lapkas kulitnew

23
Laporan Kasus VITILIGO SEGMENTAL Pembimbing : dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK Penyaji : Citra Aryanti Marianto Gembira Ira Hutahaean Yunita Manurung Novita Yudiana Pangaribuan DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

description

laporan kasus

Transcript of lapkas kulitnew

Laporan KasusVITILIGO SEGMENTAL

Pembimbing:dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK

Penyaji:Citra Aryanti

Marianto

Gembira Ira Hutahaean

Yunita Manurung

Novita Yudiana Pangaribuan

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2012KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Pada laporan kasus ini kami menyajikan kasus vitiligo pada seorang wanita, berusia 25 tahun. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK atas kesediaan beliau sebagai pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini. Besar harapan kami, melalui laporan kasus ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai vitiligo semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan kasus ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya kesehatan.

Medan, 20 Mei 2012

Penulis

VITILIGO SEGMENTALCitra Aryanti, Marianto, Gembira Ira Hutahaean,

Yunita Manurung, Novita Yudiana Pangaribuan

AbstrakVitiligo adalah suatu kelainan depigmentasi yang disebabkan gangguan fungsi maupun jumlah dari melanosit dengan manifestasi ruam makula hipopigmentasi berbatas tegas yang bervariasi ukurannya. Angka kejadian vitiligo terus bertambah walaupun belum diketahui penyebab pasti penyakit ini. Pada laporan kasus ini disajikan seorang wanita berusia 25 tahun dengan diagnosis vitiligo segmental. Pada kasus ini ditunjukkan suatu kesesuaian antara epidemiologi dan hipotesis stres penyebab vitiligo.Kata kunci: vitiligo, segmental, hipopigmentasiAbstract

Vitiligo is a depigmentation disorder caused by melanocyte disorder which manifestated by dermarcated hypopigmented macule varies in size. Nowadays, there was reported increasing cases of vitiligo while the exact pathogenesis of vitiligo is still unknown. This case report presented a 25-year-old woman with a segmental vitiligo matching the epidemiology and stress hypothesis of vitiligo.Keywords: vitiligo, segmental, hypopigmented

PENDAHULUANVitiligo berasal dari kata bahasa yaitu vitium atau vitellum yang artinya cacat. Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat akibat gangguan fungsi dan/atau hilangnya melanosit yang ditandai dengan adanya makula putih yang dapat meluas. Penyakit ini dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, seperti rambut dan mata.1 Walaupun ekspektasi hidup pasien tidak terpengaruhi, vitiligo, dengan menyebabkan kecacatan secara estetika memiliki dampak besar pada kepribadian penderita. Penderita dapat merasa stress dan malu pada saat berinteraksi secara sosial serta merasa kurang rasa percaya diri terutama jika vitiligo terjadi pada daerah yang terlihat di tubuh pasien.2 Bahkan, anggapan yang salah, mitos, dan miripnya penyakit ini dengan penyakit lepra pada ras tertentu, dapat membuat penderita dikucilkan secara sosial.3

Insidensi penyakit ini di secara global bervariasi antara 0,1-8,8%.1,4 Sekitar sebagian penderita mengalami vitiligo pada usia 10-30 tahun dan sekitar 70-80% menderita vitiligo sebelum usia 30 tahun.4,5,6,7 Hampir setengah dari pasien vitiligo mempunyai riwayat keluarga yang menderita vitiligo dimana dilaporkan bahwa risiko saudara kandung pasien vitiligo untuk mengalamai hal yang sama adalah 7 hingga 10 kali lipat dibandingkan orang normal.7,8Berdasarkan letaknya, vitiligo dapat terbagi menjadi dua, lokalisata dan generalisata. Masing-masing dari pembagian ini dapat dibagi lagi:1,7LokalisataFokalsatu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak segmental

Segmentalsatu atau lebih makula pada satu area, dengan distribusi menurut dermatom, misalnya tungkai

Mukosalhanya terdapat pada membran mukosa

Generalisata Akrofasialdepigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka, merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata

Vulgarismakula tanpa pola tertentu di banyak tempat

Campurandepigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total

UniversalMakula depigmentasi dan plak hampir di seluruh tubuh, sering berhubungan dengan sindroma endokrinopati

Vitiligo merupakan penyakit multifaktorial dengan patogenesis yang kompleks dan belum diketahui secara pasti. Namun, diduga berkaitan dengan faktor genetik dan non-genetik.1 Prinsip yang sampai sekarang disepakati adalah bahwa pada vitiligo terjadi kehilangan melanosit fungsional di kulit yang disebabkan proses kehancuran melanosit tersebut. Terdapat beberapa teori tentang penghancuran melanosit antara lain:1,81. Mekanisme Autoimun

Pada mekanisme autoimun terjadi perubahan dalam kekebalan humoral dan selular dalam proses kehancuran melanosit vitiligo. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan vitiligo, yaitu gangguan tiroid, khususnya tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves; kelainan endokrin, seperti Addison disease dan diabetes mellitus, dan alopesia areata, anemia pernisiosa, penyakit radang usus, dan psoriasis. Bukti untuk meyakinkan patogenesis autoimun ini adalah adanya antibodi pada pasien vitiligo pada sirkulasi pasien. Penghancuran melanosit juga dapat langsung terjadi melalui mediasi CD8+ sel T yang tampak pada perilesi kulit vitiligo. Melanosit sel T spesifik juga didapati pada pemeriksaan darah perifer.

2. Kerusakan melanosit secara intrinsik

Pada kerusakan intrinsik ini terjadi kematian melanosit karena adanya keadaan abnormal pada retikulum endoplasma dari melanosit dan terjadinya gangguan dalam memproduksi melanosit sendiri. Pada vitiligo juga terjadi percepatan apoptosis dari melanosit sehingga terjadi kehilangan melanosit.

3. Mekanisme reaksi oksidan-antioksidan

Stres oksidan juga memainkan peran penting dalam patogenesis vitiligo, dimana akumulasi dari radikal bebas dapat menyebabkan kehancuran melanosit. Penelitian baru-baru ini mengevaluasi peran stress oksidatif dalam terjadinya kerusakan melanosit dengan mengukur enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD) dan catalase (CAT) pada kulit dengan vitiligo dan normal. Hasilnya membuktikan bahwa pada pasien vitiligo terjadi peningkatan SOD dan rendahnya CAT. Sehingga pada vitiligo terbukti terdapat peranan stress oksidatif.

4. Mekanisme neurohormonal

Melanosit terbentuk dari neural crest, diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekolamin. Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respon transmitter saraf, misalnya asetilkolin.

5. Faktor genetik

Pewarisan vitiligo mungkin melibatkan gen yang terkait dengan biosintesis melanin, respon terhadap stress oksidatif dan regulasi autoimunitas. HLA diketahui juga berperan dalam faktor genetik, seperti HLA-DR4 pada ras kulit hitam, HLA-B13 yang berhubungan dengan antibodi antitiroid pada Maroko Yahudi, dan HLA-B35 pada Yahudi.Selain kerusakan melanosit, terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat memicu vitiligo seperti gangguan nutrisi dan gangguan traktus digestivus, infeksi berulang, penggunaan obat-obat tertentu seperti NSAID, alergi, stress emosional, polusi, dan endokrin. Faktor-faktor pencetus ini diduga dapat mengganggu keseimbangan imunologis sehingga menyebabkan terjadinya reaksi autoimun pada melanosit.9Diagnosis vitiligo dapat ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pasien dengan vitiligo biasanya datang dengan gejala makula hipopigmentasi, berbentuk bulat, lonjong, atau garis, berbatas tegas, dan dapat tersusun secara simetris atau asimetris.7,8 Lesi akan membesar secara sentrifugal pada kecepatan yang tidak diketahui dan dapat muncul pada berbagai daerah. Pemeriksaan dengan lampu Woods akan tampak ruam yang putih berkilau. Ruam awal paling sering muncul pada tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah. Letak vitiligo paling sering adalah wajah, leher, dan kulit kepala. Sebagian besar bagian yang terkena trauma berulang seperti tangan bagian dorsal, pergelangan ventral, jari kaki, dan bagian ekstensor lengan bawah, dapat timbul vitiligo.7 Pada vitiligo generalisata, dapat ditanyakan mengenai riwayat penyakit autoimun. Pemeriksaan laboratorium dan histopatologi dapat dilakukan untuk menetapkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.10,11Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan proses depigmentasi dengan membentuk cadangan baru melanosit yang diharapkan akan tumbuh dalam kulit dan menghasilkan pigmen melanin.6,7 Dianjurkan menghindari aktivitas di luar rumah pada tengah hari dan menggunakan tabir surya pada daerah yang terpapar sinar matahari. Selain itu dapat juga dengan kamuflase kosmetikdengan tujuan menyamarkan bercak putih sehingga tidakterlalu kelihatan.6,12Secara umum, vitiligo dapat ditatalaksana dengan fotokemoterapi dengan PUVA dan UVB, vitamin D, kortikoteroid topikal maupun sistemik, imunomodulator topikal, l-fenilalanin, dan monometil eter hidrokuinon 20%. Secara spesifik, repigmentasi pada usia dibawah 12 tahun dapat dilakukan dengan kortikosteroid topikal potensi rendah, PUVA topikal diberikan pada vitiligo tipe lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh, dan takrolimus topikal. Pada usia diatas 12 tahun, dapat diberikan PUVA sistemik.12 Terapi bedah dilakukan pada pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil. Tindakan bedah yang dilakukan dapat berupa Autologous skin graft atau suction blister.13Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara kosmetik hasilnya kurang memuaskan.6Beberapa hal yang menunjukkan buruknya prognosis adalah jenis vitiligo, onset dari vitiligo, adanya leukotrikia atau lesi pada mukosa atau mukokutan yang menunjukkan bahwa 60% vitiligo yang diderita adalah vitiligo yang progresif.14

Laporan KasusSeorang wanita, berusia 25 tahun, suku Batak, sudah menikah, pekerjaan wiraswasta, datang berobat ke poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Sub Bagian Kosmetologi RSUP H. Adam Malik Medan, pada tanggal 12 Mei 2012, dengan keluhan timbul bercak putih di daerah kaki. Keluhan ini telah dialami sejak umur 20 tahun, dimana didahului dengan timbulnya bintik kecil berwarna putih di mata kaki bagian luar yang semakin lama semakin melebar. Pada usia 22 tahun, pasien berobat ke bidan dan diberikan obat suntikan, tetapi tidak ada perubahan bahkan bercak semakin melebar. Satu bulan yang lalu, pasien mencoba melakukan pengobatan sendiri dengan kunyit, belerang, bawang putih, namun tidak ada perubahan dan bercak semakin melebar. Menurut pasien, bercak ini akan semakin melebar ketika ia mengalami tekanan pikiran dan susah tidur. Bercak ini tidak berhubungan dengan perubahan cuaca, makanan, maupun obat-obatan. Tidak terdapat riwayat trauma, riwayat luka bakar, riwayat penyakit keluarga, maupun riwayat penyakit terdahulu.Pada pemeriksaan status generalisata dijumpai keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, status gizi baik, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 82 x/menit, pernafasan 18 x/menit, dan suhu badan afebris. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai ruam makula hipopigmentasi, multipel, ukuran lentikular sampai geografis tidak teratur, bergerombol, konfluens, sirkumskripta dengan beberapa daerah repigmentasi perifolikular di regio cruris lateralis sinistra, regio cruris posterior, dan regio dorsum pedis.

Penderita didiagnosis banding vitiligo, pityriasis alba, pityriasis versikolor, nevus depigmentosus, dan morbus hansen dengan diagnosa sementara vitiligo. Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis, diagnosis kerja menjadi vitiligo segmental. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi topikal berupa krim betametason-17-valerat 0,1% dioleskan di daerah bercak putih 2 kali sehari. Pasien dianjurkan kontrol 2 minggu dari kunjungan awal. Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad sanantionam dubia.

Diskusi

Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat akibat gangguan fungsi dan/atau hilangnya melanosit yang ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi yang dapat meluas. Insidensi penyakit ini di secara global bervariasi antara 0,1-8,8% dan ditemukan terus meningkat. Pasien terkadang tidak mencari pengobatan sampai ruam meluas meliputi sebagian besar tubuhnya.1,4Berdasaran anamnesis diketahui seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan timbul bercak putih di daerah kaki yang diawali dengan suatu bintik putih di mata kaki yang melebar dalam 5 tahun terakhir. Berbagai penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan faktor risiko menderita vitiligo antar laki-laki maupun perempuan walaupun ada beberapa yang menyatakan bahwa wanita lebih banyak terserang vitiligo karena faktor penggunaan kosmetikdan estrogen yang dapat diubah oleh radikal bebas menjadi ortokuinon. Pada kepustakaan Fitzpatrick, disebutkan bahwa 50% penderita vitiligo di dunia memiliki onset pertama pada usia 10-30 tahun di mana hal ini sesuai dengan pasien pada kasus ini dengan onset pertama pada usia 20 tahun.7 Penelitian epidemiologi vitiligo di Asia, kecuali di India, masih terbatas dan penelitian di Indonesia belum ada. Di RRC, mayoritas usia onset vitiligo adalah usia 10-46 tahun.15Pada penelitian Singh, et al. (2011) di India, usia 10-20 tahun adalah onset tertinggi dengan 40% dibanding kelompok usia di bawah 10 tahun dan di atas 60 tahun yang sangat jarang dengan hanya 5,5%. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa mayoritas yaitu 44% pasien vitiligo memiliki onset makula hipopigmentasi kecil di tungkai bawah.16 Pada penelitian vitiligo di Korea, secara spesifik ditemukan bahwa 62% pasien vitiligo segmental memiliki onset usia 10-20 tahun. Peneliti menyebutkan bahwa dibanding vitiligo jenis lain, vitiligo segmental biasanya memiliki onset yang lebih dini, progresif, dan tidak berhubungan dengan autoimun.17 Pada penelitian Ping, et al. (2007) di Singapura, ditemukan 79% onset vitiligo berkisar pada usia 11-60 tahun dengan konsentrasi pada usia 11-20 tahun dengan 61,7% pasien beretnis Tionghoa, 17% etnis India, 9,6% etnis Melayu, dan sisanya etnis lain. Durasi perluasan lesi vitiligo sampai stabil dan/atau pasien datang berobat tidak dapat ditentukan secara pasti.18 Pada penelitian Kumar (2009) dan Singh (2011), didapatkan mayoritas pasien vitiligo akan datang berobat akibat lesi yang semakin meluas setelah 5 tahun. Hal ini juga menjadi penentu Vitiligo Active Disease Score (VADS) yaitu suatu skoring yang dinilai secara subjektif oleh pasien mengenai lamanya perluasan lesi. VADS bernilai +4 bila ruam meluas dengan aktif < 6 minggu, +3 bila 6-3 bulan, +2 bila 3-6 bulan, +1 bila 6-12 bulan, +1 bila > 1 tahun, 0 bila stabil selama 1 tahun atau lebih, dan -1 bila ruam stabil 1 tahun atau lebih dan ada repigmentasi. Makin tinggi nilai VADS, prognosis terapi vitiligo akan semakin buruk.19Patogenesis dan patofisiologi vitiligo belum diketahui secara pasti dan banyak hipotesis yang sudah dipublikasikan maupun diteliti.20 Pasien pada kasus ini mengatakan bahwa ia merasa bercak putih yang ia alami akan meluas bila ia sedang tertekan. Stres memainkan peranan penting dalam patogenesis vitiligo. Stres dapat merangsang berbagai jalur hipotesis secara primer. Saat stres, saraf simpatis akan aktif dan sistem hormonal akan melepaskan epinefrin, norepinefrin, dan enkefalin sebagai suatu mekanisme adaptasi. Shelley et al. menunjukkan bahwa injeksi epinefrin pada folikel rambut tikus mendestruksi melanosit dalam waktu 10 hari sehingga yang timbul adalah rambut berwarna abu-abu sampai putih. Menurut peneliti, vasokonstriksi kuat epinefrin menyebabkan destruksi melanosit.21 Selain itu, deposit dopa menjadi lebih banyak dikatalis ke epinefrin sehingga tinggal sedikit yang dapat membentuk dopakrom dan sisteinil dopa. Epinefrin melalui peningkatan MAO dapat merangsang berbagai radikal bebas seperti H2O2 dengan efek destruksi pada komponen sel seperti mitokondria dan retikulum endoplasma termasuk pada melanosit.22 Pasien pada kasus ini menggunakan kunyit yang mengandung polifenol yang tinggi di mana fenol bersama-sama dengan radikal bebas dan COMT akan menjadi kuinon reaktif yang mengikat tempat katalitik enzim tirosinase secara kovalen sehingga terbentuk neoantigen, suatu ortokuinon yang bersifat toksik terhadap melanosit.23Pada kasus vitiligo segmental, penyebab biasanya tidak berhubungan dengan proses autoimun, namun, destruksi pada melanosit dapat menyisakan antigen yang merangsang proses autoimun sehingga dapat terjadi suatu lingkaran setan destruksi melanosit. Hasil destruksi melanosit dapat menjadi proses autoimun sekunder mengikuti perjalanan penyakit vitiligo.24 Baik sistem imun humoral maupun selular dapat terlibat. Sistem imun humoral akan merangsang terbentuknya berbagai antibodi seperti anti-TRP-2 IgG, Sil-2R, vitiligo antibodies (V-Ig).25 Di sisi lain, sistem imun selular akan merangsang terbentuknya sel T CD8+ Melan/Mart1 (suatu antigen melanosomal). Sekumpulan reaksi imun akan terjadi diikuti infiltrasi berbagai sitokin proinflamasi seperti IL-12, IL-17, TNF- yang akan turut mendestruksi melanosit.26 Destruksi melanosit akan menyebabkan timbulnya suatu daerah hipopigmentasi yang semakin lama semakin meluas.

Gambar 1. Patofisiologi Kematian Melanosit26Diagnosis vitiligo ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat klinis. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Dari pemeriksaan dermatologis dijumpai ruam makula hipopigmentasi, multipel, ukuran lentikular sampai geografis tidak teratur, bergerombol, konfluens, sirkumskripta dengan beberapa daerah repigmentasi perifolikular di regio cruris lateralis sinistra, regio cruris posterior, dan regio dorsum pedis. Hal ini sesuai dengan kepustakaan pada vitiligo ditemui makula hipopigmentasi (bercak berwarna kapur putih) dengan ukuran bervariasi, berbatas tegas.7 Di dalam makula vitiligo, dapat ditemukan makula dengan pigmentasi normal atau repigmentasi folikular.1 Vitiligo jarang timbul sejak lahir walaupun ada beberapa kasus yang menyebabkan kesalahan diagnosis menjadi piebaldisme. Pasien didiagnosis banding dengan pityriasis alba, pityriasis versikolor, nevus depigmentosus, dan morbus hansen. Pityriasis alba adalah suatu dermatitis kronik dengan ruam berupa makula hipopigmentasi. Biasanya, makula pada pityriasis alba kecil (1,5-2 cm) dan banyak namun bila bergerombol dapat tampak seperti vitiligo. Diagnosis pityriasis alba dapat disingkirkan karena pada kasus ini ruam tidak bersisik, tidak kambuh-kambuhan, dan berbatas tegas. Pada pityriasis versikolor, ruam biasanya bersisik dan gatal. Nevus depigmentosus dapat dibedakan dari vitiligo di mana pada nevus depigmentosus makula biasanya stabil, tidak melebar secara geografis, dan mayoritas bersifat kongenital. Bercak putih yang hipestesia/anestesia dapat menjai tanda suatu morbus hansen. Namun, pada kasus ini tidak dijumpai adanya keluhan subjektif. Berdasarkan penjabaran di atas, diagnosis kerja vitiligo dapat ditegakkan dengan klasifikasi vitiligo segmental karena distribusi makula hipopigmentasi terdapat sepanjang dermatom.Penatalaksanaan pada kasus ini berupa pemberian krim betametason-17-valerat 0,1% dioleskan di daerah bercak putih 2 kali sehari. Pengobatan dilakukan selama 2 bulan dan setelah itu dinilai apakah pengobatan berhasil atau tidak. Sesuai dengan kepustakaan, penatalaksanaan vitiligo segmental lini pertama adalah kortikosteroid topikal potensi sedang-berat untuk makula hipopigmentasi < 20% permukaan tubuh. Kortikosteroid topikal akan menyebabkan repigmentasi dengan efek imunosupresi terhadap proses inflamasi. Pada meta analisis oleh Njoo, et al ditemukan bahwa terapi dengan kortikosteroid topikal kelas 3 akan menyebabkan repigmentasi dengan odds ratio 14,32 (95% CI: 2,45-83,72) dibandingkan plasebo. Pada penelitian Kandil, hanya 2 orang dari 15 orang yang tidak berhasil menunjukkan repigmentasi setelah 2 bulan terapi krim betametason-17-valerat 0,1%.27 Sendur menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal sama efeknya dengan immunomodulator topikal seperti takrolimus. Akan tetapi, belakangan takrolimus disinyalir cepat menimbulkan kanker sehingga kortikosteroid topikal lebih superior sebagai lini pertama penatalaksanaan vitiligo segmental.27 Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Vitiligo7Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad sanantionam dubia. Pasien ini menderita vitiligo tipe segmental dan tidak dijumpai adanya lesi pada membran mukosa atau mukokutan yang menunjukkan bahwa perkembangan vitiligo sebagian besar akan berhenti.9 Namun, beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa vitiligo dapat bersifat tidak terduga7 dan respon terapi bervariasi antara individu menyebabkan hasil terapi sulit diprediksi.28

KESIMPULAN

Pada laporan kasus ini, diagnosis vitiligo segmental ditegakkan dengan adanya ruam hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran yang bervariasi yang terdistribusi pada dermatom. Penyebab vitiligo segmental pada kasus ini adalah stres psikis yang berkaitan dengan berbagai hipotesis vitiligo yang telah dikemukakan sebelumnya. Lini pertama pengobatan dicoba dengan kortikosteroid topikal selama 2 minggu.

DAFTAR PUSTAKA1. Soepardiman L. 2007. Vitiligo. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. p. 296-298.2. Singh S, Usha, Pandey S. Epidemiological profile of vitiligo in Northern India. Journal of Applied Pharmaceutical Science 2011; 1(10): 211-214.3. Koronne RV, Sachdevo KG. Vitiligo. Int J Dermatol 1998;27:676-681.4. Sehgal VN, Srivastava G. Vitiligo: Compendium of Clinico-Epidemiological Features. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2007; 73:149-156.5. Boisseau-Garsaud AM, Garsaud P, Cales-Quist D, Helenon R, Queneherve C, and Claire RCS. Epidemiology of Vitiligo in The French West Indies (Isle of Martinique). International Journal of Dermatology 2010; 39:18-20. 6. Taieb A, Picardo M. Vitiligo. N Engl J Med 2009; 360: 160-169.7. Halder RM, Taliaferro SJ. Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, et al. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th edition. New York: McGrawHill; 2008. p. 616-622.8. Groysman V, Sami N, Lebwohl MG, Butler DF, Chan EF, Quirk CM. 2011. Vitiligo. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1068962. [Accessed 19 May 2012].9. Behl PN, Agarwal A, Srivastava G. Etiopathogenesis of Vitiligo: Are we dealing with an environment disorder?. Indian J Dermatol Veneriol Leprol 1999; 65:161-167.10. Sukanto H, Barakbah J, Sawitri. Vitiligo. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Dokter Soetomo; 2005. p. 112-113.11. Gupta LK, Singhi MK. Woods Lamp. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2004; 70: 131-135.12. Lotti T, Gori A, Zanieri F, Colucci R, and Moretti S. 2008. Vitiligo: New and Emerging Treatments. Dermatol Ther 2008; 21(2): 110-117.

13. Al-Mutairi N, and Nour-Eldin O. Vitiligo Treatment Update Review Article. Gulf Journal of Dermatology 2003; 10(2):1-13.14. Dave S, Thappa DM, Dsouza M. Clinical Predicotrs of Outcome in Vitiligo. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2002; 68:323-325.15. Mchepange UO, Gao XH, Liu YY, Liu YB, Ma L, Zhang L, et al. Vitiligo in North-Eastern China: An Association between Mucosal and Acrofacial Lesions. Acta Derm Venereol 2010; 90(2):136-140.16. Singh S, Usha, and Pandey SS. Epidemiological Profile of Vitiligo in Northern India. Journal of Applied Pharmaceutical Science 2011; 1(10):211-214.17. Park JH, Lee DY. Segmental Vitiligo. Available from: http://cdn.intechopen.com/pdfs/24973/InTech-Segmental_vitiligo.pdf. [Accessed May 19 2012].18. Ping TW, Kee GB, Ian TS, Kumarasinghe P. Clinical Profile Of Vitiligo In Singapore: An Analysis Over A 6-month Period. Dermatology Bulletin 2007; 18(2): 19-22.19. Kawakami T, Hashimoto T. Disease Severity Indexes and Treatment Evaluation Criteria in Vitiligo. Dermatology Research and Practice 2011:1-3.20. Schallreuter KU, Bahadoran P, Picardo M, Slominski A, Elassiuty YE, Kemp EH, et al. Vitiligo pathogenesis: autoimmune disease, genetic defect, excessive reactive oxygen species, calcium imbalance, or what else? Exp Dermatol 2008; 17(2): 139-140.21. Shelly WB, Ohman S. Epinephrine Induction of White Hair in Aci Rats. Journal of Inverstigative Dermatology 1969; 53(2): 155-158.22. Dellanna ML, Picardo M. A Review and A New Hypothesis for Non-Immunological Pathogenetic Mechanisms in Vitiligo. Pigment Cell Res 2006; 19(5):406-411.23. Namazi MR, Chee Leok G. Vitiligo and Diet: A Theoretical Molecular Approach with Practical Implications. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;75:116-118.24. Rezaei N, Gavalas NG, Weetman AP, Kemp EH. Autoimmunity as An Aetiological Factor in Vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol 2007; 21(7):865-876.25. Okamoto T, Irie RF, Fujii S, Huang SK, Nizze AJ, Morton DL, et al. Anti-tyrosinase-related protein-2 Immune Response in Vitiligo and Melanoma Patients Receiving Active-Specific Immunotherapy. J Invest Dermatol 1998; 1034.26. Al-Bayati MA. Analysis of Causes That Led to The Development of Vitiligo in Jeanetts Case With Recommendations for Clincial Test and Treatments. Medical Veritas 2007:4: 1251-1262.27. Kandil E. Treatment of Vitiligo with 0.1% Betamethasone 17-valerate in Isopropyl Alcohol-A Double-Blind Trial. British Journal of Dermatology 1974; 91: 457-460.28. Parsad D. Natural History and Prognosis. In: Picardo M, Taieb A. Vitiligo. Berlin: Springer; 2010. p. 140-141.Pasien saat pertama kali datang sebelum pengobatan

Ditemukan adanya makula hipopigmentasi multipel, ukuran lentikular sampai geografis tidak teratur, bergerombol, konfluens, sirkumskripta di regio cruris lateralis sinistra, regio cruris posterior, dan regio dorsum pedis.