentang kewajiban

menanggung jawabir dari pelaku kerusakan, “Sesungguhnya jawabir itu disyari’atkan untuk

menambal maslahat yang hilang atau menutup kerugian yang terjadi. Oleh karena itu, jawabir

diberlakukan terhadap pelaku kerusakan secara tersalah, tidak disengaja, sengaja, lalai, sadar,

lupa, dan bahkan terhadap orang gila, serta anak-anak.15

Pernyataan Ibnu al-Qayyim dan al-‘Iz di atas menunjukkan secara benar bahwa

perbuatan berbahaya yang merugikan orang lain benar-benar tidak dapat ditolerir, terutama

apabila dikaitkan dengan ketersalahan pihak pengusaha yang tidak berhati-hati dalam

menggunakan hak.

13 Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Maktabat al-Mujallad

al-‘Arabi, 1985), h. 38 14 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1977),

Jilid. 2, hal. 158 15al-‘Iz ibn Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1999), h. 119

Page 17: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

17

Sejauh pengamatan penulis, kajian hukum ekonomi dan perbankan syariah merupakan

hal yang menarik pada zaman ini dan menjadi perhatian besar di kalangan ulama, pemikir

dan pemerhati ekonomi Islam yang banyak tertuang dalam buku-buku karya mereka. Namun

demikian, penulis belum menemukan porsi perhatian yang cukup dalam bidang kajian ini.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan penelitian khusus tentang masalah

penelitian ini selain dari buku Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh

al-Islâmiy, (Kairo: Maktabat al-Mujallad al-‘Arabi, 1985), yang berasal dari sebuah desertasi

pada Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Mesir. Dan dalam wacana hukum positif

Indonesia terdapat beberapa buku yang dapat penulis rujuk, utamanya buku besar hukum

perdata Indonesia serta buku Sanusi Bintang dan Dahlan dalam buku mereka yang berjudul

Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999). Dalam

hukum positif Indonesia aturan yang terkait dengan teori kelalaian terdapat pada pasal 1365

tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan rang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan pada Buku Ketiga Bab I

lebih dominan tentang wanprestasi dalam bidang utang piutang.

Melihat pada kajian para ulama dan pemikir Islam serta hukum positif Indonesia di

atas, penulis menemukan bahwa mereka belum membahas masalah asas ketidakhati-hatian

sebagai penyebab ganti rugi dalam praktek perbankan syariah secara khusus dan mendasar.

Dalam perbankan syariah akad yang paling utama terkait dengan masalah kelalaian

adalah akad-akad dalam kelompok akad amanah, seperti wadi’ah dan mudharabah, dan akad

musyarakah. Maka akad ini memerlukan piranti hukum yang cukup karena rentas terhadap

masalah kelalaian, baik dari pihak bank sebagai penerima wadi’ah, pelaku usaha atau

mudharib kedua, ataupun sebagai serikat.

Penulis dalam penelitian ini membahas asas kelalaian dan ketidakhati-hatian sebagai

penyebab ganti rugi dalam praktek perbankan syariah secara kusus dan komprehensif dengan

memperhatikan problematika bank syariah kontemporer karena nampaknya banyak aspek-

aspek positif yang kiranya dapat kita ambil darinya.

Page 18: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

18

C. Bagan Kerangka Konseptual

Apliaksi Akad-akad

Aplikasi Teori Kelalaian Sebagai

Penyebab Ganti Rugi

Dalam Perbankan Syariah

Teori Kelalaian Sebagai

Penyebab Ganti Rugi

Teori Kelalaian Sebagai

Penyebab Ganti Rugi

Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek

Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan

Hukum Ekonomi Indonesia)

Page 19: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka dan lapangan dengan menggunakan

pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip

umum yang mendasari perwujudan dari satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan

manusia. Penelitian kualitatif menggunakan pradigma interpretativisme, bertujuan memahami

fenomena sosial, fokus pada alasan tindakan sosial, mengacu pada moralitas dengan pola fikir

rasionalitas.16 Maka dalam penelitian ini, data-data pustaka dan lapangan akan dikaji secara

komprehensif dan mendalam, lalu diinterpretasikan sesuai dengan teori yang sudah diperoleh.

Sedangkan alasan pelaksanaan penelitian ini alasan intelektual (intelectual research),

yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya diakhir dengan alasan-alasan

praktis. Hasil penelitian juga ditujukan untuk tujuan praktis atau untuk mencapai langkah atau

tindakan yang dipandang lebih baik atau lebih sempurna dari sebelumnya. Sedangkan

berdasarkan tempatnya, penelitian ini adalah library research, yaitu studi melalui literatur

terkait, lalu dilanjutkan dengan aplikasinya ranah praktis.

Menurut taraf atau derajat pencapaian hasilnya, penelitian ini adalah penelitian

inferensial (inferencial research), yaitu penelitian yang tidak hanya melukiskan keadaan saja

melainkan berdasarkan konsep yang sudah dibangun dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan

berdasarkan analisis yang mendalam sehingga dapat digunakan dalam membuat kebijakan.

Secara lebih terfokus, penelitian ini adalah penelitian sosial keagamaan yang dilakukan dari

segi meneliti "apa yang dimaksud oleh teks agama" berdasarkan pada tafsiran yang

dihubungkan dengan alam ril dan sistem syara` secara keseluruhan serta studi kritis terhadap

tafsiran ulama terdahulu (rekonstruksi).17

Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, maka digunakan analisis kualitatif

(normatif-kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif. Penelitian hukum normatif dapat

berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dasar falsafah (doktrin)

16 Burhan Bugin, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: RajaGrafindo,

2001), hal. 46 17 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial dan Budaya, (Bandung: Rosdakarya,

2001), hal. 15

Page 20: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

20

hukum positif, usaha penemuan hukum (in concreto) yang sesuai untuk diterapkan guna

penyelesaian perkara tertentu

Subyek utama dari penelitian ini adalah 1) tulisan-tulisan dan pemikiran para pakar

hukum dan ulama syariah yang membahas dan menganalisa masalah asas kelalaian atau

kehati-hatian yang dikaitkan dengan produk perbankan syariah, dan 2) Aplikasi prinsip-

prinsip kelalaian dan kehati-hatian sebagai penyebab ganti rugi dalam transaksi-transaksi

perbankan syariah. Dalam analisa data, penelitian ini menggunakan metode analisa isi

(content analysis) melalui fiqh mu‘amalah dan metode komparatif, sedangkan untuk analisis

lapangan dilakukan analisis domain. Data yang dikumpulkan, kemudian dideskripsikan dan

dianalisis dengan cara memperbandingkan antara satu pendapat dengan yang lain dan pokok-

pokok pikiran lainnya, serta menganalisis data pendukung dan dalil-dalil yang dikemukakan.

Dari deskripsi dan analisis tersebut penulis menyusun kesimpulan akhir penelitian ini, baik

secara deduksi. Data-data lapangan berupa aplikasi masalah penelitian akan dianalisi sesuai

dengan teori yang sudah dibangun.

Bahasan tentang teori kelalaian dalam regulasi lembaga keuangan syariah perlu

diteliti, dan penelitian tentang aplikasi teori kelalaian pada lembaga keuangan syariah akan

mengokohkan teori karena adanya analisis terhadap fenomena nyata di lapangan secara

holistik.

Langkah-langkah penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Metode Analisis Data:

1. Contents Analisis terhadap teks

2. Studi Komperatif antara hokum Islam

dan Positif

3. Metode analisis berdasarkan ushul

fiqh Islam.

Sumber Data: Lembaga

keuangan syariah dan nasabah

Permasalahan 1: Teori Kelalaian dalam Fiqh Islam

Sumber Data:

Teks Agama, Studi Kritis Pendapat

Ulama dan Pemikir, dan Teks Hukum

Positif

Permasalahan 2: Aplikasi Pelaksanaan Teori Kelalaian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah

Metode Analisis Data:

Metode Analisis Domain dengan

Mengunakan teori yang sudah

dibangun

Pembahasan :

Interpretasi Data

Page 21: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

21

B. Jenis Data Penelitian

Dari aspek jenis data, karena tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka data-

data yang akan dikumpulkan selanjutnya akan dianalisa adalah data-data kualitatif berupa

kata-kata dan tulisan yang umumnya bersifat verbal, sedangkan ketika melakukan wawancara

langsung ke responden akan data non verbal.

Dari aspek sumber data, data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan

responden di lapangan terkait aplikasi penerapan teori kelalaian, sedangkan data sekunder

berasal dari data-data pendukung berupa dokumen-dokumen pada lembaga keuangan dan dari

tulisan yang ada pada teks-teks karya para pemikir ekonomi Islam kontemporer yang

dianalisis secara analisis isi (content analysis).

Dari segi cara memperoleh data, data-data dengan tujuan untuk menyusun teori yang

akan digunakan dalam analisis lapangan, didapatkan melalui buku-buku dan jurnal

perpustakaan yang ada di perpustakaan IAIN Batusangkar, dan IAIN Imam Bonjol Padang,

demikian juga melalui situs-situs resmi di internet berupa data-data elektronik. Sedangkan

data untuk penelitian lapangan diperoleh melalui wawancara dan observasi (data

obervasional) dengan pihak-pihak pengelola lembaga keuangan syariah khususnya bidang

pembiyaan, account officer, dan bagian pemasaran, demikian juga ketika peneliti melakukan

trigulasi saat mewawancarai nasabah yang pernah melaksanakan akad bagi hasil dengan

lembaga keuangan syariah.

Page 22: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

22

BAB IV. PEMBIYAAN

ANGGARAN BIAYA (RAB)

KEGIATAN PENELITIAN DOSEN TINGKAT MADYA

IAIN BATUSANGKAR TAHUN 2016

KODE URAIAN VOL

HARGA

SATUAN JUMLAH

A BELANJA BARANG OPERASIONAL LAINNYA

1

Penggandaan draf cetak pasca pelaksanaan (1 KEGx1

JDL) 1 JDL Rp 350,000 Rp 350,000

2

Penggandaan proposal pasca pelaksanaan (14

EXSPx1 JDL) 14 EXSP Rp 20,000 Rp 280,000

3

Penggandaan instrumen pasca pelaksanaan (1400

LBRx1 JDL) 1,400 EXSP Rp 175 Rp 245,000

4

Penggandaan laporan pasca pelaksanaan (12 EXSPx1

JDL) 12 EXSP Rp 45,000 Rp 540,000

JUMLAH Rp 1,415,000

B BELANJA BAHAN

1

Konsumsi peserta diskusi pra kegiatan (10 ORG X 1

HR x 1 JDL) 10 OH Rp 35,000 Rp 350,000

2 konsumsi pelaksanaan (6 ORG X 1 HR x 1 JDL) 6 OH Rp 35,000 Rp 210,000

3

Konsumsi peserta diskusi pra kegiatan (15 ORG X 1

HR x 1 JDL) 15 OH Rp 35,000 Rp 525,000

4 ATK pasca pelaksanaan (1 KEG x 1 JDL) 1 KEG Rp 870,000 Rp 870,000

JUMLAH Rp 1,955,000

C HONOR OUTPUT KEGIATAN

1 Honor responden (20 ORG x 1 JDL) 20 JDL Rp 100,000 Rp 2,000,000

2

Honor pengolah data pelaksanaan (1 ORG x 1 KEG x

1 JDL) 1 JDL Rp 1,450,000 Rp 1,450,000

3 honor lay out pasca pelaksanaan (1 KEG x 1 JDL) 1 JDL Rp 500,000 Rp 500,000

JUMLAH Rp 3,950,000

D BELANJA JASA PROFESI

1

narasumber penyempurnaan proposal pra

pelaksanaan (2 ORG x 1 JPL x 1 JDL) 2 JDL Rp 300,000 Rp 600,000

2

narasumber ekspos hasil penelitian pasca

pelaksanaan (2 ORG x 1 JPL x 1 JDL) 2 JDL Rp 900,000 Rp 1,800,000

JUMLAH Rp 2,400,000

E BELANJA PERJALANAN DINAS

1

transportasi narasumber pra pelaksanaan (2 ORG x 1

JPL x 1 JDL) 2 PERJ Rp 110,000 Rp 220,000

2

transportasi pengumpul data pelaksanaan (22 ORG x

1 HR x 1 JDL) 22 PERJ Rp 200,000 Rp 4,400,000

3

transportasi penyusun laporan pelaksanaan (2 ORG x

1 PERJ x 1 JDL) 4 PERJ Rp 110,000 Rp 440,000

4

transportasi narasumber pasca pelaksanaan (2 ORG x

1 PERJ x 1 JDL) 2 PERJ Rp 110,000 Rp 220,000

JUMLAH Rp 5,280,000

JUMLAH Rp 15,000,000

Page 23: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

23

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan berbagai teori hukum, baik dalam hukum Islam maupun konvensional,

kelalaian mempunyai arti yang khusus dan luas, bukan sekedar tindakan alpa, karena

implikasi dari kelalaian sangat fatal dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya untuk menilai

apakah suatu perbuatan lalai atau tidak, tidak hanya berdasarkan pada pelanggaran terhadap

kontrak yang sudah dibuat tapi juga terkait dengan berbagai teori hukum yang luas seperti

teori unsur kepatutan, adat kebiasaan, dan kesusilaan dalam kerangka teori tanggungjawab,

perbuatan melawan hukum, itikad baik, sosiologi hukum, dan sosiologi ekonomi.

A. Teori Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Hukum Ekonomi Islam

Dalam bahasan teori kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, terdapat dua masalah

pokok yang menjadi perhatian, yaitu pertama tentang kelalaian dan kedua tentang ganti rugi.

Oleh karena ganti rugi sebagai akibat dari kelalaian, sementara tujuan utama dari bahasan ini

adalah tentang prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, maka penulis memulai

bahasan dari masalah ganti rugi dalam fikih Islam.

1. Ganti Rugi dalam Akad (Dhaman ’Aqd)

Ganti rugi disebut dalam istilah fikih adh-dhaman (الضمان), dan kadangkala kata adh-

dhaman juga berarti jaminan. Jaminan dalam bahasa Arab adalah adh-dhaman atau al-

kafalah. Sedangkan dalam istilah ekonomi atau perbankan adalah bank guaranty disebut juga

adh-dhaman al-mashrifi atau dapat juga disebut dengan collateral security bila ia sudah

berbentuk kontrak atas surat berharga, dokumen, dan sertifikat kepemilikan. Jaminan

(guaranty) adalah perjanjian atau kontrak untuk memikul tanggungjawab atas suatu hutang

untuk melaksanakan suatu kewajiban (pembayaran hutang) atau tugas karena kelalaian.

Sedangkan warranty adalah jaminan mutlak, walaupun tanpa disertai oleh kelalaian.18

Dalam ungkapan fikih muamalah terdapat contoh-contoh aplikasi penggunaan istilah

ini, misalnya: penerima titipan bertanggung jawab mengganti rugi (dhamin) jika barang

titipan rusak atau binasa karena kelalaian ; dan peminjam bertanggung jawab mengganti rugi

(dhamin) jika barang pinjaman rusak atau binasa karena kelalaian ; Mudharib dhamin atas

18Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,

1991), h.492

Page 24: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

24

barang shahibul mal sebagaimana akad titipan (yad amanah); Tidak ada dhaman atas alat-alat

hiburan yang melalaikan; Tidak ada dhaman atas barang ghairu mutaqawwim; Orang yang

mengambil harta orang lain tanpa izin, ia dhamin atas keselamatan barang itu; dan, Harta A

yang terdapat pada tangan orang lain dapat masuk dalam ketegori dhaman akad seperti

barang yang masih di tangan penjual atau uang yang masih di tangan pembeli, dan juga dapat

masuk dalam ketegori dhaman yad, jika harta itu sedang dighasab orang lain atau dipinjam

(dalam 'ariyah), atau dapat juga tidak ada dhaman sama sekali seperti harta serikat dalam

syirkah atau di tangan wakil dalam wakalah.

Ketika Rasulullah saw bersabda:

مان )رواه أبو داود( عن عائشة ر.ض. قالت قال رسول للاه ص.م: الخراج بالضه

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Laba menantang dhaman” (HR. Abu

Daud), hadits ini bermaksud bahwa seseorang yang mengharapkan laba dari suatu usaha harus

ada risikonya, karena pekerjaann yang tidak ada risikonya itu adalah riba. Maka kata dhaman

pada hadits ini dapat berarti “pertanggungan” atau “pengorbanan” karena pencari laba akan

menanggung risiko usaha seperti tenaga, waktu, dan kerugian materil lainnya, atau harus ada

yang dikorbankannya, maka bisa jadi ia mendapat laba dan bisa jadi ia menderita kerugian.

Sedangkan dalam hal riba, seseorang tidak akan pernah rugi, karena jumlah modalnya tetap,

sedang ia akan menerima bunga secara tetap.

Rasulullah saw bersabda tentang tanggung jawab suatu perbuatan:

يه عن سرة بن جندب رضي هللا عنه قال: قال رسول الله صلى هللا عليه وسلم ) على اليد ما أخذت حته رواه أحد, ؤ

الاكم والربؤعة, وصحهحه

Dari Samurah ibn Jundub RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tanggung jawab barang yang

diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu.” (HR. Abu Daud, al-

Arba'ah, dan Dinyatakan Shahih oleh al-Hakim)

Hilangnya barang yang dipinjam atau rusak dengan sebab pemakaian yang diizinkan

maka yang meminjam tidak harus mengganti, apabila pinjam meminjam itu didasari atas

kepercayaan, suka sama suka, dan kecelakaan bukan karena kesengajaan.

Dhaman (الضمان) dalam istilah ahli fikih mengandung dua pengertian:

Page 25: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

25

(a) ganti rugi, sebagaimana yang didefinisikan oleh Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah

sebagai, “Penyeraham suatu harta pada orang lain, apabila harta tersebut harta al-mitli

(serupa dan dapat diukur atau dihitung dengan tepat), maka harus diserahkan harta al-

mistli pula, akan tetapi harta tersebut harta qiami (Harta yang tidak dapat diukur dengan

tepat dan tidak terdapat jenis yang sama dalam satuannya dalam masyarakat), maka harus

dikembalikan pula harta qiami tersebut”. Secara lebih ringkas al-Syaukâniy

mendefinisikannya dengan “ganti rugi dari suatu hal yang rusak atau lenyap”,

(b) tanggung jawab, sebagaimana yang terdapat pada definisi dhaman ahli fikih mazhab

Mâliki sebagai, “Menimpakan suatu tanggung jawab pada orang lain dengan alasan yang

benar”. 19 Dan juga dapat disamakan dengan makna jaminan atau penanggungjawab.

Pembahasan ganti rugi akibat transaksi menyangkut banyak cabang permasalahan

fikih, mulai dari prinsip hak dan penggunaannya, prinsip harta, prinsip akad, prinsip sebab

perbuatan kejahatan (nazhariyyat al-sabab), sampai dengan prinsip tanggung jawab (mabda’

al-mas’ûliyyah) dan prinsip ganti rugi (mabda’ al-dhamân).20

Dalam kajian fikih Islam terkenal sebuah prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari

Nabi saw, berbunyi:

ار قن ي و الاكم عن أ ي ال ضرر وال ةإ الده سعيد ارضير ضرار )رواه: أحدإ ببن ماجة عن بن عها،إ ببن أ ي ييؤ

Tidak boleh ada tindakan bahaya dan membahayakan dalam Islam.(HR. Ahmad dan Ibnu

Mâjah dari Ibnu ‘Abbas, sedangkan al-Hakîm dan al-Dâruquthni dari Abû Sa‘îd al-Khudhri).

Dalam arti kata, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang harus

dihapuskan baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja (al-‘amd)

maupun secara tersalah (al-khata’), sedangkan orang yang mendapat kerugian harus

mendapat ganti rugi (dhamân) atas kerusakan yang ditimbulkan tersebut sebagai

konpensasi.21 Sebagai contoh dalam al-Qurân, surah an-Nisâ’, ayat 92, termaktub sebuah

hukum bahwa apabila seseorang membunuh orang lain karena tersalah-tidak sengaja, maka

ia terlepas dari hukuman qishash (hukum bunuh pula), namun demikian ia tidak akan

terlepas dari hukuman ganti rugi senilai 100 ekor onta. Dengan demikian, perbuatan pelaku

transaksi yang secara tersalah atau khilaf mengakibatkan kerugian mitranya, harus

bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.

19 Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukâniy, op.cit., h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh

Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410 20 Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukâniy, op.cit., h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh

Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410 21 Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Mujallad

al-’Arabi, 1985), h. 38

Page 26: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

26

Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan,

الف مال يخص أو ؤغريه أنهه يمن ما غره مه كما يمن ما أؤلهه والقيا، والعدل ؤقتيى أنه من سهب ف ب

Analogi akal dan keadilan menuntut bahwa barang siapa yang menyebabkan lenyapnya harta

seseorang atau menyebabkan kerugian orang lain, maka ia bertanggung-jawab atas kerugian

tersebut sebagaimana ia bertanggung-jawab atas kerusakan harta tersebut.22

Kerugian yang diderita seseorang karena perbuatan orang lain, harus diberi ganti rugi

yang disebut dengan jawabir (penutup maslahat yang hilang). Jawabir terhadap harta

mempunyai suatu kaidah umum “suatu hak harus kembalikan kepada pemiliknya selama

memungkinkan, namun apabila barang atau manfaat tersebut ia kembalikan dalam keadaan

cacat, maka cacat tersebut harus ditanggung dengan nilai (qimah) kerusakan tersebut.

Sedangkan jawabir terhadap kerugian jiwa, cacat tubuh, hilangnya manfaat anggota badan,

dan terluka, maka syara’ sudah menentukan ganti ruginya berupa diyat dan kebijaksanaan dari

pemerintah.

Selanjutnya secara lebih jelas al-‘Iz ibn Abd al-Salâm menerangkan tentang kewajiban

menanggung jawabir dari pelaku kerusakan, “Sesungguhnya jawabir itu disyari’atkan untuk

menambal maslahat yang hilang atau menutup kerugian yang terjadi. Oleh karena itu, jawabir

diberlakukan terhadap pelaku kerusakan (ta’addiy) secara tersalah, tidak disengaja, sengaja,

lalai, sadar, lupa, dan bahkan terhadap orang gila, serta anak-anak.23

Pernyataan Ibnu al-Qayyim dan al-‘Iz di atas menunjukkan secara benar bahwa

perbuatan berbahaya yang merugikan orang lain benar-benar tidak dapat ditolerir, terutama

apabila dikaitkan dengan ketersalahan para pihak berakad yang tidak berhati-hati dalam

menggunakan haknya.

Sebagai contoh dalam praktek perbankan syariah, pada produk wadi’ah, bank syariah

penerima titipan wajib menjaga barang yang dititipkan secara hati-hati, kemudian bila terjadi

kerusakan atau kehilangan, maka ia akan tidak menjadi tanggung-jawab bank syariah

penerima titipan selama ia masih dalam batas hati-hati, sedangkan bila terdapat unsur

kelalaian, maka ia akan menjadi tanggungjawab bank syariah. Demikian juga halnya dengan

modal yang berada pada nasabah penerima dana produk mudharabah, ia (mudharib) wajib

mengelola harta yang disalurkan bank syari’ah atas prinsip kehati-hatian; penyewa barang

22 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam, op.cit., h. 158 23 al-‘Iz ibn Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1999), h. 119

Page 27: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

27

sewaan (al-ajir) dalam akad ijarah; dan, pembuat barang (ash-shani’) dalam akad ishtishna’

yang menerima bahan dari pemesan (mushtashni’).

2. Pengertian Kelalaian

a. Istilah-istilah terkait dalam Fikih yang Menunjukkan Kelalaian

Istilah kelalaian dalam fikih populer dengan istilah at-tafrith (التفريط), kata at-tafrith

sering disamakan dengan istilah at-taqshir (التقصير) dan jarang dengan kata al-ihmal (اإلهمال)

yang berarti meremehkan. Terkadang juga digunakan istilah tadhyi’ (تضييع) yang berarti

menyia-nyiakan. Istilah-istilah tersebut selalu atau sering disandingkan dengan kata at-

ta’addiy (التعدي) yang secara bahasa berarti “pelanggaran” atau “melanggar”, karena perbuatan

ta’addiy mencakup perbuatan lalai. Setiap pelaku kelalaian adalah pelaku ta’addiy, karena

kelalaian melanggar aturan umum untuk memenuhi suatu kewajiban. Misalnya terdapat

ungkapan Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-Thalibin berbicara tentang hukum

wakalah,24

بأن ركب تعدىسواء كان بجعل أو متبرعا فإن تفريطللوكالة حكم األمانة. فيد الوكيل يد أمانة فال يضمن ما تلف في يده بال

.دابة أو لبس الثوب ضمن قطعا وال ينعزلال

Pada kalimat ini terlihat jelas, Imam an-Nawawiy menggunakan istilah at-Tafrith,

kemudian juga menggunakan istilah at-ta’addiy sebagai sandingannya atau persamaannya.

Sedangkan kata at-taqshir dapat dilihat pada ungkapan Ibnu ‘Abidin dalam Radd al-

Muhtar:25

قيل : ضمن وقيل : ال تقصير لو استأجر قدوما لكسر الحطب فوضعه في بيته فتلف بال

Jika dibandingkan dengan hukum konvensional, kata ta’addiy dapat disamakan

dengan “perbuatan melawan hukum”, dan tidak tepat dengan kata kesalahan.

Jadi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Sulaiman, kadangkala para fuqaha

menggunakan istilah ta’addiy dengan makna taqshir, yaitu ketika seseorang lalai dari suatu

perbuatan biasa yang semestinya ia lakukan. Oleh karena itu, kata ta’addiy mencakup

perbuatan sengaja atau tersalah, demikian juga mencakup perbuatan melalaikan, meremehkan,

dan tidak hati-hati. Terlihat jelas bahwa terdapat kesamaan, yaitu adanya “perbuatan

melampaui batas”, maka ta’addiy dengan taqshir adalah tidak melakukan suatu perbuatan

yang dituntut, yang pertama (ta’addiy) melewatinya, sedangkan yang kedua (taqshir) tidak

24 an-Nawawiy, Raudhah ath-Thalibin, Jilid. 2, hal. 102 25 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Jilid. 23, hal. 498

Page 28: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

28

memenuhi yang dituntut, maka keduanya dinilai melampaui batas karena tidak memenuhi

perbuatan yang dituntut.26

Sepanjang analisa penulis, istilah yang paling sering digunakan dalam buku-buku

tulisan ahli fikih kontemporer adalah kata ta’addiy dan kata taqshir, sedangkan kata tafrith

dan tadhyi’ juga sering digunakan. Sedangkan kata ihmal digunakan juga dalam kontek

menjelaskan kata taqshir.

b. Pengertian Tafrith

Secara bahasa tafrith berarti berbuat taqshir (melalaikan) dan tadhyi' (menyia-

nyiakan).27 Oleh karena itu, tafrith sepadan dengan makna taqshir, sedangkan ifrath sepadan

dengan kata ta'addiy.

Dalam istilah fikih, tafrith berarti melalaikan suatu perbuatan yang mesti dilakukan

secara tradisi ataupun syar'iy.28 Contoh perbuatan tafrith dalam wadi'ah, jika seorang

pemegang amanah meninggal sedangkan tidak menjelaskan kepada ahli warisnya bahwa harta

tersebut adalah harta amanah, maka kewajibannya secara syara' adalah menjelaskan harta

titipan orang lainnya yang ada padanya, tapi ia lalai dalam menjelaskan hal tersebut, maka ia

(pemegang amanah) harus mengganti harta itu dari hartanya yang tersisa.29

c. Perbedaan antara Taqshir dan Ta’addiy

Perbedaan antara taqshir dengan ta’addiy adalah bahwa taqshir adalah perbuatan

melampai batas karena melalaikan atau tidak melakukan sesuatu yang mesti dilakukan,

sedangkan ta’addiy adalah perbuatan melampai batas dengan cara melakukan sesuatu dan

pelanggaran.30 Oleh sebab itu, fuqaha mengulang kata ta’addiy setelah taqshir, meskipun

taqshir itu salah satu bentuk ta’addiy (pelanggaran atau perbuatan melawan hukum).

Dalam al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ dijelaskan bahwa masalah taqshir

mencakup banyak akad: “Perbuatan melalaikan (taqshir) dapat mewajibkan ganti rugi dalam

bidang muamalat pada akad-akad yang dasarnya tidak terdapat ganti rugi padanya seperti

akad wadi’ah, wakalah, rahn, musaqah, mudharabah, dan ijarah, karena pelaku kelalaian

adalah penyebab dari terjadi kerugian atau kerusakan harta dengan cara tidak melakukan apa

26 Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Mujallad

al-’Arabi, 1985), h. 229 27 Lisanul 'Arab, 7:268 28 al-Jurjani, at-Ta'rifaat, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1405 H), cet. 1, hal. 49 29 Ibnu 'Abidin, Hasyiyah, 1:217; as-Sarakhsi, al-Mabsuth, 11:129; dan, Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-

Qadir, 1:241 30 Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian

Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 148

Page 29: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

29

yang semestinya dilakukannya dalam menjaga harta tersebut. Hal ini disepakati oleh para

ulama.”31

d. Pengertian Ta’addiy Sebagai Istilah Umum dari Kelalaian

Kata at-ta’addiy dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, mengandung

pengertian “melampaui suatu hak kepada suatu perbuatan aniaya”.32 Sedangkan secara istilah

fikih adalah sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-

Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat,

tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”.33

Secara bahasa, ta'addiy berarti "perbuatan aniaya dan melampaui batas",34 sedangkan

dalam istilah fuqaha at-ta'addiy didefinisikan oleh Nazih Hammad dalam Mu`jam al-

Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ sebagai "melampai apa yang seharusnya pada batasnya secara

syariat dan 'urf (tradisi).35 Definis tersebut cukup memadai, namun dalam penjelasan definisi

tersebut belum mencakup substansi ta’addiy secara menyeluruh, karena tidak memasukkan

faktor-faktor selain pelanggaran terhadap isi kontrak.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ta’addiy adalah melanggar kebenaran, atau apa-apa yang

diizinkan syariah, atau tidak melakukan suatu perbuatan hati-hati yang dapat melindungi dari

bahaya meskipun terdapat “izin dalam melakukan suatu perbuatan”. Seperti membuat lobang

di tanah milik sendiri adalah boleh, tapi jika ada orang atau hewan terjatuh ke lobang itu, ia

bertanggungjawab atas perbuatannya jika ia sembarang menggali, atau tidak membuat tanda

khusus. Atau seperti, menyalakan api saat angin kencang di rumahnya, atau seperti membawa

barang di jalanan adalah boleh tapi jika menimpa barang atau orang lain, maka ia

bertanggungjawab.36 Jadi meskipun perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang dibolehkan,

tapi ia tidak hati-hati dalam melakukannya, maka ia menanggung akibat perbuatannya itu.

Wahbah az-Zuhailiy dalam Nazhariyyah ad-Dhaman37 menegaskan prinsip dari

perbuatan ta’addiy adalah keluar dari perilaku yang biasa bagi seorang laki-laki biasa, atau

31 Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian

Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149 32 Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 1:179 33 Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216 34 Ibnu Manzhur: Lisanul Arab, 15:33 35 Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ, (Riyadh: ad-Dar al-‘Alamiyyah li al-Kitab

al-Islamiy, 1995), cet. 3, hal. 117. 36 DR. Wahbah az-Zuhaili ,al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1989), Jilid. 5, h. 748 37 Aiman Shalih, Hikmah Dhaman al-Fi’l adh-Dharr wa Atsaruha fi Tahdid Mujibatih fi al-Fiqh al-

islamiy, Makalah: Jurnal Mu’tah li al-Buhuts wa ad-Dirasat, Jilid 17, edisi 4, 2002, diterbitkan oleh Universitas

Mu’tah, Yordania, hal. 6

Page 30: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

30

ta’addiy adalah pekerjaan berbahaya tanpa ada hak atau suatu pembolehan secara syara’,

sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu an-Nujaim dalam Kitab al-Asybah. Maka, prinsip

ta’addiy adalah “menyalahi apa yang ditentukan oleh syara’ atau tradisi ‘urf. Apabila

ta’addiy adalah perbuatan melampaui suatu batas yang ia harus berhenti padanya, maka

prinsipnya kembali kepada hukum kebiasaan masarakat terhadap hal-hal-hal yang mereka

anggap suatu perbuatan melampaui batas, baik tradisi ‘urf itu berupa tradisi umum ataupun

tradisi khusus. Dan ta’addiy mencakup melampaui batas, melalaikan suatu kewajiban,

meremehkan, tidak hati-hati, demikian juga dengan kesengajaan dan tersalah.38

Suatu tanggungjawab tidak hanya karena perbuatan berbahaya tapi harus dikatikan

dengan adanya ta’addiy. Istilah ta’addiy lebih baik dari istilah “kesalahan” dalam hukum

konvensional karena ta’addiy langsung terkait dengan kewajiban harta benda, kata ta’addiy

jelas memandang pada hasil perbuatan bukan pada perbuatan pelaku, terakhir, kata ta’addiy

mencakup perbuatan salah, sengaja, lalai, meremehkan, dan sejenisnya, sedangkan kata

“kesalahan” mencakup unsur kesengajaan secara kabur.39

e. Pendapat Imam asy-Syathibiy tentang Ta’addiy

Berhubungan teori umum ta’addiy, penting untuk disimak komentar Abu 'Ubaidah

Masyhur ibn Hasan Âli Sulaiman dalam menjelaskan pendapat asy-Syathibi dalam membahas

konsep “kesemenaan dalam menggunakan hak dengan bersebab (tasabbub) dalam Kitab al-

Muwafaqat:

Jika dicermati uraian dari asy-Syathibi, dapat kita simpulkan beberapa hal berikut:

Pertama, pendapat asy-Syathibi persis sama dengan teori-teori hukum modern yang

berhubungan dengan masalah “kesalahan dalam menggunakan hak”, jika tidak lebih maju dari

teori modern pada beberapa aspek dari sisi uraian dan rasionalitas, terutama apabila kita

analogikan dengan zaman buku ini (al-Muwafaqat) ditulis. Kedua, asy-Syathibi, telah

mendirikan suatu teori terhadap tujuan umum syariat, yaitu bahwa “kesalahan dalam

menggunakan hak” termasuk dalam masalah “melakukan suatu perbuatan pelanggaran dengan

cara bersebab”, dan penulis juga sudah memberikan bantahan-bantahan yang sudah dipahami

penulis dalam tulisannya sebelumnya (Lihat al-Muwafaqat, Jilid. 1, halaman 376). Ketiga,

menurut asy-Syathibi, unsur-unsur ta’addiy terdiri dari tiga hal, yaitu:

38 Dikutip Wahbah dari Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ,

(Kuwait: Kementrian Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 29, hal. 216 39 Nashir ibn Muhammad al-Jaufan, at-Ta’widh ‘an as-Sijn: Dirasah Muqaranah, Riyadh: Jurnal al-

Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah, edisi: 61

Page 31: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

31

1. Perbuatan yang bermaksud pada bahaya secara murni, perbuatan ini dianggap sebagai

perbuatan ta’addi utama.

2. Penilaian, dugaan, atau perkiraan kuat (mazhinnah) adanya kesengajaan atau bertujuan

untuk membahayakan, perbuatan ini dianggap ta’addi yang disimpulkan dari karenah-

karenah (bukti atau faktor-faktor yang menguatkan).

3. Perbuatan meremehkan atau melalaikan (al-ihmal) sesuai dengan substansi sosial yang

diperintahkan Islam. Dimana idealnya adalah pelaku semestinya melakukan suatu

perbuatan hati-hati agar tidak terjadi bahaya pada pihak lain. Atau dengan uangkapan

lain “sikap lalai dalam melakukan suatu perbuatan yang semestinya dilakukan dengan

benar (sesuai prosedur), dan malalaikan substansi-substansi syariat dari perbuatan

tersebut.

Keempat, Penulis menteorikan suatu “perbuatan semena-mena dalam mengunakan

hak” dengan cara bersebab, dan dia tidak mengikuti prinsip-prinsip ta’addiy yang

dikemukakan oleh mayoritas fuqaha terdahulu.40

2. Prinsip-Prinsip Kelalaian Penyebab Ganti Rugi dalam Fikih

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa kelalaian dapat terjadi karena “meninggalkan

suatu perbuatan yang mesti dilakukan secara syariat dan tradisi” (taqshir) dan juga dapat

terjadi karena “melakukan suatu perbuatan karena melampaui batas” (ta’addiy), maka di sini

penulis perlu menjelaskan kedua aspek yang berkaitan dengan kelalaian ini.

a. Bagaimana Suatu Perbuatan Dianggap Melampaui Batas?

Perbuatan melampaui batas (ta'addiy) dapat terjadi karena:

1) Melanggar kesepakatan yang terdapat dalam akad, seperti mudharib yang melanggar

persyaratan dengan rabbul mal dengan tidak membawa harta itu dalam perjalanannya,

maka mudharib bertanggungjawab terhadap bahaya yang menimpa harga itu karena ia

bawa dalam perjalanannya, sedangkan pada hukum dasar menyatakan bahwa mudharib

tidak bertanggungjawab.

2) Melanggar tradisi yang sudah populer di masarakat secara umum, karena keberlakuan

hukum 'urf sama dengan nash syara', Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara

umum, dan tidak terdapat suatu standar khusus untuknya, demikian juga tidak ada

40 asy-Syathibiy, al-Muwafaqat, sesuai komentar (ta’liq) dari Abu 'Ubaidah Masyhur ibn Hasan Âli

Sulaiman, (KSA-Khubar: Dar Ibnu 'Affan, 1997), Jilid. 3 hal. 56. Sedangkan dalam Kitab al-Muwafaqat dalam

CD al-Maktabah asy-Syamilah, terbitan Dar al-Ma'rifah, Beirut, tahkik Abdullah Darraz, dapat dilihat pada

halaman 349.

Page 32: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

32

standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu ditetapkan oleh tradisi masarakat

(‘urf),41 maka apabila terdapat sengketa antara rabbul mal dan mudharib atas suatu

perbuatan mudharib, apakah perbuatan itu dianggap sebagai ta'addiy atau tidak, maka ia

dikembalikan pada para ahli yang berpengalaman dalam bidangnya (ahl al-khibrah)42

untuk menyelesaikan sengketa ini.43

Sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-

Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar

syariat, tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”,44 maka subtsansi dari perbuatan ta’addiy telah

tercakup dalam definisi ini.

b. Bagaimana suatu perbuatan dianggap lalai?

Setelah menjelaskan pentinya kajian taqshir (kelalaian), al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-

Kuwaitiŷaħ menjelaskan kriteria taqshir yang menyebabkan ganti rugi: “Perbuatan

melalaikan (taqshir) yang menyebabkan ganti rugi adalah semua hal yang dianggap manusia

merupakan perbuatan lalai secara urf (tradisi masarakat) dalam menjaga suatu jenis amanah.

Maka, penilaian hakim terhadap kelalaian akan berbeda sesuai dengan sifat alamiah suatu

perkara, dan para ulama sudah mengemukakan banyak contoh perbuatan melalaikan dalam

bab-bab yang bermacam-macam, jika kita ingin mengkaji lebih dalam, dapat dikaji masing-

masing masalah akad tersebut.” Misalnya, jika seorang hakim sembrono dalam menghukum

karena tidak melakukan pemeriksaan terhadap saksi maka ia adalah kelalain, atau jika seorang

dokter mengobati seseorang, lalu ia terbukti melakukan kelalaian dalam pengobatan, atau

salah secara menyolok, maka ia bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, hal ini disepakati

oleh para ulama.45

Dengan demikian, obyek dari hukum kelalaian adalah segala perbuatan yang terkait

dengan hukum amanah yang terdapat dalam akad seperti modal yang ada di tangan mudharib,

barang titipan yang ada di tangan penerima tititpan, kekuasaan yang ada di tangan wakil, dan

bahan-bahan yang terdapat di tangan shani’ dalam akad istishna’.

41 as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 1:98 42 al-Buhutiy, Syarh Muntaha al-Iradat, 2:269 43 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 31-32 44 Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216 45 Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian

Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149

Page 33: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

33

c. Melanggarkan Isi Kontrak46

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa perbuatan ta'addiy dapat terjadi karena

melanggar isi kontrak, maka di sini perlu dijelaskan tentang hakikat pelanggaran isi kontrak

yang dapat menyebabkan ganti rugi. Melanggar isi kontrak adalah perbuatan melawan hukum

yang masuk dalam kategori ta’addiy.

Dasar hukum perikatan Islam adalah bahwa para pihak dalam akad harus memenuhi

syarat-syarat yang mereka buat karena Rasulullah saw telah bersabda:

مذ ي عن عمرو بن عوفإ وف رواة واملسلمون علي يروطهم باله يرطا أحله حراما أو حرهم حالال )رواه ابن ماجة و أبؤو او و التي

47م الخار عن ابن عها،: املسلمون عند يروطه

“Kaum muslimin harus mentaati persyaratan atau perjanjian yang mereka buat, kecuali

apabila persyaratan atau perjanjian itu menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang

halal”, dan dalam riwayat al-Bukhariy berbunyi: “Kaum muslimin harus menta’ati perjanjian

atau persyaratan yang mereka buat” (HR. Ibnu Majah, Abû Dawud, dan al-Tirmidzi dari

‘Amru ibn ‘Auf. Sedangkan pada riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Oleh karena itu, kedua pihak wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka buat, maka

jika mudharib melakukan suatu perbuatan yang melanggar isi kontrak mudharabah atau jika

penerima titipan melanggar isi kontrak wadiah, maka si pelanggar bertanggungjawab atas

perbuatannya jika terjadi kerugian terhadap barang karena ia sudah melakukan suatu

perbuatan di luar izin pemilik harta.

Misal lainnya, jika rabbul mal mensyaratkan agar mudharib tidak melakukan suatu

komoditi tertentu, lalu ia melanggar, maka ia menanggung rugi meskipun ia sudah hati-hati

dalam melakukan perdagangannya karena ia sudah mengelola harta orang tanpa persetujuan

pemiliknya.

Jika penitip mensyaratkan agar titipan tidak dikeluarkan dari tempat penyimpanannya

yang sudah ditentukan, lalu penerima titipan mengeluarkan tanpa ada suatu keadaan darurat,

maka bertanggungjawab karena melanggar isi kontrak.

46 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 32 47al-Imâm al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), h. 60, dan: al-

Imâm Muhammad al-Shan’âni, Subul, op.cit., h.59

Page 34: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

34

d. Melanggar Tradisi

‘Urf dalam istilah hukum konvensional disebut juga dengan adat kebiasaan atau tradisi

yang terdapat pada suatu masarakat tertentu termasuk aspek etika dan kesusilaan yang berlaku

pada mereka, dan ia akan berobah sesuai dengan berobahnya tempat, waktu, dan pelaku.

Maka, kajian terhadap ‘urf menempati ruang yang sangat luas dalam penyelesaian hukum-

hukum perdata pada umumnya, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum

konvensional.

‘Urf menempati porsi yang sangat besar dalam bidang hukum perbuatan manusia,

maka ia harus diketahui dan ditaati oleh masing-masing berakad. Sehingga para

memunculkan suatu kaidah umum ushul fikih yang masyhur, yaitu:

العاة مكهمة

“Suatu Adat kebiasaan menjadi dasar hukum”, yang bermaksud bahwa kebiasaan manusia

pada umumnya pada suatu tempat atau waktu, baik ucapan ataupun perbuatan dijadikan

sebagai dasar dalam menghukumi sesuatu selama tidak berlawanan dengan nash syara'.

Selanjutnya untuk lebih mempertegas dan menjelaskan posisi adat dalam hukum Islam, para

ulama memberikan suatu kaidah yang disepakati, yaitu:

ف اللغة فؤرجع فيها بل العرف فيه وال ال ضابط لهكل ما ور به الشرع منلقا و

“Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara umum, dan tidak terdapat suatu standar

khusus untuknya, demikian juga tidak ada standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu

ditetapkan oleh tradisi masarakat (‘urf)”, dan kaidah:

العمل با استعمال النها، حجهة يب

“Suatu kebiasaan manusia menjadi suatu dalil yang wajib diamalkan”

العمل با استعمال النها، حجهة يب

Suatu kebiasaan manusia menjadi suatu dalil yang wajib diamalkan

التؤهقييد الثهابت بلعرف كالثهابت بلنهصي

Page 35: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

35

Suatu hal yang sudah kokoh secara tradisi mempunyai kedudukan yang sama kokohnya

dengan nash.

المشروط يرطاس المعروف عرفا ك

Kedudukan suatu tradisi seperti suatu syarat yang dibuat.

المتؤعارف بؤني التجهار كالمشروط إ املعروف بني التجار كاملشروط بينهم

Sesuatu yang sudah ma'ruf dikalangan pebisnis, maka ia seperti syarat bagi mereka

تنع حقيقة الممتنع عاة كالمم

Sesuatu yang tidak mungkin secara hukum kebiasaan, maka ia dianggap tidak mungkin secara

realita.

ال ؤنكر ؤغيؤر الحكام لتؤغي الزهمان

Perubahan hukum karena berubahnya zaman tidak dapat diingkari/dibantah

عرف أو يرع اقؤتياه وما ضروراه من هو ما فيه خل ييئا بع من

Barangsiapa yang menjual sesuatu, maka akan masuk padanya segala sesuatu yang sudah

menjadi kelazimannya, dan semua yang dituntut oleh syara' dan tradisi.

ئا ملك ما هو من ضروراه وؤوابعه المعتاة من ملك ي يؤ

Barangsiapa yang memiliki sesuatu, maka ia juga memiliki sesuatu yang sudah semestinya

mengikuti barang tersebut sesuatu dengan tradisi suatu masarakat terhadap barang tersebut.

Diantara contoh-contoh adat sebagai rujukan yang dikemukakan para ulama adalah:

1) Belanja di Supermarket tanpa ada ijab qabul termasuk terhadap bukan barang remeh

(muhaqqarat).

2) Seorang tukang angkut barang wajib meletakkan barang dalam rumah jika tradisi

memang bergitu.

Page 36: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

36

3) Barang yang dibeli dapat dikembalikan karena cacat, jika cacat tersebut diakui secara

tradisi oleh pelaku pasar, tapi jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai cacat,

maka tuntutan tidak dapat diterima.

4) Barang yang biasanya dilakukan secara mu'athâh, maka ia sah, dan sebaliknya (seperti

rumah atau ternak).

5) Akad muqawalah (istishna' konstruksi rumah kontemporer)

6) Pemberian upah kepada makelar, berikut jumlahnya, meskipun tidak disebutkan dalam

akad.

7) Memberi hadiah jeruk beralas piring, jika tradisi menunjukkan bahwa piring itu

biasanya dikembalikan, maka ia harus dikembalikan.

8) Jam waktu kuli harian merujuk pada tradisi saat tidak ditentukan oleh akad.

9) Jika dulu beras (dan sejenis) dijual/diukur dengan ditakar, maka tradisi sekarang

dengan ditimbang, dan hal tersebut diakui secara hukum.

10) Membeli sebuah mobil berikut alat-alat perbaikan dan ban serap adalah tradisi yang

sudah kokoh. (kuda dengan pelana atau tapal)

11) Mata uang yang digunakan dalam suatu pasar adalah mata uang populer, ketika terjadi

sengketa.

12) Menjual anggur pada orang yang biasanya pembuat khamar tidak boleh karena itu

tradisinya.

13) Menjual rumah atau toko pada seseorang yang biasanya ia untuk tempat maksiat.

14) Memberi hadiah pada pejabat (biasanya dengan tujuan buruk).

15) Memberi hadiah pada pejabat atau kreditor memang dilarang, jika hal itu menjadi

kebiasaan sebelumnya, maka dibolehkan.

16) Suatu kebiasaan yang sudah populer di kalangan para pedagang sama kedudukannya

dengan syarat yang mereka buat sesama mereka.

17) Dalam suatu pasar jika tidak disebutkan metode pembayaran, apakah secara tunai atau

tangguh, maka hal itu dikembalikan pada tradisi mereka

Page 37: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

37

18) Jika seseorang meminjam motor pada temannya, maka motor itu harus digunakan

sesuai cara yang biasa dalam masyarakat.

19) Jika ada orang yang dikenal miskin menuntut bahwa seseorang yang dikenal kaya

berhutang kepadanya dalam suatu jumlah yang tidak biasa terjadi, maka tuntutannya

tidak dapat diterima

20) Dulu membeli rumah cukup dengan melihat sebagiannya, sekarang dilihat dengan

secara terukur dan teliti, bagian perbagian, karena rumah masa dulu tidak rumit

susunannya.

21) Imam Abu Hanifah melarang jual beli ulat sutra, lalu Imam Muhammad

membolehkannya karena pada zamannya ulat sutra sudah dianggap harta.

22) Menjual rumah, lalu didapati pembeli terdapat didalamnya sekantong uang, uang itu

tidak termasuk bagian dari rumah biasanya. Yang masuk dalam ikutan rumah adalah:

sumur, tanah, barang tambang dalam tanah, sumber air, atap, dst.

23) Menjual tanah berarti termasuk bangunan dan pon yang terdapat padanya. Tapi jika

tanaman muda, ini dikembalikan pada tradisi.

Sekiranya tradisi suatu masarakat mengharuskan seorang penyewa tidak boleh

menyewakan lagi rumah sewaannya pada orang lain, lalu ia tetap melakukannya, maka ia

bertanggung jawab atas kerusakan yang menimpa rumah tersebut.

Oleh karena itu, mengetahui suatu tradisi mesti dilakukan semua orang, terutama

seorang hakim, dan jika hakim tidak mengetahui tradisi, maka ia harus bermusyawarah

dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman (ahl al-khibrah).

e. Melanggar Suatu Maslahat Akad

Kewajiban atas seorang penjaga amanat adalah menjaga harta amanat sesuai dengan

maslahat harta tersebut, maka jika penerima amanah melakukan suatu perbuatan yang

menafikan maslahat penjagaan, maka ia bertanggungjawab atas kerusakan barang.

Misalnya, jika penyewa suatu barang berani menyewakan lagi pada orang lain yang

kurang amanah dari dirinya, maka ia bertanggungjawab terhadap barang yang disewa,

meskipun kerusakan yang diakibatkan penyewa kedua sama dengan penyewa pertama, karena

Page 38: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

38

penyewa pertama telah melakukan suatu perbuatan yang menafikan kemaslahatan barang

yang semestinya.48

Dan jika seorang penerima wasiat melakukan suatu kontrak, sedangkan ia tahu bahwa

konفrak tersebut akan merugikan dan menyebabkan bahaya terhadap harta, maka ia

bertanggungjawab.

f. Melanggar Tabiat Akad

Tabiat akad wadiah adalah menjaga harta, sedangkan tabiat akad mudharabah adalah

mencari laba, tabiat akad wakalah adalah menjaga kepentingan pewakil.

Jika seseorang menerima suatu akad titipan, dengan syarat tidak memindahkan titipan

itu dari tempat penyimpanannya, lalu tiba-tiba api menyala di dekat titipan itu, maka

kewajiban penerima titipan adalah memindahkan barang itu meskipunn dengan demikian ia

telah melanggar perjanjian, dan sekiranya ia tetap membiarkan, maka ia bertanggungjawab

karena perbuatan ini berlawanan dengan tabiat akad.49

B. Teori Kelalaian dalam Hukum Positif

Sebagaimana sudah dibahas, dalam hukum positif perbuatan ta’addiy disebut dengan

“kesalahan” yang dalam bahasa Arabnya adalah al-khatha’ (الحطأ). Para ahli hukum

konvensional di Timur Tengah, juga menggunakan istilah sama dengan ahli hukum di

Indonesia, yaitu kesalahan. Dan juga sudah dikemukakan bahwa istilah ta’addiy lebih tepat

dari istilah khatha’ ditinjau dari aspek bahasa maupun dari aspek substansi hukum.

Dalam membahas teori kelalaian dalam hukum positif, terdapat beberapa hal yang

perlu dibahas, yaitu 1) hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu hukum karena ilmu ekonomi

digunakan oleh ilmu hukum dalam memproduk suatu hukum dimana analisa ekonomi sangat

berguna bagi ilmu hukum dalam menimbang maslahat dari penerapan suatu hukum sehingga

tujuan utama dari pembentukan dan penerapan hukum tercapai, 2) Teori Tanggung Jawab

48 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 33 49 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 34

Page 39: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

39

Hukum, karena prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum konvensional diperoleh dari teorin

tanggungjawab hukum, 3) Teori perbuatan melawan hukum, karena kelalaian merupakan

salah bentuk perbuatan melawan hukum, 4) Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis,

karena untuk menilai apakah suatu perbuatan dianggap suatu kelalaian atau tidak tergantung

dari penilaiann terhadap itikad baik pelaku, 5) Sosiologi hukum, karena hukum tidak hanya

akan melihat bahwa pelaku kelalaian telah melakukan suatu perbuatan lalai yang

menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tapi dari aspek sosial mengapa ia melakukan

kelalaian, 6) hukum adat, karena kebanyakan masalah kelalaian merujuk pada hukum adat

atau tradisi suatu tempat pada waktu tertentu dengan pelaku tertentu, 7) Kelalaian dan ganti

rugi dalam hukum positif Indonesia, dan 8) Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah.

1. Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam Integrasi dan Interkoneksi Ilmu

Secara keilmuan, ilmu hukum dan ilmu ekonomi saling berkaitan karena keduanya

berkaitan dengan perilaku manusia. Secara luas, ilmu hukum mengatur perilaku manusia,

sementara ilmu ekonomi mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya

sehingga kedua memiliki hubungan yang erat, saling mengisi (interdependence) satu sama

lainnya, saling membutuhkan, dan tidak dapat berdiri sendiri.50

Interaksi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan, karena

keduanya mempunyai persamaan dan keterikatan di dalam teori-teorikeilmuan tentang

perilaku (scientific theories of behavior). Ilmu ekonomi menyediakan acuan normatif untuk

mengevaluasi hukum dan kebijakan, sementara hukum bukan hanya berupa misteri rahasia,

argumen-argumen teknikal, namun berupa alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang

penting. ilmu ekonomi memprediksi terhadap efesiensi kebijakan.51

Sebagai contoh penerapan ilmu ekonomi terhadap hukum, dalam hukum kontrak.

misalnya, teori tawar-menawar (bargaining theory) yang menjadi jembatan penghubung ke-

interpendesian antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi.52 Menurut Posner, teori tawar menawar

ini merupakan bentuk kemanfaatan dalam memperoleh atau mempersamakan posisi tawar

50 Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,

hal. 30 51 Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,

hal. 31 52 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 7th edition, Aspen Publisher, New York, 2007, hal. 3,

249-259, sebagaimana dikutip dalam Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II,

(Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1, hal. 31

Page 40: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

40

menawar untuk menemukan kehendak dan tujuan yang sama sehingga tercapai kesepakatan

yang seimbang (fair).

Di dalam hukum dan ekonomi, keingingan mencapai tujuan hukum tidak diarahkan

mentah-mentah ke arah keadilan dan kepastian hukum, tetapi ke arah efisiensi. artinya, suatu

pengaturan hukum (regulation of law) adalah "baik" apabila menghasilkan keadila yang

nmenjadi standar manusia, misalnya mencapai kesejarhteraan sosial dengan maksimum

(maximum of social welfare).53

Oleh karena itu, hukum sebagai entitas ekonomi yang selalu digunakan manusia

sumber daya (resources) dalam interaksi sosialnya harus mengarah pada suatu keadilan secara

umum dan juga secara individual. misalnya hukum ekonomi "supply and demand" berbicara

tentang teori ekonomi tentang kekuatan tawar menawar antara dua sisi penawaran dan

permintaan, namun hubungan tersebut dapat berakibat buruk bagi publik meskipun baik bagi

beberapa indvidu. Hukum ekonomi, hanya menjelaskan suatu fenomena ekonomi, sedangkan

baik buruknya harus diluruskan oleh hukum keadilan untuk semua (justice for all). Misalnya,

jika pasar dibiarkan sebebas-bebasnya, maka pihak lemah tidak akan terlindungi, lalu

terjadilah hukum rimba.

Maka, kesejahteraan individu atau masalah pendistribusian bukan yang menjadi pokok

pengkajian dalam hukum dan ekonomi, tapi kesejarhteraan total masarakat yang menjadi

salah satu satu orientasi pembelajaran. Untuk memprediksi itu semua digunakan konsep-

konsep dan teori ilmu ekonomi sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai

dampak dan akibat, misalnya dalam mengubah hukum: akan seperti apakah efek perubahan

hukum mempengaruhi keputusan pelaku pasar? bagaimana keputusan pelaku pasar ini

mempengaruhi kesejahteraan sosial masarakat? Ilmu ekonomi berguna membantu

mendudukkan kembali permasalahan hukum dengan jawaban dan ekplanasi lebih konkret,

dengan pengertian lebih definitif. Selanjutnya ilmu ekonomi inilah yang dijadikan pendekatan

kepada hukum untuk memperluas domain hukum sekaligus mencermatinya.54

Berkaitan dengan hukum kelalaian, kajian lebih mendalam terhadap fenomena

ekonomi atau sosiologi ekonomi akan memberikan kontribusi yang besar bagi para ahli dan

praktisi hukum dalam memproduk hukum ekonomi yang lebih tepat dan adil. Serta kajian ini

53 A.C. Pigou, The Economics Welfare (4th edition), 1932, dikutip dalam Fajar Sugianto, Seri Analisis

Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1, hal. 32 54 Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,

hal. 33

Page 41: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

41

menjadi ruang yang luas bagi para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih luas,

karena kajian ini akan menghasilkan ‘urf atau adat kebiasaan serta nilai-nilai yang terdapat

dalam suatu komunitas.

2. Teori Tanggungjawab Hukum

Teori tanggungjawab, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the theory of legal

liability, bahasa Belandanya disebut de theorie van wetteleijke aansprakeelijkheid, sedangkan

di dalam bahasa Jerman disebut dengan die theorie der hafting merupakan teori yang

menganalisis tentang tanggungjawab subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan

melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian atau cacat, atau

matinya orang lain. Ada tiga unsur yang terkandung dalam tanggungjawab hukum, yang

meliputi: 1. Teori, 2. Tanggungjawab, dan 3. Hukum.55

Dalam bahasa Indonesia, kata tanggungjawab berarti “keadaan wajib menanggung

segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan

sebagainya). Menanggung diartikan sebagai bersedia memikul biaya (mengurus, memelihara),

menjamin, menyatakan kedaan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban. Pengertian

tanggungjawab atau verantwoordelijkheid secara rinci, diartikan oleh Algra dkk., dengan:56

"Kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila

dituntut), baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi”.57

Tanggungjawab hukum dalam definisi ini adalah jenis tanggungjawab yang

dibebankan kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum

atau tindak pidana. Sehingga yang bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan/atau

menjalankan pidana. Sedangkan tanggungjawab administratif tertuju pada pelanggaran

administratif, seperti pelanggaran administratif dokter sehingga dicabut izin prakteknya.

Sedangkan teori tanggungjawab hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis

tentang kesediaan dari subyek hukum atau pelaku tindak pidana untuk memikul biaya atau

kerugian atau melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya.

55 Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2013), cet. 2, hal. 206 56 Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2013), cet. 2, hal. 207 57 N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, (Jakarta: Binacipta,

1983), hal. 68, dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 208

Page 42: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

42

Tanggungjawab hukum dapat dikategorikan dalam tiga bidang tanggungjawab, yaitu:

1. perdata, 2. pidana, dan 3. administrasi.

Dalam bidang perdata, munculnya tanggungjawab dalam bidang ini adalah disebabkan

karena subyek hukum tidak melaksanakan prestasi dan/atau melakukan perbuatan melawan

hukum. Prestasi subyek hukum berupa melakukan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu. Apabila subyek hukum itu tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dapat digugat

atau dimintai pertanggungjawaban perdata, yaitu melaksanakan prestasi dan/atau membayar

ganti rugi kepada subyek hukum yang dirugikan sebagaimana tercantum dalam pasal 1346

KUH Perdata, yaitu:

1. kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian; dan

2. keuntungan yang sedianya akan diperoleh.58

Begitu juga dalam subyek hukum melakukan perbuatan melawan hukum, maka

subyek hukum dapat dituntut membayar ganti kerugian, sebagaimana yang diatur dalam pasal

1365 KUH Perdata. Timbulnya ganti rugi ini disebabkan subyek hukum melakukan kesalahan

kepada subyek hukum lainnya. kesalahannya berupa subyek hukum melakukan perbuatan

melawan hukum. Menurut H.R. 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum

adalah berbuat atau tidak berbuat yang:

1. melanggar hak orang lain

2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku kewajiban hukum hanya kewajiban yang

dirumuskan dalam aturan undang-undang.

3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu

bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam

masarakat; dan,

4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masarakat. aturan tentang

kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu: (1) aturan-aturan yang mencegah orang lain

terjerumus dalam bahaya, dan (2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain

ketika hendak menyelenggarakan kepentingan sendiri.59

58 Dalam hukum ekonomi Islam, tentunya hal ini berkaitan dengan riba, dan hal ini jelas dilarang keras

dalam Islam, maka riba harus menjadi pengecualian dalam kaidah ini. 59 Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, diterjemahkan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas

Airlangga, 1985), hal. 118, dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 208-209

Page 43: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

43

Prinsip-prinsip Tanggungjawab Hukum

Prinsip tanggungjawab hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. liability based on fault; dan

2. strict liability ((pasal 5 KUH Perdata))

liabelity based on fault, baru memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan

adanya kesalahan pada pihak tergugat. kesalahan merupakan unsur yang menetukan

pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban

memberikan ganti rugi. perintah untuk membuktikannya ini diintrodusir dalam pasal 1365

KUH Perdata. Pasal 1865 KUH Perdata berbunyi:

"Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia medasarkan suatu hak, diwajibkan

membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa

guna membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan persitiwa-peristiwa itu".

Ketentuan ini mensyaratkan pihak tergugat membuktikan adanya kesalahan-kelsahan

yang dilakukan oleh tergugat. untuk membuktikan adanya kesalahan itu, maka pihak tergugat

harus membuktikannya berdasarkan alat-alat bukti, sebagaimana yang diintrodusir dalam

pasal 1866 KUH Perdata. Alat bukti terdiri atas lima macam, yaitu:

1. tulisan;

2. saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan

5. sumpah (Pasal 1866 KUH Perdata)60

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan akta autentik dan akta bawah tangan.

Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa

untuk itu di tempat dimana akta dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata). sedangkan akta di abwah

tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa bantuan notaris.

Saksi-saksi adalah orang yang mengetahui tentang peristiwa-peristiwa atau perbuatan

melawan hukum yang dilakukan pihak tergugat maupun pihahk penggugat. Yang diartikan

strict liability (tanggungjawab mutlak) sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan

60 Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2013), cet. 2, hal. 211

Page 44: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

44

ditimbulkannya kerusakan. salah satu ciri utama tanggungjawab mutlak tidak adanya

persyaratan tentang perlunya kesalahan. Pihak penggugat tidak perlu membuktikan tergugat

bersalah, namun pihak tergugatlah yang harus membuktikannya.

Teori tradisional tanggungjawab oleh Hans Kelsen mengemukakan bahwa

tanggungjawab dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. tanggungjawab yang didasarkan kesalahan; dan

2. tanggungjawab mutlak.61

Tanggungjawab yang didasarkan kesalahan adalah tanggungjawab yang dibebankan

kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau

perbuatan pidana karena adanya kekeliruan atau kealpaannya (kelalaian atau kelengahan).

Kelalaian adalah suatu keadaan dimana subyek hukum atau pelaku lengah, kurang hati-hati,

tidak mengindahkan kewajibannya atau lupa melaksanakan kewajibannya.

Dalam masarakat modern, tanggungjawab meliputi:

1. Pembatasan kepada keadaan yang tidak sepenuhnya kewajiban untuk mengambil

tindakan, seperti dalam keadaan normal.

2. Dapat menghindarkan akibat-akibat dari tindakan manusia yang membahayakan.

3. Jika tindakan seorang individu telah menimbulkan suatu akibat yang

membahayakan pada seorang individu lainnya, dia dapat terbebas dari sanksi pidana atau

perdata dengan jalan membuktikan bahwa dirinya tidak menduga atau tidak mengehendaki

akibat yang membahayakan dari tindakannya; dan

4. yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban hukum untuk mengambil tindakan

yang dalam keadaan normal, mesti dapat menghindarkan akibat yang membahayakan

tersebut.

Menurut Wright, berdasarkan standar no worse limitation, tidak ada pembatasan

tanggungjawab terhadap suatu perbuatan melawan hukum jika jelas adanya suatu kesalahan

dan yang mempunyai kontribusi langsung berdasarkan asas kausalitas suatu kerugian.

61 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2006), hal. 95..... dalam: Salim

HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 211

Page 45: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

45

Jadi kerugian itu harus dilihat dari segala aspek, apakah berdiri sendiri ataukah ada

aspek lain yang menyebabkan kerugian tersebut.

Di Indonesia, tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (based on fault liability

theory), dikenal dengan tanggungjawab berdasarkan perbuatan yang melanggar hukum, dan

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu

karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Pada dasarnya konsep kesalahan

yang terdapat dalam pasal 1356 KUH Perdata mengandung dua aspek, sebagai berikut:

1. adil, jika seseorang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain karena

kesalahannya diwajibkan untuk membayar ganti rugi kerugian kepada korban atas kerugian

tersebut; dan

2. adil, jika seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain

tanpa kesalahannya tidak wajib untuk membayar ganti kerugian tersebut kepada korban.

Tanggungjawab berdasarkan praduga (presumption of liability theory) menyatakan

bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab, sampai tergugat dapat membuktikan

sebaliknya bahwa tergugat tidak bersalah. Teori tanggungjawab mutlak (strict liability theory)

merupakan teori yang mengkaji bahwa tanggung jawab yang berlaku tanpa keharusan adanya

pembuktian unsur kesalahan/kelalaian. Penerapan tanggungjawab mutlak ini tentu akan lebih

melindungi kepentingan konsumen tanpa mempermasalahkan, apakah pelaku usaha telah

melakukan kesalahan/kelalaian dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut.

4. Perbuatan Melawan Hukum

Salah satu cara dan wujud manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan adalah

melalui perjanjian. Korelasi antara hukum dan ekonomi sangat erat dan saling mempengaruhi

untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Perkembangan ekonomi akan mempengaruhi

peta hukum, sebaliknya perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang luas terhadap

ekonomi.62 Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kontrak atau

perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau

dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.63

62 Ibrahim, J., & Sewu, L. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern (Bandung: Refika Aditam,

2007), 39, 45

63 Subekti, R. Dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita,

2007), 338

Page 46: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

46

Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal

1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata hanya 15 Pasal,

tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan

perbuatan melawan hukum disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan

hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam

bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘tort’. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah

‘melanggar’ ada juga yang menggunakan istilah ‘melawan’ dalam menerjemahkan

onrechtmatige daad. Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai ‘perbuatan melawan hukum’

lebih tepat dibandingkan ‘perbuatan melanggar hukum’. Pertama, dalam kata ‘melawan’

melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya

dibandingkan dengan kata ‘melanggar’. Maksudnya adalah bahwa dalam kata ‘melawan’

dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata

‘melanggar’ cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja. Rumusan

Pasal 1365 KUH Perdata adalah “tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugiaan

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugiaan itu,

mengganti kerugian tersebut.”64 Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah

perbuatan ‘melukai’ (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).

Apalagi gugatan perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya

hubungan hukum kontraktual.65

Istilah perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara

sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena

undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri

yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat

dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum,

suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut

adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan

dalam pergaulan masyarakat. Meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan hukum,

maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :

1. Bertentangan dengan hak orang lain,

2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,

3. Bertentangan dengan kesusilaan baik,

64 R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,

2003), 346 65 Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of

Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 4

Page 47: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

47

4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat

mengenai orang lain atau benda.66

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu

sebagai berikut :

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. Kesengajaan merupakan perbuatan

yang dilakukan atas dasar mengetahui dan menghendaki, yaitu terjadinya kesengajaan

tidak dibutuhkan adanya maksud untuk merugikan orang lain, melainkan meskipun

mengetahui akibatnya, si pembuat tetap saja melakukan perbuatan tersebut. Kelalaian

merupakan perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat yang mengetahui akibat

perbuatannya itu kemungkinan merugikan orang lain. 67

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun

kelalaian). Kesalahan merupakan terjemahan dari kata schuld yang dalam arti luas

terdiri dari kesengajaan (opzet) dan kelalaian (onachtzaamheid). Debitur yang

mempunyai kesalahan, mengakibatkan ia berada dalam situasi tidak mampu lagi untuk

memenuhi kewajibannya, dalam hal ini kewajiban penyerahannya terhadap kreditur,

sehingga kerugian tidak dapat dihindari terhadap benda prestasinya. Berdasarkan Pasal

1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ditentukan bahwa adanya kewajiban

untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila debitur memiliki kesalahan. Perbuatan

debitur yang merupakan suatu kesalahan, syaratnya adalah dalam perbuatannya itu

harus terdapat unsur salah (schuld dalam arti luas). 68

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Sedangkan untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan

hukum diperlukan unsur-unsur:

1. Perbuatan tersebut melawan hukum;

2. Harus ada kesalahan pada pelaku;

3. Adanya kerugian. 69

Sifat melawan hukum suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan

hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang

materil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila

66 Martha Vivy, dkk “Pertanggung Jawaban Direksi Karena Kelalaian atau Kealahannya yang

Mengakibatkan Perseroan Pilit”, TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi, Volume 1, ( Feb-Mei 2013); 5 67 Setiawan, R. Pokok-pokok Hukum Perikatan. (Bandung: Binacipta, 1994); 17 68 Satrio, J. Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan. Bagian 2. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(1996), 90 69 Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi,(

Jakarta: Salemba Empat, 2009), 73

Page 48: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

48

perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-

undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan

terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya,

melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan

undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan

demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan

baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-

undangan.70

Dalam hal perbuatan melawan hukum, si pelaku dituntut untuk melakukan

pertanggung jawaban yang dilakukakannya sesuai dengan kadarnya. Dalam hukum Indonesia

model tanggung jawab hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana

terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat

dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367.71

Kelalaian merupakan salah satu perbuatan melawan hukum, walaupun semata lalai

bukan unsur kesengajaan. namun lebih dipicu oleh keadaan dimana seseorang atau

sekelompok orang kurang hati-hati dan cermat dalam melakukan atau tidak melakukan

sesuatu.

Dalam prakter perbankan nasional (termasuk syari’ah) tidak tertutup adanya kelalaian

tersebut, karena manusia tidak lepas dari sifat lupa dan salah atau ada situasi tertentu yang

membuat seseorang tidak sempurna dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jika

kelalaian hanya personal dan tidak berkaitan dengan orang, kerugian yang diakibatkan tidak

terlalu berpengaruh kepada si pelaku, namun jika kelalaian tersebut berada pada suatu ikatan

janji dan berhubungan dengan orang lain dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga, maka

kelalain tersebut bisa mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak terkait, termasuk oleh

perbankan syariah atau karyawan yang mewakilinya serta kelalaian yang diakibatkan oleh

nasabah bank tersebut.

70 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) hal. 115 71 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), 3.

Page 49: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

49

4. Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis

Aspek itikad baik, menempati porsi yang luas terhadap hukum kelalaian, karena

penilaian terhadap itikad baik akan menghasilkan sejauhmana kelalaian sudah terjadi pada

pelaku suatu perbuatan, dan rujukan yang paling utama dalam menilai itikad baik ada unsur

kepatutan, kerasionalan, dan adat kebiasaan. Untuk pra kontrak, semakin deteil suatu aturan

dalam bentuk manajemen dan isi kontrak, maka tingkat itikad baik dinilai makin baik, dan

sebaliknya, sedangkan dalam masa kontrak, kembali asas kepatutan berlaku sedangkan “asas

kepatutan” mempunyai ruang yang sangat luas” yang sangat dipengaruhi oleh keecrmatan

sebelum kontrak.

I'tikad baik telah menjadi asas yang sangat penting dalam hukum kontrak dan telah

diterima dalam berbagai hukum nasional dan internasional, tetapi sampai sekarang

permasalahan tentang definisi itikad baik tetap sangat abstrak. Tidak ada pengertian itikad

baik yang diterima secara universal. Pada akhirnya pengertian itikad baik memiliki dua

dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi kejujuran. Dimensi kedua adalah dimensi

yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatuttan atau keadilan.

Kecenderungandewasa ini dalam berbagai sistem hukum mengaitkan itikad baik pelaksanaan

kontrak dengan kerasionalan dan kepatutan. Jadi, ini itikad baik yang bersifat obyektif.

Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata harus didasarkan pada

kerasionalan dan kepatutan. Itikad baik pra kontrak tetap mengacu kepada itikad baik yang

bersifat subyektif. Itikad yang bersifat subyektif ini digantungkan pada kejujuran para pihak.

Dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak, pihak krediturn memiliki kewajiban untuk

menjelaskan fakta materil yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan sedangkan

debitur memiliki kewajiban untuk meneliti fakta materiil tersebut. Terciptanya itikad baik

dalam tahap pra kontrak ini sangat dipengaruhi ajaran culpa ini contrahendo.

Standar itikad baik dalam prakontrak didasarkan pada prinsip kecermatan dalam

berkontrak. Dengan asas ini, para pihak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti

fakta materiil yang berkaitan dengan kontrak tersebut.

Standar itikad baik pelaksanaan kontrak adalah standar obyektif. Dengan standar ini,

perilaku para pihak dalam melaksanakan kontrak, dan penilaian terhadap isi kontrak harus

didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Kontrak tidak hanya dilihat dari apa yang

Page 50: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

50

secara tegas diperjanjikan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi pelaksanaan kontrak.

Itikad baik dalam kontrak memiliki tiga fungsi. Pertama, semua kontrak harus

ditafsirkan dengan itikad baik. Itikad baik juga memiliki fungsi menambah suatu kewajiban

kontraktual. Selain itu, itikad baik juga memiliki fungsi membatasi dan meniadakan suatu

kewajiban kontraktual. Dalam fungsi pertama, penafsiran kontrak tidak hanya didasarkan

kepada apa yang secara jelas diperjanjikan atau kehendak para pihak, tetapi juga harus

memperhatikan itikad baik. Bahkan terhadap yang sudah jelas pun masih dapat ditafsirkan

dengan itikad baik. Dalam fungsinya yang kedua, berdasarkan itikad baik, hakim dalam suatu

perkara tertentu dapat menambahkan isi perjanjian atau bahkan ketentuan undang-undang.

Dalam fungsinya ketiga, manakala hakim dalam suatu perkara tertentu menemukan isi

kontrak yang bersangkutan sangat bertentangan dengan keadilan atau kepatutan, ia dapat

mengurangi atau bahkan meniadakan suatu kewajiban kontraktual.

Pengadilan di Indonesia belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai itikad baik,

akibatnya penerapan itikad baik sering kali menjadi tidak konsisten, dan tidak jelas standar

atau parameter apa yang digunakan untuk menilai itikad baik tersebut.72

5. Sosiologi Hukum

Masalah kelalaian sebagai penyebab ganti rugi berkaitan dengan teori sosiologi hukum

karena hukum tidak hanya akan melihat bahwa pelaku kelalaian telah melakukan suatu

perbuatan lalai yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tapi dari aspek sosial mengapa ia

melakukan kelalaian. bisa jadi kelalaian itu disebabkan oleh suatu desakan kebutuhan

individu atau desakan sosial yang menghimpitnya. Berbeda dengan sosiologi ekonomi, maka

sosiologi hukum meneliti motif-motif yang lebih luas bagi seorang hakim dalam menilai suatu

perbuatan terkiat kenyataan di masarakat termasuk hukum kepatutan dan etika kesulilaan

yang berlaku.

72Ridwan Khairandi, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia), 2003, hal. 346-349 dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet. 2, hal. 257-258

Page 51: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

51

Sosiologi hukum menganalisis keberlakuan empirik atau faktual dari hukum.

Sosiologi hukum diarahkan pada kenyataan kemasyarakatan. Bruggink, dalam Salim HS,73

Mengemukakan bahwa sosiologi hukum sebagai terori tentang hubungan kaidah hukum

dengan kenyertaan ke masyarakat. Hubungan ini dapat dipelajari dengan dua cara, yaitu:

1. menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan kemasarakatan; dan

2. menjelaskan kenyataan kemasarakatn dari sudut kidah-kaidah hukum.

Meuwissen, dalam Salim HS,74 juga mengemukakan pandangannya tentang sosiologi

hukum. ia berpendapat bahwa sosiologi hukum menjelaskan: "Hukum positif yang berlaku

(artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan

faktor kemasarakatan".

Ada dua cara menghubungkan hukum dengan faktor kemasarakatan, yaitu:

1. hukum dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasarakatan;

2. gejala-gejala kemasarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum.

Yang dimaksud dengan menjelaskan adalah memberikan penjelasan kausal konform

(sikap dan perilaku yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku)

dengan pandangan yang berpengaruh dalam ilmu hukum empirik. J. Griffiths memberikan

sebuah kesimpulan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu empirik yang setia hanya pada

pemaparan fakta.75

6. Hukum Adat

Hukum Islam dengan tegas memisahkan antara hukum syariat dengan hukum adat

karena hukum syara’ adalah suatu materi hukum sudah baku dengan kaidah tersendiri,

sedangkan hukum adat adalah diakui legalitasnya oleh syara’ sekaligus menjadi salah pintu

masuk menuju kesempurnaan hukum syariat.

73 J.J. H. Bruggink, Rechts Refelectie (Refleksi tentang Hukum), alih bahasa B. Arief Sidharta, (Bandung:

Citra Adytia Bakti, 1999), hlm. 160, dalam Salim HS, Penerapan…, hal. 16 74 Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,

diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 7, dalam Salim HS, Penerapan…,

hal. 17 75 Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2013), cet. 2, hal. 16-17

Page 52: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

52

Sebelum abad ke 19, hukum adat diidentifikasikan sama dengan hukum agama, dalam

bahasa Belanda disebut dengan Godsdienstigewetten. Sebutan demikian selaras dengan

pendapat dari Van Den Berg yang memperkenalkan teori receptio in complexu, yang

menyatakan bahwa hukum adat suatu golongan (hukum) masarakat merupakan receptie dari

seluruh agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu.

Receptio merupakan suatu proses penerimaan atau adaptasi budaya dalam masarakat.

Oleh karena itu, sampai abad 19, belum digunakan istilah hukum adat, sebab terdapat

penegrtian yang keliru bahwa hukum adat identik dengan hukum agama

(Godsdienstigewetten). Menyamakan hukum adat dengan hukum agama menurut Snouck

Hurgronje dan Van Vollenhoven adalah keliru, karena tidak keseluruhan hukum agama

diterima atau di-receptie oleh hukum adat setempat, melainkan hanya sebagian saja. 76

Bentuk hukum adat, sebagian besar tidak tertulis dan sebagian kecil tertulis. hukum

tertulis biasanya dikenal oleh masarakat yang lebih maju yang sudah mengenal tulisan,

dimana hukum adat itu sudah dituliskan. hal demikian ada di daerah-daerah swapraja atau

kerajaan pada waktu itu serta di Subak, Bali. 77

Di Indonesia, hukum adat menjadi sumber hukum nomor dua, sehingga dalam

berbagai undang-undang dijelaskan bagaimana undang-undang negara mengakui dan

menghargai hukum adat. Dan bahkan ada sebagian hukum ada yang diundangkan menjadi

hukum tertulis karena sudah bersifat umum di negara Indonesia.

7. Hukum Kelalaian dan Ganti Rugi dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia

a. Hukum Kelalaian

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi

prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan.

Namun ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya

wanprestasi yang dilakukan oleh salah pihak. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa

Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu

keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, sehingga debitur tidak dapat

76 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 2006), hal. 27 77 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 2006), hal. 29

Page 53: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

53

memenuhi prestasi.78 seperti yang telah yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan

dalam keadaan yang memaksa.79

Sementara Salim HS mendefenisikan wanprestasi sebagai keadaan dimana debitur

tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam

perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitor.80 Wirjono Prodjodikoro mengatakan

bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu

hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.81

Pengertian umum tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena

kelalaian salah satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak

melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau debitur keliru dalam

melaksanakan prestasi. Konsekuensi hukum dari wanprestasinya debitur adalah keharusan

bagi debitur untuk membayar ganti rugi. Dengan adanya wanprestasi salah satu pihak, pihak

yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian.82 Sementara

menurut R. Subekti “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4

macam yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.83

Kelalaian merupakan suatu kegagalan dalam melaksanakan sesuatu dengan cermat

dan hati-hati yang dapat mengakibatkan kesalahan fatal,84 namun hampir sama dengan unsur

kesengajaan yang mengakibatkan kerugian orang lain, dan kealpaan juga adalah suatu

kesalahan namun tingkatannya tidak seberat kesengajaan. Di dalam undang-undang tidak

ditentukan apa arti dari kelalalian secara komprehensif, namun dari Kamus Besar Bahasa

Indonesia disebutkan kelaaian adalah kurang hati-hati atau sifat (keadaan, perbuatan) lalai,

78. Prestasi dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam

suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan kontrak yang

bersangkutan. Lihat Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2008), 120. Menurut Pasal

1234 KUH Perdata bentuk dari prestasi berupa : 1) Memberikan sesuatu 2) Berbuat sesuatu 3) Tidak berbuat

sesuatu 79. Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003), 21 80 . Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakartta: Sinar Grafika, 2009,), 180

81 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Sumur, 1999), 17 82 Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of

Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 5.

83 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pembimbing Masa, hal.50

84 Richard A. Posner, "A Theory of Negligence," 1 Journal of Legal Studies 29 (1972); 1

Page 54: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

54

semata-mata bukan karena kebodohan.85 Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui

bahwa inti, sifat-sifat atau cirinya adalah:

1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/

otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia

tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah suatu tindakan aktif (pasif) dengan

kurang kewaspadaan yang diperlukan.

2. Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat

mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak

melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak

diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.86

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,

apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,

atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai

dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu dianggap lalai

jika melakukan komplain secara resmi dengan apa yang disebut dengan somasi, Adapun

bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah: surat perintah, akta atau

disimpulkan dari perikatan itu sendiri.

b. Ganti Rugi

Kerugian adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat

perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. 87 Pengertian kerugian sangat

relatif yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih

(yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi

yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Kerugian

nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak

debitur.88

85 http://kbbi.web.id/lalai 86 Muhammad Rudi Ilbaya, Pertanggung Jawaban atas Delik Kealpaan yang Dilakukan oleh Anggota

Polri yang Mengakibatkan Luka Berat (Studi Kasus Putusan No. 544/ Pid. B/2010.PN. MKS) (Makasar: skripsi

Unhas Makasar, 2013), 26 87 Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, , 2001), 21, lihat juga R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung Binacipta, 197, M.

Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung Alumni, 1986), 66

88 M. Tjoanda, “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Perdata”, Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4

(Oktober – Desember 2010); 42

Page 55: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

55

Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah ganti rugi yang merupakan akibat

langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada hubungan sebab akibat atau causal-verband

antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat

langsung dari wanprestasi. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang

ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan

tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immateriil, tidak berwujud (moral,

ideal). Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immateriil,

misalnya dikabulkannya tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena

kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan hidup. setiap kelalaian dan keingkaran

mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala risiko akibat

kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang

menimbulkan kerugian terjadi karena keadaan memaksa (overmacht/force majeur) debitur

dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi. Menurut undang-undang (pasal 1244, 1245

KUHPerdata) ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu: Tidak

Memenuhi Prestasi; Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur; Faktor penyebab itu

tidak dapat diduga sebelumnnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. 89

Pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan : “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si

berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang

telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak

mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di

bawah ini.”

Dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah

sebagai berikut :

a. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos

cetak, biaya materai, biaya iklan.

b. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atau barang kepunyaan kreditur akibat

kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita,

misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah

rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya

barang karena terbakar.

89 Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of

Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 5.

Page 56: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

56

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur

kehilangan keutungan yang diharapkannya. 90

Sementara Purwahid Patrik menyebutkan kerugian terdiri dari dua unsur utama, yaitu;

Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi; dan Keutungan

yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga. Kadang-kadang kerugian hanya

merupakan kerugian yang diderita saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur

tersebut.91 Sedangkan Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai pengganti

daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya dapat kita sebut “prestasi pokok”

perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan, atau; Sebagian

dari kewajiban perikatan pokoknya. .92

Ganti rugi dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak

seimbang akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan

konsumen). Hak ini sangat terkait dengan produk yang telah merugikan konsumen baik

berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri. 93 Pemulihan keadaan yang

telah menjadi rusak ini didasarkan kepada ajaran atau teori faktor kelayakan yang disebut

dengan ajaran atau teori dipertanggungjawabkan secara layak (toerrekening naar

redelijkheid), faktor-faktor penting yang mempengaruhi teori tersebut adalah:

1. Sifat dari kejadian yang menjadi dasar pertanggung gugat;

2. Sifat kerugian; Besar kecilnya kerugian yang akan diperkirakan akan terjadi; dan

3. Beban seimbang yang dapat dilakukan bagi pihak tergugat dari kewajibannya untuk

membayar ganti rugi, serta memperhatikan keadaan keuangan pihak yang dirugikan. 94

Besarnya jumlah ganti rugi dituntut menjadi sesuatu yang logis dengan jumlah yang

“wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding

dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat

besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan

timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya. Sementara Bentuk-bentuk

kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni; Kerugian materiil; Kerugian immateriil.

Namun Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. namun

tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kerugian dapat menimbulkan kerugian yang

90 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung Alumni, , 1982), 41. 91 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari

Undang-Undang), ( Bandung, Mandar Maju,1994), 14 92 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung Alumni, , 1999), 147. Lihat juga M.

Tjoanda, “Wujud Ganti Rugi..,47 93 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),

126. 94 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen.., 136

Page 57: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

57

immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu

berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, waktu yang terpakai, dan sebagainya.95

Bank dalam kedudukannya sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan

perbankan dituntut untuk bertanggung jawab atas jasa yang dihasilkannya, karena bank

mempunyai tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan perjanjian pemberian jasa

terhadap nasabah, karena itu gugatan dapat diajukan atas dasar wanprestasi dan perbuatan

melawan hukum. Pada pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

"Kewajiban pelaku usaha adalah:

1. “Beritikad baik” dalam menjalankan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan;

3. Memperlakukan konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan atau/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang beriaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 96

C. Hukum Kelalaian dalam Hukum Positif Syariah Indonesia

Pada sub bab ini, peneliti menganalisa jika terdapat kandungan hukum positif syariah

Indonesia, khususnya pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai hukum umum dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

95 M. Tjoanda, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Perdata, 48 96 Imas Rosidawati Wiradirja, Perlindungan Konsumen Terhadap Nasabah Pengguna Kartu ATM dalam

Sitem Perbankan Nasional”, http://e-

journal.kopertis4.or.id/file.php?file=preview_repository&id=504&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&na

me=imas_2.pdf

Page 58: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

58

sebagai hukum khusus yang terkait dalam perbankan syariah. Kesimpulan utama sub bab ini,

tidak terdapat kandungan hukum yang menjelaskan prinsip-prinsip hukum kelalaian dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah karena hanya disebut kelalaian tanpa menyebutkan conth

atau prinsip tentang perbuatan yang tergolong lalai, dan terdapat penjelasan tentang dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

tentang kelalaian dalam pelaksanaan menajemen perbankan syariah, dan ini suatu kemajuan

dalam menjelaskan perbuatan lalai.

Dalam praktek perbankan syari’ah banyak terdapat unsur-unsur yang ditengarai

menimbulkan adanya kesalahan maupun kelalaian terutama dalam akad-akad kerjasama

seperti mudharabah dan musyarakah. Namun kenyataannnya dalam fatwa MUI disebutkan

pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan

mudharabah pada bagian ketiga angka 3 bahwa “pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada

ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat

dari kesalahan disegaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.

Sandaran utama hukum ekonomi syariah Indonesia saat ini adalah Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah yang disahkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang secara tegas

menyatakan bahwa:

Pasal 1

1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan

menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah, mempergunakan

sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.

2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syari'ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk

menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Pasal 2

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang menjadi lampiran dan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung ini.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat banyak pasal dan ayat tentang hukum

kelalaian, namun peneliti tidak menemukan hakikat dan substansi dari kelalaian tersebut

sehingga sulit menemukan benang merah dari kelalaian yang dimaksud alam penelitian ini.

Sedangkan Undang-undang ekonomi Syariah, yang sudah ada di Indonesia terkait

lembaga keuangan bisnis syariah, baru Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

Page 59: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

59

2008 Tentang Perbankan Syariah, dan pada Undang-undang ini juga menyinggung sedikit

tentang hukum kelalaian terkait manajemen perbankan syariah.

1. Hukum Kelalaian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdapat aturan-aturan tentang kelalaian

terkait pelaksanaan akad, sedangkan pada

Sepanjang analisa peneliti terhadap hukum kelalaian dalam Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah, peneliti tidak menemukan prinsip-prinsip yang jelas tentang hukum

kelalaian yang terkait dengan kegiatan ekonomi Islam. Namun terdapat beberapa pasal

tentang perbuatan lalai dalam akad, yaitu:

a. Bab V, tentang Akibat Bai’ pada pasal 92 ayat 3 yang berbunyi:

(2) Barang yang telah diterima pembeli dalam jual beli yang batal adalah (berstatus –pen.)

barang titipan

(3) Pembeli harus mengganti barang yang telah diterima sebagaimana tersebut pada ayat

(2) di atas, jika barang itu rusak karena kelalaiannya.

(4) Jika barang yang harus diganti itu tidak ada di pasar, maka pembeli harus mengganti

dengan uang seharga barang tersebut pada saat penyerahan.

b. Bab VI, tentang Syirkah pada pasal 140 ayat 5 yang berbunyi:

(5) Apabila barang yang diniagakan rusak karena kelalaian pihak pedagang, maka pihak

pedagang wajib mengganti kerusakan tersebut

c. Bab VI, Bagian Tiga tentang Syirkah Abdan pada pasal 163 yang berbunyi:

Kerusakan hasil pekerjaan yang berada pada salah satu pihak yang melakukan akad

kerjasama-pekerjaan bukan karena kelalaiannya,pihak yang bersangkutan tidak wajib

menggantinya.

d. Bab VI, Bagian Lima tentang Syirkah ‘Inan pada pasal 177 ayat 1 yang berbunyi:

(1) Nilai kerugian dan kerusakan yang terjadi bukan karena kelalaian para pihak dalam

syirkah al-‘inan, wajib ditanggung secara proporsional

e. Bab VII, Bagian Lima tentang Ketentuan Mudharabah pada pasal 205 dan 208 yang

berbunyi:

Pasal 205

Mudharib wajib bertanggungjawab terhadap risiko kerugian dan atau kerusakan yang

diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang diizinkan dan atau tidak

sejalan dengan ketentuan ketentuan yang telah ditentukan dalam akad.

Pasal 208

Page 60: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

60

Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerjasama mudharabah yang

terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan pada pemilik modal

f. Bab VIII: Muzara’ah dan Musaqah, Bagian Kedua tentang Rukun dan Syarat Musaqah,

Pasal 226 yang berbunyi:

Pemelihara tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya

jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.

g. Bab IX tentang Khiyar Bagian Keempat tentang Khiyar ‘Aib Pasal 237 ayat 3 dan 4:

(3) Penjual wajib mengembalikan uang pembelian kepada pembeli apabila obyek

dagangan ‘aib karena kelalaian penjual

(4) Pengadilan berhak menolak tuntutan pembatalan jual-beli dari pembeli apabila ‘aib

benda terjadi karena kelalaian pembeli

h. Pasal 269

(1) Kerusakan obyek ijarah karena kelalaian pihak penyewa adalah tanggung jawab

penyewa, kecuali ditentukan lain dalam akad.

(2) Jika obyek ijarah rusak selama masa akad yang terjadi bukan karena kelalaian

penyewa, maka pihak yang menyewakan wajib menggantinya.

(3) Jika dalam akad ijarah tidak ditetapkan mengenai pihak yang bertanggung jawab

atas kerusakan obyek ijarah, maka hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka

yang dijadikan hukum.

i. Pasal 317

(1) Penjamin wajib bertanggung jawab untuk membayar utang peminjam jika peminjam

tidak melunasi utangnya.

(2) Penjamin wajib mengganti kerugian untuk barang yang hilang atau rusak karena

kelalaiannya.

j. Pasal 367

Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya, penerima gadai harus mengganti harta

gadai.

k. Pasal 369

Penyimpan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai itu rusak karena

kelalaiannya.

l. Pasal 386

(1) Apabila mustaudi’ meninggal dunia, maka ahli waris harus mengembalikan wadi’ah

bih.

Page 61: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

61

(2) Mustaudi’ tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau kehilangan wadi’ah bih

yang terjadi sebelum diserahkan kepada muwaddi’ dan bukan karena kelalaiannya.

m. Pasal 389

(1) Jika mustaudi’ meninggal dunia dan sebagian harta peninggalannya merupakan

wadi’ah bih, maka ahli warisnya wajib mengembalikan harta tersebut kepada muwaddi’.

(2) Jika wadi’ah bih hilang bukan karena kelalaian ahli waris, maka mereka tidak harus

menggantinya.

n. Bab XV Gashb dan Itlaf, Bagian Kelima Perusakan Harta secara Tidak Langsung, Pasal

411, ayat 3:

(2) Perusak tidak langsung yang dilakukan secara sengaja, wajib membayar ganti rugi.

(3) Perusak tidak langsung yang terjadi karena kelalaiannya, wajib membayar ganti rugi.

(4) Ganti rugi perusakan tidak langsung dapat dilakukan secara langsung, melalui

mediator, dan atau pengadilan.

o. Bab XXI Obligasi Syariah Mudharabah, Pasal 578 dan 579:

Pasal 578: Apabila emiten lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau

melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah,

dan pemegang obligasi syariah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat surat

pengakuan utang.

Pasal 579: Apabila emiten diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian

dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang obligasi syariah mudharabah

dapat menarik dana obligasi syariah mudharabah.

Secara umum tidak terdapat penjelasan tentang prinsip kelalaian dalam KHES, pada

pasal 205 terdapat aturan yang tergolong ta’addiy (perbuatan melampaui batas) yang

tergolong dalam hukum kelalaian, yaitu: Mudharib wajib bertanggungjawab terhadap risiko

kerugian dan atau kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang

diizinkan dan atau tidak sejalan dengan ketentuan ketentuan yang telah ditentukan

dalam akad. Redaksi senada juga terdapat pada Pasal 578: Apabila emiten lalai dan/atau

melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, maka emiten berkewajiban

menjamin pengembalian dana mudharabah, dan pemegang obligasi syariah mudharabah dapat

meminta emiten untuk membuat surat pengakuan utang.

Dengan demikian, sesuai KHES dapat disimpulkan bahwa penjelasan tentang hukum

kelalaian lebih tergolong pada perbuatan melampau batas (ta’addiy) jika terdapat pelanggaran

terdapat pelanggaran terhadap syarat-syarat perjanjian, sedangkan hukum kelalaian lebih luas

dari pada itu. Maka, penentuan hukum kelalaian kembali juga pada kaidah-kaidah hukum

Page 62: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

62

umum tentang perbuatan salah atau tersalah yang terkait dengan tradisi ‘urf dan nilai-nilai

yang berkembang.

2. Hukum Kelalaian dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Penulis menemukan suatu kemajuan berarti dalam prinsip-prinsip kelalaian dalam UU

No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah namun hanya terkait kelalaian dalam bidang

manajemen, dan tidak tidak terdapat penjelasan hukum kelalaian dalam masalah pelaksanaan

akad.

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah juga terdapat beberapa aturan tentang hukum kelalaian, yang terbagi menjadi dua,

yaitu kelalaian dalam melaksanakan manajemen perbankan syariah dan kedua berkaitan

dengan pelaksanaan akad mudharabah. Yaitu pada:

a. Kelalaian Terkait Manajemen Perbankan Syariah

Pasal 62, Ayat (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:

a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat

(2); dan/atau

b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib

dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan

paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

b. Kelalaian Terkait Pelaksanaan Akad Mudharabah

Pada Bagian Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2008 Tentang Perbankan Syariah, pada bagian II. Pasal Demi Pasal, Pasal 19, Ayat (1), Huruf

c, yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja

sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang

menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang

bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan

kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung

sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Page 63: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

63

Menurut analisa peneliti, penjelasan tentang hukum kelalaian dalam bidang

manajemen pada UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini sangat membantu

dalam perumusan hukum kelalaian karena prinsip kelalaian terkait dengan tradisi ‘urf dalam

setiap kegiatan umat manusia, maka tradisi manajemen yang sudah tertradisi dengan baik

menjadi suatu acuan yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong

perbuatan lalai atau tidak. Dalam UU No. 21 Tahun 2008 ini secara tegas dinyatakan bahwa

suatu perbuatan tergolong lalai apabila: “a. tidak menyampaikan laporan keuangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2”, maka pada aturan ini secara deteil yang

dimaksud adalah aturan yang terdapat pada 35 ayat dua yang berbunyi:

Pasal 35

(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan

prinsip kehati-hatian.

(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan

keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta

penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku

umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.

(4) Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik

dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.

Sedangkan Pasal 52 berbunyi:

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan

mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan

dengan Peraturan Bank Indonesia.

(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan

kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya,

serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh

kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh

Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:

Page 64: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

64

a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait

dengan Bank;

b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak

yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank;

dan

c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik

rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.

(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang

diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.

Berhubungan dengan hasil akhir penelitian ini, bahwa prinsip kelalaian dalam hukum

ekonomi Islam demikian juga dengan hukum perdata Indonesia didasarkan dengan tradisi dan

nilai yang berlaku di masarakat, dan bahwa aturan yang deteil tentang suatu transaksi sangat

berguna dalam menentukan suatu perbuatan tergolong lalai atau tidak.

D. Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi payung

hukum dan jaminan penting bagi perkembangan dan kegiatan usaha perbankan syariah.

Dengan Undang-Undang tersebut bank syariah leluasa menciptakan inovasi dalam produk dan

layanan jasa perbankan syariah sekaligus menjadi rambu-rambu tentang usaha-usaha serta

produk apa saja yang legal maupun illegal dalam setiap transaksi yang dilakukan, termasuk

mengatur pula sanksi pidana dan sanksi administratif kepada perbankan syariah ketika

melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Oleh karenya di samping

Undang-Undang tersebut bank syari’ah juga harus memahami dan melaksanakan peraturan

lain dari otoritas moneter yang mengatur hal-hal yang belum termaktub dalam UU 21 tahun

2008, termasuk di antaranya perturan PBI (sekarang peraturan OJK) dan juga kesesuainya

dengan fatwa fatwa DSN sebagai lembaga formal yang mensyahkan lalu lintas usaha-usaha

yang dibuat oleh bank syari’ah.

Bank syari’ah sebagai lembaga formal dalam melakukan intermediasi antara surplus

money dan depicit money dalam sistem keuangan Indoensia berbadan hukum dan memiliki

hubungan hukum yang lahir dari perjanjian dikarenakan adanya usaha-usaha dan kegiatan

baik itu dalam bidang jasa maupun produk perbankan syariah termasuk ranah hukum perdata.

Hubungan hukum tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam menjalankan kegiatan

Page 65: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

65

usahanya, pelaku usaha perbankan syariah pasti melakukan suatu perbuatan hukum.

Kesadaran tentang adanya perbuatan hukum, menuntut perbankan syari’ah melakukan

usahanya secara profesional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan hukum yang

ada. Untuk mendukung usaha yang profesional, akuntable, handal, amanah dan exellent

service bank syari’ah harus menyiapkan sumberdaya yang mumpuni. Sebab sebagai suatu

kegiatan usaha yang berbadan hukum, peran pelaku dan kemampuan stakeholder akan

menentukan apakah badan hukum ini berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada atau

menyimpang dari ketentuan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 kode etik

Bankir Indonesia bahwa dalam menjalankan kegiatan operasional sehari hari bagi Petugas,

karyawan atau pejabat bank di Indonesia mereka harus patuh dan taat pada semua ketentuan

Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku.

Selanjutnya pegawai bank harus mengedepankan beberapa asas yang berkaitan erat

dengan fungsi dan peranannya yaitu; 1, Prinsip kepercayaan (fiduciary principle); 2. Prinsip

kehati-hatian (prudential principle); 3. Prinsip kerahasiaan (confidential principle); 4. Prinsip

mengenal nasabah (know your customer principle); 5. Prinsip kepatuhan atas peraturan; 6.

Prinsip kebenaran pencatatan; 7. Prinsip kejujuran wewenang dan ; 8. Prinsip kehormatan

profesi; 9. Prinsip kebersihan pribadi; 10. Prinsip kesehatan persaingan; 11. Prinsip

keterbatasan keterangan.97

Dalam praktek operasional suatu bank tidak luput dari risiko maupun efek minor yang

buruk tetapi dapat berpengaruh pada operasional bank itu sendiri. Bank syari’ah sebagai

perbankan yang berdasarkan sistem bagi hasil mengalami perkembangan yang sangat baik.

Namun dalam setiap usaha bisnis pasti ada untung dan rugi. Di sisi lain bank syari’ah

dihadapkan kepada resiko-resiko yang multi dimensi baik disebabkan oleh internal maupun

eksternal bank itu sendiri, baik resiko yang bisa dituntaskan, tuntas dengan sendirinya atau

yang tidak bisa dituntaskan. Hal ini tergantung dengan kekuatan dan kemampuan sumber

daya manusianya dan kecekatan internal perbankan itu sendiri dalam mencegah dan

menyelesaikan risiko-risiko tersebut. Diantara resiko tersebut adalah masalah hukum

diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan

tuntutan sanksi berupa ganti rugi.

Peta Permasalahan Hukum Kelalaian dalam Aplikasi Lembaga Keuangan Syariah, Kasus

Lembaga Perbankan Syariah:

97 Djoni S. Ghazali, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 25

Page 66: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

66

Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa praktisi lembaga keuangan syariah

dan Dewan Pengawas Syariah,98 bahwa untuk saat ini masalah utama terakait hukum

kelalaian dominan berhubungan dengan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh manajemen

perbankan terhadap investor. Dan oleh karena sudah banyaknya aturan manajemen serta

bentuk kontrak yang deteil dan profesional serta penerapan manajemen risiko yang baik,

maka pengontrolan terhadap aspek kelalaian sudah banyak dapat diminimalisir, namun dalam

tentu tidak semua aspek risiko dapat dikendalikan sehingga tetap saja terjadi berbagai

permasalahan yang menyebabkan kerugian pada para pihak.

Zaman ini adalah zaman manajemen dimana manajemen lembaga keuangan sudah

ditata sedemikian rupa sehingga melahirkan berbagai aturan dan Standard Operational

Procedure (S.O.P) yang deteil terhadap pihak manajemen bank sebagai mudharib dari

investor terhadap bank, dan bahkan aturan tentang adanya Good Corporate Governance

(GCG) juga semakin memantapkan kontro manajemen bank, dan juga antara pihak

manajemen bank dengan nasabah pembiyaan bank tempat bank menyalurkan dananya dalam

berbagai akad pembiyaan yang ditulis secara deteil, lengkap dengan berbagai perangkat

manajemen risiko. Semua itu akan menjadi bahan yang sangat baik dalam menentukan dan

menegakkan prinsip kelalaian pada bank syariah.

98 Wawancara dan Diskusi bersama Dr. Ahmad Wira, akademisi sekaligus Dewan Pengawas Syariah

Bank Nagari Syariah Sumatera Barat; Dr. Mukhlis Bahar (Ahli Hukum Ekonomi Syarah), Dr. Rosalinda (Ahli

Hukum Ekonomi Syarah), dan Suhatril Mariko, SEI., ME.Sy. (Prakitisi Lembaga Keuangan Syariah), dalam

bulan September dan Oktober 2016.

INVESTOR

PEMILIK SAHAM [SYARIK]-DEPOSAN [MUDHARABAH]-

WADIAH-SUKUK [BERAGAM AKAD]

Bank tidak boleh lalai dalam

mengelola dana investor

Nasabah tidak boleh dalam

memenuhi kewajiban pada bank

NASABAH PEMBIYAAN UTANG-WADIAH-SYIRKAH-IJARAH-MUDHARABAH-ISTISHNA

Page 67: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

67

Prinsip-prinsip manajemen modern yang mengatur manajemen bank secara deteil

dapat dimasukkan sebagai piranti dalam mengantisipasi kelalaian yang akan dilakukan oleh

pihak manajemen bank. Misalnya, ketika pihak manajemen bank melanggar S.O.P yang

sudah ditentukan, lalu terjadi kerugian pada bank, maka di sini dapat diajukan suatu tuntutan

pada pihak manajemen bank sebagai mudharib untuk mengganti kerugian atau sanksi tertentu.

Dalam pelaksanaan akad pembiyaan, bentuk kotrak yang sudah deteil lengkap dengan

unsur-unsur manajemen risiko, dapat dijadikan bank sebagai alat untuk menegakkan prinsip

hukum kelalaian nasabah dalam memenuhi kewajibannya pada bank syariah.

Menurut analisa peneliti, akad murabahah adalah akad pembiyaan yang paling

dominan diaplikasikan oleh bank syariah, dalam akad wakalahpun terdapat prinsip hukum

kelalaian sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-

Thalibin tentang hukum wakalah: “Dalam akad wakalah terdapat hukum amanah, karena

kekuasaan yang terdapat pada wakil adalah “yad amanah” dimana ia bertanggungjawab atas

kerusakan yang terjadi pada apa-apa yang diwakilkan padanya jika terdapat sikap lalai

(tafrith), baik wakalah itu bersifat tabarru’ maupun dengan wakalah dengan upah.”99 Para

ulama sepakat bahwa otoritas wakil bersifat yad amanah, maka ia bertanggungjawab terhadap

apa yang diwakilkan padanya jika terdapat pelanggaran atau kelalaian.100 Dalam akad

murabahah selalu digunakan akad wakalah ketika nasabah diwakilkan bank syariah untuk

membeli komoditi murabahah, maka berbagai kelalaian atau pelanggaran bisa saja dilakukan

oleh nasabah, maka jika piranti untuk menegakkan hukum kelalaian di sini sangat penting,

misalnya membuat prinsip-prinsip yang dapat mendisiplinkan nasabah dan mengurangi risiko

kerugian bagi bank syariah, demikian juga meminimalisir “risiko hukum” yang dapat terjadi.

E. Analisis Data Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi

1. Konsep Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi

Posisi hukum kelalaian dalam hukum ekonomi secara umum sangat penting karena

menyangkut beragama akad yang dalam kehidupan manusia, apalagi untuk zaman modern

dimana sudah sedemikian berkembang. Dalam akad tradisonal Islam saja yang tentu sudah

99 Abû Zakariŷa Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawiŷ, Raudhaħ al-Thâlibîn, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiŷ li al-

Thibâ`aħ wa al-Nasyr, 1405), jil. 2, hal. 102 100 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 91

Page 68: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

68

pula disesuaikan dengan mekanisme keuangan modern terdapat banyak akad terkait kelalaian,

yaitu wadiah, mudharabah, ijarah, wakalah, musyarakah, musaqah, qardh, dan ‘ariyah serta

semua akan-akad yang berdimensi amanah seperti jual beli murabahah, salam, wadhi’ah, dan

tauliyah. Dan jika dikembangkan pada akad-akad kontemporer, maka banyak lagi akad yang

terkait dengan perbuatan kelalaian sebagai penyebab ganti rugi seperti sukuk, ijarah

muntahiyah bittamlik, dan muqawalah.

Baik hukum ekonomi Islam, maupun hukum ekonomi konvensional mempunyai

pandangan yang relatif sama dalam memandang kelalaian sebagai penyebab ganti dalam

berbagai transaksi, yaitu bahwa kelalaian mempunyai cakupan yang luas, mulai dari

kewajiban ganti rugi materil jika terjadi kelalaian dalam transaksi, hukum yang berlaku,

tradisi atau adat yang berbeda, kesusilaan, sampai pada teori-teori umum tentang hukum.

Perbedaan terletak dari aspek kedalaman dan penggunaan istilah.

Penggunaan istilah ta’addiy dalam hukum perdata Islam dapat diterjemahkan sebagai

“perbuatan melawan hukum” dalam hukum konvensional. Sedangkan menggunakan istilah

“kesalahan” yang banyak juga digunakan dalam hukum konvensional tidak mencakup semua

substansi dari hukum kelalaian. Maka, penggunaan para fuqaha dengan istilah ta’addiy yang

disandingkan dengan istilah taqshir dan tafrith merupakan penekanan atau konfirmasi

terhadap istilah ta’addiy karena ta’addiy lebih umum.

Menurut penulis, definisi kelalaian yang paling singkat namun padat adalah definisi

yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar

sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat, tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”.101

Tanggungjawab yang didasarkan kesalahan adalah tanggungjawab yang dibebankan

kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau

perbuatan pidana karena adanya kekeliruan atau kealpaannya (kelalaian atau kelengahan).

Kelalaian adalah suatu keadaan dimana subyek hukum atau pelaku lengah, kurang hati-hati,

tidak mengindahkan kewajibannya atau lupa melaksanakan kewajibannya.

Berhubungan teori umum ta’addiy, jika dicermati uraian dari asy-Syathibi, dapat

disimpulkan bahwa pendapat asy-Syathibi persis sama dengan teori-teori hukum modern yang

berhubungan dengan masalah “kesalahan dalam menggunakan hak”, jika tidak lebih maju dari

101 Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216

Page 69: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

69

teori modern pada beberapa aspek dari sisi uraian dan rasionalitas, terutama apabila kita

analogikan dengan zaman buku ini (al-Muwafaqat) ditulis. 102

Setelah menjelaskan tentang substansi ta’addiy dalam hukum Islam dan setelah

memandang banyak penelitian terdahulu tentang prinsip-prinsip ta’addiy dalam hukum

perdata Islam, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat beberapa prinsip perbuatan kelalaian

dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:

1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam

mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.

2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan

berlebihan, b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau

sembrono, c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar

unsur hukum tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan

yang melebihi kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy),

dan hal ini terbagi dalam dua bentuk:

a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau

tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang

semestinya dilakukan.

b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-

ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini

juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah

kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)

adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para

ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam

memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada

perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada

yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”103

3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas

orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi

kerugian pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa

102 asy-Syathibiy, al-Muwafaqat, sesuai komentar (ta’liq) dari Abu 'Ubaidah Masyhur ibn Hasan Âli

Sulaiman, (KSA-Khubar: Dar Ibnu 'Affan, 1997), Jilid. 3 hal. 56. Sedangkan dalam Kitab al-Muwafaqat dalam

CD al-Maktabah asy-Syamilah, terbitan Dar al-Ma'rifah, Beirut, tahkik Abdullah Darraz, dapat dilihat pada

halaman 349. 103 Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416

Page 70: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

70

memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya, kondisi ingat atau lupa, mumayyiz

atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.

4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan

dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin

kencang, maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.

Perbuatan melampaui batas (ta'addiy) dapat terjadi karena:

3) Melanggar kesepakatan yang terdapat dalam akad, seperti mudharib yang melanggar

persyaratan dengan rabbul mal dengan tidak membawa harta itu dalam perjalanannya,

maka mudharib bertanggungjawab terhadap bahaya yang menimpa harga itu karena ia

bawa dalam perjalanannya, sedangkan pada hukum dasar menyatakan bahwa mudharib

tidak bertanggungjawab.

4) Melanggar tradisi yang sudah populer di masarakat secara umum, karena keberlakuan

hukum 'urf sama dengan nash syara', Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara

umum, dan tidak terdapat suatu standar khusus untuknya, demikian juga tidak ada

standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu ditetapkan oleh tradisi masarakat

(‘urf),104 maka apabila terdapat sengketa antara rabbul mal dan mudharib atas suatu

perbuatan mudharib, apakah perbuatan itu dianggap sebagai ta'addiy atau tidak, maka ia

dikembalikan pada para ahli yang berpengalaman dalam bidangnya (ahl al-khibrah)105

untuk menyelesaikan sengketa ini.106

Sedangkan kriteria taqshir yang menyebabkan ganti rugi: “Perbuatan melalaikan

(taqshir) yang menyebabkan ganti rugi adalah semua hal yang dianggap manusia merupakan

perbuatan lalai secara urf (tradisi masyarakat) dalam menjaga suatu jenis amanah. Maka,

penilaian hakim terhadap kelalaian akan berbeda sesuai dengan sifat alamiah suatu perkara,

dan para ulama sudah mengemukakan banyak contoh perbuatan melalaikan dalam bab-bab

yang bermacam-macam, jika kita ingin mengkaji lebih dalam, dapat dikaji masing-masing

masalah akad tersebut.”.107

2. Prinsip-prinsip Kelaian dalam Islam

Setelah menjelaskan tentang substansi ta’addiy dalam hukum Islam, dapat

disimpulkan beberapa prinsip perbuatan kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:

104 as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 1:98 105 al-Buhutiy, Syarh Muntaha al-Iradat, 2:269 106 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 31-32 107 Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian

Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149

Page 71: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

71

1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam

mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.

2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan

berlebihan, b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau

sembrono, c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar

unsur hukum tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan

yang melebihi kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy),

dan hal ini terbagi dalam dua bentuk:

a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau

tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang

semestinya dilakukan.

b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-

ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini

juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah

kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)

adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para

ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam

memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada

perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada

yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”108

3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas

orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi

kerugian pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa

memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya,konidisi ingat atau lupa, mumayyiz

atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.

4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan

dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin

kencang, maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.

Dalam aplikasi lembaga keuangan syariah, masalah utama terakait hukum kelalaian

dominan berhubungan dengan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh manajemen

perbankan terhadap investor. Maka, sudah banyaknya aturan manajemen serta bentuk kontrak

yang deteil dan profesional serta penerapan manajemen risiko yang baik, maka pengontrolan

108 Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416

Page 72: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

72

terhadap aspek kelalaian sudah banyak dapat diminimalisir, namun dalam tentu tidak semua

aspek risiko dapat dikendalikan sehingga tetap saja terjadi berbagai permasalahan yang

menyebabkan kerugian pada para pihak.

Di zaman ini manajemen lembaga keuangan sudah ditata sedemikian rupa sehingga

melahirkan berbagai aturan dan Standard Operational Procedure (S.O.P) yang deteil terhadap

pihak manajemen bank sebagai mudharib dari investor terhadap bank, dan bahkan aturan

tentang adanya Good Corporate Governance (GCG) juga semakin memantapkan kontro

manajemen bank, dan juga antara pihak manajemen bank dengan nasabah pembiyaan bank

tempat bank menyalurkan dananya dalam berbagai akad pembiyaan yang ditulis secara deteil,

lengkap dengan berbagai perangkat manajemen risiko. Semua itu akan menjadi bahan yang

sangat baik dalam menentukan dan menegakkan prinsip kelalaian pada bank syariah.

Prinsip-prinsip manajemen modern yang mengatur manajemen bank secara deteil

dapat dimasukkan sebagai piranti dalam mengantisipasi kelalaian yang akan dilakukan oleh

pihak manajemen bank. Misalnya, ketika pihak manajemen bank melanggar S.O.P yang

sudah ditentukan, lalu terjadi kerugian pada bank, maka di sini dapat diajukan suatu tuntutan

pada pihak manajemen bank sebagai mudharib untuk mengganti kerugian atau sanksi tertentu.

Dalam pelaksanaan akad pembiyaan, bentuk kotrak yang sudah deteil lengkap dengan

unsur-unsur manajemen risiko, dapat dijadikan bank sebagai alat untuk menegakkan prinsip

hukum kelalaian nasabah dalam memenuhi kewajibannya pada bank syariah.

Menurut analisa peneliti, akad murabahah adalah akad pembiyaan yang paling

dominan diaplikasikan oleh bank syariah, dalam akad wakalahpun terdapat prinsip hukum

kelalaian sebagaimana yang dinyataka oleh Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-Thalibin

tentang hukum wakalah: “Dalam akad wakalah terdapat hukum amanah, karena kekuasaan

yang terdapat pada wakil adalah “yad amanah” dimana ia bertanggungjawab atas kerusakan

yang terjadi pada apa-apa yang diwakilkan padanya jika terdapat sikap lalai (tafrith), baik

wakalah itu bersifat tabarru’ maupun dengan wakalah dengan upah.”109 Para ulama sepakat

bahwa otoritas wakil bersifat yad amanah, maka ia bertanggungjawab terhadap apa yang

diwakilkan padanya jika terdapat pelanggaran atau kelalaian.110 Dalam akad murabahah selalu

digunakan akad wakalah ketika nasabah diwakilkan bank syariah untuk membeli komoditi

murabahah, maka berbagai kelalaian atau pelanggaran bisa saja dilakukan oleh nasabah, maka

jika piranti untuk menegakkan hukum kelalaian di sini sangat penting, misalnya membuat

109 Abû Zakariŷa Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawiŷ, Raudhaħ al-Thâlibîn, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiŷ li al-

Thibâ`aħ wa al-Nasyr, 1405), jil. 2, hal. 102 110 Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-

Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 91

Page 73: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

73

prinsip-prinsip yang dapat mendisiplinkan nasabah dan mengurangi risiko kerugian bagi bank

syariah, demikian juga meminimalisir “risiko hukum” yang dapat terjadi.

Page 74: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

74

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari sisi definisi, kelalaian secara subtantif dalam istilah hukum Islam disebut

ta’addiy, yaitu “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat, tradisi ‘urf, dan

adat kebiasaan”, sedangkan dalam pengertian sempit disebut dengan taqshir.

Prinsip perbuatan kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:

1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam

mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.

2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan

berlebihan; b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau sembrono;

c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar unsur hukum

tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan yang melebihi

kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy), dan hal ini terbagi

dalam dua bentuk:

a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau

tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang

semestinya dilakukan.

b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-

ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini

juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah

kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)

adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para

ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam

memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada

perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada

yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”111

3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas

orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi kerugian

pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa

111 Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416

Page 75: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

75

memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya,konidisi ingat atau lupa, mumayyiz

atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.

4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan

dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin kencang,

maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.

5. Hukum kelalaian terkait dengan; Dalam aplikasi hukum kelalaian dalam lembaga

keuangan syariah, profesional dalam aspek manajemen modern adalah salah satu

penunjuk yang efektif dalam mengontrol faktor kelalaian para dalam akad. Hal itu

diaplikasikan dengan membuat S.O.P manajemen yang deteil, namun tetap efektif

dalam memberikan ruang gerak bagi pihak manajemen melakukan usaha dalam

mendapatkan laba, sedangkan dengan nasabah dapat dilakukan dengan membuat isi

kontrak yang deteil yang dilengkapi dengan berbagai aspek manajemen risiko.

Dalam hukum ekonomi syariah Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tidak

memuat penjelasan tentang prinsip-prinsip perbuatan yang dinyatakan tergolong

kelalaian tapi lebih menekankan pada pelanggaran terhadap syarat-syarat yang dibuat

oleh para pihak. Sedangkan pada Undang-undang RI No. 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah memuat penjelasan tentang perbuatan tergolong lalai hanya dari

aspek manajemen perbankan syariah, tidak berkaitan dengan pelaksanaan akad atau

transaksi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa saran berikut,

yaitu:

1. Menentukan prinsip kelalaian tidak akan mungkin dilakukan secara lebih deteil,

karena prinsip tersebut terkait dengan hukum kepatutan yang akan berbeda antara

perbedaan tempat, wakktu, dan pelaku, maka salah satu jalan memudahkan penegakan

prinsip kelalaian adalah dengan menerapkan pola manajemen modern yang deteil dan

cermat dalam bentuk S.O.P manajemen yang jelas dan transparan seperti aplikasi teori

GCG (Good Corporate Governance) dan membuat akad yang deteil dengan nasabah

yang dilengkapi dengan berbagai piranti manajemen risiko.

2. Ketika aturan atau isi kontrak yang dibuat para pihak berakad tidak mencakup suatu

masalah kelalaian, maka perlu adanya suatu standar umum manajemen modern yang

dibuat oleh pihak pembuat aturan dan fatwa yang menentukan suatui standar umum

Page 76: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

76

yang sejalan dengan manajemen modern atau manajemen yang sesuai dengan zaman

modern ini dan sesuai pula dengan tempat suatu lembaga keuangan berada, karena

faktor tradisi ‘urf dan kepatutan sangat penting dalam menentukan faktor kelalaian

yang menyebabkan ganti rugi oleh subyek hukum perdata.

3. Dalam aplikasi lembaga keuangan syariah, akad murabahah sebagai suatu akad yang

dominan digunakan dalam lembaga keuangan syariah, hendaknya mendapat perhatian

lebih serius dalam menegakkan hukum kelalaian, karena disamping sebagai salah satu

jenis akad amanah, dalam akad ini dijuga ditambahkan akad wakalah yang juga

mengandung hukum kelalaian yang besar. Sedangkan akad mudharabah dan ijarah

menempati level kedua dalam memperhatikan hukum kelalaian.

4. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan membuat prinsip-prinsip kelalaian yang

terkait dengan masing-masing akad yang terdapat pada lembaga keuangan syariah.

Page 77: LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PENELITIAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44578/2... · Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek . ... syariah

77

Daftar Rujukan:

Ahmad, Sulaiman Muhammad. 1985. Dhamân al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islami. Kairo:

Maktabah al-Mujallad al-’Arabi

Al-Imam al-Syaukâniy. Nail al-Authâr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1999.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. I’lâm al-Muwaqqi’in. Beirut: Dâr al-Fikri.

Al-Quradaghi, Ali Muhyiddin. Fakultas Syariah-Universitas Qatar. “Maza Mas.uliyyah

al-Mudharib wa Asy-Syari’, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah”

Jeddah: Majallah al-Majma' al-Fiqhiy al-Islamiy. Majma' al-Fiqh al-Islamiy. .

tahun ke-8. edisi 10. 28 Mei 2014

As-Salam, al-’Iz ibn Abd. 1999. Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm. Beirut: Dâr al-

Kutub al-’Ilmiyyah.

Asy-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali. t.th. Nail al-Authâr. Beirut: Dâr al-Fikri.

At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 2000. Sunan at-Tirmidzi, tahkik Muhammad Muhammad Hasan

Nasshar. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Bintang, Sanusi. 1999. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Bungin, Burhan, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta:

Fatwa al-Majma' al-Fiqh al-Islâmiŷ (The Council of Islamic Fiqh Academy-OKI). ke-19

di Shariqah. UAE. tahun 2009. No.179.

Fatwa Dewan Syariah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial

Institutions. AAOIFI. Standar Syariah No.9 Tahun 2003. Pasal: 4/1/7.

Haidar, Ali. t.th. Durar al-Hukkâm Syarhu Majallah al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Kutub al-

’Ilmiyyah.

Hammad, Nazih, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ. IIPH: Saudi Arabia. 1994.

Musa, Ahmad Hafizh Musa. adh-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa

Tathbiqaatuhu al-Mu'ashirah. Desertasi. Universitas Yordan. 2005

Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Daya Widya.

RajaGrafindo. 2001.

Sanusi, Bintang dan Dahlan. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti. 1999.

Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial dan Budaya.

Bandung: Rosdakarya.