Kyai Somolangu Bukan Pemberontak
-
Upload
fayadh-proxifier -
Category
Documents
-
view
129 -
download
4
description
Transcript of Kyai Somolangu Bukan Pemberontak
GERAKAN DI TII DI KEBUMEN
A. Kyai Somolangu Bukan Pemberontak
Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani, selama ini banyak orang
mendengar nama besar beliau, cerita – cerita heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya
yang cukup legendaries, tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh
para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika kita cermati diantara sekian
tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka tersebut sepertinya belum pernah ada yang
menyentuh biografi beliau secara utuh. Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai
perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia, yaitu suatu organisasi kelaskaran
perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau
pimpin, terlebih khusus diakhir kancah tahun 1950-an.
Saya menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena ketidaktahuan dan
ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat
menjadi penyebab salah persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil
beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini akan dapat menjadi
bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau secara utuh di masa – masa selanjutnya
B. Nama dan Kelahirannya
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan suami istri
Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan Ummi Lathifah binti Muhammad
Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin Nur ‘Ali. Dari abahnya mengalir darah Rasulullah
Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu) yang merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani Al-
Hasani. Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syeikh Abdul
Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya
bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid
Muhammad ‘Ishom Al-Hasani (Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).
Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz” oleh abahnya.
Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau dikenal pula dengan laqob “Romo
Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Istilah Romo adalah merupakan ungkapan bahasa Jawa halus
kromo inggil yang sama artinya dengan Abuya atau Walidi dalam bahasa Arab. Adapun adanya
imbuhan Pusat dibelakangnya adalah karena pada masa tersebut beliau merupakan sosok figur
ulama harismatik yang menjadi pusat rujukan (Al-Imam) dari para ulama – ulama lain setidak –
tidaknya untuk wilayah kabupaten Kebumen dan sekitarnya.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga aktif
berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Keadaan ini
timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan yang dijalin beliau dengan para ulama dan
keprihatinannya terhadap keadaan bangsa.
Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam masalah perjuangan kemerdekaan
ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul
‘Ulama. Antara keduanya sering saling mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka di
Ndalem terdapat beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim Asy’ari kepada
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Insyaallah dalam buku sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren
Al-Kahfi Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara lengkap. Jadi hubungan baik antara
Tebu Ireng dengan Somalangu itu terjalin bukan dimulai dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-
Hasani dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menag) akan tetapi justru dari beliau dengan KH
Hasyim Asy’ari.
Bahwasanya antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan persahabatan itu dimulai dari ayah KH
Wahid Hasyim. Bukan karena KH Wahid Hasyim pernah bersama satu kurun Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani di Pesantren Tremas. Sebab Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok
di Tremas tahun 1335 H/1917 M – 1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim dilahirkan
pada 1 Juni 1914 M.
Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari Tremas, KH
Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah satu kurun di Tremas, walau
keduanya adalah sama – sama alumnus pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini
dapat menjadi koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.
Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari
dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di Ampel, Surabaya menjelang
tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH
Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang
beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan.
Sehingga sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari
terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai pertemuan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-
Hasani diminta oleh KH Hasyim Asy’ari untuk menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di
masjid Ampel, Surabaya untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah – langkah
tehnis yang sebaiknya dikerjakan.
C. Mendirikan Badan Kelasykaran AOI
AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan sebuah badan
kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen
umat islam yang ada diwilayah Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, penjajah
Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu,
Magelang dan Banyumas) waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin
sebuah badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada saat
tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang kembali ke Indonesia
bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani kemudian melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para
sesepuh ulama. Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya
berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan catatan setelah selesai
perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren dan tidak akan campur tangan dalam urusan
birokrasi kenegaraan.
Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945, diresmikanlah
berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi
nama AOI sebagai sebuah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran
ini dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis semata dan sebagai respon
baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno – Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi,
kesatuan tentara nasional belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori
negara secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh karenanya,
maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat sederhana. Demikian pula
Anggaran Dasar organisasinya.
Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I berisikan tujuan
dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan kelasykaran AOI. Sikap organisasi AOI
dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI sikap kelembagaan itu penting untuk
dimengerti oleh setiap orang agar mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya
dalam menanggapi kemerdekaan RI.
Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat dan perhatikan dengan baik
Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar
terhadap NKRI. Oleh karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang
mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara organisasi AOI dengan
DI/TII.
D. Benarkah AOI pemberontak?
Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan ruang yang tidak
sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani. Namun karena bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka
penulis akan ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis ketahui
mengenai wacana tersebut. Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau
tidak terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat dahulu adalah haluan
atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain, harus dilihat dahulu seperti apakah dan
bagaimanakah Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang
pernah beredar dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis temukan
didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI apalagi sampai pada
Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu peng”hakiman” yang mereka buat menurut
penulis secara ilmiah mengandung cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas
hasil tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.
Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir penjajah serta
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa berada dibelakang pemerintah Republik
Indonesia dengan Undang – Undang Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa
AOI melakukan pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis
semata.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid beliau tentang
pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak harus berbentuk negara, akan tetapi
islam harus hidup dalam setiap negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran
islam tidak mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum
muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran agamanya secara
baik dan benar dimanapun mereka berada.
Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam wajib secara
ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan bangsa lain”. Oleh karenanya untuk
menunjukkan peran wajib umat islam terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia
maka beliau lalu memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan
Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.
Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar dibanding
badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang lain karena dukungan dan
kepercayaan masyarakat yang luar biasa.
Dalam berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani berada di
garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI juga mengirimkan pasukannya.
Ketika peristiwa 10 November Surabaya inilah salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama
Sayid Qushashi Al-Hasani gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut
dan senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang membuat semakin
simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran kelasykaran saja yang dilakukan.
AOI juga melakukan perjuangan sosial dengan mengirimkan bantuan pangan yang diatas
namakan rakyat serta pemerintah RI ke India disaat negara tersebut tengah mengalami krisis
pangan. Oleh karenanya disisi lain kecemburuan sosial terhadap AOI juga mulai muncul dari
kalangan militer. Puncaknya terjadi ketika setelah Belanda dan pemerintah RI melakukan
perjanjian Renvile serta perundingan konfrensi meja bundar, Den Hag yang menghasilkan negara
RI dirubah menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi UUD’50 dan TNI berubah menjadi
APRIS.
Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI. Dan juga
amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz
Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses politik. Oleh karenanya ketika
pemerintah mengumumkan untuk pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan
kedalam APRIS, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil
langkah – langkah sbb : Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang
dipimpin oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini setelah bergabung dengan
APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang bermako di Kebumen.Membubarkan sebagian
besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian
kecilnya masih berada di lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan
masyarakat bilamana dibutuhkan.
Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika adik lain ibu
beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung ke APRIS. Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan
melepaskan diri dari urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan.
Karena pandangan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa transisi
seperti saat tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia banyak yang belum siap menghadapi
pergulatan politik kekuasaan dikarenakan tingkat pengetahuan serta kematangan berfikir yang
masih lemah dibanding kaum neoliberalis yang sempat mengenyam pendidikan dari bangsa
penjajah. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada adiknya, “Apakah kamu
telah siap dengan resikonya? Ketahuilah! Aku melihat akan ada kejadian besar jika kamu nekad
melakukannya”. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh Sayid Quraisyin.
Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya terbukti.
Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang menghendaki penggabungan
anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya,
Sayid Quraisyin sebagai komandan Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan
ini sepertinya menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah direncanakan oleh
rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam
kemerdekaan RI.
Suasana tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota Bataliyon X dibunuh
oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari Bataliyon X agar anggotanya yang dibunuh
dikembalikan, menjadi sebuah isu besar yang diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal
secara resmi AOI telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke
masyarakat. Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama karena permintaan
masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh
suasana masih belum kondunsifnya negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa
anggota Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya tidaklah ada
kaitan yang mengikat.
Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada negara. Pasalnya
yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh Sayid Quraisyin (lebih dikenal
dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu) berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan
oleh Bataliyon X dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando oleh
bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS dengan AOI secara
structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid
Quraisyin terdapat pandangan yang berbeda.
Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang utusannya yaitu
Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH Wahid Hasyim untuk
mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut. Keduanya menemui Syeikh As_Sayid
Mahfudz Al-Hasani di Somalangu. Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan
baik oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran
umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengajak keduanya
untuk melihat orang – orang yang berada di asrama sambil berkata, “Masa orang – orang desa
seperti ini mau memberontak negara.??”.
Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui jumpa pers
yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional tanggal 12 Agustus 1950, dengan
bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman
anatara AOI dan APRIS. AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI
tidak akan memberontak kepada negara.
Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri Agama serta
Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X
APRIS diserang oleh beberapa Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari Bataliyon
Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam pertempuran tersebut. Dan masih
terngiang pula dalam telinga orang – orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu
yang bertempur antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu
sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh beliau juga dilarang
masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.
Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa Bataliyon
lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi demikian, meneroboslah masuk
Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal para penjaga telah diperintahkan untuk menolak
siapa saja yang datang dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah
adik beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid Quraisyin minta
bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan membela orang – orang
islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu
Sayid Quraisyin. “Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon
diizinkan dan dibantu”.
Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-
Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti kebingungan. Beliau kemudian
memanggil orang – orang yang masih bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz
berkhutbah yang intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah
dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu menyelamatkan mereka
serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah dihadapi adalah bangsa sendiri dan
diantara mereka juga banyak yang muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak
atau membunuh mereka lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan
hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah syahadatain lebih
dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat maka haram untuk menembak atau
mengayunkan senjatanya dan wajib bagi kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan
ternyata tidak menjawab syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan
senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam persoalan hukum.
Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang sepenuh hati
demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak, sedangkan yang berserikat dengan
penjajah dianggap sebagai pahlawan. Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang
berkata dinegeri ini apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan dicari,
yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin, bahwa Allah Swt Maha Melihat
dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.
E. Terjadinya Perang
Sebenarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini belum
terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah maupun PSPB, kita
'dicekoki' AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan, 'cabang' DI/TII untuk kawasan Jawa
Tengah bagian selatan.
Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah menggeluti persoalan
AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis Danar Widayanta di UI (judulnya
Angkatan Oemat Islam 1945 - 1950 : Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).Pusat
Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan
simplifikasi menggelikan.
Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa disebutkan, AOI mulai melakukan rapat-rapat
rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik
Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis. Dari rapat itulah
kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal
mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu
Selatan.
Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah
dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup
Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara
Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950. KH. Abdurahman Wahid
(Gus Dur) menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS)
pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar
perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan.
Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan "Sekolah Umum
Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon.
Dalam fitnahan mereka Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany dikatakan berminat
terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo.
Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau
memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak
muda ingusan bernama Ahmad Yani.
Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.
Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-
masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan
Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas
usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution.
Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI
dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada
mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang.
Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000
orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang,
Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI
memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi
tereliminir karena tak punya ijazah. Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani,
tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk
bermobilitas vertikal menjalani karir militer.
Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan
dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai
ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah
Bupati Kebumen,
Beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong
timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata
menghadang di depan mata.
Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-
komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di
Madiun. Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati
Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar
rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya.
Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal
menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke
Yogyakarta sebagai ibukota RI.
Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot
naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan
kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai. Ini menginisiasi masa
Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode
inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.
Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27
Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar.
Ini sekaligus menandai berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasionalnya.
Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali
mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI
bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya
empat ancaman, ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis,
ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya. Ini menghasilkan
kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan
masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.
Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan
KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding
dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang
demikian besar.
Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang,
yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh
Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi
komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI
dan Thoriqoh Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang
kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga
Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati
Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo
menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci
partai politik, termasuk Masyumi.
Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon
yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang
suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir, Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya
ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi
perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda. Lebih lagi perwira2 itu umumnya
berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem"
warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram.
Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut
pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di
tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya
yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di
Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.
Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah
Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota
Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan
inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak,
sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.
F. Tidak tepat jika AOI disebut Memberontak
Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh
Mahfudz,), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak
menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM
Kartosuwiryo di Jawa Barat. Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -
semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan
menempati daratan sebelah timur Sungai Luk ulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada
pembicaraan lebih lanjut, Apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi,
konstitusi dan angkatan perang tersendiri.
Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile
government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu.
Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426
(keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada
bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat
kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari
Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan
membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Dalam peperangan di Turki. Namun
panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi
peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950.
AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan
± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi
anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu.
Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany pengasuh ponpes saat itu,
yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya KH Sururudin. KH Sururudin ini
bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (mantan bupati kebumen) . Badan ini lalu bergabung
dalam pasukan Hizbullah-Sabilillah yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara
Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.
Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi
Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral
Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis
demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih
besar.
Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias
Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan
sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabilillah bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan
Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU
Kebumen).
Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat
Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa
menganeksasi Somolangu, walaupun pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen
- Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak
pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian
dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya
berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.
Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan
TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih
sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang
pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran
Pekik). Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat
tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya.
Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi
- menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan,
AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya
mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan
TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat
dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-
apakan. "
Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan
badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat). TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz
menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang
untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS.
Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas
berasal dari TNI.
Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli
1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas.
Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang
lewat dengan jipnya, juga sampai tewas.
Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz
diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok
paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun
APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS
sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung
rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver
blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri.
G. Perang pun terjadi
Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah
berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri. APRIS mengerahkan pasukan besar
bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol.
Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang
berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di
hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan.
M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di
Jawa Barat/. Hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah
berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa
Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini
juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen
barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang
"memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.
Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan
dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan
Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan
mati menyedihkan. Bahkan masjid kuno berusia lebih 500 tahun (sekarang) peninggalan Syekh
Abdul Kahfi Awwal pun ikut rusak.
Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI
hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun hangus. Tak ada kata yang cocok untuk
mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan
dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.
Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz
memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha
leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh
tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Menjadi ironi bahwa di kemudian hari
Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk
sang big-boss - Soeharto, yang sampai sampai membangun helipad khusus.
Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-
sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di
kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di
Gunung Selok, Cilacap. Karena sudah kepalang tanggung difitnah.
Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada
yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah
diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke
masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan
tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam
pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung
dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur
untuk apa.Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS /
NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara
hantam kromo (main pukul rata).
Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon
pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan
DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan
Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh
DI/TII pula. Sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar
asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja
Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan
digempur seperti AOI.Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran
jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976,
merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai latar belakang.
Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar
lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan
labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh
Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi.
Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih
lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan pola pemikiran Orde lama dan
Orde baru yang berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya
peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat
dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah
yang berhasil meminimalisir jumlah korban.
Namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H.
Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau
bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama
beberapa bulan.
Karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem
kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa
kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1
Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal
berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena
merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian. Kejadian itu jika diamati
karena kecemburuan pihak tentara militer pada waktu itu.. mengingat laskar santri kebanyakan
ahli agama yang berpegang teguh pada ideologi ahlu sunah wal jamaah
Dari sekian banyak laskar santri yang di fitnah dan di Bumi hanguskan itu semua orang
Nahdhiyyin yang pada masa merebut kemerdekaan gigih melawan penjajah.
Sumber : http://wiyonggoputih.blogspot.com/2015/01/kyai-somolangu-bukan-pemberontak.html