Lap Akhir Kopi(2)

96
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi arabika berasal dari pegunungan Ethiopia (Afrika). Di daerah asalnya kopi arabika tumbuh baik secara alami di hutan-hutan pada dataran tinggi sekitar 1500-2000an meter dari permukaan laut. Mulai tahun 1450 kopi dijadikan sebagai minuman sampai sekarang. Pada tahun 1696 seseorang berkebangsaan Belanda membawa tumbuhan kopi masuk ke Jawa (Aak, 1988). Selama beberapa abad ini kopi menjadi bahan perdagangan karena kopi dapat diolah menjadi minuman yang lezat rasanya. Dengan kata lain kopi adalah sebagai penyegar badan dan pikiran. Badan yang lemah dan rasa kantuk dapat hilang setelah minum kopi panas. Lebih-lebih orang yang sudah menjadi pecandu kopi, bila tidak minum kopi rasanya akan capai dan tidak dapat berpikir. Kandungan kopi yang dimaksud untuk penyegar badan tersebut adalah kafein. Kafein mempunyai efek farmakogis terhadap CNS dan sistem kardiovaskular. Aktivitas terhadap CNS meliputi stimulasi kortikal, meningkatkan kewaspadaan, dan menurunkan rasa lelah. Pada dosis yang sangat tinggi dapat menginduksi sistem saraf, insomnia, dan tremor. Menstimulasi pusat respirasi pada batang otak dengan meningkatkan sensistivitas terhadap karbondioksida. Aktivitas terhadap sistem kardiovaskular meliputi aksi positif inotropik dan menyebabkan takikardia, meningkatkan 1

Transcript of Lap Akhir Kopi(2)

Page 1: Lap Akhir Kopi(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi arabika berasal dari pegunungan Ethiopia (Afrika). Di daerah asalnya kopi

arabika tumbuh baik secara alami di hutan-hutan pada dataran tinggi sekitar 1500-2000an

meter dari permukaan laut. Mulai tahun 1450 kopi dijadikan sebagai minuman sampai

sekarang. Pada tahun 1696 seseorang berkebangsaan Belanda membawa tumbuhan kopi

masuk ke Jawa (Aak, 1988).

Selama beberapa abad ini kopi menjadi bahan perdagangan karena kopi dapat diolah

menjadi minuman yang lezat rasanya. Dengan kata lain kopi adalah sebagai penyegar

badan dan pikiran. Badan yang lemah dan rasa kantuk dapat hilang setelah minum kopi

panas. Lebih-lebih orang yang sudah menjadi pecandu kopi, bila tidak minum kopi

rasanya akan capai dan tidak dapat berpikir.

Kandungan kopi yang dimaksud untuk penyegar badan tersebut adalah kafein.

Kafein mempunyai efek farmakogis terhadap CNS dan sistem kardiovaskular. Aktivitas

terhadap CNS meliputi stimulasi kortikal, meningkatkan kewaspadaan, dan menurunkan

rasa lelah. Pada dosis yang sangat tinggi dapat menginduksi sistem saraf, insomnia, dan

tremor. Menstimulasi pusat respirasi pada batang otak dengan meningkatkan sensistivitas

terhadap karbondioksida. Aktivitas terhadap sistem kardiovaskular meliputi aksi positif

inotropik dan menyebabkan takikardia, meningkatkan kardiak output, mengakibatkan

vasodilatasi ringan dan memiliki efek diuretik sedang (Bruneton, 1999).

Secara non farmakologis kafein dimanfaatkan sebagai bahan dalam minuman non

alkoholik dan digunakan juga dalam minuman berenergi. Efek samping kafein yang

diberikan secara per oral yang muncul pada dosis tinggi yaitu sinus takikardia, nyeri

epigastrik, mual muntah, sakit kepala, gelisah, insomnia dan tremor (Bruneton, 1999).

Efek farmakologis dan non farmakologis tersebut yang membuat kafein perlu di

identifikasi dan dipisahkan dari biji kopi karena pada biji mengandung kafein paling

banyak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara mengisolasi kafein dari tanaman kopi (Coffea arabica L.)

2. Bagaimana cara mengidentifikasi isolat yang diperoleh dari hasil teknik isolasi yang

dilakukan.

1

Page 2: Lap Akhir Kopi(2)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui metode untuk mengisolasi kafein dari tanaman kopi (Coffea

arabica L.).

2. Untuk mengetahui metode untuk mengidentifikasi isolat yang diperoleh dari hasil

teknik isolasi yang dilakukan.

1.4 Manfaat

Memberikan informasi kepada kalangan akademis mengenai cara isolasi dan

identifikasi senyawa aktif kafein yang diisolasi dari tanaman kopi (Coffea arabica L.).

2

Page 3: Lap Akhir Kopi(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Kopi

Gambar 1. Tanaman Kopi (Coffea arabica L.)

Tanaman kopi berbentuk perdu, dengan tinggi 2-3m. Batangnya tegak, bulat,

bercabang, percabangan monopodial, permukaan kasar, kuning kotor. Daun tunggal,

berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung meruncing, lonjong, pangkal tumpul, panjang 8-15 cm,

lebar 4-7 cm, bertangkai pendek, hijau, pertulangan menyirip, hijau. Bunganya majemuk,

bentuk payung, di ketiak daun, kelopak lonjong, lima helai, panjang mm, hijau, tangkai

benang sari berlekatan membentuk tabung, panjang , putih, tangkai putik menjulang

keluar tabung, putih, mahkota berbentuk bintang, lima helai, panjang 7-9 mm, putih. Buah

berbentuk batu, bulat telur, diameter 0,5-1 cm, masih muda hijau setelah tua merah. Biji

memiliki bentuk ½ bola, salah satu permukaan beralur, panjang 0,5-1 cm, putih kehijauan.

Akarnya tunggang, kuning muda (Hutapea, 1993).

2.1.1. Klasifikasi Tanaman Kopi

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Rubiales

3

Page 4: Lap Akhir Kopi(2)

Suku : Rubiaceae

Marga : Coffea

Jenis : Coffea arabica L.

(Hutapea, 1993).

2.1.2 Khasiat Tanaman Kopi

Daun dan biji Coffea arabica berkhasiat untuk penyegar badan. Untuk

penyegar badan dipakai daun muda Coffea arabica, dicuci dan dimakan

sebagai lalapan atau urapan.

2.1.3 Kandungan Kimia

Daun, buah dan akar Coffea arabica mengandung saponin, flavonoida, dan

polifenol, disamping itu buahnya juga mengandung alkaloida. Kopi mengandung

banyak komponen kimia yang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu

komponen alifatik, komponen alisiklik, komponen aromatik, komponen heterosiklik,

protein, asam amino, dan asam nukleat, karbohidrat, lemak, alkaloid, vitamin, dan

komponen anorganik (Spiller, 1998).

Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi adalah kafein.

Kafein merupakan xantin yang paling kuat, menghasilkan stimulasi korteks dan

medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar, kafein juga

memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang

melelahkan tubuh. Sedangkan teobromin merupakan stimulan sistem saraf pusat

yang paling lemah dan bahkan mungkin tidak aktif pada manusia. Orang yang

mengkonsumsi kafein merasakan kekurangan rasa mengantuk, lelah dan daya

pikirannya lebih cepat dan lebih jernih.

Kafein berguna untuk menghilangkan rasa letih dan lesu, menyegarkan

menghilangkan rasa kantuk dan meningkatkan semangat maupun kewaspadaan.

Kafein termasuk kelompok perangsang otak (stimulansia) juga bekerja terhadap

jantung yaitu memperkuat dan mempercepat pukulan jantung, memperbaiki

peredaran darah. Biasanya yang mengandung kafein antara lain kopi, teh, kakao, dan

cola. Efek dominan pada pusat psikis menyebabkan kenaikan alur penalaran, kurang

mengantuk dan kelelahan mental, memberi rasa nyaman, dan perasaan enak.

4

Page 5: Lap Akhir Kopi(2)

Kafein telah digunakan dalam pengobatan sepanjang sejarah, pada sekitar

tahun 1950, orang-orang Eropa menggunakan minuman yang mengandung kafein

untuk mengobati sakit kepala, batuk, rasa pusing bahkan mencegah plag dan

penyakitpenyakit lain. Beberapa ahli antropologi percaya bahwa kafein digunakan

sejak zaman batu. Kafein memberikan aksi stimulant sistem saraf pusat,

menstimulasi jantung dan pelebaran bronkus.

Konsumsi minuman yang mengandung kafein sebaiknya tidak lebih dari 100

mg kafein sehari, sebab konsumsi kafein 100 mg dalam sehari dapat membuat

ketagihan apabila dikonsumsi setiap hari. Ketagihan kafein menyebabkan sakit

kepala, penat pening, perasaan mudah terganggu, mual muntah, dan ketegangan otot

apabila tidak mengkonsumsi minuman mengandung kafein.

Kafein relatif tidak toksik, perkiraan dosis kafein pada manusia adalah sekitar

10 g. Meskipun kelebihan dosis mematikan jarang terjadi, gejala yang tidak

menyenangkan dapat terjadi dengan dosis besar (250 mg atau lebih besar). Efek

pusat menyerupai keadaan cemas dan meliputi gejala sukar tidur, mudah

tersinggung, gemetaran, gugup kemampuan tereksitasi yang berlebih, hipertermia,

dan sakit kepala. Gangguan toksik pada indera berupa kepekaan yang tinggi, telinga

berdengung, silau mata, ketidakteraturan jantung, aritmia, dan hipotensi yang nyata

akibat vasodilitasi langsung.

Secara farmakokinetik kafein didistribusikan keseluruhan tubuh, melewati

plasenta dan masuk ke air susu ibu, volume distribusi kafein adalah antar 400 dan

600 ml/kg. Eliminasi kafein terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian

besar disekresi bersama urin dalam bentuk asam metil urat atau metil xantin. Kurang

dari 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh plasma

antara 3-7 jam nilai ini akan menjadi dua kali lipat pada wanita hamil tua atau

wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Intoksikasi pada manusia,

kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Kafein merupakan salah satu

senyawa golongan xantin, selain tobromin dan teofilin. Gambar struktur turunan

metil xantin tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

5

Page 6: Lap Akhir Kopi(2)

Gambar 2. Struktur Turunan Metil Xantin (Mutschler, 1986).

Keterangan:

R1, R2, R3 = CH3 = Kafein

R1, R3 = CH3, R2 = Teofilin

R1 = H, R2, R3 = CH3 = Teobromin

Turunan xantin yang ada dalam tanaman yaitu kafein, teofilin dan teobromin,

kafein memiliki kerja psikotonik yang paling kuat. Agak kurang kerjanya adalah

teofilin sedangkan pada teobromin tidak mempunyai efek stimulasi pusat. Struktur

xantin serupa dengan nukleotida purin, banyak penelitian yang diarahkan pada

penentuan efek mutagenik Kafein. Kafein dapat bersifat mutagenic pada

mikroorganisme, kapang, tanaman, serangga buah, mencit dan pada sel-sel manusia.

Secara in vitro dapat memperkuat efek mutagenik bahan kimia. Namun berdasarkan

informasi terbaru, pemakaian kafein tidak mendatangkan bahaya mutagenik yang

berarti bagi manusia. Meskipun telah menunjukkan bahwa kafein bersifat

teratogenik pada manusia, tidak ada laporan yang menghubungkan kafein dengan

pengaruh teratogenik pada manusia.

Kafein diduga merupakan bagian dari sistem pertahanan benih kopi terhadap

serangga, karena kafein telah diakui sebagai suatu antijamur, sebuah selektif

fitotoksin, dan agen sterilisasi kimia terhadap serangga. Kadar kafein dalam biji kopi

(Coffea sp.) ialah 0.2 – 2.2 persen. Untuk bermacam-macam kopi kadar kafeinnya

berbeda-beda. Misalnya kadar kafein pada kopi robusta 1.5 – 2.5 persen, kopi

arabika 1.0 - .1.2 persen, kopi leberia 1.4 – 1.6 persen dan kopi mokka 1.4 – 1.6

persen.

Nama Lain : 1,3,7 trimetil xanthin

RM : C8H10N4O2

Bobot Molekulnya : 194,19 gram/mol

Pemerian : Serbuk putih atau berbentuk jarum mengkilat putih;

biasanya menggunpal; tidak berbau; rasa pahit; bentuk

hidratnya mekar di udara (Anonim b, 1995) .

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, dalam etanol; mudah larut

dalam kloroform; sukar larut dalam eter (Anonim b,

1995)

6

Page 7: Lap Akhir Kopi(2)

Konstanta dissosiasi : pKa14.0 (25°), 10.4 (40°).

Titik Lebur : 238° C

Identifikasi :

KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

Sistem TA—Rf 52; sistem TB—Rf 03; sistem TC—Rf 58;

sistem TD—Rf 15; sistem TE—Rf 52; sistem TF—Rf 10; sistem TL

—Rf 25; sistem TAD—Rf 55; sistem TAE—Rf 59; sistem TAF—Rf

55; sistem TAJ—Rf 54; sistem TAK—Rf 18; sistem TAL—Rf 81

Tabel 1. Daftar Sistem Pelarut

Sistem Fase Gerak Perbandingan

TA Methanol : larutan amonia pekat 100 : 1,5

TB Sikloheksana : toluen : dietilamin 75 : 15 : 10

TC Kloroform : methanol 90 : 10

TD Kloroform : aseton 80 : 20

TE Etil asetat : methanol : larutan amonia kuat 85 : 10 : 5

TF Etil asetat

TL Aseton

TAD Kloroform : methanol 90 : 10

TAE Methanol

TAF Methanol : n-butanol 60 : 40 (ditambahkan 0,1 mol/L NaBr)

TAJ Kloroform : etanol 90 : 10

TAK Kloroform : sikloheksana : asam asetat 4 : 4 : 2

TAL Kloroform : methanol : asam propionat 72 : 18 : 10

(Moffat, 2005)

Spektrum Serapan UV

Larutan asam—273 nm (A11=504a) (Moffat, 2005)

2.1.4 Simplisia Biji Kopi

Pemerian : Bau aromatik, khas, dan rasa pahit.

Makroskopik : Biji berbentuk hampir setengah bulat atau jorong, bagian

punggung cembung, bagian perut datar, pada bagian perut

terdapat sebuah alur yang dalam dan membujur, di dalam alur

7

Page 8: Lap Akhir Kopi(2)

terdapat sisa kulit biji, berwarna coklat tua sampai coklat tua

kehitaman.

Mikroskopik : Pada penampang melintang tampak spermoderm terdiri dari

satu lapis sel batu, dinding tebal, lumen lebar, bernoktah,

bentuk dan ukuran bermacam-macam, tunggal atau

berkelompok. Perisperm terdiri dari sel parenkim berbentuk

hampir segi empat, dinding tebal, lumen lebar. Pada sel yang

lebih besar dinding berpenebalan tak rata, berisi tetes minyak

dan aleuron, kadang-kadang butir-butir pati.

Serbuk berwarna coklat kehitaman. Fragmen pengenal

adalah sel batu lumen lebar bernoktah parenkim dinding tipis,

lapisan pigmen parenkim tetes minyak.

(Anonim, 1989)

Gambar 3. Penampang melintang biji Coffea arabica L.

Keterangan gambar:

1 = lapisan sel batu

2 = parenkim dinding tipis

3 = lapisan sel pigmen

4 = perisperm dengan tetes minyak

(Anonim, 1989)

8

Page 9: Lap Akhir Kopi(2)

Gambar 4. Penampang melintang serbuk biji Coffea arabica L

Keterangan :

1 = sel batu

2 = perisperm dengan tetes minyak

(Anonim, 1989)

Identifikasi Serbuk Biji Kopi

Menurut Materia Medika Indonesia, identifikasi untuk biji kopi adalah sebagai berikut:

a. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat P; terjadi warna coklat tua.

b. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat 10 N; terjadi warna coklat tua.

c. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan natrium hidroksida P 5% b/v dalam

etanol terjadi warna coklat.

d. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes ammonia (25%) P; terjadi warna coklat tua.

e. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan besi(III)klorida P 5%; terjadi warna

biru kehitaman.

f. Timbang 300 mg serbuk biji campur dengan 5 mL metanol P dan panaskan di atas

tangas air selama menit, dinginkan dan saring. Cuci endapan dengan metanol P

secukupnya sehingga diperoleh 5 mL filtrate. Pada titik pertama, kedua dan ketiga

lempeng KLT tutulkan masing-masing sebanyak 40µl filtrate. Pada titik keempat

tutulkan 5 µl zat warna I LP. Elusi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm.

Keringkan lempeng tersebut di udara selama 10 menit, elusi lagi dengan toluene P

dengan arah elusi dan jarak rambat yang sama, Amati dnegan sinar biasa dan dengan

sinar ultraviolet 366 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam

sulfat LP, panaskan pada suhu 1100 C selama 10 menit. Amati lagi dengan sinar biasa

dan sinar ultraviolet 366 nm. Dengan perlakuan yang sama seperti cara kerja diatas

dilakuakn penyemprotan dnegan pereaksi AlCl3 LP. Pasa Kromatogram tampak

bercak-bercak dengan warna dan hRf sebagai berikut :

9

Page 10: Lap Akhir Kopi(2)

Tabel 2. Kromatografi tampak bercak – bercak dengan warna dan hRx

No. hRx Dengan sinar biasa Dengan sinar UV 366 nm

Tanpa pereaksi

Dengan pereaksi Tanpa pereaksi

Dengan pereaksi

I II I II

1 2-12 - Violet - Biru Ungu Violet

2 25-29 - Violet - violet Violet Hijau

3 43-48 - Violet - - Merah Biru

4 89-93 - Violet - - Merah Biru

5 93-101 - Violet - - Ungu -

6 125-131 - Violet - - ungu -

Catatan : harga Rx dihitung terhadap bercak warna merah yang teramati dengan

sinar biasa atau warna ungu dengan sinar UV 366 nm. hRf bercak warna

merah = 65

Tanda I = Pereaksi anisaldehida-asam sulfat LP

II = pereaksi AlCl3 LP

(Anonim, 1979)

2.2 Penyiapan Bahan

2.2.1 Pengumpulan Bahan Baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia dapat bervariasi tidak hanya

bergantung dari organ tanaman yang digunakan untuk simplisia, tetapi juga

bergantung dari umur tanaman serta waktu pengumpulan dalam setahun dan bahkan

waktu pengumpulan dalam sehari. Pemilihan organ tanaman yang dikumpulkan dan

penentuan waktu waktu tertentu untuk panen bertujuan untuk memperoleh kadar

senyawa bioaktif semaksimal mungkin dalam simplisia yang bersangkutan (Tim

Penyusun, 2008).

2.2.1.1 Waktu Pengumpulan

Waktu panen suatu organ tanaman dari satu jenis tanaman obat sangat

berhubungan erat dengan pembentukan senyawa bioaktif dalam organ tanaman

tersebut. Waktu yang tepat untuk panen adalah pada saat senyawa bioaktif

10

Page 11: Lap Akhir Kopi(2)

berada dalan jumlah maksimal pada organ tanaman yang dikumpulkan (Tim

Penyusun, 2008).

2.2.1.2 Teknik Pengumpulan

Panen dapat dilakukan dengan tangan, tanpa atau dengan menggunakan

mesin. Apabila pengumpulan dilakukan secara manual langsung misalnya

dengan pemetikan langsung sehingga keterampilan pemetik dalam menentukan

dan memetik organ yang sesuai dari tanaman sangat penting diperhatikan. Dalam

hal ini pengalaman memegang peranan penting. Keterampilan diperlukan untuk

memperoleh simplisia yang benar dan tepat seperti kalau diperlukan daun muda,

tidak terpetik daun tua dan ranting serta tidak merusak tanaman induk terutama

untuk tanaman yang dipanen organya beberapa kali. Alat yang digunakan untuk

memetik misalnya pisau juga dipilih yang sesuai dan tepat. Alat dari logam tidak

digunakan jika merusak secara kimiawi senyawa aktif dalam simplisia misalnya

untuk simplisia yang mengandung golongan fenol, glikosida (Tim Penyusun,

2008). Cara pemanenan mekanik dengan menggunakan mesin diperlukan apabila

dari segi pertimbangan ekonomi keadaaan simplisia yang dikumpulkan dapat

dilaksanakan. Penggunaan mesin-mesin biasanya digunakan untuk memanen

simplisia dari tanaman sekali panen (Tim Penyusun, 2008).

2.2.2 Sortasi Basah

Sortasi basah bertujuan untuk membersihkan benda-benda asing yang

berasal dari luar (Tim Penyusun, 2008).

2.2.3 Pencucian

Pencucian terutama dilakukan terhadap simplisia organ tanaman bawah

tanah untuk mencuci sisa-sisa tanah yang melekat. Untuk simplisia jumlah besar

umumnya digunakan teknik dengan mengaliri air pada simplisia yang ditempatkan

di atas alat seperti jaring-jaring. Air yang digunakan dapat dari berbagai sumber

namun tetap harus memperhatikan kemungkinan adanya pencemaran (Tim

Penyusun, 2008).

2.2.4 Pengubahan Bentuk

Pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas permukaan (Tim

Penyusun, 2008).

2.2.5 Pengeringan

Tujuan pengeringan organ tanaman atau tanaman yang dipanen adalah

untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan atau

disimpam dalam jangka waktu relatif lama dengan cara mengurangi kandungan air

11

Page 12: Lap Akhir Kopi(2)

dan menghentikan reaksi enzimatik yang mungkin dapat menguraikan senyawa

bioaktif dan menurunkan mutu atau merusak simplisia itu. Air dalam sel dan

jaringan tumbuhan yang ada setelah sel atau jaringan itu mati akan merupakan

media pertumbuhan jamur. Demikian pula enzim-enzim tertentu dalam sel akan

menguraikan senyawa bioaktif tertentu, sesaat setelah sel mati dan selama sel atau

organ tersebut masih mengandung jumlah air tertentu yang memungkinkan reaksi

enzimatik berlangsung (Tim Penyusun, 2008). Pengeringan dapat dibedakan

menjadi dua yaitu :

2.2.5.1 Pengeringan Alamiah

Bergantung dari zat aktif yang dikandung dalam organ tanaman yang

dikeringkan, dapat dilakukan dengan pengeringan yang tidak dikenai sinar

matahari langsung. Pada saat pengeringan simplisia yang berupa daun dapat

digunakan kain hitam karena kain hitam dapat menyerap panas bukan

sinarnya sehingga uv terhalang, selain itu karena uv dapat merusak zat aktif

yang terkandung dalam tanaman (Tim Penyusun, 2008).

2.2.5.2 Pengeringan Buatan

Pengeringan ini menggunakan alat yang bisa diatur suhu, kelembaban,

tekanan dan sirkulasi udaranya misalnya dengan oven. Adapun hal-hal yang

mempengaruhi pengeringan yaitu waktu pengeringan, suhu, kelembaban

udara dan kelemban bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi

udara dan luas permukaan bahan (Tim Penyusun, 2008).

Cara pengeringan alamiah maupun pengeringan buatan, derajat

kekeringan simplisia yang dapat dicapai setelah proses pengeringan

tergantung pada jenis organ yang dikeringkan dan usaha untuk mencapai

tingkat kekeringan setinggi mungkin tanpa merusak senyawa aktif, sehingga

kadar air yang tersisa relatif rendah untuk tidak memungkinkan pertumbuhan

jamur dan berlangsungnya reaksi enzimatik (Tim Penyusun, 2008).

2.2.6 Sortasi Kering

Sortasi ini dilakukan setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap

akhir penyiapan simplisia. Tujuan sortasi disini adalah memisahkan benda-benda

asing seperti bagian-bagian tanaman yang masih ada dan tertinggal pada simplisia

kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus kemudian disimpan

(Tim Penyusun, 2008).

12

Page 13: Lap Akhir Kopi(2)

2.2.7 Penyimpanan

Tujuan penyimpanan yang baik dari suatu simplisia adalah untuk

mencegah menurunnya mutu simplisia dalam masa penyimpanan. Wadah yang

bersih, kedap udara diperlukan untuk simplisia. Kekedapan terhadap udara luar

diperlukan untuk mencegah masuknya kelembaban udara yang tinggi dari luar ke

dalam wadah. Udara tropik dengan kelembaban tinggi memudahkan pertumbuhan

jamur. Wadah dari logam tidak dianjurkan karena dalam beberapa hal berpengaruh

terhadap kadar senyawa aktif. Wadah dari plastik tebal kualitas baik atau dari gelas

berwarna gelap relatif. baik. Pengaruh-pengaruh luar yang perlu dicegah antara

lain masuknya serangga, sinar matahari langsung, dan kotoran udara lain.

Sedangkan, ruang penyimpanan simplisia yang telah diwadahi juga perlu

diperhatikan. Suhu rendah, kelembaban relatif rendah, tekanan udara dalam ruang

relatif tinggi dari tekanan udara luar atau sistem sirkulasi udara yang baik, adalah

kondisi ruang yang dianjurkan. Disamping itu perlu juga diatur letak dan susunan

wadah di dalam ruang sehingga memudahkan orang mencari simplisia yang

diperlukan (Tim Penyusun, 2008).

2.3 Skrining Fitokimia

2.3.1 Cara Identifikasi Alkaloid

2.3.1.1 Reaksi Pengendapan

Larutan percobaan untuk pengendapan alkaloid dibagi dalam 4 golongan sebagai

berikut:

a. Golongan I: Larutan percobaan dengan alkaloid membentuk garam yang tidak

larut: Asam silikowolframat LP, Asam fosfomolibdat LP, dan asam

fosfowolframat LP.

b. Golongan II: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk senyawa

kompleks bebas, kemudian membentuk endapan: Bourchardat LP dan Wagner

LP.

c. Golongan III: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk senyawa

adisi yang tidak larut: Mayer LP, Dragendroff LP, dan Marme LP.

d. Golongan IV: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk ikatan

asam organik dengan alkohol: Harger LP.

(Anonim, 1979).

13

Page 14: Lap Akhir Kopi(2)

Cara percobaan:

1. Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml

air, panaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring.

2. Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat LP. Jika

pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung

alkaloid.

3. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau

kuning yang larut dalam methanol P dan dengan Bouchardat LP terbentuk

endapan berwarna coklat sampai hitam, maka kemungkinan terdapat alkaloid.

4. Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia pekat

P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume kloroform P.

5. Ambil fase organik, tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring.

6. Uapkan filtrat diatas penangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N.

7. Lakukan percobaan dengan keempat golongan larutan percobaan, serbuk

mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan

menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan.

(Anonim, 1979)

2.3.1.2 Reaksi Warna

Cara percobaan:

1. Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada cara reaksi

pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrat pada cawan porselin, uapkan.

2. Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes larutan percobaan seperti yang tertera pada

masing-masing monografi. Larutan percobaan, asam sulfat P, asam nitrat P,

Frohde LP, dan Erdman LP.

(Anonim, 1979)

2.3.2 Cara Identifikasi Glikosida

2.3.2.1 Larutan Percobaan

Sari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol (95%)

P dan 3 bagian volume air dalam alat pendingin alir balik selama 10 menit,

dinginkan, saring. Pada 20 ml filtrat tambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal (II)

asetat 0,4 M, kocok, diamkan selama 5 menit, saring. Sari filtrat 3 kali, tiap kali

dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform P dan 2 bagian volume

isopropanol P. Pada kumpulan sari tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring,

dan uapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Larutkan sisa dengan 2 ml methanol

P (Anonim, 1979).

14

Page 15: Lap Akhir Kopi(2)

2.3.2.2. Percobaan umum terhadap glikosida

Cara percobaan.

a. Uapkan 0,1 ml larutan percobaan di atas penangas air, larutkan sisa dalam 5 ml

asam asetat anhidrat P. Tambahkan 10 tetes asam sulfat P; terjadi warna biru

atau hijau, menunjukkan adanya glikosida (reaksi Liebermann Burchard).

b. Masukkan 0,1 ml larutan percobaan dalam tabung reaksi, uapkan di atas

penangas air. Pada sisa tambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish LP. Tambahkan

hati-hati 2 ml asam sulfat P; terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan,

menunjukkan adanya ikatan gula (reaksi Molish).

(Anonim, 1979)

2.3.2.3 Kromatografi Lapis Tipis

Sari 300 mg serbuk simpllisia dengan 5 ml methanol P, saring, pada 2 titik

masing-masing 20 ml fitrat pada lempeng KLT setebal 0,25 mm. Elusi dengan

campuran benzen P- etanol (95%) P (70+30) dengan jarak rambat 15 cm.

Semprot kromatogram pertama dengan anisaldehida-asam sulfat LP, panaskan

pada suhu 110oC selama 10 menit, amati dengan sinar biasa dan sinar

ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak bercak berwarna biru. Semprot

kromatogram kedua dengan asam perklorat P, panaskan pada suhu 110oC

selama 10 menit, amati dengan sinar biasa dan sinar ultraviolet 366 nm, bercak

tidak berflourosensi (Anonim, 1979).

2.3.2.4 Percobaan terhadap glikosida antrakinon

Cara percobaan.

Campur 200 mg serbuk simplisia dengan 5 ml asam sulfat 2 N, panaskan

sebentar, dinginkan. Tambahkan 10 ml benzen P, kocok, diamkan. Pisahkan

lapisan benzen, saring; filtrat berwarna kuning, menunjukkan adanya

antrakinon. Kocok lapisan benzen dengan 1 ml sampai 2 ml natrium hidroksida

2 N, diamkan; lapisan air berwarna merah intensif dan lapisan benzen tidak

berwarna (Anonim, 1979).

2.3.3 Cara Identifikasi Saponin

2.3.3.1 Pembuihan

Cara percobaan.

Masukkan 0,5 g serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi, tambahkan 10

ml air panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 detik. (Jika

zat yang diperiksa berupa sediaan cair, encerkan 1 ml sediaan yang diperiksa

15

Page 16: Lap Akhir Kopi(2)

dengan 10 ml air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit); terbentuk buih yang

mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada

penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang (Anonim, 1979).

2.3.3.2 Haemolisa

Larutan dapar fosfat PH 7,4. Larutkan 16,0 g natrium fosfat P yang telah

dikeringkan pada suhu 130oC hingga bobot tetap dan 4,4 g natrium dihidrogen

fosfat P dalam 1.000 ml air. Untuk menambahkan stabilitas tambahkan 0,1 g

natrium fluoride P (Anonim, 1979).

Suspensi darah. Masukkan 10 ml larutan natrium sitrat P 3,65 % b/v ke dalam

labu takar bersumbat kaca 100 ml. Tambahkan darah sapi segar secukupnya

hingga 100 ml, campur baik-baik hingga homogen. (larutan stabil selama 7

hari jika disimpan dalam lemari pendingin). Pipet 2 ml larutan diatas ke dalam

labu takar bersumbat kaca 100 ml, tambahkan larutan dapar fosfat pH 7,4

secukupnya hingga 100 ml, campur baik-baik. Larutan dapat dipergunakan jika

larutan jernih dan jika terjadi endapan, endapan tidak berwarna ungu (Anonim,

1979).

2.3.3.3 Cara percobaan.

Campur 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 5 ml sediaan berbentuk

cair, dengan 50 ml larutan dapar fosfat pH 7,4, panaskan sebentar, dinginkan,

saring. Ambil 1 ml filtrat, campur dengan 1 ml suspensi darah. Untuk serbuk

yang mengandung tannin, encerkan 0,2 ml filtrat dengan 0,8 ml larutan dapat

fosfat pH 7,4, campur dengan 1 ml suspensi darah. Diamkan selama 30 menit,

terjadi haemolisa total, menunjukkan adanya saponin (Anonim, 1979).

2.3.4 Cara Identifikasi Flavonoid

2.3.4.1 Larutan percobaan

Sari 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 10 ml sediaan berbentuk

cairan, dengan 10 ml methanol P, menggunakan alat pendingin balik selama 10

menit. Saring panas melalui kertas saring kecil berlipat. Encerkan filtrat

dengan 10 ml air. Setelah dingin tambahkan 5 ml eter minyak tanah P, kocok

hati-hati, diamkan. Ambil lapisan metanol, uapkan pada suhu 40oC di bawah

tekanan. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat P, saring (Anonim, 1979).

2.3.4.2 Cara percobaan.

1. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1 ml

sampai 2 ml etanol (95%) P; tambahkan, 5 g serbuk seng P dan 2 ml asam

16

Page 17: Lap Akhir Kopi(2)

klorida 2 N, diamkan selama 1 menit. Tambahkan 10 tetes asam klorida

pekat P, jika dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah intensif,

menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).

2. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1 ml

etanol (95%) P, tambahkan 0,1 g serbuk magnesium P dan 10 tetes asam

klorida pekat P, jika terjadi warna merah jingga sampai merah ungu,

menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron.

3. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, basahkan sisa dengan aseton

P, tambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam

oksalat P, panaskan hati – hati di atas penangas air dan hindari pemanasan

yang berlebihan. Campur sisa yang diperoleh dengan 10 ml eter P. Amati

dengan sinar ultraviolet 366 nm; larutan berflurorensensi kuning intensif,

menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 1979).

2.3.5 Penetapan minyak atsiri

Cara I :

Campur bahan yang diperiksa dalam labu (simplisia) dengan cairan penyuling.

Pasang alat, isi buret hingga penuh (sebelum digunakan, buret dicuci dengan

etanol (90%) P dan dengan eter P, kemudian dibebas lemakkan dengan asam

pencuci dan dibilasi dengan air hingga bebas asam), panaskan dengan tangas

udara, sehingga penyulingan berlangsung dengan lambat tetapi teratur, setelah

penyulingan selesai, biarkan selama tidak kurang dari 15 menit, catat volume

minyak atsiri pada buret. Hitung kadar minyak atsiri dalam %b/v.

Cara II :

Dlakukan menurut cara yang tertera pada cara I. Sebelum buret diisi penuh

dengan air, lebih dahulu diisi dengan 0,2 ml xilena P yang diukur seksama.

Volume minyak atsiri dihitung dengan mengurangkan volume yang dibaca

dengan volume xilena(Anonim, 1979).

2.4 Prosedur Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari

simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian

semua pelarut diuapkan dan massa serbuk atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Proses ekstraksi bahan

nabati/bahan obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori penyarian. Penyarian

merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel, 17

Page 18: Lap Akhir Kopi(2)

ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan aktif dalam cairan penyari tersebut.

Terdapat beberapa metode ekstraksi yaitu:

2.4.1 Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat

aktif akan larut dan karena adanya perbedan konsentrasi antara larutan zat aktif di

dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar.

Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan

di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif

yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah

mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain

(Anonim, 1986).

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut

lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat

ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian (Anonim, 1986).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara

maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim,

1986).

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia dengan

derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75

bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya,

sambil berulang - ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas

ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh

sari sebanyak 100 bagian. Benjana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari

cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Anonim, 1986).

Gambar 5. Alat maserasi (Anonim, 1986)

18

Page 19: Lap Akhir Kopi(2)

2.4.2 Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk

simplisia yang telah dibasahi (Anonim, 1986).

Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut:

Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang dibagian

bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui

serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai

mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya

sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk

menahan (Anonim, 1986).

Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan,

daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosis, adhesi, daya kapiler dan daya

geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:

a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan

larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat

perbedaan konsentrasi.

b. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat

mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan

pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan

perbedaan konsentrasi.

(Anonim, 1986)

Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang

digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang

keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya

penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim, 1986).

Gambar 6. Alat perkolasi

Kalau tidak dinyatakan lain perkolasi dilakukan dengan membasahi 10 bagian

simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dibasahi dengan

2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari, lalu dimasukkan ke dalam bejana tertutup

19

Page 20: Lap Akhir Kopi(2)

sekurang - kurangnya selama 3 jam. Kemudian massa dipindahkan sedikit demi

sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati - hati. Selanjutnya dituangi

dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia

masih terdapat selapis cairan penyari. Kemudian perkolator ditutup dan dibiarkan

selama 24 jam. Selanjutnya cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml/menit

dan ditambahkan berulang - ulang cairan penyari berikutnya sehingga selalu terdapat

selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga jika 500 mg perkolat yang keluar

terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat kemudian disuling atau diuapkan

dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500C hingga konsistensi yang

dikehendaki. Pada pembuatan ekstrak cair 0,8 bagian perkolat pertama dipisahkan,

perkolat selanjutnya diuapkan hingga diperoleh 0,2 bagian yang selanjutnya

dicampurkan ke dalam perkolat pertama. Keuntungan metode ini adalah tidak

memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak.

Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas

dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses

perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien (Anonim, 1986).

2.4.3 Soxhletasi

Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan

penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi

molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam

klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati

pipa sifon (Anonim, 1986).

Alat soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi, alat tersebut disebut

alat ”Soxhlet”. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian

diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang

berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk

simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon,

seluruh cairan kembali ke labu. Cairan ini lebih menguntungkan karena uap panas

tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping. Ekstraksi sempurna

ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau

sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan

dipekatkan (Anonim, 1986).

20

Page 21: Lap Akhir Kopi(2)

Keuntungan:

1. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit, dan secara langsung dapat diperoleh

hasil yang lebih pekat.

2. Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni, sehingga dapat menyari

zat aktif yang lebih banyak.

3. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume

cairan penyari.

(Anonim, 1986)

Kerugian:

1. Larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang tidak tahan

panas kurang cocok. Ini dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk

mengurangi tekanan udara.

2. Cairan dididihkan terus menerus, sehingga cairan penyari yang baik harus murni

atau campuran azeotrop.

(Anonim, 1986)

Gambar 7. Alat soxhletasi

2.4.4 Refluks

Refluks adalah penyarian untuk mendapatkan ekstrak cair yaitu dengan proses

penguapan dengan menggunakan alat refluks. Prinsip kerja refluks yaitu dengan cara

cairan penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada tabung dari kertas

saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan karat atau bahan

lainya yang cocok. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan

naik ke atas melalui serbuk simplisia. Uap penyari mengembun karena didinginkan

oleh pendingin balik. Embun turun melalui serbuk simplisia sambil melarutkan zat

aktifnya dan kembali ke labu. Cairan akan menguap kembali berulang seperti proses

di atas (Anonim, 1986).

21

Page 22: Lap Akhir Kopi(2)

Keuntungan dari metode refluks ini yaitu menggunakan pelarut yang sedikit,

hemat serta ekstrak yang didapat lebih sempurna. Sedangkan kerugian metode ini

yaitu uap panas langsung melalui serbuk simplisia (Anonim, 1986).

Gambar 8. Alat refluks

2.4.5 Ekstraksi Cair-cair

Digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up sampel untuk

memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang mungkin

mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di samping itu, ekstraksi

pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan

jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau

kuantifikasinya (Gandjar, 2008).

Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan

pelarut organik yang ridak bercampur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-

cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat

non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzena atau diklorometan. Meskipun

demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam

air) juga mungkin terjadi (Gandjar, 2008).

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang

menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan

terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling

campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut

koefisien distribusi atau koefisieen partisi (KD) (Gandjar, 2008).

Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam

waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstraksi analit dengan rasio

distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan menggunakan pelarut

22

Page 23: Lap Akhir Kopi(2)

baru pada larutan sampel secara terus-menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan refluks

menggunakan alat yang didisain secara khusus (Gandjar, 2008).

2.5 Metode Pemisahan Bahan Alam

Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan terutama dilakukan

dengan menggunakan teknik kromatografi. Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur

pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensiasi dinamis dalam sistem yang

terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan

dalam arah tertentu dan didalamnya zat tersebut menunjukkan perbedaaan mobilisasi

disebabkan adanya perbedaan dalam absorpsi partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran

molekul atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995).

Teknik kromatografi umum membutuhkan zat-zat terdistribusi di antara dua fase,

satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak

membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, tereluasi

lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh

aliran suatu pelarut berbentuk cair atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak

sebagai penjerap, atau dapat melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase

diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan cairan pada suatu penyangga

yang inert berfungsi sebagai fase diam. Partisi merupakan mekanisme pemisahan yang

utama dalam kromatografi gas-cair, kromatografi kertas, dan bentuk kromatografi kolom

atau yang disebut dengan kromatografi cair-cair (Harbone, 1987).

Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam pemisahan dan pemurnian adalah

: kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair

(KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Harbone, 1987). Menurut

Farmakope Indonesia IV (1995) selain keempat teknik yang telah disebutkan ada pula

Kromatografi Kolom.

Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat dan

keatsirian senyawa yang akan dipisahkan. KKt dapat digunakan terutama bagi kandungan

tumbuhan yang mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat,

asam organik dan senyawa fenolat. KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan

semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon

sederhana dan klorofil. Sebaliknya, teknik ketiga, yaitu KCG, penggunaan utamanya

ialah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak, mono dan seskuiterpene,

hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi, keatsirian kandungan tumbuhan yang bertitik

didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester dan atau eter trimetil

23

Page 24: Lap Akhir Kopi(2)

silil sehingga hanya sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok dipisahkan

dengan KGC. Cara lain, yaitu KCKT, dapat memisahkan kandungan keatsiriannya kecil.

KCKT adalah suatu metode yang menggabungkan keefisiensian dari kromatigrafi kolom

dan kecepatan analisis (Harbone, 1987).

Semua teknik tersebut dapat digunakan pada skala mikro maupun makro. Untuk

pekerjaan penyiapan, KLT dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal, dan KKt pada

lembaran kertas saring yang tebal. Untuk isolasi pada skala yang lebih besar dari itu,

biasanya digunakan kromatografi kolom yang digabungkan dengan pengumpul fraksi

otomatis. Prosedur ini akan menghasilkan senyawa murni dalam skala gram (Harbone,

1987).

2.5.1 Kromatografi Kertas (KKt)

Kromatografi kertas dapat digunakan terutama bagi kandungan tumbuhan yang

mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat, asam organik,

dan fenolat. Untuk pekerjaan penyiapannya kromatografi kertas biasanya pada lembaran

kertas saring yang tebal (Harbone, 1987).

Satu keuntungan utama kromatografi kertas adalah kemudahan dan

kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring

yang berlaku sebagai medium pemisahan dan juga sebagai penyangga. Keuntungan lain

adalah keterulangan bilangan Rf yang besar pada kertas sehingga pengukuran Rf

merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru

(Harbone, 1987).

Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau

penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang

sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol). Pengembang

kromatografinya adalah air murni dan dapat digunakan untuk memisahkan purin dan

pirimidin biasa, dan secara umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida

tumbuhan. Pada kromatografi kertas senyawa biasanya dideteksi sebagai bercak berwarna

atau bercak berfluoresensi-UV setelah direaksikan dengan pereaksi kromogenik yang

digunakan sebagai pereaksi semprot atau pereaksi celup (Harbone, 1987).

2.5.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut

dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil. Untuk

pekerjaan penyiapannya KLT biasanya dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal. Bila

KLT dibandingkan dengan KKt (Kromatografi Kertas), kelebihan KLT adalah

24

Page 25: Lap Akhir Kopi(2)

keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh

kenyataan bahwa disamping selulosa, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat

disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain yang digunakan untuk kromatografi.

Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penjerap yang lebih pada bila

disaputkan pada pelat dan merupakan keuntungan bila kita menelaah senyawa labil.

Kepekaan KLT sedemikian rupa sehingga bila diperlukan dapat dipisahkan dari bahan

yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran µg (Harbone, 1987).

Satu kekurangan KLT adalah kerja penyaputan pelat kaca dengan penjerap. Kerja

ini kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis (Harbone, 1987).

Pelarut yang digunakan pada KLT lebih banyak dibandingkan pada KKt, dan pada

umumnya terdapat ruang gerak yang lebih leluasa dalam perbandingan pelarut yang

digunakan dalam bidang pengembang. Untuk mengukur Rf pada KLT dengan seksama

dapat membakukan kondisi, tetapi hal itu merupakan suatu proses yang memakan waktu.

Biasanya dilakukan dengan cara pengembangan naik di dalam suatu bejana yang

dindingnya dilapisi kertas saring sehingga atmosfer di dalam bejana jenuh dengan fase

pelarut (Harbone, 1987).

Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan penyemprotan dan

karena permukaan pelat lebih sempit (20 × 20 cm). maka penyemprotannya merupakan

prosedur yang nisbi sederhana. Satu keuntungannya bila dibandingkan dengan KKt adalah

pelat kaca dapat disemprot dengan asam sulfat pekat, yaitu pereaksi pendeteksi steroid dan

lipid yang berguna (Harbone, 1987).

2.5.3 Kromatografi Gas Cair (KGC)

Penggunaan utama KGC adalah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak,

mono dan sesquiterpen, hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi keatsirian kandungan

tumbuhan yang bertitik didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester

atau eter trimetilsilil, sehingga hanya ada sedikit saja golongan yang sama sekali tidak

cocok dipisahkan dengan cara KGC (Harbone, 1987).

Komponen yang diperlukan untuk KCG sangat canggih dan mahal dibandingkan

dengan komponen untuk KLT ataupun KKt. Tetapi pada prisipnya KGC tidaklah lebih

rumit dari prosedur kromatografi yang lain.

Komponen KGC memiliki empat bagian utama yaitu:

1. Kolom berupa pipa kecil yang panjang yang dikemas dengan fase diam yang melekat

pada serbuk lebam. Disini fase diam disaputkan sebagai film pada permukaan kolom

bagian dalam.

25

Page 26: Lap Akhir Kopi(2)

2. Pemanas digunakan untuk memanaskan kolom secara meningkat. Suhu di tempat

masuk ke kolom dikendalikan terpisah sehingga cuplikan dapat diuapkan dengan cepat

ketika diteruskan ke kolom.

3. Aliran Gas terdiri atas gas pembawa yang lembam seperti nitrogen dan argon.

Pemisahan senyawa dalam kolom bergantung pada pengaliran gas ini melalui kolom

dengan laju aliran yang terkendali.

4. Detektor diperlukan untuk mengukur senyawa ketika senyawa itu dialirkan melalui

kolom. Pendeteksian didasarkan pengionan nyala atau penangkap elektron. Detektor

dihubungkan dengan perekam potensiometri yang memberikan hasil pemisahan

berupa serangkaian puncak yang berbeda-beda kekuatannya (Harbone, 1987)

Hasil KGC dapat dinyatakan dengan Volume Retensi RV (volume gas pembawa

yang diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dari kolom) atau dengan waktu retensi

Rt (waktu yang diperlukan untuk mengelusi komponen dari kolom) (Harbone, 1987).

Perubah utama dalam KGC adalah sifat fase diam dalam kolom dan suhu kerja.

Keduanya diubah-ubah menurut kepolaran dan keatsirian senyawa yang dipisahkan. KGC

memberikan data kuantitatif maupun kualitatif senyawa tumbuhan karena luas daerah

dibawah puncak yang ditunjukkan pada kromatogram berbanding lurus dengan

konsentrasi masing-masing komponen yang berbeda yang terdapat dalam campuran asal

(Harbone, 1987).

Gambar 9. Grafik Kromatografi Gas Cair

Keterangan gambar: Kromatogram gas cair pemisahan campuran sterol asetat yang

terdapat dalam biji gandum ( Avena sativa ). Keterangan: (1) kolestrol, (2)

brasikasterol, (3) kampesterol, (4) stigmasterol, (5) sitosterol, (6) Δ5 avenasterol, (7)

Δ7 avenasterol. Fase diam sikloheksandimetanol suksinat 1% + polivinil pirolidon 2%

pada gas krom P 255 yang telah dicuci dengan asam (Harbone, 1987).

26

Page 27: Lap Akhir Kopi(2)

2.5.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT dapat memisahkan kandungan yang keatsiriannya kecil. KCKT adalah

suatu metode yang menggabungkan keefisiennya kolom dan kecepatan analisis. KCKT

dapat disamakan dengan KGC dalam hal kepekaan dan kemampuannya menghasilkan

data kualitatif dan kuantitatif dengan sekali kerja saja. Perbedaannya adalah fase diam

yang terikat pada polimer berpori terdapat pada kolom baja tahan karat yang bergaris

tengah kecil, dan fase gerak cair mengalir akibat tekanan yang besar. Alat KCKT lebih

mahal daripada KGC, terutama karena diperlukan sistem pompa yang cocok serta semua

sambungan harus diskrup agar dapat menahan tekanan. Fase geraknya adalah campuran

pelarut yang dapat bercampur. Campuran ini dapat tetap susunannya atau dapat diubah

perbandingannya secara kesinambungan dengan menambahkan ruang pencampur kepada

susunan alat (elusi landaian) (Harbone, 1987).

Senyawa dipantau ketika keluar dari kolom dengan menggunakan pendeteksi,

biasanya dengan mengukur spektrum serapan UV. Kolom yang biasanya dikemas dengan

partikel bulat kecil yang terbuat dari silika yang berlapiskan atau berkaitan dengan fase

diam, terutama peka terhadap cemaran. KCKT digunakan terutama untuk senyawa tak

atsiri, misalnya terpenoid tinggi, segala jenis senyawa fenol, alkaloid, lipid, dan gula.

KCKT paling baik untuk senyawa yang dapat dideteksi di daerah spektrum UV atau di

daerah sinar tampak (Harbone, 1987).

2.5.5 Kromatogafi Kolom

Kromatografi kolom juga merupakan suatu metode pemisahan preparatif. Metode ini

memungkinkan untuk melakukan pemisahan satu sampel yang berupa campuran dengan

berat beberapa gram. Beberapa kelemahan dari metode ini adalah :

1. Diperlukan jumlah pelarut/eluen yang cukup besar

2. Waktu elusi untuk dapat menyelesaikan pemisahan sangat lama

3. Deteksi hasil pemisahan tidak dapat langsung dilakukan (masih memerlukan KLT)

(Kristianti dkk., 2008)

Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang

didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan pekat diletakkan

pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara kontinu ke dalam kolom.

Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan, maka eluen atau pelarut akan

melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi. Seperti pada umumnya, eluen/pelarut

yang digunakan dimulai dari yang paling nonpolar dan dinaikkan secara gradien

kepolarannya hingga pemisahan dapat terjadi. Sama halnya pada KLT, pemisahan dapat

27

Page 28: Lap Akhir Kopi(2)

terjadi karena adanya perbedaan afinitas senyawa pada absorben dan perbedaan kelarutan

senyawa pada eluen/pelarut (Kristianti dkk., 2008).

Ketika sampel diletakkan di ujung kolom, seketika itu juga terjadi peristiwa

adsorpsi oleh permukaan adsorben yang berbatasan dengan sampel. Eluen yang dialirkan

secara kontinu ke dalam kolom menyebabkan adanya peristiwa adsorpsi dan desorpsi

senyawa-senyawa pada sampel. Molekul-molekul senyawa akan dibawa ke bagian bawah

kolom dengan kecepatan yang bervariasi bergantung besarnya afinitas molekul tersebut

pada adsorben dan juga pada besarnya kelarutan molekul tersebut dalam pelarut/eluen.

Cairan yang keluar dari kolom ditampung dan dilakukan analisis menggunakan KLT

untuk melihat hasil pemisahannya. Pada kromatografi kolom, hal yang paling berperan

dalam kesuksesan pemisahan adalah pemilihan adsorben dan eluen/pelarut, dimensi

kolom yang digunakan serta kecepatan elusi yang dilakukan (Kristianti dkk., 2008).

Adsorben yang umum digunakan selain SiO2 dan selulosa adalah alumina, yang

tersedia dalam bentuk asam, basa, atau netral. Adsorben ini dianjurkan hanya dipakai

untuk senyawa organik yang stabil. Pemilihan adsorben dan bentuknya (asam, basa, atau

netral) sangat penting untuk menghindari reaksi yang dapat terjadi di dalam kolom yang

tidak diinginkan selama proses elusi berlangsung, misalnya alumina asam dapat

menimbulkan reaksi dehidrasi alkohol tersier dan bentuk basanya dapat mengakibatkan

reaksi hidrolisis ester atau reaksi kondensasi aldol pada aldehida. Adsorben lain yang

umum dipakai adalah silika gel, terutama digunakan untuk memisahkan senyawa organik

yang tidak memiliki kestabilan yang memadai untuk dipisahkan menggunakan alumina

(Kristianti dkk., 2008).

Besarnya butir/granul adsorben yang digunakan pada kromatografi kolom harus

lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan pada KLT, yaitu antara 50-200µm.

Dengan ukuran tersebut, pengisian kolom secara homogen dapat terlaksana, kecepatan

elusi juga berjalan sebagaimana seharusnya serta pergantian senyawa yang teradsorpsi

pada adsorben dan kelarutannya pada eluen/pelarut terjadi cukup cepat (Kristianti dkk.,

2008)

Jumlah adsorben yang digunakan bergantung pada tingkat kesulitan pemisahan

dan pada jumlah sampel yang akan dipisahkan. Secara umum diperlukan 30-50 gram

adsorben untuk tiap gram sampel yang akan dipisahkan. Jumlah tersebut bisa mencapai

200 gram adsorben jika pemisahan yang dilakukan cukup sulit. Dibutuhkan jumlah

adsorben yang lebih sedikit untuk memisahkan senyawa-senyawa yang perbedaan

polaritasnya sangat besar (Kristianti dkk., 2008).

28

Page 29: Lap Akhir Kopi(2)

Tabel 3. Acuan Persiapan kolom

Sampel (mg) Adsorben (gram)Diameter Kolom

(mm)Tinggi (mm)

0,01 0,3 3,5 30

0,1 3 7,5 60

1 30 16 130

10 300 35 280

Eluen/pelarut yang digunakan, umumnya adalah campuran dua macam pelarut.

Pada awal elusi dimulai dengan eluen yang paling nonpolar yang akan membawa

senyawa-senyawa yang kurang terikat pada adsorben (yang paling nonpolar). Sepanjang

proses elusi, komposisi eluen dapat divariasi dengan jalan menambahkan secara gradien

pelarut yang lebih polar. Dengan demikian, senyawa-senyawa juga akan hanya terelusi ke

arah bawah kolom secara berurutan berdasarkan kepolarannya. Adalah komposisi yang

pertama dari eluen yang memiliki kemampuan elusi terkuat. Oleh karena itu, sepanjang

elusi proporsi pelarut yang lebih polar dinaikkan dengan jalan menambahkan pelarut yang

lebih polar ke dalam pelarut yang kurang polar secara eksponensial (Kristianti dkk.,

2008).

Tahap yang paling sulit dalam kromatografi kolom adalah pengisian kolom dengan

adsorben. Pengisisan tersebut harus sehomogen mungkin dan harus benar-benar bebas dari

gelembung udara. Permukaan adsorben harus benar-benar horizontal untuk menghindari

terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses elusi berjalan. Oleh karena itu, yang

pertama harus diperhatikan adalah menempatkan kolom pada posisi yang benar-benar

vertikal. Pengisian kolom dengan adsorben dapat dilakukan menurut dua cara yaitu:

1. Pengisian cara basah,

Dalam sebuah gelas beker, disiapkan terlebih dahulu campuran homogen adsorben

dengan pelarut atau campuran pelarut yang paling nonpolar yang nantinya akan

digunakan untuk elusi. Campuran harus membentuk suspensi dengan kekentalan

tertentu (cukup cair untuk bisa dituang). Pembuatan campuran harus dilakukan dengan

jalan menambahkan sedikit demi sedikit adsorben ke dalam pelarut. Langkah ini tidak

boleh dibalik dengan menambahkan pelarut ke dalam adsorben karena panas yang

dibebaskan akan dapat mendidihkan pelarut dan akan menyebabkan terbentuknya

gumpalan dalam campuran. Dengan bantuan sebuah corong, suspensi dimasukkan

secukupnya ke dalam kolom agar adsorben dapat membentuk sebuah lapisan setebal

2cm secara progresif. Selama partikel-partikel adsorben dalam suspensi membentuk

lapisan secara berlahan, dinding kolom diketuk-ketuk agar lapisan adsorben yang

29

Page 30: Lap Akhir Kopi(2)

terbentuk benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Kemudian keran di

bagian bawah kolom dibuka agar pelarut dapat mengalir keluar secara perlahan.

Pelarut yang keluar ini dapat dipakai kembali untuk membentuk suspensi adsorben-

pelarut. Langkah ini terus diulang hingga semua adsorben yang telah disiapkan telah

masuk ke dalam kolom. Setelah semua adsorben masuk, kolom dibiarkan beberapa

saat agar cairan yang berada di atas adsorben menjadi jernih (semua partikel adsorben

sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan agar jumlah eluen

atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).

2. Pengisian cara kering

Kolom diisi terlebih dahulu 2/3 bagiannya dengan eluen atau campuran eluen yang

paling nonpolar yang nantinya akan dipakai untuk elusi. Kemudian serbuk adsorben

dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan sebuah corong secara perlahan-lahan.

Selama penanbahan adsorben, dinding kolom diketuk-ketuk agar pengisian adsorben

dapat benar-benar mampat. Pada saat sudah terbentuk adsorben setebal 2 cm, keran di

bagian bawah kolom dibuka agar pelarut dapat keluar secara perlahan. Setelah semua

adsorben masuk kolom dibiarkan berapa saat hingga adsorben menjadi jernih (semua

partikel adsorben sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan

agar jumlah eluen atau pelarut dalam kolom selalu cukup yang ditandai dengan adanya

eluen atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).

2.5.6 Spektrofotodensitometer

Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi

elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi

elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan

jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit

atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma and

Fried 1994).

Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan

dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling sering

digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300 nm.

Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque (tidak

tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok digunakan.

Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio intensitas antara

radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi elektromagnetik yang

dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan metode pengukuran

30

Page 31: Lap Akhir Kopi(2)

langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat ditentukan melalui

emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah dipancarkan melalui

suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang sesuai, berbanding lurus

dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried, 1994).

Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi. Kebanyakan

densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator (rentang panjang gelombang 190

s/d 800 nm) untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan

sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder. Output detektor dikonversikan

menjadi signal dan diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen

densitometer dilengkapi dengan digital konverter, dan data akan diproses secara

digitalisasi oleh komputer. Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan

panjang gelombang 190 s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan

oleh variasi ketebalan dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan

level signalnya relatif tinggi. Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah

dipisahkan dengan TLC biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng

TLC (atau secara in situ).

Gambar 10. Skema instrumen spektrofotodensitometer

Keterangan: L (light); SL (slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF (filter

fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).

2.6 Standarisasi Ekstrak

2.6.1 Penetapan Kadar Abu

Biji kopi memiliki kadar abu tidak lebih dari 4%.

Prosedur penetapan kadar abu yaitu lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus

dan ditimbang saksama, masukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah

dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan,

timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas,

saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang

31

Page 32: Lap Akhir Kopi(2)

sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang.

Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).

2.6.2 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

Biji kopi memiliki kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1 %.

Prosedur: Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam

klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam.

Saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,

pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).

2.6.3 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air

Biji kopi memiliki kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 23,5 %. Prosedur:

Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml

air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6

jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat

hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa

pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam

air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).

2.6.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol

Biji kopi memiliki kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 13%.

Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml

etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selma 6 jam

pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan

penguapan etanol (95%), uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal

berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap.

Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap

bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).

2.6.5 Penetapan Bahan Organik Asing

Pada biji kopi jumlah bahan organik asing yang terdapat di dalamnya tidak lebih dari 2

%. Bahan organik asing adalah bagian tanaman atau seluruh tanaman asal simplisia,

tertera atau jumlahnya dibatasi dalam uraian pemerian dalam monografi yang

bersangkutan (Anonim, 1979).

Cara penetapan

Timbang antara 25 g dan 500 g simplisia, ratakan. Pisahkan sesempurna mungkin

bahan organik asing, timbang dan tetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia

32

Page 33: Lap Akhir Kopi(2)

yang digunakan. Makin kasar simplisia yang diperiksa makin banyak jumlah simplisia

yang ditimbang (Anonim, 1979).

2.6.6 Kadar Air

Prosedur penetapan kadar air seperti berikut:

a. Cara Titrasi

Pereaksi dan larutan yang digunakan peka terhadap air, hingga harus

dilindungi dari pengaruh kelembaban udara (Anonim, 1979).

Pereaksi Karl Fischer disimpan dalam botol yang diperlengkapi dengan buret

otomatik. Untuk melindungi dari pengaruh kelembaban udara, buret dilengkapi

dengan tabung pengering. Labu titrasi kapasitas lebih kurang 60 ml, dilengkapi

dengan 2 elektroda platina, sebuah pipa pengalir nitrogen, sebuah sumbat

berlubang untuk ujung buret dan sebuah tabung pengering. Zat yang diperiksa

dimasukkan ke dalam labu melalui pipa pengalir nitrogen atau melalui pipa

samping yang dapat disumbat. Pengadukan dilakukan dengan mengalirkan gas

nitrogen yang telah dikeringkan atau dengan pengaduk magnit. Penunjuk titik

akhir terdiri dari batere kering 1,5 volt atau 2 volt yang dihubungkan dengan

tahanan variabel lebih kurang 2.000 ohm. Tahanan diatur sedemikian rupa

sehingga arus utama yang cocok yang melalui elektroda platina berhubungan

secara seri dengan mikroammeter (Anonim, 1979).

Setelah setiap kali penambahan pereaksi Karl Fischer, penunjuk mikroammeter

menyimpang akan tetapi segera kembali ke kedudukan semula. Pada titik akhir,

penyimpangan akan tetap selama waktu yang lebih lama (Anonim, 1979).

Untuk zat-zat yang melepaskan air secara perlahan-lahan, maka pada

umumnya dilakukan titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam

monografi maka penetapan kadar air dilakukan dengan titrasi langsung (Anonim,

1979).

Cara Penetapan

Titrasi langsung

Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam

labu titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai.

Masukkan dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan

mengandung 10 mg sampai 50 mg air, ke dalam labu titrasi, aduk selama 1 menit.

Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah diketahui kesetaraan airnya.

Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus :

V x F

33

Page 34: Lap Akhir Kopi(2)

V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer pada titrasi kedua, F adalah

faktor kesetaraan air (Anonim, 1980).

Titrasi tidak langsung

Masukkan lebih kurang 20 ml metanol P ke dalam labu titrasi. Titrasi dengan

pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan dengan cepat sejumlah

zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 10 mg sampai 50 mg

air, campur. Tambahkan pereaksi Karl Fischer berlebihan dan yang diukur

saksama, biarkan selama beberapa waktu hingga reaksi sempurna. Titrasi

kelebihan pereaksi dengan larutan baku air-metanol. Hitung jumlah dalam mg air

dengan rumus :

FV1-aV2

F adalah faktor kesetaraan air pereaksi Karl Fischer, V1 adalah volume dalam

ml pereaksi Karl Fischer yang diukur saksama, a adalah kadar cair dalam mg tiap

ml dari larutan baku air-metanol dan V2 adalah volume dalam ml larutan baku air-

metanol (Anonim, 1979).

Pereaksi

Pereaksi Karl Fischer

Larutkan 60 g yodium P dalam 100 ml piridina mutlak P, dinginkan dalam es,

alirkan belerang dioksida P hingga bobot bertambah 32,3 g sambil dilindungi dari

pengaruh kelembaban udara. Tambahkan metanol mutlak P secukupnya hingga

500 ml, biarkan selama 24 jam. Lakukan pembakuan sebagai berikut:

Masukkan lebih kurang 20 ml metanol mutlak P ke dalam labu titrasi. Titrasi

dengan pereaksi Karl Fischer tanpa mencatat volume yang digunakan. Masukkan

air yang ditimbang saksama sejumlah yang cocok. Titrasi dengan pereaksi Karl

Fischer. Hitung kesetaraan air dalam mg tiap ml pereaksi. Pereaksi Karl Fischer

harus dibakukan segera sebelum digunakan. Peraksi Karl Fischer harus disimpan

di lemari yang dingin pada suhu antara 20-80C, terlindung dari cahaya. 1 ml

pereaksi Karl Fischer segar setara dengan lebih kurang 5 mg air (Anonim, 1979).

Larutan baku air metanol

Encerkan 2 ml air dengan metanol P secukupnya hingga 1.000,0 ml. Titrasi

25,0 ml larutan dengan pereaksi Karl Fischer. Hitung kadar air dalam mg tiap ml

dengan rumus (VF/25). V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer, F adalah

faktor kesetaraan air (Anonim, 1979).

34

Page 35: Lap Akhir Kopi(2)

b. Cara Destilasi

Alat

Sebuah labu 500-ml (A) dihubungkan dengan pendingin alir balik (C) dengan

pertolongan alat penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskala 0,1 ml.

Pemanas yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat diatur

atau tangas minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya

dibungkus dengan asbes (Anonim, 1979).

Gambar 11. Alat Destilasi

Pereaksi

Toluen. Sejumlah toluen P, kocok dengan sedikit air, biarkan memisah, buang lapisan

air suling (Anonim, 1979).

Cara Penetapan

Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan

air, keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah zat

yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air. Jika

zat berupa pasta, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai

dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan

pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah

tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm yang salah satu ujungnya tertutup.

Masukkan lebih kurang 200 ml toluen ke dalam labu, hubungkan dengan alat. Tuang

toluen ke dalam tabung penerima melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati

selama 15 menit (Anonim, 1979).

Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes

tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling, kemudian naikkan kecepatan hingga 4

tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam pendingin dengan

toluen sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat

35

Page 36: Lap Akhir Kopi(2)

tembaga dan lebih dibasahi dengan toluen. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit.

Biarkan tabung penerima pendingin hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang

melekat pada pendingin tabung penerima, hosok dengan karet yang diikatkan pada

sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah air

dan toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam %. (Anonim,

1979).

2.6.7 Penetapan Susut Pengeringan

Berdasarkan Materia Medika Indonesia, susut pengeringan adalah kadar bagian

yang menguap suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC dan

susut pengeringan ditetapkan sebagai berikut: Timbang saksama 1 g dan 2 g zat dalam

bobot timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu

penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum

ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan

zat dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan

setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, masukkan ke dalam ruang pengering, buka

tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap

pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga

suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan

dilakukan pada suhu antara 5o dan 10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2

jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot

tetap (Anonim, 1995).

36

Page 37: Lap Akhir Kopi(2)

BAB III

ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat

1. Neraca analitik

2. Botol timbang

dan tutup

3. Cawan porselin

4. Gelas ukur

5. Gelas beaker

6. Labu erlenmeyer

7. Pipet tetes

8. Batang pengaduk

9. Oven

10. Desikator

11. Corong pisah

12. Kolom

13. Pipet volume

14. Plat KLT GF254

15. Chamber

16. Aluminium foil

17. Kertas saring

18. Water bath

19. Glasswool

20. Silica gel

21. Kaca arloji

22. Spektrofotodensitometer

3.2 Bahan

1. Serbuk biji kopi

2. Etanol 70 %

3. Kloroform

4. Amonia cair

5. Natrium

karbonat

6. Natrium sulfat anhidrat

7. Asam klorida 2 N

8. eter P

9. Air

10. Bouchardat LP

11. Mayer LP

12. kloroform P

13. Harger LP.

14. etanol 50%.

15. Metanol P

16. standar kafein

37

Page 38: Lap Akhir Kopi(2)

BAB IV

SKEMA KERJA DAN EVALUASI HASIL

4.1 Prosedur Kerja

4.1.1Uji Skrining Fitokimia

Ditimbang 500 mg serbuk simplisia, ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9

ml air, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring.

Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes Bouchardat LP.

Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji yang berbeda, ditambahkan 2 tetes

Mayer LP. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak

mengandung alkaloid. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal

berwarna putih atau kuning yang larut dalam methanol P dan dengan Bouchardat

LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam, maka kemungkinan terdapat

alkaloid. Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia

pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume

kloroform P. Diambil fase organik, ditambahkan natrium sulfat anhidrat P,

disaring. Diuapkan filtrat diatas penangas air, dilarutkan sisa dalam sedikit asam

klorida 2 N. Diambil 3 tetes filtrat, diletakkan pada kaca arloji. Ditambahkan 2 tetes

Harger LP. Hasil positif jika terbentuk endapan kuning.

4.1.2Penetapan Kadar Susut Pengeringan

Ditimbang botol yang sudah dicuci. Dimasukkan ke dalam oven dengan suhu

105oC dengan kondisi terbuka dan tutup botol ada di dalam oven. Simplisia biji

kopi ditimbang sebanyak 1 gram dengan timbangan analitik. Botol timbang

dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Botol

timbang yang telah dikeluarkan dari oven ditimbang kembali. Simplisia biji kopi

dimasukkan ke dalam botong timbang, kemudian ditimbang bobotnya. Dimasukkan

ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 30 menit dalam kondisi terbuka, tutup

berada di dalam oven. Botol timbang dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke

dalam desikator dalam kondisi terbuka dan tutup botol ada di dalam desikator

selama 15 menit. Ditimbang (berat akhir I) botol timbang dalam kondisi tertutup.

Dimasukkan kembali ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 30 menit

dalam kondisi terbuka, tutup berada di dalam oven. Botol timbang dikeluarkan dari

oven dan dimasukkan ke dalam desikator dalam kondisi terbuka dan tutup botol ada

di dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang (berat akhir II) botol timbang dalam 38

Page 39: Lap Akhir Kopi(2)

kondisi tertutup ( pada penimbangan kedua dianggap masa sudah konstan).

Diulangi prosedur di atas sampai diperoleh data 3 botol timbang.

4.1.3Maserasi

Ditimbang sebanyak 5 gram serbuk kering dari simplisia biji kopi. Dimasukkan

ke dalam toples (yang telah dibungkus dengan kain hitam). Ditambahkan 100 mL

etanol 50%. Diaduk campuran selama 5 menit. Direndam selama 7 hari, dengan

pengadukan yang dilakukan tiap hari. Setelah 7 hari, maserat disaring. Ditampung

dan diukur volume maserat yang diperoleh.

4.1.4Ekstraksi Cair-cair

Corong pisah dibersihkan. Maserat hasil maserasi dimasukkan ke dalam corong

pisah. Ditambahkan campuran pelarut amonium liquid dan kloroform dengan

perbandingan ekstrak : amonium liquid : kloroform = 70 :10: 5 Corong pisah

ditutup, digojog ± 5 kali. Setelah penggojogan dilakukan, kran corong pisah dibuka

untuk mengeluarkan gas yang terbentuk. Didiamkan selama beberapa saat, hingga

terbentuk 2 fase. Diambil fase kloroform yang berada pada bagiang bawah corong,

kemudian ditampung. Ditambahkan kloroform dengan volume yang sama dengan

perbandingan diatas, sebanyak 2 x berturut-turut untuk memaksimalkan hasil yang

diperoleh saat pemisahan. Setiap selesai diekstraksi dengan kloroform, fase

kloroform ditampung dalam beker glass. Pada fase kloroform, ditambahkan

Natrium sulfat anhidrat secukupnya.

4.1.5Kromatografi Kolom

4.1.5.1 Pembuatan Kolom

Diawali dengan penyiapan kolom dan glasswool. Kolom dipasang

pada statif secara tegak lurus kemudian dimasukkan glaswool dengan

bantuan batang bambu. Glasswool dimasukkan secara hati-hati dan tepat

menutupi lubang bagian bawah kolom. Silica gel ditimbang sebanyak 20 gr

kemudian dilarutkan dengan fase gerak yang terdiri dari Kloroform : etanol

50% (99:1) dan ammonia 0,05% dari volume yang digunakan, penambahan

fase gerak ini dilakukan sampai terbentuk suatu massa yang mudah dituang.

Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom setinggi ± 2 cm di atas glasswool.

39

Page 40: Lap Akhir Kopi(2)

Kemudian bubur fase diam dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan-

lahan dengan bantuan batang pengaduk, jangan sampai terbentuk

gelembung udara, jika terbentuk gelembung maka dinding kolom diketuk

secara perlahan. Kolom dibiarkan beberapa hari hingga terbentuk massa

yang kompak, bila perlu dilakukan penambahan fase gerak untuk mencegah

keringnya kolom.

4.1.5.2 Elusi

Ekstrak dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan melalui dinding

kolom dengan menggunakan pipet tetes. Bagian bawah kolom dibuka dan

dilakukan elusi. Kecepatan keluarnya fase gerak harus sama dengan

kecepatan penambahan fase gerak. Eluat ditampung setiap 5 mL. Eluat

diuapkan diatas penangas air.

4.1.6 Kromatografi Lapis Tipis

4.1.6.1 Aktivasi Plat

Dipotong plat KLT GF 254 dengan ukuran 15x10cm. Ditandai 1 cm

pada bagian atas dan bawah. Plat dicuci ( dielusi ) dalam chamber dengan

10 mL metanol, dengan cara mengelusi plat hingga semua plat terbasahi.

Saat pengelusian, pada pinggiran chamber digantung tissue bersih. Plat

diaktivasi di dalam oven dengan suhu 120oC selama 30 menit.

4.1.6.2 Penyiapan Eluen

Dibuat eluen dengan campuran pelarut kloroform : etanol 50% (99:1)

sebanyak 10 mL, dengan memipet 9,9 mL kloroform dan dimasukkan ke

dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 0,1 mL etanol 50% ke dalam

erlenmeyer.

4.1.6.3 Elusi dengan KLT

Fraksi yang telah diuapkan direkonstitusi dengan 50 μL metanol.

Kemudian ditotolkan di atas plat KLT sebanyak 10 μL dengan jarak antar

peak 1 cm. Penotolan fraksi dilakukan menggunakan pipet kapiler dengan

ukuran 5 μL sedangkan untuk standar kafein ditotol sebanyak 2 μL dengan

menggunakan pipet kapiler 2 μL. Selanjutnya, plat dielusi dengan

menggunakan campuran fase gerak Kloroform dan etanol 50% sebanyak 10

mL hingga tanda batas. Plat di keringkan di dalam oven dengan suhu 600 C

selama 10 menit.

40

Page 41: Lap Akhir Kopi(2)

4.1.7 Scanning dengan Spektrofotodensitometer

Plat dimasukkan ke dalam alat spektrofotodensitometer. Kemudian pada

komputer diatur modenya menjadi mode absorbsi, panjang gelombang maksimum

273 nm, ukuran plat 15 x 10 cm, dan fase gerak yang digunakan (campuran

kloroform : ethanol 50% (99:1) .

4.2 Skema Kerja

4.2.1 Skema Kerja Umum Identifikasi dan Pemisahan Serbuk Biji Kopi

4.2.2 Uji Skrining Fitokimia

41

Page 42: Lap Akhir Kopi(2)

4.2.3 Penetapan Susut Pengeringan

42

Page 43: Lap Akhir Kopi(2)

Metode Ekstraksi

4.2.4.1 Skema Kerja Maserasi

4.2.4.2 Skema Kerja Ekstraksi Cair-cair

43

Page 44: Lap Akhir Kopi(2)

4.2.4.3 Skema Kerja Penguapan Ekstrak

4.2.4 Skema Kerja Pemisahan dengan Kromatografi Kolom

44

Page 45: Lap Akhir Kopi(2)

4.2.1 Skema Kromatografi Lapis Tipis

4.2.6.1 Aktivasi Plat

4.2.6.2 Penyiapan Eluen

4.2.6.3 Elusi dengan KLT

4.2.2 Identifikasi Plat pada Alat Spektrofotodensitometer

45

Page 46: Lap Akhir Kopi(2)

4.3 Evaluasi Hasil

4.3.1 Hasil KLT

Plat KLT diidentifikasi dengan menggunakan sinar UV 254 dan 366 nm.

Pengamatan di bawah sinar UV 254 nm menunjukkan ……………. Dan pada

sinar UV 366 nm menunjukkan adanya bercak berwarna

biru……………………………

Plat KLT juga discan dengan menggunakan spektrofotodensitometer, diperoleh

,,,,,,,

Dilakukan pembandingan harga hRf antara spot pada masing-masing fraksi

yang ditotol dengan hRf larutan baku pembanding.

4.3.2 Spektra Kafein pada Spektrofotodensitometer

Gambar 12. Spektra Kafein

Dilakukan pembandingan spektra antara larutan baku pembanding dengan

spektra kafein pada masing-masing fraksi.

(Moffat et al, 2005)

46

Page 47: Lap Akhir Kopi(2)

BAB V

HASIL DAN PERHITUNGAN

5.1 Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan yang didapat pada praktikum ini adalah berupa hasil standarisasi

simplisia (Tabel 5.1.1), hasil penetapan susut pengeringan simplisia biji kopi (Tabel

5.1.2), hasil penimbangan serbuk biji kopi untuk proses maserasi (Tabel 5.1.3), hasil

ekstraksi dengan maserasi (Tabel 5.1.4), hasil partisi dengan ekstraksi cair-cair (5.1.5),

hasil penimbangan penguapan ekstrak ekstraksi cair-cair (Tabel 5.1.6), hasil pemisahan

dengan kromatografi kolom basah (Tabel 5.1.7), hasil fraksi hasil kromatografi (Tabel

5.1.8), hasil KLT-Spektrofotodensitometri (Tabel 5.1.9)

Tabel 5.1.1 Hasil Standarisasi Simplisia

Pereaksi Warna Esktrak Hasil

Bouchardat Coklat Tidak dilakukan uji

Mayer LP Coklat (tidak terjadi perubahah warna)

Harger LP Coklat kekuninganPositif mengandung alkaloid

(larutan berwarna kuning)

Tabel 5.1.2 Hasil Penetapan Susut Pengeringan Simplisia Biji Kopi

No botol

Berat simplisia (gram)

Berat botol

(gram)

Berat botol +

simplisia (gram)

Berat akhir botol timbang + simplisia (gram)

I II

Botol 1 1,01 21,786 22,796 22,753 22,753Botol 2 1,013 40,711 41,724 41,686 41,684Botol 3 1,016 43,631 44,647 44,596 44,593

Tabel 5.1.3 Hasil Penimbangan Serbuk Biji Kopi Untuk Proses Maserasi

Penimbangan Berat (gram) Keterangan

Kertas kosong 1,066 gram

Ketelitian timbangan 1 mg

Kertas + serbuk biji kopi 6,076 gramKertas setelah serbuk biji kopi

dipindahkan1,066 gram

Serbuk biji kopi 5,010 gram

47

Page 48: Lap Akhir Kopi(2)

Tabel 5.1.4 Hasil Ekstaksi Dengan Maserasi

Warna ekstrak : coklat pekat

Tabel 5.1.5 Hasil Partisi Dengan Ekstraksi Cair-Cair

Berat ekstrak yang dipartisi

Kloroform yang ditambahkan

Na2CO3 yang ditambahkan

Hasil partisi Hasil penguapan

84 ml 6 mlDengan 2 x

replikasi

12 ml 18 mL 0,22 gr

Warna ekstrak : coklat kehitaman

Tabel 5.1.6 Hasil Penimbangan Penguapan Ekstrak Ekstraksi Cair-Cair

Penimbangan Berat (gram)

Cawan kosong 68,996 gram

Cawan + ekstrak 69,2117 gram

Ekstrak 0,22 gram

Tabel 5.1.7 Hasil Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom Cara Basah

Tinggi kolom

Diameter Kolom Berat silika yang digunakan

Bobot Ekstrak yang masuk ke kolom

Hasil pemisahan

13 cm 2,5 cm 20 gr 0,1773 gr 12 fraksiWarna fraksi : bening

Tabel 5.1.8 Fraksi Hasil Kromatografi

No. Fraksi Warna Keterangan

1 BeningFraksi digabung2 Bening

3 Bening4 Bening5 Bening6 Bening7 Bening8 Bening9 Bening10 Bening11 Bening12 Bening

48

Simplisia yang digunakan Pelarut etanol yang digunakan Hasil ekstraksi5,010 gram 100 ml 84 l

Page 49: Lap Akhir Kopi(2)

Hasil Pengamatan Plat KLT di bawah sinar UV

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Gambar 13. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 254 nm

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Gambar 14. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 366 nm

Keterangan gambar :

1 (spot 1) : Baku kafein 6 (spot 6) : Fraksi 8 11 (spot 11) : Fraksi 14

2 (spot 2) : Fraksi 1-4 7 (spot 7) : Fraksi 9 12 (spot 12) : Fraksi 15

3 (spot 3) : Fraksi 5 8 (spot 8) : Fraksi 10 13 (spot 13) : Fraksi 12

4 (spot 4) : Fraksi 6 9 (spot 9) : Fraksi 11 14 (spot 14) : ekstrak

5 (spot 5) : Fraksi 7 10 (Spot 10) : Fraksi 13

49

Page 50: Lap Akhir Kopi(2)

Table 5.1.9 Hasil Pengamatan KLT-Spektrofotodensitometri

Spot Senyawa hRfFaktor

korelasiKeterangan

1 Baku Kafein 9 0,93661 Ada kafein2 Fraksi 1 -4 - - Tidak ada kafein3 Fraksi 5 - - Tidak ada kafein4 Fraksi 6 - - Tidak ada kafein5 Fraksi 7 - - Tidak ada kafein6 Fraksi 8 - - Tidak ada kafein7 Fraksi 9 - - Tidak ada kafein8 Fraksi 10 - - Tidak ada kafein9 Fraksi 11 - - Tidak ada kafein10 Fraksi 13 - - Tidak ada kafein11 Fraksi 14 - - Tidak ada kafein12 Fraksi 15 - - Tidak ada kafein13 Fraksi 12 - - Tidak ada kafein14 Ekstrak - - Tidak ada kafein

5.2 Perhitungan

5.2.1 Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan

Perhitungan penetapan susut pengeringan didasarkan atas rumus sebagai berikut :

Dengan menggunakan persamaan di atas diperoleh hasil sesuai dengan Table 5.2.1

Tabel 5.2.1 Hasil Penetapan Susut Pengeringan Serbuk Kopi

No botolMassa Simplisia

kopi awalMassa susut Kering %Susut pengeringan

Botol 1 1,01 0,043 4,25 %Botol 2 1,013 0,04 3,94 %Botol 3 1,016 0,053 5,21 %

Rata-rata susut pengeringan 4,467 %Jadi rata-rata susut pengeringan simplisia biji kopi yang digunakan pada praktikum ini

adalah 4,467 %

Perhitungan Standar Deviasi

50

Page 51: Lap Akhir Kopi(2)

Jadi ± SD adalah 4,467%± 0,4385%

5.2.2 Perhitungan pembuatan HCl 2 N untuk uji identifikasi alkaloid

Konsentrasi HCl yang ada di laboratorium : 10,137 N

Konsentrasi HCl yang akan dibuat : 2 N

Volume HCl yang akan dibuat : 5 mL

Voume HCl yang diambil : .....?

Perhitungan:

Sehingga volume HCl 10, 137 N yang diambil untuk membuat HCl 2 N adalah

sebanyak 0,986 mL.

51

VI × M1 = V2 × M2

V1 × 10,137 N = 5 mL × 2 N

V1 = 0,986 mL

Page 52: Lap Akhir Kopi(2)

5.2.3 Perhitungan Pengenceran Etanol 70% untuk Maserasi

V1. M1 = V2. M2

V1. 70% = 100 ml. 50 %

V1 = 71,428 mL

Pembuatan etanol 50 %:

Dipipet etanol 70% sebanyak 71,428 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100

ml, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda batas.

5.2.4 Perhitungan Ekstraksi Cair-cair

Jumlah maserat = 84 ml

Perbandingan kloroform : maserat : Amonium liquid = 5 : 70 : 10

Kloroform

Amonium liquid

Bobot ekstrak + cawan porselen = 69,216 gram

Bobot cawan porselen = 68,996 gram

Bobot ekstrak kental = (Bobot ekstrak + cawan porselen) – bobot

cawan

= 69,216 gram – 68,996 gram

= 0,22 gram

Rendemen yang diperoleh = 0,22 gram

% rendemen

Jadi persen rendemen yang diperoleh adalah 4,39 %

52

Page 53: Lap Akhir Kopi(2)

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan identifikasi senyawa kafein dalam biji kopi. Kopi

mengandung banyak komponen kimia yang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu

komponen alifatik, komponen alisiklik, komponen aromatik, komponen heterosiklik, protein,

asam amino, dan asam nukleat, karbohidrat, lemak, alkaloid, vitamin, dan komponen

anorganik (Spiller, 1998). Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi

adalah kafein. Kafein merupakan xantin yang paling kuat, mempunyai efek farmakogis

terhadap CNS (Central Nervous System) dan sistem kardiovaskular. Kafein menghasilkan

stimulasi korteks dan medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar. Kafein juga

memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan

tubuh.

Kafein merupakan golongan alkaloid dimana pada tanaman biasanya terdapat dalam

bentuk basa bebasnya. Alkaloid merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang

termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Alkaloid biasanya disintesis pada tempat yang

spesifik seperti akar yang sedang tumbuh, kloroplas, dan sel laktiferus. Alkaloid digolongkan

berdasarkan pada struktur cincin atau inti yang dimilikinya meliputi piridin-piperidin, tropan,

quinolin, isoquinolin, indol, imidazol, steroid, alkaloid amin dan purin (Tim penyusun, 2008).

Alkaloid kafein termasuk kedalam golongan alkaloid purin. Berdasarkan pada sifat

kebasaanya, kafein memiliki sifat basa lemah. Untuk kelarutannya, umumnya alkaloid dalam

bentuk basa dan garamnya larut baik dalam alkohol, namun khusus untuk alkaloid kafein,

merupakan basa alkaloid yang larut dalam air, sehingga untuk melarutkan kafein dapat

digunakan air, namun pada praktikum kali ini digunakan etanol 50 %. Digunakannya etanol

50 % sebagai pelarut dalam proses maserasi karena etanol merupakan pelarut yang mudah

melarutkan senyawa polar sampai non polar. Hal itu karena pada etanol kutub non polar

(CH3) sangat dekat dengan kutub polar (OH). Senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut

polar, dan senyawa non polar akan mudah larut dalam pelarut non polar

Pertama-tama dilakukan proses standarisasi simplisia yakni dengan penetapan susut

pengeringan serbuk simplisia biji kopi. Tujuan penetapan susut pengeringan adalah untuk

memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses

pengeringan. Susut pengeringan dapat diartikan sebagai kadar bagian yang menguap suatu

zat, kecuali dinyatakan lain suhu penetapan adalah 105oC (Anonim, 1980). Penetapan susut

pengeringan dilakukan dengan jalan memanaskan simplisia dalam oven pada suhu 105 0C

sampai bobotnya tetap. Pemanasan dilakukan pada suhu 105 0C agar tidak merusak

53

Page 54: Lap Akhir Kopi(2)

kandungan zat aktif yang terdapat dalam simplisia. Dilakukan penetapan susut pengeringan

dengan 3 botol yang berbeda dan dilakukan pengulangan 1 kali bertujuan untuk mendapatkan

presisi yang baik dan memperoleh nilai standar deviasi. Persentase susut pengeringan dari

simplisia biji kopi yang diperoleh sebesar 4,467%± 0,4385%.

Standar deviasi merupakan suatu nilai yang menyatakan seberapa besar

penyimpangan dari suatu data yang didapat. Dari nilai standar deviasi yang didapat oleh

praktikan, kita bisa mengetahui bahwa praktikan melakukan kesalahan relatif pengukuran

bobot untuk menghitung persen susut pengeringan simplisia sebesar 0,4385%. Kesalahan

relatif tersebut disebabkan oleh suhu penimbangan yang tidak konstan selain itu karena

keterbatasan waktu, pendinginan botol timbang dan ekstrak dalam desikator hanya dilakukan

beberapa menit saja, sehingga suhunya belum kembali ke temperatur awal sesuai pada saat

penimbangan sebelumnya. Perbedaan suhu pada saat penimbangan dapat mempengaruhi

besarnya bobot yang terukur. Seharusnya dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali untuk

mendapatkan hasil yang lebih akurat, namun karena keterbatasan waktu, hanya dilakukan 1

kali pengulangan.

Selanjutnya dilakukan pengujian skrining fitokimia, yaitu identifikasi alkaloid yang

terdapat pada serbuk simplisia biji kopi. Penambahan HCl 2 N saat penyiapan filtrat bertujuan

untuk membuat kafein berada dalam bentuk garamnya sehingga lebih mudah larut dalam air

serta pemanasan juga akan meningkatkan kelarutan kafein dalam air. Tiga tetes filtrat hasil

penyaringan kemudian ditambahkan pereaksi Mayer LP. Hasil yang diperoleh dari pengujian

tersebut ialah tidak terbentuk endapan berwarna putih atau kuning. Menurut pustaka kafein

tidak akan membentuk endapan dengan larutan yang mengandung iodin di dalamnya

(Gombergg, 2009).Namun, khusus untuk reagen Mayer LP, walaupun mengandung iodin

menurut literatur menyebutkan untuk reagen Mayer mempunyai ciri khusus apabila terjadi

endapan atau tidak. Apabila larutan uji yang mengandung alkaloid direaksikan dengan Mayer

LP terbentuk endapan, maka alkaloid tersebut kemungkinan adalah golongan quinine,

brucine, papaverine, atropine dan strychnine. Namun apabila tidak membentuk endapan,

maka kemungkinan alkaloid tersebut adalah efedrin dan alkaloid basa purin seperti kafein,

teobromin, dan teofilin (Anonim, 2009). Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa larutan

uji tidak membentuk endapan sebab larutan uji yang dibuat diperkirakan mengandung kafein.

Pada pengujian yang menggunakan pereaksi Bouchardat LP tidak dilakukan karena

pereaksi tersebut tidak tersedia di laboratorium. Kemudian sisa filtrat dikocok dengan dengan

3 ml ammonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume

kloroform P. Penambahan amonia disini bertujuan untuk membasakan filtrat, sehingga kafein

berada dalam bentuk bebasnya. Saat ditambahkan dengan campuran pelarut klorofom dan

54

Page 55: Lap Akhir Kopi(2)

eter, kafein akan tertarik ke fase kloroform, karena kafein memiliki kelarutan yang baik dalam

kloroform. Diambil fase kloroform (fase organik) filtrat yang mengandung kafein. Filtrat

yang diperoleh diuapkan pada penangas air, sisanya dilarutkan dalam sedikit asam klorida 2

N. Penambahan HCl 2 N ini bertujuan untuk berfungsi membuat kafein kembali dalam bentuk

garamnya. Diambil 3 tetes filtrat, diletakkan pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes Harger LP.

Hasil pengujian menunjukkan hasil positif karena terbentuk warna coklat kekuningan.

Setelah dilakukan penentuan susut pengeringan dan uji identifikasi alkaloid,

praktikum dilanjutkan dengan proses ekstraksi terhadap simplisia biji kopi. Proses ekstraksi

ini bertujuan untuk menyari zat aktif dalam tanaman untuk diidentifikasi dan untuk

memperoleh ekstrak kental dari simplisia yang nantinya mempermudah jalannya identifikasi

maupun proses analisis berikutnya. Ekstraksi dilakukan dengan jalan maserasi. Keuntungan

ekstraksi dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana

dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan

penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Pelarut yang digunakan adalah etanol 50%

sebanyak 100 mL. Setelah pelarut dimasukkan ke dalam toples yang mengandung simplisia

biji kopi, campuran diaduk selama kurang lebih 5 menit yang bertujuan agar kopi dapat larut

sempurna dalam etanol dan juga untuk memperbesar bidang kontak antara serbuk dengan

pelarut, sehingga pelarut dapat berpenetrasi ke dalam serbuk biji kopi dan menarik zat aktif

yang berada pada serbuk biji kopi tersebut. Maserasi dilakukan selama 7 hari, dan dilakukan

pengadukan tiap harinya. Setelah 7 hari, maserat disaring, ampasnya dibuang, dan larutan

hasil maserasi ditampung serta diukur volumenya. Dari hasil percobaan diperoleh maserat

sebanyak 84 ml dengan warna coklat pekat.

Tahap berikutnya ialah pemisahan senyawa kafein dengan pengotor-pengotor yang

masih terkandung pada maserat. Tahap pemisahan ini dibagi menjadi dua yaitu partisi dan

kromatografi kolom. Untuk partisi dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dengan menggunakan

corong pisah, pemisahan partisi dengan cara ekstraksi cair-cair ini bertujuan untuk

mengelompokkan senyawa berdasarkan polaritasnya. Prinsipnya adalah menggunakan pelarut

yang saling tidak bercampur dari yang paling nonpolar sampai yang paling polar. Ekstraksi

cair-cair ini dilakukan dengan menambahkan campuran pelarut amonia cair dan kloroform ke

dalam maserat, dengan perbandingan maserat : amonia cair : kloroform (70 : 10 : 5).

Penggunaan amonia sebagai pelarut disini bertujuan untuk membasakan maserat, sehingga

kafein berada dalam bentuk basa bebasnya. Setelah maserat dan pelarut dimasukkan ke

dalam corong pisah, corong pisah digojog sekitar 5 kali. Penggojogan bertujuan untuk

memperbesar bidang kontak antara maserat yang mengandung kafein dengan kloroform.

Kafein yang berada dalam keadaan bebasnya yang bersifat non polar akan tertarik ke fase

55

Page 56: Lap Akhir Kopi(2)

kloroform, sedangkan pengotor-pengotor lain yang bersifat polar pada maserat akan berada

pada fase amonia cair. Setelah terjadi pemisahan, tampung bagian kloroform, dimana bagian

kloroform selalu berada pada bagian bawah dari corong, karena berat jenis kloroform lebih

besar daripada berat jenis etanol, sehingga bagian kloroform akan terkumpul pada bagian

bawah corong. Fase kloroform diambil karena akan terjadi pemindahan kafein dari fase etanol

ke kloroform yang merupakan pelarut organik nonpolar. Ekstraksi ini dilakukan bertahap

yaitu sebanyak 3 kali dengan menggunakan 6 mL kloroform, bertujuan untuk mendapatkan

hasil pemisahan yang baik dan maksimal. Fase kloroform yang diperoleh dari hasil ekstraksi

ditampung. Volume fase kloroform yang diperoleh ialah sebanyak 18 mL. Pada fase

kloroform, ditambahkan natrium sulfat anhidrat kurang lebih 1 gram, yang berfungsi untuk

menarik air dari ekstrak sehingga ekstrak yang dihasilkan bebas dari air. Ekstrak kemudian

disaring menggunakan kertas saring. Selanjutnya fase kloroform ini diuapkan pada suhu 700C

sampai 900C dan tidak boleh lebih sebab apabila penguapan dilakukan pada suhu di atas suhu

900C kafein akan mengalami dekomposisi (Mumin et all, 2006). Berat ekstrak kental yang

diperoleh sebesar 0,22 gram dan persentase rendemennya adalah 4,39 %.

Tahap pemisahan selanjutnya ialah kromatografi kolom. Kolom yang digunakan

dalam pemisahan ini adalah kolom basah. Pada tahap awal preparasi kolom, dimasukkan glass

wool ke dalam kolom. Glass wool ini berfungsi untuk mencegah fase diam melewati kran

yang dapat menyumbat kran saat pengelusian dilakukan. Fase gerak terdiri dari campuran

pelarut kloroform : etanol 50 % (99:1) dan ditambahkan 1 tetes amonia. Penambahan amonia

bertujuan untuk membebaskan kafein agar berada dalam bentuk basa bebasnya sehingga dapat

dengan mudah dipisahkan. Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom secara hari-hati melalui

dinding kolom, sampai melewati sedikit glass wool. Jika terdapat gelembung udara, dinding

kolom diketok-ketok hingga gelembung pecah. Karena jika terdapat gelembung udara,

pemisahan yang dihasilkan tidak maksimal. Bubur fase diam dibuat dengan mencampurkan

silika gel 60 yang telah ditimbang sebanyak 20 gram dengan eluen fase gerak. Bubur fase

diam yang sudah siap, dituangkan perlahan-lahan ke dalam kolom melalui dinding kolom

dengan bantuan batang pengaduk, hal ini bertujuan agar tidak terbentuk gelembung udara

yang nantinya dapat mempengaruhi proses pemisahan. Setelah semua bubur fase diam

dituang ke dalam kolom, disisakan eluen fase gerak agar tetap berada di atas fase diam,

karena kolom akan didiamkan selama kurang lebih 3 hari. Hal ini dilakukan supaya fase diam

tidak kering dan kolomnya tidak pecah saat akan dielusi. Pecahnya kolom atau fase diam

yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga pemisahannya tidak

maksimal. Sedangkan tujuan pendiaman selama 3 hari adalah untuk memperoleh kolom yang

homogen dan kompak sehingga pemisahannya optimal.

56

Page 57: Lap Akhir Kopi(2)

Ekstrak hasil ekstraksi yang telah diuapkan, dituang ke dalam kolom. Namun, karena

pendiaman selama kurang lebih 1 minggu, ekstrak menjadi kering, sehingga tidak bisa

dituangkan langsung ke dalam kolom. Agar ekstrak dapat dituang ke dalam kolom, ekstrak

dilarutkan dengan sedikit eluen, disertai dengan pemanasan untuk mempercepat kelarutannya.

Setelah diperoleh bentuk ekstrak yang dapat dituang, ekstrak kemudian dituangkan ke dalam

kolom perlahan-lahan melalui dinding kolom. Kemudian dilakukan elusi ekstrak dengan fase

gerak yang telah disiapkan. Fase gerak tersebut akan membawa ekstrak kopi turun melewati

fase diam sehingga diperoleh eluat (fraksi). Saat pengelusian berlangsung, diatur kecepatan

tetesan fase gerak yang melewati kran, dan dihitung kecepatannya. Kecepatan tetesan fase

gerak melewati kolom ialah 9,1 detik/ml eluen. Kemudian ditampung fraksi-fraksi hasil elusi

setiap 5 mL. Dari praktikum ini, diperoleh 15 fraksi, dimana fraksi 1-4 digabung menjadi 1

fraksi. Warna fraksi-fraksi yang diperoleh ialah bening. Fraksi-fraksi hasil pemisahan dengan

kromatografi kolom kemudian diuapkan pada penangas air menggunakan effendrof.

Penguapan disini bertujuan untuk menghilangkan kandungan fase gerak yang terkandung

dalam tiap fraksi, sehingga didapatkan isolat dalam konsentrasi yang tinggi.

Identifikasi senyawa kafein yang terdapat pada fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom

dilakukan dengan KLT-spektrofotodensitometri. Prinsip kerja spektrofotodensitometri

berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang

merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh

analit, ditransmisi atau diteruskan. Jika plat yang digunakan transparan, radiasi

elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa

flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Sedangkan pada kromatografi lapis

tipis menggunakan dua peubah yaitu sifat fase diam dan sifat fase gerak atau campuran

pelarut pengembang (Gandjar, 2009). Pada proses identifikasi dengan metode KLT-

spektrofotodensitometri ini, tahap KLT menggunakan fase gerak campuran pelarut antara

kloroform:etanol 50% (99:1), sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silika GF 254.

Plat yang telah dipotong, dicuci dengan cara dielusi dengan menggunakan metanol sebanyak

10 ml sampai batas atas plat. Pencucian dengan cara elusi ini bertujuan untuk menghilangkan

pengotor-pengotor yang terdapat pada plat silika sehinnga tidak mengganggu proses

pemisahan. Selanjutnya dilakukan aktivasi plat pada oven dengan suhu 120oC selama 30

menit. Aktivasi ini bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam dan juga

untuk memindahkan pengotor agar berada pada ujung plat KLT sehingga tidak mengganggu

proses pemisahan.

Pada plat yang sudah diaktivasi, dilakukan penotolan larutan standar kafein, fraksi-

fraksi hasil kromatografi kolom serta ekstrak hasil ekstraksi cair-cair sebelum pemisahan

57

Page 58: Lap Akhir Kopi(2)

dengan kromatografi kolom. Penambahan larutan standar kafein pada penotolan bertujuan

untuk membandingkan harga Rf dari larutan standar kafein dan harga Rf dari fraksi yang

diperoleh melalui kromatografi kolom. Dari perbandingan itulah nantinya dapat diketahui

apakah dalam fraksi yang diperoleh tersebut terdapat kandungan kafein atau tidak. Saat

dilakukan penotolan pada plat KLT, diusahakan ukuran bercak hasil penotolan sekecil dan

sesempit mungkin untuk mendapatkan hasil pemisahan yang baik. Penotolan sampel yang

tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncar ganda (Gandjar, 2009).

Pada penotolan fraksi-fraksi dan ekstrak dilakukan bertahap dengan dilakukan pengeringan

antar totolan.

Selanjutnya dilakukan penjenuhan chamber dengan 10 ml fase gerak. Saat penjenuhan

dilakukan, ditambahkan kertas saring yang diletakkkan pada pinggiran chamber. Penambahan

kertas saring berfungsi agar penguapan yang terjadi dalam chamber merata sehingga udara di

dalam chamber tetap jenuh oleh pelarut (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selama proses

penjenuhan, chamber ditutup dengan baik, didiamkan selama 30 menit dan dijaga agar tidak

mengalami pergeseran untuk mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Penjenuhan

chamber bertujuan untuk meratakan penguapan fase gerak dalam chamber, sehingga chamber

jenuh oleh fase gerak, sehingga memaksimalkan pengembangan fase gerak. Plat yang telah

ditotolkan dengan sampel, diletakkan didalam chamber yang telah jenuh dengan fase gerak.

Pelarut bergerak naik disepanjang lapisan tipis zat padat diatas lempengan akibat pengaruh

kapilaritas, dan bersamaan dengan pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut dalam sampel

dibawa dengan laju yang tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut dalam fase bergerak

dan interaksinya dengan fase diam (zat padat) (Day dan Underwood, 2002). Setelah proses

pengelusian selesai dilakukan, plat dimasukkan kembali ke dalam oven selama 10 menit pada

suhu 60oC, yang bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam.

Plat yang telah dikeluarkan dari oven, didiamkan beberapa saat hingga dingin.

Selanjutnya plat diamati di bawah sinar UV 254 dan 366, warna spot yang terbentuk pada plat

ialah coklat (gelap) pada UV 254 dan berwarna biru pada UV 366. Warna coklat gelap yang

terbentuk pada plat KLT setelah dilihat di bawah UV 254 menandakan bahwa terdapat kafein

pada spot tersebut. Fraksi-fraksi yang menunjukkan hasil positif ialah fraksi 2 dan 14,

sedangkan fraksi-fraksi yang lain tidak terlalu jelas warna coklat yang terbentuk . Pada UV

366, warna biru yang terbentuk menandakan bahwa pada fraksi positif mengandung kafein.

Fraksi-fraksi yang mengandung kafein adalah fraksi 2, 6, 9, 12, 13 dan 14. Untuk memastikan

kembali, plat kemudian di-scanning dengan CAMAG TLC-Scanner mode absorbsi pada

panjang gelombang 273 nm sehingga diperoleh hasil berupa kromatogram. Dipilih panjang

gelombang 273 nm didasarkan pada panjang gelombang maksimum kafein berada pada

58

Page 59: Lap Akhir Kopi(2)

panjang gelombang tersebut. Untuk memperoleh spektrum senyawa yang terdapat pada

sampel, maka dilakukan scanning pada panjang gelombang 200-800 pada spot-spot yang

terdapat pada tiap fraksi. Spektra merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu senyawa yang

dapat membedakannya dengan senyawa lain. Berdasarkan hasil scanning, larutan standar

kafein memiliki harga Rf 0,09. Harga Rf ini digunakan untuk membandingkan antara larutan

standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak yang mengandung kafein. Berdasarkan perbandingan

harga Rf antara larutan standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak, tidak satupun fraksi-fraksi

dan ekstrak yang memiliki Rf yang sama dengan Rf larutan standar. Tidak terdeteksinya

kafein pada plat, mungkin dikarenakan pada konsentrasi kafein dalam sampel yang terlalu

kecil yang berada di bawah rentang LOD alat. Selain harga Rf, didapatkan juga data spektrum

kafein pada larutan standar maupun sampel yang ditotolkan. Dari hasil perbandingan spektra

kafein pada larutan standar dengan spektra kafein pada larutan sampel, tidak ditemukan

spektra yang sama (identik) dari ke-13 sampel yang ditotolkan dengan larutan standar kafein.

Hal ini disebabkan tidak teridentifikasinya kafein pada alat densditometer.

Pada praktikum ini khusus untuk identifikasi kandungan kimia di dalam kopi

dilakukan dengan metode ekstraksi yang berbeda-beda untuk setiap kelompok. Dimana untuk

kelompok 1 menggunakan metode maserasi sedangkan kelompok 2 menggunakan metode

soxhletasi. Untuk ekstraksi menggunakan maserasi dihasilkan 84 ml ekstrak sedangkan

ekstraksi menggunakan dengan jalan soxhletasi diperoleh ekstrak sebanyak 79 ml. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan jumlah simplisia dan pelarut yang sama diperoleh hasil ekstrak

cair yang berbeda menggunakan metode ekstraksi yang berbeda, dimana metode ekstraksi

menggunakan maserasi menghasilkan ekstrak yang lebih banyak jika dibandingkan dengan

menggunakan soxhletasi.

Saat proses pemisahan dengan ekstraksi cair-cair, volume cairan setelah dipisahkan

sama yaitu 18 ml, sebab fase yang diambil saat ekstraksi adalah fase kloroform, dimana

dilakukan penambahan 6 ml volume kloroform, tiap kali ekstraksi (ekstraksi dilakukan

sebanyak 3 kali). Setelah diuapkan, didapatkan ekstrak dengan berat 0,22 gram dari kelompok

maserasi dan 0,272 gram dari kelompok sohxhletasi. Jika dilihat dari banyaknya fraksi yang

diperoleh melalui kromatografi kolom, untuk metode sokletasi diperoleh 9 fraksi, untuk

metode maserasi diperoleh 14 fraksi dan untuk metode maserasi diperoleh 15 fraksi. Fraksi

yang diperoleh ini digabungkan berdasarkan kesamaan warna tiap fraksi yang dihasilkan.

Sehingga setelah digabungkan, untuk metode maserasi mendapatkan 12 fraksi, sedangkan

metode soxhletasi memperoleh 11 fraksi.

Berdasarkan hasil identifikasi plat pada densitometer untuk metode sokhletasi,

ditemukan adanya kafein pada fraksi 9, 10, 11, dan 12. Sedangkan pada ekstrak tidak

59

Page 60: Lap Akhir Kopi(2)

ditemukan kafein. Hal ini mungkin disebabkan oleh volume metanol yang ditambahkan saat

rekonstitusi terlalu banyak, sehingga volume yang ditotolkan juga terlalu encer, dan kafein

yang kemungkinan terdapat pada ekstrak tidak terdeteksi. Untuk metode maserasi, tidak

ditemukan kafein pada ke-13 fraksi, disebabkan oleh konsentrasi kafein yang terlalu kecil,

yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak bisa dideteksi.

60

Page 61: Lap Akhir Kopi(2)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Metode yang digunakan untuk mengisolasi kafein dari simplisia biji kopi adalah

maserasi, partisi cair-cair dan kromatografi kolom.

2. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kafein adalah KLT-

spektrofotodensitometer.

3. Hasil yang diperoleh berdasarkan metode KLT-spektrofotodensitometer ialah tidak

ditemukannya kafein pada isolat. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi kafein

yang terlalu kecil, yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak dapat

teridentifikasi.

7.2 Saran

Para peneliti kandungan biji kopi selanjutnya diharapkan dapat menentukan metode yang

lebih tepat untuk mendapatkan kandungan kafein dalam biji kopi sesuai dengan literatur.

61

Page 62: Lap Akhir Kopi(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1998. Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta: Kanisius.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia .

Anonim. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Anonim. 2009. Scheme for Identification of Unknown Alkaloid Solution.

Available at :

http://www.pua.cc/PUASite/uploads/file/Pharmacy/Courses/PHR344/Practical%205.pdf

Openned : 24 Desember 2010

Bruneton, J. 1999. Pharmacognosy Phytochemistry Medical Plant, 2nd Edition. New York :

Intercept ltd.

Clarck, Jim.b2007. Kromatografi.

Available at : http://www.chem-is-try.org/instrumen_analisis/kromatografi

Opened at : 24 Desember 2010

Day, R.A. dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Gomberg, M. 2009. Estimation of Caffein by Meansof Wagner’s Reagent.

Available at : http://www.rsc.org/ejarchive/AN/1896/AN8962100192.pdf

Opened : 24 Desember 2010

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: ITB .

Hutapea, J.R. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta: Depkes RI Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Kristianti, A.N, N.S. Aminah, M. Tanjung, B.Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya:

Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Airlangga.

Kusmardiani,S dan A. Nawawi.1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Pusat Antar Universitas

Bidang Ilmu Hayati

Moffat, A.C., M.D. Osselton, and B. Widdop. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons.

3rd Edition. London: Pharmaceutical Press.

Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmakognosi. Bukit Jimbaran: Jurusan Farmasi Fakultas

MIPA Universitas Udayana.

62

Page 63: Lap Akhir Kopi(2)

Sherma, J. and B. Fried. 1996. Handbook of Thin-Layer Chromatography. Third Edition.

New York: Marcel Dekker Inc. P.147-149

Spiller, G. A. 1998. Caffeine. USA: CRC Press.

Sthal, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : ITB.

63