Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua ......3) Badan Pembantu Pelayanan: BPP...
Transcript of Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua ......3) Badan Pembantu Pelayanan: BPP...
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA KURIKULUM KATEKISASI SIDI
JEMAAT GMIT KAISAREA BTN KOLHUA DITINJAU DARI PERSEPEKTIF
PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE
3.1 Pengantar
Kita tidak dapat berbicara mengenai Gereja tanpa berbicara mengenai misi. Gereja tidak
hadir untuk dirinya sendiri, namun untuk suatu tugas tertentu. Misi gereja ini bersumber pada
suatu visi besar yang nampak dalam pewartaan Kristus. Dalam pengajaran-Nya, Kristus
memberitakan bahwa Pemerintahan Allah yang adil, yang membawa damai sejahtera dan
memulihkan segenap ciptaan itu sedang datang ke dalam dunia. Seluruh daya dan upaya misi
gereja diarahkan untuk melayani visi Kristus tersebut.1
Salah satu cara gereja dalam melaksanakan misi tersebut adalah melalui kesaksian (Marturia)
yang memberi ruang untuk menyaksikan nilai dan kuasa penyelamatan Kristus melalui dialog
yang jujur dengan sesama.2 Tugas kesaksian ini dapat dinyatakan melalui tugas pengajaran
gereja seperti Pelayanan Anak dan Remaja, khotbah, katekisasi, dan juga berbagai bentuk
kesaksian lainnya yang dapat dinyatakan dalam kehidupan bergereja maupun dalam
kesaksian di tengah masyarakat Dialog tersebut hanya dapat terjadi apabila dalam
menjalankan tugas pengajarannya gereja mampu memberi kebebasan bagi anggota jemaat
dalam merefleksikan iman percaya mereka.
Jemaat GMIT Kaisarea telah memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai pewarta
Kristus di tengah dunia. Kesadaran tersebut diwujudkan dalam pelaksanakan pelayanan yang
berpedoman pada Tata Dasar GMIT mengenai Panca Pelayanan gereja. Salah satu bentuk
1 Majelis Sinode GMIT, Kumpulan Tata Dasar Dan Peraturan-Peraturan GMIT, 30.
2 Kumpulan Tata Dasar Dan Peraturan-Peraturan GMIT, 31.
pelayanan pewartaan yang dilaksanakan gereja adalah Katekisasi sidi. Katekisasi
dilaksanakan guna membekali iman dari pemuda-pemudi gereja untuk dapat bertumbuh
dewasa dalam iman sehingga mampu untuk mempertanggung-jawabkan imannya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka pada bagian ini, penulis akan memuat temuan data
empiris di lapangan mengenai Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN
Kolhua dan kemudian menganalisisnya berdasarkan teori Pedagogi Pembebasan Paulo Freire.
Pemilihan Jemaat GMIT Kaisarea didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu, yang
pertama karena berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Sinode, Penulis mendapat
informasi bahwa Jemaat Kaisarea merupakan salah satu jemaat GMIT dengan pelaksanaan
katekisasi sidi yang masih kurang baik. Yang kedua adalah, berdasarkan pengamatan Penulis,
Jemaat Kaisarea sebagai salah satu gereja yang telah cukup lama melaksanakan Katekisasi
Sidi, masih memiliki beberapa kelemahan dalam proses pengajaran katekisasi sidi yang
membebaskan.
Pembahasan bab ini dibagi menjadi beberapa bagian untuk menjawab rumusan masalah.
Bagian pertama yaitu gambaran umum Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua disertai dengan
poin-poinnya, dan analisa Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea ditinjau dari
Perspektif Pedagogi Pembebasan Paulo Freire disertai dengan poin-poin pembahasannya.
3.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.2.1 Profil Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua
Jemaat Kaisarea BTN Kolhua merupakan salah satu Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor,
yang berada di wilayah pelayanan Klasis Kupang Tengah. Cikal bakal berdirinya Jemaat ini
dimulai dengan inisiatif dari tiga keluarga yang menjadi warga perumahan Lopo Indah
Permai BTN Kolhua, yaitu keluarga I Nyoman Mertha Yasa, keluarga Edmundus Josef Klau
dan keluarga Pieter Agustinus Ahab untuk mengadakan Kebaktian Anak dan Kebaktian
Remaja (KAKR) bagi anak-anak mereka, dengan pengajarnya pada saat itu adalah ibu
Petrosina R. Klau-Lubalu dan nona Paulina Ahab. Kebaktian ini dimulai pada 16 Oktober
1988. Selanjutnya, dimulailah pertemuan-pertemuan dalam rangka membentuk Jemaat GMIT
yang dikoordinir oleh bapak Os Mada.3
Dalam rangka melaksanakan pelayanan Firman Tuhan bagi Jemaat GMIT penghuni
Kompleks KPR BTN Kolhua dan rencana pembentukan Jemaat, maka dibentuklah Badan
Koordinasi yang diketuai oleh bapak Benny Johan Amalo. Sesuai dengan Peraturan GMIT,
maka untuk menjalankan roda pelayanan bakal jemaat ini harus berada di bawah koordinasi
salah satu Jemaat GMIT yang terdekat. Untuk itu, diadakan pendekatan kepada Ketua Majelis
Jemaat Bethesda Maulafa, Pdt. Antonia Ruth Belandina Nalle-Adutae. Dari hasil pendekatan
itu, didapatkan kesepatakan untuk memulai persekutuan Jemaat GMIT di Kompleks KPR
BTN Kolhua dalam bentuk ibadah rumah tangga dan ibadah-ibadah lainnya sesuai
kebutuhan. Ibadah rumah tangga untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal 2 Juni
1989 di rumah bapak Os Mada, dengan jumlah jemaat yang hadir sebanyak 44 orang.4
Dalam masa persiapan menuju pada pendirian Jemaat mandiri, mulai dibentuk Badan
Pengurus Pemuda dan Badan Pengurus Wanita. Keabsahan tentang pelayanan di Jemaat
GMIT Kaisarea secara de facto telah diakui terhitung sejak tanggal 17 Maret 1990.
Selanjutnya secara de jure, ditandai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Ketua Majelis
Sinode GMIT No. 296 A/II.2/1990, tangga 30 November 1990 yang menetapkan bahwa
terhitung mulai 1 Desember 1990 status Mata Jemaat “Kaisarea” KPR BTN Kolhua, sebagai
3 Sekilas Sejarah Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua, 1.
4 Sekilas Sejarah Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua, 1.
Jemaat Dewasa/Mandiri. Dengan demikian, hingga saat ini perjalanan pelayanan di Jemaat
GMIT Kaisarea BTN Kolhua telah berlangsung kurang lebih 25 tahun.5
Jumlah warga Jemaat GMIT Kaisarea hingga saat ini mencapai ± 575 KK atau sekitar 2.300
jiwa. Dari jumlah ini hampir 90-95% merupakan jemaat aktif, dan sisanya 5-10% merupakan
partisipan akan tetapi tetap dilayani oleh GMIT Jemaat Kaisarea secara reguler. Para anggota
jemaat ini tersebar dalam delapan rayon pelayanan, dengan sebaran jumlah KK antara 39 KK
s/d 110 KK. Mereka berasal dari berbagai latar belakang etnis di Indonesia, yaitu: Timor,
Helong, Rote, Sabu, Alor, Sumba, Flores, Jawa, Batak, Nias, Manado, Toraja, Dayak, dan
etnis lainnya. Sejak tahun 2012, Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua dilayani oleh tiga orang
pendeta dan dibantu oleh kurang lebih 160 orang penatua, diaken dan pengajar. Bentuk
organisasi pelayanan, tetapi mengikuti Peraturan Pokok tentang Jemaat dan Tata GMIT,
yakni terdiri dari Ketua Majelis, Majelis Jemaat Harian, Badan Pembantu Pelayanan, dan
Unit Pembantu Pelayanan dan Jemaat sebagai suatu kesatuan yang utuh.6
Dalam mendukung kelancaran pelayanan organisasi dan ketatausahaan serta bentuk
pelayanan lainnya, Jemaat GMIT Kaisarea dibantu oleh sejumlah karyawan gereja yang
terdiri dari Koordinator Tata Usaha, Staf administrasi umum, Staf administrasi keuangan,
koster, operator sound system, sopir dan satuan pengamanan. Di samping pelayanan rutin,
baik oleh Majelis Jemaat Harian, Komisi-komisi, Badan Pengurus Teritorial, Kategorial dan
Fungsional, dilakukan juga pengembangan pelayanan Jemaat dalam bidang pendidikan,
kesehatan dan kesaksian, didirikanlah TK Kaisarea pada tanggal 18 Agustus 1991; Pos
Pelayanan Kesehatan yang mulai dioperasikan sejak bulan Mei 2000, dan Radio Kaisarea
Voice yang didirikan pada tanggal 5 Februari 2004.7
3.2.2 Bentuk Penatalayanan Dan Pengorganisasian GMIT Jemaat Kaisarea
5 Sekilas Sejarah Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua, 2.
6 Dokumen Gereja: Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhua Tahun 2015, 5.
7 Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhua Tahun 2015, 5.
GMIT menerima prinsip presbiterial sinodal di mana secara kelembagaan GMIT bukanlah
„gereja dunia/universal‟ seperti gereja Katolik Roma. GMIT pun tidak dipimpin secara
hirarkis oleh satu orang di puncak kepemimpinan gereja melainkan dipimpin secara kolektif
oleh beberapa/banyak orang yang disebut konsistorium/presbiterium/kemajelisan. Aspek
sinodal berarti bahwa masing-masing jemaat tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan
berkomitmen untuk berjalan bersama dalam iman dan pelayanan. Konsekuensinya GMIT
mengenal jemaat, klasis dan sinode. Hubungan antar jemaat diatur dalam ikatan klasis dan
sinode tersebut yang diwujudkan melalui persidangan para pejabat gereja. Dalam pembagian
tugas pelayanan, tugas Majelis Jemaat adalah mengelola pelayanan di masing-masing jemaat
sedangkan tugas Majelis Klasis dan Majelis Sinode mengelola hal-hal yang berhubungan
dengan kebersamaan/keseluruhan. Klasis dan Sinode serta Badan-badan Pembantu Pelayanan
Klasis dan Sinode memiliki tugas untuk mendorong dan memfasilitasi terwujudnya bantuan
antar Jemaat-jemaat GMIT.8
Di dalam organisasi kerja Jemaat Kaisarea BTN Kolhua diberlakukan kesatuan pimpinan dan
tanggung jawab. Hal ini berarti tidak ada peluang bagi warga jemaat, baik yang berjabatan
Pendeta maupun yang bukan berjabatan Pendeta untuk bertindak di dalam organisasi Jemaat
menurut kehendaknya sendiri. Akan tetapi harus taat kepada kesepakatan berupa keputusan
dan kebijakan-kebijakan oleh Jemaat dan Majelis Jemaat/Majelis Jemaat Harian. 9
Kinerja
pelayanan yang ditampilkan mengacu pada Panca Program Pelayanan, yang meliputi bidang
Koinonia, Diakonia, Marturia, Liturgia, dan Oikonomia. Sinode GMIT kemudian
memperluas program pelayanan jemaat melalui Badan Pembantu Pelayanan dan Unit
Pembantu Pelayanan.
Secara sederhana, susunan organisasi jemaat GMIT Kaisarea terdiri dari:
1) Persidangan Jemaat;
8 Tata Dasar GMIT dan Peraturan-Peraturan GMIT, 18 – 19.
9 Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhuan Tahun 2015, 16.
2) Majelis Jemaat;
3) Badan Pembantu Pelayanan: BPP Pembangunan, BPP Hari Raya Gerejawi,
BPP Radio Kaisarea Voice;
4) Unit Pembantu Pelayanan: UPP Diakonat, UPP Kesaksian, UPP
Peribadahan, UPP Musik Gereja, UPP Pembinaan Warga Jemaat (sub UPP
Pendidikan dan Pelatihan, sub UPP Katekisasi) , UPP Anak dan Remaja,
UPP Pemuda, UPP Perempuan, UPP Pria, UPP Lanjut Usia, UPP Kesehatan,
UPP Tata Usaha, UPP Perencanaan, Evaluasi dan Pengembangan, UPP
Perbendaharaan (sub UPP Harta Milik, sub UPP Kerumahtanggan)
5) Badan Pengurus Kategorial dan Fungsional Jemaat.
3.3 Dasar Pengajaran Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua
Dengan berlakunya Tata GMIT tahun 2010 yang dilengkapi dengan seperangkat Peraturan
Pokok dan Peraturan Pelaksanaan, maka dalam pembinaan kehidupan rohani para warganya,
Jemaat GMIT Kaisarea tetap berpegang teguh pada keyakinan iman bahwa:10
1. Firman Allah yang termaktub dalam Alkitab: Kitab Perjanjian Lama dan Kitab
Perjanjian Baru;
2. Pengakuan Iman Oikumenis;
3. Pengakuan Iman GMIT
4. Pengajaran yang dianut GMIT
Pengajaran yang dianut GMIT sendiri pada mulanya merupakan warisan Gereja Hervormd
Belanda yang pada abad ke-16 masuk ke Nusa Tenggara Timur. Kebiasaan yang dipakai
oleh Gereja-Gereja di Eropa dalam bidang pendidikan dan pengajaran dibawa masuk oleh
pendeta-pendeta zending ke Indonesia dan dipakai dalam Jemaat-Jemaat di sini. Pengaruh ini
10
Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhuan Tahun 2015, 5.
dibawa melalui pendirian sekolah oleh Belanda yang dikenal dengan nama STOVIL (School
tot Opleiding van Inlandsleeraren).
“STOVIL atau Sekolah Pelatihan Guru Pribumi di Mokdale, Baa, pulau Rote. STOVIL didirikan di
Mokdale pada tahun 1903 oleh Le Grand. Sekolah ini melatih guru-guru pribumi dan pembantu
pendeta untuk dikirim ke seluruh residensi di NTT (waktu itu disebut Sunda Kecil). Indische Kerk,
atau gereja negara pada waktu itu memang memberikan perhatian kepada pulau Rote. STOVIL
kemudian dipindahkan ke Kupang tahun 1926 dan selanjutnya ke SoE tahun 1936.”11
Pada masa VOC, gereja-gereja yang ada di Indonesia merupakan gereja negara yang
dijalankan berdasarkan tradisi dan aturan gereja Belanda. Pendeta-pendeta GMIT pada masa
itu merupakan hasil didikan dari pada zending atau pendeta Belanda yang memimpin di
GMIT. Mereka awalnya dididik dalam sekolah STOVIL untuk membantu tugas pelayanan
termasuk mengajar dari para pendeta Belanda. Lulusan STOVIL ini bertugas untuk
membantu tugas pelayanan dan pengajaran di gereja-gereja maupun sekolah rakyat yang
didirikan oleh para zending.
Awal masuknya katekisasi sendiri di Indonesia berhubungan erat dengan pengajaran agama
di sekolah. Dalam Sidang Raya Agung yang diselenggarakan pada tanggal 6 agustus – 2
Oktober 1624 di Betawi ditetapkan bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan
Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah-sekolah dan untuk mengajaran agama
selanjutnya anak-anak harus mengunjungi pengajaran katekisasi Gereja”. Pengajaran lanjutan
yang dilakukan di gereja yang diberikan oleh pendeta-pendeta.12
Seiring dengan berjalannya waktu, pengajaran warisan Belanda ini lalu berkembang secara
dinamis sesuai respon GMIT terhadap perubahan lingkungan pelayanannya dan sekaligus
dalam kesetiaan kepada tradisi reform.13
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan katekisasi yang diselanggarakan di GMIT awalnya merupakan tradisi gereja
Hervormed Belanda yang dibawa oleh para zending ke Indonesia. Seiring dengan berjalannya
11
http://satutimor.com/lulusan-stovil-mokdale-baa.php diakses pada tanggal 20-09-2015 12
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 48-50. 13 Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhuan Tahun 2015, 5.
waktu, katekisasi sidi kemudian mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan konteks
GMIT di mana Sinode GMIT kemudian mengambil alih tugas tersebut dengan membentuk
tim khusus pada tahun 1994 yang bertugas menyusun pedoman pelaksanaan katekisasi sidi
GMIT.
3.4 Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua ditinjau dari
Perspektif Pedagogi Pembebasan Paulo Freire
Katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua dimulai sejak tahun 1990, yaitu sejak
Jemaat Kaisarea resmi berdiri sebagai jemaat mandiri. Awal mula pelaksanaannya, Katekisasi
sidi di GMIT Kaisarea masih menggunakan materi pengajaran yang didapat secara mandiri.
Hal ini dikarenakan, pada masa itu sinode GMIT belum menyusun kurikulum katekisasi sidi.
Bahan-bahan ajar yang digunakan oleh GMIT Kaisarea pada saat itu antara lain buku
katekismus Heidelberg, sejarah suci dan sumber-sumber lainnya. Pada tahun 1994, Sinode
GMIT kemudian menerbitkan pedoman pengajaran katekisasi sidi yang kemudian digunakan
oleh seluruh anggota jemaat GMIT termasuk jemaat Kaisarea.14
Pedoman pengajaran Katekisasi sidi yang diterbitkan oleh sinode tersebut berisi materi-
materi pengajaran dan aturan-aturan umum penyelenggaran katekisasi sidi dalam lingkup
GMIT. Pedoman yang disusun oleh Sinode ini dapat kembangkan secara mandiri oleh
masing-masing jemaat, menyesuaikan dengan konteks dan kebutuhan jemaat.15
Sejak saat itu,
sinode GMIT tidak lagi menyusun pedoman pengajaran hingga akhirnya pada tahun 2013
yang lalu diterbitkan pedoman pengajaran yang baru. Walaupun demikian, masih banyak
jemaat GMIT yang masih menggunaka pedoman yang lama dalam penyusunan kurikulm
katekisasi sidi mereka, termasuk GMIT Kaisarea.
14
Hasil wawancara dengan Majelis Jemaat GMIT Kaisarea, Pnt. Martha E. Terinate tanggal 17-06-2015. 15
Hasil wawancara dengan Pdt. Boy Takoy dan Studi Dokumen Sinode GMIT tanggal 17-06-2015.
Jemaat Kaisarea sebagai salah satu Jemaat GMIT yang menyelenggarakan Katekisasi Sidi
telah memiliki kurikulum Katekisasi Sidi yang disusun dengan mengacu pada pedoman dari
Sinode.16
Jangka waktu pelaksanaan Katekisasi Sidi yang ditetapkan oleh Sinode GMIT
adalah selama satu tahun. Dalam kurun waktu tersebut, GMIT Kaisarea mengadakan 32 kali
kegiatan belajar mengajar dan sisanya adalah ujian, praktek memimpin ibadah serta kegiatan
sosial seperti kunjungan ke Panti Asuhan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun teknis
pelaksanaan katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua tahun ajaran 2015-2016
adalah sebagai berikut:17
a. Jangka Waktu Pelaksanaan : April 2015 – April 2016
b. Durasi Pertemuan : 2 jam x 32 kali pertemuan
c. Waktu pelaksanaan : Pukul 11 – 13 WITA
d. Tempat pelaksanaan : Gedung TK Kaisarea
e. Tenaga Pengajar : Pendeta, Tenaga Magang, Pengajar, Pengajar tamu
f. Peserta Katekisasi : 54 orang
Selain hal-hal teknis di atas, sebuah kurikulum setidaknya harus memiliki 4 komponen dasar
yaitu: (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-mengajar, dan (4) evaluasi atau
penilaian. Keempat komponen tersebut saling berhubungan. Tujuan menentukan bahan apa
yang akan dipelajari, bagaimana proses belajarnya (termasuk di dalamnya siapa yang diajar,
siapa yang mengajar dan bagaimana metodenya), dan apa yang harus dinilai. Demikian pula
penilaian dapat memengaruhi komponen lainnya.18
Walaupun Freire tidak pernah
menyebutkan secara implisit mengenai kurikulum dalam idenya, tetapi dalam pengamatan
Freire, praktek pendidikan selalu mencakup: subjek atau pelaku (orang yang mengajar dan
memberitahu); orang yang belajar, tetapi turut serta “memberi pelajaran”; objek yang harus
diajarkan atau diberitahu; metode yang digunakan oleh orang yang mengajar untuk
16
Hasil wawancara dengan Pdt. Rony Runtu (Pengajar Katekisasi dan Pendeta Jemaat) tanggal 16-06-2015. 17
Studi dokumen Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua. 18 Nasution, Asas-asas kurikulum, 17-18.
menyampaikan isi pengajaran.19
Freire juga menjelaskan hubungan antara seleksi, diskusi
dan evaluasi materi pelajaran di sekolah yang melengkapi fenomena pendidikan.20
Untuk itu,
penulis akan menganalisa lebih lanjut mengenai kurikulum katekisasi sidi Jemaat GMIT
Kaisarea dalam empat poin yang terdiri dari: tujuan katekisasi sidi, materi katekisasi sidi,
proses pengajaran katekisasis sidi dan evaluasi katekisasi sidi.
3.4.1 Tujuan Pelaksanaan Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea
Secara umum, tujuan pelaksanaan Katekisasi di GMIT adalah untuk: Mengembangkan
pembinaan bagi kelompok kategorial berusia muda dalam rangka membangun ketahanan
Jemaat.21
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa
tujuan pelaksanaan Katekisasi Sidi di Jemaat Kaisarea tidak dibuat secara tertulis sehingga
untuk mengetahuinya Penulis melakukan Focus Group Disscusion dengan pengajar dan
Pendeta Jemaat GMIT Kaisarea. Salah seorang pengajar mengatakan tujuan pelaksanaan
katekisasi sidi adalah:
“untuk mempersiapkan anak memahami alkitab sebelum ditahbiskan menjadi anggota sidi. Anak-
anak remaja akan melangkah ke masa depan, mereka akan keluar untuk melanjutkan pendidikan.
dengan iman yang kuat, pemahaman alkitab yang bagus, pendidikan karakter yang kuat mereka tidak
akan terpengaruh olh lingkungan untuk pindah agama karena pasangan.”22
Selain itu, salah seorang Pendeta Jemaat juga mengatakan bahwa tujuan katekisasi yang ia
pahami adalah:
“Untuk melanjutkan tahapan-tahapan pendidikan dalam gereja, di mana Katekisasi sebagai lanjutan
dari PAR. Melalui Katekisasi sidi, jemaat diharapkan untuk tidak hanya beriman saja tetapi juga
berpengetahuan. Ketidaktahuan dapat menyebabkan jemaat mudah terpengaruh oleh ajaran lain.
Dengan demikian, jemaat tidak menjadi Kristen karena keturunan tetapi karena memahami dan
mengimaninya sendiri. Dengan demikian ia tidak mudah diombang-ambingkan.”
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa tidak ada kesepakatan bersama
mengenai tujuan pelaksanaan katekisasi di Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua. Hal ini
19
Freire, Pedagogy of hope, 108. 20
Freire, Pedagogy of hope, 11. 21
Buku Pelajaran Katekisasi Majelis Sinode GMIT edisi 1, 1. 22
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion terhadap pengajar dan Pendeta Jemaat pada tanggal 14-06-2015.
menyebabkan setiap pengajar menjalankan tugas pengajarannya dengan berlandaskan pada
pemahaman masing-masing akan tujuan pengajaran katekisasi. Selain itu, penentuan tujuan
dari masing-masing pengajar tidak didasarkan pada analisa terhadap konteks sosial, budaya,
sejarah maupun kebutuhan dari peserta didik. Hal ini sangat disayangkan mengingat tujuan
sebagai salah satu komponen dasar dari kurikulum sangat memengaruhi keseluruhan proses
pengajaran katekisasi.
Freire mengatakan bahwa pendidikan dapat terlaksana jika penyelenggara pendidikan
mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentu kehidupang
sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan
analisa.23
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentuan tujuan kurikulum berkaitan
erat dengan analisa kebutuhan. Hal ini dibutuhkan karena setiap pendidikan yang berlangsung
tidak terlepas dari pengaruh sejarah, budaya, sosial dan politik. Pendidikan yang melibatkan
berbagai unsur ini bagaimanapun harus mampu menjawab kebutuhan dari peserta didik.
Untuk itu, penentuan tujuan suatu kurikulum tidak dapat dilakukan secara singkat dan harus
berdasarkan keputusan bersama dengan mempertimbangkan hal-hal mendasar tersebut.
Melihat dari tujuan pengajaran katekisasi sidi yang dimiliki oleh para pengajar, mereka
memiliki kecenderungan untuk menjadikan katekisasi sidi sebagai sarana indoktrinasi semata
guna mempertahankan eksistensi gereja dari “persaingan agama” yang terjadi. Pengamatan
ini berdasrkan pada hasil FGD di mana penulis tidak menemukan adanya pengajar yang
melihat tujuan pelaksanaan katekisasi sidi sebagai sarana untuk menuntun jemaat menuju
kesadaran atau refleksi kritis mereka. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa melalui
katekisasi, gereja berusaha memberikan pengetahuan, dogma dan kisah-kisah alkitab sebagai
pengenalan dan bekal kepada jemaat akan iman percaya mereka.
23
Freire, Politik pendidikan, 18-19.
Bagi Freire, pendidikan bukanlah pengorganisasian fakta yang sudah diketahui sedemikian
rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang baru. Tugas dari pendidikan
adalah menghadirkan pertanyaan-pertanyaan, bukan menyediakan jawaban-jawaban.
Pendidikan seharusnya bersifat dialogis dan mendorong tumbuhnya hubungan-hubungan
horisontal antar individu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu,
penulis menyimpulkan bahwa tujuan pengajaran katekisasi sidi di Jemaat GMIT Kaisarea
BTN Kolhua belum sejalan dengan tujuan pendidikan pembebasan yang diusung oleh Freire.
Dalam melaksanakan pendidikan yang membebaskan, tujuan akhir dari pendidikan pertama-
tama bukan untuk kepentingan lembaga penyelenggara pendidikan itu sendiri. Pendidikan
yang membebaskan berorientasi pada kesadaran bahwa pendidikan tersebut dilaksanakan
guna menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik akan realitas hidupnya di dunia sebagai
orang Kristen.
Katekisasi sidi merupakan sebuah kegiatan pelayanan gereja yang melibatkan dua aspek,
yaitu pendidikan dan teologi. Dalam keterlibatanya dengan teologi tersebut, harus disadari
bahwa motivasi berteologi yang membebaskan pertama-tama bukan untuk menciptakan
ideologi yang membenarkan suatu status quo.24
Karenanya, untuk menciptakan suatu
pengajaran katekisasi sidi yang membebaskan, pengajar perlu untuk memahami bahwa tujuan
katekisasi sidi pertama-tama bukan untuk meneruskan sejarah maupun dogma gereja semata
guna “mengikat” dan mempertahankan jemaat. Katekisasi sidi dilaksanakan untuk
menumbuhkan kesadaran kritis jemaat akan keberadaan, tugas dan tanggung jawabnya
sebagai orang Kristen di tengah masyarakat (untuk mencapai praksis). Ketika tujuan utama
katekisasi sidi hanya untuk meneruskan sejarah dan dogma gereja semata, yang terjadi adalah
penerusan tradisi tanpa disertai dengan perubahan cara pandang jemaat. Dengan demikian,
jemaa akan bertumbuh dengan “iman yang dibentuk” oleh gereja bukan oleh dirinya sendiri.
24 Gutierrez, A Theology of Liberation, ix
3.4.2 Bahan Pelajaran Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea
Jadwal dan Materi Katekisasi Sidi tahun ajaran 2015-2016 adalah sebagai berikut:
No Tanggal Materi Pengajar
1 19-04-2015 Apa Itu Katekisasi Pdt. Roni Runtu, M.Th
2 26-04-2015 Apa Itu Katekisasi Pdt. Yohanis Bira, S. MTh
3 03-05-2015 Apa itu Alkitab, Perkembangan
Alkitab dan Pembentukan
Perjanjian Baru
Pgjr. Winarsiwi. S
4 10-05-2015 Apa itu Alkitab, Perkembangan
Alkitab Sampai Masa Kini,
bentuk dan isi Alkitab
Pgjr. Winarsiwi. S
5 17-05-2015 Kejadian, Keluaran, Ulangan Pgjr. Lusi Dimoe
6 24-05-2015 Yosua-II Samuel Pgjr. Lusi Dimoe
7 31-05-2015 1 Raja-raja – Ester Pgjr. Welmince Ataupah
8 07-06-2015 Mazmur – Kidung Agung Pgjr. Welmince Ataupah
9 14-06-2015 Yesaya – Maleakhi Laura Tanesab, S.Th
10 21-06-2015 Bentuk-bentuk Perjanjian Baru,
Markus – Lukas
Laura Tanesab, S.Th
11 28-06-2015 Yohanes – Kisah Para Rasul Pgjr. Anaci Bija
12 05-07-2015 Roma – Kolose Pgjr. Anaci Bija
13 12-07-2015 Tesalonika – II Petrus Pgjr. Norlina Lumba
14 19-07-2015 1 Yohanes – Wahyu Pgjr. Norlina Lumba
15 26-07-2015 Doa Bapa Kami Pgjr. Anita Fangidae
16 02-08-2015 Pengajaran Tentang Puji-pujian Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
17 09-08-2015 Disiplin Gereja dan Hari Raya Pdt. Yohanes Bira, S. MTh
Gerejawi
18 16-08-2015 Sepuluh Hukum (1-4) Pgjr. Aletha Medah
19 23-08-2015 Sepuluh Hukum (6-10) Pgjr. Aletha Medah
20 23-08-2015 Ulangan tertulis 1 Sub UPP dan Pengajar
21 30-08-2015 Perkunjungan Ke Lapas Anak Pdt, Sub UPP dan Pengajar
22 06-09-2015 Pengakuan Iman, Theologi Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
23 13-09-2015 Pengakuan Iman, Kristologi Pdt. Yohanis Bira, S. MTh
24 20-09-2015 Pengakuan Iman, Pneumatologi Pdt. Roni Runtu, M.Th
25 27-09-2015 Pengakuan Iman, Eklesiologi Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
26 04-10-2015 GMIT Pdt. Yohanis Bira, S. MTh
27 11-10-2015 Denominasi/Sekte/Bidat Pdt. Roni Runtu, M.Th
28 18-10-2015 Gereja dan Agama-agama Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
29 25-10-2015 Etika Pergaulan Muda-Mudi Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
30 01-11-2015 Jodoh dan Pernikahan Kristen Pdt. Yohanis Bira, S. MTh
31 08-11-2015 Pergaulan Bebas Pdt. Roni Runtu, M.Th
32 15-11-2015 Narkoba, Miras, HIV AIDS Kepolisian
33 22-11-2015 IPTEK Pdt. Roni Runtu, M.Th
34 Okt-Des 2015 Memimpin Ibadah PAR Katekumen
35 29-11-2015 Kesehatan dan Reproduksi Pdt. Adriana Riwu-Riwu Ga,
M.Th
36 29-11-2015 Ulangan Tertulis 2 Sub UPP dan Pengajar
37 06-12-2015 Perkunjungan ke Panti Asuhan Pdt dan Pengajar
38 Jan-Feb 2015 Latihan Memimpin Ibadah Pdt Sub UPP dan Pengajar
39 Feb-Mar Memimpin Ibadah di Rayon Katekumen
40 Maret 2015 Percakapan Pdt, Sub UPP dan Pengajar
41 Maret 2015 Malam refleksi Pdt, Sub UPP dan Pengajar
42 Maret 2015 Ibadah Pengembalaan Pdt, Sub UPP dan Pengajar
43 April 2015 Kebaktian Peneguhan Sidi Pdt, Sub UPP dan Pengajar
Berdasarkan hasil penelitian terhadap materi pengajaran katekisasi sidi Jemaat GMIT
Kaisarea BTN Kolhua, penulis menemukan bahwa dalam satu tahun ajaran terdapat 32 kali
kegiatan belajar mengajar katekisasi sidi. Dari 32 kali kegiatan belajar mengajar tersebut,
selama 26 kali tatap muka katekumen mendapat pengajaran seputar sejarah, kitab-kitab,
dogma, aturan-aturan gereja, dan enam kali tatap muka peserta mendapat materi seputar
dunia remaja (psikologis, sosial, seksualitas, hukum) dan hubungan dengan masyarakat. Jika
melihat perbandingan tersebut maka dapat dikatakan bahwa gereja lebih menitik-beratkan
pengajarannya kepada hal-hal yang bersifat indoktrinasi atau dogmatif. Hal ini tidak salah
apabila kita melihat kembali pada sejarah katekisasi itu sendiri. Jemaat gereja tentu
membutuhkan pengetahuan dasar seputar iman Kristiani. Tetapi gereja juga perlu untuk
memperhatikan kebutuhan holistik dari katekumen.
Selain itu, isi pengajaran katekisasi di GMIT Kaisarea cenderung hanya menceritakan
kembali kisah-kisah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang telah berulang kali
didengar dan dibaca oleh katekumen selama ± 10 tahun selama mengikuti sekolah minggu
dan persekutuan remaja. Materi-materi umum seputar sejarah kekristenan, dogma, perjanjian
lama dan perjanjian baru yang digunakan oleh para pengajar di Jemaat GMIT Kaisarea BTN
Kolhua adalah materi yang diterbitkan oleh Sinode GMIT sejak tahun 1994. Materi-materi ini
tidak disusun sendiri oleh pengajar melalui hasil analisa kebutuhan peserta didik maupun
konteks yang ada, melainkan merupakan materi warisan yang telah turun temurun di gunakan
oleh GMIT.
Dapat dikatakan bahwa materi yang digunakan di Jemaat GMIT Kaisarea sampai saat ini
belum mengalami pembaharuan selama 11 tahun lamanya. Hal ini berarti materi pengajaran
katekisasi sidi yang diberikan tidak lagi kontekstual untuk masa sekarang. Tugas penyusunan
materi katekisasi memang menjadi tanggung jawab dari Sinode, tetapi setiap Jemaat tetap
diberi kebebesan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum mereka masing-masing.
Inisiatif ini tidak nampak dalam Jemaat GMIT Kaisarea sehingga dalam pengajaran
katekisasi sidinya, mereka tetap menggunakan materi “warisan” dari Sinode.
Jika melihat kembali pada sejarah perkembangan Katekisasi maka dapat dikatakan bahwa
pengajaran katekisasi sejak semula ditujukan untuk memperkenalkan generasi-generasi muda
Kristen mula-mula pada tradisi agama dan budaya mereka. Pengajaran ini awalnya bersifat
lisan, di mana orang tua mewariskan tradisi kepada anak-anak mereka melalui cerita.
Pengajaran lambat laun mulai dilakukan di tempat-tempat khusus (sinagoge), di mana anak-
anak kecil mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk
memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, tetapi pengetahuan tentang Torah.25
Seiring dengan berjalannya waktu, Katekisasi kemudian mengalami pergeseran makna dan
tujuan. Katekisasi tidak lagi menjadi sekedar sebuah pengajaran untuk meneruskan tradisi,
tetapi lebih daripada itu, katekisasi menjadi suatu bentuk pendidikan yang berusaha untuk
mengkonkritkan pemahaman setiap orang tentang apa artinya menjadi anak Allah dan
memungkinkan mereka untuk rela memikul tanggung jawab pribadi dan kolektif dari
hubungan itu.26
Melihat perkembangan katekisasi sejak awal hingga sekarang, dapat
dikatakan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan dalam isi maupun bentuk katekisasi.
25
J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 1-3. 26
Eva Lumas, “Catechesis in a Multicultural Church” . Journal New Theology Review. (Berkeley: Februari 2011), 32.
Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa katekisasi bersifat dinamis dan dapat
disesuaikan dengan konteks jaman dan budaya.
Walaupun sejak zaman Perjanjian Lama sampai sekarang katekisasi diperuntukkan bagi
anak-anak muda yang berada dalam usia remaja, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi
orang dewasa untuk dapat mengikutinya juga.27
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa
anak-anak muda yang menjadi sasaran utama dari pengajaran Katekisasi Sidi? Penulis
berasumsi hal ini dikarenakan masa remaja adalah masa terpenting dalam kehidupan
manusia. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju kedewasaan, masa di
mana mereka bertanya tentang segala sesuatu, masa dimana mereka lebih terbuka dalam
menerima hal-hal baru dan masa dimana mereka belajar mengambil keputusan pribadi.28
Di dalam masa remaja, seseorang berusaha mencari jati diri dan pengakuan dari lingkungan.
Dalam pencarian ini mereka menjadi tidak menentu bahkan seringkali salah dalam
mengambil keputusan. Untuk itu, dalam usia ini remaja membutuhkan bimbingan dan
pengarahan yang lebih dalam mencari jati diri maupun tujuan hidupnya.29
Dalam masa
remaja, seseorang seringkali ingin mendapatkan kebebasan baik itu dalam lingkungan
pergaulan maupun dalam lingkungan belajar. Karenanya, pendidikan terhadap remaja tidak
tepat jika bersifat indoktrinasi yang membatasi ruang gerak mereka dalam berefleksi.
Melihat latar belakang dan kebutuhan dari peserta katekisasi tersebut, maka seharusnya isi
pengajaran yang diberikan dalam Katekisasi bukan hanya sekedar membekali pengetahuan
sejarah agama maupun dogma semata tetapi harus juga mampu menjawab kebutuhan holistik
dari para remaja dan membawa mereka untuk menemukan jati diri dan refleksi diri mereka.
Untuk bisa menjawab kebutuhan remaja dalam pengajaran katekisasi, pengajar perlu untuk
27
Keterangan mengenai usia peserta katekisasi dalam perjanjian lama, lihat Ulangan 6:20-25; Mazmur 78:1-7; dan lain-lain. 28
Daniel Nuhamara, PAK Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 10-15. 29
Dobson, Menjelang Masa Remaja, 1-3.
terlebih dahulu melakukan Need Assessment (analisis kebutuhan). Need Assesment sendiri
merupakan proses dimana seseorang (pengajar) melihat kebutuhan dari peserta didik dan
memutuskan apa prioritas mereka (apa yang hendak dicapai) dalam proses pendidikan
tersebut.30
Dengan melakukan Need Assesment, pengajar dapat merumuskan tujuan dan isi
dari pengajaran katekisasi sehingga pengajaran tersebut menjadi tepat sasaran.
Secara umum, Penulis melihat bahwa materi tambahan yang dibuat oleh pengajar cukup
berkaitan erat dengan kehidupan dan kebutuhan remaja. Tetapi berdasarkan hasil diskusi
kelompok terarah (FGD) dengan 10 orang anggota sidi dan juga hasil observasi yang
dilakukan, Peneliti menemukan bahwa sebagian besar katekumen merasa materi yang
disampaikan masih sangat kurang mengingat masing-masing tema hanya diberikan dalam
satu satu kali pertemuan saja. Hal ini semakin diperparah dengan metode yang dipakai dalam
pengajaran. Di mana katekumen sebagai subjek yang mengalami langsung realitas kehidupan
remaja tidak dilibatkan dalam menyampaikan pengalaman maupun pemahaman mereka.
Tidak ada hubungan timbal balik dalam kegiatan belajar mengajar katekisasi sidi di sini.
Pengajar sebagai satu-satunya subjek yang mengetahui “kebenaran” dari pengajaran tersebut
bertugas untuk menyampaikan dan katekumen hanya bertugas untuk mendengar dan
mencatat.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, penulis menyimpulkan bahwa materi atau isi pengajaran
Katekisasi yang dipakai oleh Jemaat Kaisarea belum relevan dengan teori pedagogi
pembebasan yang diperkenalkan Paulo Freire. Bagi Freire, pendidikan bukan sekedar
kegiatan meneruskan warisan dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Pendidikan
adalah proses penyadaran yang membawa setiap peserta didik masuk kedalam refleksi kritis
mereka masing-masing. Bahan pelajaran yang digunakan oleh Jemaat GMIT Kaisarea yang
hanya bersifat meneruskan sejarah membuktikan bahwa katekisasi sidi di Jemaat GMIT
30
John D. McNeil, Contemporary Curriculum, 91-92.
Kaisarea belum mampu membawa katekumen untuk masuk kedalam refleksi kritis mereka
guna mencapai praksis.
Dalam kritiknya, Freire mengatakan bahwa setiap orang memiliki kemungkinan untuk
mentransformasikan sejarah dan menjadi subjek-subjek melalui suatu refleksi yang kritis.
Freire beranggapan bahwa mereka dapat menemukan diri mereka sendiri. Setiap orang datang
untuk melihat dunia bukan sebagai realitas statis tetapi sebagai realitas dalam proses
transformasi. Berangkat dari kritik Freire ini, penulis melihat bahwa materi pengajaran
katekisasi tidak cukup jika hanya menjadi sekedar sarana meneruskan sejarah keKristenan
semata tanpa disertai refleksi kritis. Dengan menitikberatkan pengajaran pada sejarah
keKristenan, gereja secara tidak langsung telah berusaha “membutakan” jemaat terhadap
realitas-realitas kehidupan yang ada. Gereja hanya berusaha membentengi jemaat dari
“pengaruh luar” melalui pengenalan dogma dan sejarah tanpa menuntun jemaat untuk
“menemukan dirinya sendiri”.
Jika pengajaran katekisasi ingin menjadi pendidikan yang membebaskan, maka dalam
pelaksanaannya tugas pengajar adalah untuk mendorong katekumen merefleksikan materi
pengajaran yang diberikan untuk kemudian dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Refleksi ini yang akan membawa manusia sampai pada fitrahnya. Katekisasi sidi tidak
dapat berhenti pada meneruskan warisan-warisan Kekristenan saja, tetapi untuk menuntun
jemaat mencapai kesadaran tertinggi akan makna dan tujuan hidupnya sebagai orang Kristen.
Pemilihan materi katekisasi sebaiknya didasarkan pada apa yang menjadi kebutuhan holistik
dari peserta katekisasi, bukan didasarkan pada keinginan dan kesepakatan pendidik secara
sepihak. Dalam menyusun materi pembelajaran, mengenal dan memahami latar belakang dari
peserta didik merupakan kunci utama terciptanya suatu pembelajaran yang tepat sasaran.
3.4.3 Proses Belajar Mengajar Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea
Proses belajar mengajar secara umum melibatkan tiga aspek yang saling berhubungan. Tiga
aspek tersebut adalah pendidik, peserta didik dan metode/strategi didik. Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan, proses pengajaran Katekisasi Sidi GMIT Kaisarea dimulai pada
pukul 11.00 WITA, bertempat di gedung Taman Kanak-kanak Kaisarea BTN Kolhua.
Katekisasi diawali dengan ibadah yang dipimpin oleh salah seorang katekumen. Mereka
sebelumnya telah diberikan jadwal untuk memimpin ibadah pembukaan katekisasi secara
bergiliran. Setelah selesai ibadah, kelas katekisasi dilanjutkan dengan absen yang dilakukan
oleh Pengajar. Selanjutnya diadakan pengumpulan buku mingguan yang akan diperiksa oleh
para pengajar. Buku mingguan merupakan buku yang berisi ringkasan khotbah dan tanda
tangan Pendeta yang memimpin kebaktian minggu (katekumen diwajibkan untuk mengikuti
kebaktian setiap minggu). Kelas kemudian dilanjutkan oleh pembawa materi yang memulai
kelas dengan menanyakan kembali pembahasan pada Minggu yang lalu. Setelah itu kelas
dilanjutkan dengan penyampaian materi.31
1) Metode Pengajaran Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea
Metode pengajaran secara umum melibatkan relasi antara pendidik dan naradidik dalam
proses pengajaran. Berdasarkan hasil observasi, penulis menemukan bahwa metode yang
digunakan oleh pengajar adalah ceramah, di mana pengajar membaca materi dan peserta
didik mencatat kembali dalam buku catatan mereka (buku catatan ini suatu waktu akan
diperikan oleh pengajar, sehingga katekumen wajib untuk mencatat).32
Dalam wawancara
yang Penulis lakukan terhadap tiga orang Pengajar dan dua orang Pendeta Jemaat, mereka
mengatakan bahwa metode diskusi juga sering dipakai dalam katekisasi. Hal ini bertentangan
dengan hasil wawancara dalam bentuk Focus Group Discussion yang dilakukan terhadap 10
31 Hasil Observasi pelaksanaan Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea tanggal 14-06-2015 32
Hasil observasi pelaksanaan Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea tanggal 14-06-2015.
orang Katekumen dan 10 orang anggota Sidi Jemat Kaisarea yang pernah mengikuti
katekisasi sidi. Sebagian besar informan kunci ini mengatakan, metode yang sering bahkan
hampir selalu digunakan oleh pengajar adalah ceramah. Diskusi hanya digunakan oleh
beberapa pembawa materi yang diundang dari luar untuk membawakan materi seputar
kehidupan remaja dan bukan oleh pengajar Jemaat.33
Ketika melakukan observasi, Penulis mengamati pengajar dalam membawa materi tentang
kitab-kitab dalama Perjanjian Lama. Salah satu kitab yang dibahas pada saat itu adalah kitab
Yunus di mana pengajar menceritakan kisah Yunus yang diutus oleh Tuhan ke Niniwe tetapi
ia melarikan diri dan kemudian ditelan oleh ikan.34
Pengajar membaca kalimat perkalimat
dan katekumen mencatatnya dalam buku mereka. Setelah Pengajar menyampaikan materi
pengajaran, Katekumen tidak diajak untuk berdialog maupun merefleksikan apa yang telah
disampaikan, misalnya saja apa yang dimaksud dengan Yunus berada di perut ikan? Apakan
secara harafiah ia berada dalam perut ikan atau ada maksud lain? Bagaimana jika kita yang
mendapat tugas itu di masa kini? Apakah kita sanggup melakukannya atau kita melakukan
seperti yang Yunus lakukan? Dalam pengajarannya, Pengajar hanya menyampaikan kembali
kisah-kisah yang ada dalam alkitab seperti yang dilakukan dalam sekolah minggu dan
peserta mencatatnya kembali.
Ini adalah konsep pendidikan “gaya bank” yang dimaksud oleh Paulo Freire, di mana ruang
gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan
menyimpan. Model pengajaran ini bersifat naratif dengan ciri utamanya adalah guru sebagai
subyek bercerita dan murid-murid sebagai obyek yang patuh dan mendengarkan. Isi pelajaran
yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas,
dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Guru menceritakan sebuah
33
Berdasarkan hasil FGD pada tanggal 16-06-2015 dengan sepuluh orang anggota jemaat yang mengikuti katekisasi dalam tahun ajaran yang berbeda-beda, tidak semua pembicara tamu menggunakan metode diskusi dalam kegiatan belajar mengajar. Setiap tahun ajaran, pengajar mengundang pembicara yang berbeda-beda, sehingga penggunaan metode belajar mengajar yang variatif bergantung kepada penguasaan metode dari pembicara. 34
Hasil Observasi pelaksanaan Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea tanggal 14-06-2015.
topik yang asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Tugasnya dalah “mengisi” para
murid dengan segala bahan yang dituturkan, bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah
dari totalitas yang melahirkan dan dapat memberinya arti. Murid mencatat, menghafal dan
mengulangi apa yang diceritakan oleh guru tanpa memahami apa arti sesungguhnya.35
Menurut Freire, pendidikan seharusnya bersifat praksis dimana pendidikan diselenggarakan
untuk membebaskan naradidik merefleksikan apa yang mereka dapat dalam pendidikan
tersebut. Pendidikan yang bersifat praksis tidak hanya menekankan pada teks-teks yang
bersifat klasik tetapi juga memperhatikan realitas-realitas masa kini dan kemungkinan yang
terjadi masa depan.36
Katekumen membutuhkan lebih dari sekedar cerita-cerita sejarah yang
telah berulang kali mereka baca dan dengar. Dalam masa remaja, katekumen berada pada
fase pencarian jati diri dan filosofi hidup. Tugas dari pengajar adalah menjadikan isi
pengajaran sebagai suatu sarana bagi katekumen untuk menemukan filosofi hidupnya dan
merefleksikan apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Pendidikan tidak hanya berhenti pada tahap refleksi semata tetapi untuk menuntun manusia
dalam menemukan tujuan hidupnya. Jika dalam proses pengajaran, Pengajar tidak
memberikan kesempatan kepada Katekumen untuk berdiskusi maupun merefleksikan
pengajaran yang diberikan maka yang terjadi ialah katekumen menjadi sekedar objek yang
akhirnya tidak mampu mempertanggung jawabkan imannya. Ini bukan berarti sejarah, dogma
dan aturan gereja tidak penting untuk disampaikan tetapi bagaimana isi pengajaran tersebut
dikemas dan disajikan dengan baik agar dapat direfleksikan dan memberi manfaat bagi
pertumbuhan iman katekumen. Sebagai subjek yang mengalami secara langsung persoalan-
persoalan remaja yang diajarkan, tentu saja timbul berbagai macam tanda tanya dan rasa
ingin tahu dari dalam diri katekumen. Proses pengajaran yang berlangsung di GMIT Kaisarea
35
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52. 36 Stephen B. Bevans. Models of Contextual Theology (USA: Orbis Books, 2002)
pada akhirnya mengabaikan hasrat atau rasa keingintahuan dari katekumen yang lambat laun
mematikan kesadaran kritis dari jemaat.
Beberapa pengajar memang memberi kesempatan kepada katekumen untuk bertanya tentang
hal-hal yang belum dimengerti. Tetapi penulis melihat, kesempatan ini tidak pakai dengan
efektif oleh katekumen. Dari hasil observasi, Peneliti melihat ada beberapa alasan: pertama,
katekumen merasa jenuh karena katekisasi dilaksanakan pada siang hari; kedua, adanya jarak
dan suasana yang kaku antara pengajar dan katekumen. Ketiga, kecenderungan katekumen
untuk fokus dalam mencatat sehingga tidak memahamai materi yang diberikan.37
Kurikulum yang efektif dapat tercipta apabila pendidik mengetahui bagaimana bahan
pelajaran disajikan, proses belajar berlangsung dan dalam keadaan yang bagaimana belajar
itu memberi hasil yang sebaik-baiknya. Berdasarkan observasi yang penulis lakukan,
pengajar katekisasi sidi di Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua cenderung terfokus pada apa
yang mereka baca dalam buku pengajaran. Apakah materi tersebut dapat diterima dengan
baik atau tidak, dapat memengaruhi kehidupan peserta katekisasi atau tidak, dapat dipahami
atau tidak, bukan menjadi persoalan bagi pengajar katekisasi.
Dalam proses belajar mengajar, suasana dan kondisi kelas sangat memengaruhi proses belajar
mengajar. Suasana kelas yang baik dan nyaman akan membuat peserta didik merasa nyaman
dan fokus dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, demikian pula sebaliknya. Hal ini juga
yang telah diabaikan oleh pengajar katekisasi sidi di Jemaat GMIT BTN Kolhua. Kondisi
kelas yang tidak tertata rapi, tertutup dan panas membuat peserta didik menjadi kehilangan
konsentrasi. Hal-hal teknis seperti ini dapat memengaruhi efektifitas pengajaran. Pada
akhirnya katekisasi sidi hanya menjadi sekedar formalitas belaka. Katekisasi dilaksanakan
37
Asumsi ini berdasarkan pada pengamatan Penulis terhadap pola tingkah laku katekumen selama mengikuti kegiatan katekisasi sidi. Hasil Observasi pelaksanaan Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea tanggal 14-06-2015.
hanya sebagai sebuah tradisi tanpa memberi kontribusi bagi perkembangan iman dan
pengetahuan jemaat.
Penulis melihat, ada kecenderungan para pengajar menjadikan diri mereka sebagai pusat
pengajaran. Tidak ada dialog atau diskusi antara pengajar dan katekumen. Menurut Freire,
pendidik dan naradidik memiliki kedudukan yang setara dalam proses pendidikan yaitu
sebagai subjek yang sadar dan aktif. Metode pengajaran katekisasi sidi di GMIT Kaisarea ini
menunjukkan adanya “penindasan” dalam proses pendidikan. Kesadaran kritis anak-anak
“dibutakan” melalui pengajaran satu arah yang menekankan pada hafalan. Metode pengajaran
yang digunakan pengajar katekisai di GMIT Kaisarea juga telah menciptakan jarak antara
pengajar dan katekumen. Keikutsertaan remaja pada katekisasi sidi pada akhirnya hanya
menjadi formalitas belaka guna menjadi bagian utuh dari gereja tersebut.
Freire mengatakan, tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-
benar manusiawi. Gereja dalam menjalankan fungsi pengajarannya tidak bisa lagi naif
dengan menganggap bahwa naradidik dalam hal ini katekumen adalah bejana-bejana kosong
yang belum terisi sehingga tugas gereja adalah untuk mengisi. Gereja tidak bisa lagi
menganggap kisah-kisah alkitab sebagai sesuatu yang tidak perlu dikritisi dan direfleksikan.
Anak-anak bertumbuh dengan berbagai macam pengalaman hidup yang memberi mereka
pengetahuan. Mereka adalah subjek-subjek yang telah merasakan dan mengalami realita
kehidupan. Berbagai macam pengalaman yang mereka alami mungkin saja menimbulkan
tanda tanya dan kegelisahan dalam diri mereka. Hal ini yang kemudian membuat mereka
mencari jawaban atas pergumulan hidup mereka. Tanpa bimbingan yang tepat, anak-anak ini
akan terjerumus dalam pergaulan yang salah.
Penulis menyimpulkan bahwa metode pengajaran yang dipakai oleh Pengajar Katekisasi
Jemaat Kaisarea tidak sesuai dengan pedagogi pembebasan yang diperkenalkan oleh Freire.
Metode ceramah yang digunakan tidak lagi sesuai untuk diterapkan pada saat ini. Dewasa ini
anak-anak bertumbuh dan berkembang dengan pemikiran-pemikiran yang luas dan kritis.
Mereka mempelajari banyak hal dari pengalaman-pengalaman di dalam pergaulan mereka.
Untuk itu, anak-anak membutuhkan sarana untuk mengembangkan dan menyalurkan
pemikiran atu ide-ide mereka. Jika gereja membatasi diri dengan anak-anak, yang terjadi
adalah mereka mencari jawaban dan pemenuhan keinginan mereka dari lingkungan
sekitarnya. Hal ini tentu saja dapat berakibat buruk jika mereka salah dalam mencari tempat
untuk menjawab berbagai kebutuhan mereka.
Setiap naradidik datang dengan berbagai macam pegalaman dan pengetahuan mereka.
Katekisasi diselenggaran bukan untuk mengisi sepenuh-penuhnya naradidik (katekumen)
dengan doktrin-doktrin, sejarah dan aturan gereja yang ada. Sebelum berada dalam kelas
katekisasi, katekumen telah berulangkali belajar dan menghafal di sekolah minggu,
persekutuan remaja maupun di sekolah tentang jumlah kitab, kisah tentang Yesus, 10 hukum
Allah dan lain sebagainya. Untuk itu, katekisasi diselenggarakan guna menumbuhkan
kesadaran kritis jemaat terhadap realita-realita kehidupan dengan merefleksikan kebenaran
Firman Allah.
Freire menawarkan model pendidikan hadap masalah untuk menggantikan model pendidikan
gaya bank yang selama ini berlangsung. Dengan menerapkan model pendidikan hadap
masalah, jemaat (dalam hal ini katekumen) diajak untuk melihat isi pengajaran sebagai
sebuah pertanyaan yang membutuhkan refleksi kritis. Dengan demikian, pengajaran
katekisasi tidak lagi menjadi sekedar penghafalan kisah-kisah alkitab, dogma-dogma Kristen,
disiplin gereja saja tetapi menjadi sarana bagi katekumen untuk merefleksikan ajaran-ajaran
tersebut guna menjadikan mereka sebagai manusia seutuhnya.
2) Tenaga Pengajar Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea
Pengajar katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua dipilih berdasarkan keputusan
rapat Majelis Jemaat, mengacu kepada Tata Aturan GMIT mengenai jabatan gerejawi.
Mereka yang dipilih haruslah merupakan Sarjana PAK dan Teologi.38 Berikut ini adalah
daftar Pemimpin Katekisasi Sidi GMIT Jemaat Kaisarea tahun ajaran 2015-2016:
1. Pdt. Ronny S. Runtu, M.Th
2. Pdt. Yohanes Bira, Sm.Th
3. Pdt. Adrianan R-Riwu Ga, M.Th
4. Laura Tanesab, S.Th
5. Pgjr. Winarsiwi Sindupadmi
6. Pgjr. Lusi Dimoe
7. Pgjr. Anaci Bija
8. Pgjr. Norlina Luma
9. Pgjr. Aletha Medah
Dari hasil wawancara dan juga analisa dokumen pengajaran Katekisasi sidi GMIT Jemaat
Kaisarea, Penulis menemukan bahwa tidak semua pengajar memiliki latar belakang Sarjana
PAK dan Teologi. Sebagian dari mereka adalah sarjana pendidikan umum. Mengingat
terbatasnya tenaga PAK yang dimiliki oleh gereja maka gereja memutuskan untuk memilih
tenaga pengajar umum. Pengajar-pengajar ini dipilih dengan pertimbangan karena mereka
adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan dalam pengajaran di gereja.39
Berdasarkan hasil analisa dokumen kurikulum katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea penulis
juga menemukan bahwa posisi Pendeta dalam pengajaran katekisasi cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan pengajar lainnya. Hal ini dapat dilihat dari pembagian materi dan
38
Hasil wawancara Pdt. Rony Runtu, M.Th tanggal 16-06-2015. 39
Hasil wawancara Pdt. Yohanis bira, SM.Th tanggal 18-06-2015.
jadwal pengajar, dimana materi-materi seperti dogma, disiplin gereja, sakramen menjadi
tugas dari pendeta. Para Pendeta dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dibanding
dengan pengajar. Hal ini tidak sepenuhnya salah, mengingat latar belakang pendidikan dari
para pendeta tentu saja berpengaruh pada penguasaan materi-materi tersebut. Tetapi dalam
pelaksanaannya, penulis melihat bahwa latar belakang pendidikan dari para Pendeta tidak
memberi kontribusi yang berarti dalam proses pengajaran. Mereka tetap menggunakan materi
yang disiapkan gereja dan menggunakan metode yang sama dengan pengajar lainnya.40
Dari hasil observasi lapangan, penulis menemukan bahwa latar belakang pengajar yang
sebagian adalah guru sekolah cenderung memengaruhi proses pengajaran katekisasi. Hal ini
dapat dilihat dari kecenderungan pengajar membawa model belajar tradisional di sekolah ke
dalam kelas katekisasi. Ketika melakukan observasi, penulis melihat bahwa pengajar selalu
menjadi pusat dari kegiatan pengajaran katekisasi. Katekumen pada akhirnya cenderung
menjadi pasif dan kurang mendapat kesempatan untuk menyampaikan ide-ide maupun
refleksi mereka terhadap pengajaran yang diberikan. Walaupun saat ini pendidikan nasional
telah mengalami banyak perubahan termasuk dalam metode pengajaran, masih banyak guru-
guru sekolah yang mempertahankan metode pengajaran tradisional yang bersifat naratif dan
penghafalan dalam pengajaran mereka.
Dalam konteks Brasil pada masa penjajahan, gereja-gereja tradisional menurut Freire, telah
bersekutu dengan kelompok penguasa, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu,
peranan yang dapat dimainkan oleh gereja dalam bidang pendidikan tergantung pada cara
pandang mereka terhadap dunia, agama manusia dan takdir.41
Pengaruh dari penjajahan ini
terus dibawa oleh para pemimpin pemerintahan maupun pendidikan. Dengan demikian, telah
terjadi penerusan warisan penjajahan yang turut memengaruhi proses pendidikan. Warisan
40
Untuk materi-materi tambahan seperti IPTEK, pergaulan muda-mudi dan lain sebagainya, pengajar yang bertugas menyampaikan materi mencari bahan secara mandiri dan tidak disusun bersama dengan pengajar yang lain. 41 Smith, Conscientizacao, 220.
penjajahan ini kemudian ikut memengaruhi hubungan antara pendidik dan naradidik dalam
kegiatan pendidikan di gereja-gereja.
Jika dibawa dalam konteks Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan agama
Kristen di Indonesia merupakan warisan dari masa penjajahan sehingga dalam
perkembangannya, disadari maupun tidak warisan-warisan penjajahan tersebut masih nampak
dan bertahan. Pada masa penjajahan, masyarakat pribumi disekolahkan oleh pada zending
bukan untuk meningkatkan status atau taraf hidup mereka, tetapi untuk dijadikan tenaga
pembantu bagi kegiatan pelayanan maupun pengajaran gereja negara yang saat itu dikuasai
Belanda. Oleh karena itu, proses pengajaran yang berlangsung pada masa itu tidak
melibatkan diskusi antara pendidik dan naradidik. Tugas dari naradidik adalah untuk
menerima dan memahami aturan, sistem kerja dan ajaran gereja negara untuk kemudian
mereka ajarkan kepada jemaat.
Sejarah pengajaran gereja yang terjadi di Indonesia khususnya di GMIT ini tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi di Brasil ketika Freire melancarkan kritiknya terhadap sistem
kelas yang mewarnai dunia pendidikan Brasil. Brasil pada masa itu hampir tidak memiliki
cita-cita demokrasi. Yang ada ialah kepatuhan yang telah diciptakan oleh metropolit Portugal.
Mereka yang memerintah sesudah masa kemerdekaan hanya menirukan cara penjajah
pemerintah.42
Jadi, sekalipun negara tersebut telah merdeka, tetapi sistem pemerintahan dan
pendidikan yang berlangsung di dalamnya masih meneruskan warisan dari masa penjajahan.
Demikian pula dengan yang terjadi di GMIT dalam masa sekarang. Sekalipun telah terlepas
dari penjajahan Belanda, disadari maupun tidak, sistem pendidikan dan bergereja yang ada
dan bertahan hingga sekarang masih diwarnai oleh pengaruh kolonialisme. Warisan-warisan
tersebut masih terus dipertahankan dan digunakan dalam proses pendidikan dan bergereja.
42
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 25.
Warisan-warisan ini terlihat dari terciptanya jarak dan kelas yang membedakan status atau
kedudukan dari guru dan murid. Sistem pendidikan pada masa kolonial yang tanpa bantahan
dan berisfat indoktrinasi ini masih tetapi digunakan, sehingga menyebabkan relasi antara
pengajar dan katekumen menjadi relasi antara subjek dan objek.
Hubungan antara Pengajar dengan Katekumen di Jemaat Kaisarea ini sesuai dengan
gambaran keadaan pendidikan gaya bank yang dikemukakan oleh Freire di mana Guru
mengajar, murid diajar; Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa; Guru
berpikir, murid dipikirkan; Guru bercerita, murid patuh mendengarkan; Guru menentukan
peraturan, murid diatur; Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri
dengan pelajaran itu; Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.43
Penulis melihat bahwa adanya pengaruh latar belakang pengajar terhadap cara pengajaran
mereka menyebabkan katekisasi sidi menjadi sekedar kegiatan memindahkan (transfer)
pengetahuan alkitab dari pengajar kepada katekumen. Latar belakang pendidikan agama
Kristen di gereja yang diwarnai oleh warisan-warisan penjajahan Belanda juga turut
memengaruhi proses pengajaran katekisasi. Untuk itu, agar gereja terutama pengajar dapat
meninggalkan kebiasaan lama yang dipengaruhi oleh warisan penjajahan, para pengajar perlu
untuk disadarkan kembali akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik.
Metode indoktrinasi dan dogmatif yang merupakan warisan penjajahan sudah tidak
kontekstual untuk digunakan di masa sekarang. Para pengajar perlu mengingat bahwa
pengajar bukan pusat dari pengajaran katekisasi. Pengajar dan katekumen memiliki
kedudukan yang sama dalam ruang katekisasi sidit. Setiap orang merupakan subjek yang
memiliki pengalaman hidup dan pengalaman iman masing-masing. Untuk itu, setiap orang
yang terlibat dalam katekisasi sidi memiliki kedudukan yang setara. Pengajar bisa menjadi
orang yang belajar dan orang yang belajar juga bisa memberi pelajaran.
43
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 53-54.
3) Peserta Katekisasi Sidi GMIT Jemaat Kaisarea
Dari hasil analisa dokumen dan observasi lapangan, Penulis menemukan bahwa peserta
katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua pada tahun ajaran 2015-2016 berasal dari
berbagai latar belakang. Katekumen-katekumen ini memiliki latar belakang budaya, ekonomi,
usia, maupun tingkat pendidikan yang berbeda. Walaupun sebagian besar katekumen berada
dalam tingkat pendidikan menengah keatas, ternyata terdapat juga beberapa katekumen
lulusan SD, SMP dan kuliah. Dengan berbagai macam latar belakang dari katekumen,
pengajar seharusnya mampu untuk menciptakan kurikulum katekisasi sidi dengan sebaik
mungkin sehingga pengajaran yang diberikan mampu diterima dengan baik oleh semua
katekumen.
Katekumen umumnya adalah anak-anak remaja usia 16 tahun ke atas. Usia ini adalah masa
terpenting dalam perkembangan manusia di mana mereka belajar untuk mengenal diri mereka
sendiri, orang lain dan apa yang menjadi pilihan hidup mereka. Ketika berada dalam usia
remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-konvensional. 44
Menurut Fowler,
dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian remaja. Kemampuan
berpikir remaja yang sedang berkembang ini membuat mereka mulai mengkritisi berbagai hal
yang mereka alami. Muncul berbagai macam pertanyaan dalam diri remaja. Hal ini pula yang
membuat seseorang dalam usia remaja mulai mencari jati diri. Pencarian ini tidak hanya
melibatkan pengalaman pribadi mereka tetapi juga berhubungan erat dengan orang-orang lain
di sekelilingnya.
44
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, 134-135.
Perkembangan remaja ini pula yang memengaruhi mereka dalam proses pendidikan. Remaja
tidak lagi percaya pada apa yang dikatakan atau diajarkan sebelum mereka mendapatkan
kepastian bahwa nilai-nilai serta kepercayaan tadi mempunyai validitas bagi kehidupan
mereka yang mulai memasuki kedewasaan.45
Dengan demikian, kisah-kisah alkitab yang dulu
diterima begitu saja di sekolah minggu, dalam usia remaja mulai dikritisi oleh mereka.
Dalam usia ini terjadi berbagai gejolak dalam diri mereka. Hal-hal yang ketika kanak-kanak
mereka terima sebagai suatu kebenaran, dalam usia ini mulai dipertanyakan. Mereka
berusaha mencari kebenaran dari sesuatu yang dikatakan maupun diajarkan. Keputusan-
keputusan yang mereka ambil tidak didasarkan oleh pertimbangan yang matang. Oleh sebab
itu, di dalam usia ini, seringkali remaja salah dalam melangkah dan mengambil keputusan
yang memengaruhi masa depan mereka.
Oleh sebab itu, Pendidikan terhadap remaja tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Peserta
didik dalam hal ini katekumen merupakan bagian penting dari gereja. Remaja adalah
generasi-generasi muda yang akan meneruskan misi gereja di kemudian hari. Jika sejak dini
mereka tidak dituntun untuk menjadi kritis, di kemudian hari mereka akan terbentuk menjadi
orang-orang dewasa yang apatis terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya karena
kehilangan kesadaran kritis mereka. Untuk itu, pengajar sebaiknya memahami apa dan
bagaimana kebutuhan remaja. Pendidikan bukan persoalan bagaimana guru memberi tetapi
bagaimana murid dapat menerima pengajaran tersebut.
Selain mengenal latar belakang dan kebutuhan katekumen, Pengajar sebaiknya menghindari
pandangan bahwa pengajar adalah satu-satunya “sumber pengetahuan”. Model pengajaran
yang bersifat satu arah dengan pengajar sebagai pusatnya menjadikan katekumen sebagai
objek-objek “patuh” yang menerima pengajaran “tanpa bantahan”. Pendidikan seperti ini
yang dikatakan oleh Freire sebagai pendidikan yang menindas. Melalui pendidikan seperti
45 Daniel Nuhamara, PAK Remaja, 11-12.
ini, anak-anak telah dibentuk untuk memiliki mental-mental “patuh” yang terjebak dalam
kesadaran magis maupun kesadaran naif mereka. Katekumen mungkin saja pada akhirnya
mampu menghafal semua cerita alkitab, jumlah kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, bunyi hukum yang pertama dan terutama tetapi katekumen tidak mampu mencapai
kesadaran tertinggi (konsientisasi) akan makna dan tujuan pengajaran tersebut bagi hidupnya.
3.4.4 Evaluasi Katekisasi Sidi GMIT Jemaat Kaisarea
Jemaat GMIT Kaisarea menggunakan model evaluasi dengan bentuk ujian/tes (measurment
model). Ujian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pertengahan dan akhir
pembelajaran. Katekumen akan diberikan pertanyaan-pertanyaan tertulis seputar isi
pengajaran yang telah diberikan. Selain ujian, jumlah kehadiran, keaktifan dalam paduan
suara, keikutsertaan dalam praktek memimpin ibadah juga menjadi syarat bagi katekumen
untuk diteguhkan menjadi anggota sidi. Tetapi, ujian menjadi penilaian tunggal pengajar
terhadap keberhasilan pengajaran yang diberikan.
Evaluasi pendidikan pada dasarnya merupakan pengukuran terhadap berbagai aspek dengan
tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok. Evaluasi yang
dilakukan mencakup baik aspek kognitif maupun afektif para siswa.46
Evaluasi sendiri
merupakan salah satu aspek penting dalam suatu pelaksanaan pendidikan. Evaluasi tidak
hanya dapat dilakukan di akhir atau penutup dari suatu proses pendidikan tertentu tapi juga
dapat dilakukan pada awal, maupun pada saat pelaksanaan pendidakan/pembelajaran. Ada
berbagai macam model evaluasi yang bisa dijumpai dalam dunia pendidikan, mulai dari
model yang paling paling tua yang fokus pengukurannya dilakukan secara kuantitatif seperti
measurment model hingga model yang menggunakan pendekatan kualitatif seperti
illuminative model.47
46
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP –UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (IMTIMA: 2007), 107. 47
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP –UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 106.
Penulis melihat bahwa dengan diberlakukannya ujian sebagai model evaluasi pengajaran,
katekumen secara tidak langsung dituntut untuk mampu mengingat materi-materi pengajaran
yang diberikan agar dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam ujian. Model evaluasi ini
cenderung “memaksa” katekumen untuk menghafal isi pengajaran yang diberikan agar
mereka dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.
Model evaluasi pendidikan yang dipakai dalam katekisasi Jemaat Kaisarea semakin
menegaskan bentuk pendidikan gaya bank yang diterapkan dalam proses pengajaran
katekisasi. Katekumen “dipaksa” untuk menerima apa yang diberikan oleh pengajar lalu
menyimpannya sebanyak mungkin. Pengetahuan-pengetahuan yang diberikan tersebut
kemudian akan keluarkan kembali dalam ujian. Model evaluasi dalam bentuk ujian seperti ini
seringkali dijadikan indikator keberhasilan pengajaran. Semakin banyak katekumen
menjawab dengan benar, semakin baik pula proses pengajaran tersebut.
Model evaluasi ini secara tidak langsung telah mengabaikan tujuan dari pendidikan yang
dikemukakan oleh Freire yaitu menuntun manusia untuk sampai pada pengenalan realitas
dirinya hingga sampai pada penyadaran (konsientisasi) yang merupakan proses inti atau
hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Pengajar hanya mengukur keberhasilan pengajaran
dari kemampuan katekumen mengulang kembali apa yang disampaikan oleh pengajar. Pada
saat dipertimbangkannya evaluasi dalam bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk
menjadikan bahan ujian sebagai tujuan kurikulum. Hal ini yang menyebabkan proses belajar
mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan. Yang harus disadari ketika
menyelenggaran pendidikan agama Kristen adalah, kualitas iman seseorang tidak dapat
diukur secara kuantitas. Di dalam pendidikan agama Kristen, hal utama yang harus diingat
ialah bahwa tujuan pendidikan Agama Kristen adalah agar manusia mengalami hidupnya
sebagai respon terhadap kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus.48
Pemilihan ujian sebagai cara evaluasi menurut penulis adalah hal yang kurang tepat. Pengajar
sepatutnya menyadari bahwa pengajaran katekisasi bukan semata-mata sebagai wadah
mewariskan kisah-kisah Alkitab, dogma-dogma maupun aturan gereja semata. Lebih
daripada itu, gereja secara umum dan pengajar secara khusus selayaknya menyadari bahwa
setiap anak memiliki pengalaman masing-masing akan kehadiran Allah dalam hidupnya.
Gereja patut untuk melihat kembali perannya sebagai setting Pendidikan Agama Kristen.
Pendidikan berbeda dengan pewartaan (penyampaian firman) di mana pemimpin/Pendeta
menjadi pusat dari pewartaan. Di dalam pendidikan terjadi komunikasi dua arah. Pendidik
dan peserta didik adalah dua subjek hidup yang sama-sama memiliki pengetahuan dan
pengalaman hidup. Untuk itu, gereja melalui tugas pendidikan dan pengajarannya dituntut
untuk mampu membimbing jemaatnya menjadi lebih kritis dalam merespon panggilan Allah
di dalam dunia. Gereja tidak dapat membentuk jemaat, tetapi gereja dapat menuntun jemaat
untuk membentuk dirinya sendiri.
Freire memadukan sejarah dan teologi untuk membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan
radikal yang mencakup tumbuhnya harapan, refleksi kritis dan perjuangan bersama.49
Kesadaran kritis terhadap realitas akan membawa manusia masuk ke dalam proses kesadaran,
bukan proses menghafal semata. Menghafal hanya akan menjadikan manusia mampu
menyatakan pengetahuannya tanpa memahami atau menyadari makna yang sesungguhnya.
Untuk itu, yang perlu diingat dalam melaksanakan pendidikan agama Kristen ialah
pendidikan agama Kristen lebih merupakan kegiatan refleksi daripada pembuktian empiris.50
48
Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Ditjen Bimas Kristen Protestan dan Universitas Terbuka, 1992), 27. 49
Freire, Politik pendidikan, 13-14. 50 Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 133.
Katekisasi sidi seharusnya menjadi sebuah proses untuk menuntun jemaat menjadi manusia
yang seutuhnya. Katekisasi sidi yang membebaskan dapat tercapai jika gereja, terutama
pengajar membawa jemaat mencapai fase-fase kesadaran dalam dirinya (kesadaran magis,
nai, hingga akhirnya mencapai kesadaran kritis). Katekisasi sidi tidak bisa lagi menyajikan
jawaban-jawaban yang harus diterima “tanpa bantahan” oleh katekumen untuk tetapi
membawa jemaat merefleksikan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mengenai apa masalah-
masalah yang dijumpai melalui pengajaran tersebut? (penamaan); apa penyebab dan
konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (berpikir); dan apa yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut? (aksi).51
Jika Katekisasi Sidi Jemaat Kaisarea dilakukan dengan cara demikian maka jemaat akan
sampai pada titik akhir dari proses pendidikan yaitu kesadaran tertinggi. Pada titik ini jemaat
tidak hanya sadar akan keberadaan dan tugasnya sebagai orang Kristen, tetapi mampu
merealisasikan imannya ke dalam hidup bermasyarakat. Proses penyadaran merupakan proses
inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Freire mengatakan bahwa dunia kesadaran
seseorang tidak boleh berhenti, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas
dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran
kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni
“kesadaran-nya kesadaran” (the consice of the consciousness).
51
Smith, Conscientizacao, 54.