lapkas abses hepar

48
BAB I STATUS PASIEN I. Identitas Pasien Nama : Tn. Chalik Alsyafa Jenis Kelamin : Laki-laki TTL : Medan, 13 Januari 1970 Usia : 45 tahun Alamat : Jl. Bojong Rangkong No. 7 RT 7/8 Pulo Gebang Cakung Jakarta Timur Pekerjaan : Pegawai Swasta No.Rekam Medik : 00-90-02-80 Tgl Masuk RS : 8 Februari 2015 II. Anamnesis Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas sejak 2 minggu SMRS Keluhan Tambahan : Demam Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul dan tembus ke belakang. Nyeri dipengaruhi perubahan posisi, berkurang bila duduk atau berbaring. Selain itu, pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 2 minggu

description

interna

Transcript of lapkas abses hepar

Page 1: lapkas abses hepar

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. Chalik Alsyafa

Jenis Kelamin : Laki-laki

TTL : Medan, 13 Januari 1970

Usia : 45 tahun

Alamat : Jl. Bojong Rangkong No. 7 RT 7/8 Pulo Gebang Cakung

Jakarta Timur

Pekerjaan : Pegawai Swasta

No.Rekam Medik : 00-90-02-80

Tgl Masuk RS : 8 Februari 2015

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas sejak 2 minggu SMRS

Keluhan Tambahan : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien masuk RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan nyeri perut kanan atas

sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul dan

tembus ke belakang. Nyeri dipengaruhi perubahan posisi, berkurang bila duduk

atau berbaring. Selain itu, pasien mengeluh demam yang dirasakan sejak 2

minggu sebelum masuk rumah sakit, demam naik turun, lebih tinggi pada

malam hari. Menggigil (+) disertai keringat banyak. Pasien kalau berjalan

sering membungkuk dan memegang perut kanan atas.

Mual (-), muntah (-), riwayat sesak (-), batuk (-), nyeri dada (-), nafsu makan

berkurang (-).

BAB : lancar, konsistensi padat, tidak ada darah

BAK : lancar, warna kuning teh

Page 2: lapkas abses hepar

Riwayat Penyakit Sebelumnya :

Riwayat pergi ke daerah endemis disangkal

Riwayat alkohol (+) selama 3 tahun, baru berhenti sejak 2 bulan yang lalu

Riwayat merokok (+), sekitar ½ bungkus/hari

Riwayat sakit kuning (-)

Riwayat DM (-),

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat konsumsi obat anti nyeri (-)

Riwayat kencing batu (-)

Riwayat diare (-)

Sakit typhus (-)

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Status Gizi : BB = 70 kg; TB = 165 cm; IMT = 25,71

Tanda Vital : TD = 120/70 mmHg

N = 80 x/menit

P = 24 x/menit

S = 38oC

Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, bibir

tidak sianosis

Mulut : Lidah tidak kotor dan tidak ditemukan bercak –

bercak putih pada rongga mulut

Leher : Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri

tekan, tidak ada pembesaran kelenjar leher. DVS 5-

2 cmH2O.

Thoraks (Paru) :

Inspeksi = Simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas, bentuk

normochest

2

Page 3: lapkas abses hepar

Palpasi = Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal

fremitus simetris kiri dan kanan

Perkusi = Sonor kedua lapangan paru, batas paru hepar sela iga VI

anterior dextra

Auskultasi = Bunyi pernapasan vesikuler, tidak didapatkan bunyi

tambahan

Thoraks (Jantung) :

Inspeksi = Ictus cordis tidak tampak

Palpasi = Ictus cordis teraba di ICS 5 linea medioklavikularis

sinistra

Perkusi = Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan

terletak pada ICS 4 linea sternalis kanan, batas jantung

kiri sesuai dengan ictus cordis terletak pada ICS 5 linea

medioklavikularis kiri)

Auskultasi = Bunyi jantung I/II murni reguler, bunyi tambahan (-)

Abdomen :

Inspeksi = Datar, ikut gerak napas

Auskultasi = Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi = MT (-), NT (+) di regio hipokondrium dextra, Murphy

sign (-), Hepar teraba 1 jari bac, lien tidak teraba

Perkusi = Timpani

Ekstremitas : Edema (-)/(-)

IV. Diagnosis Sementara

Susp. Abses hepar

DD/

- Cholelithiasis

- Hepatitis

- Hepatoma

3

Page 4: lapkas abses hepar

V. Penatalaksanaan Awal

Diet lunak/Diet Hepar

IVFD RL 20 tpm

Metronidazole 500 mg/8 jam/drips

Sistenol 3 x 1

VI. Rencana Pemeriksaan

Darah rutin

LED

SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, bilirubin total, bilirubin

direk, PT, APTT, Albumin, HBsAg, Anti HCV

USG abdomen

VII.Pemeriksaan Laboratorium:

8 Februari 2015 jam 23.24

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Rutin

Hb 11.9 g/dL 13.2-17.3Leukosit 17.00 ribu/µl 3.80-10.60

Ht 35 % 40-52Trombosi

t269 ribu/µl 150-440

Eritrosit 4.24 106/µl 4.40-5.90MCV 82 fL 80-100MCH 28 pg 26-34

MCHC 34 g/dL 32-36Kimia Klinik

GDS 87 mg/dL 70-200

ElektrolitNa Darah 136 mEq/L 135-147K Darah 3.9 mEq/L 3.5-5.0Cl Darah 96 mEq/L 94-111

9 Februari 2015 jam 13.00

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

HbsAg Non-reaktif Non-reaktif

Anti HCV Non-reaktif Non-reaktif

4

Page 5: lapkas abses hepar

VIII. Pemeriksaan Radiologi

USG Abdomen (9 Februari 2015)

- Abses pada lobus kanan hepar, ukuran SOL Ø 3,72 cm

- Ginjal, Lien, Gall Bladder, Pankreas dan Vesica urinaria normal

IX. Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi

9/02/2015 Perawatan Hari I

S : Nyeri perut kanan atas, mual(-),

muntah(-), demam(+), sesak napas(-),

BAB lancar, BAK lancar warna

kuning tua

O : TD = 120/70 mmHg, N = 80

x/menit, P = 24 x/menit, S = 37,80C.

NT (+) di regio hipokondrium dextra

USG abdomen kesan : Abses hepar

ukuran SOL Ø 3,72 cm

A : Abses hepar amuba

IVFD RL 20 tpm

Metronidazol 500 mg/8jam/drips

Sistenol 3 x 1

Inj. Ketorolac 1 amp/iv (bila nyeri hebat)

Usul :

Kontrol HR, SGOT, SGPT, ureum,

kreatinin, gula darah sewaktu, bilirubin

total, bilirubin direk, PT, APTT,

Albumin, HbSAg, Anti HCV

10/02/2015 Perawatan Hari II

S : Nyeri perut kanan atas, mual(-),

muntah(-), demam(-), sesak napas(-),

BAB lancar, BAK lancar warna

kuning tua

O : TD = 120/60 mmHg, N = 72

x/menit, P = 24 x/menit, S = 37,1 0C.

NT (+) di regio hipokondrium dextra

A : Abses hepar amuba

Diet lunak

IVFD RL 20 tpm

Metronidazol 500 mg/8jam/drips

- Tunggu Hasil lab

11/02/2015 Perawatan Hari III

S : Nyeri perut kanan atas berkurang,

mual(-), muntah(-), demam(-), sesak

napas(-), BAB lancar, BAK lancar

Diet lunak

IVFD RL 20 tpm

Inj. Metronidazol 500 mg/8 jam/drips

5

Page 6: lapkas abses hepar

warna kuning tua

O : TD = 120/50 mmHg, N = 70

x/menit, P = 22 x/menit, S = 36,70C.

NT (+) di regio hipokondrium dextra

Leukosit : 9700, Trombosit : 440.000,

Hb: 13,6

A : Abses hepar amuba

12/02/2015 Perawatan Hari IV

S : Nyeri perut kanan atas berkurang,

mual(+), muntah(-), demam(-), sesak

napas(-), BAB lancar, BAK lancar

warna kuning tua

O : TD = 120/60 mmHg, N = 72

x/menit, P = 24 x/menit, S = 36,60C.

NT (+) di regio hipokondrium dextra

SGOT= 42.51 SGPT = 93.57

A : Abses hepar amuba

IVFD Asering 20 tpm

Metronidazole 500 mg/8 jam/drips

Curcuma 3x1

13/02/2015 Perawatan Hari V

S : Nyeri perut kanan atas berkurang,

mual(-), muntah(-), demam(-), sesak

napas(-), BAB lancar, BAK lancar

warna kuning tua

O : TD = 120/80 mmHg, N = 72

x/menit, P = 24 x/menit, S = 36,60C.

NT (+) di regio hipokondrium dextra

A : Abses hepar amuba

IVFD Asering 20 tpm

Metronidazole 500 mg/ 8 jam/drips

Curcuma 3x1

6

Page 7: lapkas abses hepar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena

infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari

sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau

sel darah didalam parenkim hati .(1)

Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan

abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis

ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,

termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver

abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini

merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400

SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang

jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus

urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.

Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan

secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa

dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,

etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta

prognosisnya. (2)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar

1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di

regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria

7

Page 8: lapkas abses hepar

sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan

dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan.

Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum

falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut

kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati

terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang

merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-

lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,

sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan

makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan

benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari

saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui

arteria hepatika. (2,3,4)

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya

yaitu: (3,4,5,6)

8

Page 9: lapkas abses hepar

Pembentukan dan ekskresi empedu

Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu

penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di

dalam usus.

Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,

protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan

a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,

konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta

pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme

karbohidrat.

b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi

fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar

lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat

c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk

mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,

serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari

asam amino.

Penimbunan vitamin dan mineral

Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12,

tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak

disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan

B12 juga disimpan secara normal.

Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin

Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang

dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.

Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi

akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam

bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi

cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.

9

Page 10: lapkas abses hepar

Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam

jumlah banyak

Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi

meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan

beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses

metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.

Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat

lain

Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan

detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,

penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon

yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia

oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti

estrogen, kortisol, dan aldosteron.

Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi

Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan

darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai

darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot

darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja

fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

C. EPIDEMIOLOGI

Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara

endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di

seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi

yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP

yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,

didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan

prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria

10

Page 11: lapkas abses hepar

dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,

dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1)

Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal

setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,

CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi

otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000

penderita. (2)

Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi

E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens

amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di

berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.

Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar

3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya

melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang

menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering

dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama

dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki

prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang

padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)

D. ETIOLOGI

D.1 Abses Hati Amebik

Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai

parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba

histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil

individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala

amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu

strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain

Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya

menimbulkan lesi pada hati. (2)

11

Page 12: lapkas abses hepar

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang

mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3

bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,

mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif

bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua

stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup

komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri

menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya

perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini

tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau

enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um

yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar

sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease

yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan

destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering

atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista

sebelum keluar ke tinja. (2,9)

Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan

berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,

tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4

inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke

manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding

12

Page 13: lapkas abses hepar

kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan

makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)

D.2 Abses Hati Piogenik

Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic

streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,

fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida

albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia

enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme

penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella

pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari

bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus

aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki

penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan

sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.

Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam

abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :

1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa

menyebabkan fileplebitis porta

2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik

3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,

peritonitis, dan infeksi post operasi

4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau

saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik

menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan

dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau

pascaoperasi striktur.

5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan

cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses

piogenik.

13

Page 14: lapkas abses hepar

6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada

orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan

diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

E. PATOGENESIS

E.1 Abses Hepar Amebik

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,

baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi

langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang

terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)

E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang

menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat

ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung

namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian

kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan

mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim

cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan

menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.

Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam

aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi

enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati

terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan

infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti

dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti

jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)

karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan

vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika

inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi

tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara

klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan

14

Page 15: lapkas abses hepar

berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar

serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)

E.2 Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses.

Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses

viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini

dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari

tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima

darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini

memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang

berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid

hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri

piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari

organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri

hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi

aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya

tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari

vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses

fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara

hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat

trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati

sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan

nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran

empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan

kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi

pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding

lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan

menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal

sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior

dan aliran limfatik. (1,10)

15

Page 16: lapkas abses hepar

F. GAMBARAN KLINIS

F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)

Gejala :

a. Demam internitten ( 38-40 oC)

b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar

hingga bahu kanan dan daerah skapula

c. Anoreksia

d. Nausea

e. Vomitus

f. Keringat malam

g. Berat badan menurun

h. Batuk

i. Pembengkakan perut kanan atas

j. Ikterus

k. Buang air besar berdarah

l. Kadang ditemukan riwayat diare

m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :

a. Ikterus

b. Temperatur naik

c. Malnutrisi

d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi

e. Nyeri perut kanan atas

f. Fluktuasi

F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15)

16

Page 17: lapkas abses hepar

Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang

lebih berat dari abses hati amuba.

Keluhan :

a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang

disertai menggigil

b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke

depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.

c. Mual dan muntah

d. Berkeringat malam

e. Malaise dan kelelahan

f. Berat badan menurun

g. Berkurangnya nafsu makan

h. Anoreksia

Pemeriksaan fisis :

a. Hepatomegali

b. Nyeri tekan perut kanan

c. Ikterus, namun jarang terjadi

d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura

e. Buang air besar berwarna seperti kapur

f. Buang air kecil berwarna gelap

g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

G. DIAGNOSIS

G.1 Abses hati amebik (2,9)

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan

trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat

dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas,

hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan

leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi

dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes

17

Page 18: lapkas abses hepar

serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan

kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria

Lamont dan Pooler.

a. Kriteria Sherlock (1969)

1. Hepatomegali yang nyeri tekan

2. Respon baik terhadap obat amebisid

3. Leukositosis

4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.

5. Aspirasi pus

6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati

7. Tes hemaglutinasi positif

b. Kriteria Ramachandran (1973)

Bila didapatkan 3 atau lebih dari:

1. Hepatomegali yang nyeri

2. Riwayat disentri

3. Leukositosis

4. Kelainan radiologis

5. Respons terhadap terapi amebisid

c. Kriteria Lamont Dan Pooler

Bila didapatkan 3 atau lebih dari:

1. Hepatomegali yang nyeri

2. Kelainan hematologis

3. Kelainan radiologis

4. Pus amebik

5. Tes serologi positif

6. Kelainan sidikan hati

7. Respons terhadap terapi amebisid

G.2 Abses hati piogenik

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis

dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-

kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.

18

Page 19: lapkas abses hepar

Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun

pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi

untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.

Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun

terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.

Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri

penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar

emas untuk diagnosis. (1)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

H.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan

hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada

pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-

3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,

SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang

didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,

leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan

ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan

adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal

infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain

hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.

Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus

penderita abses hepar. (2,7,9)

Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis

dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,

gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase,

peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya

konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang

menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang

memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk

19

Page 20: lapkas abses hepar

menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada

permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering

ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,

Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman

anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau

Fusobacterium sp. (1,2)

H.2 Pemeriksaan Radiologi

Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan

peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan

diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto

polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,

hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan

air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG

sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis

hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti

ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan

kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa

massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa

hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca

kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat

pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang

didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma

20

Page 21: lapkas abses hepar

kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada

foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut

kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan

daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada

subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan

dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat

menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan

atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi

hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim

enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.

Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak

massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai

masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak

gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya

kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat

hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga

membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding

kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak

area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil

piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses

amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh

kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)

21

Page 22: lapkas abses hepar

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan

penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak

tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2)

Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.

Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah

sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik

(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin

bertambah tebal. (16)

I. PENATALAKSANAAN

I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)

1. Medikamentosa

Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan

penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.

Pengobatan yang dianjurkan adalah:

a. Metronidazole

Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk

amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang

paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap

logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3

x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-

50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole

lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800

mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari

dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.

b. Dehydroemetine (DHE)

Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan

untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari

atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10

hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan

22

Page 23: lapkas abses hepar

kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan

pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak

c. Chloroquin

Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal

ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150

mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10

mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang

dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari

selama 20 hari.

2. Aspirasi

Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di

atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada

ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan

kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.

Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.

3. Drainase Perkutan

Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur

atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi

campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda

perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan

berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan

perikardial.

4. Drainase Bedah

Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil

mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis

susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah

diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi

mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.

Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami

infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila

usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga

23

Page 24: lapkas abses hepar

dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya

ruptur abses amuba intraperitoneal.

I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)

Pencegahan

Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses

hati piogenik yaitu dengan cara:

a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu

ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan

melakukan endoskopi

b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

Terapi definitif

Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang

adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang

berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena

sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-

2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:

a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan

beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya

sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2

gr/12jam/IV

b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk

bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole

500 mg/6 jam/IV

c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.

d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-

metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.

Drainase abses

Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase

terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan

konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan

24

Page 25: lapkas abses hepar

drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan

abdomen ultrasound atau tomografi komputer.

Drainase bedah

Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi

perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen

yang memerlukan manajemen operasi.

KOMPLIKASIJ.1 Abses Hepar Amoeba

Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.

Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau

kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau

drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum

terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,

pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan

empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.

Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan

nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.

Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri

hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses

dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm

arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

J.2 Abses Hepar Piogenik

Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti

septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai

peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal,

gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula

hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah

mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses

rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)

J. PROGNOSIS

25

Page 26: lapkas abses hepar

Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,

metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah

sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan

fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai

mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi

mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai

40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,

malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom

hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi

penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya

komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi

ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)

Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang

akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur

anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase

secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,

jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan

fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir

mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur

abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,

dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan

mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas

abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial

penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:

terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya

hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,

keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap

abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit

lain. (1,2)

K. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis

26

Page 27: lapkas abses hepar

Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.

Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan

atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.

Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,

stigmata penyakit hati kronik.

Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali

fosatase

USG : lesi lokal/ difus di hati

Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat

infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut

kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.

Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas

yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.

Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,

nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,

Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan

adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.

Laboratorium: leukositosis

USG : penebalan dining kandung empedu, sering

ditemukan pula sludge atau batu.

27

Page 28: lapkas abses hepar

BAB III

ANALISA KASUS

Pasien masuk dengan keluhan utama demam dan nyeri perut kanan atas.

Banyak penyakit yang dapat menimbulkan demam dan nyeri perut kanan atas,

antara lain abses hepar, kolecystitis, dan lain – lain. Pada kasus ini, diketahui

bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas yang hilang timbul, tembus ke

belakang. Dari pemeriksaan fisis, khususnya pada abdomen didapatkan NT (+) di

regio hipokondrium dextra, hepar dan lien tidak, peristaltic (+) kesan normal.

Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan abses lobus kanan hepar

ukuran SOL Ø 3,72 cm. Ginjal, lien, gall bladder, pankreas dan vesica urinaria

normal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit dan

enzim Hepar.

Sehingga pada pasien ini, diagnosis lebih diarahkan pada abses hepar.

Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi baku emas untuk penegakan diagnosis

abses hepar adalah pemeriksaan feses atau melalui kultur darah yang

memperlihatkan bakteri penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab

seperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan. Namun,

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan sangat

menyakitkan bagi pasien.

Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat

peningkatan enzim – enzim Hepar (SGOT, SGPT) yang menunjukkan telah

terjadinya gangguan hepar. Adanya proses infeksi dapat memicu peningkatan

produksi enzim – enzim Hepar sehingga kadar enzim – enzim tersebut tinggi di

dalam darah. Leukositosis sendiri muncul sebagai akibat dari proses infeksi,

sebagai salah satu upaya sistem imun untuk melawan mikroorganisme penyebab

infeksi. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada hipokondrium dextra, hal

ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai akibat adanya

abses.

28

Page 29: lapkas abses hepar

Pengobatan pada pasien dilakukan dengan pemberian infus Asering 20 tpm

sebagai penyeimbang elektrolit. Pada pemberian antibiotik diberikan

Metronidazole 500 mg/8 jam/iv sebagai antibiotik untuk bakteri anaerob dan

amebisid jaringan, selain itu pasien juga diberi obat pulang berupa Metronidazole

tablet 3 x 500 mg dan Curcuma 3 x 1.

Penanganan operatif/drainase belum dipertimbangkan karena indikasi

drainase suatu abses hepar, salah satunya yaitu bila respon terhadap

medikamentosa setelah 5 hari tidak ada. Pada kasus ini, dapat dikatakan bahwa

pasien berespon terhadap antibiotik yang diberikan karena gejala – gejala yang

dirasakan oleh pasien, seperti nyeri perut berkurang dan penurunan leukosit

setelah pemberian antibiotik selama + 2 hari dan setelah pemberian antibiotik

selama + 6 hari keluhan nyeri perut sudah tidak ada.

29

Page 30: lapkas abses hepar

DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :

Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.

Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2007. Hal 460-461.

2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.

Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic

resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :

Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.

Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-

83, 93-94, 487-491, 513-514.

3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam :

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.

4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar

fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.

5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke

sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a

glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-

28.

7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary

tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine

A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and

treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi.

2008. Page 596, 1304-1306.

8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :

Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :

GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42

30

Page 31: lapkas abses hepar

9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :

Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.

10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st,

2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-

overview#showall.

11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.

Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal

684.

12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal medicine

17th edition. USA. 2008. Chapter 202.

13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st,

2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-

overview#showall.

14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati

amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November

2011. Diunduh dari :

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati

%20amuba%20(dr%20arini).pdf.

15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson

textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.

16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi

diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.

17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy,

Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI.

2008. Hal 551-554.

18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya.

Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan

pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia.

Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-324.

19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun

diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.

31