Lap. Amfibi
-
Upload
indah-fajarwati -
Category
Documents
-
view
616 -
download
10
Transcript of Lap. Amfibi
LAPORAN PRAKTIKUM
TAKSONOMI HEWAN VERTEBRATA
MORFOLOGI DAN KUNCI DETERMINASI AMPHIBIA
OLEH
NAMA : FADILA FAUZI
NO BP : 1010423023
KELOMPOK : I GANJIL
ANGGOTA : 1. KITZU OKSI YAMA (0910422022)
2. DITA OSRIANTI (1010423031)
3. DINA HAYATI PUTRI (1010422043)
4. CHYINTIA DWI C. (1010423029)
ASISTEN PENDAMPING : KHARISMA PUTRA
LABORATORIUM TAKSONOMI HEWAN
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG,2012
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Vertebrata merupakan kelompok hewan yang memiliki tulang belakang. Dalam
sistem klasifikasi, vertebrata merupakan subfilum dari filum Chordata. Vertebrata
kemungkinan muncul pertama kali pada akhir zaman prakambium atau awal masa
kambrium. Fosil vertebrata tertua adalah makhluk-makhluk tak berahang, anggota
dari superkelas Agnatha (tanpa rahang). Jejak vertebrata awal ditemukan pada strata
kambrium, tetapi sebagian besar ternyata berasal dari masa Ordovisium dan Silur,
sekitar 400 dan 500 juta tahum silam (Jafnir, 1984).
Herpetofauna berasal dari kata herpeton yaitu binatang melata.Dahulu,
sebelum ilmu taksonomi berkembang maju, amfibi dan reptil dimasukkan menjadi
satu kelompok hewan karena diangap sama-sama melata.Dengan berkembangnya
ilmu, mereka kini menjadi dua kelompok terpisah. Kedua kelompok ini masuk ke
dalam satu bidang yaitu ilmu herpetologi karena mereka mempunyai cara hidup dan
habitatnya yang hampir serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal
(membutuhkan sumber panas eksternal), serta metode untuk pengamatan dan koleksi
yang serupa. Indonesia memiliki jenis-jenis amfibi dan reptil yang beragam. Posisi
geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia
merupakan salah satu sebab beragamnya jenis ini. Baik amfibi maupun reptil
ditemukan di semua pulau-pulau di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi. Amfibi tidak dijumpai di laut, namun sebaliknya reptil memiliki
penyebaran yang lebih beragam (Mirza, 2010 ).
Amfibi merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin. Istilah ini
kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka,
seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka
aktif.Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas
daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Baik amfibi maupun
reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan
sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara
“berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih
berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan.Sementara hewan berdarah
panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan
metabolism tubuh.Beberapa reptil besar seperti buaya, penyu dan kadal besar bahkan
mencapai tingkat homeothermy, yaitu suhu mereka tidak terlalu berfluktuasi dengan
lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan
yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit
masukan dari lingkungan (Setyanto, 1997).
Hewan poikilotherm memiliki metabolism rendah, oleh karena itu mereka
mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh, beberapa jenis
ular dapat makan hanya satu bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan katak harus
makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka
bisa tidak makan selama beberapa bulan ( Sidik, 1998).
Ketergantungan amfibi terhadap lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya
membuat amfibi umumnya terbatas pada habitat spesifik. Karena amfibi memiliki
kontrol yang kecil terhadap suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka amfibi harus
tetap berada dalam lingkungan dengan batas-batas suhu yang sesuai.Dalam satu
habitat, banyak terdapat mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu
ambien. Amfibi menggunakan posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini,
yaitu dengan cara memaparkan tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis
amfibi juga mampu mengurangi kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan
tehnik penguruangan suhu yang penting.Kebanyakan amfibi mampu mengubah
warna agar mampu menyerap atau merefleksikan jumlah radiasi matahari. Katak
pohon dari marga Hylidae misalnya, seringkali memiliki warna hijau yang berbeda
saat panas (Van Kampen, 1923).
1.2 Tujuan
Pratikum ini dilakukan untuk mengetahui morfologi dan identifikasi kelas
Amphibia.
1.3 Tinjauan Pustaka
Amfibi merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin. Istilah ini
kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka,
seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka
aktif.Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas
daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Amfibi bersifat
ectothermic dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan sumber panas
dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah
dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi
dengan adanya masukan dari lingkungan.Sementara hewan berdarah panas (mamalia,
misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolisme
tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang
sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari
lingkungan (Inger, 1969).
Perbedaan utama antara amfibi dan reptil terletak pada perkembangan embrio.
Reptil seperti juga burung, dan mamalia memiliki telur amniota, yang berarti embrio
dilindungi oleh membran embrio yang disebut sebagai amnion.Amnion berkembang
awal pada embrio, dan berfungsi sebagai lapisan cairan pelindung yang menutup
embrio dalam rongga embrionik.Amniota tumbuh dalam ‘kolam di bagian dalam”
dari amnion dan tidak memerlukan sumber air bagian luar.Telur reptil juga
dilindungi oleh cangkang. Cangkang ini tidak bersifat tertutup karena masih mampu
bertukar hara dengan lingkungan (Harun, 1984).
Dilain sisi, amfibi tidak memiliki amnion dan disebut anamniota.Telur amfibi
“telanjang”, hanya dilindungi oleh lapisan gelatin semi-permeabel dan tergantung
pada air dari sumber luar. Oleh karena itulah tipe telur biphasic didepositkan ke
sumber air, dimana mereka nanti akan berkembang menjadi larva akuatik, dan
akhirnya (umumnya) akan bermetamorphosis into permudaan terrestrial. Telur
amfibi memerlukan oksigen yang diperoleh dari difusi dengan air. Produk buangan
dari dalam telur juga akan berdifusi keluar ke air. Telur amfibi terrestrial umumnya
rawan terhadap kekeringan (desikasi) karena mereka mengambil dan menyerap uap
dari lingkungan yang lembab Katak pohon Phyllomedusine mengembangkan tehnik
yang unik dimana mereka akan menghasilkan telur yang tidak memiliki embrio
namun memiliki air metabolic yang akan disimpan di sekitar telur-telur berembrio
untuk menyediakan air jika diperlukan (Mirza, 2010 ).
Amphibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi, tidak
tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air maupun di darat.Pada fase berudu
amphibi hidup di perairan dan bernafas dengan insang.Pada fase ini berudu bergerak
menggunakan ekor.Pada fase dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-
paru.Pada fase dewasa ini amphibi bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas
yang seiring dengan peralihan kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan
hilangnya insang dan rangka insang lama kelamaan menghilang. Pada anura, tidak
ditemukan leher sebagai mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan
bergerak dengan cara melompat (Duellman and Trueb, 1986).
Amfibi memiliki kulit dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar.
Pada amfibi, kulit merupakan organ yang penting.Kulit katak memiliki sifat
permeabilitas, dimana air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi
sebagai alat pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu
katak harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit
mereka. Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang
dilakukan antara lain: 1) Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang
bisa mongering, 2) Hidup dekat badan air, 3) Berlindung di tumbuhan teduh atau
permukaan batu, 4) Menutupi kulit dengan bahan licin dan 5) Masuk ke dalam tanah.
Kebanyakan dari jenis amfibi akan memakan kulit lamanya, yang merupakan sumber
air dan unsur hara ( Sidik, 1998 ).
Amfibi dewasa bernafas dengan paru-paru. Amfibi muda umumnya bernafas
dengan insang. Pada saat metamorphosis, terjadi perubahan dari segi morfologis
dimana bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah
menjadi vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru. Untuk
mempertahankan diri dari mangsa dan penyakit ataupun memudahkan menangkap
mangsa, amfibi dan reptil mengembangkan berbagai pertahanan diri. Pewarnaan
berfungsi baik sebagai kamuflase maupun peringatan terhadap predator potensial atas
keberadaan racun. Secara morfologi, bentuk dan warna yang menyerupai lingkungan
sekitar menyulitkan predator memangsa mereka. Kulit amfibi memiliki kelenjar
mukus. Sekresi mukus membuat kulit tetap lembab, mencegah masuknya bakteri dan
patogen lainnya ( Mirza, 2010 ).
Amphibi terdiri dari 3 ordo yaitu Urodela, Anura dan Gymnophiona.Urodela
disebut juga caudata.Ordo ini mempunyai ciri bentuk tubuh memanjang, mempunyai
anggota gerak dan ekor serta tidak memiliki tympanum.Tubuh dapat dibedakan
antara kepala, leher dan badan.Beberapa spesies mempunyai insang dan yang lainnya
bernafas dengan paru-paru.Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada
beberapa jenis, mata mengalami reduksi.Fase larva hampir mirip dengan fase
dewasa. Anggota ordo Urodela hidup di darat akan tetapi tidak dapat lepas dari air.
Pola persebarannya meliputi wilayah Amerika Utara, Asia Tengah, Jepang dan
Eropa. Nama Anura mempunyai arti tidak memiliki ekor. Seperti namanya, anggota
ordo ini mempunyai ciri umum tidak mempunyai ekor, kepala bersatu dengan badan,
tidak mempunyai leher dan tungkai berkembang baik. Tungkai belakang lebih besar
daripada tungkai depan. Hal ini mendukung pergerakannya yaitu dengan melompat.
Pada beberapa famili terdapat selaput diantara jari-jarinya.Membrana tympanum
terletak di permukaan kulit dengan ukuran yang cukup besar dan terletak di belakang
mata. Kelopak mata dapat digerakkan.Mata berukuran besar dan berkembang dengan
baik. Fertilisasi secara eksternal dan prosesnya dilakukan di perairan yang tenang
dan dangkal (Duellman and Trueb, 1986).
Gymnophiona mempunyai anggota yang ciri umumnya adalah tidak
mempunyai kaki sehingga disebut Apoda.Tubuh menyerupai cacing (gilig),
bersegmen, tidak bertungkai, dan ekor mereduksi.Hewan ini mempunyai kulit yang
kompak, mata tereduksi, tertutup oleh kulit atau tulang, retina pada beberapa spesies
berfungsi sebagai fotoreseptor.Di bagian anterior terdapat tentakel yang fungsinya
sebagai organ sensory.Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur
hidupnya.Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang.Pada fase
dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau di
lingkungan akuatik. Fertilisasi pada Caecilia terjadi secara internal (Harun, 1984).
Katak mudah dikenali dengan ciri tidak punya ekor, tubuh pendek dan
tampak seperti berjongkok, tidak punya leher yang jelas, punya empat kaki dan dua
kaki belakang lebih panjang dari kaki depan yang digunakan untuk melompat, mata
besar, mulut lebar, kaki depan memiliki empat jari dan kaki belakang lima jari,
selaput kulit tumbuh disela jari terutama dijari kaki belakang (Inger dan Stuebing,
1969). Kulit selalu basah dan berkelenjar, tidak bersisik, tidak bersirip, terdapat dua
buah nares yang menghubungkan dengan cavum oris, mata berkelopak dapat
digerakkan, lembar tympanium sebelah luar, mulut bergeligi dan lidah dapat
dijulurkan, skeleton sebagian besar berupa tulang keras, jantung tiga ruang , bernafas
dengan insang, paru-paru dan kulit, otak dengan 10 pasang nervi cranialis, fertilisasi
eksternal (Jafnir, 1984).
Amphibia menghuni habitat yang bervariasi, dari tergenang dibawah
permukaan air sampai yang hidup dipuncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis
yang hidup di kawasan berhutan, karena membutuhkan kelembaban yang cukup
untuk melindungi tubuh dari kekeringan. Beberapa jenis hidup disekitar sungai dan
lainnya tidak pernah meninggalkan badan perairan (Iskandar, 1998). Katak-katak
Riparia dijumpai pada substrat berbatu, berpasir, kayu dan pinggiran sungai pada
ketinggian 7,5 m dari permukaan air (Inger, 1969).
Anura di dunia terdiri dari 25 famili, 333 genera dan 3843 spesies. Sekitar 10 famili
terdapat di Indonesia dan 5 diantaranya terdapat di Sumatera yaitu Bufonidae,
Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae ( Tim Taksonomi Hewan
Vertebrata, 2010 ). Anura di dunia terdiri dari 25 famili, 333 genera dan 3843
spesies. Anura yang paling sering ditemukan adalah Bufonidae dan Ranidae.
Bufonidae dapat dibedakan dari Ranidae oleh kelenjar paratoid dan tekstur kulit yang
kasar. Status hubungan taksa dari famili Ranidae (Abrana, Aubria, Conrava,
Dicroglossus, Hildebrandtia, Hylarana, Ptychadena, Pyxicephalus dan Tomoptera)
masih mengalami permasalahan dan revisi lengkap terbaru masih sangat diperlukan.
Kepulauan Indo-Australia memiliki 140 spesies, Afrika sebanyak 40 spesies,
Amerika Utara sebanyak 17 spesies, Amerika Tengah sebanyak 13 spesies dan Eropa
sekitar 11 spesies (Obst, Richter and Jacob, 1988).
Iskandar (1998), membedakan Ranidae menjadi dua anak suku yaitu anak
suku Ranidae dan anak suku Dicroglossinae, berdasarkan morfologi jari dan lipatan
dorsolateral. Anak suku Ranidae mencakup katak yang lebih kurang ramping dengan
sepasang lipatan dorsolateral yang jelas, ujung jari tangan dan kaki berakhir dengan
ujung yang melebar dan rata. Suku Bufonidae sangat umum dan tersebar hampir
diseluruh belahan dunia kecuali didaerah Australo-Papua di belahan bumi selatan.
Anggota dari Bufonidae kekar dan kasar penampilannya, dan pada beberapa jenis
tubuh tertutup oleh bintil-bintil, panjangnya bervariasi dari yang terkecil sekitar 25
mm sampai yang terbesar sekitar 25 cm. Di Indonesia, suku ini diwakili oleh 6 marga
diantaranya Bufo, Ansonia, Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne, Pseudobufo.
Dalam hal ini, Famili Ranidae merupakan katak yang persebarannya sangat
luas di Indonesia yang mewakili oleh sepuluh marga dan kurang dari 100 spesies.
Disumatera diwakili oleh lima marga dan kelima marga terdapar dalam Kawasan
ekosistenm Leuser. Habitatnya beragam dari hutan mangrove sampai hutan
pegunungan dari hutan primer, sekunder, belukar, padang rumput sampai sekitar
pemukiman. Sedangkan famili Bufonidae menempati dari pemukiman penduduk,
rawa, hutan sekunder, hutan primer, dari permukaan laut samapi pegunungan.
Ukurannya dari 25-250 mm ( Iskandar, 2003 ).
II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum tentang identifikasi dan morfologi pisces ini dilakukan pada hari Jumat,
tanggal 24 Februari 2012 Jam 08.00-11.00 wib di Laboratorium Taksonomi Hewan,
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Andalas.
2.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang diperlukan dalam praktikum ini adalah bak bedah, rol atau
penggaris dan alat-alat tulis, sedangkan bahan atau objek praktikum kali ini adalah
Phrynoisdis asper, Duttaphrynus melanotictus, Leptobrachium abbotti, Ichthyophis
glutinosus, Rana erythraea, Rana picturata, Rana nicobariensis, Fejerfarya
cancrivora dan Polypedates leucomystax.
2.3 Cara Kerja
Objek diletakkan pada bak bedah dengan posisi kepala disebelah kiri.Objek itu
diamati dan digambar. Kemudian dilakukan pengukuran serta perhitungan terhadap
karakteristiknya, yaitu sebagai berikut : Panjang Badan (PB), Panjang Kaki Depan
(PKD), Panjang Kaki Belakang (PKB), Diameter Mata (DM), Urutan Panjang Jari
Kaki Depan (UPJKD), Lebar Kepala (LK), Panjang Tibia Fibula (PTF), Panjang
Moncong (PM), Jarak Inter Orbital (JIO), Urutan Panjang Jari Kaki Belakang
(UPJKB), Panjang Kepala (PK), Panjang Femur (PF), Diameter Tympanum (DT),
Jarak Inter Nares (JIN). Kemudian diamati arah supraorbital, bentuk kelenjar
paratoid, gigi fomer, tutupan selaput renang, processus odontoid, bentuk ujung jari,
lipatan dorsal lateral dan warna tubuh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.1 Phrynoidis asper
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Bufonidae
Genus : Phrynoidis Gambar 1. Phrynoidis asper
Species : Phrynoidis asper Gravenhorst, 1829 (Iskandar, 1998)
Phrynoidis asper memiliki panjang badan (PB) 65,4 mm, panjang kepala (PK) 11,4
mm, lebar kepala (LK) 23,4 mm, panjang kaki depan (PKD) 22,1 mm, panjang tibia
fibula (PTF) 31,6 mm, panjang femur (PF) 38 mm, panjang kaki belakang (PKB)
40,5 mm, panjang moncong (PM) 7 mm, diameter tympanum (DT) 3,3 mm, diameter
mata (DM) 10,35 mm, jarak inter orbital (JIO) 10,5 mm, jarak inter nares (JIN) 6,5
mm, urutan panjang kaki depan 2>1>3>4, urutan panjang kaki belakang 4>3>5>2>1,
bentuk ujung jari licin, tidak mempunyai alur supraorbital, tidak mempunyai kelenjar
paratoid, mempunyai gigi fomer, mempunyai tutupan selaput renang, tidak
mempunyai processus odontoid, kelenjar paratoid warna hitam.
Iskandar (1998) yang menyatakan kodok ini berwarna coklat tua kehitaman,
keabu-abuan, atau kehitam-hitaman.Kelenjar parotoid berbentuk lonjong. Tangan
dan kaki dapat berputar. Jari kaki berselaput renang sampai ke
ujung.Perkembangbiakkan masih belum diketahui. Namun para pejantan diketahui
memanggil dari tepi sungai terutama pada saat bulan purnama.
Menurut Van Kampen (1923), bahwa habitat Bufo asper umumnya dijumpai
sepanjang sungai yang lebar sampai anak sungai dengan lebar 2 meter. Bahkan
dijumpai di sekitar air terjun, hidup dari hutan skunder sampai hutan primer, hutan
dataran rendah sampai pegunungan. Bangkong sungai menyebar mulai dari
Indochina di utara hingga ke Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Di Jawa tersebar
hingga ke Pasuruan dan Malang di Jawa Timur.
3.1.2 Dutaphrynus melanostictus
Klasifikasi dari Dutaphrynus melanostictus adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Bufonidae
Genus : Phrynoidis
Species : Dutaphrynus melanostictus Gambar 2. Dutaphrynus melanostictus
Schneider, 1799 (Iskandar, 1998)
Dutaphrynus melanostictus memiliki panjang badan (PB) 68 mm, panjang kepala
(PK) 13 mm, lebar kepala (LK) 26 mm, panjang kaki depan (PKD) 35 mm, panjang
tibia fibula (PTF) 22 mm, panjang femur (PF) 26 mm, panjang kaki belakang (PKB)
37 mm, panjang moncong (PM) 9,4 mm, diameter tympanum (DT) 3 mm, diameter
mata (DM) 7 mm, jarak inter orbital (JIO) 5 mm, jarak inter nares (JIN) 4 mm,
urutan panjang kaki depan 3>1>2>4, urutan panjang kaki belakang 3>4>5>2>1,
bentuk ujung jari licin, tidak mempunyai alur supraorbital, bentuk kelenjar paratoid
bulat, tidak mempunyai gigi fomer, warna kelenjar paratoid kuning kecoklatan.
Menurut Iskandar (2003), kodok ini mempunyai garis supra orbital berwarna
hitam, alur-alur supra-orbital dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur
parietal.Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap,
kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.Terdapat bintil-bintil kasar di punggung
dengan ujung kehitaman. Tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang
yang sangat pendek.
Iskandar (1998) menyatakan nama lokal untuk spesies ini adalah kodok puru,
penamaan tersebut berdasarkan adanya benjolan-benjolan hitam yang tersebar di
bagian atas tubuh. Habitat dari kodok ini selalu dekat hunian manusia , tidak terdapat
di hutan hujan tropis atau hutan primer. Persebarannya di kawasan Ekosistem Leuser,
Aceh singkil, Medan, Belawan, Bukit Lawang, Langkat, Jawa, Kalimantan, Gunung
Batak, dan Cina Selatan sampai Semenanjung Malaka dan Pilipina.
Kodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar.
Bangkong jantan panjangnya (dari moncong ke anus) 55-80 mm, betina 65-85 mm.
Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas
moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum
(gendang telinga). Gigir ini biasanya berwarna kehitaman.Sepasang kelenjar parotoid
(kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk.Bagian punggung
bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai
kehitaman.Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-
abuan. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah
tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar.Telapak tangan dan kaki dengan
warna hitam atau kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang
yang sangat pendek. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan
( Anonimous, 2010 ).
3.1.3 Ichthyophis glutinosus
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Gymnophiona
Famili : Ichthyophiidae
Genus : Ichthyophis Gambar 3. Ichthyophis glutinosus
Species : Ichthyophis glutinosus Fitzinger, 1826.
(Duellman and Trueb, 1986)
Dari praktikum Ichtyophis glutinosus tidak dilakukan pengukuran secara langsung
hanya deskripsi morfologi, tubuhnya panjang berbentuk silindris, warna putih,
tubuhnya agak pipih, terdapat lipatan-lipatan di sepanjang tubuh kecuali di kepala,
mulutnya kecil, mapunyai gigi dan tubuh tidak memiliki ekstremitas.
Ichthyophis glutinosus mempunyai bentuk seperti cacing, mempunyai gigi,
mata berbentuk titik hitam, bagian dorsal berwarna ungu, bagian abdomen berwarna
ungu lebih pudar daripada dorsal, antara bagian dorsal dan abdomen dibatasi oleh
garis warna putih, mempunyai ruas-ruas, tipe mulut runcing, mempunyai alat khusus
seperti lateral line. Famili yang ada di indonesia adalah Ichtyopiidae. Anggota famili
ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik, ekornya pendek, mata relatif
berkembang. Reproduksi dengan oviparous. Larva berenang bebas di air dengan tiga
pasang insang yang bercabang yang segera hilang walaupun membutuhkan waktu
yang lama di air sebelum metamorphosis (Duellman and Trueb, 1986).
3.1.4 Leptobrachium abbotti
Klasifikasi dari Leptobrachium abbotti adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Megophrydae
Genus : Leptobrachium
Species : Leptobrachium abbotti Gambar 4. Leptobrachium abbotti
Lohcran, 1926 (Mirza, 2010)
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 43
mm, lebar kepala (LK) mm, panjang kepala (PK) 12,1 mm, panjang kaki depan
(PKD) 14 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 15,8 mm, panjang femur (PF) 17,2 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 21 mm, panjang moncong (PM) mm, diameter
tymphanium (DT) 4,4 mm, diameter mata (DM) 6,6 mm, jarak inter nares (JIN) 2
mm, jarak Interorbital (JIO) 5,7 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD)
3>4>2>1, urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>3>5>2>1, tidak memiliki
garis supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, bentuk ujung jari licin dan warna
coklat tua sampai hitam.
Leptobrachium abbotti merupakan katak serasah yang dapat berkamuflase
diantara daun-daun kering. Kamuflase ini merupakan suatu cara pertahanan diri dari
predator. Hewan ini berasal dari famili Megophrydae dan tersebar luas di Asia
Tenggara, dan disumatera terdapat 3 genus yaitu Leptobrachella di kepulauan
Natuna, Leptobrachium dan Megoprhys yang terdapat dikawasan ekosstem Leuser
(Mirza, 2010).
Leptobrachium memiliki mata yang besar dan cenderung melotot. Hewan ini
merupakan hewan yang jarang melompat jika di dekati. Hal ini karena proporsi
kepala yang terlalu besar yang melebihi badannya. Faktor lain yang membuat katak
ini sulit melompat adalah ukuran kaki yang kecil (Mirza, 2010).
3.1.5 Rana erythraea
Klasifikasi dari Rana erythraea adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Rana Gambar 5. Rana erythraea
Species : Rana erythraea Schlegel, 1837 (Iskandar, 1998)
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 77
mm, lebar kepala (LK) 23 mm, panjang kepala (PK) 28 mm, panjang kaki depan
(PKD) 40 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 7 mm, panjang femur (PF) 27 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 57 mm, panjang moncong (PM) 18 mm, diameter
tymphanium (DT) 6 mm, diameter mata (DM) 5 mm, jarak inter nares (JIN) 9 mm,
jarak Interorbital (JIO) 6 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>1>4>2,
urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>5>3>2>1, tidak memiliki garis
supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, mempunyai tutupan selaput renang,
bentuk ujung jari licin dan warna kuning kehijauan.
Sesuai dengan Iskandar (1998), katak hijau berukuran sedang dengan lipatan
dorsolateral yang besar dan jelas dengan warna kuning gading, kadang-kadang
dibatasi oleh pinggiran warna hitam. Jari kaki dan tangan memiliki piringan pipih
yang jelas. Selaput terdapat hampir di seluruh bagian, kecuali bagian luar dari jari
kaki. Jantan lebih kecil dari betina. Biasanya berwarna hijau zaitun dengan sepasang
daerah dorsolateral kuning dan lebar. Specimen muda mungkin hijau kekuningan.
Garis ini dikelilingi oleh warna hitam pada beberapa specimen.
3.1.6 Rana picturata
Klasifikasi dari Rana picturata adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Rana Gambar 6. Rana picturata
Species : Rana picturata Boulenger (Mistar, 2003)
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 38
mm, lebar kepala (LK) 10 mm, panjang kepala (PK) 13 mm, panjang kaki depan
(PKD) 17 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 15 mm, panjang femur (PF) 15 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 40 mm, panjang moncong (PM) 10 mm, diameter
tymphanium (DT) 2 mm, diameter mata (DM) 4 mm, jarak inter nares (JIN) 8 mm,
jarak Interorbital (JIO) 6 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>4>1>2,
urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>5>3>2>1, tidak memiliki garis
supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, mempunyai tutupan selaput renang,
bentuk ujung jari licin dan warna hitam bercorak orange.
Katak berukuran kecil sampais sedang, kepala segitiga sama dengan badan,
tympanum sangat jelas, lebih dari separuh kaki belakang berselaput. Tekstur kulit
halus, dengan permukaan tubuh bagian atas dan anggota gerak berwarna hitam
dengan bercak-bercak berwarna kuning terang. Ukuran tubuh jantan 33-47 mmdan
betina 49 – 68 mm(mistar, 2003).
3.1.7 Rana nicobariensis
Klasifikasi dari Rana picturata adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Rana Gambar 7. Rana nicobariensis
Species : Rana nicobariensis Stolizka, 1870 (Mistar, 2003)
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 42
mm, lebar kepala (LK) 12 mm, panjang kepala (PK) 17 mm, panjang kaki depan
(PKD) 28 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 20 mm, panjang femur (PF) 17 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 33 mm, panjang moncong (PM) 9 mm, diameter
tymphanium (DT) 1 mm, diameter mata (DM) 3 mm, jarak inter nares (JIN) 5 mm,
jarak Interorbital (JIO) 4 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>4>2>1,
urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>5>3>2>1, tidak memiliki garis
supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, mempunyai tutupan selaput renang,
bentuk ujung jari licin dan warna coklat gelap.
Sesuai dengan Iskandar (1998), katak berukuranb kecil, perawakan ramping,
kaki dan panjang dan ramping, jari kaki setengahnya berselaput. Dorsum dan kaki
biasanya coklat muda sampai tua, dengan beberapa gambar yang lebih gelap,
khususnya de sekeliling bagian selangkang, kadang-kadang terdapat dua garis
paravertebral yang agak kabur sejajar dengan ruas tulang belakang. Sisi-sisinya
biasanya berwarna lebih gelap sampai hitam, memanjang dari antara mata dan
hidung sampai ke kelangkang.
3.1.8 Fejervarya cancrivora
Klasifikasi dari Fejervarya cancrivora adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Fejervarya Gambar 8. Fejervarya cancrivora
Species : Fejervarya cancrivora Gravenhorst, 1829 ( Iskandar, 2003 )
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 43
mm, lebar kepala (LK) 13 mm, panjang kepala (PK) 12 mm, panjang kaki depan
(PKD) 23 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 24 mm, panjang femur (PF) 20 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 60 mm, panjang moncong (PM) 10 mm, diameter
tymphanium (DT) 2 mm, diameter mata (DM) 4 mm, jarak inter nares (JIN) 2 mm,
jarak Interorbital (JIO) 3 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>4>1>2,
urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>3>5>2>1, tidak memiliki garis
supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, mempunyai tutupan selaput renang,
bentuk ujung jari licin dan warna coklat .
Katak ini berukuran besar dengan lipatan-lipatan atau bintil-bintil memanjang
parallel dengan sumbu tubuh, hanya terdapat satu bintil metatarsal bagian dalam,
selaput selalu melampaui bintil subartikuler terakhir jari kaki ketiga dan kelima.
Tekstur kulit kasar tertutup oleh bintil-bintil atau lipatan-lipatan yang memanjang
dan menipis. Warna seperti lumpur yang kotor dengan bercak-bercak tidak simetris
berwarna gelap, beberapa specimen dewasa berwarna hijau juga mempunyai bentuk
bercak yang sama, sering disertai garis dorsolateral yang lebar. Ukuran tubuh
mencapai 120 mm ( Iskandar,2003 ).
Katak ini hidup di sawah-sawah jarang ditemukan di sepanjang sungai, tetapi
dapat di temukan tidak jauh dari sungai, terdapat dalam jumlah banyak di sekitar
rawa bahkan di daerah berair asin seperti tambak atau hutan bakau, hidup dari
permukaan laut sampai 900 mdpl. Katak ini tersebar dibeberapa wilayah seperti
Aceh, Belawan, Padang, Muarolabuah, Kepulauan Riau, Bangka, Jawa dan tersebar
luas dari Indo-Cina sampai Filipina dan Sulawesi ( Iskandar, 2003 ).
3.1.8 Polypedates leucomystax
Klasifikasi dari Polypedates leucomystax adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Rachoporidae
Genus : Polypedates Gambar 9. Polypedates leucomystax
Species : Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829 ( Iskandar, 2003 )
Hasil praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut panjang badan (PB) 65
mm, lebar kepala (LK) 16 mm, panjang kepala (PK) 20 mm, panjang kaki depan
(PKD) 42 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 35 mm, panjang femur (PF) 30 mm,
panjang kaki belakang (PKB) 73 mm, panjang moncong (PM) 10 mm, diameter
tymphanium (DT) 5 mm, diameter mata (DM) 6 mm, jarak inter nares (JIN) 3 mm,
jarak Interorbital (JIO) 9 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>4>2>1,
urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>5>3>2>1, tidak memiliki garis
supraorbital, kelenjar paratiroid tidak ada, mempunyai tutupan selaput renang,
bentuk ujung jari licin dan warna coklat kekuningan.
Sesuai dengan Iskandar (1998), katak pohon berukuran sedang, berwarna
coklat kekuningan, satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan enam garis yang
memenjang dari kepala sampai ujung tubuh. Jari tangan dan jari kaki melebar dengan
ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan setengahnya
berselaput, jari kaki hampir spenuhnya berselaput. Tekstur kulit seluruhnya halus
tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang
jelas.
Kunci Determinasi
1. a. Mempunyai kelenjar paratoid…………………………………………………...2
b. Tidak mempunyai kelenjar paratoid…………………………………………….3
2. a. Kelenjar paratoid berbentuk bulat memanjang……...Duttaphynus melanostictus
b. Kelenjar paratoid berbentuk oval……………………………...Phrynoidis asper
3. a. Tidak mempunyai ekstremitas…………………………….Ichthyopis glutinosus
b. Mempunyai ekstremitas………………………………………………………...4
4. a. Memiliki fejervarya line…………………………………Fejervarya cancrivora
b. Tidak memiliki fejervarya line………………………………………………….5
5. a. Dorso lateral line terputus………………………………………..Rana picturata
b. Dorso lateral line tidak terputus………………………………………………...6
6. a. Memiliki bantalan pada jari…………………………...Polypedates leucomystax
b. Tidak memiliki bantalan pada jari……………………………………………...7
7. a. Tympanum tidak jelas…………………………………...Leptobrachium abbotti
b. Tympanum jelas………………………………………………………………...8
8. a. Dorso lateral line berwarna kuning…………………….................Rana erytraea
b. Dorso lateral line berwarna coklat…………………………..Rana nicobariensis
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari praktikum Identifikasi dan Morfologi Amphibia dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Dutaphrynus melanostictus memiliki supra orbital yang sedikit lebih besar,
parotoid menonjol, kakinya tidak sesuai untuk melompat dan kebanyakan jenis
ini menggunakan sebagian waktunya di darat.
2. Phrynoidis asper tidak memiliki memiliki alur supra orbital, kelenjar parotoid
berbentuk oval, jari kaki berselaput renang yang penuh dan tekstur kulit kasar
diliputi bintil-bintil (tubercle).
3. Leptobrachium abbotti memiliki mata yang besar dan kepala yang besar, tidak
memiliki kelenjar paratoid, tidak berselaput renang. Kadang-kadang
Leptobrachium abbotti dapat berjalan. Leptobrachium abbotti memiliki
kemampuan kamuflase yang sangat tinggi.
4. Ichthyophis glutinosus bentuk tubuh panjang membulat seperti cacing, tidak
berkaki, memiliki segmen seperti cincin, berwarna kuning dan putih pada bagian
samping, memiliki gigi, dan memiliki mata yang kecil.
5. Fejervarya cancrivora merupakan katak sawah yng memiliki phalang keempat
tanpa selaput renang.
4.2 Saran
Dalam melaksanakan praktikum kali ini dilaksanakan kepada praktikan untuk lebih
teliti dan cermat dalam pemilihan objek. Dalam melakukan pengukuran juga harus
lebih teliti agar hasil yang didapatkan lebih akurat. Dan yang paling terpenting dalam
memilih bahan untuk dipraktikum hari itu harus tepat dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book
Company. New York.
Harun, J. 1984. Melestarikan Kodok Rana macrodon Sebagai Salah Satu Sumber
Hayati di Sumatera Barat yang Bernilai Ekonomi Tinggi dan Multi Guna.
UNAND. Padang.
Inger, R. F. 1969. Organizations of Communities of Frogs a Long Small Rain Forest
Streams in Serawak. J. Animal Ecol 38 123-148 Black Well Scientific
Publication Oxford and Edinburg.
Iskandar, D.T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali, Seri Panduan Lapangan. Puslitbang
Biologi-LIPI.
Iskandar, D.T Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser :
Jakarta
Jafnir. 1984. Kemungkinan Pembudidayaan Kodok Rana macrodon di Payakumbuh.
UNAND. Padang.
Mirza,dkk.2010.Amphibi.http://alasyjaaripb.files.wordpress.com/2008/11/
pengenalan-herpetofauna_2008.doc. 25 Maret 2010
Setyanto, D.Y. 1997. Keanekaragaman dan Perkerabatan Amphibia Riparia Serta
Beberapa Aspek Ekologinya di Sumatera Barat. Tesis Magister Program
Studi Biologi Pasca Sarjana ITB. Bandung.
Sidik. 1998. Seri Keanekaragaman Flora dan Fauna I, Reptil dan Amphibia di Pulau
Supid. Catatan Singkat Keanekaragaman Jenis dan Habitatnya.
Van Kampen, P.N. 1923. The Amphibia of Indo-Australian Archipelao. Leiden
LAMPIRAN
Tabel hasil Pengukuran Amphibian :
Karakter
1 2 3 4 5 6 7 8
Phrynoidis asper
Duttaprhynus
melanostictus
Leptobrachium abbotti
Rana nicobarie
nsis
Rana erythraea
Rana picturat
a
Fejerfarya
cancrivora
Polypedates
leucomystax
BeratPB 65,4 68 43 43 77 38 43 65LK 23,4 26 18,4 12 23 10 13 10PK 11,4 13 12,1 17 28 13 12 20
PKD 22,1 35 19,2 28 40 17 23 42PTF 31,6 22 15,8 20 37 15 24 35PF 38 26 17,2 17 27 15 20 30
PKB 40,5 37 21 33 57 40 60 77PM 7 9,4 9,8 9 18 10 10 10DT 33 3 4,4 4 6 2 2 5DM 10,35 7 6,6 3 8 4 4 6JIO 10,5 5 5,7 4 6 6 3 9JIN 6,5 4 2 5 9 3 2 3
UPJKD 2>1>3>4 3>1>2>4 3>4>2>13>4>2>1 3>1>4>2 3>1>4>
23>1>4>
23>4>2>1
UPJKB4>3>5>2
>14>3>5>2
>14>3>5>2
>14>5>3>2
>14>5>3>2
>14>5>3>
2>14>5>3>
2>14>5>3>2
>1Alur
Supraorbital- - -
- - - - -
Bentuk kelenjar Paratoid
Tidak ada
Ada / Bulat
Tidak ada
- - Oval - -
Gigi fomer / Vomerin
- Ada - - -
Tutupan selaput renang
AdaTidak ada
Ada Ada Ada Ada/penuh
Ada
Processus Odontoid
- -- - - - -
Bentuk Ujung Jari
Ada / bentuk Goda
Ujung jari licin
Licin Licin Licin Licin Licin
Lipatan dorsal-lateral
Ada Ada Ada Ada Ada
WarnaCoklat pekat-hitam
Kuning kecoklata
nHitam
Coklat gelap
Kuning kehijauan
Hitam bercorak
oren
Coklat Coklat kekuning
anB ; Berat, PB ; Panjang Badan, PK ; Panjang kepala, PKD ; Panjang kaki depan, PTF ; Panjang Tibio-Fibula, PF ; Panjang Femur, PKB ; Panjang kaki belakang, PM ; Panjang moncong, DT ; Diameter Typanum, DM ; Diameter mata, JIO ; Jarak inter orbital, JIN ; Jarak inter nares, UPJKD ; Urutan panjang kaki depan, UPJKB ; Urutan panjang kaki belakang.