KUPUTUSKAN MENJADI MUSLIM -...
Transcript of KUPUTUSKAN MENJADI MUSLIM -...
KUPUTUSKAN MENJADI MUSLIM STUDI KASUS TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PADA MU’ALLAF
Ririn Radiawati Kusuma
Emi Zulaifah
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perpindahan agama dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perpindahan agama. Agama adalah hal yang menyangkut perilaku, kepercayaan, dan pengalaman keberagamaan. Agama menyangkut semua aspek kehidupan. Disaat seseorang melakukan perpindahan agama, hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah. Membuat keputusan untuk berpindah agama tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena agama adalah meyangkut diri yang prinsipil. Lalu, bagimanakah proses seeorang untuk berpindah agama? Apakah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang berpindah agama? Dalam penelitian ini dikhususkan perpindahan agama dari non muslim menjadi muslim. Subjek penelitian ini adalah seseorang yang berpindah agama dari non muslim menjadi muslim (mu’allaf). Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara mendalam. Responden wawancara berjumlah empat orang. Dari wawancara tersebut didapatkan gambaran mengenai faktor yang menyebabkan seseorang berpindah agama dan bagaimana proses pengambilan keputusan berpindah agama. Faktor yang menyebabkan seseorang berpindah agama, spesifik dalam penelitian ini, adalah latar belakang agama responden dan ekspos nilai-nilai Islam dalam kehidupan responden. Proses pengambilan keputusan perpindahan agama dibagi menjadi dua proses, yaitu: (1) Proses perpindahan agama bertahap dan (2) Proses perpindahan agama spontan. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini. Kata kunci: konversi agama, mu’allaf
A. Pengantar
Selama dua puluh tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat
secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Muslim dunia adalah 500 juta. Sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Dapat
diperkirakan, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukan hal yang mustahil
2
jika jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama
terbesar di dunia (http://www.harunyahya.com/indo/artikel/067.htm 19/09/05).
Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk
yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tetapi juga jumlah mu’allaf (sebutan
bagi orang yang baru memeluk Islam) yang terus meningkat. Hal tersebut adalah suatu
fenomena yang menonjol, terutama setelah peristiwa pengeboman di World Trade
Center Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 yang tersangka utamanya
merupakan orang Muslim dibawah kepemimpinan Osama bin Laden. Serangan yang
dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim telah mengarahkan perhatian dunia
(khususnya warga Amerika) kepada Islam. Contoh dari kasus tersebut adalah cerita
salah satu mu’allaf yang bernama Khadija Evans yang bertempat tinggal di Alabama.
Khadija Evans berkonversi karena kejadian 11 September 2001
(http://www.islamfortoday.com/evans01.htm 19/09/05).
Di Indonesia, fenomena perpindahan agama mungkin sudah tidak asing lagi dalam
kehidupan sehari-hari, baik itu perpindahan agama dari bukan Muslim menjadi Muslim
ataupun sebaliknya. Tidak sedikit orang berpindah agama dengan alasan menikah. Bagi
pasangan yang berbeda agama dan ingin menikah, harus merelakan salah satu
kepercayaan yang mereka anut, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses
pernikahan.
Menikah adalah salah satu contoh alasan mengapa orang berpindah agama. Turner
(1979), salah satu profesor di bidang Antropologi di Universitas Arizona, mengadakan
studi tentang orang-orang Mexican Indian yang berpindah agama menjadi protestan.
Hasil dari penelitian ini ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang
berpindah agama, yaitu : faktor sosial ekonomi, budaya, misionaris, dan faktor nasional
3
(berkaitan dengan kewarganegaraan, hak milik, dan sebagainya). Bahkan ada penelitian
yang menggunakan konversi agama sebagai terapi bagi rehabilitasi pengguna narkoba,
dengan cara mengubah self-organization pengguna narkoba. Medianya adalah
mengubah para pengguna narkoba menjadi seseorang yang menganut Kristen (Ho-Yee
Ng, 2002).
Faktor-faktor tersebut tidak mutlak, dan belum tentu berlaku bagi setiap orang yang
berpindah agama. Banyak ditemukan pengalaman menjadi seorang mu’allaf, contohnya
adalah Moch Sandy Tjandra yang menceritakan pengalamannya menjadi mu’allaf
dikarenakan pasangannya mengalami sakit yang tidak disembuhkan oleh dokter
manapun, dan memperoleh kesembuhan dengan Islam (www.isnet.org 03/08/05).
Tentang faktor misionaris (istilah ini sering digunakan untuk menyebut penyebaran
agama Kristen), memang ada penjelasannya secara tersendiri. Dalam Islam, penyebaran
agama disebut dengan berda’wah. Perintah berda’wah dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam
surat 16 : 125 (Al Faruqi, 1976), yang artinya adalah:
“Ajaklah kepada syariat Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik dan menarik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu betul-betul mengatahui orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam dalam dunia ilmiah, kajian tentang kehidupan beragama semakin banyak
diminati, khususnya dalam bidang ilmu Psikologi. Banyak buku-buku yang diterbitkan
berbicara mengenai agama. Contohnya saja buku yang pertama kali berbicara tentang
agama, The Psychology of Religion yang ditulis oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun
1899. tak ketinggalan juga banyak jurnal-jurnal ilmiah yang mulai muncul, seperti The
Journal of Religious Psychology dan The American Journal of Religious Psychology and
Education (Subandi, 1994).
4
Di Indonesia, banyak skripsi dan penelitian yang bertemakan agama. Baik itu
berbicara tentang relijiusitas, terapi agama, maupun pengalaman-pengalaman
keberagamaan. Konversi relijius ini juga termasuk salah satu isyu yang melengkapi
kajian ilmiah tentang agama.
Mengingat dalam kultur Indonesia agama adalah sesuatu yang sangat sensitif dan
merupakan suatu identitas, maka penulis ingin mengetahui alasan seseorang untuk
berpindah agama. Dalam pertanyaan singkat dapat disimpulkan: mengapa seseorang
berpindah agama, khususnya Islam. Pertimbangan lain, keputusan untuk berpindah
agama adalah suatu keputusan yang besar, karena agama merupakan sesuatu yang
mendasar dalam hidup dan menjadi prinsip seseorang. Pengambilan keputusan (decision
making) untuk berpindah agama memerlukan pertimbangan yang besar. Disaat
seseorang mulai untuk berpikir dalam pengambilan keputusan, pada saat itulah proses
decision making dimulai. Hal ini menimbulkan pertanyaan lanjutan untuk penulis,
bagaimana proses seeorang berpindah agama, dalam kasus ini adalah berpindah agama
menjadi Islam?
Penelitian tentang konversi agama telah banyak dilakukan dengan metode kualitatif.
Antara lain adalah: Religious Conversion and Community Development (Turner, 1979),
Drug Abuse and Self-Organization: A Personal Construct Study of Religious Conversion
in Drug Rehabilitation (Ho-Yee Ng, 2002), Religious Conversion and Personality Change
(Paloutzian, Richardson, & Rambo, 1999). Turner (1979) meneliti perpindahan agama
dalam suatu komunitas Mexican Indian yang berpindah karena misionaris dari umat
Kristiani. Sedangkan Ho-Yee Ng (2002) meneliti perpindahan agama sebagi media terapi
rehabilitasi. Paloutzian, dkk (1999) meneliti lebih fokus kepada perubahan kepribadian
orang-orang yang berpindah agama.
5
Di Indonesia sendiri, fenomena konversi agama pernah diteiti oleh Ninik Indiarti
dengan judul “Proses Psikologis Konversi Agama Pada Mahasiswa yang Menjadi Muslim”.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penulis lebih fokus kepada faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang berpindah agama dan proses decision making individu
sehingga individu tersebut memilih untuk berpindah menjadi seorang muslim,
sedangkan penelitian Ninik Indiarti bertujuan untuk memahami proses perubahan
psikologis, terutama proses perubahan nilai yang dialami oleh mahasiswa yang
berkonversi agama menjadi muslim.
B. Metode Penelitian
1. Subjek Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah orang yang sudah berpindah ke agama Islam
(mu’allaf) dan tidak dibatasi asal agama. Subjek tidak dibatasi oleh jenis kelamin, usia
dan jenis pekerjaan.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode wawancara.
Wawancara merupakan salah satu metode penting dalam Psikologi. Hampir setiap
kegiatan dalam memahami individu menggunakan metode wawancara. Wawancara
penting karena dari wawancara tersebut akan didapatkan data-data dari individu atau
kelompok tentang makna subjektif yang dipahaminya terkait dengan suatu topik atau
isu (Stewart & Cash, 2000).
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Menurut
Jorgensen (Poerwandari, 2001), analisis adalah memecah, memisahkan, atau
6
menguraikan materi penelitian ke dalam potongan-potongan, bagian-bagian, elemen-
elemen atau unit-unit. Setelah data dipecah, peneliti memilah dan menyaring data untuk
memperoleh tipe, kelas sekuen, pola atau gambaran yang menyeluruh.
Menurut Poerwandari (2001), tahapan analisis data meliputi:
1. Membubuhkan kode awal pada materi yang diperoleh.
2. Menemukan pola (seeing) pada informasi yang tersedia, lalu
mengklasifikasikannya.
3. Peneliti memberikan perhatian kepada substansi data yang dikumpulkan.
4. Menemukan kata kunci dan tema.
Metode lain diungkapkan oleh Corbin dan Strauss (2003) dengan menganalisis data
melalui koding. Corbin dan Strauss membagi koding dalam tiga langkah, yaitu koding
terbuka (open coding), koding aksial (axial coding) dan koding selektif (selective
coding). Poerwandari (2003) secara ringkas menyimpulkan bahwa koding terbuka
memungkinkan peneliti mengidentifikasi ketegori-kategori, properti-properti dan
dimensi-dimensinya. Pada tahap berikutnya, koding aksial mengorganisasi data dengan
cara baru melalui dikembangkannya hubungan-hubungan (koneksi) di antara kategori-
kategori, atau diantara sub kategori dengan sub kategori-sub kategori dibawahnya.
Tahap terakhir adalah koding selektif, melalui mana peneliti menyeleksi kategori yang
paling mendasar, secara sistematis menghubungkannya.
Pada akhirnya memadukan analisis ke dalam suatu kerangka yang dinamakan matrik
kondisional yang merupakan kerangka analisis untuk teoritisasi data. Matrik kondisional
adalah alat bantu analisis, berupa diagram, untuk mempertimbangakan beragam kondisi
dan konsekuensi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Matrik ini
7
memungkinkan peneliti untuk membedakan dan menghubungkan tingkatan kondisi dan
konsekuensi (Corbin & Strauss, 2003).
D. Pembahasan
1. Decision Making
Dalam penelitian ini, ada dua tipe perpindahan agama, yaitu tipe spontan (sudden
conversion) dan tipe bertahap (gradual conversion). Scobie (Paloutzian, 1996)
mengatakan bahwa faktor emosi lebih menonjol dalam proses perpindahan agama
spontan, dan faktor kognitif lebih menonjol dalam proses perpindahan agama bertahap.
Hal ini sesuai dengan apa yang didapat dalam penelitian ini. Perpindahan agama yang
spontan lebih dikarenakan faktor afeksi, contohnya adalah merasa mendapat
ketenangan dan kesenangan jika melihat aktivitas agama Islam. Sedangkan untuk tipe
perpindahan bertahap, lebih menekankan kepada faktor kognisi. Faktor kognisi tersebut
meliputi keraguan terhadap agama lama, penjelasan agama lama tidak masuk akal, dan
lain sebagainya.
Dalam proses pengambilan keputusan, Sternberg (1999) menyampaikan bahwa ada
tiga teori, yaitu Classical Decision Making ( Utility Theory), Subjective Utility Theory,
Satisficing (Herbert Simon), dan Elimination by Aspect. Dari ketiga teori pengambilan
keputusan tersebut, di lain pihak, menurut Northcraft & Neale (1990) sebelum memulai
untuk mengambil keputusan, seeorang harus mengetahui masalahnya terlebih dahulu.
Northcraft & Neale (1990) menjabarkan tentang proses pengambilan keputusan dalam
perusahaan, yaitu mengetahui dan mendefinisikan masalah, pencarian informasi,
mencari alternatif pemecahan masalah, mengevaluasi dan membuat pilihan,
implementasi dan asesesmen terhadap keputusan yang telah diambil. Teori tersebut
8
mungkin lebih ditekankan kepada penyelesaian masalah (problem solving) yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah. Tetapi, ada
satu faktor yang penting dalam proses pengambilan keputusan yang telah diungkapkan
oleh Northcraft & Neale (1990) berkaitan dengan perpindahan agama, yaitu untuk
mengambil suatu keputusan, dibutuhkan pencarian informasi yang berkaitan dengan
pilihan-pilihan yang ada. Dalam kasus ini adalah pencarian informasi tentang Islam dan
jawaban dari semua pertanyaan yang sudah ada.
Lalu bila dilihat dari teori yang telah diungkapkan oleh Sternberg (1999),
pengambilan keputusan cenderung ditekankan kepada hal-hal yang nyata, realistis dan
hanya menyangkut satu aspek kehidupan, tetapi perpindahan agama adalah hal yang
menyangkut semua aspek hidup karena agama adalah pilihan yang akan ditanggung
sampai akhir hidup dan setelahnya.
a. Proses pengambilan keputusan pada perpindahan dengan tipe bertahap
Proses kognitif yang berkaitan dengan keraguan muncul pada Bb dan Ad. Hal
mungkin ada kaitannya dengan keribadian kedua responden yang ingin mencari tahu,
kritis dan rasional. Sungguh merupakan keindahan filosofis jika seseorang menemukan
keraguan dan akhirnya mendapat jawaban. Sedangkan Hn merasakan kenginan untuk
berpindah agama sejak lama, tetapi Hn melakukan proses kognitif untuk
mempertimbangkan keinginannya untuk masuk Islam. Untuk itu, maka proses
perpidahan yang dialami ketiga responden muncul secara bertahap. Selain keraguan,
faktor kognitif juga juga menyangkut emosi. Hal ini terjadi pada Hn. Walaupun tidak ada
keraguan, tetapi Hn mengalami proses pembelajaran nilai-nilai Islam melaui
mempelajari tasawuf. Faktor emosi muncul ada saat Hn menjalankan doa malam, puasa,
dan ingin berdzikir, Hn mengalami ketenangan yang mencerminkan emosi positif.
9
Dari penelitian ini, ditemukan proses yang dilalui pada saat pengambilan keputusan
responden ketika memutuskan untuk berpindah agama, yaitu:
1. Ditemukan masalah, dalam hal ini masalah adalah kehadiran keraguan,
penurunan keyakinan, dan ketidaknyamanan menjalankan dua ritual
beragama.
2. Upaya yang dilakukan untuk mengimbangi permasalahan yang ada. Dalam
penelitian ini, upaya yang dilakukan berhubungan dengan proses cognitive
dissonance yang dialami oleh responden. Upaya yang dilakukan seperti
mencari informasi dan berdiskusi tentang apa yang dirasakan dan dialami
oleh responden kepada orang-orang yang dipercaya responden dapat
memberikan jawaban.
3. Insight. Kesadaran responden untuk berpindah agama menjadi Islam pada
saat berdialog dengan orang yang dipercaya dan atau mimpi spiritual yang
dialami oleh Hn.
4. Memperkuat keputusan dengan cara mempelajari Islam, berdiskusi,
membaca buku, dan menggunakan media lain yang dapat mendukung
keputusan yang akan diambil.
5. Koversi.
6. Memperkuat keputusan setelah berpindah yang fungsinya mendekati
evaluasi terhadap pengambilan keputusan. Nilai-nilai baru berperan dalam
mendukung keputusan yang telah diambil.
Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa alasan responden untuk berpindah
agama menjadi Muslim adalah karena ditemukan kebenaran dalam Islam dan ditemukan
ketenangan dan kedekatan terhadap Tuhan melalui Islam. Hal ini mengingatkan penulis
10
pada teori pengambilan keputusan yang dilontarkan oleh Tversky dan Kahneman
(Sternberg, 1999) yaitu Subjective Utility Theory. Teori ini yang paling mendekati
dengan proses pengambilan keputusan pada fenomena perpindahan agama. Karena,
responden cenderung mengurangi ketidanyamanan dan mencari yang paling tepat atau
yang lebih untung. Kriteria yang digunakan adalah menurut responden itu sendiri.
Perbedaan pengambilan keputusan biasa dengan pengambilan keputusan berpindah
agama adalah adanya variabel-variabel yang mempengaruhi proses pengambilan
keputusan tersebut. Meskipun pengambilan keputusan ini bersifat individu, tetapi tidak
lepas dari hambatan-hambatan, dukungan sosial, peran key person, dan munculnya
fenomena-fenomena atau pengalaman-pengalaman yang mendukung keputusan untuk
berpindah agama.
1. Key Person. Key person adalah seseorang yang berjasa atau seseorang yang
dijadikan tempat diskusi oleh responden. Contohnya Ad dengan ayahnya, Bb dengan
pengusaha tempe, dan Hn dengan Eyang Wahid.
2. Munculnya fenomena-fenomena atau pengalaman-pengalaman yang mendukung
perpindahan agama. Fenomena yang muncul dapat berupa mimpi spiritual, dialog
yang sangat mengena, dan muncul pengalaman piskologis yang positif berkaitan
dengan agama Islam.
3. Hambatan yang ada selama dan sesudah proses pengambilan keputusan
mempengaruhi konversi. Hambatan dapat berupa status ekonomi yang menurun,
dicemooh oleh lingkungan, teman-taman yang kurang mendukung, dan kepribadian
yang kaku untuk menerima sesuatu yang baru.
4. Strategi untuk menyelesaikan masalah atau hambatan yang ada. Sekali lagi, proses
cognitive dissonance muncul lagi sebagai munculnya ketidakcocokan antara
11
keputusan yang telah dibuat dan anggapan lingkungan sosial. Selain itu, hambatan
yang berhubungan dengan diri pribadi responden juga memperngaruhi pengambilan
keputusan.
5. Dukungan lingkungan sosial. Dukungan dari lingkungan sosial yang dapat terdiri dari
keluarga, teman dekat, dan kelompok sosial sangat berarti untuk responden dalam
proses pengambilan keputusan.
Seperti yang telah diketahui, agama mencakup kehidupan seseorang baik pribadi
maupun sosial. Dalam penelitian ini, penulis menemukan hal yang menarik berkaitan
dengan proses pengambilan keputusan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
dalam proses pengambilan keputusan terdapat faktor dukungan keluarga dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi proses perpindahan agama, Hal ini menimbulkan
satu pertanyaan baru, seberapa jauhkan peran keluarga dan lingkungan sosial dalam
pengambilan keputusan berpindah agama dan apakah keluarga dan lingkungan sosial
berpengaruh terhadap tingkat religiusitas seseorang. Karena, manusia selain sebagai
makhluk pribadi juga adalah makhluk sosial. Hal ini semakin menarik bila dilihat dari
kehidupa di Indonesia yang kental dengan kultur berkelompok atau bermasyarakat.
Fenomena perpindahan agama juga dapat dijelaskan dengan menggunakan teori
lain yang menggambarkan tentang proses kognitifnya, yaitu dengan konversi sebagai
analogi yang kreatif. Batson dkk (Paloutzian, 1996) menyatakan bahwa proses mental
yang terlibat dalam perpindahan agama adalah bagian dari kreativitas. Berdasarkan teori
kreativitas yang dikemukakan oleh Baston, Paloutzian (1996) menyimpulkan beberapa
tahap dalam perpindahan agama yang menggambarkan proses kreatif, yaitu (1) krisis
ekstensial, saat seseorang meraba-raba pertanyaan dasar seperti apa arti hidup, (2)
penyerahan diri, mencoba dan gagal menjawab pertanyaan dengan menggunakan sudut
12
pandang kehidupan masa kini atau sudut pandang dunia, (3) pandangan baru,
pertanyaan dapat dijawab dengan menggunakan sudut pandang kepercayaan baru, (4)
hidup baru, menghasilkan perubahan perilaku dan cara baru dalam mengatasi masalah
kehidupan.
Mungkin tidak semua mengalami proses kreatif seperti yang telah dikemukakan oleh
Paloutzian (1996). Hal ini mungkin disebabkan karena karakter orang berbeda-beda dan
proses pengenalan tentang Islam yang berbeda juga yang menyebabkan proses yang
dialami menjadi berbeda.
Northcraft & Neale (1990) menyebutkan bahwa dalam proses pengambilan
keputusan seseorang melalui proses pencarian alternatif pilihan yang ada. Berbeda
dengan penelitian ini, proses pencarian alternatif tidak ada. Hal ini dapat dimungkinkan
karena latar belakang responden yang telah mengetahui Islam sebelumnya. Dapat
disimpulkan bahwa proses pencarian informasi terhadap masalah yang ada dipersempit
hanya dalam lingkup Islam.
Untuk lebih jelasnya, dapat dijelaskan dengan bagan berikut:
13
f. Proses pengambilan keputusan pada perpindahan dengan tipe spontan
Faktor afeksi ditemukan pada Hr. Hr mengalami pergolakan emosi pada saat peorses
perpindahan agama. Perpindahan yang secara tiba-tiba dan tanpa pertimbangan
apapun. Keinginan untuk berpindah tiba-tiba muncul dan saat itu juga Hr berpindah. Hr
mengatakan, semenjak Hr menemukan ketenangan dan kenyamanan melihat aktivitas
umat muslim, pada saat itu, keinginan untuk masuk Islam belum muncul. Alasan
mengapa perasaan ingin berpindah muncul secara tiba-tiba belum dapat dijelaskan
secara empiris. Mungkin hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan positif terhadap
aktivitas agama Islam yang muncul secara bertahap dan menumpuk dan tidak dapat
dibendung, sehingga membuat Hr mengungkapkan ide untuk berpindah agama secara
spontan. Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan dengan bagan berikut:
Mendefinisikan masalah: - cognitive
dissonance - keraguan
Pencarian informasi sehubungan dengan permasalahan
Insight
Evaluasi/ memperkuat setelah pengambilan keputusan
Konversi Upaya untuk memperkuat insight dan mencari motif pembenaran
Key person Fenomena/pen
galaman yg mendukung
Dukungan sosial Strategi
megatasi hambatan
Hambatan
14
2. Faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan agama
Latar belakang agama dalam kehidupan responden merupakan faktor yang
mendorong perpindahan agama, hal ini seperti yang disinyalir oleh Jalaluddin (1996)
yang menyatakan keluarga atau perbedaan agama di keluarga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama. Sedangkan ekspos nilai-nilai
Islam dalam kehidupan seseorang, juga dapat mempengaruhi seseorang untuk
berpindah agama. Hal ini ditegaskan dengan pendapat Jalaluddin (1996) bahwa
penyebab terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial tersebut
antara lain adalah pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat
keagamaan maupun non agama. Bentuk dari pernyataan ini adalah hubungan dengan
ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut juga ditemukan dalam penelitian ini, yaitu pada
Hn dan Bb. Dalam hal ini, Hn menyebutkan bahwa Hn mengenal Islam pada saat Hn
mempelajari tasawuf (Hn/R3/ 0305, Brs: 35-38, 39-41, 85, 86-88, 167-175). Bb
Muncul masalah: penurunan keyakinan
Muncul emosi positif berkaitan dengan ibadah agama Islam
Konversi evaluasi dan memperkuat keputusan pasca pangambilan keputusan
Dukungan sosial
15
menyebutkan bahwa mengenal Islam dari bangku kuliahnya (Bb/R4/ 0905, Brs: 12-17,
93-96, 98-100).
Pengaruh sosial lain adalah pengaruh kebiasaan rutin. Jalaluddin (1996)
mengatakan bahwa pengaruh kebiasaan rutin dapat mendorong seseorang atau
kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga terbiasa,
misalnya: menghadiri upacara keagamaan, ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat
keagamaan baik pada lembaga formal ataupun non formal. Dalam penelitian ini,
berkaitan erat dengan temuan di lapangan yang berupa toleransi terhadap agama lain
(Islam) yang tinggi. Hal ini ditemukan pada responden Ad dan Hr. Kedua responden
tersebut melakukan perilaku toleransi terhadap Islam yang sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan dalam keluarga terdapat dua agama, yaitu agama Islam dan agama asal.
Hr misalnya, mengikuti kegiatan puasa selama bulan Ramadhan karena posisi Hr
sebagai seorang ibu yang harus menyiapkan sahurnya. Selain itu Hr juga menikahkan
anaknya dengan cara Islam. Toleransi Ad dengan agama Islam muncul pada saat Ad
melakukan dua ritual agama pada waktu kecil.
Penurunan keyakinan terdahulu sebagai akibat dari ekspos nilai-nilai Islam
menyebabkan seseorang mengalami suatu dampak dari penurunan keyakinan tersebut.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif maupun negatif. Dampak
negatif, yaitu berupa perasaan bersalah dan ketidaknyamanan menjalankan dua ritual
agama, telah lama dibahas dalam literatur psikologi agama. Clark (1958) menyatakan
bahwa tahap pertama proses konversi dapat dilihat dari karakteristik yang berupa
konflik dan perjuangan mental yang aktif. Konflik dialami responden adalah pada saat
muncul rasa bersalah dan ketidaknyamanan menjalankan dua agama.
16
Rasa bersalah muncul pada saat responden merasa menghianati agama yang
terdahulu, hal ini diungkapkan oleh Hn. Rasa bersalah juga dialami oleh Hr. Selain rasa
bersalah terhadap agama terdahulu, Hr juga merasa bersalah kepada kerabat, terutama
ayahnya, dan berlanjut sampai muncul mimpi yang mencerminkan rasa bersalah Hr.
Ketidaknyamanan menjalankan dua agama dialami oleh Bb dan Hn. Hn yang
menjalankan nilai-nilai Islam melalui tasawuf dan sekaligus sebagai aktifis gereja merasa
dilemma dengan aktivitasnya yang bertentangan. Ketidanyamanan Hn berhubungan erat
dengan rasa bersalah dan kekhawatiran Hn terhadap reaksi orang-orang terdekat jika
Hn berpindah agama. Bb mengalami ketidaknyamanan pada saat Bb sudah mengetahui
Islam adalah agama yang benar tetapi masih sulit untuk melepas pekerjaan yang lama.
Dampak positif yang dialami oleh responden berkaitan dengan penurunan
keyakinan adalah mencari tahu, emosi positif berkaitan dengan ritual agama baru dan
mimpi spiritual. Mencari tahu, dalam kasus ini, berkaitan dengan keraguan-keraguan
yang dialami oleh responden. Starbuck (Jalaluddin, 1996) menyatakan bahwa bahwa
salah satu faktor yang menimbulkan keraguan dalam diri manusia adalah pernyataan
kebutuhan manusia. Menurut Starbuck (Jalaluddin, 1996), manusia memiliki sifat
konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin
tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada dalam diri
manusia., karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal.
Lebih spesifik, Jalaluddin (1996) menjabaran terjadinya keraguan yang disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain mengenai:
1. Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya, terutama (dalam
agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas.
17
2. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci
agama
3. Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam Kristen
4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan
5. Pemuka agama, biarawan dan biarawati
6. Perbedaan aliran keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau mazhab (Islam)
Emosi positif yang dialami Hr adalah merasa tenang dan nyaman bila melihat
seorang muslim yang sedang menjalankan aktivitas agamanya. Paloutzian (1996) juga
mengatakan bahwa emosi ini dapat muncul pada saat seseorang merasa hatinya
tersentuh dan mendapatkan kenyamanan pada saat mendengarkan lagu-lagu di gereja.
Dampak positif lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah terjadinya mimpi
spiritual. Mimpi spiritual atau lebih dikenal dengan hidayah, dialami oleh Hn sebagai
suatu keinginan bawah sadar untuk masuk Islam. Menurut Freud (Nashori, 2002), mimpi
yang dialami oleh manusia adalah ekspresi dari pengalaman dan keinginan yang
terpendam. Dengan mimpi, seseorang secara tidak sadar berusaha memenuhi hasrat
dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang
diinginkan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mimpi yang dialami oleh Hn dan Hr
terjadi. Hr merasa bersalah dan perasaan itu muncul dalam mimpi sebagai suatu hal
yang tidak dapat diungkapkan ke kehidupan nyata. Pada kasus Hn, bila dijelaskan
dengan teori Freud, maka keinginan Hn yang sangat untuk berpindah agama dan
terhambat oleh hambatan-hambatan yang diciptakannya sendiri, maka diungkapkan
dengan mimpi yang menyuruh Hn untuk segera berpindah.
Fenomena tentang mimpi yang dialami oleh Hn dapat juga dijelaskan dari sisi agama
atau spiritual. Para tokoh dan ahli agama mengungkapkan bahwa dalam agama Islam,
18
sudah biasa dilakukan shalat istikhrah bila sedang bingung dalam menentukan pilihan.
Sholat ini bertujuan agar memperoleh petunjuk dari Allah melalui mimpi. Mimpi yang
terjadi adalah (dalam Islam) mimpi yang benar atau mimpi nubuwat. Mimpi yang
mengandung petunjuk-petunjuk yang benar dari Allah (Nashori, 2002).
3. Cognitive Dissonance
Adanya dampak positif dan negatif, membuat responden melakukan suatu perilaku
untuk mengimbangi dampak-dampak tersebut. Dalam ilmu Psikologi, perlaku ini disebut
cognitive dissonance. Festinger (Baron & Bryne. 1994) mengatakan bahwa cognitive
dissonance adalah suatu perasaan, biasanya tidak mengenakkan, yang meningkat pada
saat seseorang menemukan ketidakcocokan (inconsistency) diantara kedua sikap atau
antara sikap dan perilaku. Hal ini sangat berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan karena individu diharuskan untuk memilih dari satu atau lebih pilihan.
Dalam melakukan sesuatu yang tidak cocok dengan sikap individu kadang-kadang
menyebabkan individu untuk mengubah sikap itu sendiri (Baron & Bryne, 1994). Dalam
penelitian ini, dapat dicontohkan dengan peristiwa munculnya dampak negatif dan upaya
untuk mengimbanginya agar responden tetap pada pilihan untuk berpindah. Dalam
kasus lain, Kazdin (2000) mencontohkan dengan pecandu rokok. Untuk mengurangi
ketidakcocokan, Kazdin (2000) menemukan bahwa seseorang akan melakukan perilaku-
perilaku untuk meyakinkan dirinya sendiri, mencari info untuk menguatkan perilakunya
dan mencontoh seseorang yang sukses dengan perilaku tersebut. Dalam penelitian ini,
perilaku yang muncul untu mengurangi ketidakcocokan adalah dengan meyakinkan diri
sendiri, mencari info dan adanya kemunculan emosi positif berkaitan dengan aktivitas
dalam agama Islam.
19
Ada tiga macam teori tentang cognitive dissonance. Kazdin (2000) membaginya
atas dasar eksperimen klasik yang dilakukan oleh beberapa tokoh terdahulu. Teori
tersebut antara lain:
1. Post-decision dissonance. Teori ini menjelaskan tentang bila seseorang membuat
keputusan yang sulit, maka individu tersebut akan mengalami ketidakcocokan
karena semua aspek negatif dari alternatif yang dipilih tidak cocok dengan memilih
alternatif itu sendiri. Di pihak lain, aspek positif alternatif yang tidak dipakai tidak
cocok dengan menolak alternatif itu sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada
ketidakcocokan antara aspek-aspek yang diinginkan dengan kenyataan pemilihan
alternatif. Brehm (Kazdin, 2000) menyatakan bahwa dalam beberapa menit setelah
membuat keputusan yang sulit, maka seseorang akan mengurangi ketidakcocokan
tersebut dengan menyebarkan evaluasi dari kedua alternatif – membuat diri mereka
percaya bahwa alternatif yang telah dipilih lebih menarik daripada pemikiran yang
terdahulu – dan alternatif yang tidak dipilih tidak menarik. Hal ini dialami oleh
responden dengan menciptakan keyakinan-keyakinan yang positif tentang keputusan
yang telah diambil. Sikap lain yang mendukung adalah bahwa responden mecari
tahu tentang keraguan, menemukan emosi positif berkaitan dengan aktivitas
beribadah agama Islam.
2. Effort and dissonance. Teori ini menyatakan bahwa semakin berat seseorang
berjuang untuk sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin berharga. Untuk
mengurangi ketidakcocokan, seseorang akan mendistorsi persepsi semua aitem
untuk menjadi positif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sugesti sangat penting dalam
teori ini. Hal ini dilami oleh Bb yang meganggap pencarian Tuhan itu penting karena
itu adalah sebagai pembanding dan hal yang prinsipil. Jadi, anggapan bahwa untuk
20
mencari Tuhan adalah suatu yang penting, maka semakin berusaha, maka akan
semakin berharga.
3. Induced compliance. Ketika seseorang disuruh untuk mengeluarkan suatu
pernyataan yang berlawanan dengan kepercayaan atau pendapat pribadinya, maka
dorongan terbesar dapat membuat seseorang untuk merubah pendapat pribadinya
seiring dengan pernyataan yang telah dibuat. Ketidakcocokan dikurangi dengan cara
meyakinkan diri bahwa pernyataan yang dibuat sangat dekat dengan realitanya.
Cognitive dissonance adalah situasi yang tidak mengenakkan, seseorang yang
mengalami hal ini akan termotivasi untuk menguranginya. Baron & Bryne (1994)
menjelasakan adanya beberapa kemungkinan untuk mengurangi perasaan itu, antara
lain:
1. Individu dapat merubah sikapnya sehingga menjadi konsisten dengan perilaku
individu tersebut.
2. Individu akan merubah kognisi mengenai perilaku mereka.
3. Dissonance dapat dikurangi dengan cara mendapatkan informasi baru yang
mendukung sikap atau perilaku yang semula tidak cocok.
4. Dissonance dapat dikurangi dengan cara meminilisasi pentingnya
ketidakkonsistenan. Atau dengan kata lain, dengan meyakinkan diri.
Kedua pendapat tersebut memang tidak jauh berbeda. Bagian yang paling menarik
adalah, dalam proses perpindahan agama, seseorang mengalami cognitive dissonance
dan responden berusaha menyeimbangkan dengan cara yang telah disebutkan, yaitu
mencari informasi, meyakinkan diri, dan merubah kognisi. Ketidakcocokan ditimbulkan
oleh nilai-nilai yang terdahulu yang tidak cocok dengan nilai-nilai baru atau agama yang
lama tidak sesuai dengan pemahaman responden itu sendiri. Hal lain yang
21
mempengaruhi ketidakcocokan adalah pengaruh dari lingkungan. Kerabat, teman dan
lingkungan yang tidak mendukung tentu tidak cocok dengan pandangan responden
tentang ketidakcocokan dengan agama lama. Jadi, ada dua fenomena cognitive
dissonance disini. Pertama adalah ketidakcocokan (dissonance) antara agama lama
dengan pemahaman atau pengalaman pribadi responden. Hal ini terjadi pada responden
yang mengalami keraguan, penurunan aktivitas agama, dan penggunaan nilai-nilai Islam
yang tidak sesuai dengan agama lama. Koping yang terjadi adalah responden berusaha
mencari informasi untuk menyeimbangkan atau mengatasi ketidakcocokan tersebut.
Selain itu, munculnya reaksi emosi positif yang merupakan perubahan kognisi terhadap
perilaku yang mucul karena jarang melakukan kegiatan agama terdahulu.
Kedua, adanya ketidakcocokan antara respon lingkungan sosial (dalam hal ini adalah
lingkungan keluarga, teman, dan komunitas lama) dengan pilihan yang diambil oleh
responden. Untuk mengatasi ketidakcocokan tersebut, responden berusaha untuk yakin
dengan pilihannya. Hal yang menarik dari fenomena perpindahan agama adalah
responden mengurangi ketidakcocokan dengan tawakal dan tetap fokus kepada sesuatu
yang dianggapnya benar.
Pengambilan keputusan untuk berpindah agama tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Beberapa teori pengambilan keputusan dilontarkan oleh tokoh-tokoh
Psikologi, tetapi belum bisa mewakili secara keseluruhan detil proses pengambilan
keputusan perpindahan agama. Dari penelitian ini, ditemukan perbedaan dari teori
proses pengambilan keputusan yang telah ada.
Tidak ada hal yang sempurna, begitu juga dengan penelitian ini. Peneliti merasa
kurang menggali variabel-variabel yang memengaruhi proses pengambilan keputusan
dan laju pengaruhnya, apakah kecil atau besar, apakah saling mempengaruhi atau
22
hanya satu arah saja. Padahal, variabel-variabel yang mempengaruhi pengambilan
keputusan untuk berpindah agama menarik untuk dibahas. Dalam penelitian ini,
variabel-variabel yang mempengaruhi perpindahan agama muncul hanya sepintas saja.
Maka untuk penelitian selanjutnya, diharap untuk lebih menggali variabel-variabel
tersebut.
F. Saran
1. Saran untuk responden
Saran untuk responden dalam penelitian ini adalah untuk selalu fokus dan tidak
peduli dengan hal-hal negatif yang dibicarakan mengenai responden. Responden
diharapkan dapat membagi pengalamannya dengan umat muslim lainnya. Karena
seorang yang muslim dari lahir belum tentu sepandai mu’allaf. Sebaiknya responden
mengurangi keresahannya dengan tetap tawakal dan menumbuhkan keyakinan-
keyakinan untuk menjadi muslim.
2. Saran untuk penelitian selanjutnya
Dalam penelitian ini lebih fokus kepada perpindahan dari non muslim menjadi
muslim, disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk mengambil topik perpindahan
agama dari muslim menjadi non muslim. Asumsinya adalah bahwa Islam adalah
agama yang sempurna, bila dilihat dari sudut pandang umat Muslim, tetapi kenapa
seseorang berpindah untuk memeluk agama yang lebih tua dan banyak diragukan?
Motif apa yang membuat seseorang berpindah menjadi non muslim?
Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk mengambil responden yang lebih
variatif, baik itu dari latar belakang agama maupun motivasi untuk berpindah.
Misalnya karena alasan menikah, dipaksa, dan lain sebagainya.
23
Dalam penelitian ini juga ditemukan peran lingkungan sosial terhadap proses
perpindahan agama. Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengangkat topik ini
sebagai fokus penelitian. Hal lain yang juga menarik adalah peranan lingkungan
sosial terhadap kadar keagamaan seseorang.
G. Daftar Pustaka
Al-Faruqi, Ismail. 1976. On The Nature of Islamic Da’wah. International Review of Mission, 260, 391-409
Baron, A. Robert & Bryne, Donn. 1994. Social Psychology: Understanding Human Interaction. Massachusetts: Allyn and Bacon
Clark, W. H. 1967. The Psychology of Religion. New York: The MacMillan Co.
Fontana, David. 2003. Psychology, Religion, and Spirituality. Corn Wall: MPG Books, Ltd.
Hady, Aslam. 1986. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: CV. Rajawali.
Ho-Yee Ng. 2002. Drug Abuse and Self-Organization: A Personal Construct Study of Religious Conversion in Drug Rehabilitation. Journal of Constructivist Psychology, 15, 263-278
Indarti, Ninik. 2001. Proses Psikologis Konversi Agama Pada Mahasiswa yang Menjadi Muslim. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Kazdin, A. E. 2000. Encyclopedia of Psychology volume 2. New York: Oxford University Press
Kazdin, A. E. 2000. Encyclopedia of Psychology volume 7. New York: Oxford University Press
Kumolohadi, Retno. 2005. Psikodiagnostik VI: Wawancara. Hand out (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Landis, Judson R. 1971. Sociology: Concept and Characteristic. California: Wadsworth Publishing Company Inc
24
Nashori, Fuad. 2002. Mimpi Nubuwat: Menetaskan Mimpi yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nashori, Fuad. 2002. Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Northcraft, Gregory & Neale, Margareth. 1990. Organizational Behavior: A Management Challenge. USA: The Dryden Press
Popenoe, David. 1977. Sociology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Paloutzian, Raymond F., Richardson, James T. dan Rambo, Lewis R. 1999. Religious Conversion and Personality Change. Jounal of Personality, 67:6, 1047-1079.
Paloutzian, Raymond F. 1996. Invitation to the Psychology of Religion. Massachusetts: Allyn and Bacon
Poerwandari .E, Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Reed, Stephen K. 1999. Cognition 5th Edition. USA: Wadsworth/Thomson Learning.
Rokeach, Milton. 1968. Beliefs, Attitudes and Values. San Francisco: Jossey-Bass. Inc.
Sternberg, R. J. 1999. Cognitive Psychology 2nd Edition. USA: Yale University.
Stewart, Charles J. dan Cash, William B. 2000. Interviewing: Priciples and Practices 9th edition. USA: Mc. Graw Hill
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. 2003.Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Subandi. 1994. Psikologi Agama: Sebuah Tinjauan Historis. Bulletin Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1, 7-9
Turner, Paul R. 1979. Religious Conversion and Community Development. Journal For The Scientific Study of Religion, 18, 252-260
25
Sumber dari internet:
Evans, Khadija. 2001. How We Came To Embrace Islam. http://www.islamfortoday.com/evans01.htm19/09/05
Tjandra, Moch Sandy. 1996. Perjalanan Menjadi Mualaf. Http://www.isnet.org/archive-milis/archive96/aug96/0025.html03/08/05
Yahya, Harun. 2005. Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa. http://www.harunyahya.com/indo/artikel/067.htm19/09/05