Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

27
Pendahuluan Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri abdomen. Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi atau S. Paratyphi. Penyakit ini pada awalnya disebut typhoid fever karena penyakit ini mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan typhus. Namun, pada awal tahun 1800-an, demam tifoid didefinisikan dengan jelas secara patologis karena mempunyai penyakit yang unik berdasarkan pembesaran Peyer’s patches dan mesenteric lymph nodes. Pada tahun 1869, diberikan penamaan berdasarkan dimana letak anatomis infeksi tersebut berada, terminasi enteric fever digunakan agar dapat membedakan antara typhoid fever dengan typhus. 1 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakitini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World HealthOrganization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasusdemam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalansehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumahsakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan 1

description

typhoid fever and UTI

Transcript of Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Page 1: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Pendahuluan

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri

abdomen. Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi atau S. Paratyphi. Penyakit ini

pada awalnya disebut typhoid fever karena penyakit ini mempunyai gejala klinis

yang hampir sama dengan typhus. Namun, pada awal tahun 1800-an, demam

tifoid didefinisikan dengan jelas secara patologis karena mempunyai penyakit

yang unik berdasarkan pembesaran Peyer’s patches dan mesenteric lymph nodes.

Pada tahun 1869, diberikan penamaan berdasarkan dimana letak anatomis infeksi

tersebut berada, terminasi enteric fever digunakan agar dapat membedakan antara

typhoid fever dengan typhus.1

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena

penyakitini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.

Data World HealthOrganization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat

sekitar 17 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan insidensi 600.000

kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasusdemam tifoid dilaporkan

sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalansehingga

insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumahsakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi

dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah

perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atausekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus

per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkanantara 3-19 tahun

pada 91% kasus.2

Infeksi saluran kemih dibagi menjadi dua kategori berdasarkan letak anatomis,

yaitu infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis akut, prostatitis, dan

intrarenal serta perinephris abses) dan infeksi saluran kemih bagian bawah

(urethritis dan cystitis). Infeksi di tempat – tempat tersebut dapat muncul

bersamaan dengan gejala maupun tanpa gejala.1

Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-

faktor lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun pertama pada anak.

1

Page 2: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Selama tahun pertama kehidupan, prevalensi bakteriuria 0,9% pada anak

perempuan dan 2,5% pada anak laki-laki. Prevalensi ISK pada anak usia 2 bulan

sampai 2 tahun adalah 5%. Insidens ISK pada anak usia kurang dari 6 tahun

adalah 3-7% pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki-laki. Insidens ISK

pada anak remaja adalah 10%, dimana 7,8% diantaranya dijumpai pada anak

perempuan.3 Pada laporan kasus ini, akan lebih banyak dibahas mengenai infeksi

saluran kemih bagian atas.

2

Page 3: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Laporan Kasus

Pasien berinisial Ny. IR, berusia 34 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)

Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC) pada tanggal 25 Agustus 2014 dengan

keluhan utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Demam

yang dirasakan berlangsung terus menerus. Pasien mengeluhkan nyeri perut

bagian bawah sejak 4 hari yang lalu. Rasa nyeri yang dirasakan tidak menjalar dan

dirasakan seperti ditusuk – tusuk. Nyeri yang dirasakan berlangsung terus –

menerus, tidak diperingan dan diperburuk dengan aktivitas apapun. Pasien tidak

mengetahui hal apa yang mencetukan nyeri perutnya ini. Pasien juga

mengeluhkan rasa mual tetapi muntah tidak dialami pasien. Nafsu makan pasien

menurun. Pasien mengeluhkan sulit buang air besar sejak 4 hari yang lalu. Pasien

juga mengeluhkan nyeri saat buang air kecil. Nyeri yang dirasakan terutama pada

saat akhir berkemih. Pasien merasa anyang – anyangan dan lebih sering buang air

kecil. Tidak ada keluhan sering buang air kecil pada malam hari. Buang air kecil

berwarna kuning dan tidak ada darah.

Pasien sudah pergi berobat ke puskesmas dan sudah dilakukan pemeriksaan

penunjang. Dari puskesmas pasien dirujuk ke Rumah Sakit Marinir Cilandak

(RSMC) tetapi belum diberikan pengobatan dari puskesmas tersebut.

Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini tetapi

pernah di rawat di rumah sakit dalam beberapa bulan terakhir. Pasien tidak

memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus serta alergi terhadap obat –

obatan. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alcohol

Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit

sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 116 x/m,

pernafasan 24x/m, suhu 37.6oC. Berat badan pasien 60 kg, tinggi badan 160 cm ,

dengan indeks massa tubuh 23.4 kg/m2.

3

Page 4: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Pada pemeriksaan kepala ditemukan bentuk kepala normocephali, pertumbuhan

rambuh normal, berwarna hitam, tidak mudah dicabut, tidak terdapat deformitas,

dan wajah simetris. Pada pemeriksaan mata, didapatkan bentuk simetris, pupil

isokor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif, tidak ada eksoftalmus

maupun endoftalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, lensa jernih.

Pada pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan tidak didapatkan lidah tifoid.

Selain itu, ditemukan faring tenang dan tonsil T1/T1. Pada pemeriksaan leher,

tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thoraks,

ditemukan bentuk dada simetris baik saat statis maupun dinamis, pergerakan nafas

simetris tidak terdapat spider naevi, dan tidak terdapat retraksi dinding dada.

Pemeriksaan cor, tidak terlihat iktus kordis tetapi pada palpasi didapatkan teraba

iktus kordis pada sela iga 5 mid klavikula kiri. Pada auskultasi jantung, ditemukan

suara jantung S1 S2 reguler, tidak ditemukan murmur maupun gallop. Pada

pemeriksaan pulmo, taktil fremitus simetris pada kedua lapang paru, perkusi sonor

pada seluruh lapang paru, dan suara nafas terdengar vesikuler pada kedua lapang

paru serta tidak ditemukan wheezing ataupun ronki pada kedua lapang paru. Pada

pemeriksaan abdomen, dilakukan inspeksi dan didapatkan perut datar dan tidak

ditemukan caput medusa. Kemudian dilakukan pemeriksaan auskultasi abdomen,

didapatkan suara bising usus positif dan terdengar 14 kali permenit, dan tidak

terdengar renal bruit. Pada palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan pada daerah

hipogastrik, tidak ditemukan massa, liver dan spleen tidak teraba. Kemudian pada

perkusi abdomen didapatkan suara timpani pada semua lapang abdomen dan tidak

terdapat nyeri ketok pada costovertebra angle (CVA). Pada pemeriksaan

ekstrimitas, didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema pada kedua tungkai

kaki, dan capillary refill time didapatkan kurang dari 2 detik.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kemudian dilakukan pemeriksaan

laboratorium. Sebelumnya pasien sudah melakukan pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan pada Puskesmas Pasar Minggu pada hari yang sama. Pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu adalah pemeriksaan

darah lengkap dan tes widal. Dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan hasil

pemeriksaan laboratorium yang didapatkan adalah Hb 12.9 g/dL, Ht 37%, eritrosit

4

Page 5: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

4.59 x 106 /uL, MCV 80 fL, MCH 28.1 pg, MCHC 35.2 g/dL, leukosit 16,26

ribu/uL, trombosit 222 ribu/uL dan pemeriksaan hitung jenis

basofil/eosinofil/neutrophil batang/neutrofil segmen/limfosit/monosit adalah

0/2/3/85/6/6. Kemudian hasil pemeriksaan tes widal, ditemukan salmonella typhy

– H 1/160 dan salmonella typhy – O 1/160. Pada saat di unit gawat darurat rumah

sakit marinir cilandak dilakukan pemeriksaan urinalisa lengkap dan hasilnya

adalah warna kuning, jernih, pH 6.0, protein +1, reduksi negatif, berat jenis 1025,

bilirubin negative, urobilin positif, keton / blood +1/+2, nitrit negatif. Pemeriksaan

sedimen urin didapatkan hasil leukosit 10-25 LPB, eritrosit 6-10 LPB, epitel

positif, silinder negatif, krital Ca Oxalat negatif, kristal asam urat negatif, kristal

tripel phospat negatif dan amorf negatif.

Berdasarkan anamensa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah

dilakukanm maka ditegakkan diagnosis pada pasien ini, yaitu demam tifoid dan

infeksi saluran kemih suspek sistitis. Pasien dirawat dan diberikan pengobatan

berupa IVFD Ringer Laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip

dalam NaCl 0.9% 100 cc (dilakukan skin test sebelum pemberian obat), sanmol

drip 3 x 1 gr, dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul secara intravena.

Pada perawatan hari pertama, pasien masih mengeluhkan demam. Pasien

mengeluhkan nyeri perut bagian bawah dan buang air kecil masih terasa nyeri.

Mual sudah mulai berkurang. Nafsu makan dan minum pasien membaik. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran

compos mentis. Tanda tanda vital tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 x/m,

nafas 20 x/m, suhu 37,5oC. Pada pemeriksaan fisik, masih didapatkan nyeri tekan

pada regio hipogastrik. Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi

saluran kemih suspek sistitis. Rencana terapi yang akan diberikan pada hari ini

meliputi IVFD ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip

dalam NaCl 0.9% 100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul

diberikan secara intravena. Selain itu direncanakan juga pemeriksaan ureum,

kreatinin, dan pemeriksaan tubex.

5

Page 6: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Pada hari kedua perawatan, demam sudah tidak dirasakan pasien. Nyeri perut

bagian bawah sudah mulai berkurang tetapi pasien masih mengeluh nyeri saat

buang air kecil. Nyeri yang dirasakan muncul saat akhir berkemih. Saat berkemih

tidak didapatkan darah pada urinnya. Nafsu makan dan minum membaik. Pada

pemeriskaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran pasien

compos mentis. Tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi

88 x/m, nafas 20 x/m, suhu 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna

adalah pemeriksaan abdomen, masih didapatkan nyeri tekan pada regio

hipogastrik. Hasil laboratorium pada hari ini ureum 24 mg/dl dan creatinine 0.90

mg/dl. Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih

suspek sistitis. Rencana terapi yang akan diberikan pada hari ini meliputi IVFD

ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip dalam NaCl 0.9%

100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr jika perlu dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul diberikan

secara intravena, dan Nonflamin 3 x 1 tablet.

Pada hari ketiga perawatan, pasien masih mengeluh nyeri pada saat berkemih.

Rasa nyeri dirasakan sesaat akan selesai berkemih dan tidak ada darah. Nyeri

perut sudah tidak dirasakan pasien. Pada pemeriskaan fisik didapatkan keadaan

umum pasien baik dan kesadaran pasien compos mentis. Tanda – tanda vital

didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/m, nafas 20 x/m, suhu 37oC.

Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna adalah pemeriksaan abdomen,

masih didapatkan didapatkan nyeri tekan pada region hipogastrik. Diagnosis pada

pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih suspek sistitis. Terapi

yang diberikan pada hari ini meliputi IVFD ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi

ceftriaxone 1 x 2 gr drip dalam NaCl 0.9% 100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr jika perlu,

injeksi ranitidine 2 x 1 ampul diberikan secara intravena, Nonflamin 3 x 1 tablet.

Pada hari ke empat perawatan, pasien sudah tidak memiliki keluhan apapun. Pada

pemeriskaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran pasien

compos mentis. Tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi

80 x/m, nafas 20 x/m, suhu 36,5oC. Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna

adalah pemeriksaan abdomen, sudah tidak didapatkan nyeri tekan pada seluruh

6

Page 7: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

region abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil IgM

S.Typhi/Tubex TF 2 (tidak menunjukkan infeksi demam typhoid aktif). Selain itu

diperiksaankan kembali urinalisis lengkap dan didapatkan hasilnya sebagai

berikut, warna kuning, jernih, berat jenis 1010, pH 6.0, protein -, glukosa -, keton

-, urobilinogen -, bilirubin -, urobilin +, nitrit -, darah -, leukosit didapatkan 2 – 3

LPB, eritrosit 1-2 LPB, epitel +, bakteri -, silinder -, kristal -. Diagnosis akhir

pada pasien ini adalah infeksi saluran kemih suspek sistitis. Pada perawatan hari

ke empat, pasien sudah diperbolehkan pulang sehubungan dengan sudah tidak

memiliki gejala. Rencana pengobatan yang akan diberikan saat pulang cefixime 3

x 200 mg selama 5 hari, ranitidine 2 x 1 tablet selama 5 hari, nonflamin 3 x 1

tablet selama 5 hari dan parasetamol 3 x 1 tablet jika perlu. Pasien disarankan

untuk kontrol kembali ke poli penyakit dalam setelah obat yang dikonsumsi habis.

7

Page 8: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Pembahasan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada Ny. IR berusia 34 tahun, didapatkan diagnose awal pada saat

masuk rumah sakit adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih. Pada saat

pasien masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan gejala – gejala seperti demam,

sulit buang air besar, mual, dan muntah. Gejala – gejala menunjukkan gejala

demam tifoid. Selain dari gejala – gejala yang dikeluhkan pasien, ada juga

pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pasien, yaitu tes widal. Tes widal

yang telah dilakukan pasien menunjukkan titer S. typhi O 1/160 dan S. typhi H

1/160. Dengan adanya pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan ini semakin

meyakinkan diagnosis kearah demam tifoid. Namun, pada saat pasien dirawat

inap, dilakukan pemeriksaan tes tubex yang berfungsi untuk membantu diagnosis

demam tifoid. Setelah dilakukan pemeriksaan tes tubex, hasilnya menunjukkan

hasil yang negatif. Disini didapatkan permasalahan dimana pemeriksaan tes widal

dan tes tubex tidak menunjukkan hasil yang sejalan.

Banyak penelitian yang meneliti mengenai tes widal dan tes tubex. Berdasarkan

journal of clinical microbiology menunjukkan bahwa tes tubex lebih baik untuk

mendiagnosa demam tifoid daripada tes widal. Pada penelitian ini tes tubex

menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas lebih baik dari pada tes widal dimana tes

tubex mempunyai sensitifitas 78% dan spesifisitas 89% sedangkan tes widal

mempunyai sensitifitas 64% dan spesifisitas 76%.4 Pada penelitian yang dilakukan

di Indonesia, menunjukkan hasil dimana tes tubex lebih baik untuk mendiagnosis

demam tifoid daripada tes widal. Berdasarkan hasil penelitian, tes tubex

mempunyai sensitifitas 100% dan spesifisitas 52.6% sedangkan tes widal

mempunyai sensitifitas 16.7% dan spesifisitas 73.7%.5

Pada pemeriksaan widal, terjadi peningkatan pada titer O dan titer H. Peningkatan

dari titer H dan titer ini mungkin karena disebabkan pasien pernah menderita

demam tifoid sebelumnya. Titer O dapat bertahan 4 – 6 bulan di dalam tubuh

8

Page 9: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

sedangkan titer H dapat bertahan 9 – 12 bulan dalam tubuh. Pemeriksaan Tubex

adalah untuk mendeteksi antibody IgM terhadap Salmonella typhi.

Gambar 1: Respon Antibodi Salmonella typhi

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V

Pemeriksaan tubex pada pasien ini menunjukkan hasil yang negatif karena IgM

terhadap Salmonella typhi sudah menurun pada saat dilakukan pemeriksaan.

Maka hal ini menjelaskan mengapa nilai tubex menunjukkan hasil yang negatif.

Diagnosa akhir saat pasien keluar dari rumah sakit adalah infeksi saluran kemih.

Alasan dibuat diagnosa akhir ini karena setelah melakukan tes widal dan tes tubex

didapatkan hasil yang berbeda, tetapi tes tubex lebih menunjukkan hasil yang

lebih akurat dalam mendiagnosa demam tifoid. Berdasarkan tes tubex yang

dilakukan, didapatkan hasil yang negatif. Maka diagnose akhir ditegakkan infeksi

saluran kemih.

Pasien ini ditegakkan diagnose infeksi saluran kemih. Berikut ini merupkan

pembahasan mengenai infeksi saluran kemih. Pasien mengeluh demam, anyang –

anyangan, rasa nyeri pada akhir berkemih, sering buang air kecil, dan didapatkan

nyeri tekan pada perut bagian bawah mengarahkan diagnose kearah infeksi

saluran kemih. Selain itu juga sudah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa

9

Page 10: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

urinalisis, ureum, dan kreatinin. Hasil urinalisis menunjukkan hasil adanya infeksi

pada saluran kemih.

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk

menunjukkan bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml

urin > 105, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi

klinik.4 Beberapa istilah yang perlu dipahami; bakteriuria bermakna (significant

backteriuri) adalah keberadaan mikroorganisme murni (tidak terkontaminasi flora

normal dari uretra) lebih dari 105 colony forming units per mL (cfu/ml) biakan

urin dan tanpa lekosituria. Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna

dengan manifestasi klinik. Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah

bakteriuria bermakna tanpa manifestasi klinik.6,9 Pada umumnya ISK disebabkan

oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti: Eschericia coli merupakan MO yang

paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK simtomatik maupun asimtomatik;

mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK

anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase

negatif; Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai,

kecuali pasca kateterisasi.1

Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi: Infeksi Saluran Kemih

Atas

Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis

terbagi menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah

pielonefritis lebih sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis)

yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan di klinik.9

Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh

radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat

mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa

ditemukan kelainan radiologik.8,9 PNA ditemukan pada semua umur dan jenis

kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-

laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat.9

10

Page 11: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan

sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi

bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu

disertai kelainan-kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut

PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin

berasal dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria tersebut bukan

penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah yang

sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi

diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai

kelainan-kelainan faal dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai

hubungan dengan infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK,

nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam

patogenesis PNK.9 Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri

berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering ditemukan

pembentukan jaringan ikat parenkim.5

Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang

selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak,

biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat disertai

penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana

(uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh (recurrent

urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi (complicated type), ISK

jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya.9

Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang

(recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau

penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan

ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari

faktor predisposisi.9

11

Page 12: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan

mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat

diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa

SUA disebabkan oleh MO anaerobik.6,9

Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal,

sistemik dan perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal

seperti disuria, polakisuria, dan urgensi sering ditemukan pada hampr 90% pasien

rawat jalan dengan ISK akut.9

Tabel 1 Gejala dari ISK

Lokal

Disuria

Polakisuria

Stranguria

Tenesmus

Nokturia

Enuresis nocturnal

Prostatismus

Inkontinesia

Nyeri uretra

Nyeri kandung kemih

Nyeri kolik

Nyeri ginjal

Sistemik

Panas badan sampai

menggigil

Septicemia dan syok

Perubahan urinalisis

Hematuria

Piuria

Chylusuria

Pneumaturia

Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37

12

Page 13: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran

kemih bawah pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2: Hubungan antara lokasi infeksi saluran kemih dengan keluhan

Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-40,5°C),

disertai menggigil dan sakit pinggang.6 Pada pemeriksaan fisik diagnostik tampak

sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi nadi

pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman

staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140

kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen

sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini

menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe

sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat

ISKB kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan

13

Page 14: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi, refluks

vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok,

kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis

respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik.9

Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-

keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan

urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria asimtomatik, infeksi

eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK).9

Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti

polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang

dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan,

kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48

jam setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki,

prostatitis yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat

menyebabkan sistitis sekunder.6,9

Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena

rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin

ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari

hidronefrosis dan distensi vesika urinaria.9

Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan sistitis.

Gejalanya sangat sedikit, biasanya hanya disuri dan sering kencing.6 Untuk

menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih maka dibutuhkan juga pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah Analisis urin

rutin. Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria

(albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik urin.6

Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin masih segar

dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih yang

14

Page 15: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting organism).

Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1 gram per

24 jam.9

Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100 x) dan

sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan

mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria >105 CFU per ml.

Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien

dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >105). Kadang-kadang masih

ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien dengan piuria

mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >105. Analisa ini menunjukkan bahwa

piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.6,9

Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas 100% untuk

>50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-20 leukosit, 44 %

untuk 6-12 leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak disentrifuge

dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk melihat bakteri

gram negatif dan gram positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar

60 % untuk 1 PMN atau mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga

dapat mendapatkan hasil positif palsu sebesar 10%.6,9

Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit

dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya

sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat

menentukan tipe bakteriuria.9

Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.

Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut

selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria

asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus

dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin.

15

Page 16: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik

selektif.9

Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >105 (2x)

berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10

per ml tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau

CFU per ml >105 dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per

ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK.9

Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi

ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena,

micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin

tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala

urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme

jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp), serta ISK berulang dengan interval ≤6

minggu.6

Setelah ditegakkannya diagnosis, maka ditentukan pengobatan yang akan dipilih.

Terapi Infeksi saluran kemih atas (ISKA) pada umumnya pasien dengan

pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi

dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat inap pada PNA

antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi

terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat

jalan, diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta

komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.

The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative

terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil

kepekaan biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin

dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

Sedangkan terapi untuk Infeksi saluran kemih bawah (ISKB) mempunyai prinsip

manajemen dengan meningkatkan intake cairan, pemberian antibiotik yang

16

Page 17: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium

bikarbonat 16-20 gram per hari6,9

Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin,

penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif

tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan

sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram.9

17

Page 18: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Daftar Pustaka

1. David A. Pegues, Samuel I. Miller. Salmonellosis. In: T. R. Harrison

(eds.) Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed. 2008:

McGrawHills; 2008. p956

2. John A. Crump, Stephen P. Luby, Eric D. Mintz. World Health

Organization. The Global Burden of Typhoid Fever.2010;82(5):346

3. Universitas Sumtera Utara. Infeksi Saluran Kemih.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27597/4/Chapter

%20II.pdf (accessed 4 September 2014).

4. Sonja J. Olsen et al. Evaluation of Rapid Diagnostic Tests for Typhoid

Fever. Journal of Clinical Microbiology.2004;42(5):1885

5. R. Arinurtia. Perbandingan Tingkat Akurasi Antara Tes Widal dengan Tes

Tubex pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Semarang.2011;1(1):3

6. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.

2009:1008-1014.

7. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection:

Urethritis, Cystitis, and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrison’s

Manual of Medicine16th Edition. Newyork: Mc Graw Hill Medical

Publishing Division. 2005:724

8. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho

E. & McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition. Newyork:

Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2008: 193-195

9. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal.

In Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi

Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72

10. Ronald A.R & Nicollé L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In

Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition

Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687

11. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense

Mechanisms. In In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary

18

Page 19: Lapkas - Typhoid Fever and Urinary Tract Infection

Tract 8th edition Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins

Publishers. 2007: 817-826

12. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M,

ed. Essential Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana

Press. 2004:183-189

19