Lapkas SLE Dr Tuti Nisa

63
LAPORAN KASUS SLE (Systemic Lupus Erimathosus) DOKTER PEMBIMBING: dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.Pd-M.Kes Disusun Oleh : Khoirunnisa

description

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOUS

Transcript of Lapkas SLE Dr Tuti Nisa

LAPORAN KASUSSLE (Systemic Lupus Erimathosus)

DOKTER PEMBIMBING:dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.Pd-M.Kes

Disusun Oleh :Khoirunnisa2010730056

Kepaniteraan Klinik ilmu Penyakit DalamRS Umum Daerah CianjurFakultas KedokteranProgram Studi Pendidikan DokterUniversitas Muhammadiyah Jakarta2015

IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. NNJenis kelamin: Perempuan Umur : 42 tahun Status : belum menikah Alamat : Jl. Tubagus Ismail, Rt 03/ 10 Sekeloa, BandungTanggal masuk : 01 Maret 2015

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan dengan melalui data rekam medis pada tanggal 28 Februari 2015, jam 15:00 WIB di ruang anggrek.

KELUHAN UTAMA Nyeri BAK sejak 7 bulan SMRS

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT SEKARANG Sejak 7 bulan yang lalu pasien mengeluh nyeri saat BAK dan gejala makin memberat sejak 3 hari SMRS, frekuensi BAK menjadi lebih sering dan terasa nyeri pada saat BAK, keluhan disertai rasa panas dan kadang terasa seperti adanya lendir. Keluhan juga disertai oleh demam, keluhan demam dirasakan hilang timbul. Setelah itu pasien juga mengeluh adanya keputihan yang terasa gatal, berbau,dan nyeri hebat saat menstruasi . Selain itu pasien juga mengeluh nyeri bagian perut atas, kadang terasa kembung dan perih jika makan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULUPasien memiliki riwyat penyakit pneumonia 4 tahun lalu. Pasein juga memiliki riwayat TB paru 1 tahun sebelum masuk rumah sakit,kemudian pasien berobat ke RS di Bandung dan pasien sudah menjalani pengobatan TB selama 6 bulan lalu sudah di nyatakan sembuh. RIWAYAT PENGOBATAN Pasien sudah pernah berobat ke RS swasta di Bandung untuk penyakit yang sekarang, pasien sudah di konsultasikan ke spesialis penyakit dalam dan spesialis kandungan, dan sudah di lakukan swab vagina, hasil diagnosis sementara yaitu infeksi saluran reproduksi dan sempat diberikan terapi yaitu doksisiklin obat antibiotik 2 kali sehari selama 3 hari namun keluhan tidak berkurang kemudian pasien kembali datang ke RS dan didiagnosis menderita Infeksi SAluran Kemih (ISK) namun pasien belum sempat menjalani pengobatan. Pasien juga pernah menjalani pengobatan TB paru selama 6 bulan.

RIWAYAT PENYAKIT PADA KELUARGA Riwayat penyakit paru disangkal Riwayat penyakit darah tinggi dan kencing manis disangkal Riwayat penyakit keganasan disangkal Riwayat penyakit saluran kemih disangkal Riwayat sindroma lupus eritematosus Riwayat batuk lama disangkal Riwayat asma dan alergi disangkal

Riwayat Alergi riwayat alergi obat, makanan, cuaca dan bulu disangkal

Riwayat Psikososial riwayat merokok, konsumsi alkohol, konsumsi kopi disangkal,

PEMERIKSAAN UMUMKeadaan umum :Keadaan Sakit : Tampak sakit sedangKesadaran:Compos Mentis / GCS 15 (E4V5M6)Glasgow Coma Scale MataSpontanRespon terhadap suaraRespon terhadap nyeriTidak ada respon4*3 21

BahasaOrientasiBingungKata-kata tidak teraturMengerang atau suara tidak jelasTidak ada respon5*4 321

MotorMenaati perintahLokalisasi rasa sakitMenghindari rasa sakitAbnormal fleksi (dekortikasi)Abnormal ekstensi (deserebrasi)Tidak ada respon6*5 4321

Tanda vital :Tekanan darah : 110 / 80 mmHg Frekuensi nadi : 80 kali / menit, regular, cukup, kuat angkat Frekuensi napas: 20 kali / menit, dangkal Suhu tubuh: 36,8C

PEMERIKSAAN SISTEMATIS

Kepala Bentuk dan ukuran: normocephali, deformitas (-), Rambut dan kulit kepala- Warna: Hitam- Kelebatan: Sedang- Distribusi pertumbuhan: Merata- Rambut tertanam kuat pada kulit kepala dan tidak mudah patah Wajah -Terdapat bercak-bercak hiperpigmentasi di wajah Mata- Visus : tidak diperiksa- Palpebra: Edema -/-: Menutup dan membuka dengan baik- Konjungtiva: Anemis -/-- Sklera: Ikterik -/-- Pupil: Bentuk bulat, diameter 3mm/3mm: isokor: Refleks cahaya langsung +/+: reflex cahaya tidak langsung +/+- Air mata: +/+- Gerakan kedua bola mata baik Telinga- Meatus Akustikus Eksternus : +/+- Membran timpani: Tidak diperiksa- Sekret: -/-- Serumen: -/- Hidung- Bentuk normal, simetris, septum nasi di tengah- Sekret: -/-- Pernapasan cuping hidung: -/-

Bibir- Simetris- Mukosa tampak basah- Tidak tampak pucat /sianosis Mulut:- Bentuk dan ukuran normal- Mukosa buccal normal- Warna gusi normal merah muda- Gigi geligi dalam batas normal Leher- Trakea di tengah- Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

Toraks

Jantung:Inspeksi: iktus kordis tidak terlihatAuskultasi: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS IV linea midklavikula kiriPerkusi: kesan kardiomegali (-)

Paru:Inspeksi: gerakan nafas tampak simetrisAuskultasi: vesikular +/+, ronki -/-, wheezing -/-, stridor (-)Palpasi : gerakan nafas teraba simetrisPerkusi: sonor pada kedua lapang paru

AbdomenInspeksi: tampak datar, distensi (-)Palpasi : supel, nyeri tekan kesan (+) pada regio epigastrium, umbilikalis, , hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-).Perkusi: timpani pada seluruh regio abdomen, shifting dullness -Auskultas: bising usus (+) 5-6 kali / menit pada seluruh regio

Ekstremitas- Akral teraba hangat- Sianosis (-)- Capillary Refill Time < 2 detik- Tonus otot baik pada semua ekstremitas- Tampak edema pada ekstremitas bawah

Kulit- Turgor kulit baik- terdapat bercak-bercak di ke-4 ekstremitas,

Kelenjar getah bening- Pembesaran KGB oksipital (-)- Pembesaran KGB retroaurikular (-)- Pembesaran KGB servikal region 1 kiri (+)- Pembesaran KGB inguinal (-)

Riwayat haid:Menarche: usia 12 tahun, teratur dan tidak nyeri , lama menstruasi 7 hari, siklus 25 hari , namun sejak 7 bulan terakhir pasien mengalami keputihan dan mentruasi tidak teratur.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

RESUME 42 tahun datang ke rs dengan keluhan nyeri pada saat BAK sejak 7 bulan lalu, keluhan disertai rasa panas, terdapat lendir, demam hilang timbul, keputihan yang terasa gatal dan berbau, nyeri hebat saat menstruasi, nyeri perut atas, terasa kembung dan perih. riwayat penyakit pneumonia sekitar 4 bulan lalu dan TB paru 1 tahun lalu. selama keluhan ini muncul pasien sudah berobat ke RS swasta di bandung dan diberikan doksisiklin namun keluhan tidak membaik, hasil tes ANA (+), menjalani pengobatan TB paru 6 bulan pada pemeriksaan fisik di dapatkan, pasien tampak sakit sedang, nyerti tekan epigastrium (+), bercak-bercak di ke 4 ekstremitas Pada pemeriksaan hematologi, hemoglobin 11.2, hematokrit, eritrosit 3,95, pada pemeriksaan urin leukosit 500/3+, Ca oksalat (+).

POMR ( Problem Oriented Medical Record)

1. Systemic lupus erithomatesus (SLE)Tx/: -IVFD RL 1500 cc/24 jam Ceftriaxone 2x1 Ondansentron 2x8 ml Neurobion 1x500 Paracetamol 3x1 (PRC) Metilprednisolone 3x2 Calllos 3x1

2. ISK Tx/: - Ceftriaxone

3. Gastropathy Tx/ - lansoprazol 1x1 -Omeprazol 3x1 -Ulsikrat 3x1

SLE (Systemic Lupus Erimathosus)Definisi Pasien

D(Diskoid rash)Plak eritema menonjol dengan keratorik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat di temukan parut atrofik.(+)

O(Oral ulcer)Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa(+)

P(Photosensivity)Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anmnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa(-)

A(Arthritis)Arthritis non erosive yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.(-)

M(Malar rash)Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial(+)

I(Immune disorder)a. Anti-DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer yang abnormal b. Anti-sm: terhadapnya antibody terhadap antigen nuclear Sm c. Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang didasarkan atas:1. Kadar serum antibody antikardiolopin abnormal baik IgG atau IgM2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di modifikasi dengan tes imobilisasi treponema pallidum atau tes efluoresensi absorpsi antibody treponema.(-)

N(Neuro disorder)a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan elektrolit).b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan elektrolit)(+)

R(Renal involvement)a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatifb. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau camouran.(+)

AANA (+)Titer abnormal dari antibody anti-nuklear berdasarakan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurn waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.(+)

S(Serositis)a. Pleuritis, riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub atau terdapat bukti efusi pleurab. Perikarditis, terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium.(-)

H(Heme disorder)a. Anemia hemolitik dengan retikulosisb. Lekopenia 85%) dan spesifisitas(> 95%) untuk pasien dengan penyakit SLE yang jelas, sensitivitasnya untuk pasien pada awal penyakit mungkin memiliki signifikansi yang lebih rendah.6Pada banyak pasien, kriteria bertambah seiring berjalannya waktu. Antinuclear antibodies (ANA) positif pada >98% pasien selama perjalanan penyakit, hasil tes ulangan yang negatif mengarah pada diagnosis bukan penyakit LES, kecuali ada autoantibodi lain. Titer antibodi IgG yang tinggi pada dsDNA dan antibodi anti-Sm adalah spesifik untuk LES, karena itu menunjang diagnosis dengan disertai gejala-gejala klinis LES. Pada orang yang tidak mengalami gejala LES namun antibodi multipel terdeteksi, tidak masuk pada kriteria diagnostik, meskipun orang tersebut berisiko tinggi di kemudian hari akan menderita LES.1Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :1. HematologiDitemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.2. Kelainan imunologiDitemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive, dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk LES. Antibodi double-stranded DNA (Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive. Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase aktif) dapat berubah menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas dari perjalanan penyakit LES , tetapi anti-Sm tidak.Suatu varietas antibodi antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada LES dengan negatif ANA.Kadar komplemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada LES dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan LES pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.9

Tabel 4. Pemeriksaan laboratorium pada SLE

2.7 DIAGNOSIS BANDING10CONDITIONDIFFERENTIATING SIGNS/SYMPTOMSDIFFERENTIATING TESTS

Rheumatoidarthritis(RA)May be difficult to differentiate clinically.Patients with SLE frequently present with an inflammatory arthritis with a similar pattern to RA, although it tends to be less symmetrical.Joint x-rays demonstrate symmetrical, erosive arthritis.

AntiphospholipidsyndromeCharacterised by the occurrence of venous or arterial thrombosis or recurrent fetal loss in the presence of antiphospholipid antibodies.Antiphospholipid antibodies: anticardiolipin antibodies IgG or IgM present in moderate or high levels on 2 occasions at least 6 weeks apart and lupus anticoagulant detected on 2 occasions at least 6 weeks apart. These antibodies may also be positive in SLE.10% of patients with antiphospholipid syndrome are b-glycoprotein positive.[61]Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) test: false-positive result.

SystemicsclerosisRaynaud's phenomenon is present in almost all patients with systemic sclerosis, being the initial symptom in about 70% of patients. Patients with SLE often have Raynaud's phenomenon as well, but these tend not to ulcerate compared to patients with systemic sclerosis.Patients with systemic sclerosis have characteristic sclerodactyly and calcinosis, not present in SLE.Auto-antibodies: positive anti-centromere antibodies (limited cutaneous systemic sclerosis) or anti-topoisomerase 1 (Scl-70) antibodies (diffuse cutaneous systemic sclerosis).

Mixedconnectivetissuedisease(MCTD)MCTD is characterised by a combination of manifestations similar to those in SLE, systemic sclerosis, and myositis. Difficult to differentiate clinically.Auto-antibodies: positive anti-RNP antibodies are specific to MCTD.Patients with MCTD tend to lack other antibodies such as anti-Sm, anti-Ro, anti-La, and anti-dsDNA.

Adult Still's diseaseA variant of juvenile rheumatoid arthritis characterised by seronegative chronic polyarthritis in association with a systemic inflammatory illness, which manifests as symptoms similar to those of SLE.The fever in adult Still's disease usually occurs once or twice daily with marked temperature elevation and normal temperature in between.The rash is often only seen during febrile periods and is a salmon-coloured macular or maculopapular non-pruritic lesion.Elevated ferritin has been reported in most patients. Ferritin should therefore be checked in patients presenting with such symptoms and, if elevated, lead to a suspicion of adult Still's disease.Joint symptoms are similar to RA and joint erosions and fusion on x-ray may occur, unlike in SLE.

LymediseaseMay be difficult to distinguish clinically.History of possible erythema migrans or exposure to ticks.Lyme-specific IgM and IgG are positive.Although the presence of ANA is common, the presence of dsDNA and Smith antibodies are not.

HIVMay be difficult to distinguish clinically.History of exposure to risk factors for HIV.Serum HIV ELISA test is positive.Although the presence of ANA is common, the presence of dsDNA and Smith antibodies are not.

CMVMay be difficult to distinguish clinically.May be asymptomatic.CMV serology is positive for infection.Although the presence of ANA is common, the presence of dsDNA and Smith antibodies are not.

InfectiousmononucleosisMay be difficult to distinguish clinically.Positive agglutination test, for example, monospot.Although the presence of ANA is common, the presence of dsDNA and Smith antibodies are not.

Haematological malignancySLE may be difficult to distinguish clinically from haematological malignancy.Bone marrow, other histology or imaging tests may distinguish the diagnosis.Auto-antibodies will be negative.

GlomerulonephritisDifficult to differentiate clinically if no other symptoms or signs associated with SLE are present, for example, Raynaud's, rash.Antibodies for dsDNA may be positive if SLE is the cause.Renal biopsy may aid in diagnosis.

ChronicfatiguesyndromeNo other signs that are typically associated with SLE (e.g., Raynaud's, rash) will be present

Auto-antibodies will be negative.

Generalisedtonic-clonicseizuresMay be difficult to differentiate clinically as seizures can be a feature of SLE. However, no other signs that are typically associated with SLE (e.g., Raynaud's, rash) will be present.EEG will demonstrate epileptiform activity.Brain MRI may demonstrate a lesion.Auto-antibodies will be negative in epilepsy.

FibromyalgiaPoorly localised symmetrical musculoskeletal pain with no diurnal variation.Poorly responsive to analgesics/non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs).May co-exist with SLE.Positive typical tender points.Diagnosis is typically clinical.Auto-antibodies will be negative.

DepressionTypically no systemic manifestations (e.g., rash) unless co-exists with SLE.Diagnosis is typically clinical.Auto-antibodies will be negative.

PENATALAKSANAAN2

Prinsip Umum Dalam Penatalaksanaan SLEPenyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyebabnya.Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, maka penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktivitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.

Terapi Konservatif

Artritis, artralgia dan mialgia.Artiritis, artralgia dan mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat anti-inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita LES. Nyeri pada 1 atau 2 sendi yang menetap pada penderita LES yang tidak menunjukkan bukti tambahan peningkatan penyakitnya, harus dipertimbangkan adanya osteonekrosis, apalagi bila penderita mendapat terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

Lupus kutaneus.Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat.Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek imunosupresan antimalaria berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehingga mengganggu metabolisme rantai a dan HLA klas II. Selain itu antimalaria juga mengurangi pelepasan interleukin (IL)-1, IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)- oleh makrofag dan IL-2 dan interferon (IFN)- oleh sel T. Antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Harus diperhatikan efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik, seperti methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LE di kulit.

Fatigue dan keluhan sistemik.Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas LES dan pemberian glukokortikoid sistemik daoat dipertimbangkan.

Serositis.Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya. Terapi AgresifTerapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti artritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/hari. Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu.Toksisitas LES merupakan problem tersendiri dalam penatalaksanaan LES. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif sebelumnya sampai beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan kembali. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diindikasikan pada:1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang4. Glomerulonefritis difus awal5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat, sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktivitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektivitasnya lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan. Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah siklosporin A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin A, maka dosisnya harus diturunkan. Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah terapi hormonal, imunoglobulin dan afaresis (plasmafaresis, lekofaresis, dan kriofaresis). Salah satu terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol, suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia pada LES. Mekanisme kerjanya tidak diketahui secara pasti. Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada penderita defisiensi IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.

Penatalaksanaan Keadaan Khusus

Trombosis pada LESTrombosis seringkali merupakan manifestasi dari LES dan sering berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Dalam keadaan ini, antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai INR (International Normalization Ratio) 3-3,5. Hal ini terutama sangat penting pada trombosis arteri karotis interna. Trombosis arteri biasanya mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus, biasanya mempunyai respons yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.

Abortus berulang pada LESAbortus berulang pada penderita LES dapat diakibatkan oleh aktivitas LESnya atau adanya antibodi antifosfolipid. Untuk menekan aktivitas LES, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk yang aktif. Pada penderita dengan antibodi antifosfolipid yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, maka kemungkinan untuk mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi harus diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis tinggi dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I). Semua regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus NeonatalLupus neonatal merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita LES. Gejala yang paling sering adalah ruam kemerahan di kulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi anti-Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal. Itulah sebabnya setiap wanita penderita LES yang hamil harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

Trombositopenia pada LESPada penderita LES yang mengalami trombositopenia, harus dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenia yang lain, misalnya efek samping obat, purpura trombositopenik trombotik, infeksi virus (HIV, HBV, CMV) dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif). Berikan prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit 50.000/ml. Bila prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat dipertimbangkan pemberian danazol 400-800 mg/hari, imunoglobulin atau splenektomi. Pada penderita yang resisten terhadap semua modalitas atau pada penderita dengan keterlibatan organ mayor, dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

LES pada Susunan Saraf Pusat (SSP)Penderita LES pada susunan saraf pusat dapat dibagi 2, yaitu penderita dengan strok dan penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas. Pada penderita dengan strok, pemberian antikoagulan lebih banyak gunanya daripada imunosupresan, sedangkan pada penderita dengan kelainan SSP yang luas, apalagi bila disertai vaskulitis perifer, maka pengobatan dengan imunosupresan merupakan pilihan. Pada penderita LES yang mengalami kejang-kejang tanpa keterlibatan aktivitas pada organ lain, seringkali pemberian antikonvulsan tanpa imunosupresan cukup memadai. Demikian juga penderita psikotik tanpa manifestasi LES yang lain, seringkali cukup diberikan obat-obat psikoaktif. Kelainan kognitif yang ringan dapat juga diberikan prednison 30 mg/hari selama beberapa minggu, kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada sindrom otak organik yang berat, koma atau mielopati, diperlukan terapi yang agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Nefritis LupusPenatalaksanaan umum:1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontraindikasi, karena hal ini akan menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut.2. Kurangi asupan garam bila ada hipertensi, asupan lemak bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi ginjal mulai terganggu. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid.3. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema.4. Hindari penggunaan salisilat dan obat antiinflamasi non-steroid.5. Terapi agresif terhadap hipertensi.6. Hindari kehamilan, karena penderita nefritis lupus yang hamil akan berisiko tinggi untuk mengalami gagal ginjal.7. Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi LES di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria.8. Pemantauan berkala aktivitas penyakit dan fungsi ginjal yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin serum, albumin serum, protein urin 24 jam, koplemen C3 dan anti DNA.Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi spesifik untuk nefritis lupus sebagai berikut:1. Kelas I. Tidak diperlukan terapi spesifik.2. Kelas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak memerlukan terapi spesifik. Penderita kelas Iib dengan proteinuria >1 gram/hari, titer anti ds-DNA yang tinggi dan C3 yang rendah, harus diberikan prednison 20 mg/hari selama 6 minggu sampai 3 bulan, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap, tergantung aktivitas penyakit.3. Kelas III dan IV. Pada keadaan ini, risiko untuk terjadinya gagal ginjal dalam 10 tahun lebih dari 50%, sehingga harus diberikan terapi yang agresif. Berikan prednison 1 mg/kgBB/hari minimal selama 6 minggu tergantung respons kliniknya, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap dan dipertahankan pada dosis 10-15 mg/hari selama 2 tahun. Bila respons terhadap glukokortikoid tidak dapat dicapai, berikan siklofosfamid 500-1000 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila setelah dicapai perbaikan kemudian timbul perburukan lagi, dosis siklofosfamid bulanan dapat diulang kembali atau diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap bulan. Bla terjadi perburukan fungsi ginjal, dapat dipertimbangkan pemberian bolus metilprednisolon atau afaresis. Sebagai pengganti siklofosfamid, dapat juga diberikan azatioprin, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada siklofosfamid.4. Kelas V. Diberikan prednison 1 mg/kgBB/hari selama 6-12 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai mencapai 10 mg/hari dan dipertahankan sampai 1-2 tahun. Obat sitotoksik jarang diperlukan, kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi membranosa murni sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan dapat dipertimbangkan pemberian siklosporin A.5. Penderita dengan kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/dl untuk jangka panjang, tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi ekstrarenal, dapat diberikan prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg/hari. Restriksi protein dan garam juga harus diperhatikan, demikian juga tekanan darahnya.

PROGNOSISWalaupun pengobatan lupus saat ini telah memiliki angka kelangsungan hidup yang membaik secara dramatis, remisi-berkepanjangan dan lengkap didefinisikan sebagai 5 tahun tanpa bukti klinis dan laboratorium penyakit aktif dan tidak ada perawatan-tetap sulit dipahami untuk sebagian besar pasien. Insiden flare diperkirakan terjadi pada 0,65 pasien per-tahun pada pasien yang terfollowup. Selain itu, sejumlah besar pasien (10-20% di tersier rujukan pusat) tidak merespon secara memadai untuk terapi.imunosupresif.6

MONITORING6

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S. et al. 2012. Harrisons Manual Of Medicine Eighteenth Edition. New York : Mc Graw Hil. P. .2724 352. Sudoyo, Aru W. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Interna Publishing.. P. 1214 263. Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.4. Saraswati PDA, Soekrawati E. 2006. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya. P. 26-30.5. Garcia GA, Gonzales LL, Valera GIC,, et al. Serum leptin levels in women with systemic lupus erythematosus. Rheumatol Int 2002;22:P. 138-41.6. Bertsia Gs, Cervera R, Boumpa DT. 2012. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features.P. 476-5057. Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi keenam. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. P. 56-98. Siregar, RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi kedua. Jakarta : EGC. P. 112-59. Susan Manzi, MD, MPH. Lupus update: Perspective and clinical pearls. Cleveland Clinic Journal of Medicine (2009) 76(2):137- 42.10. 10.Anonym. 2012. Differential diagnosis of Systemic lupus erythematosus 11. http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/103/diagnosis/differential.html. diakses 2 April 2013. pukul 01.06.