Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk...
Transcript of Kutipan Pasal 113penelitian.uisu.ac.id/wp-content/...LINGKUNGAN-HIDUP-NASKAH-BU… · untuk...
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak
Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Dr. Nuzwaty, M. Hum.
Metafora Lingkungan Hidup
iv
Metafora Lingkungan Hidup Penulis: Dr. Nuzwaty, M. Hum
Layout: Imam Mahfudhi
Design Cover: Hardinalsyah
Katalog Dalam Terbitan
Metafora Lingkungan Hidup.–/ Dr. Nuzwaty, M. Hum.–
Kota Tangerang: Mahara Publishing, 2020.
xv, 94 hal.; 23 cm
ISBN 978-602-466-164-9
1. Buku I. Judul
2. Majalah Ilmiah
3. Standar
ISBN 978-602-466-164-9
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerbit:
Mahara Publishing (Anggota IKAPI)
Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai
Kota Tangerang, Banten, Indonesia 15145
Narahubung: 0813 6122 0435
Pos-el: [email protected]
Laman: www.maharapublishing.com
v
PRAKATA
enulisan buku ini saya lakukan dengan harapan
dapat memberikan kontribusi dalam pengadaan
dan menambah khasanah tulisan-tulisan yang
bertautan dengan kajian linguistik, khususnya kajian
ekolinguistik. Keinginan untuk menulis buku ini juga
terinspirasi oleh beberapa hal, pertama karena kurangnya
buku-buku ekolinguistik yang disajikan dalam bahasa
Indonesia, maka saya berusaha menulis buku lagi setelah buku
saya yang pertama berjudul Pengenalan Awal
EKOLINGISTIK terbit awal tahun 2019.
Materi-materi yang saya sajikan banyak merujuk kepada
pandangan dan buah pikir dari beberapa pakar bahasa, di
bidang linguistik kognitif dan ekolinguistik baik dari luar
maupun dari dalam Indonesia dan dibantu oleh hasil pemikiran
saya sendiri yang saya peroleh saat saya mengerjakan
penelitian bahasa yang berkaitan dengan konsentrasi
ekolinguistik.
Kedua, penulisan buku ini dilakukan pula disebabkan
oleh kurangnya minat peneliti bahasa terhadap ekolinguistik,
padahal sesungguhnya lahan kajian untuk konsentrasi
ekolinguistik masih sangat luas, dan peluang untuk melakukan
penelitian dalam bidang ini terbuka lebar,maka penyajian buku
ini juga diharapkan sebagai rangsangan bagi para peneliti
P
vi
bahasa untuk menoleh ke kajian ekolinguistik. Mudah-
mudahan harapan ini menjadi sebuah kenyataan.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih ditujukan
kepada Prof. Aron Meko Mbete tak pernah lelah membantu
dan menyemangati serta memberikan kontribusi dalam
penyajian buku ini. Ucapan yang sama diberikan kepada
semua sahabat saya Dr Muhammad Ali Pawiro, MA, Dr Lisna
Andriany, M.Hum, Dr. Rinawaty, M. Hum dan rekan-rekan
lainnya khususnya sahabat-sahabat di S3 Linguistik Sekolah
Pasca Sarjana USU angkatan 2010 yang tidak dapat saya
sebutkan namanya satu persatu.
Di kesempatan yang sama ini saya haturkan salam
sayang kepada keluarga tercinta, suami dan keempat anak-
anak serta kedua menantu yang selalu memberi dukungan dan
doa.
Buku ini masih belum sempurna, segala bentuk sapaan
dan keritik yang konstruktif untuk menuju kepada sajian yang
lebih baik, saya terima dengan senang hati.
Semoga persembahan buku ekolinguistik ini bermanfaat
bagi pembacanya.
Akhirul kalam, wassalam.
Medan, Januari 2020
Nuzwaty
vii
v
vii
ix
1
7
25
29
30
36
39
45
59
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................
DAFTAR ISI ...............................................................
PENDAHULUAN .......................................................
BAB I:
Ekolinguistik Mengkaji Bahasa dan Lingkungan ........
A. Interdependensi Bahasa dan Lingkungan Ekologis
BAB II:
Metafora dan Lingkungan Ekologis ............................
BAB III:
Karakteristik Metafora Dikaitkan dengan Lingkungan
Ekologis .......................................................................
A. Metafora Leksikal .................................................
B. Metafora Gramatikal .............................................
C. Metafora Konseptual ............................................
D. Metafora Ekologis ................................................
BAB IV:
Klasifikasi Metafora Berdasarkan Penggunaanya pada
Komunitas Bahasa .......................................................
viii
60
63
65
69
71
81
88
A. Klasifikasi metafora berdasarkan konvensi
komunitas bahasa ................................................
B. Klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan
alami komunitas bahasa ......................................
C. Klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif
D. Klasifikasi metafora berdasarkan pola umum ......
BAB V:
PENUTUP ...................................................................
Daftar Pustaka ..............................................................
Glosarium ....................................................................
ix
PENDAHULUAN
uku ini membicarakan kajian ekolinguistik
yang difokuskan kepada pola metafora
konseptual yang mendasari metafora ekologis.
Pola metafora konseptual dimaksud merupakan konsep
metafora ekologis yang sudah digunakan oleh komunitas
bahasa secara turun temurun dalam suatu lingkungan tertentu
(eco-region) yang dikaitkan dengan unsur -unsur ekologi
berupa flora, fauna dan unsur mineral yang terekam secara
verbal dalam kognitif komunitas tutur lingkungan tersebut.
Metafora sebagai bagian dari bahasa menurut kajian
ekolingistik tentu saja memiliki keterkaitan erat dengan
kehidupan manusia dalam komunitas bahasa di suatu
lingkungan. Lingkungan dimaksud, meliputi seluruh
lingkungan yang berkenaan dengan kehidupan manusia baik
lingkungan alam ragawi (macrocosmos) maupun lingkungan
sosial budaya atau socio- cultural (microcosmos). Lingkungan
alam ragawi dapat berupa lingkungan alam pedesaan,
lingkungan perkotaan, lingkungan buatan, maupun lingkungan
alam semesta (eco-region), sedangkan lingkungan sosial
budaya mengacu kepada sikap dan perilaku manusia, agama
dan kepercayaan religi, termasuk pula kedalamnya
pendidikan, pekerjaan dan adat istiadat.
B
x
Terbentuknya metafora pada satu wilayah (eco-region)
merupakan hasil pemetaan silang (cross mapping) dari satu
ranah kongkrit sebagai ranah sumber (source domain) kepada
ranah abstrak sebagai ranah target (target domain). Ranah
sumber tersebut pada umumnya mengacu pada sifat alamiah
flora dan fauna yang ada di lingkungan alam wilayah tersebut
dipetakan kepada sifat atau perilaku manusia dan manusia itu
sendiri secara utuh. Kesalingterhubungan (interrelationship)
antara ke dua ranah akan diproses di dalam kognitif
penggunanya. Penggunaan metafora akan terus berlanjut dan
terwaris dari generasi ke generasi berikutnya bila disepakati
bersama oleh komunitas bahasa secara konvensional.
Buku ini terdiri atas empat, diawali oleh Bab I
Pendahuluan, Bab I Ekolinguistik Mengkaji Bahasa dan
Lingkungan, Bab II Metafora dan Lingkungan Ekologis, Bab
III Karakteristik Metafora Dikaitkan dengan Lingkungan
Ekologis, Bab IV Klasifikasi Metafora Berdasarkan
Penggunaanya pada Komunitas Bahasa ,dan Bab V Penutup.
Metafora Lingkungan Hidup | 1
nterelasi antara lingkungan alam ragawi
(macrocosmos) dengan lingkungan sosial budaya atau
socio-cultural (microcosmos) dan dengan bahasa dapat
digambarkan dalam satu kesatuaan lingkungan secara utuh di
dalam tiga dimensi praxis sosial yang meliputi dimensi ideologis
(ideological dimension), dimensi sosiologis (sociological
dimension) dan dimensi biologis (biological dimension). Dimensi
ideologikal (ideological dimension) merupakan semua hal yang
berkaitan dengan pikiran manusia seperti pemahaman manusia
tentang segala sesuatu yang terekam dalam kognitif, mental,
ideologi, dan sistem phsikis, seperti pemahaman tentang agama,
politik, pendidikan, dan etika, periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).
Dimensi sosiologikal (sociological dimension) yaitu hal yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat secara utuh
termasuk kedalamnya rasa saling mengenal, saling menyayangi,
saling menghargai, saling menjaga keharmonisan bermasyarakat
dan termasuk pula saling membenci, lihat Lindo dan Jeppe
(2000:10). Dimensi biological (biological dimensional) yaitu
I
2 | D r . N u z w a t y , M . H u m
sesuatu hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan
segala sesuatu unsur yang berada di dalam alam, termasuk ke
dalamnya pandangan manusia terhadap lingkungan alam dan
hidup berdampingan dengan spesies lain, juga terkait dengan
penjagaan kelestarian alam yang termasuk ke dalamnya
penjagaan terhadap flora, fauna dan lainnya, periksa Lindo dan
Jeppe (2000:10). Oleh sebab itu lingkungan kehidupan manusia
dalam suatu komunitas bahasa dapat mencerminkan kehidupan
etnik penutur bahasa tersebut, periksa (Lindo dan Jeppe, 2000:9).
Dengan demikian bila seseorang membicarakan motafora dari
sudut pandang ekolinguistik tentu saja dia akan melibatkan tiga
dimensi social praksis ini.
Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad 21
merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari
pandangan Ferdinand de Saussure kecuali kajian ekolinguistik,
seperti yang dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe (2000:9).
Ekolinguistik merupakan payung yang dapat memayungi dan
menyelesaikan keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan
lingkungan bahasa melalui pendekan-pendekan teori secara luas,
oleh karena itu norma-norma lingkungan dan bahasa merupakan
penelitian yang sangat penting bagi ekolinguistik. Dalam
pandangan kajian ekolinguistik norma-norma suatu bahasa
merupakan bagian dari praksis sosial (sosial praxis), itulah
sebabnya pakar ekolinguistik menganggap bahwa bahasa
merupakan produk sosial dari semua kegiatan manusia, namun
pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau
memodifikasi kegiatan-kegiatan manusia dan praksis sosial
manusia. Ini berarti adanya sebuah hubungan dialektikal antara
bahasa dan praksis sosial. Dalam hubungan dialektikal ini praksis
Metafora Lingkungan Hidup | 3
sosial mendominasi bahasa sebab praksis sosial tanpa bahasa
mungkin saja terjadi. Sebaliknya bahasa tanpa praksis sosial
mustahil terjadi baik dipandang secara historis maupun secara
logis. Menurut Lindo dan Jeppe (2000:9) bahwa hubungan
dialektikal dimaksud adalah hubungan antara individu-individu
yang berbeda yang menjadi bagian dari keseluruhan.
Penelitian ilmiah terhadap bahasa juga merupakan
penelitian ilmiah yang bersangkut paut dengan praksis sosial,
sehingga teori-teori bahasa juga merupakan teori-teori praksis
sosial. Ini berarti secara disadari maupun tidak, semua teori
bahasa berhubungan dengan praksis sosial. Akibat keterhubungan
antara teori bahasa dan teori praksis sosial, kajian ekolinguistik
membuat sebuah teori linguistik yang dihubungkan dengan teori
dialektikal praksis sosial. Teori ini menangani dua aspek yaitu
The Core Contradiction dan The Three dimensionality of sosial
praxis (tiga dimensi sosial praxis). Dari kedua teori ini hanya teori
tiga dimensi sosial yang banyak diaplikasikan dalam penelitian
ekolinguistik sedang teori The Core Contradiction kurang
diminati oleh para peneliti ekolinguistik.
Teori tiga dimensi sosial praksis merupakan teori
ekolinguistik yang banyak digunakan oleh Odense School,
sekolah yang didirikan oleh Bang and Door tahun1998. Teori tiga
dimensi sosial praksis ini dipergunakan oleh pakar ekolinguistik
untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan dan
termasuk pula untuk menjelaskan norma-norma bahasa
lingkungan yang direprentasikan dalam bentuk kerangka teori.
Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut
adalah; pertama dimensi ideologikal (the ideological dimension),
yaitu interelasi individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem
4 | D r . N u z w a t y , M . H u m
psikis seseorang dalam kehidupan bermasyarakat baik secara
regional maupun secara global. Berikutnya dimensi sosiologikal
(sociological dimension) yaitu tentang cara seseorang
mengorganisir hubungan antara sesama untuk membangun,
menjalin dan memelihara hubungan individual secara kolektif,
seperti rasa saling menyayangi satu sama lain diantaranya rasa
saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama
teman, dan saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga
adalah dimensi biological (biological dimension) yaitu yang
bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan
dengan alam serta seluruh isinya termasuk kedalamnya spesies
flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.
Berdasarkan teori dialektikal ini, ke dua pakar tersebut
memberikan satu argument yang kuat bahwa tidak akan ada satu
kejadianpun atau perwujudan yang mono dimensi atau mono
logikal. Lindo dan Jeppe (2000:11) menjelaskan bahwa
sesungguhnya aktivitas bernafas seseorang bukan hanya sekedar
kegiatan bio-logikal manusia, akan tetapi hal ini juga berkaitan
dengan aktivitas mental dan sosial manusia. Dalam kajian
ekolinguistik tiga dimensi sosial praxis ini mengandung arti
bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari sosial
praxis. Oleh sebab itu semua kajian linguistik sebenarnya perlu
mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan
kedua pakar tersebut (Lindo dan Jeppe (2000:10), ekolinguistik
merupakan sebuah kajian interelasi, interdepensi bio-, sosio-, dan
ideo-logikal dimensi dengan bahasa, sehingga hubungan mental,
kognitif, dan lingkungan sosial harus saling bahu membahu.
Pemanfaatan tiga dimensi social praksis dalam mengamati
interdependensi bahasa dengan lingkungan pernah dilakukan oleh
Metafora Lingkungan Hidup | 5
Mishra (2000) yang berkenaan dengan kegiatan ritual agama dan
mitos pada suku-suku di India dengan judul, Sacred Worldview
in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions.
Pengamatan tersebut berusaha memecahkan permasalahan
penggunaan ungkapan verbal yang berkaitan dengan ritual agama
dan mitos dalam kehidupan sosial etnik asli India. Kedua
bagaimana keterhubungan antara agama dan mitos dengan
lingkungan alam di sekitar mereka. Ketika memecahkan kedua
masalah tersebut Mishra memanfaatkan kajian ekolinguistik
dengan menitik-beratkan pada teori tiga dimensi sosial praksis
dan teori sosiolinguistik. Teori yang digunakan tentang
kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan lingkungan alam dan
lingkungan sosial penutur asli dan perkembangan teknologi,
melalui metode discovery and invention (Mishra 2000) dengan
sumber data yang diperoleh secara langsung saat penelitian
dilakukan serta mengaitkannya dengan mitos dan agama pada
penduduk asli India. Ditemukan bahwa ritual agama dan mitos
berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan
tindakan penduduk asli India, dengan menghubungkan yang
bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan masa lalu dan masa
sekarang yang menyatu dengan alam sekitar mereka dalam
ungkapan verbal, melalui kode lingual dalam doa dan harapan.
Setiap ungkapan mengandung makna yang dihubungkan dengan
keempat hal tersebut. Namun seiring dengan perkembangan
pengetahuan dan teknologi, pengadaan transfortasi moderen dan
ekploitasi lahan memaksa masyarakat lokal menerima budaya
baru dan hampir melupakan alam yang tadinya merupakan bagian
yang sarat dengan mitos sosio-kultural mereka. Selanjutnya,
dengan masuknya bahasa asing berimbas pula kepada masuknya
6 | D r . N u z w a t y , M . H u m
budaya asing yang mengakibatkan bahasa dan budaya lokal
semakin terdesak. Kondisi ini akhirnya bermuara kepada
pemusnahan tradisi lisan yang sarat dengan kearifan lokal.
Kesemuanya ini menimbulkan perubahan prilaku dan penduduk
asli dalam memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka
miliki, bersamaan dengan musnahnya kode-kode lingual dan
leksikon yang lazim digunakan pada upacara ritual keagamaan
bertukar dengan kode-kode lingual bahasa asing.
Kajian ekolinguistik seperti telah dibicarakan sebelumnya,
bahwa dalam menyoroti lingkungan alam bukan hanya ditujukan
kepada lingkungan alam orisinal belaka. Lebih dari itu,
lingkungan alam dimaksud merupakan lingkungan keberadaan
manusia baik dalam lingkungan alam semesta (macrocosmos)
maupun lingkungan alam sosial budaya atau lingkungan
kebudayaan manusia (microcosmos), periksa Haugen (1970), Fill
(2001). Kajian ekolinguistik yang pada awal kemunculannya
dinamakan sebagai kajian ekologi bahasa merupakan paradigma
baru yang berkaitan dengan hubungan ekologi dan linguistik yang
diprakarsai oleh seorang pakar linguistik kognitif bernama Einar
Haugen pada tahun 1970. Kajian ini berupaya pengkolaborasian
kajian bahasa dan ekologis yang diimplementasikan kepada
kajian linguistik dalam kajian bahasa dan budaya. Kajian ini
menurut Haugen (1972:323) dapat didefinisikan sebagai sebuah
kajian interelasi dan interaksi antara bahasa-bahasa dengan
lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu
digunakan (ecoregion). Haugen dalam hal ini berupaya
menggunakan analogi ekologi berpadu dengan lingkungan dalam
menciptakan metafora berupa metafora ekosistem. Metafora
ekosistem tersebut merupakan cerminan interelasi lingkungan
Metafora Lingkungan Hidup | 7
ekologi yang berkaitan dengan kandungannya meliputi spesies
hewan (fauna) dan tanaman (flora), serta seluruh kandungan
mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut dengan
keberagaman pola penggunaan bahasa yang digunakan oleh
kumpulan komunitas pengguna bahasa secara global.
Pemaknaan istilah interelasi dan interaksi serta
interdependensi yang lazim digunakan di ranah kajian
ekolinguistik merupakan bentuk kesalingterhubungan bermacam-
macam bentuk bahasa dengan lingkungan ekologis.
Keterhubungan ini tidak hanya dibatasi oleh lingkungan alam
semesta saja, namun lebih dari itu, yaitu menyangkut lingkungan
alam buatan, buana elite dan lingkungan sosial budaya. Dengan
demikian, Haugen berupaya menekankan dan menjelaskan
kesalingterhubungan (interdependence) antara keberagaman
bahasa dengan kelompok komunitas pengguna bahasa- bahasa
tersebut dan dengan lingkungannya baik lingkungan alam
maupun lingkungan buatan, yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia itu sendiri, lihat Muhlhausler (1995) dalam
Fill dan Muhlhausler (2001:1). Selanjutnya Fill dan Muhlhausler
(2001:2) menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan
suatu studi kolaborasi ekologi dan bahasa, serta
keterhubungannya dengan study kognitif manusia pemilik bahasa
tersebut. Studi tersebut dilakukan pada komunitas multilingual
dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki. Haugan
berpendapat bahwa sesungguhnya bahasa merupakan hasil dari
interaksi manusia dengan lingkungannya yang berperoses dalam
kognitif manusia, kemudian diproduksi dalam bentuk ujaran.
8 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Itulah sebabnya mengapa Haugen berpendapat bahwa bahasa
mutlak merupakan bagian dari pikiran manusia.
Interelasi antara bahasa dengan lingkungan alam semesta
memang sudah terjadi beribu-ribu tahun yang telah lalu.
Dibuktikan oleh adanya penamaan ataupun penyebutan leksikon
dalam inventarisasi khasanah leksikon yang terekam secara
verbal dalam kognitif komunitas tutur. Melalui indra
pendengaran terhadap bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam
semesta menciptakan beberapa kata secara abritrer yang disetujui
bersama oleh komunitas bahasa secara konvensional
(aomatopea). Suara yang dihasilkan ayam di waktu subuh
misalnya sangat bergantung kepada indra pendengaran yang
diolah oleh kognitif pada beragam komunitas bahasa sehingga
bunyi yang terdengar bervariasi dan mungkin pula berbeda pada
lingkungan komunitas bahasa yang berbeda pula. Sebagai contoh
bunyi kokok ayam dalam komunitas bahasa Perancis disebut
kokoriko, sedangkan pada komunitas Bahasa Indonesia dan
komunitas Bahasa Melayu sama-sama menyebutnya kukuruyuk,
semua peristilahan ataupun penamaan tersebut harus disetujui
bersama secara konvensional oleh komunitas bahasa-bahasa
tersebut.
Kajian linguistik murni pada umumnya lebih menitik
beratkan pembicaraan dan pengkajian tentang permasalahan-
permasalahan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, morfologi,
semantik, dan sintaksis serta norma-norma bahasa dan leksikon.
Pakar pada bidang ini cenderung jarang sekali membicarakan
persoalan bahasa yang mengarah kepada ekologi bahasa, padahal
menurut Haugen (1972:325) penelitian ekologi bahasa atau
Metafora Lingkungan Hidup | 9
ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerja sama dengan
antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu politik serta ilmu-ilmu
lainnya. Seterusnya Haugen berpendapat bahwasanya, kajian
ekolinguistik dapat pula dianggap tidak hanya sebagai kajian
interelasi dan interaksi bahasa dengan lingkungan fisik alami,
serta lingkungan sosial budaya saja, akan tetapi pengertian
tentang lingkungan disini juga mencakup pikiran seseorang yang
merujuk kepada dunia tempat bahasa itu digunakan karena
lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna
bahasa bersamaan dengan seluruh aktifitas kehidupan mereka.
Lebih lanjut Haugen (1972:325) menyatakan bahwa hubungan
bahasa dan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian.
Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological
environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa
dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan
bagian kedua adalah sosiologikal yaitu hubungan lingkungan
dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai
media komunikasi mereka yang tersedia di dalam repertoire
Bahasa mereka. Selanjutnya Haugen (1972:326) menggambarkan
bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada dan berproses di dalam
otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan
penggunanya kepada sesama dan kepada lingkungan alam yaitu
lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam
semesta. Rangkaian ujaran yang diutarakan oleh seseorang
merupakan hasil proses kerja fungsi kognitif yang
direpresentasikan dalam rangkaian bunyi yang bermakna.
Lingkungan sosial, lingkungan buatan, lingkungan alam
dan bahasa serta ilmu pengetahuan juga merupakan bahagian-
bahagian dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
10 | D r . N u z w a t y , M . H u m
sama lainnya sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berabad-
abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-347 SM),
Cratylus dan lainnya pada awalnya memandang bahasa hanya
sebatas sebagai sarana yang digunakan untuk mengungkapkan
atau mentransfer ide-ide dan paham filsafati hasil perenungan
mereka, namun seiring dengan bertambahnya kesulitan-kesulitan
yang mereka temui dalam pemanfaatan bahasa serta pentingnya
keberadaan bahasa dalam kajian filsafat, lambat laun mereka
menempatkan bahasa sebagai objek material kajian dan
menjadikannya sebagai filsafat bahasa. Ketika itu mereka sudah
mulai mengkaji hubungan bahasa dan alam semesta seperti pada
penaman-penamaan benda ataupun hewan sesuai dengan
peniruan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam seperti suara
guntur, gemercik air dan suara binatang.
Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam tersebut tertangkap
oleh indera manusia, kemudian diolah dalam pikiran manusia
untuk tujuan keberlangsungan komunikasi. Akhirnya mereka
membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari alam dan
saat itu kajian bahasa dikaitkan dengan lingkungan alam tempat
bahasa itu ada atau digunakan, yang bermuara kepada munculnya
beberapa terminologi seperti adanya terminologi onomatophea ,
metaphora , adanya part of speech, analogi versus anomaly, fisei
dan nomos dan lainnya, dapat diperiksa pada Lyon (1995: 4-7),
Djojosuroto (2007: 54-56).
Bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungan ekologis
tempat bahasa itu digunakan, juga sudah dibicarakan oleh Sapir
(1912) seperti yang diungkap oleh Fill dan Muhlhausler
(2001:14), Sapir telah menulis tentang keterhubungan bahasa
Metafora Lingkungan Hidup | 11
dengan lingkungan dan memberikan suatu pernyataan bahwa
lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi
sebagai topografi dari sebuah negara, wilayah dan zona yang
berhubungan dengan iklim, curah hujan serta sumber daya alam.
Kesemuanya ini merupakan sumber kehidupan dan sumber
ekonomi manusia termasuk pula ke dalamnya kehidupan flora
dan fauna, serta sumber mineral dari suatu wilayah. Sapir tidak
membatasi pengamatannya hanya kepada bahasa saja, tetapi juga
mengamati keberagaman kultur dan bahasa manusia dikaitkan
dengan lingkungan tempat mereka bekerja dan berusaha.
Disebabkan oleh keberagaman tersebut, menurut Sapir, kosa kata
ataupun leksikon yang terdapat dalam inventarisasi bahasa-
bahasa itu akan bervariasi ataupun berbeda antara satu antara
bahasa dengan bahasa lainnya. Kesemuanya ini sangat
bergantung pula pada sosiokultural di tempat dimana bahasa itu
dipergunakan. Perbedaan ini pada umumnya hanya bersangkut
paut dengan unsur-unsur leksikal saja dan tidak memiliki
keterkaitan hubungan antara kaidah atau prinsip struktur bahasa
tersebut.
Berkaitan dengan interelasi ini, Sapir (1912) berpendapat
bahwa vokabulari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau
dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi
peran lingkungan sosial penuturnya juga sangat berpengaruh
dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan
sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang
membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama,
kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik. Berdasarkan
klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari
bahasa dapat dilihat dari pengetahuan, minat, pekerjaan serta
12 | D r . N u z w a t y , M . H u m
pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau komunitas
bahasa tersebut berada.
Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki
khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah,
ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan
kehidupan satwa liar. Sebagai contoh suku Noocka Indian yang
secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan
hutan memiliki vokabulari kelautan sangat minim. Demikian pula
halnya dengan penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai
akan memiliki lebih banyak jumlah khasanah vokabulari yang
berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada
suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan
menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir
dan semua kandungan laut.
Contoh lain dapat dilihat dari masyarakat yang menjadikan
bahan pokok makanan beras akan banyak memiliki khasanah
vokabulari kuliner yang berkaitan dengan beras seperti pada
komunitas Bahasa Aceh, kata atau leksikon bu’ nasi dan
breh’beras’, menghasilkan jenis kuliner bervariasi seperti bu
lemak ‘nasi lemak’, bu kulah ‘nasi yang dibungkus berbentuk
kerucut yang disajikan untuk acara tujuh bulan kehamilan dan
disajikan juga pada acara kenduri adat, bu koneng ‘nasi kuning’.
Bu leugok ‘ kuliner yang dibungkus dengan daun pisang’, bu
phet’ semacam lepat’, bu kanji, ‘bubur nasi yang dimasak dengan
campuran rempah yang biasanya dihidangkan pada saat bulan
Ramadhan sebagai kudapan berbuka puasa dan bu leukat ‘pulut’
Demikian pula halnya dengan masyarakat Tetun Fehan, NTT
yang mejadikan jagung sebagai bahan pokok makan yang dalam
bahasa Tetun disebut batar. Masyarakat Tetun memilki banyak
Metafora Lingkungan Hidup | 13
vokabulari kuliner batar seperti batar filun’ yaitu jagung muda
yang ditumbuk sampai hancur lalu direbus, batar sonan ‘jagung
bakar’, batar midan ‘jagung untuk sup, bubur dan lainnya.
Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang
diucapkan oleh seseorang sangat bergantung pula kepada pikiran
dan tingkah laku orang tersebut yang terefleksi kepada bentuk
vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan
hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam
tulisannya tahun 1956. Keterkaitan bahasa dengan alam ekologis
dapat dilihat dari ungkapan bahasa-bahasa daerah di Indonesia,
sebagai contoh ungkapan Bahasa Aceh yaitu ungkapan Laen lhok
laen buya, laen kreung laen eungkeut dapat mengandung atau
mengekspresikan banyak makna. Leksikon nama lhok ‘lubuk’
adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar.
Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon
lhok secara leksikal memiliki makna denotasi referensial
eksternal yang merujuk kepada entitas-entitas tertentu (lihat
Cummings, 2007: 54); Verhaar, 2006: 389) dalam hal ini orang,
benda, atau keadaan yang nyata. Makna leksikal yang terkandung
di balik leksikon nama ruang tertentu di sungai, dalam hal ini lhok
adalah ‘bagian sungai atau danau yang dalam’. Pengetahuan dan
pengalaman penutur bahasa Aceh tentang lingkungan sungai
yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan pengenalan,
pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur yang tentunya
bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi dengan kondisi
sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal (kreung) itu.
Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan cakupan
makna denotasi, terutama makna konotasi yang disepakati, daya
cipta para penuturnya memproduksi ungkapan atau peribahasa
14 | D r . N u z w a t y , M . H u m
yang lazim mereka gunakan. Hal yang sama terjadi pula pada
sejumlah leksikon Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu yaitu
ungkapan lubuk ‘sungai’ dalam lain lubuk laen ikannya menjadi
ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat tuturnya dan
terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu umumnya
berlangsung secara lisan. Bagi komunitas penutur Bahasa Melayu
khususnya yang berdomisili di pesisir, interelasi dan interaksi
yang terus menerus misalnya: dengan berbagai ragam ikan dan
dengan lubuk ‘dasar sungai yang dalam’, dan tentunya dengan
aneka ragam hayati dan nonhayati yang ada di lingkungan hidup
mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk mengonstruksi
pengetahuan dan memberi peluang untuk menciptakan ungkapan-
ungkapan metaforis yang kaya akan makna social budaya,
sekaligus juga memperkaya bahasa dan budaya masyarakat
tersebut.
Ungkapan-ungkapan ini merupakan bentuk metafora yang
menjadikan lingkungan alam sebagai acuan. Maksud metafora
tersebut dapat pula diperluas lagi seperti lain daerah lain pula
bahasa dan lain budaya, serta lain pula bentuk metaforanya.
Contoh lain dapat dilihat pada bahasa Indonesia, KALAU
TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP, secara
alamiah asap sesungguhnya merupakan gejala alam yang pada
setiap kemunculannya pasti dimulai oleh adanya api sebagai
penyebab keberadaan asap tersebut. Secara metaforis makna
ungkapan itu mengekpresikan suatu kejadian tidak akan terjadi
tanpa penyebab. Jika komunitas bahasa Indonesia menggunakan
dua komponen yaitu asap dan api sebagai perujukan atau
referensi, tetapi komunitas Bahasa Aceh lebih cenderung
mengacu kepada lingkungan alam atau ekologi sebagai referensi
Metafora Lingkungan Hidup | 15
untuk ungkapan yang maknanya sama secara metaforis yaitu;
‘sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada penyebabnya’. Ungkapan
tersebut adalah; MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET
ON KAYEE yang secara literal atau harfiah bermakna; ‘jika tidak
ada angin tidak mungkin daun bergoyang. Ungkapan tersebut
terlihat kesesuainnya pada ungkapan KALAU TIDAK ADA API
TIDAK MUNGKIN ADA ASAP yang mengekspresikan makna
sama akan tetapi menggunakan perujukan atau referensi berbeda
disebabkan oleh perbedaan komunitas bahasanya dan ecoregion
yang berbeda pula. Dalam bahasa dan budaya lokal Nusantara,
sesungguhnya tersimpan kekayaan dan modal sosial budaya
bangsa. Termasuk di dalamnya adalah kekayaan kearifan lokal
yang tersimpan di balik teks verbal berupa ungkapan-ungkapan
metaforik, peribahasa, dan sebagainya ada di pelbagai wilayah
Nusantara (lihat Sibarani, 2012:133).
Demikian pula halnya dengan masyarakat NTT dimana
Interelasi dan interdependesi masyarakat tersebut, khususnya
komunitas tutur Tetun Fehan dengan lingkungan alam menurut
Nahak (2019) sudah berlangsung dimulai sejak leluhur mereka
menjadikan tanaman jagung yang dalam bahasa lokal disebut
batar sebagai makanan pokok. Batar merupakan tanaman
primadona yang menjadi sumber penghasilan bagi komunitas
tersebut sehingga memberi ruang bagi mereka dalam
menciptakan anekaragam peristilahan kode lingual berupa
leksikon ke-batar-an. Leksikon ke-batar-an dikodekan dalam
keberagam fungsi sosial seperti pada upacara ritual yang
diperuntukkan pada upacara adat furi batar yaitu upacara ritual
menanam benih jagung. Upacara furi batar dipimpin oleh fukun
yaitu tetuah adat dengan menggunakan alat-alat pertanian
16 | D r . N u z w a t y , M . H u m
tradisional. Demikian pula dengan proses ritual ke-batar-an (hisik
batar fini) yaitu pemberkahan benih jagung dan ritual-ritual
lainnya yang tertuang dalam teks ke-batar-an komunitas tutur
Tetun Fehan tersebut.
Ekolinguistik menempatkan bahasa layaknya species hidup
di lingkungan alam semesta yang dapat hidup dan berkembang,
serta dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Berdasarkan
beberapa pendapat pakar seperti (Mufwene, 2003), (Kovecses,
2006), (Goss & Salmons, 2000) tentang hidup dan mati sebuah
bahasa sangat bergantung kepada situasi. Jika suatu bahasa
digunakan oleh banyak dan bertambah banyak penuturnya maka
dapat dipastikan bahasa tersebut akan tumbuh dan terus
berkembang. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan makin
sedikit atau terus berkurang, dikhawatirkan bahasa tersebut akan
bergeser.
Pergeseran bahasa dimaksud dapat menuju kepada
perubahan yang menghawatirkan, seperti ketergerusan leksikon
mengarah kepada perubahan kode-kode lingual hingga lenyapnya
bahasa tersebut atau mengalami proses evolusi. Mufwene
selanjutnya (2004:146) berpedapat bahwa perubahan yang
menghawatirkan tersebut mungkin saja terjadinya disebabkan
oleh adanya evolusi bahasa. Evolusi Bahasa sebagaimana yang
digambarkan oleh pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis
evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yang menuju ke arah
perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris
Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika.
Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin
yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam.
Subtipe teori Darwin mengarah kepada pengakuan bahwa spesies
Metafora Lingkungan Hidup | 17
suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya,
demikian pula halnya bahasa seperti Bahasa Inggris Afrika yang
sangat dikenal dengan penamaan African American Vernacular
English (AAVE) dipahami sebagai bahasa yang memiliki
khasanah vokabulasi agak berbeda dengan Bahasa Inggris yang
digunakan oleh penutur asli.
Bahasa bukanlah termasuk ke dalam golongan spesis
biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan
satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi.
Proses evolusi bahasa dapat dipahami memiliki kemiripan dengan
proses evolusi spesis biologi karena sama-sama mengalami
perubahan
Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat
disebabkan oleh adanya eksploitasi lingkungan alam dan bencana
alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat
pula pada ideolek dari individu penutur yang berbeda antara satu
penutur dengan penutur lainnya. Evolusi Bahasa yang terjadi
pada Bahasa Inggris yang digunakan oleh komunitas Bahasa
Marati di India, merupakan pola evolusi melalui seleksi alam
seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ashok Kelkar (1957),
yang dibicarakan oleh Haugen (1972:335) bahwa bahasa Inggris
yang digunakan oleh suku Marathi sebagai media komunikasi
tidak sama dengan bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur
asli. Komunitas bahasa di Marathi tidak hanya mengadopsi sistem
bunyi bahasa Marathi ke dalam bahasa Inggris, lebih dari itu
mereka juga mengaplikasikan sistem gramatikal bahasa mereka
sendiri ke dalam bahasa Inggris.
Pola sistem bunyi dan stuktur gramatikal Bahasa Inggris
yang dipergunakan oleh komunitas Bahasa Marathi
18 | D r . N u z w a t y , M . H u m
sesungguhnya tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah
bahasa Inggris. Situasi seperti ini menyebabkan kesulitan yang
dialami oleh penutur asli bahasa Inggris untuk mengerti dan
memaknani isi pembicaraan mereka ketika para penutur asli
berkomunikasi dengan penutur Bahasa Marathi. Hal ini terjadi
disebabkan oleh perubahan sistem bunyi dan sistem gramatikal
bahasa Inggris Marathi yang secara otomatis menyesuaikan diri
dengan sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi.
Bahasa dan lingkungan tempat bahasa itu digunakan terkait
erat. Keterkaitan ini dapat dicermati dari hasil penelitian Lucy
(1996) tentang bahasa Yucatec Maya seperti yang diungkap oleh
Kovecses (2006:323) menghasilkan satu temuan bahwa
keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec sifatnya opsional
dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup.
Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang
hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada
yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang mereka
kepada lingkungan pedesaan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Yucatec.
Evolusi Bahasa menurut Mbete (2009) dapat pula terjadi
pada sebagian leksikon saja yang lenyap dan tidak pernah
dipergunakan kembali diakibatkan oleh suatu perubahan ketika
ekologi yang menunjangnya berubah. Ragam bahasa yang
mengalami perubahan di dalam ekologinya mengakibatkan
beberapa istilah menjadi tidak umum lagi dipergunakan, dan
perlahan- lahan hilang dari khazanah leksikon bahasa itu. Contoh,
seperti hilangnya istilah kekalen: air yang mengalir ke
sawah/irigasi, telajakan; jalan setapak, calung ‘tempat menaruh
garam’, anggapan sejenis alat pemotong padi, bendo ‘pisau besar,
Metafora Lingkungan Hidup | 19
pengedangan‘ periuk nasi yang terbuat dari tanah liat, cataran
ceret yang terbuat dari tanah liat, bulakan ‘mata air’, kekepe ‘
tempat menaruh uang bagi para pedagang’, dan tenggala ‘bajak
untuk disawah, semua leksikon tersebut di atas merupakan
leksikon bahasa Bali yang sudah asing didengar. Benda ataupun
keadaan yang dirujuk oleh leksikon tersebut sudah hilang dan
penggunaannya sudah pula tidak umum lagi dalam komunitas
tutur bahasa Bali.
Segala bentuk perubahan yang terjadi di dalam ekologi
tempat bahasa itu sendiri dipergunakan niscaya akan
menyebabkan perubahan pada bahasa tersebut. Salah satu contoh
yang sangat jelas terlihat saat ini di Bali adalah akibat dari
penyusutan lahan sawah dan subak. Subak dan sawah adalah
kesatuan hegemoni yang banyak melahirkan budaya di Bali. Jadi,
dengan menyusutnya jumlah apalagi hilangnya subak dan
menyusutnya lahan persawahan di wilayah tersebut sudah barang
tentu dapat mengubah bahasa yang dipergunakan secara
keseluruhan. Seperti istilah tenggala merupakan alat yang
digunakan untuk membajak sawah, saat ini telah digantikan oleh
traktor sehingga generasi saat ini tidak lagi mengenal istilah
tenggala karena acap kali mereka melihat petani membajak
sawah dengan mempergunakan traktor.
Perubahan dan terkikisnya unsur-unsur leksikal sudah
mulai terjadi disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang
penggunaannya serba praktis sehingga mengeser alat tradisional
dan kadangkala sudah tidak dipergunakan lagi, sebagai contoh
geunuku [gənuku] dalam Bahasa Aceh adalah alat yang
dipergunakan untuk mengukur kelapa. Saat ini geunuku sudah
tidak dipergunakan lagi, berganti dengan mesin pengkukur
20 | D r . N u z w a t y , M . H u m
kelapa. Walaupun geunuku sudah tidak dijumpai dan dipakai lagi
namun metafora GEUNUKU HAN MATA TIMAH, masih
dipergunakan dalam komunikasi keseharian komunitas Bahasa
Aceh di wilayah terentu. Contoh tuturan yang paling umum
adalah
Jino jih GEUNUKU HAN MATA TIMAH.
sekarang org III tgl kukuran tanpa mata timah.
Secara harfiah tuturan ini bermakna: Sekarang dia kukuran
kelapa tanpa mata timah. Makna leksikal, jino ‘sekarang’, jih
‘dia’, geunuku ‘kukuran kelapa’, han ‘tanpa’ mata timah (mata
kukuran kelapa yang terbuat dari besi bergerigi). Makna meta-
foris yang terkandung dalam tuturan tersebut dialamatkan kepada
seseorang yang saat berpangkat orang tersebut sombong dan
tinggi hati serta ditakuti pula oleh masyarakat, namun setelah dia
pensiun dia sudah kehilangan kesombongannya dan diremehkan,
serta dianggap tidak berguna lagi oleh masyarakatnya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahun dan
kehidupan modern serta perubahan ekosistem kedudukan bahasa
dan kebudayaan di suatu wilayah sudah banyak tercemar.
Pencemaran ini juga berimbas kepada lingkungan fisik dan
lingkungan sosial pada ranah penggunaan bahasa, contoh [jəngki]
alat yang digunakan untuk menggiling padi dan menumbuk
tepung beras di Aceh Selatan sudah tidak ditemukan lagi karena
sudah digantikan dengan mesin penggiling padi, namun metafora
JEUNGKI MUGEE, yang secara harfiah bermakna alat
penumbuk padi yang dimiliki oleh tengkulak pada masa silam,
memiliki makna metaforis JEUNGKI MUGEE ditujukan kepada
seseorang yang mempunyai sifat tamak. Para orang tua di wilayah
Metafora Lingkungan Hidup | 21
Aceh Selatan sering menasihati anaknya agar tidak tamak dengan
tuturan:
Hai neuk bek jadee JEUNGKI MUGEE beu,
‘wahai anakku jangan tamak ya’
Sebuah penelitian terhadap ungkapan-ungkapan dalam
Bahasa Lio dan fungsinya dalam melestarikan lingkungan yang
pernah dilakukan oleh Mbete (2002) bertumpu pada tiga masalah
pokok, yang berkaitan dengan bagaimana bentuk ungkapan
verbal etnik Lio dalam kaitan fungsionalnya dengan
pemeliharaan lingkungan. Ke dua bagaimana fungsi, makna, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.
Berikutnya bagaimana kaitannya dengan sistem budaya
masyarakatnya. Hasil penelitin memperlihatkan satu bentuk
kebertahanan bahasa Lio yang berkaitan dengan lingkungan
alam. Kebertahanan ungkapan-ungkapan bahasa ini dapat terjadi
disebabkan masyarakat Lio tetap menjaga kandungan nilai,
norma, dan fungsi penting ungkapan-ungkapan budaya verbal
masyarakat etnik Lio dalam kaitannya dengan pelestarian
lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-ungkapan
verbal berfungsi sebagai pemeliharaan keharmonisan hubungan
manusia dengan alam semesta, terutama hubungan dengan Yang
Maha Kuasa dan dengan leluhur yang secara genitis melahirkan
mereka. Interelasi keempat unsur ini terekam secara verbal dalam
kognitif masyarakat Lio secara kolektif. Sehingga hubungan
tersebut tetap dijunjung tinggi, diikuti dan dihormati oleh seluruh
anggota masyarakat Lio.
Sejak tahun 1983 peneliti-peneliti dari Universitas
Bielefelde di Jerman sudah mulai mengembangkan dan
22 | D r . N u z w a t y , M . H u m
mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik. Ide
mentranfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan metode-metode,
ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang pesat. Pieter
Finke (1983, 1993, 1996) mentransformasikan konsep-konsep
ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural, seperti
yang dilaporkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45).
Ilmuwan ini mengkritik leksikon yang digunakan oleh industri
agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Bentuk
seperti ‘production replace, growing, dan giving yang sebenarnya
dapat mengandung makna harfiah yang bersifat positif, namun di
dalam dunia industry dan bisnis leksikon tersebut berubah
menjadi bentuk metafora ekologis yang dapat dimaknai sebagai
konsep pembunuhan (killing)dan pelenyapan (taking away) yang
terjadi.
Kajian ekolinguistik sejatinya banyak melibatkan metafora
ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-
macam bentuk bahasa yang ada di dunia dengan penggunanya.
Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan
hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan
tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada
di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan
hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dan
lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan.
lihat Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1)
yang selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya
menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya
dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual. Fill dan
Muhlhausler (2001:57) berpendapat bahwa ekolinguistik
melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa,
Metafora Lingkungan Hidup | 23
serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang
berkaitan atau berhubungan dengan ekologi. Jangkauan
ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa
disiplin ilmu bahasa. Seperti:
a. Menemukan teori bahasa yang tepat.
b. Studi tentang sistem bahasa dan teks
c. Studi keuniversalan Bahasa relevan dengan isu-isu
lingkungan.
d. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.
e. Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi
(ecoliterasi) seperti pada pengajaran pemahaman ekologi
kepada anak-anak balita dan remaja.
Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang
dilaporkan oleh Mbete (2009:11-12) memiliki keterkaitan dengan
sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian
ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan
dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh
ruang kaji tersebut adalah; Sosiolinguistik, Dialektologi,
Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi,
Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif,
Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula
Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.
Kajian ataupun penelitian yang dilakukan di bawah payung
ekolinguistik dapat dikatakan masih sangat sedikit di Indonesia,
sedangkan lahan untuk kajian ini masih sangat luas. Kajian
ekolinguitik dapat berkolaborasi dengan semua kajian linguistik
murni seperti kajian fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan
pragmatik serta dapat pula berkolaborasi dengan kajian linguistik
terapan seperti yang telah disebutkan diatas.
24 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Metafora Lingkungan Hidup | 25
etafora secara umum dikenal sebagai kajian
linguistik yang mentrasnfer ide-ide dalam
bentuk kongkrit ke wilayah yang lebih abstrak.
Kerangka metafora menurut Kovecses (2006) merupakan
susunan bentuk interaksi dari dua model kultur yaitu ranah
sumber dan ranah target. Keterhubungan dari kedua model
tersebut ditandai dengan ada suatu hubungan yang sangat kuat
antara kognitif dan komunitas bahasa melalui kesepakatan
bersama secara konvensi dalam proses pembentukan sebuah
metafora.
Menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102)
pembentukan metafora sesungguhnya berasal dari pandangan
para pakar retorika kuno. Kata metafora itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani metaphora yang terdiri atas dua leksis yaitu meta
yang berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan
phora yang berarti referensi atau acuan. Recoeur (2005:82) juga
menjelaskan bahwa dalam kajian retorika kuno, metafora
diklasifikasikan sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah
M
26 | D r . N u z w a t y , M . H u m
gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam
penggunaan kata dalam proses denominasi.
Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa pakar
retorika kuno seperti Aristoteles menyebutkan “sebuah metafora”
adalah pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi
milik sesuatu yang lain atau suatu transfer yang terjadi dari genus
ke spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies secara
analogi”. Oleh sebab itulah maka sudah berabad-abad lamanya
metafora selalu dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan
pada diskursus.
Sebuah metafora dibangun dari unsur-unsur leksikal dan
adanya referensi yang dirujuknya. Monroe Beardsley, menurut
Recoeur (2005:81) menyatakan bahwa metafora adalah “sebuah
puisi miniatur” dan menggolongkan metafora sebagai sebuah
kiasan yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan
adanya variasi makna dalam penggunaan leksikal. Sugiharto
(2006:103) berpendapat bahwa Aristoteles dalam karyanya
Poetic juga menandai metafora ke dalam tiga ciri penting.
Pertama, metafora adalah sesuatu yang dikenakan pada
nomina. Ciri kedua, metafora didefinisikan dalam konteks
gerakan (epiphora) yaitu pemindahan atau pergerakan dari
sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku bagi semua bentuk
transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora merupakan transposisi
sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu nama yang
sesungguhnya milik nama suatu benda lainnya. Implikasi dari
ketiga ciri tersebut bahwa metafora mengandung tiga gagasan
yang berbeda berpadu dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan
yaitu substitusi sebuah leksikon biasa yang semestinya ada
Metafora Lingkungan Hidup | 27
dipinjamkan kepada sesuatu yang lain dan atau peminjaman dari
suatu ranah asal ke ranah lain sebagai ranah target.
Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap
metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan
hanya dibicarakan pada kajian-kajian yang menyangkut bidang
kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika, karena metafora
dianggap tidak dapat menggambarkan atau menyatakan keadaan
yang sebenarnya. Mereka menganggap arti yang dikandung oleh
sebuah metafora selalu mengaburkan dan menimbulkan makna
taksa. Oleh sebab itu para filosof merasa bahwa penggunaan
metafora dalam membicarakan filsafat sangat tidak dibenarkan.
Namun ketika mereka menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa
mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa umum, mereka
beralih ke metafora dan akhirnya penggunaan metafora dalam
membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap oleh
Goathy (1997:1-3).
Hingga saat ini menurut Sugiharto (2006:102), metafora
terus berkembang untuk memenuhi perannya sebagai perangkat
bahasa manusia. Metafora merupakan karakter fundamental
hubungan linguistik manusia dengan dunia alam sekitarnya dan
bukanlah semata-mata sekedar bentuk semantik tertentu. Goathy
(1997:1) berpendapat metafora sangat bergantung pada bahasa
dan pikiran. Metafora dan proses mental saling bertalian yang
berasal dari bahasa dan kognitif. Bahasa yang digunakan oleh
orang yang sedang kasmaran untuk merayu, membujuk dan
menyapa selalu dalam bentuk-bentuk metafora seperti, dear
honey, hi my sweet hearth, you an apple of my eyes. Bahasa yang
dipergunakan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya dalam
28 | D r . N u z w a t y , M . H u m
bentuk metafora, seperti permata, berlian, intan yang bernilai
tinggi.
Penutur bahasa menciptakan berbagai kreasi bentuk
metafora baru secara berkesinambungan sehingga bentuk
metafora yang bergayut dengan lingkungan pun berkembang
pesat sampai merambah kepada media elektronik. Seperti adanya
penayangan iklan produk makanan, minuman di sebuah saluran
televisi di antaranya iklan biskuit biskuat yang menampilkan
harimau, macan sebagai ranah asal yang dipinjamkan ke ranah
lain yaitu manusia yg memakan biskuit tersebut menjadi kuat
seperti harimau. Iklan minuman yang menapilkan Jeruk kok
minum jeruk yang diperoleh dari iklan komersial dari produk
minuman yang berasal dari jeruk berusaha menggambarkan
secara visual animasi sebuah jeruk ingin minum sari jeruk yang
dipromosikan. Kemungkinan pesan iklan yang ingin disampaikan
adalah kenikmatan yang luar biasa dari sari jeruk tersebut
sehingga jeruk sendiripun ingin meminumnya.
Metafora Lingkungan Hidup | 29
ebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa
metafora merupakan interaksi dua kerangka
kultural. Dua kerangka kultural dimaksud adalah
ranah sumber dan ranah target. Ranah sumber merupakan bahan
acuan untuk menampilkan struktur ranah target yang terekam
dalam sistem kognitif manusia. Interelasi ranah target dan ranah
sumber disebabkan oleh adanya kesamaan atau kemiripan
karakter antara keduanya. Kerangka kultural dimaksud dapat pula
dipahami sebagai seperangkat pemahaman tentang dunia secara
terstruktur dalam pola dan kerangka lingkungan sosial komunitas
bahasa mengikuti hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman
bersama yang dimiliki komunitas tutur. Kesemuanya ini dapat
memberikan gambaran beberapa karakteristik metafota yang
dikaitkan dengan lingkungan alam dan kultural sebagai
lingkungan sosial komunitas tutur. Seseorang dapat
menggunakan kerangka analisis metafora dalam memahami isu-
S
30 | D r . N u z w a t y , M . H u m
isu sosial kultural dalam kaitannya dengan karateristik metafora
pada umumnya. Karakteristik metafora dalam sebuah komunitas
bahasa yang dikaitkan dengan lingkungan ekologis dapat pula
bertalian dengan konseptual alamiah dalam hubungan antara
unsur bahasa dan kognitif manusia. Interelasi ini dapat
digambarkan melalui inreaksi tiga dimensi sosial praksis (dimensi
ideo-, sosio-, dan bio-logikal) dalam sebuah metafora.
Karakteristik metafora yang dikaitkan dengan ekologis yang akan
dibicarakan adalah, metafora leksikal, metafora gramatikal,
metafora konseptual dan metafora ekosistem.
Diketahui bersama bahwa metafora tercipta karena adanya
persaman kandungan maknawi antara satu leksikon dengan
leksikon lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa metafora milik
bahasa yang menata penamaan sesuatu dalam penggunaan
leksikal yang ditransfer kepada unsur lainnya disebabkan oleh
adanya kesamaan yang ditampilkan oleh keduanya. Penggunaan
leksikal dimaksud meliputi hubungan antara makna literal dan
makna figuratif yang terkandung dalam leksikal tersebut,
memberikan karakter tuturan sebagai sebuah keutuhan yang
berada pada kognitif manusia. Secara sederhana metafora dapat
dipahami sebagai suatu transfer makna leksikal dari sebuah
ekpresi kepada ekpresi lain disebabkan oleh adanya kesamaan ciri
dan persamaan sifat dari keduanya berdasarkan pada pengalaman
kognitif masyarakat tutur suatu bahasa periksa Cruse (2000: 202).
Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah
leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau
makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna dari
Metafora Lingkungan Hidup | 31
sebuah situasi tersebut tidak semata- mata hanya milik bahasa
tetapi milik kehidupan sosial dari sebuah komunitas bahasa.
Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora
melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural,
lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian
anggota tubuh mahluk sebagaimana yang diungkapkan oleh
Kovecses (2006:126). Lebih lanjut Kovecses memberi contoh
metafora time (waktu) yang dalam lingkungan sosio-kultural dan
kognitif komunitas tutur bahasa Inggris menggandung makna
sangat bernilai, sehingga banyak tuturan- tuturan yang
menggunakan time. Time is money. Tme and tide wait for no man,
Time goes on, dan lain sebagainya.
Saragih (2004:49), (2006:191) menjelaskan metafora
leksikal menunjukkan bahwa makna satu kata dirujuk sebahagian
untuk menyatakan atau memahami makna kata lain. Selanjutnya
Saragih (2006:191) menjelaskan, metafora merupakan realisasi
pengalaman secara tidak lazim atau merupakan ekspresi bertanda
(marked) atau disebut juga makna figuratif melintasi ekspresi
lazim (unmarket). Makna ekspresi lazim juga disebut sebagai
makna harfiah atau makna literal dan makna tak lazim disebut
pula makna figuratif. Untuk menjelaskan metafora ini dapat
dilihat dari kedua tuturan berikut:
(a) Ruri menanam bunga di pekarangan rumah kami.
(b) Ruri itu bunga di kampung kami
Tuturan (a) makna bunga mengandung makna literal yaitu
tanaman hias yang lazim ditanam di pekarang rumah, indah,
menarik, dan disenangi. Pada tuturan (b) makna bunga
mengandung makna figuratif atau makna metafora. Ruri adalah
manusia bukan tanaman hias. Tuturan (b) memuat sebuah
32 | D r . N u z w a t y , M . H u m
perbandingan yang menghasilkan makna figuratif dalam hal ini
keelokan paras Ruri diperbandingkan dengan keindahan tanaman
hias bunga disebabkan oleh keindahan bunga dianggap ada pada
Ruri. Wajah Ruri yang cantik dengan akhlaknya yang baik
layaknya sekuntum bunga selalu menyenangkan bagi orang yang
melihatnya. Berikut ini contoh lain metafora leksikal ular:
(c). Tono melihat seekor ular melilit di pohon.
(d). Tono itu ular, kamu harus hati-hati.
Tuturan (c) makna ular mengandung makna literal yaitu
seekor binatang melata, berbisa, bersisik dapat membelit atau
melilit. Pada tuturan (d) makna ular mengandung makna
metafora. Tono adalah manusia bukan hewan melata akan tetapi
sifat Tono lah yang diperbandingkan dengan sifat ular karena
sebagian dari sifat ular dianggap ada pada Tono. Misalnya
Perkataan Tono, selalu menyakitkan dan meracuni orang seperti
bisa ular. Sifat Tono yang gemar menipu dan berbohong pada
orang diperbandingkan dengan sifat ular yang suka membelit
mangsanya.
Menurut Saragih (2006:191-193), Finegan (2015:190)
metafora leksikal dapat berwujud dalam beragam realisasi yang
umumnya mengekspresikan satu fenomena dilihat dari dua
perspektif dan dapat diurai ke dalam beberapa kriteria. Dalam
mengeksresikan fenomena tersebut dapat dilihat pada metafora
yang lazim ditemukan dalam Bahasa Indonesia, pertama, nomina
dapat disandingkan dengan nomina pula, seperti internet
merupakan jendela dunia bagi kita. Nomina jendela
disandingkan dengan nomina dunia. Pada metafora Bahasa Aceh,
being bak babah bubee ‘kepiting di mulut bubu’ merupakan
contoh yang menyandingkan nomina being ‘kepiting’ dengan
Metafora Lingkungan Hidup | 33
nomina bubee ‘bubu’. Bila seekor kepiting lengket di mulut bubu
akan menutupi pintu masuk ikan-ikan kedalam bubu. Fenomena
alamiah ini membentuk sebuah metafora yang ditujukan kepada
sifat seseorang yang gemar menghalang-halangi perbuatan,
pekerjaan atau rencana kerja orang lain. Orang tersebut selalu
merasa hanya dia seorang yang dapat melakukannya dan merasa
bahwa tanpa campur tangannya maka pekerjaan tersebut tidak
akan dapat diselesaikan dengan baik, walaupun pada
kenyataannya dia sendiri tidak dapat mengerjakan pekerjaan itu.
Metafora Bahasa Inggris to find a needle in a haystack ‘mencari
jarum di tumpukan jerami’ juga merupakan penyandingan
nomina a needle ‘jarum’ dengan nomina a haystack ‘tumpukan
jerami’. Mencari satu jarum di tumpukan jerami tidak mungkin
dapat dilakukan dan akan sia-sia saja. Metafora to find a needle
in a haystack dalam komunitas Bahasa Inggris mengandung
makna melakukan sesuatu yang tidak akan menguntungkan atau
tidak memperoleh hasil sama sekali atau melakukan pekerjaan
dengan sia-sia. Metafora Bahasa Melayu yang ada pada repertoire
etnik Kualuh memiliki metafora pucok oru, ‘pucuk pinus’
merupakan persandingan nomina pocuk dengan nomina oru.
Pucuk pohon pinus yang tinggi menjulang ketika ditiup angin
akan bergoyang, keadaan pucuk pinus yang bergoyang tersebut
membentuk metafora pucok oru yang mengandung makna
figuratif yang ditujukan pada seseorang yang tidak tetap
pendirian atau seseorang yang labil.
Nomina dapat pula disandingkan dengan verba seperti
Janganlah memancing di air keruh. Verba memancing
disandingkan dengan nomina air keruh, contoh lain menulis buku
memakan waktu. Verba memakan disandingkan dengan nomina
34 | D r . N u z w a t y , M . H u m
waktu, Kebaikan Budi bisa mencuri hati Rini. Verba mencuri
bersanding dengan nomina hati. Contoh metafora dalam Bahasa
Aceh kameng jak ateuh batee ‘seekor kambing berjalan di atas
batu’. Verba jak ‘berjalan’ bersanding nomina batee ‘batu’. Bila
seekor kambing berjalan di atas batu ia akan berjalan agak lambat
dan terseok-seok. Cara kambing berjalan di atas batu
memunculkan sebuah metafora yang mengandung makna yang
ditutujukan kepada seseorang yang tidak dapat membaca Al
Qur’an dengan lancar atau seseorang yang membaca Al Qur’an
terbata-bata. Metafora Bahasa Inggris yang dapat dijadikan
contoh bentuk penyatuan verba dan nomina, look back ‘melihat
kebelakang’ atau ‘melihat kembali’ dengan nomina shoulders
‘bahu’ pada metafora look back over our shoulders yang
mengandung makna ‘belajar pada pengalaman masa lalu’ seperti
pada tuturan we need to look back over our shoulders at the
lessons that history has taught us.
Nomina dapat pula disandingkan dengan adjektiva seperti
jadilah orang yang kaya hati. Adjektiva kaya disandingkan
dengan nomina hati, dan dia berasal dari keluarga darah biru,
nomina darah bersanding dengan adjektiva biru. Dalam metafora
Bahasa Aceh mon tuha ‘sumur tua’ nomina mon ‘sumur’ dan
adjektiva tuha ‘tua’. Pada zaman dahulu komunitas Aceh
mengambil air untuk keperluan kehidupan dari sumur dengan
menggunakan timba. Namun saat ini pada umumnya masyarakat
tidak lagi menggunakan sumur untuk mendapatkan air. Mereka
memperoleh air dengan cara menggunakan mesin pompa air yang
dialirkan melalui pipa air yang dibor kedalam tanah. Keadaan ini
menjadikan banyak sumur yang tidak dipergunakan lagi yang
mereka sebut sebagai mon tuha (sumur tua). Biasanya di dalam
Metafora Lingkungan Hidup | 35
sumur tua ini tumbuh rumput liar. Selain dari rumput-rumput liar
semua barang yang sudah tidak dipergunakan lagi adakalanya di
buang ke dalam sumur tua ini. Dari keadaan sumur tua
sedemikian terbentuk sebuah metafora mon tuha yang secara
harfiah bermakna sumur tua dipeta silangkan kepada orang
suruhan yang semua pekerjaan berat dan ringan dikerjakannya
karena dia tidak memiliki kepintaran yang lain. Berikut metafora
Bahasa Aceh yang menyandingkan nomina dan adjektiva yaitu
nomina boh timon ‘buah mentimun’ dan adjektiva bongkok pada
metafora boh timon bongkok yang dalam Bahasa Indonesia
disebut buah mentimun bungkuk. Buah mentimun bungkuk
dianggap sebagai buah yang kurang baik dan pada waktu panen
biasanya buah yang bengkok tidak dijual, namun bila ada yang
ingin membelinya maka buah itu akan dijual dengan harga yang
sangat murah. Buah mentimun yang bengkok ini pada dasarnya
hanya dimanfaatkan untuk memenuhkan isi keranjang besar
tempat atau wadah untuk buah-buahan, ikan atau komoditas
lainnya yang terbuat dari anyaman rotan atau bambu yang dalam
Bahasa Aceh disebut raga. Bentuk metafora lazimnya dalam
tuturan boh timon bungkok pemeunoh raga yang secara harfiah
artinya buah mentimun bungkuk untuk memenuhkan isi
keranjang, sedangkan kandungan makna metafora dialamatkan
kepada sesorang yang tidak memberikan kontribusi apaun di
dalam satu kelompok atau dalam satu organisasi, namun dengan
terpaksa dia diikutsertakan juga untuk memenuhi jumlah kuota
sebagaimana yang sudah ditentukan, dan ini terjadi karena sudah
tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Maka keberadaannya
disana hanya sebagai pelengkap jumlah kuota. Bahasa Melayu
Kualuh juga memiliki metafora yang menyandingkan nomina
36 | D r . N u z w a t y , M . H u m
dengan adjektiva yaitu nomina badak dan adjektiva pokak
‘pekak’. Metafora pokak badak memiliki kandungan makna
metafora ditujukan pada seseorang yang ketika dipanggil dengan
suara keras dia pura-pura tidak mendengar dan tidak menyahut
tetapi ketika seseorang memanggilnya dengan suara pelan dia
mendengarnya dan menyahut. Bahasa Inggris juga memiliki
metafora yang menyandingkan nomina dengan adjektiva seperti
pada metafora a heavy heart, nomina heart ‘hati’ bersanding
dengan adjektiva heavy ‘berat’,metafora ini bermakna perasaan
sedih atau perasaan tidak enak dan berat hati seperti pada tuturan
It is with a heavy heart that I tell of his death. Berikut metafora
yang menyanding nomina dengan adjektiva a dark cloud over
one’s life ‘secara harfiah makna dari frasa a dark cloud over
one’s life awan hitam pada kehidupan seseorang seperti pada
contoh The lost of a friend is a dark cloud over one’s life ‘ secara
metafora makna tuturan tersebut dapat diartikan ‘kehilangan
seorang teman sangat menyedihkan dan menyakitkan’.
Teori LFS (2004:3) dikemukan oleh Halliday menetapkan
bahasa adalah teks yang mereprentasikan makna gramatikal yang
dapat dipahami oleh semua masyarakat tutur bahasa tersebut.
Kemudian bahasa merupakan fenomena sosial yang terjadi dari
dua unsur yaitu arti dan ekspresi, dan arti direalisasikan oleh
ekspresi. Dalam mengekpresikan makna ini, bahasa
melaksanakan tiga fungsi yaitu memaparkan pengalaman
(ideational function), mempertukarkan pengalaman
(interpersonal function), dan merangkai pengalaman (textual
function) periksa Halliday (2004: 29), Eggins (1996:3), Saragih
Metafora Lingkungan Hidup | 37
(2006:7), Sinar (2010:3). Saragih (2006:193). Dalam
memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman ini
dapat muncul suatu pengalaman tertentu yang lazim digunakan
kepada pengalaman yang lain yang disebut sebagai metafora
gramatikal atau metafora tata bahasa. Banyak pakar LFS
mengupas metafora gramatikal seperti Halliday dan murid-
muridnya, periksa Saragih (2004:50), (2006:193), Eggins (1996).
Dalam kumpulan Karya Halliday yang disunting oleh Webster
(2006:7-10) mendiskripsikan bahwa metafora gramatikal atau
metafora tata bahasa merupakan wujud kesengajangan
(discrepancy) dalam realisasi fungsi eksperensial, interpersonal,
tekstual, dan logis bahasa. Pengalaman yang lazimnya digunakan
untuk suatu pengalaman tertentu digunakan untuk pengalaman
yang lain. Dengan kata lain, metafora tersebut memberikan
pengertian bahwa realisasi yang lazim dari pengalaman
(eksperensial, logis, antarpesona, dan tekstual) dalam bentuk
transivitas, klausa kompleks, modus, tema/rema, dan kohesi
tertentu direalisasikan dengan atau dalam aspek (struktur) tata
bahasa yang lain atau yang tidak lazim. Disebabkan oleh
perealisasian pengalamam dari lokasi makna lazim kepada lokasi
makna yang tidak lazim, para pakar tersebut menempatkan
metafora kedalam dua relokasi realisasi makna.
Pertama relokasi makna yang lazim ke dalam aspek tata
bahasa yang lain dalam peringkat yang sama, misalnya kegiatan
atau aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses
direalisasikan sebagai nomina atau realisasi yang lazim
dikodekan dalam beberapa kata disampaikan dalam satu kata saja.
38 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Contoh:
a. Mereka bertemu di pantai. Kemudian, mereka makan
malam bersama di Retoran Terapung. (lazim)
Pertemuan mereka di pantai diikuti makan malam di
Restoran Terapung. (metafora).
b. Andi terlambat berangkat ke kampus karena dia tertidur.
(lazim)
Keterlambatan Andi berangkat ke kampus dikarenakan
dia tertidur. (metafora).
c. Ibu guru marah karena murid-murid malas membuat PR
(lazim).
Kemarahan ibu guru dikarenakan murid-murid malas
membuat PR. (metafora)
Kedua relokasi realisasi makna yang lazim pada satu
peringkat (ranking) dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang
lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan
pengalaman) atau lebih tinggi (seperti pada metafora pertukaran
pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dalam
klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang
lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa.
Contoh:
a. Rini sering datang terlambat. Keadaan ini membuat
gurunya marah. (lazim)
Kedatangan Rini yang sering terlambat membuat
gurunya marah. (metafora)
b. Tono sering pulang larut malam. Hal ini membuat
istrinya resah. (lazim)
Metafora Lingkungan Hidup | 39
Seringnya Tono pulang larut malam meresahkan
istrinya. (metafora)
Dalam merealisaikan pengalaman pada umumnya, bahasa
metafora digunakan bidang akademik, kajian akademik, dan
kajian ilmiah atau urusan diplomasi.
Metafora konseptual lazimnya ditampilkan dalam bentuk
huruf kapital pada bahasa tulisan. Pada buku ini contoh metafora
konseptual juga ditulis dalam huruf kapital. Metafora konseptual
merupakan pola metafora yang kerap dibicarakan dalam pustaka
kognitif linguistik. Kajian kognitif linguistik merupakan
kolaborasi kajian linguistik dengan kajian kognitif atau pikiran
pengguna bahasa. Identifikasi metafora konseptual digambarkan
sebagai suatu proses pemetaan silang dua konsep yang
berlangsung dalam kognitif pengguna atau komunitas tutur suatu
bahasa. Sehingga metafora dapat dipahami sebagai bagian dari
bahasa memainkan peranan yang amat penting dalam kajian
pikiran dan dengan kultur komunitas pemilik atau penutur bahasa
tersebut. Itulah sebabnya metafora konseptual tidak hanya
dianggap sebagai fenomena linguistik saja, namun lebih dari itu,
metafora tersebut juga merupakan fenomena sosiokultural dan
fenomena lingkungan alam. Metafora konseptual digambarkan
sebagai suatu proses pemetaan silang dua konsep yang
berlangsung didalam kognitif penutur bahasa. Konsep pertama
bersifat kongkrit yang disebut sebagai ranah sumber dan konsep
ke dua bersifat abstrak yang disebut sebagai ranah target.
Pemetaan silang ke dua konsep ini adakalanya melibatkan atau
disebabkan oleh pengalaman inderawi penutur bahasa, sebagai
40 | D r . N u z w a t y , M . H u m
contoh masyarakat Inggris pada umumnya memandang
kehidupan melalui dua konsep yaitu konsep perjalanan dan
konsep kehidupan, sehingga contoh metafora yang lazim mereka
paparkan tentang kehidupan berdasarkan hubungan yang paling
erat antara dua konsep tersebut yaitu kehidupan (life) dan
perjalanan (journey) LIFE is A JOURNEY. Hubungan kedua
konsep ini terjadi secara sistematis sehingga setiap pembicaraan
yang menyangkut tentang kehidupan akan selalu dikaitkan dan
dihubungkan dengan konsep perjalanan, lihat Kovecses
(2006:117). Interelasi dan interaksi ke dua konsep ini merupakan
hubungan yang tertata secara sistematis yang dapat digambarkan
dalam skema kognitif penuturnya dan dapat pula dijabarkan
sebagai berikut:
metafora PERJALANAN dan KEHIDUPAN:
PERJALANAN KEHIDUPAN
Pelancong manusia memimpin
kehidupannya
perjalanan/bergerak bergerak/berusaha tujuan
hidupnya
(mengarah ke satu tujuan)
tujuan (arah, tempat) cita-cita hidupnya
rintangan dalam perjalanan kesulitan yang dihadapi
sampai ke tempat tujuan keberhasilan yang dicapai.
Seperti telah dibicarakan sebelumnya bahwa metafora
dalam pustaka kognitif linguitik dikenal sebagai metafora
konseptual karena metafora tersebut merupakan konseptual
alamiah dalam hubungan antara unsur bahasa dan kognitif
manusia. Lakoff dan Johnson (1980:267-268) berpendapat,
Metafora Lingkungan Hidup | 41
adanya dua macam hubungan yang terlibat dalam suatu metafora,
yaitu hubungan ontologis, yang melibatkan entitas dalam dua
ranah yaitu ranah sumber yang besifat kongkrit dan ranah target
yang bersifat abstrak, seperti pada SINGA. Ranar sumber singa
berbentuk kongkrit yaitu hewan yang tinggal di hutan dan ranah
target dalam hubungan ontologis bersifat abstrak yaitu sifat atau
karakter seseorang. Hubungan epistimik, melibatkan hubungan
pengetahuan tentang entitas tersebut yaitu kuat, berani dan
dianggap sebagai hewan perkasa ditakuti oleh lawannya di dalam
hutan dengan sifat kuat, pemberani dan kesemua sifat yang
dimiliki oleh singa dipetakan kepada manusia yang memiliki sifat
sebagaimana lazimnya terdapat dalam kondisi dan sifat singa.
metafora Budi itu singa, merupakan metafora yang memandang
Budi dan singa mempunyai kesamaan akan sikap berani
keduanya. Metafora Bahasa Inggris yang popular diilustrasikan
oleh Lakoff adalah: ANGER IS HEAT OF FLUID IN
CONTAINER. Hubungan yang dapat digambarkan untuk
metafora ini sebagai berikut:
Hubungan ontologis dari metafora tersebut adalah:
HEAT OF FLUID
ANGER CONTAINER
Kemarahan badan (tubuh)
skala kemarahan skala suhu tubuh
(cairan panas)
Hubungan epistemik dari metafora tersebut adalah:
Ketika cairan di dalam kontener Ketika kemarahan
dipanaskan sampai batas tertinggi memuncak sampai batas
tekanan meningkat mengakibat- tertinggi mengakibatkan
kan kontener meledak kehilangan control.
42 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Teori yang ditayangkan Lakoff (1980) ini banyak diadopsi
oleh pustaka linguistik kognitif. Secara garis besar pembentukan
metafora konseptual selalu melibatkan dua ranah, yang pertama
disebut ranah sumber (source domain) dan yang berikutnya
disebut ranah target (target domain). Pada umumnya ranah
sumber lebih bersifat fisik dan ranah target lebih bersifat abstrak.
Seperti pada contoh LIFE is A JOURNEY. Perjalanan (journey)
dijadikan ranah sumber yang bersifat fisik atau nyata dan
kehidupan (life) dijadikan sebagai ranah target yang bersifat
abstrak. Terbentuknya metafora ini disebabkan oleh terjadinya
proses pemetaan silang.
Pemetaan silang terjadi karena ke dua-dua kosep yaitu
ranah sumber dan ranah target tersebut memiliki ciri-ciri
persamaan atau menampilkan konsep persamaan dalam beberapa
hal. Ciri-ciri persamaan tersebut terekam dalam kognitif penutur
bahasa. Sehingga ranah sumber dan ranah target sebuah metafora
sangat bergantung pada cara pandang penuturnya.
Proses pemetaan silang juga dapat berlangsung dari ranah
sumber yang berdasarkan kepada pengalaman tubuh atau
pengalaman inderawi manusia. Pengalaman non linguistik ini
lazimnya sudah terbentuk sejak usia dini manusia, seperti seorang
anak merasa hangat ketika dipeluk oleh ibunya atau keluarganya
dan saat itu si anak merasa senang, bahagia dan nyaman, serta
menumbuhkan perasaan kasih sayang yang terhimpun dalam otak
manusia, sebagai contoh metafora yang merepresentasikan
kehangatan dapat seperti HANGAT KASIH SAYANG ibu.
Hubungan antara ranah sumber dan ranah target tertata rapi
di dalam kognitif penuturnya, sebuah ranah sumber dapat
dipetakan kepada beberapa ranah target dan beberapa ranah
Metafora Lingkungan Hidup | 43
sumber dapat pula dipetakan kepada satu ranah target saja,
contoh, satu ranah sumber dipetakan kepada dua ranah target:
LIFE is A JOURNEY LOVE is A JOURNEY
Ranah sumber JOURNEY dipetakan kepada LIFE dan
LOVE
Contoh beberapa ranah sumber dipetakan kepada satu ranah
target
LOVE is A JOURNEY LOVE is AGAME LOVE
is FIRE
Ranah sumber JOURNEY, GAME, dan FIRE dipetakan
kepada LOVE.
Contoh metafora konseptual Bahasa Aceh yang
melambangkan konsep watak atau sifat seseorang yang suka
memfitnah yaitu sikin lipat yang dalam Bahasa Indonesia disebut
pisau lipat. Secara kongkrit sikin lipat sangat tajam yang biasa
dipergunakan untuk menyembelih ayam, itik dan memotong ikan.
Ketika pisau ini sudah selesai dipakai atau tidak dipakai lagi,
pisau akan disimpan dengan cara melipatnya terlebih dahulu dan
pisau jenis ini di dalam Bahasa Aceh disebut sikin lipat. Oleh
komunitas Bahasa Aceh bentuk kongkrit sikin lipat dijadikan
sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada ranah target sifat
manusia yang suka memfitnah. Hubungan ontologis dan
hubungan epistemik metafora ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Hubungan ontologis dari metafora SIKIN LIPAT, adalah:
Sikin lipat (pisau lipat) Manusia
tajam, dapat menyakitkan fitnah (menyakitkan)
berbahaya berbahaya
44 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Hubungan epistemik dari metafora SIKIN LIPAT adalah:
Untuk menggambarkan kosep kemakmuran Bahasa Aceh
menggunakan metafora Lada Teungoh Tangkoh yang dalam
Bahasa Indonesia disebut ‘lada sedang berbuah’. Pohon merica
atau lada merupakan tanaman primadona di zaman kejayaan
kerajaan Aceh. Ini disebabkan karena harga merica sangat tinggi
dan merupakan salah satu komuditas yang sangat diincar oleh
kolonial Belanda. Secara harfiah Lada Teungoh Tangkoh
bermakna lada yang sedang menjadi atau sedang subur atau
sedang berbuah banyak. Keadaan ketika lada sedang subur
berpengaruh posisitf kepada kehidupan si pemilik kebun yang
menjadikan hidupnya serba berkecukupan dan makmur. Makna
metaforis dari LADA TEUNGOH TANGKOH ditujukan kepada
sesorang yang memiliki pendapatan ataupun penghasilan yang
sedang meningkat sehingga kehidupannya menjadi lebih
makmur. Sebagai contoh seorang pebisnis yang menjadi kaya
karena bisnis yang dijalankannya mengalami kemajuan. Lada
Teungoh Tangkoh dijadikan sebagai ranah sumber dipetakan
kepada ranah target yaitu kondisi kemakmuran manusia yang
terekam secara verbal dalam kognitif komunitas Bahasa Aceh.
Ketika pisau lipat digunakan
untuk membunuh, maka akan
ada yang menjadi korban yang
dapat berujung kepada
kepedihan atau kematian.
Ketika seseorang mengucapkan
berita bohong berisikan fitnah,
maka akan ada yang menjadi
korban yang akan berujung
pada kepedihan dan dapat pula
kepada kematian.
Metafora Lingkungan Hidup | 45
Hubungan ontologis metafora LADA TEUNGOH
TANGKOH:
Hubungan epistemik LADA TEUNGOH TANGKOH:
Metafora ekologis merupakan sebuah peristilahan yang
banyak dibicarakan dalam pustaka ekolinguistik. Menurut Fill
(2001:43) bahwa ekolinguistik bermula dari sebuah metafora
yang pertama sekali dibicarakan oleh Haugen (1970), yaitu
tentang interaksi antara bahasa-bahasa yang ada dengan
lingkunganya. Haugen (1972:325) berusaha membandingkan
hubungan ekologi antara spesies binatang dan tumbuhan tertentu
dengan lingkungan alamnya. Dalam hal ini ekologis secara
metaforis ditranformasikan ke dalam bahasa di dalam sebuah
lingkungan ekologis. Metafora ekologis merupakan konsep atau
bentuk yang sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu
lingkungan alam, pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan
bahasa tersebut dalam penyampainnya di sebuah komunitas
Pohon lada yang mulai subur
Berbuah banyak
Membuat petani makmur
Manusia yang mulai berhasil
Berpenghasilan banyak
Membuat hidupnya makmur
Ketika pohon lada tumbuh
subur, pohon tersebut akan
menghasilkan buah yang
banyak dan memberi pengaruh
positif kepada petani, yaitu
meningkatkan kemakmuran
bagi petani dan keluarganya.
Ketika seseorang mulai
berpenghasilan tinggi,
memberi pengaruh positif
yaitu meningkatkan
kemakmuran bagi
keluarganya.
46 | D r . N u z w a t y , M . H u m
bahasa. Ketiga komponen ini berada di dalam kognitif penutur
bahasa dalam sebuah komunitas bahasa. Yang dimaksud dengan
kognitif seperti yang diungkapkan oleh Koveches (2006:5) adalah
gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekpresikan
atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu
penggunaan dan pembentukan metafora ekosistem tidak hanya
bergantung kepada satu aspek saja.
Metafora ekosistem menurut Fill dan Muhlhausler
(2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural, unsur
kognitif komunitas tutur bahasa tersebut. Selain dari unsur
kognitif dan sosiokultural komunitas bahasa waktu, situasi, dan
ranah penggunaan bahasa juga sangat berperan memengaruhi
bentuk metafora bahasa tersebut. Interelasi antara unsur-unsur ini
jelas tergambar seperti apa yang pernah terjadi pada awal abad ke
sembilan belas, dimana kebutuhan akan air sebagai bahan pokok
kehidupan secara ekslusif disejajarkan dengan uang yang
memunculkan metafora seperti central money supply ‘central
water supply’ dan metafora water is money, sangat popular saat
itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money juga jelas
menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan
bernilai ekonomis tinggi, diantaranya juga merusak dan
menggerus lingkungan saat itu.
Seorang pakar ekolinguistik yang bernama Wilhelm
Trampe (1990) telah menggunakan metafora ekosistem dalam
menjabarkan bahasa dan penggunaannya dalam interaksi bahasa
tersebut dengan lingkungan alam, yaitu alam semesta. Pengguaan
leksikon industri agrikultur pada kata produksi yang secara
harfiah bermakna menghasilkan dan berkembang mengandung
Metafora Lingkungan Hidup | 47
ideologi ekonomi dan capitalis sehingga memunculkan makna
metaforis menghancurkan dan menghilangkan. Inilah efek
penggunaan metafora ekosistem yang tidak ramah dengan
lingkungan kadang-kadang terjadi. Metafora lain yang
berkembang dalam masyarakat industri di mana bahasa dikatakan
sebagai alat atau instrumen komunikasi seperti dalam definisi
bahasa “language is a tool or an instrument of communication”.
Sebenarnya alat atau pun instrumen merupakan benda-benda
yang dipergunakan dan bermanfaat untuk kepentingan hidup dan
kehidupan manusia seperti palu, gergaji, komputer dan alat-alat
lainnya. Pemaknaan bahasa itu sendiri sudah dimetaforakan ke
dalam metafora ekosistem, dapat dilihat pada Fill dan
Muhlhausler (2001:45).
Metafora ekologis memiliki cakupan yang luas yang sangat
berkaitan beberapa aspek ekologis di luar bahasa seperti yang
dinyatakan oleh (Fill 2001:3)
a. Keberagaman (diversity) mahluk lingkungan alam atau
kandungan ekologinya, seperti flora, fauna, kandungan
mineral yang ada di lingkungan alam tersebut.
b. Faktor-faktor yang mempertahankan keberagaman
tersebut.
c. Keteraturan lingkungan alam yang ada
d. Hubungan timbal balik antara mahluk di lingkungan alam
tersebut dengan ekologinya.
Haugen (1972) berupaya memanfaatkan kolaborasi antara
bahasa dengan parameter ekologi yang diadopsinya dalam
membicarakan pola metafora ekosistem. Melalui kolaborasi ini
Haugen mengadopsi parameter ekologi tersebut sebagai
48 | D r . N u z w a t y , M . H u m
parameter ekolingistik. Parameter ekolinguistik dimaksud adalah
kesalingterhubungan (interrelationship), lingkungan
(environment), keberagaman (diversity), digunakan sebagaimana
berlaku dalam analisis wacana lingkungan, antropolinguistik
pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya tentunya juga termasuk
penelitian ekolinguistik. Ketiga-tiga parameter ekolinguistik
tersebut saling terkait erat yang senantiasa diaplikasikan secara
bersamaan dalam penelitian metafora ekosistem.
Pertama parameter keberagaman (diversity), Fill dan
Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman
(diversity) perbendaharan kosa kata, dan juga metafora sebuah
bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau
lingkungan budaya tempat di mana metafora digunakan.
Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam,
geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah
hujan, sedangkan lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan
antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti
agama, etika, politik, seni dan lain sebagainya
Keberagam jenis species fauna, flora di satu lingkungan
alam paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa dan
metafora di dalam lingkungan sosial komunitas bahasa tersebut.
Keberagaman biota ini akan memperkaya khasanah metafora
bahasa yang dapat dilihat pada hubungan antara ranah sumber dan
ranah target dalam metafora tersebut. Kepada sebuah ranah
sumber dapat diaplikasikan kepada beberapa ranah target,
demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat pula berasal
dari beberapa ranah sumber.
Berikutnya adalah Parameter Kesalingterhubungan
(Interrelationship). Parameter ini menilik keberadaan spesies dan
Metafora Lingkungan Hidup | 49
kondisi kehidupan mereka sebagai satu bagian yang utuh
demikian pula halnya dengan keutuhan interelasi bahasa ibu dan
etnik yang tidak dapat dicirikan secara individual. Hubungan
paralel ini tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama
dalam semua hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan
keduanya adalah bahwa bahasa bukan lah organisme hidup.
Bahasa dapat berkembang melalui proses trasformasi yang
dilakukan oleh penutur bahasa secara berkesinambungan dari satu
generasi ke generasi berikutnya oleh.
Parameter keterhubungan atau parameter kesaling-
terhubungan antara linguistik dan ekologi merupakan hubungan
timbal balik antara mahluk di lingkungan alam tersebut dengan
ekologi yang mendukungnya. Keterhubungan ini dapat terpantul
dari metafora ekologi yang bernuansa isu lingkungan dikodekan
ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Konsep metafora
seperti yang digambarkan oleh Kovecses (2006:171), berisikan
skema sumber yang dalam hal ini menyangkut ranah yang bersifat
fisik yang dikodekan kepada ranah yang bersifat abstrak seperti,
green house, green speak.
Parameter keterhubungan antara bahasa dan ekologi dapat
dilihat pada metafora Bahasa Aceh yaitu metafora POK-POK
DRIEN. Pok-pok adalah batang bambu yang dipotong
panjangnya sekitar satu meter (2-3 ruas) kemudian bambu
tersebut dibelah dua. Bagian pangkal bambu diikat dengan tali
agar tidak mudah lepas dan salah satu belahan dipasang tali.
Media ini digantungkan pada pohon durian atau buah-buahan
lainnya yang sedang berbuah. Bila tali ditarik akan mengeluarkan
suara gaduh. Fungsi dari benda tersebut untuk mengusir binatang
yang akan memakan buah-buahan. Dalam pemaknaannya secara
50 | D r . N u z w a t y , M . H u m
metaforis pok-pok dialamatkan kepada orang yang banyak cakap
dan mengumbar janji. Seperti dalam tuturan, babah jih POK-
POK DRIEN. Artinya dia itu besar cakap saja. Contoh lain dapat
pula dilihat pada metafora ABO UDEP DUA PAT, secara harfiah
ungkapan ini mengandung makna siput hidup pada dua tempat.
Abo (Amphidromus perversus) yang dalam Bahasa Indonesia
disebut siput. Secara alami siput dapat bertahan hidup di dalam
dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan
dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah
metafora yang tertujukan kepada sifat dan perilaku seseorang
yang supel, dapat bergaul kepada siapa saja dan selalu
menghargai sesama. Orang yang demikian dikatakan sebagai abo.
Parameter keterhubungan (interrelationship) merupakan
keterhubungan sifat siput yang amphibi yang terjadi secara
alamiah dipetakan kepada seseorang yang supel yang bisa
berinteraksi dengan siapa saja dalam berbagai ragam situasi
dalam pergaulan di kehidupan sosial masyarakat. Siput dijadikan
sebagai ranah sumber dan karakter manusia dijadikan sebagai
ranah target.
Parameter berikutnya adalah Parameter Lingkungan
(Environment) merupakan parameter yang menggambarkan
kegiatan manusia dalam berinterelasi, berinteraksi, bahkan
berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di
lingkungan tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa
lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakter, semata-mata demi
tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia (antropo-
sentrisme). Manusia merupakan makhluk ekologis yang memang
sangat membutuhkan banyak hal yang ada demi keberlangsungan
hidupnya secara biologis (biosentrisme), kebutuhan akan hewan,
Metafora Lingkungan Hidup | 51
tumbuhan, air, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan
secara ragawi (kosmosentrisme). Sikap masyarakat terhadap
lingkungan alam banyak di dasari oleh pola kultural masyarakat
tersebut, sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap
daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai
makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia.
Sehingga keberadaan binatang-binatang itu yang menyangkut
dengan perkembangbiakkannya juga sangat diperhatikan oleh
masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya
keberagaman sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian
dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan
pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh
kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi
masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler
(2003:37) bahwa klasifikasi hewan dan tumbuhan secara nyata
refleksi dari lingkungan tempat masyarakat itu tinggal dan
lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau
memberi nama-nama dan membentuk metafora yang diturunkan
secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi
berikutnya. Dalam Bahasa Aceh bue yang dalam Bahasa
Indonesia disebut kera memiliki keberagaman sifat yang
ditirunya dari sifat manusia. Dari peniruan sifat-sifat tersebut
dipetakan kepada sifat manusia membentuk metafora BUE PUTA
JANTONG ‘Kera memutar jantung’ metafora ini terbentuk
karena sifat alamiah yang dimiliki oleh kera suka meniru
pekerjaan manusia, maka ada juga kera yang berusaha memetik
jantung pisang dengan cara memutarnya, tetapi pekerjaan ini
tidak berhasil dilakukannya. Dari keadaan ini tercipta metafora
BUE PUTA JANTONG yang mengandung makna metaforis
52 | D r . N u z w a t y , M . H u m
suatu pekerjaan yang dilakukan oleh sesorang tanpa memperoleh
hasil karena orang tersebut tidak tahu cara mengerjakannya.
Metafora lain BUE TEUNGEUT kera tidur, Dari pengalaman
empiris masyarakat Aceh melihat kera tidur dengan cara duduk
menunduk, dan kera bisa tidur kapan saja baik saat hari panas,
dingin dan hujan, siang dan malam. Sikap kera tidur ini terjadi
secara alami terekam dalam kognitif anggota masyarakat
membentuk sebuah metafora dan menjadikan bue sebagai ranah
sumber pada metafora BUE TEUNGEUT. Bue teungeut
dipetakan kepada manusia atau orang yang suka bersikap masa
bodoh yang kerjanya hanya suka bermalas-malasan dengan tidak
memperhatikan keadaan yang terjadi disekitarnya atau
lingkungannnya. Metafora berikutnya adalah BUE
MEUTEUMEE CEUREUMEN,’ kera dapat cermin’
Berdasarkan pengalaman yang terekam dalam kognitif
masyarakat Aceh ketika seekor kera di dudukkan di depan
cermin. Dia akan melompat-lompat di depan cermin itu sambil
menggaruk-garuk kepalanya dengan asiknya. Makna metaforis
dari ungkapan ini ditujukan kepada seseorang yang suka
membuang waktu untuk sesuatu hal yang kurang penting atau
ditujukan kepada seseorang yang melalaikan kewajibannya
sesudah mendapatkan sesuatu benda yang baru, sehingga dia lupa
akan pekerjaan lain yang harus diselesaikannya atau lupa akan
segalanya
Selain parameter ekolingistik, teori tiga demensi sosial
praksis juga sangat berperan dalam membicarakan sebuah
metafora ekosistem. Tiga parameter ekolinguistik berkolaborasi
dengan tiga dimensi sosial praksis seperti telah dibicarakan
sebelumnya merupakan satu kesatuan secara utuh dalam
Metafora Lingkungan Hidup | 53
memainkan perannya dalam kajian ekolinguistik. Tiga dimensi
sosial praksis dimaksud mencakup dimensi ideological, dimensi
biological, dan demensi sosiological. Untuk melihat keterkaitan
metafora ekosistem pada lembaran berikut ditampilkan gambar
kerangka metafora ekosistem dan beberapa contoh metafora yang
dapat dijabarkan.
54 | D r . N u z w a t y , M . H u m
interdependence
diversity
environment
Bentuk Metafora
Karakteristik Metafora
Klasifikasi Metafora
BIO-
LOGIKAL SOSIO-
LOGIKAL
IDEO-
LOGIKAL
RANAH SUMBER
Teori Kovecses
(2006)
RANAH TARGET
Teori Kovecses
(2006)
METAFORA
Teori Kovecses
(2006)
Metafora Lingkungan Hidup | 55
Kerangka metafora ekosistem tersebut diatas dapat
dijabarkan dalam diskripsi berikut dengan bentuk kolaborasi
dalam interelasi ketiga parameter ekolinguistik dan tiga dimensi
sosial praksis dalam sebuah wujud metafora seperti pada contoh
metafora Bahasa Aceh yang berasal dari kelompok flora yaitu
Tukok ue rhot pureudee yang secara harfiah bermakna pelepah
kelapa akan jatuh ke pangkal pohon. Secara alamiah pohon
kelapa tumbuh tinggi menjulang dan semakin jauh dari
permukaan bumi. Namun setinggi apaun pohon kelapa tersebut
tumbuh jika sudah tua, pelepah kelapa akan jatuh ke pangkal
pohon. Peristiwa alamiah ini di tranformasikan ke peristiwa yang
dilakukan manusia dalam hal kepergian seseorang untuk
merantau meninggalkan tanah kelahiran dengan tujuan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Generasi muda di beberapa wilayah di Aceh pada umumnya
gemar merantau, meninggalkan kampung halaman untuk mencari
sumber kehidupan yang lebih baik. Ketika sudah berhasil ataupun
ketika mereka sudah merasa bahwa mereka sudah menjelang tua
lazimnya mereka akan kembali ke kampung halaman. Mereka
berusaha untuk kembali pulang ke tanah kelahiran walaupun
mereka sudah berada jauh sekali dari kampung halaman dan
sudah lama meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan
pohon kelapa yang sudah tumbuh tinggi jauh dari permukaan
bumi, suatu ketika pelepah pasti jatuh ke pangkal pohon yaitu ke
asalnya.
Parameter keterhubungan (interrelationship) yaitu
keterhubungan antara keadaan ranah sumber mengenai gugurnya
atau jatuhnya pelepah kelapa ke cabang asalnya dengan para
perantau ke kembali ke daerah asalnya atau tanah kelahirannya
56 | D r . N u z w a t y , M . H u m
terekam secara verbal dalam kognitif (dimensi ideologikal)
komunitas bahasanya. Parameter lingkungan (environtment)
antara peristiwa alamiah yang terjadi pada kehidupan pohon
kelapa secara biologis dengan kehidupan manusia yang gemar
merantau merupakan hal wajar terjadi di wilayah Aceh tersebut
(dimensi biologikal) dan merupakan dua pengalaman empiris
yang dianggap sama dalam kognitif (dimensi ideologikal) dan
kehidupan sosial (dimensi sosiologikal) komunitas Bahasa
tersebut. Semua kenyataan dan pengalaman inilah membentuk
metafora Tukok ue rhot pureudee yang menjadikan pelepah
kelapa sebagai ranah sumber dan manusia perantau yang suatu
saat pasti pulang ke kampung halamannya sebagai ranah target.
Contoh tuturan yang lazim diucapkan orang tua ataupun
sanak keluarga, ketika melepas keberangkatan seseorang adalah
seperti contoh berikut:
Bek tuo TUKOT UE RHOT PUREUDE
bek ‘jangan (tidak boleh)’
tuo ‘lupa’
Makna metaforis dari ucapan ini adalah ‘kalau sudah
merantau jangan lupa pulang kampung’. Contoh lain dapat pula
dilihat pada metafora yang berasal dari kelompok fauna yaitu
metafora yang menempatkan ekor anjing yang melengkung
sebagai ranah sumber. Metafora tersebut adalah Peuteupat ikue
asee secara harfiah metafora ini bermakna meluruskan atau
menepatkan ekor anjing, yaitu:
peteupat ‘meluruskan atau menepatkan’
ikue ‘ekor’
asee ‘anjing’
Metafora Lingkungan Hidup | 57
Secara alamiah (dimensi biologikal) ekor anjing bentuknya
melengkung dan mustahil dapat diubah bentuknya menjadi lurus.
Kecuali ekor anjing gila yang menjadi lurus karena dia mengidap
penyakit rabies. Metafora Peuteupat ikue asee mengandung
makna metaforis yang ditujukan kepada suatu hal yang sulit dan
hampir tidak mungkin dilakukan perubahan. Ikue asee sebagai
ranah sumber pada metafora Peuteupat ikue asee berisikan suatu
situasi yang sulit dilakukan dalam hal merubah watak atau
perilaku seseorang yang sudah mendarah daging. Metafora ini
dapat juga bermakna sulit sekali untuk menginsafkan seseorang
yang sejak masih kanak-kanak sudah terbiasa tidak bertanggung
jawab akan tugas dan kewajibannya, karena sifat dan wataknya
sudah demikian adanya. Sering sekali orang tua mengeluh dengan
ucapan sebagai berikut:
Han jeut ta PEUTEUPAT IKUE ASEE,
maknanya adalah: tidak sanggup atau tidak dapat kita
menginsyafkan dia (supaya dia menjadi orang yang bertanggung
jawab dengan kewajibannya)
Parameter keterhubungan (interrelationship), parameter
lingkungan (environtment), dan parameter keberagaman
(deversity) pada ranah sumber Peuteupat ikue asee yang
dipetakan kepada ranah target yaitu watak manusia yang tidak
mungkin lagi diinsyafkan yang terekam di dalam konitif (dimensi
ideologikal) komunitas berdasarkan sifat alamiah yang terjadi
pada ekor anjing yang tidak mungkin untuk diluruskan (dimensi
biologikal). Dalam kehidupan sosial (dimensi sosial) komunitas
tutur mengganggap bahwa untuk menginsafkan seseorang yang
mempunyai watak bengal dan mempunyai kebiasan buruk yang
58 | D r . N u z w a t y , M . H u m
sudah terbiasa dilakukan sejak masa kanak-kanak akan sulit
untuk diperbaiki dan diinsafkan.
Metafora Lingkungan Hidup | 59
ebuah metafora dapat digambarkan sebagai bentuk
perluasan makna dari sebuah kata atau frasa
melebihi batas makna yang sesungguhnya telah
dibicarakan sebelumnya bahwa. Batas makna dimaksud
merupakan makna yang bertujuan menjelaskan sesuatu yang
memiliki kesamaan karakter antara makna asal dan makna
perluasannya. Semua bahasa tanpa kecuali memiliki metafora
oleh sebab itu metafora sangat fundamental dalam komunikasi
manusia. Bahasa manusia bersifat dinamis sehingga penutur
bahasa senantiasa terus menerus menciptakan kreasi-kreasi baru
dalam bahasanya demikian pula halnya dengan bentuk baru
metafora yang diciptakan mengikuti perkembangan zaman.
Selaras dengan pembentukan dan penggunaannya, menurut
Kovecses (2006:120-130), Finegan (2015:188) metafora dapat
diklasifikasikan ke dalam empat klafikasi metafora. Keempat-
empat katagori tersebut pada umumnya dimiliki oleh semua
S
60 | D r . N u z w a t y , M . H u m
bahasa- bahasa dunia. Dalam pustaka ekolinguistik misalnya
metafora juga dikelasifikasikan ke dalam empat katagori, yaitu
metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora
berdasarkan fungsi kognitif, metafora berdasarkan lingkungan
alam, dan metafora dalam bentuk yang umum lihat Kovecses
(2006:127-129).
Peristilahan klasifikasi metafora berdasarkan konvensi atau
non konvensi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan istilah
konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik yang
mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan arbitrari
antara bentuk (form) linguistik dan makna. Terminologi
Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan
kesepakatan bersama yang mendasar dari anggota komunitas
bahasa untuk menggunakan bahasanya dengan mengikuti semua
norma yang berlaku pada bahasa itu. Kesepakatan tersebut
berlaku pula pada penggunaan metafora yang dimiliki oleh suatu
komunitas bahasa dalam komunikasi antar sesama pada interaksi
verbal dan non-verbal dalam kehidupan dan lingkungan sosial di
kehidupan sehari-hari.
Kesepakatan ini pada umumnya berlaku untuk semua
metafora yang dipergunakan dan ditransfer serta diwariskan dari
generasi ke generasi walaupun ranah sumber metafora tersebut
sudah tidak ditemukan lagi dan tidak dikenal oleh generasi masa
kini. Beberapa contoh metafora Bahasa Aceh, yang berasal dari
ranah sumber yang sudah tidak ditemukan karena
pengembangbiakannya sudah tidak dibudidayakan seperti pada
Metafora Lingkungan Hidup | 61
ranah sumber Boh Ara (Ficus racemosa) yang dalam bahasa
Indonesia dikenal sebagai buah tin. Bentuk metafora dari Boh Ara
adalah Boh Ara hanyot, mengandung makna harfiah ‘buah ara
hanyut’. Saat ini pohon buah ara sudah tidak lagi dijumpai di
wilayah Aceh dan banyak masyarakat desa tidak mengenal pohon
ara ini terutama dikalangan masyarakat generasi muda. Walaupun
demikian metafora Boh Ara hanyot secara konvensi masih tetap
digunakan oleh komunitas Bahasa Aceh. Metafora ini berasal dari
zaman dahulu diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga
eksistensi metafora itu masih terjaga.
Metafora lain yang dapat dijadikan contoh, dapat dilihat
pada metafora yang memiliki ranah sumber jeungki yang dalam
bahasa Indonesia disebut alat penggiling padi tradisional. Dari
ranah sumber jeungki terbentuk metafora jeungki mugee, yang
secara harfiah bermakna alat penumbuk padi yang dimiliki oleh
tengkulak. Makna motafora jeungki mugee di petakan kepada
seseorang yang memiliki sifat tamak. Metafora ini masih
digunakan walaupun jeungki mugee sudah tidak ditemukan lagi
namun metafora ini masih dipergunakan dan merupakan
pewarisan dari generasi dahulu.
Metafora lainnya yang diklasifikasikan sebagai klasifikasi
konvensi berdasarkan kesepakatan komunitas tutur Bahasa Aceh
berasal dari ranah sumber Geunuku (alat pengukur kelapa).
Metafora dari ranah sumber geunuku adalah geunuku han mata
timah yang secara harfiah bermakna ‘kukuran tanpa mata timah’.
Makna metaforis yang terkandung dalam tuturan tersebut
ditujukan kepada seseorang yang saat berpangkat orang tersebut
senantiasa bersikap sombong dan ditakuti oleh bawahannya
namun setelah orang tersebut pensiun sifat kesombongannya
62 | D r . N u z w a t y , M . H u m
hilang dan dia diremehkan, serta dianggap tidak berguna lagi oleh
masyarakatnya. Walaupun geunuku sudah tidak dikenal lagi
karena sudah digantikan oleh mesin pengukur kelapa, tetapi
metafora geunuku han mata timah masih tetap dipergunakan oleh
komunitas bahasanya secara konvensi.
Metafora Bahasa Inggris The loss of a friend is a dark cloud
over one’s life secara harfiah metafora ini bermakna kehilangan
seorang teman merupakan awan gelap diatas kehidupan
seseorang. Kehilangan seorang tidak sama dengan awan hitam
atau awan gelap. Pemahaman tentang awan gelap di dalam
kehidupan sosial komunitas Bahasa Inggris merupakan hal yang
tidak menyenangkan dan tidak diinginkan keberadaanya, karena
awan gelap tersebut memblokir sepenuhnya sinar matahari yang
sampai ke bumi yang sangat dibutuhkan manusia. Interelasi
ketidaknyamanan perasaan disebabkan oleh adanya awan hitam
dengan situasi perasaan karena kehilangan seorang terekam
secara verbal dalam kognitif komunitas tutur membentuk sebuah
metafora. Bentuk metafora ini disetujui bersama secara
konvensional oleh semua anggota komunitas Bahasa Inggris
dengan menjadikan awan gelap sebagai ranah sumber dan
perasaan tidak nyaman ketika ditinggalkan oleh seseorang
sebagai ranah target. Komunitas Bahasa Samoan dan komunitas
Bahasa Tahiti secara konvensi menjadikan perut (stomach)
sebagai ranah sumber pada metafora yang meng- ekspresikan
bentuk emosi, lihat Finegan (2015: 190).
Metafora Lingkungan Hidup | 63
Klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan alami
merupakan kriteria didasarkan kepada pengetahuan dari
pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang
terekam sebagai pengetahuan secara kolektif dalam kognitif
komunitas bahasa. Manusia melihat suatu benda atau suatu
kenyataan yang dapat dicermati dan dirasakan mempunyai
interelasi sifat yang sama atau hampir sama baik sepenuhnya
ataupun sebagian. Dari kesamaan atau kemiripan tersebut
terekspresi dalam kode-kode lingual. Interelasi keduanya terjadi
secara alami kemudian kemiripan inilah yang akhirnya dijadikan
sebagai dasar pembentukan metafora bahasa mereka.
Terbentuknya metafora secara alami berdasarkan dari hasil
pemetaan ranah sumber ke ranah target karena adanya interelasi
antara sifat, keadaan ataupun ciri yang dimiliki oleh ke-duanya.
Keterhubungan ini terlihat di dalam kehidupan dan lingkungan
sosial komunitas bahasa tersebut yang terjadi secara regular.
Maka setiap Bahasa pada umumnya memiliki perbedaan ciri-ciri
metafora antara satu bahasa dengan bahasa lainnya yang sangat
bergantung kepada lingkungan sosial budaya komunitas bahasa,
seperti misalnya metafora Bahasa Mandarin tentang waktu yang
diekspresikan bergerak dari masa lalu, sedangkan metafora waktu
Bahasa Inggris bergerak ke arah mendatang seperti pada contoh
time and tide wait for no men yang bermakna yang berlalu pasti
sudah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi atau dapat pula
dimaknai sebagai nasihat agar komunitas tutur tidak mengabaikan
atau membuang-buang waku percuma.
64 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Keberadaan metafora berdasarkan pengetahuan alami juga
berada dalam kognitif komunitas Bahasa atau komunitas tutur
yang mengganggap antara ranah sumber dan ranah target
memiliki persamaan ataupun kemiripan secara alami. Ranah
sumber dari metafora yang berada pada klasifikasi ini berasal dari
flora dan fauna di sekitar lingkungan alam desa baik yang
dipelihara, dikembangbiakkan, dibudidayakan maupun yang
hidup secara alami ataupun yang hidup liar, dan termasuk pula
flora dan fauna yang hidup di lingkungan hutan. Ranah targetnya
adalah manusia termasuk pula ke dalamnya sifat dan karakter,
serta segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia contoh
Bahasa Aceh Boh Timon (Cucumis sativus) dari rumpun flora
dipetakan ke dalam dua ranah target yang membentuk dua
kandungan makna metaforis. Pertama ranah sumber Boh timon
bongkok (mentimun bengkok) dipetakan ke ranah target yaitu
sesorang yang tidak memberikan kontribusi apaun di dalam satu
kelompok atau dalam satu organisasi, namun dengan terpaksa
orang tersebut diikutsertakan saja untuk memenuhi jumlah kuota
sebagaimana yang sudah ditentukan. Hal ini terjadi karena sudah
tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Ranah sumber Boh timon
bongkok juga dipetakan kepada pendapatan atau penghasilan
seseorang. Biasanya metafora ini ditujukan kepada nelayan yang
mendapatkan hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan dengan
hari-hari sebelumnya. Metafora ini juga berlaku pada petani yang
mendapatkan hasil lebih sedikit dibandingkan dengan hasil panen
dari hasil yang biasa diperolehnya.
Metafora Lingkungan Hidup | 65
Munculnya suatu metafora dapat termotivasi oleh
pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang
didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran
atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia
ini sebagai sarana pemetaan silang untuk menghubungkan antara
ranah sumber dengan ranah target. Metafora ke tiga ini merupan
klasifikasi metafora yang berkaitan dengan fungsi kognitif
komunitas Bahasa. Dikatakan demikian karena ranah sumber
menentukan struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang
yang ada di dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora
tersebut, seperti metafora Bahasa Indonesia kasih saying ibu
hangat. Seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa sayang. Bayi
yang dipeluk merasakan kehangatan disebabkan oleh pelukan si
ibu. Ketika di peluk fungsi afektif yang menghubungkan pelukan
ibu dengan otak bekerja dan pada waktu yang bersamaan wilayah
otak yang terhubung dengan indra perasa juga bekerja sehingga
pelukan itu terasa hangat. Contoh klasifikasi metafora
berdasarkan indera perasa dalam Bahasa Aceh Camplie Cina
(Capsicum frutescens) yang berasal dari kelompok flora yang
dalam bahasa Indonesia disebut cabai rawit dipetakan ke dalam
tiga ranah target membentuk tiga metafora. Camplie Cina
memiliki rasa pedas secara alami dijadikan sebagai ranah sumber
dalam metafora peukueung camplie Cina yang secara harfiah
bermakna memedaskan cabai rawit. Metafora ini dipetakan
kepada ranah target manusia yaitu seseorang yang sudah pintar
dan berilmu dan mengerti apa yang seharusnya dilakukannya
tidak perlu diajari lagi. Metafora peukueung camplie Cina
memilik persamaan dengan metafora Bahasa Indonesia dan
66 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Bahasa Melayu mengajari limau berduri. Kedua-dua ranah
sumber yang berbeda tersebut dipetakan kepada ranah target yang
sama. Perbedaan ranah sumber sangat bergantung kepada
kedekatan interelasi masing-masing komunitas bahasa dengan
lingkungan alami yang terekam dalam kognitif masyarakat tutur
secara regular. Seperti pada dua contoh metafora di atas, Bahasa
Aceh menempatkan peukueung camplie Cina ‘memedaskan cabai
rawit’, yang sudah pedas secara alami, sedangkan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Melayu memberlakukan mengajari limau
berduri yang sesungguhnya sudah berduri secara alami pula.
Metafora berikutnya juga menjadikan ranah sumber
camplie Cina disebabkan oleh rasa pedas yang dirasakan oleh
lidah dipetakan kepada seseorang yang gemar mengucapkan
perkataan yang menyinggung perasaan orang lain tanpa
memikirkan akibat dari perkataannya itu. Dalam kehidupan sosial
orang seperti ini tidak disenangi karena perkataannya
menyinggung perasaan mitra tutur.
Selanjutnya ranah sumber camplie cina dapat pula
memberikan makna metafora lain yaitu bergantung kepada
konteks dan situasi. Dalam situasi pertengkaran atau perkelahian,
ungkapan Peukeueng camplie Cina mengandung makna metafora
“menambah panas situasi atau membuat orang yang sedang
bertengkar menjadi lebih marah atau lebih panas hatinya
(memanas-manasi).
Klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif juga
terdapat metafora yang memiliki ranah sumber yang merujuk
kepada fungsi indera pendengaran, sebagai contoh metafora
Bahasa Aceh yang berasal dari ranah sumber berkaitan dengan
indera pendengaran adalah metafora dari kelompok flora yaitu on
Metafora Lingkungan Hidup | 67
geurusong yang dalam Bahasa Indonesia disebut daun pisang
yang sudah tua atau daun pisang yang sudah kering yang biasanya
berwarna kecoklatan. Daun pisang kering bila diremas akan
menghasilkan suara gesekan yang berisik. Suara gesekan berisik
tersebut tidak enak didengar. Kondisi daun pisang yang demikian
menjadikannya sebagai ranah sumber dan membentuk metafora
on geurusong. Ranah sumber on geurusong dipetasilangkan
kepada manusia yang mengandung makna metaforis dialamatkan
kepada seseorang yang gemar bicara sembrono atau asal-asalan
tanpa mengindahkan perasaan orang yang mendengarnya.
Perkataannya sering menimbulkan perasaan benci orang
kepadanya. Berdasarkan indera pendengaran komunitas tutur
tentang kondisi alamiah dari suara berisik daun pisang tua yang
kering yang terekam dalam kognitif memiliki persamaan secara
metaforis. Interelasi bunyi daun pisang kering tidak enak
didengar dengan bunyi ucapan semberono yang diucapkan oleh
seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat dipahami memiliki
kesamaan. Ucapan sebagai berikut lazim didengar di dalam
pertengkaran. Hei babah kah on geurusong. Makna harfiah dari
ucapan ini ‘hai mulut kamu daun pidang kering’. Sedangkan
makna metaforis dari ucapan itu adalah, ditujukan kepada mitra
tutur yang berbicara seenaknya dengan kata-kata yang tidak
terpuji tanpa memperhatikan perasaan orang yang mendengarnya.
Dari isi omongannya kadang menimbulkan fitnah.
Terbentuknya metafora dapat pula berasal dari ranah
sumber yang merujuk kepada indera pendengaran. Metafora
Bahasa Aceh dari kelompok fauna yang menempatkan ranah
sumber kambing berdasarkan indera penglihatan yaitu kameng
lam ujeun yang secara harfiah bermakna,
68 | D r . N u z w a t y , M . H u m
kameng ‘kambing’
lam ‘dalam’
ujeun ‘hujan’
kambing dalam hujan atau kambing kehujanan
Berdasarkan pengalaman empirik komunitas tutur di desa-
desa di Nangro Aceh Darussalam (NAD) ketika hari hujan
biasanya kambing berusaha lari untuk menghindar dari hujan.
Secara alami kambing takut dengan air terutama air hujan, karena
kalau hewan ini tertimpa hujan dia akan sakit dan jika di sekitar
kandang tidak diberi perapian dapat mengakibatkannya sakit
parah dan berakhir dengan kematiannya. Keadaan kambing yang
kehujanan tersebut terekam dalam kognitif komunitas tutur
membentuk satu metafora kameng lam ujeun yang
ditranformasikan atau dipetasilangkan kepada seseorang yang
hidupnya sangat melarat dan tertimpa musibah penyakit.
Kehidupan orang tersebut sangat memperihatinkan atau dapat
dikatakan tingkat hidupnya berada dalam garis kemiskinan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari banyak
diterimanya dari belas kasihan orang lain kepadanya.
Klasifikasi berdasarkan indra penglihatan ditemukan pula
pada metafora yang berasal kelompok fauna dari ranah sumber
Glang (Lubricus rubellus) yang mengandung makna metaforis
yang sama dengan metafora kameng lam ujeun. Glang dalam
bahasa Indonesia disebut cacing tanah. Hewan ini hidup dan
berkembang biak di dalam tanah. Binatang ini termasuk kedalam
katagori binatang melata, tubuhnya sangat lentur dan licin dan
lembik. Hewan yang satu ini jarang berada dipermukaan tanah.
Secara alamiah hewan ini tidak tahan dengan terik sinar matahari.
Metafora Lingkungan Hidup | 69
Bila hewan ini kebetulan terkena terik sinar matahari dia akan
menggelepar-gelepar dan biasanya berakhir dengan kematiannya.
Melihat kesengsaraan yang dialami oleh cacing muncul sebuah
metafora glang lam uroe tarek, secara harfiah bermakna cacing
di dalam sinar matahari terik atau cacing di bawah terik matahari
dipetakan pada seseorang yang tertimpa musibah yang
mengakibatkan hidupnya sangat susah dan sengsara.
Jenis berikutnya adalah metafora dikatagorikan sebagai
bentuk umum. Klasifikasi metafora bentuk umum merupakan
metafora secara umum dimiliki oleh semua bahasa yaitu
pemetaan silang dari ranah sumber yang non manusia kepada
ranah target manusia atau sebaliknya, contoh metafora Bahasa
Inggris John is a lion. ‘John seekor singa’ Metafora seperti ini
diklasifikasikan ke dalam klasifikasi metafora umum.
Peristilahan metafora umum dimaksud ditujukan kepada bentuk-
bentuk metafora sudah lazim digunakan sejak puluhan tahun yang
lalu. Metafora ini juga sering dipergunakan dalam pribahasa
(proverb), contoh Bahasa Inggris look before you leap,’lihat
sebelum melompat’ merupakan pribahasa yang ditujukan untuk
mengekspresikan sebuah nasihat kepada seseorang untuk selalu
berhati-hari sebelum melakukan suatu pekerjaan yang beresiko.
Contoh peribahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu
mendapat durian runtuh merupakan peribahasa yang juga
termasuk dalam klasifikasi metafora umum.
Beberapa pakar metafora menyatakan bahwa dalam
klasifikasi metafora secara umum ditemukan bentuk metafora
yang dianggap sebagai metafora mati (dead metaphors). Makna
70 | D r . N u z w a t y , M . H u m
metafora mati bukan ditujukan kepada metafora yang sudah
lenyap atau metafora yang sudah tidak dipergunakan lagi. Akan
tetapi metafora mati dimaksud merupakan metafora yang
dipergunakan terus menerus dan berlangsung dalam kurun waktu
yang sangat lama sehingga makna metafora yang dimilikinya
terserab ke dalam arti literal dalam khasanah repertoir bahasa
milik komunitas tutur, dan metafora jenis ini termasuk bentuk
kata umum dalam khasanah kamus bahasa tersebut, contoh
metafora yang termasuk dalam klasifikasi ini dalam Bahasa
Inggris raise our voice, drop proposal, twist arms dan back off
periksa Mercer (2004). Bentuk metafora mati di dalam Bahasa
Melayu seperti kaki tangan kerajaan, yaitu orang bekerja di
pemerintahan. Contoh dalam Bahasa Indonesia seperti tangan
kanan bupati yaitu orang yang sangat dipercaya oleh bupati
tersebut. Contoh lain yang umum dalam Bahasa Indonesia lazim
didengar seperti, besar kepala, besar harapan, besar cakap,
besar hati, menarik perkara, menarik kesimpulan, menarik
ucapan dan lain sebagainya. Metafora- metafora tersebut tersebut
sudah memilki makna literal yang sangat umum digunakan yang
termasuk di dalam inventarisasi kamus bahasa.
Metafora Lingkungan Hidup | 71
ajian ecolinguistik merupakan payung kajian
interelasi bahasa dengan lingkungan alam seperti
yang telah dibicarakan dalam bab I dan bab II.
Kajian ekolinguistik merupakan suatu paradigma terbilang baru
dalam pustaka linguistik yang bermula pada tahun 1970. Kajian
ini berawal dari sebuah pemikiran seorang pakar bernama Einar
Haugen berkebangsaan Amerika. Pakar ini berusaha
memfokuskan kajiannya pada hubungan ekologi dengan bahasa.
Pada tahun 1972 kajian interdisiplin ini dinyatakan dan disahkan
dalam sebuah seminar bahasa sebagai bagian dari kajian
interdispliner dalam ranah linguistik yang berinterelasi dengan
isu-isu ekologi. Kajian ini seterusnya disebut sebagai studi
ekologi bahasa dan pada tahun yang sama Einar Haugen menulis
buku berjudul The Ecology of Language. Pada awal tahun 1990
study ekologi bahasa dideklarasikan sebagai ecolinguistics
(ekolingistik) dalam sebuah konferensi Bahasa yang bernama
AILA di Thessaloniki, Yunani.
K
72 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Studi ekologi bahasa sesungguhnya dapat pula dipahami
sebagai sebuah kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan
lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu
digunakan, periksa Haugen (1972:323). Pada masa itu, Haugen
berupaya menggunakan analogi yang berasal dari parameter
ekologi dan lingkungan dalam menelaah metafora yang dikenal
sebagai metafora ekosistem. Parameter ekologi dimaksud
merupakan tiga pola parameter yang paling mendasar yaitu
parameter interrelationship (kesalingterhubungan), parameter
diversity (keberagaman) dan parameter environment (lingkungan)
yang akhirnya diadopsi secara utuh dan menjadikannya sebagai
parameter ekolinguistik.
Ketiga pola parameter tersebut dimanfaatkan untuk
menjelaskan hubungan atau interelasi dan interaksi bermacam-
macam bentuk bahasa dalam hal ini metafora, yang bertalian
dengan lingkungan keberadaan bahasa baik berupa lingkungan
sosial, lingkungan budaya dan lingkungan alam itu sendiri.
Pengamatan terhadap metafora dilakukan oleh Haugen
melalui upaya untuk membuat suatu bentuk perbandingan
hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan
tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada
di lingkungan ekologi tempat (ecoregion) bahasa itu
dipergunakan. Selanjutnya Haugen juga menjelaskan kedekatan
interaksi dan interelasi kelompok komunitas penutur bahasa-
bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun
lingkungan buatan, dan juga berupaya menciptakan suatu studi
ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia
Metafora Lingkungan Hidup | 73
pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang
mereka miliki.
Pengadaan buku ekolinguistik dan sumber referensi baik
dalam Bahasa Inggris maupun dalam Bahasa Indonesia masih
sangat jauh dari yang diharapkan. Penelitian di bidang ini juga
kurang diminati oleh para pakar linguistik sehingga sumber
informasi bidang kajian sulit ditemukan. Hal ini mungkin saja
disebabkan oleh anggapan bahwa akan amat sulit untuk
mengkolaborasikan dua displin ilmu (ekologi dan bahasa) yang
sesungguhnya terpisah jauh. Namun bila dicermati lebih
mendalam maka akan kelihatan bahwa interelasi ekologi dengan
bahasa tidak hanya sebatas kepada hubungan antara bahasa dan
lingkungan alam semesta saja. Karena interelasi keduanya
mencakup semua lingkungan kehidupan manusia dengan bahasa
yang mereka miliki sebagai sarana penyampaian semua aspek
yang bertalian dengan lingkungan kehidupan mereka.
Bahasa dapat dipahami sebagai suatu produk interaksi
antara kehidupan manusia yang melibatkan semua aspek
kehidupan tersebut dengan dunia sekelilingnya. Cara seseorang
menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan
linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang
diperolehnya dari lingkungan rumah, lingkungan sosial,
lingkungan budaya, lingkungan religi dan lingkungan lainnya
merupakan realitas yang terekam dalam kognitifnya. Selanjutnya
pengalaman tersebut diaplikasikan dalam komunikasi yang
spesifik antar sesama dalam kehidupan sosialnya, periksa.
Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah
74 | D r . N u z w a t y , M . H u m
tentang dunia sekitar baik bersifat kultural maupun yang bersifat
alamiah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa metafora
merupakan kerangka dan bagian bahasa yang spesifik dalam
kehidupan manusia yang terbentuk dari wujud makna literal atau
makna harfiah ditranferkan ke wujud makna figuratif. Manusia
secara berkesinambungan menggunakan metafora dalam
komunikasi verbal dan non-verbal. Kerangka metafora pada
dasarnya merupakan perpaduan dua konsep atau dua model
kultural yang merupakan hasil proses pemetaan silang dari ranah
sumber kepada ranah target. Ranah sumber menampilkan makna
harfiah sedangkan ranah target menampilkan makna figuratif.
Proses terjadinya pemetaan silang pada dasarnya terjadi pada
tataran leksikon atau prasa, bukan dalam bentuk tuturan
sepenuhnya. Proses pemetaan silang tersebut disebabkan oleh
adanya kesaman sifat atau karakter antara wujud literal dengan
wujud figuratif dan lazimnya pemetaan silang tersebut terjadi dari
flora, fauna dan atau kondisi atau keadaan sesuatu kepada
manusia. Secara sederhana metafora dapat dipahami sebagai
suatu transfer makna leksikal dari sebuah ekpresi kepada ekpresi
lain disebabkan oleh adanya kesamaan ciri dan persamaan sifat
dari keduanya berdasarkan pada pengalaman kognitif masyarakat
tutur suatu bahasa.
Metafora menampilkan karakteristik yang terdiri atas
metafora leksikal, metafora gramatikal, metafora konseptual dan
metafora ekologis. Metafora leksikal merupakan karakter
metafora Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari
sebuah leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat
atau makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna
Metafora Lingkungan Hidup | 75
dari sebuah situasi tersebut tidak semata-mata hanya milik bahasa
tetapi milik kehidupan sosial dari sebuah komunitas bahasa.
Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora
melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural,
lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian
anggota tubuh mahluk.
Metafora gramatikal atau metafora tata bahasa merupakan
wujud kesengajangan (discrepancy) dalam realisasi fungsi
eksperensial, interpersonal, tekstual, dan logis bahasa.
Pengalaman yang lazimnya digunakan untuk suatu pengalaman
tertentu digunakan untuk pengalaman yang lain. Dengan kata
lain, metafora tersebut memberikan pengertian bahwa realisasi
yang lazim dari pengalaman (eksperensial, logis, antarpesona,
dan tekstual) dalam bentuk transivitas, klausa kompleks, modus,
tema/rema, dan kohesi tertentu direalisasikan dengan atau dalam
aspek (struktur) tata bahasa yang lain atau yang tidak lazim.
Metafora konseptual digambarkan sebagai suatu proses
pemetaan silang dua konsep yang berlangsung didalam kognitif
penutur bahasa. Konsep pertama bersifat kongkrit yang disebut
sebagai ranah sumber dan konsep ke dua bersifat abstrak yang
disebut sebagai ranah target. Pemetaan silang ke dua konsep ini
adakalanya melibatkan atau disebabkan oleh pengalaman
inderawi penutur bahasa, sebagai contoh masyarakat Inggris pada
umumnya memandang kehidupan melalui dua konsep yaitu
konsep perjalanan dan konsep kehidupan, sehingga contoh
metafora yang lazim mereka paparkan tentang kehidupan
berdasarkan hubungan yang paling erat antara dua konsep
tersebut yaitu kehidupan (life) dan perjalanan (journey) LIFE is
A JOURNEY. Hubungan kedua konsep ini terjadi secara
76 | D r . N u z w a t y , M . H u m
sistematis sehingga setiap pembicaraan yang menyangkut tentang
kehidupan akan selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan konsep
perjalanan. Interelasi dan interaksi ke dua konsep ini merupakan
hubungan yang tertata secara sistematis yang dapat digambarkan
dalam skema kognitif penuturnya.
Metafora ekologis merupakan konsep atau bentuk yang
sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu lingkungan alam,
pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan bahasa tersebut
dalam penyampainnya di sebuah komunitas bahasa. Ketiga
komponen ini berada di dalam kognitif penutur bahasa dalam
sebuah komunitas bahasa. Yang dimaksud dengan kognitif adalah
gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekpresikan
atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu
penggunaan dan pembentukan metafora ekosistem tidak hanya
bergantung kepada satu aspek saja.
Metafora ekosistem banyak bergantung kepada
sosiokultural, unsur kognitif komunitas tutur bahasa tersebut,
termasuk pula ke dalamnya waktu, situasi, dan ranah penggunaan
Bahasa yang juga memengaruhi bentuk metafora bahasa suatu.
Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti
yang terjadi pada awal abad ke sembilan belas, kebutuhan akan
air sebagai bahan pokok kehidupan secara ekslusif disejajarkan
dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money
supply ‘central water supply’. Metafora water is money, juga
sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water
is money juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral)
dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, diantaranya juga
merusak dan menggerus lingkungan.
Metafora Lingkungan Hidup | 77
Diperhatikan dari cirinya metafora dapat diklasifikasikan
ke dalam empat klasifikasi secara umum yaitu klasifikasi
metafora berdasarkan konvensi komunitas bahasa, lalu klasifikasi
metafora berdasarkan pengetahuan alami komunitas bahasa,
kemudian klasifikasi metafora berdasarkan fungsi kognitif, dan
klasifikasi metafora berdasarkan pola umum.
Pertama adalah klasifikasi metafora berdasarkan konvensi
atau non konvensi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan
istilah konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik
yang mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan
arbitrari antara bentuk (form) linguistik dan makna. Terminologi
Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan
kesepakatan yang mendasar dari anggota komunitas bahasa untuk
menggunakan bahasanya. Kesepakatan tersebut berlaku pula
pada penggunaan metafora yang dimiliki komunitas bahasa
dalam komunikasi antar sesama pada interaksi verbal dan non-
verbal dalam kehidupan dan lingkungan sosial di kehidupan
sehari-hari.
Kesepakatan ini pada umumnya berlaku untuk semua
metafora yang dipergunakan dan ditransfer serta diwariskan dari
generasi ke generasi walaupun ranah sumber metafora tersebut
sudah tidak ditemukan lagi dan tidak dikenal oleh generasi masa
kini.
Ke dua klasifikasi metafora berdasarkan pengetahuan alami
merupakan kriteria didasarkan kepada pengetahuan dari
pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang
terekam sebagai pengetahuan secara kolektif dalam kognitif
komunitas bahasa. Manusia melihat suatu benda atau suatu
kenyataan yang dapat dicermati dan dirasakan mempunyai
78 | D r . N u z w a t y , M . H u m
interelasi sifat yang sama atau hampir sama baik sepenuhnya
ataupun sebagian antara satu entitas dengan entitas lainnya dan
dari kesamaan atau kemiripan tersebut terekspresi dalam kode-
kode lingual. Interelasi keduanya terjadi secara alami kemudian
kemiripan inilah yang akhirnya dijadikan sebagai dasar
pembentukan metafora bahasa mereka.
Terbentuknya metafora secara alami berdasarkan dari hasil
pemetaan ranah sumber ke ranah target karena adanya interelasi
antara sifat, keadaan ataupun ciri yang dimiliki oleh ke-duanya.
Keterhubungan ini terlihat di dalam kehidupan dan lingkungan
sosial komunitas bahasa tersebut yang terjadi secara regular.
Maka setiap bahasa pada umumnya memiliki perbedaan ciri-ciri
metafora antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, seperti
misalnya metafora Bahasa Mandarin untuk waktu bergerak dari
masa lalu, sedangkan metafora waktu Bahasa Inggris bergerak ke
arah mendatang seperti time pass on ‘waktu terus berlalu’.
Munculnya metafora juga dapat termotivasi oleh
pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang
didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran
atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia
ini sebagai sarana pemetaan silang untuk menghubungkan antara
ranah sumber dengan ranah target. Klasifikasi metafora
berdasarkan pengalaman tubuh (bodily experience) dan
pengalaman indrawi melalui indra penglihatan, indra pendengar,
indra perasa, dan indra pengecap, yang telah dibicarakan pada bab
IV poin C. Terbentuknya metafora ini pada umumnya mengacu
kepada kehidupan flora dan fauna yang hidup ataupun benda-
benda yang ada di sekitar lingkungan tempat metafora tersebut
digunakan. Metafora jenis ketiga ini merupakan klasifikasi
Metafora Lingkungan Hidup | 79
metafora yang juga berkaitan dengan fungsi kognitif komunitas
bahasa. Dikatakan demikian karena ranah sumber menentukan
struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang yang ada di
dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora tersebut,
seperti metafora Bahasa Indonesia KASIH SAYANG IBU
HANGAT. Ketika seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa
sayang dan pada saat bersamaan bayi yang dipeluk merasa
hangat. Ini terjadi karena secara alami ketika bayi dipeluk fungsi
afektif yang menghubungkannya dengan otak bekerja dan pada
waktu yang bersamaan wilayah otak yang menghubungkan indra
perasa juga bekerja sehingga pelukan itu terasa hangat.
Klasifikasi berikutnya adalah metafora dikatagorikan
sebagai bentuk umum. Klasifikasi metafora bentuk umum
merupakan metafora secara umum dimiliki oleh semua bahasa
yaitu pemetaan silang dari ranah sumber yang non manusia
kepada ranah target manusia atau sebaliknya, contoh metafora
Bahasa Inggris John is a lion. ‘John seekor singa’ Metafora
seperti ini diklasifikasikan ke dalam klasifikasi metafora umum.
Peristilahan metafora umum dimaksud ditujukan kepada bentuk-
bentuk metafora sudah lazim digunakan sejak puluhan tahun yang
lalu dan metafora ini juga sering dipergunakan dalam pribahasa
(proverb). Pada umumnya pengalaman inderawi anggota
masyarakat dan dari kejadian-kejadian, sifat-sifat serta kondisi
(flora, fauna) yang ada di pesekitaran lingkungan alam, semua ini
terekam dalam kognitif masyarakat. Dan menjadikan semua itu
(flora, fauna dll) sebagai ranah sumber yang dipetakan melalui
parameter ekolinguistik kepada manusia atau kondisi dan
keadaan manusia sebagai ranah target. Pemetaan silang ini terjadi
karena adanya kesamaan pada ciri-ciri ataupun karakteritik
80 | D r . N u z w a t y , M . H u m
keduanya yang diperoleh secara empirik sebagai bukti empiris
yang diamati oleh anggota masyarakat.
Metafora Lingkungan Hidup | 81
Ahmad, H. Sayed Mudhahar. 1992. Ketika Pala Mulai
Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan). Tapak Tuan: Pemerintah
Daerah Aceh Selatan.
Ara, L. K. 2008. Sastra Aceh Hikayat Jenis dan
Tokohnya. Banda Aceh: Yayasan Pena
Athaillah dan Abdullah Faridan. 1984. Ungkapan
Tradisisonal sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah
Istimewa Aceh. Jalarta: DEPDIKBUD.
Barcelona dan Javier. (2007:17). An Overview of
Cognitive Linguistic. Berlin: Mouten de Gruyter
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistk
Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Chomsky, Noam. 1967. Aspect of The Theory of Syntax.
Massachusetts: The Massachusetts Institute of Technology.
Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical
Linguistics. Melbourne: Oxford University Press.
Cruse, D Alan. 2000. Meaning in Language: An
Introduction to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford
University Press.
Denzin, Norman. K dan Lincoln, Yvonna. S. 2009.
Handbook of Qualitative Research: Seri Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
82 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Eggins, Suzanne. 1996. An Introduction to Systemic
Functional Linguistics. London: Pinter.
Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (Eds). 2001. The
Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment.
London and New York: Continuum.
Finegan Edward and Niko Besnier. 2015. Language: Its
Structure and use. Florida: Harcourt Brace Jovanovich, Inc
Fishman, Joshua.A. 1979. The Sosiology of Language.
Massachussetts: Newbury House Publisher Rowley.
Goatly Andrew. 1997. The Language of Metaphors.
London and New York: Routledge.
Grix, Jonathan. 2004. The Foundations of Research.
New York: Palgrave Macmillan.
Halliday, M. A. K. 2001. Language as Sosial Semiotic:
The Sosial Interpretation of Language and Meaning. London:
Edward Arnold.
Halliday, M. A. K. 2004. An Introduction to Fungtional
Grammar. London: Edward Arnold.
Hasjim M. K. 1977. Peribahasa Aceh. Banda Aceh:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh.
Haugen, Einer. 1972.The Ecology of Language.
Standford, CA: Standford University Press.
Heine, Bernd. 1997. Cognitive Foundation of Grammar.
New York: Oxford University Press.
Keller, Rudi.1998. A Theory of Linguistic Signs. New
York: Oxford University Press.
Metafora Lingkungan Hidup | 83
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta:
Kompas.
Kovecses, Zoltan. 2006. Languange, Mind, And Culture:
A Practical Introduction. New York: Oxford University Press.
Kridaklasana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi
Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We
Live By. Chicago: Chicago University Press.
Lindo, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard. 2000.
Dialectical Ecolinguistics: Three Essays for The Symposium 30
Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense:
University of Udense. Research Group for Ecology, Language
and Ideology Nordisk Institut.
Lyons, John. 1995. Introduction to Theoretical
Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press
M.K, Hasyim. 1969. Himponan Hadih Madja. Banda
Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dasar Provinsi Daerah
Istimewa Atjeh
M.S, Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa:
Tahapan srategi, metode, dan tekniknya. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Mbete, Aron Meko.2002. Ungkapan- Ungkapan dalam
Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan.
Jurnal Linguistika: Wahana Pengembangan Cakrawala
Linguistik.Tahun 2002 Volium 9. Denpasar: Program Studi
Magister dan Doktor Linguistik Udayana.
Mbete, Aron Meko. 2011. Eko Linguistik: Perspektif
Kelinguistikan yang Prospektif. Kendari: Bahan Pembelajaran
Awal Ekolinguistik Program Pascasarjana Universitas Haluoleo.
84 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Mbete, Aron Meko. 2013. Penuntun Singkat Penulisan
Proposal Penelitian EKOLINGUISTIK. Denpasar: Vidia.
Mercer, Neil. 2004. Words and Minds how we use
language to think together. London and New York: Routledge.
Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1992.
Qualitative Data Analysis. dialihbahasakan oleh Tjetjep Rohendi
Rohidi. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia.
Mishra, K Mahendra 2000. Sacred Worldview in Tribal
Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions. Nordisk:
University of Odense
Moleong, Lexi. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mubin dan Ani Cahyadi. 2006. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Quantum Teaching
Mufwene, Salikoko. S. 2004. The Ecology of Language
Evolution. Chicago: Cambridge University Press.
Muhajir, H. Noeng. 2011. Metodologi Penelitian Edisi
VI Pengembangan 2011. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Muhlhausler, Peter. 2003. Language of Environment-
Environment of Language. A Course in Ecolinguistics, London:
Battlebridge
Nahak, M,M. Namok. 2019. Teks Ke-batar-an Guyub
Tutur Tetun Fehan, Kabupaten Malaka, Timor, Provinsi Nusa
Tenggara Timur: Kajian Ekolinguistik. Denpasar: Universitas
UDAYANA
Nuzwaty, dkk. 2014. Metaphorical Expression of
Bahasa Aceh in Trumon of South Aceh: Ecolinguitics Study.
Dalam IOSR jounal of Humanities and Social Science Volume 19
Issue:11 (version- III). Tersedia dari: www.iosrjournals.org
Metafora Lingkungan Hidup | 85
Nuzwaty. 2016. Keterhubungan Antara Kehidupan
Manusia Dengan Dunia Fisik-Biologis Alam Semesta
Diekpresikan Dalam Ungkapan Metaforik Pada Komunitas Tutur
Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik. Dalam
Tutur Jurnal Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal Vol 3, No.1,
Februari 2017. Tersedia dari: http://tutur.apbl.org/ind
Nuzwaty. 2019. Pengenalan Awal Ekolinguistik.
Medan: Sastra UISU Press.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik: Memahami
Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta:
Kesaint Blanc
Ricouer, Paul. 2005. The Interpretation Theory:
Discourse and the surplus Meaning.Texas: The Texas Christian
University Press.
Saragih, Amrin. 2004. Metafora Tata Bahasa.
Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik UTARA 3 Medan:
Masyarakat Linguistik Utara.
Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial.
Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Shukla, Shaligram dan Linton, Jeff Connor. 2006. An
Introduction to Language and Linguistics. New York: Cambridge
University Press.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran,
dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.
Sinar, Tengku Silvana. 2010. Teori dan Analisis
Wacana: Pendekatan linguistik Sistemik Fungsional. Medan:
Pustaka Bangsa Press
Siregar, Bahren Umar. 2003. Membingkai Kompleksitas
dengan Metafora: Di Luar Pemetaan Konseptual dan Pemaduan
86 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Konseptual. Kumpulan Makalah Pertemuan Linguitik UTARA 2.
Medan: Masyarakat Linguistik Utara.
Siregar, Bahren Umar. 2004. Metafora, Metonimi, dan
Polisemi. Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik UTARA 3
Medan: Masyarakat Linguistik Utara.
Siregar, Bahren Umar. 2005. Jeruk Kok Minum Jeruk:
Gejala Metaforis Dan Metonimisasi Dalam Bahasa Indonesia.
Jurnal Ilmiah Masyarakat Indonesia, Tahun ke 23, nomor 2.
Jakarta: MLI dan Yayasan Obor Indonesia.
Siregar, Bahren Umar. 2007. Metaphors of Governance
in The Language of The Indonesian Press’. Kajian Linguistik,
Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa, Tahun Ke 4, nomor 1. Medan: Ikatan
Alumni Linguitik dan Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana USU.
Stern, Josef. 2000. Metaphors in Context.
Massachusetts: Institute of Technology.
Sufi, Rusdi dan Wibowo Agus Budi. 2007. Ragam
Peralatan Tradisional pada Masyarakat Aceh. Banda Aceh:
Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sugiarto, Bambang I. 2006. Postmoderenisasi:
Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukhrani, Dewi. 2010. Leksikon Nomina Bahasa Gayo
dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik.
Medan: Program Pascasajana USU, Tesis tidak dipublikasikan
Susilo, Rachmad K. D. 2008. Sosiologi Lingkungan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syamsuddin, T dan Razali Umar. 1985. Upacara
Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan
Metafora Lingkungan Hidup | 87
Kepercayaan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan kebudayaan
Verhaar, J.W.M. 2006. Asas Asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Webster, Jonathan J. 2006. The Language of Science.
London: Continuum.
Rujukan dari Internet:
http://acehpedia.org/Macam_Bahasa_Aceh#Bahasa_Ac
eh,
Hendra, Jajang. 2008. Semiotika Dibalik Tanda dan
Makna; Telaah atas Pemikiran Ferdinand de Saussure
http://jajanghendra.wordpress.com/2008/12/01/.
Mbete, Aron Meko.2009. Ragam Bahasa Bali yang
sekarang tidak umum http://linguistics1.blogspot.com/
2009/01/ekolinguistik.html
88 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap kajian
ekolinguistik dalam buku ini, maka berikut ini ditampilkan
beberapa istilah ataupun terminologi yang kerap digunakan di
dalamnya.
A
AAVE: African American Vernacular English yaitu
bahasa bahasa vernakular atau bahasa keseharian yang
digunakan oleh masyarakat kulit hitam di Amerika.
Bahasa ini juga dianggap sebagai dialek dari bahasa
Inggris di Amerika.
Abo: Siput, binatang kecil melata di pinggir pantai,
termasuk ke dalam spesies amphibi.
Analogi: Dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar
bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk- bentuk
yang lain
Angen: Angin
Asam Sunti: Belimbing wuluh yang sudah dijemur dan
dikeringkan
Anomali: Penyimpangan dari keadaan normal
B
Bahasa lingkungan: Bentuk kosa kata atau leksikal
yang digunakan untuk pelestarian lingkungan alam,
pencemaran alam, pengrusakan hutan.
Bang-bang: Suara pintu diketuk, buara tembakan.
Batar: Jagung
Bu kulah: Nasi dibungkus berbentuk piramida yang
dijadikan sajian untuk upacara jamuan pada acara
perkawinan, tujuh bulanan
Metafora Lingkungan Hidup | 89
Bu phet: Lepat dari tepung beras
Bu leukat: Ketan
Bu leumak: Beras yang dimasak dengan santan (nasi
lemak), dimakan bersama lauk pauk, dan biasa
disajikan untuk sarapan pagi
Bu kanji: Bubur nasi yang dimasak bersama rempah-
rempah dan daging ayam, daging sapi, udang dan
cumi-cumi. Pangan ini biasanya dihidangkan saat
berbuka puasa. Panganan ini hkusus untuk bulan
Ramadhan
Bu kuneng: Lepat yang diisi dengan pisang di
dalamnya.
Bu leugok: Sejenis kudapan yang dibungkus dengan
daun pisang
Buya: Buaya
C
Camplie cina: Cabai rawit atau cabai kecil yang
rasanya sangat pedas
D
Dimensi ideologis (ideological dimension): Hal yang
berkaitan dengan pikiran manusia dan pemahaman
manusia tentang segala sesuatu yang terekam dalam
kognitif, mental, ideologi, dan sistem psikis
Dimensi sosiologis (sociological dimension): Hal yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat,
termasuk ke dalamnya adalah rasa saling mengenal,
saling menyayangi, saling membenci.
Dimensi biologis (biological dimensional): Sesuatu
hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan
90 | D r . N u z w a t y , M . H u m
segala sesuatu yang terdapat dalam alam, termasuk ke
dalamnya lingkungan alam dan hidup berdampingan
dengan spesies lain yaitu flora, fauna.
Domain: Ranah
Dua: Dua
E
Ecoregion: Wilayah atau daerah tertentu
Ekolinguistik: Kajian yang menyandingkan kajian
linguistik dengan ekologis. Kajian ini juga sebuah
kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan
lingkungannya.
Epiphora: Perulangan kata pada kalimat berurutan
F
Fisei:
Fini batar: Upacara adat saat penyemaian jagung
Fukun: Tetua adat yang memimpin upacara
penanaman jagung.
G
Greusong: Kering
H
Han: Tidak, bukan
Hana: Tidak ada
Hindlish: Dialek Bahasa Inggris yang dipergunakan
oleh masyarakat Bahasa India
Hubungan ontologis: Interelasi yang melibatkan
entitas dalam dua ranah dalam kesamaan sifat.
Hubungan epistimik: Melibatkan hubungan
pengetahuan tentang kedua entitas yang
Metafora Lingkungan Hidup | 91
menggambarkan adanya kesamaan ciri atau sifat
keduanya.
J
Jeungki: Alat penggiling padi tradisional (Bahasa
Aceh)
K
Kayee: Kayu, pohon
Kreol: Bahasa ibu bagi sekumpulan komunitas bahasa
yang berbeda-beda (bahasa campuran)
Kokorico: Ayam berkokok
L
Laen: Lain atau selain dari
Laot: Laut
Lam: Di dalam
Lhok: Lubuk
Lingkungan bahasa: Lingkungan budaya, lingkungan
sosial masyarakat tutur.
Lingkungan fisik: Merupakan lingkungan alam,
geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim,
biota, curah hujan, lingkungan sosial dan lingkungan
budaya berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan
aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama,
etika, politik.
Logos: Ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta
dan non eksakta
M
Mumeet: Bergerak, bergeser
Meung: Kalau, jika
92 | D r . N u z w a t y , M . H u m
N
Na: Ada
Nomos: Peraturan atau hukum
O
Oikos: Lingkungan
On: Daun
Oru: Pinus
P
Paleolithikum: Zaman batu atau Zaman prasejarah
Pane: Bagaimana
Part of speech: Kelas kata dalam tata bahasa.
Pat: Tempat, kediaman
Parameter ekolinguistik: Dimensi keterkaitan antara
bahasa dengan lingkungan alam dan lingkungan
sosial masyarakat atau masyarakat tutur, entitas yang
biotik dan yang abiotik
Parameter keterhubungan atau parameter
kesalingterhubungan (interrelationship): Gambaran
tentang hubungan timbal balik antara makhluk di
suatu lingkungan alam dengan ekologinya
(ecoregion) yang dapat terpantul pada kode-kode
leksikal.
Parameter keberagaman (diversity): Keberagaman
yang ada didalam perbendaharan kosa kata sebuah
bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan
lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat
bahasa itu berada dan digunakan.
Parameter lingkungan (environment): Parameter yang
menjelaskan adanya hubungan antara ekologi dengan
Metafora Lingkungan Hidup | 93
spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora,
serta seluruh kandungan mineral yang berada di suatu
lingkungan ekologi
Pemetaan atau pemetaan silang ranah (cross domain
mapping): Transformasi dari ranah sumber kepada
ranah target dalam pembentukan metafora.
Pengalaman tubuh (bodily experience): Pengalaman
empirik yang dialami oleh tubuh manusia dan juga
yang dialami melalui inderawi manusia.
Piih: Menggiling cabai mengunakan batu penggiling
R
Ranah sumber (source domain): Pola acuan atau
rujukan dalam pembentukan metafora
Ranah target (target domain): Sasaran yang
menjadikannya sebagai metafora.
U
Udep: Hidup
W
Wedhus: Domba, kambing biri-biri
Wedhus gembel: Domba berbulu tebal
Z
Zoon politicon: Mahluk bermasyarakat (manusia)
94 | D r . N u z w a t y , M . H u m
Nuzwaty dilahirkan 23 Juli 1955 di Medan, Sumatera Utara.
Meraih gelar Sarjana tahun 1981, Magister Humaniora tahun
2002, dan gelar Doctor tahun 2014 pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan. Mengikuti Program
Sandwich like dari DIKTI ke Leiden Universiteit, Leiden,
Netherlands tahun 2011.
Pernah mengajar di ESL Galang Refugee Camp, Camp Pengungsi
Vietnam Pulau Galang Riau tahun 1982, mengajar di Fakultas
Sastra Univeritas Sumatera Utara, Medan tahun 1983-1987,
mengajar Bahasa Indonesia untuk expatriate Mobil Oil Indonesia
Lhoksukon, Aceh, mengajar di FISIP Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe tahun 1989-1999. Saat ini mengajar di FISIP
Universitas Islam Sumatera Utara dan Fakultas Sastra Universitas
Islam Sumatera Utara, Medan.
1. Metaphorical Expression of Bahasa Aceh in Trumon of
South Aceh: Ecolinguistics Study pada Jurnal Internasional
IOSR Journal of Humanities and Social Science, 2014.
2. Modals Used by the Speech Community of Bahasa Kualuh
in Interpersonal Interactions pada Jurnal Internasional IOSR
Journal of Humanities and Social Science, 2016.
Metafora Lingkungan Hidup | 95
3. Assimilatory Process of Sound Changes from Proto-
Austronesian to Bahasa Aceh pada International Journal of
Linguistics & Communication, 2016.
4. Keterhubungan antara Kehidupan Manusia dengan Dunia
Fisik Biologis Alam Semesta Diekspresikan dalam
Ungkapan Metaforik pada Komunitas Tutur Aceh, di Desa
Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik pada Jurnal
TUTUR Cakrawala Kajian Bahasa-Bahasa Nusantara, 2017.
5. Sekilas Gambaran Tentang Ekolinguistik dalam Bingkai
Hubungan Bahasa dan Ekologi pada Buku Rona
Bahasa,2017.
6. Language Choice By Bilingual Speech Community of
Acehnese in Family Domain in Medan: A Case Study pada
International Journal Of Applied Linguistics and English
Literature, 2019.
7. Lexical Markers of Evidentiality on Vernacular Malay
Dialect Used By The Speech Community of Kualuh pada
Utopia Journals 2020.
1. Linguistik Fungsional dan Linguistik Kognitif, (ISBN 978-
602-50834-4-0) 2018.
2. Pengenalan Awal Ekolinguistik, (ISBN 978-602-50834-2-6)
2019.
3. Kajian Linguistik pada Tatanan Fonologi, Morfologi, dan
Semantik, (ISBN 978-602-50834-3-3) 2019.