Lapkas Ego Dwi Prof Harris. Revisi Doc

63
STEMI INFERIOR Pembimbing : Prof. Dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP Penyaji : Eric Gradiyanto Ongko (100100048) Dwi Meutia Indriati (100100062) DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2014

description

lapkas

Transcript of Lapkas Ego Dwi Prof Harris. Revisi Doc

STEMI INFERIOR Pembimbing : Prof. Dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JPPenyaji : Eric Gradiyanto Ongko (100100048) Dwi Meutia Indriati (100100062)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2014

KATA PENGANTARPuji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul STEMI Inferior onset 15 jam kilip II TIMI Risk 4/16Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, Prof. Dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 11 Juli 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar1

Daftar Isi2

BAB 1 Pendahuluan3

1.1 Latar Belakang3

1.2 Rumusan Masalah41.3 Tujuan Penulisan4

1.4 Manfaat Penulisan4

BAB 2 Pembahasan5 2.1 Definisi52.2 Epidemiologi52.3 Etilogi52.4 Patogenesis Plak Ateroklerosis.........................................................62.5 Manifestasi Klinis.............................................................................82.6 Diagnosa9

2.6.1 Anamnesa.10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik.11

2.6.3 Elektrokardiografi.11

2.6.4 Biomarker jantung.12

2.6.5 Angiografi koroner.132.7 Penatalaksanaan132.8 Prognosis..........................................................................................18BAB 3 Laporan Kasus20BAB 4 Penutup414.1 Kesimpulan41Daftar Pustaka43BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling umum di dunia. Penyakit ini menyumbang hampir 40% kematian di negara maju dan 28% di negara berkembang (Gazian,2001). Di Amerika Serikat, sekitar 650.000 pasien muncul dengan kasus IMA baru dan 450.000 pasien mengalami IMA berulang setiap tahunnya. Tingkat kematian yang disebabkan oleh kasus IMA adalah sebesar 30%, dimana lebih dari setengah kematian tersebut terjadi sebelum pasien mendapatkan penanganan di rumah sakit (Antman, 2004).Pembuluh darah koroner merupakan pembuluh darah yang mengantarkan oksigen dan nutrisi untuk otot jantung agar dapat berfungsi dengan baik. Infark miokard, yang umumnya dikenal sebagai serangan jantung, merupakan nekrosis ireversibel dari otot jantung yang terjadi akibat iskemik yang berkepanjangan. Selanjutnya terjadi ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan jaringan, hal ini diakibatkan ruptur plak dan pembentukan trombus yang menyebabkan berkurangnya suplai darah ke otot jantung (Fuster et al, 2011).Di negara berkembang seperti Indonesia, kasus infark miokard akut semakin banyak. Kematian yang disebabkan infark miokardium sering dialami di Negara maju, keadaan yang sama juga dialami di Indonesia khususnya diperkotaan dimana pola penyakit infark miokardium sudah sama dengan negara-negara maju (Kementerian Kesehatan Indonesia, 2011).Pada tahun 2011, sekitar 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa dengan penyakit jantung koroner. Saat ini, terjadi peningkatan prevalensi kejadian STEMI dari 25% ke 40% dari presentasi infark miokard (Kementerian Kesehatan Indonesia, 2011).Mortalitas STEMI dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya: umur, kelas Killip, waktu pengobatan, modus pengobatan, riwayat infark miokard sebelumnya, diabetes mellitus, gagal ginjal, jumlah arteri koroner yang rusak, ejection fraction, dan pengobatan (Fuster et al, 2011)Beberapa penelitian baru-baru ini telah membuktikan telah terjadi penurunan mortalitas pada pasien STEMI, seiring dengan penggunaan yang lebih besar terapi reperfusi, intervensi koroner perkutan primer (PCI primer), dan terapi antithrombotic. Namun, kematian tetap substansial dengan sekitar 12% dari pasien meninggal dalam waktu 6 bulan.

1.2Rumusan Masalah

Bagaimana temuan STEMI pada pasien di Ruang Inap Cardiac Center RSUP H. Adam Malik Medan?1.3Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus STEMI.2. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan tindakan rehabilitasi pada pasien yang menderita penyakit STEMI.1.4Manfaat Penulisan

Beberapa manfaat yang didapatdari penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk mengetahui gejala klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan rehabilitasi penderita STEMI.

2. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis mengenai STEMI.3. Untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai STEMIBAB 2

PEMBAHASAN2.1. Definisi

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer (PERKI, 2014).

Menurut Gabriel et al infark miokard adalah kenaikan atau penurunan dari enzim jantung (terutama troponin) yang diikuti salah satu diantara :

1. Gejala iskemia

2. Adanya perubahan ST-T ataupun kejadian LBBB yang baru

3. Timbulnya gelombang Q patologis pada EKG

4. Ditemukannya trombus intrakoroner pada pemeriksaan angiografi

ataupun autopsi2.2. Epidemiologi

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu penyebab kematian tertinggi didunia. Lebih dari tujuh juta orang meninggal akibat PJK setiap tahunnya, dihitung dari 12,8% total kematian (WHO, 2011). Insiden infark miokard akut dengan ST-elevasi (STEMI) berbeda di setiap negara. Angka STEMI tertinggi terjadi pada negara Swedia dengan insidensi 66 STEMI/100000/tahun (Widimsky et. al, 2010).

Menurut data dari Depkes tahun 2013, penderita PJK di Indonesia diperkirakan berjumlah 478000 dengan 40% diantaranya adalah STEMI.2.3. Etiologi

Kerusakan miokard yang disebabkan oklusi arteri koroner bergantung pada beberapa faktor. Antaranya adalah bagian yang disuplai oleh pembuluh darah yang rusak, apakah oklusinya total atau parsial, durasi oklusi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah koroner ke jaringan yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh miokard, dan apakah perfusi miokard pada daerah infark adekuat setelah pulih. STEMI umumnya disebabkan penurunan atau berhentinya aliran darah secara tiba-tiba karena oklusi trombus pada arteri koroner yang sudah mengalami arterosklerosis. Pada kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau fisur dari plak arterosklerosis, dimana trombus mural timbul pada tempat ruptur dan menyebabkan okulsi arteri koroner. Secara histologis, plak koroner yang lebih mudah ruptur adalah yang intinya kaya dengan lemak dan yang mempunyai fibrous cap yang tipis. Pada kasus yang jarang, STEMI dapat disebabkan okulsi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan penyakit inflamasi sistemik (Tyroler, 2000).2.4 Patogenesis plak aterosklerosis

Pada keadaan normal, aliran laminar membolehkan sel endotel mengekspresikan NO (nitric oxide) yaitu vasodilator endogen yang berperan dalam menghambat agregasi platelet dan sebagai anti-inflamasi. NO juga berperan dalam menekan produksi antioxidant enzyme superoxide dismutase, yang memproteksi dari reactive oxygen species yang diproduksi karena iritan kimia atau iskemia transien. Apabila terdapat stress fisikal dan lingkungan kimia toksik seperti merokok, dislipidemia dan diabetes, hal ini akan mengganggu aliran arterial yang menyebabkan disfungsi endotel. Dimana sel endotel akan meningkatkan produksi reactive oxygen species yang mempengaruhi fungsi metabolik dan sintesis dari sel endotel, sehingga sel tersebut berperan dalam proses proinflamasi. Ini menyebabkan (1) rusaknya person endotel sebagai permeability barrier, (2) melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif (prostasiklin, NO), dan (5) mengganggu antitrombus (Rhee et al, 2011)Disfungsi endothelium menyebabkan endotel lebih permeabel sehingga low density lipoprotein(LDL) dapat masuk ke intima. Di dalam tunika intima, LDL ini berakumulasi di ruang subendotelial dengan berikatan dengan matriks ekstraselular yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh reactive oxygen species (ROS) danpro enzyme yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga membentuk mLDL (modified LDL). mLDL ini akan merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T) melalui dua cara yaitu (1) ekspresi LAM (leukocyte adhesion molecule) pada permukaan endotel non adhesi, (2) sinyal kemoatraktan (MCP-1, IL-8) (Diego et al, 2002)Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan memfagosit mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastis lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel busa juga melepaskan sitokin (IL-1, TNF-), dan faktor pertumbuhan (fibroblast growth factor, TGF-) yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluer ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui TGF- dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu lymphocyte-T derived cytokine IFN- menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degradasi ini terus berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain itu, deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis ia akan cenderung ruptur dari plak (Fuste et al, 2011).

Menurut American Heart Association, tipe plak diklasifikasikan dengan tampilan klinis dan histologi.

a. Tipe I (lesi awal)

Terdiri dari makrofag dan sel busa, berlaku pada dekade pertama dan asimptomatik

b. Tipe II (fatty streak)

Terdiri dari akumulasi lipid, berlaku pada dekade pertama, dan asimptomatik

c. Tipe III (lesi intermediate)

Sedikit berbeda dari tipe II. Terdiri dari kumpulan lipid ekstraseluler, berlaku pada dekade tiga dan asimptomatik

d. Tipe IV (atheroma)

Intinya terdiri dari lipid ekstraseluler dan berlaku pada dekade ketiga. Pada awalnya asimptomatik dan menjadi simptomatik.

e. Tipe V (fibroatheroma)

Berinti lipid dan terdapat lapisan fibrosis, atau beinti lipid multiple dan lapisan fibrosis atau terdiri dari kalsifikasi terutama atau fibrosis.Terdapat pertumbuhan otot polos dan kolagen. Biasanya berlaku pada dekade keempat dan bisa simptomatik atau asimptomatik

f. Tipe VI (complicate lesion)

Adanya defek permukaan,hematoma-hemorrhage, dan trombus. Biasanya berlaku pada dekade keempat dan bisa simptomatik atau asimptomatik (Diego et al, 2002).2.5. Manifestasi klinis

A. Nyeri Dada

Mayoritas pasien (80%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyeri pada infark lebih panjang yaitu minimal 20 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Meskipun IMA memiliki ciri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan neuropati (Van de werf et al, 2008).B. Sesak Nafas

Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang mendadak, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna (Van de werf et al, 2008).C. Gejala Gastrointestinal

Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan (Van de werf et al, 2008)..D. Gejala Lain Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstremitas)2.6. Diagnosa

Diagnosa kerja dapat ditegakan dengan ditemukannya riwayat nyeri dada yang bertahan lebih dari 20 menit, penyebaran nyeri ke leher, rahang ataupun lengan kiri, tidak respon terhadap nitrogliserin, riwat PJK sebelumnya. Pada beberapa kasus hanya ditemukan gejala seperti mual, muntah, sesak nafas, berdebar bahkan pingsan. Diperkirakan 30% dari kasus menunjukkan gejala yang atipikal (Brieger, 2004).

Keberhasilan penanganan STEMI bergantung pada waktu. Pemeriksaan EKG harus segera dilakukan pada semua pasien suspek STEMI untuk mendeteksi keadaan aritmia yang mengancam nyawa (Diercks et.al, 2006)

Menurut Diercks et. al tahun 2006 terdapat beberapa pemeriksaan untuk awal diagnosa, yaitu :

1. EKG

2. Serum biomarker

3. Sadapan posterior (V7-V9)

4. Ekokardiografi2.6.1. Anamnesa

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dada berasal jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada dari jantung perlu dibedakan apakah nyeri berasal dari koroner atau bukan, apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Van de werf et al, 2008).

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi hampir sepanjang hari atau malam, variasi sirkardian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur (Thygesen, 2007).

Pada hampir stengah kasus, terdapat pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktifitas fisik berat, stress, emosi atau penyakit medis atau bedah (Thygesen, 2007).

Sifat nyeri dada angina antara lain seperti :

Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,dan dipelintir.

Penjalaran: biasanya lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/intrakapsular, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan

Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis banding STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. infark miokard akut dengan elevasi segmen ST tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes mellitus dan usia lanjut (Thygesen, 2007).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada subternal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktifitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) (Van de werf et al, 2008).

Tanda fisik lainnya pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI (Van de werf et al, 2008). 2.6.3. Elektrokardiogram

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sadapan prekondrial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat dalam menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidetifikasikan pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak stabil atau non STEMI (Van de werf et al, 2008).Tabel 1 Gambaran spesifik pada rekaman EKGLokasi Infark Miokard

AnatomiLead dengan EKG abnormalArteri koroner yg terlibat

InferiorII, III, aVFRCA (right coronary artery)

AnteroseptalV1, V2LAD (left anterior descending artery)

AnteroapicalV3, V4LAD (distal)

AnterolateralV5, V6, I, aVLCFX (left circumflex artery)

PosteriorV1, V2 (gel. R tinggi, bukan Q)RCA (right coronary artery)

2.6.4. Biomarker jantung

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan untuk terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana infak miokard akut, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle (Van de werf et al, 2008).Enzim troponin T memiliki keunggulan seperti modalitas yang kuat untuk stratifikasi resiko, memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan CKMB, dapat bertahan sampai dengan 14 hari, dalam darah. Kekurangannya antara lain kurang sensitif pada awal kejadian IMA karena onsetnya diatas 5 jam dan perlu penilaian ulang setiap 6-12 jam apabila hasilnya negatif, dan lambat dalam menentukan kejadian infark berulang (Van de werf et al, 2008).

Enzim CKMB memiliki keunggulan dapat mendeteksi awal terjadinya infark. Kekurangannya, spesivitasnya berkurang pada penyakit otot jantung dan kerusakan miokard akibat pembedahan, sensitivitas berkurang pada infark miokard akut minor 36 jam (Van de werf et al, 2008). 2.6.5. Angiografi Koroner

Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri (Van de werf et al, 2008).2.7. PenatalaksanaanTatalakana Awal

Tatakasana Pra Rumah Sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).

Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadinpada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi

Trasnportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.

Melakukan terapi reperfusi

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat.Tatalaksana UmumOksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri 60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (Fuster et. al, 2011).ACE Inhibitor

ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas 100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg (Fuster et. al, 2011).Antagonis Kalsium

Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin. Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Fuster et. al, 2011).AntitrombotikMenurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberika 5000 unit bolus dilanjutkan dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal) (Fuster et. al, 2011).Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa

Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant trombolitik. Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka harapan hidup.Terapi Reperfusi

Gambar 1. Pendekatan Manajemen STEMI (Gabriel et. al, 2008)

Pemberian terapi fibrinolitik tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi miokardium yang seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan IMA dan kadar enzim jantung yang meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI). Pasien harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina. Terapi fibrinolitik tidak boleh diberikan pada infark non ST-elevasi.

Pemberian fibrinolitik harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin cepat diberikan semakin banyak miokardium yang terselamatkan. Sebaiknya dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit (Fuster et. al, 2011)

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

Indikasi terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut (Fuster et. al, 2011): Gejala yang sesuai dengan IMA

Perubahan EKG berupa ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang berdekatan, gambaran bundle branch block baru

Onset nyeri dada:

< 6 jam: sangat bermanfaat

6-12 jam: bermanfaat

>12 jam: tidak bermanfaat, kecuali dengan penderita dengan iskemia lanjut, yang terbukti berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG

Jenis obat fibrinolitik

1.Streptokinase

Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5% diberikan dalam 1 jam (Fuster et. al, 2011).2.Tissue Plasminogen Activator (tPA)

Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah mendapatkan streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase, hipotrensi (TDS < 90 mmHg).3.Kegagalan trombolisis

Ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi. Komplikasi berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu rescue PTCA harus dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya trombolisis diulangi dengan dosis yang sama.

4.Primary PTCA

Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Namun tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit. Primary PTCA dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi, tindakan ini tidak dianjurkan jika pemberian fibrinolitik melebihi 60-90 menit.

pasien yang memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan fibrinolitik,

pasien dengan syok kardiogenik.2.8. Prognosis

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca miokardium akut (IMA). Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip (Steg et al, 2012).Tabel 2 Klasifikasi Killip

KelasDefinisiProporsi pasienMortalitas(%)

ITidak ada tanda gagal jantung kongestif40-50%6

II+ S3 dan/atau ronki basah di basal paru30-40%17

IIIEdema paru akut10-15%30-40

IVSyok kardiogenik5-10%60-80

Tabel 3 TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi STFaktor risiko (bobot)Mortalitas 30 hari (%)

Usia 65-74 tahun (2 poin)0,8

Usia > 75 tahun (3 poin)1,6

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)2,2

TDS 100x/menit (2 poin)7,3

Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)12,4

Berat badan< 67 kg (1 poin)16,1

Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)23.4

Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)26,8

Skor risiko = total poin (0-14)35,9

BAB 3

STATUS PASIENKepaniteraan Klinik Senior

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rekam Medik No RM: 00.60.74.23Hari/ tanggal: Kamis, 3 Juli 2014

Nama pasien : Lundu MarnalaUmur: 47 tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Alamat: Pancur Batu Kec PollungAgama: Kristen

Keluhan utama: Nyeri Dada

Anamnesa:

Nyeri dirasakan os 1 hari sebelum masuk rumah sakit HAM terjadi saat os makan kue dalam keadaan santai. Nyeri dirasakan pada dada kiri seperti dihimpit beban berat, bersifat menusuk dan panas, nyeri menjalar ke leher, punggung dan lengan kiri, lama nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri dada tidak hilang dengan istirahat. Keluhan keringat dingin pada saat nyeri dijumpai. Keluhan mual dijumpai tetapi keluhan muntah pada saat nyeri disangkal os. Riwayat sesak nafas juga dirasakan oleh os. Riwayat terbangun malam karena sesak nafas dan riwayat memakai 2-3 bantal untuk mengurangi sesak nafas dijumpai pada os. Kaki bengkak tidak dijumpai. Disertai sakit kepala dan hoyong dijumpai pada os, namun demam disangkal oleh os. Batuk dijumpai pada os yang bersifat berdahak kental berwarna putih. Awalnya, karena keluhan nyeri dada tersebut, os berobat ke RS Dolok pukul 15.00 pada tanggal 2 Juli 2014 dan didiagnosis dengan sindroma koroner akut dan kemudian dirujuk ke RSHAM untuk penatalaksaan lebih lanjut pada tanggal 3 Juli 2014 jam 06.00. Riwayat sakit gula sudah didiagnosa sejak 4 tahun yang lalu, dan riwayat darah tinggi tidak jelas pada os. Riwayat orang tua menderita penyakit jantung koroner/meninggal mendadak di sangkal os. Os mengaku sering makan makanan yang bersantan dan berlemak. Riwayat penyakit kelenjar tiroid dijumpai pada os. Riwayat merokok diakui os kurang lebih 20 tahun ini dengan 6-7 bungkus per hari dan os mengaku sudah berhenti sejak masuk RS HAM.Faktor Risiko PJK: Laki-laki, >45 tahun, merokok, DMRiwayat penyakit terdahulu: DM (4 tahun)Riwayat pemakaian obat: Tidak jelasStatus Presens:

KU: Lemah Kesadaran: Compos Mentis TD: 110/70mmHg HR: 72x/m(reg)RR: 24x/m Suhu: 37,2C Sianosis:(-)

Orthopnoe:(+) Dispnoe:(+) Ikterus:(-) Edema:(-) Pucat:(-)

Pemeriksaan Fisik :

Kepala : mata : anemia (-/-), ikterik (-/-)

Leher :TVJ : R+2 cmH2O

Dinding toraks : Inspeksi :Simetris Fusiformis

Palpasi : Stem Fremitus kiri = kanan

Perkusi: sonor pada kedua lapangan paruBatas Jantung : Atas : ICR III-IV linea parasternalis sinistra

Kanan : Linea Sternalis Dextra

Kiri : 1 cm lateral LMCS

Auskultasi

Jantung :S1 (n)S2 (()S3 (-)S4 (-)Reguler

Murmur (-)Tipe : -Grade : -Radiasi : -

Punctum Maximum : -

Suara Pernafasan : vesikuler

Suara tambahan : Ronki (+/+) basah basalwheezing : (-)

Abdomen : soepel, H/L/R tidak teraba

Asites : (-)

Ekstremitas :Superior : Sianosis (-)Clubbing (-)

Inferior : Edema (-)Pulsasi arteri (+) N

Akral : hangatElektrokardiografi (tanggal 03 juli 2014)

Interpretasi rekaman EKG :Sinus ritme , QRS rate: 60x/i, normal aksis, P wave (+), PR interval 0,12, Interval QT 0,36 QRS durasi: 0,08, ST elevasi (+) II, III, aVF ( injuri inferior); T Inversi : III, aVR, AVF, Q patologis III, LVH(-), RVH(-),VES(-)Kesan EKG : Sinus Ritme + STEMI InferiorFoto Toraks

Interpretasi foto toraks ( AP ) inspirasi kurang maksimal

CTR >50%, Segmen Aorta: Dilatasi , Segmen pulmonal: N, Pinggang Jantung: (+) , Apeks: downward, Kongesti:(-), Infiltrat: (-)Ekokardiografi

Interpretasi Ekokardiografi

Fungsi sistolik LV menurun (EF: 43%)Fungsi diastolik LV baik (E/A >1, e = 9) Wall motion : Hipokinetik inferior posterior

Normokinetik segmen lainnya

Katup : MR Mild, TR mild, PH (+)

Dimensi ruang jantung: LV dilatasi moderateKontraktilitas RV menurunHasil Laboratorium:

Hemoglobin : 15,8 ( 13,2 17,3)

Eritrosit : 5,25 X 106 (4,20 4,87)Leukosit: 6,70 x 103 (4,5 11,0)

Hematokrit: 45,90 % (43 49)

Trombosit: 154 x 103(150 450)Ginjal

Ureum

: 21,80 mg/dL ( 75 tahun (3 poin)3

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)1

TDS 100x/menit (2 poin)2

Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)2

Berat < 67 kg (1 poin)1

Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)1

Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)1

Skor risiko = total poin (0-14)4/16

Total PoinAngka Mortalitas dalam 30 Hari (%)

00.8

11.6

22.2

34.4

47.3

512.4

616.1

723.4

826.8

>835.9

Diskusi Kasus

a. Anamnesis

Teori:

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan sindroma klinis nyeri dada yang disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan dengan infark miokard. SKA adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI). Ketiga keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatdaruratan kardiovaskular dan memerlukan tatalaksana yang adekuat untuk menghindari terjadinya sudden death (Antman, 2004) STEMI umumnya disebabkan penurunan atau berhentinya aliran darah secara tiba-tiba karena oklusi trombus pada arteri koroner yang sudah mengalami arterosklerosis. Pada kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau fisur dari plak arterosklerosis, dimana trombus mural timbul pada tempat ruptur dan menyebabkan okulsi arteri koroner. Secara histologis, plak koroner yang lebih mudah ruptur adalah yang intinya kaya dengan lemak dan yang mempunyai fibrous cap yang tipis. Pada kasus yang jarang, STEMI dapat disebabkan okulsi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan penyakit inflamasi sistemik (Tyroler, 2000) Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dada berasal jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada dari jantung perlu dibedakan apakah nyeri berasal dari koroner atau bukan, apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Tyroler, 2000). Manifestasi Klinis: nyeri dada, sesak nafas, mual dan muntah, palpitasi,pusing, sinkop dari aritmia ventrikel, dan iskemia ekstremitas (Tyroler, 2000). Pasien :

Anamnesa dijumpai: Nyeri dada tipical infark( karakteristik seperti terhimpit beban berat, menjalar ke punggung dan lengan kiri,durasi>20 menit, keringat dingin+, mual, pusing).Faktor Risiko

Faktor risiko biologis yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu:

a. Usia

Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya umur, diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Pasien usia lanjut lebih sering dari pada usia muda mengalami perubahan abnormalitas anatomi dan fisiologi kardiovaskular, termasuk respon simpatis beta yang terbatas, peningkatan afterload jantung karena penurunan compliance arteri dan hipertensi arterial, hipotensi ortostatik, hipertropi jantung, dan disfungsi ventrikular terutama disfungsi diastolik (Fuster et al, 2011).B. Jenis kelamin

Laki-laki memiliki resiko lebih tinggi dari pada perempuan. Walaupun setelah menopause, tingkat kematian perempuan akibat penyakit jantung meningkat, tapi tetap tidak sebanyak tingkat kematian laki-laki akibat penyakit jantung (Fuster et al, 2011).C. Riwayat keluarga

Dengan riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor resiko, termasuk penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur 65 tahun (Fuster et al, 2011).Pada pasien ini : usia, laki-lakiFaktor risiko yang dapat dimodifikasi

A. Merokok

Peran rokok dalam penyakit jantung koroner antara lain: menimbulkan aterosklerosis; peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi; peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia jantung, meninkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan risiko 2-3 kali dibandingkan yang tidak merokok (Fuster et al, 2011).B. Hipertensi

Hipertensi menyebabkan meningkatnya afterload yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen jantung (Fuster et al, 2011).C. Dislipidemia

Kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis. (Gaziano, 2008).D. Obesitas

Beberapa perubahan metabolisme lemak sering kali dijumpai pada individu obes. Perubahan-perubahan ini berkaitan erat dengan jumlah lemak viseral dibandingkan dengan total lemak tubuh. Pada umumnya, obesitas cenderung meningkatkan kadar kolesterol total dan trigliserida dan menurunkan kadar HDL. Meskipun kolesterol LDL tetap meningkat sedikit atau normal, partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat, terutama pada pasien dengan resistensi insulin yang berkaitan dengan adipositas viseral. Perubahan-perubahan ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis (Gaziano, 2008)E. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus sudah dikenal sebagai faktor resiko utama penyakit kardiovaskular. Data dari penelitian klinis menunjukkan sebagian besar pasien DM meninggal karena penyakit kardiovaskular dan lebih dari tiga perempat pasien DM yang meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis, sebagian besar kasus (75%) karena PJK (Wilson, 1998).Pada pasien: merokokb. Pemeriksaan Fisik

Teori :

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada subternal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktifitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) (Gaziano, 2008)Tanda fisik lainnya pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI (Gaziano, 2008)Pada pasien:

nyeri dada keringat dinginc. Pemeriksaan Penunjang

EKGSinus Rhytm, QRS rate: 93x/i, RAD, P wave (+), PR interval 0,12, Interval QT 0,36 QRS durasi: 0,08, T Inversi : AVL, Q patologis V1-V6, aVL, Segmen ST elevasi V1-V6, I, II, aVL,aVF, LVH(-),VES(-)Teori :

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sadapan prekondrial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sadapan ekstremitas (Gabriel et al, 2011).Lokasi Infark Miokard

AnatomiLead dengan EKG abnormalArteri koroner yg terlibat

InferiorII, III, AvfRCA (right coronary artery)

AnteroseptalV1, V2LAD (left anterior descending coronary artery)

AnteroapicalV3, V4LAD (distal)

AnterolateralV5, V6, I, AvlCFX (left circumflex coronary artery)

PosteriorV1, V2 (gel. R tinggi, bukan Q)RCA (right coronary artery)

Pada Pasien:

Laboratorium

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan untuk terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana infak miokard akut, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle (Fuster et al, 2011).Enzim troponin T memiliki keunggulan seperti modalitas yang kuat untuk stratifikasi resiko, memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan CKMB, dapat bertahan sampai dengan 14 hari, dalam darah. Kekurangannya antara lain kurang sensitif pada awal kejadian IMA karena onsetnya diatas 5 jam dan perlu penilaian ulang setiap 6-12 jam apabila hasilnya negatif, dan lambat dalam menentukan kejadian infark berulang (Fuster et al, 2011).Enzim CKMB memiliki keunggulan dapat mendeteksi awal terjadinya infark. Kekurangannya, spesivitasnya berkurang pada penyakit otot jantung dan kerusakan miokard akibat pembedahan, sensitivitas berkurang pada infark miokard akut minor 36 jam. (Fuster et al, 2011).Pada Pasien:

Dijumpai hasil pemeriksaan enzim jantung yang meningkat yaitu:

Troponin T: 2 (0 0,1)

CK MB: 125U/L (7 25)

Follow Up Pasien Divisi KardiologiUmur

: 47 tahun

Jenis Kelamin: PriaHari/tanggalSOAP

03/07/14

IGDNyeri Dada (+)Hilang timbul

Sesak Nafas (-)Sens: CM

TD: 107/71mmHg

HR: 64x/i

RR: 24x/iKepala:Mata: anemis (-/-)Leher:TVJ (R+2 cmH20)Thorax: S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: SP vesikuler, ronki basah basal (+/+) ,wheezing(-/-)Abdomen: simetris, soepel, H/L ttb

Extremitas : edema (-/-), , akral hangat STEMI inferior onset 15 jam Killip II TIMI 4/16 DM tipe 2 Tirah baring

O2 2-4 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i Aspilet 1x80mg

Plavix 1x75 mg

ISDN 3x5mg

Simvastatin 1x40 mg Bisoprolol 1x1,25mg

Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam Inj Furosemid 20 mg/12 jam Pemeriksaan enzim jantung

EKG Serial

GDP/GD2JPP/HbA1C

Lipid profile

Urinalisa

Echocardiography

Angiografi koroner

04/07/14

Ruangan

Nyeri dada (+)

Sens: CM

TD: 125/70mmHg

HR: 67x/i

RR: 18x/iKepala:Mata: anemis (-/-)

Leher:TVJ (R+2 cmH20)Thorax: S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: SP vesikuler, ronki basah basal (+/+) minimalAbdomen: simetris, supel, H/L ttb

Extremitas : edema (-/-), , akral hangat STEMI inferior onset 15 jam Killip II TIMI 4/16 Dm tipe 2 Tirah baring O2 2 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (micro)

Inj. Lovenox 0,6cc/12j

Inj. Furosemide 20mg/12j

Plavix 1x75mg

Aspilet 1x80mg

ISDN 3x5mg

Simvastatin 1x40mg

Bisoprolol 1x2,5mg

Laxadin 1x CI Alprazolam 1x0,5mg

05/07/2014

Ruangan

Nyeri dada (+) berkurang

Sens:CM

TD:110/70 mmHg

HR: 70x/i

RR: 20 x/i

Kepala:Mata: anemis (-/-)

Leher:TVJ (R+2 cmH20)Thorax: S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: SP vesikuler, ronki basah (+)

Abdomen: simetris, soepel, H/L ttb

Extremitas : edema (-/-), , akral hangat STEMI inferior onset 15 jam Killip II TIMI 4/16 Dm tipe 2 Tirah Baring

02 2-4 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i

Plavix 1x75mg

Aspilet 1x80mg

ISDN 3x5mg

Simvastatin 1x40mg

Laxadin 1xCI

Alprazolam 1x0,5mg

07/07/14

Nyeri dada (+)berkurang

Sens:CM

TD:110/80 mmHg

HR: 65x/i

RR: 20 x/i

Kepala:Mata: anemis (-/-)

Leher:TVJ (R+2 cmH20)Thorax: S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: SP vesikuler, ronki basah basal (-/-)

Abdomen: simetris, supel, H/L ttb

Extremitas : edema (-/-), , akral hangat STEMI inferior onset 15 jam Killip II TIMI 4/16 Tirah Baring

02 2-4 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i

Inj. Lovenox 0,6mg/12j Plavix 1x75mg

Aspilet 1x80mg

ISDN 3x5mg

Simvastatin 1x40mg

Alprazolam 1x0,5mg Laxadin syr 1xCI

08/07/2014

RuanganNyeri dada (-),

Sens:CM

TD:100/70 mmHg

HR: 71x/i

RR: 24 x/i

Kepala: Mata: anemis (-/-)

Leher: TVJ (R+2 cmH20)Thorax: S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: SP vesikuler (+/+), ronki basah basal (-/-)

Abdomen: simetris, supel, H/L ttb

Extremitas : edema pretibial (-/-), akral hangat

STEMI inferior onset 15 jam Killip II TIMI 4/16 DM tipe 2 Tirah Baring

02 2-4 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i

Inj.lovenox 0,6 cc/12 jam Simvastatin 1x40 mg

Plavix 1x75mg

Aspilet 1x80mg

ISDN 3x5mg

Bisoprolol 1x2,5mg Alprazolam 1x0,5mg

Laxadyn syr 1xCI captopril 2x6,25mg

BAB 4Kesimpulan

R, laki laki, usia 47 tahun, mengalami STEMI inferior KILLIP II TIMI RISK 4/16 dan diberi pengobatan: Tirah Baring

02 2-4 L/i

IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i

Inj.furosemide 20mg/12j

Simvastatin 1x40 mg

Plavix 1x75mg

Aspilet 1x80mg

ISDN 3x5mg

Bisoprolol 1x2,5mg

Alprazolam 1x0,5mg

Laxadyn syr 1x CI Captopril 2x6,25mgDengan Petimbangan terapi:

1. Rescue PCIDAFTAR PUSTAKA

American Heart Association.Older Americans and Cardiovascular Diseases-Statistics. 2013.Available from : http://www.american heart.org/presenter.jhtml identifier_3000936

Antman, E.M., Anbe, D.T., Armstrong, P.W., Bates, E.R., Green, L.A., Hand, M. et al, 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with ST-elevation Myocardial Infarction : A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to revise the 1999 guidelines for the management of patients with acute myocardial infarction). Circulation 2004;110:588-636.

Antman E.M., Braunwald E., 2008. Disorders of cardiovascular system.ST-segment Elevation Myocardial Infarction 1532-1544. Harrisons Internal Medicine, 17th edition, United States of America, The McGraw-Hill Companies.

Bender J. R, Russel K. S, Rosenfeld L. E, and Chaundry S, 2011.Oxford American Handbook of Cardiology. New York: Oxford. p. 256-260.

Diego S., William W., Thygesen C., Management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation.2002. European Society of Cardiology. Elsevier.

Fuster,at al. Hurst, The Heart Disease. 13th, 2011, Mc Graw Hill PublisherGabriel, steg, et.al., 2012, ESC Guidelines for The Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation, European Heart Journal, p. 1-51

Gaziano, T.A, Gaziano, J.M, 2008. Epidemiology of Cardiovascular Disease.In :Loscalzo, J. ed. Harrisons Cardiovascular Medicine. United State of America: The McGraw-Hill Companies : 18

Kawai C., Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory System of Bioactive Substance in the Vessel Wall. 2012. American Heart Association

Kementerian Kesehatan Indonesia, 2011. Risiko Utama Penyakit Tidak Menular Disebabkan Rokok. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Available from:

http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-newsslider/1386-risiko utama-penyakit-tidak-menular-disebabkan-rokok.html

Rhee W.J, Sabattne S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes,161- 188, Pathophysiology of Heart Diseases, 5th edition, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.

Sudoyo.W.Aru ,dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 ; Bab Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST . 2007.Jakarta : FK UI ; 1615-1625

Silbernagl, S., Lang, F., Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Penerbit Buku Kedokteran.

Tyroler H.A., Diseases and Health Probelms, 2000, Coronary Heart Disease Epidemiology in the 21st Century, The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health6