Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

10
LANSKAP BUDAYA DALAM HISTORITAS POLITIK BUGIS (Studi Antropologi Politik) Andi Yusuf 1 “ … Jika kita menyadari bahwa diantara semua Negara di Timur … hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkatan pengakuan hak-hak warga Negara, dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman.” (James Brooke, 1848) 2 Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan dalam catatan perjalanannya ketika mengunjungi kerajaan-kerajaan di semenanjung Sulawesi, Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu dilukiskan sebagai kerajaan “Demokratis” yang oleh Mattulada menyebutnya “Republik Ariktokrasi” (Bandingkan Mattulada 1995; Pelras 2006). Meski agak berlebihan menyebutnya, namun catatan historis menyebutkan dari berbagai tulisan memberikan gambaran mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang bentuk Negara dan 1 Mahasiswa Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. 2 Kutipan Christian Pelras mengenai laporan perjalanan James Brooke di Kerajaan Wajo dalam bukunya Manusia Bugis (2006) 1

description

Studi Antropologi Politik

Transcript of Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

Page 1: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

LANSKAP BUDAYA

DALAM HISTORITAS POLITIK BUGIS

(Studi Antropologi Politik)

Andi Yusuf1

“ … Jika kita menyadari bahwa diantara semua Negara di Timur … hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkatan pengakuan hak-hak warga Negara, dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman.”

(James Brooke, 1848)2

Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan

dalam catatan perjalanannya ketika mengunjungi kerajaan-kerajaan di

semenanjung Sulawesi, Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu

dilukiskan sebagai kerajaan “Demokratis” yang oleh Mattulada

menyebutnya “Republik Ariktokrasi” (Bandingkan Mattulada 1995;

Pelras 2006). Meski agak berlebihan menyebutnya, namun catatan

historis menyebutkan dari berbagai tulisan memberikan gambaran

mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang bentuk Negara dan

Pemerintahan di Kerajaan tersebut yang mirip dengan sistem demokrasi

apalagi dengan bentuk penghargaan terhadap warga Wajo’ sebagai

orang merdeka.

1 Mahasiswa Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

2 Kutipan Christian Pelras mengenai laporan perjalanan James Brooke di Kerajaan Wajo dalam bukunya Manusia Bugis (2006)

1

Page 2: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

Tak ada jabatan dalam kerajaan yang dianggap sebagai warisan

mutlak, bisa saja hanya menjabat dalam waktu periode tertentu,

meskipun tidak sedikit dari kalangan bangsawan atau keturunan raja

yang mewarisinya. Orang-orang yang akan menduduki jabatan dan

mengisi struktur pemerintahan dipilih oleh dewan pemilihan khusus

yang berdasarkan berbagai kriteria seperti garis keturunan, hubungan

dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi, dan pengaruh yang dinilai

dari jumlah dan kualitas pengikutnya, tanpa memperhitungkan di daerah

mana ia tinggal. (Pelras 2006: 200).

Pada masa Kerajaan Wajo, dimana dalam catatan sejarah

ditemukan model pranata politik setiap bangsawan yang membentuk

struktur kerajaan yang kekuasaannya terbagi. Seorang penguasa

dinamai atau disebut Arung Matoa (raja para matoa) yang umumnya

selalu diduduki oleh seorang laki-laki, ia dibantu oleh suatu dewan yang

disebut Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu

oleh Arung Ennenngé atau Petta Ennenngé (enam petinggi) yang

anggotanya adalah tiga orang Padanréng (sekutu, pendamping) dan

tiga orang Baté Lompo (pemegang panji). Lembaga pimpinan tertinggi

kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga

pembuat undang-undang. Disamping itu juga terdapat lembaga yang

disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang yang berasal dari

3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil

permufakatan dan perintah dari Padanreng kepada rakyat,

menyampaikan perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan

2

Page 3: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo. Jadi

terdapat 40 orang dalam lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri

atas 1 orang Arung Matoa, 6 orang Arung Ennengnge, 3 orang Suro ri

Bateng, 12 orang Arung Mabbicara,18 penasehat). Ke 40 orang atau

jabatan ini disebut Arung Patappuloe’ (pertuanan yang empat puluh)

yang bentuknya menyerupai sistem parlemen. Bentuk atau struktur

pemerintahan tersebut diperkuat oleh tese Mattulada (Dalam Latoa

1995:408) :

“ … Pola kepemimpinan Wajo dapat disebut lebih dekat kepada sistem patrimonial yang bersifat tradisional, pada kelompok persekutuan tetapi pada pucuk pimpinan yakni Arung Matoa Wajo berlaku pola-pola kepemimpinan rasional yang didasarkan kepada kemampuan pribadi dan penerimaan dari Perwakilan Rakyat (secara terbatas)”

Fase alamiah, perubahan kompleks secara menyeluruh mulai dari

aspek sosial-budaya sampai ekonomi-politik mengantarkan wajah

manusia Bugis Wajo dalam ranah modern kedalam struktur dan sistem

baru dan telah jauh meninggalkan bentuk negara kerajaan seperti

dahulu. Perubahan sistem pemerintahan kerajaan Wajo pada masa

penjajahan Hindia Belanda, dimana Arung Patappuloe’ tidak lagi

memegang peranan penting dalam kekuasaan tetapi hanya menjadi

simbol bagi rakyat Wajo dan larangan mengadakan hubungan diplomatik

dengan negara-negara lain pada masa itu, hal ini disebabkan karena

kekakalahan perang pada tahun 1905 - 1906 yang menyebabkan Wajo’

3

Page 4: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

harus tunduk dan menaati sistem administratif wilayah Zelfbestur3 yang

diberlakukan Hindia Belanda.

Setelah Perang Kemerdekaan tahun 1957, daerah bekas kerajaan

atau daerah swapraja4 seperti Luwu, Bone, Soppeng, Gowa serta Wajo

dijadikan daerah kabupaten yaitu daerah tingkat II biasa yang di kepalai

oleh Bupati Kepala Daerah dan di barengi dengan pembentukan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang merupakan pembagian

wilayah setelah Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Saat ini beberapa

bekas kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk Wajo telah menjadi salah

satu kabupaten yang berstatus administratif sama dengan kabupaten

lainnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertumbuhan

dampak globalisasi yang subur di Indonesia saat ini juga mengantarkan

sistem politik dunia turut mempengaruhi dinamika dalam pranata politik

yang ada di Indonesia, Nasionalisme, Komunisme, Demokrasi Terpimpin,

demokrasi Pancasila dan bentuk genre ideologi politik lainnya telah

banyak didengungkan sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga saat ini

sedang dalam pengembangan model pranata politik pembagian

kekuasaan yang pas dengan karaketristik keragaman suku-suku bangsa

di Indonesia.

Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan

1997 menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto

3 Dalam Mattulada (1995) disebutkan sebagai wilayah di bawah pemerintahan seorang Assistant Resident Belanda yang berkedudukan di Bone.

4 Daerah/ wilayah bekas zelbestur yang dijadikan Belanda sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur yang merupakan bentukan Belanda juga.

4

Page 5: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

yang telah berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian

memberikan kondisi perubahan di Indonesia yang sering disebut masa

reformasi oleh kelompok-kelompok pembaharu yang terdiri atas

kelompok cendekiawan kampus dan kelompok mahasiswa, dampak

reformasi ini juga membawa agenda perubahan dalam sistem politik dan

pembagian kekuasaan di Indonesia. Beberapa daerah yang awalnya

berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik) kini menuntut adanya

pemerataan pembangunan yang secara radikal didukung oleh gerakan-

gerakan kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin

memisahkan diri dari Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat

aksidental dari eforia reformasi pada awalnya, namun justru menjadi isu

yang sangat sensitif dan mendesak untuk segera diselesaikan. Maka

pada tahun 1999 ditetapkanlah Undang-Undang No. 22 mengenai

otonomi daerah yang berisi tentang peraturan pendistribusian

kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota.

Hal menarik di Indonesia saat ini yang terdiri dari berbagai suku

bangsa telah mengadopsi sistem politik pemerintahan demokrasi5 yang

berasal dari kebanyakan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Model demokrasi seperti ini merupakan wujud dari ide “Trias Politica”

yang dikemukakan oleh Motesqueui dan Jhon Locke dimana pembagian

kekuasaan negara sampai pemerintahan tingkat daerah terbagi kedalam

3 lembaga negara. Miriam Budiardjo (2004, hal: 315) memberikan suatu

penjelasan mengenai tiga lembaga tersebut yakni, Eksekutif (lembaga

5 demokrasi - yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein)

5

Page 6: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

pemerintahan yang melaksanakan undang-undang), Legislatif (lembaga

pembuat Undang-undang/ peraturan), dan Yudikatif (Lembaga

pengawasan, penafsir undang-undang dan pemberi sanksi terhadap

pelanggaran undang-undang). Pada masa Orde Baru, bentuk pembagian

kekuasaan seperti diatas di nilai oleh banyak kalangan hanya menjadi

sekedar jargon belaka tetapi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana

mestinya, sebaliknya pasca reformasi bentuk demokrasi dan pranata

politik yang ada mulai ramai di kaji kembali dan upaya para ilmuwan

sosial maupun praktisi politik untuk menempatkan dan menerapkan

secara benar sistem demokrasi dalam tatanan negara sehingga wujud

dan perannya dapat berfungsi dengan baik.

Besarnya kewenangan di tingkat daerah didukung oleh perubahan

sistem politik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan penerapan konsep

chek and balances kekuatan politik lokal antara legislatif dan eksekutif.

Peran dan fungsi lembaga legislatif daerah (DPRD) menjadi lebih besar

dibandingkan pada masa Orde Baru. Partisipasi politik lokal semakin

meningkat secara signifikan dengan munculnya kepentingan perorangan

maupun kelompok yang bisa dikataan “politisi dadakan” di setiap daerah

dalam ranah politik, kondisi yang dimanfaatkan untuk mencapai

kekuasaan baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna

mendapatkan kursi di parlemen atau legislatif daerah. Mekanisme

mengenai penyelenggara pemerintahan di daerah diatur dalam UU No.

32/2004 tentang Pemerintah Daerah, melalui mekanisme pemilihan

6

Page 7: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

umum dan partai politik para caleg menggalang dukungan untuk duduk

di lembaga legislatif.

Bercermin dari pranata politik dan pembagian kekuasaan yang

ada di daerah saat ini mengingatkan kita tentang sistem politik kerajaan

di Wajo dimasa lalu seperti yang penulis utarakan diawal, dimana

kekuasaan tidak berada di tangan raja secara individu tetapi peran

setiap wanua yang ada di wilayah kerajaan menjadi bagian dalam

pengambilan keputusan politik, baik masalah konflik, perang maupun hal

yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi. Sedangkan budaya politik

sebagai bagian dari mainset individu merupakan wujud dari rangkain-

rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam

kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai

dan norma perilaku. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak

mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya

berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial.

Asumsi awal penulis untuk mencoba menggambarkan dan

berupaya untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas

dengan pola tindakan (dalam praktik politik) dan kekuasaan saat ini. Tak

lepas dari nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang bugis Wajo

dalam ruang lingkup kebudaayannya yang terwarisi secara turun

menurun kemudian tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada

saat ini. Mengungkap berbagai aspek dan nilai budaya lokal6

6 Muhammad Ramli (2008:1) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yakni pappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakan publik.

7

Page 8: Lanskap Budaya Dalam Historitas Politik Bugis (Antropologi Politik)

masyarakat pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan

yang cermat, apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang

dianggap masih dipegang teguh oleh masyarakat serta

mengaktualisasikannya dalam upaya mengatasi dampak perkembangan

zaman. (Muh. Ramli 2008).

Berkaitan dengan itu, fenomena sosial yang sangat aktual dalam

kegiatan politik dewasa ini yang dialami oleh masyarakat pada umumnya

dan masyarakat Bugis pada khususnya adalah berkaitan dengan pranata

politik dan pembagian kekuasaan pemerintahan daerah adalah perilaku

politik sebagai aktor dalam lembaga legislatif daerah (DPRD) misalnya

yang bertanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugas pembuatan

peraturan daerah yang sudah terencana melalui mekanisme yang ada.

Hasil diskusi dengan beberapa rekan-rekan mahasiswa dan kajian

terhadap beberapa tulisan terkait masalah politik dan kekuasaan, serta

masukan dari dosen penasehat akademik memberikan gambaran awal

seperti yang penulis utarakan dalam latar belakang. Dengan tidak hanya

melihat sisi politik dengan formalitasnya dalam tatanan negara, tetapi

penting bagi penulis untuk mengungkapkan sisi-sisi lainnya seperti

tatanan nilai-nilai, perilaku dan budaya yang selalu selalu bertautan

dengan aspek politik. Seperti Mattulada (1995) yang menitikberatkan

pada nilai-nilai budaya, adat istiadat dalam penyelenggaraan negara

pada orang Bugis, Mattulada mencoba memahami kedudukan jalan

pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara.

8