Lap Anestetik

download Lap Anestetik

of 26

Transcript of Lap Anestetik

ANESTESI UMUM

OLEH : KELOMPOK I

Dwi Rusni Emy Esa Lia Puspitasari Mahfuzun Bone Shella Ariesta Taufik Nor Vitanidia P Yuliani Ramli

LABORATORIUM ANALITIK FARMASI U.P FAKULTAS FARMASI UNMUL SAMARINDA 2009

BAB I PENDAHULUAN

Istilah anestesi yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilangnya kesadaran, diperkenalkan oleh Iver W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut anastetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anastetik umum dan anastetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anastetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau efek anestesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada serabut saraf di perifer. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dengan penggunaan obat dalam prosedur pembedahan telah dilakukan sejak zaman kuno, termasuk dengan pemberian ethanol dan opium secara oral. Pembuktian ilmiah pertama dari penggunaan obat anestetis untuk pembedahan dilakukan oleh Wiliam Morton di Boston pada tahun 1846 dengan menggunakan dietyl eter. Satu tahun kemudian kloroform adalah anastetik berikutnya, yang diperkenalkan oleh Sir James Simpson, tetapi zat ini ternyata hepatotoksik, dapat menimbulkan aritmia jantung dan depresi napas, sehingga sebaiknya tidak dipakai lagi. Dalam upaya memperoleh zat yang lebih aman dikembangkanlah berbagai anestetik lain yang lain seperti yang kita kenal sekarang. Dua puluh tahun kemudian, hal ini diikuti dengan suksesnya demonstrasi obat-obat anestetis dengan nitride oxide yang pertama kali diajukan oleh Sir Humphry Davy pada tahun 1790-an. Anestetika modern dimulai sejak tahun 1930-an, saat diperkenalkannya thiopental, suatu barbiturat intravena. Sepuluh tahun setelah itu, curare dipergunakan dalam anestesi untuk mencapai relaksasi otot bergaris. Halothane, suatu hidrokarbon yang mengandung halogen yang pertama diperkenalkan pada 1956 sebagai anestetikan inhalasi, segera menjadi perbandingan standar untuk anestetika inhalasi yang baru. Tindakan anestesia telah dikenal sejak lama berbagai upaya untuk mempermudah orang melakukan tindakan operasi. Orang Mesir menggunakan narkotik, sementara orang Cina menggunakan anabis indica (ganja) untuk

menghilangkan kesadaran sehingga si pasien tidak merasakan nyeri, misalnya dengan membungkus anggota badan dengan kantong es lalu membuatnya iskemik dengan memasang turniket, bahkan dengan memukul kepala si pasien dengan tongkat kayu untuk membuatnya tidak sadar. Status anestesi umum pada dasarnya mencakup analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya refleks sensoris dan otonomik, serta dalam banyak kasus relaksasi otot bergaris. Sejauh mana suatu anestetika tertentu dapat menimbulkan efek-efek di atas bergantung pada obat itu sendiri, dosisnya, dan kondisi klinis. Suatu anestetika yang ideal dapat menimbulkan anestesi dengan tenang dan cepat serta memungkinkan pemulihan segera setelah penanganan selesai. Obat tersebut juga harus memiliki batasan keamanan yang luas dan tidak menimbulkan dampak yang keras. Tetapi, tidak ada satupun anestetika yang mampu menghasilkan efek yang diinginkan tanpa mempunyai kerugian jika digunakan tersendiri. Praktik modern dalam anestesi umumnya menggunakan obat-obatan yang dikombinasikan agar dapat mengambil sifat-sifat yang menguntungkan dari tiap-tiap obat dan memperkecil kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Protokol-protokol anestesi beragam, bergantung pada jenis diagnosis yang diajukan, terapeutik, dan keterlibatan pembedahan. Untuk prosedur-perosedur kecil, penggunaan sedatif oral yang dihubungkan dengan anestesi lokal yang bersifat regional dapat mencukupi. Protokol-protokol concious sedation (sedasi sadar) dengan benzodiazepin intravena dan analesik golongan opioid dapat menyediakan analgesia yang sangat baik namun dengan catatan bahwa penderita mampu mempertahankan jaln napasnya dan menanggapi perkataan. Untuk prosedur pembedahan besar, anestesi selalu menggunakan sedatif praoperatif, induksi anestesi dengan thiopental atau obat-obat intravena lain dengan mula kerja cepat, dan persiapan untuk tingkat yang lebih dalam dengan penggunaan anestetika inhalasi sendiri atau dikombinasikan dengan anestetika intravena lainnya. Di dalam banyak kasus, protokol-protokol seperti di atas melibatkan penggunaan penyakit (blocker) neuromuskular. Tempat Kerja Anestetik Umum Anestetik inhalasi terbukti mengubah ambang rangsang neuron di beberapa bagian SSP yang sangat peka terhadap anestetik. Letupan implus pada neuron ini

dapat dihambat secara total oleh

1 KAM (Kadar Anestetik Minimum) halotan,

sementara neuron tetangganya hanya mengalami sedikit perubahan. Dulu diyakini bahwa anestesia merupkan proses supraspinal, tetapi beberapa bukti memperlihatkan bahwa hilangnya respon motorik pada anestesia lebih disebabkan oleh kerja anestetik di medula spinalis. Di otak, anestesi inhalasi menghambat transmisi sinaps di dalam retikularis asendens, korteks serebri dan hipokampus. Penyampaian informasi sensoris dari talamus ke bagian tertentu di korteks, sangat peka terhadap anestetik. Di medula spinalis, anantetik mengubah respons sensoris dari komu dorsalis terhadap rangsangan nyeri maupun rangsangan lainnya yang tidak menimbulkan nyeri. Beberapa anestetik yang menguap dapat menekan neuron motoruk spinalis.

BAB II ISI A. TEORI ANASTESIA UMUM Dari berbagai teori yang pernah dikemukakan tentang mekanisme terjadinya anestesia, tampaknya teori neurofisiologi merupakan teori yang dapat menjelaskan terjadiny aanestesia. Kini diyakini bahwa anestesia terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi di berbagai bagian SSP. Kerja neurotransmiter di pasca sinaps akan diikuti dengan pembentukan second messenger-dalam hal ini cAMP- yang selanjutnya mengubah transmisi di neuron. Di samping asetilkolin sebagai neurotransmiter klasik, dikenal juga katekolamin, serotonin, GABA, adenosin serat berbagai asam amino dan pepetida endogen yang bertindak sebagai naerontransmiter atau yang memodulasi nerotransmiter di SSP, misalny asam glutamat dengan mekanisme hambatan pada reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat). Kalsium dikenal sebagai neuroregulator karena ada bukti yang menunjukan bahwa anestetik inhalasi dapat mengubah kadar Ca intrasel dan ini mempengaruhi keterangsangan (excitability) neuron. Sedangkan NO kini dikenal sebagai neuromodulator yang diduga berperanan dalam mengatur tingkat kesadaran. NO terlibat dalam komunikasi intrasel melalui produksi cGMP dan melalui beberapa jalur neurotransmisi lainnya. NO ini mengaktifkan adenilat siklase untuk menghasilkan cGMP, suatu pengatur proses intrasel yang berperanan penting dalam neurotransmisi. Pada dasarnya anestetik umum kini dibedakan atas 2 cara, yaitu secara inhalasi dan intravena. Walaupun demikian, secara tradisional, analgetik umum dapat diberikan dengan menggunakan berbagai jenis sistem anestesia, yakni dengan sistem tetes terbuka (open-drop system), tetes setengah terbuka (semi-open drop system), semi tertutup/sistem Mappleson (semi-closed system) dan tertutup (closed). Eter, halotan, enfluran, isofluran, metoksifluran, etilklorida, triklorotiln, dan fluoreksen merupakan cairan yang mudah menguap sehingga

dulu dikelompokan dalam anestetik yang menguap, tetapi semuanya digunakan secara inhalasi setelah diuapkan dengan evaporator (vaporizer) dan biasanya dicampur dengan anestetik gas, yakni nitrogen monoksida (N2O) atau siklopropan. Berbeda dengan yang lain, eter, etilklorida, dan fluoreksen (eter berhalogen) sangat mudah terbakar sehingga kini tidak banyak digunakan. Terlepas dari cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai Trias Anestesia, yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan refleks otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.

Anestetik Inhalasi Semua anestetik inhalasi adalah derivat eter kecuali halotan dan nitrogen. Anestetik inhalasi yang sempurna adalah yang : a. Masa induksi dan masa pemulihannya singkat dan nyaman, b. Peralihan stadium anestesianya terjadi cepat, c. Relaksasi ototnya sempurna, d. Berlangsung cukup aman, dan e. Tidak menimbulkan efek toksik atau efek samping berat dalam dosis anestetik yang lazim. Dengan penggunaan anestetik intravena kerja singkat dan obat-obat pelemas otot, tiga hal pertama dapat dicapai. Sementara itu, teknik anesthesia kombinasi telah memungkinkan penggunaan dosis yang lebih kecil dan lebih aman, maka toksisitas anestetik menjadi satu-satunya penentu diterimanya suatu anestetik inhalasi baru. Sifat anestetik inhalasi yang menyebabkan ketidaknyamanan adalah baud an sifat iritasi saluran nafasnya.

Anestetik Intravena Beberapa obat digunakan secara intravena dalam anestesia atau untuk membuat tidur pasien yang menggunakan respirator. Obat ini meliputi kelompok barbiturate (thiopental, tiomilal, metoheksital), propofol, etomidat, ketamin, droperidol, benzodiazepine (midazolam, diazepam,

lorazepam), dan beberapa anestetik intravena yang lebih berefek analgesik misalnya fentanil, sulfentanil, alfentanil, remifentanil, meperidin dan morfin. Dalam teknik yang disebut sebagai anestesia berimbang (balanced anesthesia) obat-obat ini mungkin digunakan tunggal atau dalam kombinasi sebagai ajuvan untuk anestesik inhalasi, yaitu agar induksi anestesia segera dicapai. Untuk tindak bedah tertentu, anestetik intravena saja sudah memadai dan pemulihan terjadi cukup cepat misalnya, thiopental dan propofol sehingga dapat digunakan pada rawat jalan. Fentanil digunakan sebagai ajuvan untuk anestetik inhalasi karena sifat sedatifnya, menimbulkan analgesia kuat, dan menstabilkan kardiovaskular, sedangkan benzodiazepine digunakan untuk menidurkan pasien dan membuatnya tidak ingat akan apa yang dialami sebelum anestesia. B. STADIUM ANASTESIA UMUM Gambaran klasik tentang tanda dan kedalaman anestesia (tanda Guedel) berasal dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat. Tanda ini tidak lagi terlihat dalam teknik pembiusan modern karena anestetik masa kini umumnya memperlihatkan masa induksi yang singkat, apalagi dengan tambahan anestetik intravena dan obat-obat lain sebagai medikasi pra-anestetik. Selain itu, teknik anestesia modern sering menggunakan ventilator untuk mengendalikan pernapasan. Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap, yang mulamula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Guedel (1920) membagi anestesia umum dalam 4 stadium, sedangkan stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 tingkat. Stadium I (Analgesia) Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri

(analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti mencabut gigi dan biopsi kelenjar. Stadium II (Eksitasi) Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak. Pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea, tonus otot rangka meninggi, pasiennya meronta-ronta, kadang sampai mengalami inkontinesia, dan muntah. Ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka stadium ini harus diusahakan cepat dilalui. Stadium III (Pembedahan) Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan. Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara

pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada. Tingkat 2 : pernapasan teratur tapi frekuensinya lebih kecil, bola mata

tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan intubasi. Tingkat 3 : pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada

karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal. Tingkat 4 : pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh

total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien

akan mudah sekali masuk dalam stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunan tekanan darah. Stadium IV (Depresi Medula Oblongata) Stadium IV ini dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan napas di sini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh alat bantu napas dan sirkulasi. Selain dari derajat kesadaran, relaksasi otot, dan tanda-tanda di atas, ahli anestesia menilai dalamnya anestesia dari respons terhadap rangsangan nyeri yang ringan sampai yang kuat. Rangsangan yang kuat terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum, kornea, mukosa uretra terutama bila ada peradangan. Nyeri sedang terasa ketika terjadi pada manipulasi pada fasia, otot dan jaringan lemak, sedangkan nyeri ringan terasa ketika terjadi pemotongan dan penjahitan usus, atau pemotongan jaringan otak. C. ANESTETIKA INHALASI 1. Farmakokinetika Merupakan subdevisi anestesi umum. Dinamai sesuai dengan jalur yang digunakan obat untuk dapat masuk ke dalam tubuh, sehingga melalui aliran darah dapat diteruskan ke otak. Kedalaman anestesi ditentukan dari kadar anestetika didalam system syaraf pusat. Kecepatan mencapai kadar didalam jaringan otak yang efektif tergantung pada berbagai faktor farmakokinetik yang memepengaruhi ambilan dan distribusi anestetika. Faktor-faktor ini menentukan pebedaan kecepatan transfer anestetika inhalasi dari paruparu ke dalam darah, darah keotak dll. Beberapa factor ini juga mempengaruhi kecepatan pemulihan aestesi inalasi bila anestesi dihentikan.

Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Kelarutanb. Konsentrasi ansetetika dalam udara yang dihirup

c. Ventilasi parud. Aliran darah paru

e. Perbedaan konsentrasi arteri dan vena. 2. Farmakodinamika Mekanisme kerja anestesi inhalasi secara spotan menekan dan menghentikan aktivitas neuron berbagai area dalam otak. Konsep awal mekanisme anestesi berdasarkan interaksi antara senyawa nonspesifik tersebut dengan susunan lipid membrane syaraf. Penalaran ini berdasarkan perbedaan struktur-struktur dari senywa-senyawa anestetika, diamana hal ini didukung oleh berbagai pengamatan adantya hubungan erat antara potensi anestesi dengan kelarutan didalam lipid. Anestetika inhalasi dengan sifat anestesi umum secara langsung mengaktfkan reseptor GABA, akan tetapi pada konsentras rendah juga memfasilitasi kerja GABA dalam meningkatkan aliran darah ion klorida ke dalam sel. Selama anestesi umum tekanan parsial dari anestaei inhalasi didalam otak sama besarnya dengan tekanan parsialnya didalam paruparu.3.

Obat dan Sediaan Anestesi Inhalasi Contoh dari anestetika inhalasi yaitu gas tertawa, halotan, enfluran, isofluran dan sevofluran. Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran nafas. Keuntungannya adalah resorpsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga ekspresinya melalui gelembung paru (alveoli) yang biasanya dalam keadaan utuh. Pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Obat ini terutama digunakan untuk memelihara anestesi. Dewasa ini senyawa kuno ether, kloroform, trikloretilen, dan siklopropan praktis tidak

digunakan lagi karena efek sampingnya. Anestetika inhalasi (eter, halotan, isofluran) memperbesar (eter, halotan, isofluran). Penghambatan neuromuskuler obat non depolarisasi. Anestesi "Inhalasi", "Intravena", "Intramuskular" dan "Perrektum" Merupakan subdevisi anestesi umum. Dinamai sesuai dengan jalur yang digunakan obat untuk dapat masuk ke dalam tubuh, sehingga melalui aliran darah dapat diteruskan ke otak. 4. Efek anestetika a. Efek terhadap kardiovaskular Anestetika inhalasi mengubah kecepatan jantung dengan jalan mngubah secara langsung kecepatan depolarisasi nodue tinus, atau dengan menggeser keseimbangan aktifitas system syaraf otonomik. Semua anestetika inhalasi cenderung meningkatkan tekanan arteri kanan sesuai dengan hubungan dosis efek yang kesemuanya menggammbaran adanya depresi fungsi miokardium. b. Efek terhadap pernafasan Menimbulakan penurunan volume tidal dan meningkatkan keepatan nafas, meningkatkan nilai ambang apne, menekan fungsi mukosiler pada saluran nafasc. Efek teradap otak

Anestesi inhalasi mengurang laju metabolism otak. Sekalipun demikian, sebagian besar anestetika inhalasi mingkatkan. d. Efek terhadap ginjal Semua anestesi inhalasi mempunyai efek menurunkan darah menuju hati berkisar 15%-45% dari aliran darah praanestesi. 5. Toksisitasa. Hepatoktossitas, disfungsi hati pasca perasi biasanya berkaitan

dengan berbagai faktor antara lain transfuse darah, syok, dan stress. b. Nefrotoksisitas

Potensi pada penggunanan metoxyflurane, disebabkan karena pelepasan senyawa anorganik yang mengandung fluor selama metabolisme. c. Hipertemia maligne 6. Penggunaan Anestetik Inhalasi Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran pernapasan. Keuntungannya adalah resorpsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga ekskersinya melalau gelembung paru (alveoli). Dan biasanya dalam keadaan utuh. Pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Obat ini terutama digunakan untuk memelihara anestesi. a. Nitrogen Monoksida (N2O = Gas Gelak) Nirogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan lebih berat daripada udara. Gas ini tidak mudah terbakar, tetapi bila dikombinasi dengan zat anestetik yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya ledakan misalnya campuran eter dan N2O. itogen monoksida sukar larut dalam darah dan merupakan anestetik yang kurang kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvant untuk atau sebagai pembawa anestetik inhalasi lainnya. Karena kelarutannya yang buruk, masa induksi dengan N2O segera dicapai, tetapi dengan KAM yang >100 diprlukan tekanan parsial yang tinggi dengan perbandingan N2O:O2 (85:15) stadium induksi akan cepat dilewati, tetapi pemberiaannya tidak boleh terlalau lama karena mudah terjadi hipoksia yang dapat dicegah dengan memberikan O2 100% setelah N2O dihentikan. KAM anestetik lainnya dapat diturunkan, misalnya 0,75% menjadi 0,29% untuk halotan, dan 1,68% menjadii 0,6% untuk enfluran. Relaksasi otot kurang baik sehingga untuk mendapatkn relaksasi yang cukup, serig ditambahkan obat pelumpuh otot.

Kadar N2O 80% hanya sedikit mendepresi kontraktilitas otot jantung sehingga peredaran darah tidak terganggu. Efekya terhadap pernapasan tidak begitu besar, dikataka induksi dengan pentotal dan inhalasi N2O menyebabkan berkurangnya respon pernapasan terhadap CO2. Pada anesthesia yang lama N2O dapat menyebabkan mual, muntah, dan lambat sadar. Gejala sisa hanya terjadi bila ada hipoksia atau alkalosis karena hiperventilasi. Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksingen efeknya seperti efek 15mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum kurang lebih 35%. N2O diekskresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit. b. Eter (Dietileter) Eter merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap, berbau tidak enak, mengiritasi saluran napas, mudah terbakar, dan mudah meledak. Di udara terbuka eter teroksidasi menjadi peroksida dan bereaksi dengan alcohol membentuk asetaldehid, maka eter yang sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi. Eter merupakan anastetik yang sangat kuat. Karena sifatnya sifatnya kurang kuat sekali; dengan kadar dalam darah arteri 1015mg% sudah terjadi analgesia tetpi pasien masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot dan hambatan neuromuscular yang tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini meningkatka hambaatan neomuskular oleh antibiotic seperti neomisin, streptomisin, polikmiksin, dan kanalmisin Eter menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Eter meneka kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningkatnya aktivitas simpatis

sehingga curah jantung tidak berubah atau meninggi sedikit. Eter menyebabkan mual dan muntah terutama padawaktu pemulihan, tetapi ini dapat pula terjadi pada waktu induksi. Ini disebabkan oleh efek sentral atau akibat iritasi lambung oleh eter yang tertelan. Aktivitas cerna dihambat selama dan sesudah anesthesia. Penggunaan eter pada system semi tertutup dalam kombinasi dengan oksingen atau N2O tidak dianjurkan pada pembedahan dengan tindakan kauterisasi sebab ada bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru pasien akan mati akibat jaringan yang terbakar atau paru-parunya pecah. c. Halotan Halotan merupakan anestetik golongan hidrokarbon yang berhalogen. Halotan menjadi standar bagi anestetik lain yang kini banyak dipakai karena dari zat inilah semua itu dikembangkan. Halotan berbentuk caira tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan merupakan anestetik yang kuat dengan efek anestetik yang kuat dengan efek analgesia yang lemah. Induksi dan tahapan anestetik dilalaui dengan mulus dan pasien segera bangun setelah anestetik dihentikan. Halotan diberikan dengan alat khusus dan penentuan kadar harus dapat dilakuakan dengan cepat. Halotan secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi akibat dua hal yaitu (1) depresi langsung pada miokard dan (2) dihambatnya refleks baroreseptor terhadap hipotensi. Namun, respons simpatoadrenal tidak dihilangkan oleh halotan. Rangsangan yang sesuai misalnya peningkatan PCO2 atau adanya rangsangan pembedahan akan memicu respons simpatis. Makin dalamm anesthesia, makin jelas

turunnya kekuatan kontraksi otot jantung, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Bila kdar halotan ditingkatkan dengan cepat, maka tekanan darah akan tidak terukur dan dapat terjadi henti jantung. Halotan juga menyebabakan bradikardia, karena aktivitas vagal yang meningkat. Halotan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di otot rangka dan otot otak sehingga aliran darah ke otak dan otot bertambah. Penggunaan halotan berulang kali dapat menyebabkan neokrosis hati sentrolobular yang bersifat alergi. Gejalanya berupa anoreksia, mual, muntah, kadang-kadng kemerahan pada kulit dengan eosinofilia. Walaupun angka kejadian hepatitis halotan ini rendah. Kerusakan akan berkembang menjadi gagal hati yang fatal dan kemungkinan kejadiaannya sukar diramalkan. Hal ini, dan tersedianya anestetik lain yang lebih aman seperti enfluran, isofluran, dan desfluran menyebabakan halotan tidak popular lagi. Ekskresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh badan untuk kemudian dibuang melalui urin dalam bentuk asa trifluoroasetat, terifluoro etanol dan bromide. d. Siklopropan Siklopropan merupakan anestetik inhalasi yang kuat, berbentuk gas, berbau spesifik, tidak berwarna, dan disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak karena itu hanya digunakan dengan system lingkar tertutup. Siklopropan relative tidak larut dalam darah sehingga daam 2-3 menit induksi dilalui. Pemberian dengan kadar 1% volume dapat menimbulkan analgesia tanpa hilangnya kesadaran.

Siklopropan menimbulkan relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali mengiritasi ringan dapat saluran terjadi napas. pada Namun, anesthesia depresi dengan pernapasan

siklopropan. Siklopropan tidak menghambat kontaktilitas otot jantung, curah jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga siklopropan merupakan anesetetik terpilih pada pasien syok. Aliran darah kuit dapat ditingkatkan oleh siklopropan sehingga mudah terjadi pendarahan waktu operasi. Sehinga siklopropan tidak menimbulkan hamatan terhadap sambungan saraf otot. Pada masa pemulihan sering timbul mual, muntah, dan delirium. Siklopropan diekskresi melalui paru hanya 0,5% yang dimetabolisme dalam tubuh dan diekskresi dalam bentuk CO2 dan air. e. Enfluran Gas ini kurang kuat dibandingkan denga halotan, tetapi dapat menimbulkan induksi dan sadar kembali dengan cepat. Kira-kira 2% dari obat ini dimetabolisme menjadi ion florida, yang diekskresikan melalui urin. Karena itu enfluran di kontraindikasikan pada penderita gagal ginjal. Anestesi dengan enfluran memperlihatkan perbedaan-perbedaan dengan halotan seperti berikut lebih sedikit aritmia, sensitisasi jantung terhadap katekolamin kurang, dan potensiasi pelemas otot lebih besar yang disebabkan oleh efek mirip kurare lebih kuat. Kerugian enfluran ialah bahwa enfluran dapat menyebabkan eksitasi SSP pada dua kali MAC dan pada dosis yang lebih rendah jika hiperventilasi mengurangi PCO2. Enfluran dengan kadar yang tinggi dapat menyebabkan depresi kardiovaskular dan perangsangan SSP untuk menghindari itu enfluran diberikan dengan kadar rendah bersama N2O.

Enfluran menyebabkan relaksasi otot rangka lebih baik halotan sehingga dosis obat pelumpuh otot-depolarisasi harus diturunkan. Enfluran kadar rendah tidak banyak mempengaruhi system kardiovaskular. Pemberian enfluran 1% bersama N2O dan O2 dngan ventilasi yang terkendali akan menurunkan tekanan intokular dan berguna untuk operasi mata. f. Isofluran Merupakan anestetik halogenasi baru yang mempunyai biotransformasi rendah dn toksisitas terhadap organ rendah. Tidak seperti gas anestetik halogenasi lainnya, isofuran tidak menimbulkan aritmia jantung dan tidak mensensitisasi jantung terhadap kerja katekolamin. Isofluran adalah molekul yang sangat stabil yang mengalami metabolisme sedikit, akibatnya flourida yang dihasilkan sedikit. Isofluran umumnya tidak bersifat toksik terhadap jaringan.

D.

ANASTETIK INTRAVENA Anestetik intravena sering digunakan untuk mendapatkan induksi cepat anestesi, yang kemudian dipelihara dengan obat inhalasi yang tersedia. Anestetik intravena ini cepat menginduksi anestesi, dan karena itu harus disuntikkan secara lambat. Sadar kembali dari anestetik intravena disebabkan oleh redistribusi dari daerah SSP. 1. Barbiturat Tiopental merupakan anestetik kuat dan analgesik lemah. Tiopental merupakan anestetik umum yang paling banyak diberikan secara intravena. Termasuk barbiturat kerja sangat singkat dan mempunyai kelarutan dalam lipid tinggi. Jika obat ini seperti tiopental, tiamila diberikan secara intravena, obat-obat ini cepat memasuki SSP dan menekan fungsi SSP, sering kurang dari 1 menit. Walaupun begitu, difusi keluar otak

dapat terjadi sangat cepat juga, karena redisttribusi obat ini ke jaringan adiposa. Jaringan adiposa berlaku sebagai gudang obat, dan obat tersebut merembes keluar perlahan-lahan dan kemudian dimetabolisme dan diekskersikan. Masa kerja yang pendek dari kerja anestetik ini disebabkan oleh penurunan konsentrasinya di otak sampai ke bawah level yang diperlukan untuk menghasilkan anestesi. Obat-obat ini tersisa di dalam tubuh dalam waktu relatif lama setelah pemberiannya, karena hanya kirakira 15 % dari dosis barbiturat yang memasuki sirkulasi dimetabolisme oleh hati per jam.

2. Benzodiazepin

Walaupun diazepam merupakan prototip benzodiazepin, lorazepam dan midazolam lebih kuat. Ketiganya memudahkan terjadinya amnesia yang juga menyebabkan sedasi. Etomidat merupakan substansi hipnotik dengan efek analgesik kurang dan dapat menimbulkan aktivitas otot. 3. Opioid Karena efek analgesiknya, opoid sering digunakan bersama dengan anastetik lainnya misalnya kombinasi morfin dan nitrogen oksida memberi anestesi yang bagus untuk pembedahan jantung. 4. Ketamin Ketamin, suatu anestetik nonbarbiturat kerja singkat, menginduksi suatu keadaan disosiasi dan penderita tampaknya bangun tetapi tidak sadar dan tidak merasa sakit. Anestesi disosiatif ini menimbulkan sedasi, amnesia, dan imonobiitas. Ketamin merangsang pencurahan simpatetik pusat, yang pada saatnya, menyebabkan perangsangan jantung dan peningkatan tekanan darah dan curah jantung. Juga meningkatkan kadar katekolamin dalam plasma dan meningkatkan aliran darah. Karena itu, ketamin digunakan bila depresi sirkulasi tidak dikehendaki. Sebaliknya,

efek-efek in meringankan penggunaan ketamin pada penderita hipertensi atau stroke.

E.

MEDIKASI PRA-ANASTETIK Tujuan medikasi pra-anestetik ialah untuk mengurangi rasa cemas menjelang pembedahan, mempelancar induksi, mengurangi kegawatan akibat anesthesia. Selain itu, obat-obat ini akan mengurangi hipersalivasi, bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama anesthesia. Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagia medikasi pra-anestetik yaitu analgesic narkotika, neuroleptik. Analgetik Narkotik Morfin adalah analgetik narkotika pertama yang digunkan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia dengan trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Kini dikenal lebih dari 20 jenis opioid yang dapat digunakan untuk tujuan ini. Kelompok obat ini juga memiliki sifat anestetik sehingga dapat mengurangi KAM, tetapi ia tidak digunakan untuk tujuan anesthesia karena untuk ini ternyata dibutuhkan dosis yang menimbulkan efek SSP lainnya. Dengan teknik anesthesia berimbang, dampak buruk morfin, yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi, dan mual, muntah, eksitasi, serta nyeri pasca bedah dapat dikurangi. Barbiturat Golongan barbiturate biasanya digunakan untuk menimbulkan sedasi. Pentobarbital dan sekobarbital digunakan secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg pada orang dewasa dan 1 mg/kgBB pada anak diatas 6 bulan. Keuntungan menggunakan barbiturate ialah tidak memperpanjang masa pemulihan dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Golongan sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik, dan

barbiturate jarang menimbulkan mual dan muntah, dan hanya sedikit menghambat pernapasan dan sirkulasi dibandingkan morfin. Sedatif Nonbarbiturat Etinamat, glutetimid, dan kloralhidrat hanya digunakan bila pasien alergi terhadap barbiturate. Benzodiazepin Lenih dianjurkan daripada opioid dan barbiturate. Pada dosis biasa, obat ini tidak menambah depresi napas akibat opioid. Selain menyebabkan tidur, benzodiazepine juga menimbulkan amnesia retrograde dan dapat mengurangi rasa cemas. Namun, benzodiazepine sedikit mengurangi tonus sfinger esophagus sehingga ada kemungkinan masuk ke esophagus asam lambung. Umumnya benzodiazepine diberikan per oral karena absorpsinya baik. Benzodiazepine yang tidak larut dalam air misalnya diazepam dan lorazepam tidak dibrikan secara IV karena dapat menimbulkan iritasi vena. Tetapi dapat diberikan secar IM dalam pelarut propilen-glikol. Sedangkan midazolam yang larut dalam air dapat diberkan secara IV. Lorazepam lebih lambat mula kerjanya, dosis 0,05 mg/kgBB IM (maksimum 4 mg) diberikan paling sedikit 2 jam prabedah. Midazolam IV yang disuntikkan 15-60 menit prabedah memberikan amnesia dengan masa kerja yang lebih singkat dan lenih sedikit efek sampingnya. Efek amnesia anterograd benzodiazepine bermanfaat untuk psien tertentu, tetapi efek itu diperoleh pada dosis besar yang dapat memperpanjang masa pemulihan. Untuk mempercepat pemulihan, kalau perlu, dapat digunakan flumazenil (antagonis benzodiazepine) tetapi ini tidak dapat memperbaiki depresi napas yang telah terjadi. Neuroleptik Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya droperidol yang biasa digunakan bersama dengan fentanil. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan oleh morfin saja. Golongan

fenotiazin seperti klorpromazin dan prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaanya dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan takikardia, Antimuskarinik Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh anestetik inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anesthesia. Atropine 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah penyuntikan. Efek ini berlangsung selama 90 menit. Namun, dosis ini tidak cukup untuk mencegah perubahan kardiovaskular akibat rangsangan parasimpatis, yaitu hipotensi dan bradikardi, yang disebakan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian berulang suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis 1,52 mg atau pemberian atropine IV. F. PEMILIHAN SEDIAAN Pemilihan anestetik umum didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu : Keadaan pasien Sifat anestetik umum Jenis operasi Peralatan serta obat yang tersedia Agar anestesia umum berjalan sebaik mungkin, pertimbangan utama ialah memilih anestetik yang ideal yaitu cepat melewati stadium II, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti hipersekresi saluran napas atau menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, sifat analgesic cukup kuat, relaksasi otot cukup baik, kesadaran cepat pulih tanpa efek yang tidak diinginkan. Kalau mungkin anestetik yang mudah di dapat dan murah. Sayangnya tidak ada satu obat pun yang memeuhi semua sifat di atas.

Pada operasi ringan seperti ekstraksi dan insisi abses, tidak diperlukan relaksasi otot yang sempurna, oleh sebab itu cukup dipilih anestetik umum yang bersifat analgesic kuat misalnya N2O dan trikloretilen, juga dapat digunakan analgesia neuroleptik. Pada operasi besar seperti laparotomi, diperlukan anestetik yang menimbulkan relaksasi otot cukup baik, misalnya eter, atau kombinasinya dengan diazepam. Untuk tindakan kauterisasi sebaiknya dipergunakan halotan yang tidak mudah terbakar. Penggunaan simpatomimetik bersama dengan anestetik umum seperti siklopropan, halotan dan metoksifluran harus berhati-hati karena ada bahaya fibrilasi ventrikel. Bahaya ini paling minimal pada penggunaan eter, karena eter tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Anestetik umum yang hepatotoksik seperti metoksifluran sebaiknya tidak diberikan pada pasien hepatitis atau pada penggunaan jangka panjang. Penggunaan anestetik umum sangat tergantung dari sarana setempat seperti ada tidaknya tenaga ahli anestesia, kelengkapan alat danobat. Eter dan thiopental adalah anestetik umum yang murah dan mudah didapat, sehingga digunakan untuk berbagai operasi terutama di daerah. Anestesia Berimbang Praktek anestesia yang banyak dilkakukan adalah menggunakan beberapa anestetik sekaligus untuk memperoleh induksi yang cepat dan nyaman dengan amnesia yang memadai. Dalam praktek yang disebut amnesia berimbang ini digunakan barbiturate kerja secara singktat, analgesic opioid, penghambat neuromuscular (pelumpuh otot) seperti pankuronium yang diberikan secara IV bersama dengan inhalasi N2O. Pada cara ini, barbiturate dan analgesic menambah efek hipnotik dan analgesic dari N2O. Analgesic opioid juga dapat diberikan sebagai medikasi pra-anestesi, sedangkan induksi diperoleh dari barbiturate dan N2O. dalam cara ini opioid diberikan dengan dosis dinaikkan bertingkat selama 5-10 menit sampai dicapai analgesia yang memadai. Selanjutnya, kalau perlu, opioid dosisi kecil dapat diberikan selama prosedur pembedahan kalau pasien tampak bereaksi

terhadap rangsangan pembedahan. Bila opioid digunakan dengan cara ini dan dihentikan pemberiannnya 1-2 jam menjelang berakhirnya pembedahan yang lama, maka biasanya tidak diperlukan dukungan ventilasi pascabedah. Teknik anestesia berimbang ini membutuhkan pengalaman, sebab pilihan analgesiknya, dosisnya, frekuensi pemberiannya berbeda untuk setiap individu. Bila tekhnik ini dilakukan dengan hati-hati depresi kardiovaskular selama operasi dapat dikurangi. Ventilasi spontan pun harus dievaluasi dengan cermat selama operasi dan pascabedah. Anestesia dan Analgesia Neuroleptik Analgesia neuroleptik semula merupakan praktek penggunaan analgesik opioid dan droperidol untuk mengubah tingkat kesadaran. Tetapi kemudian dengan berbagai pilihan analgesic, droperidol pun dapat diganti dengan diazepam, atau ketamin. Kesadaran tidak pernah sampai hilang. Teknik ini bermanfaat untuk tindakan diagnostik dan terapeutik yang dilakukan dalam anestesia lokal. Bila kemudian ditambahkan N2O dalam kombinasi tadi, maka kesadaran akan hilang dan diperoleh juga relaksasi otot. Teknik ini disebut juga anestesia neuroleptik dan sangat bermanfaat untuk operasi yang memerlukan kerja sama pasiennya sebab kesadaran akan segara pulih bila aliran N2O dihentikan.

BAB III PENUTUPA.

Kesimpulan Dari pembahasan yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa anestesi merupakan hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilangnya kesadaran. Anestesi terdiri dari anestesi inhalasi dan intravena, dengan sediaan yang beraneka ragam sesuai efektifitas dan indikasi masing-masing.

B.

Saran Pengetahuan tentang anestesi sangat diperlukan oleh seorang pharmacist dalam kaitannnya dengan farmakologi serta farmakokinetik sedian-sediaan obatnya yang erat hubungannya dalam dunia kesehatan.

DAFTAR PERTANYAAN :1. Jenis anastesi inhalasi apa yang paling baik digunakan?

2. Mengapa harus ada 4 tingkatan dalam stadium 3 anastesi? 3. Seperti apa medikasi pra anastesi? 4. Bagaimana keadaan pasien yang dapat diberikan jenis anastesi inhalasi dan anastesi intravena? 5. Mengapa obat anastesi dapat menyebabkan kematian? JAWAB :1. Anastesi

inhalasi yang baik digunakan sekarang antara lain dapat berupa

golongan halotan, enfluran, isofluran dll. Sedangkan golongan anastesi generasi pertama sudah tidak efisien untuk digunakan seperti eter, kloropane, dan klorofarm, sebab obat-obat tersebut dapat menimbulkan efek tertentu seperti sifatnya yang mudah terbakar serta toksisitasnya pada organ. Akan tetapi obatobat inhalasi yang digunakan sekarang tidak luput dari kekurangan dan kelebihan masing-masing serta efektivitas dan penggunaannya tetap harus disesuaikan. 2. Secara umum, pembagian stadium anastesi berdasarkan besaran penekanan saraf sistem SSP, dimana pada tahap permulaan akan menghambat fungsi yang kompleks dan pada tahap yang terakhir akan menghambat sistem medulla oblongata dimana merupakan pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. Secara khusus pada stadium 3 (pembedahan), penghambatan SSP telah mencapai penghambatan sistem pernapasan. Dalam hal ini pembagian stadium 3 menjadi 4 tingkatan dilihat dari keteraturan pernapasan serta jenis pernapasan yang terjadi pada pasien. Pada tingkat 1 terlihat pernapasan yang teratur dan spontan, selanjutnya memasuki tingkat 2 terlihat adanya pernapasan yang teratur, akan tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat 1. Selanjutnya memasuki tingkat 3 terlihat pernapasan perut yang lebih nyata dibandingkan pernapasan dada, dan ketika memasuki tingkat 4 telah terjadi pernapasan perut yang sempurna.

3. Medikasi pra anastesi diberikan sebelum anastesi dilakukan. Tujuannya untuk mencegah efek negatif yang mungkin terjadi pada saat anastesi berlangsung atau sesudah anastesi diberikan. Selain itu untuk mengurangi rasa cemas menjelang pembedahan, mempelancar induksi, mengurangi kegawatan akibat anastesi. Contoh obat-obat pra anastesi adalah obat golongan analgetik narkotik, sedative barbiturate, benzodiazepine, anti kolinergik, dan neuroleptik. Obat-obat ini akan mengurangi hipersalivasi, bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama anastesi berlangsung. 4. Anastesi intravena diberikan pada pasien-pasien yang berada di UGD yang memerlukan bantuan pernapasan dalam jangka panjang, sedangkan anastesi inhalasi dapat diberikan pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial karena adanya tumor otak atau cedera kepala. 5. Karena pada stadium 4 pasien dapat mengalami keadaan gawat, beberapa di antaranya pernapasan melemah atau bahkan berhenti secara spontan, selain itu juga dapat terjadi depresi berat pada pusat vasomotor dan pusat nafas di medulla. Keadaan-keadaan gawat tersebut harus segera dilalui oleh pasien, karena bila keadaan ini berlanjut maka dapat mengakibatkan kematian.