LAMPIRAN A: Transcript Wawancara 1
Transcript of LAMPIRAN A: Transcript Wawancara 1
xxi
LAMPIRAN A: Transcript Wawancara 1
Narasumber : Fika Frahesti Yunita, M. Psi., CGA
Tanggal : 14 September 2020
Waktu : 13.00 WIB
Selamat siang dok, saya Teodora Chintya mahasiswi Desain Komunikasi Visual
Universitas Multimedia Nusantara. Saat ini saya sedang mengerjakan Tugas Akhir
saya yang berjudul “Perancangan Informasi Mengatasi Trauma secara Mandiri
Pasca Keguguran”, dan untuk itu saya mewawancarai beberapa pihak, salah
satunya psikolog.
Q: Pertama-tama, yang ingin saya tanyakan pengertian trauma sendiri itu apa bu?
A: Trauma yaitu suatu bentuk respon emosi yang bisa diikuti dengan respon
perilaku karena kejadian yang menakutkan atau mengerikan. Respon yang
diberikan akibat trauma bisa bermacam-macam mulai dari gemetar, keringat
dingin, mual dan lain sebagainya. Namun ada pula respon yang tidak terlihat
secara fisik, misalnya saat melakukan aktivitas terbayang kejadian trauma yang
pernah dialami sehingga merasa sedih atau takut serta terbawa mimpi.
Q: Apakah ada tingkatan atau leveling pada trauma?
A: Oke, tingkatan dari trauma sendiri memang ada yang ringan dan juga berat
tergantung dari respon orang tersebut. Respon yang terjadi akibat kejadian yang
traumatis pada setiap orang itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
penghayatan diri orang tersebut terhadap trauma yang dialaminya. Beberapa orang
xxii
dapat dengan mudah menerima kejadian yang menakutkan atau tidak mengenakan
yang dialaminya. Namun adapula orang yang sulit menerima kejadian tersebut
bahkan dapat mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Q: Apakah memungkinkan untuk ibu yang mengalami trauma mengatasi
traumanya secara mandiri?
A: Beberapa pribadi memiliki resiliensi atau kemampuan untuk menyesuaikan diri
ketika dihadapkan dengan tekanan. Tingkatan pribadi ketika mengalami kejadian
yang traumatis bergantung juga pada ketangguhan diri dan hardiness setiap
individu. Begitu pula dengan trauma pasca keguguran. Setiap ibu yang mengalami
trauma pasca keguguran dapat melakukan self healing secara mandiri. Yang tidak
seharusnya dilakukan yaitu apabila belum sembuh sepenuhnya, namun
membandingkan dengan orang lain. Akibatnya muncul perasaan iri, dan marah
apabila misalnya melihat ibu hamil atau ibu yang sedang menggendong anak.
Q: Bagaimana cara mengatasi trauma pasca keguguran?
A: Cara mengatasinya yaitu dengan menyadari bahwa ada hal yang bisa
dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan. Beberapa hal yang dapat dikendalikan
seperti pikiran-pikiran dari diri sendiri. Hal-hal yang tidak dapat dikendalikan
dalam keguguran seperti kecelakaan ataupun kematian janin karena faktor
genetik. Selain kejadian yang dialami langsung oleh ibu yang mengalami
keguguran, ada juga faktor diluar ibu yang tidak dapat dikendalikan. Misalnya
omongan orang sekitar. Hal konkrit yang dapat dilakukan berkaitan kesehatan
fisik pasca keguguram seperti cek medis, melakukan konsultasi untuk kehamilan
selanjutnya, meminum obat penguat kehamilan apabila keadaan rahimnya lemah
xxiii
dan sebagainya yang berkaitan dengan persiapan medis. Belajar mengelola emosi,
trauma menimbulkan perasaan sedih, kecewa, marah dan berbagi emosi lainnya.
Dan ketika mengalami trauma pasca keguguran merupakan hal yang sangat wajar
bila ibu yang traumastis untuk merasakan berbagai emosi tersebut. Setelah
merasakan berbagai emosi tersebut, secara sadar akan muncul pertanyaan tentang
apa yang menyebabkan emosi ini muncul, lalu menganalisa emosi-emosi yang
dirasakan.
Q: Apakah ada terapi yang dapat dilakukan oleh ibu yang mengalami keguguran?
Untuk menenangkan kondisi mental ibu?
A: Oke, untuk mengekspresikan emosi juga menjadi penting dalam tahap
melewati masa-masa traumatis. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
misalnya menulis, melakukan hobi, rekreasi dan mengalihkan emosi tersebut ke
hal-hal yang lebih bermanfaat. Ibu yang traumatis juga dapat bercerita dengan
teman, pasangan maupun orang terdekat tentang perasaan dan pengalaman
keguguran yang dialaminya. Apabila diperlukan, ibu yang traumatis juga dapat
berkonsultasi dengan psikolog untuk pemulihan masalah mental yang dirasakan.
Yang sering dilupakan ketika mengalami trauma, yaitu sebaiknya jangan
membuat keputusan yang besar, seperti keputusan untuk segera hamil kembali.
Ketika kondisi mental sudah dirasa siap maka hal tersebut dapat dilakukan.
Namun apabila dirasa belum siap secara fisik maupun mental, sebaiknya hal
tersebut tidak dilakukan karena apabila gagal akan menjadi trauma yang lebih
dalam lagi.
xxiv
Q: Untuk beberapa ibu ada yang dapat mengatasi traumanya dan ada yang belum
bisa mengatasinya. Bagaimana dengan ibu yang tetap mengalami trauma meski
sudah dikaruniai anak?
A: Banyak yang sudah merasa memaafkan peristiwa keguguran, padahal yang
terjadi adalah melupakan. Anggapan bahwa ketika sudah mempunyai anak rasa
trauma tersebut akan hilang. Padahal kondisi psikologis ibu masih belum bisa
memaafkan kejadian keguguran sebelumnya, sehingga dapat berpengaruh kepada
kehamilan selanjutnya dan juga anak yang akan dilahirkan. Untuk kehamilan
selanjutnya kondisi ibu ketika hamil akan mengalami stress, dan untuk anak yang
akan dilahirkan akan merasa orang tuanya terlalu protektif sehingga merasa tidak
dapat kepercayaan dari orang tuanya.
xxv
LAMPIRAN B: Screenshot Kerjasama
Narasumber : Anna Nina Ariani, S. Psi, M. Psi, Psi
Tanggal : 15 September
Waktu : 19.30 WIB
xxvi
LAMPIRAN C: Transcript Wawancara 2
Narasumber : Ibu E.
Tanggal : 10 September 2020
Tempat : Taman Bugenvil Golf, Blok B3 no. 15, Bogor (Kediaman Ibu E)
Waktu : 16.00 WIB
Q: Boleh tolong ibu ceritakan kembali keguguran yang dialami? Kapan dan apa
penyebabnya ibu mengalami keguguran tersebut?
A: Keguguran tahun 96, penyebabnya tidak diketahui, periksa semua dari lab
semuanya udah ya yang berhubungan sama obgyn. Yang kedua ketemu virus
TORCH, minggu ke 8, kena cyto, janin tidak berkembang, udah periksa detak
jantung uda ada, minggu ke 7 detak jantung lemah, posisi ga keliatan detak lemah,
bercak, ditahan sampai 12 minggu. Pas dicek 12 minggu uda gaada. Bercak tidak
banyak. Dan harus kuret. Hamil ketiga, sama juga, minum obat, tiap minggu
periksa darah, minum obat yg sekali minum 50 ribu 1 biji, sekali minum 2, sehari
3 kali selama seminggu. Resiko anaknya cacat kalo kena virus itu.
Q: Apa yang menjadikan ibu merasa sangat trauma akan keguguran?
A: Trauma karena berulang, masuk tempat persalin pulang gabawa anak,
disamping itu kepengen, disamping itu takut juga.
Q: Bagaimana tanggapan dan peran suami dalam menerima keguguran?
A: Papanya nerima, kadang ada yang ego papanya gamau periksa. Kalo ini
papanya periksa juga, dan ga pernah nyalahin juga.
Q: Bagaimana tanggapan dan peran keluarga dalam menghadapi keguguran ini?
xxvii
A: Semua keluarga menerima dan mensupport.
Q: Hal apa yang ibu sadari dan pelajari dari kejadian ini semua?
A: Kita harus sampai titik pasrah dan nerima, kadang kepikiran kenapa sih kita
yang ngalamin , kenapa sih orang lain anaknya dibuang buang, kenapa kita mau
susah banget, tapi tetep kita obatin, kita jaga.
Q: Bagaimana cara ibu mengatasi trauma pasca terjadinya keguguran?
A: Jangan pantang menyerah, berusaha dan berdoa.
Q: Apakah ibu mendapatkan bantuan dari psikiater atau psikolog maupun dokter
kandungan?
A: Kalo psikolog sih enggak. Paling tante ke rohaniwan, sama dokter kandungan.
Rohaniwan itu untuk penguatan secara spiritual dan mental ya, karena tante kan
udah beberapa kali ngalamin keguguran dan trauma juga.
Q: Berapa lama ibu mengatasi trauma ini?
A: Untuk saat ini sih masih berproses untuk menyembuhkan trauma ya. Tapi udah
gak separah dulu.
Q: Apa yang dirasa berat dan mudah dalam mengatasi trauma?
A: Yang dirasa berat ya itu, harus periksa setiap minggu. Suntik tiap minggu
sampai tangan boyok-bonyok. Memang perjuangan untuk mendapatkan anak itu
berat banget karena kalau hamil harus bener-bener dijaga. Sampai harus resign
dari pekerjaan dan juga harus bedrest selama udah menuju mau melahirkan.
Selain itu juga trauma berulang kali, jadi kita juga takut ya. Karena tiap selesai
keguguran kan harus dibersihin, diangkat jaringannya. Itu kan termasuk operasi
xxviii
besar juga ya, dan bius total. Namanya orang kan kita gak tahu, bisa lewat juga.
Kalau yang mudahnya, ya semua keluarga support, papanya juga dan dikuatin
secara spiritual sih. Tetap berharap dan berusaha.
Q: Apa yang wajib dilakukan dan harus dihindari dalam mengatasi trauma pasca
keguguran?
A: Cek semua kondisi medis. Terutama sebelum menikah. Tes talasemia juga
penting, biar tahu ada yang pengidap talasemia tidak? Kalau saya pengidap
talasemia minor dan papanya mayor. Untungnya masih bisa. Kalau dua-duanya
mayor itu tidak bisa. Pasti anaknya tidak selamat. Lalu, periksa semua checklist
sebelum kehamilan untuk meminimalkan resiko. Selain itu juga mengurangi
berpikiran negatif, menjaga pola makan dan pola hidup.
Q: Darimana ibu mendapatkan informasi tentang cara mengatasi trauma pasca
keguguran?
A: Kalau dulu tidak ada youtube, jadi langganan majalah ayah bunda, dan
informasi dari dokter juga.
Q: Setelah mengalami trauma pasca keguguran dan memiliki anak kembali, apa
yang membuat ibu termotivasi untuk kembali memiliki anak?
A: Motivasi, tadinya mau satu aja. Tapi yang anak pertama minta adik, saya pikir
sepi juga kalau sendiri kasihan. Motivasinya juga karena pengalaman sendiri.
Dulu gak punya ibu jadi curhatnya ke kakak saya. Terus jadi mikir kalo anak saya
nanti ada apa-apa, curhatnya ke siapa. Makanya akhirnya saya memutuskan untuk
hamil kembali. Biar anak pertama ada yang nemenin.
xxix
Q: Kalau ada media informasi yang dapat memberikan cara mengatasi trauma
pasca keguguran, informasi apa yang sekiranya harus ada dalam media informasi
tersebut?
A: Tentang pemeriksaan kesehatan sebelum menikah, konsultasi sebelum
kehamilan. Lalu juga bagaimana cara agar dapat mengurangi dampak dari trauma
itu sendiri.
xxx
LAMPIRAN D: Screenshot Wawancara
Narasumber : Ibu Agustina Sri Wahyundari
Tanggal : 10 September 2020
Media : Whatsapp