LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN...

24
LAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016

Transcript of LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN...

Page 1: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

LAPORAN INDIVIDU

RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR

Disusun oleh :

Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849

LABORATORIUM SATWA LIAR

BAGIAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

Page 2: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar ini telah diajukan dan

dipertanggungjawabkan kepada co-ass sebagai prasyarat untuk dapat menempuh

Responsi Riset dan Manajemen Satwa Liar. Telah disahkan pada :

Hari : Jumat

Tanggal : 23 Desember 2016

Yogyakarta, 22 Desember 2016

Mengetahui,

Praktikan Tim Co.Ass

(Auliasafir Yena Chatleya) (…………………………..)

Page 3: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat dan karunia-Nya sehingga Laporan Individu

Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mengikuti seminar hasil dan

penilaian Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar yang diselenggarakan Fakultas

Kehutanan UGM Yogyakarta tahun akademik 2016/2017. Dalam kesempatan kali ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pengajar mata kuliah Riset dan Manajemen Satwa Liar yang telah

membimbing penulis dalam pelaksanaan Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar dan

penyelesaian laporan ini.

2. Co ass yang juga telah membimbing dan membantu dalam pelaksanaan Praktikum Riset

dan Manajemen Satwa Liar dan penyelesaian laporan ini.

3. Orang tua yang telah memberikan dukungan secara material dan spiritual sehingga

laporan ini dapat diselesaikan.

4. Rekan-rekan kelompok 8 yang telah membantu dalam pelaksanaan Praktikum

Riset dan Manajemen Satwa Liar.

5. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan ini baik

dari segi materi maupun penyajian. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun sehingga dapat diterapkan di masa mendatang. Akhir kata, penulis

berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan pembaca

pada umumnya.

Yogyakarta, 22 Desember 2016

Praktikan,

Auliasafir Yena Chatleya

Page 4: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................................

PENGARUH KELERENGAN DAN TUTUPAN KAYU REBAH TERHADAP

KEBERADAAN FAMILI SCINCIDAE DAN SELEKSI HABITAT DI HUTAN

WANAGAMA I .........................................................................................................................

1.1. ABSTRAK ...............................................................................................................

1.2. PENDAHULUAN ....................................................................................................

1.3. BAHAN DAN METODE .........................................................................................

1.4. PEMBAHASAN .......................................................................................................

1.5. KESIMPULAN ........................................................................................................

1.6. SARAN .....................................................................................................................

1.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

PENGARUH KELERENGAN DAN KERAPATAN POHON TERHADAP

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN

WANAGAMA………………………………………….............................................................

2.1. ABSTRAK ...............................................................................................................

2.2. PENDAHULUAN ....................................................................................................

2.3. BAHAN DAN METODE .........................................................................................

2.4. PEMBAHASAN .......................................................................................................

2.5. KESIMPULAN ........................................................................................................

2.6. SARAN .....................................................................................................................

2.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

STUDI KELAYAKAN HUTAN WANAGAMA I SEBAGAI TEMPAT

RESTORASI RUSA JAWA (Rusa timorensis) DARI ASPEK

RUANG.....................................................................................................................................

3.1. ABSTRAK ...............................................................................................................

3.2. PENDAHULUAN ....................................................................................................

Page 5: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

3.3. BAHAN DAN METODE .........................................................................................

3.4. PEMBAHASAN .......................................................................................................

3.5. KESIMPULAN ........................................................................................................

3.6. SARAN .....................................................................................................................

3.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

Page 6: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

PENGARUH KELERENGAN DAN TUTUPAN KAYU REBAH

TERHADAP KEBERADAAN FAMILI SCINCIDAE DAN SELEKSI

HABITAT DI HUTAN WANAGAMA I

Auliasafir Yena Chatleya

14/367881/KT/07849

Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM

Menurut Xiong dan Yong (2007), herpetofauna menjadi bioindikator penting untuk

menggambarkan perubahan ekosistem yang terjadi, termasuk Famili Scincidae. Faktor

lingkungan fisik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku dan daya tahan

herpetofauna. Beberapa faktor fisik tersebut adalah kelerengan dan penutupan kayu rebah.

Hutan Wanagama I merupakan salah satu lokasi yang berpotensi menjadi habitat Famili

Scincidae. Hutan Wanagama I mempunyai kondisi lingkungan dan vegetasi yang bervariasi.

Famili Scincidae sebagai bioindikator peka terhadap lingkungan. Sehingga hal tersebut

berdampak pada keberadaan Famili Scincidae. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

mengenai seleksi habitat Famili Scincidae di Hutan Wanagama I dan pengaruh dari aspek

kelerengan dan penutupan kayu rebah terhadap kehadiran Famili Scincidae.

Metode pengambilan data jumlah dan jenis individu dilakukan dengan menggunakan

kombinasi antara VES (Visual Encounter Survey), line transect, dan metode kuadrat. Adanya

keberadaan Famili Scincidae disimbolkan dengan 1 dan ketidakadanya disimbolkan dengan 0.

Untuk mendeteksi sifat selektif dari Famili Scincidae dilakukan analisis chi square test (X2)

dibantu dengan software R statistik. Pengambilan data kelerengan diambil menggunakan

klinometer. Penutupan kayu rebah dengan melihat berapa persentase kayu rebah yang

menutupi plot protocol. Untuk mengetahui pengaruh keberadaan Famili Scincidae berdasar

kelerengan dan penutupan kayu rebah, maka digunakan analisis regresi dengan bantuan

software R statistic.

Keberadaan Famili Scincidae di Hutan Wanagama I telah ditemukan pada 50 segmen

dari total 105 segmen. Kehadiran Famili Scincidae lebih banyak ditemukan pada jenis tegakan

Gamal dengan jumlah 12 segmen, Acacia sp. 24 segmen, dan Jati 8 segmen. Hasil analisis chi

square diketahui bahwa Famili Scincidae tidak melakukan seleksi habitat di Hutan Wanagama

I. Aspek kelerengan berpengaruh terhadap keberadaan Famili Scincidae sedangkan penutupan

kayu rebah tidak berpengaruh.

Kata kunci: Famili Scincidae, seleksi habitat, kelerengan, penutupan kayu rebah

Page 7: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

PENDAHULUAN

Keberadaan herpetofauna memiliki

peranan penting dalam ekosistem. Reptilia

mencakup empat ordo besar yaitu Chelnoia

atau Testudines, Squamata atau Lepidosauria,

Rhynchocephalia, dan Crocodilia. Salah satu

famili dari ordo Squamata yaitu Famili

Scincidae (Ario, 2010). Menurut Xiong dan

Yong (2007), herpetofauna juga menjadi

bioindikator penting untuk menggambarkan

perubahan ekosistem yang terjadi.

Semua anggota jenis yang termasuk

dalam Famili Scincidae digolongkan sebagai

pemburu mangsa yang aktif (Regal, 1978),

selain itu Vitt (1991) juga berpendapat bahwa

Famili Scincidae mempunyai kemampuan

mencari mangsa pada daerah perburuan yang

luas (widely forager). Pada beberapa jenis

kadal ternyata umur, ukuran tubuh dan jenis

kelamin memengaruhi pemilihan mangsa

berupa avertebrata atau vertebrata kecil.

Demikian juga proporsi mangsa terpilih

bervariasi (Avery, 1966; Castilla dkk,. 1991;

Kurniati & Maryanto, 1996; Vitt & Cooper,

1986; Vitt & Cooper 1988). Hal ini

menunjukan bahwa Famili Scincidae

merupakan indikator lingkungan salah satunya

berperan penting dalam dinamika populasi

serangga.

Faktor lingkungan fisik merupakan

faktor yang sangat berpengaruh terhadap

perilaku dan daya tahan herpetofauna.

Beberapa faktor fisik tersebut adalah

kelerengan dan penutupan kayu rebah.

Hutan Wanagama I merupakan salah

satu lokasi yang berpotensi menjadi habitat

Famili Scincidae. Hutan Wanagama I

mempunyai luas kurang lebih 600 ha dengan

16 petak. Setiap petaknya terdiri dari beberapa

jenis tipe tegakan. Jumlah spesies vegetasi

penyusun hutan Wanagama I mencapai 190

spesies (Anon, 2005 dalam Purnomo, 2010).

Hutan Wanagama I mempunyai

kondisi lingkungan dan vegetasi yang

bervariasi. Famili Scincidae sebagai

bioindikator peka terhadap lingkungan.

Sehingga hal tersebut berdampak pada

keberadaan Famili Scincidae. Oleh karena itu

perlu dilakukan penelitian mengenai seleksi

habitat Famili Scincidae di Hutan Wanagama I

dan pengaruh dari aspek kelerengan dan

penutupan kayu rebah terhadap kehadiran

Famili Scincidae.

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan

Penelitian ini dilakukan pada tanggal

19-20 November 2016. Lokasi penelitian

berada di Hutan Wanagama I, Kecamatan

Payen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten

Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan yaitu Famili

Scincidae di Hutan Wanagama I, kelerengan,

dan penutupan kayu rebah. Alat yang

digunakan adalah peta Hutan Wanagama I,

GPS, kompas, protractor, parang, tally sheet,

dan buku identifikasi jenis herpetofauna, dan

klinometer.

Page 8: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

2.3 Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data jumlah dan

jenis individu dilakukan dengan menggunakan

kombinasi antara VES (Visual Encounter

Survey), line transect, dan metode kuadrat.

Metode ini dilakukan dengan membuat

sebanyak tiga line dengan jarak line pertama

terhadap sungai sebesar 10 meter untuk

menghindari efek tepi dan jarak tiap line

sebesar 50 meter. Line transect dibuat dengan

lebar 20 meter dan panjang 250 meter

mengikuti alur Sungai Oyo. Tiap line terbagi

menjadi 5 segmen dengan panjang 50 meter.

VES digunakan untuk mengetahui kekayaan

jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis

dan memperkirakan kelimpahan relative

spesies (Bismark,2011).

Gambar 1. Metode Pengambilan Data

Herpetofauna

Metode pengambilan data kelerengan

dan tutupan kayu rebah dilakukan pada setiap

segmen VES transect. Pengambilan data

tersebut dilakukan pada pusat masing-masing

segmen. Pengambilan data kelerengan diambil

menggunakan klinometer. Penutupan kayu

rebah diukur dalam protocol sampling yang

berdiameter 22,6 m dengan melihat berapa

persentase kayu rebah yang menutupi plot

protocol. Kriteria kayu rebah yang diambil

yaitu panjang minimal 1,5 m dengan diameter

minimal 8 cm.

2.4 Analisis Data

Keberadaan Famili Scincidae

diketahui untuk masing-masing lokasi

pengamatan di lokasi. Keberadaan Famili

Scincidae dikategorikan dengan ada atau tidak

adanya. Adanya keberadaan Famili Scincidae

disimbolkan dengan 1 dan ketidakadanya

disimbolkan dengan 0.

Kondisi lingkungan fisik

dideskripsikan berdasarkan angka atau besaran

dari masing-masing parameter Kelerengan dan

penutupan kayu rebah dinyatakan dalam satuan

persen.

Data yang digunakan untuk analisis

seleksi variabel digunakan data variabel habitat

yang sudah diperoleh dari setiap unit sampel

yatu plot pengamatan. Untuk mendeteksi sifat

selektif dari Famili Scincidae dilakukan

analisis chi square test (X2) dibantu dengan

software R statistik. Manly, et al (2002)

menyatakan formula X2 sebagai berikut:

Dimana :

O : frekuensi jumlah plot yang ada Famili

Scincidae hasil observasi

E : Frekuensi yang diharapkan

X2

tabel diperoleh dengan taraf signifikansi 5%

dengan derajat kebebasan (dk) = Jumlah tipe

tegakan -1

Dengan mengacu pada hipotesis :

Ho : Peluang keberadaan Famili Scincidae

Page 9: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

pada semua tipe tegakan yang ada sama

Ha : Peluang keberadaan Famili Scincidae

pada semua tipe tegakan tidak sama

Jika X2

hitung lebih besar daripada X2

tabel

maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Apabila memiliki sifat selektif, maka

selanjutnya dilakukan penaksiran tingkat

kesukaan tipe tegakan dengan nilai indeks

seleksi (Standardized Index) :

Dimana :

W : Rasio Seleksi (Selection index)

Oi : Proporsi plot di tipe tegakan I yang

terdapat Jenis Famili Scincidae

Πi: Proporsi area tipe habitat I yang tersedia

Dimana :

B : Nilai standard seleksi

W : Rasio seleksi pada tipe tegakan i

∑W : total rasio seleksi

Selanjutnya, untuk mengetahui

pengaruh variabel terhadap keberadaan Famili

Scincidae dilakukan Analisis Regresi Logistik.

Dimana kehadiran jenis-jenis Famili Scincidae

menempati variabel dependen (Y). Selanjutnya

variabel lingkungan (suhu, kelembaban,

kelerengan ,JDSA, ketebalan seresah, tutupan

tajuk,tutupan tumbuhan bawah,dan kerapatan

vegetasi) menempati variabel independen (X).

Untuk mengetahui pengaruh

keberadaan Famili Scincidae berdasar

kelerengan dan penutupan kayu rebah, maka

digunakan analisis regresi dengan bantuan

software R statistic.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan, dapat diketahui

bahwa keberadaan Famili Scincidae telah

ditemukan pada 50 segmen dari total 105

segmen. Kehadiran Famili Scincidae ini

kebanyakan ditemukan di jenis tegakan gamal

dengan jumlah 12 segmen, Acacia sp. 24

segmen, dan jati 8 segmen.

Tabel 1. Keberadaan Famili Scincidae di

Hutan Wanagama I

Jenis Tegakan Ada Tidak Jumlah

segmen

Gamal 12 27 39

Jati 8 2 10

Gamal dan Jati 0 1 1

Mahoni 3 3 6

Kayu putih 3 2 5

Acacia sp. 24 19 43

Kolonjono 0 1 1

Grafik 1. Gambar persebaran Famili Scincidae

di berbagai segmen di Hutan Wanagama I

Famili Scincidae merupakan reptil

terrestrial, yakni reptile yang memiliki

intensitas aktivitas yang tinggi diatas tanah.

Aktivitas yang dilakukan Famili Scincidae

diatas tanah adalah seperti yang terlihat saat

0 10 20 30

KEBERADAAN SCINCIDAE

Ada Tidak

Page 10: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

pengamatan, tempat bersembunyi atau tidur,

aktivitas makan, berjemur dan bergerak.

Berdasarkan pada hasil penelitian yang

dilakukan pada Hutan Pendidikan Wanagama

I, dari 105 segmen yang terdapat pada tiap

petak didapatkan 50 segmen yang

ditemukannya Famili Scincidae. Berdasarkan

tipe jenis tegakan, Famili Scincidae paling

banyak ditemukan pada tipe jenis tegakan

Akasia dan Jati. Pada hasil analisis data

menunjukan bahwa Famili Scincidae tidak

melakukan seleksi terhadap habitatnya

berdasarkan tipe jenis tegakan. Hal ini

menunjukan bahwa tipe jenis tegakan bukan

menjadi komponen family Scincidae dalam

memilih habitatnya. Jenis-jenis dari family

Scincidae yang ditemukan antara lain adalah

Eutropis multifasciata, dan Eutropis rudis.

Gambar 2. Hasil analisis statistik regresi

pengaruh kelerengan dan penutupan kayu

rebah

Dari hasil analisis tersebut, dapat

diketahui bahwa kelerengan berpengaruh

terhadap keberadaan Famili Scincidae. Hasil

yang diperoleh dikatakan signifikan apabila

nilai Pr(>|t|) kurang dari 0,05 dan didapat hasil

sebesar 0.0241. Penutupan kayu rebah tidak

berpengaruh terhadap keberadaan Famili

Scincidae. Hasil tidak signifikan apabila nilai

Pr(>|t|) lebih dari 0,05 dan didapat nilai sebesar

0.7462.

Batang pohon yang mati maupun cabang -

cabang yang mati dapat menjadi tempat

berlindung, tempat beristirahat dan

menghasilkan makanan bagi herpetofauna.

Beberapa jenis herpetofauna memanfaatkan

kondisi ini untuk tempat bersarang. Selain itu,

berbagai jenis serangga yang tinggal pada

bagian kayu yang mati merupakan makanan

bagi herpetofauna (Noon,1981).

Hasil yang diperoleh mengenai penutupan

kayu rebah tidak sesuai dengan teori yang ada.

Saat pertama kali dibangun pada tahun 1964,

Hutan Wanagama I hanya seluas 10 ha

kemudian meluas menjadi 599,9 ha pada tahun

1983. Hutan Wanagama I merupakan salah

satu bentuk hasil reboisasi yang berhasil,

dimana dahulunya merupakan kawasan bukit

gundul berbatu menjadi hutan yang heterogen.

Dapat disimpulkan bahwa Hutan Wanagama I

adalah hutan sekunder. Ini berarti keadaan

hutan masih belum mencapai keadaan klimaks

seperti hutan alam. Tutupan vegetasi hutan

sekunder belum sekompleks hutan alam,

sehingga jumlah kayu rebah lebih minimum

dibanding dengan hutan alam. Keadaan hutan

alam yang penuh dengan pencekik sebagai

penyebab kayu rebah, tidak sebanding dengan

keadaan hutan sekunder yang lebih jarang

dijumpai pencekik. Kemudian, Wanagama

merupakan kawasan yang berdekatan dengan

tempat tinggal masyarakat. Apabila ada kayu

roboh, maka kemungkinan kayu tersebut untuk

diambil oleh masyarakat lebih besar dibanding

dibiarkan melapuk. Kegiatan penebangan

pohon pun juga dilakukan dengan tujuan

pemenuhan kebutuhan ekonomi oleh

Page 11: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

masyarakat. Selain itu, Hutan Wanagama I

merupakan hutan pendidikan yang

sebmaksimal mungkin agar pepohonan yang

ada dapat dipertahankan sebagai media

pembelajaran.

Gambar 3. Coplot kelerengan

Dari hasil analisis diperoleh data

bahwa kelerengan ± 00-4

0 adalah kelerengan

yang paling berpengaruh terhadap keberadaan

Scincidae. Primack et al. (1998) dalam Yusuf

(2008) mengatakan bahwa komposisi

komunitas dan keanekaragaman jenis reptil

lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan

dengan dataran tinggi, dan kelimpahan jenis

reptil semakin berkurang dengan

bertambahnya ketinggian. Dimana pada

dataran rendah dengan kelerengan yang landai

kondisi lingkungannya mendukung bagi

habitat reptil.

Pada kelerengan yang lebih landai,

letak sungai atau sumber air lebih sering

ditemukan. Kadal (Eutropis sp.) juga sering

dijumpai di bebatuan atau batang pohon pada

pagi hari serta dekat pinggiran sungai

(Yanuela, 2012). Karena, Scincidae menyukai

tempat yang lebih lembab sehingga pada

kelerengan tersebut berpengaruh terhadap

keberadaan Scincidae.

Daerah yang lebih tinggi atau lebih

rendah, kurang berpengaruh terhadap

keberadaan Scincidae. Karena kelerengan akan

memengaruhi kondisi fisik lingkungan.

Kondisi lingkungan yang lebih kering ataupun

terlalu dingin kurang disukai oleh Scincidae.

Keadaan Hutan Wanagama memiliki

kelerengan yang beragam, namun dari hasil

penelitian ini lereng yang datar akan lebih

sering dijumpai Famili Scincidae karena

letaknya yang berdekatan dengan Sungai Oyo

maupun kemudahan dalam beraktivitas seperti

berburu, mendapatkan air, ataupun menjelajah

karena landainya topografi.

KESIMPULAN

1. Keberadaan Famili Scincidae di Hutan

Wanagama I telah ditemukan pada 50

segmen dari total 105 segmen.

Kehadiran Famili Scincidae lebih

banyak ditemukan pada jenis tegakan

Gamal dengan jumlah 12 segmen,

Acacia sp. 24 segmen, dan Jati 8

segmen.

2. Hasil analisis chi square tersebut

diketahui bahwa p-value chi square

test adalah 0.06333. Diketahui bahwa

data normal apabila lebih dari 0.05 dan

dari hasil yang didapat yaitu 0.06333

lebih dari 0.05, sehingga diketahui

bahwa Famili Scincidae tidak

melakukan seleksi habitat di Hutan

Wanagama I.

Page 12: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

3. Aspek kelerengan berpengaruh

terhadap keberadaan Famili Scincidae

sedangkan penutupan kayu rebah tidak

berpengaruh.

SARAN

Perlu dilakukan survei yang lebih

menyeluruh pada kawasan Wanagama I untuk

mendapatkan gambaran Famili Scincidae yang

lebih akurat. Keberadaan Famili Scincidae

sebagai bioindikator lingkungan dapat menjadi

rujukan pengelolaan Hutan Wanagama I

terhadap perubahan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ario, A. 2010. Panduan Lapangan

Mengenal Satwa Taman

Nasional Gunung Gede

Pangrango. Jakarta:

Perpustakaan Nasional.

Avery, R.A. 1966. Food and feeding habits

of the the common lizard

(Lacerta vivipara) in the west of

England. Journal Zoology of

London 149 : 115-121.

Bismark M,. 2003. Daya Dukung Habitat

Sebagai Parameter Dominan dalam

Pengelolaan Populasi Satwaliar Di

Alam. Paket Teknologi. Pusat Litbang

Hutan dan Konservasi Alam .Bogor.

Manly BFJ, McDonald LL, Thomas DL,

McDonald TL, Erickson

WP.2002. Resource selection by

animals: statistical design and

analysis for field studies. 2nd ed.

Dordrecht, Kluwer Academic

Publishers. Netherlands.

Noon, B.R. 1981. The Distribution of

An Avian Guild Along A

Temperate Elevational Gradient:

The Importance and Expression

Of Competation. Ecological

monographs. 51:105-124.

Purnomo, D.W. 2010. A Habitat Selection

Model for Javan Deer (Rusa

timorensis) in Wanagama I Forest,

Yogyakarta. Journal of Bioscience

2 (2): 84-89.

Regal, P.J. 1978. Behavior differences

between reptiles and mammals: an

analysis of activity and metal

capabilities. Dalam: Greenberg, N

& Maclean, P.D (eds.). Behavior

and Neurology of Lizards. Pp 183-

202. National Institute of Mental

Health. Maryland.

Xiong W. C. and W. Yong. 2007.

Emergent Spatial Pattern of

Herpetofauna in Alabama, USA.

Acta Herpetologica 2(2): 97-115.

Yanuela, M. F. 2012. Panduan Lapangan

Herpetofauna (Amfibi dan Reptil)

Taman NasionalAlas Purwo. Balai

Taman Nasional Alas Purwo.

Banyuwangi.

Yusuf, L R. 2008. Studi Keanekaragaman

Jenis Repti Pada Beberapa Tipe

Habitat Di Eks HPH PT RKI

Kabupaten Bungo Jambi. Jurusan

Page 13: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

Konservasi Sumberdaya

Hutan.Fakutas Kehutanan Institut

Petanian Bogor.

Vitt, L.J & Cooper, W.E. 1986. Foraging

and diet of a diurnal predator

(Eumeces laticeps) feeding on

hidden prey. Journal of

Herpetology 20 (3): 408-415.

Vitt, L.J & Cooper, W.E.1988. Feeding

responses of skinks ( Eumeces

laticeps) to velvet ants (Dasymutilla

occidentalis). Journal of

Herpetology 22 (4): 485-488. 36

Vitt, L.J. 1991. An introduction to the

ecology of Cerrado lizards. Journal

of Herpetology 25 (1): 79-90

Page 14: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

PENGARUH KELERENGAN DAN KERAPATAN POHON TERHADAP

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN WANAGAMA I

Auliasafir Yena Chatleya

14/367881/KT/07849

Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM

Salah satu jenis keanekaragaman hayati Indonesia adalah burung. Burung memiliki

peranan sebagai indikator keanekaragaman hayati, karena keanekaragaman jenis burung di

suatu wilayah dapat mencerminkan tingginya kehidupan liar di daerah tersebut (Sujatnika,

dkk, 1995). Hutan Wanagama I menjadi salah satu habitat keanekaragaman jenis burung.

Seiring berjalannya waktu, Hutan Wanagama I telah menjadi kawasan hutan dengan berbagai

macam kerapatan vegetasi yang dikelola secara silvikultur intensif (Oemi dan Ibrahim, 1980).

Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung

pada kondisi lingkungan dan faktor yang memengaruhinya (Helvoort 1981).

Yuda (1993) menyebutkan bahwa ditemukan 71 jenis burung di Wanagama I. Jumlah

jenis burung di Hutan Wanagama I terus berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan dan

faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I berdasar pengaruh kelerengan dan

kerapatan pohon terhadap keanekaragaman jenis burung.

Data keberadaan burung diambil menggunakan metode point count dan dianalisis

dengan formula Shannon-Wiener. Data kelerengan diambil pada titik pusat point count pada

arah utara, selatan, barat, dan timur. Data kerapatan pohon dibuat dengan metode nested

sampling dengan ukuran 20 m x 20 m. Kemudian dicatat jenis, jumlah, dan keliling pohon.

Kemudian untuk mengetahui pengaruh kelerengan dan kerapatan pohon digunakan analisis

regresi dengan menggunakan statistik R.

Tingkat keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I tergolong tinggi dengan

indeks Shannon yang diperoleh sebesar 2,15333. Kelerengan dan kerapatan pohon terhadap

keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I tidak berpengaruh.

Kata kunci: keanekaragaman jenis, burung, kelerengan, kerapatan pohon

Page 15: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

PENDAHULUAN

Salah satu jenis keanekaragaman

hayati Indonesia adalah burung. Burung

memiliki peranan sebagai indikator

keanekaragaman hayati, karena

keanekaragaman jenis burung di suatu wilayah

dapat mencerminkan tingginya kehidupan liar

di daerah tersebut (Sujatnika, dkk, 1995).

Indonesia memiliki jumlah jenis burung

tertinggi di dunia selain Brazil, tercatat 1.599

jenis (Sukmantoro et al. 2007). Seiring dengan

perkembangan teknologi molekuler dan

penemuan jenis baru di berbagai tempat, jenis

burung di Indonesia telah bertambah menjadi

1.605 jenis, (20 bangsa dan 94 suku). Jumlah

ini mencakup sekitar 16% dari total 10.140

jenis burung di dunia (Birdlife International,

2003).

Hutan Wanagama I menjadi salah satu

habitat keanekaragaman jenis burung. Seiring

berjalannya waktu, Hutan Wanagama I telah

menjadi kawasan hutan dengan berbagai

macam kerapatan vegetasi yang dikelola secara

silvikultur intensif (Oemi dan Ibrahim, 1980).

Keanekaragaman jenis burung berbeda

dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini

tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor

yang memengaruhinya (Helvoort 1981). Faktor

yang mempengaruhi keanekaragaman jenis

burung dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu

faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik

mapun faktor biotik, keduanya saling

berkaitan.

Faktor abiotik adalah komponen

lingkungan yang terdiri atas makhluk tak hidup

atau segala sesuatu yang tidak bernyawa

(Irwan, 1992). Kelerengan merupakan salah

satu variabel abiotik. Kelerengan memengaruhi

penyebaran mahkluk hidup (Hofrichter, 2000).

Kelerengan berkaitan dengan kelembaban,

cahaya, suhu, serta keadaan tanah disuatu

daerah. Organisme yang hidup di daerah

berbukit berbeda dengan daerah datar.

Faktor biotik adalah faktor yang

mempengaruhi keberadaan suatu individu,

berasal dari segala macam makhluk hidup pada

suatu wilayah, baik manusia, tumbuhan

maupun hewan (Chettri, dkk., 2005).

Kerapatan vegetasi pohon merupakan salah

satu variabel biotik. Barlow, dkk (2007)

menemukan fakta bahwa keanekaragaman

spesies burung sangat berkolerasi dengan

tingkat pembukaan kanopi. Hutan yang

memiliki kanopi yang rapat memiliki tingkat

keanekaragman spesies burung yang tinggi.

Yuda (1993) menyebutkan bahwa

ditemukan 71 jenis burung di Wanagama I.

Jumlah jenis burung di Hutan Wanagama I

terus berkembang sesuai dengan kondisi

lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih

lanjut mengenai keanekaragaman jenis burung

di Hutan Wanagama I berdasar pengaruh

kelerengan dan kerapatan pohon terhadap

keanekaragaman jenis burung.

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan

Penelitian ini dilakukan pada tanggal

5-6 November. Lokasi penelitian berada di

Hutan Wanagama I, Kecamatan Payen dan

Page 16: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul,

Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan yaitu aneka

jenis burung di Hutan Wanagama I,

kelerengan, dan kerapatan pohon. Alat yang

digunakan adalah tally sheet, binokuler,

kamera, alat tulis, buku panduan lapangan

identifikasi burung, GPS, kompas, klinometer.

2.3 Metode Pengambilan Data

Data keberadaan burung diambil

menggunakan metode point count, dengan

radius tiap titik pengamatan sebesar 50 m, dan

jarak tiap titik pengamatan adalah 200 m. .

Pengamatan burung dilakukan selama 10 menit

di setiap titik, dimulai 3 menit setelah

pengamat sampai di titik pengamatan. Burung

yang dihitung adalah yang teramati atau

terdengar suaranya pada radius 50 m. Burung

yang berada di luar point tidak dihitung.

Gambar 1. Contoh bentuk plot point count

Data kelerengan diambil pada titik

pusat point count pada arah utara, selatan,

barat, dan timur.

Data kerapatan pohon dibuat dengan

metode nested sampling dengan ukuran 20 m x

20 m. Kemudian dicatat jenis, jumlah, dan

keliling pohon.

2.4 Analisis Data

Untuk menghitung indeks

keanekaragaman jenis menggunakan formula

Shannon-Wiener.

H' = -∑ (pi. Ln pi)

H' = indeks keanekaragaman Shannon

Pi = ni/N, perbandingan antara jumlah individu

spesies ke-i dengan jumlah total individu

Ni = jumlah suatu jenis

N =jumlah seluruh jenis yang ada dalam

contoh.

Tingkat keanekaragaman

diklasifikasikan berdasarkan criteria Lee et al.,

(1978) dalam Arisandi (1999), yaitu:

Sangat Tinggi H > 3,0

Tinggi jika H > 2,0

Sedang jika 1,6 < H < 2,0

Rendah jika 1,0 < H < 1,5

Sangat rendah jika H < 1,0.

Untuk menghitung kerapatan pohon

digunakan rumus:

Kemudian untuk mengetahui pengaruh

kelerengan dan kerapatan pohon digunakan

analisis regresi dengan menggunakan statistik

R.

Page 17: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Jenis dan Jumlah Burung di Hutan

Wanagama I

Jenis Burung Jumlah

ditemukan

Cucak Kutilang 26

Prenjak Jawa 27

Burung Madu Sriganti 21

Cipoh Kacat 20

Cekakak Sungai 6

Layang-layang batu 6

Elang Ularbido 9

Walet 82

Cekakak Jawa 2

Cinenen 16

Sepah Kecil 4

Kacamata 4

Uncal 2

Gemak Loreng 1

Wiwik Kelabu 1

Cabai Jawa 1

Tekukur 2

Merpati 1

TOTAL 231

Pengamatan keanekaragaman jenis burung

di Hutan Wanagama I dilakukan pada 7 petak.

Yaitu petak 5, 6, 7, 13, 14, 16 dan 18. Dari

hasil pengamatan yang dilakukan ditemukan

18 jenis burung dari 14 suku. Jenis burung

yang paling banyak dijumpai adalah Walet,

Cucak Kutilang dan Prenjak Jawa. Suku yang

sering dijumpai adalah Columbidae, Sylviidae

dan Alcedinidae. Jumlah burung yang

ditemukan di Hutan Wanagama 1 sebanyak

231 ekor.

Dari rumus indeks keanekaragaman

Shannon (Shannon-Wiener). Hasil yang

diperoleh menunjukan nilai indeks

keanekaragaman jenis burung di Hutan

Wanagama 1 sebesar 2,1533. Nilai ini

menunjukan bahwa keanekaragaman jenis

burung di Hutan Wanagama 1 tergolong tinggi.

Hutan Wanagama I merupakan hutan

tanaman, yang dibiarkan berkembang secara

alami. Adanya perkembangan tersebut

mengakibatkan perubahan vegetasi di dalam

jenis, kelebatan, kerapatan serta susunan

komposisi dapat berpengaruh terhadap

populasi satwa burung (Djuwantoko dan

Hardiwinoto, 1983). Hutan Wanagama I

memiliki beberapa petak dimana dalam setiap

petak mempunyai jenis vegetasi yang berbeda.

Menurut Tortosa (2000) habitat dengan variasi

vegetasi lebih beragam akan memiliki

keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi

dibandingkan dengan habitat yang memiliki

sedikit jenis vegetasi. Hal ini menunjukan

bahwa keragaman struktur habitat di Hutan

Wanagama yang memiliki berbagai macam

vegetasi dapat menyebabkan keanekaragaman

jenis burung yang tinggi.

Page 18: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

Gambar 2. Hasil analisis statistic R pada

variabel kelerengan dan kerapatan pohon

Dari hasil analisis tersebut, dapat

diketahui bahwa kelerengan dan kerapatan

pohon tidak berpengaruh terhadap

keanekaragaman jenis burung. Hasil yang

diperoleh dikatakan signifikan apabila nilai

Pr(>|t|) kurang dari 0,05 dan hasilnya tidak

signifikan apabila nilai Pr(>|t|) lebih dari 0,05.

Kusmardiastuti, 1999, menyebutkan

bahwa efek penting lereng memengaruhi

pengaliran air di atas permukaan tanah. Lereng

mengakibatkan intensitas sinar matahari

menjadi berkurang karena arah sudut jatuhnya

sinar matahari. Pada daerah kelerengan yang

besar akan berbeda dengan kelerengan yang

kecil. Kelerengan berkaitan dengan

kelembaban, cahaya, suhu, serta keadaan tanah

disuatu daerah. Organisme yang hidup di

daerah berbukit berbeda dengan daerah datar.

Kelerengan juga mempengaruhi penyebaran

mahkluk hidup (Hofrichter, 2000).

Variabel kelerengan tidak berpengaruh

signifikan terhadap keanekaragaman jenis

burung. Hal ini dikarenakan burung bersifat

mobile dan burung adalah hewan terbang yang

tidak melihat kelerengan untuk dipilih sebagai

tempat habitatnya. Karena sebagian besar

burung bersarang pada tajuk pohon, sehingga

apabila terdapat pepohonan yang sesuai

kriteria kebutuhan burung maka mereka

beraktivitas pada pohon-pohon tersebut tanpa

melihat kelerengan.

Barlow, dkk (2007) menyebutkan

bahwa hutan yang memiliki kanopi yang rapat

memiliki tingkat keanekaragman spesies

burung yang tinggi. Dari analisis statistik yang

diperoleh, hal ini berkebalikan dengan teori

karena kerapatan pohon tidak berpengaruh

terhadap keanekaragaman jenis burung.

Hutan Pendidikan Wanagama I

merupakan salah satu bentuk hasil reboisasi

yang berhasil, dimana dahulunya merupakan

kawasan bukit gundul berbatu menjadi hutan

yang heterogen (Soesono dan Setyo dalam

Suratini, 2004). Kerapatan pohon berpengaruh

terhadap kerapatan tajuk.. Keadaan Hutan

Wanagama I yang termasuk dalam hutan

sekunder membuat jenis-jenis burung yang

datang tidak memerlukan kerapatan tajuk yang

spesifik. Sehingga jenis-jenis yang datang di

Hutan Wanagama I adalah jenis-jenis yang

tidak melihat kerapatan pohon untuk menjadi

habitatnya.

KESIMPULAN

Tingkat keanekaragaman jenis burung

di Hutan Wanagama I tergolong tinggi dengan

indeks Shannon yang diperoleh sebesar

2,15333. Kelerengan dan kerapatan pohon

terhadap keanekaragaman jenis burung di

Hutan Wanagama I tidak berpengaruh.

Page 19: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

SARAN

Sebaiknya pengelola rutin melakukan

monitoring terhadap keadaan yang ada di

dalam Hutan Pendidikan Wanagama I

sehingga apabila ada perubahan habitat akan

lebih mudah untuk mengontrolnya. Kemudian

perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait

faktor yang mempengaruhi keanekaragam jenis

burung di Hutan Wanagama I dengan

menggunakan variabel yang lebih banyak lagi,

sehingga akan dihasilkan data yang lebih

spesifik dan beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Barlow, dkk. 2007. The Value of Primary,

Secondary, and Plantation Forests for

Amazonian Birds. Biological

Conservation 136: 212-231.

BirdLife International. (2003). Saving Asia’s

Threatened Birds: A Guide for

Government and Civil Society.

BirdLife International. Cambridge.

Chettri N., Deb D.C., Sharma E., Jackson R.

2005. The Relationship between Bird

Communities and Habitat: A Study

Along a Trekking Corridor in the

Sikkim, Himalaya. Mountain Research

and Development 25:235-243.

Helvoort, B.V. 1981. Bird Populations in The

Rural Ecosistems of West Java. Nature

Conservation Depertment.

Netrherlands.

Hofrichter, Robert (2000). Amphibians: The

World of Frogs, Toads, Salamanders,

and Newts. Firefly Books: Buffalo.

Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekolgi dan

Organisasi Ekosistem komunitas dan

Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara.

Jakarta.

Oemi, H. S. dan Ibrahim E. 1980 Silvikultur.

Penerbitan. Fakultas Kehutanan UGM.

Yogyakarta.

Sujatnika, dkk. 1995. Melestarikan

Keanekaragaman Hayati Indonesia

pendekatan daerah burung Endemik,

PHPA Birldlife International

Indonesia-Progamme, Jakarta.

Sukmantoro, W. et al. (2007). Daftar Burung

Indonesia No. 2. Indonesian

Ornithologists Union. Bogor.

Yuda, P. 1993. Burung-Burung Yang Hidup di

Wanagama I Yogyakarta. Kutilang.

Yogyakarta.

Page 20: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

STUDI KELAYAKAN HUTAN WANAGAMA I SEBAGAI TEMPAT

RESTORASI RUSA JAWA (Rusa timorensis) DARI ASPEK RUANG

Auliasafir Yena Chatleya

14/367881/KT/07849

Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM

Pada tahun 2008, IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources) menetapkan Rusa Jawa (Rusa timorensis) dalam kategori vulnerable (rentan)

(Hedges et all., 2008). Salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi Rusa Jawa (Rusa

timorensisi) adalah dengan melakukan restorasi pada kawasan Hutan Wanagama I, Gunung

Kidul, Yogyakarta. Keberhasilan restorasi dapat ditinjau dari aspek populasi, habitat, dan

sosial masyarakat. Ruang adalah salah satu aspek habitat.

Populasi Rusa Jawa pada habitat alaminya (in situ) terus menurun akibat degradasi

habitat dan perburuan liar (Hedges dkk, 2008 dalam Rozza dkk, 2011). Selain itu Hutan

Wanagama I juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan, khususnya sebagai lahan

pertanian. Sehingga hal ini akan mengurangi ruang jelajah Rusa Jawa. Ruang rusa yang

semakin berkurang dapat memengaruhi populasinya.

Mengetahui ruang yang disediakan oleh Hutan Wanagama I yaitu harus diketahui

terlebih dahulu jumlah populasi Rusa Jawa. Metode untuk mencari populasi Rusa Jawa

digunakan metode pellet count dan dianalisis dengan rumus P = (Ap)/(tda). Ketersediaan

ruang dianalisis dengan Ruang = (Luas area)/(jumlah individu).

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh data kebutuhan ruang bagi Rusa Jawa (Rusa

timorensis) di Hutan Wanagama I adalah 24 ha/individu sedangkan Hutan Wanagma I mampu

menyediakan 150 ha/individu, sehingga Hutan Wanagama I dikatakan layak sebagai tempat

restorasi dari aspek habitat berupa ruang.

Kata kunci: Rusa timorensis, restorasi, habitat, ruang

Page 21: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

PENDAHULUAN

Pada tahun 2008, IUCN (International

Union for Conservation of Nature and Natural

Resources) menetapkan Rusa Jawa (Rusa

timorensis) dalam kategori vulnerable (rentan)

(Hedges et all., 2008). Salah satu upaya untuk

menyelamatkan populasi Rusa Jawa (Rusa

timorensisi) adalah dengan melakukan

restorasi. Hutan Wanagama I merupakan salah

satu kawasan restorasi rusa yang berada di

Gunung Kidul, Yogyakarta. Kegiatan restorasi

dimulai sejak tahun 2000.

Keberhasilan restorasi dapat ditinjau

dari aspek populasi, habitat, dan sosial

masyarakat. Ruang adalah salah satu aspek

habitat. Individu-individu satwa membutuhkan

variasi ruang untuk mendapatkan cukup pakan,

pelindung, air, dan tempat untuk berkembang

biak. Besarnya ruang yang dibutuhkan

tergantung ukuran populasi (Shaw,1985).

Populasi Rusa Jawa pada habitat

alaminya (in situ) terus menurun akibat

degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges

dkk, 2008 dalam Rozza dkk, 2011). Selain itu

Hutan Wanagama I juga dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar kawasan, khususnya

sebagai lahan pertanian. Sehingga hal ini akan

mengurangi ruang jelajah Rusa Jawa. Ruang

rusa yang semakin berkurang dapat

memengaruhi populasinya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kelayakan Hutan Wanagama I

sebagai tempat restorasi Rusa Jawa ditinjau

dari aspek ketersediaan ruang. Penelitian ini

diharapkan dapat memberi informasi kepada

pengelola sebagai rujukan restorasi Rusa Jawa

di Hutan Wanagama I.

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan

Penelitian ini dilakukan pada tanggal

5-6 November. Lokasi penelitian berada di

Hutan Wanagama I, Kecamatan Payen dan

Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul,

Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan yaitu Rusa

Jawa (Rusa timorensisi), onggokan Rusa Jawa,

dan luas kawasan Wanagama I. Alat yang

digunakan yaitu GPS, peta Wanagama I,

plastic, dan raffia.

2.3 Metode Pengambilan Data

Mengetahui ruang yang disediakan

oleh Hutan Wanagama I yaitu harus diketahui

terlebih dahulu jumlah populasi Rusa Jawa.

Metode untuk mencari populasi Rusa Jawa

digunakan metode pellet count. Metode ini

dilakukan dengan cara membuat petak

pengamatan berukuran 20 m x 100 m di area

yang diperkirakan terdapat kotoran Rusa Jawa

atau individu rusa. Pada pengamatan pertama,

onggokan kotoran yang terdapat pada plot

dibersihkan agar data yang diambil tidak bias.

Dari onggokan kotoran Rusa Jawa yang

ditemukan, dihitung jumlah kotorannya.

2.4 Analisis Data

Analisis kotoran Rusa Jawa untuk estimasi

populasi:

Keterangan :

Page 22: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

P = Estimasi populasi

A = Luas areal pengamatan

p = Jumlah timbunan kotoran yang ditemukan

a = luas seluruh pellet count

d = rerata defaksi (defection rates)

t = waktu

Analisis ruang yang digunakan untuk

mengetahui ketersediaan ruang di Hutan

Wanagama I:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang telah dilakukan

didapatkan onggokan pada petak 5 dan 6.

Petak 6 memiliki kondisi lingkungan yang

komplek dengan kerapatan vegetasinya tinggi

dan kondisi kontur yang sedikit terjal sehingga

aktivitas manusia sangat sedikit dilakukan

pada petak tersebut. Hal ini dapat dijadikan

salah satu penilaian kelayakan petak 6 sebagai

habitat Rusa Jawa karena semakin sedikit

jumlah interaksi manusia, maka rusa semakin

mampu bertahan hidup dialamnya. Lokasi pada

petak 5 dan petak 6 dekat dengan sumber air,

yaitu Sungai Oyo yang menjadi sumber minum

bagi rusa. Sedangkan pada petak 7, 13, 14, 16,

dan 18 tidak ditemukan onggokan. Beberapa

hal yang menyebabkan hal itu adalah kawasan

yang dekat dengan manusia membuat rusa

menghindari daerah tersebut karena rusa

sangat sensitif terhadap ancaman. Persebaran

dan daya jelajah Rusa Jawa yang meluas dan

bebas memungkinkan rusa untuk keluar dari

kawasan Wanagama, penempatan pellet count

yang kurang tepat dan kurang teliti dalam

menemukan onggokan.

Tabel 1. Jumlah onggokan dan pellet

count Rusa Jawa di beberapa petak

Hutan Wanagama I

Petak Onggokan Pellet count

5 1 5

6 6 5

7 0 4

13 0 4

14 0 4

16 0 3

18 0 4

Estimasi populasi Rusa Jawa:

Jumlah awal Rusa Jawa di Wanagama

I saat penangkaran I adalah 10 ekor (Satiawan,

2004). Rusa Jawa di Hutan Pendidikan

Wanagama I mengalami penurunan populasi

tiap tahunnya (Ardi, 2013). Penelitian kali ini

ditemukan 4 ekor Rusa Jawa dan semakin

berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.

Page 23: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

Individu - individu satwa

membutuhkan variasi ruang untuk

mendapatkan cukup pakan, pelindung, air, dan

tempat untuk berkembang biak. Ukuran

populasi tergantung besarnya satwa, jenis

pakan, produktivitas, dan keragaman habitat.

Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung

ukuran populasi (Shaw,1985). Ketersediaan

ruang adalah aspek yang memengaruhi daya

jelajah Rusa Jawa yang ada di suatu kawasan.

Alikodra (1990) menyatakan bahwa

kebutuhan home range untuk Rusa Jawa

adalah 1 Ha. Ruang yang dibutuhkan Rusa

Jawa berarti = 6 ha x 4 ekor = 24 ha/individu.

Sedangkan Hutan Wanagama I mampu

menyediakan 150 ha/individu. Ini berarti

bahwa Hutan Wanagama I, mampu mencukupi

kebutuhan ruang rusa untuk daya jelajahnya,

bahkan lebih dari kebutuhan. Sehingga dalam

upaya restorasi dilihat dari aspek ruang,

Wanagama I dikatakan layak.

Dalam kawasan Hutan Wanagama I,

juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar

untuk lahan pertanian. Sebagian besar

keberadaan lahan pertanian dekat dengan

perkampungan dan mampu dijangkau oleh

masyarakat. Menurut Mukhtar (1996), Rusa

Jawa sulit didekati karena sangat sensitif

terhadap ancaman bahaya. Sehingga aktivitas

yang dilakukan rusa akan menghindari area

yang berhubungan dengan manusia. Dalam

kawasan Hutan Wanagama I walaupun

terdapat pemanfaatan lahan pertanian, kondisi

tersebut tidak mengurangi ruang Rusa Jawa

dalam beraktivitas.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan,

diperoleh data kebutuhan ruang bagi Rusa

Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Wanagama I

adalah 24 ha/individu sedangkan Hutan

Wanagma I mampu menyediakan 150

ha/individu, sehingga Hutan Wanagama I

dikatakan layak sebagai tempat restorasi dari

aspek habitat berupa ruang.

SARAN

Dalam pengenolaan restorasi Rusa Jawa,

sebaiknya dilakukan monitoring terhadap

populasi dan habitat Rusa Jawa di Hutan

Wanagama I secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA

Ardi, Bahtera. 2013. Studi Kelayakan Hutan

Pendidikan Wanagama I Sebagai

Tempat Restorasi Rusa Jawa (Cervus

timorensis).

Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J.,

Semiadi, G. & Priyono, A. 2008. Rusa

timorensis. Daftar Merah Spesies

Terancam IUCN 2008, diakses pada 25

Oktober 2016.

Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J.,

Semiadi, G. & Priyono, A. 2008. Rusa

timorensis. Daftar Merah Spesies

Terancam IUCN 2008. IUCN 2008.

Diakses pada 25 Oktober 2016.

Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon The

Land of The Last Rhinoceros.

Leiden E, J. Brill.

Page 24: LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI · PDF fileLAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 LABORATORIUM SATWA LIAR

Mukhtar, A.S. (1996). Studi dinamika populasi

rusa (Cervus timorensis de Blainville)

dalam menunjang manajemen Taman

Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa

Tenggara Barat (Disertasi Sekolah

Pascasarjana). Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife

Management .McGraw-Hill

Book Company. New York.