Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

101

description

Laporan Akhir EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan oleh Tim Universitas Hasanuddin

Transcript of Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

Page 1: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS
Page 2: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

KATA PENGANTAR

Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2010 Provinsi Sulawesi Selatan

memiliki makna penting dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pertama, EKPD

ini memuat hasil evaluasi pencapaian dari penyelenggaraan RPJMN 2004-2009 di Provinsi

Sulawesi Selatan, sehingga kinerja dari satu periode RPJMN terpresentasikan secara utuh.

Kedua, EKPD ini memuat analisis relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi

Sulawesi Selatan, sehingga bisa memberi arahan bagi EKPD 2011 dan seterusnya.

Laporan EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah diselesaikan dengan baik.

Substansi isi dan metode evaluasi sepenuhnya mengacu kepada Panduan EKPD 2010 yang

disusun Bappenas, sementara analisis dan eksplanasi atas sejumlah fakta dilakukan sesuai

kompetensi akademis dari masing-masing evaluator.

Terima kasih disampaikan kepada Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan atas

dukungannya selama EKPD ini berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan focus group

discussion yang melibatkan seluruh Kepala Bidang di Bappeda, khususnya Kepala Bidang

Monitoring dan Evaluasi Pembangunan, serta dukungan data dan informasi yang diberikan.

Terima kasih juga disampaikan kepada pihak Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah

Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat serta seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Selatan yang telah

memberikan data yang diperlukan bagi EKPD ini serta terlibat dalam diskusi-diskusi dengan

evaluator.

Akhirnya, terima kasih disampaikan kepada pihak Bappenas atas kepercayaannya

kepada Universitas Hasanuddin dalam penyelenggaraan EKPD 2010 ini. Semoga kerjasama

ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara.

Makassar, 9 Desember 2010

Rektor Universitas Hasanuddin, u.b. Pembantu Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan

Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MSc.

NIP:

Page 3: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat

tahapan perencanaan pembangunan, yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian

perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan

perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan

mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana

pencapaian sasaran dan tujuan atau kinerja pembangunan secara keseluruhan.

Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan

Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan

Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (BAPPENAS) berkewajiban

untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN tersebut.

Saat ini Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014

telah ditetapkan. Siklus pembangunan jangka menengah ilma tahun secara nasional tidak

selalu sama dengan siklus pembangunan jangka menengah lima tahun di daerah, sehingga

penetapan RPJMN 2010-2014 tidak bersamaan waktunya dengan RPJMD Provinsi. Hal ini

menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD Provinsi tidak selalu mengacu pada prioritas-

prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program

antara RPJMN dengan RPJMD provinsi.

Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan

dengan RPJMN. Pertama, evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009; kedua, penilaian

keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 dengan RPJMN 2010-2014.

Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex-

post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada

tiga agenda RPJMN 2004-2009 yaitu agenda Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta

Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai

pemerintahan atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis

indikator pencapaian.

Page 4: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

2

Metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD

Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 adalah dengan membandingkan keterkaitan 11

prioritas nasional dan tiga prioritas lainnya dengan prioritas daerah Provinsi Sulawesi

Selatan. Selain itu, juga dengan mengindentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang

tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-1014

adalah: 1. Refomasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2. Pendidikan, 3. Kesehatan, 4.

Penanggulangan Kemiskinan, 5. Ketahanan Pangan, 6. Infrastruktur, 7. Iklim Investasi dan

Iklim Usaha, 8. Energi, 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolahan Bencana, 10. Kebudayaan,

Kreativitas dan Inovasi Teknologi, dan tiga prioritas lainnya yaitu 1. Kesejahteraan Rakyat

Lainnya, 2. Politik, Hukum dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian Lainnya.

Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan

di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam

mengambil kebijakan pembangunan daerah.

Pelaksanaan EKPD ini dilakukan melalui kerjasama antara Bappenas cq. Deputi

Evaluasi Kinerja Pembangunan dengan Universitas Hasanuddin selaku evaluator eksternal

dan dibantu oleh stakeholders daerah. Pelaksanaan EKPD 2010 mengacu pada Panduan

Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 yang disusun oleh Deputi Bidang Evaluasi

Kinerja Pembangunan, Bappenas.

2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:

1. Untuk melihat sejauhmana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat

memberikan kontribusi pada pembangunan daerah Sulawesi Selatan;

2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program dalam RPJMN

2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam RPJMD Provinsi

Sulawesi Selatan 2008-2013.

Sasaran dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:

1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di

Provinsi Sulawesi Selatan;

2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014

dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.

Page 5: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

3

3. Keluaran

Luaran dari kegiatan ini adalah:

1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009

di daerah Provinsi Sulawesi Selatan;

2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan

RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.

Page 6: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

4

BAB II

HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009

A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI 1. Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai pada RPJMN 2004-2009

mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama

yakni indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan

persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Dalam EKPD Sulawesi Selatan

2004-2009, data indeks kriminalitas tidak dapat ditemukan sehingga data yang digunakan

adalah tingkat kriminalitas, berupa perbandingan antara kasus kriminalitas yang terjadi

dengan total penduduk Sulawesi Selatan, dinyatakan dalam satuan jumlah tindakan kriminal

perseribu penduduk dalam setahun. Data tentang persentase penyelesaian kasus kejahatan

transnasional juga tidak ditemukan sehingga hanya diberikan evaluasi kualitatif-deskriptif.

Adapun nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang

Aman dan Damai dapat digambarkan pada Tabel-1.

Tabel-1: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan.

No.

Indikator

Nilai Indikator

Sumber Data 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Indeks Kriminalitas (Tingkat Kriminalitas)

1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636 Polda Sulselbar, 2005-2010

2. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional

59,81 54,96 54,38 55,97 48,92 44,16 Polda Sulselbar, 2005-2010

3. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional

-

-

-

-

-

-

-

2. Analisis Pencapaian Indikator

(1) Keamanan dan Kedamaian

1. Tingkat Kriminalitas Tingkat kriminalitas di Sulawesi Selatan, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu

penduduk dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat pada

Page 7: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

5

periode 2004-2007, puncak peningkatan pada tahun 2007, lalu menurun pada periode 2008-

2009 (Grafik-1), sementara gambaran kuantitatif jenis dan tingkat kriminalitas tersebut dapat

dilihat pada Tabel-2. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Selatan mencapai 2,02

kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,27 poin dari tahun 2006, dimana angka ini

menurun 0,30 menjadi 1,72 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di

Sulawesi Selatan mencapai 15.554 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana

selama 33 menit delapan detik. Pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mencapai 13.374

kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit, pada tahun 2008

sebanyak 13.456 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit

enam detik. Pada tahun 2007 tersebut, persentase penyelesaian kasus pidana sebanyak

60,34%, pada tahun 2006 lebih rendah yakni 60,25% dan pada tahun 2008 lebih tinggi yakni

64,71%.

Grafik-1: Tingka Kriminalitas di Sulawesi Selatan 2004-2009.

Tingginya angka kriminalitas pada tahun 2007, sebagaimana terlihat pada Grafik-1,

diduga banyak dipengaruhi oleh panasnya suhu politik di Sulawesi Selatan menjelang dan

pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Konflik antar pendukung

calon gubernur yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota selain punya andil langsung terhadap

tingginya tingkat kriminalitas, juga situasi dan kondisi yang relatif tidak stabil ketika itu

banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksi-aksi

Page 8: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

6

kejahatannya. Sementara itu, perhatian aparat keamanan, baik menjelang pemilihan maupun

sesudah pemilihan, juga lebih banyak tercurah pada pengamanan pemilihan, dimana situasi

ini diduga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal.

Tabel-2: Keadaan Umum Tindak Pidana serta Tingkat Kriminalitas di Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009.

Pada tahun 2007, kondisi perekonomian Sulawesi Selatan juga kurang baik

kinerjanya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sangat rendah, ini mempunyai akibat

sangat besar bagi sebagian besar rumah tangga miskin dimana salah satu akibatnya adalah

tingginya angka pencurian. Pada tahun 2004 hingga 2007 angka pengangguran juga tinggi,

pada tahun 2006 sebanyak 18,64% dan meskipun pada tahun 2007 sudah menurun menjadi

12,78 % tetapi efeknya pada tekanan ekonomi penduduk masih signifikan dalam mendorong

terjadinya kriminalitas. Jumlah rumah tangga miskin juga tinggi pada periode 2004-2007,

yakni diatas 14%. Kesemua ini memberi indikasi adanya korelasi antara kondisi

perekonomian yang kurang baik dengan tingginya angka kriminalitas.

Pada tahun 2008-2009, terjadi perbaikan ketertiban dan keamanan yang signfikan,

ditandai dengan angka kriminalitas yang terus menurun. Ini terkait dengan kondisi politik

yang kembali normal pasca pemilihan gubernur, meskipun dalam pemilihan kepala daerah

tahun 2010 terjadi ekses cukup tajam, tetapi efeknya pada kriminalitas akan terlihat pada

data tahun tersebut dan tahun berikutnya. Perbaikan kondisi ketertiban dan keamanan juga

U r a i a n T a h u n

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Tindak Pidana 11.089 11.611 13.374 15.554 13.456 13.730

Penyelesaian 6.042 6.341 8.058 9.385 8.707 8.729

% Penyelesaian 54,49% 54,61% 60,25% 60,34% 64,71 63,58

Selang Waktu terjadinya Tindak Pidana

47’39” 45’ 39’ 33’8” 39,06 38,28

Jumlah Penduduk 7.379.370 7.494.701 7.629.138 7.675.893 7.805.024 8.253.387

Tingkat kriminalitas 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636

Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan , 2004-2009 dan BPS 2006-2009 (Diolah kembali)

Page 9: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

7

didukung oleh kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2008-2009 yakni angka

kemiskinan dan pengangguran yang terus berkurang dan pertumbuhan ekonomi yang relatif

terpelihara.

2. Penyelesaian Kejahatan Konvensional Ditinjau dari seluruh kejahatan konvensional yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah

terjadi peningkatan persentase penyelesaian kasus selama periode 2004-2009. Pada tahun

2005 penyelesaian kasus hanya 54,49%, meningkat hingga 64,71% pada tahun 2008, dan

sedikit menurun pada tahun 2009 yakni 63,58% (Grafik-2). Ini menujukkan peningkatan

kinerja aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, dalam penyelesaian tindak pidana

kejahatan konvensional. Namun demikian, ditinjau dari segi penyelesaian jenis kejahatan

yang menonjol di Sulawesi Selatan, sebagaimana juga terlihat pada Grafik-2, terdapat

penurunan tingkat penyelesaian kejahatan. Persentase penyelesaian tertinggi adalah pada

tahun 2004 (59,81%), kemudian pada tahun 2005 dan tahun 2006 menurun menjadi sekitar

54%, dan sedikit meningkat pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009

persentase penyelesaiannya menurun menjadi 48,92 % dan 44,16%. Secara keseluruhan

persentase penyelesaian kasus tindak pidana mengalami peningkatan, tetapi untuk kasus

kejahatan yang menonjol persentase penyelesaiannya justru menurun.

Grafik-2: Penyelesaian keseluruhan tindak pidana kejahatan konvensional dan Tindak pidana kejahatan menonjol di Sulawesi Selatan 2004-2009.

Page 10: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

8

Hasil wawancara dengan pihak kepolisian menunjukkan bahwa tidak tertutup

kemungkinan perbedaan persentase penyelesaian ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah

dan kualitas aparat kepolisian yang menangani jenis kejahatan yang menonjol, keterbatasan

sarana prasarana penunjang pelaksanaan tugas aparat, serta modus operandi penjahat yang

semakin beragam dengan jumlah dan kualitas yang juga semakin meningkat. Dengan

kondisi demikian, maka peluang menumpuknya penyelesaian kasus tertentu yang menonjol

di kepolisian menjadi sangat besar, yang pada gilirannya bisa mengurangi kepercayaan

masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.

Pada kejahatan konvensional, hal yang juga perlu dicermati adalah kecenderungan

meningkatnya jumlah absolut jenis kejahatan tertentu yang menonjol pada periode 2004-

2009 (Lihat data penunjang pada Tabel-3). Kalau pada tahun 2004 jumlahnya hanya 3.926

kasus, pada tahun 2007 bertambah menjadi 5.346 kasus, pada tahun 2009 jumlahnya terus

meningkat dan mencapai angka 5.562 kasus.

Tabel-3: Kasus Kejahatan Konvensional Menurut Jenis Kejahatan Yang Menonjol di

Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009

Jenis Kejahatan

Yang Menonjol

T a h u n

2004 2005 2006 2007 2008 2009

L S L S L S L S L S L S

Perkelahian Kelompok

17 13 3 4 3 1 9 - - - - -

Pengeroyokan 168 111 239 157 232 180 463 374 513 400 660 469

Pemerasan & Ancaman

67 36 75 31 96 66 84 59 295 164 504 229

Penghancuran/ Perusakan Barang

421 202 399 208 516 317 585 332 469 336 201 121

Pembakaran 29 20 10 9 32 14 31 17 14 10 17 13

CD Porno 1 - 2 3 15 9 10 2 60 40 2 -

Perzinahan+ Cabul

166 112 203 119 249 201 233 192 180 97 332 236

Perkosaan 105 76 97 70 112 70 142 115 135 105 109 112

Page 11: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

9

Miras 68 60 86 85 82 73 84 99 390 224 131 113

Narkotika/ Psikotropika

275 309 269 370 261 260 274 244 392 371 409 356

Pembunuhan 143 125 121 117 127 133 109 99 139 106 89 68

Aniya Berat 814 268 1.047 603 1.000 736 970 673 531 403 412 312

Empat Jenis Pencurian

1.652

1.016 1.852 644 2.255 648 2.352 786 2.209 350 2.696

427

Jumlah 3.926

2.348 4.403 2.420 4.980 2.708 5.346 2.992 5.327 2.606

5.562

2.456

% Penyelesaian - 59,81 - 54,96 - 54,38 - 55,97 - 48,9

2 - 44,16

Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan, 2004-2009 (diolah kembali) Keterangan : L = Lapor; S = Selesai

Dari sejumlah jenis kejahatan konvensional tersebut, yang sangat menonjol dan

mengalami peningkatan selama periode 2004-2009 adalah pencurian yakni pencurian berat,

pencurian dengan kekerasan, pencurian hewan dan pencurian kendaraan bermotor.

Perkelahian kelompok yang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan penurunan, pada

tahun 2007 kembali mengalami peningkatan. Data tentang perkelahian kelompok ini belum

mencakup perkelahian antara anggota POLRI dengan anggota TNI yang cukup

menghebohkan di Bantaeng pada tanggal 22 September 2007. Meskipun jumlah kasus

perkelahian antar kelompok pada tahun 2007 lebih rendah dibanding perkelahian antar

kelompok pada tahun 2004, yang memprihatinkan dari perkelahian tahun 2007 adalah

banyaknya generasi muda dari kalangan mahasiswa yang terlibat, padahal faktor pemicunya

hanyalah masalah-masalah sepele yang seyogyanya tidak berkembang dalam skala besar.

Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh antara lain adalah karakteristik masyarakat Sulawesi

Selatan yang “agak keras”, euforia reformasi dan kekurangtegasan aparat dalam

penanganan berbagai kasus tersebut. Selanjutnya, menyangkut kasus pengeroyokan,

pemerasan dan ancaman, penghancuran/perusakan barang, serta pembakaran, trennya juga

agak mengkuatirkan. Hal ini merupakan sinyal berkurangnya rasa saling percaya dan

keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat yang justeru merupakan salah satu

prioritas RPJMN 2004-2009.

Page 12: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

10

Pada wilayah-wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan nilai-nilai materialisme telah

semakin menguat, berbarengan dengan cenderung memudarnya solidaritas sosial, nilai-nilai

kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial. Identitas nasional kemudian terlemahkan oleh

cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta keterbatasan dalam mengadopsi

budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan karakter bangsa. Gambaran

cepatnya penyerapan budaya global yang negatif di Sulawesi Selatan, antara lain dapat

dilihat dari peningkatan jumlah kasus narkotika/psikotropika, CD porno, perzinahan,

perkosaan dan pencabulan (Lihat Tabel-3). Tingginya pertambahan kasus

narkotika/psikotropika juga semakin mengkuatirkan. Pada tahun 2004 hanya 275 kasus dan

pada tahun 2009 sudah mencapai 409 kasus. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa

peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika/psikotropika sekaligus berpotensi semakin

meningkatnya pula jumlah penderita HIV/AIDS. Data yang diperoleh melalui media terungkap

bahwa kasus penyalahgunaan narkotika/psikotropika nampaknya berkorelasi positif dengan

peningkatan penderita HIV/AIDS. Data pada Harian Fajar (Senin, 10 Nopember 2008)

mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah

penderita HIV/AIDS yang ditemukan dan terdeteksi khusus di Kota Makassar terhitung

Januari hingga April 2008 adalah 1.782 orang, padahal di penghujung 2007 baru 1.599

orang. Artinya hanya dalam waktu empat bulan, penderita penyakit mematikan ini bertambah

183 orang. Dari sumber yang sama juga dikemukakan bahwa untuk Sulawesi Selatan, jika

tahun 2007 hanya 1.844 orang, maka pada April 2008 sudah mencapai angka 2.059 orang

atau mengalami peningkatan 215 orang. Walaupun Pemerintah dan pemerhati HIV/AIDS

tidak tinggal diam (di Makassar sudah disiapkan tujuh lokasi Voluntary Counseling Testing

(VCT) untuk membantu pendeteksian virus HIV. Hanya saja, data dari Dinas Kesehatan Kota

Makassar ini akurasinya diragukan oleh sejumlah LSM, karena berdasarkan pemantauan

mereka, disinyalir yang belum ditemukan dan terdeteksi jumlahnya bisa mencapai angka 10

kali lipat dari pada yang terdeteksi. Dalam konteks ini, dari berbagai sumber termasuk dari

kepolisian, dikemukakan bahwa maraknya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan

Makassar tidak terlepas dari sindikat peredaran narkoba di wilayah ini. Data hasil tangkapan

Polwiltabel Makassar menunjukkan bahwa dari Januari hingga 9 Nopember 2008 kasus

narkoba yang tertangkap adalah 66 kasus dengan tersangka 82 orang.

Demikian pula kasus perkosaan, dari 105 kasus pada tahun 2004, meningkat menjadi

142 kasus pada tahun 2007. Kecenderungan peningkatan kasus-kasus tersebut

menunjukkan tanda yang semakin mengkuatirkan. Meskipun kasus CD porno,

Page 13: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

11

perzinahan/perbuatan cabul dan kasus miras sedikit menurun, penyerapan nilai-nilai budaya

global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan sosial, merupakan peringatan

yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bahkan beberapa aksi

erotis versi lokal yang populer dengan nama “candoleng-doleng” (pertunjukan musik elekton

pada acara pesta yang disertai tarian erotis) hingga saat ini masih menjadi agenda

mendesak pemerintah di beberapa kabupaten untuk menghentikannya. Demikian pula kasus

rekaman adegan porno/mesum yang melibatkan warga setempat sudah ditemukan di

beberapa daerah seperti di Kabupaten Bone, Soppeng dan Kota Pare-Pare. Fenomena ini

memberikan gambaran betapa cepatnya penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif,

yang berimbas terhadap etika pergaulan masyarakat.

Pada sisi lain toleransi antar etnis dan antar umat beragama meskipun datanya

secara pasti tidak diperoleh oleh tim evaluasi, namun dilihat dari keterlibatan berbagai etnis di

Sulawesi Selatan (empat etnis besar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar), termasuk

etnis Tionghoa, dalam kesuksesan berbagai event keagamaan yang dilaksanakan di

Sulawesi Selatan, dapat dikatakan bahwa pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi

Selatan dari aspek toleransi dan kerukunan antar etnis dan umat beragama, walaupun masih

perlu lebih ditingkatkan, namun sudah berada pada jalur yang benar.

Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai instansi terkait, secara umum agenda

mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai di Sulawesi Selatan pada periode 2004-2009

walaupun dapat dikatakan cukup berhasil, namun beberapa faktor seperti kenaikan harga

BBM, cukup panasnya suhu politik dalam proses dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah

baik pada level Provinisi maupun Kabupaten/Kota, memiliki pengaruh (timbal baik) yang

cukup besar terhadap upaya mewujudkan agenda tersebut. Selain itu, persaingan para calon

anggota legislatif [DPR, DPRD dan DPD), juga merupakan faktor yang mempengaruhi

kondisi aman dan damai.

Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh yakni perubahan peran TNI dalam

pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta belum sempurnanya kesiapan Polri untuk

sepenuhnya berperan sebagai ujung tombak pemelihara keamanan dan ketertiban,

menyebabkan aktivitas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat belum mampu

dilaksanakan secara efektif. Demikian pula, apabila ditinjau dari jumlah dan kualitas personil

aparat keamanan dalam memelihara keamanan di sebagian besar wilayah yang belum

memadai ditengah keragaman masyarakat (etnis, budaya dan agama), serta perubahan spirit

Page 14: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

12

zaman yang antara lain ditandai oleh semakin menguatnya tuntutan arus bawah, tuntutan

penegakan HAM, demokratisasi serta kemajuan teknologi dan informasi.

3. Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional Secara umum, kasus kejahatan transnasional belum signifikan terjadi di Sulawesi

Selatan. Pada kasus perdagangan manusia misalnya, meskipun pengiriman TKI cukup besar

jumlahnya di Sulawesi Selatan, tetapi dibaliknya kejahatan demikian tidak teridentifikasi.

Begitu pula dalam kasus narkoba, meskipun intensitasnya cukup tinggi, tetapi indikasi

keterlibatan jaringan transnasional belum signifikan.

3. Rekomendasi Kebijakan

(1) Menyangkut menurunnya persentase penyelesaian jenis kejahatan tertentu yang

menonjol, direkomendasikan agar pemerintah menunjukkan perhatian yang lebih serius

terhadap peningkatan jumlah dan kualitas aparat kepolisian, serta sarana prasarana

penunjang dalam pelaksanaan tugas mereka. Dalam konteks ini tentu saja ketegasan

pimpinan dalam penegakan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi ditunda-

tunda, termasuk dalam pemberian sangsi dan reward terhadap aparat kepolisian yang

aktif sesuai capaian pelaksanaan tugas masing-masing.

(2) Dalam upaya menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok

dan golongan masyarakat yang merupakan faktor penting untuk menciptakan rasa

aman dan damai, dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan

penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan, partisipasi masyarakat seyogyanya

lebih ditingkatkan. Bahkan diharapkan rasa saling percaya tersebut juga terwujudkan

antar seluruh pemangku kepentingan, antar lembaga pemerintah (dalam arti luas),

serta antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, termasuk pemantapan forum

dialog lintas agama.

(3) Lunturnya nilai-nilai budaya luhur dan menurunnya nilai-nilai moral serta krisis jati diri,

identitas dan kepribadian daerah, seharusnya dapat menyadarkan para pihak akan

pentingnya menjadikan sistem dan nilai budaya lokal sebagai identitas dan jatidiri

masyarakat. Dalam konteks ini, keteladanan dari para pemimpin di Sulawesi Selatan,

termasuk eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta aparat hukum harus

lebih ditingkatkan. Demikian pula perlunya meningkatkan frekuensi dialog antarbudaya

Page 15: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

13

yang lebih terbuka dan demokratis, peningkatan penegakan hukum, serta aktualisasi

nilai moral dan agama dalam keseharian, utamanya dari para pemimpin.

(4) Masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan penanggulangan HIV/AIDS di

Sulawesi Selatan yang semakin meningkat dan mengkuatirkan, membutuhkan

kesungguhan serta dukungan multipihak, oleh sebab itu semua pihak utamanya

pemerintah harus mengambil langkah nyata dan progressif, tanpa pandang bulu

menindaki secara tegas siapapun yang terlibat. Tentu saja dalam penanganannya tidak

semata mengharapkan dari pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama seluruh

pemangku kepentingan, tanpa dukungan tersebut apa yang dilakukan oleh pemerintah

sulit mencapai hasil yang optimal.

(5) Hal lain yang juga penting dicermati adalah bagaimana meminimalisir terjadinya

perkelahian (baca: tawuran) antar mahasiswa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota

Makassar, termasuk demonstrasi yang banyak berujung pada aksi anarkis. Pentingnya

perhatian khusus dan betul-betul serius terhadap masalah ini agar pandangan negatif

(suka tawuran dan anarkis) yang dilekatkan terhadap warga dan mahasiswa yang

cenderung merugikan masyarakat di kota Makassar bisa terkikis habis. Dalam konteks

ini diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan,

utamanya pemerintah, aparat hukum, kalangan kampus, pers dan tokoh masyarakat

untuk duduk bersama dengan pikiran yang jernih membicarakan langkah-langkah

pencegahan, serta ketegasan dalam penindakan mereka yang tertangkap tangan dan

terbukti bersalah. Dalam konteks ini diharapkan media massa (baik tulis maupun

elektronik) dengan segenap jajaran wartawannya berperan secara aktif ikut mencegah

terjadinya tawuran, paling tidak memberi informasi kepada aparat keamanan dan tidak

justeru memberitakannya berulang-ulang dan menjadikannya sebagai berita

sensasional. Pemerintah sendiri diharapkan dapat memainkan perannya sebagai

fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil.

B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS 1. Indikator

Pencapaian pembangunan menyangkut Agenda Indonesia yang Adil dan Demokratis

mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang

kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani

dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda

Page 16: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

14

Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang

bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsi) yang memiliki

pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur

dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment

Measure (GEM). Nilai pencapaian dari setiap indikator tersebut ditampilkan pada Tabel-4.

Tabel-4: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan

Demokratis pada RPJMN 2004-2009.

No Indikator Nilai Indikator

Sumber Data

2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan

Data tdk ter-sedia

Data tdk ter-sedia

67,65 87,18 74,60 75,00

Kejaksaan Tinggi Sulselbar, 2010 dan dan Polda Sulselbar, 2010; Data 2004 dan 2005 hanya yang bersumber dari Polda, data 2006-2009 dari Polda dan Kejaksaan Tinggi.

2. Persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap

8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17 Pemprov Sulawesi Selatan, 2010

3.

Persentase entitas (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian

- 15 0 0 0 - BPK Sulawesi Sela-tan, 2005-2010.

4. Gender Development Index 56,90 57,40 59,00 60,40 61,04 62,07

Pembangunan Manu-sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke-menteri-an PP dan PA; Pembangunan Berbasis Gen-der 2006-2008, BPS-Ke-menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi.

5. Gender Empowermen Index 49,20 50,00 51,80 52,60 52,90 53,82

Pembangunan Manu-sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke-menteri-an PP dan PA; Pembangunan Berbasis Gender 2006-2008, BPS-Ke-menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi.

Page 17: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

15

2. Analisis Pencapaian Indikator

(1) Pelayanan Publik

1. Penyelesaian Kasus Korupsi

Definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di

Sulawesi Selatan adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan

dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh

kejaksaan dari kepolisian. Dengan kata lain konsep tertangani disini adalah kasus korupsi

yang telah masuk ke tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep

kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima

secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi

yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada

EKPD 2010 mencakup tahun 2006 hingga 2009, sementara data tahun 2004-2005 tidak

dapat ditampilkan secara valid.

Berdasarkan pengertian tersebut, gambaran persentase kasus korupsi yang ditangani

dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada Grafik-3. Pada Grafik-3 ditunjukkan

perkembangan kinerja penyelesaian kasus korupsi secara total yang ditangani Kejaksaan

Tinggi (Tingkat Provinsi) dan yang ditangani Kejaksaan Negeri (Tingkat Kabupaten dan

Kota). Selain itu juga ditunjukkan perkembangan penyelesaian kasus korupsi pada masing-

masing Tingkat Kejaksaan Tinggi dan Tingkat Kejaksaan Negeri.

Pada Grafik-3 terlihat bahwa fenomena menonjol terjadi pada tahun 2007, ketika

persentase kasus korupsi yang tertangani meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya,

dan tahun 2008 ketika persentase kasus korupsi yang tertangani tersebut menurun secara

signifikan pula. Ada beberapa faktor dapat dijelaskan terkait fenomena tersebut.

Pertama, bahwa tingginya kinerja penyelesaian kasus korupsi pada tahun itu

dikontribusi dominan oleh Kejaksaan Negeri (Kabupaten/Kota), yakni sebanyak 37 kasus

terlaporkan dan yang ditangani sebanyak 33 kasus (89,10%); sementara Kejaksaan Tinggi

pada tahun itu hanya menerima laporan dua kasus dan yang tertangani satu kasus (50%). Ini

berbeda signifikan dengan kinerja tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 kinerja lebih

tinggi dikontribusi oleh Kejaksaan Tinggi yakni terlaporkan delapan kasus dan ditangani tujuh

diantaranya (87,5%), sementara Kejaksaan Negeri hanya menerima 27 laporan dan

tertangani 16. Salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini adalah semakin besarnya

perhatian masyarakat di Kabupaten dan Kota dalam melaporkan kasus-kasus korupsi

Page 18: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

16

Grafik-3: Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibanding yang Terlaporkan di Kejaksaan Negeri dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan

dengan kelengkapan data dan informasi yang memungkinkan pihak kejaksaan melakukan

tindak lanjut, selain itu kasus yang dilimpahkan polisi ke kejaksaan juga meningkat. Peranan

media massa juga besar dalam peningkatan ini, selain Surat Kabar yang terbit di Makassar,

pada beberapa daerah juga telah terbit koran lokal yakni di Kota Pare-pare dengan sumber

berita pada Kota Pare-pare dan Kabupaten sekitarnya, di Kota Palopo dengan sumber berita

pada Kota Palopo dan Kabupaten sekitarnya. Peranan LSM, baik LSM yang berkiprah di

Kota Makassar maupun LSM yang berkiprah di Kabupaten, juga signifikan. LSM di

Kabupaten Bulukumba sangat gencar mempersoalkan dugaan penyelewengan dan

bekerjasama dengan media massa memberitakannya, begitu pula LSM di Kota Pare-pare,

Kota Palopo dan Kabupaten Bone.

Kedua, pada tahun 2008, persentase antara yang ditangani dengan yang dilaporkan

terlihat adanya penurunan dibanding tahun 2007, tetapi secara kuantitatif sebenarnya terjadi

peningkatan signifikan. Pada tingkat Kejaksaan Tinggi, tahun itu terlaporkan 21 kasus dan

yang tertangani 13 kasus (Lihat Tabel-5). Sementara itu, pada tingkat Kejaksaan Negeri,

terlaporkan 42 kasus dan tertangani 34 kasus. Bahkan pada tahun berikutnya, secara

kuantitatif kinerja ini lebih meningkat lagi, meskipun secara persentase agak stagnan. Pada

Page 19: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

17

tahun 2009, pada tingkat Kejaksaan Tinggi (Provinsi), terlaporkan 31 kasus dan tertangani 19

kasus; pada tingkat Kejaksaan Negeri terlaporkan 41 kasus dan tertangani 35 diantaranya.

Artinya, yang terlihat sebagai penurunan persentase penanganan kasus harus dipahami

bahwa dibaliknya terjadi peningkatan kuantitas dari kasus yang terlaporkan, dan sebenarnya

terjadi pula peningkatan kuantitas atas kasus yang tertangani. Keterbatasan jumlah aparat

kejaksaan dan kompleksitas dari kasus yang terlaporkan menjadikan persentase yang

tertangani terlihat sedikit menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja

penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan, baik pada tingkat Kejaksaan Tinggi maupun

tingkat Kejaksaan Negeri, telah meningkat signifikan selama periode 2005-2009.

Tabel-5: Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan)

Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009

Sumber: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 2010.

Untuk pengembangan analisis lebih jauh, pada Grafik-4 ditunjukkan kinerja

penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dan

ditampilkan bersama kinerja Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi ditambah Kejaksaan Negeri)

Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa kinerja Kepolisian tinggi pada tahun 2008, dimana saat itu

kinerja Kejaksaan sedikit menurun; sementara pada tahun 2007 ketika kinerja Kejaksaan

tinggi, kinerja kepolisian justeru menurun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kasus yang

terlaporkan di kepolisian pada tahun 2008 sebanyak 28 dan 26 diantaranya tertangani

(92,86%). Pada tahun 2007, terlaporkan 29 kasus dan yang tertangani 19 kasus. Pencapaian

ini agak menurun pada tahun 2009, dimana kasus terlaporkan di kepolisian hanya 17 dan

tertangani 11 kasus diantaranya.

Wilayah

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Kab/Kota se-SulSel Dilaporkan Tertangani

%

Data tdk tersedia

Data tdk tersedia

26 16

61,54

37 33

89,19

42 34

80,95

41 35

85,37 Kejati SulSel Dilaporkan Tertangani

%

Data tdk tersedia

Data tdk tersedia

8 7

87,50

2 1

50,00

21 13

61,90

31 19

61,29 Total Dilaporkan

Tertangani %

Data tdk tersedia

Data tdk tersedia

34 23

67,65

39 34

87,18

63 47

74,60

72 54

75,00

Page 20: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

18

Grafik-4: Persentase kasus korupsi tertangani dan terlaporkan pada Kepolisian Dibandingkan dengan Kejaksaan di Sulawesi Selatan, 2006-2009.

(2) Pelayanan Satu Atap

Salah satu indikator pelayanan publik adalah persentase kabupaten/kota yang

memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Namun demikian, karena indikator yang

digunakan adalah peraturan daerah, maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang

telah melaksanakan pelayanan satu atap tetapi payung hukum yang digunakan baru sebatas

SK Bupati, maka dalam evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah

memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap.

Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah

dengan perwujudan pelayanan satu atap yang kemudian dikembangkan menjadi pelayanan

satu pintu. Sepintas kedua konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam

implementasinya berbeda. Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan

yang terlihat adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap di lokasi tertentu, tetapi

dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri atau

menerbitkan izin sendiri. Sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu, keterpaduan

pemberian pelayanan lebih ditonjolkan, jadi berbagai jenis perizinan yang diurus oleh

masyarakat, pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan oleh aparat yang ditempatkan

pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut.

Pada Grafik-5 terlihat bahwa peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki

peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Ini juga

Page 21: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

19

banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun

2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons

yang positif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan PP tersebut.

Pada Grafik-5 terlihat bahwa pada tahun 2008 persentase Kabupaten/Kota yang

memiliki Perda Perizinan Satu Atap meningkat sebanyak 30,47% dari tahun 2007, dimana

saat itu sebanyak 12 (52,17%) Kabupaten/Kota telah memiliki Perda Perizinan Satu Atap.

Peningkatan pada tahun 2007 tersebut erat kaitannya dengan kesadaran yang makin tinggi

Grafik-5: Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap Di Sulawesi Selatan.

pada pemerintah daerah tentang pentingnya investasi sehingga pelayanan satu atap

dilengkapi dengan standar prosedur pelayanan yang jelas menjadi upaya untuk mendorong

daya saing daerah bagi investasi. Khusus untuk pelayanan umum bagi masyarakat,

pemerintah daerah juga makin menyadari pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat,

sehingga ketepatan waktu, keramahan layanan dan biaya murah dianggap penting untuk

diberikan dan wadah yang tepat adalah Kantor Pelayanan Satu Atap yang memiliki kekuatan

hukum dalam bentuk Perda. Ini yang menjadikan peningkatan Perda Pelayanan Satu Atap

dari hanya dua Kabupaten/Kota pada tahun 2004, menjadi tiga pada tahun 2005, empat

pada tahun 2006 dan lima pada tahun 2007 lalu meningkatan drastis menjadi 12 tahun 2008

dan bertahan hingga 2009.

Page 22: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

20

Peranan bantuan teknis yang diberikan sejumlah lembaga internasional juga cukup

besar dalam pelayanan satu atap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di Kota Pare-

pare misalnya, inisiatif menyelenggarakan pelayanan satu atap dan upaya peningkatan

kualitasnya secara berkelanjutan, amat dikontribusi oleh bantuan teknis dan pendampingan

sebuah lembaga internasional dan bersamaan dengan itu unit pelayanan ini dipimpin oleh

seorang pejabat yang memiliki visi jelas tentang pelayanan dan kapasitas SDM yang terus

ditingkatkan. Pencapaian Kota Pare-pare dalam pelayanan satu atap, dengan jumlah urusan

yang tertangani yang terus meningkat, telah menjadi inspirasi sejumlah daerah lainnya untuk

mengakselerasi pelayanan satu atap.

(3) Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian

Berhubung data tentang opini laporan keuangan berdasarkan SKPD Provinsi tidak

tersedia, maka pada bagian ini evaluasi dilakukan terhadap data opini laporan keuangan unit

daerah yang menjadi sasaran evaluasi BPK-Sulawesi Selatan yakni Provinsi Sulawesi

Selatan sebagai satu unit dan masing-masing Kabupaten/Kota sebagai satu unit pula.

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa oleh BPK Sulawesi Selatan

selama 2004-2009 jumlahnya bervariasi tiap tahun, karena itu perhitungan persentase LPKD

dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dihitung berdasarkan jumlah unit LKPD yang

diperiksa BPK-Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Data yang bisa dianalisis mencakup

LKPD 2005-2008, hasil pemeriksaan 2004 dan 2009 tidak dapat ditampilkan datanya dalam

evaluasi ini. Gambaran tentang persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa

Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian dan Disclaimer dapat dilihat pada Grafik-6.

Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai

pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa

pada tahun tersebut, setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga

2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada

tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun

2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer

juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)

Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.

Page 23: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

21

Grafik-6: Persentase Hasil Pemeriksaan BPK dan Tingkatan Opini

Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai

pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa

pada tahun tersebut. Setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga

2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada

tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun

2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer

juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)

Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.

Rendahnya persentase LKPD yang mendapatkan penilaian WTP terkait dengan

sejumlah faktor tetapi yang utama adalah soal SDM. SDM pemerintah daerah yang terkait

dengan perencanaan program/kegiatan, perencanaan keuangan, pelaksanaan kegiatan

hingga pelaporan keuangan; kompetensi dan kapasitasnya belum sepenuhnya sesuai

dengan kebutuhan pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang dibutuhkan dalam

terciptanya konsistensi antara perencanaan program/kegiatan dengan perencanaan

keuangan; pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan; pengelolaan

administrasi program/kegiatan yang sinergis dengan administrasi keuangan; ketepatan serta

ketajaman analisis laporan keuangan; dan kordinasi pelaporan diantara berbagai pelaksana

kegiatan dalam berbagai SKPD pada tiap daerah. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan

SDM ini erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan serta proses learning-

Page 24: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

22

organization yang belum optimal berlangsung dalam konteks dan substansi pelaporan

keuangan pada berbagai unit pemerintahan daerah. Selain itu, kesesuaian latar pengetahuan

ilmiah atas pegawai yang terkait dengan siklus perencanaan program kegiatan, perencanaan

keuangan, evaluasi program/kegiatan, serta pelaporan keuangan ikut berkontribusi

mengingat mekanisme perekrutan dan siklus mutasi yang pada beberapa kasus belum

sepenuhnya mempertimbangkan ketajaman kapasitas dan kompetensi tertentu termasuk

analisis dan pelaporan keuangan. Fenomena terkait keterbatasan jumlah dan kualitas SDM

ini mewarnai rendahnya penilaian WTP pada LKPD di Sulawesi Selatan selama 2005-2008.

(2) Demokrasi

1. Gender-related Development Indeks

Gender-related Development Indeks (GDI) sebagai indikator yang menunjukkan

kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan, menunjukkan bahwa

pencapaian Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan pada periode 2004-2009.

Peningkatan tertinggi dicapai pada tahun 2006 (1,6 poin) dan 2007 (1,4 poin), sementara

pada tahun 2005 peningkatan hanya 0,5 poin, tahun 2008 sebesar 1,00 poin dan tahun 2009

sebesar 1,03 poin (Lihat Grafik-7). Periode ini juga ditandai dengan angka GID yang berhasil

menembus level nilai 60 sejak tahun 2007, berbeda dengan nilai GEM Sulawesi Selatan

yang pada 2004-2009 nilainya tertahan dibawah level 60 (Lihat Uraian tentang GEM). Dari

segi peringkat, pada tahun 2004 GDI Sulawesi Selatan berada pada peringkat 24, tahun

2005 peringkat 25, tahun 2006 peringkat 26, tahun 2007 dan 2008 peringkat 29, dan tahun

2009 kemungkinan bertahan pada peringkat 29. Dari segi peringkat nasional, pencapaian

GDI Sulawesi Selatan lebih rendah dari pencapaian GEMnya, meskipun dari segi nilai

pencapaian GDI lebih tinggi dari pencapaian GEM.

Pada periode 2004-2009, pencapaian tahun 2006-2009 menunjukkan fenomena

krusial, selain karena pada tahun itu tercapai peningkatan GDI tertinggi, juga pada tahun itu

nilai GDI menembus dan bertahan diatas nilai 60. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut.

Pertama, secara sosial-budaya, pola pikir dan acuan nilai masyarakat Sulawesi Selatan

tentang relasi perempuan dan laki-laki memang telah semakin bergeser dari orientasi

patriarkat kearah yang semakin membuka ruang bagi keterlibatan perempuan pada berbagai

aktivitas di sektor publik. Ini ditandai dengan terbukanya peluang yang sama antara

perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, yang dalam dekade terakhir porsi

murid perempuan relatif berimbang dengan murid laki-laki pada tingkat SD, SLTP hingga

Page 25: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

23

Grafik-7: Gender-related Development Index Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009 SLTA. Bahkan pada Perguruan Tinggi, terdapat kecenderungan mahasiswi lebih besar

porsinya dari mahasiswa. Ini seiring pula dengan tidak adanya lagi nilai dan norma yang

mengikat secara ketat untuk menempatkan perempuan hanya beraktivitas di sektor

domestik-dalam rumah tangga sementara hanya laki-laki yang memasuki sektor publik-luar

rumah tangga. Perubahan konstruksi sosial-budaya ini merupakan buah dari kemajuan

pendidikan, perkembangan interaksi sosial dan dinamika keterbukaan informasi yang

berlangsung secara gradual seiring proses pembangunan dan perkembangan.

Kedua, peningkatan nilai GDI juga merupakan dampak dari implementasi kebijakan

pemerintah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun mengimplementasikan

Program Peningkatan Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dengan kegiatan

utama pembinaan organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan peningkatan

keterampilan dan manajemen usaha bagi perempuan; Program Peningkatan Peran

Perempuan di Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan penilaian lomba P2WKSS, BKB dan

GSI; selain itu juga melakukan penguatan bagi Pemenuhaan Hak-Hak Perempuan dan Anak,

Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan serta Peningkatan Peran

Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Intervensi sejenis juga diperankan sejumlah

Donor, LSM dan Perguruan Tinggi dalam berbagai kegiatan yang manfaat dan dampaknya

diharapkan berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan kesataraan gender (LAKIP,

2009).

Page 26: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

24

Ketiga, sebagaimana terlihat pada Grafik-8, peningkatan GDI Sulawesi Selatan

berjalan seiring dengan peningkatan IPM. Di sini tertunjukkan bahwa perbaikan kualitas

manusia dalam hal pengetahuan, kesehatan dan daya beli ternyata ada korelasinya dengan

semakin membaiknya kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi

sosial, struktur kemasyarakatan dan pola-pola kekuasaan. Tentu saja ini dengan asumsi

bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat yang sebelumnya

patriarkat menjadi menerima prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki serta membuka

ruang bagi realisasi prinsip tersebut.

2. Gender Empowerment Measure

Pencapaian Gender Empowerment Measure (GEM) Provinsi Sulawesi Selatan selama

2004-2009 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertambahan angka GEM

yang tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, GEM Sulawesi Selatan

meningkat 0,8 poin dari tahun 2004, dari tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat 1,8 poin, dari

tahun 2006 ke tahun 2007 meningkat 0,8 poin, dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat 0,3

poin dan dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat 0,92 poin. Ini berarti bahwa peningkatan

terbesar tercapai pada tahun 2006 (1,8 poin) dan tahun 2009, sementara peningkatan

terendah pada tahun 2008 (0,3 poin) (Lihat Grafik-8). Dari segi peringkat nasional, peringkat

GEM Sulawesi Selatan cenderung menurun pada periode 2004-2009. Pada tahun 2005

peringkat GEM Sulawesi Selatan adalah 23, tahun 2006 dan 2007 turun ke posisi 25, tahun

2008 turun lagi ke posisi 26, dan tahun 2009 kemungkinan tetap pada peringkat 26. Artinya,

meskipun nilai GEM Sulawesi Selatan meningkat terus pada periode 2004-2009, tetapi

peningkatan nilai GEM Provinsi lain lebih tinggi, sehingga peringkat GEM Sulawesi Selatan

cenderung turun.

Sebagaimana diketahui, GEM ditentukan oleh tiga indikator utama yakni (1)

persentase perempuan di parlemen, (2) persentase perempuan yang bekerja sebagai

administrator dibanding perempuan yang bekerja sebagai manajer, (3) persentase

perempuan yang bekerja sebagai profesional dibanding yang bekerja sebagai pekerja teknis.

Mengacu pada tiga indikator ini, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan GEM

Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.

Faktor paling pokok dibalik peningkatan GEM pada 2006 dan 2009 dapat dilihat pada

persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan. Indikator ini sangat penting, karena

DPRD adalah tempat dimana kebijakan/regulasi disusun, karena itu upaya mendorong

Page 27: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

25

keberdayaan gender amat strategis pada lembaga ini. Pada tahun 2006, persentase

perempuan di DPRD Provinsi mencapai 8% (enam orang dari total 75 anggota) sebagai hasil

Grafik-8: Pencapaian GEM Provinsi Sulawesi Selatan, 2004-2009 pemilu 2004, suatu peningkatan dari periode sebelumnya yang hanya dua orang dari total 50

anggota (4%). Pada tahun 2009, persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan

meningkat menjadi 16% (12 orang dari total 75 anggota). Dengan demikian, peningkatan

GEM di Sulawesi Selatan sebagian besar dikontribusi oleh hasil pilihan rakyat atas legislator

perempuan yang porsinya makin besar. Namun demikian, kuota 30% perempuan di DRPD

tampaknya masih jauh.

Selain itu, organisasi birokrasi maupun dunia usaha juga semakin terbuka untuk

memberi ruang kepada perempuan dalam mengakses posisi tinggi. Pada tahun 2009,

pejabat perempuan untuk eselon II-a (Kepala Dinas dan Kepala Badan) pada Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,2% (dua diantara 32 orang), eselon II-b (Kepala Kantor

dan Kepala Biro) sebesar 3,4% (satu dari 29 orang), eselon III-a (Kasubdin/Kabid/Kabag)

sebesar 18% (47 dari 225 orang), eselon III-b (Kabag pada Kantor) sebesar 32% (delapan

dari 25 orang), eselon IV-a sebesar 34% (87 dari 294 orang) dan eselon IV-b sebesar 96%

(49 dari 51 orang).

Dengan demikian, pemilu yang semakin banyak menghasilkan anggota legislatif

perempuan, serta peningkatan kemampuan perempuan untuk bisa menempati level atas

pada organisasi dimana ia bekerja, merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi

perbaikan nilai GEM Sulawesi Selatan.

Page 28: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

26

Berbagai program pembangunan terkait upaya pemberdayaan gender juga telah

berjalan signifikan di Sulawesi Selatan, baik yang dijalankan oleh Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maupun yang dijalankan oleh Lembaga Donor,

Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan dan Perguruan Tinggi. Pada

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten selama 2004-2009 telah

difokuskan upaya-upaya untuk memperkuat organisasi dan kelembagaan perempuan dalam

bentuk peningkatan kemampuan SDM dan pemberian bantuan teknis dan manajerial seiring

dengan upaya-upaya untuk mengarusutamakan berbagai aspek terkait gender dalam

perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan. Pendampingan dan advokasi untuk

mendorong kebijakan yang pro-gender juga telah didorong oleh sejumlah donor, LSM dan

perguruan tinggi selama periode tersebut.

Faktor terakhir yang patut diperhatikan adalah kaitan GEM dengan IPM.

Bagaimanapun, secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan

kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin terbuka pilihan-pilihan dalam

kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voioces).

Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Selatan cenderung seiring

dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun

2006, saat itu IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi, sementara terpeliharanya

peningkatan GEM dari 2006 hingga 2009 juga terkait dengan peningkatan IPM tertinggi pada

tahun 2007 yang terpelihara hingga 2009. Artinya, upaya pemberdayaan atau pencapaian

kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah

memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara

umum.

Pada akhirnya harus tersadari bahwa meskipun berbagai faktor yang telah diuraikan ini

telah mempengaruhi atau berkorelasi dengan peningkatan nilai GEM Sulawesi Selatan pada

2004-2009, dilihat dari posisi relatif peningkatan tersebut dibanding peningkatan yang dicapai

Provinsi lain akselerasi peningkatan Sulawesi Selatan masih lebih rendah, sehingga

peringkat GEM nasional cenderung menurun. Faktor-faktor yang telah mendorong

peningkatan GEM selama ini perlu lebih signifikan lagi pengaruhnya atau diperlukan

bekerjanya faktor pendorong lain yang bisa lebih mendorong akselerasi.

Page 29: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

27

3. Rekomendasi Kebijakan

(1) Agar persentase kasus korupsi yang tertangani dibanding yang terlaporkan dapat lebih

besar, diperlukan peningkatan kapasitas pada lembaga kejaksaan terkait kecukupan

staf yang melayani kebutuhan data dan administratif seorang jaksa, kecukupan jumlah

jaksa dalam menangani kasus terlaporkan yang semakin besar jumlahnya, kecukupan

biaya operasional penanganan kasus, dan kecukupan sarana/fasilitas dalam

penanganan perkara. Dalam perspektif jangka panjang, masalah korupsi idealnya

didekati dengan upaya-upaya pencegahan terkait perbaikan sistem pelaporan dan

pengawasan, serta perbaikan remunerasi.

(2) Agar penyelenggaraan pembangunan berjalan lebih memenuhi norma transparansi dan

akuntabilitas, sehingga pelaporan keuangan SKPD atau pemerintah daerah

memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian, upaya perbaikan dapat didorong

dalam bentuk: (1) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah

dalam formulasi rencana dan implementasi rencana yang memenuhi kriteria efektivitas

dan efisiensi yang baik; (2) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah

daerah dalam pelaporan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan konsistensi antara

perencanaan (RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD) dengan

pelaksanaan kegiatan (APBD dan LAKIP); (3) dorongan keterbukaan data dan

informasi pembangunan sehingga terbuka akses bagi masyarakat, LSM dan media

dalam mengakses informasi pembangunan; (4) kordinasi intensif antar lembaga yang

terlibat dalam pengawasan pembangunan.

3. Pengarusutamaan gender dalam penyelenggaraan pembangunan perlu semakin

didorong bukan hanya dalam perspektif untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan

perempuan dari segi jumlah/proporsi pada berbagai aspek dan tahapan pembangunan;

tetapi lebih substantif dari itu adalah bagaimana menyeimbangkan sifat-sifat

maskulinitas dan feminitas dalam pengelolaan pembangunan sehingga dengan itu

humanisasi dan keberlanjutan pembangunan lebih substantif dihubungkan dengan

perspektif gender.

C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT 1. Indikator

Indikator yang menjadi basis evaluasi agenda peningkatan kesejahteraan rakyat

adalah: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2) Pendidikan mencakup Angka Partisipasi

Murni (SD/MI), Angka Partisipasi Kasar (SD/MI), Rata-rata nilai akhir SMP/MTs., Rata-rata

Page 30: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

28

nilai akhir SMA/SMK/MA., Angka Putus Sekolah SD., Angka Putus Sekolah SMP/MTs.,

Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah., Angka melek aksara 15 tahun keatas.,

Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs., Persentase jumlah guru yang layak

mengajar Sekolah Menengah, (3) Kesehatan mencakup Umur Harapan Hidup (UHH), Angka

Kematian Bayi (AKB), Prevalensi Gizi buruk (%), Prevalensi Gizi kurang (%), Persentase

tenaga kesehatan per penduduk, Keluarga Berencana, Persentase penduduk ber-KB

(contraceptive prevalence rate), Laju pertumbuhan penduduk, Total Fertility Rate (TFR), (4)

Ekonomi Makro mencakup Laju pertumbuhan ekonomi, Persentase ekspor terhadap PDRB,

Persentase output manufaktur terhadap PDRB, Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah),

Laju inflasi, (5) Investasi mencakup Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi

Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi

PMDN (Rp Milyar), Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA, (6) Infrastruktur mencakup %

panjang jalan nasional dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, % panjang jalan provinsi

dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, (7) Pertanian mencakup Rata-rata nilai tukar petani

per tahun, PDRB sektor pertanian, (8) Kehutanan mencakup Persentase luas lahan

rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, (9) Kelautan mencakup Jumlah tindak pidana

perikanan dan Luas kawasan konservasi laut (juta Ha), 10. Kesejahteraan Sosial mencakup

Persentase penduduk miskin dan Tingkat pengangguran terbuka.

Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator tersebut

dapat dilihat pada Tabel-6 berikut.

Tabel-6: Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator Meningkatkan Kesejahteraan Sosial.

No Indikator Nilai Indikator Sumber Data

2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Indeks Pembangunan Manusia

67,80 68,06 68,81 69,62 70,22 70,82*) BPS, 2009; *Angka

proyeksi

2. Angka Partisipasi Murni SD/MI

90,64 88,13 91,08 92,06 92,15 92,55*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka proyeksi

3. Angka Partisipasi Kasar SD/MI

103,28 101,43 107,70 108,56 109,25 110,83*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi

Page 31: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

29

4. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs

4,83 5,95 5,95 5,95 6,44 7,21 BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010

5. Rata-rata Nilai Akhir SMA/SMK/MA

5,56 6,05 6,25 6,24 6,28 7,19

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010

6. Angka Putus Seko-lah SD

4,17 1,54 3,83 1,61 3,01 3,87*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Pro-yeksi

7. Angka Putus Seko-lah SMP/MTs

12,15 4,49 3,44 4,87 12,86 16,69*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi

8.

Angka Putus Seko-lah Sekolah Mene-ngah

4,41 3,63 3,13 4,35 24,64 53,84*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi

9. Angka Melek Aksara 15 tahun keatas

84,50 84,60 85,70 86,24 85,58 94,47

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010

10.

Persentase jumlah guru yang layak me-ngajar di SMP/MTs

79,01 79,14 76,80 87,38 90,58*) 93,90*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010

11.

Persentase jumlah guru yang layak me-ngajar di Sekolah Menengah

75,88 80,58 90,61 91,03 96,83*) 102,99*)

BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010

12. Umur Harapan Hidup

68,70 68,70 69,20 69,40 70,40 70,98*)

BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010; *Angka Proyeksi.

13. Angka Kematian Bayi

37,37*) 36,00 29,10 41,00 27,40 26,35*)

BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.*Angka Pro-yeksi

14. Prevalensi Gizi Buruk

8,53 8,60 1,32 1,89 1,80 1,80

BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel,

Page 32: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

30

2010.

15. Prevalensi Gizi Kurang

19,62 18,35 13,37 14,74 14,50 14.50

BPS, 2005; Bap-penas, 2007; Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.

16. Persentase tenaga kesehatan perpenduduk

0,0012 0,0015 0,0016 0,0011 0,0015 0,0016*

BPS, 2005; Bap-penas, 2007; Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.

17.

Persentase penduduk berKB

56,49 56,54 57,30 65,57 62,00 64,29 BPS, 2004-2009; BPS, SDKI, 2007.

18. Laju pertumbuhan penduduk

1,36 1,64 1,41 0,92 1,36 1,33 BPS, 2004-2009; BPS, SDKI, 2007.

19. Total Fertility Rate

2,29 2,30

20. Laju Pertumbuhan Ekonomi 5,32 5,20 6,72 6,34 7,72 6,2 BPS Sulsel, 2010

21. Persentase Ekspor terhadap PDRB

13,50 13,57 13,51 14,58 22,28 12,11 BPS Sulsel, 2008

22.

Persentase Output Manufaktur terhadap PDRB

13,44 13,78 13,54 13,22 12,99 12,53

BPS Sulsel, 2008

23.

Pendapatan perkapi-ta (Berdasarkan Har-ga Konstan dalam juta rupiah)

6.150.051 7.016.919 8.126.117 9.079.914 11.092.285 11.541.232

BPS Sulsel. 2010

24.

Laju Inflasi

6,47 7,45 7,21 5,71 11,79 2,22 BPS Sulsel, 2010

25. Nilai rencana PMA yang disetujui (Juta US$)

53,317,00

0 22,803, 141,430,870

611,550,000

109,172,533

BKPMD Sulsel, 2010

26. Nilai Realisasi Investasi PMA (US$) 1,7 66,9 13,2 55,0 27,6 76,9

BKPMD Sulsel, 2010

27.

Nilai Rencana PMDN yang disetujui (M)

912,40 996,617 923,027 3.945,147

1.213,999

4.461,424

BKPMD Sulsel, 2010, BPS Sulsel, 2010

28. Nilai Realisasi Investasi PMDN (M)

109,00 147,58 68,60 1,06 1.110,524 1.113,790

BKPMD Sulsel, 2010; BPS Sulsel, 2010

29.

Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja PMA

116  122  280  3.058  1.992  505

BPS Sulsel, 2010

Page 33: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

31

30.

Persentase panjang jalan nasional dalam kondisi: Baik Sedang Buruk

   

57,92 30,83 11,24 

   

72,21 25,38 2,41 

   

71,60 21,15 7,25 

   

11,25 84,37 4,38 

   

64,94 28,29 6,77 

46,91% 35,30 17,79

LAKIP Pemprov Sulsel, 2010.

31.

Persentase jalan provinsi dalam kondisi: Baik Sedang Buruk

54,00 22,93 23,07

37,76 35,80 26,44

20,19 22,75 57,06

42,61 39,85 17,54

56,24 23,78 20,00

56,50 24,00 19,50

LAKIP Provinsi Sulsel, 2009.

32. Nilai Tukar Petani (rata-rata/tahun)

106,1 94,9 97,4 115,1 100,2 100,55 BPS Sulsel

33.

PDRB Sektor Per-tanian (nilai M. dan %)

14.124,24

(31,90)

16.188.36

(31,26)

18.513.26

(30,40)

20.900,36

(30,12)

25.071,81 (29,40)

27.080,00 (27,90)

BPS Provinsi Sulsel, 2007-2009.

34.

Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan ter-hadap lahan kritis

2,36

2,76

2,54

2,54

2,54 5,16

Dishut Sullsel, 2006, 2010

35. Jumlah tindak pidana perikanan

9 10 11 2 20 10

Dinas Perikanan Sulsel, 2010

36. Luas kawasan kon-servasi laut (Ha)

580.765 580.765 580.765 580.765 762.022 762.022 Dinas Perikanan Sulsel, 2010

37. Persentase pen-duduk miskin

14,90 14,98 14,57 14,11 13,34 12,31

BPS, 2010.

38. Tingkat penganggur-an terbuka

15,93 18,64 12,76 11,25 9,04 8,74

BPS, 2010.

2. Analisis Pencapaian Indikator

(1) Indeks Pembangunan Manusia

Pencapaian IPM Sulawesi Selatan mengalami peningkatan berarti dalam periode

2004-2009. Pada tahun 2009 IPM Provinsi ini sudah berada pada nilai diatas 70, artinya

kategori menengah-atas, sementara pada tahun 2004 masih berada pada kategori

menengah bawah yakni 67,8. Dari segi peringkat nasional, pada tahun 2004 Provinsi ini

Page 34: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

32

berada pada peringkat 21 tetapi pada tahun 2005 dan 2006 turun menjadi peringkat 23, dan

pada tahun 2007-2008 pada peringkat 21 dan pada 2009 peringkat 20. Artinya, baik dari segi

nilai maupun dari peringkat Sulawesi Selatan mencapai peningkatan signifikan dalam tiga

tahun terakhir.

Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2007,

dimana IPM Sulawesi Selatan naik 0,81 poin dari tahun 2007, nilainya menembus angka 70

atau level IPM menengah-atas, peringkat nasional menduduki posisi 21 (Grafik-10). Setelah

itu, pada tahun 2008 IPM Sulawesi Selatan naik 0,6 poin, begitu pula pada tahun 2009 naik

0,6 poin, dan peringkat nasionalnya bertahan pada posisi 20.

Grafik-9: Perkembangan IPM dan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Selatan, 2004-2009.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan di tahun 2007 dan berhasil

bertahan hingga tahun 2009. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meskipun

berfluktuasi dalam lima tahun terakhir, sementara inflasi cukup terkendali, sehingga daya beli

masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh perkembangan

infrastruktur dan fasilitas yakni berfungsinya jalan tol yang menghubungkan pelabuhan

dengan bandara, berfungsinya bandara baru Sultan Hasanuddin, berkembangnya pusat

belanja dan hiburan, serta pelebaran jalan antara Kota Makassar dan Pare-pare yang

keseluruhannya mendorong aktivitas perekonomian. Sementara itu, pada sektor pertanian

khususnya tanaman pangan, yang penyerapan tenaga kerjanya cukup besar, peningkatan

Page 35: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

33

produksi dan produktivitas terus berjalan seiring dengan program Revitalisasi Pertanian

secara nasional dan Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat) pada

periode 2004-2008, dilanjutkan dengan program pencapaian surplus beras dua juta ton dan

surplus jagung 1,5 juta ton. Pada produk unggulan lain, kakao yang produksinya menurun

hingga tahun 2008, setelah itu mengalami pembenahan dalam bentuk penanaman kembali

dan perlakuan sambung samping. Produk unggulan rumput laut yang menyerap tenaga kerja

cukup banyak pada hampir seluruh daerah pesisir di Sulawesi Selatan, juga cukup

berkembang dalam lima tahun terakhir. Keseluruhan unsur perekonomian rakyat ini telah

berkontribusi pada terpeliharanya daya beli sebagaian besar masyarakat Sulawesi Selatan.

Fenomena ini juga seiring dengan persentase penduduk miskin yang terus menurun

dari tahun 2004 hingga 2009. Sebagaimana diperlihatkan pada Grafik-11, mulai tahun 2006-

2007 persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara moderat,

dan pada tahun 2008-2009 menurun lebih signifikan. Penurunan jumlah penduduk miskin

menunjukkan perbaikan pada daya beli masyarakat, dimana daya beli adalah salah satu

indikator pokok IPM.

Kedua, perbaikan pencapaian pada kondisi pendidikan. Pada periode 2007-2009,

angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk Sulawesi Selatan cukup

meningkat. Selain merupakan dampak dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah

berjalan sebelumnya, pencapaian ini juga dikontribusi oleh perhatian pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan bersama seluruh pemerintah Kabupaten pada pembangunan pendidikan,

dimana pada tahun 2008 hingga 2010 pendidikan gratis hingga SLTA menjadi prioritas

utama pemerintah. Selain itu, pemerintah Provinsi juga memberi beasiswa pendidikan S3 ke

luar negeri bagi pegawai negeri sipil dalam jumlah yang cukup besar, yang kalau mereka

sudah tamat menjadi faktor yang memperbesar angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi

Selatan.

Ketiga, dalam hal angka harapan hidup, kinerja pembangunan kesehatan Sulawesi

Selatan memang telah menunjukkan pencapaian cukup baik selama ini. Pada periode 2008-

2010, dengan dicanangkannya Program Kesehatan Gratis oleh Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan disertai pembangunan rumah sakit untuk pasien kelas III yang digratiskan,

sementara pelayanan Jamkesmas oleh pemerintah pusat juga semakin baik, maka

diekspektasi bahwa pencapaian indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu

melahirkan, serta angka harapan hidup sendiri, mengalami peningkatan.

Page 36: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

34

Dihubungkan dengan visi RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan yang mencanangkan

Sulawesi Selatan sebagai Provinsi 10 Terbaik dalam Pelayanan Hak Dasar di Indonesia,

pencapaian IPM di peringkat 20 pada tahun 2009 masih memerlukan akselerasi tinggi untuk

bisa mendekati posisi 10 besar. Peningkatan memang telah dicapai signifikan, tetapi

akselerasinya belum cukup untuk memenuhi target. Waktu tiga tahun yang tersisa, yakni

2010-2013, merupakan kesempatan bagi Provinsi ini untuk mengejar pencapaian visinya.

(2) Pendidikan.

Terdapat sepuluh indikator yang akan dikemukakan dalam menganalisis kinerja

pendidikan di Sulawesi Selatan, yang di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan

menengah. Secara umum dari kesepuluh indikator tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan

kecenderungan membaik, yaitu Angka Partisipasi Murni Tingkat SD, Angka Partisipasi Kasar

Tingkat SD, rata-rata nilai akhir tingkat SMP, rata-rata nilai akhir tingkat sekolah menengah,

Angka Melek Huruf (%), persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat

SMP, dan persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat sekolah

menengah. Kecenderungan memburuk yang diperlihatkan oleh angka-angkanya yang

meningkat adalah Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) dan Angka Putus Sekolah Tingkat

Sekolah Menengah (%). Sementara Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) menunjukkan

ketidakstabilan yang ditunjukkan oleh nilainya yang fluktuatif dari tahun ke tahun.

1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI)

Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI, pada tahun 2005 mengalami

penurunan yang cukup besar dari 90,64 pada tahun 2004 menjadi 88,13 (Grafik-12). Setahun

kemudian, angka tersebut bisa dinaikkan kembali melampaui angka tertinggi yang dicapai

setahun sebelumnya menjadi 91,08, sebelum naik secara perlahan rata-rata di bawah satu

digit sampai tahun 2009.

Menurunnya APM tingkat SD/MI pada tahun 2005 tidak terlepas dari kenyataan

kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya

(Grafik-13). Pada saat itu Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi rendah,

sementara laju inflasi mencapai tingkat tertingginya. Di Makassar misalnya, laju inflasi saat

itu mencapai 15,20, jauh melambung dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,47. Keadaan ini

jelas mengurangi daya beli masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang hanya

berada sedikit di atas garis kemiskinan kembali terjatuh miskin.

Berdasarkan Grafik-10 tampaknya pendidikan anak-anak adalah salah satu aspek

yang terpaksa dikorbankan oleh kelompok keluarga miskin untuk bisa bertahan dalam

Page 37: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

35

kesulitan ekonomi seperti itu. Meskipun pada saat itu mulai diperkenalkan kebijakan inklusif

di bidang pendidikan, seperti adanya dana BOS, tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya

belum sepenuhnya efektif dan menyentuh secara tepat semua kelompok miskin yang sangat

berkepentingan.

Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI dan Persentase Penduduk Miskin

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

1 2 3 4 5 6

Partisipasi murni tingkat SD/MI % penduduk miskin

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-10: Perkembangan APM dan Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Sumber: BPS, 2010; Kementerian Diknas, 2010)

Untungnya penurunan APM tingkat SD/MI ini tidak berlangsung lama. Sejak tahun

2006 keadaan itu secara cepat bisa tertanggulangi dan terus mengalami pertumbuhan pada

tahun-tahun sesudahnya. Grafik juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 kondisi

kemiskinan di Sulawesi Selatan juga perlahan bisa dikurangi, sehingga jumlah keluarga yang

tidak bisa membiayai pendidikan anggotanya juga bisa diperbesar.

2. Angka Partisipasi Kasar

Menurunnya angka partisipasi sekolah pada tahun 2005, juga terlihat pada Angka

Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI (Grafik-11). Pada tahun 2004, APK tingkat SD/MI

sebesar 103,28 dan turun menjadi 101,43 pada tahun 2005. Penyebab penurunan ini diduga

juga sama dengan yang mempengaruhi APM, yaitu faktor yang terkait dengan ekonomi

khususnya kemiskinan keluarga peserta didik.

Page 38: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

36

Hal yang membuat lonjakan APK pada tahun 2006 menarik adalah karena

peningkatannya yang jauh melebihi APM. Pada tahun 2006, APK telah menjadi 107,70, jauh

meninggalkan APM yang baru mencapai 91,08. Diduga kuat penyebabnya adalah

meningkatnya peserta didik baru pada jenjang SD/MI yang berasal dari mereka yang setahun

lalu terpaksa menunda niat mengikuti pendidikan dasar. Besaran APK yang semakin timpang

dengan APM, serta semakin tingginya APK di atas angka 100 menunjukkan membengkaknya

jumlah peserta didik pada jenjang sekolah dasar yang berusia tidak sesuai dengan jenjang

pendidikannya. Jika benar dugaan bahwa kesulitan ekonomilah yang menyebabkan keluarga

menunda memasukkan anggota keluarganya ke lembaga pendidikan, maka hal itu

mengindikasikan masih adanya kecenderungan keterlambatan mengikuti pendidikan dasar

pada sebagian anak-anak.

Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI

96,00

98,00

100,00

102,00

104,00

106,00

108,00

110,00

112,00

1 2 3 4 5 6

Partisipasi kasar tkt SD/MI

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-11: Perkembangan APK SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).

Berdasarkan data tahun 2008 dan data proyeksi tahun 2009, baik APM maupun APK

mulai menunjukkan peningkatan yang stabil. Jika APM berubah menjadi 92,55 pada tahun

2009 dari 92,15 tahun sebelumnya, maka APK naik perlahan dari 109,25 pada tahun 2008

menjadi 110,83 pada tahun 2009. Kondisi stabil ini terutama dipicu stabilitas ekonomi

masyarakat, serta dukungan kebijakan inklusif di bidang pendidikan dasar yang semakin

terjangkau dan merata.

Page 39: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

37

3. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs

Rata-rata nilai akhir siswa SMP/MTs yang diukur melalui nilai ujian nasional pada

berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa pencapaian siswa di Sulawesi Selatan terus

menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir ujian nasional siswa

SMP/MTs adalah 4,83, lalu meningkat menjadi 5,95 dan bertahan selama tahun 2005 hingga

2007. Pada tahun 2008, nilai ujian akhir tersebut meningkat menjadi 6,44 dan pada tahun

2009 meningkat lagi menjadi 7,21. Dibalik peningkatan nilai tersebut, jumlah dan proporsi

siswa yang lulus ujian nasional juga terus meningkat dari tahun ketahun. Prestasi rendah

umumnya ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang manajemen pembelajarannya

kurang baik, sementara pada sekolahh negeri prestasi rendah hanya ditunjukkan pada

kabupaten tertentu.

Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses belajar-mengajar serta kualitas

dari berbagai unsur lainnya seperti guru dan sarana dan prasarana sehingga prestasi belajar

siswa terus meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan ini adalah adanya

peningkatan upaya yang nyata pada tingkat sekolah, terutama dalam memberikan tambahan

jam belajar kepada siswa pada tahun penyelenggaraan ujian nasional. Upaya-upaya ini

diduga terkait pula dengan adanya persaingan positif antar sekolah dan daerah karena hasil

ujian nasional selalu diberitakan luas setiap tahun; sekolah yang bagus prestasinya

mendapatkan pujian sementara sekolah yang prestasi ujian nasionalnya rendah

mendapatkan kritikan dari masyarakat.

Selain itu, pencanangan Gubernur Sulawesi Selatan atas Pendidikan Gratis, diikuti

dengan komitmen Bupati dan Walikota untuk mendukungnya, memang kemudian menuntut

konsekuensi bahwa dibalik penggratisan tersebut jangan sampai kualitas terkorbankan. Hal

ini direspons dengan perhatian yang tinggi pada kalangan Dinas Pendidikan Provinsi dan

Kabupaten/Kota dalam bentuk mendorong persiapan siswa sebaik-baiknya dalam

menghadapi ujian nasional.

4. Rata-rata Nilai Akhir SLTA/MA

Rata-rata nilai akhir siswa SLTP/MA juga mengalami peningkatan pada periode 2004-

2009. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir siswa SLTA/MA adalah 5,58, angka ini terus

meningkat menjadi 6,05 tahun 2005, 6,25 tahun tahun 2006, turun menjadi 6,24 tahun 2007,

naik lagi menjadi 6,28 tahun 2008 dan pada tahun 2009 mencapai nilai 7,19. Beberapa

daerah seperti Kota Makassar, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan

Kabupaten Luwu Timur menunjukkan prestasi yang cukup konsisten.

Page 40: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

38

Faktor yang mendorong peningkatan ini sama dengan siswa SMP/MTs yakni adanya

perbaikan upaya pada tingkat sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan upaya

menghadapi ujian nasional. Selain itu, berkembangnya pusat-pusat bimbingan belajar, ikut

berkontribusi pada kesiapan siswa mengikuti ujian nasional, dan ini berjalan pada hampir

seluruh ibu kota Kabupaten. Pada sisi pemerintahan, spirit pendidikan gratis yang

dicanangkan Gubernur Sulawesi Selatan juga memicu setiap sekolah dan unsur Dinas

Pendidikan untuk meningkatkan pencapaian, agar bisa membuktikan bahwa dalam kondisi

pendidikan gratis kualitas juga dapat ditingkatkan.

5. Angka Putus Sekolah SD

Angka putus sekolah tingkat SD secara umum mengalami penurunan selama periode

2004-2009, meskipun didalamnya terjadi fluktuasi. Pada tahun 2004 angka putus sekolah SD

cukup besar yakni 4,17%, pada tahun 2005 menurun signifikan menjadi 1,54%, tetapi pada

tahun 2006 meningkat lagi menjadi 3,83%. Peningkatan ini terutama terkait dengan kondisi

perekonomian yang kurang baik pada tahun 2005-2006 tersebut, dimana pertumbuhan

ekonomi menurun, angka kemiskinan bertambah, begitu juga dengan pengangguran. Kondisi

ini menjadikan anak rumah tangga miskin bannyak yang meninggalkan bangku sekolah

karena kesulitan pembiyaan ataupun membantu orang tua bekerja terutama pada komunitas

pulau, pesisir dan dataran tinggi. Pada tahun 2007 terjadi lagi penurunan signifikan sehingga

angka putus sekolah hanya 1,61%. Setelah itu terjadi peningkatan lagi, yakni 3,01% pada

tahun 2008 dan 3,87% pada tahun 2009. Meningkatnya angka putus sekolah pada tahun

2008 dan 2009 cukup mengundang pertanyaan, karena pada saat tersebut kondisi

perekonomian cukup tinggi dan program pendidikan gratis yang didorong pemerintah

berjalan cukup intensif. Peningkatan angka putus sekolah ini kemungkinan terjadi pada

daerah terpencil pegunungan dan pulau-pulau terkait dengan anakn-anak yang didorong

orang tuanya untuk terlibat dalam proses cari nafkah sehingga meninggalkan bangku

sekolah.

6. Angka Putus Sekolah SMP/MTs

Angka putus sekolah tingkat SMP/MTs di Sulawesi Selatan 2004-2009 menunjukkan

fluktuasi yang tinggi. Pada tahun 2004 mencapai 4,17 dan menurun menjadi 1,54 pada tahun

2005, tetapi naik lagi pada tahun 2006 menjadi 3,83. Pada tahun 2007 angka ini turun lagi

Page 41: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

39

menjadi 1,61, tetapi pada pada tahun 2008 naik lagi menjadi 3,01` dan tahun 2009 sebanyak

3,87.

Tingginya angka putus sekolah SMP/MTs pada tahun 2006 terkait dengan kondisi

perekonomian yang kurang baik saat itu, khususnya dari aspek pertumbuhan ekonomi,

pengangguran terbuka, dan angka kemiskinan. Sedangkan kenaikan pada tahun 2008 dan

2009 berlangsung dalam kondisi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, angka kemiskinan turun

dan angka pengangguran turun. Pada 2008-2009, selain Program BOS nasional semakin

diefektifkan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga telah mengimplementasikan

kebijakan pendidikan gratis SD dan SMP/MTs sehingga diri sisi penawaran faktor yang bisa

menghambat kejadian putus sekolah cukup signifikan bekerja. Terdapat kemungkinan bahwa

angka putus sekolah yang naik pada saat itu lebih disebabkan dari sisi permintaan, yakni

minat anak sekolah yang rendah untuk bertahan di bangku sekolah serta orang tua siswa

yang kurang aktif mendorong atau bahkan melibatkan anak di dunia kerja.

7. Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah

Angka putus sekolah menengah selama 2004-2009 juga mengalami kenaikan pada

tahun 2008-2009, dimana pada lima tahun sebelumnya angka tersebut cukup rendah. Pada

tahun 2004 angka putus sekolah sebesar (4,41%), lulu turun menjadi 3,63% (2005) dan turun

lagi menjadi 3,13% (2006) dan kenaikan mulai terjadi pada 2007 yakni menjadi 4,35%, tahun

2008 menjadi 24,64% dan tahun 2009 25,20%.

Besarnya angka putus sekolah pertama-tama terkait dengan jumlah siswa sekolah

menengah yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir, seiring dengan perbaikan pada

angka partisipasi sekolah tingkat SMP dan SD. Artinya, dibalik baiknya angka putus sekolah,

angka yang menamatkan Sekolah Menengah juga besar, mengingat angka partisipasi yang

tinggi tersebut.

Sedangkan besarnya angka putus sekolah, ia lebih terkait dengan meningkatnya

porsi anak sekolah menengah yang memasuki dunia kerja. Faktor ekonomi tidak bisa

menjadi penjelasan sebab pada tahun terakhir kondisi perekonomian Sulawesi Selatan

justeru membaik.

8. Angka Melek Huruf

Peningkatan APM dan APK jenjang SD/MI telah ikut memicu peningkatan persentase

penduduk yang melek aksara di Sulawesi Selatan. Tercatat sejak tahun 2004 sampai tahun

2007 angkanya terus meningkat dari 84,50% menjadi 86,24%. Penurunan angka melek huruf

Page 42: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

40

baru terjadi pada tahun 2008 menjadi 85,58%, sebelum naik secara menyolok pada tahun

2009 menjadi 94,47% (Grafik-12).

Berbeda dengan APM dan APK yang segera bisa dihitung hasilnya, melek huruf bisa

dilihat sebagai output berbagai proses pendidikan, baik formal maupun non formal.

Pendidikan formal yang menjadi faktor pengaruh angka melek huruf salah satunya tercermin

dari APK dan APM. Sementara berbagai pendidikan non formal/informal dilakukan melalu

berbagai kegiatan sanggar belajar, usaha-usaha pemberantasan buta aksara, ataukah usaha

mandiri yang dilakukan oleh masyarakat agar anggotanya bisa membaca tulis. Oleh

karenanya, penyebab turunnya angka melek aksara pada tahun 2008 bisa ditelusuri pada

tahun-tahun sebelumnya.

Pada Gambar-12, tampak bahwa pendidikan formal yang ditunjukkan oleh APK - SD

tidak menjadi faktor yang terkait langsung dengan penurunan angka melek huruf tahun 2008.

Hanya angka putus sekolah tingkat SD yang menunjukkan kecenderungan meningkat tahun

2008 menjadi 3,01 dari 1,61 tahun sebelumnya. Jika putus sekolah ini banyak terjadi pada

awal sekolah di mana membaca baru diajarkan, maka faktor ini memang bisa

mempengaruhi. Tetapi di luar dari proses yang terjadi pada pendidikan formal, usaha-usaha

non formal/informal untuk meningkatkan angka melek huruf bisa jadi juga mengalami

gangguan pada masa-masa ini, akibat dinamika politik dan transisi kepemimpinan sedikit

bergejolak di Sulawesi Selatan.

Page 43: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

41

Angka Melek Huruf (%), Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD, dan Angka Putus Sekolah Tingkat SD

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

1 2 3 4 5 6

Angka melek huruf APK tkt SD Angk putus sek SD

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-12: Hubungan antara AMH, APK SD/MI dan Angka Putus Sekolah SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).

Pada tahun 2009, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan cukup tinggi

menjadi 94,47. Ini adalah angka dan peningkatan tertinggi yang pernah dicapai selama enam

tahun terakhir. Penyebabnya selain karena faktor-faktor umum seperti angka partisipasi

sekolah yang terus naik, kebijakan pemerintahan baru di Sulawesi Selatan yang memberikan

prioritas pada pendidikan ikut mendukung perbaikan ini. Kebijakan tersebut adalah

diintensifkannya pemberantasan buta huruf secara bersinergi dengan kebijakan pendidikan

gratis dalam bentuk pelibatan aparat babinsa di setiap desa/kelurahan, selain mengefektifkan

program sebelumnya yang didorong melalui pendidikan luar sekolah, mahasiswa KKN dan

kegiatan lainnya.

(3) Kesehatan

1. Umur Harapan Hidup

Umur harapan hidup adalah indikator kinerja dampak (impact) dari berbagai upaya

pembangunan di bidang kesehatan. Karena itu, dalam pengukuran indeks pembangunan

manusia, umiur harapan hidup ditempatkan sebagai salah satu indikator, selain angka melek

aksara dan rata-rata lama sekolah (pendidikan) dan tingkat saya beli (perekonomian).

Page 44: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

42

Peningkatan umur harapan hidup Sulawesi Selatan mencapai signifikansinya pada

tahun 2008, karena saat itu nilainya menembus angka 70 yakni 70,40 dan pada tahun 2009

diprediksi sekitar 70,98. Angka ini relatif sama dengan rata-rata nasional. Sebelumnya, pada

tahun 2004-2005, nilainya 68,70 dan pada tahun 2006 naik menjadi 69,40.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan umur harapan hidup Sulawesi

Selatan khususnya pada tahun 2008. Pertama, ia merupakan resultan dari berbagai

pencapaian bidang kesehatan seperti perbaikan pada angka kematian bayi, angka kematian

ibu melahirkan, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, penanganan penyakit serta kesehatan

keluarga dan lingkungan. Sulawesi Selatan dalam enam tahun terakhir memiliki kinerja yang

sama dengan rata-rata nasional untuk berbagai aspek tersebut. Kedua, akselerasi

pembangunan kesehatan oleh pemerintah dalam tiga tahun terakhir, khususnya oleh

Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota yang mengintensifkan

implementasi kebijakan kesehatan gratis, terutama bagi pasien untuk Kelas III kebawah,

serta implementasi Jamkesmas secara nasional. Kebijakan kesehatan gratis secara

langsung berkontribusi pada peluang harapan hidup rumah tangga miskin yang sebelumnya

sulit mengakses layanan pengobatan karena keterbatasan biaya.

2. Angka Kematian Bayi

Indikator kesehatan dasar yang juga tidak kalah pentingnya adalah angka kematian

bayi (Infant mortality rate). Indikator ini sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kesehatan

dan kesejahteraan. Sejak tahun 2005, angka kematian bayi di Sulawesi Selatan cenderung

mengalami penurunan dari 37,37 (2004) menjadi 36,00 (2006), dan 29,10 (2007); tetapi pada

tahun 2008 mengalami kenaikan hingga 41,00 lalu turun lagi menjadi 27,40 (2008) dan

26,35 (2009) (Grafik-13).

Beberapa faktor yang terkait dengan kematian bayi, seperti kejadian gizi buruk atau

gizi kurang dan kondisi ekonomi tidak menunjukkan kecenderungan adanya hubungan.

Kejadian gizi buruk misalnya justru terjadi penurunan dari 8,60% pada tahun 2005 menjadi

5,10% pada tahun 2007. Demikian pula gizi kurang pada tahun 2007 turun menjadi 12,50%

dari 21,50% dua tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi masyarakat yang ditunjukkan oleh

indikator ekonomi makro juga tidak menunjukkan hubungan yang berarti, karena kondisi

ekonomi saat itu tidak sedang mengalami penurunan yang berarti, bahkan cenderung

membaik. Artinya kondisi gizi dan ekonomi tidak bisa diduga sebagai penyebab utama

meningkatnya angka kematian bayi pada tahun 2007.

Page 45: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

43

Mengingat faktor yang terjadi dalam masyarakat tidak terindikasi sebagai penyebab

melonjaknya angka kematian bayi pada tahun 2007, maka faktor penyebab lain bisa saja

pada aspek pelayanan kesehatan. Grafik-13 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 memang

Angka Kematian Bayi (Per 1.000 Kelahiran Hidup) dan Jumlah Tenaga Kesehatan (Per 10.000 Penduduk)

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

1 2 3 4 5 6

Angka kematian bayi Tenaga kesehatan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-13: Hubungan Angka Kematian Bayi dengan Ketersediaan Tenaga Kesehatan (Sumber: Bappenas, 2007; BPS, 2006; Riskesdas, 2007; BPS, 2008; Dinas Kesehatan Prop. Sulsel, 2009).

terjadi penurunan jumlah tenaga kesehatan di Sulawesi Selatan. Penurunan ini jelas

berpengaruh pada ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima

masyarakat, termasuk dalam pelayanan kesehatan untuk ibu dan bayinya. Pada tahun 2008-

2009, angka kematian bayi kembali membaik, dimana saat itu berjalannya program desa

siaga yang didalamnya komponen revitalisasi posyandu cukup besar, diduga menjadi

penyebabnya.

3. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang

Secara umum prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan

selama 2004-2009. Penurunan tertinggi dicapai tahun 2006 dengan nilai 1,32, dimana pada

tahun 2004 prevalensi gizi buruk masih sebesar 8,53 dan pada 2005 naik menjadi 8,60.

Setelah tahun 2006, prevalensi gizi buruk bertahan pada angka cukup rendah yakni 1,89

(2007), dan 1,80 pada tahun 2008 dan 2009. Prevalensi gizi kurang memiliki kecenderungan

Page 46: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

44

yang sama dengan prevalensi gizi buruk selama 2004-2009. Nilai terendah tercapai pada

tahun 2006 yakni 13,37, turun dari nilai 18,35 (2005) dan 19,62 (2004). Pada tahun 2007 nilai

ini bertahan yakni 14,74 dan pada tahun 2008 dan 2009 sebesar 14,50.

Dari data-data tersebut, fokus yang perlu dianalisis adalah angka pada tahun 2006,

dimana pada tahun tersebut gizi buruk dan gizi kurang mengalami perbaikan dibanding dua

tahun sebelumnya. Dari sisi masyarakat, pada tahun 2006 memang terjadi perbaikan kondisi

perekonomian Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi naik dari 5,20% (2005) menjadi

6,72% (2006), pengangguran turun dari 18,69% (2005) menjadi 14,57% (2006), serta

penduduk miskin juga berkurang dari 14,98% (2005) menjadi 14,57% (2006). Ini merupakan

faktor yang bisa dilihat sebagai penyebab membaiknya kondisi gizi masyarakat, dalam arti

kemampuan mereka mengakses pangan mengalami perbaikan. Apalagi pada tahun 2006,

produksi pangan di Sulawesi Selatan seperti beras dan jagung, juga mengalami kenaikan.

Dari sisi intervensi pemerintah di biidang kesehatan, pada tahun 2006 jumlah tenaga

kesehatan memang mengalami peningkatan, yakni mencapai 0,0016/penduduk, dimana

angka ini mengalami perbaikan dari 0,0015/penduduk (2005) dan 0,0012/penduduk (2004).

Dengan perbaikan pada jumlah tenaga kesehatan, dapat diekspektasi bahwa layanan

kesehatan juga mengalami perbaikan, termasuk kesehatan bayi dan rumah tangga miskin

secara umum melalui revitalisasi peranan posyandu, yang dengan itu gizi buruk dan gizi

kurang dapat dideteksi dan ditangani.

4. Keluarga Berencana

Sebagai salah satu upaya mengatur kelahiran, pemerintah telah memprogramkan

keluarga berencana (KB) sejak empat dekade lalu. Melalui pengaturan kelahiran diharapkan

keluarga akan memiliki keleluasaan untuk mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi

kebahagiaan dan kesejahteraan anggotanya.

Data pada Grafik-14 menunjukkan bahwa sekalipun terdapat kecenderungan

peningkatan jumlah penduduk peserta KB, tetapi peningkatan itu tidak stabil dari tahun ke

tahun. Pada tahun 2007, persentase penduduk ber-KB (contraceptive prevalence rate) naik

cukup tajam menjadi 65,57% dibanding sebelumnya yang sebesar 57,30%. Namun demikian,

kenaikan itu tidak bisa dipertahankan dan akhirnya turun lagi menjadi 62,00% setahun

kemudian.

Page 47: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

45

Persentase Penduduk yang Mengikuti Program Keluarga Berencana

50,00

52,00

54,00

56,00

58,00

60,00

62,00

64,00

66,00

68,00

1 2 3 4 5 6

% peserta KB

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-14: Peserta Program KB (Sumber: BPS, Hasil Pendataan Keluarga, 2004 –

2009).

Selama tahun 2008 – 2009, persentase penduduk peserta KB kembali mengalami

kenaikan. Hanya saja kenaikan peserta KB pada tahun 2009 menjadi 64,29% dari 62,00%

pada tahun 2008 sebelumnya belum mampu mencapai angka tertinggi yang dicapai dua

tahun sebelumnya.

Apabila dilihat tempat pelayanan peserta KB di Sulawesi Selatan, maka sebagian

besar masih sangat tergantung pada pelayanan yang diberikan pemerintah. Bahkan

kecenderungan itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, pelayanan

pemerintah sebesar 58,34% dari peserta KB. Pada tahun 2009, peserta KB yang memiliki

tempat pelayanan pemerintah berkembang menjadi 66,21%. Ketergantungan peserta KB di

Sulawesi Selatan pada pelayanan pemerintah bisa diduga menjadi salah satu penyebab tidak

stabilnya jumlah peserta KB. Ketika perkembangan layanan KB pemerintah mengalami

stagnasi pada tahun 2007 dengan turun menjadi 60,32% dari 60,48% dari tahun sebelumnya,

dampaknya segera terlihat pada penrunan peserta KB pada tahun berikutnya (2008). Barulah

ketika peranan pelayanan KB pemerintah naik pada tahun 2009, peserta KB total ikut pula

meningkat. Ketergantungan peserta KB di Sulawesi Selatan yang masih terbilang tinggi

terhadap pemerintah juga terlihat pada jumlahnya yang lebih tinggi dibandingkan angka

nasional. Pada tahun 2009 misalnya, jumlah peserta KB yang mendapat pelayanan

pemerintah sebesar 66,21%, sementara secara nasional sebesar 51,18%.

Page 48: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

46

Masih relatif rendahnya peserta KB di Sulawesi Selatan tidak hanya terlihat dari

tingginya ketergantungan pada pemerintah, tetapi juga pada jumlahnya secara keseluruhan

jika dibadingkan dengan daerah lainnya. Jumlah peserta KB di Sulawesi Selatan pada tahun

2009 yang sebesar 64,29% masih berada dibawah rata-rata nasional yang sudah mencapai

70,91%. Hal itu tentu saja mempengaruhi angka fertilitas total (total fertility rate) yang pada

tahun 2007 tercatat sebesar 2,29. Ini berarti bahwa setiap wanita di Sulawesi Selatan akan

mempunyai anak sebanyak rata-rata 2,29 orang di akhir masa reproduksinya.

Pertumbuhan Penduduk (%)

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

1 2 3 4 5 6

Series1

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-15: Perkembangan Jumlah Penduduk (Sumber: BPS, 2010).

Salah satu akibat langsung dari ketidakstabilan jumlah peserta KB adalah pada

pertumbuhan penduduk. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2009, pertumbuhan penduduk di

Sulawesi Selatan cukup fluktuatif, sekali pun dalam kisaran yang juga relatif kecil antara

0,92% sampai 1,64% per tahun (Grafik-15). Angka pertumbuhan penduduk yang tertinggi

tersebut terjadi pada tahun 2005 dan turun ke angka terendah pada tahun 2007. Angka

pertumbuhan penduduk itu naik lagi menjadi 1,36 setahun kemudian (2008) dan relatif stabil

sampai tahun 2009 dengan pertumbuhan 1,33% pertahun.

Page 49: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

47

Pertumbuhan Penduduk (%), Contraceptive Prevalence Rate (%), dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

-10,00

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

1 2 3 4 5 6

Pertumbuhan penduduk CPR Pert. ekonomi

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Grafik-16: Pertumbuhan Penduduk, Peserta KB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (Sumber: BPS, 2009; BPS, Hasil Pendataan Keluarga, 2004 – 2009). Grafik yang menyandingkan data pertumbuhan penduduk dengan peserta KB

(contraceptive prevalence rate) menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya (Grafik-

16). Ketika pengguna kontrasepsi pada tahun 2004 sampai 2006 relatif stabil, angka

pertumbuhan penduduk pun tidak berfluktuasi dari 1,36%, 1,64%, dan 1,41%. Ketika peserta

KB melonjak menjadi 65,57% pada tahun 2007, maka pada tahun yang sama pertumbuhan

penduduk pun turun cukup jauh menjadi 0,92%. Pertumbuhan penduduk kembali meningkat

pada dua tahun selanjutnya ketika peserta KB juga mengalami sedikit penurunan.

Pertumbuhan penduduk yang sangat dipengaruhi oleh pengaturan kelahiran di Sulawesi

Selatan juga mengindikasikan besarnya peranan pertumbuhan penduduk alamiah -- yaitu

selisih antara fertilitas dan mortalitas. Hal itu disebabkan oleh kemungkinan dua hal, yaitu

terjadi penurunan arus migrasi masuk atau ke luar, ataukah terjadi keseimbangan jumlah

arus migrasi masuk dan keluar, baik keseimbangan karena keduanya tinggi atau karena

keduanya rendah.

Pertumbuhan ekonomi tampaknya tidak berpengaruh besar pada pertumbuhan

penduduk. Hal itu mungkin karena pertumbuhan ekonomi makro tidak serta-merta langsung

mempengaruhi ekonomi keluarga di mana pilihan memiliki anak diputuskan. Pengecualian

Page 50: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

48

terhadap hal itu bisa terjadi pada saat terjadi fluktuasi yang besar dalam pertumbuhan

ekonomi. Gejala itu terlihat pada saat pertumbuhan ekonomi rendah pada tahun 2005 di

mana pertumbuhan penduduk justru menunjukkan angka tertingginya. Kecenderungan ini

mengindikasikan masih berlakunya teori cost and utility dalam demografi, di mana anak oleh

banyak penduduk masih dipandang memberi kegunaan, terutama dalam memberi bantuan

ekonomi pada keluarga di saat krisis, sehingga mereka berkecenderungan memilih jumlah

anak yang lebih banyak. Pilihan seperti ini biasanya terjadi pada kelompok keluarga miskin.

5. Ekonomi Makro

1. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan relatif baik selama periode tahun 2004-

2009. Secara umum laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan cenderung meningkat

selama periode ini, kecuali untuk tahun 2007 dan 2009 (Grafik-17). Walaupun demikian

penurunan laju pertumbuhan pada kedua tahun ini ini masih dalam batas-batas yang wajar,

kurang dari 0.5%. Khusus untuk tahun 2009, penurunan laju pertumbuhan yang relatif kecil

menunjukan tingginya ketahanan ekonomi Sulawesi Selatan, dimana pada tahun tersebut

dunia masih dalam situasi krisis ekonomi yang dahsyat. Pada semester dua tahun 2010, laju

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan kembali meningkat, mencapai 9,2%.

Laju Pertumbuhan Ekonomi

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Laju 

Pertumbuhan Ekonomi

Nilai Realisasi Investasi PMA (puluhan juta US$)

Nilai Realisasi 

Investasi PMDN (00 M)

Grafik-17: Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, nilai realisasi investasi PMA

Dan nilai realisasi investasi PMDN, 2004-2009.

Page 51: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

49

Pada Grafik-17 terlihat adanya kecenderungan yang korelatif antara investasi PMA

dan PMDN dengan laju pertumbuhan ekonomi. Peningkatan realisasi investasi PMA pada

2004-2005 diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun berikutnya (2005-

2006) yang dapat diduga sebagai dampak peningkatan nilai investasi tersebut. Begitu pula

dengan penurunan investasi PMA pada tahun 2005-2006, pada tahun berikutnya diikuti pula

dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi. Sementara peningkatan investasi PMA pada

tahun 2007-2007 diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007-2008,

dan ketika realisasi nilai investasi PMA kembali menurun pada 2007-2008, ia diikuti pula

dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi pada 2008-2009. Kecenderungan serupa

terlihat pula pada korelasi investasi PMDN dengan laju pertumbuhan ekonomi.

Pengeluaran (investasi) pemerintah juga memegang kontribusi besar atas laju

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Pada tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan nilai

investasi pemerintah yang sangat signifikan yakni Rp. 17.476 milyar (2007), naik menjadi Rp.

20,304 pada 2008 (16,18%) dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp. 22.384 milyar

(10,24%). Pengeluaran pemerintah tersebut mencakup pengeluaran sektoral, dana

dekonsentrasi, urusan bersama, tugas perbantuan, dana alokasi umum, dana alokasi khusus

dan APBD Provinsi.

Dari sisi suplai, sektor yg paling mendorong pertumbuhan ekonomi selama 20045-

2009 adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; perdagangan, hotel dan restoran;

bangunan serta pengangkutan dan komunikasi (dengan angka pertumbuhan diatas 10%

selama 2008-2009). Sementara itu, kontribusi sektor pertanian terus menurun seiring dengan

transformasi perkonomian dari sektor primer ke sektor sekunder, tetapi dengan catatan

bahwa penurunan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tidak secepat dengan

penurunan nilai kontribusinya atas PDRB.

2. Persentase Produk Ekspor terhadap PDRB

Persentase produk ekspor terhadap PDRB telah mengalami fluktuasi selama 2004-

2009. Pada tahun 2004 persentase tersebut sebesar 13,50%, meningkat sedikit menjadi

13,57% pada 2005, lalu turun lagi menjadi 13,51% pada 2006 dan 14,58% tahun 2007. Pada

tahun 2008 persentas ekspor tersebut meningkat drastis ke angka 22,28% dan turun lagi

pada tahun 2009 menjadi 12,11%. Pada empat tahun terakhir, nilai ekspor tersebut memang

berfluktuasi yakni 1.655,31 juta US$ pada 2006 dan naik menjadi 2.751,73 US$ pada 2007

dan turun menjadi 2.163,82 juta US$ pada 2008 dan terus turun pada 2009 menjadi

1.291,06. Salah satu penyebab penurunan tersebut adalah kemunduran produksi kakao yang

Page 52: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

50

selama ini menjadi andalah ekspor Sulawesi Selatan, selain produk udang yang juga terus

menurun. Menurut press-release dari BPS, nilai ekspor Sulawesi Selatan untuk bulan

Oktober 2009 saja mencapai US$ 513,887 juta. Sedangkan ekspor pada bulan September

dan Agustus 2009 masing-masing sebesar US$ 451,170 juta dan 117.176 juta. Press release

ini juga menunjukkan bahwa "Empat terbesar komoditas ekspor Sulawesi Selatan Oktober

2009 adalah nikel, kakao, ikan dan udang, kayu dan barang dari kayu. Ekspor ke Jepang

pada Oktober 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$ 465,412 juta, disusul ke Amerika

Serikat sebesar US$ 15,611 juta, Malaysia sebesar US$ 8,959 juta, dan Singapura sebesar

US$ 5,078 juta. Ekspor ke Cina menduduki urutan kelima dengan nilai ekspor sebesar US$

4,111 juta. Nilai ekspor Sulawesi Selatan ke lima negara tersebut sebesar US$ 499,171 juta

atau 97,14 persen dari total ekspor Sulawesi Selatan".

Pada sisi PDRB sendiri, terdapat peningkatan yang konsisten dari 2005 ke 2009.

Pada tahun 2005 nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp.51,78 trilyun, naik menjadi

Rp. 60,90 juta trilyun, tahun 2007 naik lagi menjadi Rp. 69,27 juta trilyun, tahun 2008 menjadi

Rp. 85,14 juta trilyun dan tahun 2009 tetap meningkat menjadi Rp. 99,90 juta trilyun. Dengan

demikian, fluktuasi persentase nilai ekspor terhadap PDRB disebabkan oleh tidak

konsistennya peningkatan nilai ekspor pada periode tersebut.

3. Persentase Produk Manufaktur terhadap PDRB.

Persentase produk manufaktur Sulawesi Selatan terhadap PDRB cenderung menurun

selama 2004-2009. Pada tahun 2004, nilai persentasenya sebesar 13,44%, naik sedikit

menjadi 13,78% pada 2005, lalu turun terus menjadi 13,54% tahun 2006, 13,22% tahun

2007, 12,99% tahun 2008 dan 12,53% tahun 2009. Kemunduran dalam persentase produk

manufaktur terhadap nilai PDRB mengindikasikan bahwa transformasi perekonomian

Sulawesi Selatan dari sektor pertanian ke sektor industri tidak berjalan mulus. Produk

sekunder dan tersier yang berkembang cenderung lemah basisnya pada industri manufaktur,

pada hal pergeseran ketenagakerjaan keluar dari pertanian lebih memungkinkan bila arahnya

ke sektor manufaktur.

` 4. Pendapatan Perkapita

Pendapatan perkapita Sulawesi Selatan selama 2004-2009 terus meningkat (Grafik-

18). Berdasarkan harga konstan, pendapatan perkapita telah meningkat dari nilai

Rp.6.150.051 (2004) menjadi Rp. 7.016.919 (2005), terus meningkat menjadi Rp.8.126.117

(2006), Rp. 9.079.914 (2007), Rp.11.092.285 (2008) dan Rp.11.541.232 (2009). Meskipun

tidak terlalu konsisten, peningkatan pendapatan perkapita ini berjalan seiring dengan laju

Page 53: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

51

pertumbuhan ekonomi yang dalam empat tahun terakhir bertahan di atas angka 6%. Selain

itu, peningkatan pendapatan perkapita ini juga terkait dengan tingkat pengangguran terbuka

yang terus menurun sejak tahun 2005.

Grafik-18: Pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi dan angka pengangguran terbuka Sulawesi Selatan 2004-2009.

5. Laju Inflasi

Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik-19, laju inflasi Sulawesi Selatan sangat tinggi

pada tahun 2008 (11,79), tetapi turun menjadi 2,22 pada tahun 2009 (angka sementara).

Sebelum tahun 2008, laju inflasi berfluktuasi dari angka 6,47 (2004), 7,45 (2005), 7,21

(2006), dan 5,71 (2007).

Menurut kajian Bank Indonesia peningkatan laju inflasi pada tahun 2008 diakibatkan

adanya kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM subsidi pada akhir Mei 2008. BPS

(2009) menyatakan bahwa dibalik berlakunya kenaikan harga BBM, kelompok makanan

merupakan penyumbang inflasi terbesar (22%) pada tahun 2008. Ini terutama terkait dengan

gejolak harga bahan makanan yang tak terkendalikan pada hari-hari besar seperti lebaran

dan natal.

Page 54: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

52

Grafik-19: Laju Inflasi 2004-2009.

6. Investasi

Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik-20 dan Grafik-21, nilai investasi PMA dan

PMDN Sulawesi Selatan mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2009. Investasi PMA

mencapai nilai 76,9 juta US$ pada tahun 2009, naik dari 1,7 juta US$ (2004) menjadi 66,9

juta US$ (2005), turun menjadi 13,2 juta US$ (2006), naik lagi menjadi 55,0 juta US$ (2007),

turun lagi menjadi 27,6 juta US$ (2008). Sementara itu, investasi PMDN meningkat sejak

tahun 2008 yang mencapai Rp. 1.110,524 milyar dan naik lagi pada tahun 2009 menjadi

Rp.1.113,79 milyar, dimana pada tahun 2007 terjadi penurunan signifikan yakni senilai Rp.

1,06 milyar, dari Rp. 68,60 milyar (2006), Rp. 147,58 milyar (2005) dan Rp. 109,00 (2004),

Grafik-20: Nilai Realisasi PMA 2004-2009.

Page 55: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

53

Grafik-21: Realisasi PMDN 2004-2009.

Nilai investasi PMA dan PMDN yang mencapai posisi tertinggi pada tahun

dipengaruhi oleh promosi investasi yang dilakukan pemerintah Provinsi sejak dua tahun

sebelumnya, terutama ke luar negeri. Berbagai negara Asia dan Eropa telah dikunjungi

dalam rangka promosi investasi tersebut. Selain itu, telah terjadi perbaikan pada pelayanan

investasi di Kabupaten/Kota. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, pada tahun 2008 jumlah

Kabupaten/Kota yang telah menjalankan Perda Pelayanan satu atap telah mencapai 12

Kabupaten/Kota (52% dari total). Turun signifikan pada 2007 (1,06) dari 109,00 (2004),

147,58 (2005) dan 68,60 (2006)

Hasil Kajian Bank Indonesia terhadap iklim investasi Sulawesi Selatan pada tahun

2007 menunjukkan bahwa secara umum iklim investasi di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh

faktor-faktor non ekonomi, seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan,

kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan,

dukungan infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum

yang bisa mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat

dalam menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas

demonstrasi buruh dan mahasiswa di Sulawesi Selatan cukup mengganggu iklim investasi,

namun masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Demonstrasi mahasiswa yang

mendapatkan pemberitaan signifikan dari media massa dan terutama media elektronik,

mempengaruhi citra keamanan dan ketertiban Sulawesi Selatan di mata investor asing.

Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat investasi, terkait

Page 56: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

54

dengan nilai dan proses pembebasan lahan serta tumpang tindih penguasaan lahan.

Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai birokratis dan prosedurnya

cenderung berbelit, sementara itu layanan birokrasi dan komitmen pemerintah meskipun

terus mengalami perbaikan tetapi belum sesuai dengan harapan para pengusaha, khususnya

dalam pengurusan perijinan dan penyediaan data/informasi yang diperlukan.

6. Infrastruktur

Kondisi jalan nasional periode 2004-2008 disajikan pada Grafik-22 berikut. Dari data

tersebut terlihat bahwa pada tahun 2007 kondisi jalan baik di Sulawesi Selatan sangat

menurun persentasenya dibanding tahun sebelumnya, sementara jalan dengan kondisi

sedang sangat meningkat persentasenya. Hal ini disebabkan karena pada tahun tersebut

proyek pelebaran jalan nasional antara Kota Makassar dengan Kota Pare-pare sepanjang

kurang lebih 140 km sementara dimulai. Pada pengerjaan proyek ini badan jalan dperlebar

dua kali lipat dan bahannya diganti dari aspal menjadi beton, sehingga selama 2007-2008

mengalami kerusakan dalam rangka perbaikan dan mulai membaik pada tahun 2009.

Menurunnya persentase jalan nasional dengan kondisi baik pada tahun 2007-2008 juga

terkait dengan kerusakan pada jalur Pinrang-Polewali Mandar sekitar 70 km, serta kerusakan

pada jalur Wajo-Palopo sepanjang sekitar 50 km, yang menempatkan jalan-jalan tersebut

hanya dalam kondisi sedang.

Pada tahun 2008-2009, kondisi jalan nasional atau kondisi jalan nasional dan provinsi

secara keseluruhan, cenderung mengalami perbaikan. Menurut LAKIP Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan, pada tahun 2008 panjang jalan nasional dan provinsi dalam kondisi baik

sebanyak 44,01% dan meningkat menjadi 46, 91% pada tahun 2009. Sementara itu, jalan

nasional dan provinsi dalam kondisi sedang agak menurun dari 37,29% pada tahun 2008

menjadi 35,30% pada tahun 2009. Sedangkan jalan nasional dan provinsi dalam kondisi

rusak pada tahun 2008 sebanyak 18,7% yang didalamnya kondisi rusak ringan 10,34%,

rusak berat 6,13% dan jalan belum tembus 2,22%. Pada tahun 2009, jalan dengan kondisi

rusak sebanyak 19,34% yang didalamnya terdapat 13,15% rusak ringan, 4,63% rusak berat

dan 1,56% jalan belum tembus. Selain perbaikan jalan poros Makassar-Pare-pare,

kerusakan jalan di Sulawesi Selatan juga banyak diakibatkan oleh gangguan alam seperti

longsor. Pada tahun 2008, total panjang jalan di Sulawesi Selatan adalah 2.765,43 km dan

pada tahun 2009 meningkat menjadi 2.816,36 km.

Page 57: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

55

Grafik-22: Kondisi jalan nasional Sulawesi Selatan 2004-2009.

Dalam penyelenggaraan pembangunan di Sulawesi Selatan, khususnya pada periode

RPJMD 2008-2013, pembangunan infrastruktur menempati prioritas tinggi, dimana pada

tahun 2008 misalnya teralokasikan anggaran sebanyak Rp.222,08 milyar lebih melalui 25

jenis program pembangunan yang diterjabarkan dalam 218 kegiatan, dengan sasaran pokok

terwujudnya Sulawesi Selatan sebagai Entitas Sosial-Ekonomi yang Berkeadilan, Asri dan

Lestari. Selain pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur irigasi dan kelistrikan serta sarana-

prasarana fisikl-ekonomi perdesaan, pada tahun 2009 telah ditetapkan dalam bentuk Perda

RTRW Provinsi Sulawesi Selatan dan implementasi lebih jauh Perda Rencana Tata Ruang

Kawasan Metropolitan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional bagi

pengembangan ekonomi KTI, yang kesemuanya saling menunjang dalam memperbaiki

kondisi infrastruktur Sulawesi Selatan.

(7) Pertanian

`Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi yang menjadi lumbung beras Indonesia,

dimana produksi berasnya mensuplai kebutuhan pada hampir seluruh kawasan timur

Indonesia hingga Kalimantan melalui perdagangan antar pulau. Sulawesi Selatan juga

merupakan sentra produksi kakao nasional, dari daerah inilah kakao pertama kali

berkembang lalu menyebar ke seluruh Sulawesi. Karena itu, porsi penduduk yang

menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian pertanian di daerah ini cukup besar.

Page 58: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

56

Dilihat dari indikator nilai tukar petani (NTP), Grafik-23 menunjukkan bahwa NTP

meningkat nyata pada tahun 2007 dimana saat itu nilainya sebesar 115,1, yang pada tahun

2005-2006 sebelumnya NTP dibawah 100. Tingginya NTP tahun 2007 disebabkan oleh

produksi komoditas pertanian khususnya padi sawah yang cukup tinggi, sementara harga

sarana produksi pertanian terutama pupuk serta harga barang dan jasa yang dikonsumsi

petani, saat itu relatif stabil. Kondisi ini menjadikan kenaikan indeks harga hasil produksi

pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang

dibutuhkan petani, sehingga petani dapat menikmati keuntungan dari usahatani serta

mencapai perbaikan daya beli. Pada tahun 2008 (100,2) dan 2009 (100,55), NTP bertahan di

atas angka 100, artinya petani masih menikmati keuntungan dari usahataninya, meskipun

produksi agak mengalami gangguan karena cuaca dan iklim.

Selama 2008-2009, sektor pertanian merupakan perhatian utama pembangunan

Sulawesi Selatan, mengingat sebagian besar rakyat hidupnya bergantung pada sektor ini,

dan ikon Sulawesi Selatan memang pertanian, khususnya padi sawah dan kakao. Dalam

pelaksanaan RPJMD 2008-2013, pembangunan pertanian menjadi bagian dari kebijakan

umum Peningjkatan dan Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat, dengan program utama

Peningkatan Produksi Pertanian dan Pengembangan Agribisnis Pedesaan, dimana

tercanangkan target surplus beras 2 juta ton, produksi jagung 1,5 juta ton, revitalisasi

produksi kakao, peningkatan populasi ternak sapi dan pengembangan rumput laut. Pada

2009, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengalokasikan Rp.57,04 milyar lebih anggaran

melalui 33 program dan 155 kegiatan.

Grafik-23: Nilai Tukar Petani 2004-2009. (Sumber: BPS dan BPS Press Release 2010)

Page 59: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

57

Dari segi produksi, pada tahun 2008 produksi beras mencapai 2,60 juta ton,

meningkat dari 2,20 juta ton pada tahun 2007 dan produksi ini meningkat lagi pada tahun

2009 menjadi /2,74 juta ton. Produksi jagung juga meningkat dari 0,99 juta ton tahun 2007,

menjadi 1,20 juta ton tahun 2008 dan 1,30 juta ton tahun 2009. Peningkatan serupa dicapai

untuk produksi kakao, rumput laut, ternak sapi dan udang, meskipun agak fluktuatif.

Dari segi nilai PDRB, perkembangan PDRB pertanian Sulawesi Selatan 2004-2009

2009 disajikan pada Grafik-24. Terlihat bahwa nilai PDRB Pertanian Sulawesi Selatan

meningkat terus selama 2004-2009, namun dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB

Sulawesi Selatan, kontribusi PDRB Pertanian menurun terus. Pada tahun 2007, kontribusi

PDRB Pertanian terhadap PDRB Sulawesi Selatan sebesar 30, 12%; pada tahun 2008 turun

menjadi 29,45%, dan pada tahun 2009 turun lagi menjadi 27,98% (BPS Sulawesi Selatan,

2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian terus bertransformasi menunju dominasi sektor

non pertanian, meskipun lambat.

Grafik-24. Perkembangan Nilai PDRB Pertanian Sulawesi Selatan 2004-2009 (BPS 2009 dan Press Release BPS 2010).

8. Kehutanan

Luas hutan di Sulawesi Selatan relatif sama dari tahun 2005 hingga 2009 yakni

sekitar 2.690.377 ha, berkurang dari luas tahun 2004 yang mencapai 3.834.657ha. Dari total

luas hutan tersebut, lahan kritis pada tahun 2004-2005 relatif sama yakni sekitar 928.754,62

ha, dan pada tahun 2007-2008 luasnya relatif sama yakni berkurang menjadi sekitar

682.789,29 ha (Kantor Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, 2009). Dengan demikian, luas

lahan kritis pada tahun 2008-2009 mencapai sekitar 17,80%.

Page 60: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

58

Luas lahan penghijauan pada tahun 2004 sekitar 11.642 ha, turun menjadi 7.140 ha

pada 2005, pada 2006-2007 turun lagi menjadi 6.420 ha, dan tahun 2008 turun menjadi

2.450 ha. Luas lahan reboisasi pada tahun 2004 sekitar 10.286 ha, bertambah menjadi

11.745 ha pada tahun 2005, pada tahun 2006-2007 turun menjadi 10.960 ha, dan pada tahun

2008 bertambah menjadi 32.831 ha. Dengan demikian, lahan rehabilitasi dapat dihitung dari

total lahan reboisasi ditambah penghijauan yakni tahun 2004 sekitar 21.928 ha, lalu

berkurang menjadi 18.885 pada tahun 2005, lalu berkurang lagi menjadi 17.380 ha dan

meningkat menjadi 35.281 ha pada tahun 2008. Persentase luas lahan rehabilitasi terhadap

luas lahan kritis dapat dilihat perkembangannya dari 2004 hingga 2009 pada Grafik-25.

Grafik-25. Persentase Lahan Rehabilitasi terhadap Lahan Kiritis 2004-2009 (Sumber: Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan). Pada Grafik-25 terlihat bawah presentase luas lahan rehabilitasi terhadap luas lahan

kritis meningkat pada tahun 2008. Diduga bahwa kenaikan ini erat kaitannya dengan

pelaksanaan GNRHL yang meningkat realisasinya pada tahun 2007-2008. Rencana GNRHL

untuk reboisasi pada tahun 2007 sabanyak 3.425 ha dan yang terealisasi hanya 2.625 ha;

namun pada tahun 2008-2009 rencana reboisasi seluas 23.300 ha dapat terealisir 100%.

Begitu pula rencana penghijauan/hutan rakyat seluas 2.050 ha pada tahun 2008 ternyata

yang terealisir hanya 1950 ha, tetapi pada tahun 2008-2009 dari rencana 2.450 ha dapat

terealiris seluruhnya. Pada tahun 2008-2009, pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Page 61: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

59

gencar melakukan penanaman pohon dalam suatu gerakan yang diberi nama g0-green,

sehingga program ini diduga juga berkontribusi pada pertambahan luas lahan rehabilitasi.

9. Perikanan dan Kelautan

(1) Tindak Pidana Perikanan

Jumlah tindak pidana perikanan dalam periode 2004-2009 berfluktuasi dengan jenis

tindak pidana yang bervariasi. Pada tahun 2008, tindak pidana yang menonjol adalah

penggunaan trawl di Kabupaten Barru yang melibatkan 20 orang pelaku, dengan ancaman

hukuman rata-rata 1 tahun 6 bulan. Selain itu, juga terjadi tindakan penggunaan Potassium

Sianida (1 kasus) dan bom (4 kasus) di Kabupaten Sinjai. Tindak pidana jenis ini krusial

ditangani dan dicegah karena sangat merusak ekosistem laut. Pada tahun 2009, terjadi

empat kasus penggunaan strom untuk penangkapan di Kabupaten Bone; ditambah dengan

pidana penangkapan satwa dilindungi (satu kasus), penggunaan bom (empat kasus) dan

pengangkutan ikan napoleon (satu kasus) masing-masing di Kabupaten Sinjai; serta satu

kasus penggunaan bom dalam penangkapan di Kabupaten Takalar.

Dibanding periode 2004-2007 sebelumnya, tindak pidana yang terjadi lebih bervariasi

jenisnya dan tersebar lokasinya. Pada tahun 2005 misalnya, di perairan Makassar telah

berlangsung kasus pengrusakan hutan mangrove pada pesisir Kelurahan Untia, Tanjung

Merdeka, Lakkang dan Bontoa; penangkaran karang di pulau Barrang Lompo, Bone

Tambung, Kodingareng, Lae-Lae dan Langkal; penggunaan bom di pulau Kodingareng, Bone

Tambung, Langkal dan Lemo-lemo; penggunaan bius di pulau Kodingareng, Barrang Caddi,

dan Langkai; pelanggaran perijinan, dan pelanggaran jalur penangkapan. Kasus penggunaan

andon di Kabupaten Barru serta pelanggaran BMKT di Selayar. Pada tahun 2006, kasus

pidana perikanan berkurang, hanya pengangkutan napoleon di Kabupaten Selayar dan

penggunaan bom/bius di Kabupaten Barru. Pada tahun 2007, kasus pengumpulan ikan

napoleon kembali terjadi di Sinjai; pengangkutan ikan tanpa dokumen terjadi di Makassar;

serta tiga kasus penangkapan ikan dengan potassium sianida terjadi di Pangkep.

Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi kerusakan perairan

khususnya terumbu karang masih tinggi di Sulawesi Selatan. Berbagai bentuk illegal fishing

yang terjadi dominan pada penggunaan alat/bahan tangkap yang merusak terumbu karang,

dan ini membawa ancaman serius bagi eksistensi biota laut. Ini menunjukkan rendahnya

pemahaman masyarakat tentang dampak illegal fishing yang mereka lakukan, selain itu

Page 62: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

60

kinerja aparat keamanan serta multi-pihak yang berkepentingan menuntut peningkatan terus-

menerus.

(2) Lahan Konservasi

Kawasan Konservasi Laut adalah wilayah perairan laut (pesisir dan pulau-pulau kecil)

yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta atau termasuk bukti peninggalan

sejarah dan sosial budaya yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik

melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Komnas Konlaut, 2005). Kawasan

Konservasi Laut meliputi Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL),

Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Kawasan Konservasi Laut Daerah

(KKLD), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan.

Pada tahun 2006, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki Taman Nasional Laut Taka

Bonerate, Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Empat Kawasan Konservasi Laut Daerah,

dan juga 26 Daerah Perlindungan Laut yang secara keseluruhan mencapai 590.073 Ha.

Pada tahun 2009, luas ini bertambah dan mencapai 762.022,71 Ha. total kawasan

konservasi laut Indonesia yang luasnya sebesar 7.227.757,26 Ha. Kawasan konservasi laut

Sulawesi Selatan pada tahun 2009 terdiri dari Taman Nasional Laut Taka Bonerate seluas

530.765 Ha. (Ditetapkan pada tahun 2001),; Taman Wisata Alam Laut Kapoposang seluas

50.000 Ha. (Ditetapkan pada tahun 1996); tiga Kawasan Konservasi Laut Daerah masing-

masing Pulau Kayuadi di Kabupaten Selayar seluas 3.201,80 Ha., Pulau Gusung di

Kabupaten Selayar seluas 2.189,3 Ha., Pulau Liukang Tangngaya di Kabupaten Pangkep

seluas 131.937,1 Ha yang kesemuanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati pada tahun

2009; 76 Daerah Perlindungan Laut masing-masing di Makassar (Pulau Barrang Lompo,

Pulau Barrang Caddi, dan Pulau Bonetambung, ditetapkan pada periode 2001-2003), di

Kabupaten Selayar (41 Desa/Pulau, ditetapkan dengan Perdes atau tahap Rancangan

Perdes pada periode 2008-2009), di Kabupaten Pangkaep (29 Desa/Pulau, ditetapkan

dengan Perdes atau rancangan Perdes pada periode 2008-2009).

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan luas dan keberfungsian kawasan

konservasi laut di Sulawesi Selatan adalah implementasi proyek Coremap (Coral-reef

Management Program) yang berlangsung sudah lebih satu dekade. Melalui Coremap telah

berjalan proses penyadaran, pengembangan mata pencaharian alternatif dan

pengorganisasian multipihak dalam mengatasi pengrusakan terumbu karang sekaligus

mengupayakan rehabilitasinya dengan mengandalkan keberdayaan masyarakat dan

Page 63: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

61

kontribusi berbagai pemangkun kepentingan di daerah. Dalam Coremap terjalin keterlibatan

LSM, pemerintah daerah, masyarakat lokal yang bermitra mendorong upaya-upaya

penyelematan terumbu karang serta unsur lain yang dilindungi.

10.Kesejahteraan Sosial

(1) Kemiskinan

Tingkat kemiskinan merupakan indikator kesejahteraan sosial yang paling nyata.

Semakin banyak penduduk miskin, maka akan semakin rendah kesejahteraan penduduk

bersangkutan. Kemiskinan terkait dengan rendahnya pendapatan karena keterbatasan akses

lapangan kerja dan usaha serta terkait dengan kemampuan penduduk untuk memenuhi

berbagai kebutuhannya yang lain, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Gambaran perkembangan tingkat kemiskinan di Sulawesi Selatan ditampilkan pada Grafik-26

berikut.

Grafik-26: Perkembangan persentasi penduduk miskin Sulawesi Selatan 2004-2009 (Sumber: BPS, 2009).

Penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Selatan tampak pada gambar di atas.

Penurunan itu tampak semakin tajam selama dua tahun terakhir. Pada tahun 2004

Page 64: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

62

persentase penduduk miskin sebesar 14,9% dan turun perlahan hanya ke angka 14,11%

sampai tahun 2007, atau hanya turun sekitar 0,79% atau rata-rata 0,26% pertahun. Tetapi

selama dua tahun terakhir sejak 2007 sampai 2009, persentase penduduk miskin telah turun

lebih tajam sekitar 1,8% atau rata-rata 0,9% pertahun menjadi 12,31% pada tahun 2009.

Penurunan persentase penduduk miskin tidak terlepas dari keberhasilan dalam

memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat. Selama rentang tahun 2004 sampai 2009,

indikator ekonomi makro yang paling buruk terjadi ketika pada tahun 2005 Sulawesi Selatan

mengalami pertumbuhan ekonomi rendah. Saat itu angka persentase penduduk miskin

sempat naik sedikit sekitar 0,08% sebelum turun secara lebih tajam. Dengan demikian,

kondisi ekonomi makro ini juga sangat besar pengaruhnya pada penurunan angka

kemiskinan.

Pada Grafik-26 juga terlihat bahwa pada saat angka kemiskinan menurun tajam pada

tahun 2008-2009, angka pengangguran memang juga mengalami penurunan signifikan,

meskipun pertumbuhan penduduk pada saat itu tidak signifikan penurunannya. Artinya,

pertumbuhan ekonomi yang meningkat signifikan pada tahun 2008 betul-betul

mengkondisikan perbaikan pada angka kemiskinan dalam bentuk terbukanya lapangan kerja.

Selain merupakan dampak dari perbaikan ekonomi makro, pengurangan penduduk

miskin di Sulawesi Selatan juga dapat dilihat sebagai dampak dari berbagai intervensi yang

terfokus pada penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dengan

pendekatan partisipatoris/berbasis masyarakat telah berjalan sejak akhir 1990-an melalui

Program Pengembangan Kecamatan (PPK), lalu Program Penanggulangan Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) sejak awal 2000-an dan Program,Nasional Penanggulangan Kemiskinan

(PNPM) pada akhir 2000-an. Pada PNPM setiap daerah mengkontribusikan dana

pendamping dari APBD, sementara pada PPK dan P2KP sepenuhnya dari donor/pemerintah

pusat. Program-program ini telah berkontribusi bagi perbaikan lingkungan permukiman,

peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan, pengembangan mata pencaharian melalui

bantuan modal dan penyediaan sarana/prasarana lingkungan bagi komunitas miskin.

Kecenderungan pengurangan kesemiskinan di Sulawesi Selatan diperkirakan akan

terus berlanjut jika berbagai program yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat

bawah lebih disempurnakan, seperti berbagai program PNPM dan peningkatan alokasi APBD

untuk program-program pengentasan kemiskinan dan yang secara langsung bisa membuka

lapangan kerja. Berbagai bentuk layanan gratis bagi kelompok miskin, seperti program

pendidikan dan kesehatan gratis yang saat ini telah berjalan, bila efektivitasnya dapat lebih

Page 65: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

63

ditingkatkan dan target rumah tangga miskin yang menerima manfaatnya terus bertambah,

maka percepatan pengurangan kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat di

Sulawesi Selatan dapat lebih nyata. Secara kelembagaan hal ini meniscayakan peran Tim

Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang lebih nyata serta konsistensi upaya

terencana berdasarkan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota.

(2) Pengangguran Terbuka

Perbaikan ekonomi selanjutnya membuka kesempatan berusaha lebih luas. Maka

ketika indikator ekonomi makro Sulawesi Selatan memburuk pada tahun 2005, tingkat

pengangguran terbuka pun naik menjadi 18,64% dari 15,93% tahun 2004 sebelumnya.

Mengingat ekonomi Sulawesi Selatan masih banyak dikontribusi oleh sektor pertanian dan

sektor-sektor ekonomi informal, maka angka setengah pengangguran atau pengangguran

terselubung diperkirakan juga sangat banyak. Mereka ini biasanya bekerja kurang dari jumlah

jam kerja normal 35 jam seminggu dengan tingkat penghasilan yang kecil.

Tetapi perbaikan ekonomi yang terjadi sesudah tahun 2005 juga serta-merta ikut

mengurangi persentasi pengangguran terbuka. Dari angka pengangguran terbuka 18,64%

pada tahun 2005 turun menjadi 12,76% pada tahun 2006. Saat itu, pertumbuhan ekonomi

memang berubah cepat dan naik menjadi 6,72% pertahun; PDRB sektor pertaniah juga

berubah dari Rp 16,19 trilyun menjadi Rp 18,51 trilyun; dan pendapatan perkapita naik dari

Rp 6,90 juta menjadi Rp 7,98 juta. Bagaimana keterkaitan antara angka kemiskinan, tingkat

pengangguran, dan kondisi ekonomi tergambar pada Grafik-27 berikut.

Page 66: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

64

Grafik-27: Pengangguran terbuka, pertumbuhan angkatan kerja, TPAK dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, 2004-2009 (Sumber: BPS, 2009)

Grafik-27 menunjukkan secara jelas bahwa kondisi ekonomi dan pertumbuhan

lapangan kerja – yang terlihat dari pengurangan persentase pengangguran terbuka -- terus

membaik sejak tahun 2005 sampai 2009. Ini diikuti oleh tingkat partisipasi angkatan kerja

yang terus meningkat,sejak 2005, meskipun dibalik itu pertumbuhan angkatan kerja relatif

menurun pada tahun 2008 dan 2009.

Sektor yang paling besar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja adalah

pertanian (1.588.626 tenaga kerja atau 49,30% pada tahun 2009 dan 1.613.962 tenaga kerja

atau 51,46% tahun 2008), khususnya dengan berkembangnya aktivitas budidaya rumput laut

yang menyerap angkatan kerja pada sepanjang pesisir Sulawesi Selatan, revitalisasi kakao

yang menyerap angkatan kerja pada dataran tinggi, serta agribisnis jagung yang mennyerap

tenaga kerja pedesaan dataran rendah, selain yang secara tradisional telah diserap oleh

kegiatan padi sawah. Sektor industri masih rendah kontribusinya (6,66% pada 2009 dan

5,85% tahun 2008), yang agak besar kontribusinya dan cenderung meningkat adalah sektor

perdagangan (19,76% pada tahun 2009 dan 18,46% pada tahun 2008) serta sektor jasa

(11,25% pada tahun 2009 dan 11,24% pada tahun 2008).

3. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan sejumlah indikator yang telah dikemukakan, berikut direkomendasikan

berbagai hal terkait perbaikan kesejahteraan sosial di Sulawesi Selatan:

Page 67: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

65

(1) Meskipun nilai dan peringkat IPM Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan dalam

tiga tahun terakhir, dari segi pencapaian visi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 yakni

sebagai Provinsi 10 terbaik dalam pemenuhan hak dasar manusia yang salah satu

indikatornya adalah nilai IPM, pada tahun 2009 Sulawesi Selatan masih pada peringkat

20. Karena itu, akselerasi pencapaian IPM pada 2010-2013 merupakan keniscayaan.

Pertama, intervensi untuk meningkatkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

Selama 2008-2009 angka melek huruf telah meningkat signifikan secara rata-rata,

tetapi tujuh Kabupaten terbawah yakni Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,

Bulukumba, Selayar dan Bone memerlukan terobosan. Terobosan dimaksud adalah

menjamin bahwa kebijakan pendidikan gratis menjangkau dengan efektif rumah tangga

yang anaknya tidak menempuh pendidikan dasar maupun menengah, sehingga

pendidikan gratis berefek pada masuknya ke bangku sekolah seluruh anak usia

sekolah di Sulawesi Selatan. Kebijakan pendidikan gratis tidak akan cukup efektif

meningkatkan IPM Sulawesi Selatan bila ia hanya berfungsi meringankan beban anak

yang sudah sekolah, ia idealnya menjadikan anak yang tidak sekolah menjadi

bersekolah. Artinya, kebijakan pendidikan gratis yang menjadi bukti komitmen

pemerintah untuk memenuhi hak dasar rakyat akan pendidikan, harus dibarengi

dengan kerja keras SKPD pendidikan Provinsi dan Kabupaten untuk mencari,

menemukan dan menarik seluruh anak usia sekolah untuk masuk bersekolah,

khususnya anak usia sekolah di dataran tinggi, pesisir dan pulau-pulau serta komunitas

miskin perkotaan.

Kedua, diperlukan terobosan signifikan untuk meningkatkan angka melek huruf

Sulawesi Selatan, baik pada umur 14 tahun ke atas maupun pada umur 61 tahun ke

atas. Cara konvensional yang berjalan selama ini perlu dikomplementasi dengan cara

yang lebih radikal. Ini dapat dilakukan dengan menemukan secara jelas nama dan

alamat panyandang buta huruf pada tiap desa, berdasarkan data itu dikerahkan

sumberdaya dari berbagai pihak (mahasiswa KKN dari kampus, polisi dan TNI yang

bertugas di level desa, SKPD Diknas Kabupaten dan Provinsi, dan berbagai potensi

lainnya) untuk menjalankan intervensi pemberantasan buta huruf sesuai kriteria

pencapaian yang diberlakukan selama ini. Terobosan ini terutama diperlukan pada

Kabupaten yang paling tinggi angka buta hurufnya di Kabupaten bagian Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan.

Page 68: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

66

Ketiga, dalam upaya semakin meningkatkan angka harapan hidup, (1) pelayanan

kesehatan perlu lebih difokuskan pada komunitas-komunitas terpencil didataran tinggi,

pulau-pulau kecil, desa-desa pesisir/pantai, komunitas miskin; bukan hanya dalam

makna menunggu mereka mengakses layanan pustu, puskesmas dan rumah sakit

kelas III secara gratis, melainkan dilengkapi dengan pemantauan dan bantuan bagi

rumah tangga yang memang tidak bisa menjangkau pusat layanan kesehatan karena

berbagai pembatas seperti jarak dan biaya. Selain itu, meningkatnya penderita

HIV/AIDS pada beberapa kota di Sulawesi Selatan perlu dipantau untuk penanganan

dan pencegahan, mengingat fenomenanya banyak yang tidak tampak ke permukaan.

Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten juga harus makin mengintensifkan upaya

promosi dan pelayanan untuk memenuhi target-target MDGs 2015 khususnya

pengurangan angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, dan penyakit tertentu.

Revitalisasi Posyandu bersama Gerakan PKK untuk kesejahteraan keluarga di

pedesaan harus semakin mendapat tempat dalam perencanaan tahunan pemerintah

Kabupate/Kota.

Keempat, dalam hal daya beli, intervensi untuk mengendalikan inflasi perlu menjadi

perhatian, khususnya pada periode kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Selain itu,

mengingat porsi rumah tangga tani masih signifikan pada komposisi penduduk, nilai

tukar petani perlu dijaga dengan pendekatan dari sisi untuk menekan biaya produksi,

bukan lagi sepenuhnya pada sisi menaikkan produksi dalam kondisi biaya produksi

naik lebih tinggi.

(2) Secara sektoral bidang pendidikan, penekanan perlu diberikan pada kebijakan yang

terkait dengan upaya menanggulangi siswa yang putus sekolah. Upaya ini hendaknya

memberikan perhatian khusus pada penanggulangan putus sekolah pada jenjang SMP

dan sekolah menengah yang menunjukkan kecenderungan semakin tinggi, tanpa

mengabaikan angka putus sekolah pada jenjang SD. Program pendidikan sembilan

tahun yang selama ini berjalan sudah harus mulai memberi perhatian khusus pada tiga

tahun terakhir di jenjang SMP. Pendidikan gratis, harus semakin difokuskan untuk

keterjaminan bahwa tidak ada anak usia wajib belajar yang tidak bersekolah, termasuk

ia harus disertai upaya penyadaran kepada orang tua siswa yang tidak mau

Page 69: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

67

menyekolahkan anaknya dalam kondisi sudah digratiskan. Kantong-kantong anak tidak

sekolah harus ditemukan dan diberi perlakuan khusus.

(3) Di bidang kesehatan, tiga hal yang perlu diperhatikan adalah penanggulangan gizi

buruk sampai 0%, kecukupan tenaga kesehatan, dan penyiapan penanganan

kesehatan bagi penduduk yang menua. Sekali pun kejadian gizi buruk sudah semakin

menurun, tetapi kejadian seperti ini sangat tragis jika masih terjadi dewasa ini. Oleh

karenanya, program tanggap terhadap kejadian gizi buruk harus segera dimantapkan.

Pemutakhiran dan pengakuratan data tentang ketersediaan tenaga kesehatan menurut

jenis dan penempatannya juga perlu segera dilakukan. Mengutip Profil Kesehatan

Sulawesi Selatan 2008, hampir semua jenis tenaga kesehatan masih mengalami

kekurangan tenaga, seperti dokter umum, dokter gigi, perawat/bidan, tenaga farmasi,

gizi, kesmas, dan sanitasi. Tiga kebutuhan paling banyak adalah untuk tenaga bidan,

sanitasi, dan dokter umum. Sementara keahlian dan ketersediaan sarana pengobatan

untuk jenis penyakit yang biasanya menimpa usia lanjut juga harus mulai disiapkan,

mengingat kecenderungan usia penduduk yang menua.

(4) Di bidang kependudukan, setelah nyaris ditinggalkan selama beberapa tahun terakhir,

studi/kajian di bidang ini harus kembali digalakkan mengingat informasi dan sosialisasi

di bidang kependudukan yang nyaris terabaikan. Perhatian harus diberikan secara

bersamaan pada pengaturan jumlah, persebaran, dan peningkatan kualitas penduduk.

Terkait dengan pengaturan jumlah, program KB memegang peranan penting.

Kesadaran di bidang ini harus dibangun sehingga masyarakat bersedia membiayai

sendiri melalui berbagai kegiatan yang melibatkan swasta. Di bidang persebaran, maka

pertumbuhan kota-kota di Sulawesi Selatan sejak dini harus memperhatikan dampak

kependudukan yang akan diakibatkannya.

(5) Perlu komitmen untuk terus memberi perhatian pada kebijakan penanggulangan

kemiskinan. Program ini sudah semestinya dievaluasi kembali secara menyeluruh

seberapa jauh dampaknya secara langsung pada penurunan angka kemiskinan di

Sulawesi Selatan. Kebijakan anggaran yang cenderung boros dan tidak berdampak

langsung pada perbaikan kesejahteraan masyarakat sudah seharusnya dihentikan.

Secara kelembagaan, efektivitas peran dari Tim Kordinasi Penanggulangan

Kemiskinan Daerah (TKPK-D) Provinsi dan Kabupaten serta implementasi dari Strategi

Page 70: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

68

Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), perlu dievaluasi dan diformulasikan

upaya revitalisasi fungsinya. Begitu pula efektivitas dari dana pendampingan daerah

terhadap PNPM, perlu dievaluasi efektivitas hasil dan dampaknya atas pengurangan

jumlah penduduk miskin. Meskipun Sulawesi Selatan tidak termasuk dalam 10 besar

provinsi dengan angkan kemiskinan terbanyak, meskipun persentase jumlah penduduk

miskin Sulawesi Selatan terus menurun, tetapi secara kuantitas jumlah penduduk

miskin cukup besar, sehingga terobosan diperlukan. Salah satu terobosan yang perlu

didorong adalah gerakan solidaritas perantau kaya terhadap kerabatnya di kampung

masing-masing. Pertemuan saudagar Bugis-Makassar setiap tahun idealnya

menghasilkan gerakan solidaritas demikian dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah.

(6) Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selama periode 2004-2009 yang cukup

baik diyakini sebagai dampak kebijakan dan program-program pemerintah Sulawesi

Selatan yang cukup relevan. Dari sisi PDRB misalnya yang kontribusi sektor pertanian,

industri pengolahan, perdagangan dan jasa begitu dominan, maka diharapkan

pemerintah tetap memprioritaskan program-program infrastruktur yang mampu

mendukung sektor-sektor ini. Berfungsinya jalan tol dan bandara di kota Makassar,

serta terbangunnya jalan beton antara Kota Makassar dan Kota Pare-pare, perlu

dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai momentum untuk mengakselerasi

pertumbuhan ekonomi. Tetapi, perlu juga diperhatikan aspek pemerataan, khususnya

infrastruktur jalan pada jalur selatan-selatan yakni dari Makassar hingga ke Bulukumba,

Sinjai dan Selayar, jangan sampai pertumbuhan ekonomi menyimpan dan

membesarkan bibit kesenjangan antar wilayah.

(7) Pengembangan infrastruktur jalan ke wilayah-wilayah sentra produksi sangat vital untuk

mendukung pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Dari data dapat dilihat

bagaimana kinerja kabupaten-kabupaten yang infrastruktur jalannya baik (minim rusak).

Dukungan infrastruktur pendukung untuk pengembangan industri pengolahan,

perdagangan dan jasa juga sangat mutlak. Untuk industri pengelolahan, standarisasi

produk menjadi sangat krusial untuk mendorong peningkatan kualitas produk yang

dihasilkan. Untuk perdagangan, pengembangan pelabuhan dan bandara terbukti

mampu mendongkrak kinerja perdagangan di Sulawesi Selatan. Industri jasa juga akan

sangat terdorong dengan pengembangan kedua infrstruktur ini. Dari sisi investasi,

Page 71: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

69

pemerintah daerah Sulawesi Selatan harus terus mendorong peningkatan citra

Sulawesi Selatan. Sebagai catatan dari hasil kajian BI tahun 2007 menunjukkan bahwa

banyaknya demo di Makkasar khususnya, telah menjadi bagian pertimbangan dari

investor untuk berinvestasi di Sulawesi Selatan. Selain itu, walaupun ekonomi

Sulawesi Selatan tetap membaik, perhatian terhadap kelestarian lingkungan harus

terus didorong sehingga keberadaan lahan kritis, kerusakan terumbu karang dan

illegal-fishing dapat ditekan serendah mungkin.

(8) Antisipasi terhadap perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan secara komprehensif

perlu semakin dioperasionalkan pengarusutamaannya dalam sistem perencanaan,

implementasi serta monitoring dan evaluasi pembangunan kedepan..Sulawesi Selatan

sebagai daerah lumbung pangan perlu mengantisipasi dampak perubahan iklim

(kemarau dan hujan yang lama serta musim yang tidak terprediksi) terhadap

keberlanjutan produksi beras, jagung, kakao, rumput laut, pertambakan dan

penangkapan ikan. Pengembangan bibit/benih yang adaptif terhadap perubahan iklim

perlu segera dikembangkan, penyiapan masyarakat untuk dapat adaptif terhadap

dampak perubahan iklim perlu segera dikerangkakan dalam pembangunan daerah,

demikian pula langkah-langkah mitigasi seperti go-green perlu diperluas cakupannya

bukan hanya pada penanaman pohon tetapi juga pada penghematan air, konsistensi

untuk mempertahankan daerah resapan air, serta gerakan penghematan konsumsi

energi.

D. KESIMPULAN (1) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai, pencapaian RPJMN

2004-2009 di Sulawesi Selatan ditandai dengan pencapaian kondisi aman dan damai

yang semakin baik dalam lima tahun terakhir. Ini dapat dilihat dari indikator tingkat

kriminalitas yang cenderung menurun khususnya pada tahun 2008-2009, meskipun

persentase penyelesaian kasus kejahatan khususnya yang konvensional agak

menurun. Faktor utama yang berkontribusi atas pencapaian kondisi aman dan damai

tersebut adalah perkembangan ekonomi, dimana tertunjukkan bahwa ketika

pertumbuhan ekonomi rendah dan pengangguran tinggi pada tahun 2005-2006 terjadi

peningkatan kriminalitas khususnya pencurian, dan setelah perekonomian kembali

membaik pada 2008-2009 maka kondisi aman, tertib dan damai kembali optimal. Faktor

Page 72: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

70

lain yang mempengaruhi kondisi aman dan damai adalah efek dinamis dari

penyelenggaraan pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden dimana masyarakat

cenderung terpolarisasi dan berada dalam ketegangan tinggi sehingga menuntut

perhatian aparat yang besar, dan dengan itu perhatian untuk mencegah dan

menangani kriminalitas berkurang. Faktor ketidakcukupan SDM dan sarana/prasarana

penegak ketertiban dan keamanan juga berkontribusi pada dinamika kondisi aman dan

damai di Sulawesi Selatan, sehingga sejumlah lokasi/daerah belum terjangkau

pelayanan yang cukup dan tidak semua kejadian kejahatan tertangani.

(2) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan Demokratis, pencapaian

RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan dari segi pelayanan publik ditandai oleh

penanganan kasus korupsi yang belum sepenuhnya menjangkau laporan masyarakat,

pemberlakuan Perda Pelayanan Satu Atap yang baru menjangkau setengah dari

jumlah Kabupaten/Kota dan Pelaporan Wajar tanpa Pengecualian yang dalam tiga

tahun terakhir tidak ada entitas yang mencapaianya baik oleh Pemerintah Provinsi

maupun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan dari segi demokratisasi, dengan

menggunakan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender

Empowerment Measure (GEM), terjadi peningkatan kinerja dalam lima tahun terakhir

tetapi dalam peringkat nasional cenderung menurun. Secara umum pencapain pada

indikator adil dan demokratis masih dibawah rata-rata nasional. Faktor yang paling

berhubungan dengan pencapaian ini adalah kualitas SDM, baik SDM pemerintah pada

ranah birokrasi terkait kemampuan pelayanan dan manajemen pembangunan, maupun

SDM pemerintah pada ranah penegakan hukum khususnya dalam penanganan kasus

korupsi.

(3) Pada Agenda Meningkatan Kesejahteraan, pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi

Selatan menunjukkan bahwa dari segi kualitas manusia terdapat pencapaian IPM yang

meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir (meskipun dari segi peringkat baru

menempati posisi 20 nasional); dari segi pembangunan ekonomi terdapat perbaikan

pada indikator ekonomi makro khususnya pertumbuhan ekonomi dan transformasi

struktural perekonomian; serta dari segi kesejahteraan sosial terdapat pencapaian yang

tinggi dalam penanggulangan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran

terbuka. Pencapaian ini terutama didorong oleh dampak pelaksanaan kebijakan/

Page 73: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

71

program pembangunan seperti pendidikan gratis/dana bantuan operasional sekolah,

kesehatan gratis/jamkesmas, pembangunan infrastruktur (bandara, jalan provinsi dan

jalan tol), pengembangan komoditas unggulan seperti rumput laut, kakao, dan beras,

serta investasi swasta.

Page 74: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

72

Page 75: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

72

BAB III

ANALISIS RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI SULAWESI SELATAN

1. Pengantar

Masa berlaku RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan adalah 2008-2013. Pada saat

evaluasi ini dilakukan, RPJMD tersebut telah berjalan pada tahun ketiga. Sementara itu,

RPJMN memiliki masa berlaku 2010-2014. Dengan demikian, dua RPJM ini dibuat pada

waktu yang tidak bersamaan, karena itu isu strategis yang menjadi substansi keduanya bisa

saja ada yang berbeda disebabkan perbedaan time-horizon perencanaan tersebut. Selain itu,

perbedaan substansi dengan sendirinya juga bisa muncul karena adanya perbedaan lingkup

perencanaan, RPJMD pada lingkup daerah dan RPJMN pada lingkup nasional. Analisis

relevansi ini dilakukan terhadap 11 prioritas nasional dan prioritas lainnya pada RPJMN

2010-2014, dibandingkan dengan prioritas atau kebijakan pokok pada RPJMD Provinsi

Sulawesi Selatan 2008-2013, dalam kondisi time horizon perencanaan dan lingkup

perencanaan yang berbeda tersebut. Analisis relevansi ditampilkan dalam bentuk tabel

perbandingan substansial.

2. Analisis Relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan

2008-2013

Analisis relevansi antara prioritas dan program RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD

Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 ditampilkan dalam Tabel-7 sebagai berikut.

Tabel-7: Analisis Relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi

Selatan 2008-2013.

No. RPJMN 2010-2014 RPJMD Provinsi Sulawesi

Selatan 2008-2013 Analisis Kualitatif

Penjelasan Analisis Kualitatif

Prioritas Pemba-ngunan

Program Aksi Prioritas Pemba-ngunan

Program Aksi

1.

Prioritas1: Reformasi Birokrasi dan Tatakelola

Prioritas 7: Penguatan Kelembagaan Pemerintah

Ada prioritas da-erah yang men-dukung prioritas nasional tetapi programnya tidak sepenuhnya sama

Otonomi Daerah: Pena-taan otonomi daerah

Penghentian/pembatal-an pemekaran wilayah

Peningkatan efisiensi

Tidak ada program daerah yang men-dukung program

Di Sulawesi Selatan ada isu pemekaran wilayah di Bone dan

Page 76: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

73

dan efektivitas penggu-naan dana perimbang-an daerah

Penyempurnaan pelak-sanaan pemilihan ke-pala daerah

nasional Luwu, tetapi dalam RPJMD tidak ada pemikiran untuk mem-batalkannya. Masalah pemilihan kepala daerah banyak menye-babkan ekses dan konflik, tetapi dalam RPJMD hal tersebut belum menjadi isu strategis.

Regulasi

Peningkatan kapasitas legislasi daerah

Percepatan harmoni-sasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah dengan peraturan dae-rah selambat-lambat-nya 2011;

Peningkatan kualitas dan profesionalisme anggota DPRD

Peningkatan efektivitas dan efisiensi penyera-pan aspirasi masya-rakat, pembahasan dan penetapan Perda

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Dalam RPJMD, harmo-nisasi dan sinkronisasi tersebut diharapkan terpenuhi melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme anggota DPRD serta efektivitas dalam penyerapan aspirasi

Sinergi antara Pusat dan Daerah Penataan kelembagaan

dan ketatalaksanaan pemerintahan

Penetapan dan pene-rapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelaya-nan Publik yang selaras antara peme-rintah pusat dan pemerintah daerah

Penyusunan program kaderisasi sumberdaya aparatur

Penyempurnaan SIM kepegawaian

Penyusunan standar kompetensi jabatan, SOP, dan SPM pada seluruh SKPD

Penerapan model organisasi berbasis misi pada SKPD

Integrasi sistem infor-masi perencanaan, pe-nganggaran, pelaksa-naan, pelaporan dan pengawasan pemba-ngunan

Peningkatan kordinasi, pembinaan dan peng-awasan penyelengga-raan pemerintahan Kabupaten

Peningkatan kerja-sama antar daerah

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Dalam RPJMD Sulsel, meskipun substansi keselarasan antara pemerintah pusat dan daerah tidak dieksplisitkan, tetapi dalam implementasi-nya, khusus untuk penyusunan standar kompetensi jabatan, SOP dan SPM, pasti akan mengacu pada sistem yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Penegakan Hukum

Peningkatan keamanan

dan ketertiban masya-rakat

Peningkatan integrasi dan Integritas penera-pan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum

Kerjasama Pemda

dengan Polri dan pe-jabat hukum dalam ketertiban dan ke-amanan, pencegahan kejahatan dan penun-tasan kriminalitas, kesadaran hukum dan HAM, penegakan hu-kum dan HAM. dan penyelesaian hukum asset Pemda

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Program ini tidak di-cantumkan pada Prio-ritas-1: Penguatan Ke-lembagaan Pemerintah, melainkan pada Prio-

ritas-5: Penciptaan Lingkungan Kondusif bagi Kehidupan Ino-vatif, karena ketertiban, keamanan dan penega-kan hukum serta kesatuan bangsa di-lihat

Page 77: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

74

sebagai prakondisi bagi kehidupan yang inovatif di Sulawesi Selatan.

Data Kependudukan Penetapan Nomor

Induk Kependudukan (NIK) dan pengemba-ngan Sistem Informasi dan Administrasi Ke-pendudukan (SIAK) dengan aplikasi per-tama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011.

Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional

2. Prioritas 2: Pendidikan (DS)

Prioritas 1: Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan

Kebijakan pendidikan gratis merupakan prio-ritas penting peme-rintah Sulsel 2008-2013.

Akses Pendidikan Dasar dan Menengah Akses Pendidikan Dasar

dan Menengah

Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Dasar

Peningkatan APM pen-didikan setingkat SMP

Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan setingkat SMA

Pemantapan/rasionali-sasi implementasi BOS

Penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambat-nya 2012

Penyediaan sambung-an internet bercontent

pendidikan ke sekolah tingkat menengah se-

lambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar.

Pembebasan biaya pendidikan (Pendidik-an gratis)

Promosi pendidikan Pemberantasan buta

aksara Pengembangan

budaya baca

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Akses pendidikan tinggi Peningkatan akses

pendidikan tinggi Ada program dae-

rah yang relevan dengan program nasional

Program ini diimple-mentasikan dalam ben-tuk pemberian bea-siswa kepada pegawai Pemda untuk menem-puh pendidikan S3 di luar negeri.

Metodologi Penerapan metodologi pendidikan yang tidak

lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test)

Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional

Page 78: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

75

Pengelolaan Pemberdayaan peran

kepala sekolah sebagai manajer sistem pendi-dikan yang unggul

Revitalisasi peran pe-ngawas sekolah se-bagai entitas quality assurance,

Mendorong aktivasi pe-ran Komite Sekolah untuk menjamin keter-libatan pemangku ke-pentingan dalam pro-ses pembelajaran, dan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten

Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional

Kurikulum Penataan ulang kuri-

kulum sekolah Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional

Kualitas; Peningkatan kualitas

guru, pengelolaan, dan layanan sekolah

Peningkatan kualitas layanan pendidikan

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Program ini berjalan seiring dengan prioritas Pemda pada pendidi-kan gratis dimana pendidikan dan ke-sehatan gratis merupa-kan program prioritas utama Pemda.

3 Prioritas 3: Kesehatan

Priritas 1: Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan

Kebijakan kesehatan gratis merupakan prio-ritas penting pemerin-tah Sulsel 2008-2013.

Kesehatan Masyarakat Promosi Kesehatan Pelaksanaan Program

Kesehatan Preventif Terpadu

Pengembangan peri-laku hidup bersih dan sehat dan upaya kesehatan berbasis masyarakat

Pengembangan kerja-sama pemerintah-swasta dl pelayanan rumah sakit

Pengembangan dan peningkatan sistem peringatan dini dan penunjang kejadian luar biasa

Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional

Keluarga Berencana Peningkatan kualitas

dan jangkauan layanan KB melalui 23.500 klinik pemerintah dan swasta selama 2010-2014

Obat-Obatan Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan

Pemberlakuan Daftar Obat Esensial Nasional sebagai dasar penga-daan obat di seluruh Indonesia dan pem-batasan harga obat

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan

Peningkatan kesehat-an ibu melahirkan, bayi dan anak

Pelayanan kesehatan

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Page 79: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

76

generik bermerek pada 2010;

penduduk miskin Pengadaan dan peme-

liharaan rumah sakit, puskesmas dan pustu

Asuransi Kesehatan Nasional:

Pembebasan Biaya Kesehatan

Penerapan asuransi Kesehatan Nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100% pada 2011 dan diperluas secara ber-tahap untuk keluarga Indonesia lainnya an-tara 2012-2014

Pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan pelayanan rujukan kelas III rumah sakit pemerintah

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Perbaikan Gizi Masyarakat

Penanggulangan keku-rangan gizi

Pengawasan dan pe-ngendalian kesehatan makanan

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

Pemantapan mekanis-me penanganan pe-nyakit demam ber-darah, flu burung, HIV/AIDS

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

Peningkatan layanan perumahan, permu-kiman, kampung, sa-nitasi dan air bersih

Pengembangan perumahan sehat

Peningkatan akses air bersih

Perbaikan pengelolaan persampahan

Perbaikan lingkungan kumuh

Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional

4 Prioritas 4: Penanggulangan Kemiskinan (TP)

Bantuan Sosial Terpadu Integrasi program per-

lindungan sosial berba-sis keluarga yang men-cakup program Bantu-an Langsung Tunai

Bantuan pangan, jami-nan sosial bidang ke-sehatan, beasiswa bagi anak keluarga ber-pendapatan rendah,

pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Parenting Education mulai 2010 dan prog-ram keluarga harapan diperluas menjadi program nasional mulai 2011—2012

Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin dan penyandang masalah kesejahtera-an sosial

Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional

Page 80: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

77

PNPM Mandiri Penambahan anggaran

PNPM Mandiri Dalam RPJMD re-

levansi tidak eks-plisit, tetapi dalam implementasi ter-dapat dukungan dalam bentuk dana pendamping-an dari APBD

PNPM Mandiri melibat-kan dana dukungan pemerintah Provinsi dan Kabupaten tetapi ia merupakan program nasional

Kredit Usaha Rakyat (KUR):

Pelaksanaan penyem- purnaan mekanisme

penyaluran KUR mulai 2010 dan perluasan cakupan KUR mulai 2011

Peningkatan akses ma-syarakat kepada aset produktif dan kegiatanproduksi serta revi-talisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil

Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional

Tim Penanggulangan Kemiskinan:

Revitalisasi Komite Nasional Penanggu-langan Kemiskinan dibawah koordinasi Wakil Presiden

Dalam RPJMD tidak eksplisit, tetapi dalam im-plementasi telah ada berfungsi TKPKD

5. Prioritas 5: Program Aksi dibidang Pangan (SB) Peningkatan dan pemerataan

kesejahteraan masyarakat

Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian

Penataan pertanahan

Peningkatan produksi pertanian & pengembang-an agribisnis pedesaan

Penataan regulasi untuk menjamin kepas-tian hukum atas lahan pertanian,

Pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar

Penataan pertanahan

Peningkatan produksi pertanian & pengembangan agribisnis pedesaan

Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya prioritas/program nasional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, program di bidang pangan di-cantumkan dalam program prioritas peningkatan dan peme-rataan kesejahteraan masyarakat. Penataan regulasi untuk men-jamin kepastian hukum atas lahan pertanian disajikan pada bagian penataan pertanahan yang juga berlaku bagi lahan/tanah non-per-tanian. Pengembangan areal baru untuk per-tanian dan optimalisasi pengggunaan lahan didukung sepenuhnya oleh peningkatan pro-duksi pertanian dan pengembangan ag-ribisnis pedesaan.

Infrastruktur: Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah dan perdesaan

Pembangunan dan pe-meliharaan sarana transportasi dan ang-kutan, pengairan, ja-

Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah

Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, pembangunan dan pemeliharaan sa-

Page 81: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

78

ringan listrik, serta tek-nologi komunikasi dan sistem informasi nasi-onal yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemam-puan pemasarannya

Pembangunan sarana

dan prasarana perdesaan

prioritas/program nasional

rana dan prasarana pertanian dimuat se-cara umum dalam program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah, dan pembangunan sarana dan prasarana per-desaan. Namun pro-gram tersebut termuat dalam prioritas: Me-wujudkan Sulawesi Se-latan sebagai entitas sosial-ekonomi yang berkeadilan

Penelitian dan Pengembangan:

-

Peningkatan upaya pe-nelitian dan pengem-bangan bidang per-tanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil peneilitian lainnya me-nuju kualitas dan produktivitas hasil per-tanian nasional yang tinggi;

- Tidak ada program daerah yang men-dukung priori-tas/program na-sional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus mencantumkan penelitian di bidang pangan/ pertanian.

Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi Peningkatan akses ma-

syarakat kepada aset produktif dan kegiatan produksi serta revi-talisasi lembaga eko-nomi masyarakat kecil

Dorongan untuk inves-tasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyedia-an pembiayaan yang terjangkau.

Penetapan kerangka pembiayaan, kelem-bagaan dan regulasi Koperasi dan UMKM;

Pengembangan kewi-rausahaan dan ke-unggulan kompetitif UMKM;

Penciptaan iklim UM-KM yang kondusif melalui penyediaan dan penataan ruang usaha bagi koperasi dan UMKM, mening-katkan pelayanan per-ijinan, fasilitasi dan advokasi koperasi dan UMKM, serta men-dorong dan mem-fasilitasi tumbuh-kembangnya sumber daya ekonomi lokal sebagai usaha ung-gulan UMKM;

Penyelenggaran uru-san Koperasi dan UMKM sesuai standar pelayanan minimal Koperasi dan UMKM.

Pendirian sejumlah

Ada program daerah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/prog-ram nasional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus memprogram-kan dorongan investasi dibidang pangan/perta-nian, tapi memprog-ramkan penyediaan pembiayaan yang ter-jangkau, melalui pe-ningkatan akses ma-syarakat kepada aset produktif dan kegiatan produksi serta revi-talisasi lembaga eko-nomi masyarakat kecil .

Page 82: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

79

BPR pada setiap kabupaten/kota dan Lembaga keuangan Mikro (LKM) pada setiap kecamatan yang menyediakan skim kredit khusus bagi petani dan nelayan;

Pendirian Pasar Le-lang Komoditas pada sejumlah kabupaten/ kota.

Pangan dan Gizi: Perbaikan Gizi Masyarakat

Peningkatan kualitas gizi dan keaneka-ragaman pangan me-lalui peningkatan pola pangan harapan;

Program mengurangi Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita,

Peningkatan kesehatan ibu hamil dan menyusui, serta didukung oleh program penanggulangan kekurangan zat gizi dan lainnya,

Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan.

Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya prioritas/program nasional

Dalam RPJMD ditekan-kan program untuk mengurangi jumlah penduduk kurang pa-ngan dan gizi, melalui upaya untuk mengura-ngi Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita, serta peningkatan kesehatan ibu hamil dan me-nyusui, serta didukung oleh program penang-gulangan kekurangan zat gizi dan lainnya, termasuk pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan Namun program ter-sebut tercantum dalam priotitas Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan masyarakat

Adaptasi Perubahan Iklim

-

Pengambilan langkah-langkah konkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim

- Tidak ada program daerah yang mendukung prioritas/program nasional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus memprogram-kan upaya adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim.

6. Prioritas 6 : Infrastruktur (SB) Peningkatan dan pemerataan

kesejahteraan masyarakat

Tanah dan tata ruang Penataan Pertanahan Penanganan dan pe-

manfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu

Program P4T (Pendataan Pengua-saan, Pemilikan, Peng-gunaan dan Peman-faatan Tanah);

Program sertifikasi tanah masyarakat me-lalui sertifikasi swa-daya massal;

Pengembangan Sis-tem Informasi Per-

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional

Dalam RPJMD, prog-ram penataan pertana-han ini merupakan penjabaran langsung dari upaya untuk ke-pentingan umum se-cara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu

Page 83: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

80

tanahan yang ter-integrasi pada Kabu-paten/Kota dan Provinsi.

Perhubungan Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah

Pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antarmoda dan antarpulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda dan penurunan tingkat kecelakaantransportasisehingga pada 2014 lebih kecil dari 50% keadaan saat ini;

Program pemeliharaan dan peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan sosial ekonomi (peme-rataan pelayanan sosial ekonomi).

Ada program daerah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/prog-ram nasional

Dalam RPJMD, pemba-ngunan jaringan pra-sarana dan penyediaan sarana transportasi merupakan penjabaran dari prioritas pemba-ngunan sosial ekonomi yang berkeadilan pada program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah

Pengendalian banjir: Peningkatan kualitas lingkungan hidup

Penyelesaian pemba-ngunan prasarana pengendalian banjir

Pengendalian banjir dan laju sedimentasi daerah aliran sungai

Ada program dae-rah yang mendu-kung sepenuhnya prioritas/program nasional

Dalam RPJMD, prog-ram nasional didukung sepenuhnya oleh prog-ram peningkatan kua-litas lingkungan hidup yang dijabarkan dalam upaya pengen-dalian laju sedimentasi pada DAS Jeneberang, DAS Saddang dan DAS Bila WalanaE, memelihara kinerja bendungan Bili-Bili dan PLTA Bakaru, serta mencegah pen-dangkalan Danau Tempe.

Transportasi perkotaan Perbaikan sistem dan

jaringan transportasi di empat kota besar (Jakarta,Bandung, Surabaya, Medan)

- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional

Tidak relevamn dengan provinsi Sulawesi Selatan

Prioritas 7: Iklim Usaha dan Iklim Investasi (TP)

Kepastian hukum Reformasi regulasi se-

cara bertahap di tingkat nasional dan daerah

Peningkatan iklim in-vestasi dan realisasi investasi.

Peningkatan kualitas pelayanan publik

Penyiapan informasi potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah.

Penciptaan iklim usaha kecil menengah dan koperasi yang kondusif.

Ada prioritas pro-vinsi yang men-dukung prioritas nasional tetapi programnya tidak sepenuhnya sama.

Di samping sebagai price-taker dari prioritas nasional, provinsi/ daerah perlu mem-pertajam program-programnya sesuai kondisinya dan ke-butuhannya

Kebijakan ketenagakerjaan

Sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha dalam rangka memperluas

Pemantapan dan pe-ngembangan informasi pasar kerja.

Pelatihan keterampilan

Ada prioritas pro-vinsi yang men-dukung prioritas nasional tetapi

Di samping sebagai price-taker dari prioritas nasional, provinsi/ daerah perlu memper-

Page 84: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

81

penciptaan lapangan kerja.

tenaga kerja Pelaksanaan dan

pengendalian standardisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja.

Penempatan tenaga kerja local, luar daerah, dan luar negeri.

Perluasan dan pengem-bangan kesempatan kerja.

Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja serta transmigran

Pembinaan hubungan industrial.

Pembinaan dan peng-awasan ketenaga-kerjaan.

Pengembangan dan pe-ningkatan e-government sistem informasi kete-nagakerjaan dan ketransmigrasian.

programnya tidak sepenuhnya sama.

tajam program-prog-ramnya sesuai kondisi-nya dan kebutuhannya

8. Prioritas 8: Energi (TP) Energi Alternatif Peningkatan pemanfa-

atan energi terbarukan termasuk energi alter-natif geothermal se-hingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014

Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.

Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional.

Hasil ikutan dan turun-an minyak bumi/gas

Revitalisasi industri pengolah hasil ikutan/ turunan minyak bumi dan gas sebagai bahan baku industri tekstil, pupuk dan industri hilir lainnya;

Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.

Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional.

Konversi menuju peng-gunaan gas

Perluasan program konversi minyak tanah ke gas sehingga mencakup 42 juta Kepala Keluarga pada 2010;

Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perko-taan di Palembang, Surabaya, dan Den-pasar.

Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.

Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional

9. Prioritas 9: (SB) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana

Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan

Perubahan iklim

Peningkatan keber-dayaan pengelolaan lahan gambut

Peningkatan hasil reha-

- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional

Provinsi Sulawesi Se-latan memiliki lahan gambut dengan luasan yang sangat kecil dan

Page 85: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

82

bilitasi seluas 500,000 ha pertahun,

Penekanan laju defo-restasi secara sungguh -sungguh

hanya berupa rawa biasa. Peningtan hasil rehabilitasi dan pene-kanan laju deforestasi dalam RPJMD dimuat dalam penjabaran program Sulsel Go- Green.

Pengendalian Kerusak-an Lingkungan Peningkatan kualitas

lingkungan hidup

Penurunan beban pen-cemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa pada 2010 dan terus berlanjut.

Program pengendalian emisi gas buang kenda-raan bermotor dan in-dustri, pengembangan konsep kota hijau dan Gerakan Sulawesi Sela-tan Hijau (Sulawesi Selatan Go-Green), pe-negakan ketaatan pem-rakarsa usaha/kegiatan Pengendalian pence-maran limbah B3 dari kegiatan yang berpotensi menghasilkan limbah ter-sebut melalui mekanisme UKL/UPL dan AMDAL

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional

Penurunan beban pencemaran lingku-ngan melalui penga-wasan ketaatan pe-ngendalian pencemar-an air limbah dan emisi disebutkan dalam RPJMD, dalam bentuk program pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor dan industry, dan pengendalian pencemaran limbah B3.

Sistem Peringatan Dini:

Penjaminan berjalan-nya fungsi Sistem Peringatan Dini

Tsunami (TEWS) dan Sistem Peringatan Dini

Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya, serta Sistem Peringa-tan Dini Iklim (CEWS) pada 2013;

- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, terdapat prog-ram penanggulangan bencana, namun tidak secara spesifik mem-programkan TEWS, MEWS, dan CEWS.

Penanggulangan bencana

Penanggulangan kor-ban kebakaran, banjir dan bencana

Peningkatan kemam-puan penanggulangan bencana

o Pembangunan pusat pengendalian bencana untuk mengoptimalkan penanganan bencana terpadu;

o Pemberdayaan ma-syarakat agar mampu berpartisipasi dalam penanggulangan dan pengendalian ben-cana.

o Integrasi sumber daya daerah dalam penang-gulangan bencana, dengan sasaran be-rupa meningkatnya kapasitas dan parti-sipasi masyarakat serta swasta dalam penanggulangan bencana.

Ada program dae-rah yang mendu-kung prioritas/ program nasional

Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, diprogramkan pembangunan pusat pengendalian bencana untuk mengoptimalkan penanganan bencana terpadu dan pember-dayaan masyarakat agar mampu berpar-tisipasi dalam penang-gulangan dan pengen-dalian bencana. Namun program ini ada pada priorita Pening-katan dan pemerataan kesejahteraan masya-rakat

10 Prioritas 10 : Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal,

Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi

Page 86: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

83

dan Pasca Konflik (SB) yang berkeadilan

Kebijakan Kebijakan prasarana wilayah dan pedesaan

Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pen-dukung kesejahteraan lainnya

Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan

Ada program dae-rah yang mendu-kung sepenuhnya prioritas/program nasional

Program khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejah-teraan lainnya untuk daerah tertinggal, da-lam RPJMD secara umum dimuat dalam program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah, dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan.

Keutuhan wilayah -

Penyelesaian pemeta-an wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010

- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional

Daerah Perbatasan: Tidak relevan dengan Provinsi Sulawesi Selatan

Daerah tertinggal

Pusat Pelayanan

Pengentasan paling lambat 2014.

Program, pengembangan fasilitas pelayanan sosial-ekonomi pada beberapa kota/daerah-daerah

Program memperkuat interkoneksitas dengan wilayah Provinsi yang berbatasan.

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional

Pengentasan daerah tertinggal dalam RPJM-D diarahkan pada pengembangan fasilitas pelayanan sosial-eko-nomi pada beberapa kota yang memiliki posisi strategis yang diprioritaskan, terutama untuk menjalin inter-koneksitas dengan wi-layah Provinsi yang berbatasan. Program ini tercantum dalam prioritas Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertum-buhan perekonomian

11 Prioritas 11 : Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi (TP)

Perawatan

Penetapan dan pem-bentukan pengelolaan terpadu untuk pengelo-laan cagar budaya

Revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia di-targetkan sebelum Oktober 2011;

Pengelolaan keragaman budaya guna terwujud-nya pengembangan seni budaya; pengelolaan ke-kayaan budaya guna terwujudnya pelestarian Benda Cagar Budaya; pengembangan nilai budaya yang diarahkan kepada peningkatan penghargaan terhadap seniman dan budayawan termasuk hasil karyanya; penggalakan kegiatan seni-budaya lokal ber-skala nasional dan internasional.

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional

Dalam RPJMD, revi-talisasi dan reaktu-alisasi nilai dan norma budaya menjadi pene-kanan, khususnya un-tuk memelihara iden-titas daerah ditengah derasnya arus infor-masi dan globalisasi

Page 87: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

84

Sarana

Penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pen-dalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten selam-bat-lambatnya Oktober 2012.

Dalam kebijakan reaktu-alisasi dan revitalisasi budaya lokal pada RPJMD, sudah tercakup pula didalamnya tentang sarana, meskipun tidak eksplisit.

Kebijakan:

Peningkatan perhatian dan kesertaan peme-rintah dalam program-program seni-budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan men-dorong berkembang-nya apresiasi terhadap kemajemukan budaya

Aktualisasi dan revita-lisasi nilai-nilai budaya lokal

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ prog-ram nasional

Inovasi teknologi

Peningkatan keunggul-an komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup penge-lolaan sumber daya maritim menuju ketaha-nan energi, pangan, dan antisipasi perubah-an iklim; dan pengem-bangan penguasaan teknologi dan kreati-

vitas pemuda.

Peningkatan kualitas teknostruktur komunitas

Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ prog-ram nasional

Prioritas daerah yang tidak ada pada prioritas nasional adalah: Prioritas 6 RPJMD yakni Penguatan Kelembagaan Masyara-kat, tetapi sebagian isi prioritas daerah ini ada yang tercakupi pada prioritas nasional

3. Rekomendasi

a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi (1) RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan berlaku untuk periode 2008-2009, dengan visi bahwa

pada 2013 pencapaian dalam pemenuhan hak dasar masyarakat menempati posisi 10

besar nasional, dimana indikator utama visi ini adalah pencapaian nilai dan peringkat

IPM. Pada aras nasional, RPJMN Indonesia berlaku untuk periode 2010-2014, dengan

fokus pada 11 prioritas dalam mewujudkan visi pembangunan nasional yang

diembannya. Pada aras global, pencanangan MDGs hanya memiliki waktu lima tahun

lagi untuk memenuhi target-targetnya pada 2015. Berdasarkan itu, RPJMD Sulawesi

Page 88: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

85

Selatan sebaiknya melakukan penajaman prioritisasi dengan mempertimbangkan tiga

aras tersebut dalam memilih fokus. Garis besar fokus yang perlu diprioritaskan dengan

memperhatikan tiga aras tersebut dinyatakan dalam poin-poin selanjutnya rekomendasi

ini.

(2) Penanggulangan Kemiskinan terniscayakan untuk menjadi prioritas dengan perhatian

pada tercapainya target eradikasi kemiskinan pada 2015 sebesar setengahnya dari

angka tahun 2000, dimana pengurangan jumlah rumah tangga miskin otomatis

memperbaiki tingkat daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator IPM. Dengan

demikian, penanggulangan kemiskinan sebagai target MDGs sekaligus komplementer

untuk memperbaiki nilai IPM, dan tentu saja ia merupakan jawaban langsung terhadap

substansi utama hak dasar masyarakat: hak untuk tidak miskin. Penanggulangan

kemiskinan idealnya dikerangkakan dalam sinergi antara upaya yang bersifat intervensi

langsung pada rumah tangga miskin guna menjamin terpenuhinya hak dasar mereka

atas pangan, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan; pemberdayaan terhadap

komunitas/masyarakat dimana rumah tangga miskin tersebut berada sedemikian rupa

sehingga tercipta saluran sosial bagi rumah tangga miskin dalam mengakses peluang

pada tingkat lokalitasnya untuk keluar dari kemiskinan; pencapaian dan pemeliharaan

pertumbuhan pada tingkat ekonomi makro daerah yang menjamin akses lapangan kerja

dan usaha bagi rumah tangga miskin. Kerangka ini idealnya teroperasionalkan dengan

mempertimbangkan karakteristik lokalitas kemiskinan di Sulawesi Selatan secara sosio-

etnik-geografis, dengan mendorong keberfungsian yang optimal pada Tim Kordinasi

Penanggulangan Kemiskinan Daerah secara bersinergi antara tingkat Provinsi dan

tingkat Kabupaten/Kota, berdasarkan keterpaduan arahan antara Strategi

Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM), serta RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota.

(3) Akselerasi pencapaian pada bidang pendidikan dan kesehatan merupakan keniscayaan

kedua dalam pembangunan Sulawesi Selatan karena substansi utama pencapaian IPM

pada posisi 10 besar nasional terletak pada dua hak dasar ini. Meskipun kemajuan nyata

telah dicapai pada peningkatan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka

harapan hidup, tetapi pencapaian itu baru menjadi dasar tolak untuk melakukan

percepatan lebih jauh. Ia baru merupakan momentum untuk melesat dari posisi 21 IPM

nasional untuk bisa menembus posisi 10-15 pada 2013. Tahun 2010-2013 idealnya

Page 89: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

86

merupakan tahun momentum bagi akselerasi pencapaian indeks pendidikan dan indeks

kesehatan secara jauh lebih cepat dari Provinsi lain di Indonesia, mengingat efek dan

dampak program pendidikan dan kesehatan gratis yang didorong pada 2008-2010 ini

sudah akan menggulirkan perubahan yang lebih tajam lagi.

(4) Pengelolaan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global

merupakan keniscayaan ketiga dalam reprioritisasi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.

Sulawesi Selatan perlu secara lebih awal mengidentifikasi dan menganalisis prakiraan

dampak terhadap pertanian dan perikanan/kelautan atas kemungkinan ekstrim dari

terjadinya kekeringan dan curah hujan tinggi secara jangka panjang dan tidak

terprediksikan dimasa depan, begitu pula dampaknya pada aspek kehidupan lain yang

lebih dekat yakni kesehatan (penyakit) dan infrastruktur (kerusakan sarana/prasarana),

dan sistem air perkotaan. Berdasarkan itu dapat disusun kerangka komprehensif untuk

tindakan mitigasi dan adaptasi dalam pemahaman yang sama antara stakeholder

pemerintah, swasta dan masyarakat mulai dari level lokal, kabupaten/kota, provinsi,

antar provinsi dan integrasinya dengan upaya nasional.

(5) Selain tiga keniscayaan diatas, berikut ini direkomendasikan sejumlah penajaman atas

kebijakan dan program yang telah berjalan selama ini. Dalam RPJMD, tidak secara

tersirat memuat tentang kebijakan penelitian dan pengembangan dibidang pangan,

sehingga diperlukan program penelitian dan pengembangan di bidang pangan dengan

prioritas pendayagunaan plasma nutfah lokal serta peningkatan diversifikasi pangan

lokal. Dalam kebijakan infrastruktur, perlu ditajamkan adanya program pemeliharaan dan

peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan kemerataan jangkauan

pelayanan sosial ekonomi, pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana dan

prasarana keairan untuk menjamin ketersediaan pasokan air baku, baik untuk irigasi,

industri maupun untuk rumah tangga dan peningkatan ketersediaan energi, khususnya

listrik, untuk mendorong pengembangan industri.

b. Rekomendasi Terhadap RPJMN

(1) Pembangunan pendidikan perlu lebih nyata diorientasikan sebagai upaya perbaikan

peradaban, bukan semata-mata untuk menghasilkan manusia yang sesuai dan siap

memasuki pasar tenaga kerja. Pembangunan pendidikan idealnya dipahami sebagai

upaya pembangunan manusia, yang secara filosofis adalah proses pemanusiaan

Page 90: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

87

manusia. Karena itu, pembangunan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan

kebudayaan, keduanya akan secara bersama-sama berkontribusi pada perubahan

peradaban. Selain itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga negara, dimana

tugasnya negara adalah memenuhi hak dasar tersebut. Karena itu, lembaga pendidikan

harus terpelihara dalam misi memenuhi hak dasar tersebut..

(2) Faktor dominan terkait masalah pangan perlu dilihat dari hulu (upstream) hingga hilir

(downstream), dan pemecahannya dalam bentuk program harus mempertimbangkan

bekerjanya sub-sistem ketersediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi,

sehingga tercipta ketahanan pangan. Dengan demikian, tujuan program di bidang

pangan perlu diarahkan pada meningkatnya ketersediaan pangan melalui upaya

pengembangan diversifikasi pangan, kelembagaan pangan, dan usaha pengelolaan

pangan, tercapainya ketersediaan pangan di tingkat regional dan masyarakat yang

cukup, dan terdorongnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan,

meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat, dan menurunnya

ketergantungan pada pangan pokok beras melalui pengalihan konsumsi non beras.

Untuk itu beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada program aksi di bidang

pangan adalah perlunya operasionalisasi program, disamping program yang telah ada

pada RPJMN, sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu intensifikasi yang dilaksanakan

dalam bentuk usaha peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan teknologi tepat

guna, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam rangka penerapan

teknologi spesifik lokasi; 2. Peluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang dilaksanakan

dalam bentuk pengairan serta perluasan baku lahan dan peningkatan indeks

pertanaman melalui percepatan pengolahan tanah, serta penggarapan lahan tidur dan

terlantar. 3. Pengamanan produksi yang ditempuh melalui penggunaan teknologi panen

yang tepat, dan bantuan sarana produksi terutama benih, pada petani yang lahannya

mengalami puso, melalui suatu skema kelembangaan pangan. 4. Rehabilitasi dan

konservasi lahan dan air tanah, yang dilaksanakan dalam bentuk upaya perbaikan

kualitas lahan kritis/marginal dan pembuatan terasering serta embung dan rorak/jebakan

air. 5. Pengembangan dan penguatan diversivikasi pangan non-beras, seperti sagu, 6.

Pengembangan kerangka kebijakan dan kerangka operasional kegiatan yang

menghubungkan berbagai upaya peningkatan ketahanan pangan dengan agenda

mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim global.

Page 91: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

88

(3) Masalah utama infrastruktur di Indonesia adalah belum berjalannya koordinasi tata ruang

wilayah otonomi sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional, kesenjangan

infrastruktur antar wilayah, dan lemahnya mekanisme pemeliharaan (maintenance

mechanism) infrastruktur skala besar yang telah terbangun. Dengan demikian, kebijakan

Nasional pengembangan infrastruktur perlu diarahkan pada: 1. Penguatan koordinasi

penataan ruang wilayah-wilayah otonomi yang berbatasan, 2. Pengurangan

ketimpangan wilayah sudah berkembang: Sumatra, Jawa, Bali; berkembang:

Kalimantan, Sulawesi, NTB; perkembagan baru: Maluku, NTT, Papua, 3.Pemeliharaan

infrastruktur skala besar seperti bendungan dan jalan nasional.

(4) Karena kompleksnya masalah lingkungan hidup, maka kebijakan pengelolaan

lingkungan hidup perlu dipriotitaskan pada masalah-masalah pengendalian dalam segala

bentuk KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik melalui teknologi berkembang

maupun kearifan lokal masyarakat. Sehingga, kebijakan program yang perlu

diprioritaskan adalah: 1. Penerapan konsep KLHS (kajian lingkungan hidup strategis)

pada setiap KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik nasional, provinsi, maupun

kabupaten/kota; 2. Adaptasi perubahan iklim melalui kearifan lokal masyarakat yang

telah lama tumbuh.

(5) Masalah utama Prioritas 10 adalah daerah terluar wilayah NKRI. Sehingga, kebijakan

program yang perlu ditambahkan adalah disamping penyelesaian pemetaan wilayah

perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, perlu: 1.

Peningkatan komunikasi antarnegara (dengan Negara perbatasan) mengenai konsistensi

pemetaan antar dua Negara; 2. Pembuatan dokumen benchmark yang dilanjutkan

dengan penetapan benchmark secara fisik di lapangan yang disetujui oleh dua Negara.

Page 92: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

89

BAB IV.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan (1) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai, pencapaian RPJMN

2004-2009 di Sulawesi Selatan ditandai dengan pencapaian kondisi aman dan damai

yang semakin baik dalam lima tahun terakhir. Ini dapat dilihat dari indikator tingkat

kriminalitas yang cenderung menurun khususnya pada tahun 2008-2009, meskipun

persentase penyelesaian kasus kejahatan khususnya yang konvensional agak

menurun. Faktor utama yang berkontribusi atas pencapaian kondisi aman dan damai

tersebut adalah perkembangan ekonomi, dimana tertunjukkan bahwa ketika

pertumbuhan ekonomi rendah dan pengangguran tinggi pada tahun 2005-2006 terjadi

peningkatan kriminalitas khususnya pencurian, dan setelah perekonomian kembali

membaik pada 2008-2009 maka kondisi aman, tertib dan damai kembali optimal. Faktor

lain yang mempengaruhi kondisi aman dan damai adalah efek dinamis dari

penyelenggaraan pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden dimana masyarakat

cenderung terpolarisasi dan berada dalam ketegangan tinggi sehingga menuntut

perhatian aparat yang besar, dan dengan itu perhatian untuk mencegah dan

menangani kriminalitas berkurang. Faktor ketidakcukupan SDM dan sarana/prasarana

penegak ketertiban dan keamanan juga berkontribusi pada dinamika kondisi aman dan

damai di Sulawesi Selatan, sehingga sejumlah lokasi/daerah belum terjangkau

pelayanan yang cukup dan tidak semua kejadian kejahatan tertangani.

(2) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan Demokratis, pencapaian

RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan dari segi pelayanan publik ditandai oleh

penanganan kasus korupsi yang belum sepenuhnya menjangkau laporan masyarakat,

pemberlakuan Perda Pelayanan Satu Atap yang baru menjangkau setengah dari

jumlah Kabupaten/Kota dan Pelaporan Wajar tanpa Pengecualian yang dalam tiga

tahun terakhir tidak ada entitas yang mencapaianya baik oleh Pemerintah Provinsi

maupun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan dari segi demokratisasi, dengan

menggunakan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender

Empowerment Measure (GEM), terjadi peningkatan kinerja dalam lima tahun terakhir

tetapi dalam peringkat nasional cenderung menurun. Secara umum pencapain pada

Page 93: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

90

indikator adil dan demokratis masih dibawah rata-rata nasional. Faktor yang paling

berhubungan dengan pencapaian ini adalah kualitas SDM, baik SDM pemerintah pada

ranah birokrasi terkait kemampuan pelayanan dan manajemen pembangunan, maupun

SDM pemerintah pada ranah penegakan hukum khususnya dalam penanganan kasus

korupsi.

(3) Pada Agenda Meningkatan Kesejahteraan, pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi

Selatan menunjukkan bahwa dari segi kualitas manusia terdapat pencapaian IPM yang

meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir (meskipun dari segi peringkat baru

menempati posisi 20 nasional); dari segi pembangunan ekonomi terdapat perbaikan

pada indikator ekonomi makro khususnya pertumbuhan ekonomi dan transformasi

struktural perekonomian; serta dari segi kesejahteraan sosial terdapat pencapaian yang

tinggi dalam penanggulangan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran

terbuka. Pencapaian ini terutama didorong oleh dampak pelaksanaan kebijakan/

program pembangunan seperti pendidikan gratis/dana bantuan operasional sekolah,

kesehatan gratis/jamkesmas, pembangunan infrastruktur (bandara, jalan provinsi dan

jalan tol), pengembangan komoditas unggulan seperti rumput laut, kakao, dan beras,

serta investasi swasta.

(4) Prioritas RPJMN 2010-2014 memiliki relevansi cukup tinggi dengan prioritas RPJMD

Sulawesi Selatan 2008-2013 tetapi dengan penekanan prioritas yang berbeda

disebabkan perbedaan kondisi spesifik dan permasalahan pembangunan Sulawesi

Selatan dengan kondisi dan permasalahan umum pembangunan Indonesia. Bila 11

prioritas nasional RPJMN 2010-2014 ditempatkan pada prioritas pembangunan

Sulawesi Selatan maka urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan, 2.

Kesehatan, 3. Penanggulangan Kemiskinan, 4. Pangan, 5. Infrastruktur, 6. Reformasi

Birokrasi, 7. Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 8. Iklim Investasi dan Iklim

Usaha, 9. Kebudayaan, Kreatifitas, Inovasi Teknologi, 10. Energi,11. Daerah Terdepan,

Terluar, Tertinggal dan Pasca Konflik

2. Rekomendasi a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan

Page 94: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

91

(1) RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan berlaku untuk periode 2008-2009, dengan visi

bahwa pada 2013 pencapaian dalam pemenuhan hak dasar masyarakat menempati

posisi 10 besar nasional, dimana indikator utama visi ini adalah pencapaian nilai dan

peringkat IPM. Pada aras nasional, RPJMN Indonesia berlaku untuk periode 2010-

2014, dengan fokus pada 11 prioritas dalam mewujudkan visi pembangunan nasional

yang diembannya. Pada aras global, pencanangan MDGs hanya memiliki waktu lima

tahun lagi untuk memenuhi target-targetnya pada 2015. Berdasarkan itu, RPJMD

Sulawesi Selatan sebaiknya melakukan penajaman prioritisasi dengan

mempertimbangkan tiga aras tersebut dalam memilih fokus. Garis besar fokus yang

perlu diprioritaskan dengan memperhatikan tiga aras tersebut dinyatakan dalam poin-

poin selanjutnya rekomendasi ini.

(2) Penanggulangan Kemiskinan terniscayakan untuk menjadi prioritas dengan perhatian

pada tercapainya target eradikasi kemiskinan pada 2015 sebesar setengahnya dari

angka tahun 2000, dimana pengurangan jumlah rumah tangga miskin otomatis

memperbaiki tingkat daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator IPM. Dengan

demikian, penanggulangan kemiskinan sebagai target MDGs sekaligus komplementer

untuk memperbaiki nilai IPM, dan tentu saja ia merupakan jawaban langsung terhadap

substansi utama hak dasar masyarakat: hak untuk tidak miskin. Penanggulangan

kemiskinan idealnya dikerangkakan dalam sinergi antara upaya yang bersifat intervensi

langsung pada rumah tangga miskin guna menjamin terpenuhinya hak dasar mereka

atas pangan, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan; pemberdayaan terhadap

komunitas/masyarakat dimana rumah tangga miskin tersebut berada sedemikian rupa

sehingga tercipta saluran sosial bagi rumah tangga miskin dalam mengakses peluang

pada tingkat lokalitasnya untuk keluar dari kemiskinan; pencapaian dan pemeliharaan

pertumbuhan pada tingkat ekonomi makro daerah yang menjamin akses lapangan

kerja dan usaha bagi rumah tangga miskin. Kerangka ini idealnya teroperasionalkan

dengan mempertimbangkan karakteristik lokalitas kemiskinan di Sulawesi Selatan

secara sosio-etnik-geografis, dengan mendorong keberfungsian yang optimal pada Tim

Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah secara bersinergi antara tingkat

Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota, berdasarkan keterpaduan arahan antara Strategi

Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM), serta RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota.

Page 95: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

92

(3) Akselerasi pencapaian pada bidang pendidikan dan kesehatan merupakan

keniscayaan kedua dalam pembangunan Sulawesi Selatan karena substansi utama

pencapaian IPM pada posisi 10 besar nasional terletak pada dua hak dasar ini.

Meskipun kemajuan nyata telah dicapai pada peningkatan angka melek huruf, rata-rata

lama sekolah dan angka harapan hidup, tetapi pencapaian itu baru menjadi dasar tolak

untuk melakukan percepatan lebih jauh. Ia baru merupakan momentum untuk melesat

dari posisi 21 IPM nasional untuk bisa menembus posisi 10-15 pada 2013. Tahun

2010-2013 idealnya merupakan tahun momentum bagi akselerasi pencapaian indeks

pendidikan dan indeks kesehatan secara jauh lebih cepat dari Provinsi lain di

Indonesia, mengingat efek dan dampak program pendidikan dan kesehatan gratis yang

didorong pada 2008-2010 ini sudah akan menggulirkan perubahan yang lebih tajam

lagi.

(4) Pengelolaan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global

merupakan keniscayaan ketiga dalam reprioritisasi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-

2013. Sulawesi Selatan perlu secara lebih awal mengidentifikasi dan menganalisis

prakiraan dampak terhadap pertanian dan perikanan/kelautan atas kemungkinan

ekstrim dari terjadinya kekeringan dan curah hujan tinggi secara jangka panjang dan

tidak terprediksikan dimasa depan, begitu pula dampaknya pada aspek kehidupan lain

yang lebih dekat yakni kesehatan (penyakit) dan infrastruktur (kerusakan

sarana/prasarana), dan sistem air perkotaan. Berdasarkan itu dapat disusun kerangka

komprehensif untuk tindakan mitigasi dan adaptasi dalam pemahaman yang sama

antara stakeholder pemerintah, swasta dan masyarakat mulai dari level lokal,

kabupaten/kota, provinsi, antar provinsi dan integrasinya dengan upaya nasional.

(5) Selain tiga keniscayaan diatas, berikut ini direkomendasikan sejumlah penajaman atas

kebijakan dan program yang telah berjalan selama ini. Dalam RPJMD, tidak secara

tersirat memuat tentang kebijakan penelitian dan pengembangan dibidang pangan,

sehingga diperlukan program penelitian dan pengembangan di bidang pangan dengan

prioritas pendayagunaan plasma nutfah lokal serta peningkatan diversifikasi pangan

lokal. Dalam kebijakan infrastruktur, perlu ditajamkan adanya program pemeliharaan

dan peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan kemerataan

jangkauan pelayanan sosial ekonomi, pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana

dan prasarana keairan untuk menjamin ketersediaan pasokan air baku, baik untuk

Page 96: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

93

irigasi, industri maupun untuk rumah tangga dan peningkatan ketersediaan energi,

khususnya listrik, untuk mendorong pengembangan industri.

b. Rekomendasi Terhadap RPJMN 2010-2014

(1) Pembangunan pendidikan perlu lebih nyata diorientasikan sebagai upaya perbaikan

peradaban, bukan semata-mata untuk menghasilkan manusia yang sesuai dan siap

memasuki pasar tenaga kerja. Pembangunan pendidikan idealnya dipahami sebagai

upaya pembangunan manusia, yang secara filosofis adalah proses pemanusiaan

manusia. Karena itu, pembangunan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari

pembangunan kebudayaan, keduanya akan secara bersama-sama berkontribusi pada

perubahan peradaban. Selain itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga

negara, dimana tugasnya negara adalah memenuhi hak dasar tersebut. Karena itu,

lembaga pendidikan harus terpelihara dalam misi memenuhi hak dasar tersebut..

(2) Faktor dominan terkait masalah pangan perlu dilihat dari hulu (upstream) hingga hilir

(downstream), dan pemecahannya dalam bentuk program harus mempertimbangkan

bekerjanya sub-sistem ketersediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi,

sehingga tercipta ketahanan pangan. Dengan demikian, tujuan program di bidang

pangan perlu diarahkan pada meningkatnya ketersediaan pangan melalui upaya

pengembangan diversifikasi pangan, kelembagaan pangan, dan usaha pengelolaan

pangan, tercapainya ketersediaan pangan di tingkat regional dan masyarakat yang

cukup, dan terdorongnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan

pangan, meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat, dan

menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras melalui pengalihan konsumsi

non beras. Untuk itu beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada program aksi di

bidang pangan adalah perlunya operasionalisasi program, disamping program yang

telah ada pada RPJMN, sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu intensifikasi yang

dilaksanakan dalam bentuk usaha peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan

teknologi tepat guna, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam rangka

penerapan teknologi spesifik lokasi; 2. Peluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang

dilaksanakan dalam bentuk pengairan serta perluasan baku lahan dan peningkatan

indeks pertanaman melalui percepatan pengolahan tanah, serta penggarapan lahan

Page 97: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

94

tidur dan terlantar. 3. Pengamanan produksi yang ditempuh melalui penggunaan

teknologi panen yang tepat, dan bantuan sarana produksi terutama benih, pada petani

yang lahannya mengalami puso, melalui suatu skema kelembangaan pangan. 4.

Rehabilitasi dan konservasi lahan dan air tanah, yang dilaksanakan dalam bentuk

upaya perbaikan kualitas lahan kritis/marginal dan pembuatan terasering serta embung

dan rorak/jebakan air. 5. Pengembangan dan penguatan diversivikasi pangan non-

beras, seperti sagu, 6. Pengembangan kerangka kebijakan dan kerangka operasional

kegiatan yang menghubungkan berbagai upaya peningkatan ketahanan pangan

dengan agenda mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim global.

(3) Masalah utama infrastruktur di Indonesia adalah belum berjalannya koordinasi tata

ruang wilayah otonomi sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional,

kesenjangan infrastruktur antar wilayah, dan lemahnya mekanisme pemeliharaan

(maintenance mechanism) infrastruktur skala besar yang telah terbangun. Dengan

demikian, kebijakan Nasional pengembangan infrastruktur perlu diarahkan pada: 1.

Penguatan koordinasi penataan ruang wilayah-wilayah otonomi yang berbatasan, 2.

Pengurangan ketimpangan wilayah sudah berkembang: Sumatra, Jawa, Bali;

berkembang: Kalimantan, Sulawesi, NTB; perkembagan baru: Maluku, NTT, Papua,

3.Pemeliharaan infrastruktur skala besar seperti bendungan dan jalan nasional.

(4) Karena kompleksnya masalah lingkungan hidup, maka kebijakan pengelolaan

lingkungan hidup perlu dipriotitaskan pada masalah-masalah pengendalian dalam

segala bentuk KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik melalui teknologi

berkembang maupun kearifan lokal masyarakat. Sehingga, kebijakan program yang

perlu diprioritaskan adalah: 1. Penerapan konsep KLHS (kajian lingkungan hidup

strategis) pada setiap KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik nasional, provinsi,

maupun kabupaten/kota; 2. Adaptasi perubahan iklim melalui kearifan lokal masyarakat

yang telah lama tumbuh.

(5) Masalah utama Prioritas 10 adalah daerah terluar wilayah NKRI. Sehingga, kebijakan

program yang perlu ditambahkan adalah disamping penyelesaian pemetaan wilayah

perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, perlu: 1.

Peningkatan komunikasi antarnegara (dengan Negara perbatasan) mengenai

konsistensi pemetaan antar dua Negara; 2. Pembuatan dokumen benchmark yang

Page 98: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

95

dilanjutkan dengan penetapan benchmark secara fisik di lapangan yang disetujui oleh

dua Negara.

(6) Agar pencapaian RPMJN dapat lebih optimal di daerah, diperlukan kesamaan indikator

pencapaian antara pemerintah pusat dan daerah, serta keterkordinasian implementasi

program dan kegiatan. Karena itu, pada setiap awal pelaksanaan RPJMN, idealnya

dikembangkan kerangka monitoring dan evaluasi yg mempertemukan indikator

nasional dan provinsi yg relevan serta cara verifikasi indikatornya, sebagai acuan

bersama dl implementasi program/kegiatan setiap tahun.

c. Usulan Komponen dan Metode EKPD 2011 (1) Komponen Evaluasi

- Komponen pertama: kesesuaian horizon waktu dari keberlakuan RPJMN 2010-2014

dengan keberlakuan RPJMD Provinsi. Output dari evaluasi ini adalah didapatkannya

gambaran tentang jumlah/persentasi RPJMD Provinsi yang masa berlakunya sama

dengan RPJMN, masa berlakunya lebih dahulu dari periode RPJMN lengkap dengan

selisih tahun berlakunya, dan masa berlakunya sesudah periode RPJMN lengkap

dengan selisih tahun berlakunya. Dengan adanya data hasil evaluasi ini dapat

dianalisis hubungan antara periode keberlakuan RPJMD dengan kontribusinya

terhadap pencapaian RPJMN.

- Komponen kedua: relevansi visi, tujuan, dan sasaran antara RPJMN 2010-2014

dengan visi, tujuan, dan sasaran RPJMD Provinsi. Output dari evaluasi ini adalah

didapatkannya gambaran seberapa jauh visi, tujuan dan sasaran RPJMN 2010-2014

memayungi visi, tujuan dan sasaran RPJMD provinsi dan sebaliknya dapat pula

dianalisis seberapa jauh visi, tujuan dan sasaran RPJMD provinsi berkontribusi

terhadap visi, tujuan dan sasaran RPJMN 2010-2014.

- Komponen ketiga: relevansi misi, kebijakan dan program antara RPJMN 2010-2014

dengan misi, kebijakan dan program RPJMD. Output dari evaluasi ini adalah

didapatkannya gambaran seberapa jauh upaya-upaya nasional memayungi upaya-

uapaya provinsi dan seberapa jauh upaya-upaya dalam RPJMD Provinsi berkontribusi

terhadap upaya-upaya nasional.

- Komponen keempat: kesesuaian isu strategis antara RPJMN 2010-2014 dengan

RPJMD Provinsi. Lingkup evaluasi ini akan memberi gambaran lingkup keuniversalan

Page 99: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

96

dari isu-isu strategis RPJMN 2010-2014 dan lingkup kespesifikan dari isu-isu strategis

RPJMD. Dari situ akan terlihat pula isu-isu yang sifatnya marginal, dalam arti tidak

spesifik daerah dan tidak pula general nasional.

- Komponen kelima: kesesuaian indikator kinerja antara sasaran RPJMN 2010-2014

dengan sasaran sejenis pada RPJMD. Pada lingkup dapat dilihat sampai mana

indikator kinerja yang tertuang dalam PP 06/2008 dan menjadi salah satun acuan

daerah memiliki relevansi dengan indikator kinerja yang bisa dikembangkan dari

sasaran-sasaran RPJMN 2010-2014.

- Komponen keenam: data dasar tahun pertama keberlakuan RPJMN di masing-

masing provinsi untuk indikator-indikator utama.

(2) Metodologi Evaluasi

- Berdasarkan lingkup evaluasi tersebut, maka metodologi evaluasi yang relevan akan

lebih banyak menggunakan analisis isi (content analysis) yang mengkomparasikan isi

RPJMN 2010-2014 dengan isi RPJMD masing-masing provinsi. Hasil analisis isi

ditampilkan dalam tabel-tabel komporansi berdasarkan poin-poin yang

dispesifikasikan.

- Selain itu, pengumpulan data untuk bahan data dasar bagi indikator-indikator evaluasi

penting RPJMN 2010-2014.

(3) Arah Rekomendasi

- Arah rekomendasi evaluasi RPJMD 2011 idealnya difokuskan pada: (1) penyelarasan

program/kegiatan dalam RPKD Provinsi 2012 untuk memastikan sampai mana upaya-

upaya nasional dikontribusi oleh upaya-upaya daerah; (2) penyelarasan

sasaran/indikator/target pencapaian indikator pada RPKD Provinsi 2012 untuk

memastikan kontribusi daerah atas sasaran/indikator/target pencapaian nasional.

d. Isu Strategis Provinsi untuk Evaluasi Pemerintah

- Evaluasi Dampak Pembangunan Jalan Beton Makassar - Pare-pare terhadap

Kesejahteraan Masyarakat dan Kemajuan Daerah-Daerah Kawasan Tengah Provinsi

Sulawesi Selatan

Page 100: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS

97

- Evaluasi Dampak Revitalisasi Pantai Losari dan Lapangan Karebosi terhadap Ekologi

Kota dan Kesejahteraan Masyarakat.

Page 101: Laporan Akhir EKPD 2010- Sulsel - UNHAS