Lap Draft Final 131127draft
-
Upload
herdy-pratama-putra -
Category
Documents
-
view
17 -
download
4
description
Transcript of Lap Draft Final 131127draft
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
Pola pembangunan baik secara nasional, regional maupun lokal cenderung lebih
terfokus ke daerah perkotaan. Fokus pembangunan berbagai sarana dan prasarana
perkotaan maupun fasilitas publik serta fasilitas umum, baik yang dibangun oleh
pemerintah maupun swasta mewujudkan berbagai kemudahan dan daya tarik berbagai
aktifitas perkotaan yang menyebabkan terjadinya proses aglomerasi lapangan kerja
perkotaan yang lebih memberikan penghasilan yang lebih besar dibanding berkerja di
perdesaan. Hal inilah yang turut memotivasi migrasi desa-kota, yang kebanyakan kondisi
para migran adalah berketerbatasan dalam ilmu pengetahuan, ketrampilan maupun
modal, sehingga mereka tidak mampu mengakses ke lapangan kerja formal, yang
memang kapasitas tampungnya jauh lebih kecil dibanding volume angkatan kerja.
Mereka memasuki usaha sektor informal perkotaan yang ternyata secara dinamis dan
cepat tumbuh berkembang secara berlanjut, bahkan bisa diartikan sebagai nyawa
kehidupan sebagian besar masyrakat miskin perkotaan di Negara sedang berkembang
(Yudono A, 2005). Seperti komunitas rayap, para pelaku usaha sektor informal,
khususnya pedagang kakai lima ternyata memiliki daya lenting yang tangguh dalam
menghadapi berbagai hambatan, baik fisik maupun non-fisik. Para pelaku usaha
informal, yang juga sebagian besar kaum miskin di bebebera Negara, adalah merupakan
komunitas yang memiliki kecerdikan kewirausahaan, dan mereka telah menciptakan
omset keuangan dengan nilai sangat besar, yang secara total jauh melebihi biaya
pembangunan oleh pemerintah, bursa saham lokal, dan investasi asing langsung,
(Hernades de Soto, xxxx). Daya lenting sektor informal dalam menghadapi berbagai
masalah baik dalam aspek ekonomi, sosial, hukum maupun fisik telah terbukti, baik
dalam krisis moneter, kebakaran, banjir, bahkan penggusuran oleh aparat penegak
hukum. Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, usaha PKL adalah
merupakan suatu aktualisasi yang harus diperjuangkan eksistensinya karena
menyangkut hajat hidup mereka dan keluarganya.
Status para PKL yang biasanya masuk dalam kategori sektor informal menjadi
salah satu penyebab tidak efektifnya implementasi peraturan usaha PKL. Sektor informal
PKL ini termasuk usaha kecil rakyat yang modalnya kebanyakan dari lingkungan
keluarga. Oleh karena untuk memafami karakteristik dan problema PKL lebih tepat
menggunakan perspektif ekonomi kerakyatan yang dikembangkan sebagai upaya untuk
lebih mengedepankan masyarakat (Mubiyarto, 2008). Ekonomi kerakyatan adalah
sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, oleh karena itu
2
usaha peningkatan perekonomian mereka seyogyanya berorientasi ke peningkatan daya
kemandirian mereka dalam pengembangan keluarga dan jejaring usaha di antaraPKL
sebagai usaha kecil menengah (UKM). Walaupun demikian kerja sama dengan pihak
usaha besar dimungkinkan dalam kemitraan setara yang saling menguntungkan sesuai
kesepakatan ke dua belah pihak. Dalam skala komunitas, PKL merupakan potensi
ekonomi yang besar. Dari sisi PKL, status informalnya membuat akses ke perbankan
untuk penambahan modal usaha tidak mudah, sehingga menghambat usaha
pengembangannya, walaupun dalam skala usaha yang ada sekarang cukup banyak
yang secara ekonomi mampu menyokong ekonomi keluarganya, bahkan ada yang
penghasilannya melebihi pegawai negeri Golongan IV sekalipun. Dari sisi pemerintah,
pengaturan dan perpajakan bagi PKL menjadi tidak mudah.
Permasalahan muncul pada saat kita memandang PKL dari perspektif
kelancaran lalu-lintas, keteraturan, kebersihan, kesehatan, keamanan, dan mungkin juga
keindahan. Sudah sering dilakukan penelitian tentang PKL, tetapi belum dilakukan
secara mendalam dan terpadu aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, regulasi dan
penataan kota. Sefaham dengan pemikiran kuratif, maka secara ilmiah penelitian ini
akan melakukan diagnosis dalam menemukenali akar masalahnya, sehingga diharapkan
dapat menemukan metode yang tepat untuk penanggulangan masalah PKL, sesuai
dengan domain Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Kota, Jurusan Arsitektur,
FT-Unhas.
Ada kebijakan dan perlakuan dalam penyelesaian masalah PKL oleh aparat, dan
juga beberapa kajian tentang PKL lebih terfokus ke symptom yang mudah kita terima
melalui panca indera, dan lebih dipandang dari sudut kepentingan sektor-sektor
kelancaran lalu-lintas, kebersihan, kesehatan, dan keindahan kota, tanpa didasari oleh
kajian ilmiah yang mendalam dan holistis. Penelitian ini mencoba memandang dari dua
pihak, baik dari kepentingan internal PKL itu sendiri yang harus diterima eksistensinya,
maupun dari kepentingan sektor lainnya, dan azas penataan kota.
1.2 Rumusan Masalah:
Secara nasional symtomp dampak negatif kegiatan PKL mengganggu kelayak-
hunian dan produktifitas pada seluruh kota-kota besar yang menanggung beban
berlebihan yang disebabkan oleh arus migrasi desa-kota para migran yang tidak
mampu memasuki apangan kerja sektor formal dan/atau lebih tertarik berkerja di
bidang sektor informal perkotaan. Oleh karena itu secara lebih rinci masalah
dirumuskan sbb:
3
1) Bagaimana karakter, perilaku dan habitat kegiatan PKL yang berdampak negatif
terhadap kelancaran lalu-lintas, kebersihan, kesehatan, keindahan, keamanan,
dan kenyamanan lingkungannya.
2) Bagaimana kecenderungan perkembangan PKL, opini dan harapan PKL
terhadap aktualisasinya, yang harus diperlakukan secara tepat.
1.3 Tujuan:
Untuk menemukenali kecenderungan dan prinsip-prinsip kehidupan usaha PKL
melalui kajian:
1) Kecenderungan perkembangan PKL
2) Sistem organisasi dan hubungan kekerabatan para PKL dalam rekrutmen,
pengembangan kapasitas, permodalan, kepastian usaha, dsb
3) Proses, produk dan pengelolaan limbah produk kegiatan PKL
4) Opini dan harapan PKL tentang kondisi PKL dan masadepan keturunannya
5) Peran pemerintah dan perusahaan besar dalam kehidupan PKL
1.4 Manfaat:
1) Sebagai penggugah kesadaran dalam berfikir, menerima dan memperlakukan
PKL yang akan selalu eksis selama lapangan kerja di sector formal tidak
mampu menampung seluruh angkatan kerja dan/atau sector informal masih
mempunyai daya tarik;
2) Tumbuh berkembangnya pemahaman yang tepat tentang prinsip-prinsip
perilaku dan habitat PKL, serta opini dan harapannya, sebagai dasar
penentuan kebijakan, paradigma dan perlakuan terhadap aktulisasi kegiatan
PKL perkotaan.
1.5 Urgensi
Secara nasional, terutama pada kota-kota besar, dampak gangguan kegiatan PKL
terhadap kelancaran lalu-lintas, keamanan, kenyamanan lingkungan perkotaan
akan menurunkan produktifitas kotanya. Substansi penelitian ini secara holistis dan
terpadu menyangkut aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dan fisik menjadi
urgen untuk penyadaran keharusan menerima eksistensi PKL, berpola pikir dan
berperilaku untuk antisipatif, akomodatif, dan menata kegiatan PKL secara tepat.
Penelitian ini akan berkontribusi secara signifikan dalam: (i) merumuskan prinsip-
prinsip regulasi kegiatan PKL; dan (ii) penyusunan model penataan kota yang
antisipatif dan adaptif terhadap dinamika perkembangan PKL.
1.6 Luaran Penelitian
4
Luaran penelitian ini adalah:
Tahun 2013
Laporan penelitian eksplorasi kecenderungan dan prinsip-prinsip kehidupan usaha
PKL yang substansinya adalah: (i) kecenderungan perkembangan PKL; (ii) sistem
organisasi dan hubungan kekerabatan para PKL dalam rekrutmen, pengembangan
kapasitas, permodalan, kepastian usaha, dsb; (iii) proses, produk dan pengelolaan
limbah produk kegiatan PKL; (iv) opini dan harapan PKL tentang kondisi PKL dan
masadepan keturunannya; (v) peran pemerintah dan perusahaan besar dalam
kehidupan PKL di kota Makassar.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1 Urbanisasi dan Kemiskinan Perkotaan
Secara ekonomik, kota yang dinamis berkembang menjadi pusat pertumbuhan dan
berperan dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Secara umum,
dibanding dengan daerah hinterland-nya, kota merupakan lokasi aglomerasi dalam
hal industri dan perdagangan barang maupun jasa, baik skala kecil, menengah
maupun besar, serta menjadi pusat pertumbuhan produktifitas yang menjadi dasar
peningkatan standar kehidupan. Diperkirakan 25 tahun mendatang, penduduk
perkotaan Asia akan tumbuh sekitar 70%, atau lebih dari 2.6 milyar jiwa, yang
didasari oleh pertambahan 44 juta jiwa penduduk perkotaan setiap tahunnya.
Tingkat urbanisasi di Indonesia akan lebih besar dari 65% pada tahun 2030 (ADB,
2006). Proses urbanisasi didukung oleh perubahan sifat daerah perdesaan
menjadi bersifat perkotaan, yang ditandai dengan perubahan dan meningkatnya
rasio jumlah tenaga kerja dari sektor primer pertanian ke sektor perkotaan, baik
industri dan perdagangan barang maupun jasa. Pada beberapa dekade
belakangan, urbanisasi dan pertumbuhan daerah perkotaan di Negara-negara
sedang berkembang mengalami akselerasi. Tahun 1970, 37% penduduk dunia
bermukim di kota-kota, tahun 1995 telah meningkat menjadi 45%, dan pada tahun
2005 telah menjadi 50%. Jumlah penduduk perkotaan di Asia tumbuh pesat
sebesar 4% per tahun (Masika R., et.al., 1997). Selain itu proses migrasi desa-kota
juga secara signifikan mempengaruhi tingkat urbanisasi yang ditandai dengan
rasio jumlah penduduk perkotaan dibanding jumlah seluruh penduduk di suatu
wilayah atau Negara. Laju pertambahan penduduk perkotaan yang tidak
diantisipasi dan tidak dikelola dengan tepat harus dibayar dengan konsekwensi
peningkatan kemacetan lalu-lintas, semakin menburuknya polusi, penurunan
kualitas kelayakan huni, dan menurunkan tingkat produktifitas perkotaan.
Perbedaan pendapatan sektor pertanian, yang biasanya menjadi lapangan
kerja utama di daerah perdesaan, dengan pendapatan sektor non pertanian, yang
biasanya ada di perkotaan, menjadi pemicu utama migrasi desa-kota, baca tabel
berikut.
Tabel 1. Indeks PDRB per pekerja aktif di bidang pertanian dan non pertanian
Negara (tahun) Sektor Sektor B/A PengeluranPertanian non pertanian urban/ruralA B C D
Indonesia (1971) 69 159 2.3 1.4Mexico (1970) 27 153 5.7 2.3Pakistan 65 152 2.3 1.5Tanzania (1967) 48 689 14.2 2.9Tunisia (1966) 39 151 3.8 2.2Catatan: indeks total seluruh sektor dihperhitungkan = 100
7
Sumber: ILO Geneva, 1976
Di wilayah Asia Tenggara, permintaan tenaga kerja sektor perkotaan jenis
wanita lebih banyak, seperti pembantu rumah tangga, pekerja di fasilitas
perbelanjaan seperti toko, shopping mall, industri pakaian, PKL sayur mayur, dsb.,
sehingga jumlah tenaga wanita yang bermigrasi ke kota dari daerah perdesaan
lebih banyak Secara umum penelitian tentang keterkaitan urbanisasi dengan
masalah kemiskinan perkotaan, di luar domain arus kesetaraan gender (Masika
R., et.al., 1997). Para pelaku usaha PKL non sayur mayur, seperti makanan dan
minuman, buah-buahan, pakaian, dsb., lebih didominasi oleh laki-laki. Walaupun
demikian, belakangan ini sudah mulai diakui adanya diskriminasi perlakuan antara
perempuan dengan laki-laki dalam mengakses lapangan pekerjaan secara umum,
perumahan, dan pelayanan dasar, sehingga diharapkan lebih diperhatikan
kebijakan dan perlakuan para migran yang berdasarkan kesetaraan gender.
Selama ini belum ada konsensus mengenai definisi kemiskinan, tetapi secara
umum lazim dipahami melalui dua pendekatan yang saling melengkapi yaitu dari
sudut pandang interpretasi ekonomi dan antropologi (Masika R., et.al., 1997).
Definisi ekonomi konvensional menggunakan indikator pendapatan yang
dilengkapi dengan berbagai indikator sosial lainnya seperti usia harapan hidup,
angka kematian bayi, gizi, proporsi anggaran rumah tangga untuk makanan, melek
huruf, tingkat kedaftaran sekolah, akses ke klinik kesehatan atau air minum. Hal ini
untuk mengklasifikasikan kelompok miskin berdasarkan indeks umum
kesejahteraan materi. Secara antropologis, indikator kemiskinan dapat ditunjukkan
dengan dimensi kualitatif seperti tingkat kemandirian, keamanan, harga diri, jati
diri, hubungan sosial yang erat dan non-eksploitatif, kebebasan dalam
pengambilan keputusan, dan pemenuhan hak-hak hukum dan politik.
Definisi tentang kemiskinan di atas sebenarnya lebih tepat dipandang
sebagai definisi kesejahteraan, yang identik dengan ketidak mampuan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, dan yang dirumuskan secara sistematis
dan heirarkis oleh Abraham Maslow pada tahun 1940-1950an, yang semula
berupa lima kebutuhan dasar sebagai gambar berikut (Maslow’s hierarchy of
needs).
8
Figur 1. Diagram hierarki kebutuhan dasar Maslow.
Sumber: http://www.businessballs.com/maslow.htm, diunduh 18-10-2011
Definisi kebutuhan dasar Maslow digunakan sebagai dasar argumentasi
tentang tingkat kesejahteraan manusia dalam berbagai disiplin ilmu, yang melalui
berbagai perdebatan jenis kebutuhan dasar tersebut berkembang seperti Tabel 2
berikut.
9
Berdasarkan bahasan di atas, untuk mengkaji keterkaitan proses urbanisasi
dan kemiskinan, maka pengembangan pandangan Maslow yang lebih sistematis
dan holistis dipandang tepat digunakan sebagai dasar teoretis.
2.2 Pengentasan Kemiskinan
Sejak pemerintahan Orde baru sampai pemerintahan saat ini, Pemerintah
Indonesia telah dan sedang melakukan berbagai program dan kegiatan
pengentasan kemiskinan masyarakat dari kemiskinan, atau dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT),
dan yang masih berjalan saat ini adalah Pogram Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) yang berfokus ke infrastruktur sosial dan ekonomi wilayah
perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Mandiri Perdesaan, dsb. Berbagai
pakar ekonomi juga mengembangkan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila.
Meskipun konsep, kebijakan, program dan kegiatan tersebut bagus tetapi jumlah
masyarakat miskin atau pra sejahtera sampai saat ini masih banyak, sehingga
perlu dipikirkan lagi peningkatan efektiftasnya atau membuat strategi baru berupa
alternatif program dan kegiatan dengan dan sasaran target lain yang mendukung
akselerasi peningkatan keberdayaan kaum miskin yang melakukan usaha di sektor
informal, khususnya dalam tahap ini sasarannya adalah PKL.
Dari sudut pandang lain, kita dapat mencermati dan berusaha meningkatan
kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan, yang menurut Prof.
Mubyarto tidak didasarkan pada paradigma peningkatan kesejahteraan yang tidak
lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, dan bantuan donor lambaga asing,
tetapi berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan daerah yang memperoleh
10
otonomi berupa kewenangan disertai tanggungjawab yang lebih besar,
mewujudkan atmosfir persaingan usaha atau kemitraan usaha kecil, usaha
menengah dan usaha besar yang berkeadilan, serta peran koperasi, yang
diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan tumbuh berkembangnya
ekonomi rakyat. Beliau berpendapat bahwa strategi pemberdayaan ekonomi rakyat
adalah merupakan strategi pelaksanaan demokrasi ekonomi, yang diartikan
produksi yang dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan
kepemilikan anggota-anggota organisasi usaha rakyat. Kemakmuran masyarakat
lebih diutamakan dibanding kemakmuran orang perorang. Maka pembangunan
juga berpihak ke kaum miskin, sehingga setiap kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan harus memberi manfaat pada kaum miskin atau kaum prasejahtera.
Prof. Mubyarto berpendapat bahwa syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi
nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di
bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya (Ekonomi kerakyatan
Mubyarto).
2.3 Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
Pelaku dalam perekonomian informal adalah orang-orang yang tidak memiliki
kepastian kerja, keamanan kerja, maupun jaminan sosial. Sektor informal tulen
atau ekonomi informal adalah bagian dari ekonomi yang tidak dikenai pajak, tidak
terpantau oleh pemerintahan, dan tidak masuk dalam Produk Nasional Bruto
(Sektor informal). Sektor informal yang dimaksud dalam penelitian ini berbeda
dengan definisi tersebut, karena hampir seluruhnya mereka ditarik retribusi tempat
usaha, dan ada yang secara legal didaftar oleh pemerintah daerah, tetapi dari segi
penghasilan sifatnya tidak menentu, dan bahkan pada saat mereka tidak bekerja
dengan alasan apapun juga termasuk sakit atau bentuk halangan lainmya, maka
mereka tidak memperoleh pendapatan.
Penelitian PKL yang berfokus di pantai losari dan sekitarnya, dan telah
dilakukan sejak tahun 1997 menghasilkan kesimpulan bahwa: (1) sampai tahun
1996, rencana tata ruang kota Makassar secara khusus belum merencanakan
lokasi dan tatanan PKL, yang menyebabkan sebagian besar para PKL melakukan
usahanya pada bahu jalan atau trotoir yang mengganggu kelancaran lalu-lintas,
dan kebersihan lingkungan (Yudono A., 2005); (ii) Atualisasi PKL dibutuhkan oleh
angkatan kerja, yang tidak mampu memasuki lapangan kerja formal, sebagai
pekerjaan untuk mencari nafkah; (iii) PKL mengharapkan kepastian usaha yang
didukung oleh regulasi dan kepastian tempat usaha (Yudono A., 2002).
11
Ternyata hasil penelitian itu juga selaras dengan pengungkapan oleh
Hamidjoyo tentang opini para PKL di Surakarta. Pandangan PKL salah seorang
PKL adalah tentang kesadaran mereka bahwa kebijakan pemerintah terhadap
penertiban usaha PKL berdasarkan aspek keindahan dan keteraturan kota adalah
baik, tetapi sebagian para besar pelaku usaha PKL tidak dapat mematuhi karena
mungkin lokai tempat habitat kegiatan mereka saat itu adalah yang paling tepet
untuk pertemuan pedagang dengan pembeli, yang sangat menentukan nasib
mereka dalam mencarai nafkah. Seorang PKL lainnya mengungkapkan bahwa
tidak ada niatan PKL menjadikan lingkungan kotor, mereka terpaksa melakukan
usaha PKL dalam kondisi itu dengan satu tujuan utama mencari nafkah guna
menghidupi keluarganya (Hamidjoyo Kunto). Dalam penelitian tentang factor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan penataan, pembinaan
dan penertiban PKL di Surakarta, dihasilkan kesimpulan bahwa sumbangan
efektifitas implementasi Perda Pemkot Surakarta No.8 tahun 1995 di Laweyan
adalah sebagai berikut: tiga penyumbang signifikan adalah kondisi lingkungan
16.68%, komunikasi aparat Pemda dengan PKL 35.12%, perilaku pelaksana
menyumbang 14.41%, sedangkan sisanya 35.1% disumbangkan oleh tiga variable
lainnya, yang kurang signifikan sumbangannya yaitu sasaran kebijakan, sumber
daya, serta kondisi sosial ekonomi dan politik.
2.4 Penataan Kota
Perubahan yang tak terduga dalam berbagai aspek seperti perubahan iklim,
perubahan politik, yang berimplikasi ke perubahan kebijakan yang mengenai
system penghidupan dan kehidupan warga kota, terutama kaum miskin dan sektor
informal akan menganggu tatanan kehidupan mereka (Hauser P.M., et.al).
Komunitas para pelaku PKL merupakanpotensi besar yang sudah sepatutnya
diajak berpartisipasi sebagai partner penataan kota, sekaligus untuk mengetahu
aspirasi dan harapan mereka tentang penataan habitat kerja dan hunian mereka.
Pada perencanaan suatu kawasan habitat berupa blockplan, pendekatan humanis
patut dipertimbangkan sebagai dasar perencanaan yang partisipatoris, dan
perencana menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan inisiator penataan
kawasan, sedangkan pengguna kawasan, misalnya para PKL di kawasan tempat
mereka bekerja ditempatkan sebagai partner kerja yang mempunyai hak voice dan
choice dalam perencanaan (Attoe W., dan Logan D., 1989). Sukur-sukur mereka
juga punya akses dan kontribusi dalam implementasi rencananya, maka sence of
belonging mereka akan terbangun untuk menjaga, merawat dan memanfaatkan
kawasan sebagai habitat kerjanya yang tidak saling mengganggu dengan
12
kepentingan sektor lainnya, seperti kelancaran lalu-lintas, kebersihan, keamanan
dan kenyamanannya.
Pantai Losari merupakan tempat rekreasi yang sangat didukung oleh
keindahan perairan Selat Makassar, terutama keindahan panorama saat proses
matahari tenggelam, yang menarik masyarakat berdatangan, terutama pada senja
hari. Demikian juga rutinitas kesibukan harian warga kota, baik dalam kegiatan
bekerja, sekolah, maupun kegiatan rutin lainnya, maka promenade pantai Losari,
yang ditata menjadi ruang publik dengan kejernihan udara laut serta keindahan
panorama pantai, menjadi wahana rekreasi dan komunikasi sosial di pagi hari
libur. Kawasan pantai barat kota Makassar yang sebagian terdiri dari tambak
dengan perairan dekat pantai yang dangkal menjadi daya tarik tersendiri untuk
pengembangan kota tepian air. Kawasan kota baru dan kawasan rekreasi modern
Trans Studio, termasuk permukiman kelas menengah ke atas, dan shopping mall
di Tanjung Bunga, arah ke selatan pantai Losari, ditambah dengan keberadaan
Fort Rotterdam dan pusat perbelanjaan Sombaopu di arah utara pantai Losari,
merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk mendirikan hotel,
restaurant dan tempat pertemuan. Kondisi ini sangat menarik untuk dijadikan salah
satu lokasi penelitian, dan kemungkinan potensiil dijadikan demplot aplikasi hasil
penelitian terapan ini, sebagai dharma pengabdian masyarakat sekaligus
laboratorium lapangan perencanaan dan perancangan kota.
2.5 Kerangka Pikir
Teori ekonomi kerakyatan yang dikembangkan Prof Mubyarto tepat dijadikan
landasan bagi pengentasan kemiskinan para PKL yang dengan teori human basic
need-nya Abraham Maslow dapat mengarahkan ke peningkatan kesejahteraan yang
bukan hanya berfokus ke tingkat pendapatan per kapita tetapi lebih luas ke berbagai
aspek kebutuhan dasar manusia. Selanjutnya pendekatan perencanan kota yang
humanis dari Wayne Attoe dan Donn Logan dapat dijadikan pegangan dalam
penataan lingkungan habitat kerja para PKL.
Berdasarkan bahasan tentang urbanisasi, kemiskinan perkotaan, pengentasan
kemiskinan, ekonomi kerakyatan, sektor informal, PKL, dan panataan kota di atas,
maka dapat disusun kerangka penelitian yang mengarah ke pencapaian target
penelitian. Selanjutnya berdasarkan teori-teori yang relevan dengan penataan kota
yang antisipatif dan adaptif terhadap tumbuh berkembangnya PKL, maka dapat
disusun konstruksi teori yang mendasari penelitian ini. Figur 2 berikut menjelaskan
kerangka penelitian, yang menjelaskan latar belakang fenomena perkembangan
sektor informal, khususnya PKL, yang dilanjutkan dengan permasalahan lingkungan
13
perkotaan di habitat kegiatan PKL, serta target-target penelitian tahun 2013, tahun
2014, yang diakhiri dengan target terbitnya buku tentang prinsip tatanan Kota yang
antisipatif dan akomodatif terhadap aktualisasi PKL.
14
15
16
2.6 Research Roadmap Laboratorium
Agar penelitian yang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di Laboratorium
Urban Planning and Design (Perencanaan dan Perancangan Kota) sinergis, efisien, dan
efektif dalam mewujudkan visi, melaksanakan misi, dan mencapai tujuannya, maka perlu
ada acuan bersama berupa research roadmap. Berikut ini adalah tabel matriks research
roadmap laboratorium.
Table 3. Research Roadmap Labo Urban Plannning and Design (LUPD)
No Isu Tema Output Outcome1 Kota
EkologisKota pantai yang bersahabat dengan air
Paper-paper tentang kota ekologis yang dipublikasikan di jurnal terakredatasi; paper yang diseminasikan; updating (NSPK) sebagai dasar perencanaan, perancangan dan penataan ruang wilayah kota yang ekologis; buku; disertasi; tesis; skripsi; updating dan pengkayaan pangkalan data PPK; cendekiawan yang professional di bidang PWK.
Peningkatan kualitas lingkungan perkotaan;
Peningkatan kredibilitas Labo PPK, Prodi PWK, FT, dan Unhas
Pengembangan transportasi perairan kota kanal yang bebas banjirModel reklamasi perairan yang ekologis.Model penghijauan kota yang berbasis penyerapan polusi dan penurunan temperature setempat.Model pengembangan kota kompak (compact city) yang berbasis hemat energy, dan optomalisasi penyediaan ruang terbuka hijau.
2 Kota layak huni (liveable city)
Penataan kota yang ramah terhadap pejalan kaki dan yang berkemampuan terbatas (difable)
Paper-paper tentang kota layak huni, yang dipublikasikan di jurnal terakredatasi; paper yang diseminasikan; updating (NSPK) sebagai dasar perencanaan, desain dan penataan ruang wilayah kota yang ekologis; buku; disertasi; tesis; skripsi; updating dan pengkayaan pangkalan data PPK; cendekiawan yang professional di bidang PWK.
Peningkatan kelayak- hunian kota;
Peningkatan kredibilitas Labo PPK, Prodi PWK, FT, dan Unhas
Perencanaan dan perancangan kota yang berbasis kearifan lokal Penataan kota yang ramah terhadap warisan budaya (urban heritage)Pembangunan kota yang partisipatifPembangunan kota yang berorientasi ke system transit (transit oriented urban development)Model pengembangan kota pintar (intelligent city) yang berbasis tenkologi informasi
3 Kota produktif
Penataan kota industry yang terpadu dengan system transportasi laut
Paper-paper tentang kota produktif, yang dipublikasikan di jurnal terakredatasi; paper yang diseminasikan; updating (NSPK) sebagai dasar perencanaan, desain dan penataan ruang wilayah kota yang produktif; buku; disertasi; tesis; skripsi; updating dan pengkayaan pangkalan data PPK; cendekiawan yang professional di bidang PWK.
Peningkatan produktifitas kota secara adil dan demokratis;
Peningkatan kredibilitas Labo PPK, Prodi PWK, FT, dan Unhas
Pengembangan kota dagang yang kooperatif dengan sektor informalCity branding and marketing Penataan kota yang kondusif untuk MICE dan wisata perkotaanModel manajemen informasi obyek pajak perkotaanModel manajemen transportasi perkotaan
17
BAB III
METODE PENELITIAN
18
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan perpaduan pendekatan kualitatif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang menghasilkan
informasi deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Maleong (1996)).
Karakteristik penelitian kualitatif berpandangan bahwa manusia sebagai subyek dan
sumber data berupa informasi, yang datanya dianalisis secara induktif yang
uraiannya bersifat deskriptif. Dalam hal ini substansi penelitian kualitatif adalah pola
pikir, perilaku, opini dan pandangan para pemangku kepentingan terhadap
aktualisasi PKL dan habitat kegiatannya, dengan melakukan analisis data secara
induktif yang bersifat deskriptif, dan merupakan kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka, serta lebih mementingkan proses dari pada waktu. Informasi-
informasi yang bersifat kualitatif dalam bentuk teks narasi atau gambar visual,
sehingga penelitian ini tidak lepas dari informan yang tepat agar informasi valid.
Penelitian dilakukan secara mendalam dan mungkin larut mengikuti perkembangan
informasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini juga akan diperjelas
teknik penentuan informannya. Di samping data yang diperoleh dari informan
melalui wawancara yang tidak terstruktur, juga dilakukan metode pengumpulan data
dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan kajian kepustakaan. Jenis dan
sifat penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif yang dianalisis melalui
perpaduan antara pendekatan sosiologi ekonomi budaya habitat kegiatan PKL,
yang obyek penelitiannya adalah komunitas para PKL, pembeli, dan aparat
pemerintah kota dari SKPD terkait. Secara spatial obyek penelitian lainnya berupa
kondisi visual maupun spasial spot-spot kawasan kegiatan PKL di Kota Makassar,
dengan pilihan sesuai azas keterwakilannya.
Dalam penelitian kuantitatif, data-data berupa atribut angka baik bersifat ratio
maupun ordinal, seperti luas lapak, besaran modal, penghasilan, jumlah
tanggungan, usia, opini dan harapan tentang kondisi legalitas, kondisi habitat kerja
maupun hunian dan hal-hal sehubungan dengan kemudahan dan kepastian usaha.
Dalam hal ini juga akan dicari data kuantitif yang bersifat nominal, seperti jenis
kelamin, daerah asal, jenis barang dagangan, sumber bahan baku, motivator usaha
PKL, pengajar ketrampilan usaha PKL, jenis bidang pekerjaan generasi pendahulu,
dan harapan jenis usaha bagi generasi pelanjut.
3.2 Pendekatan Metode Penelitian
Metode kualitatif dan kuantitatif memungkinkan peneliti memahami kecenderungan
perkembangan PKL, karakter perikehidupan maupun kondisi fisik habitat tempat
19
kerja dan huniannya, secara personal atau komunal, serta secara unit lapak atau
kluster lapak-lapak, dengan mengemukakan opini dan harapan para PKL. Peneliti
berupaya menangkap pengalaman-pengalaman PKL yang belum diketahui kondisi
kehidupan maupun penghidupannya.
3.2.1 Pendekatan Kualitatif
Menurut Darjosanjoto (2006) dalam penelitian dengan metodologi kualitatif
perolehan data tidak mengandalkan pengukuran. Observasi lapangan,
wawancara, dan penelaahan literatur menjadi metode yang digunakan dalam
penelitian ini. Penelitian tentang sosial budaya menggunakan pendekatan
kualitatif, yang pada dasarnya merupakan usaha untuk memahami fakta kondisi
yang bersifat intangible. Untuk melengkapi hasil temuan di lapangan, penelitian
sosial budaya perlu melakukan pengamatan dan/atau menghimpun data yang
terkait dengan perilaku orang-perorang dan interaksi antar anggota kelompok
PKL. Terkait dengan itu untuk melengkapi data temuan lapangan, dipandang perlu
agar penelitian kualitatif tidak hanya berdasar pada data wawancara dari
responden serta informasi dari literatur semata, tetapi perlu juga menghimpun
data fisik dan melakukan pengamatan data sosial budaya yang dipahami atau
dijadikan nilai kefahaman oleh masyarakat.
Pendekatan ini akan menemukenali keterkaitan antara pandangan dan
aspirasi para PKL, pembeli serta aparat Pemkot terkait, serta korelasi antar data-
data sosial ekonomi budaya resonden serta karaketaristik usaha PKL dengan
tingkat kesejahteraan PKL dan keluarganya. Data maupun informasi ini akan
menjadi dasar pertimbangan dalam pemahaman maupun kesadaran terutama
para insiator dan penentu kebijakan penataan kota yang akomodatif terhadap
aktualisasi PKL dalam usaha pengentasan dari kemiskinan.
3.2.2 Pendekatan Kuantitatif
Walaupun penelitian kualitatif bersifat mendalam dan larut dalam perkembangan
informasi dalam proses penelitiannya, namun demikian untuk pengkayaan dan
cross check akan dilakukan pula pendekatan kuantitatif, yang akan menggunakan
data-data terukur. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman yang
mendalam dan akurat dari sifat data maupun informasi baik yang tangible maupun
yang intangible. Data kuantitatif dari obyek yang diteliti yaitu PKL dengan jumlah
besar, dan plot-plot usaha PKL yang kumlahnya relatif cukup besar, tidak
memungkinkan untuk dikompilasi secara sensus. Oleh karena itu perlu ditentukan
sampel dan responden berdasarkan populasi dan heteroginitas kondisi obyeknya.
20
Agar sampel valid, maka ada beberapa persyaratan diantaranya persentase
sampel terhadap populasi, pemilihan responden yang mewakili heteroginitas
karakter populasi, dan teknik pengambilan data yang tepat. Walaupun demikian
perlu diantisipasi munculnya kekeliruan pemilihan sampel (sampling error),
sehingga perlu ditentukan simpangan baku atau disebut standard error. Semakin
kecil kesenjangan antara simpangan baku dari sampel dengan simpangan baku
dari populasi, maka semakin tinggi pula tingkat akurasinya.
3.3 Informan, Sampel dan Responden
3.3.1 Informan
Informan yang diperlukan dalam bagian penelitian kualitatif ini adalah pimpinan
organisasi PKL, tokoh masyarakat pemerhati kemiskinan perkotaan, tokoh
masyarakat pemerhati tata kota Makassar, dan pimpinan kantor Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan kegiatan PKL, seperti Dispenda,
Dinas Tata Ruang, dan Polisi Pamong Praja pemerintah kota Makassar.
Penentuan informan meliputi: informan kunci dan informan pakar. Strategi
penentuan informan kunci dilakukan dengan cara:
a) Memilih beberapa informan di spot-spot dengan kapasitas besar (≥50 unit
lapak PKL), kapasitas sedang yaitu sekitar 20 unit lapak PKL, berdasarkan
ketegori informan yaitu: kategori ketokohan, yang dibagi dalam 3 kelompok,
yaitu: (i) pimpinan organisasi PKL, (ii) pimpinan SKPD terkait dengan
aktualisasi PKL, dan 3) pelanggan yang sering membeli, yaitu ≥ 2X setiap
bulan.
b) Pemilihan tokoh-tokoh tersebut akan ditentukan setelah mendapatkan
informasi detail dari berbagai pihak terkait.
c) Pilihan spot PKL sebagai sampel tersebar baik ditinjau dari lokasi, jenis
dagangan, tingkat perekonomian, jumlah pembeli, tempat usaha yang
terencana maupun yang tidak terencana oleh pemerintah Kota Makassar
d) Jumlah informan dari kategori tokoh masyarakat dan pemerintah akan
disesuaikan dengan kebutuhan kelengkapan data.
e) Informan kunci juga dapat dikembangkan berdasarkan informasi atau
petunjuk dari informan sebelumnya sampai memperoleh data jenuh.
Untuk melengkapi dan menguatkan kualitas data, maka di samping informan
kunci di atas, juga dibutuhkan informasi dari para pakar terkait, yaitu orang-orang
yang dinilai memiliki pengetahuan luas terkait dengan objek penelitian meliputi:
pakar dalam bidang sector informal, kemiskinan perkotaan, dan penataan kota.
21
3.3.2 Sampel dan Responden
Dalam penentuan besaran sampel, bagian penelitian ini yang bersifat
kuantitatif mengacu pada rumus yang telah disusun secara cermat oleh Robert V.
Krecie beserta Daryle W. Morgan, dan yang digunakan oleh para peneliti dalam
berbagai disiplin ilmu (Krejcie (1970). Rumus tersebut adalah seperti berikut.
Berdasarkan penelitian Yudono A. (2005) tentang PKL sebagai jiwa
masyarakat perkotaan, yang mengungkapkan pada tahun 2004 di kota Makassar
diperkirakan terdapat populasi 3500 PKL, yang diantaranya 1858 terdaftar di
Dinas Pendapatan Daerah kota Makassar, maka diasumsikan dengan fenomena
migrasi desa kota yang masih terus berlanjut, pada tahun 2013 populasi PKL telah
berkembang menjadi 4000 orang. Dengan menggunakan rumus Krejcie, maka
untuk toleransi standar eror 5% dengan populasi 4000 orang PKL diperlukan
sampel sebanyak 351 PKL. Dalam survey, dengan memperhitungkan kesalahan-
kesalah pengisian angket yang elemennya cukup banyak, maka akan dilakukan
360 sampel.
Obervasi pendahuluan yang dilakukan pada siang hari di bulan Maret tahun
2013 diidentifikasi penyebaran spot PKL dengan klaster besar terdiri dari >50 unit,
klaster sedang terdiri dari 11-50 unit, dan luster kecil terdiri dari ≤10 PKL
digambarkan dalam tabel berikut.
22
Tabel 4. Jenis barang dagangan dan jumlah spot kluster PKL di kota Makassar
Jenis barang dagangan Jumlah lapak
Makanan & minuman 78Campuran 98Buah-buahan 40Mainan anak 5Hand phone 6Emas perhiasan 6Bahan makanan 23Pakaian 55Majalah dan Koran 10Jam tangan 5Onderdil kendaraan 8VCD 9Reparasi barang kulit 5Tukang cukur 2
Stiker 9
Jumlah 359
Keterangan: hasil survei
Berdasarkan sebaran jumlah PKL berdasarkan jenis barang, dan asumsi
jumlah lapak/unit PKL pada klaster besar dikalikan 50, jumlahnya pada klaster
sedang dikalikan 25, dan jumlahnya pada klaster kecil dikalikan 5, maka
diperhitungkan sampel proporsional setiap jenis barang dagangan berturut-turut
sebagai berikut: PKL makanan 74 orang, PKL barang campuran 153 orang, PKL
buah-buahan 40 orang, PKL mainan anak-anak 5 orang, PKL hand phone 8
orang, PKL perhiasan emas 3 orang, PKL bahan makanan 25 orang, PKL pakaian
59 orang, PKL majalah/Koran 12 orang, PKL VCD 15 orang, PKL jam tangan 5
orang, dan PKL onderdil kendaraan 1 orang. Agar sampel valid, maka pemilihan
responden ditentukan dengan kriteria sbb: kemapanan usaha PKL (> 2 tahun),
penyebaran aglomerasi lokasi spot PKL yaitu kawasan perbelanjaan Pasar
Sentral, kawasan rekreasi Fort Rotterdam, kawasan rekreasi Pantai Losari,
kawasan perbelanjaan sekitar pasar Terong, kawasan perbelanjaan sekitar pasar
Pa’ Baengbaeng, kawasan perbelanjaan sekitar pasar Todopuli, kawasan
perbelanjaan sekitar pasar Daya, kawasan perbelanjaan sekitar mall
Panakukkang, sekitar pintu II kampus Unhas, dan spot-spot di ruas-ruas Jl.
Sulawesi, Jl, Sombaopu, Jl. Ahmad Yani, Jl. Bulusaraung, Jl.Mesjid Raya, Jl.
Sunu, Jl. Perintis Kemerdekaan.
23
3.4 Pengumpulan data
3.4.1 Kajian Kepustakaan
Kajian kepustakaan meliputi kajian literatur yang bersumber dari buku, dokumen
instansional, dan bahan publikasi. Metode pengumpulan data literatur dilakukan
dengan mencari informasi sesuai data yang dibutuhkan. Pertama, informasi
tentang definisi dan prinsip-prinsip kemiskinan perkotaan, tentang sektor informal
khususnya PKL, dan tentang penataan kota sehubungan dengan habitat kegiatan
PKL. Data yang berasal dari penelahaan literatur tersebut bersifat data sekunder.
Literatur yang dimaksud adalah:
a. Buku-buku, jurnal, hasil penelitian, dan hasil kajian lainnya yang bertema
urbanisasi, kemiskinan perkotaan, sektor informal khususnya PKL; dan
b. Buku-buku, jurnal, hasil penelitian, dan hasil kajian lainnya yang bertema
manajemen, perencanaan, dan perancangan kota sehubungan dengan
aktualisasi PKL.
3.4.2 Survei Lapangan
Survei lapangan dilakukan dengan:
a. Teknik Observasi, yaitu: pengamatan langsung tentang perilaku PKL,
pembeli, dan habitat kegiatan, serta huniannya yang disurvei baik secara
spasial maupun visual;
b. Teknik Interview, yaitu wawancara yang dilakukan dengan mengadakan
tanya-jawab kepada beberapa informan. Pengambilan data-data tersebut
dilakukan dengan menggunakan list data, kuesioner, dan rekaman audio
maupun video. Data responden dirangkum dalam bentuk tulisan dan/atau
tampilan gambar/peta yang memperlihatkan segmen-segmen wawancara.
c. Teknik Dokumentasi, yaitu teknik yang dilakukan dalam memperoleh data di
lapangan dengan mencatat dan merekam keseluruhan hal-hal yang
ditemukan. Data penelitian tentang informan dicatat dalam bentuk tabulasi,
diagram, atau narasi. Data penelitian tentang wujud habitat tempat kegiatan
PKL, tata lapak, fasilitas umum, dan hunian para PKL dengan keluarganya,
akan dibuat dalam bentuk peta, foto, sketsa, dan rekaman gambar. Dalam hal
ini instrumen yang akan digunakan adalah perekam data berupa: buku
catatan, buku gambar, peta, kamera foto, kamera video, meteran, counter,
stop watch, pensil.
3.4.3 Jenis Data
24
Pengumpulan dan jenis data yang diperlukan di Tahun 2013 adalah sebagai
berikut:
Kajian eksploratif tentang karakteristik, sejarah dan kecenderungan
perkembangan PKL kedepan, yang merupakan salah satu wujud kemiskinan
perkotaan. Data dan jenisnya yang dimaksud adalah: (a) pendapat para informan
kunci berupa pimpinan organisasi PKL, pelanggan, pimpinan SKPD Pemkot
bidang Kesejahteraan Rakyat, pimpinan SKPD Pemkot bidang Dispenda, tentang
eksistensi dan keberlanjutan PKL; (b) kondisi sosial ekonomi PKL dengan
keluarganya, dan para pembeli, serta opini mereka tentang kondisi eksisting PKL
dan habitatnya, kebijakan pemerintah, dan kualitas pelayanan para aparat SKPD
pemerintah kota terkait PKL, serta harapan mereka tentang kondisi PKL kedepan;
(c) kondisi fisik habitat PKL berupa penyebaran spot-spot PKL, tata lapak,
sanitasi, sarana usaha seperti gerobag, meja kursi pembeli, prasarana parkir
kendaraan, cara penyimpanan prasarana dan sarana PKL pada saat di luar jam
kerja; (d) system organisasi PKL; (e ) system rekrutmen, permodalan dan
pembangunan kapasitas pelaku PKL; (f) sumber dan system pengadaan bahan
baku, proses masak, pengelolaan limbah, system kebersihan tempat usaha.
Data-data yang telah diperoleh kemudian distrukturkan berdasarkan
katagori: data spasial, visual, dan hasil wawancara, selanjutnya direduksi untuk
melihat tingkat kelengkapan dan manfaat data, dan akhirnya siap dianalisis dan
dibahas hasilnya.
Produk bahasan hasil analisis dimaknakan dalam target outcome sbb:.
i. Terungkapnya kecenderungan perkembangan usaha PKL perkotaan dan
faktor-faktor pengaruhnya;
ii. Terungkapnya sistem perkembangan hubungan kekerabatan dan
organisasi pelaku usaha PKL, system rekrutmen, system pemanfaatan
lapak usaha PKL, system permodalan finansiil;
iii. Terungkapnya opini dan harapan pelaku usaha PKL untuk kondisi
usahanya maupun kehidupan anak cucunya ke depan.
3.5 Teknik Analisis
Seperti yang digunakan oleh Akil A., et.al. (2012), maka teknik analisis data yang
dilakukan tergantung pada metode penelitian yang digunakan dalam menjawab
pertanyaan penelitian. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sejak
perumusan masalah, sebelum ke lapangan, dan berlangsung terus menerus
sampai selesainya penulisan laporan hasil penelitian. Walaupun demikian analisis
data lebih difokuskan selama proses survey lapangan. Seperti pandangan
25
Muhajir (2000) dan Darjosanjoto (2006) bahwa seyogyanya pada saat
pengumpulan data kualitatif, peneliti langsung merekam, menulis, mengedit,
mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikannya. Dengan demikian porses analisis
bersamaan dengan proses kompilasi data secara terpadu. Analisis data pra survey
lapangan berupa analisis data hasil prastudi atau data sekunder dalam rangka
mengarahkan fokus penelitian. Pada proses kompilasi data seperti kegiatan
wawancara, FGD, peneliti segera melakukan analisis dari jawaban informan, serta
rekaman kondisi yang ditangkap dari seluruh inderanya. Jika jawabannya dianggap
belum akurat maupun mendalam sesuai sasaran, maka peneliti seyogyanya
melanjutkan ekplorasi pandangan nara sumber sampai diperoleh titik jenuh akurasi
dan kedalaman data.
Teknik analisis yang relevan dilakukan untuk mengetahui karakteristik, opini
dan harapan PKL, pandangan aparat pemerintah, serta opini dan harapan pembeli
tentang aktualisasi usaha PKL disebut teknik presentasi dan interpretasi data
kualitatif. Teknik analisis ini berupa suatu proses pengkonkritan makna-makna
tentang: (i) hak PKL dalam melakukan usaha, karakteristik sosial, ekonomi dan
budaya usaha PKL, opini dan harapan PKL terhadap kondisi usaha saat ini dan
harapan kedepan tentang perlakuakn pemerintah dan masyarakat tentang hak
aktualisasi PKL guna pemenuhan kebutuhan keluarganya; (ii) tata kota dan kondisi
fisik habitat tempat usaha PKL; (iii) kewajiban pemerintah dalam pelayanan,
penataan, pembinaan, dan penertiban PKL.
Teknik analisis data kuantitatif yang sebagian besar bersifat interfal dan
ordinal dari data-data opini dan harapan responden, maka untuk mendapatkan
interkorelasi antar variable, akan digunakan teknik-teknik analisis statistik non
parametrik. Adapun untuk pemaknaan data-data yang bersifat nominal akan
dilakukan teknik tabulasi presentase.
3.6 Penarikan Kesimpulan
Pada penelitian kualitatif, maka analisis terhadap fakta-fakta lapangan dengan
pembanding kajian pustaka akan menghasilkan temuan-temuan yang mungkin
masih harus dipertajam dengan diskusi antar anggota peneliti dan kalau perlu
mengundang nara sumber. Pada penelitian kuantitatif non parametrik, hasil analisis
berupa tingkat signifikasi korelasi antar variable yang akan dijadikan dasar
perumusan maknanya. Selanjutnya hasil-hasil penelitian baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif tersebut akan didiskusikan lagi untuk mengeksplorasi
hal-hal prinsipiil, tentaang karakter, kecenderungan perkembangan, opini dan
harapan PKL, pembeli, tokoh masyarakat, dan aparat yang layak dijadikan dasar
26
pertimbangan dalam menentukan prinsip-prinsip regulasi dan strategi implementasi
dalam pelayanan, penataan, pembinaan dan penertiban PKL, serta dalam
penyusunan model penataan kota yang antisipatif dan adaptif dalam
mengakomodasi aktualisasi PKL.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
4.1 Perkembangan PKL di Kota Makassar
Posisi geografis Makassar relatif terletak di tengah-tengah tanah air kepulauan Indonesia,
dengan dukungan pelabuhan samodra Soekarno Hatta, dan bandara internasional Sultan
Hasanuddin maka laju perkembangan kota ini cukup pesat menjadi kota industri dan
perdagangan barang maupun jasa, serta pusat kegiatan meeting, insentif, convention,
exhibition (MICE) dalam skala nasional maupun global. Kondisi ini juga menjadi daya tarik
tujuan migrasi desa-kota dalam skala nasional, termasuk tumbuh berkembangnya
kegiatan PKL. Oleh karena itu, Makassar adalah tempat yang menarik untuk bermigrasi
ke kota ini, yang ditandai dengan laju pertambahan penduduk yang pesat mulai tahun
1975, berdasarkan kartu keluarga, jumlah penduduknya 562,065 jiwa, tahun 1985
bertambah menjadi 756,787 jiwa, tahun 1995 bertambah menjadi lebih dari satu juta,
tepatnya 1,070,949 jiwa, tahun 2005 telah bertambah menjadi 1,194,260 jiwa, dan tahun
2011 telah menjadi 1,352,138 jiwa. Walaupun demikian, para komuter yang tinggal di
kabupaten tetangga dan melakukan kegiatan rutin di kota Makassar pada jam kerja,
seperti berhuni, bekerja, belajar, belanja, bermain, dan kegiatan lainnya merupakan
konsekwensi kota ini untuk mengakomodasi penduduknya sendiri beserta para komuter
sebanyak kurang lebih satu setengah juta jiwa. Sebagian dari jumlah manusia kota ini
serta daya tarik tempat-tempat tertentu yang juga menjadi pembangkit lalu-lintas, menjadi
magnit dan penyubur tumbuh berkembangnya PKL di kota Makassar, yang juga berasal
dari berbagai wilayah lain, termasuk mereka yang datang dari Jawa merantau untuk
mengadu nasib mencari nafkah. Berdasarkan pada data dari Dinas Pasar Kota Makassar,
pada tahun 2004 terdapat ± 3,500 unit usaha PKL, tetapi yang resmi terdaftar hanya
1,858 unit dengan lokasi tempat kerja permanen.
Aglomerasi sebagian PKL berada di pantai Losari, yang karena dinamika
pembangunan pada kawasan dengan beragam fungsi yang mencair di kawasan ini, yaitu
rekreasi, perbelanjaan, perhotelan, dan restoran, maka kelompok terbesar PKL di
kawasan rekreasi Pantai Losari kota Makassar berpindah-pindah, mulai dari Jl. Pasar
Ikan, yang terkenal dengan ungkapan restaurant terpanjang di dunia (Yudono A.,
1997),yang pindah ke Jl. Metro Tanjung Bunga, dan saat ini tempat usahanya di Laguna
Losari. Tumbuh berkembangnya para PKL yang tidak terencana akan berdampak ke
terganggunya kualitas kondisi lingkungan kota yang potensiil berdampak negatif terhadap
beberapa kegiatan perkotaan lainnya. Bagaimanapun juga, walaupun kegiatan PKL
menimbulkan beberapa masalah perkotaan tetapi fakta menunjukkan bahwa PKL
perkotaan tetap tumbuh berkembang subur. Fenomena ini membuktikan bahwa usaha
29
PKL dibutuhkan oleh warga kota. Makassar terus berkembang menjadi pusat
pertumbuhan nasional, dan cenderung Makassar menjadi salah satu pusat kegiatan
dunia, yang tentu saja diharapkan mempunyai daya trickling down effect ke wilayah
sekitarnya, yang akan mengeliminasi kesenjangan kesejahteraan antara Makassar
dengan wilayah sekitarnya. Sayang sekali dampak ini tidak seperti yang diharapkan,
karena kenyataannya back wash effect lebih besar, sehingga kesenjangan kesejahteraan
antara kota primer dengan hinterland semakin besar.
Seperti proses bola salju, kota semakin berfungsi sebagai magnit tumbuh
berkembangnya berbagai hal, baik yang bersifat positif seperti sektor perumahan,
pendidikan, kesehatan, dan hiburan, maupun yang bersifat negatif seperti kekumuhan,
kemacetan lalu-lintas, kriminalitas, epidemi dsb. Aglomerasi lapangan kerja dan berbagai
kemudahan inilah yang turut memotivasi migrasi desa-kota. Sebagian para migran
memasuki usaha sektor informal perkotaan yang ternyata secara dinamis dan cepat
tumbuh berkembang secara berlanjut, bahkan bisa diartikan sebagai nyawa kehidupan
sebagian besar masyarakat miskin perkotaan di negara-negara sedang berkembang
(Yudono, 2005). Seperti komunitas rayap yang cepat sekali tumbuh berkembang kembali
apabila mengalami gangguan perusakan sarangnya, para PKL terbukti juga memiliki daya
juang dengan sifat lenting tinggi dan tangguh dalam menghadapi berbagai hambatan,
baik fisik maupun non-fisik dalam memperjuangkan aktualisasinya. Walaupun dalam
kondisi keterbatasan dalam beberapa hal, para pelaku usaha informal, yang juga
sebagian besar kaum miskin, adalah merupakan komunitas yang memiliki kecerdikan
kewirausahaan, dan mereka telah menciptakan omset keuangan dengan nilai sangat
besar, yang secara total jauh melebihi biaya pembangunan oleh pemerintah, bursa
saham lokal, dan investasi asing (Soto, 2012). Daya lenting sektor informal dalam
menghadapi berbagai masalah baik dalam aspek ekonomi, sosial, hukum maupun fisik
telah terbukti, baik dalam menghadapi krisis moneter, kebakaran, banjir, maupun
penggusuran oleh aparat penegak penertiban kota. Ini menunjukkan bahwa bagi
sebagian besar masyarakat, usaha PKL adalah merupakan suatu aktualisasi yang harus
diperjuangkan eksistensinya karena menyangkut hajat hidup mereka dan keluarganya. Ini
juga bukti dan contoh daya kemandirian mereka yang besar dan tangguh.
Fenomena ini menarik bagi banyak orang dari sekitar Makassar maupun dari
tempat yang lebih jauh untuk bermigrasi dalam rangka mencari nafkah dan rejeki,
bekerja, berkarier, sekolah, kuliah, dan tujuan lainnya. Seperti uraian di depan, sebagian
besar para migran tidak dibekali ilmu, ketrampilan, maupun modal finansiil yang memadai
untuk hidup layak dan bekerja disektor formal di kota ini. Mereka inilah yang potensiil
menambah banyaknya pekerja sektor informal seperti tukang becak, pembantu rumah
30
tangga, kuli, buruh bangunan, pengamen, pengemis, dan sebagainya, khususnya usaha
PKL yang relatif terbuka dan mudah bagi mereka untuk beradaptasi. Prospek kedepan
usaha PKL sebagai lapangan kerja potensiil di kota Makassar semakin tumbuh
berkembang karena pertumbuhan perekonomian kota ini tinggi, lebih dari 9%/tahun
dalam beberapa tahun belakangan, sehingga berpengaruh ke tingkat daya beli warga
kota yang secara bertahap naik juga, dan mereka juga senang menikmati makan di luar
rumah, termasuk terus bertambahnya pembeli pada usaha PKL. Karakter pekerjaan PKL
sendiri mudah dipelajari bahkan bagi orang yang hanya berbekal sedikit ilmu dan
ketrampilan, terutama dalam jenis usaha kuliner, yang seperti isteri yang walaupun
awalnya tidak bisa memasak toh bisa menjadi ibu rumah tangga yang mahir dalam
masak-memasak. Sebagian besar para PKL adalah berasal dari pulau Jawa, dan
mempunyai dampak positif bagi masyarakat lokal dalam kegiatan alih ilmu dan
ketrampilan diantaranya dalam kegiatan on the job training (magang) sehingga mulai
bermunculan PKL yang merupakan orang-orang setempat yang mampu membuka
usahanya sendiri.
Pada tahun 1997 beberapa tempat faforit aglomerasi para PKL yang jumlahnya
kurang lebih 50 unit atau lapak di kota Makassar tersebar di kawasan rekreasi pantai
Losari, sekitar pasar sentral atau Makassar mall, yang pada tahun 2010 terbakar hebat
sehingga sampai tahun Juli 2013 sabagian besar para penjual juga menempati lapak-
lapak darurat di jalan-jalan di sekitar pasar Sentral, sambil menunggu pembangunan
kembali pasar ini. Selain itu sekitar pasar Pa’ Baengbaeng dan sekitar pasar daya juga
merupakan tempat aglomerasi para PKL, yang sebagian adalah para penjual di pasar
yang meluber keluar sampai ke bahu jalan untuk lebih mendekati para pembeli yang lalu-
lalang di jalan. Suatu problema pasar tradisional yang perlu dicari akar masalahnya, dan
diduga tatanan pasar yang di bagian tengah atau belakang pasar yang kurang atau tidak
menarik bagi pembeli untuk mendatanginya. Gambar berikut menjelaskan sebaran
aglomerasi PKL di kota Makassar.
Lokasi aglomerasi PKL ini didukung oleh pembangkit lalu-lintas seperti tempat
rekreasi, pasar dan tempat ibadah. Selain itu pinggir jalur jalan yang banyak dilalui lalu-
lintas kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil juga menjadi tempat vaforit
usaha PKL.
Gambar 4.1 Peta lokasi aglomerasi PKL di kota Makassar
Lokasi aglomerasi PKL ini didukung oleh pembangkit lalu-lintas seperti tempat
rekreasi, pasar dan tempat ibadah. Selain itu pinggir jalur jalan yang banyak dilalui lalu-
31
lintas kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil juga menjadi tempat vaforit
usaha PKL.
Pantai Losari sebagai daerah faforit tempat usaha PKL
Sejak dahulu kala Losari terkenal dengan keindahan panorama senja saat matahari
terbenam, yang lalu diperkaya dengan kawasan perbelanjaan souvenir (cindera mata)
Sombaopu, penghubung obyek wisata sejarah Fort Rotterdam dengan anjungan Losari,
yang menjual beragam cindera mata seperti perhiasan perak kendari. Selain itu,
pertokoan Sombaopu juga terkenal dengan perhiasan emas yang kualitas emasnya
tinggi, kerajinan tenun dan ukiran Toraja, T-shirt dengan aneka gambar dan tulisan ciri-ciri
nuansa Sulawesi Selatan seperti obyek wisata Toraja, panorama pantai Losari, dsb. Jenis
barang jualan lainnya yang sering menjadi pesanan bagi orang-orang atau kerabat yang
tinggal di Jawa, terutama orang-orang yang senang pijat dan kerikan, toko-toko tertentu di
Sombaopu juga menjual beragam minyak gosok, seperti minyak lawang, minyak kayu
putih, dan minyak tawon. Minyak tawon cap topi putih adalah minyak gosok paling favorit.
Selain itu ada juga marning yaitu jagung goreng yang berbahan dasar jagung pulut, yang
susah ditemukan di luar Sulawesi Selatan, dengan berbagai rasa seperti gurih asin, gurih
manis, dan gurih pedas. Rasanya tidak afdol kalau pelancong berkunjung ke Makassar
tetapi tidak menyempatkan dirinya singgah jalan-jalan berbelanja di kawasan cindera
mata Sombaopu. Sepuluh menit berjalan kaki dari pusat cindera mata ini, ke arah
Tenggara dengan mudah dijumpai pantai Losari yang saat ini dibangun anjungan yang
sebagian sudah berfungsi sebagai ruang terbuka publik. Saat ini, tahun 2013, anjungan
Losari merupakan tempat terfavorit bagi warga kota Makassar untuk bersantai melepas
lelah menikmati panorama matahari terbenam di setiap senja hari. Setiap pagi di hari
minggu, jam 6:00 ~ 10:00 saat diberlakukan car free day, di sepanjang jalan penghibur
terselenggara ritual mingguan yaitu tumpleknya ribuan warga kota termasuk para pejabat
tinggi pemerintah kota makassar maupun pejabat pemerintah provinsi Sulawesi Selatan,
serta para pelancong yang melakukan senam, jalan santai, bersepeda, berdayung di
perairan pantai dekat daratan, sedangkan di perairan pantai jauh sekali-kali melintas
kapal-kapal besar yang lalu-lalang menuju dan dari pelabuhan samodra Makassar.
Uraian di atas, menjadi alasan mengapa kawasan rekreasi pantai Losari menjadi
salah satu tempat faforit untuk usaha PKL, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
berkelompok. Rumah dinas walikota Makassar yang bermula dari bangunan arsitektur
kolonial Belanda juga nampaknya oleh pemerintah Hindia Belanda sengaja ditempatkan
pada kawasan rekreasi dengan panorama sunset terindah di kota ini. Beragam bangunan
hotel yang dilengkapi dengan tempat resepsi atau tempat konvensi dan tempat pameran,
32
restoran dan café laiknya pada berlomba tumbuh berkembang, berebut posisi terbaik
untuk menikmati panorama selat Makassar yang ditaburi oleh belasan pulau-pulau kecil
sebagai pemerkaya drama ritual harian berkenannya sang surya memasuki peraduannya
di senja hari. Panorama senja hari di pantai Losari ini sering diiringi oleh lalu-lalangnya
perahu-perahu Jolloro yang mengangkut para komuter dengan kepenatan setelah
melakukan beragam kegiatan di kota Makassar, yang sedang bergerak balik ke pulau-
pulau kecil di sekitar Makassar. Sekali-sekali juga terlihat lalu-lalang kapal penumpang
PELNI dengan nyaringnya suara bostom, juga sekali-kali lewat kapal-kapal petikemas,
atau kapal tangki bahan bakar ukuran raksasa. Jatidiri dan keunikan panorama dramatis
pantai Losari paling terasa kalau tepat terlihat berlayarnya perahu tradisional Phinisi
kebanggaan etnis pelaut ulung Bugis Makassar.
Drama lanjutannya, seperti lenong Betawi, yang mana setiap orang dapat berperan
sebagai subyek pengamat maupun penikmat kehidupan kawasan rekreasi water front city
(kota tepian air), yang sekaligus juga sebagai obyek yang diamati oleh insan-insan yang
mensyukuri keindahan inderawi dan keindahan sosial serta kemeriahan pantai Losari dari
sore sampai larut malam. Warga kota bersama para pengunjung, terutama di senja hari
malam minggu seolah tak mau kehilangan momen untuk menikmati suasana ritual alami
terbenamnya matahari di garis cakrawala batas pandang perairan laut Selat Makassar
nun jauh di arah Barat.
Mulai tahun 2002 warga kota Makassar, pemerintah kota Makassar, bahkan
pemerintah provinsi Sulawesi Selatan melalui diskusi di radio, talk show di stasiun
televisi, yang bermuara ke sayembara perencanaan pengembangan pantai Losari, telah
menghasilkan rancangan pengembangan ruang pablik berupa anjungan pantai Losari
dengan tema 4 anjungan yang mewakili empat etnis di Sulawesi Selatan waktu itu,
sebelum pemekaran provinsi Sulawesi barat, waktu itu yaitu anjungan Makassar,
anjungan Bugis, anjungan Toraja dan anjungan Mandar. Perletakan batu pertama
pembangunan anjungan Losari ini dilakukan secara resmi oleh presiden Megawati
Soekarno Putri pada bulan September 2004. Saat ini anjungan Losari ini masih terus
dikembangkan secara bertahap dan yang sudah berfungsi menjadi ruang publik terbuka
paling favorit di kota Makassar. Sejak saat ini, agar lebih banyak warga kota dapat
memanfaatkan anjungan Losari dan lebih leluasa dalam menikmati pemandangan laut,
lingkungan menjadi lebih rapi, lebih bersih, dan lebih indah, maka PKL dilarang
membangun lapak di ruang publik anjungan Losari.
Kuliner PKL di Makassar
33
Sebagai jenis barang yang paling banyak dijual oleh para PKL, berikut ini bahasan
tentang kuliner ciri khas Makassar. Ciri khas jenis masakan yang populer sampai seluruh
penjuru nusantara, melalui gethok tular (penyebaran informasi secara lisan dari mulut ke
mulut) para pengunjung dari luar Makassar dan/atau melalui mass media cetak maupun
elektronika, adalah pisang Epe’ dan es pisang hijau. Pisang Epe’ terbuat dari pisang
kepok masak tanggung, hampir masak sudah manis tetapi masih keras dengan warna
kulit hijau ke kuning-kuningan dan masih sedikit bergetah. Pisang dikupas dan dibelah
dua atau lebih tetapi pangkalnya tetap menyatu, kemudian pisang diapit oleh alat penjepit
berupa jaringan kawat dan dipanggang. Pisang jepit atau pisang apit atau akhirnya lebih
pas dan mudah diucapkan menjadi pisang Epe’. Proses masak pisang yang dijepit dan
dipanggang inilah mungkin merupakan asal mula nama pisang Epe’, salah satu ikon
kuliner khas Makassar. Aroma durian, vanili atau lainnya, ditambah adonan cairan coklat
manis seperti madu yang bahannya gula aren dijadikan pemerkaya rasa pisang Epe’.
Kelezatan pisang Epe’ ini lebih afdol kalau ditemani oleh minuman saraba’, seperti
wedang serbat dicampur wedang bajigur di Jogja. Sedangkan bahan utama es pisang
hijau adalah pisang kepok masak tanggung yang sudah dikupas kulitnya dan dibalut oleh
lapisan adonan tepung beras pulut yang diberi warna hijau, lebih harum kalau unsur
hijaunya berasal dari daun pandan hijau. Kreasi pisang kepok matang tanggung yang
sudah dibalut dengan adonan tepung terigu warna hijau ini dibentuk sedemikian rupa
menyerupai sebiji pisang yang masih dibalut kulit hijaunya. Cara masaknya sepertinya sih
dikukus. Pisang hijau disajikan dalam piring bersama jenang sumsum yang terbuat dari
tepung beras pulut atau beras ketan. Di sekeliling pisang hijau diletakkan beberapa
pecahan es batu, jadinya mirip pulau hijau laut jenang sumsum dengan beberapa gunung
es, yang dilengkapi dengan sirup warna merah penambah gairah makan. Makanan khas
Makassar inilah yang sering dijadikan pengantar makan ringan sambil menikmati atmosfir
senja di pantai Losari. Pada saat makan malam banyak pilihan dijual oleh para PKL
seperti hidangan ikan bakar, cotto Mangkasara’, nasi goreng, nasi campur, bakso,
berbagai jenis bakmi, gado-gado, dsb. Ada juga cemilan seperti kacang rebus, kacang
goreng, telur rebus, gogos dan jagung rebus.
4.2 Pola Tatanan Lapak dan Organisasi PKL
Sebagai kelanjutan penelitian-penelitian PKL sebelumnya, maka dalam penelitian perlu
melakukan review penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh ketua
maupun anggota peneliti. Makassar pernah mempunyai ikon unik berupa tempat
aglomerasi para PKL di sepanjang pantai Losari, yang saat itu disebut “restoran
terpanjang sedunia”, dan mempunyai tatanan lapak yang cukup teratur dengan organisasi
berupa koperasi PKL Losari. Hal ini urgen dibahas lagi karena akan menjadi dasar
34
pertimbangan dalam penyusunan model tata aglomerasi lapak PK. Kehidupan PKL Losari
sebelum pindah ke Jl. Metro Tanjung Bunga, dilakukan secara berderet di sepanjang 850
meter pinggir pantai, dari Makassar Golden Hotel sampai taman Gajah, atau yang
sekarang menjadi pintu masuk kawasan PKL Laguna Mariso. Mulai jam 15:30 an sore,
bakda Ashar, mereka datang satu persatu atau berombongan bak karnaval harian yang
datang dari sekitar pantai Losari, terutama dari Kampung Lette sekitar 800 meter jaraknya
dari Losari. Setiap menjelang sore hari, mereka berdatangan untuk persiapan meraup
rezeki dari pembelian barang dagangannya oleh para pengunjung yang sebagian
merupakan sambala’na atau pelanggan setianya. Sesuai aturan Pemkot berkenaan
ketertiban dan kebersihan pantai losari, maka pada pagi hari kawasan PKL restoran
terpanjang sedunia ini bersih dari sampah dan gerobag lapak PKL. Gerobag yang berisi
berbagai sarana jualan seperti barang jualan, alat masak dan cuci piring dan peralatan
makan minum lainnya, serta bangku dan meja yang digunakan oleh para pembeli,
semuanya dibawa kembali ke rumah-rumah sewa para PKL yang mayoritas berlokasi di
kampung Lette, ± 600m dari tempat jualan.
Tatanan lapak-lapak PKL yang berjajar memanjang 850 m di sepanjang Jl.
Penghibur, Losari, dari Makassar Golden sampai dengan taman Gajah, sekarang ujung
Jl. Metro Tanjung Bunga, laiknya pusat jajan serba ada (Pujasera), sehingga waktu itu
terkenal sebagai restoran terpanjang sedunia, yang merupakan habitat para PKL dan
para pelanggannya yang berinterelasi sambil menikmati panorama matahari tenggelam di
senja hari. Restoran terpanjang sedunia ini dibagi-bagi dalam beberapa zona (B, M, A, L
dan O) dengan spesifikasi masing-masing. Asal muasal dan alasan penamaan zona ini
tidak jelas, kemungkinan hasil kesepakatan para PKL yang diatur melalui organisasi PKL
Losari dengan Pemerintah Kota Makassar. Di sebelah tepi barat Jl. Penghibur yang
langsung berhubungan perairan laut, para PKL menempati sepanjang trotoir, badan jalan
jalur lambat, dan median jalan berumput, serta deretan parkir sepeda motor di bahu jalan,
yang menyebabkan para pejalan kaki menggunakan jalur kendaraan. Selain itu tepi timur
jalan yang berupa deretan toko-toko, restoran, dan hotel merupakan tempat parkir mobil.
Lapak-lapak PKL, parkir sepeda motor, dan parkir mobil menjadi hambatan samping
pergerakan lalu-lintas kendaraan. Tabel berikut menggambarkan atmosfir restoran
terpanjang se dunia, di pantai Losari pada tahun 1990 an.
Para PKL dengan ragam barang dagangan dan daerah asalnya terlihat berbaur,
walaupun secara naluri sosial terbentuk zona-zona jenis barang dagangan tertentu dan
asal PKL yang terlihat lebih dominan. Lima zona PKL ditetapkan oleh Pemerintah Kota
Makassar yang bekerjasama dengan koperasi PKL Losari utuk menentukan tempat kerja
masing-masing unit atau lapak atau gerobag PKL. Zona B, M dan A ditempati oleh
35
gerobag-gerobag besar PKL. Zona-zona ini menjadi faforit para pengujung untuk datang,
duduk santai memandang panorama sunset sambil menikmati jenis kuliner kesukaannya.
Gerobag-gerobag kecil menempati zona L dan sebagian zona A. Zona O di sebelah timur
Jl. Penghibur ditempati oleh gerobag ukuran medium dan yang ukuran kecil.
36
Tabel 4.1 Zona jenis barang jualan dan asal PKL
PKL di Zona B yang menempati pinggir pantai paling utara lebih didominasi oleh
penjualan nasi dan bakmi, dan didukung oleh minuman segar, lebih separo jumlah PKL berasal
dari Jawa, seperempat jumlahnya adalah PKL berasal dari kota makassar sendiri, sedangkan
sisanya berasal dari wilayah luar Makassar di Sulawesi Selatan.
Zona M mirip zona B, tetapi jumlah penjual minuman segar lebih mendominasi dibanding
jumlah penjual nasi dan bakmi. Pada Zona M juga ada beberapa PKL penjual bakso maupun
PKL penjual pisang Epe’. Kebanyakan asal PKL dari Jawa, yang urutan jumlahnya diikuti oleh
PKL dari SulSel luar kota Makassar, dan PKL yang berasal dari Makassar sendiri.
Zona A merupakan pelataran pantai yang menjorok ke laut dan berkesan lebih longgar.
Di zona ini PKL lapak-lapak ukuran besar dan berjualan nasi terlihat dominan, diikuti oleh
lapak-lapak ukuran sedang yang berjualan bakso, yang berjualan minuman segar, dan lapak-
lapak kecil yang berjualan pisang Epe’.
Posisi Zona L di bagian selatan restoran tepanjang sedunia yang diisi oleh gerobag-
gerobag kecil PKL dengan barang jualannya didominasi oleh pisang Epe’, bakso, dan minuman
segar. Para PKL dengan gerobag-gerobag ukuran kecil ini berjajar di pinggir barat badan jalan
yang dibatasi dengan laut oleh tanggul setinggi 60 cm. Tanggul ini menjadi tempat duduk yang
sekaligus juga meja tempat meletakkan piring dan gelas atau botol minuman para pembeli.
Sebagian pembeli remaja lebih senang duduk di sadel sepede motornya sambil menikmati jenis
kuliner pilihannya.
Zona O di depan RS Stelamaris ditempati para PKL dengan ukuran gerobag sedang dan
yang didominasi oleh penjual roti dan minuman hangat, walaupun ada beberapa PKL juga yang
berjualan bakso, dan yang berjualan nasi, yang didominasi oleh para PKL berasal dari SulSel di
luar kota Makassar.
PKL khusus penjual minuman menyebar menempati seluruh zona, kecuali zona O, untuk
melayani kebutuhan minuman pelengkap makan para pembeli makanan yang dibeli dari PKL
lainnya. Posisi strategis zona B, M dan A, dengan ukuran lapak per unit PKL lebih luas, dan
sudut pandang ke panorama sunset juga lebih jelas, serta pilihan makanan dan minumannya
lebih banyak. Harga makanan pada zona faforit ini relatif lebih mahal dibanding zona lainnya.
Kondisi strategis ini perlu menjadi faktor pertimbangan bagi para perancang tatanan PKL.
Tatanan lapak dan gerobag para PKL, termasuk meja, kursi dan bangku, serta parkir
sepeda motor di pinggir badan jalan sebelah barat, maupun parkir mobil yang juga memenuhi
pinggir jalan timur menyebabkan lalu-lintas tidak dapat lancar, bahkan para pedestrianpun tidak
lancar, tidak nyaman dan tidak aman. Posisi tenda lapak PKL di pinggir barat Jl. Penghibur juga
menutupi panorama perairan pantai dari sebelah timur jalan. Oleh karena itu sudut pandang ke
arah perairan pantai adalah dari teras atau jendela lantai dua atau yang lebih tinggi restoran,
café, atau hotel. Pengunjung yang menyadari tingginya nilai view panorama sunset Losari
biasanya memesan posisi sea view kamar hotel dan/atau kursi dan meja makan di restoran
atau café. Kondisi ini sangat berbeda pada pagi dan siang hari yang sepi dari PKL dan
pemandangan bebas ke laut, dengan view ke perairan laut dan pulau Lae-lae, tetapi tidak pada
saat proses matahari terbenam.
Posisi tempat usaha PKL, dan jenis barang dagangan, memiliki korelasi kuat dengan
besaran pendapatannya. Dalam hal kategori barang jualannya adalah kuliner, maka tentu saja
lama pengalaman, cara pelayanan, dan daya kratifitas yang menuntun sensitifitas PKL
terhadap selera pembeli sangat berpengaruh terhadap banyak sedikitnya pelanggan. Dalam
habitat usaha PKL, promosi produktif maupun yang kontra produktif bergerak menyebar dari
mulut ke mulut para pembeli, dan tingkat rasa, tingkat pelayanan, dan harga merupakan
fariabel penentu utama bagi tingkat kepuasan pembeli. Bahkan faktor hieginitas sering
terabaikan menjadi pertimbangan berikutnya. Tabel berikut mengungkapkan keterkaitan zona
dan jenis barang jualan berkaitan dengan tingkat pendapatan PKL.
Gambar berikut menjelaskan suasana Jl. Penghibur, Losari, mulai senja hari sampai
tengah malam. Keindahan senja hari di pantai Losari sejak awal tahun 1990an mulai terganggu
oleh tumbuh berkembangnya restoran terpanjang sedunia, oleh lapak dengan tenda-tenda PKL
yang berjajar memanjang di jalan penghibur.
Penghasilan yang berupa keuntungan rata-rata PKL pada tahun 1997 dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: (i) kelompok penghasilan rendah dibawah Rp 250,000 per bulan; (ii)
kelompok penghasilan medium Rp 250,000 ~ Rp 750,000 per bulan; dan (ii) kelompok
penghasilan tinggi di atas Rp 750,000 per bulan. Bahkan ada PKL penjual bakmi vaforit yang
omset penjualan perharinya mencapai lebih dari Rp 1,000,000. Besaran penghasilan ini dapat
dibandingkan dengan penghasilan pegawai negeri sipil golongan IIIc termasuk gaji pokok dan
segala macam tunjangannya kurang lebih Rp 770,800 per bulan pada saat itu.
Kondisi ini membuktikan bahwa pendapatan para PKL pun tidak jauh berbeda dengan
pendapatan pegawai negeri sipil kelas menengah. Pandangan ini didukung secara empiris oleh
tabel berikut yang menjelaskan bahwa mayoritas PKL di restoran terpanjang Losari, pada
tahun 1997, penghasilan perbulannya melebihi penghasilan rata-rata PNS golongan IIIc, yang
termasuk pegawai menengah. Boleh dikatakan seperempat jumlah PKL di pantai Losari ini
tingkat penghasilannya masuk kategori medium. Kurang dari sepersepuluhnya saja para PKL
berpenghasilan rendah.
Gambar 3.3 Tatanan tempat kerja PKL di Jl. Penghibur, Losari, tahun 1997
Lokasi vaforit zona A, zona B, dan zona M merupakan tempat strategis pengundang para
pelanggan, sehingga juga merupakan aglomerasi tempat para PKL berpenghasilan tinggi
melakukan usaha di zona tersebut. Sedangkan sebagian besar para PKL yang berpenghasilan
rendah teraglomerasi di zona L dan zona O. Jenis kuliner yang menghasilkan paling banyak
kuntungan adalah nasi, bakmi dan minuman, sedangkan jenis kuliner yang berkontribusi pada
penghasilan rendah adalah pisang Epe’ dan kue. Ketersediaan jenis sarana dan prasarana
usaha PKL dan tempat usahanya juga menentukan atmosfir lingkungan usaha PKL. Sebagian
besar para PKL di zona A, B dan M memanfaatkan jaringan listrik Perusahaan Lustrik Negara
(PKL) untuk pencahayaan dan peralatan masaknya, sedangkan para PKL di zona L dan O
para PKL tidak memanfaatkan listrik PLN. Sebagian para PKL juga menggunakan battery aki,
dan lainnya tidak memerlukan energi listrik. Para PKL pengguna gerobag kecil penjual pisang
Epe’, penjual kue, dan penjual kacang, mengandalkan lampu jalan untuk pencehayaan. Dalam
pengadaan air untuk keperluan masak dan cuci peralatan masak, kebanyakan para PKL, yang
membutuhkan air cukup banyak, berlangganan membeli pada penjual air, sedangkan lainnya
membawa air dari rumah, atau memang tidak memerlukan air, seperti penjual kacang. Status
pemilikan gerobag di zona B dan M kebanyakan milik Boss dan sewa, sedangkan di zona A
sebagian besar memiliki gerobag secara probadi. Gerobag yang sebagaian ukuran kecil dan
medium di zona L dan zona O merupakan milik pribadi para PKL. Tabel berikut secara
terperinci menjelaskan kondisi sarana, prasarana dan status pemilikan gerobag.
“Pembeli adalah raja” demikian slogan yang perlu diresapi oleh para pengusaha untuk
meraih kesuksesan bisnisnya. Oleh karena itu opini pembeli terhadap kondisi usaha PKL
adalah hal sangat penting dalam usaha penataan kota yang antisipatif dan adaptif terhadap
perkembangan PKL.
Selain keindahan panorama sunset di pantai Losari, opini kebanyakan para pembeli
terhadap keindahan lingkungan tempat usaha PKL zona A, B, M maupun L di pantai Losari
menganggap biasa saja, tidak buruk tetapi juga tidak indah. Sedangkan zona O yang lokasinya
di timur Jl. Penghibur, yang tidak langsung berhubungan dengan laut, dianggap keindahan
lingkungannya buruk.
Selaras dengan opini terhadap keindahan, dalam hal keamanan baik terhadap kriminalitas
maupun lalu-lintas, terutama dalam kegiatan parkir, jalan kaki dan menyeberang jalan, para
pembeli mayoritas beropini biasa saja, yang dapat diartikan sama seperti kondisi PKL
dimanapun di kota Makassar, dan para pembeli sudah dapat beradaptasi terhadap kondisi
keamanan di kawasan PKL. Keamanan pada Zona O juga dinilai tidak aman.
Para pembeli yang merupakan pelanggan PKL di pantai Losari menganggap biasa saja
kondisi makanan, minuman maupun tempat mereka makan dan minum di restoaran terpanjang
sedunia pantai losari. Walaupun demikian kalau memperhatikan para pembeli kebanyakan
yang warga kota Makassar, beberapa wisatawan lokal atau nasional, tetapi sulit ditemui
wisatawan asing yang makan minum di situ. Para dosen dan peneliti Jepang yang merupakan
kolega penulis tertarik berkunjung kawasan PKL pantai Losari tetapi tidak berminat untuk
menikmati kulinernya, kecuali minuman yang langsung dapat diminun dari botol.
Tabel 3.2 Zona jenis barang jualan dan tingkat penghasian PKL
Hasil % % Hasil % % Hasil % % JumlahRendah Ver HorMedium Ver Hor Tinggi Ver Hor Unit
B 0 - 0 2 3.92 5.26 36 27.91 94.74 38M 2 11.76 3.45 12 23.53 20.69 44 34.11 75.86 58A 2 11.76 9.52 1 1.96 4.76 18 13.95 85.71 21L 9 52.94 14.52 29 56.86 46.77 24 18.60 38.71 62O 4 23.53 22.22 7 13.73 38.89 7 5.43 38.89 18Jumlah 17 100.00 8.63 51 100.00 25.89 129 100.00 65.48 197Pisang Epe' 8 47.06 22.22 24 47.06 66.67 4 3.10 11.11 36Minuman 2 11.76 3.03 6 11.76 9.09 58 44.96 87.88 66Kue 4 23.53 25.00 7 13.73 43.75 5 3.88 31.25 16Bakmi 0 - - 3 5.88 7.32 38 29.46 92.68 41Bakso 3 17.65 10.00 11 21.57 36.67 16 12.40 53.33 30Nasi campur 0 - - 0 - - 8 6.20 100.00 8Jumlah 17 100.00 8.63 51 100.00 25.89 129 100.00 65.48 197Catatan: Hasil penelitian 1997, sensus 197 PKL pantai Losari
Zona
Barang jualan
Tabel 3.3 Kondisi sarana dan prasarana PKL dan tempat usahanya
B % % M % % A % % L % % O % %Ver Hor Ver Hor Ver Hor Ver Hor Ver Hor Jumlah
PLN 14 100.00 14.00 38 76.00 38.00 34 79.07 34.00 11 20.75 11.00 3 17.65 3.00 100Battery 0 - - 9 18.00 16.36 7 16.28 12.73 37 69.81 67.27 2 11.76 3.64 55PLN + battery 0 - - 1 2.00 12.50 2 4.65 25.00 5 9.43 62.50 0 - - 8Tanpa lampu 0 - - 2 4.00 14.29 0 - - 0 - - 12 70.59 85.71 14Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177Bawa 0 - - 10 20.00 14.49 6 13.95 8.70 44 83.02 63.77 9 52.94 13.04 69Beli 12 85.71 15.58 31 62.00 40.26 28 65.12 36.36 6 11.32 7.79 0 - - 77Bawa & beli 2 14.29 10.53 6 12.00 31.58 8 18.60 42.11 3 5.66 15.79 0 - - 19Ambil di sekitar 0 - - 3 6.00 25.00 1 2.33 8.33 0 - - 8 47.06 66.67 12Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177Pribadi 0 - - 1 2.00 33.33 2 4.65 66.67 0 - - 0 - - 3Sewa 3 21.43 5.88 22 44.00 43.14 19 44.19 37.25 7 13.21 13.73 0 - - 51Boss 11 78.57 8.94 27 54.00 21.95 22 51.16 17.89 46 86.79 37.40 17 100.00 13.82 123Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177
Catatan: Sehubungan data-data tersebut di atas hanya 177 isian angket dari 197 angket yang falid (survei Th 1997)
Pemilikan gerobag
Pencahayaan gerobag
Pengadaan air bersih
Tabel 3.4 Opini pembeli terhadap keindahan, keamanan dan hieginitas lingkungan PKL
B % % M % % A % % L % % O % %Ver Hor Ver Hor Ver Hor Ver Hor Ver Hor Jumlah
Baik 4 28.57 6.78 21 42.00 35.59 15 34.88 25.42 14 26.42 23.73 5 29.41 8.47 59Biasa 10 71.43 9.26 28 56.00 25.93 26 60.47 24.07 34 64.15 31.48 10 58.82 9.26 108Buruk 0 - - 1 2.00 10.00 2 4.65 20.00 5 9.43 50.00 2 11.76 20.00 10Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177Aman 4 28.57 8.16 14 28.00 28.57 11 25.58 22.45 13 24.53 26.53 7 41.18 14.29 49Biasa 10 71.43 9.01 32 64.00 28.83 29 67.44 26.13 30 56.60 27.03 10 58.82 9.01 111Tak aman 0 - - 4 8.00 23.53 3 6.98 17.65 10 18.87 58.82 0 - - 17Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177Hiegin 2 14.29 5.26 14 28.00 36.84 8 18.60 21.05 10 18.87 26.32 4 23.53 10.53 38Biasa 9 64.29 7.63 32 64.00 27.12 28 65.12 23.73 40 75.47 33.90 9 52.94 7.63 118Jorok 3 21.43 14.29 4 8.00 19.05 7 16.28 33.33 3 5.66 14.29 4 23.53 19.05 21Jumlah 14 100.00 7.91 50 100.00 28.25 43 100.00 24.29 53 100.00 29.94 17 100.00 9.60 177
Catatan: Sehubungan data-data tersebut di atas hanya 177 isian angket dari 197 angket yang falid
Keindahan lingkungan
Keamanan thd kriminalitas
Hieginitas makanan dan
tempat
0
100
200
300
400
500
600
B M A L
Unit sore
Pekerja sore
Pembeli sore
Unit malam
Pekerja malam
Pembeli malam
Pembeli larut
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
B M A L
Ratio pembeli/PKL sore
Ratio pembeli/pekerjasore
Ratio pembeli/PKLmalam
Ratio pembeli/pekerjamalam
Ratio pembeli/PKL larut
Ratio pembeli/pekerjalarut
Gambar 3.4 Intensitas kegiatan PKL di Jl. Penghibur, Losari, tahun 1997
Gambar 3.5 Ratio pembeli terhadap jumlah PKL dan pekerja di Jl. Penghibur, Losari, tahun 1997
Pada umumnya kegiatan PKL di pantai Losari dimulai jam 17:00, memuncak pada
waktu makan malam yaitu jam 19:00~21:00, selanjutnya menurun mulai jam 21:00.
Gambar-gambar berikut menjelaskan intensitas kegiatan PKL di restoran terpanjang
sedunia Losari tahun 1997 an.
Gambar di atas menjelaskan bahwa walaupun jumlah unit PKL, pekerja, dan pembeli
di zona A relatif paling sedikit, tetapi ditinjau dari ratio jumlah pembeli dibanding jumlah
unit PKL maupun jumlah pekerjanya paling tinggi pada sore hari, dan pada malam hari
maupun di larut malam rationya relatif sama dengan yang di zona vaforit lainnya yaitu
zona B dan zona M. Pada zona L ratio jumlah pembeli dibanding jumlah PKL maupun
jumlah pekerjanya dari sore sampai larut malam adalah paling rendah. Intensitas
kedatangan pembeli dan ratio jumlahnya terhadap jumlah PKL dan pekerjanya
merupakan faktor mendasar tingkat pendapatan para PKL.
Berdasarkan jumlah usaha tunggal atau multi, bekerja sendiri atau dengan
pembantu, maka dapat dikategorikan tiga tipe PKL sebagai berikut:
(1) Tipe A adalah unit PKL yang semuanya dikerjakan sendiri, biasanya PKL dengan
gerobag ukuran kecil, seperti penjual kacang, penjual kue, penjual bakso, dan
penjual pisang Epe’. Dalam sudut pandang fungsi produksi, pada umumnya
produktifitas tipe A (Q) merupakan fungsi dari faktor tenaga kerja (L) dan tingkat
kestrategisan tempat usaha (P), yang kalau dirumuskan menjadi Q = f(L,P)
(2) Tipe B adalah unit PKL yang bekerja dibantu oleh orang lain, baik anggota
keluarganya, saudaranya, temannya, atau orang lain, yang di antaranya sering
membantu sekaligus magang untuk belajar untuk mendirikan usaha PKL sendiri di
waktu mendatang, dan memerlukan modal finansiil lebih besar. Oleh karena itu
tingkat produktifitasnya merupakan fungsi dari L, P dan kapital (K), sehingga
rumusnya menjadi Q=f(L,P,K);
(3) Tipe C adalah PKl yang mempunyai lebih dari satu unit, baik dia juga termasuk
melakukan usaha PKl maupun yang berstatus sebagai Boss pengelola dari
beberapa unit PKL. Tingkat produktifitas tipe C adalah fungsi dari L, P, K, dan
intelektual (I), sehingga rumusnya menjadi Q=f(L,P,K,I).
Rumus-rumus produktifitas di atas dikembangkan dari pandangan tentang
kesenjangan fungsi produksi oleh Sudibyo (Bambang Sudibyo, 1995).
Gambar berikut secara diagramitis menjelaskan tahapan dan alur proses perubahan
tipe PKL yang terjadi di kawasan PKL pantai Losari, Makassar.
Tahap I Tahap II Tahap III
Tipe APKL tanpa
pembantu dan tanpa cabang
18%
Tipe BPKL mempunyai pembantu tetapi
tanpa cabang 50%
Tipe CPKL mempunyai
pembantumaupun cabang
32%
Pembantu/ magang PKL
senior
Gambar 3.4 Perkembangan tipe usaha PKL
Tahapan proses normal yang biasa terjadi adalah dimulai dari tahap pra PKL yaitu
pemagangan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas ajakan orang lain melakukan tahap
pembelajaran sambil bekerja sebagai pembantu pada salah satu PKL senior yang sudah
berpengalaman dan usaha bisnisnya berhasil dan memang juga memerlukan pembantu.
Ini biasanya merupakan batu loncatan awal untuk menjadi PKL. Tidak semua pembantu
PKL punya kemauan dan kemampuan untuk buka usaha sendiri, atau terus melakukan
kegiatan di usaha PKL, karena sebagian juga melakukan kegiatan ini berupa sementara
sambil menunggu kesempatan untuk bekerja di bidang lain. Pada tahap I dari sebagian
besar para pelaku magang mulai membuka bisnis PKL tipe A, dengan bekerja sendiri
tanpa pembantu, tetapi ada juga yang langsung masuk PKL tipe B membuka unit usaha
PKL dengan mengangkat pembantu, Pada tahap II untuk menjadi PKL tipe B yang
mempunyai satu unit usaha dengan pembantu yang mendukung usahanya, dapat berasal
dari PKL tipe A yang bertambah besar usahanya sehingga perlu tenaga kerja pembantu,
tetapi ada juga yang langsung dari pelaku usaha magang sebelumnya. Tahap III berupa
tipe usaha yang memiliki unit PKL lebih dari satu unit. Unit-unit usahanya dapat berlokasi
di satu kawasan PKL, tetapi dapat juga lokasi unit-unit usahanya menyebar ke beberapa
tempat berbeda.
Ditinjau dari aspek kelancaran lalu-lintas, berdasarkan penelitian tahun 1997 itu, jam
puncak kepadatan lalu-lintas di Jl. Penghibur terjadi dari jam 19:00~21:00 (Ananto
Yudono, 1998). Hampir seluruh bangunan di pinggir timur jalan ini digunakan untuk
perbelanjaan berupa, toko, untuk pariwisata berupa hotel, restoran, travel biro, dan untuk
pertemuan baik pertemuan ilmiah maupun pertemuan sosial seperti pernikahan, terutama
di Makassar Golden Hotel (MGH). Pada jam puncak ini berbagai moda lalu-lintas, seperti
mobil, sepeda motor, becak, pejalan kaki yang bercampur baur terseak seok untuk
melewati ruas jalan ini. Hasil pengukuran lapangan tahun 1997, jarak 850 meter ditempuh
mobil rata-rata selama 8 menit 27 detik, yang berarti rata-rata kecepatannya adalah 6.04
km/jam. Kondisi ini terlalu dibanding kecepatan kendaraan bermotor 40 km/jam di dalam
kota yang diperbolehkan. Kondisi ini berbeda pada siang hari, yang mana kendaraan
dapat melaju lebih 40 km/jam. Pada saat MGH, yang kapasitas ruang parkirnya terbatas,
menyelenggarakan pesta pernikahan, maka kondisi lalu-lintas kendaraan boleh
dikatakan macet.
Interelasi antara PKL, koperasi dan pemerintah Kota Makassar
Demi pengelolaan kegiatan ekonomi perkotaan Makassar juga memerlukan pengontrolan
kegiatan PKL. Menurut penjelasan aparat dinas pendapatan, siapapun juga yang ingin
berusaha sebagai PKL diwajibkan medapatkan sertifikat ijin usaha dari Pemkot
Makassar. Selain itu juga diperlukan sertifikat ijin penggunaan lokasi tempat usahanya.
Sertifikat ijin penggunaan lokasi ini berlaku satu bulan dan dapat diperpanjang setiap
bulannya. Hal ini terutama untuk mengantisipasi pemanfaatan lain suatu lokasi lahan
pemerintah yang lebih dibutuhkan untuk kepentingan publik yang lebih luas, misalnya
pembangunan gedung, pembangunan infrastuktur, pelebaran jalan dsb.
Pada Oktober 1977 terdapat 247 anggota koperasi PKL Losari, yang berdiri pada
tahun 1994. Pengurus koperasi ini enam orang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara,
dan tiga supervisor, yang dipilih oleh para anggotanya. Persyaratan untuk menjadi
anggota koperasi adalah: (1) memiliki sertifikat ijin usaha dan ijin lokasi di kawasan PKL
Losari, dan kartu penduduk kota Makassar; (2) membayar uang pendaftaran Rp 100,000
untuk mendapatkan kartu anggota koperasi; dan (3) membayar iuran keanggotaan Rp
3,000/bulan. Anggota koperasi yang mengundurkan diri dari koperasasi akan
mendapatkan pengembalian biaya pendaftaran, tetapi harus mengembalikan kartu
anggota, dan mengembalikan uang kalau ada pinjaman uang koperasi.
Koperasi mengelola dan menjamin hak dan kewajiban para PKL yang melakukan
kegiatan di kawasan PKL Losari, sehingga koperasi ini juga berfungsi sebagai jembatan
anatar PKL dengan Pemkot Makassar. Biasanya koperasi mengadakan pertemuan
pengurus bulanan. PKL anggota koperasi dapat meminjam uang ke koperasi. Dalam
dialog penulis dengan ketua koperasi, terbuka pandangan dan kemauannya
peningkatkan pelayanan ke anggotanya di masa mendatang. Apabila memungkinkan
koperasi akan mengembangkan pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan PKL misalnya
pengadaan air bersih, jaringan listrik, dan penyewaan gerobag, tenda, meja, kursi dsb.
Koperasi juga dapat menguruskan perijinan bagi calon PKL, dan perpanjangan ijin usaha
dan ijin penggunaan tempat kerjanya. Saat ini kerjasama antara koperasi dan Pemkot
meliputi urusan kontribusi, kebersihan lingkungan. Di luar jam kerja PKL, mulai jam 05:00
sampai jam 15:00, seluruh peralatan usaha PKL harus dibawa pulang keluar kawasan.
Bahasan ini didasarkan pada wawancara mendalam penulis dengan ketua koperasi PKL
pantai Losari pada 30 Oktober 1997, dan dengan kepala pimpinan kantor Dinas
Pendapatan Kota Makassar pada 5 November 1997.
Bahasan ragam karakteristik PKL yang membentuk restoran terpanjang sedunia di
pantai Losari, sebagai ikon kota Makassar selama kurang lebih satu dekade yaitu mulai
tahun 1994 sampai awal tahun 2000 an di atas dapat memberi pamahaman sebagai
berikut:
(1) Hampir seluruh PKL yang melakukan usaha sare s/d larut malam di pantai Losari
berpenghasilan cukup besar, di atas penghasilan PNS golongan menengah IIIc,
yang membuktikan bahwa PKL merupakan lapangan pekerjaan potensiil bagi
pencari pekerjaan tanpa harus berpendidikan tinggi, tanpa modal keahlian
maupun modal besar, yang penting “ora et labora” yang berarti kerja dan doa,
cukup dibutuhkan kemauan, keuletan, ketekunan, kreatifitas, dan tentu saja doa.
(2) PKL Losari merupakan pusat pembelajaran sambil berbagi ilmu, keahlian,
pengalaman antar pelaku usaha PKL yang berbaur antar etnis baik berasal dari
Makassar, dari Sulawesi Selatan, dan dari Jawa.
(3) Kehidupan PKL Losari mulai sore sampai larut malam pernah menjadi ikon
Makassar yang dikenal secara nasional, yaitu restoran terpanjang sedunia dari
awal tahun 1990 an sampai awal tahun 2000 an, keindahan sosial sebagai bumbu
keindahan inderawi sunset pantai losari.
(4) Kelonggaran lapak usaha, kelengkapan sarana dan prasarana, ragam jenis
makanan minuman, kedekatan dengan perairan laut, keindahan, keamanan
maupun hiegintas lingkungan merupakan daya tarik bagi pembeli.
(5) Secara umum terdapat tiga tahap proses dan alur perkembangan usaha, tiga tipe
PKL;
(6) Terjadi dua masalah yang sulit ditanggulangi, yang disebabkan oleh kegiatan PKL
Losari berupa kemacetan lalu-lintas, dan terganggunya sudut pandang panorama
sunset perairan Selat Makassar.
(7) Koperasi PKL Losari berfungsi sebagai jembatan komunikasi dan hubungan
antara PKL dengan pemkot Makassar, serta potensiil dikembangkan menjadi
institusi pemberi kemudahan, pelayanan dan pengendali kegiatan PKL.
Potret perjuangan dan keberhasilan keluarga PKL
Hampir seluruh PKL adalah laki-laki, dan banyak diantaranya merantau untuk mencari
nafkah dan hidup sendiri di kota ini, sementara anak isterinya tetap tinggal di kampung
halamannya, terutama yang asalnya dari Jawa. Mereka mengirim keuntungan hasil
usahanya ke keluarga di kampung halamannya secara bulanan. Banyak pula PKL yang
berasal dari wilayah sekitar Makassar, yang sering balik ke kampung halamannya,
terutama pada saat musim tanam atau musim panen padi, pada saat penyelenggaraan
acara khusus keluarga, atau pada saat hari raya Idhul Fitri atau Idhul Adha. Tentu saja
banyak pula yang hidup dan berkehidupan dengan keluarganya di kota Makassar.
Semboyan “tak kenal maka tak sayang” menginisiasi penulis untuk mengungkapkan
potret kehidupan dan penghidupan suatu keluarga PKL yang migran dari kota kecil Tegal,
Jawa Tengah, ke Makassar, yang perjuangan hidupnya patut disimak, saya sebut mas
Roni.
Mas Roni adalah PKL penjual martabak, yang tempat usahanya di bahu jalan salah
satu ujung pertigaan jalan Mesjidraya. Dia belajar mamasak martabak sejak remaja di
kampung halamannya, di Tegal, Jawa Tengah. Perlu diketahui Tegal adalah merupakan
kota yang terkenal sebagai pusat lahirnya para PKL yang ulet dan punya spirit besar
dalam memperjuangkan karier usahanya. Ingat pedagang nasi campur di kota-kota besar
yang dikenal dengan istilah “Warteg” yang berarti warung tegal seperti juga vaforitnya
rumah makan Padang. Mas Roni datang ke Makassar tahun 1985 atas ajakan PKL senior
penjual martabak, yang sekaligus tempat dia magang, untuk bekerja sambil
mengembangkan kualitas ketrampilannya dalam memasak martabak. Martabak adalah
perubahan hasil modifikasi masakan India yang disesuaikan dengan selera lidah orang
Indonesia, berupa makanan favorit berbentuk gepeng bundar diameter ±30 cm seperti
makanan pizza Italia dengan rasa gurih, biasa disebut martabak asin, dan rasa manis
seperti kue Pie, yang biasa juga disebut martabak manis atau terang bulan. Martabak
asin, yang adonannya didominasi telor, juga biasa berperan sebagai lauk penambah
selera makan nasi. Selama beberapa waktu sekitar tahun 1985an, saat mas Roni
magang sebagai pembantu PKL penjual martabak, di dekat kampus UnHas Baraya,
setiap sore memperhatikan beberapa mahasiswa, yang boleh dikatakan sebagai
langganan tetap, ± dua kali seminggu atau dengan frekuensi lebih sering pada minggu
pertama setiap bulannya, mungkin dipengaruhi oleh tingkat ketebalan uang sakunya,
yang sehabis waktu Magrib membeli martabak asin dengan ceria dan celocehan mereka
tentang kehidupan kampus atau sekali-kali terdengar diskusi materi perkuliahan, yang
tidak difahami oleh mas Roni. Martabak yang dibeli oleh para mahasiswa kos-kosan
tersebut mudah diduga akan menemani nasi kecap atau sedikit sayuran untuk bersantap
malam, yang bahkan saat kantongnya tipis mungkin sebagian martabak disisakan untuk
menjadi lauk teman sarapan pagi di hari berikutnya. Nuansa kehidupan mahasiswa
generasi penerus bangsa ini sangat berkesan dan membekas di hati mas Roni. Diapun
bermimpi, alangkah bahagianya kalau setelah berkeluarga nanti, anak-anaknya juga
menjadi mahasiswa, mampu menyandang gelar sarjana, dan bekerja di sektor usaha
yang lebih terjamin kepastian usahanya, tanpa khawatir digusur oleh aparat penertiban
atau terganggu kondisi cuaca, seperti kondisi para PKL yang kurang jelas jaminan
keamanan dan kelanjutan usahanya. Dia juga tidak menginginkan anak cucunya menjadi
kuli bangunan tanpa ketrampilan yang memadai seperti yang menjadi lapangan kerja
utama bapaknya. Mas Roni tidak berhenti berdoa dan berjuang dengan keras untuk
merealisasikan cita-citanya untuk menjadi pengusaha PKL mandiri, yang dia percaya
akan mampu menjadi tumpuan untuk mengentaskan keluarganya dari kemiskinan, dan
mampu membina anak-anaknya menyelesaikan pendidikan sarjana dan bekerja di sektor
usaha yang lebih baik dibanding dirinya maupun bapaknya. Jenis pekerjaan yang
terjamin kepastian usahanya, stabil dan tidak terganggu oleh tindakan penggusuran
karena menempati tempat yang fungsi sebenarnya bukan untuk usaha PKL, aman dari
bencana, kondisi cuaca, gangguan kriminalitas, maupun saat sakit dan sebagainya yang
mempengaruhi usaha sektor informal. Mas Roni, yang pada tahun ditemui tahun 2004
telah hidup bersama isterinya, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, bercerita
tentang usahanya mulai dengan melakukan observasi cukup lama dalam pemilihan
lokasi usaha PKL, mempertimbangkan berbagai hal termasuk dalam memilih tempat
tinggal agar memudahkan akses mendorong gerobag tiap hari pergi pulang. Akhirnya
terpilih bahu jalan di pojok pertigaan Jl. Mesjid Raya dengan Jl. Sultan Daeng Raja.
Rumah sewa tempat tinggalnya juga memungkinkan membuka warung di terasnya yang
dijaga oleh isteri dan anak perempuannya, sedangkan anak laki-lakinya di luar jam kuliah
sering ikut membantu mas Roni berjualan martabak.
Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk berdoa dan berjuang tiada henti, melalui
berbagai rintangan, ketabahan dan kerelaan mengorbankan tenaga maupun waktu
bermain untuk bersenang-senang, akhirnya keluarga ini terealisasi impiannya. Pada
tahun 2002 anak perempuan pertamanya meraih sarjana agrobisnis dari salah satu
universitas swasta terkemuka di Makassar, dan Tahun 2004 bekerja di perusahaan Geo-
service. Anak perempuan keduanya manjadi mahasiswi program studi akuntansi pada
universitas yang sama. Anak bungsu laki-lakinya baru saja menjadi mahasiswa baru
program studi teknologi informasi pada sekolah tinggi ilmu komputer di kota Makassar.
Waktu dilalog dilakukan, terlihat jelas muka mas Roni cerah dalam kebahagiaan karena
anak-anaknya telah mencapai pendidikan tinggi, yang membuka jalan menuju ke
lapangan kerja yang lebih terjamin kepastian kariernya, sebagai landasan meraih kondisi
kehidupan yang mempunyai daya ungkit besar dalam meningkatkan status sosial
ekonomi keluarga serta keturunannya.
Kawasan PKL Jl. Metro Tanjung Bunga, Makassar
Nampaknya, terutama dampak kemacetan lalu-lintas dan tertutupnya panorama
inderawi sunset Losari oleh kegiatan PKL mulai muncul pembicaraan tentang
kemungkinan relokasi restoran terpanjang sedunia ini. Polemik berkepanjangan pro dan
kontra eksistensi kelompok PKL ini diakhiri dengan kebijakan pemindahan tempat usaha
PKL ke jalan Metro Tanjung Bunga. Kebijakan ini mengalahkan petimbangan keindahan
hubungan sosial antar PKL, antar pembeli, dan hubungan sosial ekonomi antara penjual
dengan pembeli, sehingga berakhir dengan kebijakan pemindahan restoran terpanjang ini
ke pinggir Jl. Metro Tanjung Bunga. Salah satu kesepakatan antara PKL dengan Pemkot
adalah mereka tetap boleh menyimpan gerobag, bangku, meja, kursi, dan tenda usaha
PKL di lokasi PKL baru, walaupun di luar jam kerja mereka.
Pengembangan kawasan permukiman, perbelanjaan dan rekreasi Tanjung Bunga,
yang merupakan salah satu daerah pengembangan water front city (kota tepian air)
kebanggaan Makassar, dihubungkan dengan anjungan pantai Losari oleh Jl. Metro
Tanjung Bunga. Pengembangan kawasan ini merupakan kenyataan dampak lanjut
pembangunan Taman Miniatur Sulawesi (Selatan) di benteng Sombaopu dan sekitarnya,
yang di abad XVI pernah menjadi ibukota kerajaan Gowa. Saat ini peningkatan
aksesibilitas daerah pantai Tanjung Bunga oleh boulevard Jl. Metro Tanjung Bunga ini
berdampak luar bisa berupa pembangunan berbagai bangunan seperti pusat hiburan
Trans Studio, hotel, Celebes Convention Venter, rumah sakit internasional, serta rencana
pengembangan water front city secara besar-besaran, yang disebut proyek
pengembagan center point of Indonesia.
Tulisan ini didasari oleh hasil kajian ini dilakukan pada tahun 2003~2004 melalui
survai lapangan baik menggunakan instrument angket bagi PKL maupun wawancara
mendalam dengan ketua koperasi PKL setempat. Jumlah PKL di Jl. Metro Tanjungbunga
saat itu adalah 240 unit lapak. Berdasarkan sifat unit-unit PKL dengan lapak-lapaknya
adalah homogin maka sampel PKL ditentukan 100 PKL, dengan penentuan distribusi
sampel berdasarkan kelompok jenis dagangan, dan pilihan responden yang bersedia
diwawancarai untuk pengisian angket. Dari 100 responden diperoleh 98 angket yang
megisi dengan akurat.
Untuk identifikasi tingkat pemenuhan kebutuhan dasar PKL, studi ini menggunakan
teknik analisis tabulasi silang, yang juga sudah efektif digunakan dalam kajian similer
pada penelitian PKL pantai losari tahun 1997. Variable yang dianalisis adalah usia,
tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, modal kerja, status pemilikan usaha, jenis
barang dagangan, keuntungan, tingkat keamanan, interelasi antar PKL, interelasi antar
PKL dengan pembeli, interelasi antar PKL dengan aparat Pemkot, motivasi usaha, alasan
pemilihan lapangan kerja PKL, pajak dan/atau retribusi, penyediaan air bersih, hubungan
sosial, kemajuan bisnis, partisipasi, asal bahan baku atau bahan dagangan, waktu kerja,
dan jumlah pekerja. Selanjutnya kajian ini menggunakan analisis deskripsi untuk
mengeksplorasi kebijakan Pemkot sehubungan dengan usaha PKL.
Dalam proses snow ball effect, saat sejumlah besar, lebih 50 unit lapak PKL
berakumulasi dalam suatu tempat usaha, maka akan menimbulkan daya magnit
munculnya lapangan kerja informal pendukungnya seperti jasa pelayanan parkir,
penyemir sepatu, pengamen, bahkan juga pengemis. Para pengamen menghibur para
pembeli yang sedang menikmati hidangan makanan dan/atau minuman. Beberapa
pembeli merasa terganggu terutama oleh pengemis, tetapi sebagian lainnya menikmati
atmosfir kebersamaan dalam kehidupan sosial perkotaan dengan berbagai ragam
perilaku manusianya. Unang dan Rano remaja usia 20 tahunan adalah pengamen duet di
kawasan PKL jalan Metro Tanjung Bunga. Mereka telah menjalankan prosesi sebagai
pengamen jalanan, selama 9 tahun, bersama 30 an pengamen lainnya. Dua pengamen
ini lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, tetapi orang tuanya secara finansiil tidak mampu
membiayai ke jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu mereka harus berjuang untuk
mencari nafkah, mengurangi beban orang tuanya, dan membangun masa depannya
melalui sektor usaha yang mampu mereka lakukan. Mereka seperti puluhan juta remaja
dari keluarga miskin lainnya, yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan ketrampilan,
maupun akses untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal yang memiliki kepastian
karier dan penghidupan di masa depannya. Dua sahabat pengamen ini semula belajar
memetik gitar dan bernyanyi dari pengamen senior, yang selanjutnya harus
dikembangkan dengan cara belajar sendiri sambil praktek. Boleh dikatakan mereka setiap
hari mengamen dari jam 17:00 sampai jam 24:00, yang menghasilkan pendapatan rata-
rata Rp30,000.-/hari/orang, kurang lebih satu setengah kali upah minimum regional tahun
2004. Waktu itu harga satu porsi nasi campur standar kaki lima Rp5000.-. Yah,
lumayanlah untuk hidup secara sederhana. Tetapi tanpa bantuan kemudahan dan
peluang untuk pengembangan kompetensi maupun kapasitas yang memadai, maka sulit
bagi mereka dan keturunannya untuk terentas dari kemiskinan.
Seperti jutaan para pekerja sektor informal lainnya, mas Roni, Unang dan Rano
perlu diberi peluang, sukur-sukur diberi kemudahan dan modal baik berupa modal sosial
maupun modal finansiil, termasuk pembinaan dan pendampingan, dalam melakukan
usaha di sketor informal di kota Makassar, karena gaya penghidupan PKL maupun
lapangan pekerjaan ikutannya merupakan tulang punggung penyangga kehidupannya,
agar terbuka kesempatan mereka untuk merobah nasib dan meingkatkan kesejahteraan
mereka maupun keluarganya.
Nampaknya aturan Pemkot untuk merapikan kembali tempat usaha di jalan
Penghibur, yang mengharuskan para PKL setiap hari harus mendorong-dorong
gerobagnya bolak-balik dari rumah ke tempat kerja, dirasakan sebagai pekerjaan yang
berat. Oleh karena itu salah satu kesepakatan antara PKL dengan Pemkot Makassar
adalah mereka mau dipindahkan ke jalan Metro Tanjung Bunga adalah dibolehkannya
gerobag, meja dan kursi atau bangku tidak perlu dibawa pergi pada saat waktu tidak
jualan.
Kondisi Ekonomi dan Sosiokultur PKL
Secara umum manusia mendambakan terjaminnya proses peningkatan kesejahteraan
baik dalam waktu maupun pada anak cucunya, termasuk para pekerja sektor informal.
Secara empiris, Tabel berikut membuktikan terjadinya proses peningkatan pada para
PKL dengan keluarganya. Usia rata-rata PKL adalah 17-55 tahun. Dari segi pendidikan,
kerabat tiga generasi PKL tingkat pendidikannya semakin naik. Rata-rata lama
pengalaman kerja para PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga adalah 8.73 tahun, dan lama
rata-rata menempati kawasan usaha PKL di tempat ini adalah 2.97 tahun.
Tabel 3.5 Kondisi sosial PKL dan kerabatnyaStatus Rata2 penyelesaian kurikulum
pendidikan (tahun)Rata2 Usia (year)
Suami (kepala keluarga = KK 10.61 31.81
Isteri 9.79 32.00
Anak I 12.94 -
Anak II 13.85 -
Anak III 13.60 -
Anak IV 13.80 -
Anak V 11.00 -
Bapak KK 9.38 57.00
Ibu KK 8.75 53.60
Bapak isteri 7.05 59.97
Ibu isteri 7.63 55.48
Catatan: 0 = belum pernah sekolah, 6 = selesai 6 th kurikulum SD, 9 = lulus SD dan selesai 3 th kurikulum SLTP, 12 = lulus SLTP dan selesai 3 th kurikulum SLTA, 16 = selesai 4 th kurikulum S1
Sumber: survei PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga 2004
Sebelum berusaha di Jl. Metro Tanjung Bunga, hampir separo dari mereka
berusaha sebagai PKL dan menempati trotoar atau pinggir jalan Jl. Penghibur di pantai
Losari, lihat Tabel di bawah. Hampir seluruh orang tua para PKL sebelumnya tidak
bekerja di bidang PKL. Hampir separo mereka ini merupakan pedagang baru yang belum
pernah bekerja di bidang PKL. Lebih dari separo jumlah mereka merupakan para PKL
pindahan dari Jl. Penghibur, Losari. Mereka berpendapat usaha PKL merupakan suatu
peluang lapangan kerja yang dapat terbuka dan mudah dimasuki. Lapangan pekerjaan
sebelumnya beberapa PKL adalah pegawai pemerintah dan petani.
Tabel 3.6 Bidang pekerjaan dan lokasi kerja para PKL sebelum berusaha di Jl. Metro Tanjung Bunga
LapKer sebelumnya % Lokasi kerja sebelumnya %PKL 47.96 Jl. Penghibur 53.06
Pegawai Pemda 4.08 Tempat lain di Kota Makassar 38.78
Sektor informal non PKL 13.27 Tempat lain di SulSel 2.04
Petani 3.06 Tempat lain di Sulawesi 1.02
Lainnya 31.63 Jawa 1.02
Tempat lain 4.08
Total 100.00 100.00
Sumber: survei PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga 2004
Motivator bagi hampir seluruh PKL untuk bekerja di bidang ini adalah dirinya sendiri
atau orang tuanya, lihat tabel berikut. Alasan mengapa mereka memilih usaha PKL
sebagai lapangan kerja adalah relatif mudah dilakukan, menghasilkan pendapatan yang
cukup memadai untuk menghidupi keluarganya, dan memang tidak ada lapangan kerja
lain yang tersedia dan bisa dipilih.
Tabel 3.7 Motivator dan Alasan melakukan usaha PKLMotivator % Alasan %
Dirinya sendiri 65.31 Mudah dikerjakan 16.33
Orang tua 21.43 Warisan usaha 15.31
Teman 5.10 Pekerjaan sementara
10.20
Boss PKL 3.06 Pendapatan memadai
30.61
Lainnya 5.10 Tidak ada pilihan lain 27.55
Total 100.0 100.00
Sumber: survei PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga 2004
Dari segi permodalan, hampir seluruh PKL menyiapkan modal finansiil secara
mandiri, sebagian mendapatkan bantuan dari orang tuanya, hanya sebagian kecil dari
mereka yang modalnya berasal dari koperasi PKL, dan tidak ada satu PKL pun yang
mendapatkan modalnya dari Bank, lihat berikut5.
Tabel 3.8 : Sumber modal dan pemilikan usaha PKLSumber modal % Pemilik usaha PKL %
Dirinya sendiri 62.24 Dirinya sendiri 67.35
Orang tua 21.43 Orang tua 19.39
Koperasi 2.04 Koperasi 0.00
Bank 0.00 Boss 9.18
Boss PKL 6.12 Lainnya 4.08
Lainnya 8.16
Total 100.00 100.00
Sumber: survei PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga 2004
Kondisi ini menjelaskan bahwa, pada tahun 2000an, tidak mudah bagi PKL atau
pengusaha kecil mendapatkan modal dari Bank, atau mungkin mereka menganggap tidak
perlu bantuan finansiil dari Bank, yang disebabkan oleh pola pikir para PKL yang tidak
sampai ke kemungkinan pengembangan cabang-cabang jaringan usahanya. Hampir
semua PKL juga merupakan pemilik usaha skala kecil ini, yang jumlah pekerjanya tidak
lebih dari lima orang termasuk dirinya. Unit usaha PKL ini sebagian diperoleh karena
usahanya sendiri, sebagian merupakan warisan orang tua, dan sebagian lagi merupakan
milik orang lain. Secara umum modal mereka kecil sehingga sulit untuk pengadaan
gerobag, meja kursi, tenda yang kualitasnya bagus, bahkan untuk memilih posisi lapak
yang strategispun tidak mudah. Siang hari pada saat usaha PKL tutup kawasan usaha
PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga ini kurang teratur dan berkesan kumuh, yang tentu saja
mengganggu suasana kota baru Tanjung Bunga karena posisi kawasan PKL berada di
jalur gerbang utama akses masuk keluar kawasan permukiman, perbelanjaan dan
rekreasi Tanjung Bunga. Oleh karena itu perusahaan pengembang menginginkan tempat
usaha PKL dipindah ke tempat lain yang tidak mengganggu suasana kota barunya yang
dikembangkannya.
Mayoritas barang dagangan PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga adalah komiditi
makanan dan minuman, yang bahan bakunya dibeli pada pasar eceran maupun
pertokoan grosir. Jarang PKL yang membeli bahan bakunya langsung pada petani,
pekebun, nelayan atau pedagang keliling. Dalam pengadaan prasarana dan sarana
usaha, para PKL ada yang membeli secara tunai, ada pula yang mencicil secara kredit,
dan ada pula yang menyewa, lihat table berikut.
Tabel 3.9 Jenis komoditi dagangan PKLKomoditi % Sumber bahan
baku% Pengadaan
lapak%
Makanan 29.59 Toko grosir 35.71 Bayar tunai 39.80
Minuman 45.92 Pasar eceran 62.24 Secara kredit 26.53
Lainnya 24.49 Petani/nelayan 1.02 Menyewa 33.67
Pedagang keliling
1.02
Kabun sendiri 0.00
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber: survei PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga 2004
Hasil analisis yang berbasis pada teori kebutuhan dasar manusia Abraham Maslow
(Heffner, 2002), kebutuhan yang sangat diperlukan oleh para PKL dan keluarganya
adalah pendapatan, keamanan usaha, hubungan sosial, dan keberhasilan bisnis. Korelasi
secara siginifikan variabel-variabel kebutuhan dasar tersebut terhadap variabel-variabel
daya tarik tempat usaha yang diukur dari jumlah pembeli, kepuasan PKL terhadap
pelayanan aparat Pemkot, perlindungan kepastian usaha, waktu kerja, jumlah pekerja,
besaran retribusi, dan pengadaan air bersih, lihat Tabel 3.10 berikut. Oleh karena itu,
dalam rangka mendukung kemajuan usaha PKL agar menjadi lebih berhasil, maka
diperlukan kebijakan Pemerintah kota agar lingkungan usaha PKL lebih teratur dan
menarik, pelayanan administrasi yang lebih efektif, dan kebijakan subsidi retribusi.
Table 3.10 Korelasi antar variabel kebutuhan dasar PKL Y
Daya tarik T4 kerja
PelayananPemkot
Kepastian usaha kini
Kepastian usaha
kedepan
Lama waktu kerja
Jumlah pekerja
1,000 0.545** 0.485**0,005 -0.106
0.128 0.068 1
Y Daya tarik T4 kerja
Tingkat pelayaan pemkot
Opini thd retribusi
Pengadaan air PDAM
1,000 0.545** 0.532** 0,311** -0.168
Catatan: 1) ** Correlation is significant at the 0.1 level. 2) Using nonparametric correlations Spearmans Analysis.
Secara umum, para PKL di Jl. Metro Tanjung Bunga merasa adanya peningkatan
jumlah pembeli yang berdampak pada peningkatan pendapatan dibanding waktu
melakukan usaha di Jl. Penghibur. Mereka juga merasa hubungan antar PKL juga
semakin akrab, hubungan antara PKL dengan pembeli juga semakin baik, demikian juga
hubungan antara PKl dengan aparat Pemerintah Kota Makassar juga semakin baik. Hal
ini mungkin dipengaruhi oleh pendekatan partisiatif dan kemudahan mereka pada saat
inisiasi dan proses perpindahan dari Jl. Penghibur ke Jl. Metro Tanjung Bunga, serta
tempat usaha masing-masing unit lapak PKL yang lebih luas, kemudahan parkir
kendaraan bagi pengunjung, serta nuansa pantai dengan panorama matahari terbenam
yang merupakan sajian keindahan alami yang sangat menarik.
Perpindahan tempat usaha PKL di jalan Penghibur menjadikan sudut pandang ke
panorama perairan pantai Losari di sepanjang Jl. Penghibur tidak lagi terhalang oleh
lapak, tenda dan orang maupun kendaraan yang diparkir dipinggir jalan. Masalah baru
timbul pada saat pengembang besar kota baru Tanjung Bunga mengajukan keberatan
karena kegiatan PKL di jalan Metro Tanjung Bunga (Metro), yang mereka bangun, dan
yang merupakan jalan utama penghubung pantai Losari ke kota baru ini menjadi kumuh
dan sempit, sehingga menurunkan daya tarik dan nilai jual beli aset propertinya. Oleh
karena itu Pemkot Makassar yang berkolaborasi dengan perusahaan pengembang kota
baru Tanjung Bunga menyelesaikanannya dengan membangun kawasan usaha PKL
baru yang lebih representatif di sebagian area laguna Mariso yang direklamasi. Karena
kekhawatiran pengembangan kota baru Tanjung Bunga terhadap kemungkinan kawasan
usaha PKL ini yang akan meluas ke jalan Metro lagi, maka dibangunlah tembok
permanen yang memisahkan laguna dengan jalan Metro. Selesailah masalah
pemandangan kumuh di muara jalan Metro, tetapi masalah baru muncul. Walaupun
tatanan lapak dan akses ke kawasan usaha PKL bagus, tetapi jumlah pembeli menurun
drastis karena mereka tidak bisa bebas menikmati panorama matahari terbenam di
perairan selat Makassar. Kurangnya jumlah pembeli berarti mengurangi pendapatan para
PKL maupun pemasukan retribusi ke Pemkot. Hal inilah yang menjadi penyebab
kawasan usaha PKL laguna Mariso yang sudah dirancang secara arsitektural indah,
tetapi lama-lama berkembang menjadi tak terawat dan kumuh. Oleh karena itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa perencanaan dan perancangan kawasan usaha PKL terutama
harus memikirkan pemenuhan keinginan maupun kebutuhan pembeli, para PKL, maupun
pemangku kepentingan lainnya.
Aspek perencanaan: business plan PKL kota Makassar; rencana alokasi tempat
usaha PKL; rencana tata pamong kegiatan PKL skup kota, skup kawasan, dan skup
lokasi, termasuk kelembagaan PKL (koperasi, individu) dan sinergitas dengan sistem
pemerintahan Pemkot/Kab; tata cara rekruitmen PKL; hak dan kewajiban PKL;
pengaturan insentif, disinsentif, dan sanksi pelanggaran; jaminan keamanan kerja dan
okupasi tempat usaha; jenis barang jualan; daya tampung unit PKL; tata guna kegiatan
berdasarkan area dan waktu; daya tampung unit PKL dan tempat duduk pembeli;
keseimbangan retribusi dengan pelayanan Pemkot; dsb
Aspek pengorganisasian: kelembagaan PKL (asosiasi PKL nasional, asosiasi PKL
SulSel, Asosiasi PKL kot Makassar, Asosiasi/ koperasi PKL lokasi), SKPD Pemkot terkait
yaitu PD pasar Makassar, Dispenda, Dinas PU kota Makassar, Dinas kebersihan, Satpol
PP kota Makassar, Camat, Lurah, Perbankan, Tupoksi, SOP, dan hierarki pertanggung-
jawaban.
Aspek aktualisasi: Pelaksanaan rencana, monev, litbang agar kota antisipatif dan
akomodatif terhadap dinamika perkembangan PKL.
Aspek pengendalian: supervisi (pendampingan, pengarahan), kontrol dan pengendalian,
dalam aspek ketertiban untuk menjaga hieginitas, keamanan, kenyamanan, kebersihan
dan kesehatan lingkungan, menhindari tindakan kriminalitas, kemacetan lalu-lintas,
hieginitas, dsb.
Kondisi usaha PKL Aktual 2013 dan Kecenderungan ke Depan
3.10 Kecenderungan Perkembangan PKL
a. Pendapatan Berdasarkan Barang Jualan
Barang dagangan yang dijual oleh para PKL di kota Makassar secara proporsional
berdasarkan survei sebarannya adalah sebagai gambar berikut.
Figure 3.5 Ratio jenis barang dagangan para PKL di Kota Makassar
Berdasarkan standar upah minimum provinsi Sulawesi Selatan pada saat survei
sebesar Rp1,440,000, maka dapat dikategorikan penghasilan dan jenis barang
dagangan PKL seperti gambar berikut.
Figur 3.6 Pendapatan PKL berdasarkan jenis barang dagangan
Berdasarkan isian angket, penghasilan yang paling besar lebih besar atau sama
dengan 2X UMR adalah barang dagangan emas. Barang-barang dagangan yang
menghasilkan pendapatan di atas 1.5X UMR sampai di bawah 2X UMR adalah
makanan dan minuman, campuran, hand phone, pakaian, jam tangan, onderdil
mobil dan VCD. Barang-barang dagangan yang menghasilkan pendapatan di atas
1X UMR sampai di bawah 1.5X UMR adalah mainan anak, bahan makanan,
majalah dan koran, reparasi barang-barang kulit, tukang cukur dan penjual stiker.
Sedangkan jenis barang dagangan berupa buah-buahan penghasilan rata-ratanya
dibawah 1X UMR, kemungkinan karena sering terdapat sisa yang tidak laku
menjadi busuk.
b. Tempat Usaha
Dari hasil observasi dan wawancara terdapat kecenderungan PKL yang tadinya
menempati lapak yang dapat berpindah-pindah sudah mulai menempati kios
dengan tempat usaha yang relatif tetap, dengan menyewa lahan dari penduduk.
hal ini dipandang lebih memudahkan para PKL karena tidak perlu membawa
pulang gerobag dan pasang-bongkar lapaknya.
3.11 Sistem Organisasi dan Hubungan Kekerabatan Para PKL
Walaupun bekategori sektor informal, tetapi kegiatan PKL juga memerlukan pengontrolan
kegiatan PKL. Aparat dinas pendapatan berpendapat bahwa siapapun juga yang ingin
berusaha sebagai PKL diwajibkan medapatkan sertifikat ijin usaha dari Pemkot
Makassar. Selain itu juga diperlukan sertifikat ijin penggunaan lokasi tempat usahanya.
Sertifikat ijin penggunaan lokasi ini berlaku satu bulan dan dapat diperpanjang setiap
bulannya. Hal ini terutama untuk mengantisipasi pemanfaatan lain suatu lokasi lahan
pemerintah yang lebih dibutuhkan untuk kepentingan publik yang lebih luas, misalnya
pembangunan gedung, pembangunan infrastuktur, pelebaran jalan dsb.
Koperasi mengelola dan menjamin hak dan kewajiban para PKL yang melakukan
kegiatan di kawasan PKL Losari, sehingga koperasi ini juga berfungsi sebagai jembatan
anatar PKL dengan Pemkot Makassar. Biasanya koperasi mengadakan pertemuan
pengurus bulanan. PKL anggota koperasi dapat meminjam uang ke koperasi. Dalam
dialog penulis dengan ketua koperasi, terbuka pandangan dan kemauannya
peningkatkan pelayanan ke anggotanya di masa mendatang. Apabila memungkinkan
koperasi akan mengembangkan pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan PKL misalnya
pengadaan air bersih, jaringan listrik, dan penyewaan gerobag, tenda, meja, kursi dsb.
Koperasi juga dapat menguruskan perijinan bagi calon PKL, dan perpanjangan ijin usaha
dan ijin penggunaan tempat kerjanya. Saat ini kerjasama antara koperasi dan Pemkot
meliputi urusan kontribusi, dan kebersihan lingkungan.
3.12 Proses, Produk dan Pengelolaan Limbah usaha PKL
Produk limbah padat berupa sampah dikumpulkan pada bak-bak tempat pengumpulan
sampah sementara, dan yang selanjutnya diangkut oleh aparat Dinas Kebersihan
menggunakan truk ke tempat pengolahan sampah akhir. Sedangkan limbah cair biasanya
dibuang ke sselokan atau tempat-tempat yang tidak mengganggu para pembeli.
3.12 Opini dan Harapan PKL tentang Masa Depan Keturunannya
Berdasarkan analisis hasil survei, hanya 5,11% PKL yang mengharapkan tetap bekerja di
bidang PKL, 5.75% isteri PKL yang mengharapkan keluarganya tetap bekerja di bidang
PKL, hanya 1,28% anak PKL yang mengharapkan bekerja di bidang PKL juga, dan
5.11% bapaknya PKL yang menginginkan pekerjaan di bidang PKL. oleh karena itu
secara umum para PKL tidak menginginkan anaknya bekerja di sektor informal, tetapi
berharap generasi penerusnya bekerja di sektor informal dengan kepastian usaha dan
pendapatan yang lebih stabil. Demikian juga anak-anak mereka juga berharap seperti
orang tuanya, walaupun dari pengalaman anak-anak PKL pada umumnya tidak dapat
melepaskan diri dari usaha di sektor informal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
sulitnya akses mereka memasuki lapangan kerja formal karena kompetensi dan
kapasitasnya tidak mampu bersaing dengan generasi muda yang lulusa dari pendidikan
yang lebih tinggi.
3.13 Peran Pemerintah dan Perusahaan Besar dalam Kehidupan PKL
Sebagai provider, pemkot Makassar berperan dalam mengatur, mengendalikan dan
menyiapkan prasarana maupun sarana, seperti jaringan listrik, jaringan air bersih, toilet
publik, dan tempat parkir bagi usaha PKL, agar tidak berdampak negatif seperti
kemacetan lalu-lintas, kebersihan lingkungan, dan keamanan lingkungan. Hal ini terutama
untuk mengantisipasi pemanfaatan ruang publik bagi kegiatan masyarakat lainnya. Ke
depan pemerintah perlu kerjasama dengan lembaga riset seperti perguruan tinggi serta
lembaga swadaya masyarakat dan perusahaan besar, agar dapat lebih tepat diantisipasi
perkembangan PKL, serta menyusun kebijakan, rencana, program dan kegiatan yang
dapat mewujudkan kegiatan dan tempat usaha PKL yang kondusif, dalam arti aman,
tertib, produktif, sehat dan bersih.
Perusahaan besar dalam kewajiban corporate social responsibility cenderung membantu
sesuatu yang sekaligus juga sebagai ajang promosi usahanya, misalnya memberikan
gerobag yang dirancang bertulisan merek dagangannya.
BAB V
KESIMPULAN
Prinsip-prinsip Kota yang Akomodatif terhadap PKL
1. Aktualiasi para PKL dalam mengambil haknya untuk bekerja mencari nafkah
merupakan keniscayaan yang harus diantisipasi dan diakomodir sesuai dengan
kesesuaian dan daya dukung ruang wilayah kota;
2. Dalam pemenuhan haknya, para PKL juga harus menghargai hak orang lain
dengan melaksanakan kewajibannya untuk menjaga kelancaran lalu-lintas,
kebersihan, kesehatan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan lingkungan
kerjanya;
3. PKL merupakan potensi ekonomi yang apabila dikelola dengan tepat akan
mempunyai dampak ganda seperti: (a) optimalisasi produktifitas PKL dan
penyerapan pasar yang berdampak pada peningkatan pendapatan; (b)
pengembangan usaha PKL sebagai alternatif lapangan kerja yang kompetitif
dibanding lapangan kerja lainnya; (c) pengubahan PKL sebagai sektor informal
menjadi sektor formal agar pengaturan, pembinaan, pelayanan dan
pengendaliannya lebih mudah.
4. Perlu disadari bahwa hasil seluruh bahasan masih belum dapat secara operasional
menjadi rujukan penataan fisik kawasan dan/atau tempat usaha PKL, sehingga
perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menghasilkan manajemen dan model-
model sarana maupun prasarana PKL yang lebih aplikatif.
5.2 Model-model Penataan PKL
Model-model penataan PKL yang masih perlu dikembangkan dan didukung oleh
kajian-kajian teknis lebih lanjut, agar hasil penelitian lebih mudah diterapkan, sesuai
dengan rencana penelitian dua tahuan, maka target lanjutan penelitian PKL pada Tahun
2014 adalah sbb:
1) Model penentuan lokasi strategis tempat usaha PKL
2) Model tata lapak dan/atau tata massa unit-unit usaha PKL (linier, melingkar,
persegi empat)
3) Model tata meja, banku/kursi, tempat sampah yang moveable
4) Model dan ukuran gerobag
5) Model sanitasi limbah cair dan pengelolaan limbah padat
6) Model pengadaan air minum/bersih
7) Model penyediaan jaringan listrik
DAFTAR PUSTAKA
ADB (2006), Urbanization and Sustainability in Asia: Case Studies of Good Practice, Asian Development Bank, Manila, Philippines.
Akil A., et.al (2012), Prinsip Tatanan Kota Pantai Berbasis Kearifan Lokal yang Antisipatif terhadap Perubahan Sosial, Budaya dan Iklim: Studi Kasus Kota Makassar.
Attoe W., and Logan D., 1989. American Urban Architecture: catalyst in the design of cities. University of California Press, Berkely.
Hauser P.M., et.al., 1985. Penduduk dan masa depan Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
International Labour Office, 1976. Rural and Uban Income Inequalities. ILO, Geneva.
Influence of Urban Poor Community of Coastal Housing Environment in Makassar City, Indonesia, Proceeding of The 2nd International Symposium on City
Planning and Environmental Management in Asian Countries, Mokpo, Korea, Jan 11-12, 2000, ISBN 4-9980612-2-6.
Informal sector. Wikipedia, the free encyclopedia, diunduh 11-03-2013.
Hamidjoyo K.. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Penataan, Pembinaan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Surakarta IStudi Kasus di Kecamatan Laweyan).
Judy L. Baker, 2008. Urban Poverty: A Global View. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC.
Krejcie R.V., dan Morgan D.W., 1970. Determining Sample for Research Activities. Educational and Psychological Measurement, 1970, 30, 607-610.
Masika R., et.al., 1997. Urbanisation and Urban Poverty: A gender Analysis. BRIDGE (development - gender), Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton BN1 9RE, UK.
Maslow’s Hierarchy of Needs. http://www.businessballs.com/maslow.htm, diunduh 18-10-2011.
Mubyarto Ekonomi Kerakyatan. https://www.google.com/#hl= en&sclient=psy-ab&q=mubyarto+ekonomi+kerakyatan, diunduh 11-03-2013.
Yudono A., 1998. Street Vendor Characteristics Concerning Urban Planning and Design in Ujung Pandang, Proceeding of The First International Symposium on City Planning and Environmental Management for Asian Countries, Ujungpandang, Indonesia, Jan 10, 1998, ISBN 4-9980612-1-6.
Yudono A., 2002. Street Vendors Housing Condition and Their Community Basic Needs at Mariso District, Makassar, Indonesia, Proceeding of The 3rd International Symposium on City Planning and Environmental Management in Asian Countries, Ube, Japan, Jan 12-14, 2002, ISBN 4-9980612-3-2.
Yudono A., 2005. Street Vendors as the Soul of the Urban Poor in Makassar City, Indonesia, Journal of Asian Urban Studies, Vol.6, No.2, March 2005.