l Carnosine
-
Upload
raka-black -
Category
Documents
-
view
92 -
download
9
Transcript of l Carnosine
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan yang dipahami sebagai proses alami telah menjadi fenomena global.
Problematika ini terjadi akibat transisi demografi penduduk dunia, yaitu terjadinya
pergeseran pola high fertility/high mortility menjadi pola low fertility/low
mortality. Dalam transisi ini, terdapat rasio yang signifikan antara jumlah
penduduk dunia dengan usia 65 tahun atau lebih dengan penduduk usia di bawah
15 tahun. Berdasarkan proyeksi pada tahun 2025, jumlah populasi usia 65 tahun
atau lebih akan meningkat sebesar 82 % dan peningkatan presentasi dari neonatus
hanya 3 %. Hal ini dipertegas oleh hasil analisis American Academy of Anti-Aging
Medicine, dimana terjadi peningkatan jumlah penduduk usia lanjut pada tahun
2000 sebesar 795.000 per bulan menjadi 847.000 per bulan pada proyeksi tahun
2010 (Goldman, 2002). Pemusatan penduduk dunia pada populasi usia lanjut
berimplikasi pada peningkatan morbiditas akibat penyakit degeneratif. Tercatat 54
% kelompok usia lanjut berada dalam kategori tidak produktif dengan kualitas
hidup yang rendah (Gooren, 2001; Evert, 2006).
Berdasarkan analisis dan perbandingan data, perkembangan penyakit degeneratif
berbanding lurus dengan peningkatan populasi usia lanjut dan usia harapan hidup
(Pangkahila, 2007). Hal ini riskan bagi Indonesia dengan populasi usia lanjut
terbesar ketiga di dunia. Usia harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan
Human Development Report UNDP tahun 2005 adalah sebesar 66,8 untuk laki –
laki dan perempuan. Angka ini cenderung meningkat hingga mencapai usia
harapan hidup maksimum sebesar 100 tahun. Pada awal tahun 1990, usia harapan
hidup yang rendah masih dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Namun, dalam
pertambahan usia harapan hidup, perkembangan penyakit degeneratif meningkat
signifikan (Goldman dan Kaltz, 2002). Penyakit degeneratif diidentifikasi sebagai
pandemi terbaru penyebab kematian terbesar di Indonesia (Perkeni, 2006).
Berdasarkan studi epidemologi terbaru, perkembangan penyakit degeneratif di
Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2
merupakan model biologis penuaan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. American Academy of Anti Aging Medicine mengklasifikasikan diabetes
melitus tipe 2 sebagai penyakit kronis utama dengan gangguan endokrinologi.
Berdasarkan ATP III (Adult Treatment Panel III), diabetes melitus tipe 2
merupakan faktor resiko utama Mayor Chronic Diseases (MCD), seperti penyakit
jantung koroner, stroke, peripheral neuropathy, nephropathy, dan retinopathy.
Menurut International Diabetes Federation (IDF), 75 % kematian pada penderita
diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh penyakit komplikasinya (Williams, 2008).
Prevalensi diabetes melitus khususnya diabetes melitus tipe 2 mengalami
peningkatan tajam. Menurut laporan WHO, jumlah penderita diabetes di seluruh
dunia pada tahun 2000 mencapai 171 juta orang dan diprediksi akan mencapai
366 juta orang pada tahun 2030 atau mengalami peningkatan sebesar 114%.
Dalam kurun waktu yang sama terjadi peningkatan prevalensi sebesar 141 % pada
penduduk di benua Asia. Dari keseluruhan prevalensi diabetes melitus di dunia,
90 % merupakan prevalensi diabetes melitus tipe 2. Terkait penuaan, 95 % dari
keseluruhan diagnosis diabetes melitus tipe 2 terjadi pada orang dewasa sebagai
gejala klinis penuaan (IDF, 2007).
Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar
di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 1995, dengan
prevalensi 8,4% dari total penduduk, terdapat 4,5 juta penderita diabetes melitus
tipe 2. Dengan adanya transisi demografi di Indonesia, prevalensi diabetes melitus
tipe 2 diprediksikan mengalami peningkatan mencapai 12,4 juta penderita pada
tahun 2025 (Pratiwi, 2007). Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan
endokrinologi penyebab kematian terbesar keempat di Indonesia (Perkeni, 2007).
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan penurunan produksi insulin dan
penurunan aktivitas insulin ataupun kedua hal tersebut. Patogenesis diabetes
melitus tipe 2 mencakup resistensi insulin yang menginisiasi serangkaian
abnormalitas metabolik pada hati, kelainan kelenjar pulau langerhans penkreas,
serta target insulin periferal. Serangkaian abnormalitas metabolik tersebut
2
melibatkan beberapa jalur penting meliputi aktivitas sitokin (seperti TNF-α, IL-
1β, dan IL-6), faktor transkripsi NF-kB, glikasi serta radikal bebas (Thevenod,
2008).
Dalam pengobatan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia, terdapat 50% penderita
yang belum terdiagnosis. Pada penderita yang telah terdiagnosis, hanya dua
pertiga yang mendapat penanganan baik farmakologis maupun non farmakologis.
Di antara kelompok yang memperoleh penanganan, hanya sepertiga yang mampu
ditekan komplikasinya (Perkeni, 2007).
Permasalahan utama dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2
saat ini adalah resistensi insulin. Menurut IDF (2008), hingga saat ini belum
ditemukan pengobatan yang mampu mengatasi resistensi insulin secara tuntas.
Padahal, pemulihan sensitivitas reseptor terhadap insulin merupakan kunci utama
dalam penyembuhan diabetes melitus tipe 2. Dewasa ini, resistensi insulin dan
status resistensi insulin merupakan isu global yang sedang diperdebatkan dan
secara gencar diteliti. Penatalaksanaan resistensi insulin dengan status resistensi
yang belum pasti berpotensi menjadi pengobatan beresiko tinggi bagi penderita.
Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 selama ini menggunakan terapi awal yang
berperan dalam memicu sekresi insulin, menambah sensitivitas terhadap insulin,
dan menghambat glukoneogenesis seperti sulfonilurea, glinid, tiazolidindion, serta
metformin. Namun, dalam menimbulkan efek, terapi tersebut memerlukan
pemberian yang bersamaan sebab diidentifikasi memiliki farmakodinamik yang
saling melengkapi. Karakteristik ini memicu kombinasi buruk atas efek samping
yang diberikan, berupa diare, edema, dispepsia, asidosis laktat, hingga
hipoglikemia. Terapi ini belum terbukti memulihkan fungsi struktural reseptor
insulin sebagai mekanisme utama penanganan resistensi insulin (Perkeni, 2006).
Terapi insulin beserta variannya merupakan modalitas terapi utama diabetes
militus tipe 2 saat ini. Pada beberapa penanganan, insulin dijadikan sebagai terapi
akhir. Namun, sampai saat ini waktu pemberian insulin yang tepat masih
kontroversial. Hal ini dikarenakan belum adanya pengukuran yang pasti atas
status resistensi insulin. Status resistensi insulin penderita yang bervariasi
3
mempertinggi resiko hipoglikemia. Disamping itu, berdasarkan penelitian Marrete
dan Jian Sun (2008), peranan insulin sangat dominan dalam penurunan kadar
glukosa darah namun belum mampu mengurangi resistensi insulin. Kemudian,
sifat mitogenik insulin meningkatkan akumulasi agregat amiloid dalam memicu
kerusakan sel β pankreas. Dewasa ini, terapi insulin dikategorikan sebagai
pengobatan beresiko tinggi (high risk medication) (Perkeni, 2007).
Peranan biomarker penuaan dalam penanganan sejumlah penyakit degeneratif
akibat penuaan mulai gencar diteliti termasuk dalam penatalaksanaan diabetes
melitus tipe 2. L-Carnosine merupakan biomarker penuaan yang baru ditemukan
dan berperan penting dalam proses penuaan. L-Carnosine ditemukan pada sel
yang berumur panjang dan tidak mengalami proliferasi, seperti sel saraf dan sel
otot rangka. Dalam Traj (2001) disebutkan bahwa kadar L-Carnosine berbanding
lurus dengan penurunan fungsi fisiologis tubuh. Kadar L-Carnosine mengalami
penurunan sebesar 63% dalam rentang umur 10 tahun sampai 70 tahun. Sebuah
clinical trial oleh Ward Dean (2004) menunjukkan bahwa L-Carnosine mampu
meremajakan kembali jaringan ikat kulit mencit yang sudah tua, serta
memperbaiki fungsi penglihatan mencit. Pada berbagai penelitian, L-Carnosine
diidentifikasi berperan sebagai radioprotektan, antioksidan, antiglikasi, anti cross
linker, mitochondrial resuscitation, neuroprotector, antineoplasmic, hingga
pencegahan ischemic heart damage (Dean, 2004).
Kesesuaian patogenesis diabetes melitus tipe 2 dengan potensi L-Carnosine
sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan mendasari pemanfaatan L-
Carnosine dalam menangani resistensi insulin dan implikasinya dalam
patogenesis diabetes melitus tipe 2.
Mekanisme L-Carnosine sebagai antiglikasi mencegah reaksi glikasi dan menekan
aktivitas produk akhir glikasi dalam bentuk AGEs. AGEs memiliki kemampuan
berikatan dengan sesama AGEs dan protein terdehidrasi tinggi dalam memicu
kerusakan reseptor insulin jaringan (resistensi insulin) serta amiloid pada
disfungsi sel β pankreas. Pada reaksi glikasi L-Carnosine berperan sebagai
inhibitor kompetitif bagi substrat glikasi, disosiasi protein terglikasi, dan
memfasilitasi penempelan AGEs pada reseptornya (RAGE) (Alice, 2008).
4
Selain sebagai antiglikasi, L-Carnosine memiliki aktivitas chelating agent berupa
kemampuan berikatan kuat dengan ion logam transisi seperti Zn2+. Kompleks L-
Carnosine-Zn2+ meningkatkan produksi protein HSP 72 dan down regulasi NF-kβ.
Kaskade lanjutannya adalah downregulasi IL-6 maupun IL-1β yang meningkatkan
SOCS sehingga memungkinkan terjadinya fosforilasi IRS1 dan IRS2 yang
berperan penting dalam menekan resistensi insulin (Odhasima, 2006).
Fungsi lain L-Carnosine adalah sebagai antioksidan. Penelitian Yuanti-lee (2005)
menunjukkan bahwa pemberian L-Carnosine yang dilakukan pada tikus diabetik,
terbukti menunjukkan aktivitas antioksidan dalam menurunkan resistensi insulin
dan menurunkan kadar lipid dalam darah serta mencegah oksidasi LDL. L-
Carnosine memiliki kemampuan berikatan dengan ion logam transisi seperti
tembaga (Cu2+) atau besi (Fe2+) sehingga dapat berperan sebagai scavenger
enzyme dalam mengendalikan ROS yang bertanggung jawab dalam resistensi
insulin.
Perpaduan efek antiglikasi, antioksidan, dan chelating agent dalam
penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu inovasi yang belum
pernah dikaji sebelumnya. Penemuan cDNA L-Carnosine memberikan suatu
inovasi teknologi produksi yang mengintegrasikan DNA Rekombinan dengan
Membrane Separation Technology. Oleh karena itu sangat menarik dilakukan
pengkajian secara komprehensif mengenai potensi L-Carnosine dalam
penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah mekanisme kerja L-Carnosine sebagai antiglikasi, chelating
agent, dan antioksidan terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2?
2. Bagaimanakah teknologi produksi L-Carnosine sehingga dapat dikonsumsi
sebagai obat dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2?
3. Bagaimanakah mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan
farmakologis diabetes melitus tipe 2 ?
4. Bagaimanakah analisis manfaat L-Carnosine sebagai modalitas terapi dalam
penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2?
5
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui mekanisme kerja L-Carnosine sebagai antiglikasi, chelating
agent, dan antioksidan terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2.
2. Mengetahui teknologi produksi L-Carnosine sehingga dapat dikonsumsi
sebagai obat dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2
3. Mengetahui mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan
farmakologis diabetes melitus tipe 2.
4. Mengetahui analisis manfaat L-Carnosine sebagai modalitas terapi dalam
penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2.
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan karya tulis ini, diharapkan dapat:
1. Memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu kedokteran anti
penuaan/Anti Aging Medicine dengan mengajukan L-Carnosine sebagai
biomarker penuaan, mulai dari deteksi dini, pencegahan, pengobatan, hingga
pemulihan kembali fungsi organ tubuh yang menurun akibat perkembangan
penyakit degeneratif. Dengan demikian, kualitas hidup masyarakat dapat
ditingkatkan.
2. Memperkaya khazanah medis Indonesia dan dunia dalam penatalaksanaan
diabetes melitus tipe 2 dengan mengajukan L-Carnosine sebagai modalitas
terapi terbaru melalui perpaduan mekanisme antiglikasi, chelating agent, dan
antioksidan. Hal ini penting dalam menekan prevalensi dan insiden diabetes
melitus tipe 2 yang progresif.
3. Memberikan suatu rancangan inovasi bioteknologi yang memadukan
teknologi DNA rekombinan dan Membrane Separation Technology dalam
memproduksi L-Carnosine sehingga dapat dikaji aplikasinya untuk
menghasilkan suatu produk L-Carnosine yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat luas.
4. Memberikan sumbangsih dalam mendukung berbagai program strategis
pemerintah dalam peningkatan pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga
pada nantinya dapat meningkatkan Human Development Index Indonesia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmakokinetik L-Carnosine
L-Carnosine (β-alanyl-L-Histidine) adalah senyawa dipeptida yang terdapat
secara alami di dalam tubuh. L-Carnosine bersifat polar dan hidrofilik sehingga
dapat larut dengan mudah dalam air. L-Carnosine dapat larut dengan mudah
dalam plasma darah maupun cairan interstisial. L-Carnosine dibentuk oleh enzim
Carnosine-synthetase yang berikatan dengan asam amino alanin dan histidine.
Kadar L-Carnosine diregulasi oleh enzim carnisinase, yang berfungsi untuk
mendegradasi carnosine menjadi komponennya.
L-Carnosine diidentifikasi sebagai biomarker pada proses penuaan. Konsentrasi
L-Carnosine menurun seiring dengan bertambahnya usia kronologis seseorang.
Telah dibuktikan bahwa kadar L-Carnosine dalam tubuh menurun sebesar 63%
dalam rentang umur 10 tahun sampai 70 tahun. Hasil penelitian PS Niber (2008)
menunjukkan bahwa sel jaringan ikat kulit orang tua yang diinkubasi dalam
larutan L-Carnosine mengalami perubahan struktur sehingga strukturnya kembali
menyerupai sel jaringan ikat kulit pada bayi. Pada berbagai penelitian L-
Carnosine terbukti memiliki aktivitas antineoplasmik, antioksidan, antiglikasi,
anticrosslinker, radioprotektan, chelating agent, aldehide scavenger, ROS
scavenger, mitochondria resuscitation, homeostasis restorer, buffer pH, serta
neurotransmitter (Dean, 2004).
Gambar 1. Struktur Kimia L-Carnosine (Ward Dean, 2004)
7
L-Carnosine merupakan salah satu substansi utama dalam memperpanjang usia
kronologis. Oleh karena itu, L-Carnosine dapat ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada sel yang berumur panjang dan tidak berproliferasi seperti pada
jaringan neuronal dan jaringan otot rangka. Secara berurutan, L-Carnosine pada
kadar tinggi terdapat pada sel otot rangka dan sel saraf manusia, kuda, sapi,
unggas, serta mencit (Niber, 2008).
Farmakokinetik L-Carnosine meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi. Secara rinci, farmakokinetik bahan alami L-Carnosine dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1. Absorpsi dan bioavailabilitas
Administrasi L-Carnosine yang direkomendasikan adalah per oral, dengan
alasan efisiensi dan first pass effect yang rendah. Pemberian L-Carnosine
murni memiliki bioavailabilitas mencapai lebih dari 70% (Soriento dan
Pastore, 2007). Pada pemberian secara oral, terjadi sangat sedikit pencernaan
oleh enzim dipeptidase pada usus halus. Hal ini disebabkan oleh laju abrsobsi
L-Carnosine yang tinggi dan ditunjang oleh kemampuan sel epitel usus halus
dalam menyerap dipeptida (Raven and Johnson, 2003). Mekanisme
penyerapan L-Carnosine yang terjadi pada usus halus berlangsung dalam
transport aktif sekunder dengan mekanisme kotransport bersama H+ melalui
carrier protein pada membran sel epitelial usus halus.
2. Distribusi
L-Carnosine didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. L-
Carnosine memiliki kelarutan yang cukup tinggi pada darah, sehingga dapat
dengan mudah terdistribusi ke seluruh tubuh. L-Carnosine diabsorpsi oleh sel
target dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan absorbsi pada usus
halus yaitu dengan menggunakan kotranspor H+.
3. Biotransformasi
L-Carnosine dimetabolisasi melalui dua jalur. Pada jalur pertama, L-
Carnosine mengalami metilasi sehingga mengalami perubahan menjadi
anserine dan ophidine. Kedua substansi ini selanjutnya akan diubah lagi
menjadi metilhistidine. Anserine juga dapat menjadi substrat dalam sintesis
carcinine (L-Carnosine analog pada otot jantung). Kemudian, pada jalur
8
kedua, L-Carnosine didegradasi oleh enzim carnosinase yang terdapat dalam
jaringan maupun plasma darah. Hasil degradasi L-Carnosine berupa β-alanin
dan histidine. β-alanin berperan dalam sintesis CoA, asam nukleat, dan
stimulasi sintesis kolagen. Selanjutnya, histidine mengalami dekarboksilasi
menjadi histamin. Histamin merupakan mediator inflamasi, yang hanya akan
dihasilkan apabila terjadi respon imun yang diperantarai oleh antigen.
Histamin juga dapat menjadi substrat dalam proses sintesis carcinine.
(Babizhayef, 2004).
4. Ekskresi
L-Carnosine dalam bentuk asli dan metabolit dikeluarkan dari tubuh melalui
berbagai organ ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting.
2.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan endokrinologi dengan faktor resiko
utama yang terdiri atas faktor genetik, obesitas dan lingkungan. 80% faktor resiko
diabetes melitus tipe 2 merupakan penderita obesitas (Perkeni, 2006). Pada
penderita obesitas terjadi hipertropi dan hiperplasia sel adiposa yang
menyebabkan disekresikannya MCP-1, TNF-α, FFA dan IL-6 (Joshi SV, 2008).
MCP-1 menyebabkan terjadinya infiltrasi makrofag pada jaringan adiposa dan
FFA akan merangsang makrofag untuk menghasilkan TNF-α. Peningkatan TNF-
α memicu lipolisis, dan peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti IL-1β, dan
IL-6. Produksi IL-1β, dan IL-6 yang berperan penting dalam resistensi insulin
(Meyerhoff, 2005). Patogenesis diabetes melitus tipe 2 mencakup resistensi
insulin yang disertai disfungsi sel β pankreas.Terdapat tiga faktor utama yang
diyakini memicu resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas, meliputi:
1. Glikasi abnormal pada status hiperglikemia
Glikasi merupakan suatu proses perikatan antara gula atau oligosakarida
dengan protein terdehidrasi tinggi. Pada umumnya, glikasi merupakan suatu
tahapan proses post translasional pada aparatus golgi. Namun, pada kondisi
hiperglikemia glikasi mengalami peningkatan dan menyimpang dari jalur post
translasional (Fall, 2008). Glikasi tidak dikatalisis oleh enzim tetapi oleh
badan keton/aldehida reaktif yang dihasilkan oleh reaksi antara radikal bebas
9
dengan molekul sel seperti lipid, protein, maupun sakarida. Hasil akhir dari
reaksi ini adalah keluarga molekul yang dinamakan AGEs (Higuchi, 2008).
AGEs dapat berikatan silang dengan reseptor insulin yang menyebabkan
perubahan konformasi pada reseptor sehingga reseptor insulin kehilangan
sensitivitas terhadap insulin. Selain itu, AGEs dapat berikatan silang dengan
molekul relai yang terlibat dalam kaskade pensinyalan insulin sehingga
walaupun reseptor insulin masih berfungsi dengan baik, sinyal tidak dapat
diteruskan ke dalam sel karena tidak berfungsinya molekul relai (Huyton,
2008).
Gambar 2. Mekanisme Pembentukan AGEs (Butler, 2002)
Ikatan AGEs dengan protein sangat sulit didegradasi oleh sistem ubiquitin
proteasom. Akumulasi ikatan AGEs dan protein menghambat jalur
metabolisme dalam produksi ATP. Penurunan produksi ATP menghambat
sekresi insulin oleh sel beta pancreas (impaired insulin secretion) dan
berkurangnya aktivitas pompa NA+/K+, pompa Na+, dan pompa Ca2+ pada sel.
Akibatnya, Ca2+ dan Na+ terakumulasi dalam sel. Akumulasi Ca2+ memiliki
dampak yang merusak bagi sel karena Ca2+ dapat mengaktivasi enzim
phospholipase, protease, dan juga nuklease yang berperan dalam nekrosis dan
apoptosis sel β pankreas (Alice, 2008).
AGEs memegang peranan penting dalam pembentukan amiloid pada pulau
langerhans pankreas. AGEs menyebabkan terjadinya kebocoran protein RE
kasar sel β pankreas menuju sitosol. Kebanyakan protein RE kasar belum
sepenuhnya terlipat secara benar sehingga kebocoran yang ditimbulkan oleh
AGEs akan meningkatkan laju pembentukan IAPP. Selain itu, AGEs juga
10
menyebabkan terjadinya modifikasi kovalen dari APP yang akan memperkuat
ikatan antar APP dalam proses pembentukan IAPP sehingga amiloid menjadi
sulit untuk didegradasi. Akumulasi amloid secara bertahap akan menggantikan
masa sel β pankreas (Robinson, 2008).
2. Aktivitas ion logam transisi
Zinc (Zn2+), besi (Fe2+), tembaga (Cu2+), dan mangan (Mn2+) merupakan ion
logam transisi yang memegang peranan penting dalam tubuh, misalnya
sebagai kofaktor (Mn2+,Cu2+) dan sebagai oxygen carrier (Fe2+). Sebagian
besar logam transisi tersebut berikatan dengan protein spesifik pada plasma
darah seperti seruloplasmin yang mengikat tembaga. Meskipun logam transisi
telah berikatan dengan protein plasma, masih terdapat sejumlah ion logam
yang terlarut bebas dalam plasma. Ion-ion logam transisi ini dapat
mengkatalisis suatu reaksi yang menghasilkan ROS serta senyawa karbonil
reaktif yang berperan dalam mekanisme glikasi, dan double strand break
(Guernsey, 2004).
Gambar 3. Reaksi Pembentukan Radikal Bebas oleh Ion Logam Transisi
Cu2+ (Rattan, 2007)
Ion logam transisi juga merupakan komponen yang penting dalam
pembentukan agregat amiloid. Dalam agregasi amiloid, amilin memerlukan
ion logam transisi sebagai ligan dalam memperantarai ikatan antar amilin.
Struktur ini serupa dengan protein kadherin (salah satu jenis protein adhesif)
yang memerlukan ion kalsium untuk menempel pada molekul kadherin
lainnya. Zn2+ merupakan molekul yang paling efektif dalam menginduksi
agregasi amiloid. Zn2+ berikatan dengan residu histidine pada protein amilin
dan membentuk histidine binding motif. Telah dibuktikan melalui penelitian
11
Iversen dan Mortishire (1995), bahwa pembentukan plak amiloid yang
menggunakan Zn2+ sebagai ligan lebih cepat tiga kali secara in vitro daripada
penambahan Fe2+ dan Al3+.
3. Stress oksidatif
Status hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 berpengaruh dalam
peningkatan stress oxidative. Peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan
meningkatnya aktivitas enzim metabolisme sehingga meningkatkan kecepatan
respirasi oksidatif. Peningkatan kecepatan respirasi ini menyebabkan
peningkatan produksi ROS dalam bentuk oksidan O2., OH., dan H2O2. Kadar
ROS berlebih memicu stress oxidative dimana oksidan berbasis oksigen
melebihi kapasitas yang dapat dinetralisir oleh anti oksidan endogen (SOD,
Glutathione, dan Reaksi fenton) (Hayden, 2005).
Peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA) dalam darah yang menyertai
diabetes mellitus tipe 2 juga dapat menyebabkan timbulnya stress oxidative
pada sel beta pankreas. FFA menimbulkan stress oksidatif dalam dua jalur,
meliputi:
a. Metabolisasi asam lemak oleh peroksisom.
Proses ini menyebabkan terbentuknya H2O2 yang merupakan radikal
bebas. Dalam keadaan normal, H2O2 akan segera didegradasi oleh enzim
katalase menjadi H2O dan O2. Tetapi, pada kondisi FFA berlebih produksi
H2O2 akan meningkat hingga melebihi kapasitas yang dapat dikompensasi
oleh peroksisom.
b. Stimulasi produksi TNF α oleh makrofag dan sel adipose.
Telah dibuktikan bahwa FFA dapat berperan sebagai ligan
(Zechner,2008). FFA berperan sebagai ligan dalam pada jalur transduksi
sinyal yang dipicu TNF α dalam produksi radikal bebas. Dua protein
utama yang memegang peranan penting dalam produksi radikal bebas
adalah RIP1 dan NOX1. RIP1 menyebabkan terjadinya disfungsi
mitokondria berupa terjadinya transport elektron yang tidak berpasangan
sehingga menghasilkan radikal bebas dalam bentuk superoksida (O2*).
NOX1 juga menghasilkan superoksida tetapi berbeda dengan RIP1, NOX1
12
menghasilkan superoksida ekstraseluler. Superoksida ektraseluler ini
selanjutnya akan diubah menjadi H2O2 dan dapat berdifusi masuk ke dalam
sel (Robinson,2005).
Gambar 4. Mekanisme Produksi Radikal Bebas yang Diinduksi TNF-α
(Hayden, 2005)
2.3 Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan Panduan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2007),
penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2 baru dapat diberikan jika
sasaran penurunan kadar glukosa belum dicapai dengan TGM dan latihan jasmani.
Jenis penatalaksanaan yang diberikan adalah sebagai berikut.
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO digolongkan menjadi empat,
meliputi:
a.pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue); sulfonilurea dan glinid
b. penambah sensitivitas terhadap insulin; metformin, tiazolidindion
c.penghambat glukoneogenesis; metformin
d.penghambat glukosidase alfa; acarbose.
2. Terapi insulin
Pemberian terapi insulin didasari oleh adanya defisiensi insulin basal yakni
hiperglikemia pada keadaan puasa (puasa diartikan tidak mendapat kalori
13
tambahan sedikitnya 8 jam) dan defisiensi insulin prandial yaitu hiperglikemia
setelah makan. Sekresi insulin diupayakan menyerupai sekresi insulin
fisiologis yaitu sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin dapat
diberikan secara tunggal berupa: insulin kerja cepat (rapid acting), kerja
pendek (shorting acting insulin), kerja menengah (intermediate acting), kerja
panjang (long acting) serta insulin campuran tetap (premixed insulin).
3. Terapi kombinasi
Pemberian insulin dapat dikombinasikan dengan OHO yang dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa. Untuk terapi insulin dan OHO, insulin yang sebagian besar
dipergunakan adalah insulin basal. Pada terapi OHO dengan kombinasi, harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme berbeda.
Pada pasien dengan alasan klinik dimana insulin tidak dapat diberikan, maka
dapat diberikan terapi kombinasi dengan tiga OHO.
2.4 Kendala Intervensi Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006), kendala
intervensi farmakologis diabetes melitus tipe 2 terbagi dalam dua permasalahan,
yaitu penyulit akut dan penyulit menahun. Penyulit akut terdiri atas ketoasidosis
diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemi. Kemudian penyulit menahun
mencakup makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati.
Pada dasarnya, kendala utama intervensi farmakologis diabetes melitus tipe 2
adalah resistensi insulin dan belum adanya pengukuran yang pasti terhadap
resistensi insulin. Menurut International Diabetes Federation (2008), hingga saat
ini resistensi insulin masih menjadi permasalahan utama dalam intervensi
farmakologis diabetes melitus tipe 2. Belum ditemukan penatalaksanaan yang
mampu menangani resistensi insulin secara tuntas. Status resistensi insulin pada
penderita masih merupakan konstroversi. Adapun kendala dalam penatalaksanaan
farmakologis selama ini adalah sebagai berikut.
1. Penatalaksanaan dengan OHO selama ini, seperti sulfonilurea, glinid,
tiazolidindion, serta metformin memerlukan pemberian yang bersamaan sebab
diidentifikasi memiliki farmakodinamik yang saling melengkapi. Karakteristik
14
ini memicu kombinasi buruk atas efek samping yang diberikan, berupa diare,
edema, dispepsia, asidosis laktat, hingga hipoglikemik. Berdasarkan evaluasi
terapi dengan indikator A1C, didapati terjadi penurunan A1C hanya dalam
rentang 1,3% – 2% (Perkeni, 2006).
2. Penatalaksanaan dengan terapi insulin berada dalam kategori pengobatan
beresiko tinggi (High Risk Medication) (IDF, 2008). Hal tersebut didasari oleh
beberapa faktor sebagai berikut.
a. Status resistensi insulin yang belum pasti, menimbulkan kesulitan dalam
penentuan waktu pemberian insulin. Kesalahan dalam pemberian insulin
pada status resistensi insulin dan perkembangan penyakit yang belum jelas
diidentifikasi menyebabkan hipoglikemi hingga kematian (Perkeni, 2006).
b. Berdasarkan penelitian Marrete dan Jian Sun (2008), peranan insulin
sangat dominan dalam penurunan kadar glukosa darah namun belum
mampu mengurangi resistensi insulin. Hal ini dikarenakan oleh ketidak
mampuan insulin dalam menekan sitokin TNF-α dan aktivitas glikasi
abnormal.
c. Insulin merupakan suatu hormon dengan karakteristi mitogenik. Sifat ini
berpotensi memicu perkembangan agregat amiloid dan meningkatkan
akumulasi agregat amiloid dalam memicu kerusakan sel β pankreas
(Perkeni, 2007).
15
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sumber pustaka yang
relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Sumber pustaka yang
dipergunakan memiliki validitas dan relevansi yang dapat dipertanggungjawabkan
Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif.
3.2 Pengumpulan Data
Dalam penulisan karya ilmiah ini digunakan metode studi pustaka yang
didasarkan atas hasil pengkajian terhadap berbagai literatur yang telah teruji
validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta
mendukung uraian atau analisis pembahasan.
3.3 Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan
menyusun secara sistematis dan logis. Teknik analisis data yang dipergunakan
adalah analisis deskriptif argumentatif untuk menggambarkan pemanfaatan L-
Carnosine sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan dalam
penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 serta rancangan teknologi integrasi DNA
rekombinan dan Membran Seperation Technology.
3.4 Penarikan Simpulan
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan
menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan.
Berikutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan
beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.
16
L-Carnosine
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mekanisme Kerja L-Carnosine Sebagai Antiglikasi, Chelating Agent dan
Antioksidan terhadap Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
4.1.1 Mekanisme L-Carnosine sebagai Antiglikasi terhadap Patogenesis Diabetes
Melitus Tipe 2
Aktivitas L-Carnosine dalam mengatasi glikasi dan AGEs adalah sebagai
inhibitor kompetitif dalam reaksi glikasi. L-Carnosine mencegah glikasi
dengan cara menggantikan protein fungsional sebagai substrat dalam proses
glikasi. Struktur yang identik antara L-Carnosine dengan Lisin-Histidine
menyebabkan L-Carnosine bereaksi secara cepat dengan gula pereduksi. Hal
ini dikarenakan struktur lisin pada Lisin-Histidine merupkan target primer
dalam proses glikasi (Dean, 2004).
Gambar 5. Mekanisme Kerja L-Carnosine dalam Menghambat Glikasi
(Ward Dean, 2004).
L-Carnosine dapat berperan dalam disosiasi protein terglikasi dengan cara
memisahkan ikatan silang pada protein terglikasi. Asam amino histidin pada
L-Carnosine berperan dalam disosiasi amiloid dan protein intra sel sehingga
17
protein yang rusak dapat segera didegradasi oleh sistem ubiquitin dan
proteasom.
Gambar 6. Mekanisme Kerja L-Carnosine dalam Mendisosiasi Protein
Terglikasi (Cortes, 2006)
L-Carnosine memfasilitasi degradasi AGEs dengan RAGE dan mencegah
pelepasan sitokin sitotoksik. Secara normal, AGEs akan didegradasi oleh
makrofag jaringan. AGEs bersifat antigenik sehingga pengikatannya dengan
RAGE pada makrofag menginduksi pelepasan sitokin sitotoksik. Sitokin
sitotoksik dapat menyebabkan kerusakan sel dan nekrosis pada sel di sekitar
makrofag. L-Carnosine membantu memfasilitasi pengikatan AGEs dengan
RAGE pada makrofag sehingga mencegah pelepasan sitokin sitotoksik oleh
makrofag (Niber, 2008)
18
L-CarnosineL-Carnosine
Gambar 7. Aktivitas L-Carnosine dalam Memfasilitasi Penempelan AGEs
pada RAGE (Niber, 2008).
Aktivitas antiglikasi L-Carnosine memberikan efek terhadap pemulihan
sensitivitas reseptor terhadap insulin dan proliferasi sel β pankreas. Secara
rinci, dijabarkan sebagai berikut.
1. Disosiasi protein-protein relai dalam kaskade pensinyalan insulin yang
terikat silang atau teragregasi oleh AGEs. Protein-protein relai yang
telah terbebas ini kemudian dapat didegradasi apabila mengalami
kerusakan atau dapat meneruskan fungsi normalnya pada sel, sehingga
pensinyalan insulin dapat berjalan optimal (Guernsey, 2004).
2. Downregulasi aktivasi enzim phospholipase, protease, dan juga nuklease
yang berperan dalam nekrosis dan apoptosis sel β pankreas. Mekanisme
ini disebabkan oleh pemulihan aktivitas pompa NA+/K+, pompa Na+,
dan pompa Ca2+ sehingga akumulasi Ca2+ intraseluler yang berperan
sebagai faktor inflamasi penting pada sel β pankreas dapat ditekan
(Alice, 2008).
3. Inhibisi modifikasi kovalen APP dan downregulasi pembentukan IAPP.
Mekanisme ini dapat menekan akumulasi agregat amiloid yang
menggantikan 70 % masa sel β pankreas. L-Carnosine mendisosiasi
agregat amiloid sehingga meningkatkan laju degradasi amiloid oleh
kompleks ubiquitin-proteasom dan makrofag. Hal ini akan mengurangi
deposisi amiloid pada kelenjar pulau langerhans pankreas Lebih lanjut L-
Carnosine memicu proliferasi sel β pankreas (Robinson, 2008).
Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas L-Carnosine sebagai antiglikasi,
sebagai berikut :
1. Penelitian pada sel paru-paru manusia membuktikan bahwa L-
Carnosine dapat menjadi inhibitor kompetitif untuk reaksi
pembentukkan AGEs (Niber, 2008).
2. Pemberian L-Carnosine pada anjing percobaan menunjukkan hasil
yang signifikan dalam mencegah glikasi pada katarak dan
atherosclerosis (Kyriazis MD, 2002).
19
3. L-Carnosine ditemukan dapat menetralisir badan keton/aldehide
reaktif pada sel otot rangka mencit sehingga glikasi dapat dicegah
(Sbrupn, 2006).
4.1.2 Mekanisme L-Carnosine sebagai Chelating Agent terhadap Patogenesis
Diabetes Melitus Tipe 2
L-Carnosine dalam peranannya sebagai chelating agent, memiliki
kemampuan berikatan kuat dengan logam transisi. Pengikatan ion logam
transisi, menghambat agregasi amilin sehingga mencegah terbentuknya
pulau amiloid (Islet of amyloid) pada pankreas. Komponen L-Carnosine
yang berperan dalam hal ini adalah L-Histidine. Histidine pada L-Carnosine
dapat mengikat ion Zn2+ sehingga mencegah terbentuknya histidin binding
motif antar molekul amilin. Komponen histidine pada L-Carnosine juga
dapat berikatan dengan Fe2+ dan Cu2+ (Guernsey,2004).
Gambar 8. Struktur Kompleks L-Carnosine-Zinc (Guernsey,2004)
L-Carnosine juga berperan dalam meningkatkan produksi protein kejut
panas HSP 72 dan down regulasi NF-kB. Hal ini dibuktikan dalam
penelitian Masaru Odashima (2006) bahwa administrasi L-Carnosine akan
menaikkan kadar protein HSP 72 pada mencit percobaan yang mengalami
kanker kolorektal. Kompleks Zinc-L-Carnosine mencegah terjadinya
resistensi insulin dengan cara menginduksi ekspresi gen HSP 72. HSP 72
mencegah terjadinya kesalahan dalam pelipatan protein yang nantinya akan
membentuk amiloid dan down regulasi aktivitas NF-kB (Odashima,2006).
HSP 72 mengikat NF-kB sitoplasma sehingga mencegah terjadinya
translokasi NF-kB ke dalam nukleus. Tarhambatnya translokasi NF-kB
menyebabkan kegagalan formasi faktor transkripsi pada gen sitokin IL-6
20
L-Carnosine-ZincAGEOH
ScavengerAldehide dan
Keton scavenger
Superokside Scavenger
Protein Terglikasi
Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik
maupun IL-1β, sehingga menurunkan konsentrasi IL-6 dan IL-1β.
Penurunan kadar IL-6 meningkatkan aktivitas SOCS sehingga
memungkinkan terjadinya fosforilasi dari IRS1 dan IRS2. Selain itu,
penurunan aktivitas SOCS juga menurunkan kadar SREBP-1c dan FAcyl-
CoA. Turunnya kadar kedua substansi ini secara berurutan menaikkan kadar
IRS2 kembali ke ambang normal dan mencegah terjadinya fosforilasi residu
serine pada IRS1/2. Dampak akhir dari proses ini adalah pulihnya
responsifitas sel tubuh terhadap insulin (Fall, 2008).
Gambar 9. Mekanisme Kompleks L-Carnosine-Zinc dalam Downregulasi
TNF-α dan NF-kβ (Fall, 2008).
Mekanisme L-Carnosine-Zinc juga melibatkan down regulasi sitokin TNF-
α. TNF-α menginduksi aktivasi NF-kB. Selanjutnya, NF-kB mengaktivasi
gen pengkode sitokin IL-6 sehingga kadar IL-6 meningkat. Peningkatan
kadar IL-6 mengaktivasi SOCS. Kemudian, SOCS dapat mengaktivasi
SREBP-1c dan menghambat fosforilasi IRS1 (Insulin Receptor Substrat)
maupun IRS2. Aktivasi SREBP-1c menurunkan ekpresi gen yang mengkode
IRS2 mRNA sehingga menurunkan jumlah protein IRS2 pada sel hati.
Dalam pemaparan L-Carnosine, down regulasi TNF-α mencegah kaskade
pensinyalan tersebut.
21
L-Carnosine-Zinc
Down regulasi NF-kB memberikan umpan balik negatif dengan cara down
regulasi TNF α. Dalam proses sintesis TNF α, diperlukan NF-kB sebagai
faktor transkripsi sebagaimana IL-6, sehingga terhambatnya translokasi NF-
kB menyebabkan terjadinya down regulasi TNF alpha.
Gambar 10. Mekanisme Kompleks L-Carnosine-Zinc dalam Menekan
Sintesis TNF- α (Kishore,2004).
Penurunan kadar TNF-α dan IL-6 akan menurunkan tingkat resistensi insulin
yang dialami oleh penderita diabetes melitus tipe 2 sehingga akan
meningkatkan responsivitas reseptor terhadap insulin. Peningkatan
responsivitas ini selanjutnya akan menurunkan aktivitas dari HSL dan
menurunkan laju glukoneogenesis maupun glikogenolisis. Hal ini akan
menurunkan kadar lipid dan glukosa darah kembali pada batas yang normal.
4.1.3 Mekanisme L-Carnosine sebagai Antioksidan terhadap Patogenesis Diabetes
Melitus Tipe 2
Mekanisme L-Carnosine sebagai antioksidan memanfaatkan struktur ikatan
peptida asam amino β-alanin dan histidine. Gugus hidroksil dari histidin
pada molekul L-Carnosine juga memberikan efek antioksidan dengan
mendonasikan ion hidrogen kepada peroksil radikal seperti OH* dan lipid
22
peroxile (RO2) (Babizhayev, 2004). Berdasarkan sifat struktural tersebut L-
Carnosine dapat memerangkap produk LPO berupa molekul karbonil reaktif
seperti malondialdehide, glioksal, dan methilglioksal. L-Carnosine memiliki
kemampuan menginhibisi kemampuan katalisis dari LPO.
Gambar 11. Aktivitas L-Carnosine sebagai Antioksidan
(Guernsey dkk., 2004)
Disamping sifat antioksidan pada struktur alaminya, L-Carnosine juga
berperan sebagai scavenger enzym. Guernsey dkk. (2004) menunjukkan
kemampuan L-Carnosine dalam berikatan dengan ion logam transisi seperti
tembaga (Cu2+) atau besi (Fe2+) memiliki aktivitas seperti SOD. Kompleks
L-Carnosine Cu(II) dapat mengkatalisis oksidasi O2• menjadi H2O2 dan O2.
Netralisasi radikal bebas oleh L-Carnosine akan menyebabkan terjadinya
penurunan yang signifikan pada laju deposisi amiloid. Ini dikarenakan
23
2 O2• + 2 H+ H2O2 + O2
pembentukan amiloid memerlukan radikal bebas dalam proses modifikasi
kovalen pada struktur proteinnya. Modifikasi ini akan menyebabkan agregat
amiloid menjadi resisten terhadap proses degradasi protein. Tanpa adanya
radikal bebas, modifikasi ini tidak dapat terjadi sehingga protein prekursor
amiloid menjadi lebih mudah didegradasi.
L-Carnosine juga mencegah terjadinya kematian sel β akibat radikal bebas.
Ini disebabkan tidak teraktivasinya protein kaspase yang menginduksi
apoptosis sel β. Protein ini diaktivasi oleh kerusakan-kerusakan sel yang
dalam hal ini diakibatkan oleh radikal bebas seperti double strand break,
stress RE, dan kerusakan membran.
Selain itu, netralisasi radikal bebas membantu mengurangi status stress RE
yang dialami oleh sel β. Ini dikarenakan menurunnya interaksi antara radikal
bebas dan protein yang salah melipat sehingga mencegah terjadinya glikasi
protein yang juga berkontribusi terhadap kerusakan membran RE.
Berkurangnya status stress RE ini juga meningkatkan efektifitas pelipatan
protein pre insulin sehingga akan mencegah terjadinya impaired insulin
secretion.
Dibandingkan dengan antioksidan lainnya, L-Carnosine dapat bekerja secara
independen lain halnya SOD yang bekerja sama dengan Glutathion
Reduktase dan Fe2+ dalam menetralisir oksigen reaktif. Berikut beberapa
penelitian tentang sifat antioksidan L-Carnosine.
1. Pemberian L-Carnossine jaringan hati kelinci dengan akumulasi logam
Zn menunjukkan aktivitas peroksidase melalui kompleks L-Carnossine-
Zn (Babizhayef, 1994).
2. Efek kombinasi anti-cross link dan anti-oksidan L-Carnosine pada sel
epitelial usus halus mencit berperan dalam menjaga stabilitas membran
sel ( Dean, 2004).
3. Penelitian Zhurafskii S.G (2004) membuktikan bahwa pemberian
intragastrik dari L-Carnosine pada Wistara Kyoto rats 3 hari sebelum
dan 7 hari setelah penyuntikan kanamicin aminoglikosida ototoksik
dapat mengkompensasi penggunaan system antioksidan jaringan dan
24
mengeliminasi MDA yang dibentuk oleh aminoglikosida pada bagian
membrane dari koklea dan juga pada korteks auditori pada lobus
temporal otak.
4. Pemberian L-Carnosine yang dilakukan pada tikus diabetik, terbukti
menunjukkan aktivitas antioksidan dalam menurunkan pada konsentrasi
TNF-α dan IL-6. Sedangkan kadar glukosa, insulin, dan lipid kembali ke
kadar normal (Yuanti-lee,2005).
Menurunnya kadar radikal bebas akan menyebabkan turunnya laju glikasi
abnormal pada penderita diabetes melitus tipe 2. Menurunnya laju glikasi ini
akan menekan resiko timbulnya komplikasi diabetes melitus tipe 2 seperti
nephropati, neuropati, retinopati, dan atherosklerosis sehingga akan
menurunkan angka mortalitas pasien diabetes melitus tipe2.
4.2 Teknologi Produksi L-Carnosine sehingga Dapat Dikonsumsi Sebagai Obat
dalam Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
Mekanisme produksi yang relevan dalam memproduksi L-Carnosine adalah
dengan meenggunakan integrasi teknologi DNA Rekombinan dan Membrane
Separation Technology. Penggunaan teknologi DNA Rekombinan dalam
memproduksi L-Carnosine mempergunakan bakteri Escheresia coli. Selama ini
penggunaan bakteri E. coli pada teknologi DNA Rekombinan telah banyak
diaplikasikan serta terbukti keberhasilannya dalam produksi sejumlah hormon
seperti insulin dan growth hormone yang sesuai dengan daya beli masyarakat.
Aplikasi teknologi DNA Rekombinan dalam produksi L-Carnosine ditunjang
dengan penemuan urutan nukleotida pada cDNA L-Carnosine. Penggunaan
bakteri E. Coli telah banyak dipelajari dan terbukti efektivitas dan efisiensinya
dalam produksi suatu produk hormon.
Integrasi teknologi DNA Rekombinan dengan Membrane Separation Technology
bertujuan untuk mengekstraksi L-Carnosine dalam konsentrasi yang maksimum.
Ekstrasi L- Carnosine dari jaringan neuronal dengan menggunakan Membrane
Separation Technology terbukti diperoleh L- Carnosine dengan kemurnian
mencapai 90% (Nabetani, 2007). Secara rinci, proses produksi L-Carnosine
25
dengan teknik integrasi DNA Rekombinan (Champbell, dkk., 2002) dan
Membrane Separation Technology dijabarkan sebagai berikut.
1. Isolasi vektor pengklon
Pada tahap ini dilakukan isolasi plasmid. Plasmid yang diisolasi adalah
plasmid pUC 18. Plasmid ini memiliki 3 karakteristik khas yang berperan
penting dalam proses klon, meliputi: (a) Gen AMPR yang memberikan
resistensi kepeda antibiotic amphisilin; (b) Tempat restriksi untuk enzim Bam
HI; (c) Gen LacZ yang mengkode enzim β-galaktosidase yang dapat
menghidrolisis gula X-gal menjadi substansi berwarna biru.
2. Produksi cDNA.
Produksi cDNA terbagi dalam beberapa tahap; (a) isolasi mRNA yang
mengandung gen yang diinginkan dari kultur sel, (b) mRNA yang telah
diisolasi diinkubasi dengan deoxiribonukleotida dan enzim transcriptase balik
untuk memproduksi DNA komplementer, dan (c) mRNA kemudian
didegradasi, dan DNA polymerase ditambahkan untuk mensintesis DNA yang
komplementer terhadap DNA yang pertama, sehingga dihasilkan cDNA
komplementer yang hanya mengandung ekson.
3. Insersi cDNA Carnosine synthetase ke plasmid
Tahapan ini meliputi; (a) Pemotongan plasmid dan gen Carnosine Synthetase
dengan menggunakan enzim restriksi Bam HI hingga terbentuk struktur
menyerupai lingkaran terbuka dan (b) penambahan enzim DNA ligase untuk
membentuk ikatan kovalen pada perhubungan ujung lengket antara fragmen
DNA dan plasmid.
4. Introduksi vektor pengklon pada sel bakteri.
Pada tahapan ini dilakukan pencampuran antara DNA rekombinan dengan
LacZ- E.coli. Bacteri E.coli mengambil DNA rekombinan dari lingkungan
sekitarnya.
5. Kloning
Proses kloning mencakup pembiakan bakteri E. coli pada gel yang
mengandung amphisilin dan gula X-gal. Kemudian bakteri akan bereplikasi
membentuk klon pada gel. Hanya bakteri yang mengandung plasmid saja yang
dapat bereplikasi karena hanya bakteri inilah yang mengandung gen AMPR.
26
Bakteri yang mengandung plasmid rekombinan akan membentuk klon
berwarna putih pada medium. Klon ini dipisahkan, dan digunakan untuk
memproduksi L-Carnosine.
Gambar 12. Mekanisme Sintesis cDNA Carnosine sinthetase dan insersi cDNA
ke plasmid (Patrick M Woshter, 2007).
6. Pembiakan bakteri
Pembiakan bakteri dilaksanakan dalam tangki besar berisi medium nutrisi.
Selama tumbuh dalam medium, bakteri akan mensintesis enzim Carnosine
synthetase yang selanjutnya akan menghasilkan L-Carnosine. L-Carnosine
yang dihasilkan dapat dipurifikasi dari cairan medium.
7. Isolasi L-Carnosine
Tahapan ini merupakan proses isolasi L-Carnosine dari medium berisi bakteri
dengan menggunakan teknik Membrane Separation Technology. Adapun
tahapannya meliputi; (a) pengambilan dan pemanasan larutan medium yang
berisi bakteri pada temperatur 1000C untuk melisiskan bakteri, (b) pemrosesan
ekstrak yang dihasilkan dengan menggunakan resin ion exchanger sehingga
asam amino yang bersifat asam dan netral dan protein terpisah dari larutan
dengan L-Carnosine, kemudian (c) Larutan yang dihasilkan diproses lagi
27
dengan menggunakan metode membrane separation yang menggunakan
membrane NFT50. Bahan dasar dari membrane ini adalah polipiperazine dan
membrane ini dapat memisahkan creatinine dan sodium iron sehingga dapat
dihasilkan ekstrak L-Carnosine murni (Nabetani,2007).
Gambar 13. Membrane Separation Technology (Nabetani, 2007)
4.3 Mekanisme Terapi L-Carnosine pada Penatalaksanaan Farmakologis
Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan Panduan Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 oleh
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) penatalaksanaan diabetes
difokuskan pada terapi dalam mengatasi kondisi pada dua kelompok penderita
meliputi kelompok prediabetik dan kelompok dengan resiko. Kedua kelompok ini
memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Kelompok Prediabetik.
Prediabetik merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes.
Tahap prediabetik pada diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan karakteristik
meliputi: berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi
insulin), hiperglikemia, dan hiperinsulinemia. Saat ini, 4%-9% pasien
prediabetik telah memasuki tahap diabetik. Department of Health and Human
28
Services (DHHS) dan American Diabetes Association (ADA) (2002),
menggambarkan keadaan prediabetes dengan TGT dan GDPT. Diagnosis
prediabetes ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam.
Diagnosis prediabetik ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan
salah satu dari angka tersebut di bawah ini.
a. Glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL
b. Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199
mg/Dl
Kelompok prediabetik sering dikaitkan dengan kondisi sindrom metabolik
yang ditandai dengan obesitas sentral, dislipidemia, dan hipertensi.
2. Kelompok dengan Resiko
Kelompok dengan resiko merupakan kelompok penderita dengan patogenesis
lanjutan dari resistensi insulin, meliputi disfungsi sel β pankreas, peningkatan
status hiperglikemia. Pada kelompok ini telah mulai muncul perkembangan
komplikasi diabetes melitus tipe 2 seperti kardiovaskular, neuropati, nefropati,
serta retinopati.
Pemberian L-Carnosine sebagai terapi dalam dua kelompok tersebut memiliki
toleransi yang tinggi. Tidak ditemukan toksisitas pada pemberian dosis yang
tinggi. Berdasarkan penelitian (Niber, 2004), pemberian L-Carnosine dengan
berbagai dosis (200mg/kg, 250 mg/kg, 800mg/kg) pada jaringan ikat kulit mencit
(20 gr) menunjukkan efek peremajaan jaringan ikat dan semakin meningkat dalam
rentang dosis 200mg/kg – 800mg/kg. Berdasarkan konversi, didapati dosis efektif
minimum L-Carnosine pada manusia adalah sebesar 1, 1935 gram untuk orang
dengan berat badan 70 kg.
4.4 Analisis Manfaat L-Carnosine Sebagai Modalitas Terapi dalam
Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
Dibandingkan modalitas terapi diabates melitus tipe 2 saat ini, L-Carnosine
memiliki beberapa keunggulan. L-Carnosine mampu mengatasi patogenesis yang
menjadi permasalahan utama diabates melitus tipe 2 yaitu resistensi insulin dan
disfungsi sel β pankreas sehingga dapat menormalkan kadar glukosa darah. Obat-
obatan yang digunakan saat ini lebih banyak bersifat menstimulasi produksi
29
insulin yang malah akan memperparah kerusakan sel β pankreas. Ini disebabkan
oleh meningkatnya akumulasi amiloid dan memburuknya kondisi sel β akibat
stress RE yang dialami oleh sel β.
L-Carnosine dapat menstimulasi produksi insulin dan proliferasi sel prekursor sel
β tanpa mengakibatkan deposisi amiloid dan stress RE. Hal ini dikarenakan L-
Carnosine dapat mencegah terbentuknya AGEs yang berperan dalam
pembentukan amiloid dan mendegradasi AGEs yang telah terbentuk. Selain itu, L-
Carnosine juga menetralisir radikal bebas yang juga berperan dalam stress RE.
Terapi diabetes melitus tipe 2 saat ini melibatkan beberapa obat untuk mengatasi
penyebab utama beserta komplikasinya. Obat-obatan saat ini bersifat spesifik
untuk satu kondisi misalnya obat anti-glikasi untuk menurunkan resistensi insulin
yang dialami penderita. Akibatnya, efek samping obat-obatan yang digunakan
akan terakumulasi sehingga memberikan efek yang buruk bagi pasien seperti
hipoglikemia dan hipotensi.
L-Carnosine tidak memerlukan obat-obatan pendukung sebab L-Carnosine dapat
mengatasi kedua penyebab utama diabetes melitus tipe 2 beserta komplikasinya.
Tidak terjadi kombinasi komplikasi seperti yang terjadi pada terapi kombinasi
sepeti yang dilakukan saat ini. Selain itu, L-Carnosine tidak ditemukan memiliki
toksisitas dalam pemberian dosis tinggi. Menurut penelitian Ward Dean (2004),
pemberian L-Carnosine sampai 800mg/kg pada mencit tidak menimbulkan efek
samping yang buruk dan dapat menaikkan efisiensinya dalam mengatasi
patogenesis diabetes melitus tipe 2. Ini dikarenakan L-Carnosine adalah molekul
alami tubuh yang disintesis secara alami oleh tubuh. Selain itu, L-Carnosine dapat
memulihkan homeostasis sehingga dapat memulihkan vitalitas penderita.
Ditinjau dari prospek pengembangan, L-Carnosine berpotensi bekerja pada
tingkat molekuler sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan dalam
penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 dalam mengatasi resistensi insulin.
Berdasarkan cost analisis, pengembangan L-Carnosine sebagai modalitas terapi
diabetes melitus tipe 2 mencapai biaya yang lebih rendah daripada terapi insulin,
sebab terapi insulin masih membutuhkan terapi tambahan, sehingga secara
30
akumulatif biaya pemasaran insulin lebih tinggi daripada L-Carnosine.
Disamping itu, dengan adanya rancangan teknologi produksi yang efisien dan
tersedia di Indonesia, maka L-Carnosine sangat berpotensi untuk diproduksi
secara luas sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan demikian,
pemanfaatan L-Carnosine merupakan modalitas terapi strategis dalam menekan
prevalensi dan insiden diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
31
L-CarnosineL-Carnosine
OH ScavengerAldehide dan
Keton scavengerSuperokside
Scavenger
OH ScavengerAldehide dan
Keton scavengerSuperokside
Scavenger
AGEs inhibitorMemfasilitasi
pengikatan AGEs dengn RAGE
Disosiasi Protein Terglikasi
Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik
AGEs inhibitorMemfasilitasi
pengikatan AGEs dengn RAGE
Disosiasi Protein Terglikasi
Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik
Menghambat translokasi NF-kβ
TNF-α down regulator
IL-6 down regulator
Mencegah produksi radikal bebas oleh metal transisi
Menghambat translokasi NF-kβ
TNF-α down regulator
IL-6 down regulator
Mencegah produksi radikal bebas oleh metal transisi
AntioksidanAntioksidan
AntiglikasiAntiglikasi
Chelating AgentChelating Agent
MikroangiopatiMikroangiopati MakroangiopatiMakroangiopati NeuropatiNeuropati
DIABETES MELITUS TIPE 2
RESISTENSI INSULINRESISTENSI INSULIN DISFUNGSI SEL-βDISFUNGSI SEL-β
TNF- α, NF-Kb, Amiloid
TNF- α, NF-Kb, Amiloid AGEs, AmiloidAGEs, AmiloidROS, AmilodROS, Amilod
Gambar 14. Pemanfaatan L-Carnosine Sebagai Antiglikasi, Chelating Agent, dan
Antioksidan pada Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
32
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan sintesis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
1. Mekanisme L-Carnosine terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2
meliputi antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan. Sebagai antiglikasi L-
Carnosine mencegah reaksi glikasi dan menekan aktivitas produk akhir glikasi
dalam bentuk AGEs. Dalam mekanisme chelating agent kompleks L-
Carnosine- Zn2+ meningkatkan produksi protein kejut panas HSP 72 dan down
regulasi NF-kB. Mekanisme L-Carnosine sebagai antioksidan adalah sebagai
memiliki kemampuan berikatan dengan ion logam transisi seperti tembaga
(Cu2+) atau besi (Fe2+) sehingga dapat berperan sebagai scavenger enzyme
dalam mengendalikan ROS.
2. Teknologi produksi L-Carnosine menggunakan integrasi teknik DNA
Rekombinan dengan Membrane Separation Technology yang menghasilkan L-
Carnosine dengan kemurnian 90%. Tahapan produksi L-Carnosine meliputi
isolasi vector pengklon, isolasi cDNA, insersi cDNA Carnosine synthetase
pada plasmid, produksi cDNA, introduksi vektor pengklon kepada sel bakteri,
kloning, pembiakan bakteri, dan isolasi L-Carnosine, dan ekstraksi.
3. Mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan farmakologis
diabetes melitus tipe 2 diberikan pada dua kelompok penderita; prediabetik
dan kelompok resiko. Pemberian L-Carnosine memiliki toleransi yang baik
pada kedua kelompok. Dosis efektif L-Carnosine pada manusia dengan berat
badan 70 kg adalah 1, 9395 g.
4. Dibandingkan modalitas terapi diabates melitus tipe 2 saat ini, L-Carnosine
memiliki beberapa keunggulan, meliputi kemampuan mengatasi resistensi
insulin dan disfungsi sel β, mencegah komplikasi penyakit, tidak terdapat efek
samping, dan relatif murah.
33
5.2 Saran
Dari hasil analisis dan sintesis dalam pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diberikan beberapa rekomendasi untuk dikaji dan ditindaklanjuti, yaitu:
1. Gagasan kreatif yang diangakat dalam karya ilmiah ini masih memerlukan
pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan L-Carnosine
secara komprehensif dalam penatalaksanaan diebetes melitus tipe 2. Hal ini
penting mengingat berbagai potensi L-Carnosine yang belum diteliti.
2. Perlu diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai dosis tepat,
prosedur terapi, serta farmakodinamik L-Carnosine sehingga potensi L-
Carnosine dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2.
3. Perlu dilakukan analisis dan dan pengkajian mengenai inovasi rancangan
teknologi produksi L-Carnosine terutama mengenai kajian strategis
pengembangan di Indonesia sehingga dapat ditindaklanjuti dengan produksi L-
Carnosine dan pemasaran secara luas di Indonesia.
4. Perkembangan penyakit degeneratif sebagai model biologis penuaan yang
semakin meningkat tajam perlu diantisipasi oleh seluruh komponen
masyarakat dengan mengubah paradigma penuaan dengan mengaplikasikan
konsep Anti-Aging Medicine dalam mengatasi berbagai permasalahan
penuaan. Hal ini hendaknya disertai peran serta para ilmuwan dalam
pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran modern dalam mengatasi
berbagai penyakit yang berhubungan dengan penuaan.
34