LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF 2.doc

41
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................. 1 A. Landasan Religius............................ 2 B. Landasan Filosofis........................... 3 C. Landasan Yuridis............................. 7 - Konvensi Hak Anak Tahun 1989............... 7 - Perlindungan Anak Nasional Tahun 1998...... .......................................11 - Peraturan Standar Persamaan para Penyandang Cacat Tahun 1993.......................12 - Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994..... ........................................... 15 - Deklarasi Dakar Tahun 2000................. ........................................... 18 - Deklarasi Bandung Tahun 2004............... ........................................... 19 - Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan Indonesia.................................. ........................................... 20 1 | Page

description

tugas

Transcript of LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF 2.doc

LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

1A. Landasan Religius

2B. Landasan Filosofis

3C. Landasan Yuridis

7 Konvensi Hak Anak Tahun 1989

7

Perlindungan Anak Nasional Tahun 1998

11

Peraturan Standar Persamaan para Penyandang Cacat Tahun 199312 Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994

15

Deklarasi Dakar Tahun 2000

18

Deklarasi Bandung Tahun 2004

19

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan Indonesia

20

D. Landasan Pedagogis

21

DAFTAR RUJUKAN

LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Landasan Religius

Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama Islam. Dalam konsep Islam, sebenarnya telah mengamanatkan bahwa kita tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka yang cacat, hal ini dapat kita simak dalam Al-Quran. Surat An Nur (Cahaya): ayat 61: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu.. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahami.

Makna yang tersirat dalam ayat tersebut,bahwa Allah tidak membedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat normal masyarakat yang berada pada nuansa yang holistik dengan menerima adanya perbedaan sebagai anugrah maha pencipta, ada siang ada malam,ada laki-laki ada perempuan ada yang cacat dan ada yang tidak cacat merupakan kehidupan yang terintegrasi menjadi suatu kehidupan sosial yang harmonis sehingga nampak indah.

Dalam surat yang lain dalam alquran memberikan gambaran bahwa Allah sangat tidak senang terhadap manusia yang tidak memperdulikan orang cacat, seperti tercantum dalam surat Abasa(bermuka masam): 1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, 2. Karena telah datang seorang buta kepadanya, 3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya(dari dosa), 4. Atau dia (ingin)mendapatkan pengajaran,lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum, dia datang kepada Rasulullah SAW meminta ajaran-ajaran tentang Islam ,lalu Rasulullah SAW berpaling dan bermuka masam dari padanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan mengharapkan agar pembesar Quraisy tersebut masuk Islam.

Hal tersebut merupakan kepercayaan, akidah keimanan yang dapat dijadikan pegangan ,bahwa sistem inklusi bukan hal yang baru bagi kita,bukan suatu perubahan paradigma. Inklusi adalah fitrah yang harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh kasih sayang. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat ,kadangkala masih adanya rasa was-was dan kekhawatiran dari personal penyelenggaran pendidikan untuk menerima anak-anak yang cacat menjadi bagian dalam lembaga pendidikan nya ,karena mereka takut citra lembaganya akan menurun karena kehadiran mereka yang cacat berada di dalam nya.

B. Landasan Filosofis

Perubahan paradigma pendidikan yang menyangkut munculnya perubahan pandangan berkaitan dengan penegakan diagnosis terhadap anak. Selama ini kita pahami bahwa anak-anak dengan diagnosis medis yang sama dapat diberikan layanan pendidikan yang sama, namun kini kita menyadari bahwa diagnosis yang sama layanan pendidikan yang berbeda-beda. Karena pada dasarnya anak-anak mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda-beda.

Diagnosis seperti yang diberikan dimasa lalu menyebabkan anak-anak diberi label, akibat nya guru memfokuskan pada keterbatasan yang di sebabkan oleh kecatatannya. Dalam hal ini guru tidak menyadari potensi yang dimiliki oleh individu anak, labelisasi dan pelatihan yang terlalu dispesialisasikan, kebanyakan guru pendidikan anak yang berkebutuhan khusus kehilangan pemahaman yang holistik bagi pengajaran nya.

Perubahan pandangan filosofis terhadap anak yang memfouskan pada potensi, bukan pada hambatan, dengan demikian guru akan berusaha untuk melakukan asesmen untuk anak tersebut, bukan melakukan layanan pendidikan berdasarkan diagnosa dengan kata lain bahwa yang pertama kita lakukan adalah asesmen dengan memfokuskan pada apa yang dapat dan senang di lakukan oleh anak, hal ini akan membuka peluang untuk menemukan potensi pendidikan anak sesuai dengan kebutuhannya.

Perubahan pendekatan filosofis pendidikan inkusif di antaranya menuntut adanya konsep-kosep yang baru,di harapkan hal ini akan mengkomunikasikan sikap yang berbeda,di antaranya konsep untuk menempatkan diri anak sebagai pusat perhatian bukan kecacatan nya. Konsep-konsep lain akan menekan kan perubahan pendekatan ,seperti asesmen bukan diagnosis. Special need education, bukan lagi special education.

Dalam konteks eropa montessori (1870-1952) merupakan tokoh yang sangat berperan dalam perubahan pandangan filosofis,karena dia berpandangan bahwa perbedaan dalam kemampuan belajar dan berprilaku itu pada hakikat nya merupakan masalah pendidikan,bukan masalah medis.

Dia membuktikan bahwa anak-anak tuna grahita,pada masa itu di anggap tidak dapat di didik, namun ternyata setelah di berikan layanan pendidikan dapat memperoleh hasil yang mengesankan dalam belajar membaca,menulis dan keterampilan manual. Kemudian dia menemukan bahwa anak-anak memiliki kapasitas besar untuk pendidikan diri sendiri,konsentrasi dan pengulangan serta memiliki stamina. Sehingga di simpulkan bahwa kegiatan belajar dapat bertahan lama jika kondisi belajarnya sesuai,dan tugas-tugas yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan anak-anak.

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di indonesia adalah pancasila yang merupakan lima pilar yang sekaligus menjadi pondasi dalam lambang negara bhineka tunggal ika(mulyono abdul rahman,2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia ,baik kebinekaan tunggal ika vertikal maupun horizontal,yang mengemban misi tunggal sebagai umat tuhan di bumi.

Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan,kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa , ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, aviliasi politik.

Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, hal ini harus di wujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh. Maka dengan semangat toleransi tersebut kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Memang di antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya terdapat perbedaan-perbedaan, namun satu sama lain tidak mengurangi hak nya untuk melayani layanan pendidikan. Hak mereka sama memerlukan pembinaan yang prima untuk masing-masing agar menjadi manusia dengan harkat kemanusiaan nya secara penuh.

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa telah dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya merupakan anugerah dari maha pencipta yang seharus nya di manfaatkan dan di kembangkan,serta jangan di sia-sia kan.

Anak yang berkebutuhan khusus juga mempunyai kebutuhan pokok akan keberadaannya. Apalagi kebutuhan pokok nya tidak terpenuhi mereka akan mengalami kecemasan dan keragu-raguan. Jika potensi mereka tidak di manfaatkan, mereka akan mengalami kesulitan (Utami munandar,1982). Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang cendrung berbeda. . Maka pendidikan dan lingkungan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak. Agar menjadi aktual dalam kehidupan,sehingga bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Bagi masyarakat dan bangsanya , serta bekal untuk menghambakan dirinya kepada Tuhan. Dengan demikian usaha untuk mewujudkan anugrah potensi tersebut secara penuh merupkan konsekuensi dari amanah tuhan.

Pelayanan pendidikan yang kurang memperhatikan potensi anak,bukan saja akan merugikan anak itu sendiri. Melainkan akan membawa kerugian yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan pembangunan di Indonesia.

Dalam upaya mengembangkan kemampuan anak pendidikan berpegang pada asas keseimbangan dan keselarasan,yaitu keseimbangan antara kreatifitas dan disiplin. Keseimbangan antara persaingan kerja sama sehingga keseimbangan antara pengembangan kemampuan berfikir atomatik.

Filosofi inklusi adalah adanya perubahan paradigma dalam layanan pendidikan dengan tidak membedakan anak secara individu. Mengubah konsep filosofi menuju pendidikan inklusif yaitu merubah pandangan yang semula anak yang harus menyesuaikan dengan tuntutan sekolah,menjadi sekolah atau sistem yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak.

Konsekuensi dari perubahan paradigma diatas harus membawa perubahan penting di sekolah. Dimasa yang lalu pendekatan pengajaran anak berkebutuhan khusus di tentukan oleh diagnosis yang di berikan pada mereka. Dengan pendekatan tersebut anak dengan diagnosa yang sama harus di layani dengan pembelajaran yang sama.

Perubahan menyadarkan kita bahwa walaupun pembelajaran akan di pengaruhi oleh gangguan. Tetapi ada faktor-faktor lain yang sifat nya individu. Hal ini berlaku untuk semua anak maka sistem harus menyesuaikan dengan kebutuhan individu anak.

Sebagai contoh,seorang anak yang mengalami hambatan dalam belajar karena adanya gangguan pendengaran. Anak tersebut membutuhkan layanan keterampilan khusus misalnya dalam berkomunikasi maka media komunikasi dan metode pembelajaran harus di sesuaikan agar anak tidak mengalami hambatan dalam belajar.

Konsekuensi yang paling penting dalam perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keberagaman. Apabila hal tersebut tidak mendapat respon dari berbagai pihak,maka adanya kecendrungan untuk kembali kepada falsafah semula yaitu memisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas masyarkat, karena mereka memang berbeda.

Mereka yang dianggap berbeda di jumpai anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan, hambatan tersebut di antaranya di sebabkan karena kecacatan dan kondi lain sehingga mereka termarjinalisasi. Selama beberapa dekade kita telah mengalami banyak perubahan dalam pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat. Tetapi juga bagi pengayaan semua yang terlibat,antara lain anak-anak,keluarga,guru-guru dan kepala sekolah nya,dan masyarakat secara keseluruhan.

C. YURIDIS

a. Konvensi Hak Anak Tahun 1989

Diadopsi dari Dewan Muumuu PBB pada tanggal 28 November 1989. Sat ini kita mengenal Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ). Konvensi Hak Anak (KHA), adalah kata lain dari trakta atau pakta. Merupakan perjanjian diantara beberapa negara yang bersifat mengikat, baik sejara yuridis maupun politik.

Wacana tentang anak tidak lepas dari Konvensi Hak Anak (KHA), karena konvensi inilah yang menjadi dasar bagi dunia internasional untuk memandang permasalahan yang dihadapi anak, terutama di negara-negara yang sudah meratifikasi KHA.

Ratifikasi merupakan penerimaan yuridis terhadap sebuah konvensi yang dilakukan oleh satu negara, setelah negara yangbersangkutan menandatangani konvensi. Dengan meratifikasi suatu konvensi suatu negara menyatakan kesediaan untuk terikat secara yuridis dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam konvensi tersebut.

Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubunan dengan hak anak.

Indonesia adalah negara peserta yang telah meratifikasi KHA. Ratifikasi tersebut dinyatakan dalam Keppres. No 36/1990, tertanggal 25 Agustus 1990. Mulai berlaku 5 Oktober 1990.

Konsekuensinya, kita wajib mengakui dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana yang dirumuskan dalam KHA. Oleh kerena itu setiap warga negara indonesia menjadi wajib mengetahiu tentang isi KHA, dan Deklarasi Hak Anak, memahami dan turut melaksanakannya.

Deklarasi dimaksud seperti pada deklarasi mengenai hak anak; Merupakan suatu pernyataan umum mengenai prinsip-prinsip yang bisa diterima bersama, namun berbeda dengan konvensi, ia tidak mengikat secara yuridis tetapi hanya mengikat secara moral.

Sebagai warga negara Indonesia diwajibkan untuk mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalam KHA. Sehingga kita mempunyai wawasan tentang apa, mengapa dan bagaimana uraian yang terkandung didalamnya. Paling tidak kita pahami prinsip-prinsp yang mendasar dalam KHA. Ada empat prinsip yang terkandung dalam KHA (1989:16):

1. Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA, yang selengkapnya berbunyi: Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari sisi anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah (ayat 1).

2. Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semuia bentuk diskriminasi atau hukum yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau kayakinan dari orang tua, walinya yang sah, atau anggota keluarganya ( ayat 2)

3. Yang terbaik bagi anak (best interests of the child), yaitu bahwa; Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3, ayat 1)

4. Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survival and development) artinya, Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6, ayat 1).

Negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6, ayat 2). Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), maksudntya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12, ayat 1, sebagai berikut: negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut, akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.

Dalam wacana Hak Azasi Manusia (HAM), manusia hanya mempunyai hak, sedangkan kewajiban berada di pihak negara. Kekhususan konvensi di bidang HAM sebagai suatu bentuk perjanjian internasional ialah bahwa negara yang meratifikasi konvensi dimaksud saling berjanji untuk terikat pada kewajiban. Guna memberikan hak kepada manusia yang berada di dalam wilayah hukum negara bersangkutan.

Dalam konteks tersebut, pihak-pihak yang berkaitan dengan KHA pada dasarnya meliputi (1) Anak, sebagai pemegang hak. (2) Negara, sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak.

Kaitannya dengan jaminan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak cacat, diantaranya tercantum dalam KHA, Pasal 23

1. Negara-negara peserta mengakui bahwa seseorang anak yang menderita cacat mental dan fisik hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak, dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan mempermudah peran serta aktif anak dalam masyarakat. Negara-negara peserta mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan akan mendorong dan menjamin pemberian, berdasarkan sumber-sumber daya yang tersedia, kepada anak yang berhak serta mereka yang bertanggungjawab atas perawatannya, bantuan yang diminta dan yang layak bagi keadaan anak dan bagi lingkungan orangtua dan orang lain yang merawat anak..

2. Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus anak cacat, bantuan, bila mungkin sesuai dengan paragraf 2 pasal ini, akan diberikan secara cuma-cuma, dengan memperhatikan sumber keuangan orang tua atau pihak lain yang mengasuh anak bersangkutan, dan akan dirancang untuk menjamin bahwa anak cacat bisa secara efektif memperoleh pendidikan, pelatihan, layanan perawatan dan rehabilitasi. Persiapan untuk bekerja dan peluang-peluang untuk rekreasi. Sehingga bisa menjurus kepada keberhasilan anak untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan pribadi sepenuh mungkin, termasuk pengembangan kebudayaan dan spiritualnya.

3. Negara-negara peserta akan meningkatkan semangat kerjasama internasional. Pertukaran informasi yang tepat dalam bidang pelayanan kesehatan pencegahan dan tentang perawatan medis, psikologis dan fungsional anak cacat. Termasuk penyebarluasan dan perolehan informasi mengenai metode-metode rehabilitasi, pendidikan dan pelayanan kejuruan, dengan tujuan memungkinkan negara-negara peserta meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dan memperluas pengalaman mereka dalam bidang-bidang ini. Dalam hal ini perhatian khusus diberikan kepada kebutuhan negara-negara berkembang. Dalam konvensi ini banyak dibicarakan tentang anak dan yang dimaksud dengan anak. Yang dimaksud dengan anak dalam KHA yaitu mendefinisikan anak secara umum sebagai manusia yang umumnya belum mencapai usia 18 tahun. Namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam pandangan nasional. Ada dua pendapat mengenai hal tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa bayi yang berada dalam kandungan juga termasuk ke dalam kategori anak seperti yang dimaksud KHA. Pendapat kedua menyatakan bahwa anak terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18 tahun.

b. Perlindungan Anak Nasional Tahun 1998

Sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak, dan Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia sedunia, maka dibentuk Lembaga Perlindungan Anak yang ditetapkan dan disahkan di Jakarta. Pada tanggal 27 Oktober 1998 oleh Forum Nasional Perlindungan Anak.Lembaga tersebut sebagai wahana masyarakat yang independen guna ikut memperkuat mekanisme nasional untuk mewujudkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi perlindungan anak di Indonesia, demi masa depan yang lebih baik. Dalam Bab I Anggaran Rumah Tangga (ART) Lembaga Perlindungan Anak (LPA).

Pasal 1. Lembaga Perlindungan Anak adalah sebagai wahana masyarakat yang independen guna ikut memperkuat mekanisme nasional untuk mewujudkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi perlindungan anak di Indonesia, demi masa depan yang lebih baik.

Pasal 2. Maksud dan tujuan LPA sebagai berikut:

1. Negara melindungi dan memenuhi segenap hak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kondisi dimana pelaksanaan KHA dapat dipantau secara terus-menerus agar lebih maju dan lebih baik.

3. Kondisi dan situasi kehidupan keluarga dan masyarakat yang memegang teguh prinsip dan nilai positif dalam memenuhi tuntutan pertumbuhan dan perkembangan anak naik KHA maupun pemahaman; nilai dan prinsip-prinsip lainnya yang berarti bagi pemenuhan hak-hak dasar anak.

4. Tercapainya suatu kondisi yang bebas dari tindakan atau perlakuan salah yang dapat menghambat proses tumbuh kembang anak sebagai manusia yang bermartabat.

5. Tercapainya kondisi dimana anak-anak mendapatkan perlindungan terhadapa hak-haknya secara utuh.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat hakekat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, anak juga memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia, dan merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia.

Dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah lahir. Di samping itu patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak, bahwa untuk perkembangan kepribadian anak secara utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian.

c. Peraturan Standar Persamaan para Penyandang Cacat Tahun 1993

Resolusi PBB No.48 Tahun 1993, tentang Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Para Penyandang Cacat. Yang dimaksud dengan persamaaan kesempatan adalah proses yang menyebabkan berbagai sistem yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti sistem pelayanan, kegiatan sosial, informasi dan dokumentasi dapat dinikmati oleh semua orang, khususnya para penyandang cacat.

Prinsip persamaan hak mengandung arti bahwa kebutuhan-kebutuhan setiap individu sama pentingnya, kebutuhan tersebut dijadikan sebagai dasar perencanaan masyarakat. Semua sumber harus dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menjamin agar individu memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.

Para penyandang cacat adalah anggota masyarakat. Mempunyai hak untuk berada dalam lingkungan masyarakat. Mereka harus mendapat dukungan yang mereka butuhkan melalui sistem pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan pelayanan sosial yang berlaku umum.

Peraturan 6 (hal. 20): Pendidikan; Negara-negara hendaknya mengakui prinsip persamaan. Kesempatan pendidikan bagi anak-anak, remaja dan dewasa penyandang cacat pada tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi secara terintegrasi atau terpadu.

Negara-negara hendaknya menjamin bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.

1. Para pejabat pendidikan umum bertanggungjawab atas pendidikan bagi para penyandang cacat dilaksanakan dengan sistem integrasi. Pendidikan bagi para penyandang cacat hendaknya merupakan bagian yang integral dari perencanaan pendidikan nasional, pengembangan kurikulum dan organisasi sekolah. Pendidikan di sekolah umum berarti harus tersedianya interpreter serta bentuk-bentuk pelayanan penunjang lainnya sesuai dengan kebutuhan, aksesibilitas dan bentuk-bentuk pelayanan penunjang yang memadai, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan para penyandang cacat dari berbagai jenis kecacatan, hendaknya tersedia.

2. Kelompok-kelompok orang tua siswa dan organisasi-organisasi penyandang cacat hendaknya dilibatkan dalam proses pendidikan pada semua jenjang.

3. Di negara-negara yang telah menerapkan kebijakan wajib belajar, hendaknya mencakup semua anak dari semua jenis dan semua tingkat kecacatan, termasuk yang paling berat.

4. Perhatian khusus hendaknya diberikan pada lingkup-lingkup berikut:

a) Anak-anak penyandang cacat usia dini,

b) Anak-anak penyandang cacat pra-sekolah,

c) Orang dewasa penyandang cacat, terutama wanita.

5. Untuk memperlancar proses pendidikan bagi para penyandang cacat di sekolah-sekolah umum, negara-negara hendaknya:

a) Mengeluarkan kebijakan yang dinyatakan secara jelas, dapat dimengerti dan diterima ditingkat sekolah dan oleh masyarakat luas.

b) Mengizinkan adanya fleksibilitas, penambahan dan penyesuaian kurikulum.

c) Menyediakan bahan-bahan berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru yang berkelanjutan serta menyediakan guru pembimbing khusus.

6. Pendidikan terpadu dan terprogram bersumberdaya masyarakat hendaknya di pandang sebagai pendekatan pelengkap dalam memberikan pendidikan dan pelatihan yang hemat dana bagi para penyandang cacat. Program bersumberdaya masyarakat tingkat nasional hendaknya mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber-sumber yang tersedia untuk memberikan pendidikan lokal kepada para penyandang cacat.

7. Di dalam situasi sistem persekolahan umum belum dapat memenuhi kebutuhan semua penyandang cacat secara memadai, penyelenggaraan Sekolah Khusus dapat dipertimbangkannya. Hal ini hendaknya ditujukan untuk mempersiapkan para siswa bagi pendidikan dalam sistem persekolahan umum. Kualitas pendidikan tersebut hendaknya mencerminkan standar dan tujuan yang sama dengan pendidikan umum. Para siswa penyandang cacat diberi posisi pendidikan yang sama dengan siswa-siswa yang tidak cacat. Saat ini sekolah khusus dapat dipandang sebagai bentuk pendidikan yang paling tepat untuk siswa-siswa penyandang cacat tertentu.

8. Mengingat kebutuhan komunikasi khusus bagi para tunarungu dan tunarungu-netra, pendidikan mereka mungkin lebih cocok diselenggarakan di sekolah-sekolah khusus bagi mereka atau kelas khusus di sekolah umum. Pada tahap awal, perhatian khusus perlu difokuskan pada pengajaran yang peka budaya yang akan menghasilkan keterampilan komunikasi efektif dan kemandirian yang maksimal bagi para tunarungu atau tunarungu-netra.

d. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994

Konferensi dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, akses dan mutu, Salamanca, Spanyol 7-10 Juni 1994. Dokumen-dokumen ini menggambarkan konsensus masyarakat dunia mengenai arah masa depan pendidikan kebutuhan khusus.

UNESCO merasa telah menyelenggarakan konferensi yang telah mengambil keputusan penting. Semua yang berkepentingan harus bangkit menghadapi tantangan dan bekerja untuk menjamin agar pendidikan benar-benar untuk semua. Terutama bagi mereka yang tidak berdaya dan paling memerlukan.

Masa depan dibentuk bukan karena nasib, melainkan dibentuk oleh pemikiran dan tindakan kita serta nilai-nilai yang kita anut.

Pada bagian 2 isi pernyataan Salamanca menyatakan bahwa:

1. Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan dan harus diberikan kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar.

2. Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Sistem pendidikan hendaknya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan tersebut.

3. Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogik yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

4. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan bagi semua; sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan biaya seluruh sistem pendidikan.

Pada bagian 3 pernyataan Salamanca yang ditujukan kepada semua negara peserta, mendesak mereka untuk:

1. Memberikan prioritas tertinggi pada pengambilan kebijakan dan penetapan anggaran untuk meningkatkan sistem pendidikannya agar dapat menginklusikan semua anak tanpa memandang perbedaan ataupun kesulitan-kesulitan individual mereka.

2. Menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai undang-undang atau kebijakan, sehingga semua anak ditempatkan di sekolah reguler kecuali bila terdapat alasan yang sangat kuat untuk melakukan hal lain.

3. Mengembangkan proyek percontohan dan mendorong pertukaran pengalaman dengan negara-negara yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan sekolah inklusif. Menetapkan mekanisme partisipasi yang terdesentralisasi untuk membuat perencanaan, memantau dan mengevaluasi kondisi pendidikan bagi anak serta orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus.

4. Mendorong dan memfasilitasi partisipasi orang tua, masyarakat dan organisasi para penyandang cacat dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan yang menyangkut masalah pendidikan kebutuhan khusus.

5. Melakukan upaya yang lebih besar dalam merumuskan dan melaksanakan strategi identifikasi dan penanggulangan dini, maupun dalam aspek-aspek vokasional dari pendidikan inklusif.

6. Demi berlangsungnya perubahan sistemik, menjamin agar program pendidikan guru, baik pendidikan pradinas, maupun dalam dinas, membahas masalah pendidikan kebutuhan khusus di sekolah inklusif.

Pada bagian 4 suatu hal yang sangat penting agar pendidikan inklusif yang dilaksanakan menjadi perhatian masyarakat internasional, maka: Negara-negara yang mempunyai program kerjasama internasional, terutama para sponsor Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk semua, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), dan Bank Dunia:

1. Agar mendukung pendekatan pendidkan inklusif serta mendukung pengembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai bagian yang integral dari semua program pendidikan.

2. Perserikatan Bangsa-Bangsa beserta lembaga-lembaga spesialisasinya, terutama Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNESCO dan UNICEF.

3. Agar memperkuat terjalinnya kerjasama teknis, dan jaringan kerjanya agar tercipta dukungan yang lebih efisien terhadap penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus yang lebih luas dan lebih terintegrasi.

4. Organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam perencanaan nasional penyaluran pelayanan: Agar memperkuat kerjasama dengan badan-badan nasional pemerintah dan agar mengintensifkan keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus secara inklusi.

UNESCO sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani pendidikan agar dapat:

1) Menjamin bahwa pendidikan berkebutuhan khusus selalu merupakan bagian dari setiap diskusi mengenai pendidikan untuk semua dalam berbagai forum,

2) Mobilisasi dukungan dari organisasi-organisasi profesi keguruan dalam hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan guru mengenai penyelenggaraan pendidikan berkebutuhan khusus,

3) Menstimulasi masyarakat akademik untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan jaringan kerja serta membentuk pusat-pusat informasi dan dokumentasi regional; juga agar berfungsi sebagai pusat-pusat penerangan bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan agar menyebarluaskan hasil-hasil serta kemajuan yang telah dicapai pada tingkat nasional dalam upaya mengimplementasikan deklarasi ini,

4) Memobilisasi dana melalui perluasan program penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif dan program dukungan masyarakat dalam rencana jangka menengah, yang akan memungkinkan diluncurkannya proyek perintis guna mempertunjukan pendekatan-pendekatan baru dalam upaya menyebarluaskan informasi, serta untuk mengembangkan indikator-indikator mengenai perlunya pendidikan kebutuhan khusus dan penyelenggaraannya.

E. Deklarasi Dakar Tahun 2000

Konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua yang diselenggarakan pada tahun 1990 di Jominten Thailan. Telah menghasilkan beberapa tujuan pendidikan untuk semua. UNESCO bekerja sama dengan lembanga PBB lainnya dan organisasi non-pemerintahan tingkat nasionalmaupun tingkat internasional.bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan berupaya memberikan bantuan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan untuk semua di tingkat nasional.

Forum dunia yang diselenggarakan di Dakar Senegalpada tahun 2000. Menegaskan kembali pandangan (visi) Deklarasi dunia tentang pendidikan untuk semua. Bahwa semua anak,remaja dan orang dewasa menpunyai hak untuk memperoleh mamfaat dari proses pendidikan. Forum dunia ini juga sepakat untuk mencapai tujuan perluasan dan peningkatan kepedulian dan pendidik anak usia dini (PAUD).

1. Pembebasan biaya pada progra wajib belajar untuk semua anak pada tingkat sekolah dasar pada tahun 2015.

2. Akses yang layakuntuk pembelajaran danprogram keterampilan hidup.

3. Peningkatan 50% melek aksara untuk orang dewasa pada tahun 2015.

4. Penghapusan perbedaan jender pada tahun 2015.

5. Keterukuran peningkatan kualitas pendidikan.

Saat ini UNESCO bekerja dalam strategi jangka menengah pada sektor pendidikan antara tahun 2002-2007. Peningkatan pendidikan sebagai dasarHak Asasi Manusia; meningkatkan kualitas pendidikan , meningkatkan inovasi pendidikan, pertukaran informasi pendidikandan dialo kebijakan pendidikan.F. Deklarasi Bandung Tahun 2004

Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif, deklarasi yang diselenggarakan pada tanggal, 8-14 Agustus 2004 di Bandung Iindonesia.bahwasanya keberadaan anak berkelaianan dan anak berkebutuhan khusus lainnya. Untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat,memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan.

Sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh dan sebagai warga negara , sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), diperjelas oleh Konvensi Hak Anak (1989).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kami, peserta lokakarya Nasional tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus 2004. Menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat:

1. Menjamin setiap anak berkelaianan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan. Sosial, kesejahteraan, keamanan maupun bidng lainnya, sehinga menjadi generasipenerus yang handal.

2. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lannya, sebagai individu yang bermartabat. Untuk mendapatkan perlakuan manusiawi.pendidikan yang bemutu sesuai dengan potensi dan tuntuta masyarakat. Tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan konsistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomos, sosiologis, hukum,p politis maupun kultural.

3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolahan pendidikan inklusif. Ditunjang oleh kerja sama yang sinergis dan produktif diantara para pemerintah, institusi pendidikan, orang tua serta masyarakat.

4. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak berkelaianan dan anak berkebutuhan khusus lainnya. Sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal.

5. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya. Untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan dilingkungan manapun, dengan maminimalkan hambatan.

6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa.promosi melaluiforum ilmiah, pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan.

7. Menyusun Renjana Aksi (action plan) dan pendanaannya. Untuk pemenuhan aksebilitas fisik dan non-fisik.layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus.

G.Undang-undang dan Peratutan Pemerintahan Indonesia

Secara umumpendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya. Untuk memilik kekuatan spiritual, keamanan, pengendalian didri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, dan keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara( UU.No 20, tahun 2003, pasal.1,ayat 1).

Pasal inilah yang memungkinkan pengembangan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Peraturan pemerintahan tentang pendidikan Khususnya dan pendidikan layanan khusus sebagai penjabaran dari undang-undang Sisdiknastahun 2003, telah lama selesai dirancang (RPP.PKh dan PLKh). Namun belum disahkan sebagai peraturan pemerintah. Masih diperlukan penyempurnaan, agar sesuai dengan perubahan paradigma pendidikan untuk semua yang telah disepakati masyarakat dunia. Termasuk indonesia yang telah mendeklarasikan menuju pendidikan inklusif pada bulan Agustus 2004 di Bandung.

D. Pedagogis

Bahwa manusia dapat dididik dan sekaligus dapat mendidik, serta saling mendidik sesamanya. Seorang manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya hanya melalui pendidikan yang dilakukan oleh manusia lainnya. Pendidikan hanya mungkin terjadi apabila manusia itu berhubungan dengan manusia lainnya yang menyelenggarakan pendidikan.

Di sekolah terjadi hubungan pendidikan. Antara pendidik atau guru dan peserta didik atau siswa. Dalam arti luas peserta didik itu tidak harus anak atau manusia muda. Semua manusia dalam seting semua usia, dan disemua kondisi yang menghendaki perolehan sesuatu dari hubungan dengan manusia lain yang ia maksudkan.

Sejalan dengan hal tersebut, yang dimaksud manusia lain kemudian disebut pendidik. Tidak harus berarti orang yang lebih tua, lebih pintar, lebih berpangkat atau lebih berkuasa. Melainkan seseorang yang dengan sadar dapat memenuhi apa yang didapatkan oleh peserta didik dalam suasana yang disebut situasi pendidikan.

Hubungan pendidikan tersebut tidak terjadi secara acak. Artinya tidak semua hubungan antara seseorang dengan orang lainnya, kapan saja, dimana saja, dalam kondisi apapun juga, dan dengan cara bagaimanapun juga akan menjadi apa yang dinamakan hubungan pendidikan atau situasi pendidikan.

Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah berkembang menjadi salah satu bidang pendidikan utama dalam disiplin ilmu pendidikan secara keseluruhan. Menciptakan kesempatan baru bagi anak yang membutuhkan layanan khusus dari berbagai tingkatan usia (Befring, Tangen, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

Menurut sejarah filosofis dasar pendidikan kebutuhan khusus berakar pada prinsip bahwa semua manusia mempunyai nilai yang sama. Setiap anak harus mendapat pelayanan dan memperoleh pendidikan yang relevan untuk hidup yang bermartabat.

Sebuah hambatan dihadapkan kepada kita tentang anak berkebutuhan khusus: Apakah semua anak berkebutuhan khusus dapat dididik? Hal ini yang selalu menjadi perdebatan di Eropa (Berit. H. Johnsen: 2003), maka sebagai upaya pemecahannya; Sekolah khusus dikembangkan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus mampu didik. Sementara yang dianggap tidak mampu didik ditempatkan di lembaga yang dikelola oleh bidang kesehatan dan bidang sosial.Daftar Rujukan

Tarmansyah. 2009. Perspektif Pendidikan Inklusif. Padang: UNP Press

http://ycaitasikmalaya46111.wordpress.com/2013/01/11/landasan-pendidikan-inklusif/RESUME

PENDIDIKAN INKLUSIFTentang

LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

KELOMPOK 1 :

1. GITA MAWARNI ZULFAH2. KUKUH VANDRIANI3. USI SYAFARWATI4. WINDI RESTU SARI

5. MASNIARI NASUTIONRM 09

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014

LAPORAN DISKUSI1. DELMAWATI

Coba jelaskan landasan pedagogic dan filosofis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi!Jawaban:Landasan filosofis Indonesia adalah pancasila. Jadi,dalam penyelenggaraan Pendidikan inklusi harus berdasarkan pancasila. Artinya kita tidak boleh membedakan setiap inividu. antara ABKh dengan anak yang lainnya. Filosofi inklusi adalah adanya perubahan paradigma dalam layanan pendidikan dengan tidak membedakan anak secara individu. Mengubah konsep filosofi menuju pendidikan inklusif yaitu merubah pandangan yang semula anak yang harus menyesuaikan dengan tuntutan sekolah, menjadi sekolah atau system yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Contohnya: seorang anak yang mengalami gangguan pendengaran sehingga sulit baginya untuk menerima pelajaran. Sehingga guru lah yang harus menyesuaikan metode pembelajaran dan media komunikasi agar anak tersebut tidak mengalami hambatan dalam belajar. Sedangkan Landasan pedagogik bahwa setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak normal, namun dengan perlakuan yang berbeda. Tidak mengisolasikan anak anak-anak berkebutuhan khusus.2. RESTU FEBRIANTODalam landasan filosofis dijelaskan bahwa dulu anak menyenyesuaikan tuntutan dengan sekolah dan berubah menjadi sekolah yang menyesuaikan dengan kebuuhan anak, apa saja bentuk penyesuaian yang dilakukan sekolah pada anak pada saat sekarang?Jawaban: hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari perubahan paradigma bahwasanya dulu anak yang menyesuaikan tuntutan dengan sekolah dan berubah menjadi sekolah yang menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Bias kita contohkan seperti contoh seorang anak yang mengalami hambatan dalam belajar karena adanya gangguan pendengaran. Anak tersebut membutuhkan layanan keterampilan khusus misalnya dalam berkomunikasi, maka media komunikasi dan metode pembelajaran harus disesuaikan agar anak tidak mengalami hambatan dalam belajar.

3. RINA SARI NASUTIONBagaimana melayani pendidikan anak berkebutuhan khusus?

Jawab: Layanan yang diberi tergantung kepada kebutuhan anak tersebut yaitu kebutuhan yang khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Contohnya bagi tuna netra mereka memerlukan pelayanan modifikasi teks, bacaan menjadi tulisan braille dan tuna rungu berbicara dengan isyarat.

Assessment = kumpulan informasi yang relevan yang dapat dipertanggung jawabkan dalam rangka pengambilan keputusan.

27 | Page