Langkah MEnuju EKonomi Hijau

58

Transcript of Langkah MEnuju EKonomi Hijau

Page 1: Langkah MEnuju EKonomi Hijau
Page 2: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

i

PENGANTAR

Laporan kegiatan koordinasi ini disusun sebagai hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan Koordinasi Deputi

Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup tahun 2011. Laporan ini merupakan kumpulan hasil dari berbagai kegiatan koordinasi baik berupa rapat koordinasi dan diskusi dengan para pakar, yang

melibatkan praktisi dan lembaga perguruan tinggi di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Diskusi diarahkan untuk membicarakan mengenai tindak lanjut pemerintah setelah adanya komitmen

Bapak Presiden untuk penurunan emisi gas rumah kaca yang diikuti dengan disusunnya rencana aksi

penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) yang telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Untuk

melaksanakan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas membentuk Tim Koordinasi Perubahan Iklim

yang beranggotakan kementerian/lembaga terkait dengan pelaksanaan RAN GRK. Untuk pelaksanaan di

tingkat daerah, sedang disusun RAD GRK oleh Pemda Provinsi sesuai mandat Perpres No. 61/2011

tersebut. Untuk membantu Pemda dalam menyusun RAD GRK, Kementerian PPN/Bappenas

mengkoordinasikan penyusunan Pedoman Penyusunan RAD GRK dan melakukan bimbingan dan pelatihan untuk mengawal penyusunan RAD GRK yang dijadualkan selesai pada bulan September 2012.

Sejalan dengan akan selesainya kerangka kerja pelaksanaan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas mulai memikirkan langkah ke depan untuk menyusun konsep Ekonomi Hijau Indonesia. Sehubungan

dengan itu, kegiatan koordinasi kedeputian SDA dan LH diarahkan untuk melakukan eksplorasi dan

pendalaman mengenai ekonomi hijau dan hubungannya dengan pelaksanaan RAN GRK. Pendalaman berbagai bahan dari lembaga internasional dan bahan pustaka lain memberikan gambaran tersendiri

mengenai definisi dan cakupan ekonomi hijau. sementara pengalaman berbagai negara lain menginspirasi

untuk memulai langkah menuju ekonomi hijau. Diskusi dengan para pakar memberikan landasan mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia, terutama terkait dengan akan selesainya

kerangka pelaksaaan RAN GRK. Bahan dari berbagai diskusi tersebut digunakan sebagai masukan untuk

mengembangkan pemikiran mengenai langkah ke depan yang dapat dilakukan dalam rangka menyusun konsep ekonomi hijau. Pemikiran ke depan yang dikonsepkan masih membutuhkan diskusi lebih lanjut,

terutama apabila akan disusun sebagai suatu roadmap pembangunan ekonomi hijau. Namun demikian,

pemikiran dalam laporan ini setidaknya dapat menjadi pijakan untuk menyusun dan merencanakan langkah membentuk ekonomi hijau, yang sekaligus akan menjembatani dengan RAN GRK yang sedang

dalam tahap awal pelaksanaan.

Laporan ini dirasakan masih memiliki berbagai keterbatasan dan akan terus dikembangkan dan

disempurnakan sejalan dengan perkembangan pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK, serta sejalan dengan dapat terukurnya hasil penurunan emisi dalam beberapa tahun ke depan.

Jakarta, Juli 2012

Deputi Bidang SDA dan LH Endah Murniningtyas

Page 3: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

I. Latar Belakang ................................................................................................................. 1

II. Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) ....................................................................... 3

III. Pengalaman Beberapa Negara Dalam Memulai Ekonomi Hijau ..................................... 9

IV. Upaya Mewujudkan Ekonomi Hijau Indonesia ............................................................... 12

4.1 Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ................................................................... 12

4.1.1 Agenda 21 ............................................................................................................... 12 4.1.2 Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG ...................................................... 13

4.1.3 Perkembangan Pengarustamaan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam

Pembangunan .......................................................................................................

16

4.2 Komitmen Penurunan Emisi GRK- Momentum untuk Pembentukan Ekonomi

Rendah Karbon ..........................................................................................................

17

4.2.1 Penjabaran Komitmen Penurunan Emisi GRK ........................................................ 19 4.2.2 Pelaksanaan dan Penjabaran di Tingkat Sektoral .................................................... 22

4.2.3 Pelaksanaan di Tingkat Daerah ............................................................................... 24

4.3 Kebijakan dan Langkah Pendukung untuk Efektivitas RAN GRK .............................. 29

4.3.1 Pengukuran dan Monitoring RAN GRK ................................................................. 29

4.3.2 Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif ........................................ 30 4.3.3 Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumber Daya Manusia ................................. 31

V. Ekonomi Rendah Karbon, Ekonomi Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan ................. 34

5.1 RAN GRK dan Momentum untuk adanya Pengukuran Jasa Lingkungan .................. 37

5.2 Ekonomi Rendah Karbon ............................................................................................ 38

5.3 Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau ...................................................................... 33

5.4 “Closing The Loop” menuju Pembangunan Berkelanjutan ........................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 53

Page 4: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

iii

Page 5: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

I. LATAR BELAKANG

Keberhasilan pembangunan Indonesia. Pembangunan Indonesia sudah

berlangsung secara terencana sejak tahun 1967 yang dikenal dengan pembangunan terencana.

Bappenas atau Dewan Perantjang Pembangunan Nasional pada waktu itu adalah lembaga

yang diberi tugas untuk menyusun rancangan pembangunan nasional untuk memenuhi

tuntutan Trikora terutama terkait dengan tuntutan penurunan harga. Jalan satu-satunya yang

berkelanjutan untuk menurunkan inflasi adalah meningkatkan kapasitas produksi. Pangan

sebagai kebutuhan pokok utama kehidupan adalah sasaran utama. Oleh sebab itu, pemerintah

berupaya keras untuk melakukan langkah-langkah peningkatan produksi pangan. Beberapa

hal yang ditempuh dalam peningkatan produksi pangan adalah mengadopsi teknologi benih

unggul dan membawa teknologi benih tersebut ke tingkat petani produsen melalui penyuluh

pertanian. Langkah ini didukung dengan pendirian pabrik pupuk untuk menopang upaya

peningkatan produksi serta membangun infrastruktur irigasi untuk sawah. Semua langkah

tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras menuju swasembada beras. Segala

langkah tersebut mencapai puncaknya pada saat swasebada beras pertama kali yang terjadi

pada tahun 1984/85.

Langkah-langkah untuk mengamankan dan memenuhi kebutuhan pangan atau

disebut dengan ketahanan pangan, diiringi pula dengan peningkatan pemanfaatan sumberdaya

alam terutama minyak dan gas untuk penyediaan energi bagi pembangunan sekaligus juga

sebagai sumber devisa Negara untuk membiayai kelangsungan kehidupan Negara dan

kesejahteraan masyarakat. Peningkatan industri/sektor ekstraksi sumberdaya alam ini telah

berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi (anggota

OPEC). Selain itu, ekspor pertambangan juga menjadi andalan penghasil devisa Negara.

Dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan, selain dikembangkan industri pendukung

pertanian, juga dikembangkan industri pengganti barang-barang impor untuk menekan inflasi

dan menyediakan kebutuhan barang konsumsi secara berkesinambungan. Pembangunan

ekonomi ini diiringi pula dengan pembangunan kualitas sumberdaya manusia, dengan

melakukan investasi besar-besaran pada bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar dan

bidang kesehatan dengan memperluas layanan kesehatan ke seluruh pelosok tanah air.

Pembangunan yang terlalu berorientasi pada bidang ekonomi dan dampaknya

terhadap lingkungan dan ekosistem. Keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas,

pada akhirnya menimbulkan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya reproduksi

dan melebihi ambang serap alam terhadap limbah/sampah, baik sampah padat, cair maupun

udara. Dalam Country Natural Resources and Environment/CNREA1 (Bappenas, 2007)

dinyatakan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya alam masih terus dilakukan secara

ekstraktif dan dengan cara-cara lama yang kurang ramah lingkungan dan ekosistem, maka di

masa depan Indonesia akan menghadapi 3 (tiga) krisis besar, yaitu (i) krisis air, (ii) krisis

pangan, dan (iii) krisis energi. Krisis-krisis sumber daya alam tersebut sebagai akibat

terjadinya pemanfaatan sumberdaya alam yang sudah melebihi daya regenerasi dan

reproduksi serta daya dukung ekosistemnya.

1 Country Natural Resources and Environment Assessment, Bappenas, 2007

Page 6: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

2

UNEP2 memperkirakan apabila dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam untuk

pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia tetap mengikuti pola seperti tersebut di atas, maka

permintaan energi global pada tahun 2030 akan meningkat sampai dengan 45%. Peningkatan

konsumsi energi tersebut akan diperkirakan juga mengakibatkan dampak pada peningkatan

harga minyak bumi. Sebagai akibat meningkatnya konsumsi energi tersebut, maka emisi gas

rumah kaca diperkirakan akan mencapai 45% dan suhu bumi akan meningkat sampai dengan

6 derajat Celcius. Dampak lain dari peningkatan konsumsi energi juga adalah akan

menyebabkan terjadinya peningkatan harga pangan, rusaknya ekosistem sebagai akibat

hilangnya keanekaragaman hayati yang diperkirakan senilai EUR 50 miliar. Solusi yang

kemudian ditawarkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut adalah pembentukan

ekonomi hijau.

2 John Scanton, UNEP. The Green Economy and International Environmental

Governance. Presentation.

Page 7: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

3

II. KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY)

Pada Oktober 2008, UNEP mencetuskan gagasan mengenai “Green Economy”

dalam rangka mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Gagasan “green economy”

tersebut bertujuan memberikan peluang yang besar bagaimana upaya memanfaatkan konsepsi

“green economy” dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan yang berorientasi

pada aspek lingkungan dan ekosistem. Terkait dengan gagasan konsepsi “green economy”

tersebut, hal ini terdapat dua hal yang ingin dicapai. Pertama, ekonomi hijau mencoba untuk

membuat konsep ekonomi yang bukan hanya sekedar mempertimbangkan masalah makro

ekonomi, khususnya investasi di sektor-sektor yang memproduksi produk ramah lingkungan

maupun produksi barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan (“green investment/investasi

hijau”), namun juga difokuskan pada bagaimana kontribusi investasi hijau tersebut terhadap

produksi barang dan jasa serta dan pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang yang terkait

dengan ramah lingkungan (green job). Kedua, green economy mencoba untuk menyiapkan

panduan pro-poor green investment, atau investasi hijau yang mampu mendorong

pengentasan masalah kemiskinan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong agar para

pembuat kebijakan mampu membuat semua jajaran pemerintahan dan sektor swasta ikut serta

untuk mendukung peningkatan investasi hijau.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsep Green Economy semakin mendapat

perhatian karena hal ini sejalan dengan upaya masyarakat dunia dalam rangka mencari solusi

terhadap berbagai tantangan global yang terjadi saat ini. Namun demikian, perlu ditandaskan

bahwa hubungan antara konsep ekonomi hijau ini dengan konsep yang berkaitan dengan

aspek-aspek lainnya, belum dapat diartikulasikan dengan jelas. Oleh karena itu, hal ini

membuat banyak orang, bahkan dari pencetus konsep ekonomi hijau itu sendiri terus

mempertanyakan apa arti sesungguhnya konsep Green Economy itu. Ketidakjelasan dari

konsep tersebut membawa salah pada pertanyaan apakah konsep ekonomi hijau ini

sebenarnya hanya sebuah alat untuk membatasi ruang gerak negara-negara berkembang untuk

maju dan mengurangi kemiskinan. Ataukah, konsep tersebut hanya merupakan politik

ekonomi dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian global yang masing-masing

negara mempertahankan kepentingan ekonomi negaranya!

Konsep modern Green Economy merupakan konsep yang dikenalkan untuk

melengkapi sekaligus mengembangkan konsep Green Economy yang telah ada dengan aspek

pembahasan yang lebih membatasi pada ekonomi untuk hal-hal yang bersifat ramah

lingkungan (economy to green requirements). Konsep modern dalam perspektif ini Green

Economy tidak hanya memberi penekanan pada berbagai kebijakan standar, seperti

bagaimana menilai lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap aktivitas-

aktivitas yang membahayakan dan berpotensi merusak lingkungan; tetapi yang lebih penting

adalah bagaimana konsep ekonomi hijau tersebut mampu mendorong pelaku ekonomi untuk

memproduksi barang, perdagangan, dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah lingkungan atau

produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan dan lapangan pekerjaan

yang dihasilkan dari Green Economy pada gilirannya diharapkan mampu membuat para

Page 8: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

4

pelaku ekonomi menjadi lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan yang ramah lingkungan.

Perspektif instrumental dari konsep modern ini mengakui bahwa melalui investasi, baik yang

dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dalam hal inovasi, teknologi, infrastruktur, dan

kelembagaan, adalah hal-hal yang dapat mengubah perekonomian atau mencapai perubahan

struktur yang fundamental.

Dengan pengertian tersebut di atas, konsep Green Economy telah mengalami

evolusi dari perpekstif lama yang bersifat regulasi untuk “menghijaukan” kegiatan ekonomi

“coklat” menjadi konsep baru yang lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan pembukaan

lapangan pekerjaan (green jobs) dengan investasi hijau (green investment), produksi,

perdagangan, dan konsumsi. Hal tersebut nantinya akan memberikan kontribusi pada

peningkatan kesadaran lingkungan dan meningkatnya permintaan pasar untuk produk yang

ramah lingkungan serta barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Adanya potensi

permintaan ini mengindikasikan bahwa Green Economy tidak hanya berperan dalam

mengatasi masalah-masalah “coklat”, seperti mengurangi emisi karbon, namun juga dapat

ditekankan pada isu bagaimana memperoleh penghasilan dan terbukanya lapangan pekerjaan

baru. Dengan demikian, Green Economy merupakan suatu alat/sarana yang diharapkan

mampu memberikan tiga keluaran, yaitu 1) adanya sumber-sumber penghasilan serta

lapangan pekerjaan yang baru; 2) emisi karbon yang rendah, mengurangi penggunaan sumber

daya alam, dan mengurangi peningkatan polusi dan limbah; serta 3) memberikan kontribusi

untuk tujuan sosial yang lebih luas melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan,

kesetaraan sosial, dan pengurangan kemiskinan, meskipun tujuan sosial tersebut kadang-

kadang tidak terjadi secara otomatis. Namun, tujuan sosial tersebut memerlukan kebijakan

kelembagaan yang spesifik dan harus melekat pada kegiatan green economy.

Sehubungan dengan itu semua, maka ekonomi hijau secara singkat dicirikan

sebagai: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan

pekerjaan pada sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan

energi/sumberdaya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan

tingkat polusi per GDP yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption).

Selanjutnya, untuk memberikan contoh-contoh riil penerapan konsep ekonomi

hijau, dalam berbagai literatur tentang ekonomi hijau disebutkan paling tidak terdapat 11

(sebelas) sektor yang berkaitan dengan ekonomi hijau, yaitu pertanian, bangunan, perkotaan,

energi, perikanan, kehutanan, industri pengolahan/manufakturing, pariwisata, transportasi,

limbah, dan air. Kesebelas sektor ini sangat penting untuk membentuk atau menentukan

terjadinya ekonomi hijau di suatu negara. Kekeliruan dalam pengembangan di dalam sektor-

sektor ini dan keterkaitan diantaranya akan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan

ekonomi hijau di suatu negara.

Page 9: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

5

Pertanian. Pertanian merupakan sektor memegang peranan penting dalam

membentuk ekonomi hijau, karena dari sektor inilah sumber pangan diproduksi. Sektor

pertanian ini menyerap sebagian besar tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan, baik

secara rata-rata di suatu negara maupun secara global. Dengan demikian, pengelolaan

pertanian yang berkelanjutan (sustainable farming) akan membentuk atau berperan besar

dalam pembentukan ekonomi hijau di suatu negara. Hal lain yang lebih penting lagi, adalah

bahwa komposisi kemiskinan dalam sektor pertanian juga sangat besar, sehingga

pembentukan sustainable farming akan menjadi peluang baru sebagai sarana menurunkan

kemiskinan di sektor pertanian.

Bangunan. Bangunan merupakan bagian penting, karena sektor bangunan

(biuildings) mendominasi dalam konsumsi energi, baik bangunan publik, swasta dan

perkantoran, maupun rumah tangga. Jumlah bangunan dan industri real estate cenderung

tumbuh seiring dengan pertumbuhan populasi dalam suatu negara. Konsumsi lahan dan air

yang perlu disediakan menjadi faktor penentu dari pertumbuhan bangunan. Dengan

demikian, desain bangunan hijau (green buildings) menjadi bagian penting pula dalam

membentuk ekonomi hijau di suatu negara.

Perkotaan. Sejalan dengan pertumbuhan bangunan, maka perkembangan

perkotaan merupakan trend yang terus meningkat di berbagai negara.

Urbanisasi/perkembangan perkotaan di dunia juga menuntut tidak hanya akan kebutuhan

penyediaan lahan, namun juga air dimana apabila tidak direncanakan dengan baik akan

mengganggu kualitas hidup dan kelangsungan kehidupan. Perkembangan perkotaan juga

menuntut adanya peningkatan transportasi, konsumsi energi, dan infrastruktur lainnya. Selain

itu, seiring dengan berkembangnya masyarakat kelas menengah, perkembangan perkotaan

terus dituntut untuk misalnya berbagai kebutuhan konsumsi dan fasilitas perkotaan baik

dalam aspek kualitas maupun kuantitasnya.

Energi. Seiring dengan berkembangnya jumlah populasi dunia, yang lebih dari 7

miliar penduduk, kebutuhan energi baik untuk komoditas konsumsi maupun fasilitas

kehidupan terus semakin bertambah baik dari kuantitas dan kualitasnya. Penyediaan energi

yang terus meningkat, hal ini akan mendorong pencarian dan penggunaan sumber energi dari

berbagai sumber, baik sumber energi yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dengan

demikian, dengan mengetahui jumlah konsumsi energi tersebut hal ini akan dapat

memperkirakan adanya sejauhmana peningkatan emisi dari energi dan dampak lingkungan

lainnya akibat eksploitasi sumberdaya energi, apabila hal tersebut tidak direncanakan dengan

baik.

Page 10: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

6

Perikanan. Sebagai salah satu sumber pangan, peningkatan populasi penduduk

akan menuntut eksploitasi sumberdaya perikanan yang terus meningkat. Kelangsungan

ketersediaan sumberdaya perikanan perlu dijaga dengan baik, baik melalui eksploitasi yang

sesuai pertumbuhan (maximum sustainable yield) maupun menggunakan cara-cara

penangkapan yang lestari, seperti adanya upaya restocking, dan pemeliharaan ekosistem laut.

Terkait dengan ekosistem laut, pengendalian polusi yang berasal dari sungai menjadi sangat

penting untuk menjaga ekosistem laut agar baik kebersihan dan keamanan untuk kehidupan

ikan.

Kehutanan. Dalam kaitan dengan ekonomi hijau, jumlah dan kualitas hutan sangat

penting untuk dipelihara, dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung

fisik lahan serta menjaga biodiversitas yang ada di dalamnya. Hutan sebagai penjaga

sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya menjadi faktor yang

sangat penting untuk menentukan terbentuknya ekonomi hijau, termasuk pembentukan

komoditas karbon untuk “ditransaksikan” di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan

lahan hutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan pemanfaatan kegiatan lainnya perlu

dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten. Potensi hutan selama ini hanya

memfokuskan pada hasil produk kayu dan belum memperhatikan akan manfaat nilai jasa

lingkungan dan nilai biodiversitas yang ada. Padahal, jasa lingkungan dan nilai biodiversitas

dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan baik negara, daerah maupun

masyarakat yang sangat strategis dan bahkan dapat dikembangkan sejalan dengan

pembentukan ekonomi hijau.

Industri pengolahan/manufakturing. Peningkatan populasi dan kebutuhan hidup

baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendorong pertumbuhan industri manufakturing.

Selain hal itu akan meningkatkan kebutuhan bahan baku untuk industri manufakturing

melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada, pertumbuhan industri manufakturing akan

berpotensi menimbulkan polusi apabila tidak dijaga dengan baik melalui prinsip-prinsip

keberlanjutan. Pengembangan industri yang menggunakan sumberdaya alam secara lebih

efisien, termasuk konsumsi energi dan bahkan energi bersih akan sangat berkontribusi pada

pembentukan ekonomi hijau. Dalam kaitan dengan pengembangan industri, potensi yang

besar dari kekayaan biodiversitas dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai bahan baru

dalam pengobatan (bio-farmaka) maupun bahan baru yang lebih mengarah pada produk-

produk yang ramah lingkungan (bio-prospecting). Potensi kekayaan biodivesitas itu dapat

dijadikan sumber pendapatan baru bagi penerimaan negara dengan syarat bahwa pemanfaatan

biodiversitas itu tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui pemeliharaan

sumberdaya alam dan lingkungan ke arah yang lebih baik dan ramah lingkungan.

Page 11: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

7

Pariwisata. Pariwisata selama ini masih terbatas pada pemanfaatan sumber daya

yang terkait dengan kekayaan sight (pemandangan) keindahan alam. Di masa depan,

pariwisata mempunyai banyak peluang untuk dikelola dan ditumbuhkan sebagai komponen

ekonomi hijau. Alam dan ekosistemnya merupakan sumber kekayaan yang akan menjadi

daya tarik tourism, termasuk di dalamnya kekayaan biodiversitas sebagai kekayaan yang unik

dan spesifik lokasi alam. Pola pengelolaan kekayaan alam seperti pariwisata ekologi, wisata

keanekaragaman hayati, dan bahkan wisata ilmiah yang terkait dengan upaya mempelajari

kekayaan keanekaragaman hayati di tempatnya (in-situ) merupakan potensi yang belum

tergali dan dikelola dengan baik.

Transportasi. Transportasi merupakan bidang yang sangat penting untuk dapat

dikelola dengan baik. Jumlah populasi penduduk yang terus berkembang dan tingkat

mobilitas penduduk dalam frekuensi dan jarak yang semakin meningkat memerlukan layanan

transportasi yang besar jumlahnya dan tinggi frekuensinya. Peningkatan kebutuhan konsumsi

masyarakat serta berkembangnya sektor yang memerlukan mobilitas, misalnya pariwisata dan

sektor produksi lain menuntut sistem transportasi yang efisien dan bersih. Peningkatan

frekuensi mobilitas penduduk memerlukan sumberdaya energi yang harus dipersiapkan dalam

menunjang transportasi serta jenis transportasi yang ramah lingkungan. Transportasi harus

dapat dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan kelestarian lingkungan dan ekosistem.

Pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan dapat juga terkait dengan tata kota

dan tata ruang secara lebih luas. Oleh karena itu, pengembangan penataan perkotaan dan

hubungan urban-rural serta antar wilayah perlu dikembangkan secara terpadu dengan

berbagai sektor lain, mengingat transportasi diperlukan hampir di semua sektor penting di

dalam ekonomi hijau.

Limbah. Sejalan dengan perkembangan seluruh kegiatan di dalam sektor-sektor di

atas, hal ini akan berimplikasi pada meningkatnya produksi limbah, baik jumlah maupun jenis

dan kulitas limbah yang dihasilkan. Pengelolaan dan pengaturan pengeluaran limbah perlu

ditetapkan sejak awal pada setiap kegiatan baik ekonomi maupun sosial. Penetapan

pengelolaan dan pengaturan hasil limbah ini akan sangat membantu tidak saja terkait dengan

perhitungan biaya pengelolaannya, namun juga terkait dengan penggunaan sumber alam

secara efisien dan hemat, terutama yang terkait dengan sumberdaya alam yang tidak

terbarukan. Pemanfaatan sumber daya alam secara hemat perlu terus dilakukan mengingat

masa produksi sumber daya alam yang tidak terbarukan memiliki masa yang sangat panjang.

Penggunaan sumberdaya alam (ekstraksi) yang terlalu cepat dan tidak efisien, tidak saja akan

menghasilkan limbah yang besar dan mungkin tidak ramah lingkungan namun juga hal

tersebut akan menghabiskan bahan dalam waktu pendek. Penggunaan sumberdaya alam

tersebut tentu saja tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dan juga tidak sejalan dengan

kaidah pembentukkan ekonomi hijau secara baik.

Air. Alam yang menjadi penghasil sekaligus tempat membuang air perlu dijaga

keseimbangannya. Hutan sebagai sumber mata air perlu dijaga agar hutan mampu

menghasilkan jumlah air dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Perkembangan

populasi penduduk dan konsumsi air perlu didukung dengan adanya pemeliharaan

sumber/mata air alam yang baik. Sementara itu, kebutuhan akan ruang cenderung

Page 12: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

8

menghilangkan sumber mata air dan daerah resapan air dimana kedua lokasi tersebut yang

bisa dianggap sebagai tempat yang mampu menjaga siklus air agar dapat terpelihara secara

seimbang sepanjang waktu dan sepanjang tempat (space). Untuk itu, penataan ruang dan

penjagaan keseimbangan fisik muka lahan perlu diperhitungkan dan dijaga dengan baik, agar

alam tetap menghasilkan air dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan. Selain itu, alam

juga memiliki kemampuan untuk mendaur ulang atau menjaga siklus air sehingga jumlah air

yang dihasilkan dapat dijaga secara antar waktu dan antar tempat. Sehubungan dengan itu,

keseimbangan keberadaan dan eksistensi kesebelas sektor di atas termasuk air, yang menjadi

penyedia air, pengkonsumsi air, dan berpotensi sebagai pencemar air, sangat penting untuk

membentuk dan menyambungkan adanya ekonomi hijau yang lestari.

Uraian di atas menggambarkan pentingnya masing-masing sektor untuk

pembentukan atau pengembangan ekonomi hijau. Hal yang lebih penting lagi adalah

keterpaduan seluruh sektor tersebut untuk membentuk keseimbangan terhadap alam dan

ekosistem serta keberlanjutan fungsinya. Selanjutnya untu mengelola dan mengembangkan

potensi yang timbul dari semua sektor dibutuhkannya adanya profesi atau keahlian baru

profesi hijau (green jobs) di semua sektor tersebut. Dari sisi makro, banyaknya kesempatan

baru tersebut juga memungkinkan timbulnya sumber pendapatan baru yang berasal dari

perluasan sektor atau kegiatan dalam sektor yang selama ini belum ada, baik bagi masyarakat

dan negara.

Page 13: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

9

III. PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM MEMULAI EKONOMI

HIJAU

Dengan masih “kenyalnya” definisi ekonomi hijau, sampai saat ini belum ada satu

negarapun yang secara komprehensif telah menerapkan konsep ekonomi hijau. Meskipun

demikian, beberapa negara sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk “menghijaukan”

pembangunan di berbagai bidang, seperti di Cina, Kenya, India dan terakhir adalah Korea

Selatan.

Cina memulai pembentukan ekonomi hijau melalui pengembangan renewable

energy. Pada akhir tahun 2005, Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang renewable

energy sebagai kerangka utama untuk pembangunan sektor berkelanjutan. Pemerintah Cina

menawarkan insentif keuangan untuk mendukung terbentuknya proyek renewable energy,

khususnya energi dari tenaga angin dan tenaga surya/matahari. Dukungan lain yang

diberikan oleh Pemerintah Cina adalah melalui pembentukan joint venture dan keharusan

menggunakan mesin tenaga angin produksi dalam negeri. Pendanaan khusus disediakan

untuk penelitian serta penyediaan dana untuk renewable energy diberikan (renewable energy

fund) untuk subsidi bunga dan pengurangan pajak atas pengembangan renewable energy.

Selain itu, penyedia energi grid diharuskan membeli dari produsen renewable energy yang

sudah terdaftar. Sebagai hasil dari kebijakan ini, Cina telah berhasil mengembangkan industri

renewable energy senilai 17 milyar dollar Amerika dan menambah kesempatan kerja

sebanyak 1,5 juta orang di industri energi tenaga biomassa dan tenaga angin. Untuk tahun

2009 saja jumlah kesempatan kerja baru dari ketiga industri tersebut adalah sebesar 300 ribu

orang.

Kenya. Pemerintah Kenya yang semula sangat tergantung pada sumber energi

minyak bumi yang diimpor dan biomasa akhir-akhir ini, berusaha keras untuk

mengembangkan renewable energy. Pada tahun 2008, Pemerintah Kenya menerapkan Feed-

in Tariff (FIT) yang mengharuskan perusahaan energi yang menyediakan energi dengan

sistem grid membeli sumber daya listrik dari produsen renewable energy pada harga yang

ditetapkan. Dengan cara ini, produsen listrik akan mendapatkan harga yang pasti dan

penyedia untuk produsen renewable energy juga mendapatkan harga yang pasti dan dapat

menutupi biaya produksinya. Pengembangan FIT ini bermanfaat untuk: (i) memfasilitasi

adanya jaminan investasi dan stabilitas pasar untuk investor; (ii) menurunkan biaya transaksi

dan proses tender yang panjang; (iii) mendorong produsen energi untuk merencanakan

pengembangan energi secara hati-hati dan efisien. Fasilitas ini disediakan dalam jangka

waktu 20 tahun dalam rangka memberikan kelonggaran waktu yang cukup untuk

pengembangan renewable energy di Kenya.

Brazil. Kota Curitiba, salah satu ibukota negara bagian di Brazil melakukan

pengembangan ekonomi hijau yang dimulai melalui pengelolaan tata kota dan sistem

transportasi perkotaan. Penataan kota dimulai dengan kombinasi pengaturan zona

pemanfaatan ruang dan pengelolaan transportasi dilaksanakan dengan cara melalui

Page 14: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

10

menjauhkan tempat permukiman dari pusat kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang terkena

banjir juga dialihkan menjadi daerah hijau, dalam rangka menjaga keseimbangan antara

kepadatan dan jasa lingkungan hijau. Prinsip penataan kota yang dituju adalah perencanaan

yang “pintar” agar dapat menghemat biaya di kemudian hari, meningkatkan efisiensi,

produktivitas dan kualitas hidup masyarakat di perkotaan.

India. India kegiatan ekonomi hijau dimulai dengan melakukan investasi

infrastruktur perdesaan secara ekologis. Yang dimaksud dengan ekonomi hijau adalah

memperkuat pengelolaan sumberdaya alam di perdesaan, dengan membiayai kegiatan

infrastruktur untuk mengatasi masalah kekeringan dan erosi melalui upaya konservasi

ekosistem sumberdaya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Ketersediaan air dan konservasi sumberdaya air sangat penting bagi kehidupan perdesaan dan

perkotaan serta mengamankan ketahanan pangan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2008 telah

dilakukan sebanyak 850 ribu kegiatan infrastruktur sumberdaya air dan diperkirakan dapat

melestarikan 5 juta liter air dan meningkatkan 25 persen kesempatan kerja di perdesaan.

Green Growth Korea. Pendekatan yang lebih konkrit dalam menentukan kegiatan

ekonomi hijau di Korea pelaksanaannya dilakukan dengan dukungan dari Green Growth

Institute. Korea mencanangkan komitmen untuk membentuk green growth melalui Low

Carbon, Green Growth sebagaimana telah ditetapkan dalam visi nasional pada Agustus 2008.

Melalui low carbon green ini Korea ingin tetap melakukan pertumbuhan ekonomi dan

sekaligus menangani perubahan iklim. Langkah yang dilakukan oleh Korea adalah menyusun

Basic Act on Green Growth sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahunan dan

akan mengalokasikan 2 (dua) persen dari GDP setiap tahun untuk penerapan green growth.

Selain tekad tersebut di atas, Korea Selatan juga melakukan penyadaran (awareness) ke

seluruh lapisan masyarakat dan menyediakan insentif dan disinsentif melalui kebijakan

carbon pricing dan tax.

Indonesia. Di Indonesia sudah banyak langkah konkrit yang dilakukan oleh

berbagai sektor untuk mendukung pelaksanaan ekonomi hijau. Berbagai kegiatan dalam

bidang pertanian, misalnya metoda pertanaman hemat air (System Rice Intensification/SRI),

pengelolaan limbah ternak untuk biogas dan pupuk organik, pemanfaatan limbah perkebunan

untuk pupuk organik serta pemanfaatan minyak sawit untuk biosolar sudah dilakukan. Selain

itu, penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dan publik

melalui pengembangan mikro-hidro skala masyarakat, serta penggunaan listrik tenaga surya

untuk rumah tangga maupun lampu jalan sudah diterapkan di berbagai daerah. Penggunaan

gas sebagai langkah mendukung gerakan ekonomi hijau untuk kendaraan umum juga sudah

dimulai.

Page 15: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

11

Langkah secara terpadu dalam menerapkan ekonomi hijau, mulai dilakukan dengan

dikenalkannya Komitmen Presiden dalam rangka menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen

pada tahun 2020, dari business as usual saat ini. Komitmen tersebut kemudian dijabarkan ke

dalam Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK sebagaimana telah diterbitkan pada bulan

September tahun 2011. Saat ini, Rencana Aksi ini sedang disosialisasikan ke daerah-daerah

dalam rangka mendorong tersusunnya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. RAD

GRK diharapkan akan selesai pada akhir tahun2012, dan diharapkan kerangka pelaksanaan

penurunan emisi GRK dari pusat sampai ke daerah juga sudah tersedia. Dengan adanya RAD

GRK ini, kegiatan-kegiatan yang sudah dimulai di berbagai sekor tersebut di atas, akan dapat

dilakukan secara lebih terstruktur dan terpadu dalam rangka membentuk kegiatan rendah

emisi (karbon).

Page 16: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

12

IV. UPAYA MEWUJUDKAN EKONOMI HIJAU INDONESIA

4.1. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Indonesia telah mempertimbangkan tentang pentingnya pembangunan

berkelanjutan sejak diperkenalkannya pembangunan berkelanjutan pada tahun 1972. Sejalan

dengan itu dan sejalan dengan dimulainya dengan KTT Bumi di Rio tahun 1992, pada tahun

1997 Indonesia sudah menyusun Dokumen Agenda 21 Indonesia. Penyusunan dokumen ini

didasari oleh kesadaran akan pentingnya menyeimbangkan antara pembangunan lingkungan,

ekonomi, dan sosial sebagai satu kesatuan. Agenda 21 juga menyusun rencana pelaksanaan

untuk menyatukan pembangunan lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam satu paket terpadu

untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

4.1.1. Agenda 21

Agenda 21 Indonesia terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:

a. Bagian I: Pelayanan masyarakat (community services), yang terdiri dari 6 (enam)

Bab, yaitu: Bab 1 tentang Pengentasan Kemiskinan; Bab 2 tentang Perubahan Pola

Konsumsi; Bab 3 tentang Dinamika Kependudukan; Bab 4 tentang Pengelolaan dan

Peningkatan Kesehatan; Bab 5 tentang Pengembangan Perumahan dan Pemukiman;

dan Bab 6 tentang Sistem Perdagangan Global, Instrumen Ekonomi, serta Neraca

Ekonomi dan Lingkungan Terpadu.

b. Bagian II adalah: Pengelolaan Limbah, yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu: Bab

(7) Perlindungan Atmosfir; Bab (8) Pengelolaan Bahan Kimia Beracun; Bab (9)

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; Bab (10) Pengelolaan Limbah

Radioaktif ; dan Bab (11) Pengelolaan Limbah Padat dan Cair.

c. Bagian III tentang Pengelolaan Sumber Daya Tanah, yang terdiri dari 4 (empat)

Bab, yaitu: Bab (12) Perencanaan Sumber Daya Tanah; Bab (13) Pengelolaan

Hutan; dan Bab (14) Pengembangan Pertanian dan Pedesaan; dan Bab (15)

Pengelolaan Sumber Daya air.

d. Bagian IV: Pengelolaan Sumber Daya Alam, dibagi ke dalam 3 (tiga) Bab, yaitu

Bab (16) Konservasi Keanekaragaman Hayati; Bab (17) Pengembangan Teknologi;

dan Bab (18) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan.

Pelayanan Masyarakat pada dasarnya menjabarkan tentang pelayanan dasar

kepada masyarakat yang perlu diwujudkan kepada masyarakat sebagai bagian dari hak dasar

mereka. Unsur-unsur di dalam pelayanan dasar ini merupakan pencerminan dari prinsip-

prinsip sosial ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangan

Page 17: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

13

selanjutnya, butir-butir pelayanan dasar ini menjadi indikator dalam Pembangunan Milenium

(Millenium Development Goals).

Bagian kedua dari Agenda 21 adalah Pengelolaan Limbah yang terdiri dari

perlindungan atmofir, pengelolaan limbah kimia beracun, pengelolaan limbah padat dan cair.

Pengelolaan limbah-limbah yang dilakukan dengan baik akan dapat menjaga kebersihan dan

kelestarian lingkungan, dalam rangka lingkungan dengan ekosistemnya dalam mendukung

kehidupan kita semua. Pengelolaan limbah ini dalam tataran pelaksanaannya dituangkan ke

dalam peraturan lingkungan hidup yang sudah diperbarui beberapa kali dan yang terakhir

adalah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.

Bagian ketiga adalah Pengelolaan Sumber Daya Tanah yang mengatur tentang

Perencanaan Sumber Daya Tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan

perdesaan serta pengelolaan sumber daya air. Bab ini selain berkaitan erat dengan Bab yang

kedua, juga pembahasan dalam rangka mengendalikan secara seimbang tentang pengelolaan

tanah baik dari sisi kuantitas dan ruang (space) untuk berbagai penggunaan dan sisi kualitas

tanah yang terutama dalam kaitannya untuk menjaga sumber mata air dan ruang reasapan air

yang sangat menentukan keberlanjutan ketersediaan air bagi kelangusngan kehidupan di

muka bumi.

Bagian keempat adalah tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mencakup

tentang konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan sumber kehidupan penting baik

pada saat ini maupun saat mendatang; pengembangan teknologi yang perlu memperhatikan

aspek ramah lingkungan dan menjaga efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, terutama

yang tidak terbarukan; serta arah untuk mengatur pengelolaan pesisir dan lautan secara

terpadu. Keempat bagian ini merupakan cikal bakal dan dasar untuk mengarahkan

pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk

kelangsungan kehidupan saat ini dan keberlanjutan hidup ke depan.

4.1.2. Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG

Melihat komponen di dalam Agenda 21, Rencana Pembangunan Nasional yang

dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan setiap

tahunnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan dan ke dalam Undang-undang

APBN sudah memuat komponen-komponen tersebut. Demikian pula ketiga pilar ekonomi,

sosial dan lingkungan hidup juga sudah tercantum di dalamnya. Namun demikian,

pelaksanaan ketiga komponen tersebut belum seimbang dan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan yang ada belum terinternalisasikan ke dalam setiap pilar dengan baik. Hal ini

selanjutnya berpengaruh di dalam hasil dan dampak pembangunan meskipun Indonesia telah

berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan meningkat. Pada saat yang

bersamaan tersebut hasil pertumbuhan ekonomi juga telah menimbulkan banyak

permasalahan lingkungan. Namun demikian, Indonesia juga mencatat perkembangan yang

signifikan dalam berbagai komponen yang digariskan di dalam Agenda 21.

Page 18: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

14

Pelayanan Dasar telah tercermin dalam indikator MDG. Indonesia melaksanakan

pembangunan sosial khususnya pelayanan dasar dengan sangat serius. Pembangunan sektor

pendidikan dan kesehatan serta keluarga berencana, yang telah dimulai sejak Pembangunan

secara terencana (dalam era Orde Baru), telah berhasil membangun infrastruktur pendidikan

dan kesehatan secara meluas melalui pembangunan SD Inpres dan penempatan Guru Inpres

serta pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter Inpres di seluruh pelosok tanah air.

Demikian pula pembangunan keluarga berencana yang tidak hanya mencanangkan pada

pelayanan kesehatan keluarga namun juga mensosialisasikan “2 (dua) anak cukup” dalam

setiap keluarga, telah cukup berhasil menempatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan

keluarga sebagai prioritas dalam pembangunan keluarga sejahtera. Hasil dari pelaksanaan

program yang sudah dimulai dan terus dilaksanakan secara konsisten dalam setiap tahap

rencana pembangunan telah mencapai banyak keberhasilan. Dengan langkah konsisten ini,

maka Indonesia pada tahun 2000 termasuk salah satu negara yang menyetujui disepakatinya

MDG, yang mengglobalkan pembangunan nasional menjadi agenda global.

Sejak deklarasi MDG tersebut, Indonesia telah pula mengarusutamakan indikator MDG ke

dalam rencana pembangunan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan yang

sekaligus menyelesaikan agenda pembangunan MDG dan kemajuan pencapaian MDG adalah

bagian dari pencapaian pembangunan nasional, yang kemajuannya dapat dilaporkan setiap

tahun. Dalam laporan MDG pada tahun 2010, Indonesia telah mencapai sasaran MDG1

kemiskinan USD1/kapita. MDG3 kesetaraan jender dan MDG 6 prevalensi TB akan dicapai

sebelum tahun 2015. Selanjutnya, sasaran MDG yang on track dan akan dapat dicapai pada

tahun 2015 adalah MDG 1 prevalensi balita kekurangan gizi, MDG 2 APM pendidikan dasar

dan tingkat melek huruf, MDG 3, MDG 4, dan MDG 8. Sementara itu, beberapa sasaran

yang akan tercapai namun masih memerlukan kerja keras adalah sasaran MDG 1 - target

pengurangan kemiskinan dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional; MDG 5 -

Angka kematian ibu; MDG 6 - Jumlah penderita HIV/AIDS yang meningkat, khususnya di

antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks; MDG 7 - Indonesia

memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Pencapaian sasaran MDG Tahun 2010

No Target MDG Status 2010

I TELAH TERCAPAI SEBELUM 2015

1

MDG 1 - Proporsi

penduduk yang hidup

dengan pendapatan

per kapita kurang dari

USD 1 per hari

Telah menurun dari 20,6 persen pada tahun 1990

menjadi 5,9 persen pada tahun 2008.

Page 19: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

15

2

MDG 3 - Kesetaraan

gender dalam semua

jenis dan jenjang

pendidikan

Telah hampir tercapai, yang ditunjukkan oleh:

Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan

terhadap laki-laki di SD/MI/Paket A dan

SMP/MTs/Paket B berturut-turut sebesar 99,73 dan

101,99, dan

Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-

laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 99,85

pada tahun 2009.

3 MDG 6 - Prevalensi

tuberkulosis

Menurun dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus

per 100.000 penduduk pada tahun tahun 2009.

II ON TRACK DAN AKAN TERCAPAI TAHUN 2015

1 MDG 1 - Prevalensi

balita kekurangan gizi

Telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 persen

pada tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007.

Target 2015 sebesar 15,5 persen diperkirakan akan

tercapai.

2

MDG 2 - Angka

partisipasi murni

untuk pendidikan

dasar

Mendekati 100 persen dan tingkat melek huruf

penduduk melebihi 99,47 persen pada 2009.

3

MDG 3 - Rasio APM

perempuan terhadap

laki-laki di

SMA/MA/Paket C

dan pendidikan tinggi

Pada tahun 2009 berturut-turut 96,16 dan 102,95.

Dengan demikian maka target 2015 sebesar 100

diperkirakan akan tercapai.

4

MDG 4 - Angka

kematian balita telah

menurun dari 97 per

1.000 kelahiran

Pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada

tahun 2007 dan diperkirakan target 32 per 1.000

kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai.

5

MDG 8 - Indonesia

telah berhasil

mengembangkan

perdagangan serta

sistem keuangan yang

terbuka,

Ditunjukkan dengan adanya kecenderungan positif

dalam indikator yang berhubungan dengan

perdagangan dan sistem perbankan nasional. Kemajuan

signifikan telah dicapai dalam mengurangi rasio

pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 24,6 persen

pada 1996 menjadi 10,9 persen pada 2009. Debt

Service Ratio juga telah berkurang dari 51 persen pada

tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009.

III TERCAPAI TAHUN 2015 DENGAN KERJA KERAS

1

MDG 1 – target

pengurangan

kemiskinan dengan

ukuran garis

kemiskinan nasional

Dengan ukuran target pengurangan kemiskinan

nasional dari 13,33 persen (2010) menjadi 8-10 persen

pada tahun 2014.

Page 20: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

16

2 MDG 5 - Angka

kematian ibu

Menurun dari 390 tahun 1991 menjadi 228 per 100.000

kelahiran hidup pada tahun 2007. Diperlukan upaya

keras untuk mencapai target pada tahun 2015 sebesar

102 per 100.000 kelahiran hidup.

3 MDG 6 – HIV/AIDS

Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat, khususnya di

antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik

dan pekerja seks.

4 MDG 7 –

Lingkungan Hidup

Tingkat emisi gas rumah kaca masih tinggi, namun

tetap berkomitmen untuk meningkatkan tutupan

hutan, memberantas pembalakan liar.

Dengan adanya RAN GRK ditargetkan untuk

mengurangi emisi karbon dioksida paling sedikit

26 persen selama 20 tahun ke depan.

Saat ini hanya 47,73 persen rumah tangga yang

memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum

layak dan 51,19 persen yang memiliki akses

sanitasi yang layak.

Diperlukan perhatian khusus, untuk mencapai

target MDG pada tahun 2015.

Sumber: LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM

INDONESIA 2010, Kementerian PPN/Bappenas, 2010

4.1.3. Perkembangan Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan ke Dalam

Pembangunan

Upaya untuk menginternalisasikan prinsip pembangunan berkelanjutan masih terus

dilakukan. Setelah era desentralisasi, pembangunan berkelanjutan secara konkrit

dicantumkan dalam RPJPN 2005-2025 sebagai salah satu misi pembangunan jangka panjang.

Rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025 menggariskan visi

pembangunan Indonesia adalah Indonesia mandiri, maju, adil, dan makmur. Kondisi yang

digambarkan dalam visi ini dicirikan oleh tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan, dan

kemakmuran yang ingin dicapai. Pembangunan sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan

haruslah merupakan upaya membangun kemandirian. Dalam satu dari 8 (delapan) misi

pembangunan untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam visi tersebut terutama terkait

dengan pembangunan berkelanjutan adalah visi ke-6 yaitu: Indonesia Asri dan Lestari. Misi

ini akan ditempuh dengan:

“Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu: (i) memperbaiki pengelolaan

pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara

pemanfaatan, keberlanjutan; (ii) keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan

dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang yang

Page 21: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

17

serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya

konservasi, meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan

Iingkungan yang berkesinambungan; (iii) memperbaiki pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan

keindahan dan kenyamanan kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan

pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan”.

Misi “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari” tersebut selanjutnya secara bertahap

dijabarkan ke dalam RPJPM 2010-2014 dalam bentuk program pengarustamaan

(mainstreaming) pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksudkan dengan Mainstreaming

pembangunan berkelanjutan dimaksudkan bahwa rencana pemabngunan di setiap bidang

harus menganut prinsip-prinsip berkelanjutan. Pada saat ini belum dikembangkan outcome

yang dihasilkan dalam mainstreaming pembangunan berkelanjutan tersebut dan perlu terus

diupayakan agar dapat diketahui dan diukur sejauh mana mainstreaming tersebut sudah

diterapkan dalam bidang-bidang pembangunan yang ada. Penuangan lebih konkrit lagi

adalah melalui program lintas bidang perubahan iklim. Perubahan iklim dinilai merupakan

tantangan besar dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dan setiap bidang pembangunan

diharapkan memiliki program-program yang mendukung dan melaksanakan pengendalian

dampak perubahan iklim tersebut. Oleh sebab itu, agar dapat dilakukan koordinasi yang jelas

dan konkrit, maka dalam RPJPM 2010-2014 perubahan iklim ditetapkan sebagai program

lintas bidang. Hal ini berarti setiap bidang yang terkait dengan kegiatan mitigasi dan adaptasi

wajib mencantumkan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan perubahan iklim.

4.2. KOMITMEN PENURUNAN EMISI GRK – MOMENTUM UNTUK

PEMBENTUKAN EKONOMI RENDAH KARBON

Sejalan dengan pertemuan UNFCC COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia sebagai

tuan rumah pertemuan tersebut, telah berhasil memfasilitasi tersusunnya Bali Roadmap,

sebagai komitmen pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Di dalam pertemuan

UNFCC COP tersebut, Indonesia sudah menyusun suatu country natural resources and

environment assessment (CNREA) sebagai langkah awal untuk mendeteksi kondisi sumber

daya alam dan lingkungan hidup terkait dengan upaya menyongsong meningkatnya isu

perubahan iklim.

Sesuai hasil pertemuan UNFCC COP tersebut dan menyadari pentingnya suatu

negara melakukan langkah-langkah konkrit dalam mengatasi masalah dan mengendalikan

dampak perubahan iklim, maka Indonesia menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi

GRK yang menjadi penyebab pemanasan global dan yang mengakibatkan adanya perubahan

iklim. Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam pertemuan G-20 di Pitsburg tahun 2009,

Indonesia mengumumkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan upaya sendiri

dan 41% dengan dukungan masyarakat internasional. Target ini disampaikan untuk

Page 22: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

18

menunjukkan bahwa secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan

kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas

yang menjadi penyebab pemanasan global.

Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). ICCSR dipublikasikan

oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR

diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat untuk

mengarusutamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor

pembangunan. Dokumen ICCSR bertujuan untuk menjabarkan dan menjaga

keterkaitan antara target nasional, target sektoral, capaian dan prioritas aksi adaptasi

dan mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup ICCSR merupakan kombinasi roadmap

untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa pedoman pokok terkait mitigasi

emisi gas rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR setidaknya meliputi 5 (lima)

hal:(i) Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015; (ii)

Penyediaan panduan kebijakan u ntuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi

skenario business as usual sebesar 26% pada tahun 2020 yang menggunakan sumber

daya nasional serta 41% dengan dukungan internasional; (iii) Implementasi mitigasi yang

mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025; (iv) Peningkatan energi

alternatif; dan (v) Adopsi low-carbon development bagi seluruh sektor yang berkontribusi

terhadap emisi gas rumah kaca. Secara konsepsual peta jalan untuk mengadopsi usaha

mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi: (i)

Penentuan sektor mitigasi; (ii) Penguatan basis ilmiah; (iii) Status emisi (inventory); (iv)

Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca; (v) Rekomendasi strategi mitigasi; dan (vi)

Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.

Penyusunan prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai

inventori emisi. Selain itu, ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin

untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun

internasional. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi

atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan. Dalam

pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke

dalam tiga kategori sebagai berikut: (i) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap

sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam 3 ( tiga) kategori: (i) Kategori

1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan; (ii) Kategori 2 Perencanaan dan

Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi; dan (iii) Kategori 3 Implementasi,

Kontrol, dan Evaluasi. Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di

dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi

kegiatan, serta waktu pelaksanaan. Kerangka waktu pelaksanaan yang disusun terbagi ke

dalam kurun waktu 2010 – 2029.

“Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate

Change. Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan

Nasional. Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral

yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen

Page 23: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

19

perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan

melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 –

2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program

adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan sistem perencanaan pembangunan, 2)

menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral atas perubahan iklim di dalam kerangka

pembangunan berkelanjutan, 3) memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi

untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan 4)

memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim.

4.2.1. Penjabaran komitmen penurunan emisi GRK.

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK adalah dokumen kerja yang menjadi pedoman Pemerintah, Pemerintah Daerah,

masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara

langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-

2020 sesuai dengan komitmen Bapak Presiden (Gambar 1). RAN GRK merupakan acuan

utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam

perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca.

Prinsip Dasar pelaksanaan RAN GRK adalah bahwa penurunan emisi GRK; (i) Tidak

menghambat pertumbuhan ekonomi; (ii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui

pembangunan yang berkelanjutan; dan (iii) Perlindungan terhadap masyarakat miskin dan

rentan. Isi pokok dari RAN GRK adalah: (i) membagi target sasaran penurunan emisi

sebesar 26% dan 41% ke dalam 5 (lima) sektor utama; (ii) mengidentifikasi strategi dan

program dan kegiatan pemerintah yang dapat digunakan untuk menurunkan emisi GRK.

Program dan kegiatan ini ada di dalam RPJM dan perlu dituangkan ke dalam RKP termasuk

penganggarannya setiap tahunnya, yang akan dilaksanakan oleh K/L.

Gambar 1. Komitmen Presiden mengenai RAN GRK

Page 24: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

20

Untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan RAN GRK,

Pemerintah menerbitkan dalam Peraturan Presiden dan telah ditandatangani pada tanggal 20

September 2011 menjadi Perpres No.61 tahun 2011, tentang Penurunan Emisi Gas Rumah

Kaca telah. Upaya penetapan landasan hukum ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah

tersebut secara serius dijabarkan dalam aksi nyata. Substansi dan kriteria kegiatan yang ada di

dalam RAN GRK adalah: (i) Terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional dan ter-

update secara rutin; (ii) Kegiatan Inti yang mencakup 5 (lima) bidang untuk penurunan

emisi. Kegiatan tersebut menghasilkan penurunan emisi GRK dengan biaya satuan termurah

dan terintegrasi dalam rangka mencapai sasaran prioritas pembangunan (co-benefit); (iii)

Kegiatan pendukung dilakukan untuk mendukung kegiatan inti (secara tidak langsung

menurunkan emisi) melalui penguatan kerangka kebijakan, peningkatan kapasitas manusia

dan kelembagaan, sosialisasi, penelitian, dan kegiatan lain yang mempunyai andil

menurunkan emisi; (iv) Disusun berdasarkan kegiatan yang sudah ada, dan memiliki manfaat

tambahan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (kegiatan-kegiatan pembangunan yang

rendah karbon); dan (v) Dalam bidang kehutanan dan lahan gambut ditempuh melalui

kegiatan-kegiatan pencegahan deforestasi, degradasi hutan, konservasi, serta kegiatan-

kegiatan lainnya.

Gambar 2: Target Penurunan Tingkat Emisi Sektoral

Kebijakan dan strategi yang tertuang di dalam RAN GRK untuk kelima sektor utama

dapat dijabarkan sebagai berikut. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut. Langkah

kebijakan sektor kehutanan dan lahan gambut terkait penurunan emisi gas rumah kaca dapat

ditempuh melalui: (i) Penurunan emisi GRK sekaligus meningkatkan kenyamanan

Page 25: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

21

lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, dan menambah pendapatan

masyarakat serta negara; (ii) Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa; (iii)

Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada); (iv)

Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi

serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.

Strategi yang dilakukan sektor kehutanan dan lahan gambut melalui: (i) menekan laju

deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK; (ii) Meningkatkan

penanaman hutan dan tumbuhan untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) Meningkatkan

upaya pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan

Sustainable Forest Management; (iv) Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok

pembagi, serta menstabilkan elevasi muka air pada jaringan tata air rawa; (v)

Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi; (vi)

Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK

serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.

Sektor Pertanian. Langkah kebijakan sektor pertanian dapat ditempuh melalui: (i)

Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dan Peningkatan Produksi Pertanian dengan emisi

GRK yang rendah; dan (ii) Peningkatan fungsi dan pemeliharaan sistem irigasi. Strategi

dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca di sektor pertanian dilakukan dengan: (i)

Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air; (ii) Menerapkan teknologi pengelolaan

lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2

secara optimal; dan (iii) Menstabilkan elevasi muka air dan memperlancar sirkulasi air pada

jaringan irigasi.

Sektor Energi dan Transportasi. Langkah kebijakan sektor energi dan

transportasi dapat ditempuh melalui: (i) Peningkatan penghematan energi; (ii) Penggunaan

bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching); (iii) Peningkatan penggunaan energi baru dan

terbarukan (EBT); (iv) Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik dan

sarana transportasi; dan (iv) Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi,

berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Strategi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di

sektor energi dan transportasi dilakukan dengan: (i) Menghemat penggunaan energi final baik

melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi

energi tak terbarukan (fosil); (ii) Mendorong pemanfaatan energi baru tak terbarukan skala

kecil dan menengah; (iii) (Avoid) – mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah

perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan dan mengurangi

perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu; (ii) (Shift) – menggeser pola penggunaan

kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola

transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, dan

transportasi air; (iii) (Improve) – meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran

karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.

Sektor Industri. Langkah kebijakan sektor industri ditempuh dengan upaya

peningkatan pertumbuhan industri dengan mengoptimalkan pemakaian energi. Strategi dalam

Page 26: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

22

rangka penurunan emisi gas rumah kaca sektor industri ini dilakukan dengan: Melaksanakan

audit energi khususnya pada industri-industri yang padat energi dan Memberikan insentif

pada program efisiensi energi.

Sektor Limbah. Langkah kebijakan yang diambil dalam rangka penurunan emisi

gas rumah kaca adalah dengan peningkatan pengelolaan sampah dan air limbah domestik.

Strategi yang akan dilakukan di sektor limbah ini mencakup: (i) Meningkatkan kapasitas

kelembagaan dan peraturan di daerah; (ii) Meningkatkan pengelolaan air limbah di perkotaan;

(iii) Mengurangi timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle); (iv) Memperbaiki

proses pengelolaan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); (v) Meningkatkan

pembangunan/ rehabilitasi TPA; dan (vi) Memanfaatkan limbah/sampah menjadi produksi

energi yang ramah lingkungan.

Penentuan program sektoral dan anggaran untuk mencapai sasaran skenario

(BAU atau dengan kerjasama). Secara lengkap deskripsi dari langkah-langkah kebijakan,

strategi, anggaran, dan kerjasama dengan berbagai pihak tertuang di dalam Perpres No.

61/2011 tentang RAN GRK.

4.2.2. Pelaksanaan dan penjabaran di tingkat sektoral.

Dengan adanya penjabaran alokasi target ke setiap 5 (lima) sektor utama dan

identifikasi program dan kegiatan yang berkontribusi dalam menurunkan emisi GRK, maka

pelaksanaan di masing-masing sektor memiliki tujuan sasaran serta peran pemerintah yang

jelas untuk mendorong pelaku usaha dan masyarakat di sektor masing-masing. Untuk itu, di

setiap sektor perlu disusun kebijakan lebih lanjut tentang bagaimana masing-masing K/L

sektor menyediakan fasilitasi baik berupa regulasi (standar, ukuran, dan kriteria) dan juga

berupa insentif dan disinsentif serta mekanisme apabila diperlukan penanggung jawab untuk

masayarakat dan swasta (Gambar 3).

Gambar 3: Rencana Aksi Sektoral

Page 27: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

23

Sebagai contoh, untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, telah disusun Strategi

Nasional REDD+ dimana penyusunan draft awalnya dilakukan oleh Kementerian

PPN/Bappenas bersama-sama dengan K/L terkait. Strategi nasional tersebut pada saat ini

sedang dalam tahap finalisasi oleh Satgas REDD+ yang nantinya akan dijadikan sebagai

landasan untuk pelaksanaan REDD+ dan pembentukan Lembaga REDD+ Nasional (Gambar

4).

Gambar 4: Implementasi Nasional

Sejalan dengan penyusunan strategi nasional REDD+ tersebut, juga sedang

dikembangkan berbagai persiapan pelaksanaan REDD+ antara lain: (i) penyiapan basis data

(peta) dan check kondisi hutan dan lahan gambut sesuai dengan peta tersebut dan pada

keadaan nyata di lapangan; (ii) penyiapan landasan hukum dan penegakannya, dan terutama

apabila terdapat konflik/perbedaan di lapangan; (iii) menyiapkan ukuran yang dapat

digunakan untuk mengukur hasil penurunan emisi sesuai dengan MRV yang distandarkan

secara internasional; (iv) menyiapkan instrumen pendanaan untuk insentif, baik yang bersifat

investasi maupun payment for performance; (v) monitoring serta pendampingan di lapangan,

mengingat hal ini merupakan langkah baru untuk melakukan kuantitifikasi dan valuasi jasa

lingkungan (baca penurunan emisi/penyerapan karbon). Dengan kelengkapan itu maka untuk

sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor yang terbesar dapat menyumbang penurunan

emisi akan dapat memfasilitasi terbentuknya kegiatan konkrit yang dapat menurunkan emisi,

menyiapkan dan menumbuhkan berbagai kegiatan yang sejalan dengan rehabilitasi degradasi

dan deforestasi hutan dan sekaligus menciptakan kegiatan ekonomi dan pendapatan alternatif

serta kesempatan kerja.

Demikian pula untuk sektor lainnya perlu disusun langkah-langkah konkrit untuk

memfasilitasi pelaku usaha/swasta yang pada akhirnya akan memerlukan regulasi dan

mekanisme insentif/disinsentif atas capaian penurunan emisi yang dapat dilakukan. Dengan

demikian, keseluruhan rencana program dan kegiatan penurunan emisi di setiap sektor pada

Page 28: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

24

akhirnya dapat ditunjukkan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam menjalankan

pembangunan nasional.

4.2.3. Pelaksanaan di Tingkat Daerah

Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah

Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang

selanjutnya disebut RAD GRK. Isi dari RAN GRK menjadi dasar bagi setiap provinsi

dalam menyusun RAD GRK sesuai dengan kondisi daerah dan kemampuan seluruh

komponen masyarakat di masing-masing provinsi. Sesuai dengan Perpres tersebut, RAD

GRK harus diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terbitnya Perpres itu dan

ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan

proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap

provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing-

masing.

Untuk memfasilitasi penyusunan RAD GRK tersebut, Kementerian

PPN/Bappenas dalam waktu 3 (tiga) bulan sudah menyelesaikan Pedoman

Penyusunan RAD GRK. Pedoman ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama

(SKB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,

Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Penyusunan RAD

GRK sudah diluncurkan dan disosialisasikan di tingkat nasional pada tanggl 12

Januari 2012. Selanjutnya untuk melakukan fasilitasi ke daerah, Kementerian

PPN/Bappenas menyusun Tim Sosialisasi dan Fasilitasi Penyusunan RAD GRK

melalui SK Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2012. Sosialisasi Tahap I telah

dilakukan di 5 (lima) wilayah yang dilaksanakan di Pelembang, Semarang,

Denpasar, Makasar dan terakhir di Balikpapan. Proses selanjutnya adalah fasilitasi

dan monitoring penyusunan RAD GRK yang dilakukan oleh Sekretariat Penyusunan

RAD GRK yang berada di Kementerian PPN/Bappenas. Dengan adanya RAD GRK

untuk 33 provinsi tersebut, maka pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan

41% akan memiliki kerangka pelaksanaan, rencana pelaksanaan dan sehingga dapat

dilakukan secara kosisten dan kontinyu sampai dengan tahun 2020. Selanjutnya,

kedudukan RAD GRK diantara dokumen rencana pembangunan yang sudah ada baik di

tingkat pusat maupun daerah dapat dilihat pada Gambar 5. Demikian pula keterkaitan

RAN GRK dan RAD GRK dengan beberapa proses komunikasi tentang perubahan

iklim juga dapat dilihat pada Gambar 5 tersebut.

Institusi Terkait dan Kewenangannya. Sejalan dengan desentralisasi, berbagai

K/L telah melakukan pembagian kewenangannya ke daerah. Dalam Tabel 1, 2, dan 3

dijelaskan secara singkat hasil inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait

dengan emisi gas rumah kaca. Tabel tersebut memberikan gambaran kewenangan yang dapat

dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi berdasarkan kerangka kelembagaan

yang ada (UU 32/2004, dan PP 38/2007). Dengan adanya pembagian dan batasan

Page 29: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

25

kewenangan tersebut maka akan jelas batasan tanggung jawab dalam melaksanakan program

dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya penurunan emisi.

Gambar 5. Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK

Selanjutnya, untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK, Pemda

Provinsi juga diminta untuk membentuk Tim Koordinasi yang sekretariatnya bertempat di

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan beranggotakan berbagai dinas

terkait sesuai dengan pembagian sektor dan identifikasi kegiatan-kegiatan daerah yang akan

digunakan untuk mendukung penurunan emisi. Agak berbeda dengan struktur RAN GRK

yang berisi tentang program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh dan/atau melalui K/L

untuk menurunkan emisi GRK, maka RAD GRK akan berisi kegiatan-kegiatan di lapangan

yang akan berkontribusi menurunkan emisi GRK. Contoh-contoh kegiatan ini sudah

disebutkan di dalam Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK. Dengan penentuan penurunan

emisi berbasis kegiatan maka: (i) akan sangat aplikatif di lapangan karena sudah berupa

kegiatan nyata; (ii) mudah diidentifikasi dinas penanggungjawab utama dan dinas pendukung;

(iii) mudah untuk dikaitkan dengan kegiatan yang selama ini sudah dilakukan dan hanya

memerlukan penyempurnaan dalam melakukan RAD GRK sesuai dengan prinsip-prinsip

penurunan emisi. Dengan langkah ini maka kegiatan penurunan emisi GRK merupakan

bagian dari kegiatan pembangunan daerah dan juga mengatasi masalah-masalah

pembangunan seperti peningkatan akses terhadap energi dan air, penurunan kemiskinan,

perluasan kesempatan kerja dan penumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan bagi

masyarakat.

Page 30: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

26

Tabel 1

Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK

Bidang Kehutuanan dan Pertanian (Land based activity)

SEKTOR KEHUTANAN

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Jenis tanaman pada

hutan konservasi dan

produksi

Peraturan jenis tanaman yang

ditanami pada suatu luasan tertentu

di dalam area provinsi.

Area hutan di dalam

kewenangan

Pemerintah Pusat.

Community forestry

(SFM)

Pendampingan terhadap

community forestry. -

Hutan Rakyat

Pengelolaan tipe tanaman,

rehabilitasi, waktu panen, dan

pengedalian.

-

Manajemen kebakaran Koordinasi dengan Pemerintah

Pusat -

Pengendalian, evaluasi,

dan rehabilitasi

Perlindungan terhadap hutan di

dalam kewenangan Pemerintah

Provinsi.

-

Produksi di Hutan

Privat

Koordinasi dengan

pihak swasta yang

memiliki konsesi.

SEKTOR PERTANIAN

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Perencanaan,

Kebijakan, dan

Peraturan

Perencanaan ketersediaan lahan

untuk kegiatan pertanian -

Penerbitan Izin

Penerbitan izin dan perubahan

guna lahan untuk kegiatan

pertanian

-

Pertanian berbasis

perusahaan (corporate

farming)

Pemerintah Provinsi hanya dapat

mengeluarkan peraturan.

Kewenangan

perusahaan.

Teknologi pertanian

Penelitian atau proyek

percontohan untuk pengurangan

emisi di kegiatan pertanian.

Sepenuhnya terkait

kapasitas petani.

Page 31: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

27

Tabel 2

Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK

Bidang Industri, Energi dan Transportasi

SEKTOR INDUSTRI

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Fiskal dan Insentif

Moneter -

Kewenangan

Kementerian

Perindustrian dan

Pemerintah Provinsi

perlu berkoordinasi.

Fasilitas Industri

Pengembangan fasilitas bisnis

untuk industri kecil dan menengah

di tingkat provinsi.

-

Perlindungan Industri

Kebijakan untuk perlindungan

industri dan koordinasinya terhadap

pajak impor.

-

Penerapan teknologi

ramah lingkungan

Penelitian dan pengembangan

teknologi industri ramah

lingkungan termasuk pemberian

fasilitas untuk penelitian pada

tingkat provinsi.

Terkait dengan

kebijakan setiap

perusahaan.

Dampak industri

terhadap lingkungan

Pendampingan terhadap

kabupaten/kota dalam mencegah

limbah industri dan pengendalian

dan pengawasan industri ramah

lingkungan di tingkat

kabupaten/kota. Catatan: perlu

terkait dengan kebijakan nasional

mengenai industri ramah

lingkungan.

-

SEKTOR ENERGI

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Peraturan

Peraturan energi dan kelistrikan di

tingkat provinsi. Peraturan

kelistrikan dan PKUK (Pemegang

Kuasa Usaha Ketenagalistrikan).

Perizinan pendirian instalasi energi.

-

Sosialisasi Kampanye dan publikasi mengenai -

Page 32: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

28

efisiensi energi melalui media

Permintaan Energi Pengaturan waktu kerja untuk

bangunan dan kantor publik

Terbatasnya pada

program efisiensi energi

yang dilakukan

Pemerintah Pusat dan

PT PLN.

Diversifikasi Energi Pembangunan dan penggunaan

sumber daya energi terbarukan -

SEKTOR TRANSPORTASI

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Perencanaan dan

Kebijakan

Kebijakan sistem transportasi

provinsi. -

Tranportasi Publik

a) Inisiasi dan perencanaan

penyediaan tranportasi publik

b) Peremajaan angkutan umum.

-

Penerapan transportasi

ramah energi Dalam bentuk peraturan.

Bersinggungan dengan

kewenangan sektor

privat moda angkutan.

Pajak dan Mekanisme

Insentif – Disinsentif

Bukan merupakan

kewenangan Pemerintah

Provinsi

Pendidikan Masyarakat Kampanye penggunaan transportasi

publik. -

Tabel 3

Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Perubahan Iklim

di Sektor Pengelolaan Sampah

Kewenangan Terkait

Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi

Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan

Perencanaan, Kebijakan

dan Peraturan

a) Kebijakan pengelolaan sampah dan

infrastruktur di tingkat provinsi;

b) Penyiapan lembaga

penanggungjawab manajemen

pengelolaan sampah

c) Perizinan untuk infrastruktur

pengelolaan sampah di tingkat

-

Page 33: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

29

provinsi

d) Peraturan daerah terkait dengan

pengelolaan sampah

e) Manajemen pengelolaan sampah

antar daerah

f) Resolusi konflik untuk persoalan

pengelolaan sampah antar provinsi.

Pelayanan sektor

pengelolaan sampah

a) Implementasi konsep Clean

Development Mechanism dalam

infrastruktur pengelolaan sampah.

b) Pembangunan dan operasional

instalasi pengelolaan sampah.

c) Penyediaan pendampingan untuk

instrastruktur pengelolaan sampah

kabupaten/kota.

-

Pendidikan dan

peningkatan kapasitas

a) Peningkatan kapasitas dan fasilitas

keterlibatan privat dan masyarakat

di dalam sektor pengelolaan sampah

b) Kampanye dan pendidikan

pengurangan sampah

-

4.3. KEBIJAKAN DAN LANGKAH PENDUKUNG UNTUK EFEKTIVITAS

RAN GRK

Setelah berbagai kebijakan dan langkah untuk menjabarkan komitmen dan

meletakkan kerangka kerja untuk menjabarkan rencana dan pelaksanaan sampai di daerah,

termasuk mempersiapkan K/L untuk memfasilitasi dan mendorong upaya penurunan emisi di

kalangan pelaku usaha dan masyarakat, masih terdapat paling tidak terdapat 3 (tiga) hal

penting yang perlu dibangun secara paralel yaitu: (i) pengembangan alat ukuran dan

mekanisme pemantauan/monitoringnya; (ii) pembentukan sistem dan instrumen

insentif/disinsentif; dan (iii) peningkatan kapasitas lembaga dan sumber daya manusia.

4.3.1. Pengukuran dan Monitoring RAN GRK

Penyusunan alat ukur untuk mengukur dan mengkuantifikasi penurunan emisi

menjadi unsur yang sangat penting dan baru di dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pengukuran limbah padat dan

cair sudah dapat dilakukan, namun emisi GRK (baca emisi udara) merupakan benda tidak

kasat mata (intangible). Dengan demikian, untuk pengukuran merupakan dimensi baru dan

sekaligus penting untuk mengetahui kemajuan hasil penurunan emisi GRK.

Page 34: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

30

Sesuai dengan kaidah yang ditentukan oleh UNFCC, sudah ada standar pengukuran

yang dibakukan, dan sering disebut harus memenuhi kriteria MRV, measurable, reportable

dan verifiable (MRV), artinya terukur, dapat dilaporkan, dan mudah diverifikasi. Dengan

demikian, unsur yang dipentingkan adalah “make the intangible become tangible”, membuat

yang tidak kasat mata dapat dinyata(/kasat)-kan. Sehubungan dengan pentingnya sistem

informasi/data yang memenuhi kaidah MRV ini maka hampir bersamaan dengan terbitnya

Perpres RAN GRK, Bapak Presiden juga telah menandatangani Perpres No. 71/2011 tentang

Inventarisasi Penurunan Emisi GRK. Penanggungjawab dari pelaksanaan Perpres ini adalah

Kementerian Lingkungan Hidup.

Namun demikian, sehubungan dengan indikator dan sistem informasi sesuai MRV

sedang dalam proses penyusunan secara terpadu, maka monitoring berkaitan dengan

penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK maka monitoring yang sementara dapat dilakukan

adalah: monitoring kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK. Mengingat

yang dimonitor dan dilaporkan adalah kegiatan yang menurunkan emisi GRK, maka lembaga

yang mengkoordinasikan pelaporan adalah Bappeda Provinsi selaku Sekretariat RAD GRK.

Laporan disampaikan ke Kementerian PPN/Bappenas sesuai dengan mekanisme Monitoring

dan Evaluasi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 39/2006 tentang Tata

Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

Pemantauan dan kegiatan yang dilaporkan adalah kegitaan yang menyumbang

terhadap penurunan emisi GRK. Dalam RAD GRK, Pemda dan masyarakat mengidentfikasi

dan menyusun kegiatan-kegiatan di 5 (lima) sektor utama yang akan dilakukan oleh Pemda.

Selanjutnya, dilakukan penghitungan/pembakuan penghitungan emisi GRK per jenis dan

skala kegiataan. Dengan demikian, Pemda akan melaporkan hanya pelaksanaan kegiatan dan

standar kegiatan yang memenuhi adanya kepastian penurunan emisi (agar dapat diverifikasi).

Dengan melaksanakan kegiatan tersebut, maka penurunan emisi yang dilakukan akan dapat

diukur dan dijumlahkan secara nasional.

Langkah pemantauan tersebut merupakan langkah yang sementara dapat dilakukan,

sambil menunggu: (i) pengukuran kondisi baseline emisi GRK sebelum kegiatan tersebut

dilakukan; (ii) menunggu sistem informasi pemantauan emisi GRK yang disusun sesuai

kaidah MRV dari IPPC yang perlu disusun secara nasional. Dengan demikian, sementara

menunggu terbentuknya sistem MRV yang sedang disusun oleh Kementerian Lingkungan

Hidup berdasarkan Perpres No. 71/2011, maka pemantauan pelaksanaan RAD GRK sebagai

bagian dari pelaksanaan RAN GRK dapat dilakukan dan dilaporkan setiap tahunnya dalam

Sidang Dewan Nasional Perubahan iklim (DNPI) yang diketuai oleh Bapak Presiden.

4.3.2. Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif

Sejak tahun 2007, Kementerian Keuangan telah memulai studi pendanaan untuk

perubahan iklim. Hasil studi pada 2010 telah menghasilkan Green Paper yang pada intinya

mencoba menginventarisasi berbagai peluang pendanaan dan berbagai bentuk pendanaan

untuk perubahan iklim. Pada saat ini kajian masih dilanjutkan oleh Kementerian Keuangan

dan terutama pada pembentukan instrumen (insentif) fiskal yang akan dibutuhkan dalam

Page 35: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

31

pelaksanaan RAN GRK, teruama penyediaan insentif fiskal untuk REDD+. Instrumen

pendanaan lain yang diperlukan adalah yang akan diterapkan kepada pihak swasta yang telah

berhasil menurunkan emisi GRK dari industri yang telah mereka jalankan. Indikator-indikator

yang dijadikan dasar pemberian insentif harus disesuaikan dengan standar yang ditetapkan

oleh K/L di 5 (lima) sektor di atas, untuk REDD+ adalah yang ditentukan oleh Satgas

REDD+ bersama Kementerian Kehutanan dan untuk energi adalah ukuran dan standar yang

ditentukan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.

Tugas dari Kementerian Keuangan selain menentukan instrumen insentif/disinsentif

fiskal adalah menyusun mekanisme perdagangan karbon (emisi GRK) dalam pasar domestik

Indonesia, yang pada akhirnya perlu diselaraskan (compatible) dengan sistem pasar karbon di

dunia. Pada saat ini mekanisme pasar karbon yang sudah terjadi memang baru di wilayah

Uni Eropa, sementara di tempat-tempat lain belum diterapkan. Untuk itu, waktu yang ada

sangat perlu dimanfaatkan dan sekaligus mendorong pembangunan sistem domestik, sehingga

proses internalisasi dampak lingkungan ke dalam setiap kegiatan ekonomi dapat dilakukan.

4.3.3. Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumber daya Manusia

Dengan luasnya cakupan penurunan emisi dan pada akhirnya aksi perubahan iklim,

maka pihak-pihak yang terlibat dalam penurunan emisi juga luas dan banyak. Pada saat ini

masih dirasakan pemahaman tentang perubahan iklim dan penurunan emisi GRK masih

beragam. Berdasarkan proses komunikasi dengan para pihak terutama di daerah dalam

proses sosialisasi RAD GRK, dapat diketahui bahwa masih perlu dilakukan berbagai hal

yaitu: (i) Komunikasi; (ii) peningkatan kemampuan sumber daya manusia; dan (iii) kapasitas

Lembaga.

1. Komunikasi

Komunikasi yang perlu dibangun meliputi: (i) bahan komunikasi; (ii) sistem

komunikasi; dan (iii) proses komunikasi, sebagaimana digambarkan berikut ini.

a. Bahan komunikasi perlu disusun dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah

diakses serta digunakan dan disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk ini

berbagai bentuk leaflet sederhana dan buku-buku saku dengan bahasa yang mudah

dipahami perlu disusun dan dibuat dalam jumlah yang mencukupi dan selalu

tersedia. Bahan dasar komunikasi ini sudah ada, yang perlu disusun adalah dibuat

dengan isi yang sesuai dengan sasaran/target audiance, baik masyarakat umum atau

kalangan birokrasi dan peneliti.

b. Penyusunan sistem informasi melalui internet yang dapat menjadi hub untuk

berbagai sistem informasi dalam perubahan iklim, sehingga informasi dapat

dikomunikasikan kepada semua pihak. Komunikasi melalui jalur internet (web) ini

akan memudahkan akses ke semua pihak dan juga merupakan bentuk

pertanggungjawaban terhadap publik.

Page 36: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

32

c. Proses komunikasi melalui media massa, baik tertulis secara teratur dan mutakhir

isi beritanya, maupun menggunakan media radio dan televisi di daerah sehingga

dapat diikuti secara interaktif.

Pembentukan jaringan komunikasi yang difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi

dan Informasi dapat mempercepat dan memfasilitasi komunikasi secara terstruktur dan

kontinyu.

2. Kemampuan Sumberdaya Manusia

Dalam pelaksanaan RAN-RAD GRK, dapat diidentifikasi terdapat 4 (empat)

kelompok pelaku yaitu: (i) Pemerintah dan Pemda; (ii) Universitas dan Lembaga Penelitian;

(iii) NGO yang terdiri dari kelompok masyarakat/LSM dan Asosiasi; (iv) pelaku sawsta dan

masyarakat umum (rumah tangga). Sehubungan dengan itu maka berbagai peningkatan

kemampuan sumber daya manusia perlu dilakukan:

a. Pelatihan bagi aparat Pemerintah dan Pemda dalam memfasilitasi dan mendorong

pelaku penurunan emisi. Jenis pelatihan perlu dikenalkan antara lain: (i)

pengembangan kebijakan dan instrumen kebijakan yang diperlukan; (ii)

menghubungkan kegiatan penurunan emisi dengan pembangunan secara

keseluruhan (penurunan emisi harus menyelesaikan masalah pembangunan); (iii)

kemampuan untuk memfasilitasi dan memonitor capaian yang dihasilkan; dan (iv)

menghubungkan langkah lokal, nasional, global.

b. Universitas dan Lembaga Penelitian: (i) membentuk jaringan kompetensi dan

menghubungkannya dengan pelaksanaan penurunan emisi; (ii) membentuk

backstopping unit bagi pelaksanaan RAD GRK di daerah dan RAN GRK secara

nasional, terutama menyediakan scientific based on analysis, pengukuran dan

penciptaan instrumen MRV dan insentif/disinsentif.

c. Bagi Asosiasi dan LSM: mendukung Pemerintah dan Pemda dalam mengawal para

pelaku penurunan emisi GRK, terutama pelaksanaan di lapangan.

d. Bagi pelaku swasta dan masyarakat: (i) pengenalan standar-standar yang

diberlakukan secara kontinyu; (ii) pelatihan mengenai best practices dan

pengembangan di lokasi masing-masing; (iii) pengembangan kegiatan yang

menghasilkan emisi rendah karbon atau rendah GRK lainnya.

Sebagai bagian dari proses peningkatan kemampuan sumber daya manusia tersebut,

perlu disusun sistem pelatihan, modul pelatihan, dan mekanisme pelatihan yang tidak bersifat

klasikal namun lebih berorientasi praktek, sehingga dapat mendukung efektivitas pelaksanaan

RAN dan RAD GRK.

3. Kapasitas Lembaga

Sejalan dengan fungsi berbagai lembaga baik Pemerintah, Pemda, maupun non

pemerintah, maka kapasitas lembaga perlu ditingkatkan pula, yang mencakup: (a) program

Page 37: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

33

dan kegiatan lembaga agar dapat menjalankan peran dan fungsi dalam memfasilitasi dan

mendorong penurunan emisi; (b) mekanisme kerja agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang

ada, terutama adanya standar teknis dari sektor; (c) instrumen/alat dan fasilitas yang

mendukung berjalannya fungsi lembaga sesuai program dan kegiatan dalam butir a dan

sejalan dengan mekanisme kerja dalam butir b.

Dalam kaitan dengan adanya perbedaan peran dan fungsi lembaga pemerintah di

pusat, provinsi dan kabupaten/kota, maka diperlukan pembedaan materi untuk peningkatan

kapasitas. Sehubungan dengan itu, baik materi untuk sosialisasi pemahaman umum perlu

dibedakan dan dibahasakan sesuai dengan tingkat penerapan di lapangan. Selain itu, materi

untuk peningkatan kapasitas terutama yang memerlukan pelatihan dan penguasaan teknis

tertentu perlu pula dibedakan sesuai tingkatan-tingkatan peran dan fungsi yang perlu

dilakukan. Dengan demikian, peningkatan kapasitas akan sesuai dengan kebutuhan

pelaksanaan di lapangan dan dimungkinkan adanya keterkaitan dan sinergi yang utuh dalam

pelaksanaan RAN/RAD GRK di setiap bidang/sektor/program/kegiatan penurunan emisi

GRK.

Page 38: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

34

Gambar 6 Pilar Pembangunan Berkelanjutan

V. EKONOMI RENDAH KARBON, EKONOMI HIJAU DAN PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Untuk melihat keterkaitan diantara tiga hal di atas (ekonomi rendah karbon,

ekonomi hijau, dan pembangunan berkelanjutan), maka digunakan kerangka pembangunan

berkelanjutan yang berasal dari UNEP dan telah digunakan di berbagai negara selama ini.

Sebagaimana diketahui, pembangunan berkelanjutan memiliki 3 (tiga) pilar pokok yaitu pilar

Sosial, Pilar Ekonomi dan Pilar Lingkungan (Gambar 6). Sebagaimana dijelaskan dalam Bab

IV, Indonesia telah banyak mencapai kemajuan di bidang ekonomi melalui terbentuknya

pembangunan terencana sejak tahun 1967an. Peningkatan investasi dan produksi telah

menurunkan nilai inflasi yang menjadi tolok ukur sebagai alat untuk menilai tingkat

kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pembangunan terencana, neraca keuangan Negara

yang semula defisit besar, secara perlahan mampu mengalami peningkatan secara positif dan

seiring dengan itu peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan mulai terus

dirasakan.

Pada tahun 70an mulai disadari bahwa kemajuan ekonomi apabila tidak diiringi

dengan kemajuan di bidang sosial akan banyak menciptakan ketimpangan, karena hasil

pembangunan hanya akan dihasilkan dan dinikmati oleh sebagian masyarakat. Sehubungan

dengan itu, Indonesia mulai mengembangan 3 (tiga) program strategis yaitu: pengendalian

penduduk atau keluarga berencana, pendidikan, dan kesehatan. Program pengendalian

penduduk atau keluarga berencana dilakukan dengan memperkenalkan program 2 (dua) anak

cukup di setiap keluarga. Bahwa jumlah keluarga terbatas akan menimbulkan adanya

peningkatan kualitas keluarga terutama pada keluarga dengan pendapatan rendah/miskin.

Proses ini memakan waktu cukup lama namun telah berhasil menekan ukuran keluarga dan

mengendalikan pertumbuhan penduduk.

Page 39: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

35

Selanjutnya, program pendidikan dilancarkan ke seluruh pelosok tanah air dengan

mengembangkan program SD Inpres, yaitu adanya Inpres pembangunan SD di setiap

kecamatan sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh wilayah terjangkau oleh fasilitas sekolah

terutama tingkat SD dan lengkap dengan guru yang ditugaskan ke setiap SD tersebut (Guru

Inpres). Demikian pula pelayanan kesehatan juga diperluas. Di setiap kecamatan dibangun

Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dilengkapi dengan dokter dan

tenaga medis (dokter Inpres). Kedua program strategis ini telah berhasil meningkatkan angka

partisipasi sekolah dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerah-daerah terpencil.

Pelaksanaan ketiga program ini secara konsisten dan kontinyu telah berhasil mendukung

Indonesia untuk mencapai tingkat kualitas SDM yang baik, yang tercermin pada indikator

MDG.

Namun demikian, kesuksesan pembangunan pada kedua pilar belum diikuti dengan

kemajuan pembangunan di bidang lingkungan. Isu lingkungan sudah mulai dibicarakan sejak

diadakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di

Universitas Padjajaran pada bulan Mei 19723. Langkah ini dilakukan selaras dengan

konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Akhirnya, hasil

seminar tersebut telah menginspirasi dengan berdirinya Lembaga Ekologi di universitas

tersebut. Selanjutnya pada tahun 1978 telah ada penugasan penanganan lingkungan hidup

yaitu di bawah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Namun

baru pada tahun 1983 Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sebagai satu lembaga tersendiri

yaitu Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Ulasan secara

komprehensif tentang keterkaitan pembangunan dan dampaknya terhadap ekologi dan

lingkungan serta langkah pembangunan yang sesuai dengan ekologi telah dilakukan oleh

Prof. Otto Sumarwoto dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup, dan

Pembangunan (Djambatan, 1983).

Sejak periode tersebut, sudah banyak kemajuan yang dilakukan oleh Kementerian

di bidang lingkungan hidup. Namun demikian, penanganan lingkungan hidup masih

dirasakan terpisah dan belum sepenuhnya diinternalisasikan ke dalam pembangunan secara

keseluruhan. Meskipun sudah ada kewajiban untuk melakukan analisa dampak lingkungan

(AMDAL) dan standar-standar kualitas lingkungan lainnya, namun dirasakan penanganan

masih bersifat dihadapi kendala sebagai berikut.

Pertama, penanganan lingkungan masih bersifat penanganan dampak, atau

penanganan lingkungan masih bersifat di luar (exogenous) dari pilar ekonomi dan pilar sosial.

Dengan sifat penanganan seprti ini maka pendekatan yang dilakukan masih bersifat kuratif

3 Sumarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,

Djambatan.

Page 40: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

36

atau membersihkan dan menanggulangi masalah lingkungan yang timbul sebagai akibat dari

kegiatan ekonomi dan sosial. Dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi dan sosial,

ruang menjadi sempit dan memiliki kompetisi tinggi untuk berbagai kepentingan, maka

penanggulangan lingkungan menjadi semakin sulit, karena dampak lingkungan yang

dihasilkan sudah melebihi daya dukung ruang yang ada (dengan adanya beban ruang yang

terus meningkat) dan masalah yang diatasi juga terus meningkat.

Yang kedua, upaya penanganan lingkungan masih sulit untuk diinternalisasikan,

sebagian sebagai akibat sifat penanganan di atas, dan sebagian lagi karena pembangunan pilar

lingkungan belum mampu memperjelas diri sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya

untuk men”tangible”kan berbagai fungsi lingkungan dengan ukuran yang dapat dipahami dan

sehingga dapat diinternalisasikan ke pilar yang lain. Dengan kata lain, diperlukan indikator

yang baku untuk mengukur penggunaan fungsi lingkungan dan jasa lingkungan yang

dihasilkan. Pengukuran yang jelas ini akan membuka pula peluang untuk dapat menilai

(valuasi) jasa lingkungan yang telah disediakan oleh pemilik ruang sebagai pilihan untuk

tidak menggunakan ruang untuk kebutuhan lain (perumahan, industri dan lain-lain).

Demikian pula, pengukuran akan memberi peluang pula untuk mengidentifikasi apa yang

dimaksud dengan lingkungan, yaitu ruang dan isinya termasuk isi biodiversity yang selama

ini menerima dampak eksternalitas dari tindakan kita terhadap lingkungan yang sudah

melebihi beban ruang yang ada. Pilar lingkungan perlu kita bangun, sebagaimana kita

membangun pilar ekonomi dan pilar sosial sebagai komponen dan rangkaian utuh dari

pembangunan berkelanjutan.

Valuasi penting karena tanpa adanya valuasi, maka penyediaan jasa lingkungan

yang merupakan public good tidak dapat dinilai dan sehingga tidak ada satupun penyedia

yang mau men-supply public good ini pada tingkat yang diinginkan. Dengan demikian jasa

lingkungan masih disediakan dalam jumlah yang lebih rendah dari yang diharapkan (under

supply). Demikian pula gangguan terhadap lingkungan yang mengakibatkan penurunan

penyediaan jasa lingkungan tidak dapat dicegah dan diminta menanggung biaya

penanggulangan masalah lingkungan atau penerapan pencegahan sebelum kegiatan

dilakukan.

Ketiga, setelah membangun pilar ketiga, maka internalisasi faktor lingkungan, atau

membuat lingkungan menjadi faktor endogenous dalam pembangunan dapat dilakukan.

Dengan demikian, maka akan terdapat keseimbangan pengembangan ketiga pilar

pembangunan berkelanjutan; akan terdapat pula kesempatan untuk “menghijaukan” seluruh

aspek kehidupan, baik yang tercermin dalam aspek/pilar ekonomi dan sosial. Dengan itu,

maka pembangunan akan sudah dapat mempertimbangkan masalah lingkungan kedalam

setiap langkah kegiatan, program dan kebijakan pembangunan. Penanganan lingkungan akan

bersifat endogenous, penanganan lingkungan akan lebih bersifat mencegah/preventif sesuai

dengan keseimbangan alam dan kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia dan

alam seisinya sehingga keberlanjutan kehidupan dapat dijaga. Inilah esensi dari membangun,

menjaga agar kehidupan semakin baik dan berkelanjutan.

Page 41: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

37

5.1. RAN GRK dan momentum untuk adanya pengukuran jasa lingkungan

Fenomena perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat secara

luas, telah mendorong timbulnya aksi global secara bersama untuk mengatasi dampak

perubahan iklim. Langkah mengatasi perubahan iklim dapat melalui pencegahan penyebab

timbulnya perubahan iklim (mitigasi) dan melalui penyesuaian dan menyiapkan kemampuan

untuk menyesuaikan dengan adanya dampak dari perubahan iklim (adaptasi). Dengan

dilahirkannya Kyoto Protocol pada tahun 1994, maka telah terjadi pembagian target mitigasi

yaitu berupa penurunan target emisi gas rumah kaca (yang mengakibatkan pemanasan global

dan perubahan iklim). Pembagian penurunan emisi gas penyebab perubahan iklim secara

kuantitatif ini mendorong adanya upaya untuk melakukan pengukuran dan menetapkan

adanya indikator pencemaran secara global.

Selain itu, penurunan emisi ini dikaitkan pula dengan adanya kewajiban untuk kontribusi

dana sesuai dengan peringkat pencemaran negara-negara yang dinilai sebagai pencemar GRK

terbesar di dunia. Secara luas kemudian timbul pemahaman tentang kemungkinan timbulnya

pertukaran hak emisi dan kemampuan menurunkan emisi, atau sistem transaksi (pasar

karbon). Meskipun penerapan sistem transaksi di dalam kenyataan masih terbatas, namun ini

merupakan suatu terobosan yang ditunggu-tunggu oleh pilar lingkungan, untuk dapat secara

konkrit mengembangkan pembangunan pilar lingkungan secara konkrit sebagaimana pilar

sosial dan pilar ekonomi. Adanya ukuran secara konkrit untuk pilar ini bahkan menjadi lebih

penting karena unsur lingkungan perlu dapat diukur secara konkrit dan kemudian

diinternalisasikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial, sehingga prinsip-prinsip kelestarian

lingkungan dapat diinternalisasikan ke dalam kedua pilar ini. Dampak lebih lanjut yang

sangat penting adalah, dengan adanya ukuran dan valuasi dalam pilar lingkungan, maka

proses mengkonkritkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan, dan

dengan mudah keberlanjutan pembangunan dapat pula diinternalisasikan ke dalam seluruh

pilar dan seluruh aspek pembangunan dan kehidupan masyarakat.

Dengan jalan pemikiran seperti tersebut di atas maka pada waktu Bapak Presiden

mencanangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26%, maka dapat mulai dilakukan

pembagian target ke dalam setiap sektor. Dengan demikian, akan ada peluang untuk

mengkonkritkan melalui perwujudan suatu indikator untuk mengukur emisi GRK yang

bentuknya intangible ke arah yang terukur dan ternilai (ter-valuasi) atau menjadi tangible.

Dengan perkembangan ini, maka penurunan emisi di berbagai daerah dapat dijumlahkan

secara nasional dan kemudian dapat dilakukan sistem reward/punishment sesuai dengan

prestasi yang dilakukan masing-masing pelaku penurunan emisi. Di dalam ilmu ekonomi

lingkungan, dengan adanya pengukuran dan valuasi, maka prinsip polluter pay principles

dapat diterapkan. Dengan demikian, pengendalian lingkungan yang biasanya menerapkan

command and control saja (standar lingkungan dan peraturan) akan dapat dilengkapi dengan

mekanisme moneter yang lebih mendorong internalisasi perilaku penurunan emisi (dan polusi

secara umum) ke dalam kegiatan ekonomi mereka.

Page 42: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

38

Manfaat lain dari adanya RAN GRK adalah terciptanya koordinasi baik di tingkat

Pemerintah (pusat) maupun antara pusat dengan daerah secara komprehensif. Selama ini

masalah lingkungan dan koordinasinya hanya dilakukan dari sisi lingkungan hidup saja dan

hanya dilakukan melalui koordinasi teknis bidang lingkungan. Dengan adanya RAN GRK

dan RAD GRK, maka koordinasi menjadi lebih luas, yaitu melalui pembangunan, baik dari

tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi hasil/capaian

nantinya. Ini merupakan peluang besar untuk dapat menginternalisasikan masalah

lingkungan ke dalam seluruh aspek pembangunan, dan sekaligus memperluas penanganan isu

lingkungan sebagia isu pembangunan yang harus ditangani bersama oleh Menteri Lingkungan

Hidup-Menteri yang bertanggung jawab dalam Pembangunan-Menteri Keuangan. Langkah

maju ini menjawab isu kelembagaan yang menjadi topik penting di dalam pertemuan

Pembangunan Berkelanjutan di Solo pada tahun 2011 lalu.

5.2. Ekonomi Rendah Karbon

Sebagaimana dijelaskan di atas, pelaksanaan penurunan emisi GRK secara kontinyu

dan konsisten diharapkan akan dapat membentuk terjadinya kegiatan rendah karbon, dari

kondisi saat ini menjadi 26%-41% lebih rendah, pada tahun 2020. Penurunan terjadi secara

termonitor di 5 (lima) sektor utama sebagaimana dijabarkan di dalam RAN GRK, dan terjadi

pula di 33 provinsi sebagaimana digambarkan di dalam RAD GRK.

Di tingkat pusat, dengan arahan RAN GRK, maka setiap sektor utama akan

menjabarkan langkah-langkah lebih lanjut penurunan emisi GRK yang akan dilakukan oleh

swasta dan masyarakat. Penjabaran ini penting mengingat di dalam RAN GRK yang menjadi

perhatian utama adalah kebijakan pemerintah yang mendorong perilaku penurunan emisi

GRK. Namun di dalam RAN GRK, belum diidentifikasi secara spesifik langkah berupa

dorongan dan dukungan, baik regulasi maupun dukungan fiskal yang diperlukan oleh swasta

dan masyarakat. Dengan langkah-langkah yang diharapkan terus dilaksanakan secara

konsisten dan kontinyu, maka akan dihasilkan sektor-sektor yang memiliki tingkat emisi

GRK lebih rendah dari pada tingkat emisi pada tahun baseline. Sehubungan dengan itu,

capaian yang akan dapat diperoleh adalah sektor-sektor dalam ekonomi dan sosial masyarakat

yang antara lain akan rendah karbon. Kondisi inilah yang akan menyumbang terciptanya

suatu kondisi ekonomi rendah karbon.

Secara lengkap, ekonomi rendah karbon didefinisikan sebagai: (i) produksi limbah

harus minimal, dengan langkah-langkah pengurangan limbah (reduce), pemanfaatan kembali

(reuse) dan daur ulang (recycle); (ii) energi harus dihasikan melalui sumber energi rendah

karbon dan metoda/teknologi rendah karbon; (iii) pemanfaatan energi harus efisien di segala

bidang; (iv) kebutuhan pangan, material dan energi harus menggunakan sumberdaya lokal;

dan (v) adanya kesadaran dan ketaatan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial

terhadap lingkungan. Dengan demikian, penerapan RAN GRK secara menyeluruh dalam

berbagai aspek kehidupan di 5 (lima) sektor utama akan dapat memenuhi kriteria/ciri

ekonomi rendah karbon. Sejauh-mana keadaan ekonomi dari suatu periode ke periode

Page 43: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

39

berikutnya akan rendah karbon atau tidak sangat tergantung dari adanya pengukuran dan

monitoring hasil langkah-langkah yang dilakukan.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah kondisi ini cukup untuk suatu

pembangunan berkelanjutan? Jawabannya dapat dipastikan tidak, karena masih banyak

faktor-faktor lain yang masih perlu dibenahi. Dalam kerangka inilah, maka tahap

pengembangan yang dapat tergambar pada saat ini adalah terbentuknya suatu ekonomi hijau.

5.3. Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau

Ekonomi hijau sebagaimana diartikan di atas, sudah banyak dibicarakan dan

digunakan di berbagai Negara. Meskipun demikian, cara mememulai masing-masing Negara

tersebut berbeda. Dengan pola-pola memulai ekonomi hijau yang sudah dilakukan di

berbagai Negara tersebut, Indonesia dapat menyebut bahwa Indonesia sudah memulai, namun

pemahaman secara menyeluruh dan persiapan lebih komprehensif sangat perlu dilakukan.

Untuk melakukan perubahan dari kondisi ekonomi yang ada saat ini ke ekonomi hijau, perlu

dilakukan secara menyeluruh namun secara bertahap. Pentahapan diperlukan karena

perbaikan yang sifatnya menyeluruh secara cepat akan sulit karena:

a. Diperlukan keyakinan yang besar pada semua pihak, dan ini akan sulit dilakukan

karena setiap sektor yang terkait dan setiap kelompok dan tingkat masyarakat akan

memiliki kesiapan yang berbeda.

b. Cara perubahan dan mulai perubahan akan sangat tergantung pada kondisi saat ini,

yang kemungkinan setiap wilayah akan memiliki perbedaan kondisi sehingga akan

memiliki perbedaan dalam cara memulai.

c. Perubahan akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan seluruh lapisan

masyarakat pada kondisi baru, sehingga diperlukan penyiapan kondisi baru yang

akan dituju.

d. Perubahan tanpa penyiapan dan kesiapan atas kondisi baru akan mengakibatkan

adanya “penurunan suatu kondisi” yang sering disebut sebagai trade-off. Dengan

demikian, semakin disiapkan kondisi baru dan kesiapan masyarakat ke kondisi

baru, maka konsekuensi kemungkinan penurunan dari kondisi lama akan pendek

dan tidak dirasakan.

Untuk itu, maka perubahan ke ekonomi hijau biasanya memerlukan suatu proses

yang oleh UNEP disebut dalam laporan terakhirnya dengan Transisi Menuju Ekonomi Hijau4.

4 Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty Eradication. UNEP,

2011

Page 44: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

40

Dalam laporan tersebut, secara ringkas dinyatakan definisi tentang Ekonomi hijau sebagai

berikut:

Green Economy: one that has results in improved human well-being and social

equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcity. It

is low carbon, resource efficient and socially inclusive.

Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa perubahan dapat dilakukan secara bertahap

dari ekonomi rendah karbon, baru melengkapi dengan elemen/komponen lain sehingga

lengkap menjadi ekonomi hijau. Di dalam laporan UNEP 2011 tersebut, kegiatan ekonomi

hijau perlu dilakukan semua pihak, baik sektor publik maupun private (swasta dan

masyarakat). Selanjutnya, para pelaku ekonomi mewujudkan langkah ekonomi hijau melalui

investasi rendah karbon dan rendah polusi; investasi yang meningkatkan efisiensi energi dan

efisiensi sumberdaya; serta investasi yang mencegah hilangnya keanekaragaman hayati

(biodiversity) dan jasa ekosistem (Gambar 7). Dalam kaitan ini nampak keterkaitan antara

ekonomi rendah karbon dengan ekonomi hijau dan elemen tambahan yang perlu dilakukan

untuk terus secara konkrit melangkah dan menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Langkah dan arah ini secara konsisten dan kontinyu ini dilaksanakan agar

dapat menjaga bahwa pembangunan berkelanjutan dapat bersifat non-depleting path, artinya

memelihara tidak menghasilkan depletion of natural resources atau tetap memelihara natural

resources.

Sehubungan dengan itu, untuk dapat mewujudkan hal-hal di atas, terdapat 3 (tiga)

langkah yang perlu dilakukan yaitu:

a. Perbaikan dalam penilaian (valuation) dan analisis kebijakan untuk menjamin

bahwa pasar dan kebijakan telah menginternalisasikan dan memperhitungkan biaya

dan manfaat dari dampak lingkungan hidup yang akan diakibatkan oleh investasi

publik dan masyarakat.

b. Peran dari kebijakan untuk mengendalikan degradasi lingkungan dan memerlukan

adanya informasi yang tepat dan efektif; insentif yang tepat; serta lembaga,

investasi dan infrastruktur yang efektif.

c. Menyadari adanya degradasi lingkungan yang terus menerus, konversi lahan dan

perubahan iklim secara global akan berpengaruh terhadap fungsi, keragaman dan

ketahanan (resilience) sistem ekologi serta bahan dan jasa yang diberikannya.

Page 45: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

41

Gambar 7. Elemen Transisi Menuju Ekonomi Hijau

Transisi ke ekonomi hijau sangat diperlukan tidak hanya karena mengingat

degradasi ekosistem dan dampak yang telah ditimbulkan dari pemanfaatan ekosistem selama

ini, namun juga karena memiliki beberapa manfaat dan merupakan kesempatan (opportunity):

a. Penerapan kebijakan lingkungan yang ketat dapat mengeluarkan inefisiensi dari

kegiatan ekonomi saat ini dengan mengeluarkan dan mengubah perusahaan dan

industri yang yang tidak efisien dan hanya tetap berdiri karena adanya subsidi baik

eksplisit maupun implisit serta sumberdaya yang dinilai terlalu murah.

b. Harga dan valuasi sumberdaya sangat penting bukan hanya untuk harga dan valuasi

terhadap sumberdaya alam, modal dan jasa tetapi juga harga input lain dalam

ekonomi.

Katalisasi Dan Pendukung: Belanja Negara Yang Terarah, Reformasi Kebijakan Dan Perubahan Peraturan

Page 46: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

42

c. Harga dan valuasi yang tepat atas sumberdaya akan mendorong adanya penelitian

dan inovasi yang akan mendukung dan mendorong tumbuhnya efisiensi dan

mendorong terbentuknya ekonomi menuju bentuk landasan ekonomi yang sangat

berbeda dan dalam kaitan ini menuju pembangunan berkelanjutan.

d. Peraturan lingkungan yang ketat dan diterapkan secara agresif merupakan langkah

antisipasi adanya kelangkaan di masa depan. Penerapan hal ini sekecil apapun pada

awal akan menciptakan pola yang dapat disebar-luaskan kemudian.

Menurut UNEP (2011) terdapat 3 (tiga) strategi yang perlu dilakukan untuk menuju

ekonomi hijau yaitu: Pertama, melakukan investasi yang benar pada modal sumberdaya alam.

Artinya, investasi dan kegiatan ekonomi yang dilakukan pada sektor-sektor sumberdaya alam

perlu dikelola secara hijau. Sektor-sektor ini meliputi pertanian, perikanan, sumberdaya air

dan hutan yang didalamnya terdapat pula kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity).

Strategi kedua adalah investasi pada efisiensi energi dan sumberdaya alam. Strategi ketiga

adalah menciptakan dan menumbuhkan kondisi yang mendukung berkembangnya kedua

strategi sebelumnya. Dalam kaitan ini kondisi yang mendukung dapat berupa kebijakan

fiskal/belanja yang terarah kepada investasi hijau di berbagai sektor; reformasi kebijakan dan

perubahan peraturan ke arah yang lebih mendukung timbulnya efisiensi, rendah emisi dan

rendah polusi; serta terpeliharanya modal sumberdaya alam (Gambar 8)

Gambar 8. Pendekatan Terstruktur Menuju Ekonomi Hijau

Page 47: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

43

5.4. “Closing The Loop” Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Dengan mengacu kepada 3 (tiga) kendala dalam pilar lingkungan sebagaimana

dalam pembangunan berkelanjutan, maka langkah yang perlu dilakukan adalah:

1. Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.

2. Pengembangan ekonomi lingkungan.

3. Pembentukan Ekonomi Hijau.

4. Pembentukan Perilaku Hijau.

5. Penanganan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan

didukung oleh Tata Kelola Hijau

Rangkaian langkah ini merupakan suatu siklus untuk mengembangkan

pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan beberapa kendala yang masih dihadapi dalam

membangun pilar lingkungan; masih dianggapnya lingkungan sebagai faktor exogenous

dalam kehidupan, yang direfleksikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial serta tata kelola

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 9 berikut.

Dengan kelima langkah di atas, maka penanganan ketiga pilar pembangunan

berkelanjutan yang didukung dengan tatakelola yang menjamin hal tersebut, maka “loop”

atau lingkaran langkah pembangunan berkelanjutan akan dapat diwujudkan. Selanjutnya satu

per satu akan diuraikan dalam bagian berikut.

Gambar 9. Lingkaran Langkah Pembangunan Berkelanjutan

Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.

Page 48: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

44

Pengembangan indikator aspek lingkungan dapat dimulai dengan menggunakan data dan

indikator yang sudah tersedia selama ini. Sebagian data dan indikator kemungkinan sudah

menjadi konsensus untuk digunakan bersama, sementara sebagian lagi belum ada, masih

perlu dibentuk dan disepakati untuk dijadikan indikator yang akan digunakan bersama.

Contoh dalam indikator yang sudah sering digunakan adalah tingkat/ambang batas limbah

beberapa bahan polusi di air, udara, dan tanah sebagaimana ditentukan melalui peraturan

Kementerian Lingkungan Hidup.

Selanjutnya, pengembangan indikator lingkungan dan indikator lain untuk

membentuk indikator pembangunan berkelanjutan, sesuai yang diidentifikasi oleh BPS

(2010)5 dengan mengikuti kaidah CSD adalah sebagaimana dalam Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Indikator Pembangunan Berkelanjutan CSD dan Indikator Pembangunan

Berkelanjutan 2010

Tema Sub-Tema Indikator CSD Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2010

Kemiskinan Kemiskinan Pendapatan

Proporsi Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan

Jumlah Penduduk miskin menurut provinsi

Persentase penduduk miskin menurut provinsi

Garis kemiskinan menurut provinsi

Ketimpangan pendapatan

Rasio pembagian pendapatan nasional dari kuantil tertinggi hingga terkecil

Distribusi pembagian pengeluaran per kapita dan index gini

Air minum Proporsi penduduk yang menggunakan fasilitas sanitasi yang lebih baik

Presentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septic menurut provinsi

Akses terhadap Proporsi rumah tangga tanpa listrik dan pelayanan energi

Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan bukan listrik

5 Indicator Pembangunan Berkelanjutan 2010, Badan Pusat Statistik, Desember 2010

(Katalog BPS: 9201003

Page 49: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

45

energi modern lainya menurut provinsi

Persentase rumah tangga yang bahan bakar memasaknya kayu bakar menurut provinsi

Kondisi tempat tinggal

Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh

Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh

Pemerintahan

Korupsi Persentase penduduk yang memberikan uang suap

Jumlah kasus korupsi yang sudah di selesaikan menurut kepolisian daerah

Kejahatan Jumlah pembunuhan berencana per 100.000 penduduk

Jumlah kasus pembunuhan menurut kepolisian daerah

Kesehatan Angka kematian Angka kematian balita

Estimasi angka kematian bayi (AKB) menurut provinsi

Angka harapan hidup saat lahir

Estimasi angka harapan hidup (e0) menurut provinsi

Layanan kesehatan / Health care delivery

Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan dasar

Persentase penduduk yang berobat jalan di puskesmas dan pustu selama sebulan yang lalu menurut provinsi

Persentase wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin menurut provinsi dan alat kb yang sedang di pergunakan

Imunisasi terhadap penularan penyakit anak-anak

Persentase balita yang diimunisasi menurut jenis imunisasi dan provinsi

Status gizi Status gizi Status gizi balita menurut provinsi

Status kesehatan dan kesakitan status and risks

Angka kesakitan dan penyakit yang berbahaya seperti HIV/ AIDS , Malaria ,

Jumlah penderita dan kejadian malaria menurut provinsi

Kumulatif kasus AIDS, kasus meninggal dan angka kumulatif

Page 50: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

46

TBC kasus menurut provinsi

Jumlah kasus penyakit tb paru menurut provinsi

Persentase perokok saat ini dan rerata jumlah batang rokok yang di hisap penduduk usia 10 tahun ke atas menurut Provinsi

Jumlah kasus bunuh diri menurut provinsi

Pendidikan Tingkat pendidikan

Rasio pendapatan kotor terhadap pendidikan dasar tertinggi yang dapat dicapai

Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tamat pendidikan dasar menurut Provinsi

Angka pendaftaraan pada pendidikan dasar

Angka partisipasi murni (APM) Sekolah Dasar menurut Provinsi

Melek huruf Angka melek huruf Penduduk usia 25-34 dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan minimal SMA menurut provinsi

Demografi Penduduk Laju pertumbuhan penduduk

Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi

Angka kelahiran total menurut provinsi

Rasio ketergantungan

Rasio ketergantungan menurut provinsi

Kepariwisataan - -

Bencana alam

Kerentanan terhadap bencana alam

Persentase penduduk yang tinggal di area yang rentan dengan bencana alam

Jumlah desa menurut jenis bencana alam dan provinsi

Kesiapan menghadapi

- Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam dan

Page 51: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

47

bencana provinsi

Jumlah korban bencana menurut provinsi dan kondisi korban

Jumlah kerusakan rumah akhibat bencana menurut provinsi

Perubahan Iklim

Perubahan iklim Emisi gas karbondioksida

Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut provinsi dan jenis bahan bakar untuk memasak Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas

Penipisan lapisan ozon

Konsumsi bahan penipis lapisan ozon

Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon

Kualitas udara Konsentrasi yang berkaitan dengan bahan pengotor udara di area perkotaan

Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2 di stasiun BMKG Jakarta

Lahan / land Status dan penggunaan lahan

- -

Penggurunan/Desertification

- -

Pertanian Area yang cocok untuk pertanian

Luas lahan sawah menurut provinsi dan jenis irigasi

Hutan Proporsi area lahan yang ditutup hutan

Persentase luas hutan terhadap luas wilayah menurut provinsi

Luas kebakaran hutan menurut fungsi hutan

Laut dan pantai / ocean, and

Batas pantai Persentase penduduk yang tinggal di area pantai

Jumlah dan persentase desa menurut provinsi dan letak geografis

Page 52: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

48

seas Perikanan Proporsi persedian

ikan dengan batas biologi yang aman

-

Lingkungan laut Proporsi area laut yang dilindungi

Sebaran kawasan konservasi laut menurut provinsi

Luas dan kondisi terumbu karang menurut provinsi

Air tawar / freshwater

Kualitas air Jumlah penggunaan sumber daya air

Produksi dan distribusi air bersih oleh perusahaan air minum

Intensitas penggunaan air berdasarkan aktivitas ekonomi

-

Kualitas air Kandungan bakteri coli dalam air tawar

Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen deman (COD) pada air sungai di beberapa kota di indonesia

Keanekaragaman hayati

Ekosistem Proporsi dari total area terrestrial yang dilindungi berdasarkan daerah ekologi

Kawasan konservasi daratan menurut provinsi

Spesies Perubahan status ancaman pada spesies

Spesies satwa yang dilindungi

Spesies tumbuhan yang dilindungi

Pola konsumsi dan produksi

Penyelenggaraan makro ekonomi

Product domestic bruto (PDB) per kapita

Produk domestic regional bruto per kapita atas dasar harga berlaku menurut provinsi

Pangsa investasi dalam PDB

Laju inflansi 66 kota di Indonesia

Kuangan umum berkesinam-

Hutang pada rasio PNB

Rasio hutang luar negeri terhadap produk nasional bruto

Page 53: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

49

bungan

Angkatan kerja Rasio penduduk yang bekerja

Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut provinsi

Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang rentan kehilangan pekerjaan menurut provinsi

Produktivitas dan biaya tenaga kerja

-

Proporsi wanita dalam ketenagakerjaan di sektor non pertanian

Rata-rata upah per bulan pekerja

Pola konsumsi dan produksi

Konsumsi material

Intensitas material ekonomi

-

Penggunaan energi

Konsumsi energi tahunan berdasarkan kategori pemakai

Pemakaian energi termasuk biomassa menurut sektor

Intensitas penggunaan energi berdasarkan aktivitas ekonomi

-

Turunan limbah dan pengelolaannya

Turunan dari limbah berbahaya

-

Pengelolaan dan pembuangan limbah

-

Angkutan Modal split of passenger transportation

Jumlah kendaraan bermotor menurut provinsi dan jenis kendaraan bermotor

Pengembangan ekonomi berbasis lingkungan dan ekosistem

Page 54: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

50

Komponen utama dari ekonomi hijau ada 2 (dua) yaitu: (i) struktur ekonomi; dan

(ii) konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (sustainable consumption and production).

Tidak ada kaidah khusus yang dimaksud dengan struktur ekonomi, namun dengan kondisi

Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam terutama keanekeragaman hayati (biodiversity)

maka ini merupakan sumber ekonomi baru yang perlu dikembangkan dan ditatakelola secara

terstruktur dan konsisten ke depan. Untuk itu akan dicoba dijabarkan satu per satu.

Struktur Ekonomi. Yang dimaksud dengan struktur ekonomi adalah struktur

ekonomi yang berbasis lingkungan dan ekosistemnya. Beberapa yang bisa dikembangkan

secara terstruktur berkaitan dengan hal ini adalah: (i) ekonomi biodiversity berbasis lahan

(green) dan laut (blue); (ii) ekonomi berbasis jasa sumber daya manusia yang terkait dengan

lingkungan dan ekosistem seisinya.

Ekonomi Berbasis lahan dan laut. Dalam lingkup ini beberapa sumber ekonomi

dan pertumbuhan baru adalah pengembangan ekonomi berbasis biodiversity, seperti:

(i) Industri pemanfaatan biodiversity (materi) untuk: (a) bahan obat (herbal

medicine/jamu dan suplemen berbasis herbal); (b) material untuk input

industri lain, baik kosmetik ataupun bahan antara lainnya.

(ii) Industri wisata berbasis ekosistem: (a) wisata hutan dan (b) wisata laut

yang digabungkan dengan wisata budaya. Pengembangan wisata ini tidak

mengganggu kelestarian biodiversity namun bahkan perlu melestarikan

agar keanekaragamannya yang unik dan khas untuk geografis dan budaya

Indonesia perlu dipertahankan.

Pembentukan Ekonomi Hijau

Dalam proses transisi ini diperlukan adanya suatu ukuran atau indikator yang dapat

membedakan bahwa kemajuan saat ini lebih menekankan aspek keberlanjutan dibandingkan

dengan periode sebelumnya. Beberapa hal yang dapat menjadi pedoman sebagai ukuran

untuk membedakan tingkat keberlanjutan dari suatu period ke periode berikutnya adalah:

a. Perlu dibangunnya ukuran di tingkat makro dan di tingkat sektor yang dapat

menginformasikan adanya transisi menuju ekonomi hijau.

b. GDP perlu disesuaikan dengan memperhitungkan adanya kerusakan sumberdaya

alam (natural resource depletion) dan depresiasi modal sumberdaya alam.

c. Perubahan dalam stok modal sumberdaya alam dalam bentuk moneter dan

diinternalisasikan ke dalam neraca nasional, bisa dalam bentuk Green Accounting

atau Inclusive Wealth Accounting.

Page 55: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

51

Berkaitan dengan pilihan ukuran ini, proses termudah memang melakukan koreksi

dari GDP saat ini dengan memasukkan depresiasi menjadi Net domestic product, atau dengan

memperhitungkan biaya dampak terhadap lingkungan serta degradasi dan deplesi sumberdaya

alam. Namun demikian, penggunaan indikator ini belum cukup menjamin terwujudnya

pembangunan berkelanjutan. Untuk itu perlu digunakan Genuine saving dan change in

wealth/capita (Alisyahbana and Anshory, 2003).

Pembentukan Perilaku Hijau.

Ekonomi Hijau dan pembangunan berkelanjutan adalah hasil akhir dari adanya

perilaku hijau. Untuk itu, penerapan mengenai efisiensi penggunaan sumberdaya dan hidup

bersih (minimum limbah) sangat penting untuk diterapkan di berbagai bidang kehidupan.

Langkah awal untuk mewujdukan hal ini, adalah dengan memasukkan prinsip ini ke dalam

pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Selanjutnya, penerapan

rendah emisi diperluas menjadi rendah limbah (hidup bersih) baik pada selain sisi konsumsi

(rumah tangga, industri, dan perusahaan) juga pada sisi produksi para pelaku usaha. Dalam

berbagai literatur dan terutama istilah yang sudah sering digunakan adalah sustainable,

consumption, and production (SCP). Dalam konsep yang digunakan oleh UNEP, SCP

meliputi berbagai bidang dan menyediakan benchmark bagi negara-negara untuk dapat

mengembangkannya sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Hal inilah yang perlu

terus dijunjung dalam penerapan dan pengembangan pembangunan berkelanjutan di berbagai

negara. Perbedaan kondisi di berbagai negara, perbedaan tingkat kemajuan pembangunan,

dan aspek yang berkembang menuntut pengembangan pembangunan berkelanjutan sesuai

dengan konteks domestik, karena tidak ada satu rumus yang pasti cocok untuk semua negara.

Demikian pula, Indonesia perlu menyusun kerangka SCP ini sesuai dengan kondisi Indonesia

dan kemajuan yang berbeda di setiap sektor yang terkait.

Page 56: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

52

Gambar 10. Flow Chart of Sustainable, Cosumption, and Production

Penanganan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan

didukung oleh Tata Kelola Hijau

Dengan terbangunnya pilar lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan dan

terjadinya keseimbangan diantara pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta dapat

diinternalisasikannya pilar lingkungan atau indikator lingkungan ke dalam pilar ekonomi dan

pilar sosial, maka pembangunan ketiga pilar menjadi komprehensif dan menyatu. Tahap

inilah yang ditunggu-tunggu, karena pembangunan berkelanjutan bukan tentang

pembangunan pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan saja secara sendiri-sendiri, namun

penerapan ketiganya harus secara sinergis dan seimbang. Untuk itu, perwujudan ini perlu

didukung pula dengan prinsip tata kelola yang dapat terus mendorong dan menjaga

perwujudan sinergi ketiga pilar tersebut. Hal ini berarti memerlukan pula sumberdaya

manusia yang benar-benar faham mengenai pembangunan berkelanjutan, komponen, proses

pengembangan dan proses penjagaannya agar terus diterapkan dan dikembangkan dari waktu

ke waktu sesuai konteks dan perkembangan jaman yang ada. Untuk itu, pembangunan

berkelanjutan perlu dilestarikan untuk terus ada dan menjadi prinsip pokok di dalam

pembangunan karena sudah diarusutamakan dan diterapkan secara konkrit dari masa ke masa

untuk menjaga agar planet kita dapat terus mendukung kehidupan yang sejahtera bagi bangsa

Indonesia dan penduduk dunia.

Page 57: Langkah MEnuju EKonomi Hijau

53

AFTAR PUSTAKA

Arief Anshory Yusuf and Armida Alisyahbana. 2003. Working Paper in Economics and

Development Studies No. 2000307. Center for Economic and Development Studies,

UNPAD

Bappenas, 2007. Country Natural Resources and Environment Assessment

Bappenas, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia.

Scanton, John. 2010. The Green Economy and International Environmental Governance.

UNEP, Green Economy Report: A Preview.

UNEP. Green Economy: Developing Countries Success Stories, 2010

UNEP 2011. Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty

Eradication. UNEP, 2011

Page 58: Langkah MEnuju EKonomi Hijau