Lap. Lengkap IbnuSina edit.docx
-
Upload
aenhiequrra-althafunnisa -
Category
Documents
-
view
75 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of Lap. Lengkap IbnuSina edit.docx

BAB III
STUDI KASUS
III.1 Kanker Mamae
Nama : Ny. R
TTL : 10/10/1971 (44)
JK : wanita
Pekerjaan : IRT
Status : kawin
Agama : islam
Tanggal masuk : 29/01/2015
Bagian/spesialis : bedah tumor
Diagnosa masuk : Ca. Mamae (s)
Pro T siklus II
Diagnosa utama : ca. Mamae (s) post T siklus II
Nama operasi tindakan
Kemoterapi (30/01/15)
Pengobatan kemoterapi
Taxotere 120 mg
Doxnobicin 80 mg
Keadaan keluar : membaik
Keluhan : pro kemoterapi siklus ke II
Pemeriksaan Fisik : TD : 120/90 mmHG
N : 85 ×/i
P : 22 ×/i
S : 36,60C
P. penunjang : LAB
HGB : 11,3 g/dL
RLT : 259 103 AIL
WBC : 6,0 103 /Dl
Terapi : premedikasi
a) Ondansentron 2a/IV

b) Ranitidin 2a/IV
c) Dexametasone 2a/IV
d) Diphenhidramin 2 cc/IM
Kemoterapi
Taxotere 120 mg
Doxorubicin 80 mg
1. Tindakan
a) Infus
b) Infeksi
c) Tindakan kemoterapi
2. Perjalanan penyakit (30/1/15)
a) Ulkus ca. Mamae (s)
b) Pro kemoterapi siklus II
3. Instruksi dokter
Kemoterapi
a) IOFD NaCl 0,9% 28 TPM
b) Premedikasi
1) Ondansentron 2 amp/IV
2) Ranitidin 2 amp/IV
3) Dexametasone 2 amp/IV
4) Diphenhidramine
c) Taxotere 120 mg dalam 500 cc NaCl, diberikan dalam 2 jam
d) Bilas 100 cc NaCl
e) Doxorabicin 80 mg dalam 100 kg Nacl, habis dalam 1 jam
f) Bilas 100 cc NaCl

g) Maintenance RC 28 TPM
h) Awasi KO dan TV
i) Kemoterapi selesai
4. Pemeriksaan Lab
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL Ket
WBC 6,0 4,0 Tinggi
LYM 1,6 1,0 Tinggi
MON 1,2 0,1 Tinggi
GRA 3,3 2,0 Tinggi
LYM% 26,6 25,0 Tinggi
MON% 19,2 2,0 Tinggi
GRA% 54,2 50,0 Tinggi
RBC 4,22 4,0 Tinggi
HGB 11,3 11,0 Normal
HCT 36,1 35,0 Tinggi
MCV 85,5 80,0 Tinggi
MCH 26,8 26,0 Normal
MCHC 31,3 31,0 Normal
RDW 14,7 10,0 tinggi
PLT 259 150 tinggi
MPIJ 6,1 7,0 rendah
PCT 0,158 0,200 rendah
PDW 12,5 10,0 tinggi
KET : Anemia, trombosis

Data Lab
Pemeriksaan Nilai Satuan Rentang nilai Ket
Glukosa sewaktu
143 Mg/dL 2-140 Tinggi
Creatinin 0,5 Mg/dL 2-38 rendah
Urea uv 9 Mg/dL 0,1-1,3 rendah
Ast/SGOT 23 u/L 10-50 Normal
ANALISIS RPK DENGAN METODE SOAP
Nama : Ny. R
Umur : 44 Tahun
Jenis Kelamin : wanita
Berat badan : -
Tinggi Badan : -
Tanggal masuk : 29/01/2015
Diagnosa Masuk : Ca. Mamae (s)
Pro T siklus II
No. Rekam Medik : -
Golongan Darah : -
Riwayat Keluhan : -
Riwayat Pengobatan : -
Riwayat Penyakit : -
Riwayat Sosial : -
Riwayat Alergi : -
Pengobatan kemoterapi
Taxotere 120 mg
Doxorubicin 80 mg
Subjektif:
Objektif

1. Pemeriksaan tanda-tanda vital
No Pemeriksaan Hasil Normal Ket1. Tekanan Darah 120/90mmHg 120-125/60-70
mmHgNormal
2. Nadi 85 x i 70-80 x Tinggi
3. Respirasi 22 x i 16-20 x/menit Normal
4. Suhu 36,6 0C 36,6-37,2 0C Normal
2. Pemeriksaan Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL KetWBC 6,0 4,0 TinggiLYM 1,6 1,0 TinggiMON 1,2 0,1 TinggiGRA 3,3 2,0 Tinggi
LYM% 26,6 25,0 TinggiMON% 19,2 2,0 TinggiGRA% 54,2 50,0 TinggiRBC 4,22 4,0 TinggiHGB 11,3 11,0 NormalHCT 36,1 35,0 TinggiMCV 85,5 80,0 TinggiMCH 26,8 26,0 Normal
MCHC 31,3 31,0 NormalRDW 14,7 10,0 tinggiPLT 259 150 tinggiMPIJ 6,1 7,0 rendahPCT 0,158 0,200 rendahPDW 12,5 10,0 tinggi
Pemeriksaan Nilai Satuan Rentang nilai KetGlukosa sewaktu
143 Mg/dL 2-140 Tinggi
Creatinin 0,5 Mg/dL 2-38 rendahUrea uv 9 Mg/dL 0,1-1,3 rendah
Ast/SGOT 23 u/L 10-50 Normal
Keterangan Hasil Pemeriksaan Laboratorium

WBC : Leukosit (White Blood Cell / WBC) Leukosit merupakan
komponen darah yang berperanan dalam memerangi
infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun
proses metabolik toksin, dll. Nilai normal leukosit
berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah. Penurunan kadar
leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat
infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan
peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi
bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut,
leukemia, gagal ginjal, dll.
Limfosit (LYM) : berperan penting dalam respons imun sebagai limfosit T
dan limfosit B. Dalam keadaan normal, jumlah limfosit
berkisar 25-35 % atau 1.7-3.5 x10^3/mmk. Jumlah
limfosit meningkat (disebut limfositosis) terjadi pada
infeksi kronis dan virus. Limfositosis berat umumnya
disebabkan karena leukemia limfositik kronik. Limfosit
mengalami penurunan jumlah (disebut leukopenia)
selama terjadi sekresi hormon adenokortikal atau
pemberian terapi steroid yang berlebihan. Peningkatan
jumlah limfosit dijumpai pada leukemia limfositik,
infeksi virus (mononucleosis infeksiosa, hepatitis,
parotitis, rubella, pneumonia virus, myeloma multiple,
hipofungsi adrenokortikal. Penurunan jumlah limfosit
dijumpai pada kanker, leukemia, hiperfungsi
adrenokortikal, agranulositosis, anemia aplastik,
sklerosis multiple, gagal ginjal, sindrom nefrotik, SLE.
Monosit (MON) : baris pertahanan kedua terhadap infeksi bakteri dan benda
asing. Sel ini lebih kuat daripada netrofil dan dapat
mengonsumsi partikel debris yang lebih besar. Monosit
berespons lambat selama fase infeksi akut dan proses

inflamasi, dan terus berfungsi selama fase kronis dari
fagosit.
Dalam keadaan normal, jumlah monosit berkisar antara
4-6 % atau 0.2-0.6 x10^3/mmk. Peningkatan jumlah
monosit (disebut monositosis) dapat dijumpai pada :
penyakit virus (mononucleosis infeksiosa, parotitis,
herpes zoster), penyakit parasitic (demam bintik Rocky
Mountain, toksoplasmosis, bruselosis), leukemia
monositik, kanker, anemia (sel sabit, hemolitik), SLE,
arthritis rheumatoid, colitis ulseratif.
Penurunan jumlah monosit dapat dijumpai pada
leukemia limfositik, anemia aplastik.
Granulosit : sel pertahanan tubuh yang bertanggung jawab untuk
melawan infeksi bakteri. Orang dengan kadar granulosit
rendah rentan untuk terserang penyakit-penyakit infeksi.
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC) : Eritrosit atau sel darah merah merupakan
komponen darah yang paling banyak, dan berfungsi
sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru
untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa
kardondioksida dari seluruh tubuh ke paru-paru.Nilai
normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta
sel/ul darah, sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta -
5,4 juta sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan
pada kasus hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru
obstruksif kronik), gagal jantung kongestif, perokok,
preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah bisa
ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid, penyakit
sistemik seperti kanker dan lupus, dll.
Hemoglobin (HGB): Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah
yang berfungsi sebagai media transport yang
mengangkut oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh

dan membawa karbondioksida dari seluruh jaringan ke
paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam
hemoglobin membuat darah berwarna merah. Ada dua
hasil pemeriksaan yaitu:
a. HGB Meningkat Ditemukan pada Orang yang hidup didataran tinggi,
perokok. Beberapa penyakit seperti Radang paru-paru, tumor, preeklamsi,
hemokosentrasi dll.
b. HGB Menurun atau Hemoglobin dalam darah rendah dikenal dengan
Amenia. Anemia disebabkan oleh banyak hal seperti: perdarahan,
kekurangan gizi, gangguan sumsum tulang, akibat kemoterapi, hemolisis,
penyakit sistemik (kanker, lupus, sarcoidosis) dll
Hematokrit (HCT): Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan
banyaknya jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah
yang dinyatakan dalam %. Karena kadar hemotakrit
berbanding lurus dengan kadar hemoglobin maka
penurunan dan peningkatan kosentrasi hemoatokrit
terjadi pada penyakit yang sama seperti hemoglobin
Nilai Normal = 35,
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) : Biasanya digunakan untuk membantu
mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di mana
ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang
biasanya dipakai antara lain :
a. MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata
(VER), yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan
femtoliter (fl)
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl

b. MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-
Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan
pikogram (pg)
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
c. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau
Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar
hemoglobin yang didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%)
(satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”)
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
Red Cell Distribution Width (RDW): merupakan koefisien variasi dari volume
eritrosit. RDW yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran
eritrosit yang heterogen, dan biasanya ditemukan pada
anemia defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi
vitamin B12, sedangkan jika didapat hasil RDW yang
rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai ukuran
variasi yang kecil.
Trombosit (PLT) : Trombosit atau Platelet adalah bagian dari sel darah yang
berfungsi dalam pembekuan darah dan menjaga intergritas
vaskuler. Beberapa kelainan yang dapat ditemukan pada
trombosit yaitu giant platelet ( trombosit besar) dan platelet
clumping (trombosit bergerombol). Hasil lab jika :
a. PLT Meningkat. Trombosis yang tinggi disebut Trombositosis pada
beberapa orang tidak ada keluhan
b. PLT Menurun. Trombosis yang rendah disebut Trombositopenia ini
ditemukan pada kasus Demam Berdarah DBD, Idiopatik trombositopenia
Purpur (ITP), Supresi Sumsum tulang dll

Platelet Disribution Width (PDW): merupakan koefisien variasi ukuran
trombosit. Kadar PDW tinggi dapat ditemukan pada
sickle cell disease dan trombositosis, sedangkan kadar
PDW yang rendah dapat menunjukan trombosit yang
mempunyai ukuran yang kecil.
SGOT/SGDT : SGOT kepanjangan dari Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase dan SGPT kepanjangan dari Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase. SGOT SGPT yaitu
suatu enzim yang diproduksi didalam hati. Pada keadaan
normal, enzim ini akan diam didalam sel hati, tetapi jika
kondisi hati tidak stabil atau ada kerusakan maka hati
akan mengeluarkan enzim nya yaitu SGOT dan SGPT.
Seperti kerusakan hati (misalnya,dari hepatitis virus )
atau terhadap jantung (misalnya, dari serangan jantung).
Untuk itu apabila kadar SGOT SGPT dalam darah
berlebihan, sudah dipastikan bahwa hasil tes darah anda
akan menunjukn nilai SGOT/SGPT diatas ambang batas
normalnya yaitu berkisar 40/56.
Sr/Cr : Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Kreatin
disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot
rangka yang berikatan dengan dalam bentuk kreatin
fosfat (creatin phosphate, CP), suatu senyawa
penyimpan energi. Dalam sintesis ATP (adenosine
triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin
fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim
kreatin kinase (creatin kinase, CK). Seiring dengan
pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara
ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi
oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin.

GDS : Kadar darah sewaktu (kadar gula darah sewaktu) adalah
hasil pengukuran yang dilakukan seketika waktu itu,
tanpa ada puasa. Jadi biasanya kadar gula akan lebih
tinggi. Normalnya, kadar gula dalam darah adalah 110
mg/dl (gula darah puasa) dan 140 mg/dl (gula darah
sewaktu).
Eritrosit :Eritrosit adalah sel darah merah yang
membawa oksigen ke dalam sel-sel tubuh dan karbon
dioksida keluar dari sel-sel tubuh. Penurunan eritrosit
dapat terjadi karena adanya kehilangan darah
(pendarahan), anemia, leukimia, infeksi kronis mieloma
multipel, cairan per intra vena yang berlebihan, gagal
ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan.
1) Problem Medik
Berdasarkan data Hasil pemeriksaan Lab maka Ny. R didiagnosis menderita ca.
Mamae (s) post T siklus II ca. Mamae (s) post T siklus II.
Pro T siklus II ini berarti tahapan kanker payudara yang diderita Ibu Rohani
memasuki Tahap II dimana Tumor lebih besar dari 2 cm tetapi kurang dari 5
cm, nodus limfe takterfiksasi negative atau positif, tidak terdeteksi metastasis
dengan Komplikasi anemia kekurangan Vit. B12 dan Trombosis.
Assesment
PM Subjektif Objektif
Ca. Mammae Tidak ada keterangan WBC tinggi, Limfosit tinggi, monosit tinggi, Granulosit tinggi, % Limfosit tinggi, % monosit tinggi, % Granulosit tinggi,
Anemia
kekurangan Vit.
B12
Tidak ada keterangan MCV tinggi
Trombosis Tidak ada keterangan HCT tinggi

2) Terapi yang diperoleh
Untuk Pramedikasi mengunakan
Ondansentron 2 amp/IV
Ranitidin 2 amp/IV
Dexametasone 2 amp/IV
Diphenhidramine
Untuk kemoterapi digunakan
Taxotere 120 mg
Doxorubicin 80 mg
3) DRP’S
DRP VII: Indikasi tanpa terapi
Pasien Ny. R berdasarkan Hasil pemeriksaan Laboratorium, selain kanker
mammae, Ny R juga mengalami anemia kekurangan Vit. B12 dan Trombosis.
Berdasarkan terapi premedikasi yang diberikan, tidak ada terapi untuk
pencegahan anemia serta thrombosis.
a. Penetapan Tujuan terapi. Tujuan terapi pada penatalaksanaan terapi ini
dibagi menjadi dua yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan
terapi jangka pendek yaitu mengatasi gejala yang menyertai, mematikan sel
kanker yang telah menjalar baik ke jaringan di sebelahnya maupun yang
telah bermetastatis, menangani efek samping kemoterapi. Sedangkan tujuan
terapi jangka panjang yaitu memperpanjang harapan hidup pasien
b. Solusi dari DRP’S. Pramedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi untuk mencegah efek dari obat yang tidak diinginkan, mencegah
mual dan muntah serta mengurangi sifat keasaman cairan lambung.
Berdasarkan uraian tentang efek farmakologi dari obat-obat yang diberikan
sebagai terapi premedikasi masing-masing obat memiliki peranannya.
Ondasentron sebagai antiemetic yang kerjanya didukung oleh deksametason.
Mengingat pasien akan menjalani kemoterapi yang salah satu efek
sampingnya adalah mual dan muntah sehingga pemberian antiemetic sangat
Plan

diperlukan karena kemoterapi bersifat emetogenik. kemoterapi yang
digunakan adalah taxotere yang efek sampingnya adalah gangguan saluran
pencernaan sehingga digunakan ranitidine sebagai protektan mukosa
lambung. Karena terjadi thrombosis maka sebaiknya ditambahkan asam
tranexamat. Pasien ini menjalani kemoterapi pro siklus 2 seharusnya
pemberian taxotere itu setelah pemberian/ pengenalan doxorubicin (50
mg/m2) dan siklofosfamid (500 mg/m2) setiap 3 Minggu. Sehingga Totalnya
6 siklus.tetapi menurut MIMS Indonesia Penggunaan Taxotere pada kanker
payudara diberikan secara infus selama 1 jam, tiap 3 minggu dan merupakan
terapi lini pertama kanker payudara 75 mg/m2 dalam kombinasi dengan
doksorubisin (50 mg/m2) diberikan secara infus selama 1 jam, tiap 3 minggu.
c. Pemilihan Terapi farmakologi berdasar farmakoterapi rasional
(4T+1W)
a. Ondansetron digunakan sebagai antagonis-serotonin selektif (dari reseptor
5HT3) dengan bekerja antiemetis kuat dengan melawan refleks muntah
dari usu halus dan stimulasi CTZ, yang keduanya diakibatkan oleh
serotonin (tjay. 2009: 285) Ondansentron Efeknya dapat diperkuat dengan
pemberian dosis tunggal dexamethason (20 mg/infus) sebelum kemoterapi.
Resorpsi dari usus agak baik dan t1/2 nya 3-5 jam sebagian besar zat ini
dimetabolit di hati dan metabolitnya diekskresikan lewat tinja dan kemih.
Efek samping berupa nyeri kepala, obstipasi, jarang sekali gangguan
ekstrapiramidal dan reaksi hipersensitivitas.
b. Deksametason digunakan untuk mendukung penggunaan obat
ondansentron. Dan memilki mekanisme kerja menekan adrenal relative
kuat. Obat ini sering digunakan sebagai zat diagnostic untuk menetukan
hiperfungsi adrenal (tjay. 2007: 734)
c. Ranitidin digunakan untuk melindungi mukosa lambung dari obat-obat
yang dapat mengiritasi lambung dan untuk tetap menetralkan cairan
lambung di dalam tubuh pasien apalagi pasien ini sudah terkena maag
kronis. Ranitidine memilki daya menghambat senyawa furan terhada

sekresi asam, tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain
sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan (Tjay. 2007:
273)
d. Difenhidramin merupakan generasi pertama obat antihistamin. Dalam
proses terapi difenhidramin termasuk kategori antidot, reaksi
hipersensitivitas, antihistamin dan sedatif. Memiliki sinonim
Diphenhydramine HCl dan digunakan untuk mengatasi gejala alergi
pernapasan dan alergi kulit, memberi efek mengantuk bagi orang yang
sulit tidur, mencegah mabuk perjalanan dan sebagai antitusif, anti mual
dan anestesi topikal.
e. Taxotere adalah adalah turunan semisintetik dari prekursoryang diekstrak
dari jarum tanaman yew. Obat ini memiliki 14 cincin yang disebut taxane.
Berbeda dengan alkaloid vinca, yang menyebabkan pembongkaran mikrotubular,
taxanes mempromosikan pembentukan mikrotubular dan stabilitas, Oleh
karena itu menghalangi siklus sel untuk bermitosis. Docetaxel lebih kuat
daripada paclitaxel dalam meningkatkan pembentukan mikrotubular dan
juga menginduksi apoptosis.
f. Asam tranexamat
Merupakan obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi
perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi
plasmin pada cascade pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi
mendegradasi fibrin, maka asam tranexamat bekerja menghambat
degradasi fibrin, yang berujung pada meningkatnya aktivitas pembekuan
darah.
Pada kasus ini pasien mengalami perdarahan setelah kemoterapi
sehingga agar tidak terjadi anemia maka perlu diberikan terapi
antifibrinolitik yaitu asam traneksamat dengan dosis per oral 2 x sehari 1
gram. Namun apabila perdarahan telah berhenti maka penggunaan asam
traneksamat dapat dihentikan penggunaannya

d. Terapi Non Farmakologi
1. Monitoring.
Monitoring terhadap efek samping kemoterapi yaitu mual, muntah
maka untuk menganggulanginya perlu diberikan antiemetik. Namun
semua efek samping ini sementara, begitu kemoterapi dihentikan, kondisi
pasien akan pulih kembali seperti semula. Serta efek samping kemoterapi
juga terjadi pada sumsum tulang belakang (berkurangnya hemoglobin,
trombosit, dan sel darah putih, membuat tubuh lemah, merasa lelah,
sesak nafas, mudah mengalami perdarahan, dan mudah terinfeksi)
sehingga untuk melakukan kemoterapi selanjutnya harus diberikan
interval waktu untuk memberikan kesempatan pada sumsum tulang untuk
kembali normal dalam memproduksi sel darah merah dan sel darah putih.
Sedangkan monitoring terhadap keberhasilan terapi, jika
kemoterapi selesai dilakukan maka perlu dilakukan pemantauan secara
rutin dengan cara ‘mammografi atau USG tiap 3-4 bulan sekali untuk
mengetahui ada kemungkinan kambuh atau tidak, karena jika terjadi
kekambuhan maka penyakit ini akan lebih berbahaya dan angka harapan
hidupnya sangat kecil.
2. Konseling
Berikan konseling untuk mengatur pola hidup bersih dan sehat.
III. 2 Dispepsia
Seorang wanita Ny.R umur 22 tahun masuk UGD dengan keluha nyeri
perut bawah sejak 5 hari yang lalu. Tidak mengalami mual ataupun muntah
diagnosa utama yaitu dispepsia sedangkan diagnosa sekunder yaitu ISK, PUD.
R/Cefadroxil 500 mg No. X
S. 3 dd I
Ranitidin 150 mg No. X

S. 2 dd I
PCT 500 mg No. X
S. 3 dd I
Data Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Normal
Hb 12,4 12-16 (g/dl)
WBC 94,0(3,5-10,0 ) L
103/mm3
SGOT/SGDT 31/353-45 u/L,/ 0-35
u/L
Sr/Cr 15/0,1 0,5-1,0 mg/dl.
GDS 115 70-110 mg/dl
Eritrosit 0-23,8-5,2
(106/µl).
Ket:
Hb : Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah
yang berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru
paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa
karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru.
Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin
membuat darah berwarna merah.
WBC : Leukosit (White Blood Cell / WBC) Leukosit merupakan
komponen darah yang berperanan dalam memerangi
infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun
proses metabolik toksin, dll. Nilai normal leukosit
berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah. Penurunan kadar
leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat
infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan

peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi
bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut,
leukemia, gagal ginjal, dll
SGOT/SGDT : SGOT kepanjangan dari Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase dan SGPT kepanjangan dari Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase. SGOT SGPT yaitu
suatu enzim yang diproduksi didalam hati. Pada keadaan
normal, enzim ini akan diam didalam sel hati, tetapi jika
kondisi hati tidak stabil atau ada kerusakan maka hati
akan mengeluarkan enzim nya yaitu SGOT dan SGPT.
Seperti kerusakan hati (misalnya,dari hepatitis virus )
atau terhadap jantung (misalnya, dari serangan jantung).
Untuk itu apabila kadar SGOT SGPT dalam darah
berlebihan, sudah dipastikan bahwa hasil tes darah anda
akan menunjukn nilai SGOT/SGPT diatas ambang batas
normalnya yaitu berkisar 40/56.
Sr/Cr : Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Kreatin
disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot
rangka yang berikatan dengan dalam bentuk kreatin
fosfat (creatin phosphate, CP), suatu senyawa
penyimpan energi. Dalam sintesis ATP (adenosine
triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin
fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim
kreatin kinase (creatin kinase, CK). Seiring dengan
pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara
ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi
oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin.
GDS : Kadar darah sewaktu (kadar gula darah sewaktu) adalah
hasil pengukuran yang dilakukan seketika waktu itu,
tanpa ada puasa. Jadi biasanya kadar gula akan lebih

tinggi. Normalnya, kadar gula dalam darah adalah 110
mg/dl (gula darah puasa) dan 140 mg/dl (gula darah
sewaktu).
Eritrosit :Eritrosit adalah sel darah merah yang
membawa oksigen ke dalam sel-sel tubuh dan karbon
dioksida keluar dari sel-sel tubuh. Penurunan eritrosit
dapat terjadi karena adanya kehilangan darah
(pendarahan), anemia, leukimia, infeksi kronis mieloma
multipel, cairan per intra vena yang berlebihan, gagal
ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan.
Tanda-Tanda Vital
Pemeriksaan Hasil Normal
Tekanan 110/70 mmHg 120/80 mmHg
Nadi 90 x/m 70-80 x/m
Pernapasan 20 ×/m 16-20 x/m
Suhu 36,8 °C 370C
Penyelesaian:
1) Subjektif
Nama : Ny. R
Umur : 22 tahun
JK : Perempuan
Keluhan : nyeri perut bawah sejak 5 hari yang lalu, tidak mengalami
mual dan muntah.
2) Objektif
Data Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Normal
Hb 12,4 12-16 (g/dl)
WBC 94,0(3,5-10,0 ) L
103/mm3
SGOT/SGDT 31/35 3-45 u/L,/ 0-35
u/L
Sr/Cr 15/0,1 0,5-1,0 mg/dl.
GDS 115 70-110 mg/dl
Eritrosit 0-23,8-5,2
(106/µl).
Tanda Vital
Pemeriksaan Hasil Normal
Tekanan 110/70 mmHg 120/80 mmHg
Nadi 90 x/m 70-80 x/m
Pernapasan 20 ×/m 16-20 x/m
Suhu 36,8 °C 370C
3) Asessment
Berdasarkan keluhan yang dialami oleh penderita serta data lab dan data
tanda vital penderita didiagnosa utama dispepsia sedangkan diagnosa sekunder
yaitu ISK, PUD
4) Plan
Terapi Non Farmakologi

Untuk dispepsia, beberapa studi mengenai penanganan dispepsia
fungsional diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan
diet, dan terapi farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari
makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok.
Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi
intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang
terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan
seharihari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang
lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku (Dispepsi.
Pdf: 12).
Untuk infeksi saluran kemih terapi nonfarmakologinya yaitu:
a. Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga
meningkat (meransang diuresis)
b. Buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membersihkan mikroorganisme
yang mungkin naik uretra
c. Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing
agar tidak mudah berkembang biak
d. Mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi
saluran kemih berulang
e. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, misalnya buah-
buahan, daging tanpa lemak dan kacang-kacangan.
f. Tidak menahan bila ingin berkemih
5) Pembahasan
Ranitidin adalah golongan H2-blockers (antagonis H2 reseptor). Obat-
obat ini menempati reseptor histamin H2 secara selektif di permukaan sel-sel
parietal sehingga sekresi asam lambung dan pepsin sangat dikurangi.
Antihistaminika (H1-blockers) lainnya tidak memiliki khasiat ini. Efektifitas
obat-obat ini pada penyembuhan tukak lambung dan usus dengan terapi
kombinasi melebihi 80%. H2 blockers paling efektif untuk pengobatan tukak

duodeni yang khusus berkaitan dengan masalah hiperrasiditas ( Tjay, Tan
Hoan.
Cefadroxil merupakan antibiotik yang mekanisme kerjanya berdasarkan
sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih protein penisilin
(PBP) yang menghambat langkah transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan di
dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri
akhirnya melisiskan akibat aktivitas yang sedang berlangsung dinding sel
enzim autolitik (autolysins dan murein hidrolase) sementara perakitan dinding
sel ditangkap ( Drug Informasion Handbook, 17th edition).
Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah dengan
cara menghambat COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer (Frust & Ulrich,
2007). Efek anti-inflamasi sangat lemah, sehingga parasetamol tidak digunakan
sebagai antireumatik (Wilmana & Gan, 2007) . Penelitian terbaru menyatakan
bahwa parasetamol menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX
yang berbeda dari COX-1 dan COX-2 yaitu enzim COX-3 (University of
Alberta, 2009). Sifat antipiretik dari parasetamol dikarenakan efek langsung ke
pusat pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi
perifer, berkeringat, dan pembuangan panas (University of Alberta, 2009).
Dari kasus tersebut, didapatkan diagnosis utama dari penderita adalah
dispepsia, dimana dispepsia merupakan perasaan tidak nyaman atau nyeri pada
abdomen bagian atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion)
mungkin digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala
regurgitasi atau flatus ( Grace, Pierce A dan Neil R Borley. 2006 : 25).
Patofisiologi dispepsia belum diketahui secra pati, namun diperkirakan salah-
satunya adalah faktor hipersekresi asam lambung sehingga mukosa
hipersensitif terhadap asam, oleh karena itu dalam terapi farmakologinya
diberikan obat ranitidin yang dapat menetralisir asam lambung dengan
menempati reseptor histamin H2 secara selektif di permukaan sel-sel parietal
sehingga sekresi asam lambung dan pepsin sangat dikurangi (Tjay, Tan Hoan.
2006: ).

Pemberian ranitidin dalam kasus sudah rasional, dimana berdasarkan
algoritma, pada penderita dispepsia, yang tidak mengalami komplikasi, maka
terapinya adalah obat golongan H2-blockers (antagonis H2 reseptor) atau obat
golongan PPI ((Dipiro, Joseph. 2008 :576).
Selain pemberian ranitidin, penderita juga diberikan obat parasetamol,
parasetamol sendiri digunakan sebagai obat penghilang nyeri, karena
parasetamol merupakan obat golongan AINS dengan menghambat
prostaglandin yang lemah dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2, yang
lansung pada pusat nyeri.
Dari pemeriksaan lab, hasil yang tidak normal adalah eritrosit dan WBC.
WBC mengalami peningkatan hal tersebut bisa ditemukan pada penyakit
infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal
ginjal, dll. Namun berdasarkan kasus penderita didiagnosa terkena ISK, oleh
karena itu pemberian cefadroxil, se pemilihan cefadroxil sebagai antibiotik,
karena ISK adalah infeksi akibat bakteri. Defadroxil digunakan karena
memiliki distribusi luas seluruh tubuh dan mencapai konsentrasi terapeutik
pada sebagian besar jaringan dan cairan tubuh , termasuk sinovial, perikardial,
pleura, dan cairan peritoneal, empedu , dahak , dan urin, tulang , miokardium,
kandung empedu, kulit , dan jaringan lunak ( Drug Informasion Handbook,
17th edition).
6) Analisis Drug Related Problem
a) Obat diperlukan
a. Cefadroxil 500 mg
Indikasi : Cefadroxil terutama digunakan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh organisme gram positif yaitu:
Infeksi saluran kemih : Pielonefritis, sistitis, uretritis,
adneksitis,endometritis. Infeksi saluran pernafasan :
Tonsilitis, faringitis, bronkitis, pneumonia, abses paru,
bronkhopneumonia, sinusitis, laringitis,otitismedia. Infeksi
kulit dan jaringan lunak : Limfadenitis, abses, selulitis,

erisipelas, furunkulosis, mastitis. Infeksi lain : Osteomielitis,
artritis sepsis, peritonitis septikemia.
b. Ranitidin
Indikasi : Ranitidin adalah obat yang diindikasikan untuk sakit maag.
Pada penderita sakit maag, terjadi peningkatan asam
lambung dan luka pada lambung. Hal tersebut yang sering
kali menyebabkan rasa nyeri ulu hati, rasa terbakan di dada,
perut terasa penuh, mual, banyak bersendawa ataupun
buang gas.
c. PCT 500 mg
Indikasi : Mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit
kepala, sakit gigi, nyeri otot, dan nyeri setelah pencabutan
gigi serta menurunkan demam. Selain itu, parasetamol juga
mempunyai efek anti-radang yang lemah.
Berdasarkna keluhan yang dialami pasien, dengan diagnosa utama
dispepsia, dan diagnosa sekundernya ISK dan PUD. Oleh karena itu
pemberian obat ranitidine, PCT, dan cefadroxil sudah rasional, ditinjau
dari indikasi obat dengan keluhan yang dialami penderi.
b) Obat Tidak Sesuai
Ranitidine, cefadroxil, maupun parasetamol, merupakan obat
generik oleh karena itu jika di pantau dari segi harga, maka cukup
terjangkau dikalangan masyarakat menengah ke bawah. Sehingga tidak
perlu diganti dengan alternative yang lebih murah.
c) Dosis salah
a. Cefadroxil 500 mg
Dosis : Dewasa: Infeksi saluran kemih: Infeksi saluran kemih
bagian bawah, seperti sistitis : 1 – 2 g sehari dalam dosis
tunggal atau dua dosis terbagi, infeksi saluran kemih
lainnya 2 g sehari dalam dosis terbagi.

b. Ranitidin
Dosis : Dosis ranitidin untuk orang dewasa ialah 150 mg dua kali
sehari atau 300 mg sekali sehari. Untuk peradangan
kerongkongan, ranitidin dapat diberikan hingga 150 mg
tiga kali sehari. Dosis untuk anak-anak ialah 2-4 mg/kg
berat badan dua kali sehari. Dosis maksimal untuk anak-
anak ialah 300 mg sehari.
c. PCT 500 mg
Dosis : Untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam, dosis
parasetamol dewasa 325 – 650 mg setiap 4 jam atau 500
mg setiap 8 jam.
Dari pemberian terapi farmakologi, yaitu parasetamol 500 mg,
cefadroxil 500 mg, dan ranitidine 150 mg, sudah rasional berdasarkan
indikasi, dan keluhan yang diderita penderita. Setra ditinjau dari segi umur
sudah rasional.
d) Efek Obat Berlawanan
a. Cefadroxil 500 mg
Efek Samping : Gangguan saluran pencernaan, seperti mual, muntah,
diare, dan gejala kolitis pseudomembran.
Reaksi hipersensitif, seperti ruam kulit, gatal-gatal
dan reaksi anafilaksis. samping lain seperti
vaginitis, neutropenia dan peningkatan
transaminase.
b. Ranitidin 150 mg
Efek Samping : Efek samping yang ditimbulkan sangat jarang
ditemukan. Adapun efek samping tersebut beserta

persentase frekuensi kemunculannya adalah
sebagai berikut:
1. Sakit kepala (3%);
2. Sulit buang air besar (<1%);
3. Diare (<1%);
4. Mual (<1%);
5. Nyeri perut (<1%);
6. Gatal-gatal pada kulit (<1%).
c. PCT 500 mg
Efek Samping : Efek samping parasetamol jarang ditemukan. Efek
samping dapat berupa gejala ringan seperti pusing
sampai efek samping berat seperti gangguan ginjal,
gangguan hati, reaksi alergi dan gangguan darah.
Reaksi alergi dapat berupa bintik – bintik merah
pada kulit, biduran, sampai reaksi alergi berat yang
mengancam nyawa. Gangguan darah dapat berupa
perdarahan saluran cerna, penurunan kadar
trombosit dan leukosit, serta gangguan sel darah
putih. Penggunaan parasetamol jangka pendek aman
pada ibu hamil pada semua trimester dan ibu
menyusui.
Berdasarkan analisa terhadap efek samping yang ditimbulkan, maka
terapi farmakologi yang meliputi parasetamol, ranitidine, dan cefadroxil
tidak menimbulkan efek samping ataupun alergi pada pasien, karena efek
samping dari ketiga obat tersebut sangat minim.
e) Interaksi Obat
a. Cefadroxil 500 mg
Interaksi: Obat-obat yang bersifat nefrotoksik dapat meningkatkan
toksisitas sefalosporin terhadap ginjal. Probenesid

menghambat sekresi sefalosporin sehingga
memperpanjang dan meningkatkan konsentrasi obat
dalam tubuh. Alkohol dapat mengakibatkan Disulfiram-
like reactions, jika diberikan 48–72 jam setelah
pemberiansefalosporin.
b. Ranitidin 150 mg
Interaksi : Ranitidine tidak menghambat kerja dari sitokrom P450
dalam hati, Pemberian bersama warfarin dapat
meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
c. Parasetamol 500 mg
Interaksi : Alkohol, antikonvulsan, isoniazid: Meningkatkan
resiko hepatotoksis, Antikoagulan oral: Dapat
meningkatkan efek warfarin, Fenotiazin:
Kemungkinan terjadi hipotermia parah.
Berdasarkan tinjauan interaksi, ketig aterapi farmakologi
tersebut tidak terjadi interaksi, sehingga pemakain obat tersebut
sudah rasional.
III. 3 Ulcerativ Colitis
Seorang pasien wanita dengan inisial Ny. H berusia 35 tahun, berat badan
50 kg dan tinggi badan 158 cm, mengeluhkan BAB encer dan mengeluarkan
darah sejak sebulan yang lalu.
Hasil Lab menunjukkan,
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 80 x/i
Pernapasan 20 x/i
Suhu 36,5°C

Diagnosa ketika masuk rumah sakit yaitu colitis dan anemia.
Diagnosa utama protokolitis ulseratif derajat sedang.
Diagnosa sekunder anemia.
ANALISIS RPK dengan Metode SOAP
Subjective Data :
a. Pasien berinisial Ny. H
b. Usia 35 tahun
c. Berat badan 50 kg
d. Tinggi badan 158 cm
e. BAB encer
f. Mengeluarkan darah sejak sebulan yang lalu.
Objective Data :
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 80 x/i
Pernapasan 20 x/i
Suhu 36,5°C
Diagnosa ketika masuk rumah sakit yaitu colitis dan anemia.
Diagnosa utama protokolitis ulseratif derajat sedang.
Diagnosa sekunder anemia.

Assessment : Pada kasus tersebut, pasien di diagnosa menderita protokolitis
ulseratif, dengan gejala yang dialami yaitu anemia. Penyakit ini
merujuk pada peradangan yang terbatas pada rektum. Beberapa
pasien-pasien dengan ulcerative proctitis, perdarahan rektum
yang ringan. Pasien-pasien lain dengan peradangan rektum yang
lebih berat mungkin, sebagai tambahan, mengalami sakit/nyeri
rektum, urgensi (perasaan yang mendadak harus membuang air
besar dan suatu keperluan untuk berlari ke kamar kecil karena
takut mengotori celana), dan tenesmus (dorongan yang tidak
efektif dan sakit untuk mengosongkan isi perut).
Obat-obat anti peradangan yang mengurangi peradangan usus
adalah dapat disamakan dengan obat-obat arthritis yang
mengurangi peradangan sendi (arthritis). Obat-obat anti
peradangan yang digunakan untuk merawat radang borok usus
besar adalah:
* Topical 5-ASA compounds seperti sulfasalazine (Azulfidine),
olsalazine (Dipentum), dan mesalamine (Pentasa, Asacol,
Rowasa enema) yang memerlukan kontak langsung dengan
jaringan yang meradang supaya menjadi efektif.
* Obat-obat anti peradangan sistemik seperti kortikosteroid-
kortikosteroid yang mengurangi peradangan diseluruh tubuh
tanpa kontak langsung dengan jaringan yang meradang.
Kortikosteroid-kortikosteroid sistemik mempunyai efek-efek
sampingan yang dapat diprediksi dengan penggunaan jangka
panjang.
Terapi yang diberikan yaitu Salofalk (mesalasine) 500 mg, 4
kali sehari.
Plan : Terapi obat Salofalk (mesalasine) 500 mg untuk 4 kali sehari
sudah tepat. Perlu diberikan edukasi kepada pasien berupa

penggunaan obat yang diberikan 1 jam sebelum makan, obat di
telan utuh jangan dikunyah ataupun dihancurkan.
BAB IV
STUDI KASUS MINI TEACHING APOTEK
IV.1 Resep 1
ANALISIS RESEP
1. Resep Asli

2. Uraian Resep
R/ Metronidazole No. III
S. Pro Inj
Ketorolac amp No. III
S. Pro Inj
OMZ 40 No. II
S. Pro Inj
Simvastatin 40mg No. III
S.0-0-1
Dorner 20 mg No. VI
S.2 dd 1
Pro : Ny S (64 Tahun)
3. Skrining Resep
a. Assesment
Diagnosa: pasien baru menjalani operasi dan Hiperlipidemia
b. Administrative (Kelengkapan Resep)
No UraianPada Resep
Ada Tidak
Inscription
1.
2.
3.
Identitas dokter
Nama dokter
SIP dokter
Alamat dokter
4. Nomor telepon
5. Tempat dan tanggal
penulisan resep
Invocatio
6. Tanda resep diawal

penulisan resep (R/)
Prescriptio/Ordonatio
7. Nama Obat
8. Kekuatan Obat
9. Jumlah Obat
Signatura
10. Nama Pasien
11. Jenis kelamin
12. Umur Pasien
13. Berat Badan Pasien
14. Alamat Pasien
15. Aturan pakai obat
16. Iter/tanda lain
Subscriptio
17. Tanda tangan/ paraf dokter
Kesimpulan: resep tersebut tidak lengkap
Resep tidak lengkap karena tidak mencantumkan informasi mengenai
alamat pasien, dan berat badan pasien.
Cara pengatasan Alamat dan berat badan pasien dapat ditanyakan langsung
kepada pasien/keluarga pasien.
c. Kesesuaian Farmasetis
No Kriteria Permasalahan Pengatasan
1 Bentuk sediaan - Sesuai
2 Stabilitas obat - Sesuai
3 Inkompatibiltas - Sesuai
4 Cara pemberian - Sesuai
5 Jumlah dan aturan pakai - Sesuai
d. Dosis

No Nama Obat Dosis
Resep
Dosis
Literatur
Kesimpulan Rekomendasi
1. Metronidazol Injeksi - sesuai -
2. Simvastatin 40
mg
1 x 1
pada
malam
hari
Maks. 40
mg/hari
pada
malam
hari
(MIMS.
2012)
sesuai -
3. Dorner 20 2x 1 60 mcg/hr
(MIMS.
2012: 63)
sesuai -
4. Omeprazol Injeksi - sesuai -
5. Ketorolac Injeksi 30-60 mg
q6h
sesuai -
e. Pertimbangan Klinis
No Kriteria permasalahan pengatasan
1. Indikasi - -
2. Kontraindikasi - -
3. Interaksi - -
4. Duplikasi/polifarmasi - -
5. Alergi - -
6. Efek samping - -
7. Reaksi Obat Yang merugikan - -
4. Analisis DRP’S
a. Obat Diperlukan
1) Metronidazol

Indikasi : Digunakan dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh
organisme yang rentan, terutama bakteri anaerob dan protozoa.
Metronidazole efektif untuk pengobatan trikomoniasis seperti vaginitis
dan urethritis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, amebiasis
seperti amebiasis intestinal, dan amebiasis hepatic yang disebabkan
oleh E. Histolytica dan sebagai obat pilihan untuk giardiasis (Wibowo.
2009 :14).
2) Ketorolac
Indikasi : Merupakan agen antiinflamasi injeksi pertama. Seperti
NSAID yang lain, obat ini menghambat sintesis prostaglandin, tetapi ia
mempunyai khasiat analgesic yang lebih kuat dibandingkan dengan
agen-agen antiinflamasi lainnya. Ketorolac dianjurkan pemakaiannya
pada penanganan nyeri jangka pendek. Untuk nyeri pascabedah telah
terbukti khasiat analgesiknya sama atau lebih dibandingkan dengan
analgesic opioid. Obat ini diberikan intramuscular dalam dosis 30-60
mg q6h untuk dewasa (Joyce. 1996: 315)
3) Omeprazole (OMZ 40 mg Amp)
Indikasi : terapi jangka pendek ulkus duodenal dan lambung, refluks
wsofalgis, sindroma Zolinger- Ellison (MIMS. 2012: 8).
4) Simvastatin 40 Mg
Indikasi: Menurunkan jumlah kolesterol total dan LDL pada
Hiperkolesterolemia primer dan sekunder serta meningkatkan HDL
(MIMS. 2012: 62)
5) Dorner 20
Komposisi : Beraprost Na
Indikasi: memperbaiki tukak, nyeri, dan rasa dingin yang berhubungan
dengan oklusi arterial kronik, hipertensi pulmonal primer (MIMS.
2012: 75).
b. Ketepatan Dosis
1) Metronidazole
Dosis:

a) Metronidazol tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan botol
infusan. Metronidazol tablet tersedia dalam ukuran 250 mg dan 500
mg. Untuk kapsul, metronidazol tersedia dalam ukuran 375 mg.
Sedangkan dalam kemasan botol infusan, metronidazol tersedia
dalam ukuran 500 mg/100ml. Metronidazol dapat ditemukan
sebagai obat paten maupun generik.
b) Dosis metronidazol sebagai terapi infeksi anaerob (misal pada luka
diabetes atau infeksi orga dalam tubuh) ialah 7,5 mg/kg berat badan
sebanyak 3-4 kali sehari selama 7-10 hari. Secara praktis,
metronidazol biasa diresepkan berupa tablet 500mg, diminum tiga
kali sehari selama 7 hari. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
metronidazol diberikan lewat infusan dengan dosis 15 mg/kg berat
badan. Dosis maksimal ialah 4 gram per hari. Untuk infeksi kelamin
dan diare akibat trichomonas, metronidazol diberikan 500 mg, dua
kali sehari selama 7 hari. Sedangkan untuk diare akibat amoeba,
metronidazol diberikan sebanyak 750 mg, 2-3 kali sehari selama 5-
10 hari.
c) Untuk anak-anak, dosis Metronidazol tergantung berat badan.
Dosisnya ialah 15 mg/kg berat badan/hari tiga kali sehari. Untuk
bayi umur kurang dari 7 hari, dosisnya ialah 7,5 mg/kg berat
badan/hari.
(MIMS. 2012: 242)
2) Ketorolac
Dosis : Obat ini diberikan intramuscular dalam dosis 30-60 mg q6h
untuk dewasa (Joyce. 1996: 315).
3) Simvastastin
Dosis : awal 10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari. Dosis dapat
disesuaikan dengan interval tidak < 4 minggu. Maks 40 mg/ hari dosis
tunggal (malam hari) (MIMS. 2012: 63).
4) Dorner 20

Dosis : Memperbaiki tukak, nyeri, dan rasa dingin yang berhubungan
dengan oklusi, arterial kronik dewasa: 120 mcg/hari dan 3 dosis terbagi.
Hipertensi Pulmonal primer 60 mcg/ hari dalam 3 dosis terbagi. Bila
perlu, tingkatkan dosis s/d maks 180 mcg/hari dalam 3-4 dosis terbagi
(MIMS. 2012-75-76).
5) Omeprazole
Dosis: 20 mg 1 x/ hari selama 2-4 minggu. Pasien yang sukar
disembuhkan dengan terapi lain 40 mg 1x hari selama 4-8 minggu.
Amp 40 mg x 1 (MIMS. 2012: 8).
c. Reaksi Obat Yang tidak diinginkan
1) Metronidazole
Efek samping : mual, munta, rasa tidak enak pada abdomen, rasa
logam pada lidah, diare, neuropati perifer, leukopenia, dan
trombositopenia sementara. Aplasia sum-sum tulang. Urin berwarna
gelap. Ruam eriternatosus, peruritus, fotosensitivitas, hipertensi, infark
miokard, RA dan tromboflebitis
2) Ketorolac
Efek samping : tukak, pendarahan, disfungsi ginjal berat atau punya
resiko gagal ginjal, gangguan hemostatic, diathesis hemoragik.
3) Omeprazole
Efek samping : jarang, gangguan GI, sakit kepala, ruam kulit
4) Dorner 20
Efek samping : sakit kepala, rasa hangat dan kemerahan pada wajah,
gangguan pada GI, Kecenderungan pendarahan, pusing, peningkatan
kadar enzim hati, trigliserida, dan bilirubin (MIMS. 2012: 76)
5) Simvastatin 40 mg
Efek samping : nyeri abdomen, konstipasi, dan kembung (MIMS.
2012: 63)
d. Interaksi Obat
1) Metronidazole

Interaksi Obat : kumarin, alcohol, disulfiram, phenobarb, litium,
terfenadin, astemizol, fluorourasil, azatioprin (MIMS. 2012: 242).
a. Metronidazole menghambat metabolisme warfarin dan dosis
antikoagulan kumarin lainnya harus dikurangi. Metronidazole
meningkatkan risiko efek samping antikoagulan kumarin.
b. Pemberian alkohol selama terapi dengan metronidazole dapat
menimbulkan gejala seperti pada disulfiram yaitu mual, muntah, sakit
perut dan sakit kepala.
c. Dengan obat-obat yang menekan aktivitas enzim mikrosomal hati
seperti simetidin, akan memperpanjang waktu paruh metronidazole
2) Simvastatin
Interaksi Obat : meningkatkan efek antikoagulan dari kumarin,
penggunaan bersama HMG CoA reduktase dengan asam nikotinat
meningkatkan Miopati (MIMS. 2012: 63).
3) Ketorolac
Interaksi Obat:
a) Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati hati
karena beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin
dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga
memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate.
b) Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan
dengan perdarahan berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme
interaksi pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi
peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang
diinduksi NSAID, atau efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin
dan penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus
digunakan secara kombinasi hanya jika benar-benar perlu dan
pasien tersebut harus dimonitor secara ketat.

c) ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko
gangguan ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE
inhibitor, terutama pada pasien yang telah mengalami deplesi
volume.
d) Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-
kira 20% pada orang sehat normovolemik.
e) Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila
sedang memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.
f) Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama
penggunaan Ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.
g) Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada
pasien yang sedang menggunakan obat psikoaktif.
4) Omeprazole
Interaksi Obat:
a) Omeprazole dapat memperpanjang eliminasi obat-obat yang
dimetabolisme melalui sitokrom P-450 dalam hati yaitu diazepam,
warfarin, fenitoin.
b) Omeprazole mengganggu penyerapan obat-obat yang absorbsinya
dipengaruhi pH lambung seperti ketokonazole, ampicillin dan zat
besi.
5) Dorner 20
Interaksi Obat : warfarin, aspirin, tiklopidin, urokinase. Preparat
prostaglandin I2.
e. Tepat Obat
1) Metronidazole
Farmakologi : Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa
sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai aktifitas bakterisid,
amebisid dan trikomonosid. Dalam sel atau mikroorganisme

metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi
ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam
nukleat
2) Ketorolac
Farmakologi : Ketorolac merupakan suatu analgesik non-narkotik.
Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan
aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai
analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.
3) Simvastatin
Farmakologi : Simvastatin adalah senyawa antilipermic derivat asam
mevinat yang mempunyai mekanisme kerja menghambat 3-hidroksi-3-
metil-glutaril-koenzim A (HMG-CoA) reduktase yang mempunyai
fungsi sebagai katalis dalam pembentukan kolesterol. HMG-CoA
reduktase bertanggung jawab terhadap perubahan HMG-CoA menjadi
asam mevalonat. Penghambatan terhadap HMG-CoA reduktase
menyebabkan penurunan sintesa kolesterol dan meningkatkan jumlah
reseptor Low Density Lipoprotein (LDL) yang terdapat dalam membran
sel hati dan jaringan ekstrahepatik, sehingga menyebabkan banyak LDL
yang hilang dalam plasma. Simvastatin cenderung mengurangi jumlah
trigliserida dan meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL)
kolesterol.
4) Omeprazole
Farmakologi: Omeprazole merupakan antisekresi, turunan
benzimidazole, yang bekerja menekan sekresi asam lambung dengan
menghambat H+/K+-ATPase (pompa proton) pada permukaan kelenjar
sel parietal gastrik pada pH < 4. Omeprazole yang berikatan dengan
proton (H+) secara cepat akan diubah menjadi sulfonamida, suatu
penghambat pompa proton yang aktif. Penggunaan omeprazole secara

oral menghambat sekresi asam lambung basal dan stimulasi
pentagastrik.
5) Dorner 20
Farmakologi : Beraprost adalah analog sintetik dari prostacyclin.
Beraprost memperbesar pembuluh darah, mencegah agregasi platelet
dan mencegah pengembangbiakan (proliferasi) sel otot halus di sekitar
pembuluh darah
5. MONITORING
Hal-hal yang perlu monitoring:
a. Kondisi pasien, gejala yang dirasakan pasien, semakin membaik atau
tidak.
b. Memeriksa kemungkinan terjadinya alergi dan efek samping.
c. Kepatuhan pasien minum obat.
6. EVALUASI
a. Keberhasilan terapi: pasien sembuh atau tidak, gejala atau keluhan
hilang/tidak, pasien dapat beraktivitas seperti biasa.
b. Ada/tidaknya gejala/keluhan dan penyakit lain yang timbul setelah/selama
pengobatan.
IV.2 Resep 2
A. Resep
R/ lacidofil
S 2 dd 1
Metocobalt 500 mg
S 2 dd 1
Rebapimid 100 mg
S 2 dd 1

Fucohelix Syr
S 3 dd 1
Spasmomen Syr
S 3 dd 1
Pasien : Ny. L
Umur : 45 tahun
B. Mekanisme Kerja
a) Lacidofil
Definisi Probiotik : Mikroba non patogen yang berasal dari varietas
bakteri yang memproduksi asam laktat dan digunakan untuk
memperbaiki/mempertahankan keseimbangan mikroflora usus. Jenis
terbanyak adalah : lactobacillus sp, Bifidobacterium, Saccharomyces
Secara Evidence based probiotik ini berguna untuk mencegah dan
mengobati berbagai kelainan saluran cerna seperti irritable bowel
syndrome, Inflamatory bowel syndrome, acute gastroenteritis, diare akut,
diare karena pemakaian antibiotik (Hariana, H.A. 2002 :433)
Tingkat keamanan pemakaian : Pada individu sehat belum
ditemukan efek samping yang berbahaya pada penggunaan jangka panjang
(aman dan ditoleransi dengan baik) Penemuan beberapa kasus dapat
menyebabkan pneumonia, meningitis dan septikemia pada pasien dengan
severely debilitated, imunocompromized children dan neonatus Bentuk
Probiotik Yang Aman untuk dikonsumsi adalah : Makanan fermentasi,
yoghurt, buttermilk, kefir, sauer kraut Pada sediaann suplemen seperti
Lacto-B, Lacidofil dsb umumnya dosisnya lebih tinggi (Hariana, H.A.,
2002: 434)
Cara kerja memodulasi sistem imun dengan berbagai aktivasi dari
epitel dan reseptor sel imun. Menghambat adhesi dan invasi spesies
enteroinvasif ke sel usus Menghambat kolonisasi bakteri patogen

Meningkatkan sitoproteksi epitel dan destruksi reseptor toxin (Hariana,
H.A., 2002: 434).
b) Rebapimid 100 mg
Rebamipide adalah suatu analog prostaglandin yang sebagian
mekanisme kerjanya mirip dengan misoprostol. Selain itu ada mekanisme
lainnya yaitu merangsang produksi cyclooxigenase-2 (COX-2) yang juga
berfungsi untuk perlindungan mukosa lambung. Dulu sempat ada
anggapan bahwa COX-1 saja yang melindungi lambung; namun
belakangan diketahui bahwa keseimbangan COX-1 dan COX-2-lah yang
harus dipertahankan untuk perlindungan mukosa lambung yang optimal
(Mutschler, Ernnst dan Rer Nat. 2006)
c) Fucohelix Syr
Fucohelix mengandung fucoidan, fucoidan direkomendasikan sebagai
terapi pendamping untuk ulkus lambung dan gastritis kronis. Polisakarida sulfat
ini diekstrak dari ganggang laut coklat spesies Cladosiphon okamuranus yang
hidup di perairan Okinawa, Jepang, yang merupakan makanan sehari-hari
penduduk setempat. Agen ini mengandung fucosa, radikal sulfat, galaktosa,
dilengkapi dengan xylosa atau asam uronik. Karakteristik yang lain, fucoidan
tidak berinteraksi dengan dengan obat-obatan lain, memiliki sifat hidrofilik, dan
diekskresi di ginjal. Viskositas tinggi yang dimiliki fucoidan mampu melindungi
mukosa lambung. Polisakarida akan merangsang pembentukan Epithel Growth
Factor (EGF) dan menstabilkan Fibroblast Growth Factor (FGF) sehingga dapat
membantu penyembuhan ulkus lambung. Gugus sulfonil dari fucosa dapat
menghambat penempelan H. pylori pada sel epitel lambung (Mutschler, Ernnst
dan Rer Nat. 2006).
Seperti diketahui, sesuai dengan teori bahwa pada pasien gastritis
kronik telah terjadi peradangan mukosa lambung yang dapat mengganggu
kerja sel-sel epitel dalam memproduksi mukus. Sebuah studi oleh Renaldi
K. dan rekan, melakukan uji tersamar ganda membandingkan pemberian
fucoidan 100 mg/hari dan plasebo selama 28 hari pada pasien dengan
gastritis kronik. Dari 41 pasien gastritis kronik, hanya 34 pasien yang
mengikuti penelitian hingga selesai. Hasilnya, ketebalan mukus di antrum

dan korpus menunjukkan perbedaan bermakna sebelum dan sesudah
terapi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fucoidan terbukti
menambah ketebalan lapisan mukus mukosa lambung pada pasien gastritis
kronik (Mutschler, Ernnst dan Rer Nat. 2006:102)
d) Metocobalt 500 mg
Obat ini adalah bentuk aktif Vitamin B12 yang dapat mencapai otak,
berperan dalam perbaikan kerusakan sel saraf dan meningkatkan
pembentuk sel saraf baru. Methycobal diindikasikan untuk penderita
kekurangan vitamin B12, neuropati perifer (gangguan saraf tepi dengan
gejala kesemutan atau keram), dan anemia pernisiosa (penurunan kadar
sel darah merah akibat gangguan penyerapan vitamin B12). Pada penderita
anemia, obat ini bisa meningkatkan pembentukan sel darah merah dengan
membantu pematangan dan proses pembelahan sel darah merah. Obat ini
aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui. Methycobal
dikontraindikasikan pada penderita alergi komponen obat Methycobal.
Penggunaan pada penderita penyakit jantung, paru – paru, dan darah tinggi
harus berhati – hati (Metilkobalamin dan penyakit-penyakit neurologis,
Meliala & Barus, 2008. Pdf)
Efek samping dari konsumsi obat ini di antaranya: ruam kulit,
mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan diare. Beberapa jenis obat
dapat menurunkan penyerapan Methycobal jika diminum bersamaan, yaitu
obat anti – diabetes (metformin), anti – kejang, anti – histamin (ranitidin,
simetidin), antibiotik golongan aminoglikosida, kolkiksin, dan alkohol.
Selain itu, tidak disarankan mengkonsumsi obat ini bersamaan dengan
antibiotik kloramfenikol (Metilkobalamin dan penyakit-penyakit
neurologis, Meliala & Barus, 2008. Pdf)
Dosis, Methycobal terdapat dalam bentuk tablet 500 mg dan obat
suntik. Obat tablet digunakan untuk neuropati perifer. Dosis obat tablet
bagi dewasa adalah 3 x 1 tablet; dosis dapat bervariasi tergantung gejala
penderita. Methycobal tidak berbahaya dan dapat ditoleransi oleh tubuh
dengan baik sehingga tidak diperlukan pengobatan khusus jika terjadi

overdosis (Metilkobalamin dan penyakit-penyakit neurologis, Meliala &
Barus, 2008. Pdf)
e) Spasmomen sirup
Farmakodinamika
Otilonium bromide, zat aktif dari spasmomen merupakan prototip
dari kelas 2-aminoethyl-N-benzoylamino-benzoate quaternary
salts. Kombinasi sifat antimuskarinik dan penghambat calcium-
channel tampaknya merupakan mekanisme kerja otilonium bromide yang
utama. spasmomen menghambat motilitas gastrointestinal basal atau yang
telah terkena rangsangan sebagai respon terhadap agen-agen penyebab
kontraksi yang bekerja baik secara kimiawi atau fisik pada berbagai
spesies hewan maupun pada manusia. Aktivitas spasmolitik spasmomen
pada saluran cerna terjadi pada dosis yang tidak mempengaruhi sekresi
asam lambung atau efek samping seperti pengaruh atropin (Widjajanti,
V. Nuraini.1988: 74).
Aksi spasmolitik spasmomen, tanpa memperhatikan sifat asal
agonisnya, adalah bekerja terutama pada intestinal, dibandingkan dengan
otot polos vaskular atau saluran pernafasan. Dari hasil pengamatan, baik
secara in vivo maupun in vitro, ternyata kolon lebih sensitif dibandingkan
segmen gastrointestinal lainnya terhadap aksi relaksasi spasmomen
(Widjajanti, V. Nuraini.1988: 74).
Farmakokinetika
Setelah pemberian oral pada dosis 10 mg/kg BB, kadar plasma
sangat rendah dan pada sebagian besar terdeteksi selama 2 sampai 6 jam
setelah pemberian. Rata-rata konsentrasi plasma maksimal adalah 10,8 ng
Eq/ml didapat setelah 2 jam. Hanya sebesar 0,71% diekskresi melalui
urin setelah 96 jam, sebagian besar diekskresi melalui feses (97,1%
dalam 7 hari). Spasmomen diekskresi melalui feses dalam bentuk utuh.
Total ekskresi adalah 97,8% dari dosis yang diberikan. Hal tersebut

menandakan bahwa spasmomen setelah pemberian oral, diabsorpsi dalam
jumlah sedikit sekali (Widjajanti, V. Nuraini.1988: 74).ATION
Pengobatan irritable colon syndrome dan pengobatan simtomatik pada
nyeri dan gangguan gastrointestinal yang berhubungan dengan spasmus
otot polos.:: CONTRAINDICATIONS ::Hipersensitivitas terhadap otilonium bromide dan zat pembawa lainnya.:: DOSAGE ::1 tablet, 2-3 kali sehari, sesuai petunjuk dokter.: PERINGATAN dan PERHATIAN ::
Hati-hati pemberian pada pasien glaukoma, hiperplasia prostat jinak,
stenosis pilorik. Walaupun pada hewan dilaporkan tidak menimbulkan
efek embriotoksik, teratogenik atau mutagenik, pada masa hamil dan
menyusui pemberian hanya jika diperlukan dan di bawah pengawasan
dokter.EK SAMPING : Pada dosis terapeutik, tidak ada efek samping serius yang
dilaporkan, dan efek samping yang terjadi antara lain mual, kelelahan,
nyeri epigastrium, vertigo, spasmomen tidak menyebabkan efek samping
yang disebut efek seperti atropin (Widjajanti, V. Nuraini.1988: 74).
C. Analisis Kerasionalan Obat
Dari resep tersebut kemungkinan pasien menderita Gastritis kronis
dimana telah diketahui dapat menjadi pencetus terjadinya ulkus lambung dan
karsinoma. Ketidakseimbangan faktor agresif dan defensif lambung menjadi
penyebabnya. Faktor agresif seperti asam lambung, nikotin, alkohol, dan obat
anti-inflamasi nonsteroid (non steroid anti inflamation drug/NSAID), dapat
menghambat faktor defensif, yaitu sintesis prostaglandin E pada mukosa
lambung. Akibatnya, mukosa lebih peka terhadap asam sehingga lebih mudah
erosi. Faktor defensif lain adalah mukus mukosa lambung dan epitel
permukaan mukosa. Helicobacter pylori dapat menghancurkan mukosa
pelindung dan masuk ke daerah epitel permukaan mukosa sampai membuat

epitel gundul. Oleh karena itu pasien diberikan obat Rebapamid yang
merupakan golongan sitoprotektor yang mekanismenya dapakt meningkatkan
prostaglandin dan menngkatkan aliran darah mukosa. Dan penggunaan
fucohelix digunakan untuk menebalkan mukosa, dimana dari faktor defensif
lambung dapat menyebabkan mukosa peka terhadap asam sehingga lebih
mudah terjadinya erosi. Untuk penggunaan lacidofil yang merupakan
prabiotik dimana obat ini dapat menjaga sistem pencernaan, selain itu obat ini
dapat digunakan untuk penderita diare, karena penggunaan metocobalt dapat
menyebabkan efek samping yaitu diare.
D. Analisis DRP
a) Obat diperlukan (berdasarkan ketepatan indikasi dengan pemerian terapi)
a. lacidofil
Indikasi : Memelihara kesehatan fungsi saluran cerna anak dan
dewasa
b. Metocobalt 500 mg
Indikasi : Penderita kekurangan vitamin B12, neuropati perifer (gangguan saraf tepi dengan gejala kesemutan atau keram), dan anemia pernisiosa (penurunan kadar sel darah merah akibat gangguan penyerapan vitamin B12)
c. Rebapimid 100 mg
Indikasi : Terapi kombinasi dg penghambat pompa proton, antikolinergik, atau antagonis H2 utk tukak lambung; gastritis.
d. Fucohelix Syr
Indikasi : Membantu memelihara kesehatan lambung.
e. Spasmomen Syr
Indikasi : Pengobatan Irritable Bowel Syndrome & pengobatan simtomatis utk nyeri & ggn GI yg berhubungan dg spasme otot polos.

Berdasarkan resep tersebut, didiagnosa penderita mengalami gastritis
kronis, oleh karena itu ketepatan indikasi dengan gejala sudah rasional,
kecuali obat metocobalt yang digunakan untuk perbaikan syaraf. Metocobalt
tersebut tidak sesuai dengan diagnosis dari penderita yang mengalami gatritis
kronik.
IV. 3 Resep III
R/
Cefadroxil 500 mg
S2dd1
Omeprazol 20 mg
S2dd1
Ranitidin 150 mg
S2dd1
Pro : Ny. Intan
Umur : 32 thn
Analisis Drug Related Problem
1. Cefadroxil 500 mg
Indikasi:
Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang sensitif seperti: - Infeksi saluran pernafasan : tonsillitis,
faringitis, pneumonia, otitis media. - Infeksi kulit dan jaringan lunak. - Infeksi
saluran kemih dan kelamin. - Infeksi lain: osteomielitis dan septisemia.
Kontra Indikasi:

Penderita yang hipersensitif terhadap sefalosporin.
Komposisi:
Cefadroxil 500, tiap kapsul mengandung cefadroxil monohydrate setara
dengan cefadroxil 500 mg.
Cara Kerja:
Cefadroxil adalah antibiotika semisintetik golongan sefalosforin untuk
pemakaian oral.
Cefadroxil bersifat bakterisid dengan jalan menghambat sintesa dinding sel
bakteri. Cefadroxil aktif terhadap Streptococcus beta-hemolytic,
Staphylococcus aureus (termasuk penghasil enzim penisilinase),
Streptococcus pneumoniae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiella sp,
Moraxella catarrhalis.
Dosis: Dewasa:
Infeksi saluran kemih:
Infeksi saluran kemih bagian bawah, seperti sistitis : 1 – 2 g sehari dalam
dosis tunggal atau dua dosis terbagi, infeksi saluran kemih lainnya 2 g sehari
dalam dosis terbagi.
Infeksi kulit dan jaringan lunak: 1 g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis
terbagi.
Infeksi saluran pernafasan: Infeksi ringan, dosis lazim 1 gram sehari dalam
dua dosis terbagi.
Infeksi sedang sampai berat, 1 – 2 gram sehari dalam dua dosis terbagi. Untuk
faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolytic : 1
g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi, pengobatan diberikan
minimal selama 10 hari.

Efek Samping:
Gangguan saluran pencernaan, seperti mual, muntah, diare, dan gejala kolitis
pseudomembran.
Reaksi hipersensitif, seperti ruam kulit, gatal-gatal dan reaksi anafilaksis.
Efek samping lain seperti vaginitis, neutropenia dan peningkatan
transaminase.
Interaksi Obat:
Obat-obat yang bersifat nefrotoksik dapat meningkatkan toksisitas
sefalosporin terhadap ginjal.
Probenesid menghambat sekresi sefalosporin sehingga memperpanjang dan
meningkatkan konsentrasi obat dalam tubuh.
Alkohol dapat mengakibatkan Disulfiram-like reactions, jika diberikan 48 –
72 jam setelah pemberian sefalosporin.
Cara Penyimpanan:
Simpan dalam wadah tertutup rapat pada suhu kamar (15 - 30ºC).
2. Omeprazole 20 mg
Indikasi:
OMEPRAZOLE diindikasikan untuk: - Pengobatan jangka pendek pada tukak
usus 12 jari, tukak lambung dan refluks esofagitis erosiva. - Perawatan
sindroma Zollinger - Ellison.
Kontra Indikasi:
Hipersensitivitas terhadap Omeprazol.
Cara Kerja Obat:
OMEPRAZOLE termasuk kelas baru senyawa anti-sekresi, suatu
benzimidazol tersubstitusi, yang menekan sekresi asam lambung melalui

penghambatan spesifik terhadap sistem enzim H+/K+ ATPase pada
permukaan sekresi sel parietal lambung. Karena sistem enzim ini merupakan
pompa asam (proton) dalam mukosa lambung, Omeprazol digambarkan
sebagai penghambat pompa asam lambung yang menghambat tahap akhir
pembentukan asam lambung.
Efek ini berhubungan dengan dosis dan menimbulkan penghambatan
terhadap sekresi asam terstimulasi maupun basal tanpa dipengaruhi stimulus.
Omeprazole tidak menunjukkan efek antikolinergik atau sifat antagonis
histamin H2. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa setelah keluar
dengan cepat dari plasma, Omeprazol dapat ditemukan di dalam mukosa
lambung selama sehari atau lebih.
Aktivitas Antisekresi
Sesudah pemberian oral, mula kerja efek antisekresi Omerazol terjadi dalam 1
jam, maksimum 2 jam.
Penghambatan sekresi kira-kira 50% dari maksimum dalam 24 jam dan proses
penghambatan berlangsung sampai 72 jam.
Efek antisekresi Omeprazol lebih lama dari yang dapat diperkirakan
berdasarkan waktu paruh dalam plasma yang sangat pendek (< 1 jam),
kemungkinan disebabkan oleh pengikatan enzim H+/K+ ATPase dalam sel
parietal yang lebih lama.
Bila obat dihentikan, aktivitas sekresi sedikit demi sedikit kembali normal
lebih dari 3 - 5 hari. Efek penghambatan Omeprazol terhadap sekresi asam
meningkat dengan pengulangan dosis sekali sehari mencapai puncaknya
setelah 4 hari. Omeprazole diabsorpsi dengan cepat dalam kadar maksimum
pada plasma dicapai antara 0,5 - 3,5 jam.

Bioavailabilitas absolut kira-kira 30% - 40% pada dosis 20 - 40 mg,
disebabkan sebagian besar mengalami metabolisme presistemik.
Waktu paruh dalam plasma dicapai 0,5 - 1 jamdan bersihan tubuh total 500 -
600 ml/menit.
Omeprazol terikat dalam protein plasma kira-kira 95%. Bioavailibilitas
Omeprazol sedikit meningkat pada pemakaian berulang. Sebagian kecil obat
dalam bentuk utuh disekresikan melalui urin. Sekitar 77% dieliminasi melalui
urin paling sedikit sebagai enam metabolit, sisanya ditemukan dalam feses.
Efek Samping:
Umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping berikut biasanya
ringan dan bersifat sementara serta tidak mempunyai hubungan yang
konsisten dengan pengobatan.
Mual, sakit kepala, diare, konstipasi, kembung, ruam kulit, urtikaria, pruritus
jarang terjadi.
Perhatian:
Apabila diduga ada tukak lambung, kemungkinan malignansi harus
ditiadakan sebelum pengobatan dengan Omeprazol, karena dapat
meringankan gejala-gejala dan memperlama diagnosanya.
Sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil kecuali benar-benar
diperlukan.
Interaksi Obat:
Omeprazol dapat memperpanjang eliminasi diazepam, penitoin dengan warfarin.
Dianjurkan untuk memantau penderita yang mendapat pengobatan warfarin atau
atau fenitoin dan penurunan dosis warfarin atau fenitoin mungkin perlu jika
Omeprazol ditambahkan pada pengobatan. Tidak ditemukan interaksi dengan
teofilin, propanolol, metoprolol, lidokaina, kuinidina, amoksisilin atau antasida.

Absorpsi Omeprazol tidak dipengaruhi oleh alkohol atau makanan.
Dosis:
Dosis lazim untuk penderita tukak usus 12 jari atau tukak lambung ringan
adalah 20 mg sehari. Penyembuhan dapat dilakukan setelah 4 minggu
untuk penderita tukak usus 12 jari dan 8 minggu untuk penderita tukak
lambung ringan.
Pada kasus yang berat dosis dapat dinaikkan menjadi 40 mg sekali sehari.
Dosis yang dianjurkan untuk refluks esofagitis erosiva adalah 20 mg sekali
sehari selama 4 minggu.
Bagi penderita yang belum sembuh sepenuhnya sesudah tahap awal,
penyembuhan biasanya terjadi selama 4 - 8 minggu kemudian.
Pada penderita refluks esofagitis yang sulit disembuhkan dengan
pengobatan lain, diperlukan dosis 20 mg sekali sehari.
Dosis awal yang dianjurkan bagi penderita sindroma Zollinger Ellison
adalah 60 mg sekali sehari.
Dosis harus disesuaikan untuk masing-masing individu dan pengobatan
berlangsung selama indikasi klinis.
Penderita dengan penyakit berat dan yang kurang memberikan respon
terhadap pengobatan lain, dapat dikendalikan dengan efektif pada dosis 20
- 120 mg sehari.
Untuk dosis lebih dari 80 mg sehari, harus diberikan 2 kali sehari.
Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal, hati atau untuk lanjut usia.
Penggunaan pada anak-anak belum ada pengalaman.
Penyimpanan:
Simpan di tempat sejuk dan kering.
3. Ranitidine 150 mg
Kemasan & No Reg :.

Ranitidine 25 mg/mL injeksi (1 box berisi 10 ampul @ 2 mL), No. Reg. :
GKL0608513443A1
Ranitidine 150 mg tablet (1 box berisi 10 strip @ 10 tablet), No. Reg :
GKL0308509017A1
Farmakologi
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam
lambung.
Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat
50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36–94 mg/mL. Kadar tersebut
bertahan selama 6–8 jam.
Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma
dicapai 2–3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi
secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2 ½–3 jam pada
pemberian oral, Ranitidine diekskresi melalui urin.
Indikasi
Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala refluks esofagitis.
Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak
lambung.
Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma Zollinger
Ellison dan mastositosis sistemik).
Ranitidine injeksi diindikasikan untuk pasien rawat inap di rumah sakit
dengan keadaan hipersekresi patologis atau ulkus 12 jari yang sulit
diatasi atau sebagai pengobatan alternatif jangka pendek pemberian oral

pada pasien yang tidak bisa diberi Ranitidine oral.
Kontraindikasi :Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidine.
Dosis Ranitidine oral
150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali sehari sesudah
makan malam atau sebelum tidur, selama 4 – 8 minggu.
Tukak lambung aktif 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) selama 2
minggu.
Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak 12 jari dan tukak
lambung Dewasa : 150 mg, malam hari sebelum tidur.
Keadaan hipersekresi patologis (Zollinger - Ellison, mastositosis
sistemik) Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari dengan lama pengobatan
ditentukan oleh dokter berdasarkan gejala klinik yang ada. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita. Dosis
hingga 6 g sehari dapat diberikan pada penyakit yang berat.
Refluks gastroesofagitis Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari.
Esofagitis erosif Dewasa : 150 mg, 4 kali sehari.
Pemeliharaan dan penyembuhan esofagitis erosif Dewasa : 150 mg, 2
kali sehari.
Dosis pada penderita gangguan fungsi ginjal Bila bersihan kreatinin < 50
mL / menit : 150 mg / 24 jam. Bila perlu dosis dapat ditingkatkan secara
hati-hati setiap 12 jam atau kurang tergantung kondisi penderita.
Hemodialisis menurunkan kadar Ranitidine yang terdistribusi.
Efek Samping
Sakit kepala
Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise, pusing, mengantuk,
insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.
Kardiovaskular, jarang dilaporkan : aritmia seperti takikardia,
bradikardia, atrioventricular block, premature ventricular beats.
Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut. Jarang

dilaporkan : pankreatitis.
Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan mialgia.
Hematologik : leukopenia, granulositopenia, pansitopenia,
trombositopenia (pada beberapa penderita). Kasus jarang terjadi seperti
agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik pernah dilaporkan.
Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh : bronkospasme,
demam, eosinofilia), anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit
peningkatan kadar dalam kreatinin serum.
Over Dosis
Gejala-gejala overdosis antara lain, pernah dilaporkan : hipotensi, cara berjalan
yang tidak normal.
Penanganan overdosis :
Induksi dengan cara dimuntahkan atau bilas lambung.
Untuk serangan : dengan cara pemberian diazepam injeksi i.v.
Untuk bradikardia : dengan cara pemberian atropin.
Untuk aritmia : dengan cara pemberian lidokain.
Peringatan dan Perhatian
Umum : pada penderita yang memberikan respon simptomatik terhadap
Ranitidine, tidak menghalangi timbulnya keganasan lambung.
Karena Ranitidine dieksresi terutama melalui ginjal, dosis Ranitidine
harus disesuaikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Hati-hati pemberian pada gangguan fungsi hati karena Ranitidine di
metabolisme di hati.
Hindarkan pemberian pada penderita dengan riwayat porfiria akut.
Hati-hati penggunaan pada wanita menyusui.
Khasiat dan keamanan penggunaan pada anak-anak belum terbukti.
Waktu penyembuhan dan efek samping pada usia lanjut tidak sama

dengan penderita usia dewasa.
Pemberian pada wanita hamil hanya jika benar-benar sangat dibutuhkan.
Interaksi Obat
Ranitidine tidak menghambat kerja dari sitokrom P450 dalam hati.
Pemberian bersama warfarin dapat meningkatkan atau menurunkan
waktu protrombin.
Penyimpanan:
Ranitidine tablet disimpan di tempat kering, suhu 15–30oC, terlindung dari
cahaya.
Analisis Resep:
Resep di atas, diduga pasien menderita infeksi saluran pernafasan dan tukak
lambung yang cukup berat. Untuk obat cefadroxil 500 mg dengan penggunaan 2
kali sehari, untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan, penggunaan obat dapat
diberikan dengan atau tanpa makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada
gastrointestinal. Efek samping penggunaan obat cefadroxil berupa gangguan
gastrointestinal, reaksi hipersensitif. Untuk obat omeprazole 20 mg dengan
penggunaan 2 kali sehari, untuk mengatasi penyakit tukak lambung yang cukup
berat dan diberikan segera sebelum makan. Sedangkan untuk obat ranitidin 150
mg dengan penggunaan 2 kali sehari, untuk melindungi mukosa lambung dari
gangguan gastrointestinal yang merupakan efek samping dari obat cefadroxil.
Pemberian obat sebaiknya diberikan sebelum makan.

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus pertama, pasien didiagnosa terkena kanker mamae
pro T siklus II, oleh karena itu di beri terapi premedikasi Ondansentron 2a/IV,
Ranitidin 2a/IV, Dexametasone 2a/IV, Diphenhidramin 2 cc/IM serta asam
tranexamat, dan terapi kemoterapi adalah taxotere 120 mg, dan doxorubicin
80 mg.

Dari kasus kedua tersebut pasien diagnosa utama yaitu dispepsia
sedangkan diagnosa sekunder yaitu ISK, PUD. Oleh karena itu terapinya
Cefadroxil 500 mg, Ranitidin, PCT 500 mg.
Sedangkan pada kasus ketiga, pasien Ny. H mengidap ulcerativ colitis
tipe ulcerativ proctitis dengan gejala anemia. Terapi yang diberikan yaitu
Salofalk (mesalasine) 500 mg 4 kali sehari.
DAFTAR PUSTAKA
Batmanghelidj. 2000. Air Untuk Menjaga Kesehatan dan Menyembuhkan
Penyakit. Jakarta: CM
Bobak., Lowdwrmilk., Jensen dan Wijayarini M., 2005. Buku Ajar keperawatan
Maternitas Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.
BC Cancer Agency Chemotherapy Protocol 2011.
Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Dispepsia: 25-28. Pdf ( dimuat pada tanggal 3 April 2015).
DiPiro JT, et al, 2008, Pharmacotherapy. A Pathophysiologic Approach, 7
edition, The McGraw Hill Companies, New York.
Effendi, Asri Ahram. 2012. Pengaruh Kemoterapi Terhadap Kadar Ca 15-3 Dan
Cea Dalam Darah Penderita Kanker Payudara (Jurnal). Unhas: Jst
Kesehatan.
Gandhi R, Evans HM, Mahomed SR, Mahomed NN. Tranexamic acid and the reduction of blood loss in Total Knee and hip Arthroplasty: a meta-analysis. BMC Res Notes. 2013; 6:184
Grace, Pierce A dan Neil R Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: EMS
Hariana, H.A., 2002. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Swadaya
Harkness, Richard. 1989. Interaksi Obat. Bandung: ITB
Joyce, Kee. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.
Linda, Hefner dan Danny. 2009. At A Glance : System Reproduksi. Jakarta:
Erlangga.
Lindley,Celeste and Laura Boehnke Michau. Breast Cancer in Pharmacotherapy,
A Patophysiology Approach, 6th edition. Joseph T. DiPiro (Editor).
Lowdermilk, D. L., Shanon E. P., Irene M. B. 2000. Maternity and women’s
Healtyh Care Seventh Edition. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc.
Mc. Callum RW. Evolving Approach to Dyspepsia and Nonulcer Dyspepsia.
1997. Pdf
Mutschler, Ernnst dan Rer Nat. 2006. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung: ITB.
Metilkobalamin dan penyakit-penyakit neurologis, Meliala & Barus, 2008. Pdf
Puspitasari, Ika. 2010. Jadi Dokter Untuk Diri Sendiri. Yogyakarta: B First

Ramli, Muchlis, dr., SpB., dkk., 2003, Protokol Penatalaksanaan Kanker
Payudara, Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, Jakarta.
Swart, R., 2011. Breast Cancer Risk Factors. Medscape Reference.
Thackery, Ellen. 2001. The Gale Encyclopedia of Cancer, Volume 1. New York :
Gale Group, Thompson Learning.
Tjay. Tan Hoan. 2006. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo
Wibowo, Agus. 2009. Cerdas Memilih Obat dan Mengenali Penyakit.
Jakarta: PT Lingkar Pen Kreativa.
Uripi, V. 2002. Menu untuk Penderita Kanker.Jakarta: Puspa Swara.
Widjajanti, V. Nuraini.1988. Obat-Obatan. Kanisius.yogjakarta
Wibowo, Agus. 2009. Cerdas Memilih Obat dan Mengenali Penyakit. Jakarta: PT
Lingkar Pen Kreativa.
http://medicastore.com/obat/10729/DORNER_TABLET.html (Diakses pada hari
senin pukul 17.00 WITA)