Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya cerdas-iklim...Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya Sebuah...

122
Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya Sebuah eksplorasi terhadap konsep dan implikasi praktisnya Koen Kusters

Transcript of Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya cerdas-iklim...Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya Sebuah...

Lanskap Cerdas-Iklim dan Pendekatannya

Sebuah eksplorasi terhadap konsep

dan implikasi praktisnya

Koen Kusters

Ringkasan

i

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannyaOpini dan pandangan dalam publikasi ini tidak sepenuhya merupakan opini danpandangan dari Tropenbos International atau para mitranya.

Penulis : Koen KustersPenerbit : Tropenbos InternationalHak Cipta : ©Tropenbos International 2015

: ©Tropenbos Indonesia 2017ISBN : 978-90-5113-136-9

Saran dan Rujukan: Kusters, K. 2017. Lanskap Cerdas-iklim dan Pendekatannya.Topenbos Indonesia, Bogor, Indonesia. Judul asli: Climate-smart lanscape and thelanscape approach -- An exploration of the concepts and their practical implications,Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands, terbit 2015.

Penerjemah : Nina NataliaEditor : Edi Purwanto Disain dan Tata letak : Debut Press YogyakartaSumber foto : Tropenbos International

Jl. Akasia Raya Blok P.VI No. 23

Tanah Sareal Bogor 16161 – Indonesia

Phone (62-251) 8316156

Fax: (62-251) 8316257

www.tropenbos.org

ii

Pendekatan Lanskap dan Lanskap-Lanskap Cerdas-Iklim

Ringkasan

iii

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Kotak

Ringkasan

Pendahuluan

Lanskap cerdas-iklim

Pendekatan lanskap

Tantangan dalam menerapkan pendekatan lanskap

Bagaimana kita tahu bahwa itu berhasil?Sebuah agenda masa depan

1. Pendahuluan

1.1 Tujuan

1.2 Mengapa perspektif lanskap?

1.3 Sebuah fokus tentang lanskap pertanian

1.4 Struktur laporan

2. Lanskap cerdas-iklim

2.1 Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim

Keanekaragaman tingkat lanskap untuk meningkatkanketahananMengelola sinergi antara mitigasi dengan adaptasi

2.2 Produksi pertanian

2.3 Penghidupan lokal

2.4 Konservasi keanekaragaman hayati

v

v

1

1

1

2

5

3

4

6

6

8

9

11

12

Praktek pertanian cerdas-iklim pada tingkat ladang/kebun 13

14

16

19

25

27

iv

Pendekatan Lanskap dan Lanskap-Lanskap Cerdas-Iklim

3. Pendekatan Lanskap

3.1 Elemen-elemen pengelolaan lanskap terpadu

Prinsip-prinsip dasar

Ciri-ciri proses pengelolaan lanskap terpadu

Kondisi penunjang

3.2 Inisiatif-inisiatif lanskap

4. Tata kelola Lanskap

4.1 Bentuk-bentuk tata kelola lanskap

4.2 Apa yang berjalan?

4.3 Tantangan-tantangan tata kelola

5. Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

5.1 Penilaian kinerja

5.2 Kerangka kerja pengukuran lanskap

5.3 Tinjauan umum LPFN terhadap inisiatif lanskap terpadu

5.4 Kajian capaian berdasarkan pada kerangka kerjapermodalan

6. Kesimpulan

6.1 Keanekaragaman sebagai sebuah elemen kunci darilanskap cerdas-iklim (smart-climate)

6.2 Pendekatan lanskap sebagai seperangkat prinsip-prinsip pemandu

6.3 Kesuksesan inisiatif lanskap terpadu dan agendapenelitian di masa depan

Daftar Pustaka

Catatan Akhir

35

37

37

38

39

43

55

57

58

60

71

72

74

76

77

5.5 Menyertakan dimensi iklim dan tata kelola 81

87

88

89

92

95

109

Ringkasan

v

Daftar Tabel

Praktek-praktek dengan manfaat adaptasi dan mitigasi pada tingkat petak ladang dan lanskap

17

22

24

Tabel 1.

Intensifikasi pertanian pada skala ladang dan lanskap Tabel 2.

Pengukuran keefektifan versus pengukuran status Tabel 3.

Kartu-nilai (Scorecard) performa lanskapTabel 4.

Indikator-indikator yang digunakan dalam ulasan umum ILT oleh LPFN

Tabel 5.

Indikator-indikator terpilih oleh Endamana dkk. (2010)Tabel 6.

Kriteria dan indikator tata kelola yang baik untuk inisiatif tingkat lanskap

Tabel 7.

Daftar Kotak

Pertanian IndustriKotak 1.

Alternatif-alternatif terhadap pertanian industri Kotak 2.

Dasar-dasar pendekatan lanskapKotak 3.

Perencanaan spasial partisipatif dan pemetaan masyarakat

Kotak 4.

Keterlibatan sektor swastaKotak 5.

Kasus pada restorasi lanskapKotak 6.

Insentif keuanganKotak 7.

Mempromosikan lanskap Cerdas-Iklim di Ghana baratKotak 8.

Contoh berbagai indikator untuk mengukur performalanskap

Kotak 9.

Peran organisasi masyarakat sipil, perusahaan dan sektor publik

Kotak 10.

40

42

46

48

62

63

73

20

74

7578

80

81

91

vi

Pendekatan Lanskap dan Lanskap-Lanskap Cerdas-Iklim

Ringkasan

Pendahuluan

Berbagai tantangan global terkait kemiskinan, ketahanan pangan,kerusakan lingkungan dan perubahan iklim menyatu di perdesaan wilayahtropis. Disanalah terdapat persaingan tinggi untuk lahan dan sumber daya,kemiskinan dan kerusakan lingkungan berjalinan sangat erat, dan perubahaniklim mengancam penghidupan masyarakat secara langsung. Dalambeberapa tahun terakhir, timbul pemahaman perlunya penanganan berbagaitantangan tersebut secara terpadu dan pada skala lanskap. Hal ini memicusemakin banyaknya literatur yang membahas mengenai pendekatan lanskapdan lanskap-lanskap cerdas-iklim (climate-smart). Terminologi tersebutmerepresentasikan bahasan yang sangat kuat sehingga dengan cepatdiadopsi oleh berbagai organisasi yang bekerja di bidang yang berkaitandengan pertanian, kehutanan, dan konservasi keanekaragaman hayati.Namun demikian, saat ini belum ada kesepakatan mengenai implikasi-implikasi praktis dan keterbatasan-keterbatasan dari konsep itu sendiri.Berdasarkan suatu kajian ilmiah literatur mengenai lanskap cerdas-iklim danpendekatan lanskap, serta wawancara dengan para ahli, laporan inibertumpu pada beberapa pertanyaan berikut: Apakah lanskap cerdas-iklimitu? Dalam prakteknya apa yang dimaksud dengan pendekatan lanskap?Bagaimana pendekatan lanskap dapat diterapkan? Dan bagaimana kitamengetahui bahwa pendekatan ini berhasil?

Lanskap cerdas-iklim

Literatur mengenai lanskap-lanskap cerdas-iklim sebagian besar fokuspada area produksi pertanian di kawasan tropis berhutan. Dalam kontekstersebut lanskap cerdas-iklim digambarkan sebagai daerah yang secarabersamaan mendukung kepentingan iklim, pembangunan, dan perlindunganalam. Literatur yang dikaji relatif tidak terlalu memberi perhatian pada

Ringkasan

1

berbagai kemungkinan inovasi teknologi di sektor pertanian dan kemungkinankeunggulan spesialisasi tata ruang (spasial), namun lebih menekankan padakeanekaragaman. Keanekaragaman pada tingkat lanskap memungkinkanadanya interaksi fungsional antar berbagai komponen lanskap yang berbeda dan mendorong ketahanan sosio-ekologis, yaitu kemampuan untuk mengatasidan pulih kembali dari aneka tekanan atau perubahan besar/guncanganseperti kekeringan, banjir, dan kondisi cuaca ekstrim. Ditekankan pulapentingnya memelihara atau menjaga keberadaan pepohonan dan sebaranhutan-hutan kecil di lanskap-lanskap pertanian. Pepohonan dan petakanhutan-hutan kecil tersebut menunjang penghidupan masyakarat lokal melaluipenyediaan sumber makanan, bahan bakar dan penghasilan–sangat pentingterutama ketika tanaman pangan lainnya gagal–serta membantu mencegahperubahan iklim melalui pemeliharaan cadangan karbon baik di atas maupundi dalam tanah. Pepohonan dan petakan hutan-hutan kecil juga menyediakanjasa-jasa lingkungan seperti konservasi tanah dan air yang diperlukan untukmemastikan produksi pertanian pada jangka panjang, serta berkontribusipada konservasi keanekaragaman hayati melalui penyediaan habitat untukspesies-spesies hutan di luar kawasan yang dilindungi.

Pendekatan lanskap

Pendekatan lanskap merupakan seperangkat prinsip pengelolaanlanskap. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Pendekatan tersebut dibangunberdasarkan berbagai pengalaman mengenai inisiatif konservasi danpembangunan dalam beberapa dekade terakhir dan secara efektifmelingkupi berbagai konsep dan prinsip yang ada dalam satu kumpulan.Banyak penulis telah mempublikasikan apa yang mereka pandang sebagaielemen utama dari pendekatan lanskap, yang diajukan sebagaiprinsip-prinsip yang harus diperhitungkan ketika melaksanakan inisiatifterpadu di tingkat lanskap. Hal ini termasuk prinsip-prinsip dasar (sepertiperlunya mengikutsertakan semua pemangku kepentingan dalam prosespengambilan keputusan), ciri-ciri proses (seperti pengelolaan yang adaptifdan kerjasama antar sektor), dan kondisi-kondisi umum (seperti perlunyaperaturan yang mendukung). Banyak penulis, baik secara eksplisit ataupunimplisit, menekankan perlunya memastikan bahwa pelaku yang lebih dominandi suatu lanskap, tidak mengabaikan kepentingan para pemangkukepentingan yang lebih lemah (termasuk generasi masa depan), dan perlunya

2

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

tata kelola yang baik, termasuk dalam hal akuntabilitas dan transparansi.Hal-hal ini menambah komponen normatif pada pendekatan tersebut.

Tantangan dalam menerapkan pendekatan lanskap

Upaya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan tata kelola agardapat mengimplementasikan pendekatan lanskap, sejauh ini masih lebihbanyak bersifat percobaan. Upaya-upaya tersebut biasanya melibatkanpembentukan semacam landasan bersama berbagai pemangku kepentingan(multi-stakeholder platform). Beberapa landasan tersebut dapat dirancangsebagai institusi formal pemerintah, sementara lainnya beroperasi sebagaijejaring informal dan fleksibel. Sebagian mempunyai inisiator eksternal,sementara lainnya tumbuh secara spontan dari inisiatif lokal. Namun belumada bukti sistematis tentang efektivitas dari berbagai bentuk kesepakatan-kesepakatan tersebut. Yang jelas timbul kemudian adalah adanyatantangan-tantangan baru. Beberapa alasan adalah, pertama, landasanbersama berbagai pemangku kepentingan sangat memakan waktu fasilitatormaupun pesertanya, sementara manfaat langsungnya tidak selalu jelas. Haltersebut dapat mengecilkan minat para pelaku lainnya–terutama sektorswasta. Kedua, kepentingan dari para pelaku di lanskap dapat sangatbervariasi, sehingga sulit untuk mencari persamaan tujuan dan mengidentifi-kasi kesepakatan yang optimal. Oleh karenanya pembentukan landasanbersama para pemangku kepentingan tidak selalu berhasil mencapaikonsensus tentang lanskap yang diinginkan dan bagaimana seharusnyadikelola. Dalam prakteknya hasil dari proses pengambilan keputusan olehberbagai pemangku kepentingan akan tergantung dari siapa yang hadir, dan bagaimana mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka. Terakhir,ketercapaian jangka panjang dari pengaturan tata kelola lanskap padaakhirnya akan tergantung dari keberadaan lembaga pemerintah yangberfungsi. Lembaga pemerintah tersebut diharap mempunyai legitimasi untukmengambil keputusan, mengintegrasikan kesepakatan dalam berbagai ikatan hukum dan menegakkannya. Namun di banyak daerah perdesaan terpencil,efektivitas lembaga pemerintah terhambat oleh mandat yang tidak jelas atautumpang tindih, konflik kepentingan, ketidakjelasan hak kepemilikan, korupsidan kurangnya sumber daya. Meskipun masih banyak hambatan seperti yangtelah dijelaskan di atas, semakin banyak organisasi yang mengadaptasisetidaknya beberapa elemen dari pendekatan lanskap, dan hal ini tidakdiragukan lagi telah meningkatkan peluang bagi para pemangku

Ringkasan

3

kepentingan di lanskap untuk berdiskusi, bekerja, dan belajar bersama.Sekarang saatnya untuk belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut.

Bagaimana kita tahu bahwa itu berhasil?Sebuah agenda masa depan

Dengan adanya organisasi-organisasi yang bergerak di bidangpembangunan dan konservasi lingkungan yang menginvestasikan dana padainisiatif lanskap terpadu untuk mendukung lanskap cerdas-iklim, makadibutuhkan suatu cara menilai efektivitas intervensi-intervensi tersebut.Pengembangan metode penilaian tidak hanya memerlukan pengidentifikasian berbagai indikator pada berbagai dimensi cerdas-iklim (seperti contohnya:penghidupan masyarakat lokal, produksi pertanian, konservasi keaneka-ragaman hayati, ketahanan, kapasitas kelembagaan, kapasitas adaptasi dan potensi mitigasi), namun juga pada dimensi yang lebih normatif daripendekatan lanskap seperti misalnya tata kelola yang baik (contohnya:partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas). Metode-metode tersebutselanjutnya dapat digunakan untuk mengeksplorasi keterkaitan antara ciri-cirisuatu lanskap, inisiatif lanskap dan kinerjanya. Karena pendekatan lanskapmerupakan satu pendekatan dimana proses negosiasi, pengambilankeputusan dan evaluasi sedang berjalan, maka nilai dari metode-metodepengkajiannya terutama terletak pada kemungkinan penggunaannyasebagai perangkat untuk mengembangkan diskusi dan menegosiasikanuntung-rugi timbal balik (trade-off), yang merupakan hal penting dari upayapengelolaan lanskap terpadu. Untuk itu dibutuhkan pengukuran yang mudahuntuk digunakan, komprehensif serta dapat diadaptasi. Bersama denganmitra lokal, nasional dan internasional, Tropenbos Internasional berkomitmenuntuk mengembangkan, menguji, dan mengimplementasikan metode tersebutdi tahun-tahun mendatang.

4

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

1. Pendahuluan

“Berpikir pada skala lanskap tidak berarti hanya memikirkan area

yang lebih luas [...], tetapi lebih memikirkan keanekaragaman

karakteristik lahan”

(Torquebiau, 2015:21)

Pendahuluan

5

1.1 Tujuan

Dalam beberapa dekade terakhir, sudah menjadi semakin biasa bagipara peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi untuk menekankan perlunyapendekatan terpadu pada tingkat lanskap agar dapat secara bersamaanmengatasi degradasi lingkungan, perubahan iklim, kerawanan pangan, dankemiskinan. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya publikasi, seminar,dan konferensi tentang pendekatan lanskap dan pengelolaan lanskapterpadu. Akhir-akhir ini, istilah lanskap cerdas-iklim (climate-smart) telahditambahkan sebagai kosakata standar. Namun dikuatirkan istilah tersebutmenjadi bagian dari hanya sekedar istilah (jargon) bila tidak ada pemaham-an yang baik tentang implikasi praktis dan batasan-batasannya. Saat inibelum ada kesepakatan mengenai makna dari konsep tersebut. Para praktisiserta pembuat kebijakan masih mencari jawaban yang paling tepat untukberbagai pertanyaaan yang lebih mendasar seperti:

· Apakah yang dimaksud dengan sebuah lanskap cerdas-iklim?

· Apakah arti dari pendekatan lanskap?

· Bagaimana hal itu dapat dipersiapkan?

· Bagaimana kita tahu bila hal itu berjalan?

Laporan ini mengungkap pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkanbahasan terhadap beberapa literatur ilmiah yang diseleksi tentang lanskapcerdas-iklim dan pendekatan lanskap, dilengkapi wawancara dengan paraahli internasional1. Hal ini menjawab dua kegunaan besar, pertama, meringkas pengetahuan terkini dan berbagai opini bagi para praktisi dan pembuatkebijakan yang bekerja di bidang yang berkaitan dengan konservasi hutandan pembangunan pertanian. Kedua, menyediakan bahan sebagai studipelingkupan untuk mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang masihmemerlukan jawaban, agar dapat memberikan arahan bagi pekerjaan kedepan pada lanskap cerdas-iklim.

1.2 Mengapa perspektif lanskap?

Scherr, Shames and Friedman (2013:2) mendefinisikan sebuah lanskapsebagai “sebuah sistem sosio-ekologi yang terdiri dari potongan-potonganekosistem alami dan/atau yang telah dimodifikasi oleh manusia, dengankonfigurasi karakteristik dari topografi, vegetasi, penggunaan lahan, danpermukiman yang telah dipengaruhi oleh berbagai proses dan aktivitas ekologi,

6

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

sejarah, ekonomi, dan budaya pada suatu area”. Ini merupakan suatu konsepyang cair; sehingga bukannya memberikan kejelasan definisi mengenailanskap, tetapi menyerahkan pada siapa yang menggunakannya. Dengandemikian, batasan lanskap tergantung pada tujuan pengelolaannya. Dapatberupa sebuah Taman Nasional dengan wilayah sekelilingnya ketikatujuannya adalah untuk konservasi mamalia besar, atau sebuah daerah aliransungai bila tujuannya adalah menyediakan air bersih untuk penduduk kota.Oleh karenanya, lanskap biasanya didefinisikan sesuai dengan fenomenakepentingan atau suatu masalah yang perlu diselesaikan (Minang dkk, 2015c).

Istilah lanskap berasal dari kata 'landshap', yang digunakan olehpelukis-pelukis Belanda di abad ke-16 untuk menunjukkan pemandanganperdesaan (Olwig, 1996). Lukisan-lukisan mereka menggambarkanpemandangan lahan pertanian, sungai atau danau, kumpulan pohon,terkadang sebuah peternakan, dan sesekali sebuah kincir angin. Sekarangistilah lanskap masih sering dipakai untuk menunjukkan keberagaman unitlahan dan para penggunanya. Sebuah lanskap biasanya terdiri darikomponen-komponen yang berbeda (misalnya ladang pertanian, lahanpepohonan kayu, perkebunan, area yang belum ditanami, bantaran sungai,sungai, dan permukiman), yang dikelola oleh berbagai pemangku kepenting-an (misalnya petani, rimbawan dan nelayan, organisasi masyarakat dan LSM,bisnis dari semua tingkatan, dan lembaga pemerintah).

Pada berbagai literatur ilmiah, lanskap biasanya dipahami sebagaisebuah sistem sosio-ekologi yang rumit, dengan komponen-komponen danpemangku kepentingan berbeda yang saling tergantung satu sama lainnya.Sistem tersebut bercirikan suatu tingkat ketidakpastian, yang disebabkan olehadanya hubungan non-linear, mekanisme umpan balik dan pelaku eksternalyang selalu berubah (Parrott dan Meyer, 2012). Sehingga konfigurasi lanskap dihasilkan oleh interaksi terus-menerus antara proses-proses ekologi, sosialdan ekonomi (Minang dkk, 2015b). Mengadopsi sebuah ‘perspektif lanskap’berarti mengakui keberadaan dan saling ketergantungan dari berbagaikomponen, para pemangku kepentingan dan kepentingan di dalam areatertentu. Dalam tulisan Torquebiau’s (2015:21), “Berfikir pada skala lanskapbukan berarti hanya memikirkan area yang lebih luas (sebagaimana biasadipikirkan orang), tetapi lebih memikirkan keanekaragaman karakteristik lahan”.

Sebuah ciri terkait dengan lanskap adalah tidak adanya pelaku tunggalyang memegang kendali. Sebuah lanskap merupakan hasil darikeputusan-keputusan yang diambil oleh berbagai pelaku. Dengan demikiansuatu lanskap lebih mengacu pada pengambilan keputusan kolektif

Pendahuluan

7

dibandingkan dengan individual. Sebagaimana Zagt dan Chavez-Tafur(2014:viii) katakan, “baik petani komoditas maupun pencinta lingkunganmerasa bahwa ‘lanskap’ dimulai ketika kemampuan mereka untukmengatasi dan mempengaruhi pelaku serta lingkungan terhenti, kuranglebih pada perbatasan antara tiap-tiap ladang dan area yangdikonservasi”.

1.3 Sebuah fokus tentang lanskap pertanian

Terdapat banyak jenis lanskap. Beberapa didominasi oleh satu jenis tataguna lahan, sementara lainnya merupakan mosaik dari penggunaan yangberbeda-beda. Beberapa relatif stabil, sementara lainnya sangat dinamik,dan mengalami perubahan yang cepat. Beberapa dikarakteristikkan olehpenggundulan hutan dan degradasi hutan, sementara yang lainnyamempunyai tutupan hutan yang meningkat (Wiersum, 2014). Chomitz (2007)memperkenalkan berbagai tipologi2 yang disederhanakan untukmengkategorikan aneka variasi lanskap di daerah tropis berhutan sebagaiberikut:

· Area di luar perbatasan pertanian: merupakan area-area terpencil,dengan kepadatan penduduk rendah dan hutan alami yang luas. Masyara-kat–seringkali masyarakat asli–kebanyakan merupakan petani berorien-tasi subsisten, yang hidup dekat atau di dalam hutan alami.

· Mosaik lahan hutan-pertanian: merupakan area pertanian yang diselingidengan bagian-bagian berhutan. Area ini berisikan sejumlah besarmasyarakat di dunia yang sangat bergantung pada hutan, karenakepadatan penduduknya yang secara relatif cenderung tinggi. Hutanmerupakan sumber penting baik bagi pendapatan maupun jasa-jasalingkungan.

· Area perbatasan dan wilayah sengketa: area ini cenderung kurang jelashak kepemilikannya dan merupakan sumber konflik atas lahan dan sumberdaya hutan. Pertanian skala besar berkembang secara pesat denganmengorbankan hutan alami dan pertanian skala kecil. Seringkali terjadikonflik antar pengguna, termasuk masyarakat yang sudah lama tinggaldisitu, petani pendatang, dan kepentingan komersial skala besar(penebangan pohon dan pertanian).

Banyak publikasi tentang lanskap cerdas-iklim dan pendekatan lanskap(termasuk laporan ini) berfokus pada kategori kedua dari tipologi Chomitz,

8

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

yaitu area yang berlokasi di dalam zona produksi pertanian. Di area inilahperbedaan kepentingan bertemu secara eksplisit. Permintaan global yangmeningkat untuk produk-produk pertanian memberikan tekanan pada lahandan sumber daya alam, dan mengancam penyediaan barang dan jasalainnya dari lanskap (contohnya produk kehutanan, pengaturan air,penyerbukan, penyerapan karbon, konservasi keanekaragaman hayati).Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengelola lanskap tersebutdengan menyeimbangkan antara produksi pertanian dan fungsi-fungsilanskap lainnya.

1.4 Struktur laporan

Di bagian awal, laporan ini mengenalkan lanskap cerdas-iklim sebagaisesuatu yang berkontribusi pada tujuan-tujuan produksi, penghidupan, konser- vasi dan iklim (bagian 2). Bagian selanjutnya menitikberatkan padapembahasan mengenai pengelolaan lanskap terpadu sebagai cara untukmencapai lanskap dimaksud (bagian 3), berbagai tantangan terkait dengankesepakatan tata kelola lanskap (bagian 4), dan cara bagaimana efektivitasinisiatif lanskap terpadu dapat dkaji (bagian 5). Bagian terakhir menyampai-kan berbagai temuan penting dan usulan pertanyaan-pertanyaan untukpenelitian berikutnya (bagian 6). Tersebar di seluruh isi laporan adalahwawancara dengan para pakar internasional, menjawab pelbagaipertanyaan yang muncul dari literatur.

Pendahuluan

9

10

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

2. Lanskap cerdas-iklim

Langkah-langkah untuk mendorong adaptasi dan mitigasi akan

lebih efektif bila diimplementasikan pada skala lanskap

Lanskap cerdas-iklim

11

Lanskap dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang kemudian mempe-ngaruhi produksi barang dan jasa. Agenda iklim yang sangat mendesak ditingkat internasional bersamaan dengan meningkatnya perhatian padapentingnya pendekatan lanskap, telah memunculkan konsep lanskap“cerdas-iklim” (climate-smart). Dalam arti sempit, terminologi tersebut mengacu pada suatu lanskap yang mendukung adaptasi manusia terhadap perubahaniklim, sekaligus membantu mengurangi emisi/mitigasi gas rumah kaca (GRK). Walaupun istilah tersebut menekankan pada fungsi-fungsi terkait denganiklim, namun pada literatur mengenai lanskap-lanskap cerdas-iklim haltersebut tidak mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan bahasanmengenai fungsi-fungsi lanskap lainnya. Bahkan, tujuan-tujuan menjagakondisi iklim ditinjau bersama dengan tujuan-tujuan terkait dengan produksipertanian, penghidupan masyarakat lokal serta upaya konservasi keaneka-ragaman hayati. Hubungan di antara berbagai agenda tersebut mendapatpenekanan, karena potensinya untuk bersinergi.

Dengan demikian, lanskap cerdas-iklim artinya adalah lanskap yangsekaligus berkontribusi pada berbagai tujuan menjaga kondisi iklim,meningkatkan produksi pertanian, memperbaiki penghidupan masyarakatlokal dan upaya konservasi keanekaragaman hayati. Diskusi di bawah iniakan mulai dengan membahas berbagai tujuan terkait dengan perubahaniklim dan implikasinya terhadap bentuk atau susunan lanskap. Kemudian diikuti dengan kajian singkat mengenai ciri-ciri lanskap yang diharapkan berkaitandengan tujuan-tujuan produksi, penghidupan, dan upaya konservasi.

2.1 Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim

Sektor pertanian bersama kehutanan menyumbang hampir 25% dari total emisi GRK dunia yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Smith dkk, 2014).Pada saat yang bersamaan, penghidupan petani kecil di daerah perdesaanterancam oleh berbagai kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim,seperti semakin tidak menentunya pola curah hujan dan semakin seringterjadinya kondisi cuaca yang ekstrim. Kerentanan manusia terhadappelbagai perubahan ini tergantung pada kemampuan mereka untukmenghadapi kejutan/perubahan mendadak maupun adaptasi terhadapperubahan yang berangsur. Sudah barang tentu sektor pertanian dankehutanan memegang peran sangat penting dalam upaya mencegahperubahan iklim yang semakin besar dan meningkatkan kapasitasmasyarakat beradaptasi. Hal ini membutuhkan upaya-upaya di berbagai

12

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

tingkatan ruang. Sebuah lanskap cerdas-iklim bercirikan praktek-praktekpertanian cerdas-iklim pada skala ladang, pemanfaatan lahan yang sangatberagam pada skala lanskap, serta pengelolaan interaksi tata guna lahanyang baik (Scherr, Shames dan Fiedman, 2012). Hal terakhir ini khususnyarelevan untuk mencapai sinergi antara berbagai tujuan mitigasi dan adaptasi(Duguna, Minang dan Van Noordwijk, 2014).

Praktek pertanian cerdas-iklim pada tingkat ladang/kebun

Pertanian cerdas-iklim mengacu pada seperangkat praktek pertanianyang menganekaragamkan antara penghidupan dan menjaga jasa-jasalingkungan demi meningkatkan kapasitas manusia beradaptasi terhadapperubahan iklim serta mengurangi emisi gas-gas rumah kaca (Harvey dkk,2014; FAO, 2013). Hal tersebut termasuk banyak praktek pertanian yangdikembangkan sebagai bentuk-bentuk pertanian berkelanjutan atau ramahlingkungan. Daftar di bawah ini adalah contoh dari pendekatan cerdas-iklimyang diambil dari berbagai publikasi (Milder dkk, 2015; Hobbs, 2007;Harvey dkk, 2014; Scherr, Shames and Friedman, 2012; Eco AgriculturePartners, 2012):

· Perbaikan cara menggarap tanah, untuk meningkatkan karbon organikdalam tanah, sambil mengurangi ancaman erosi ketika terjadi cuacaekstrim.

· Memasukkan pepohonan dan tanaman tahunan lainnya pada sistempertanian, untuk meningkatkan kandungan karbon tanah dan biomassa diatas tanah, seraya melakukan diversifikasi sumber pendapatan petani danmengurangi resiko keuangannya.

· Pengelolaan residu tanaman untuk meningkatkan bahan organik tanah,sambil mendukung proses biologi dan siklus nutrisi.

· Perbaikan sistem pengelolaan air (mendapatkan air, irigasi, sistem teras,dll) untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air. Hal ini penting sebagaiupaya adaptasi ketika pola curah hujan berubah. Selain itu juga membantumengurangi emisi GRK yang saat ini dikaitkan dengan sistem irigasikonvensional (contohnya melalui penggunaan mesin untuk memompa airtanah maupun air permukaan).

· Pengelolaan nutrisi secara terpadu (contohnya melalui penggunaan pupukhijauan dan penanaman tanaman-tanaman pengikat nitrogen) untukmeningkatkan kualitas tanah seraya meningkatkan kandungan karbon dan

Lanskap cerdas-iklim

13

nitrogen dalam tanah serta mengurangi pemakaian zat-zat kimiapertanian.

· Penganekaragaman tanaman pangan untuk mengurangi resiko petaniketika menghadapi kondisi cuaca yang tidak diharapkan.

· Pengaturan rotasi area penggembalaan ternak agar memungkinkanterjadinya proses regenerasi tanaman dan mencegah degradasi, sekaligusmenyimpan karbon di tanaman dan tanah juga.

· Perbaikan pengelolaan kotoran hewan, contohnya menggunakan kotoranhewan tersebut sebagai pupuk dan biogas.

Keanekaragaman tingkat lanskap untuk meningkatkan ketahanan

Hingga saat ini, intervensi untuk memajukan pertanian cerdas-iklimkebanyakan masih terbatas pada proyek-proyek pembangunan yangdilakukan oleh LSM yang berfokus pada praktek pertanian di skala petakataupun ladang/kebun. Padahal, membuat suatu lanskap cerdas-iklimmembutuhkan upaya-upaya yang lebih besar dari skala ladang, contohnyamelalui upaya mempertahankan atau meningkatkan diversifikasi komponentata guna lahan dan sistem alami (Tabel 1) (Milder dkk, 2015). Keberagamansistem alami di suatu lanskap dapat membantu mencegah kerusakan akibatguncangan, sebagai contohnya, lahan basah yang menampung air ketikabanjir, dan vegetasi alami di daerah kemiringan dapat mencegah longsorsaat terjadi hujan deras (Buck dkk, 2006). Keberagaman juga berkontribusipada ketahanan, yaitu kemampuan dari suatu sistem untuk mengatasiperubahan-perubahan atau guncangan-guncangan (Buck dan Baily, 2014),termasuk yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Daya lenting/ketahanan merupakan suatu sifat yang dimiliki olehekosistem maupun sistem sosial. Daya lenting ekosistem dijabarkan sebagai“suatu ukuran mengenai seberapa besar gangguan (seperti badai, kebakaran atau polusi) yang dapat diterima oleh suatu ekosistem tanpa membuatperubahan secara kualitatif suatu kondisi (Stockholm Resilience Centre, 2007).Ketahanan sosial dapat didefinisikan sebagai “kemampuan kelompok ataumasyarakat untuk mengatasi tekanan dan gangguan eksternal sebagai akibat adanya perubahan kondisi sosial, politik dan lingkungan” (Adger, 2000).Pikiran tentang kombinasi daya lenting/ketahanan sosio-ekologis, memberitekanan pada interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial, yang terutamanampak pada penghidupan pertanian dimana kedua sistem tersebut langsung terkait (Buck dan Baily, 2014).

14

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Keberagaman merupakan kunci dari ketahanan/daya lenting, karenadapat mengurangi resiko kegagalan produksi akibat gangguan iklim danmeningkatkan kemungkinan masyarakat lokal untuk mendapatkan beragammakanan, pakan dan pekerjaan yang akan sangat penting pada saatterjadinya kondisi iklim yang merugikan (Scherr, Shames dan Friedman, 2012). Gambaran sederhananya: ketika petani menaman berbagai jenis tanaman,maka mereka tidak akan terlalu rentan terhadap kelangkaan pangan jikasalah satu tanamannya gagal panen. Seperti yang dikatakan oleh Kofinasdan Chapin “Keanekaragaman memberikan bahan dasar atau landasbangunan bagi dimulainya adaptasi. Hal ini meningkatkan ragam pilihan,setidaknya beberapa di antaranya dapat berhasil pada kondisi baru apapun yang timbul, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya degradasisistem secara radikal” (Kofinas dan Chapin, dikutip dalam Buck dan Baily,2014). Keanekagaraman juga meningkatkan kelebihan/redundansi fungsidalam suatu sistem. Redundansi fungsional mengacu pada hadirnya berbagaikomponen yang dapat menjalankan fungsi yang sama. Sehingga jika satukomponen mengalami kegagalan, maka komponen lain dapat menggantikan-nya. Sebagai contoh, suatu daerah yang hanya memiliki satu sumber air akansangat rawan jika terjadi bencana alam yang mempengaruhi sumber tersebut.

Daya lenting suatu sistem sosio-ekologis menguat dengan adanyakeanekaragaman yang tidak hanya variasi komponen ekologis, tetapi jugakeanekaragaman para pelakunya (seperti Pemerintah, LSM, dan kelompokmasyarakat). Para pelaku ini dapat memiliki fungsi yang tumpang tindih,namun kemungkinan besar masing-masing memberikan respon yang berbedaterhadap perubahan-perubahan. Daya lenting semata-mata adalah memper- banyak kemungkinan respon terhadap berbagai macam perubahan: semakinbanyak komponen yang ada, maka akan semakin banyak pilihannya.Selanjutnya, ketika berbagai pelaku dalam suatu lanskap dilibatkan padaelemen pengelolaan lanskap, maka hal ini akan menstimulasi prosespenyebaran pengetahuan dan pembelajaran (Biggs dkk, 2012); lihat jugawww.stockholmresilience.org.3

Lanskap cerdas-iklim

15

Mengelola sinergi antara mitigasi dengan adaptasi

Upaya mitigasi dan adaptasi seringkali dibahas oleh organisasi yangberbeda-beda dan dalam proyek-proyek yang terpisah. Fokusnya cenderung bersifat komplementer di antara kedua tujuan tersebut (contohnya proyekmitigasi yang memberikan manfaat tambahan bagi upaya adaptasi), danjarang dibahas kemungkinan sinergi di antara keduanya (Duguma, Minangdan Van Noordwijk, 2014)4. Sesungguhnya memberlakukan upaya mitigasidan adaptasi secara terpisah dapat mengarah pada tarik ulur kepentingan.Sebagai contoh, penggunaan bahan kimia pada pertanian dapat menjagatingkat produksi pada kondisi iklim yang berubah (adaptasi) namun di sisi laindapat meningkatkan emisi GRK (tidak ada mitigasi). Atau, sistem monokulturtanaman cepat tumbuh dapat meningkatkan cadangan karbon (mitigasi)namun hal ini dapat mengurangi akses air untuk petani di bagian hilir sehingga menurunkan kemampuannya untuk menganekaragamkan sistem produksi(tidak ada adaptasi). Pemahaman terhadap tarik ulur kepentingan ini cukuprumit karena dapat terjadi di sepanjang waktu, contohnya ketika terjadiperubahan praktek pertanian yang dapat menurunkan hasil panen padajangka pendek, namun ternyata menghasilkan produksi yang lebih tinggi danpenyerapan karbon yang lebih baik pada jangka panjang (Harvey dkk,2014).

Berpikir pada tingkat lanskap membuka suatu dimensi dimana sinergiantara upaya mitigasi dan adaptasi dapat tercapai, karena menitikberatkanpada keberagamaan fungsi dan interaksi antara komponen-komponennya.Duguma, Minang dan Van Noordwijk (2014) mengusulkan sebuah“pendekatan sinergis” yang merupakan campuran berbagai macam intervensi demi mencapai kedua tujuan secara bersamaan. Salah satu contohnya adalahupaya memperbaiki lanskap yang rusak, mengarah pada penyerapankarbon, manfaat REDD+ dan peningkatan kemampuan adaptasi masyarakatlokal melalui peluang-peluang kegiatan ekonomi baru. Contoh lainnya adalah konservasi tutupan pohon alami di suatu lanskap (misalnya di dalam tanamanpagar, kebun kayu dan bagian dari hutan) yang bertujuan menjaminketersediaan jasa-jasa lingkungan seperti penyerbukan, pengendalian hamadan pengaturan air, pada saat yang sama juga dapat menjaga cadangankarbon (Harvey dkk, 2014).

16

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Lanskap cerdas-iklim

17

Pra

ktek

yang u

tam

anya m

ember

ikan m

anfa

at adapta

si

Peng

gun

aan

vari

eta

s ta

nam

an

baru

ata

u ke

turu

nan

tern

ak

yang

tole

ran

keke

ring

an,

ata

u dib

esa

rkan

pada teka

nan

lingku

ngan

spesi

fik

Peny

esu

aia

n pada p

rakt

ek

dan

sist

em

irig

asi

Peru

baha

n pada w

akt

u pena

nam

an,

pem

ang

kasa

n ata

upem

ane

nan

Peny

esu

aia

n pada u

ruta

n pena

nam

an

dan

wakt

u peng

air-

an

ata

u pem

beri

an

pup

uk d

an

pest

isid

aPe

rubaha

n pada w

akt

u, d

urasi

, dan

loka

si p

eng

gem

bala

-an

hew

an

Kons

erv

asi

keane

kara

gam

an

gene

tik tana

man

dan

tern

ak

Pra

ktek

yang m

ember

ikan m

anfa

at adapta

si d

an

mitig

asi

Pra

ktek

yang u

tam

anya m

ember

ikan m

anfa

at

mitig

asi

Peng

urang

an

ata

u peng

gun

aan

pup

uk d

an

pest

isid

aya

ng le

bih

efi

sien

Peny

esu

aia

n tip

e m

aka

nan

yang

dib

eri

kan

pada

tern

ak

Peng

urang

an

freku

ens

i ata

u lu

asa

n ke

baka

ran

Perb

aik

an

peng

elo

laan

are

a b

udid

aya

padi l

aha

nbasa

h un

tuk

meng

urang

i em

isi g

as

meth

an

Upaya

kons

erv

asi

tana

h dan

air

yang

terp

adu

Kom

bin

asi

ant

ara

pup

uk o

rgani

k dan

tana

man

penu

tup

Peng

urang

an

ata

u ta

npa m

em

baja

k ta

nah

Peng

elo

laan

sisa

-sis

a tana

man

(pane

n dan

ola

han)

Bud

idaya

vari

eta

s ta

nam

an

yang

tole

ran

naun

gan

Peng

gun

aan

agro

fore

stri

Skala

Peta

k

Peru

baha

n dala

m s

iste

m r

ota

si a

tau

sist

em

pro

duk

si

Perb

aik

an

peng

am

bila

n air

dan

pena

mpun

gan

mela

lui

kola

m, d

ana

u, w

aduk

, dll.

Peni

ngka

tan

efi

siens

i peng

gun

aan

air

mela

lui p

erb

aik

an

pra

ktek

irig

asi

Kons

erv

asi

keane

kara

gam

an

haya

ti agro

Peng

gun

aan

pra

kira

an

mus

iman

dan

tahu

nA

sura

nsi l

adang

ata

u asu

rans

i tana

man

sert

a tern

ak

Ladang

Tabel 1

. Pra

ktek

deng

an

manf

aat adapta

si d

an

miti

gasi

pada tin

gka

t peta

k, la

dang

dan

lans

kap (D

iadapta

si d

ari

Harv

ey d

kk, 2

013)

Div

ers

ifik

asi

sis

tem

tana

man

dan

tern

ak

pada la

dang

Pra

ktek

kons

erv

asi

tana

h, term

asu

k pem

bua

tan

tera

s-te

ras

dan

kont

ur la

han

Perb

aik

an

peng

elo

laan

sisa

tana

man

dan

peng

gun

aan

tana

man

penu

tup

Peng

elo

laan

nutr

isi t

erp

adu

Peng

gun

aan

agro

fore

stri

(w

ana

tani

)Pe

nggun

aan

sist

em

silv

opast

ural (

mis

al,

poho

n di

padang

rum

put

, pagar

hidup

, bank

tana

man

paka

nte

rnak)

--w

ana

tern

ak

Pra

ktek

rota

si h

ewan

yang

tepat

Peng

gun

aan

kons

erv

asi

pert

ani

an

(yaitu

mem

inim

alk

an

gang

gua

n pada tana

h, p

em

elih

ara

an

mul

sa, p

eng

gu-

naan

rota

si tana

man

dan

tum

pang

sari

terp

adu

Peng

gun

aan

pert

ana

man

gand

a, t

umpang

saari

, dan

rota

si tana

man

Peng

urang

an

ata

u peng

gun

aan

kim

ia b

aha

n ya

ngle

bih

efi

sien

Pena

nam

an

baha

n baka

r ha

yati

(bio

fuel

) dan

baha

nbaka

r ka

yu

Pena

nam

an

perk

ebun

an

poho

n ce

pat tu

mbuh

Peng

urang

an

peng

gun

aan

mesi

n dan

baha

n baka

rfo

sil

Pem

bang

kita

n bio

gas

dari

koto

ran

tern

ak

Perb

aik

an

pra

ktek

pem

beri

an

paka

n pada tern

ak

Mem

elih

ara

kone

ktif

itas

habita

t un

tuk

mem

ast

ikan

peny

er-

buk

an

dan

peng

end

alia

n ha

ma

Peng

em

bang

an

sist

em

peng

umpul

air,

infr

ast

ruks

tur

irig

asi

dan

solu

si tekn

ik la

inny

a u

ntuk

meng

urang

i ris

iko b

anj

ir,ke

lang

kaan

air

dan

risi

ko terk

ait

iklim

lain

nya

Targ

et lo

kasi

unt

uk p

roduk

si tern

ak

inte

nsif

di d

ala

m la

ns-

kap u

ntuk

meng

urang

i kont

am

inasi

air

Div

ers

ifik

asi

pili

han

pend

apata

n peta

ni

Lans

kap

Pere

ncana

an

tata

gun

a la

han

pada tin

gka

t la

nska

pun

tuk

berb

agai t

ujua

nPe

melih

ara

an

kera

gam

an

lans

kap--

term

asu

k m

osa

ik

laha

n pert

ani

an

dan

habita

t ala

mi

Kons

erv

asi

dan

rest

ora

si a

rea r

ipari

an

dala

m la

nska

ppert

ani

an

Kons

erv

asi

dan

rest

ora

si h

abita

t hu

tan

yang

ters

isa d

ise

kita

r la

nska

p--

term

asu

k are

a y

ang

dili

ndun

gi f

orm

al

dan

info

rmal

Pem

bua

tan

sist

em

agro

fore

stri

dan

silv

o-p

ast

ora

l

Pena

nam

an

baha

n baku

bio

fuel

Peng

elo

laan

kebaka

ran

deng

an

cerm

at

18

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Pra

ktek

yang u

tam

anya m

ember

ikan m

anfa

at adapta

siPra

ktek

yang m

ember

ikan m

anfa

at adapta

si d

an

mitig

asi

Pra

ktek

yang u

tam

anya m

ember

ikan m

anfa

at

mitig

asi

Skala

Lans

kap

Lanj

utan

Tabel 1

.

Inte

nsif

ikasi

berk

ela

njut

an

dari

pro

duk

si tern

ak

dan

pro

duk

si tana

man

pada a

rea-a

rea tert

ent

uun

tuk

meng

urang

i teka

nan

pada a

rean

yang

raw

an

Peni

ngka

tan

dur

asi

peri

ode b

era

pada b

udid

aya

berp

indah

dan

baka

rRe

stora

si la

han

rusa

k ata

u ra

wan

Kons

erv

asi

dan

rest

ora

si la

han

basa

h dan

laha

ngam

but

Peng

urang

an

eks

pans

i laha

n pert

ani

an

ke h

abita

tala

m y

ang

ters

isa

2.2 Produksi pertanian

Kebutuhan akan lahan pertanian meningkat sejalan dengan pertumbuhanpenduduk, perubahan minat konsumen, peningkatan produksi tanamannon-pangan, urbanisasi dan kerusakan lahan pertanian yang ada. Terutamadi daerah tropis di Asia, Afrika dan Amerika Latin, kompetisi perebutan lahanmeningkat dimana petani, pengusaha pertanian, LSM konservasi lingkungan,perusahaan pertambangan dan perkayuan, serta industri pariwisatamelakukan tuntutan kepemilikan atas tanah dan berbagai sumberdaya.Dengan jumlah penduduk dunia yang diperkirakan mencapai lebih dari 9miliar di tahun 2050, menjaga kualitas dan kuantitas yang memadai dariproduk-produk pertanian, akan menjadi suatu tantangan besar di beberapatahun mendatang. Pertanyaannya kemudian adalah jenis pengembanganpertanian seperti apa yang cocok dengan tujuan ini dan bagaimanadampaknya terhadap lanskap.

Sejak tahun 1960, pendekatan konvensional pada pembangunanpertanian adalah investasi dalam mekanisasi, pemakaian bahan kimia sertaperbaikan varietas bibit. Intensifikasi pertanian dilaksanakan baik ditingkatan ladang/kebun maupun lanskap (Tabel 2, lihat juga Kotak 1) dansecara mengagumkan telah berhasil meningkatkan produktivitas. Suatu carauntuk menjamin keamanan produksi pangan di masa depan dapat dilakukanmelalui investasi di sistem intensifikasi yang lebih maju dan sedapat mungkinmengatur faktor eskternal (contohnya berproduksi dalam rumah-rumah kaca,serta mengembangkan tanaman yang tahan terhadap hama dan kekeringan). Menurut beberapa pakar, investasi di sistem intensifikasi industri pertanianberteknologi tinggi, tidak bisa dihindari harus dilakukan untuk mencapaipeningkatan produksi pertanian yang dibutuhkan demi menjamin ketahananpangan dunia (misalnya Fresco, 2009). Namun, literatur yang dibahas untuklaporan ini, hanya memberikan sedikit perhatian pada kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan oleh inovasi teknologi tersebut. Hal ini mungkindisebabkan oleh profesionalisme keilmuan, karena literatur yang dibahaslebih berasal dari disiplin ilmu yang mempelajari proses-proses ekologis dankeberagaman fungsional di dalam sistem sosio-ekologis yang kompleks(contohnya wanatani, ekologi, geografi). Sementara sangat sedikitperwakilan dari disiplin ilmu yang fokus pada inovasi di bidang pertanian,semisal rekayasa biologi.

Lanskap cerdas-iklim

19

Di dalam literatur yang membahas alternatif pertanian industri (Kotak 2),jenis pertanian ini dikecam karena dampak negatifnya pada lingkungan dansosial. Dampak tersebut termasuk pemadatan tanah karena penggunaanmesin-mesin berat, pengurangan jumlah air tanah, pencemaran air karenaresidu pupuk dan pestisida yang berakibat negatif pada manusia danlingkungan, penurunan keanekaragaman hayati, dan peningkatan kerentanan tanaman terhadap gangguan hama. Para ahli tersebut menentangpenyeragaman (tanaman) lebih lanjut dan lebih memilih keanekaragamanstruktural, yang mereka anggap perlu untuk menjaga interaksi fungsional diantara berbagai komponen yang berbeda. Oleh karenanya, merekaberharap keanekaragaman yang lebih tinggi dalam satu sistem yang akanmenghasilkan kinerja yang lebih baik dari setiap komponen maupun sistemtersebut secara keseluruhan (mis. Tscharntke dkk, 2012; Torquebiau, 2015;Oborn dkk, 2015). Keanekaragaman pada tingkatan lanskap dapatmendukung produksi pertanian dalam berbagai cara, termasuk:

· Hutan dan lahan basah yang langsung berada di sekitar lahan pertanianmembantu mengatur aliran air. Hutan membantu penyerapan air hujan kedalam tanah dan menjaga level air tanah sehingga penting untuk menjaminketersediaan air sepanjang tahun.

· Komponen-komponen bukan pertanian di suatu lanskap mungkin dapatberperan penting memasok nutrisi yang dibutuhkan oleh produksi pertanian. Pada contoh kasus sistem ladang berpindah, nutrien dari petak lahan kering (yang diberakan) dapat menguntungkan bagi penggunaan untuk pertaniankemudian, sementara sistem penanaman permanen dapat memanfaatkannutrien dari komponen lanskap lainnya seperti misalnya ketika sungai banjir dan mengendapkan sedimen, atau dari penyebaran tanah halus di daerahperbukitan.

20

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Intensifikasi tingkat ladang Intensifikasi tingkat lanskap

Tabel 2. Intensifikasi pertanian pada tingkat ladang dan lanskap

Memperbanyak siklus rotasi tanamanMenurunkan diversitas tanamanMeningkatkan asupan pupuk kimia danpestisida

Pembajakan dan irigasi dalamBudidaya monokultur varietas dengan panentinggiMeningkatkan luasan lahan yang dapatditanamiPertanian berbasiskan mekanisasi

Petani membatasi pada satu atau beberapatanaman tertentu, meningkatkan homogenitaslanskapMenghilangkan habitat tepian (pagar tanaman,batas lahan, zona penyangga sepanjang sungai)Realokasi lahan untuk menambah luasan ladangMeninggalkan sistem beraMenurunkan tabel air tingkat lanskap

Sumber: Diadaptasi dari Tscharntke dkk, 2005

· Komponen-komponen di sekitar lanskap mempengaruhi produksi pertaniandengan menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati-pertanianfungsional, yaitu keanekaragaman hayati yang berfungsi dan menyedia-kan jasa-jasa yang membantu keberlanjutan usaha pertanian (Oborn dkk,2015). Meskipun istilah “Keanekaragaman hayati–pertanian” (agro-biodiversity) seringkali digunakan untuk merujuk pada hubungan salingmenguntungkan antara keanekaragaman hayati dan produksi pertanian,namun terdapat juga hubungan yang merugikan antar keduanya(contohnya: parasit hewan ternak, hama tanaman, dan hewan liar perusaktanaman).

· Keanekaragaman penggunaan lahan pada suatu lanskap memungkinkanadanya keanekaragaman genetik, contohnya tanaman lokal yang telahberadaptasi, kerabat tanaman liar sejenis, dan varietas unggul yang telahdiadaptasikan. Keanekagaraman hayati-pertanian tersebut penting untukproduksi pangan di masa depan. Pengembangan tanaman pangan akanmengandalkan tidak hanya pada spesies-spesies tanaman liar tetapi jugapada varietas tanaman pertanian tua (Sunderland, 2011; Wiersum,komunikasi personal).

Lanskap cerdas-iklim

21

22

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 1. Pertanian industri

Pertanian industri mengacu pada berbagai jenis penggunaan lahan, mulaidari perkebunan monokultur yang membentang lebih dari ribuan hektarsampai pada “pabrik perternakan” dengan ribuan ayam pada lahankurang dari satu hektar. Dalam laporan ini, istilah pertanian industridigunakan khususnya untuk menggambarkan budidaya tanaman yangmengandalkan aplikasi pupuk sintetis (nitrogen, kalium dan fosfor) danpestisida. Usaha ini biasanya menggunakan varietas bibit unggul denganhasil yang lebih tinggi dan siklus pertumbuhan yang pendek. Dinegara-negara maju, jenis pertanian digerakkan oleh tumbuhnya pasarperkotaan dan langkanya buruh di daerah perdesaan. Di negara-negaradengan lahan berlimpah (misalnya AS) perhatian biasanya padamekanisasi, sedangkan pemakaian pupuk sangat penting di negaradengan lahan sempit (misalnya Jepang). Sejak 1960 sampai sekarang,pertanian industri menyebar secara cepat ke negara-negaraberkembang, menghasilkan lonjakan yang sangat besar pada produksibiji-bijian–yang biasa disebut sebagai ‘revolusi hijau’.

Hal tersebut memicu peningkatan signifikan ketersediaan kalori perkepala dan menyediakan pangan murah bagi penduduk perkotaan yangterus bertambah. Memang sekarang orang mengeluarkan lebih sedikitbagian dari pendapatannya untuk makanan dibanding sebelumya.Namun revolusi hijau juga mempunyai efek negatif terhadap lingkungan.Menurut beberapa penulis, efek ini dapat (dan sedang) dikurangi denganpenggunaan teknologi modern (misalnya Fresco, 2009). Namun penulisyang lain kurang setuju, mereka berpendapat bahwa ekspansi pertanianindustri yang sedang berlangsung masih menyebabkan masalah

Lanskap cerdas-iklim

23

Lanjutan Kotak 1.

lingkungan, seperti pemadatan tanah karena penggunaan mekanisasi,pencemaran sumber air dari residu pestisida dan pupuk, penurunankeanekaragaman hayati ekologi, peningkatan kerentanan terhadaphama dan penurunan level air tanah. Lebih lanjut, karena diperlukanadanya investasi modal untuk pembelian mesin-mesin dan agrokimia,pertanian industri dapat dikatakan menguntungkan pertanian skala besar, yang menyebabkan konsentrasi lahan dan meruntuhkan peluangpenghidupan bagi petani-petani skala kecil (Horrigan dkk, 2002). Selainitu juga terdapat kekhawatiran adanya ketergantungan yang berat daripertanian industri terhadap bahan bakar fosil untuk mekanisasi,transportasi dan produksi agro-kimia (Woodhouse, 2010).

24

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 2. Berbagai alternatif untuk pertanian industri

Sebagai respon terhadap efek negatif lingkungan dari pertanian industri,beberapa model pertanian alternatif dikembangkan berdasarkanpemikiran bahwa konservasi keanekaragaman, produksi pertanian danjaminan penghidupan bisa dan seharusnya berjalan bersamaan di ruanggeografi yang sama (contohnya Dorrough dkk, 2007; Vandermeer danPerfecto, 2007; Green dkk, 2005). Beragam istilah digunakan termasukagroforestri (wanatani), pertanian konservasi, agro-ekologi, peternakanramah-satwa liar, pertanian organik/biologi, pertanian ekologi,pertanian senantiasa hijau (evergreen), pertanian berkelanjutan danpertanian-eko (eco-agriculture). Pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep tersebut berbeda rinciannya, namun mempunyai beberapa fiturutama yang sama. Mereka biasanya memajukan sistem pertanian yang: (i) memanfaatkan proses ekologi yang terjadi secara alami, seperti siklusnutrisi dan interaksi predator-mangsa; (ii) meminimalkan penggunaanagro-kimia; dan (iii) mengkombinasikan lebih dari satu tanaman (pohon),baik sepanjang ruang atau sepanjang waktu. Keanekaragaman adalahkunci. Hal tersebut meningkatkan peluang interaksi yang menguntungkanantara komponen-komponen yang berbeda dari ekosistem pertanian danmemungkinkan pemanfaatan sumber daya yang lebih efisien.

Keanekaragaman juga diharapkan dapat mengurangi resiko pertaniandalam kondisi lingkungan dan pasar yang tidak menentu. Pertanyaanyang seringkali dilontarkan adalah apakah memang pertanian yang“ramah lingkungan” menggunakan lahan secara efisien. Para ahlisepertinya mempunyai berbagai pandangan yang berseberanganmengenai hal ini. Di beberapa bahasan, mengatakan bahwa asupan

2.3 Penghidupan lokal

Kebanyakan petani di daerah tropis menjadi kelompok paling miskindalam masyarakat. Pengembangan sektor pertanian modern dikabarkansebagai satu metode penting untuk memerangi kemiskinan di daerahperdesaan dan pada waktu yang bersamaan mendorong kondisi ekonominasional. Namun demikian, ketika pengembangan sektor pertanian intensifdan berbasis teknologi canggih mungkin dapat mendorong tingkatkesejateraan (GDP) negara berkembang, masih belum jelas dampak apayang ditimbulkan terhadap penghidupan masyarakat perdesaan. KenaikanGDP tidak secara otomatis berarti perbaikan tingkat kesejahteraan darimayoritas masyarakat perdesaan. Walaupun industri pertanian yang sudahdiperkenalkan sejak tahun 1960 telah mendorong peningkatan produktivitas,namun di sisi lain hal tersebut juga malah memicu “pemiskinan” masyarakatperdesaan (dan migrasi ke perkotaan). Industri pertanian seringkalimembutuhkan lahan yang besar karena pertimbangan skala ekonomis. Haltersebut di banyak daerah telah menyebabkan pengambil alihan lahan olehperusahaan besar dan meningkatnya jumlah petani miskin yang tidakmempunyai lahan (Horrigan dkk, 2002)5.

Perusahaan pertanian skala besar umumnya berusaha untuk memperluaswilayah perkebunannya ke daerah-daerah perbatasan dimana lahan masihmurah dan status kepemilikan tidak jelas. Sejumlah kasus telah dilaporkan

Lanskap cerdas-iklim

25

Lanjutan Kotak 2.

eksternal berteknologi rendah pada berbagai sistem pertanian, dapatmeningkatkan produktivitas (Pretty dkk, 2006; Badgley dkk, 2007; Foleydkk, 2011). Sedangkan bahasan lain mengatakan bahwa pendapat diatas tidak membandingkan antara alternatif teknologi dengan sistemkontrol yang tepat, misalnya praktek pertanian organik yang baikdibandingkan dengan praktek pertanian konvensional yang juga baik(Phalan dkk,2011b) dan menyatakan bahwa sistem pertanian skala kecildengan input eksternal terbatas dapat mengganggu hasil pertanian,sehingga dapat mengancam ketahanan pangan (misalnya disampaikanoleh Godray, 2011). Argumentasi tersebut dapat terjadi karena adanyaperbedaan tingkat analisis, kriteria dan jenis dari kasus yang dipelajari. Hal ini berkaitan dengan latar belakang profesional, model-modelkonseptual dan nilai-nilai (Kusters dan Lammers, 2013).

menyangkut petani skala kecil yang telah diusir dari lahannya–baikterang-terangan ataupun terselubung (misalnya Zakaria dkk, 2007; Colchester,2010; Biofuelwatch, 2007; Lakew dan Shiferaw, 2008; Sirait, 2009; Ginting,2011). Terkadang masyarakat lokal diikutsertakan pada skema perkebunansebagai buruh atau petani kontrak, namun sistem ini seringkali dikritik karenaperlakuan yang tidak adil terhadap para buruh dan petani kecil, dan karenamembuat mereka rentan terhadap akses pasar dan fluktuasi harga (misalnyaRietberg, 2011). Timbul juga kekuatiran terhadap ketahanan panganmasyarakat lokal, karena besar kemungkinan ekspansi dari industri perkebunan dengan tanaman yang seragam akan menggantikan persawahan dan sistempertanian lainnya yang biasanya digunakan untuk memproduksi pangan bagikonsumsi lokal (Löffler dkk, 2014).

Mempertimbangkan hal di atas, maka jenis lanskap apa yang palingcocok untuk tujuan-tujuan penghidupan masyarakat lokal? Literatur mengenaihubungan antara pertanian, kehutanan dan ketahanan pangan menyarankanlanskap yang ideal sebagai berikut:

· Sistem penggunaan lahan yang bervariasi. Hal ini dianggap dapatmeningkatkan jumlah pilihan penghidupan, mengurangi–paling tidak ditingkat kelompok–resiko kegagalan pasar atau dampak perubahan iklim.Ketika para petani tidak lagi memproduksi berbagai jenis produk untukperdagangan lokal dan kebutuhan susbsisten, maka mereka akan menjadisemakin tergantung pada produk pangan yang dijual di toko-toko dengankandungan nutrisi yang terbatas (Sunderland, 2011).

· Keberadaan hutan-hutan kecil dan sistem berbasis pohon. Ketika ekspansidari industri pertanian skala besar terjadi dengan mengorbankan hutandan sistem berbasis pohon di suatu lanskap, hal ini berarti bisamengakibatkan hilangnya berbagai sumber penting bagi nutrisi untukmasyarakat lokal, dalam bentuk buah, daging satwa liar dan produk hutanlainnya (Stills dkk, 2012; McGarry dan Shackleton, 2009).

· Kendali terhadap keputusan penggunaan lahan oleh petani skala kecil. Halini terkait dengan konsep kedaulatan pangan, yang akhir-akhir inimendapat banyak perhatian. Disitu ditekankan bukan hanya padakepentingan ketahanan pangan (hak masyarakat untuk mempunyai aksespada pangan) namun juga hak masyarakat untuk memilih kepentingan bagidiri mereka: apa dan bagaimana cara mereka memproduksi makanan(Altieri dkk, 2012).

26

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Benar tidaknya pengembangan monokultur di suatu lanskap merugikanbagi penghidupan masyarakat lokal, sebetulnya masih diperdebatkan.Budidarsono (dalam Loffler dkk, 2014) menunjukkan, contohnya, bahwapenyebaran industri pertanian dapat memberikan pendapatan yang lebihtinggi, sehingga dapat menganekaragamkan ekonomi perdesaan ketikapenduduk menginvestasikan dananya pada kegiatan yang bukan pertanian.Argumen tidak langsung yang menguntungkan posisi industri pertanian iniadalah bahwa pemuda di daerah perdesaan kurang menaruh minat untukmenjadi petani, dan cenderung memilih untuk bermigrasi ke daerah perkotaan demi kualitas hidup yang lebih baik (lihat, contohnya, wawancara denganFresco di Kusters dan Lammers, 2013).

2.4 Konservasi keanekaragaman hayati

Hanya beberapa orang yang tidak setuju tentang perlunya mengurangigangguan pertanian pada daerah alami bernilai konservasi tinggi, ataumenyangkal bahwa fragmentasi hutan merupakan ancaman yang semakinbesar terhadap keanekaragaman hayati (Sheil dkk, 2004; Hadad d k k ,2015). Telah banyak diskusi dilakukan mengenai tipe pengembanganpertanian yang sesuai dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati,seringkali disebut sebagai diskusi sparing-sharing (lihat, contohnya Kusters,2014). Beberapa ilmuwan berargumen bahwa konservasi keanekaragamanhayati terbantu dengan adanya usaha intensifikasi produksi pertanian, karena dapat memastikan penggunaan lahan yang terbatas tersebut seefisienmungkin. Hal ini memungkinkan untuk menyisihkan dan memberikan statusdilindungi pada sebanyak-banyaknya ekosistem yang masih utuh, sembarimenumbuhkan tanaman secara intensif di lahan yang tersisa.6 Pendekatanseperti ini telah dikenal sebagai land sparing (contohnya Green dkk, 2005;Aratrakorn dkk, 2006; Phalan dkk, 2011a). Ilmuwan lainnya berpendapatbahwa pertanian dan alam perlu berbagi di ruang yang sama; denganpenekanan perlunya berinvestasi pada petani skala kecil, pertanian ramahlingkungan dalam lanskap yang heterogen. Pendekatan sharing menitik-beratkan pada jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan untuk produksi pertanian, sedangkan pendekatan sparing didasarkan pada intervensiteknologi untuk menggantikan jasa-jasa lingkungan tersebut.

Di dalam literatur mengenai lanskap cerdas-iklim dan pendekatanlanskap, pembahasan cenderung mendukung pendekatan berbagi (sharing).Argumen yang paling umum adalah bahwa sistem daerah perlindungan tidak

Lanskap cerdas-iklim

27

memadai untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dunia karenasebagian besar keanekaragaman hayati tersebut ditemukan di luar kawasanlindung dan lanskap pertanian yang dihuni masyarakat (Padoch danPinedo-Vasquez, 2010). Wanatani di Amerika Tengah, misalnya, dikenalsebagai habitat burung bermigrasi yang terbang dari Amerika Utara danhabitat dari karnivora besar seperti harimau, lynx dan srigala yang mencakup area yang luas, termasuk cagar alam maupun tanah pertanian (Tscharntkedkk, 2012). Diperkirakan 20% dari 3,896 vertebrata yang terancam, tidakberada di kawasan yang dilindungi (Rodrigues dkk. 2004).

Apakah sebuah lanskap berjalan baik dilihat dari sudut konservasikeaneragaman hayati bergantung pada keutuhan area alami atau semialami, dan pada nilai relatif habitat dari beragam penggunaan lahan disebuah lanskap untuk keanekaragaman hayati asli, dan hubungan fungsionalantar penggunaan lahan yang berbeda-beda (Buck dkk, 2006). Interaksi diantara hutan-hutan kecil di sebuah lanskap difasilitasi oleh unit-unit lanskapyang terhubung dengannya seperti tanaman pagar, parit, penahan angin,sungai dan lain-lainnya (Torquebiau, 2015). Oleh karenanya sebuah lanskapyang membentuk potongan-potongan petak kecil penggunaan lahan yangberbeda-beda tingkat intensitas pengelolaannya, termasuk potongan-potongan vegetasi alami, sering dianggap bermanfaat untuk konservasikeanekaragaman hayati karena membantu perluasan habitat spesies alamidan memberikan keterkaitan di antara area bervegetasi alami.

28

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Lanskap cerdas-iklim

29

Wawancara dengan Freerk Wiersum

“Kita harus memberikan nilai yang lebih besar terhadap sinergi”

Freerk Wiersum telah mempelajari pengelolaan sumber daya alam didaerah perdesaan di Asia dan Afrika selama lebih dari 30 tahun. Diamemiliki pendapat yang tegas mengenai “sparing-sharing”. Diamengatakan bahwa pendekatan sparing merupakan cerminan daripandangan “Barat” terhadap alam. Dalam pandangan “Barat”, alamdipahami sebagai sesuatu yang liar dan tidak terjamah, sementarapertanian dilihat sebagai representasi budaya manusia memanfaatkanlahan dengan nilai lingkungan yang rendah. Wiersum memberikanpandangan berbeda. Dia menekankan bahwa konsep keanekaragamanhayati mengacu tidak hanya untuk spesies yang terancam, namun jugakeberagaman dalam lanskap, sistem ekologis dan variasi tanamanpertanian. Dia menunjuk pada potongan-potongan lahan (mosaic) didalam lanskap di banyak daerah tropis, yang menaungi keanekaragaman yang tinggi dari lingkungan alami maupun pertanian. Selama wawancaradi Universitas Wageningen, Wiersum mengatakan bahwa sudah saatnyauntuk meninggalkan dikotomi usang yang mempertentangkan alami ataubudidaya7.

Anda telah mempelajari hutan rakyat, kebun rumah dan wanatani.Apakah manfaat dari sistem-sistem yang berbeda tersebut? Sistemyang beranekaragam memungkinkan petani untuk membagi resikomereka, dan menyiapkan banyak variasi produk untuk tujuan subsisten,termasuk produk pangan dan material untuk tempat bernaung. Petanimenyukai beragam tanaman pertanian karena memberi kesempatanmemanen tanaman yang berbeda pada musim yang berbeda serayamenikmati makanan yang bervariasi. Keuntungan penting lainnya adalahbahwa sistem-sistem ini terdapat di tingkat lokal, berdasar pada praktekpenggunaan lahan saat ini dan warisan budaya. Mosaik lanskap, terlebihlagi, memberikan nilai bukan-kebendaan yaitu nilai emosional darikeanekagaraman. Masyarakat menganggap keberagaman lanskap yang terbentuk akibat dari keberadaan mereka sendiri, tidak hanya karenamereka berkontribusi pada berbagai praktek penghidupan, namun juga

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

30

mereka berkontribusi pada berbagai praktek penghidupan, namun jugakarena mereka memberikan rasa arti tempat (sense of place) dan jati diri.

Dan dari sudut pandang lingkungan? Pertama, petani yang mengelolasistem yang beragam harus memperhitungkan dan melindungi keaneka-ragaman, yang berarti mereka tidak dapat sembarangan menggunakanproduk kimia. Resiko penggunaan berlebihan produk kimia berbahayajauh lebih kecil dibanding dengan di perkebunan monokultur. Kedua,sistem yang beragam mempunyai banyak penyaring dan penyanggaekologis di dalamnya. Sebagai contoh: erosi tanah tercegah karenaadanya tutupan bahan organik dan nutrisi juga tidak mudah hilang daritanah karena adanya sistem akar yang berlapis. Ketiga, sistem yangberbeda-beda berpotensi untuk proses-proses sinergis. Contohnya dalamrumah kaca di Belanda, serangga yang dipelihara untuk memangsaserangga lain yang menyebabkan hama dan penyakit, akan menstimulasiproduksi tanaman holtikultura.

Namun tetap saja, keanekaragaman sistem penggunaan lahan akansemakin menghilang dari waktu ke waktu ketika petani memutuskanuntuk menanam hanya satu produk. Memang telah banyak contohdimana sistem pertanian yang kompleks berubah ke arah sistem yangsederhana seiring dengan waktu. Hal tersebut terjadi karena varietastanaman baru dikembangkan untuk kondisi monokultur. Anda dapat sajaberargumentasi bahwa perkembangan tersebut terkait dengan arah yang dominan di kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian. Selamailmuwan pertanian tidak memberikan perhatian pada sinergitas, maka kita terjebak pada paradigma pengembangan pertanian yang mengutama-kan perkebunan monokultur. Saya berpendapat bahwa kita harusmemberikan perhatian lebih besar pada konsep sinergitas. Ada banyakproses ekologi yang meningkatkan produksi dalam sistem produksiberkeanekaragaman hayati. Menurut saya, orang yang mendukungintensifikasi produksi monokultur, masih berfikir seperti Henry Ford ditahun-tahun awalnya: sebuah pabrik yang memproduksi ribuan mobilhitam yang sama. Pendekatan ini sudah sejak lama tidak lagi berlaku diindustri mobil. Sekarang mereka memproduksi berbagai macam mobilyang banyak sebagai cara untuk memuaskan permintaan beragammasyarakat secara optimal.

Lanskap cerdas-iklim

Meskipun keanekaragaman memiliki kelebihan, di banyak area didunia perkebunan monokultur kelapa sawit dan kedelai skala besarberkembang menjadi lebih luas dengan mengorbankan pertanianskala kecil. Ya, kecenderungan tersebut banyak terlihat pada beberapadaerah. Perluasan perkebunan skala besar mencerminkan kekuatanperusahaan besar dan dominansi paradigma pengembangan pertanianyang berpihak pada praktek monokultur. Namun tidak berarti bahwakecenderungan penggunaan lahan untuk pertanian skala besar seperti ituterjadi di semua daerah tropis. Terdapat banyak kecenderungan yanglain. Di banyak area di dunia, manusia masih menghargai keaneka-ragaman lanskap mereka dan tidak memilih perubahan skala besarmenjadi monokultur. Jadi Anda seharusnya tidak melihat pengembanganperdesaan hanya pada model pertanian hegemonik, namun lebih padarealitas dan dinamika lokasi yang spesifik.

Menurut rekan anda Louise Fresco, mekanisasi pertanian skala besardiperlukan untuk menjamin keamanan pangan global. Bagi saya, haltersebut merupakan pendapat retorik satu sisi. Beberapa pendapatmenyangkal sudut pandangnya. Hal pertama, mengabaikan fakta bahwaketahanan pangan lebih merupakan masalah distribusi daripada produksi. Pertanyaan mendasar seharusnya bukan pada sistem produksi apa yangmenjamin produksi tertinggi, namun pada pertanian dan sistem lanskapbagaimana yang memungkinkan kombinasi optimal dari produksi danpenghidupan masyarakat lokal.

Apakah kondisi di wilayah hutan tropis tidak menunjukkan bahwapetani akan beralih ke pertanian yang monokultur, seperti kelapasawit, segera setelah pola ini lebih menguntungkan dibandingkanalternatif lainnya? Mungkin saja demikian, namun sebuah lanskap tidakakan menjadi bentangan kelapa sawit, karena petani skala kecil jugaakan menggunakan sepetak lahan mereka untuk keperluan lainnya,seperti contohnya untuk menaman tanaman pangan, sayuran danbuah-buahan. Sehingga Anda akan tetap mempunyai potongan-potongan penggunaan lahan berbeda-beda termasuk di dalamnya perkebunanmonokultur skala kecil. Hal ini tentu saja akan berbeda jika perusahaanskala besar memiliki keseluruhan lahannya. Hal yang terjadi akan sangatberbeda dari perspektif lingkungan dan juga sudut pandang

31

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

capaian-capain sosial ekonomi, tidak peduli apakah perkebunanmonokultur tersebut adalah bagian dari suatu kombinasi pengelolaandengan petani, atau bagian dari pemilikan perkebunan komersial skalabesar. Pertanyaannya bukan terletak pada memilih antara intensifikasisistem produksi atau berpegang pada sistem produksi tradisional, namunlebih kepada jenis intensifikasi apa yang harus dilakukan pada berbagaisistem produksi yang berbeda. Terlalu sedikit perhatian yang diberikanuntuk menjawab pertanyaan apakah bentuk modernisasi dari produksipertanian dapat dilakukan dalam sistem pertanian yang beranekaragam.Sebuah lanskap dari petani skala kecil yang memproduksi karet di kebunmonokultur sebagai tambahan dari lahan tanaman pangan dan kebunpekarangan, mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan sebuahlanskap yang hanya berisi perkebunan karet komersial skala besar.Orang harus berhati-hati untuk tidak membatasi diskusi hanya pada sistem produksi spesifik, tanpa memperhitungkan dimensi dari sistem pertaniandan sistem lanskap.

Adakah cara dimana pengembangan lanskap pertanian dikendalikan?Pembangunan perdesaan tidak hanya dipengaruhi oleh Pemerintah danpelaku komersial, tapi juga oleh organisasi masyarakat madani danmasyarakat lokal. Perlu untuk mengidentifikasi berbagai lintasanpengembangan untuk tiap lokasi yang spesifik, dibandingkan berpegangpada tipe pengembangan ideal yang retorik. Dinamika tata guna lahanyang spesifik-lokasi merupakan capaian dari globalisasi dan lokalisasi.Contoh dari proses globalisasi baru yang mempengaruhi penggunaanlahan tropis adalah pengembangan program Penyediaan Jasa-JasaLingkungan Berbayar (payment for environmental services – PES) danpeningkatan perhatian pada produksi ramah lingkungan. Pengembangantersebut menciptakan peluang-peluang baru bagi petani untukmempertahankan mosaik lanskap yang beragam. Di beberapa negara,kita telah menyaksikan stabilisasi lanskap mosaik hutan. Dinamikapenggunaan lahan di daerah tropis tidak dapat disamakan dengan model pembangunan perdesaan di negara-negara Barat.

32

Lanskap cerdas-iklim

Jadi anda lebih mendukung pendekatan konservasi yang berfokuspada lanskap yang beragam dibandingkan dengan pola yangmenekankan adanya pemisahan konservasi lingkungan denganpertanian? Ya, tentu saja. Pertama-tama hal tersebut menggambarkanrealitas empirik, dimana di banyak daerah tropis, lanskap mosaik hutanterjadi dan bahwasanya keberadaannya memberikan kontribusi padastabilitas batas-batas hutan. Yang kedua, pola ini menggambarkanpendekatan yang lebih bernuansa konservasi karena tidak hanyamelibatkan cagar alam liar, tapi juga menggambarkan keanekaragamanhayati dan keanekaragaman budaya.

Dr. Freerk Wiersum adalah pakar internasional di bidang kehutananmasyarakat dan wanatani. Dia pensiun di bulan Maret 2012 dariWageningen University and Research centre (WUR), namun tetap aktifsebagai peneliti rekanan. Pekerjaannya berfokus pada prosesevolusi-bersama antara manusia dan alam, serta bidang konservasikeanekaragaman hayati-budaya dengan perhatian spesifik terhadappengelolaan hutan masyarakat asli dan pembangunan hutankemasyarakatan di negara tropis.

33

34

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

3. Pendekatan lanskap

Membentuk lanskap lebih merupakan proses negosiasi daripada

perencanaan”(Sayer, Maginnis, Buck dan Scherr 2008:2)

Pendekatan lanskap

35

Pendekatan lanskap mencakup konsep, perangkat, dan metode bagiperencanaan dan pengelolaan sebuah lanskap untuk mencapai berbagaitujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan (Minang dkk, 2015d). Pendekatantersebut mengkombinasikan elemen-elemen dari beragam konsep, pendekat-an dan disiplin ilmu yang sudah ada (lihat Kotak 3), namun memberikanpenekanan tertentu pada kebutuhan untuk membahas lanskap sebagai sistemsosio-ekologi, bekerja lintas sektoral, dan pengelolaan-bersama adaptif.

Lebih penting lagi, pendekatan lanskap mengacu pada satu cara untukmelakukan sesuatu. Hal tersebut adalah pendekatan yang berorientasi padaproses menuju suatu pengelolaan yang melibatkan seluruh pemangkukepentingan (Zagt dan Chavez Tafur, 2014). Sejalan dengan itu, Sayer dkk(2013) berpendapat bahwa pendekatan tersebut berarti mengubahberbagai aksi yang berorientasi pada proyek, menjadi berbagai aktivitasyang berorientasi pada proses. Mereka menekankan bahwa pendekatan initidak memberikan kerangka kerja operasional yang telah siap pakai untukmembuat perencanaan tingkat lanskap, namun lebih mengacu pada satuproses negosiasi, pengambilan keputusan dan re-evaluasi yang berulang,fleksibel, dan terus menerus.

Pendekatan lanskap telah mendapat sejumlah momentum penting ditahun-tahun belakangan ini atas bantuan beberapa inisiatif internasional,termasuk Landscapes for People, Food and Nature (LPFN), Global Partnershipon Forest and Landscape Restoration (GPFLR) dan Global Landscape Forum(GLF). Pendekatan lanskap meningkat popularitasnya karena gagalnyapendekatan sektoral terhadap pengelolaan sumber daya alam danpembangunan pertanian untuk mengatasi berbagai hambatan yang timbuldari luar sektor (Frost dkk, 2006). Sebagai contoh, upaya-upaya konservasihanya terbatas pengaruhnya bila petani dihadapkan pada kesuburan tanahyang semakin menurun dan ketiadaan akses terhadap kredit yang dibutuhkanuntuk memperbaiki kualitas lahan, menyebabkan mereka bermigrasi kebatas-batas hutan. Lebih lagi terlalu banyak kebijakan dan peraturan di satusektor (misalnya pertanian, kehutanan atau air) yang tidak selaras denganhal-hal di sektor lain, karena dikeluarkan oleh suatu kementerian atau badanpemerintahan yang berbeda tanggungjawabnya.

36

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

3.1 Elemen-elemen pengelolaan lanskap terpadu

Pendekatan lanskap memerlukan pengelolaan lanskap secara terpadu,yang dapat diartikan sebagai proses kolaborasi jangka panjang dariberagam pemangku kepentingan untuk mencapai berbagai tujuan di dalamsebuah lanskap (Scherr, Shames dan Friedman, 2013). Istilah ‘pendekatanlanskap’ dan ‘Pengelolaan Lanskap Terpadu’ (PLT) seringkali digunakan secarabergantian.8 Banyak penulis yang telah mempublikasikan apa yang merekapandang sebagai elemen-elemen dan prinsip-prinsip utama dari pendekatanlanskap dan PLT. Hal tersebut memberikan suatu dasar bagi upaya untukmenyatukan tujuan-tujuan konservasi dan pembangunan pada tingkat lanskap,dan diajukan sebagai prinsip-prinsip yang harus diikuti ketika menjalankaninisiatif-inisiatif tingkat lanskap terpadu atau mereformasi institusi-institusipengelolaan lanskap. Daftar prinsip-prinsip yang disajikan di bawah inimerupakan sintesis dari elemen-elemen utama yang ditemukan dalam sebelaspublikasi (Frost dkk, 2006; Sayer, Buck dan Scherr, 2008; Hart dkk , 2010;Scherr, Shames dan Friedman, 2012; Sayer dkk, 2013; Sayer dkk, 2014;Kozar dkk, 2014; Minang dkk, 2015b; Dewi d k k , 2015; Wambugu d k k ,2015; Van der Horn d a n Meijer, 2015). Semuanya ditata ulang ke dalamprinsip-prinsip dasar, ciri-ciri proses pengelolaan lanskap terpadu, danpelbagai kondisi.

Prinsip-prinsip dasar

· Integrasi antara tujuan dan skala: Lanskap memberikan berbagai barangdan jasa kepada produksi pertanian, penghidupan lokal, konservasikeanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Hal-hal tersebut digunakandan dihargai secara berbeda oleh para pelaku di berbagai skala, namunperlu dikelola secara terpadu. Mempertautkan tujuan-tujuan yang berbeda mungkin berarti tarik ulur untung rugi (trade-offs), namun juga mungkinmemberi kesempatan untuk bersinergi.

· Inklusif: Para pemangku kepentingan di suatu lanskap mungkin mempunyaikepentingan yang bertentangan dan tingkat kekuatan serta sumber dayayang berbeda-beda. Semua pemangku kepentingan perlu terlibat dalamperencanaan dan pengambilan keputusan, memperhitungkan beragamkepentingan dan sudut pandang, dengan perhatian khusus padakelompok-kelompok terpinggirkan (marginalized).

Pendekatan lanskap

37

Ciri-ciri proses pengelolaan lanskap terpadu

· Pengelolaan adaptif: Pengelolaan lanskap mengacu pada sebuah prosesdinamis dan kompleks, dengan keharusan untuk terus belajar, melakukanperenungan dan penyesuaian. Manusia perlu saling belajar antar sesama,untuk mengetahui apa yang berjalan dan apa yang tidak, dan melakukanadaptasi yang sesuai. Hal ini memerlukan waktu, kesabaran danpragmatisme yang besar, serta komitmen jangka panjang dari manusiayang mau mendengar, mempelajari, beradaptasi dan bekerja bersamadengan para pemangku kepentingan lainnya.10

· Partisipasi dan proses kolaboratif: Ketika semua pelaku terkaitberpartisipasi dalam diskusi dan negosiasi, dan merasakan suatu tingkatkepemilikan terhadap proses yang berjalan, maka hal tersebut dapatmengarah pada terjadinya tindakan kolektif. Perhatian khusus perludiberikan pada kelompok-kelompok terpinggirkan (marginalized), untukmenemukan bila ada kebutuhan peningkatan kapasitas. Pelaku dari luardapat berperan sebagai fasilitator, namun harus layak mendapatkan kursidi meja perundingan ketimbang datang memaksakan solusi-solusi atas-bawah (top-down).

· Mengidentifikasi tujuan bersama: Kepentingan dari beragam pemangkukepentingan di dalam suatu lanskap mungkin bertentangan. Untuk membuatsemua pemangku kepentingan setuju pada semua tujuan sepertinya tidakrealistis. Namun dimungkinkan untuk mengidentifikasi beberapa tujuan yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan (titik masuk perhatianbersama), seperti kebutuhan untuk mengatasi turunnya produktivitas,kekurangan air, atau polusi. Hal itu dapat menjadi dasar untuk membangunkepercayaan, memulai negosiasi, dan menyetujui tindakan bersama.Negosiasi untuk berbagai tujuan, tantangan dan peluang harus transparandan idealnya mengarah pada konsensus tentang dasar pemikiran,legitimasi dan justifikasi dari tindakan. Hal ini membutuhkan pemahamanbersama tentang isu-isu yang dipertaruhkan. Perangkat partisipatif (seperti perencanaan partisipatif, lihat Kotak 4) dapat digunakan untukmembangun pemahaman tentang dinamika lanskap dan pemicu perubahanserta untuk menggali berbagai kemungkinan skenario. Hal itu akanmembantu tercapainya kesepakatan diantara para pemangku kepentingan tentang tindakan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama, dan peluang timbal-baliknya. Metode ‘Penelitian Aksi’ (action research) dapatdigunakan untuk memahami masalah dan menemukan solusi secarakolaboratif.

38

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

· Pemantauan partisipatif dan mudah digunakan: Memantau berbagaiindikator kemajuan diperlukan untuk memberi informasi pada pengelolaanadaptif. Pemangku kepentingan lokal dapat membantu memilih indikatorterukur yang mudah dari kondisi suatu lanskap yang diinginkan di masadepan. Pemilihan dan pengukuran indikator dapat juga digunakan sebagai alat untuk mengembangkan diskusi (lihat bagian 5 laporan ini).

· Klarifikasi atas hak dan tanggung jawab: Ketika pengelolaan lanskapdidasarkan pada proses negosiasi antar berbagai pemangku kepentingan,sangat penting bahwa semua pelaku paham secara penuh dan mengakuihak serta tanggung jawab mereka terkait dengan, misalnya, kepemilikandan prosedur penyelesaian konflik.

Kondisi penunjang

· Kepemimpinan inspiratif dan komitmen jangka panjang: kepemimpinandapat berasal dari pemimpin lokal, pelaku sektor swasta, organisasimasyarakat madani dan/atau lembaga penelitian. Komitmen jangkapanjang sangat penting, karena pelibatan berbagai pemangkukepentingan dan perubahan perilaku membutuhkan waktu.

· Kepemilikan sumber daya dan tata kelola yang mendukung:Pengelolaan lanskap terpadu berhasil baik ketika hak kepemilikan lahanjelas, catatan registrasi tanah tersedia, dan perjanjian-perjanjian dapatditegakkan secara hukum. Namun hal ini jarang terjadi. Sedikitnya, parapemangku kepentingan lokal harus mempunyai kendali tertentu ataskeputusan-keputusan mengenai pengelolaan lanskap, sedangkan lembagapemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional harus mendukungproses-proses partisipatif.

· Pendanaan: Inisiatif lanskap terpadu akan membutuhkan sejumlah biayaawal dan juga bagi proses kelanjutan dan jangka panjang. Investor publikdan swasta dapat membantu membiayai hal ini. Pendanaan untukketahanan pangan dan pembangunan pertanian seringkali tidak dikaitkandengan pendanaan yang ditujukan pada upaya adaptasi dan mitigasi.Dana-dana “iklim” berpotensi digunakan untuk mempengaruhi investasipertanian dan mendukung pengelolaan lanskap terpadu, sehinggamengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Pendekatan lanskap

39

40

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 3. Dasar-dasar pendekatan lanskap

Organisasi yang bergerak di bidang konservasi dan pembangunan telahlama mencari cara untuk mengintegrasikan tujuan konservasi denganpembangunan. Sejak tahun 1970-an, paradigma yang dominan padabanyak lembaga konservasi dan pembangunan telah berubah secarabertahap dari paradigma yang memisahkan manusia dari alam menjadiparadigma yang menekankan pada keterkaitan diantara keduanya.Henkemans (2008, tidak dipublikasikan) menunjukkan bagaimanaperubahan paradigma tersebut telah terwujud dengan sendirinya kedalam berbagai konsep dan pendekatan, termasuk:

• Program-program Konservasi dan Pembangunan Terpadu (IntegratedConservation and Development Programmes - ICDP). Program-programICDP telah menjadi pendekatan standar untuk mengkombinasikantujuan-tujuan konservasi dan pembangunan, pada tahun 1990-an.Kegiatan program ICDP biasanya merupakan proyek-proyek konservasikeanekaragaman hayati dengan komponen pembangunan perdesaan.9

• Pengelolaan Sumberdaya Alam berbasis Masyarakat (Community-BasedNatural Resources Management - CBNRM). CBNRM berfokus pada aksimasyarakat untuk pengelolaan sumber daya alam. Istilah tersebutsecara bebas meliputi sejumlah konsep lain, termasuk kehutananmasyarakat, pengelolaan hutan kolaboratif dan perikananmasyarakat.

• Pengelolaan Sumberdaya Alam secara Terpadu (Integrated NaturalResource Management – INRM) INRM berfokus pada penelitian untukmeningkatkan kesejahteraan, ketahanan agroekosistem, produktivitaspertanian dan jasa-jasa lingkungan. INRM menekankan padapengalaman dan pembelajaran partisipatif, penelitian aksi danintegrasi dari penelitian dengan pengelolaan.

• Pendekatan Ekosistem. Pendekatan Ekosistem diadopsi sebagaipendekatan utama untuk mengimplementasikan Convention onBiological Diversity (CBD). Pendekatan ini menekankan pada salingketergantungan antara manusia dengan ekosistem, kebutuhan untukbekerja melintasi sejumlah skala kewilayahan, kebutuhan untukberpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan pengelolaan yangadaptif.

• Ekologi Lanskap. Ekologi Lanskap merupakan disiplin ilmu yangmempelajari bagaimana unit-unit lahan di lanskap memiliki keterkaitanfungsional satu sama lainnya dan subsistem alami dan budaya yangmana yang berevolusi bersama seiring waktu.

Pendekatan lanskap

41

Lanjutan Kotak 3.

• Pendekatan Lanskap yang Dilindungi. Pendekatan ini berawal dariInternational Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan bertujuanuntuk mendorong peran kepengurusan (stewardship) masyarakat yanghidup di dalam lanskap. Pendekatan ini menekankan bahwa nilai-nilaibudaya dan alami pada berbagai lanskap berhubungan erat, danbahwa masyarakat yang tinggal di dalam atau dekat denganlanskap-lanskap tersebut berperan penting untuk mempertahankannya.

• Pendekatan Sistem Pertanian. Pendekatan ini merupakan pendekatanlintas sektoral terhadap perencanaan tata guna lahan yangdikembangkan oleh UN Food and Agricultural Organization (FAO),berdasarkan ide bahwa capaian konservasi dan pembangunantergantung pada keputusan sehari-hari masyarakat lokal penggunalahan dalam suatu sistem pertanian. Suatu sistem pertanian dikonsepkan sebagai sebuah kombinasi dari berbagai ladang/kebun milikindividu-individu yang berbagi satu sumber daya dasar dankarakteristik mendasar tertentu.

42

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 4. Perencanaan spasial partisipatif dan pemetaanmasyarakat

Perencanaan spasial merupakan komponen sangat penting padapengelolaan lanskap terpadu, karena menjadi acuan dan kontrolterhadap keputusan-keputusan penggunaan lahan di suatu lanskap. Haltersebut biasanya menghasilkan sebuah rencana pengembangan suatuarea di masa mendatang, dan seringkali dilengkapi dengan regulasitata guna lahan. Banyak negara mencoba menjadikan perencanaan tata guna lahan lebih partisipatif dan transparan, untuk memastikan bahwakepentingan semua pemangku kepentingan telah diperhatikan.Pengalaman pada proyek COMDEKS (Salvemini dan Remple, 2014)menyoroti peran perencanaan partisipatif sebagai langkah awal yangpotensial untuk inisiatif tingkat lanskap dan mengembangkan permodalansosial. Heht (2011) melaporkan implementasi proses perencanaanpartisipatif di daerah Amazon Brazil, yang melibatkan kelompokmasyarakat, penduduk asli dan ekstraktor, aparat pemerintah, aktivis,ilmuwan, LSM dan pihak gereja.

3.2 Inisiatif-inisiatif lanskap terpadu

Tanpa perlu memberi label pengelolaan lanskap terpadu atau pendekat-an lanskap, para praktisi telah lama mencoba berbagai inisiatif yangmenjembatani sektor-sektor tradisional dan melibatkan berbagai pemangkukepentingan pada skala lanskap.11 EcoAgriculture and Partners melakukantinjauan skala benua pada sejumlah besar Inisiatif Lanskap Terpadu atau ILT(Integrated Landscape Initiatives - ILI) (lihat Milder dkk, 2014, untuk kajianinisiatif di Afrika, dan Estrada-Carmona dkk, 2014, untuk kajian di AmerikaLatin dan Karibia). Hart dkk (2015) mensintesis hasil yang diperoleh dariAfrika, Amerika Latin, dan Karibia, yang meliputi total sebanyak 191 inisiatif.Mereka menggunakan tiga kriteria berikut untuk menseleksi kasus-kasus: (i)inisiatif-inisiatif yang berupaya untuk memajukan berbagai tujuan yangberkaitan dengan produksi pertanian, penghidupan lokal, dan lingkungan; (ii)inisiatif yang dilaksanakan di tingkat lanskap; dan (iii) inisiatif yangmendukung proses-proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Sebagian besar inisiatif yang dikaji memiliki tujuan konservasi keaneka-ragaman hayati yang jelas, dan diprakarsai oleh LSM internasional. Kajian itumenunjukkan bahwa organisasi pertanian yang terlibat dalam ILT cenderungmendukung pendekatan agro-ekologi (ditujukan untuk menjaga keaneka-ragaman hayati pertanian dan fungsi-fungsi ekosistem lokal), sementara

Pendekatan lanskap

43

Lanjutan Kotak 4.

Secara bersama mereka sukses menyusun satu perencanaan regional,yang terdiri dari kepingan-kepingan (mosaik) pelbagai penggunaanlahan, dari pertanian tanaman tahunan hingga daerah yang dilindungi.Rintangan besar bagi perencanaan partisipatif dapat berupa kurangnyakemauan pelaku pemerintahan lokal untuk mereformasi prosedurperencanaan dan memungkinkan partisipasi penuh dari para pemangkukepentingan lainnya. Rintangan lainnya dapat berupa minimnyadokumentasi batas-batas adat pada peta-peta resmi. Pemetaanmasyarakat (anggota masyarakat memetakan batas-batas desa merekasendiri menggunakan teknologi GPS) memungkinkan masyarakatmenyampaikan persepsinya terhadap hak-hak dan sistem pengelolaansumber daya dengan pihak pemerintah. Hal ini dapat membantumasyarakat lokal untuk memperoleh pengakuan terhadap sistem pengelo- laan sumber daya alamnya serta hak-hak kepemilikannya (Kusters dkk,2013).

investasi konvensional pada intensifikasi tanaman dan irigasi sangatlahjarang. Pada banyak kasus yang telah ditinjau, lingkungan institusional danpolitik gagal menciptakan lingkungan yang mendukung, malahan memberikandisinsentif pada upaya kolaborasi antar sektor, seperti contohnya pemberiansubsidi yang mendorong perluasan pertanian hingga ke area alami. Investasipada badan koordinasi dan partisipasi wanita berkorelasi dengan capaianpositif. Kajian tersebut menunjukkan bahwa ILT secara efektif memberikandasar pijakan bagi para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi,menggabungkan perspektif dan kepentingan, baik dari dalam lanskapmaupun dari luar. Namun, meski dengan representasi berbagai pemangkukepentingan yang luas dan kuat, penulis mengingatkan bahwa keterlibatansektor swasta masih tertinggal. Kegagalan untuk melibatkan sektor swastaseringkali dilaporkan sebagai satu dari aspek yang paling tidak berhasil, didalam inisiatif. Tampaknya sulit untuk mengatur tujuan proyek yang disetujuioleh para pelaku usaha komersial, dan kebanyakan inisiatif tidak berhasilmenghasilkan insentif yang menarik minat para usahawan untuk mau terlibat(Kotak 5).

Partisipasi yang tidak lengkap, tidak konsisten atau asal-asalanmerupakan indikasi bahwa manfaat partisipasi tidak bisa mengalahkan nilaiwaktu dan upaya yang harus dikorbankan, setidaknya dalam pandanganpara pemangku kepentingan tersebut. Ketika pemangku kepentingan yangkuat (mereka yang berpengaruh besar pada keputusan-keputusan mengenaipengelolaan lahan) tidak bersedia untuk berpartisipasi, maka hal ini akanmelemahkan efektivitas inisiatif. Hart dkk (2015:99) menyimpulkan bahwa“masih harus dibuktikan bahwa manfaat pendekatan terpadu lebih besar daribiaya-biaya transaksinya, dan bahwa besarnya manfaat yang mereka berikanpada berbagai pemangku kepentingan lebih besar dibanding strategi sektortunggal untuk pembangunan dan melakukan konservasi”.

Berdasarkan kajian pengalaman di tujuh inisiatif lanskap di lembah sungai Kongo, Indonesia Timur dan Australia Utara, Sayer dkk (2014) menekankanbahwa inisiatif-inisiatif lanskap seringkali merupakan proses yang asalberjalan dalam ketidakjelasan. Tidak ada satupun tempat di kasus-kasus yang dikaji, dimana proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentinganmenghasilkan perencanaan spasial yang diterima oleh semuanya. Merupakanhal yang umum bagi para pelaku untuk mengejar aspirasi mereka sendiri,yang tidak selalu disetujui oleh yang lain. Para penulis menyimpulkan bahwainisiatif-inisiatif lanskap, jarang sepenuhnya transparan dan merupakanproses yang berdasarkan bukti, namun memang memberikan kerangka kerja

44

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

untuk diskusi dan negosiasi antar para pelaku. Mereka menulis: “Perbedaankekuatan diantara para pemangku kepentingan selalu ada dan berbagaikeputusan dibuat berdasarkan cerita-cerita subyektif dan perasaan. Lanskapmerupakan produk dari banyak keputusan oleh para pemangku kepentinganyang nampaknya masuk akal bagi mereka yang memutuskannya, namunmungkin tidak masuk akal bagi pemangku kepentingan lainnya. Pendekatanlanskap masih relevan, namun pada banyak situasi proses asal jalan dalamketidakjelasan terus dipakai dibanding menggunakan rancangan besar”(Sayer dkk, 2014).

Sebagai tambahan pada kajian di atas, semakin banyak muncul literaturyang melaporkan pengalaman pada berbagai inisiatif tingkat lanskap (lihat,misalnya, www.ecoagriculture.org). Inisiatif global yang menarik termasukForest and Landscape Restoration Mechanism dari FAO (McGuire, 2014),International Model Forest Network (Ho dkk, 2014) dan proyek COMDEKS(Salvemini dan Remple, 2014). Contoh-contoh dari pelbagai negara denganinisiatif lanskap terpadu antara lain Meksiko, dengan peran penting dariorganisasi masyarakat madani (Madrid and Deschamps, 2014), Etiopiadengan peran kunci dari Pemerintah nasional (Deichert dkk, 2014), danGhana dengan arahan kuat dari LSM internasional (Noponen dkk, 2014, lihatjuga Kotak 8). Walaupun laporan mengenai inisiatif-inisiatif tersebut secaraumum positif, namun sebagian besar bukti tetap berupa cerita-ceritasubyektif, dan mereka jarang memberikan analisis sistematik mengenai biayadan manfaat.

Pendekatan lanskap

45

46

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 5. Keterlibatan sektor swasta

Beberapa perusahaan yang bergantung pada sumber daya alammenyadari bahwa masa depan mereka tergantung pada keberlanjutanketersediaan sumber bahan mentah. Hal ini meningkatkan jumlahperusahaan swasta yang ingin memastikan keberlanjutan rantai suplaimereka. Contohnya Unilever yang telah menetapkan target ambisius,mencapai 100 persen sumber bahan mentah pertanian berkelanjutan ditahun 2020 (Unilever, 2010). Perusahaan multinasional besar lainnya jugatelah berkomitmen untuk membeli produk-produk pertanian ‘keber-lanjutan’, seperti Nestlé, Tesco, McDonalds dan Walmart. Upaya iniseringkali melibatkan sertifikasi dan penetapan standar (Kissiner dkk,2015). Namun sebagian besar skema sertifikasi dan standar, cenderungberfokus pada perbaikan kualitas lingkungan dan performa sosial dalamrantai suplai tertentu dan tidak cukup mengatasi tantangan-tantanganyang ada di luar rantai suplai, seperti risiko karena kekurangan air,perubahan iklim, dan konflik dengan masyarakat (Namirembe danBernard, 2015).

Standar-standar yang memasukkan pertimbangan terkait keaneka-ragaman hayati, penghidupan dan jasa-jasa lingkungan di tingkatlanskap secara potensial dapat memberikan insentif pada perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dalam pengelolaan lanskap terpadu.Contoh khas dari penggabungan standar tingkat lanskap dalamperencanaan sektor swasta adalah identifikasi hutan dengan NilaiKonservasi Tinggi (NKT) dalam suatu lanskap di dalam wilayah konsesiperusahaan (Kissinger dkk, 2015). Perangkat potensial menarik lainnyaadalah sertifikasi keseluruhan lanskap (bukan produk-produknya) danpelabelan lanskap (Hart dkk, 2014; Ghazoul dkk, 2011). Integrasivertikal (misalnya, melalui pembentukan skema petani kontrak untukmenggantikan pengaturan-pengaturan perdagangan sementara) mungkin memberi peluang bagi perusahaan untuk memasukkan indikator-indikatortingkat lanskap dalam proses produksinya (Gyau dkk, 2015). Namun,standar tingkat lanskap tersebut rumit untuk diimplementasikan, danberbiaya tinggi, karena mengharuskan perusahaan untuk memantaudampak-dampak yang ada di luar unit produksi (Kissinger dkk, 2015).

Mengapa suatu perusahaan mau menginvestasikan uangnya padapengelolaan tingkat lanskap? Alasan yang paling sering didengar adalahbahwa investasi di luar unit produksi dapat menjadi cara untuk mencegahsebagian risiko operasional. Pada kasus produksi kopi di Oaxaca,Meksiko, sebuah perusahaan perdagangan kopi (AMSA) mengidentifikasi

Pendekatan lanskap

47

Lanjutan Kotak 5.

beberapa risiko terhadap bisnis mereka yang berada di luar unit produksi – seperti kerusakan hutan, tanah, dan aliran air. Ini merupakan insentifbagi mereka untuk terlibat dalam proyek “karbon-kopi (carbon-coffee)”tingkat lanskap, berkolaborasi dengan Rainforest Alliance dan koperasipetani skala kecil (Kissinger dkk, 2015). Selain dari mengurangi risikooperasional, Gyau dkk (2015) mengidentifikasi empat (sebagiannyatumpang tindih) insentif lainnya bagi perusahaan untuk terlibat dalaminisiatif lanskap: (i) tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate SocialResponsibility - CSR); (ii) menangkap peluang pasar (melalui CSR yangditingkatkan); (iii) mengurangi risiko reputasi; dan (iv) meningkatkankemitraan (pada dasar berpijak berbagai pemangku kepentingan)dimana resiko dibagi dan konflik dikurangi.

48

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 6. Kasus pada restorasi lanskap

Mengimplementasikan pendekatan lanskap tampaknya menjanjikan bagiupaya restorasi lanskap. Banyak area di wilayah berhutan tropis yangrusak dan pelbagai manfaat dari upaya untuk memulihkan area tersebutrelatif mudah diperlihatkan pada berbagai pemangku kepentingan.Dengan kata lain: terdapat keprihatinan bersama yang jelas sebagai titikmasuk. Terlebih, restorasi saat ini merupakan agenda politik penting,karena perannya dalam mencegah perubahan iklim. Pada tahun 2011,sebuah koalisi berbagai organisasi internasional dan pemerintahan(Global Partnership on Forest and Landscape Restoration – GPFLR)meluncurkan Bonn Challenge, yang bertujuan untuk merestorasi 150 jutahektar hutan gundul dan lahan rusak di seluruh dunia pada tahun 2020(http://www.forestlandscaperestoration.org).

Koalisi tersebut mengadopsi pendekatan lanskap melalui konsep ForestLandscape Restoration (FLR). FLR mencerminkan upaya terpadu untukmerestorasi kemampuan hutan dalam menyediakan jasa-jasa lingkunganpada lanskap yang rusak (lihat, misalnya, Van Oosten, 2013). FLRberbeda dari pendekatan restorasi konvensional dalam beberapa hal: (i)FLR menggunakan sudut pandang tingkat lanskap; (ii) FLR bertujuan untukbersamaan meningkatkan integritas ekologi dan kesejahteraanmasyarakat; (iii) FLR berarti sebuah proses kolaborasi yang melibatkanberbagai kelompok pemangku kepentingan yang secara kolektifmemutuskan opsi-opsi restorasi yang paling tepat secara teknik dan paling dapat diterima secara sosial ekonomi (iv) FLR diterapkan baik pada lahanhutan maupun area pertanian (ITTO/IUCN, 2005 dikutip dari Henkemans,2008).

Pendekatan lanskap

Wawancara dengan Sara Scherr

“Pemerintah tidak dapat melakukannya sendiri”

Sara Scherr adalah satu dari banyak pakar terkemuka tentangPengelolaan Lanskap Terpadu dan pendekatan lanskap. Dia merupakanpendiri dan presiden dari EcoAgriculture Partners dan salah satu pendiriLandscapes for People, Food and Nature Initiative. Oleh karenanya, diaberada di jantung suatu komunitas besar dan sedang berkembang dari parailmuwan dan praktisi, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki pengelolaan lanskap di daerah tropis. Dia berpendapat bahwa Integrated LanskapManagement - ILM membutuhkan kolaborasi jangka panjang dari berbagaikelompok pemangku kepentingan yang berbeda untuk mencapai berbagaitujuan yang diperlukan dari lanskap, seperti produksi pertanian, penyaluranjasa-jasa lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati dan kesejahteraanmasyarakat. Di bawah ini dia menjelaskan apa arti dari pendekatan lanskapdalam prakteknya.

Apakah yang baru dari pendekatan lanskap? Pendekatan tingkatlanskap telah dilakukan selama beberapa dekade, terutama padapengelolaan kehutanan dan daerah aliran sungai. Dari perspektiftersebut, tidak ada yang baru. Pada saat yang bersamaan sayaberpendapat bahwa ada sesuatu yang benar-benar baru sedang terjadidalam praktek keseharian di banyak organisasi. Selama 150 tahunterakhir, pemerintah, LSM dan peneliti telah memfokuskan diri padapotongan-potongan fungsi yang terbagi-bagi secara spasial. Rimbawanbertanggung jawab pada hutan di lereng-lereng gunung. Petanimengurusi produksi tanaman tahunan di dataran rendah. Pengelola airmemfokuskan perhatiannya hanya pada daerah tangkapan air. Kitasekarang melihat adanya perubahan pemikiran. Proyek-proyek yangdulunya murni diatur dengan basis sektoral, telah mengadopsi berbagaitujuan termasuk produksi pertanian, penghidupan, keanekaragamanhayati serta iklim. Mereka tidak lagi sekedar memperhatikan hutan, atauair, atau pertanian. Organisasi-organisasi tersebut telah bergerakmeninggalkan titik masuk tunggal menuju pendekatan yang berfokus pada multi-fungsional.

49

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Bagaimana Anda mempersiapkan hal tersebut? Anda harus meletakkanproses baru pada tempatnya, seperti pada dialog banyak pemangkukepentingan. Dan anda harus menetapkan aturan mainnya. Peraturantersebut dapat berkaitan dengan bagaimana cara pelaku diwakili disebuah landasan (platform) bagi banyak pemangku kepentingan, dansiapa yang akan memfasilitasi proses negosiasi-negosiasi. Anda dapatmengatakan bahwa ini adalah peraturan untuk tata kelola yangdemokratis. Masalahnya adalah proses demokratis seperti itu perlu waktu.

Apakah peran dari Pemerintah lokal dalam proses ini? StafEcoAgriculture Partners dan kolaborator telah melakukan tinjauanterhadap ratusan inisiatif lanskap terpadu dan menemukan bahwasebagian besar dari inisiatif tersebut melibatkan pemerintahan lokalsebagai mitra. Terkadang mereka memimpin dan terkadang merekamenjadi pengikut. Anda punya segala macam konstelasi, namun Andadapat melihat bahwa pemerintahan lokal sendiri telah lebih seringmengambil inisiatif untuk membentuk dasar berpijak atau landasan bagibanyak pemangku kepentingan.

Apakah itu hal yang baik? Saya mempunyai beberapa keberatan.Ketika para pelaku berkumpul bersama secara sukarela, Andamemperoleh dinamika yang istimewa, dan Anda mungkin kehilangandinamika tersebut ketika Pemerintah mengambil alih. Dengan demikianpenting untuk melihat hubungan antar para pelaku. Bagaimana hubungankekuatan di antara mereka? Apakah mereka benar-benarbebas/mandiri? Sejauh ini, masih sedikit penelitian mengenai hal itu.

Pemerintah mempunyai mandat untuk melindungi barang publik,melebihi kepentingan dan tanggung jawab tiap-tiap pemangkukepentingan di suatu lanskap. Apakah hal itu berarti bahwaPemerintah merupakan mitra yang tidak tergantikan di dalam tiapinisiatif lanskap? Masalahnya adalah bahwa lanskap-lanskap luasmungkin berada di bawah berbagai tingkatan juridiksi. Lembagapemerintah dengan tingkatan berbeda bertanggung jawab pada aspeklanskap yang berbeda. Masalah lainnya adalah pemerintah biasanyatidak mengumpulkan cukup banyak pajak untuk dapat mengelola sumberdaya alam secara layak. Pemerintah mungkin mempunyai tanggungjawab terhadap barang-barang publik, tetapi mereka tidak mempunyai

50

Pendekatan lanskap

kemampuan. Pemerintah tidak dapat melakukannya sendiri. Dasarberpijak bersama dari para pemangku kepentingan dapat membantumereka untuk mencapai tujuan. Jelas bahwa dukungan kebijakan lokaladalah penting. Akan sulit untuk mencapai visi Anda, jika Pemerintahberada pada posisi yang berlawanan. Terutama ketika berbagai inisiatifmenjadi lebih besar, akan sangat penting untuk mendapatkan dukunganPemerintah. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah kasus di India,dimana sekelompok orang memulai rehabilitasi lanskap mereka untukmengatasi kekurangan air. Pada akhirnya mereka berhasil membuatsungai mereka mengalir kembali. Namun ketika mereka ingin memperluasaktivitas ke lokasi lainnya, Kementerian Pengelolaan Air meminta merekauntuk berhenti, karena menganggap pengelolaan air merupakankewenangan Pemerintah semata.

Bagaimana perencanaan wilayah formal dapat disesuaikan? Idealnya,perencanaan spasial formal merupakan capaian negosiasi dalam pijakandasar para pemangku kepentingan. Hal ini berarti bahwa paraperencana dari Pemerintah juga harus terlibat dalam inisiatif lanskapterpadu dan bekerja bersama dengan pemangku kepentingan lainnya,contohnya pada pengembangan pelbagai skenario. Apa keinginan kitauntuk tampilan lanskap 25 tahun dari sekarang? Hal ini kemudian dapatmenghasilkan perencanaan spasial.

Apakah peran dari organisasi masyarakat madani? Keterlibatanmasyarakat madani adalah pokok. Mereka termasuk semua jeniskelompok: organisasi lingkungan, kelompok petani, kelompok pengguna,kamar dagang, dll. Dalam 20 tahun terakhir terjadi peningkatanketerlibatan masyarakat madani yang telah membuat pengelolaansumber daya alam menjadi berbeda. Mereka adalah pemegang kendalipada pendekatan lanskap.

Apakah mereka merupakan inisiator yang diutamakan pada inisiatiflanskap terpadu? Tidak ada pengambil inisiatif yang diutamakan. Semuatergantung pada siapa saja yang mempunyai energi untuk melakukannya.Saya tahu berbagai kesuksesan maupun kegagalan dalam semua model.Pertanyaannya adalah: Begitu Anda mendapatkan pemimpin, sejauhmana kelompok yang memimpin tersebut mendominasi kelompok yanglain. Idealnya Anda mempunyai organisasi unggulan di lebih dari satu

51

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

sektor. Hal itu akan mencegah satu organisasi dan kepentingannyamenjadi dominan.

Bagaimana Anda mencegah inisiatif-inisiatif tersebut menjadiberantakan ketika satu dari organisasi unggulan keluar, contohnyaketika pendanaan selesai? Inisiatif lanskap terpadu memang memerlukan dukungan awal, namun pada akhirnya inisiatif ini harus bisa berjalansecara mandiri, tanpa tergantung pada organisasi dari luar. Untuk ituAnda perlu melibatkan kelompok-kelompok yang mempunyai komitmenjangka panjang. Mereka harus menjadi anggota inti. Mereka bisa sajaperguruan tinggi lokal, pengusaha, petani, pemerintah dan organisasimasyarakat madani.

Pada berbagai publikasi mengenai pendekatan lanskap, banyakditekankan perlunya partisipasi masyarakat lokal dalam prosespengambilan keputusan. Apakah pendekatan tersebut mempunyaikomponen moral yang eksplisit? Ya, saya dapat mengatakan bahwapendekatan yang dikembangkan oleh EcoAgriculture Partners didasarioleh prinsip-prinsip etika, seperti demokrasi, kepengurusan (steward),keberlanjutan dan kepenyertaan. Itu berarti kita akan mencurahkanperhatian lebih banyak untuk memberikan suara kepada kelompokterpinggirkan dalam proses multi-stakeholder. Namun tidak semua inisiatiftingkat lanskap memerlukan prinsip demokrasi dan partisipasi. Terdapatpula pendekatan lanskap atas-bawah (top-down), dimana kelompok kecilelit memutuskan cara pengelolaan suatu lanskap. Pendekatan semacam ituyang diterapkan untuk restorasi lanskap ditemui di Vietnam, Cina danEtiopia. Mereka mungkin melibatkan masyarakat lokal, namun seringkaliminimal–hanya cukup untuk mencegah perselisihan. Hal ini memprihatinkansaya. Sejak pendekatan lanskap lebih menjadi arus utama, Anda mulaimelihat aliran uang dari para pelaku luar yang datang dengankepentingan tertentu, contohnya program REDD, organisasi konservasikeanekaragaman hayati dan pelbagai perusahaan besar. Mereka semuamemiliki agenda tersendiri. Mereka mungkin menamai intervensinyasebagai pendekatan lanskap dan membangun landasan bagi parapemangku kepentingan, namun pertanyaannya adalah sejauh manamereka dapat benar-benar mendorong partisipasi dan negosiasi dalambasis kesetaraan.

52

Pendekatan lanskap

Dr. Sara Scherr merupakan ahli pertanian dan ekonomi sumber daya alamdengan spesialisasi kebijakan pengelolaan lahan di negara-negara tropisberkembang. Dia adalah pendiri dan Presiden dari EcoAgriculture Partnersdan memimpin pendirian Landscapes for People, Food and Nature Initiative.Dia juga duduk di dalam dewan dari beberapa organisasi internasional danjurnal-jurnal ilmiah.

53

54

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

4. Tata kelola lanskap

Kesepakatan pengaturan tata kelola lanskap merupakan ruang

kebijakan publik dimana berbagai pelaku dapat mendiskusikan

agendanya masing-masing.

Tata kelola lanskap

55

Bagaimana pendekatan lanskap dipersiapkan? Dengan kata lain:bagaimana jenis-jenis kesepakatan pengaturan tata kelola yang dibutuhkan?Berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan lanskap, pengaturan tata kelolaidealnya dapat mendorong terbentuknya rancangan lanskap bersama melalui sebuah proses kolaboratif dari pelaku pemerintah, swasta, dan masyarakatmadani, yang memungkinkan adanya kesinambungan proses pembelajarandan adaptasi. Pengaturan tata kelola juga diperlukan untuk memungkinkanadanya keterikatan dan saling mendukung antara pelaku pemerintah dengannon-pemerintah, dan keperluan untuk mencegah adanya satu pelaku tertentumenjadi lebih kuat daripada yang lain (Kozar dkk, 2014). Lebih lanjut lagi,pengaturan tata kelola seharusnya tidak hanya melibatkan pemangkukepentingan yang berada di dalam lanskap itu saja, namun juga para pelakupada tingkatan skala yang lebih tinggi. Inisiatif lanskap misalnya mungkindapat dimasukkan dalam program nasional, seperti strategi-stategi REDD+(Minang dkk, 2015d).

Membangun kesepakatan pengaturan tata kelola lanskap sangatmenantang. Berdasarkan pada sebuah studi di Basin Kongo, Endema dkk(2010) menyimpulkan bahwa terdapat kekurangan kerangka kerja yangefektif untuk mendorong negosiasi antar para pemangku kepentingan yangaktif di dalam suatu lanskap, dan bahwa berbagai ambisi dalam pendekatanlanskap cenderung melebihi kapasitas organisasi yang terlibat–terutamaketika diterapkan pada berbagai area yang luas dengan banyak pemangkukepentingan. Namun walaupun pengaturan tata kelola lanskap sangat rumit,Kozar dkk (2014) berpendapat bahwa kemungkinan suksesnya telahmeningkat. Banyak negara yang sedang menjalankan transisi dari pengen-dalian lahan dan sumber daya alam yang berpusat pada Pemerintah, menujudistribusi kewenangan di antara masyarakat madani, sektor swasta danPemerintahan lokal.

Ros-Tonen dkk (2014) menekankan bahwa tata kelola lanskap yangefektif membutuhkan modal sosial tertentu, seperti kepercayaan, aturan dannorma bersama, dan keterikatan di dalam dan di antara kelompok-kelompokpemangku kepentingan. Tanpa hal tersebut, proses-proses pembelajaran dannegosiasi di lintas skala yang rumit dan berbagai tingkatan, kemungkinantidak akan sukses.12 Mereka juga menekankan bahwa tata kelola lanskapyang efektif sangat terbantu oleh kehadiran organisasi “yang menjadijembatan” (misalnya LSM atau lembaga penelitian), yang menciptakanhubungan antar pelaku yang berbeda. Organisasi-organisasi tersebut dapatmemainkan peran kunci dalam memfasilitasi negosiasi-negosiasi berbagai

56

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

pemangku kepentingan (multi-stakeholder), pembelajaran bersama danpengelolaan konflik, serta dapat juga berfungsi sebagai perantarapengetahuan.

4.1 Bentuk-bentuk tata kelola lanskap

Sebuah kesepakatan pengaturan tata kelola lanskap dapat berbentukformal atau informal/sementara. Hal itu dapat tertanam pada organisasiyang telah ada (contohnya, dinas tertentu pada Pemerintahan lokal) ataumembentuk jejaring antar berbagai pelaku. Pengaturan juga bervariasimenurut jumlah dan tipe pemangku kepentingan yang terlibat, danbagaimana mereka terwakili. Van Oosten dkk. (2014, berdasar pada Treibdkk, 2007) membedakan antara tiga tipe kesepakatan pengaturan tatakelola:

· Pengembangan perangkat pengelolaan yang didasari oleh pengetahuanprofesional dan peraturan yang mengikat. Tanggung jawab pengelolaanmungkin dapat dibagi dengan pelaku lainnya–contohnya Pemerintahdapat melatih pemangku kepentingan lain untuk menjadi mitra pengelola,atau mungkin memberikan partisipasi yang lebih besar dalam prosesperencanaan tata guna lahan–namun pengaturan tersebut tetap berdasarpada kewenangan terpusat.

· Menciptakan landasan bagi pengambilan keputusan berbagai pemangkukepentingan. Perhatian diberikan secara khusus untuk pembentukaninteraksi baru di antara para pemangku kepentingan, sehingga merekabisa mencapai pengambilan keputusan bersama, yang melibatkan prosesnegosiasi, mediasi konflik, dan perhitungan untung-rugi timbal balik yangrumit.

· Menciptakan ruang institusi baru. Ini berarti bahwa pelaku dari berbagaitingkatan dan skala yang berbeda, secara bersama-sama menciptakaninstitusi campuran baru, yang mensiratkan adanya kombinasi kreatif darikelembagaan tradisional dengan mekanisme tata kelola baru. Hal inimembutuhkan kelenturan peraturan-peraturan yang dirancang oleh parapembuat kebijakan di tingkat pusat.

Tiga kasus di Indonesia yang diamati oleh Van Oosten dkk (2014)memperlihatkan bahwa pengaturan tata kelola dapat menjadi dinamis.Mereka dapat, contohnya, berevolusi dari pendekatan pengelolaanprofesional yang umum, dengan Pemerintah bertanggung jawab atas aturan

Tata kelola lanskap

57

dan undang-undang, menjadi pengaturan yang memungkinkan keterlibatanberbagai pemangku kepentingan, dengan perhatian yang lebih besar padakepentingan lokal. Pada kasus tersebut, perubahan tersebut diinisiasi olehpara pemangku kepentingan melalui proses informal. Mengubah pengaturanformal menjadi pengaturan yang lebih fleksibel, menghasilkan pengaturanbaru dengan proses pengambilan keputusan spasial yang lebih horisontal.Namun hal ini membuktikan bahwa sulit untuk memasukkan pengaturan-pengaturan baru tersebut di struktur vertikal lembaga pemerintah, misalnyapada mekanisme perencanaan formal.

Berdasarkan sebuah tinjauan pada berbagai pengaturan tata kelolatingkat lanskap, Kozar dkk (2014) menunjukkan bahwa banyak pengaturanyang telah ada beroperasi sebagai jejaring sukarela dan informal, denganderajat swakelola tertentu. Mereka biasanya bertujuan untuk mendukunginovasi, kolaborasi, dan pembelajaran bersama. Dimungkinkan terbentuknyakonstruksi kelembagaan yang berbeda, seperti pada landasan berbagaipemangku kepentingan, forum-forum, dan struktur pengelolaan bersama. Halini memungkinkan untuk menjembatani berbagai skala yang berbeda danmelibatkan berbagai tipe pelaku. Mereka berada pada ruang-ruangkebijakan publik dimana berbagai pelaku dapat mendiskusikan agendamereka masing-masing, memungkinkan secara besama mengembangkanprinsip-prinsip dan rencana-rencana aksi.

4.2 Apa yang berjalan?

Di dalam literatur, opini tentang efektivitas dari berbagai tipepengaturan tata kelola yang berbeda sangatlah bervariasi. Beberapapenulis menekankan perlunya memasukkan inisiatif lanskap di dalam strukturjuridiksi yang sudah ada (misalnya Rodrigues de Aquino dan Griffin, 2014),sementara penulis lainnya berpendapat untuk pengaturan yang fleksibel daninformal dimana pemerintahan lokal sebagai satu dari banyak mitra yangsetara, contohnya melalui pengembangan kerangka kerja dimana parapemangku kepentingan yang berbeda dapat mendiskusikan pilihan-pilihandan timbal balik untung-rugi (trade-off) serta membangun solusi bersama(contohnya, Ho dkk, 2014).

Van Oosten (2013) berpendapat bahwa struktur perencanaan formalyang bersifat atas-bawah (top-down) menjadikannya sulit untuk digabungkandengan proses perencanaan yang lebih bawah-atas (bottom-up) danberakhiran terbuka (open ended). Dia mengajukan pandangan mengenai tata

58

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

kelola lanskap yang meninggalkan institusi pemerintahan formal menuju padajejaring informal serta koalisi dan kemitraan publik-swasta yang berdasarkanpada proses pembelajaran bersama. Pengalaman dengan COMDEKS –sebuah proyek UNDP yang ditujukan pada pengelolaan lanskap berbasismasyarakat di 20 negara–juga menyarankan bahwa membangun‘komunitas-komunitas berkepentingan’ yang fleksibel dan informal di tingkatlanskap akan lebih efektif dibanding dengan membentuk institusi-institusinegara formal di tingkat lanskap tersebut (Salvemini dan Remple, 2014).Namun, Zagt dan Chavez-Tafur mencatat bahwa pengaturan tata kelolainformal yang fleksibel mungkin akan menghadapi beberapa tantangan yang serupa dengan yang dihadapi oleh pengaturan formal ketika menjumpaiurusan kesetaraan keterwakilan dan partisipasi, dan posisi dari kelompok-kelompok yang rentan dan terpinggirkan. Mereka juga mengingatkan bahwapengaturan informal mungkin kurang memiliki legitimasi dan mandat yangdiperlukan untuk dapat menegakkan kesepakatan.

Kozar dkk (2014) mengintisarikan pengalaman-pengalaman terkaitdengan pengaturan Pemerintah pada tingkat lanskap dan menyimpulkanbahwa tidak ada satupun pengaturan yang lebih baik dari yang lain, namunmengusulkan delapan butir berikut untuk sistem tata kelola lanskap yangefektif:

· Pilih pengaturan yang mendukung inovasi dan pembelajaran;

· Tumbuhkan peran yang saling melengkapi di antara pelaku pemerintah dan non-pemerintah;

· Distribusikan tanggung jawab, hak dan kewenangan di antara pelaku;

· Tugaskan tanggung jawab tata-kelola pada tingkatan yang sesuai;

· Pastikan peran kunci bagi Pemerintah lokal;

· Sertakan kompleksitas ketika diperlukan;

· Pilih pengaturan untuk berbagai fungsi di suatu lanskap;

· Hadapi isu-isu akuntabilitas dan legitimasi.

Intervensi tingkat lanskap yang seringkali ditampilkan sebagai kesuksesan adalah kasus-kasus tentang restorasi lanskap, yang bertujuan untukmerehabilitasi area yang telah terdegradasi, seperti regenerasi yangdipimpin oleh petani di Sahel (Buck dan Baily, 2014), restorasi lanskap diEtiopia (contohnya, Deichert dkk, 2014), dan rehablitasi Loss Plateau di Cina(Soltz dkk, 2013). Dua lokasi terakhir sebagian besar digerakkan oleh

Tata kelola lanskap

59

pemerintah pusat. Walaupun petani lokal dilibatkan dalam kegiatan, namunprogram rehabilitasi diterapkan dengan kekuatan negosiasi yang kecil daripemangku kepentingan lokal. Contoh tersebut menjelaskan bahwa penafsiransukses tergantung pada nilai yang disandang oleh berbagai kriteria. Padakasus Etiopia dan Cina misalnya, mungkin mencapai nilai tinggi pada kriteriaekologi dan produksi, namun nilainya rendah pada kriteria partisipasi dandemokrasi.

4.3 Tantangan-tantangan tata kelola

Menyusun dan mempertahankan pengaturan tata kelola lanskapmerupakan tantangan karena sejumlah alasan, termasuk:

· Biaya transaksi yang tinggi: Pengaturan tata kelola lanskap yang efektifbiasanya melibatkan proses yang panjang (contohnya, negosiasi-negosiasiberbagai pemangku kepentingan) dan menimbulkan biaya tinggi.Kesuksesannya tergantung pada kualitas keterlibatan para pemangkukepentingan, sejauhmana berbagai kepentingan dari pemangkukepentingan yang berbeda diakui, dan tingkat kepercayaan antarberbagai pemangku kepentingan yang berbeda (Sayer dkk, 2013).

· Kemungkinan terlepas dari batas-batas juridiksi: definisi batasan ekologidan sosial budaya sebuah lanskap seringkali melintasi batas-batasadministratif dan politis, dan bahkan terkadang melintasi batas negara(Van Oosten, 2013).

· Akuntabilitas dan keterwakilan yang dipertanyakan: Pengaturan sukareladan swakelola di dalam jejaring kerja memiliki kelebihan dapat dimilikibersama oleh para pelaku, sehingga mendorong sinergi dan aksi yangkolektif. Namun kelemahannya adalah pengaturan tersebut terletak di luarstruktur demokrasi yang formal sehingga dapat menimbulkan pertanyaanterkait akuntabilitas dan keterwakilan. Apakah pelaku yang aktif padasuatu struktur tata kelola lanskap benar-benar mewakili kelompok yangmereka klaim telah diwakili, dan dapatkah mereka mempertanggung-jawabkannya? Terlebih lagi, pengaturan tersebut mungkin tidak diakuisebagai sistem tata kelola yang layak oleh Pemerintah.

· Ketidakseimbangan kekuatan: Mungkin terdapat perbedaan kekuatan diantara para pelaku dalam suatu lanskap. Sehingga pengaturan tata kelolalanskap perlu memastikan bahwa pelaku yang paling kuat (contohnya,perusahaan perkebunan besar) tidak mendominasi proses pengambilan

60

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

keputusan (Kozar dkk, 2014), atau menahan diri dari berpartisipasi dalampengaturan-pengaturan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.

· Perhatian terhadap aneka skala yang berbeda: Pengaturan-pengaturantata kelola lanskap harus mencari cara untuk meliput keterkaitan antarskala yang berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan suatulanskap berasal dari luar lanskap (contohnya, pasar dan migrasi). Selain itu, apa yang terjadi di dalam sebuah lanskap menimbukan konsekuensi padaskala yang lebih besar. Contohnya, apa yang terjadi dalam sebuahlanskap dapat mengganggu pelbagai aktivitas pada lanskap lainnya, dandikenal dengan istilah imbas (leakage) (Minang dkk, 2015d).

· Menyeimbangkan tujuan: Satu dari tantangan utama pada tata kelolalanskap adalah fakta bahwa manfaat penghidupan dinilai di tingkat lokal,sementara banyak jasa-jasa lingkungan dinilai di skala yang lebih tinggi.Sebagai contoh, penduduk perkotaan di daerah hilir akan menghargaipersediaan air bersih, sementara masyarakat internasional akanmenghargai upaya perlindungan spesies yang terancam. Menyesuaikanberbagai tujuan seperti itu sangatlah rumit, karena mereka tidak selalusejalan. Pertanyaan yang terkait adalah siapa yang kemudian mewakilikepentingan barang publik pada tingkatan global seperti iklim dankeanekaragaman hayati, dan bagaimana. Kepentingan global seringkalidiwakili oleh LSM dan donor internasional, namun keterlibatan merekadalam hal ini cenderung berlangsung pada periode waktu yang terbatas(Kozar dkk, 2014).

Terkait dengan butir terakhir, Van der Horn dan Meijer (2015)memperingatkan bahwa tidak semua inisiatif yang mengadopsi pendekatanlanskap, memberikan bobot yang sama terhadap berbagai tujuan. Penulismembedakan antara inisiatif lanskap yang digerakkan berdasar kepentingan masyarakat, berdasar perhitungan keuntungan dan berdasar keprihatinanpada kondisi bumi, dan berpendapat bahwa masing-masing memiliki titik buta (blind spots). Inisiatif yang digerakkan berdasarkan kepentingan masyarakatmungkin mendukung upaya pemberdayaan petani skala kecil dibandingdengan kepentingan pihak lain seperti perusahaan besar, namun cenderungfokus hanya pada jasa-jasa lingkungan yang memberi keuntungan langsungdan dalam jangka pendek. Demikian juga, upaya perlindungan keaneka-ragaman hayati jangka panjang mungkin tidak menjadi agenda penting bagiinisiatif yang digerakkan berdasar perhitungan keuntungan yang diprakarsaioleh kepentingan komersial skala besar. Sementara inisiatif yang digerakkankarena adanya keprihatinan pada kondisi bumi mempunyai resiko sebagai

Tata kelola lanskap

61

pendekatan yang bersifat dari atas ke bawah (top-down) karena berdasarpada kepedulian global.

62

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 7. Insentif Keuangan

Mankad (2014) membedakan antara tiga tipe insentif keuangan yangdapat digunakan secara berurutan (satu di atas yang lain) ataubersamaan (paket bersama). Pertama, bank-bank, dana-dana investasiatau perusahaan-perusahaan swasta dapat menyediakan kredit untukmendorong pelaku berubah ke praktek-praktek pengelolaanberkelanjutan. Kedua, insentif keuangan dapat berasal dari berbagaipasar-pasar produk yang merangsang pengelolaan lanskap terpadu,contohnya, melalui sertifikasi. Ketiga, pengurusan (steward) ekosistem yang menyediakan jasa-jasa lingkungan dapat dihubungkan dengan parapengguna jasanya melalui skema Payments for Ecosystem Services (PES).Pada contoh terakhir, program-program untuk pengurangan emisi daripenggundulan hutan dan kerusakan hutan (Reducing Emissions fromDeforestation and forest Degradation - REDD+) mungkin menarik (lihatRodrigues de Aquino dan Griffin (2014) sebagai contoh yang terjadi diOromia, Etiopia). Namun risiko dari program tersebut adalah karenadigerakkan dari luar/eksternal tanpa konsultasi yang cukup dankesepakatan dari pelaku lokal. Untuk menghindari intervensi yang bersifatdari atas ke bawah (top-down), proyek-proyek PES dan REDD+ yang sudahada perlu mengadopsi prinsip-prinsip dasar pendekatan lanskap (lihat,contohnya Namirembe dan Bernard, 2015; Kissinger dkk, 2015).

Tata kelola lanskap

63

Kotak 8. Mengembangkan sebuah lanskap cerdas-iklim diGhana barat

Pada tahun 2010, Rainforest Alliance dan Olam (sebuah perusahaanmakanan internasional dan pedagang besar coklat) memulai sebuahproyek yang mengembangkan lanskap “cerdas-iklim” di DistrikJuabeso-Bia, Ghana Barat. Proyek tersebut berfokus pada area sekitar36.000 hektar, yang terdiri dari wanatani coklat, lahan tanaman pangandan sisa-sisa hutan, yang berlokasi di antara dua kawasan dilindungi yang besar. Produktivitas kebun coklat menurun sedangkan penanaman pohoncoklat mengarah pada penggundulan hutan. Proyek tersebut bertujuanuntuk membalikan kecenderungan negatif ini dengan mendukungpenanaman coklat cerdas-iklim dan mengembangkan mata pencaharianalternatif lainnya, sambil membatasi pembalakan hutan alami danmendorong restorasi sisa-sisa hutan di dalam lanskap. Tujuan tambahanlainnya adalah menyiapkan masyarakat untuk terlibat padaproyek-proyek REDD+ selanjutnya di area tersebut.

Dengan menggunakan jaringan suplai Olam, proyek tersebut melibatkansekitar 2.800 petani. Melalui sekolah-sekolah pertanian lapang, parapetani dilatih dalam praktek pertanian cerdik-iklm (misalnya coklat dibawah naungan, yang dapat menahan volume karbon dua kali lebihbanyak dibanding coklat yang tidak dinaungi). Proyek tersebut jugamembantu petani mendapatkan tambahan pendapatan dari beternaklebah. Petani dibantu melalui restorasi ekosistem, perbaikan kualitas lahan kosong dan perlindungan hutan, serta mendapatkan pelatihan tentangcara menghitung stok karbon di ladang. Para guru dilatih mengenaipendidikan iklim. Perangkat penghitungan karbonpun telahdikembangkan sehingga dapat digunakan pada tingkat lanskap. Proyektersebut membantu terbentuknya kelompok produsen, koperasi petani dan Dewan Pengelolaan Lanskap (Landscape Management Board) yangberisikan perwakilan masyarakat di area tersebut (dinominasikan olehmasyarakat sendiri). Dewan Pengelolaan Lanskap terlibat di setiaplangkah dari proyek, dan berfungsi sebagai penghubung antarapengelola proyek dan masyarakat lokal.

Lebih dari 6.000 hektar lahan yang ada sekarang telah disertifikasi,memenuhi standar dari Sustainable Agriculture Network (SAN) dan secarasukarela menjalankan panduan dari Climate Module. Perusahaanmembayar dengan harga premium untuk coklat yang bersertifikat, danmenawarkan akses pasar yang lebih jelas. Berdasarkan wawancaradengan para petani, diperkirakan panen meningkat antara 15% dan30% pada pertanian yang telah disertifikasi, sehingga meningkatkan

64

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Lanjutan Kotak 8.

penghasilan rata-rata sebesar 25%. Totalnya sekitar 50.000 pohonditanam sebagai naungan tanaman coklat di lahan, dan 50.000 pohonlainnya di lahan yang masih kosong. Semua 2.800 petani menjadianggota koperasi. Dewan Pengelolaan Lanskap tetap berperan aktif dandiharapkan memainkan peran kunci mengkordinasikan aktivitas-aktivitasREDD+ di masa depan.

Proyek tersebut telah memperoleh sukses yang signifikan dalam hal luasan area pertanian dengan produk bersertifikat, pembangunan kapasitas dan pengembangan organisasi. Pendapatan meningkat, dan masyarakat lebih siap untuk percontohan-percontohan REDD+ di masa depan. Namun dariperspektif perusahaan muncul gambaran lain. Biaya yang dikeluarkanperusahaan menjadi lebih dari dua kali lipat biaya usaha bisnis biasapada skala serupa. Pengembalian investasi (Return on Investment) terlalurendah. Olam berniat untuk belajar dari proyek itu denganmengidentifikasi apa yang berhasil dan apa yang tidak, dan elemen apasaja yang dapat direplikasi di tempat lain (Brasser, 2013; Noponen dkk,2014; Christian Mensah, komunikasi pribadi; lihat juga wawancaradengan Christian Mensah dalam laporan ini).

Tata kelola lanskap

Wawancara dengan Cora van Oosten

“Tata kelola lanskap adalah tentang jejaring kerja”

Sebagai seorang ahli geografi manusia, Cora van Oosten menekankanpentingnya memperhatikan kekhasan tiap dan setiap tempat. Karenasetiap lanskap mempunyai karakteristik tempat yang khas. Diaberpendapat bahwa tempat itu sendirilah yang harus dilihat sebagai titikawal perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Sejalan denganini, dia mempercayai para ‘pemimpin lanskap’, yaitu masyarakat lokalyang memutuskan untuk bertindak karena ingin mengambil peran dalammenentukan masa depan lanskap yang mereka anggap sebagai miliknya.Rasa “memiliki tempat”, menurut Oosten merupakan faktor penggerakpenting untuk aksi dan perubahan kolektif. Van Oosten bekerja padaWageningen UR, dan bertanggungjawab pada beberapa proyekpenelitian tentang pengaturan tata kelola lanskap. Berikut penjelasannyatentang apa yang dipelajari dari berbagai proyek tersebut.

Anda telah mempelajari berbagai pengaturan tata kelola lanskap.Dapatkah anda mengatakan apa yang berhasil dan apa yang tidak?Tidak. Kami telah mengirimkan mahasiswa untuk melacak dan mempelajari pengaturan tata kelola lanskap di berbagai negara, dan mereka semuakembali dengan contoh-contoh yang samasekali berbeda. Saya pikirbahwa inilah ilustrasi dari esensi pendekatan lanskap. Tidak ada yangnamanya cetak biru. Anda akan sering mendengar tentang perluasan atau replikasi dari pendekatan lanskap, namun hal ini sepenuhnya hal yangberbeda, karena tidak cukup memperhatikan keunikan-keunikankarakterteristik dari suatu tempat. Pendekatan lanskap merupakan sebuah perspektif yang membantu anda menemukan kekuatan tertentu darisebuah lanskap.

Bagaimana hal itu dianggap baru? Banyak pendekatan-pendekatanyang ada berfokus pada satu tema atau sektor, karenanya tidak mengacu pada keterkaitan yang sebenarnya terkandung di antara tema-tema atau sektor-sektor dalam suatu lanskap. Organisasi konservasi menekankanpentingnya fungsi ekologi dari suatu lanskap. Pengusaha pertaniancenderung fokus pada fungsi produksinya. Dan organisasi masyarakat

65

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

madani melihatnya dari perspektif hak asasi manusia. Akan tetapi dalampandangan saya lanskap adalah konsep kewilayahan (spasial). Hal inibiasa digunakan oleh para ahli geografi yang tidak berfikir topik atausektor, melainkan lingkup kewilayahan.

Apakah pendekatan lanskap mengacu pada sebuah metode tertentu?Melaksanakan sebuah pendekatan lanskap memerlukan desentralisasiyang nyata. Yaitu membawa proses pengambilan keputusan spasial ketingkatan terendah yang memungkinkan. Namun tetap membutuhkankolaborasi yang kuat pada tingkat lanskap, karena kebanyakan masalahlanskap melebihi batasan lokal. Hal ini seringkali menjadi masalah, karena desentralisasi administrasi secara politik mengikuti batasan administrasi,yang jarang seiring dengan perbatasan sosial-ekologi lanskap-lanskap.Oleh karenanya kolaborasi yang kuat lintas perbatasan administratif,tingkat dan skala merupakan prasyarat untuk membuat pendekatanlanskap berhasil.

Dalam publikasi terbaru, anda berpendapat bahwa pengelolaanlanskap yang efektif memerlukan pengaturan tata kelola yang informal dan fleksibel. Apakah pengaturan-pengaturan tersebut memerlukansuatu inisiator? Ketika ada inisiator dari luar, (hal ini) biasanya disebutInisiatif Lanskap Terpadu (ILT) (Integrated Landscape Initiative - ILI). Saat inisepertinya kebanyakan perhatian tertuju pada inisiatif-inisiatif yangdilembagakan tersebut, sementara saya ingin menarik perhatian padainisiatif-inisiatif informal lokal yang sudah ada dalam lanskap tersebut. Dibanyak lanskap, terdapat sistem-sistem pengelolaan dan pengaturan tata kelola tradisional yang memutuskan alokasi atas berbagai hak dansumber daya. Di seluruh dunia, sistem pengelolaan yang sejarahnyaberevolusi telah mengatur akses terhadap hak dan sumber daya, sertapenggunaan lahan. Sebagai contoh, di Afrika Barat, petani danpenggembala selalu mempunyai perjanjian informal yang mengatur polamigrasi pertanian-penggembalaan serta penggunaan lahan musiman.Pada musim kemarau, penggembala diijinkan memasuki lahan dimanakotoran ternak-ternak mereka dapat menyuburkan tanah. Mereka haruspergi lagi ketika musim penghujan, dimana petani akan menggunakanlahan untuk menamam tanamannya. Pengaturan tersebut diadaptasidengan sempurna pada kondisi-kondisi ekologi dan sosio-ekonomi yangspesifik dan seharusnya menjadi dasar pengelolaan lanskap. Pengaturan

66

Tata kelola lanskap

seperti inilah yang seharusnya menjadi dasar pengembangan pengelola-an lanskap.

Siapa yang perlu membangun (lanskap) berdasarkan pengaturanseperti itu? LSM, atau perencana dari Pemerintah, atau perusahaanswasta yang menginginkan sumber mereka berproduksi secaraberkelanjutan. Mereka semua harus memahami apa yang berjalan dandinamika yang ada dari suatu tempat, dan menggunakan mekanisme lokal yang terbentuk sebagai dasar dari langkah-aksi mereka. Tentunyamekanisme-mekanisme tersebut harus diadaptasi dan disesuaikankandengan perubahan kondisi. Hal ini memerlukan perencanaan interaktifyang tinggi, menggabungkan pengaturan lama dengan perundanganyang baru, dan secara kreatif membentuk pengaturan kelembagaan yang baru. Francis Cleaver menyebut proses ini sebagai ‘institutional bricolage’[Cleaver, 2012]. Istilah tersebut menggambarkan secara tepat apa yangsaya maksud dengan membuat pengaturan baru yang dikerjakan sendiri(do-it-yourself), yang sesuai dengan kondisi-kondisi sosioekonomi terkini,tetapi tetap berakar pada tempat tersebut. Terkadang proses tersebutmembutuhkan masukan dari pihak luar, namun pelaku dari pihak luar harus hati-hati untuk tidak mengambil alih tanggung jawab, dan melembagakanmelebihi dari yang diperlukan. Saya mengetahui beberapa ILT yangkarena diformalisasi, telah mengacaukan pengaturan yang sudah adadan melemahkan pelaku lokal. Saya berpendapat bahwa pelaku dari luar tidak seharusnya menjadi kekuatan penggerak, tetapi harus membantumenguatkan apa yang sudah ada. Pemangku kepentingan lokal suatulanskap adalah yang terpenting. Jadi Anda harus memahami peranmereka. Bagaimana masyarakat dan pebisnis dalam lanskap mencaripenghidupan dan bagaimana mereka melihat hal tersebut berevolusiseiring waktu? Seberapa baik hubungan antar pelaku lokal terhadapjaringan kerja pada tingkat dan skala yang lebih tinggi? Dan, siapakahpenentu pengaturan lanskap? Mereka adalah pelaku lokal yang mampumenggerakkan masyarakat dan membuat hubungan dengan jaringanpolitik dan bisnis.

67

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Banyak Inisiatif Lanskap Tepadu (ILT) yang dimulai oleh perusahaanatau lembaga konservasi, yang berarti bahwa inisiator mempunyaikepentingan dalam lanskap. Jika Anda mempunyai kepentingan, makaAnda juga mempunyai tanggung jawab. Jika Anda membangun bisnisutama Anda berdasar pada sebuah lanskap, maka Anda harus menyadari dampak bisnis Anda terhadap lanskap tersebut. Anda harus mengetahuitidak hanya konsekuensi ekologisnya, tapi juga konsekuensi sosial darikehadiran Anda dalam lanskap yang bersangkutan. Terlebih lagi satulanskap dapat saja menaungi beberapa ILT, yang diinisiasi olehkelompok-kelompok pelaku yang berbeda. Mungkin satu diinisiasi olehCoca Cola, yang lain oleh WWF, yang lain lagi oleh organisasi swadayanelayan, dan lain-lain. Tidak satupun dari kesemuanya itu dapatmengklaim menjadi kekuatan pengelola tunggal. Itu adalah bagaimanasaya melihat tata kelola lanskap: tidak hanya sebagai satu landasan(platform) atau sebuah jejaring, namun lebih sebagai sebuah konstelasijaringan yang sebagiannya tumpang tindih, yang kesemuanya memainkan peran tertentu dan bersama-sama membangun suatu sistem tata kelolalanskap. Dengan demkian, tata kelola lanskap adalah tentang jejaring.

Ketika masing-masing ILT mewakili kepentingan tertentu, siapa yangakan mengambil tanggung jawab untuk kepentingan kolektif jangkapanjang? Apakah hal itu merupakan tugas Pemerintah? Tidak hanyaPemerintah yang mewakili kepentingan kolektif jangka panjang, namunperusahaan dan masyarakat juga. Dalam pandangan saya, Pemerintahan hanya salah satu dari banyak pelaku yang membentuk tata kelolalanskap. Permasalahan pemerintah adalah karena mereka terikat denganbatasan administratif, sementara ILT dan pengaturan tata kelola informalseringkali akan melewati batasan-batasan tersebut. Masalah utamadengan perencanaan formal adalah didasarkan pada penggunaanaturan-aturan dan undang-undang yang baku, sementara lanskap adalahdinamis dan memerlukan pengaturan tata kelola yang fleksibel.

Apakah Anda mengatakan bahwa perencanaan seharusnya lebihfleksibel? Tepat sekali! Hal tersulit bagi seorang perencana adalah untukmengganti rencana. Di universitas, para mahasiswa belajar bagaimanacara membuat berbagai aturan, namun langkah selanjutnya adalahbelajar bagaimana untuk menggantinya. Para perencana harus belajaruntuk melihat lanskap dan dinamikanya. Tidak ada keharusan untuk

68

Tata kelola lanskap

membuat institusi-institusi perencanaan yang baru, namun kita harus untukmembuat yang sudah ada menjadi lebih terbuka dan lebih fleksibel.

Pengaturan yang fleksibel sangatlah sulit untuk ditegakkan? Ya benar,mungkin akan selalu ada pelaku yang bertindak tidak bertanggungjawab. Maka Anda memerlukan para LSM untuk berfungsi sebagaipengawas-pengawas. Dan Anda memerlukan Pemerintah untukmenyiapkan kondisi dan aturan yang dapat ditegakkan. Pengaturan yang benar-benar informal dan fleksibel mungkin hanya merupakanangan-angan.

Apakah regulasi dari atas ke bawah (top-down) tidak dapat dihindari?Tidak seharusnya kita berfikir pada istilah dari atas ke bawah, atau daribawah ke atas. Kita harus bisa menghubungkan antara bawah dan atas.Membawa keduanya bersama pada jaringan kerja beragam pelaku,melintas batasan, tingkatan dan skala, namun berakar kuat di lokasilanskap.

Cora van Oosten adalah Penasehat Senior untuk Pengelolaan SumberDaya Alam di Center for Development Innovation di Wageningen UR. Diaadalah ahli geografi manusia, dengan lebih dari 20 tahun pengalamandalam pengelolaan sumber daya alam, pendekatan lanskap, tata kelolasumber daya alam, dan perencanaan spasial secara partisipatif.

69

70

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

5. Mengukur efektivitas berbagai inisiatiflanskap terpadu

“Sejarah konservasi dipenuhi dengan sistem pemantauan ambisius

yang telah tidak digunakan lagi”

(Sayer, Buck dan Dudley 2008:16).

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

71

5.1 Penilaian kinerja

Sejalan dengan investasi yang dilakukan oleh banyak organisasipembangunan dan konservasi pada berbagai macam inisiatif lanskap terpadu,maka timbul kebutuhan untuk mengkaji capaian-capaian dari berbagai inisiatiftersebut. Banyak penulis menekankan pada perlu adanya metode penilaianuntuk mengukur kinerja inisiatif-inisiatif lanskap dan lanskap terpadu (contohnyaScherr, Shames dan Friedman, 2012; Sayer dkk, 2013; Harvey dkk, 2014;Kozar dkk, 2014; Sherr dkk, 2014; Hart dkk, 2015; Kissinger dkk, 2015;Bernard, 2015; Minang dkk, 2015d; Wambugu dkk, 2015; Namirembe danBernard, 2015; Van der Horn dan Meijer, 2015).

Berbagai organisasi konservasi dan pembangunan telah memiliki sistempemantauan dan evaluasi (M&E), namun sistem tersebut cenderung hanyauntuk memenuhi kebutuhan pemeriksaan internal dan seringkali digunakanuntuk pelaporan hasil kerja dan keluaran-keluaran proyek. Lagipula sebagian besar dari instrumen tersebut tidak dirancang untuk melakukan kajian padaskala lanskap, serta tidak cukup dilengkapi dengan kemampuan untuk menilaiheterogenitas di dalam lanskap atau ‘imbal-balik antara capaian konservasidengan capaian pembangunan (Sayer dkk, 2006). Berbagai upaya telahdilakukan untuk mengembangkan pendekatan kajian dampak yang dapatdigunakan untuk lebih dari sekedar pemantauan dan evaluasi standar ditingkat-proyek. Namun demikian, sering kali belum diimplementasikan padaskala yang signifikan, yang mungkin disebabkan karena tingkat kerumitandan konsekuensi biaya tinggi pada pelaksanaanya. Seperti Sayer, Buck danDudley (2008: 16) tuliskan,”sejarah konservasi dipenuhi dengan sistempemantauan ambisius yang telah tidak digunakan lagi”.

Tantangan bagi perangkat kajian kinerja di tingkat lanskap adalahmembuatnya tetap sederhana, mudah diadaptasi, dan efektif dari segi biaya.Hal lain terkait dengan bagaimana penilaian pada sebuah intervensi tertentu(menggunakan pengukuran efektivitas) dapat dikombinasikan dengan kajiankinerja dari keseluruhan lanskap (dengan menggunakan pengukuran status).14

Fokus pada pengukuran-pengukuran status mempunyai kelebihan, yaitu dapatmengungkap efek tidak langsung atau yang tak terduga dari intervensi proyekdan interaksi di antara berbagai intervensi proyek serta faktor eksternallainnya. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan data yang lebihbanyak daripada cara pengukuran efektivitas serta tidak menghasilkaninformasi tentang hubungan antara perubahan sistem dan intervensi

72

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

perorangan. Tabel 3 menyajikan perbedaan utama antara pengukuranefektivitas dengan pengukuran status (Buck dkk, 2006).

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

73

Pengukuran Efektivitas Pengukuran Status

Evaluasi capaian suatu proyekApakah proyek telah membantu? Berapabesar dan secara bagaimana?Kajian langsung terhadap sebab dan akibat

Kajian terhadap suatu sistem tanpa mengacu pada satu proyek tertentuBagaimana kinerja dari keseluruhan perubahan sistem seiring berjalannya waktu?

Sebab dan akibat mungkin sulit ditunjukkankarena interaksi dan sistem yang rumitKajian langsung terhadap lanskap

Evaluasi berfokus pada satu aspek dari sistem yang hendak dipengaruhi olehrancangan proyek tersebut.

Evaluasi memperhatikan interaksi dan efekkumulatif dari berbagai proyek, dan mencobauntuk menjelaskan perubahan-perubahan sistem yang diakibatkan oleh faktor-faktorlainnya.

Dilakukan pada skala yang sesuai denganskala proyek

Dilakukan pada skala lanskap

Data diperoleh pada skala proyek. Konteksdapat dipahami dengan mengacu padapengukuran status di tingkat lanskap.

Data dari tingkat proyek dipindahkan ke tingkat lanskap dan dilengkapi dengan datatingkat lanskap lainnya.

Sumber: diadaptasi dari Buck et al. (2006)

Tabel 3. Pengukuran dibandingkan dengan pengukuran statusefektivitas

5.2 Kerangka kerja pengukuran lanskap

Kerangka Kerja Pengukuran Lanskap (Landscape Measures Framework -LMF) dikembangkan oleh EcoAgriculture Partners dan Cornell University.Kerangka kerja tersebut menyediakan cara dan perangkat yang bisadigunakan oleh pemangku kepentingan lokal yang bekerja di dalam lanskap,untuk mengkaji capaian- capaian dari praktek pengelolaan skala lanskappada upaya konservasi keanekaragaman hayati, produksi berkelanjutan danpenghidupan pedesaan. Satu dari perangkat utama yang dikembangkanadalah Kartu Nilai Kinerja Lanskap (Landscape Performance Scorecard-LPS),berdasarkan pada empat tujuan dan 20 kriteria untuk mengkaji kinerjalanskap (lihat Tabel 4). Metode ini bertujuan untuk mengkombinasikanpengukuran efektivitas dari tiap intervensi dengan pengukuran status darisuatu lanskap secara keseluruhan. Untuk itu, metode ini menggabungkanantara data dan hasil pemantauan dari berbagai inisiatif di dalam lanskap,dengan data tambahan pada lanskap. Pengkajian dirancang untuk diulangpada selang waktu yang teratur (Buck dkk, 2006).

74

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kotak 9. Contoh-berbagai indikator untuk mengukur kinerjalanskap

Sherr dkk (2014) menyarankan lima indikator umum yang dapatdigunakan untuk mengkaji kinerja suatu lanskap:

• Jumlah dari inisiatif lanskap terpadu.

• Bagian dari area pertanian yang dikelola dengan praktek-praktekramah air, iklim dan keanekaragaman hayati.

• Area yang terus menerus tertutup oleh vegetasi.

• Kekuatan dukungan kebijakan nasional untuk pengelolaan lanskapterpadu.

• Perbaikan berbagai dimensi kesejahteraan manusia.

Rincian lebih lanjut mengenai upaya pengembangan perangkat indikatoruntuk memantau perkembangan pada skala lanskap dapat dilihat pada,Dumanski, 1997; Sheil d k k , 2004; Tongway dan Hidley, 2004; Cassatelladan Peano, 2011; Milder dkk, 2015; s i s t e m m o n i t o r i n g Vital Signs(http://vitalsigns.org); dan CIFOR’s Criteria and Indicators Toolbox Series(http://www.cifor.org/acm/pub/toolbox.html)

Sebagai tambahan pada upaya konservasi keanekaragaman hayati,produksi pertanian dan penghidupan pedesaan, Landscape MeasuresFramework (LMF) memperlakukan “institusi’ sebagai dimensi yang terpisahdari kinerja. Kerangka kerja menganggap kapasitas institusi sebagai sebuahtujuan nyata dari inisiatif lanskap terpadu, karena pengelolaan lanskap dimasa mendatang tergantung pada kualitas institusi. Dengan kata lain: sebuahlanskap mungkin menunjukan kinerja yang baik pada berbagai indikatorkonservasi, produksi dan penghidupan di saat ini, namun bila institusi yangmemadai sangat kurang, maka kemungkinan besar kinerja lanskap akanmemburuk di masa mendatang. Maka memasukan dimensi ini dalam kerangka kerja pengkajian dapat membantu memperkirakan arah kecenderungankondisi lanskap seiring waktu (Buck dkk, 2006).

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

75

Tujuan Pertanyaan

Tujuan Konservasi:melestarikan, memelihara, dan merestorasi keanekaragaman hayati alami dan jasa-jasalingkungan. 15

Apakah lanskap mengandung kuantitas yang mencukupi dan konfigurasi habitat alami dan semi-alami yang sesuai untuk melindungi keaneka-ragaman hayati asli?

Apakah habitat alami dan semi-alami di dalam lanskap mendekati komposisi dan struktur habitat yang dalam sejarahnya dulu ditemukan di dalamlanskap?

Apakah populasi spesies penting yang berada di dalam lanskap secara biologis dapatberkembang?

Apakah lanskap memberikan jasa-jasa lingkunganpenting secara lokal, regional, dan global?Apakah wilayah alami dan sumber daya air ter-sangga secara memadai dari area produktif dandari aktivitas?

Tujuan Produksi: Lanskap memberikan produksi yang berkelanjutan dari tanaman, ternak, ikan, hutan,dan sumber daya liar yang dapat dimakan.

Apakah sistem produksi sudah memenuhipermintaan pangan dan produk pertanian darikonsumen di dalam dan di luar lanskap?Apakah sistem produksi secara keuangan layakdan dapatkah beradaptasi dengan perubahanpada pasar asupan maupun keluaran?Apakah sistem produksi memiliki ketahanan terhadap gangguan, baik dari alam maupunmanusia?Apakah sistem produksi memiliki dampak netralatau positif terhadap keanekaragaman hayatiliar dan jasa lingkungan di dalam lanskap?Apakah spesies dan keragaman varietas tanaman,ternak, perikanan, dan hutan layak dan diperta-hankan?

Tabel 4. Kartu-nilai (Scorecard) Kinerja Lanskap

5.3 Tinjauan umum LPFN terhadap inisiatif lanskapterpadu

Sebagai bagian dari inisiatif Landscapes for People, Food and Nature(LPFN), sejumlah besar Inisiatif Lanskap Terpadu (ILT) telah ditinjau, termasukpenilaian pada capaian-capaian mereka (lihat Milder dkk, 2014;Estrada-Carmona dkk, 2014; Hart dkk, 2015). Untuk setiap ILT, seorangpemimpin, pengelola atau partisipan menilai efek dari inisiatif pada: (i)pertanian; (ii) konservasi dan jasa-jasa lingkungan; (iii) penghidupan/matapencaharian dan kaum miskin; dan (iv) tata kelola, institusi dan modal sosial.Tabel 5 menyajikan indikator-indikator yang digunakan. Penilai diminta untukmengindikasikan apakah telah terjadi suatu perubahan. Jika iya, apakahbenar perubahan tersebut merupakan hasil dari inisiatif yang bersangkutan.Untuk setiap dimensi, penilai juga dapat mengindikasikan manfaat lain yangtidak disebutkan dalam daftar.

76

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Tujuan Mata Pencaharian:Lanskap menopang atau meningkatkan matapencaharian dan kesejahteraan semua kelompok sosial yang tinggal di sana.

Apakah rumah tangga dan masyarakat mampumemnuhi kebutuhan pokok mereka seraya mempertahankan sumber daya alam?Apakah nilai aset rumah tangga dan masyarakatmeningkat?Apakah rumah tangga dan masyarakat memilikiakses yang merata dan berkelanjutan terhadapcadangan dan aliran sumber daya alam penting?Apakah ekonomi dan mata penceharian lokal tahan terhadap perubahan dinamika baik pada populasi manusia dan bukan manusia?Apakah rumah tangga dan masyarakat memilikiketahanan terhadap guncangan eksternal sepertibanjir, kekringan, perubahan harga komoditas,epidemi penyakit dan lainnya?

Tujuan Institusi:Lanskap menyediakan tempat untuk institusi yang mendukung perencanaan, negosiasi, implementasi, mobilisasi sumber daya, dan membangun kapasitas yang diperlukan untukmenyatukan fungsi konservasi, produksi, danmata pencaharian

Apakah ada mekanisme dan berfungsi untukinteraksi lintas-sektoral pada skala lanskap?Apakah produsen dan anggota masyarakat lainnya mempunyai kapasitas yang cukup untukbelajar dan berinovasi terhadap praktek yang akan mengarah pada lanskap terpadu?Apakah kebijakan publik mendukung lanskapterpadu?Apakah rumah tangga dan masyarakat memilikiketahanan terhadap guncangan eksternal sepertibanjir, kekringan, perubahan harga komoditas,epidemi penyakit dan lainnya?

Lanjutan Tabel 4.

Metode ini mengandung sejumlah keterbatasan. Semua data diperolehdari laporan yang dibuat sendiri oleh seseorang yang terlibat dalam inisiatif. Dengan demikian, akurasinya tergantung pada pengetahuan dari hanya saturesponden dan rentan terhadap terjadinya bias – disengaja ataupun tidak. Selain itu, data yang dikumpulkan pada capaian tidak memberikan rincianmengenai besaran dan jangkauannya, dan capaian tidak dibandingkandengan kondisi sebelum adanya inisiatif (baseline) atau skenario kontrafakta.Namun, karena tujuan dari tinjauan adalah untuk memberikan ulasan umumdari inisiatif, bukan untuk penilaian mendalam terhadap kasus-kasus tertentu,maka ‘tarik ulur’ seperti itu tidak dapat dihindarkan.

5.4 Kajian capaian berdasarkan pada kerangka kerjapermodalan

Sayer dkk (2006) mengembangkan seperangkat indikator kinerja untukmengkaji capaian-capaian pada aspek penghidupan masyarakat danlingkungan pada berbagai inisiatif lanskap terpadu. Metode yang merekakembangkan berbasis pada kerangka kerja permodalan, yang dapatdibedakan ke dalam lima jenis permodalan16. Metode ini diimplementasikanke tiga lanskap di Afrika – wilayah Chaouen di Maroko, PegununganUsambara di Tanzania dan area Sangha di Basin Kongo – berkolaborasidengan organisasi konservasi yang aktif bekerja di daerah tersebut.Lokakarya dengan perwakilan dari semua pemangku kepentingan terkaitdigunakan untuk membangun pemahaman bersama mengenai lanskap danuntuk mengidentifikasi indikator-indikator yang relevan bagi masyarakatlokal. Aktivitas selama lokakarya tersebut termasuk secara partisipatifmengidentifikasi pendorong utama perubahan lanskap, diskusi mengenaiskenario masa depan yang diinginkan, dan pemilihan berbagai indikatorpotensial. Pemilihan indikator merupakan proses terbuka, yang memungkinkan peserta lokakarya memperdebatkan asumsi awal yang diusung oleh proyekkonservasi. Dengan demikian, ini menjadi proses negosiasi mengenai targetapa yang ingin dicapai oleh berbagai pemangku kepentingan. Intinyaadalah tidak cukup untuk sekedar membuat masyarakat terlibat denganagenda proyek, karena yang menjadi tujuan kemudian adalah mendefinisikan agenda proyek bersama. Di saat akhir, para peserta terjun kelokasi/lapangan untuk mendiskusikan berbagai indikator dengan masyarakatlokal dan menguji apakah indikator-indikator tersebut secara praktis akandapat diterapkan untuk mengukur capaian. Proses ini digunakan untuk

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

77

menyempurnakan perangkat indikator tersebut. Dengan demikian pemilihanindikator adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan merupakan suatu prosespenyempurnaan yang terus menerus.

78

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Dimensi Indikator

Efek pada pertanian

Hasil pertanian per unit area lahan (misal ton per hektar) meningkatPertanian menjadi lebih menguntungkanJumlah area untuk pertanian dan padang penggembalaan meningkatDampak lingkungan dari kegiatan pertanian menurunKeanekaragaman hayati pertanian (agro-keanekaragaman hayati)terlindungi atau meningkat

Efek pada konservasidan jasa-jasalingkungan

Spesies langka, terancam, atau terancam punah terlindungi dengan baikKeseluruhan keanekaragaman hayati dalm satu wilayah terlindungi dengan baikJumlah atau konektivitas antar habitat alami meningkatKualitas, kuantitas, atau ketersediaan air membaikJasa-jasa lingkungan yang mendukung pertanian (mis. pasokan air irigasi,penyerbukan, kesuburan tanah) terpulihkan atau terlindungiJasa-jasa lingkungan lainnya (mis. pasokan air perkotaan, pengendalian banjir, penyimpanan karbon) terpulihkan atau terlindungi

Efek pada penghidupan dan masyarakatmiskin

Keamanan pangan atau nutrisi untuk mereka yang tinggal di lanskapmembaikPendapatan tunai rumah tangga bagi golongan ekonomi rendahmeningkat measuresUkuran penghidupan non-tunai (mis. aset kebendaan lebih besar, air yang lebih bersih atau lebih dapat diandalkan, sumber daya pendidikanyang lebih baik) membaikKerentanan masyarakat terhadap guncangan dan bencana berkurang(mis. tanah longsor, banjir, kekeringan, epidemi)Akses pelayanan kesehatan membaik

Efek pada tata kelola,kelembagaan,dan modalsosial

Masyarakat lokal memperoleh kapasitas untuk mengelola pertanian dansumber daya alam secara berkelanjutanMasyarakat lokal menjadi lebih berdaya untuk bernegosiasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan secara politikKoordinasi dan kerjasama di antara para pemangku kepentingan (mis.masyarakat lokal, pemerintah kabupaten, sektor swasta) membaikKoordinasi dan kerjasama antar sektor (mis. pertanian, lingkungan hidup, kesehatan) membaikPerempuan memperoleh kekuatan atau kapasitas untuk memperbaikitingkat kesejahteraan merekaPengetahuan lokal dan tradisional tentang pertanian dan sumber dayaalam terlestarikan dan terpraktekkan

Sumber: Estrada-Carmona dkk (2014), data tambahan

Tabel 5. Indikator-indikator yang digunakan dalam kajian global ILT oleh LPFN

Selama pengembangan metode, Sayer dkk (2006) mendapati bahwajenis-jenis permodalan alami yang dianggap memiliki nilai tinggi olehpelbagai organisasi konservasi (misalnya habitat alami yang belumterganggu dan spesies yang secara global terancam) biasanya tidak menjadiprioritas bagi penduduk lokal. Mereka lebih tertarik pada kekayaan alamyang dapat langsung digunakan, seperti produk hutan bukan kayu, kesuburantanah dan kualitas air. Oleh karena itu diputuskan untuk membedakan antarapermodalan alami di tingkat lokal dan tingkat global.

Tabel 6 menampilkan seperangkat indikator yang akhirnya dipilih untukdigunakan di Sangha di Basin Kongo. Mengacu pada pengalaman mereka,Endamana dkk (2010) melaporkan bahwa mencari kesepakatan untukindikator-indikator yang relevan bagi para pemangku kepentingan yangterlibat ternyata lebih sulit dari yang dibayangkan semula. Hal ini disebabkan oleh skala lanskap, keanekaragaman kepentingan kelompok-kelompokmasyarakat dan kesulitan dalam mengumpulkan data. Lebih lagi, ternyatamendiskusikan indikator-indikator pada skala lanskap terbukti sulit, karenabiasanya lahan yang didiskusikan bukan merupakan lahan garapan dimanamereka bertanggung jawab atau menggantungkan hidupnya. Ditambah lagimodel pemilihan indikator secara partisipatif menyulitkan niatan para penelitiuntuk menjaga jumlah indikator tetap minimum, karena para pemangkukepentingan ingin memastikan bahwa kepentingan khusus mereka terpenuhi.

Perangkat indikator yang dipilih pada dua lanskap lainnya hampirserupa dengan yang digunakan di Basin Kongo. Namun, Sayer dkk (2006)berpendapat bahwa perangkat inikator yang generik tidak akan pernahoptimal, dan bahwa proses partisipatif berguna untuk mengembangkan ataumenyempurnakan perangkat indikator yang telah ada, agar lebih sesuaidengan situasi kondisi lokal. Sekaligus dapat memicu dialog dan pembelajar-an bersama mengenai apa manfaat dan kekurangannya (trade-off) sertabagaimana sinerginya. Berdasarkan pengalaman ini, mereka menyimpulkanbahwa pengembangan indikator kinerja tidak bisa dilihat hanya sebagaiperangkat untuk mengukur akuntabilitas, namun harus dapat digunakansebagai bagian dari proses negosiasi terhadap tujuan-tujuan konservasi danpembangunan. Dengan demikian, dapat menjadi dasar untuk pengelolaanyang bersifat adaptif. Metode pengkajian kinerja secara partisipatifmembantu memperjelas adanya timbal balik antara manfaat dengankerugian atau baik buruk untuk tiap pilihan. Seperti misalnya padapertanyaan seperti “Seberapa luas hutan alami yang dapat digunakan untukperluasan pertanian?” dan “Apakah adil untuk membatasi akses penduduk

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

79

lokal ke beberapa wilayah alami bernilai konservasi tinggi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hanya oleh badan konservasi,berdasarkan asumsi mereka tentang apa yang baik dan buruk untukpenduduk lokal. Oleh karenanya diperlukan proses-proses yang lebihobyektif dan memperhatikan kesetaraan, dimana pemantauan kinerjalanskap ini dapat digunakan sebagai alat dalam proses tersebut (Sayer dkk,2006).

80

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

JenisPermodalan*

Indikator-indikator yang Terpilih

Aset-asetalami lokal

Aset-asetalami global

Aset-asetfisik

Aset-asetsosial

Aset-asetmanusia

Ketersediaan produk-produk hutan non-kayuKetersediaan daging hewan liarKemajuan sertifikasiPencemaran air oleh limbah cairSiltasi pada saluran-saluran air

Laju penggundulan hutanPopulasi gajahPopulasi gorilaPopulasi bongo

Jumlah industri ubi kayu (singkong)Kualitas perumahanJumlah sumber airLama tempuh jalanan menuju IbukotaJumlah kunjungan wisatawanJumlah ijin perburuan rekreasiTenaga kerja lokal yang dipekerjakan di industri-industri pengolahan kayuHarga tiga bahan makanan pokok

Berfungsinya organisasi lokal di bidang pengelolaan sumber daya alamCakupan berbagai inisiatif pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakatEfektivitas lembaga-lembaga pemerintahTata kelola tradisionalPersepsi korupsi di sektor publikTingkatan aktivitas lembaga swadaya masyarakat lokalKeterlibatan masyarakat asli pada berbagai inisiatif pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakatPartisipasi masyarakat asli dalam pengambilan keputusanPenggunaan hasil pajak-pajak kehutanan untuk investasi infrastruktur sosial lokal

Akses ke perawatan kesehatanKualitas pendidikanJumlah masyarakat yang bekerja berdasarkan kemampuan teknis dan profesionalAdopsi generasi muda terhadap kebiasaan, upacara, dan tradisiPenggunaan obat-obatan tradisional

Selama lokakarya terlihat bahwa mengukur aset keuangan adalah hal yang sangat tidak mengenakkan, mengingat rendahnya kemungkinan masyarakat mendapatkan uang tunai. Oleh karenanya pengukuran modal keuangan dihilangkan dari perangkat indikator yang terpilih.

*

Tabel 6. Indikator-indikator terpilih oleh Endamana dkk (2010)

5.5 Menyertakan dimensi iklim dan tata kelola

Berbagai contoh di atas memberikan pelajaran berharga untukpengembangan dan penggunaan perangkat untuk mengukur efektivitasinisiatif-inisiatif lanskap terpadu dan memperbaiki pengelolaan. Kriteria danindikator-indikator yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahaniklim dapat ditambahkan. Selanjutnya, Minang dkk (2015d) menunjukkanperlunya untuk menilai kualitas proses partisipatif. Ini dapat dilakukandengan landasan tata kelola yang baik dan dimensi demokrasi yang meliputilegitimasi dan partisipasi, pemberdayaan, kepemilikan informasi, ilmupengetahuan dan proses-proses, penghargaan terhadap masyarakat dankearifan lokal, kesetaraan, serta efektivitas dan kompetensi (Tabel 7).

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

81

Dimensi-dimensitata kelola yang

baik

Kriteria Indikator-indikator

Legitimasi dan partisipasi

Keterwakilan dan keterlibatan semua aktor

PerencanaanPemantauan

Keterlibatan dalam pengambilan keputusan

Keputusan-keputusan pengalokasianpenggunaan lahanPilihan-pilihan praktek pemanfaatan lahanPilihan indikator-indikator pemantauan danevaluasi

Pemberdayaan Pemberdayaan para aktor Bukti pembelajaran para aktorKeterlibatan aktor dalam pelatihan

Kepemilikan terhadapinformasi danpengetahuan sertaberbagai proses

Pengelolaan informasi Akses terhadap informasiPenguasaan/pengendalian informasi

Penggunaan informasi Pengambilan keputusan perorangan dan kelompokNegosiasiPenggunaan informasi untuk aksi

Penghargaanterhadapmasyarakat danpengetahuan lokal

Menghargai pengetahuan teknisdan ekologis masyarakat asli(technical and technologicalknowledge)

Bukti bahwa para aktor mengunakanpengetahuan teknis dan ekologis masyarakatasli

Kesetaraan Pilihan kewenangan dankendali

Para aktor mendapat tangguing jawab dankuasa kendali sumber dayaKehilangan kendali atas sumber daya atauakses terhadap hak di dalam proses

Efektivitas dankompetensi

Kepuasan terhadap keluaran-keluaran

Sumber: Minang dkk., 2015

Tabel 7. Kriteria dan Indikator-Indikator Tata Kelola yang Baik untuk Inisiatif-Inisiatif di Tingkat Lanskap

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

82

Wawancara dengan Christian Mensah

“Jika anda ingin pergi jauh, pergilah bersama”

Antara tahun 2011 dan 2014, Christian Mensah mengelola proyek‘Climate Cocoa Partnership’ di Distrik Juabeso dan Bia di Ghana Barat.Proyek tersebut merupakan kemitraan yang unik antara Rainforest Alliancedan Olam – salah satu perusahaan agribisnis terbesar di dunia – danditampilkan sebagai contoh unggulan dari pendekatan lanskap. Proyektersebut bertujuan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat lokaldengan mengusung budidaya coklat sesuai konsep cerdas-iklim(climate-smart), sembari mengembangkan pilihan mata pencaharianlainnya. Pada saat bersamaan, berbagai upaya dilakukan untukmembatasi perambahan hutan alami, mendukung restorasi sisa-sisa hutandi dalam lanskap, dan menyiapkan masyarakat untuk proyek-proyekREDD+ di masa depan. Proyek itu telah membantu lebih dari 2.800perkebunan coklat mendapatkan Rainforest Alliance Certification danverifikasi modul berorientasi iklim Sustainable Agriculture Network (SAN),serta menghutankan kembali area yang cukup besar. Lihat Kotak 8 untukinformasi lebih lanjut mengenai proyek dan capaiannya. Di bawah ini,Christian Mensah menyampaikan pengalamannya sebagai manajerproyek.

Apa yang menjadikan Climate Cocoa Partnership sebagai contoh umumdari pendekatan lanskap? Saya dapat memberikan beberapa alasan.Pertama-tama, proyek tersebut berfokus tidak hanya pada produksi ditingkat ladang persawahan, namun juga pada perlindungan hutan danreforestasi di tingkat lanskap. Kedua, walaupun coklat merupakan titikmasuk yang umum, kami juga mengeksplorasi komoditas pertanian lainnyadan pilihan mata pencaharian tambahan, seperti pemeliharaan lebah danhewan kecil untuk menganekaragamkan sumber pendapatan danmendukung keamanan pangan bagi keluarga petani. Ketiga, kamimencoba menjangkau sebanyak mungkin masyarakat di area tersebut.Dengan melibatkan petugas penyuluhan dari Ghana Cocoa Board,contohnya, kami dapat memberikan bantuan teknis kepada sejumlah besar produsen. Kami juga melibatkan guru-guru dan membantu

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

83

mengembangkan aktivitas di sekolah. Bahkan, melalui pendidikanmengenai iklim untuk anak-anak sekolah di dalam area lanskap, kamipercaya kami akan dapat menemukan cara yang efektif untukmembangun kesadaran generasi petani selanjutnya. Keempat, kamimengakui dan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemangkukepentingan utama sejak awal. Sampai akhirnya kami membentuk BadanPengelola Lanskap (Landscape Management Board) yang diisi olehperwakilan-perwakilan masyarakat di area tersebut. Mereka sangatterlibat dalam keseluruhan proyek dan berfungsi sebagai penghubungantara pengelola proyek dan masyarakat lokal.

Bagaimana anda mendorong dialog antara masyarakat lokal danpemangku kepentingan lainnya? Badan Pengelola Lanskap (LandscapeManagement Board) saat ini hanya mewakili masyarakat. Hal inimerupakan kunci utama dalam implementasi proyek, membantu kami untuk melakukan aktivitas yang telah disetujui dalam berbagai negosiasidengan komunitas yang berbeda-beda. Walaupun perwakilan daripemangku kepentingan lainnya terkadang diundang juga padapertemuan dewan, satu pelajaran bagi saya adalah perlu adanyakoordinasi dan kerjasama yang lebih dengan pemangku kepentinganyang mempengaruhi pengelolaan lanskap, seperti Pemerintahan setempat dan perusahaan-perusahaan kayu. Di masa depan, kami ingin memastikan bahwa Landscape Management Board melibatkan ragam pemangkukepentingan yang lebih besar. Namun hal ini tentunya akan berimplikasiterhadap biaya.

Tantangan lain apakah yang Anda hadapi? Orang-orang berkata: JikaAnda ingin pergi cepat, pergilah sendiri; Jika anda ingin pergi jauh,pergilah bersama. Pergi bersama berarti anda harus sabar dan perlahan,karena Anda harus membawa semua orang bersama. Hal ini merupakantantangan utama dan dilematis. Kami perlu untuk melibatkan masyarakatsejak awal, namun ini menyita sebagian besar waktu dan sumber dayakami. Kami perlu untuk berkomunikasi dengan mereka, membangun danmemelihara rasa saling percaya dan hormat agar dapat mencapaikemajuan. Namun hal ini tidak mudah. Sebagai contoh, kami harusmengunjungi semua masyarakat yang terlibat dalam proyek untukberbagi pandangan dan berdiskusi mengenai tujuan dan aktivitas proyek.Kami sudah menyetujui waktu untuk bertemu, namun kemudian, ada

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

84

pemakaman mendadak, atau pemimpin sedang berpergian, atau anggota perwakilan (assembly) dipanggil untuk rapat darurat, sehingga pertemuanharus dibatalkan. Sehingga kami harus mengatur waktu lagi dari awal.Kejadian-kejadian sederhana tersebut mengambil sejumlah besar waktu –bukan itu saja, karena banyak masyarakat yang sulit untuk ditemui.Namun, saya tetap percaya kami bisa menempatkan fondasi untuk suatuproyek lanskap yang sukses.

Apakah bekerja dengan perusahaan besar mendatangkan tantangantertentu? Saya rasa akan sulit untuk meyakinkan banyak perusahaanswasta untuk berinvestasi pada aktivitas yang bukan bagian dari intibisnisnya. Untungnya, Olam adalah perusahaan yang memandang kedepan. Mereka memahami bahwa selain dari coklat, petani perlu untukfokus pada mata pencaharian lainnya untuk menjamin keamanan pangandan pendapatan. Mereka juga memahami bahwa ketersediaan bahanbaku untuk perusahaan mereka dan ketahanan penghidupan petanicoklat, keduanya tergantung dari pengelolaan yang bertanggung jawabatas sumber daya alam di dalam lanskap.

Sebuah laporan dari Andre Brasser menunjukkan bahwa biayaperusahaan menjadi dua kali lebih tinggi dibanding bisnis sepertibiasa. Beliau menyimpulkan tidak ada keuntungan untuk perusahaan.Apakah Olam kecewa dengan hasilnya? Saya rasa Olam puas sekaligus kecewa. Tantangan utama mereka adalah mengembalikan modal investasi proyek ini, dan sejauh ini mereka belum berhasil. Hal ini sebagian besarterkait dengan ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pasar yangberpihak pada produk coklat yang cerdas-iklim (climate-smart) danmenghasilkan keuntungan dari pasar karbon. Bagian besar modalinvestasinya digunakan untuk memproduksi coklat yang cerdas-iklimdengan harapan memperoleh harga jual yang lebih tinggi/premium,namun hal ini belum terwujud. Perusahaan terus mendukung produksi coklat cerdas-iklim, dan masih berharap dapat memasuki pasar karbon di masadepan.

Bagaimana anda mengukur efektivitas proyek? Kami mengembangkanperangkat yang partisipatif dan mudah digunakan untuk memantaukemajuan teknis di dalam proyek. Salah satu tujuannya adalah membantupetani memenuhi standar SAN dan modul iklim tambahannya.

Mengukur efektivitas berbagai inisiatif lanskap terpadu

85

Standar-standar tersebut menyediakan kriteria dan indikator utama yangdigunakan untuk memantau kemajuan pada tingkat ladang persawahan.Inspeksi internal dan audit pihak ketiga menyediakan cara untukmengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja ladang-ladang di dalamproyek. Pemetaan ladang dan kebun dianggap sebagai cara yangpaling efisien untuk mengumpulkan data dan memantau perluasan sertaperambahannya pada area hutan. Banyak pengukuran yang dibuat olehpara petani sendiri. Kami mempunyai satu orang di dalam proyek yangbertugas untuk melakukan Pemantauan dan Evaluasi, serta memastikanbahwa hasil dari pemantauan digunakan untuk menyusun ulang strategidan mengadaptasikan aktivitas-aktivitas proyek. Kami juga melakukanstudi acuan awal (baseline) pada tingkat lanskap di awal proyek danberencana untuk melakukan kajian dampak pada tahun 2016.

Apakah yang akan menjadi fokus dari kajian dampak? Untukmempelajari acuan awal, kami melakukan analisa lingkungan melaluipengambilan citra satelit resolusi tinggi dan telah melakukan uji kebenaran (ground truthing) di lokasi. Kami juga melakukan survei kondisi sosialekonomi masyarakat di dalam area. Pada tahun 2016, kajian ini akandiulang untuk menilai perubahan-perubahan kondisi lingkungan dan sosialekonomi yang telah terjadi di dalam area yang sama. Menentukanpenyebab dari perubahan yang mungkin terjadi tentu saja akan sulit.

Apakah perlu adanya tipe perangkat yang berbeda untuk menilaikinerja? Kami tidak mengembangkan perangkat untuk mengukurefektivitas keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, atau untukmenilai apakah Landscape Management Board merupakan platform yangpaling efisien bagi keterlibatan masyarakat. Saya rasa, kamimenggunakan akal sehat saja. Bahkan untuk proyek yang hanya berfokuspada praktek pertanian di tingkat ladang, sebagian besar alatpengkajiannya rumit dan mahal untuk dijalankan. Saya tahu sebuahprogram yang menghabiskan 2 kali lebih banyak sumberdaya untukkegiatan Pemantauan dan Evaluasi dibanding kegiatan yang sebenarnyadi lapangan. Jadi Anda dapat bayangkan bahwa ketika Andamenggunakan pendekatan lanskap, segala sesuatunya dapat secaramudah menjadi sangat rumit. Termasuk antara lain kebutuhan untukmengukur efektivitas upaya pengembangan landasan bersama (platform)berbagai pemangku kepentingan, pelibatan masyarakat lokal serta

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

86

kerjasama dengan Pemerintah–beberapa contoh saja. Oleh karenanyadiperlukan adanya metode pengukuran yang terjangkau untuk mengukurefektivitas pendekatan-pendekatan lanskap.

Christian Mensah adalah manajer untuk Afrika Barat di Rainforest Alliance, berkedudukan di Akra, Ghana. Dia bertanggung jawab terhadap proyekproyek pertanian berkelanjutan, dan hubungan dengan pemangkukepentingan nasional dan internasional, termasuk sektor swasta.

6. Kesimpulan

Capaian pendekatan lanskap tergantung pada siapa yang

berpartisipasi dalam proses, dan apa kepentingannya.

Kesimpulan

87

6.1 Keanekaragaman sebagai sebuah elemen kuncidari lanskap cerdas-iklim (climate-smart)

Sebagian besar literatur tentang pendekatan lanskap dan lanskapcerdas-iklim (climate-smart) fokus pada areal pertanian di wilayah berhutantropis. Dalam situasi dan kondisi tersebut, penekanan terletak padamenemukan sinergi antara produksi pertanian, perbaikan penghidupanmasyarakat lokal, konservasi keanekaragaman hayati dan berbagai tujuanterkait iklim. Sebagian besar publikasi yang diacu dalam laporan inimenekankan bahwa keanekaragaman penggunaan lahan adalah satu kunciutama lanskap pertanian cerdas-iklim, karena memungkinkan terjadinyainteraksi fungsional di antara komponen-komponen lanskap yang berbeda.Keanekaragaman dianggap berkontribusi terhadap ketahanan lingkunganhidup, antara lain melalui kemampuan lanskap untuk menghadapi atau pulihdari tekanan iklim ataupun pengaruh kondisi lainnya. Keanekaragaman jugadianggap berkontribusi terhadap ketahanan sosial, karena menurunkantingkat kerentanan manusia, misalnya ketika terjadi penurunan harga suatutanaman atau gagal panen akibat kondisi iklim yang merugikan.

Banyak dari publikasi mengenai lanskap cerdas-iklim memberikanperhatian tertentu terhadap peran pepohonan dan petakan hutan-hutan kecildi dalam lanskap. Pepohonan dan hutan-hutan kecil tersebut menyediakanjasa-jasa lingkungan yang membantu mempertahankan produksi pertaniandalam jangka panjang, dan mendukung penghidupan masyarakat lokalmelalui penyediaan sumber pangan, bahan bakar dan pendapatan.Fungsi-fungsi ini membantu meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakatlokal. Mempertahankan atau meningkatkan luas tutupan pohon di dalamlanskap juga menyediakan sebuah habitat untuk berbagai spesies hutan, danmembantu mengurangi pengaruh perubahan iklim dengan mempertahankancadangan karbon di atas dan di bawah tanah. Penyeragaman tanamanpertanian seringkali dilihat sebagai sebuah risiko, karena meningkatkankerentanan terhadap perubahan. Lagipula membuang beberapa komponendari sebuah sistem yang kompleks mungkin memberikan efek yang tidakterduga terhadap keseluruhan sistem.

Namun perlu diingat bahwasanya generalisasi hanya mencakupbeberapa hal terbatas menyangkut jenis konfigurasi lanskap apa yang paling sesuai dengan tujuan yang terkait dengan produksi pertanian, penghidupan,konservasi dan iklim. Setidaknya ada tiga alasan untuk ini. Pertama, pilihanlanskap tergantung pada faktor-faktor situasi dan kondisi seperti lingkungan

88

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

hidup setempat, topografi, penggunaan lahan saat ini, kepadatan penduduk,pola kepemilikan lahan (rincian dalam spasial), kondisi hutan-hutan alami, dantingkat urbanisasi. Kedua, terdapat perbedaan opini di masyarakat mengenai nilai dari berbagai barang dan jasa yang diberikan oleh lanskap. Tidaksemua orang sependapat mengenai spesies mana yang perlu untukdilestarikan, atau elemen kesejahteraan manusia apa yang lebih penting.Hal-hal tersebut jarang dibahas dengan jelas dalam debat ilmiah. Ketiga,kurangnya bukti ilmiah yang secara sistematik dapat menjelaskan bagaimanakomponen-komponen lanskap mempengaruhi kinerja lanskap pada berbagaidimensi yang berbeda.

Terkait dengan poin ketiga, beberapa ilmuwan tidak sepakat denganpendapat bahwa keanekaragaman pada lanskap pertanian dapatmengarah pada kinerja yang lebih baik. Mereka menekankan pentingnyapengkhususan spasial untuk mencapai efisiensi per area lahan yang lebihtinggi, dan inovasi teknologi tinggi, contohnya pengembangan varietas yangtahan kekeringan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi para petani.Pandangan ini hanya sedikit, atau bahkan sama sekali tidak mendapatperhatian di dalam literatur mengenai cerdas-iklim, yang nampaknyamerupakan cerminan adanya bias kepentingan dari mereka yang mendukungsistem pertanian berbasis pepohonan (tree-based agricultural) dan lanskapberagam (mosaic landscape). Hal ini kemungkinan terkait dengan latarbelakang disiplin keilmuan dan profesi para ilmuwan yang terlibat. Ide-idemengenai elemen/karakteristik yang diharapkan ada pada sebuah lanskapcerdas-iklim akan bervariasi di antara disiplin keilmuan yang berbeda,karena perbedaan model-model konseptual yang digunakan. Lebih lanjutnilai-nilai dan pandangan dunia juga memainkan peran, sebagai contoh, adaperbedaan pendapat mengenai peran pasar dan inovasi teknologi, nilaiintrinsik dari keragaman di dalam lanskap, dan masa depan dari daerahperdesaan dalam kaitannya dengan urbanisasi. Untuk diskusi yang konstruktif, ilmuwan perlu memperjelas dan merenungkan kembali model-modelkonseptual, nilai-nilai dan pandangan mereka, dan bagaimana hal tersebutmenjawab pertanyaan dan rancangan penelitian mereka.

6.2 Pendekatan lanskap sebagai seperangkat prinsip-prinsip pemandu

Pendekatan lanskap merupakan seperangkat prinsip-prinsip untukmemandu pengelolaan lanskap dan inisiatif lanskap terpadu. Alih-alih

Kesimpulan

89

membawa sesuatu yang baru, pendekatan lanskap secara sukses merangkaiberbagai konsep dan prinsip yang sudah ada dalam satu kumpulan danmengkombinasikan berbagai elemen pendekatan yang telah dikembangkandalam beberapa dekade terakhir sebagai cara untuk mengintegrasikanberbagai tujuan konservasi dengan tujuan pembangunan. Pendekatanlanskap mendukung proses yang transparan dan partisipatif pada upayanegosiasi dan pengambilan keputusan, untuk meminimalkan ‘tarik ulur’ danmemaksimalkan sinergi antar berbagai kepentingan yang mungkin ada disuatu lanskap. Pendekatan lanskap juga mempunyai dimensi moral, karenamenekankan pada pentingnya kesetaraan kewenangan, pengambilankeputusan kolektif, negosiasi yang transparan dan pelibatankelompok-kelompok marginal.

Apakah pendekatan lanskap dapat dipastikan menuju pada lanskapyang cerdas-iklim? Jika seluruh prinsip dari pendekatan (sebagaimanadisebutkan di bagian 3.1) secara efektif dan keseluruhan dipraktekan, makajawabannya bisa iya. Bagaimanapun, mengintegrasikan berbagai tujuanproduksi, penghidupan, konservasi dan kepentingan iklim, merupakan salahsatu prinsip dasarnya. Paling tidak itulah teorinya. Pada kenyataannya dilapangan, negosiasi antar berbagai pemangku kepentingan tidak selalumenghasilkan konsensus mengenai capaian-capaian yang diharapkan. Hasilyang dicapai dari negosisasi sebagian besar tergantung pada bagaimanadan seberapa besar berbagai kepentingan tersebut terwakili. Dengan katalain: siapa saja yang berpartisipasi di dalam proses negosiasi, dan sejauhmana mereka sukses memperjuangkan kepentingan mereka? Tentunyanegosiasi semacam itu tidak terjadi pada kondisi dimana tidak ada yangmemiliki kekuasaan. Capaian inisiatif lanskap terpadu dalam jangka panjangjuga tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga pemerintah lokal yang dapat membuat keputusan, mengintegrasikan kesepakatan dalam berbagaiikatan hukum, dan kemudian menegakkannya. Namun di banyak daerahterpencil di wilayah tropis, lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik,dikarenakan oleh, misalnya mandat yang tumpang tindih, ketidakjelasan hakkepemilikan dan pencatatan tanah, konflik kepentingan, korupsi dankurangnya sumber daya. Meskipun menghadapi keterbatasan tersebut,semakin banyak organisasi yang mengadopsi pendekatan lanskap untukmemandu rancangan inisiatif konservasi dan pembangunan mereka. Tidakdiragukan lagi pendekatan lanskap menyediakan satu kerangka kerja yangkuat dan menarik, yang dapat mendorong terjadinya kerjasama lintas

90

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

sektoral dan keterlibatan pemangku kepentingan yang lebih banyak di dalam diskusi dan negosiasi yang berkaitan dengan masa depan lanskap.

Kesimpulan

91

Kotak 10. Peran organisasi masyarakat madani, perusahaan dan sektor publik

Satu kunci ide dasar yang melandasi pendekatan lanskap adalah bahwamereka yang mempunyai kepentingan langsung atas ketersediaanbarang dan jasa dari suatu lanskap dalam jangka panjang, harusmempunyai suara dalam pengelolaannya. Hal ini memerlukan pengem-bangan kesepakatan-kesepakatan di antara berbagai pemangkukepentingan (multi-stakeholders). Namun, pengembangan kesepakatan-kesepakatan tersebut, membutuhkan suatu proses negosiasi yang rumitdan memakan waktu. Disinilah organisasi masyarakat madani dari tingkatlokal, nasional maupun internasional memainkan peran yang penting –baik sebagai fasilitator maupun sebagai pengawas. Satu pertanyaanpenting adalah pada kondisi apa pihak swasta kemudian terlibat dalamperan yang berarti. Pihak swata mungkin enggan untuk terlibat karenabiaya transaksi yang tinggi dan ketidakjelasan manfaat dariproses-proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

6.3 Kesuksesan inisiatif lanskap terpadu dan agendapenelitian di masa depan

Beberapa publikasi melaporkan pengalaman-pengalaman praktis dancapaian dari berbagai inisiatif lanskap terpadu (lihat misalnya, Chavez-Tafurdan Zagt, 2014; Buck dan Baily, 2014; Hart dkk, 2014; Milder dkk, 2014).Bukti capaian- capaian tersebut sebagian besar masih bersifat ceritasubyektif. Laporan-laporan tersebut cenderung menekankan padapencapaian praktek-praktek agroforestri, peningkatan kepercayaan,pemberdayaan dan keterikatan sosial. Namun seringkali tidak jelasdigambarkan dalam publikasi tersebut apa yang didefinisikan sebagaikesuksesan, apalagi bagaimana mengukurnya.

Dengan meningkatnya jumlah organisasi yang berinvestasi dalam inisiatiftingkat lanskap, kebutuhan akan cara untuk memahami dan menilaikesuksesannya juga meningkat. Jika tujuannya adalah menggunakanpendekatan lanskap untuk mendukung lanskap cerdas-iklim sebagaimanadijelaskan dalam laporan ini, maka kesuksesan inisiatif tersebut harus dikajimenurut dimensi produksi pertanian, penghidupan masyarakat lokal,konservasi keanekaragaman hayati dan tujuan-tujuan terkait iklim. Serta tatakelola yang baik yang meliputi partisipasi, transparansi dan kesetaraan.Kajian kinerja yang berorientasi pada capaian (outcome oriented) merupakan

92

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Lanjutan Kotak 10.

Perusahaan mungkin tidak bersedia menginvestasikan waktu atau sumberdaya dalam proses yang panjang tanpa potensi pengembalian yangtidak dapat diprediksi. Bagi mereka, biaya dan cakupan dari inisiatiflanskap terpadu seringkali terlalu besar dibandingkan dengan peluangmencetak keuntungan jangka pendek. Hambatan ini dapat dikurangimelalui pendekatan investasi bersama dimana berbagai pemangkukepentingan yang berbeda berbagi tanggung jawab, contohnya dalamkemitraan publik-swasta. Pihak pemerintah dapat berperan sebagai mitra investor, namun juga menetapkan aturan dan regulasi, berwenang dalammengalokasikan konsesi-konsesi pertanian dan kehutanan sertaperencanaan tata guna lahan, dan memiliki mandat untuk menegakkankesepakatan-kesepakatan hukum. Hal ini membuat komitmen pihakpemerintah tidak tergantikan untuk berbagai bentuk pengelolaan lanskap terpadu jangka panjang.

hal yang rumit karena pendekatan lanskap artinya adalah satu pendekatandimana proses negosiasi, pengambilan keputusan dan evaluasi sedangberjalan. Terlebih lagi, sulit melakukan pengukuran obyektif terhadap kinerjayang optimal karena adanya berbagai perbedaan kepentingan di dalamsebuah lanskap. Tidak satupun konfigurasi lanskap akan dapatmemaksimalkan keuntungan tiap-tiap individu pemangku kepentingan.Metode pengkajian kinerja seharusnya tidak hanya menjadi alatakuntabilitas, namun juga untuk membangun diskusi dan negosiasi timbal-balikantara kerugian dan manfaat (trade-off), sebagai bagian tidak terpisahkandari keseluruhan inisiatif tingkat-lanskap.

Tinjauan terhadap literatur terbaru dan wawancara yang dilakukan untuklaporan ini menekankan pada kebutuhan akan metode sistematik untukmemahami dan mengkaji kinerja lanskap dan inisiatif lanskap terpadu. Hal inimenimbulkan berapa pertanyaan yang sebagian besar darinya dapatdikelompokkan kedalam satu dari empat kategori berikut:

· Bagaimana kinerja lanskap dan inisiatif lanskap terpadu dapat dikaji? Hal initermasuk identifikasi pelbagai indikator terukur dan mudah digunakanuntuk mengkaji: (1) capaian inisiatif lanskap dalam hal penghidupan,produksi pertanian, konservasi keanekaragaman hayati, kapasitaskelembagaan, ketahanan, kapasitas adaptasi dan potensi mitigasi, dan (2)proses-proses yang menjadi ciri inisiatif lanskap seperti tata kelola yangbaik (meliputi partisipasi, transparansi dan akuntabilitas).

· Apa hubungan antara ciri-ciri lanskap dan kinerjanya pada berbagai dimensiyang berbeda? Sebagai tambahan pada kasus yang sudah ada yangmengkaji kinerja sistem tata guna lahan (misalnya, sebuah petak yangberada di bawah naungan pohon kopi) terhadap sejumlah variabel(misalnya jumlah panen per hektar dan kelimpahan kupu-kupu), adakebutuhan untuk pengkajian yang lebih komprehensif terhadap berbagaijenis lanskap yang berbeda menggunakan indikator-indikator yangmencakup berbagai dimensi cerdas-iklim.

· Apa hubungan antara karakteristik pengaturan tata kelola lanskap dengankinerjanya pada berbagai dimensi? Pertanyaan meliputi: Bagaimanapengaturan tata kelola yang ditentukan pemerintah (top-down) dandiusulkan masyarakat (bottom-up) dibandingkan pada dimensi kinerja yang berbeda, dan apa pertimbangan timbal-balik untung ruginya? Danbagaimana distribusi kekuasaan mempengaruhi kinerja inisiatif lanskapterpadu?

Kesimpulan

93

· Bagaimana pengelolaan lanskap terpadu dapat ditingkatkan? Pertanyaandisini meliputi: Bagaimana inisiatif lanskap terpadu dapat menjawabdinamika yang ada pada tingkatan skala yang lebih tinggi (misalnyahubungan keterkaitan langsung atau imbas antara perdesaan-perkotaan)?Butir keterikatan apa yang efektif untuk membentuk hubungan dari parapemangku kepentingan yang berbeda di pengaturan tata kelolalanskap?17 Bagaimana perencanaan spasial formal dapat terintegrasisecara efektif? Dan bagaimana potensi dari teknologi modern (misalnya, dilapangan dengan penginderaan jarak jauh dan GPS) di dalampengelolaan lanskap terpadu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut idealnya dibahas dalam situasi yangmemungkinkan penelitian menjadi bagian dari proses iteratif (berulang) daritindakan, refleksi dan adaptasi. Jika peneliti memposisikan diri secarastrategis dalam proses-proses pengelolaan lanskap dan mengadopsipendekatan penelitian aksi (action research), maka mereka dapatmengumpulkan data sekaligus mempengaruhi proses pada waktu yangbersamaan. Dengan cara ini, penelitian dapat membantu memenuhi kebutuhan para praktisi dan pembuat kebijakan, sementara praktisi dan pembuatkebijakan akan membantu dalam menjawab pertanyaan penelitian yangrelevan. Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk meningkatkanpengelolaan lanskap terpadu yang bertujuan mendukung lanskapcerdas-iklim. Bersama dengan mitra lokal, nasional dan internasional,Tropenbos International berkomitmen untuk menggerakkan agenda ini kedepan, di tahun-tahun mendatang.

94

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Daftar Pustaka

Adger, W.N. 2000. Social and Ecological Resilience: Are They Related?Progress in human geography 24(3):347-364.

Altieri, M. A., Funes-Monzote, F. R., and Petersen, P. 2012. Agroecologicallyefficient agricultural systems for smallholder farmers: contributions to foodsovereignty. Agronomy for Sustainable Development 32(1):1-13.

Aratrakorn S., Thunhikorn S. and Donald, P.F. 2006. Changes in birdcommunities following conversion of lowland forest to oil palm and rubberplantations in southern Thailand. Bird Conservation International16:71–82.

Badgley, C., Moghtader, J., Quintero, E., Zakem, E., Chappell, M.J.,Aviles-Vazquez, K., Samulon, A. and Perfecto, I. 2007. Organic agricultureand the global food supply. Renewable Agriculture and Food Systems,22:86–108.

Barrett, C.B. and Arcese, P. 1995. Are Integrated conservation-DevelopmentProjects (ICDPs) sustainable? On the conservation of large mammals insub-Saharan Africa. World Development 23(7):1073-1094.

Bebbington, A. 1999. Capitals and capabilities: A framework for analyzingpeasant viability, rural livelihoods and poverty. World Development,27(12):2021–2044.

Bernard, F. 2015. What can climate-smart agricultural landscapes learn fromthe gestion de terroirs approach? In: Minang, P.A., van Noordwijk, M.,Freeman, O. E., Mbow, C., de Leeuw, J., And Catacutan, D. (eds.) 2015.Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. WorldAgroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 51- 61.

Daftar Pustaka

95

Biggs, R., Schlüter, M., Biggs, D., Bohensky, E.L., BurnSilver, S., Cundill, G., ... andWest, P.C. 2012. Toward principles for enhancing the resilience of ecosystem services. Annual Review of Environment and Resources37:421-448.

Biofuelwatch. 2007. Agrofuels – Towards a reality check in nine key areas.Biofuelwatch. [online] URL: http://archieve.corporateeurope.org/docs/AgrofuelsRealityCheck.pdf.

Brasser, A. 2013. Olam International and Rainforest Alliance Case Study.Reducing Risk: Landscape Approaches to Sustainable Sourcing.EcoAgriculture Partners, on behalf of the Landscapes for People, Food andNature Initiative, Washington, DC.

Buck, L.E. and Scherr, S.J. 2009. Building Innovation systems for ManagingComplex Landscapes. In: Moore, K.M. (ed.) The Sciences and Art ofAdaptive Management: Innovating for Sustainable Agriculture andNatural Resources Management. Soil and Water Conservation Society,Ankeny.

Buck, L.E., and Baily, I.D. 2014. Managing for Resilience. Framing an integratedlandscape approach for overcoming chronic food insecurity. EcoAgriculturePartners on behalf of the Landscapes for People, Food and NatureInitiative, Washington, DC.

Buck, L.E., Milder, J.C., Gavin, T.A. and Mukherjee, I. 2006. UnderstandingEcoAgriculture: A framework for Measuring Landscape PerformanceEcoAgriculture Discussion Paper Number 2. EcoAgriculture Partners,Washington DC.

Cassatella, C., and Peano, A. 2011. Landscape indicators assessing andmonitoring landscape quality. Springer, Dordrecht.

Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) 2014. Towards Productive Landscapes.Tropenbos International, Wageningen.

Cleaver, F. 2012. Development through bricolage: rethinking institutions fornatural resource management. Routledge, London.

Colchester, M. 2010. Land acquisition, human rights violations and indigenouspeoples on the palm oil frontier. Forest Peoples Programme, UK.

96

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Deichert, G., Krämer, F., and Schöning, A. 2014. Turning degraded land intoproductive landscapes, Ethiopian Highlands. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt,R.J. (eds.) Towards Productive Landscapes. Tropenbos International,Wageningen.

Dewi, S., Ekadinata, A., Indiarto, D., Nugraha, A. and Van Noordwijk, M. 2015.Negotiation support tools to enhance multifunctioning landscapes. In:Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. andCatacutan, D. (eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 243-255.

Dorrough J., Moll J. and Crosthwaite J. 2007. Can intensification of temperateAustralian livestock production systems save land for native biodiversity?Agriculture, Ecosystems & Environment, 121:222–232.

Duguma, L.A., Minang, P.A. and Van Noordwijk, M. 2014. Climate ChangeMitigation and Adaptation in the Land Use Sector: From Complementarityto Synergy. Environmental Management 54:420-432.

Dumanski, J. 1997. Criteria and indicators for land quality and sustainableland management. ITC journal 3(4):216-222.

EcoAgriculture Partners. 2012. Landscape-scale Management Approaches toAchieving Agricultural Production, Ecosystem Services Conservation andLivelihood Security in Sub-Saharan Africa. Literature Review and Synthesisfor Policymakers and Practitioners. [online] URL: http://ecoagriculture.org/ documents/files/doc_624.pdf

Endamana, D., Boedhihartono, A.K., Bokoto, B., Defo, L., Eyebe, A.,Ndikumagenge, C., Nzooh, Z., Ruiz-Perez, M. and Sayer, J.A. 2010. Aframework for assessing conservation and development in a Congo BasinForest Landscape. Tropical Conservation Science 3(3):262-281.

Estrada-Carmona, N., Hart, A.K., DeClerck, F.A.J., Harvey, C.A., and Milder, J.C. 2004. Integrated landscape management for agriculture, rural livelihoods, and ecosystem conservation: An assessment of experience from LatinAmerica and the Caribbean. Landscape and Urban Planning129(2014):1-11.

FAO. 2013. Climate-smart agriculture sourcebook. United Nations Food and Agriculture Organization (FAO), Rome.

Daftar Pustaka

97

Fisher, R.J., Maginnis, S., Jackson, W.J., Barrow, E. and Jeanrenaud, S. 2005.Poverty and Conservation: Landscapes, People and Power. The WorldConservation Union (IUCN), Gland and Cambridge.

Foley, J.A., Ramankutty, N., Brauman, K.A., Cassidy, E.S., Gerber, J.S., Johnston,M., Mueller, N.D., O’Connell, C., Ray, D.K., West, P.C., Balzer, C., Bennett,E.M., Carpenter, S.R., Hill, J., Monfreda, C., Polasky, S., Rockström, J.,Sheehan, J., Siebert, S., Tilman, G.D. and Zaks, D.P.M. 2011. Solutions for acultivated planet. Nature 478:337–342.

Freeman, O.E. 2015. Characterising multifunctionality in climate-smartlandscapes. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C.,de Leeuw, J. and Catacutan, D. (eds.) 2015. Climate-Smart Landscapes:Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi.pp. 37-49.

Fresco, L.O. 2009. Challenges for food system adaptation today and tomorrow. Environmental Science & Policy 12:378–385.

Frost, P., Campbell, B., Medina, G. and Usongo, L. 2006. Landscape-scaleapproaches for integrated natural resource management in tropical forestlandscapes. Ecology and Society 11(2):30. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol11/ iss2/art30/

Ghazoul, J., Garcia, C.A., Kushalappa, C.G. 2011. Landscape labellingapproaches to PES: bundling services, products and stewards. In: Ottaviani,D. Hage Scialabba, N.E. (eds.) Payment for ecosystem services and foodsecurity. FAO, Rome. pp. 171-189.

Chomitz, K.M. 2007. At Loggerheads? Agricultural Expansion, PovertyReduction, and Environment in the Tropical Forests. A World Bank PolicyResearch Report. The World Bank, Washington DC.

Ginting, L. 2011. An empty barn: The impact of oil palm expansion on foodsecurity. A case study from a Sime Darby’s subsidiary in Indonesia.Prepared for Oxfam– Novib, The Netherlands.

Godfray, H.C.J. 2011. Food for thought. PNAS 108(50):19845–19846.

Green, R.E., Cornell, S.J., Scharlemann, J.P.W. and Balmford, A. 2005. Farmingand the fate of wild nature. Science 307:550–555.

98

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Gyau, A., Oduol, J., Mbugua, M., Foundjem-Tita, D., Arinloy, D.A., and Kouame,C. 2015. Landscape approaches to sustainable supply chain management:the role of agribusiness. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E.,Mbow, C., de Leeuw, J., and Catacutan, D. (eds.) Climate-SmartLandscapes: Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre(ICRAF), Nairobi. pp. 295-305.

Hadad, et al. 2015 Habitat fragmentation and its lasting impact on Earth’secosystems. Science Advances 20 Mar 2015: Vol. 1 no. 2 e1500052 DOI:10.1126/ sciadv.1500052.

Hart, A.K., Buck, L.E., Marsh, R.R., Milder, J.C. and Scherr, S.J. 2010.EcoAgriculture and the collaborative management of rural landscapes.Paper presented at the Taller Internacional Gestión de Territorios: El Saltodesde la Planificación, 15-17. November 2010, Pereira, Colombia.

Hart, A., Planicka, C., Gross, L. and Buck, L.E. 2014. Landscape Labeling: Amarketing approach to support integrated landscape management.Framework document for landscape leaders. EcoAgriculture Partners,Washington, DC.

Hart, A.K., Milder, J.C., Estrada-Carmona, N., DeClerck, F.A.J., Harvey, C.A.,and Dobie, P. 2015. Integrated landscape initiatives in practice: assessingexperiences from 191 landscapes in Africa and Latin America. In: Minang,P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. andCatacutan, D. (eds.) 2015. Climate- Smart Landscapes: Multifunctionality InPractice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 89-101.

Harvey, C.A., Chacón, M., Donatti, C.I., Garen, E., Hannah, L., Andrade, A.,Bede, L., Brown, D., Calle, A., Chará, J., Clement, C., Gray, E., Hoang, M.H.,Minang, P., Rodríguez, A.M., Seeberg-Elverfeldt, C., Semroc, B., Shames, S.,Smukler, S., Somarriba, E., Torquebiau, E., van Etten, J. and Wollenberg, E.2014. Climate- Smart Landscapes: Opportunities and Challenges forIntegrating Adaptation and Mitigation in Tropical Agriculture. Conservation Letters 7:77–90. DOI: 10.1111/ conl.12066.

Hecht, S.B. 2011. From eco-catastrophe to zero deforestation?Interdisciplinarities, politics, environmentalisms and reduced clearing inAmazonia. Environmental Conservation 39(1):4-19.

Henkemans, A.B. 2008. Towards an integrated approach for conservation andlivelihood development in forest landscapes. Tropenbos International,Wageningen (unpublished).

Daftar Pustaka

99

Ho, V-M., Bonnell, B., Kushalappa, C.G., Mooney, C., Sarasin, G., Svensson, J.,and Verbisky, R. 2014. Governance solutions from the International ModelForest Network. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) Towards ProductiveLandscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Hobbs, P.R. 2007. Conservation agriculture: what is it and why is it important for future sustainable food production? Journal of Agricultural Science145(2):127.

Horrigan, L., Lawrence, R.S. and Walker, P. 2002. How sustainable agriculturecan address the environmental and human health harms of industrialagriculture. Environmental Health Perspectives 110(5):445-456.

ITTO/IUCN. 2005. Restoring forest landscapes. An introduction to the art andscience of forest landscape restoration ITTO Technical Series No 23.International Tropical Timber Organization, Yokohama.

Kissinger, G., Moroge, M. and Noponen, M. 2015. Private sector investment in landscape approaches: the role of production standards and certification. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E.,Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D. (eds.) 2015. Climate-SmartLandscapes: Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre(ICRAF), Nairobi. pp. 277-294.

Kofinas, G.P., and Chapin III, F.S. 2009. Livelihoods and Human Well-Beingduring Social-Ecological Change. In: Principles of Ecosystem Stewardship:Resilience-Based Natural Resource Management in a Changing World,Springer, New York. pp. 55-75.

Kozar, R., Buck, L.E., Barrow, E.G., Sunderland, T.C.H., Catacutan, D.E., Planicka,C., Hart, A.K., and Willemen, L. 2014. Toward Viable LandscapeGovernance Systems: What Works? EcoAgriculture Partners, on behalf ofthe Landscapes for People, Food, and Nature Initiative, Washington, DC.

Kusters, K. 2014. Sharing or sparing? In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.)Towards Productive Landscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Kusters, K. and Belcher, B. 2005. A method to assess the outcomes of forestproduct trade on livelihoods and the environment. 2005. CIFOR WorkingPaper, No. 33. CIFOR, Bogor.

100

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Kusters, K. and Lammers, E. 2013. Rich Forests–The future of forestedlandscapes and their communities. Both ENDS / Rich Forests, Amsterdam.

Kusters, K., Achdiawan, R., Belcher, B. and Ruiz Pérez, M. 2006. Balancingdevelopment and conservation? An assessment of livelihood andenvironmental outcomes of nontimber forest product trade in Asia, Africa,and Latin America. Ecology and Society 11(2): 20. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss2/art20/

Kusters, K., Sirait, M., De Koning, P., Lumangkun, A., Nijpels, R., Pilin, M.,Ros-Tonen, M., Snelder, D., Sulaiman, Van Sluijs, Wezendonk, L.,Witsenburg, K., Wolvekamp, P., Wösten, H. and Yas, A. 2013. Formalisingparticipatory land-use planning – Experiences from Sanggau District, West Kalimantan, Indonesia. Both ENDS, Amsterdam. [online] URL:http://www.bothends.nl/nl/publicaties

Lakew, H. and Shiferaw, Y. 2008. Rapid assessment of biofuels developmentstatus in Ethiopia and proceedings of the national workshop onenvironmental impact assessment and biofuels. MELCA Mahiber, AddisAbaba.

Löffler, H., Afiff, S.A., Burgers, P., Govers, C., Heeres, H.J., Karyanto, O.,Manurung, R., Vel, J.A.C., Visscher, S. and Zwaagstra, T. 2014. AgricultureBeyond Food: Experiences from Indonesia. NWO/WOTRO, The Hague.

Madrid, L. and Deschamps, P. 2014. Sustainable rural landscape managementin Central Mexico. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) TowardsProductive Landscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Mankad, K. 2014. Incentive-based mechanisms in landscapes, Peru. In:Chavez-Tafur, J., and Zagt, R.J. (eds.) Towards Productive Landscapes.Tropenbos International, Wageningen.

McGarry, D.K. and Shackleton, C.M. 2009 Children navigating rural poverty:Rural children’s use of wild resources to counteract food insecurity in theEastern Cape province, South Africa. Journal of Children and Poverty15:19-37.

McGuire, D. 2014. FAO’s Forest and Landscape Restoration mechanism. In:Chavez-Tafur, J., and Zagt, R.J. (eds.) Towards Productive Landscapes.Tropenbos International, Wageningen.

Daftar Pustaka

101

McShane, T.O. and Wells, M.P. (eds.) 2004. Getting biodiversity projects towork: towards better conservation and development. Columbia UniversityPress, New York.

Milder, J.C., Hart, A.K., Dobie, P., Minai, J.O. and Zaleski, C. 2014. Integratedlandscape initiatives for African agriculture, development, andconservation: a region-wide assessment. World Development 54:68-80.

Milder, J.C., Moroge, M. and Shames, S. 2015. Operationalizing climate-smartagricultural landscapes: the case of a tea-producing landscape in Kericho,Kenya. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., deLeeuw, J. and Catacutan, D. (eds.) Climate-Smart Landscapes:Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi.pp. 319-333.

Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. andCatacutan, D. (eds.) 2015a Climate-Smart Landscapes: MultifunctionalityIn Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi.

Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Duguma, L.A., Mbow, C., deLeeuw, J. and Catacutan, D. 2015b. Introduction and basic propositions. In:Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. andCatacutan, D. (eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 3-17.

Minang, P.A., Duguma, L.A., Alemagi, D. and Van Noordwijk, M. 2015c. Scaleconsiderations in landscape approaches. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D.(eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. WorldAgroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 121-133.

Minang, P.A., Duguma, L.A. Van Noordwijk, M., Prabhu, R. and Freeman, O.E.2015d. Enhancing multifunctionality through system improvement andlandscape democracy processes: a synthesis. In: Minang, P.A., vanNoordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D.(eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. WorldAgroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 389-404.

Namirembe, S. and Bernard, F. 2015. Private sector engagement in landscape-based approaches – lessons from cases in East Africa. In: Minang, P.A., vanNoordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D.(eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. WorldAgroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 307-315.

102

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Neumann, R.P. 1997. Primitive Ideas: Protected Area Buffer Zones and thePolitics of Land in Africa. Development and Change 28:559-582.

Noponen, M.R.A., Mensah, C.D.B. Schroth, G. and Hayward, J. 2014. Alandscape approach to climate-smart agriculture in Ghana. In:Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) Towards Productive Landscapes.Tropenbos International, Wageningen.

Oates, J.F. 1999. Myth and Reality in the Rain Forest: How ConservationStrategies are Failing in West Africa. University of California Press,Berkeley and London.

Öborn, I., Kuyah, S., Jonsson, M., Dahlin, S.A., Mwangi, H., and De Leeuw, J.2015. Landscape-level constraints and opportunities for sustainableintensification in smallholder systems in the tropics. In: Minang, P.A., vanNoordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D.(eds.) Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. WorldAgroforestry Centre (ICRAF), Nairobi. pp. 163-178.

Olwig, K.R. 1996. Recovering the substantive nature of landscape. Annals ofthe Association of American Geographers 86(4): 630-653.

Padoch, C. and Pinedo-Vasquez, M. 2010. Saving slash and burn to savebiodiversity. Biotropica 42:550–552.

Parrott, L. and Meyer, W.S. 2012. Future landscapes: managing withincomplexity. Frontiers in Ecology and the Environment 10(7):382-389.

Phalan, B., Onial, M., Balmford, A. and Green, R.E. 2011a. Reconciling foodproduction and biodiversity conservation: Land sharing and land sparingcompared. Science 333:1289–1291.

Phalan, B., Balmford, A., Green, R.E. and Scharlemann, J.P.W. 2011b.Minimising the harm to biodiversity of producing more food globally. FoodPolicy 36: S62–S71.

Pretty, J.N., Noble, A.D., Bossio, D., Dixon, J., Hine, R.E., Penning de Vries, F.W.T.and Morison, J.I.L. 2006. Resource-conserving agriculture increases yieldsin developing countries. Environmental Science & Technology40:1114–1119.

Rietberg, P. 2011. Clearing land, obscuring rights: Seeking benefits andclaiming property in a process of oil palm plantation expansion in WestKalimantan Indonesia. MA Thesis at Wageningen University.

Daftar Pustaka

103

Rodrigues de Aquino, A. and Griffin, R.J. 2014. Financing emissions reductionsin Oromia, Ethiopia. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) TowardsProductive Landscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Rodrigues, A.S.L., Akcakaya, H.R., Andelman, S.J., Bakarr, M.I., Boitani, L.,Brooks, T.M., Chanson, J.S., Fishpool, L.D.C., Da Fonseca, G.A.B., Gaston,K.J., Hoffmann, M., Marquet, P.A. Pilgrim, J.D., Pressey, R.L., Schipper, J.,Sechrest, W., Stuart, S.N., Underhill, L.G., Waller, R.W., Watts, M.E.J. andYan, X. 2004. Global gap analysis: Priority regions for expanding theglobal protected-area. BioScience 54(12):1092-1100.

Ros-Tonen, M.A.F., Derkyi, M. and Insaidoo, T.F.G. 2014. From Co-Managementto Landscape Governance: Whither Ghana’s Modified Taungya System?Forests 2014 (5):2996-3021.

Salvemini, D. and Remple, N. 2014. Community-based approaches tolandscape management. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) TowardsProductive Landscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Sayer, J. and Campbell, B. 2004. The Science of Sustainable Development.Local Livelihoods and the Global Environment. Cambridge University Press, Cambridge.

Sayer, J., Buck, L. and Scherr, S. 2008. The ‘Lally Principles’. In: Learning fromLandscapes, arborvitae AV Special Edition. International Union forConservation of Nature (IUCN), Gland.

Sayer, J., Buck, L., and Dudley, N. 2008. Next steps in monitoring landscapeapproaches. In: Learning from Landscapes, arborvitae AV Special Edition.International Union for Conservation of Nature (IUCN), Gland.

Sayer, J., Maginnis, S., Buck, L. and Scherr, S. 2008. The Challenge of AssessingProgress of Landscape Initiatives. In: Learning from Landscapes, arborvitae AV Special Edition. International Union for Conservation of Nature (IUCN),Gland.

Sayer, J., Margules, C., Boedhihartono, A.K., Dale, A., Sunderland, T., Supriatna, J. and Saryanthi, R. 2014. Landscape approaches: what are thepre-conditions for success? Sustainability Science 1-11.

104

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Sayer, J., Sunderland, T., Ghazoul, J., Pfund, J. L., Sheil, D., Meijaard, E., Venter,M., Boedhihartono, A.K., Day, M., Garcia, C., van Oosten, C. and Buck, L E.2013. Ten principles for a landscape approach to reconciling agriculture,conservation, and other competing land uses. Proceedings of the nationalacademy of sciences 110(21), 8349-8356.

Sayer, J.A., Campbell, B.M., Petheram, L., Aldrich, M., Ruiz Perez, M.,Endamana, D., Dongmo, Z-L N., Defo, L., Mariki, S., Doggart, N. andBurgess, N. 2006. Assessing environment and development outcomes inconservation landscapes. Biodiversity and Conservation16(9):2677-2694.

Scherr, S.J., Holmgren, P., Simons, T., Tutwiler, A. Campos Arce, J.J., Kimble, M.and McNeely, J.A. 2014. An Integrated Landscape Target for theSustainable Development Goals. A position statement from the Landscapesfor People, Food and Nature Initiative to the open working group on thesustainable development goals. Landscapes for People, Food and NatureInitiative, Washington, DC.

Scherr, S.J., Shames, S. and Friedman, R. 2012. From climate-smart agricultureto climate-smart landscapes. Agriculture & Food Security 2012, 1:12.

Scherr, S.J., Shames, S. and Friedman, R. 2013. Defining Integrated LandscapeManagement for Policy Makers. EcoAgriculture Policy Focus Series No. 10,October 2013, EcoAgriculture Partners, Washington DC.

Sheil, D., Nasi, R. and Johnson, B. 2004. Ecological criteria and indicators fortropical forest landscapes: challenges in the search for progress. Ecologyand Society 9(1):7. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art7.

Sirait, M. 2009. Indigenous peoples and oil palm plantation expansion in WestKalimantan, Indonesia. Universiteit van Amsterdam and Cordaid Memisa.

Smith P., Bustamante, M., Ahammad, H., Clark, H., Dong, H., Elsiddig, E.A.,Haberl, H., Harper, R., House, J., Jafari, M., Masera, O., Mbow, C.,Ravindranath, N.H., Rice, C.W., Robledo Abad, C., Romanovskaya, A.,Sperling, F. and Tubiello, F. 2014: Agriculture, Forestry and Other Land Use(AFOLU). In: Edenhofer et al. (eds.) Climate Change 2014: Mitigation ofClimate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth AssessmentReport of the Intergovernmental Panel on Climate Change. CambridgeUniversity Press, Cambridge and New York.

Daftar Pustaka

105

Soltz, R.L., Brenner, R., Yung Keung, C.K., Rosenblum, B. and Wolfe, S. 2013.China’s loess plateau: a region of heterogeneous environmentalcommunities. Global Awareness Society International, Rome.

Stills, E. Shanley, P., Paumgarten, F., De Beer, J. and Pierce, A. 2012. Evolvingperspectives on non-timber forest products. In: Shackleton et al. (eds.)Non-timber forest products in the global context. Tropical Forestry 7,Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Stockholm Resilience Centre. 2007. “What Is Resilience?” http://www.stockholmresilience.org/21/research/what-is-resilience.html.

Sunderland, T.C.H. 2011. Food security: Why is biodiversity important?International Forestry Review 13(3):265–274.

Tongway, D.J. and Hidley, N.L. 2004. Landscape function analysis: Proceduresfor monitoring and assessing landscapes, with special reference tominesites and rangelands. CSIRO Sustainable Ecosystems, Canberra.

Torquebiau, E. 2015. Whither landscapes? Compiling requirements of thelandscape approach. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E.,Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D. (eds.) Climate-Smart Landscapes:Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre (ICRAF), Nairobi.pp. 21-35.

Treib, O., Bähr, H. and Falkner, G. 2007. Modes of governance—Towards aconceptual clarification. Journal of European Public Policy 14:1–20.

Tscharntke, T., Clough, Y., Wanger, T.C., Jackson, L., Motzke, I., Perfecto, I.,Vandermeer, J. and Whitbread, A. 2012. Global food security,biodiversity conservation and the future of agricultural intensification.Biological Conservation 151:53–59.

Tscharntke, T., Klein, A.M., Kruess, A., Steffan-Dewenter, I. and Thies, C. 2005.Landscape perspectives on Agricultural intensification andbiodiversity-ecosystem service management. Ecology letters8(8):857-874.

Unilever. 2010. Sustainable Living Plan. Unilever, London.

Van der Horn, S. and Meijer J. 2015. The Landscape Approach. PBLNetherlands Environmental Assessment Agency, The Hague.

106

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Van Oosten, C., Gunarso, P., Koesoetjahjo, I. and Wiersum, F. 2014. GoverningForest Landscape Restoration: Cases from Indonesia. Forests 2014,5:1143-1162. DOI:10.3390/f5061143.

Van Oosten, C.J. 2013. Restoring landscapes: Who decides? A governanceapproach to forest landscape restoration. Natureza & Conservação11(2):119-126.

Vandermeer, J. and Perfecto, I. 2007. The agricultural matrix and a futureparadigm for conservation. Conservation Biology 21(1):274–277.

Wambugu, S.W., Chomba, S.W. and Atela, J. 2015. Institutional arrangementsfor climate-smart landscapes. In: Minang, P.A., van Noordwijk, M., Freeman, O.E., Mbow, C., de Leeuw, J. and Catacutan, D. (eds.) Climate-SmartLandscapes: Multifunctionality In Practice. World Agroforestry Centre(ICRAF), Nairobi. pp. 257-274.

Wells, M. and Brandon, K. 1992. People and Parks: Linking Protected AreaManagement with Local Communities. The International Bank forReconstruction and Development, The World Bank, Washington DC.

Wells, M., Guggenheim, S., Khan, A., Wardojo, W. and Jepson, P. 1999.Investing in Biodiversity. A Review of Indonesia’s Integrated Conservationand Development Projects. The World Bank, Washington DC.

Wells, M., McShane, T.O., Dublin, H.T., O’Connor, S. and Redford, K.H. 2004.What Went Wrong? In: Christensen, J. (ed.) Win-Win Illusions.Conservation In Practice 5(1):12-19.

Wiersum, F. 2014. Tropical forest transitions: structural changes in forest area,composition and landscape. CAB Reviews 9(18):1-14.

Woodhouse, P. 2010. Beyond industrial agriculture? Some questions about farm size, productivity and sustainability. Journal of Agrarian Change10(3):437–453.

Zagt, R.J. and Chavez-Tafur, J. 2014. Towards productive landscapes – asynthesis. In: Chavez-Tafur, J. and Zagt, R.J. (eds.) Towards ProductiveLandscapes. Tropenbos International, Wageningen.

Zakaria, A., Theile, C., Khaimur, L. and Maher I. 2007. Policy, practice, prideand prejudice: Review of legal, environmental and social practices of oilpalm plantation companies of the Wilmar Group in Sambas District, WestKalimantan (Indonesia). Milieudefensie (Friends of the Earth Netherlands),Lembaga Gemawan and KONTAK Rakyat Borneo, Amsterdam.

Daftar Pustaka

107

108

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

Catatan Akhir

1. Tinjauan literatur dimulai dengan empat publikasi utama: (i) Minang dkk(2015a) “Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality in Practice”; Scherr,Shames dan Friedman (2012) “From climate-smart agriculture toclimate-smart landscapes”; (iii) Sayer dkk (2013) “Ten principles for alandscape approach to reconciling agriculture, conservation, and othercompeting land uses”; dan (iv) Chavez-Tafur dan Zagt (2014) “TowardsProductive Landscapes”. Publikasi-publikasi tersebut berperan sebagaititik awal, dan memberikan saran untuk litetatur tambahan.

2. Tipologi “Chomitz” tidak termasuk lanskap-lanskap yang distabilkanyang terdiri dari lahan pertanian homogen tanpa pepohonan,berbatasan dengan hutan.

3. Setelah keanekaragaman dan redundansi, Stockholm Resilience Centremengidentifikasi beberapa faktor lainnya yang dapat memperkuatketahanan sistem menghadapi perubahan, termasuk:

• Konektivitas: konektivitas adalah sifat dan kekuatan interaksi antarberbagai komponen dari sebuah sistem. Dalam hal ekologi,konektivitas di antara sebaran hutan-hutan kecil memungkinkanpemulihan yang cepat, misalnya melalui kolonisasi kembali spesiessetelah terjadinya kebakaran hutan. Namun tingkat konektivitas yangtinggi dapat juga menjadi sebuah ancaman, karena dapatmenyebabkan penyebaran gangguan secara lebih cepat. Di bidangsosial, konektivitas antara kelompok sosial yang berbedameningkatkan kemungkinan untuk berbagi informasi dan membantumembangun kepercayaan dan hubungan timbal-balik.

• Mengatur faktor variabel yang lambat dan umpan balik: berbagaivariabel ekologi dan sosial yang lambat akan mempengaruhi sebuahsistem. Perubahan yang lambat tersebut mungkin dapat diakomodasi

Catatan Akhir

109

oleh komponen-komponen tertentu melalui mekanisme penguranganumpan balik, namun ketika kapasitas komponen-komponen tersebutterlampaui, mekanisme umpan balik yang negatif dapat membuatperubahan yang radikal dalam keseluruhan sistem. Bayangkan sepertisuplai nutrisi yang terus menerus dari penggunaan pupuk yangterserap oleh tanaman di danau air tawar. Ketika ambang serapannutrisi dari tanaman telah berlebih, maka kelebihan nutrisi tersebutakan memicu pertumbuhan alga yang mengambang bebas sehinggamenghalangi cahaya matahari, dan pada akhirnya dapat membunuhtanaman penyerap nutrisi tadi (Biggs dkk, 2012; lihat jugawww.stockholmresilience.org).

4. Freeman (2015) membedakan antara sinergi aditif (jumlah tiap-tiapbagian) dengan sinergi super-aditif (ketika keseluruhan lebih besardaripada jumlah tiap-tiap bagian). Sebagai contoh, ketika petaniberhasil mengurangi degradasi lahan dan mitigasi iklim dalam praktekpertanian cerdas-iklim di dalam area tertentu itulah yang disebut sinergiaditif. Namun keberhasilannya ini juga membuat area tersebut menarikuntuk disertifikasi atau mendapat program pembiayaan terkait iklimitulah sinergi super-aditif (Freeman, 2015).

5. Beberapa tahun belakangan ini perhatian meningkat terhadapterjadinya konsentrasi lahan. Hal ini sejalan dengan pertumbuhanpermintaan global terhadap produk-produk pertanian yang kemudianmemotivasi para investor skala besar untuk menyewa atau membeli lahan pertanian untuk memproduksi pangan dan bahan bakar. Kesepakatanpengaturan seperti ini seringkali mengorbankan wilayah alami danpertanian skala kecil – sebuah fenomena yang disebut sebagai ‘merebutlahan’ (land grabbing) atau ‘serbuan lahan global’ (the global land rush).Dalam sebuah artikel pada the Broker Online, Annelies Zoomers danEvert-Jan Quak memberikan pandangan yang bagus terkaitpengetahuan terkini mengenai efek dari meningkatnya akuisisi lahanskala besar, juga disebut sebagai ‘serbuan lahan global”.http://www.thebrokeronline.eu/articles.Untagling-the-myth-of-the-global-land-rush.

6. Phalan dkk (2011b:67) berpendapat bahwa “...sebuah lanskap yang diubah menjadi sebaran petak-petak wanatani (agroforestri) mungkinterlihat lebih heterogen daripada sebuah perkebunan besar monokulturdengan hutan suaka yang besar, namun justru lanskap yang disebutterakhir ini mungkin lebih efektif dalam mengkonservasi habitat dan

110

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

spesies yang langka secara global, sehingga pada akhirnya menambahheterogenitas global”.

7. Wawancara ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam Kusters, K. danLammers, E. 2013. Rich Forests – The future of forested landscapes and theircommunities. Keduanya ENDS / Rich Forests, Amsterdam.

8. Istilah-istilah ‘pendekatan lanskap’, ‘pengelolaan lanskap terpadu’ dan‘tata kelola lanskap’ seringkali digunakan berganti-ganti. Pendekatanlanskap adalah istilah yang paling umum, dan digunakan sebagaidenominator umum untuk perngkat dan konsep. Pengelolaan lanskapsecara lebih eksplisit mengacu pada tindakan dan intervensi nyata ditingkat lanskap, sementara tata kelola lanskap secara spesifik mengacupada interaksi antara para pelaku yang berbeda di dalam pengelolaanlanskap

9. Pendekatan lanskap dikembangkan berdasar pengalaman padaupaya-upaya terdahulu untuk mengintegrasikan pembangunan dankonservasi di tingkat proyek yang dinamai Integrated Conservation andDevelopment Projects (ICDP). ICDP seringkali bemaksud untuk menciptakan keterkaitan antara proyek pembangunan dengan area yang dilindungi,dengan tujuan mengurangi tekanan pada area yang dilindungi tersebut.Hal ini termasuk misalnya mendukung ekowisata dan komersialisasiproduk hutan non-kayu, yang memungkinkan masyarakat untukmemperoleh penghasilan tanpa menganggu keutuhan sistem hutan alami(Fisher dkk, 2005). Namun hasil dari ICDP secara umum mengecewakan.Pada tahun 1992, sebuah studi yang mengkaji pengalaman-pengalaman awal di 23 ICDP proyek di Afrika, Asia dan Amerika Latin menemukanbahwa hubungan antara pembangunan dan konservasi seringkali tidakjelas dan bahwa masyarakat lokal diperlakukan sebagai pelaku pasifdibanding kolaborator aktif (Wells dan Brandon,1992). Akhirnya lebihbanyak kritik bermunculan. Semakin lama semakin jelas bahwaproyek-proyek ICDP menghasilkan capaian yang meragukan dan jarangberhasil mencapai kedua tujuan bersama (contohnya Barrett dan Arcese,1995; Oates, 1999; Wells dkk, 1999; McShane d an Wells, 2004).Banyak proyek ICDP gagal karena bekerja berdasarkan asumsi naifyang menganggap ‘masyarakat lokal’ sebagai kelompok yang homogen, tanpa memperhitungkan perbedaan gender, kelas dan etnik, sertaadanya perbedaan ambisi dan prioritas di antara mereka (Wells dkk,2004; Neumann, 1997). Mengacu pada proyek-proyek ICDP, Sayer danCampbell (2014: 14) menulis “Proyek yang berupaya memperoleh sukses

Catatan Akhir

111

di konservasi dan pembangunan adalah umum. Namun, komponenkonservasi biasanya merupakan upaya perlindungan spesies ataulanskap-lanskap yang mempunyai nilai global, bukan konservasi atauopsi-opsi pengelolaan sumber daya yang terkait langsung denganmasyarakat lokal. Dan telah terjadi kegagalan sangat besar di sisi paradonor untuk menerima kenyataan bahwa upaya konservasi lingkunganglobal bukan merupakan prioritas penting bagi masyarakat miskin yangtinggal di perdesaan di negara berkembang.

10. Pengelolaan lanskap terpadu adalah suatu bentuk pengelolaankolaborasi adaptif (adaptive collaborative management–ACM). Artinyapengelolaan harus adaptif (sehingga dapat menghadapi sistemsosio-ekologi kompleks yang berevolusi) dan kolaboratif (sehinggamemasukkan semua pemangku kepentingan yang relevan di dalamproses). Untuk memfasilitasi ACM pada tingkatan lanskap, Minang dkk(2015d) mengusulkan untuk mengkombinasikan hal tersebut denganpendekatan Systems Improvement Process (SIP), yaitu sebuah kerangkakerja analisis untuk memecahkan masalah sosial yang kompleks melaluipenekankan pada analisis masalah dan identifikasi faktor-faktorpengungkit. Mereka mengusulkan sebuah kerangka kerja untukpengelolaan lanskap terpadu yang disebut sebagai Landscape ProcessWheel, yang terdiri dari komponen-komponen berikut:

• Perencanaan (termasuk analisis masalah dan penetapan tujuanstrategis).

• Tindakan dan praktek-praktek (termasuk identifikasi solusi, penilaiantimbal balik (trade-off) dan sinergi, serta pengujian solusi)

• Kebijakan, kelembagaan dan kapasitas (temasuk melakukan kajiankelembagaan, kebijakan dan kapasitas, pengembangan insentifkebijakan, serta pengembangan kapasitas).

• Pemantauan, evaluasi dan audit (termasuk identifikasi kriteria danindikator, penetapan prosedur pemantauan dan evaluasi, verifikasidan audit)

• Partisipasi dan negosiasi di antara semua pemangku kepentingan dikeseluruhan proses.

11. Banyak organisasi konservasi telah memulai inisiatif lanskap, sepertiCongo Basin Forest Partnership (http://carpe.umd.edu/works/landscape

112

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

detail.php?lid=8); landscapes and livelihoods initiative dari IUCN(www.iucn.org/about/work/programmes/forest/fp_our_work/fp_our_work_initiatives/ fp_our_work_ll/), dan beberapa inisiatif dariWorldwide Fund for Nature (WWF).

12. Ros-Tonen dkk (2014) menjelaskan perbedaan antara keterkaitanlintas-skala dan keterkaitan antar-tingkat sebagai berikut: keterkaitanlintas-skala adalah [...] interaksi antara skala-skala yang berbeda(misalnya skala waktu, spasial, kelembagaan, juridiksi), sedangkanketerkaitan antar-tingkat adalah interaksi antara tingkatan organisasiyang berbeda di dalam satu skala (misalnya, dari global ke lokal padasebuah skala georafi, atau dari aturan undang-undang ke peraturanpelaksana pada skala lembaga) (Ros-Tonen dkk, 2014:3003).

13. Berbagai pendekatan dan perangkat untuk mengukur capaian intervensikonservasi dan pembangunan telah dikembangkan dengan nama umum‘kajian dampak’. Kajian tersebut mungkin sebelum pelaksanaan (ex-ante), dengan penekanan pada prakiraan kemungkinan capaian untukmembantu perencanaan. Atau, kajian mungkin dilakukan sesudahpelaksanaan (ex-post) untuk menentukan capaian nyata untuk memanduintervensi yang sedang berlangsung atau untuk mengevaluasi efektivitasproyek. Kajian dampak dapat dilakukan dengan mengukur adanyaperbedaan di sepanjang waktu (yang membutuhkan data dasar sebelumintervensi dimulai) atau ruang (dengan asumsi bahwa situasi ‘dengan’ dan ‘tanpa’ adalah serupa kecuali untuk intervensi yang sedang dikaji).Alternatif lain, dampak dapat dikaji dengan menggunakan indikatoryang merepresentasikan perubahan (Kusters dan Belcher, 2005).Kerangka kerja pengukuran secara umum menerapkan kerangka kerjahierarki yang meliputi empat tingkatan berikut:

• Tujuan: Ini adalah prinsip-prinsip universal yang memberikankerangka kerja normatif kepada kajian.

• Kriteria (sub-tujuan): Kriteria adalah karakteristik dari capaian yangdiinginkan–mereka menyediakan prinsip-prinsip pengukuran.

• Indikator: Indikator-indikator biasanya ditentukan perindikator. Indikator adalah faktor yang perlu untuk diukur untukmemahami kinerja.

Catatan Akhir

113

• Cara pengukuran: Ini adalah teknik-teknik yang digunakanuntuk mengevaluasi tiap indikator, contohnya, analisis tutupan lahan,wawancara dengan petani (Buck dkk, 2006).

14. Cara yang biasa digunakan organisasi untuk mengukur efektivitasnyaadalah fokus pada jumlah orang yang dilatih, pertemuan yang diadakan,pemburu liar yang ditangkap, dll. Hal ini tidak membantu untuk memahamidampak yang lebih luas dari tujuan pembangunan dan konservasi di skalalanskap. Universitas Amsterdam dan mitra telah mengembangkan metodePADEV, yang mencoba untuk mengubah semuanya dengan pertama-tamamengidentifikasi perubahan umum yang terjadi pada suatu area,kemudian mengkaitkan perubahan tertentu dengan intervensi tertentumelalui penilaian masyarakat lokal (lihat: www.padev.nl)

15. Buck dkk (2006) mendefinisikan kondisi acuan bagi “keanekaragamanhayati alami” sebagai: “kondisi komunitas ekologi sebelum adanyapraktek penggunaan lahan modern yang menghilangkan atau mengubahekosistem alami pada skala yang besar, seperti pertanian intensif danurbanisasi. Komunitas ekologi yang mendekati kondisi acuan tersebutmasih ada di banyak lanskap (contohnya, taman nasional,perlindungan/suaka satwa liar, cagar alam), dan apabila sudah tidakada, maka kondisi acuan tersebut dapat diambil dari catatan sejarahdan bagian-bagian yang tersisa. Namun pada beberapa tempat, seperti Eropa barat, ekosistem telah dibentuk secara intensif dan telah lamadigunakan oleh manusia sehingga sudah tidak mungkin atau tidakberguna untuk mendefinisikan kondisi acuan sebagai polakeanekaragaman hayati yang timbul secara alami. Pada tempat-tempatseperti itu, tujuan dari konservasi keanekaragaman hayati harusmempelajari nilai-nilai budaya setempat, namun juga dapat dilakukanmelalui analisis ilmiah yang dipandu secara ketat.

16. Kerangka kerja permodalan yang dikembangkan oleh DFID telah secaraluas diadopsi sebagai prinsip pengaturan. Pengelompokan permodalanyang paling biasa dipakai adalah: fisik, manusia, sosial, keuangan danalam: (i) modal fisik terdiri dari insfrastruktur dasar dan penghasilbarang-barang yang dibutuhkan untuk mendukung penghidupan; (ii)modal manusia mewakili keahlian, pengetahuan, kemampuan untukbekerja dan kesehatan yang baik yang kesemuanya memungkinkanmasyarakat untuk dapat mengejar strategi penghidupan yang beranekaragam, dan mencapai tujuan penghidupannya; (iii) modal keuangan

114

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya

mewakili sumber daya keuangan yang diperlukan oleh masyarakat untukmencapai tujuan penghidupannya; (iv) modal sosial meliputi sumber daya sosial yang dimanfaatkan untuk membantu memenuhi tujuanpenghidupan, termasuk jejaring, kelembagaan dan hubungan salingpercaya dan timbal balik; dan (v) modal alam meliputi cadangan sumberdaya alam yang menghasilkan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan.Bebbington (1999) menyarankan untuk mempertimbangkan modalbudaya sebagai kelompok yang terpisah, yang meliputi tradisi(contohnya perayaan budaya atau gotong royong) yang memberikanrasa identitas dan kepemilikan tempat bagi masyarakat. Membagipenghidupan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok permodalan,akan memungkinkan perhatian yang setara baik untuk elemen yangdapat dihitung (moneter) maupun elemen yang lebih subyektif dankualitatif. Lebih lanjut lagi, pemilahan aspek penghidupan ke berbagaikomponen membantu membuat pertimbangan timbal balik keuntungan-kerugian lebih nyata, contohnya pilihan antara pertumbuhan ekonomi,pembangunan manusia, integrasi sosial dan integritas lingkungan hidup.

17. Minang dkk (2015b) menekankan perlunya untuk mengidentifikasi faktorpengungkit di dalam lanskap. Faktor pengungkit adalah suatu kondisidimana sebuah perubahan kecil dapat membangkitkan perubahan yanglebih besar di dalam keseluruhan sistem. Hal tersebut misalnya distribusikewenangan di antara para pemangku kepentingan, atau cara informasimengalir.

Catatan Akhir

115

116

Lanskap cerdas-iklim dan pendekatannya