Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

23
GERAKAN DI TII DI KEBUMEN A. Kyai Somolangu Bukan Pemberontak Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani, selama ini banyak orang mendengar nama besar beliau, cerita – cerita heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya yang cukup legendaries, tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika kita cermati diantara sekian tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka tersebut sepertinya belum pernah ada yang menyentuh biografi beliau secara utuh. Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia, yaitu suatu organisasi kelaskaran perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau pimpin, terlebih khusus diakhir kancah tahun 1950-an. Saya menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena ketidaktahuan dan ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat menjadi penyebab salah persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini akan dapat menjadi bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau secara utuh di masa – masa selanjutnya B. Nama dan Kelahirannya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan suami istri Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al- Hasani dengan Ummi Lathifah binti Muhammad Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin Nur ‘Ali. Dari abahnya mengalir darah Rasulullah Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu) yang merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani Al- Hasani. Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok

description

FAYADH ABIYYI / XII MIPA 5

Transcript of Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Page 1: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

GERAKAN DI TII DI KEBUMEN

A. Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani, selama ini banyak orang

mendengar nama besar beliau, cerita – cerita heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya

yang cukup legendaries, tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh

para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika kita cermati diantara sekian

tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka tersebut sepertinya belum pernah ada yang

menyentuh biografi beliau secara utuh. Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai

perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia, yaitu suatu organisasi kelaskaran

perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau

pimpin, terlebih khusus diakhir kancah tahun 1950-an.

Saya menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena ketidaktahuan dan

ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat

menjadi penyebab salah persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil

beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini akan dapat menjadi

bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau secara utuh di masa – masa selanjutnya

B. Nama dan Kelahirannya

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan suami istri

Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan Ummi Lathifah binti Muhammad

Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin Nur ‘Ali. Dari abahnya mengalir darah Rasulullah

Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi

Somalangu) yang merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani Al-

Hasani. Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi

Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syeikh Abdul

Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya

bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid

Muhammad ‘Ishom Al-Hasani (Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).

Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz” oleh abahnya.

Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau dikenal pula dengan laqob “Romo

Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Istilah Romo adalah merupakan ungkapan bahasa Jawa halus

kromo inggil yang sama artinya dengan Abuya atau Walidi dalam bahasa Arab. Adapun adanya

imbuhan Pusat dibelakangnya adalah karena pada masa tersebut beliau merupakan sosok figur

ulama harismatik yang menjadi pusat rujukan (Al-Imam) dari para ulama – ulama lain setidak –

tidaknya untuk wilayah kabupaten Kebumen dan sekitarnya.

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga aktif

berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Keadaan ini

timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan yang dijalin beliau dengan para ulama dan

keprihatinannya terhadap keadaan bangsa. 

Page 2: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam masalah perjuangan kemerdekaan

ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul

‘Ulama. Antara keduanya sering saling mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka di

Ndalem terdapat beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim Asy’ari kepada

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. 

Insyaallah dalam buku sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren

Al-Kahfi Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara lengkap. Jadi hubungan baik antara

Tebu Ireng dengan Somalangu itu terjalin bukan dimulai dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-

Hasani dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menag) akan tetapi justru dari beliau dengan KH

Hasyim Asy’ari. 

Bahwasanya antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan persahabatan itu dimulai dari ayah KH

Wahid Hasyim. Bukan karena KH Wahid Hasyim pernah bersama satu kurun Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani di Pesantren Tremas. Sebab Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok

di Tremas tahun 1335 H/1917 M – 1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim dilahirkan

pada 1 Juni 1914 M. 

Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari Tremas, KH

Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah satu kurun di Tremas, walau

keduanya adalah sama – sama alumnus pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini

dapat menjadi koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.

Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari

dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di Ampel, Surabaya menjelang

tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH

Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang

beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan. 

Sehingga sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari

terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai pertemuan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-

Hasani diminta oleh KH Hasyim Asy’ari untuk menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di

masjid Ampel, Surabaya untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah – langkah

tehnis yang sebaiknya dikerjakan.

C. Mendirikan Badan Kelasykaran AOI 

AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan sebuah badan

kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen

umat islam yang ada diwilayah Indonesia.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, penjajah

Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz

Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu,

Page 3: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Magelang dan Banyumas) waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin

sebuah badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada saat

tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang kembali ke Indonesia

bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani kemudian melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para

sesepuh ulama. Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya

berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan catatan setelah selesai

perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren dan tidak akan campur tangan dalam urusan

birokrasi kenegaraan.

Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945, diresmikanlah

berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi

nama AOI sebagai sebuah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran

ini dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis semata dan sebagai respon

baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno – Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi,

kesatuan tentara nasional belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori

negara secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh karenanya,

maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat sederhana. Demikian pula

Anggaran Dasar organisasinya.

Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I berisikan tujuan

dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan kelasykaran AOI. Sikap organisasi AOI

dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI sikap kelembagaan itu penting untuk

dimengerti oleh setiap orang agar mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya

dalam menanggapi kemerdekaan RI.

Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat dan perhatikan dengan baik

Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar

terhadap NKRI. Oleh karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang

mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara organisasi AOI dengan

DI/TII.

D. Benarkah AOI pemberontak?

Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan ruang yang tidak

sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani. Namun karena bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka

penulis akan ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis ketahui

mengenai wacana tersebut. Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau

tidak terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat dahulu adalah haluan

atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain, harus dilihat dahulu seperti apakah dan

bagaimanakah Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang

Page 4: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

pernah beredar dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis temukan

didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI apalagi sampai pada

Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu peng”hakiman” yang mereka buat menurut

penulis secara ilmiah mengandung cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas

hasil tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.

Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir penjajah serta

mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa berada dibelakang pemerintah Republik

Indonesia dengan Undang – Undang Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa

AOI melakukan pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis

semata.

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid beliau tentang

pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak harus berbentuk negara, akan tetapi

islam harus hidup dalam setiap negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran

islam tidak mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum

muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran agamanya secara

baik dan benar dimanapun mereka berada.

Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam wajib secara

ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan bangsa lain”. Oleh karenanya untuk

menunjukkan peran wajib umat islam terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia

maka beliau lalu memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan

Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.

Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar dibanding

badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang lain karena dukungan dan

kepercayaan masyarakat yang luar biasa. 

Dalam berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani berada di

garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI juga mengirimkan pasukannya.

Ketika peristiwa 10 November Surabaya inilah salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama

Sayid Qushashi Al-Hasani gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut

dan senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang membuat semakin

simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran kelasykaran saja yang dilakukan. 

AOI juga melakukan perjuangan sosial dengan mengirimkan bantuan pangan yang diatas

namakan rakyat serta pemerintah RI ke India disaat negara tersebut tengah mengalami krisis

pangan. Oleh karenanya disisi lain kecemburuan sosial terhadap AOI juga mulai muncul dari

kalangan militer. Puncaknya terjadi ketika setelah Belanda dan pemerintah RI melakukan

perjanjian Renvile serta perundingan konfrensi meja bundar, Den Hag yang menghasilkan negara

RI dirubah menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi UUD’50 dan TNI berubah menjadi

APRIS.

Page 5: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI. Dan juga

amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz

Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses politik. Oleh karenanya ketika

pemerintah mengumumkan untuk pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan

kedalam APRIS, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil

langkah – langkah sbb : Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang

dipimpin oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS (Angkatan

Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini setelah bergabung dengan

APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang bermako di Kebumen.Membubarkan sebagian

besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian

kecilnya masih berada di lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan

masyarakat bilamana dibutuhkan.

Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika adik lain ibu

beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung ke APRIS. Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan

melepaskan diri dari urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan. 

Karena pandangan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa transisi

seperti saat tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia banyak yang belum siap menghadapi

pergulatan politik kekuasaan dikarenakan tingkat pengetahuan serta kematangan berfikir yang

masih lemah dibanding kaum neoliberalis yang sempat mengenyam pendidikan dari bangsa

penjajah. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada adiknya, “Apakah kamu

telah siap dengan resikonya? Ketahuilah! Aku melihat akan ada kejadian besar jika kamu nekad

melakukannya”. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh Sayid Quraisyin.

Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya terbukti.

Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang menghendaki penggabungan

anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya,

Sayid Quraisyin sebagai komandan Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan

ini sepertinya menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah direncanakan oleh

rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam

kemerdekaan RI. 

Suasana tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota Bataliyon X dibunuh

oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari Bataliyon X agar anggotanya yang dibunuh

dikembalikan, menjadi sebuah isu besar yang diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal

secara resmi AOI telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke

masyarakat. Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama karena permintaan

masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh

suasana masih belum kondunsifnya negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa

Page 6: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

anggota Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya tidaklah ada

kaitan yang mengikat.

Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada negara. Pasalnya

yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh Sayid Quraisyin (lebih dikenal

dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu) berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan

oleh Bataliyon X dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando oleh

bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS dengan AOI secara

structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid

Quraisyin terdapat pandangan yang berbeda.

Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang utusannya yaitu

Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH Wahid Hasyim untuk

mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut. Keduanya menemui Syeikh As_Sayid

Mahfudz Al-Hasani di Somalangu. Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan

baik oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran

umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengajak keduanya

untuk melihat orang – orang yang berada di asrama sambil berkata, “Masa orang – orang desa

seperti ini mau memberontak negara.??”.

Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui jumpa pers

yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional tanggal 12 Agustus 1950, dengan

bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman

anatara AOI dan APRIS. AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI

tidak akan memberontak kepada negara.

Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri Agama serta

Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X

APRIS diserang oleh beberapa Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari Bataliyon

Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam pertempuran tersebut. Dan masih

terngiang pula dalam telinga orang – orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu

yang bertempur antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu

sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh beliau juga dilarang

masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.

Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa Bataliyon

lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi demikian, meneroboslah masuk

Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal para penjaga telah diperintahkan untuk menolak

siapa saja yang datang dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah

adik beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid Quraisyin minta

bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan membela orang – orang

islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu

Page 7: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Sayid Quraisyin. “Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon

diizinkan dan dibantu”.

Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-

Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti kebingungan. Beliau kemudian

memanggil orang – orang yang masih bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz

berkhutbah yang intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah

dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu menyelamatkan mereka

serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah dihadapi adalah bangsa sendiri dan

diantara mereka juga banyak yang muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak

atau membunuh mereka lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan

hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah syahadatain lebih

dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat maka haram untuk menembak atau

mengayunkan senjatanya dan wajib bagi kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan

ternyata tidak menjawab syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan

senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam persoalan hukum.

Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang sepenuh hati

demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak, sedangkan yang berserikat dengan

penjajah dianggap sebagai pahlawan. Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang

berkata dinegeri ini apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan dicari,

yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin, bahwa Allah Swt Maha Melihat

dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.

E. Terjadinya Perang

Sebenarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini belum

terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah maupun PSPB, kita

'dicekoki' AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan, 'cabang' DI/TII untuk kawasan Jawa

Tengah bagian selatan. 

Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah menggeluti persoalan

AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis Danar Widayanta di UI (judulnya

Angkatan Oemat Islam 1945 - 1950 : Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).Pusat

Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan

simplifikasi menggelikan. 

Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa disebutkan, AOI mulai melakukan rapat-rapat

rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik

Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis.  Dari rapat itulah

kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal

mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu

Selatan. 

Page 8: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah

dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup

Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara

Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950. KH. Abdurahman Wahid

(Gus Dur) menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS)

pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar

perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan. 

Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan "Sekolah Umum

Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon. 

Dalam fitnahan mereka Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany dikatakan berminat

terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. 

Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau

memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak

muda ingusan bernama Ahmad Yani. 

Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.

Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-

masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan

Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas

usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. 

Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI

dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada

mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang. 

Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000

orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang, 

Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI

memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi

tereliminir karena tak punya ijazah. Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani,

tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk

bermobilitas vertikal menjalani karir militer.

Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan

dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai

ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah

Bupati Kebumen, 

Beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong

timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata

menghadang di depan mata.

Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-

komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di

Page 9: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Madiun. Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati

Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar

rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya. 

Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal

menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke

Yogyakarta sebagai ibukota RI.

Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot

naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan

kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai. Ini menginisiasi masa

Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode

inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.

Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27

Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar. 

Ini sekaligus menandai berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan APRIS (Angkatan

Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasionalnya. 

Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali

mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI

bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya

empat ancaman, ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis,

ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya. Ini menghasilkan

kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan

masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.

Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan

KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding

dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang

demikian besar. 

Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang,

yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh

Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi

komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI

dan Thoriqoh  Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang

kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga

Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati

Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo

menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci

partai politik, termasuk Masyumi.

Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon

yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang

Page 10: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir, Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya

ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi

perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda. Lebih lagi perwira2 itu umumnya

berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem"

warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram. 

Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut

pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di

tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya

yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di

Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.

Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah

Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota

Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan

inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak,

sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.

F. Tidak tepat jika AOI disebut Memberontak

Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh

Mahfudz,), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak

menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM

Kartosuwiryo di Jawa Barat. Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -

semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan

menempati daratan sebelah timur Sungai Luk ulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada

pembicaraan lebih lanjut, Apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi,

konstitusi dan angkatan perang tersendiri. 

Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile

government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu. 

Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426

(keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada

bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat

kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari

Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.

Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan

membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Dalam peperangan di Turki. Namun

panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi

peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950. 

AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan

± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi

anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu. 

Page 11: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany pengasuh ponpes saat itu,

yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya KH Sururudin. KH Sururudin ini

bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (mantan bupati kebumen) . Badan ini lalu bergabung

dalam pasukan Hizbullah-Sabilillah yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya

mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara

Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.

Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi

Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral

Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis

demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih

besar. 

Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias

Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan

sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabilillah bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan

Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU

Kebumen). 

Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat

Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa

menganeksasi Somolangu, walaupun pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen

- Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak

pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian

dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya

berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.

Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan

TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih

sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang

pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran

Pekik). Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat

tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya. 

Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi

- menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan,

AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya

mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan

TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat

dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-

apakan. "

Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan

badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia

Page 12: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Serikat). TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz

menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang

untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS. 

Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas

berasal dari TNI.

Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli

1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas. 

Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang

lewat dengan jipnya, juga sampai tewas. 

Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz

diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok

paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun

APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS

sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.

Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung

rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver

blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri.

G. Perang pun terjadi 

Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah

berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri. APRIS mengerahkan pasukan besar

bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol.

Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang

berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di

hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan. 

M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di

Jawa Barat/. Hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah

berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa

Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini

juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen

barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang

"memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.

Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan

dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan

Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan

mati menyedihkan. Bahkan masjid kuno berusia lebih 500 tahun (sekarang) peninggalan Syekh

Abdul Kahfi Awwal pun ikut rusak.

Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI

hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun hangus. Tak ada kata yang cocok untuk

Page 13: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan

dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.

Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz

memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha

leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh

tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Menjadi ironi bahwa di kemudian hari

Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk

sang big-boss - Soeharto, yang sampai sampai membangun helipad khusus.

Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-

sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di

kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di

Gunung Selok, Cilacap. Karena sudah kepalang tanggung difitnah.

Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada

yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah

diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke

masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan

tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam

pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung

dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur

untuk apa.Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS /

NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara

hantam kromo (main pukul rata). 

Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon

pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan

DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan

Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh

DI/TII pula. Sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar

asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja

Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan

digempur seperti AOI.Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran

jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976,

merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai latar belakang.

Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar

lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan

labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh

Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi. 

Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih

lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan pola pemikiran Orde lama dan

Page 14: Kyai Somolangu Bukan Pemberontak

Orde baru yang berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya

peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat

dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah

yang berhasil meminimalisir jumlah korban.

Namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H.

Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau

bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama

beberapa bulan.

Karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem

kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa

kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1

Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal

berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena

merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian. Kejadian itu jika diamati

karena kecemburuan pihak tentara militer pada waktu itu.. mengingat laskar santri kebanyakan

ahli agama yang berpegang teguh pada ideologi ahlu sunah wal jamaah

Dari sekian banyak laskar santri yang di fitnah dan di Bumi hanguskan itu semua orang

Nahdhiyyin yang pada masa merebut kemerdekaan gigih melawan penjajah.

Sumber : http://wiyonggoputih.blogspot.com/2015/01/kyai-somolangu-bukan-pemberontak.html