kumpulan tesis contoh

download kumpulan tesis contoh

of 22

Transcript of kumpulan tesis contoh

TESIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DI SMP X (PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM) BAB PENDAHULUAN I

A. Latar Belakang Masalah Kualitas suatu masyarakat atau bangsa tidak hanya ditentukan oleh derajat kompetensinya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tetapi juga oleh keyakinan dan sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan moral. Nilai-nilai keagamaan dan moralitas suatu bangsa menjadi tolok ukkur apakah bangsa itu beradab dan berbudaya tinggi atau tidak. Memang benar bahwa masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya. Keberhasilan modernisasi telah menunjukkan eksistensi yang sangat menjanjikan dan membanggakan. Terbukti, apa yang dulu belum dikenal manusia, sekarang sudah tidak asing lagi. Kesulitan dan bahaya alamiah yang dahulu menghambat perhubungan sekarang bukan masalah lagi. Bahaya penyakit menular yang dahulu ditakuti, sekarang sudah dapat ditangani dengan usaha-usaha medis. Namun di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhlaq al- Karimah). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya membawa kebahagiaan dan kemaslahatan yang lebih banyak kepada manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan, bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh. Meskipun kemakmuran tampak terlihat namun hidup terasa semakin sulit secara material disebabkan oleh sifat konsumerisme yang diakibatkan oleh maraknya iklan di media cetak maupun elektronik. Kesulitan material kemudian berganti dengan kesukaran mental-spiritual. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga menguangi kebahagiaan. Suatu realita dalam dunia moderen dewasa ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Hal ini disebabkan ketidak-singkronan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) atau pembangunan fisik-jasmaniah dengankebutuhanspiritual-rohaniah(transendental). Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhlaq al- Karimah). Akhirakhir ini terdapat fakta banyaknya peristiwa biadab di tanah air kita seerti peristiwa Ambon (Maluku), Sampit (Kalimantan), pemerkosaan, pembunuhan dengan mutilasi, dan teror bom. Hampir semua pihak sepakat bahwa krisis multidimensional di Indonesia saat ini sesungguhnya berpangkal dari krisis moral-keagamaan. Namun demikian ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu secara terus menerus dikembangkan karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak segi kehidupan menjadi lebih mudah.

Penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mengantarkan manusia menemukan bentuknya, terutama memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu diimbangi dengan penguatan benteng moralitaskeagamaan (dalam hal ini agama Islam).Sebagai agama, Islam memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya- lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agamaagama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.Pendidikan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa hal ini terjadi. Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan -dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya. Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman: Artinya: 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Demikian pula dengan al-H{adith, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:

Artinya: Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ". (HR. Ibnu Majah) Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadith sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya. Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan.3 Kemampuan lain yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor. Di antara ke tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat manusia. Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia". Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunian dan akhirat. Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.5 Ironisnya, di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan Islam), suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi, peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh agama. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil", "apa yang salah di dunia pendidikan kita". Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang berperilaku kotor. Hal ini merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembagalembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi

dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang kurang senada dengan keinginan peserta didik. Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan perilaku. Diantara upaya untuk mengatasinya adalah dengan perbaikan pengelolaan pembelajaran dengan memanfaatkan hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), salah satunya adalah internet. Ada beberapa pertimbangan berkaitan penggunaan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam. Pertama, internet merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang saat ini sedang menjadi tren dan disukai oleh peserta didik. Kedua, internet menyediakan informasi yang nyaris tanpa batas, termasuk yang berkaitan ajaran agama Islam. Ketiga, peserta didik menjadi trampil menggali informasi berkaitan dengan agama Islam, sehingga pemahaman yang diperoleh relatif komprehensif. Salah satu sekolah yang menggunakan internet sebagai basis pengelolaan pembelajarannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) X (selanjutnya disebut SMP X). SMP X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mendapat pengakuan oleh pakar pendidikan nasional maupun internasional. Untuk itu Penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian berkaitan pemanfaatan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam di lembaga tersebut. Penelitian ini diberi judul "Pengelolaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Teknologi Informasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) X"

B. Identifikasi Masalah Pengelolaan Pembelajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan proses panjang yang dimulai dengan perencanaan, pengorganisasian dan penilaian. Perencanaan meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapai, waktu dan personel yang diperlukan. Sedang pengorganisasian merupakan pembagian tugas kepada personel yang terlibat dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran, pengkoordinasian, pengarahan dan pemantauan. Evaluasi sebagai proses dilaksanakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan yang telah dicanangkan, faktor pendukung dan penghambatnya.6 Untuk mencapai tujuan pembelajaran banyak ragam Teknologi Informasi yang dapat digunakan. Teknologi Informasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan lain sebagainya. Teknologi Informasi yang digunakan dalam dunia pendidikan Namun secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Audio : Radio, telepon, pager dan lain-lain.

2. Visual : Slide, koran, majalah dan lain-lain. 3. Audio visual : televisi, komputer, internet dan lain-lain Dari beragam Teknologi Informasi tersebut ada yang tergolong media interaktif dan noninteraktif. Slide, koran, majalah, televisi dan yang semisal masuk dalam kategori media noninteraktif. Sebab pengguna tidak dapat mengubah isi dan penyajian, variasi hanya terjadi pada kualitas produksi. Sedang komputer dan internet masuk dalam kategori media interaktif. Subyek didik memiliki kesempatan untuk berinteraksi dalam bentuk mempengaruhi atau mengubah urutan yang disajikan.7 Dengan internet, guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan subyek didik. Demikian pula subyek didik dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut "cyber teaching" atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis Teknologi Informasi seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Centered Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dan lainlain.8 C. Batasan Masalah Cakupan judul ini begitu luas sedang waktu dan kemampuan penulis begitu terbatas. Oleh sebab itu agar penelitian ini fokus maka diperlukan diperlukan pembatasan masalah. Adapun masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: Perencanaan, pengorganisasian, dan evaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi (dalam hal ini internet), faktor pendukung dan penghambat serta langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi hambatan. D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis menyusun Rumusan Masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pengelola Sekolah merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi? 2. Bagaimana Pengelola Sekolah mengevaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi?

3. Faktor apa yang mendukung dan menghambat serta bagaimana Pengelola Sekolah mengatasi hambatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi? E. Penjelasan Judul Judul penelitian ini mengandung beberapa istilah yang masing-masing banyak dibahas dan menjadi perdebatan para ahli. Oleh karena itu agar ada kesamaan persepsi, istilah-istilah yang ada pada judul penelitian ini perlu didefinisikan satu-persatu: 1. Pengelolaan Pengelolaan adalah proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi. Selain itu Pengelolaan juga berarti proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain.9 Dalam pengelolaan tercakup -minimal- 3 hal, yakni perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. 2. Pembelajaran Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instruction yang diartikan sebagai suatu upaya untuk membelajarkan subyek didik.10 Pembelajaran merupakan proses mengatur lingkungan agar subyek didik belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang didimilikinya.11 Aspek terpenting dari pembelajaran adalah membelajarkan siswa. Bukan memberikan pelajaran kepada siswa. Pembelajaran adalah proses pembelajaran antara guru dan murid. Kegiatan ini di dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah PBM (Proses Belajar Mengajar). Di dalam PBM terkandung dua hal pokok yaitu kegiatan guru dalam mengajar -dalam arti membelajrakan siswa- dan kegiatan siswa dalam belajar.12 3. Pendidikan Agama Islam (PAI) Pendidikan adalah proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien yang di dalamnya tercakup transfer ilmu, transformasi nilai dan pembentukan kepribadian.13 Kata "Pendidikan" di sini dirangkai dengan kata "Agama Islam", sehingga Pendidikan Agama Islam berarti pendidikan mengenai seluruh aspek Agama Islam secara luas. Ada beberapa definisi Pendidikan Agama Islam yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah: a. Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).14 b. Usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu subyek didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.15 Dari definisi di atas diketahui bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan suatu proses menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik dan membantu mereka untuk menginternalisasikannya sebagai pandangan hidup dan mengimplementasikannya dalam sikap dan perilaku. Namun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam konteks pendidikan menengah formal di Indonesia adalah al-Qur'an-Hadith, Aqidah, Akhlak, Fiqih dan Tarikh Peradapan Islam sebagaimana termaktub dalam Peraturan Mendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Mendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi

Lulusan. 4. Teknologi Informasi (TI) Teknologi Informasi dilihat dari kata penyusunnya adalah teknologi dan informasi. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.16 Sedang informasi adalah pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu.17 Jadi Teknologi Informasi adalah peralatan yang digunakan menyampaikan pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu. Secara mudahnya teknologi informasi adalah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari bagian pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan: a. lebih cepat b. c. lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya.18 5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alternatif Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan jenjang pendidikan sebagai kelanjutan dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Diniyah Ula (MDU) atau Pesantren Dasar (PD). Di belakang akronim SMP ditambah kata alternatif karena lembaga pendidikan ini didirikan sebagai salah satu pilihan pendidikan formal yang berbeda dengan lembaga pendidikan formal yang lain.19

F. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Bagaimana Pengelola Sekolah merencanakan dan mengorganisasikan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi. 2. Bagaimana Pengelola Sekolah mengevaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi 3. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat serta langkah yang ditempuh

oleh Pengelola Sekolah untuk mengatasi hambatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)berbasis Teknologi Informasi.

G. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran dan masukan dalam upaya pengembangan Ilmu Pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Sedang secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait: 1. Bagi Institut X, hasil penelitian ini merupakan sumber kajian bagi mahasiswa baik sebagai pengayaan maupun untuk penelitian 2. Bagi Perpustakaan, hasil penelitian ini merupakan input untuk menambah koleksi khazanah kepustakaan. 3. Bagi Lembaga Pendidikan yang diteliti, hasil penelitian ini merupakan potret diri sebagai bahan refleksi untuk peningkatan kualitas pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. 4. Bagi Peneliti, penelitian ini merupakan pengalaman yang berharga untuk memperluas cakrawala pemikiran dan memperluas wawasan. 5. Bagi Masyarakat luas, hasil penelitian ini merupakan salah satu alternatif pengelolaan pembelajaran, yakni pembelajaran dengan Teknologi Informasi yang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam memecahkan problem pendidikan. H. Kajian Pustaka Setelah diadakan penelusuran kepustakaan, Penulis menemukan beberapa buku yang mengupas beberapa hal mengenai SMP X, di antaranya adalah "Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah". Buku ini mengupas beberapa kontroversi dalam kebijakan pendidikan di Indonesia dan menegaskan bahwa potensi masyarakat yang sudah mandiri untuk mencerdaskan anak bangsa. Ada dua hal menarik yang diungkapkan buku ini tentang SMP X. Pertama, lembaga pendidikan ini menekankan goal setting pada basis potensi anak. Kedua, pemberdayaan dengan prinsip menciptakan sekolah murah dan bermutu. Sementara itu Sujono Samba dalam bukunya yang berjudul "Lebih Baik Tidak Sekolah" mengangkat fakta yang menarik tentang lahirnya pendidikan alternatif

berbasis komunitas yang didirikan oleh penduduk X. Pendidikan yang didirikan sebagai wujud keprihatinan atas problem pendidikan di Indonesia ini diberi nama SMP X. Untuk menghasilkan alumni yang tangguh dalam mengelola sumber daya berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan dan keseimbangan alam, lembaga ini mengenbangkan tradisi, kurikulum, prinsip serta model pembelajaran yang berbeda dengan mainstream pada umumnya. Buku lainnya "Kurukulum yang Mencerdaskan; visi 2030 dan pendidikan alternatif" mengupas di antaranya adalah- konsep pembelajaran di SMP X. Di SMP ini tidak ada Konsep Belajar Mengajar (KBM), yang ada adalah belajar bersama. Persyaratan utama yang harus dimiliki seorang guru adalah kemauan belajar dan memiliki pengalaman yang lebih dalam hal strategi belajar dan bukan metode mengajar. Guru yang memiliki beberapa "kelebihan" dalam penguasaan suatu materi lebih memosisikan diri sebagai salah satu resource dari beberapa resource yang bisa diakses siswa seperti kebun, buku, penjelajahan internet dan lain-lain. Dari beberapa sumber pustaka yang berhasil dilacak penulis belum ada yang menjelaskan secara rinci mengenai pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi. I. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian dan pendekatan Penelitian yang akan diadakan ini termasuk penelitian kasus (Case Studies) yaitu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu.20 2. Teknik pengumpulan data Untuk mengumpulkan data digunakan beberapa teknik, yaitu: a. Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati gejala-gejala atau peristiwa yang terjadi pada obyek penelitian.21 Dengan metode ini Penulis akan melihat obyek penelitian secara langsung dengan mengamati, menggambarkan dan memberikan contoh terhadap obyek penelitian agar mampu memberikan konsep yang sesuai dengan lokasi. b. Interview

Interview atau yang biasa dikenal dengan wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian.22 Data yang diharapkan diperoleh dari metode ini adalah aplikasi pembelajaran PAI berbasis TI, dampak positif dan negatifnya serta bagaimana Penyelenggara mengatasi dampak negatifnya. Data yang telah diperoleh dari suatu subyek, setelah diinterpretasi kemudian dicross check (dieperiksakan kembali) kepada subyek lain sampai diyakini data yang diperoleh sesuai keadaan sebenarnya. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik penggalian data dengan cara mengumpulkan data dokumenter. Data Dokumenter23 adalah laporan tertulis dari penjelasan dan pemikiran terhadap peristiwa itu, serta ditulis dengan sengaja untuk menyiapkan atau meneruskan keterangan menjadi peristiwa tersebut. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dari dokumen tertulis yang dimiliki oleh lembaga. Dokumen dimaksud dapat berbentuk catatan hasil rapat, hasil seminar, program kerja, gambar ( denah,foto dan data statistik) dan buku. 3. Analisis data Data yang telah terkumpul diklasifikasikan menjadi dua, yakni data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yakni data yang berbentuk kata-kata dipisahpisahkan menurut kategori untuk diambil kesimpulan. Sedang data kuantitatif, yakni data yang berupa angka hasil dari penghitungan atau pengukuran diproses dengan cara dijumlahkan, diklasifikasikan sehingga merupakan suatu susunan urut data (array) untuk kemudian diproses menjadi perhitungan pengambilan kesimpulan.24 Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman sebagai berikut:25 a. Reduksi data Pada tahap pertama, data-data yang terkumpul di lapangan ditulis dalam bentuk

uraian atau laporan terinci. Mengingat banyaknya data yang masuk, maka agar tidak menyulitkan kemudian data-data tersebut direduksi dan dirangkum dengan memilih hal-hal pokok serta disusun secara sistematis. Dengan adanya proses reduksi data ini akan mempermudah memberikan kodekode pada aspek tertentu agar mudah dicari kembali jika diperlukan. Selain itu data yang sudah direduksi ini dapat memberikan gambaran yang lebih tajam berkaitan dengan oyek penelitian. b. Display data Display Data merupakan proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis. Proses ini dilakukan dengan visuslisasi data dalam bentuk tabel, matrik, diagram, atau grafik. Dengan langkah ini data akan lebih mudah dianalisis. c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi Langkah ini merupakan langkah ketiga dari langkah-langkah analisis data. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan lain sebagainya yang mengarah pada konsep pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi (TI) dan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan. 4. Pengecekan kesahihan temuan Temuan yang berupa kesimpulan pada awalnya masih diragukan, kabur, dan tentatif. Dengan bertambahnya data dan proses verifikasi terus menerus hingga kesimpulan akhir setelah data terkait didapatkan dan dianalisis. Untuk menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan pelaku, diadakan pengecekan data dengan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.26 J. Sitematika Pembahasan Agar diperoleh gambaran yang utuh mengenai penelitian ini perlu dikemukakan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab Satu, memuat dasar pemikiran yang memunculkan ide untuk mengadakan penelitian ini. Dilanjutkan dengan identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan

masalah, penjelasan judul, tujuan penelitian, manfaat Penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab Dua, berisi gambaran obyek penelitian secara umum berkaitan dengan nama lembaga, letak geografis, sejarah berdiri dan perkembangannya dan data lengkap kondisi siswa dan guru. Bab Tiga, pembahasan mengenai perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Teknologi Informasi yang mencakup penyajian data hasil penelitian lapangan, rujukan teoritis dan analisis. Bab Empat, berisi evaluasi pembelajaran dan solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam pembelajaran. Pembahasan diawali penyajian data hasil penelitian lapangan dilanjutkan dengan rujukan dan diakhiri dengan analisi. Bab Lima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

Waktu dan Kompleksitas Kami tidak membayangkan tiba-tiba, perubahan radikal, irasional dibangun ke dalam kain yang sangat rapuh keberadaannya. Dan teori chaos mengajarkan kita, Malcolm mengatakan, bahwa linearitas lurus, yang datang untuk mengambil untuk diberikan dalam segala hal dari fisika ke fiksi, Linearitas adalah cara buatan untuk melihat dunia. Realitas hidup bukan serangkaian peristiwa yang terjadi saling berhubungan satu demi satu manik-manik seperti digantung pada kalung. Hidup sebenarnya adalah serangkaian pertemuan di mana satu aktivitas dapat mengubah orang-orang yang mengikuti dalam sepenuhnya tak terduga, bahkan cara menghancurkan. Itu sebuah kebenaran yang mendalam tentang struktur alam semesta. Tapi, untuk beberapa alasan, kita bersikeras bersikap seolaholah itu tidak benar. -Michael Crichton, Jurassic ParkThomas Kuhn mengingatkan saya bahwa salah satu tugas sejarawan ilmu pengetahuan adalah untuk "menggambarkan dan menjelaskan timbunan kesalahan, mitos, dan takhayul yang telah dihuni lebih cepat akumulasi unsur dari teks ilmu pengetahuan modern "(1970, hal 2). Semakin saya merenungkan teori chaos, dan semakin saya mengakui sifat problematis organisasi di sekolah modern. Membaca kesimpulan dalam buku Kuhn menegaskan keyakinan saya: "Dalam kedua pembangunan politik dan ilmiah rasa kerusakan yang dapat menyebabkan krisis merupakan prasyarat untuk revolusi " (Hal. 92). Teori chaos dan kompleksitas, menurut William Doll, memberi makna dan substansi ke bahasa disekuilibrium, intuisi reflektif, terkejut, kebingungan, zona ketidakpastian, nonrasionalitas, dan analisis metafora. Doll menulis:

"Analisis metafora hampir tidak mungkin dalam model terstruktur sekitar perilaku tujuan, kompetensi berdasarkan kinerja, akuntabilitas, penguasaan pembelajaran, dan efektifitas mengajar "(dikutip dalam Caine dan Caine, 1991, hal 19). Ini adalah ketidakseimbangan sendiri yang memberikan kesempatan bagi ketegangan kreatif dan refleksi diri. "Chaos" pertama kali diciptakan oleh fisikawan Jim Yorke. Yorke mengatakan, "Kami cenderung berpikir ilmu pengetahuan telah menjelaskan bagaimana bulan berputar mengelilingi bumi. Tapi ini ide tentang jagad clocklike tidak memiliki hubungannya dengan dunia nyata "(dikutip dalam Briggs, 1992, hal 12). John Briggs menjelaskan Waktu dan Kompleksitas sebagai kekacauan keadaan alami dari alam semesta, dan dia menggunakan cuaca sebagai contoh: "Dengannya variabilitas, ketergantungan umum, dan momen momen ketidakstabilan, cuaca infiltrat jadwal kita, set atau merusak rencana, mempengaruhi suasana hati kita, dan menyatukan kita dengan lingkungan satu sama lain. Cuaca juga merupakan contoh dari suatu tatanan misterius dalam kekacauan "(1992, hal 13). Pada tahun 1961 di MIT, Edward Lorenz menemukan fakta mengganggu. Dia menyadari bahwa akumulasi informasi lebih lanjut tentang variabel yang berhubungan dengan cuaca, seperti kecepatan angin, kelembaban, temperatur, siklus bulan, dan bahkan bintik matahari, tidak meningkatkan akurasi ramalan cuaca jangka panjang. Ia menemukan Dinamika dan sistem kompleks seperti cuaca, terdiri dari banyak unsure yang berinteraksi, dan gangguan sekecil apapun memiliki dampak signifikan pada pola masa depan. Lorenz, meneliti banyak sistem dinamis dari otak manusia untuk sirkuit listrik bukti kekacauan. kurikulum dan kelas, dimana teori chaos dan kompleksitas dapat membantu kita untuk memahami visi postmodern yang menantang alam semesta statis dan terkendali fisika klasik. Teori chaos menyediakan dukungan untuk itu, estetika politik, gender, ras budaya, teologis, dan ekologi postmodern.Kita mengeksplorasi ilmu baru dan hubungan antara kurikulum dengan pembangunan, mungkin penelitian yang paling revolusioner untuk mendukung pergeseran paradigma postmodern.Kompleksitas menggantikan kepastian. Prigogine dan Stengers (1984) telah menunjukkan bahwa sistem dalam keseimbangan dan ketidakseimbangan berperilaku berbeda, dan bahwa Agar dapat muncul keluar dari kekacauan. James Gleick (1987) dan Paul Davies (1988) berpendapat bahwa ada ilmu yang muncul dari kompleksitas yang dibangun sebagian pada kenyataan yang tersembunyi dalam kekacauan adalah jenis order yang kompleks. Kurikulum postmodern mendorong kekacauan, non-rasionalitas, dan zona ketidakpastian karena tatanan kompleks ada di sini di mana pemikiran kritis, intuisi reflektif, dan masalah pemecahan global akan berkembang. Standarisasi menghafal hafalan, kesesuaian, kontrol, dan manajemen waktu, berikut dari gerakan fakultas psikologi abad kesembilan belas dan gerakan manajemen ilmiah abad kedua puluh. James Lovelock, dalam hipotesis Gaia-nya, memberikan contoh berdasarkan gambar bumi dari bulan: Pemahaman baru sudah datang dari pergi keluar dan melihat kembali ke bumi dari ruang. pandangan yang indah bola biru putih penuh bintik diaduk kita semua. Bahkan membuka mata pikiran, hanya sebagai perjalanan jauh dari rumah memperbesar perspektif kasih kita untuk orang-orang yang tetap di sana. ... Kita sekarang melihat udara, laut dan tanah jauh lebih dari hanya lingkungan untuk hidup, mereka adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. ... Tidak ada yang luar biasa dalam gagasan kehidupan di Bumi berinteraksi dengan laut, udara dan batu, tapi utuh melihat dari luar untuk melihat kemungkinan bahwa kombinasi ini mungkin merupakan sebuah sistem raksasa yang hidup tunggal.

Lovelock menyatakan bahwa melihat Bumi dari bulan memulai paradigmatik perubahan dalam hubungan antara pribadi manusia dan lingkungan. Dalam hal yang sama akal, visi pengembangan kurikulum dari perspektif ilmu-ilmu baru dapat menciptakan pergeseran paradigma dalam praktek pendidikan kita yang akan menggantikan tujuan, linier,dan model manajemen waktu yang telah mendominasi pikiran kita. Jika ini tampaknya menjadi berlebihan, perhatikan penekanan kita tempatkan pada waktu dikelola di sekolah: jadwal kelas dan lonceng untuk membedakan blok waktu; peneliti yang mengukur waktu pada tugas, menunggu waktu antara pertanyaan, dan hubungan antara waktu transisi dan kinerja akademik mahasiswa; latihan terstruktur, waktu makan, dan pemberhentian ; rencana disiplin yang mengambil waktu time-out di kamar, tes dan waktunya pemeriksaan, waktu tugas, waktu perencanaan, dan waktu pertemuan bagi para guru. Waktu dipahami ada sebagai realitas metafisik independen yang mampu dikelola dan terorganisir untuk efisiensi maksimum. Newtonian model dan sistem mekanistik paradigma pendidikan modern dibangun mengabaikan perkembangan ilmu-ilmu yang menunjukkan bahwa sistem sosial yang interaktif dan terbuka, dan waktu yang merupakan bagian integral dari realitas. Baik ruang dan waktu adalah entitas yang terjalin ke dalam masalah. Paul Davies mengamati: "Ruang dan waktu adalah bagian dari rencana alam semesta fisik, mereka tidak hanya panggung di mana drama besar bertindak keluar, tapi merupakan bagian dari gips. Kita harus bicara tentang penciptaan ruang dan waktu serta materi dan energi. ... Dunia dibuat dengan waktu dan tidak pada waktunya "(1990, hal 11). Einstein mengatur panggung untuk memahami ruang-waktu dengan teori relativitas dan tulisantulisannya tentang elektromagnetik fenomena radiasi atom dalam teori kuantum, keduanya diterbitkan pada tahun 1905. Einstein sangat percaya dalam harmoni alam yang melekat, dan ia berusaha untuk menemukan sebuah lembaga terpadu fisika dengan membangun kerangka kerja umum untuk elektrodinamika dan mekanika, dua teori yang terpisah dari fisika klasik. Hal ini dikenal khusus sebagai teori relativitas. Relativitas bersatu dan menyelesaikan struktur fisika klasik, dan juga secara drastis mengubah konsep tradisional ruang dan waktu. Dalam teori relativitas Einstein, ruang tidak tiga dimensi dan waktu bukan merupakan entitas yang terpisah. Keduanya berhubungan erat dalam kontinum empat-dimensi yang disebut ruang-waktu. Sekarang mungkin untuk memahami waktu di luar konteks ruang, dan sebaliknya. Capra menjelaskan: Tidak ada aliran waktu universal, seperti dalam model Newtonian. Pengamat akan berbeda mengenai urutan peristiwa dalam waktu jika mereka bergerak dengan kecepatan yang relatif berbeda terhadap peristiwa yang diamati. Dalam kasus seperti itu, dua peristiwa yang dipandang terjadi secara bersamaan oleh seorang pengamat mungkin terjadi dalam urutan temporal berbeda untuk pengamat yang lain. Semua pengukuran melibatkan ruang dan waktu sehingga kehilangan signifikansi mutlak mereka. Secara teori relativitas, konsep Newton tentang ruang absolut sebagai tahap fenomena fisik ditinggalkan, dan begitu juga konsep waktu mutlak. Baik ruang dan waktu menjadi hanya Waktu dan Kompleksitas unsur-unsur bahasa pengamat tertentu untuk menggambarkan fenomena yang diamati. (Capra, 1975, hlm 50-51) Teori Einstein diperluas pada teori relativitas khusus untuk menyertakan gravitasi pada tahun 1915 dengan publikasi usulan tentang teori relativitas umum. Sementara teori khusus relativitas telah dibuktikan oleh percobaan yang tak terhitung banyaknya, teori umum tetap menjadi obyek penyelidikan. Namun, diterima secara luas dalam studi astrofisika dan kosmologi. Dalam teori umum gaya gravitasi memiliki efek "melengkung"

ruang dan waktu, dengan demikian menghapuskan konsep waktu dan ruang mutlak. Capra menyimpulkan: "Tidak saja semua pengukuran yang melibatkan ruang dan waktu relatif; seluruh struktur ruang-waktu tergantung pada distribusi materi di alam semesta, dan konsep 'ruang kosong' kehilangan maknanya "(1975, hal 52). Einstein mengatur panggung untuk munculnya fisika baru dan cara-cara baru untuk memahami alam semesta. Kekacauan teori dan kompleksitas di era postmodern adalah menginformasikan semua disiplin ilmu, termasuk pengembangan kurikulum dan kepemimpinan pendidikan. sistem kompleks dapat meningkat di tengah-tengah kekacauan. Model Kurikulum berbasis pada visi modern fisika Newton alam semesta seperti jarum jam, untuk memaksakan keseragaman. Setiap pelajaran, setiap tujuan dan sasaran, harus sesuai dengan prinsip yang telah ditentukan, bentuk-bentuk budaya, struktur sosial, atau panduan kurikuler. di sisi lain, didasarkan pada sebuah ilmu baru: kompleks, multidimensi, eklektik, relasional, interdisipliner, dan metaforik sistem.Sistem-sistem kompleks dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan tantangan hukum kedua termodinamika, yang melihat alam semesta yang mengalir seiring dengan meningkatnya entropi. Sesuatu dalam kelas dan dalam kurikulum juga harus melarikan diri dari entropi. William Doll, dalam Perspektif Post-Modern di Kurikulum, berpendapat bahwa hanya ilmu fisika pada abad ketujuh belas yang dipimpin masyarakat ke dalam modernitas, fisika baru adalah mengantarkan postmodernitas. Guru selalu mempunyai naluri mengetahui hal ini benar. Kehadiran pengamat di dalam kelas pengajaran yang efektif mengukur perubahan dinamika pelajaran dan mengubah kelas yang diamati. Prinsip Ketidakpastian Heisenberg meneliti dunia sub-atomik dan berpendapat bahwa jika kita memilih untuk mengukur satu kuantitas (misalnya, posisi elektron), kita pasti mengubah sistem itu sendiri. Oleh karena itu, kita tidak bisa memastikan tentang jumlah lainnya (Misalnya, seberapa cepat elektron bergerak). Karena interaksi yang terlibat dalam setiap pengukuran, dan karena pengukuran yang terlibat dalam pengamatan dalam ilmu pengetahuan modern dan pendidikan, beberapa fisikawan berpendapat bahwa tindakan pengamatan perubahan sistem. Dapatkah kuantum fisika menginformasikan kurikulum postmodern? Mari kita jelajahi lebih lanjut Dalam fisika klasik, semuanya sudah diketahui dan dapat diukur. Dalam fisika kuantum, ketidakpastian dibangun ke dalam realitas metafisik. Posisi dan kecepatan dari elektron tidak dapat diukur secara bersamaan, bukan karena pengamat tidak hati-hati mencari tetapi karena tidak ada hal seperti elektron dengan posisi tertentu. Elektron "dikenal" hanya dalam hubungan mereka dengan elektron lainnya. Elektron tidak orbit neutron seperti planet, Sebaliknya, elektron ada di awan seperti kembar. Baik partikel atau gelombang, elektron dijelaskan menurut hubungan dan potensi daripada aktualitas nya. Dalam kurikulum postmodern tidak membuat mahasiswa mengevaluasi pelajaran, dan ruang kelas berdasarkan rencana yang telah ditentukan, hasil, atau standar, seperti hubungan elektron sukar dipahami, dan potensi menjelaskan keberadaan mereka - dan tidak ditentukan struktur. Pada akar modernitas dan ketidakpuasan adalah pandangan kecewa dan mekanistik yang menyangkal ke alam kualitas subjektivitas, pengalaman, dan perasaan. Grifon menulis: "Karena penolakan ini, alam didiskualifikasi - itu ditolak semua kualitas yang tidak masuk akal terlepas dari pengalaman "(1988a, hal 2). Pemahaman organik postmodern kehidupan menyediakan dasar untuk reenchantment ilmu yang akan mendukung visi baru kosmos. Stephen Toulmin, dalam buku penting, Kembali ke Kosmologi:

Postmodern Sains dan Teologi Alam, berpendapat bahwa kita harus memikirkan kosmos sebagai sistem terpadu di mana segala sesuatu di dunia - manusia, alam, dan ilahi - berhubungan secara teratur. Ini hubungan timbal kosmik, kuantum keterkaitan, adalah pusat dari kurikulum postmodern. David Bohm menjelaskan: Karena kita tak terpisahkan di dunia, tanpa divisi utama antara materi dan kesadaran, arti dan nilai adalah aspek yang tidak terpisahkan dari dunia seperti mereka adalah dari kita. Jika ilmu pengetahuan dilakukan dengan sikap amoral, dunia akhirnya akan merespon ilmu dengan cara yang destruktif. ilmu postmodern karenanya harus mengatasi pemisahan antara kebenaran dan kebajikan, nilai-nilai dan fakta, etika dan kebutuhan praktis. Untuk pemisahan, tentu saja, memerlukan sebuah revolusi yang luar biasa dalam seluruh sikap pengetahuan kita. perubahan seperti itu diperlukan, dan memang lama tertunda. tantangan kemanusiaan bertemu di waktu yang dibutuhkan? (Bohm, 1988, hlm 6768) Demikian juga, pengembangan kurikulum dapat memenuhi tantangan dari apa yang dibutuhkan, Mengapa begitu sulit untuk bergerak melampaui paradigma modern dalam pengembangan kurikulum visi postmodern ini? Salah satu alasan kesulitan kami dengan berubah ke visi postmodern adalah pandangan modern merupakan solusi praktis untuk menyelesaikan masalah segera. visi Postmodern dari ruang-waktu harus dimasukkan ke manajemen dan paradigma pengembangan kurikulum. Apa konsepsi dan paradigma baru kurikulum sebagai kekacauan? Pertama, tidak merusak tujuan. William Doll menjelaskan secara ringkas tentang kekacauan dalam referensi ke ruang diagram fase sistem nonlinier, lazim disebut attractor, setelah Edward Lorenz, pertama kali menggunakan jenis grafik untuk menunjukkan sistem pandangan cuaca pola: Membaca teks Doll, menggantikan kelas untuk diagram tahap ruang Pikiran pengalaman siswa ketika membaca tentang peristiwa flip-over. Ganti kekacauan dalam pikiran Anda dengan pertukaran dinamis di kelas dimana banyak siswa yang ingin berkontribusi. Chaos di kelas adalah peristiwa semacam itu. Pertama, ada atraktor pusat - unit tematik, percobaan, atau cerita pendek. Kedua, diskusi akan bergerak bolak-balik dari satu titik ke titik lain tanpa prediktabilitas - Tetapi semua pertanyaan dan komentar yang terkandung dalam kerangka tema pelajaran. Ketiga, acara flip-over di kelas yang tidak terduga dan dapat menyebabkan integrasi dinamis ide-ide baru ke dalam kurikulum. Pendekatan kompleksitas dalam kurikulum juga mencakup interdisipliner pemahaman kognisi dan belajar. Sheri Reynolds (2005), menjelaskan: Sebagian besar penelitian teori kognisi baru dari sudut pandang ilmiah. Varela, Thompson dan Rosch mengusulkan bahwa pendekatan fenomenologis Merleau-Ponty, Husserl dan tradisi Buddhis adalah penting sebagai pandangan ilmiah. Mereka percaya bahwa kita harus menghormati pengalaman hidup manusia dan pemahaman ilmiah sebelum keduanya menjadi tak terdamaikan. Mereka mengatakan bahwa ketika kognisi atau pikiran sedang diperiksa, pemberhentian pengalaman menjadi tidak bisa dipertahankan, bahkan paradoks. Waktu dan Kompleksitas

Dalam keyakinan ini, echo Ulric Neisser mengatakan bahwa jika psikologi tidak menjelaskan pengalaman batin manusia setiap hari itu tidak berguna. Meskipun setiap model berbeda, diambil bersama-sama mereka arahkan ke arah yang baru dan menjanjikan di kognisi. Ini arah baru termasuk: Kognisi adalah tidak dibatasi tetapi ditentukan oleh karakteristik akhir sensorik organ dan struktur biologi lainnya. Kognisi adalah autopoetic dengan demikian, dapat dipicu tetapi tidak disebabkan kesadaran yang muncul. Dinamika Kognisi adalah non-linear. Kognisi terjadi pada titik-titik ketidakstabilan, jauh dari keseimbangan. Kognisi yang terbaik adalah belajar di antarmuka berbagai perspektif, termasuk sedikitnya neurologis, fenomenologis, budaya, sosial. Kami sampai saat ini, memiliki alat kognitif untuk menjelajahi kognisi sebagai suatu yang dinamis dan muncul, ditentukan co-fenomena. Alat-alat ini datang dari "Ilmu Baru" dan meramalkan dengan memahami Gregory Bateson tentang cybernetics. Gregory Bateson adalah seorang sarjana dan pencari. Ia belajar dan bekerja di seluruh disiplin ilmu mencari "Pola-pola yang terhubung." Dia Dibangun dunia ide di mana persatuan menjadi terlihat dan deskripsi kognisi manusia didekati berdasar pengalaman. Kontemporer teoretis kadang-kadang tidak setuju dengan Bateson dan dengan satu sama lain, namun ada pola yang menghubungkan mereka. model tradisional kognisi berasumsi bahwa organisme belajar untuk bertahan hidup dengan membangun representasi internal dari lingkungan mereka. Semakin isomorfis hubungan antara lingkungan dan representasi, yang lebih "benar" representasi, dan lebih bermanfaat itu adalah untuk kelangsungan hidup organisme. Ini adalah salah satu titik penting perbedaan dalam teori kognitif baru. (Reynolds, 2005, hal 126-128) Singkatnya, Reynolds, Doll, dan lainnya sarjana kurikulum tantangan kontemporer jarum jam alam semesta fisika klasik, yang dikembangkan sebelum termodinamika. Mereka menantang gagasan statis kognisi dan mengusulkan hubungan isomorfis. Dalam semangat ilmu baru, tantangan mereka juga gambar dari kosmos sebagai hanya kumpulan acak dari partikel yang ditindaklanjuti oleh kekuatankekuatan buta dan mampu dikendalikan oleh struktur buatan. Newton memberi kami gambar seragam alam semesta di mana setiap partikel bergerak menurut hukum-hukum ketat ditentukan oleh gerakan dimana semua kejadian adalah hasil dari pembubaran mekanisme raksasa. Waktu tidak punya arti nyata karena keadaan alam semesta setiap saat dan dalam semua tempat justru ditentukan. Ini adalah kosmologi steril di mana waktu hanya parameter dan tidak menawarkan kesempatan untuk perubahan, fluks, berlangsung, atau kekacauan. Ini menciptakan keamanan ideologi palsu. Dalam arti postmodern, manajemen waktu adalah mungkin karena alam semesta tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tetapi dengan waktu dan ruang. Tanggal untuk seminar saya tentang manajemen waktu tiba. Aku ditugaskan sesi terakhir pada sore hari. Bagian belakang ruangan itu penuh dengan administrator lelah yang telah diminta untuk menyerah hari Sabtu untuk "titik kepemimpinan." duduk seorang pun di depan. bahkan Kami tidak mulai tepat waktu! Aku mulai seminar dengan berkaitan cerita tentang saya Pengalaman menghadiri sebuah gereja hitam pedesaan selama beberapa tahun terakhir. Musisi dan anggota paduan suara datang ke satu tempat di sebuah jubah,

waktu, dan mempersiapkan instrumen mereka dan bahan. Paroki datang dan menyapa satu sama lain dan berbicara tentang komunitas kegiatan. Perlahan-lahan, terus, namun unnoticeably, tingkat energi mulai mengisi gereja. Volume meningkat piano mulai dimainkan keras. anggota Paduan suara secara bertahap kumpul dan lembut bertepuk tangan mereka. Dan kemudian tiba-tiba perayaan dimulai! Semua musik dan bertepuk tangan bersama-sama dalam sebuah ledakan gemuruh penuh energi. Tidak seperti kebanyakan gereja lain, tidak ada yang datang ke mikrofon untuk panggilan, atau untuk mengumumkan nomor halaman dari himne pertama, atau bahkan untuk menawarkan salam. Ini hal-hal yang terjadi secara spontan di gereja Afrika-Amerika, bagi setiap orang hadir dan terbuka untuk kompleksitas saat itu di tengah-tengah kebingungan. Anda tidak perlu meminta orang untuk naik dan membuka buku untuk menyanyi, untuk jemaat secara intuitif tenggelam dalam musik saat itu. Di sini, layanan mengambil hidup sendiri. Tidak ada orang melihat ke jam tangan untuk menentukan waktu mulai dari layanan tersebut. Salah satu orang mengatakan kepada saya, "Hal ini dimulai ketika semua sudah siap." Kadang-kadang pengkhotbah berbicara untuk beberapa menit, kadang-kadang jam, tetapi dia tahu kapan harus jatuh diam dan kapan harus menaikkan suaranya. Jemaat berbicara dengan dia dalam menyuarakan paduan suara ganda dari "Amens" dan Pendeta "Alleluias!" dan orang-orang tidak terpisah, mereka beroperasi di harmoni yang dinamis. Ini adalah contoh hubungan timbal balik yang juga harus meliputi kurikulum pembangunan di era postmodern seperti jazz improvisasi. Kurikulum harus membangun untuk crescendo di lingkungan yang unified-ruang waktu. Acak dan improvisasi acara membangun satu sama lain dan menciptakan pengalaman masyarakat simfoni (lihat Wheatley, 1992). Ada ketertiban dalam kekacauan paradigma kontemporer kurikulum pembangunan. Beberapa administrator meninggalkan seminar saya kecewa, mereka tidak menerima daftar praktik menghemat waktu untuk mengatur kehidupan profesional mereka. mereka mengalami pemahaman wawasan hidup hemat yang akan mengubah konsepsi mereka tentang ruang-waktu. Pengembangan kurikulum di era postmodern adalah visi kosmik diakses pendidik yang bersedia melihat aturan yang muncul dari kompleksitas dan kekacauan kehidupan.

Otonomi pendidikan

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti Hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987: 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai perundangan sendiri (Danuredjo, 1977), perundangan sendiri (Koesoemahatmadja, 1979:

9), mengatur atau rnemerintah sendiri (Runt Nugroho, 2000: 46). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan, juga mengandung pengertian `pemerintahan. Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat Wayong (1979: 16), mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Sementara itu, Ateng Syafruddin (1985: 23) mengemukakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. S.H. Sarundajang (2001: 34) menulis bahwa pada hakikatnya otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya; (3) daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan clan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom di sini dimaksudkan adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur clan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari beberapa konsep dan batasan di atas, otonomi daerah jelas menunjuk pada kemandirian daerah, di mana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau mengupayakan seminimal mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat clan pemerintah di atasnya. Dengan otonomi tersebut, daerah bebas untuk berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebcbasan yang dimilikinya. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004). Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut. 1. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of the Social Sciences, 1980). 2. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan

kebalikan dari sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990). 3. Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002). 4. Desentralisasi adalah sehagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978). 5. Decentralization is the transfer of planning, decision inaking, or ndnlinistrative authority from the central government to its field organizations, local and administrative units, setni autonomous and pcrastatal organizations, local government, or nongoverrirnental ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983: 77). 6. Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada clan menjadi wewenang clan tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara, 1996). 7. Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti merestrukturisasi atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara institusi-institusi pemerintah tingkat pusat, regional, maupun lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang menyeluruh dari sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional (UNDP, 2004: 5). Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjacli kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusanurusan tersebut. Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn vvilayahnya. Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi. Menurut Rondinelli (1984), desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain pihak Maddick (1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan incmperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala prrsoalan-persoalan timbul dalam pelaksanaan. Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20). Bagaimanapun, secara politis keberadaan pemerintah daerah sangat penting untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,

pemerataan dan keadilan, demokratisasi clan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari system sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan (Abdul Halim, 2001: 15). Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah clan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya; 2. penetapan standar materi pelajaran pokok; 3. penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik; 4. penctapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; 5. penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa; 6. penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi; 7. pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara internasional; 8. penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; 9. pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional; 10.pembinaan dan pengembangan bahasa clan sastra Indonesia. Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/ atau tidak mampu; 2. penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah; 3. mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; 4. pertimbangan pembukaan clan penutupan perguruan tinggi; 5. penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru; 6. penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah. Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinnekaan. Menurut Santoso S. Hamijoyo (1999: 3), ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peranserta masyarakat bukan hanya pada staheholders, tetapi harus menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan; (4) pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; clan (5) keanekaragaman aspirasi clan nilai serta norma lokal harus dihargai dalam kerangka clan demi penguatan sistem pendidikan nasional. Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang pemerintahan lain berada pada

pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan internasional yang dipraktikkan di banyak negara (Brady, 1992), clan untuk Indonesia merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang helakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa laporan hasil survei dari lembaga-lembaga independen dunia, menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia pacla urutan bawah, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand, dan bahkan Philipina. Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyarakat sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat tnaupun di daerah, berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Titik berat desentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota. Oleh karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah mendasar pcranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang mendapat pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mcndorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pcndidikan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa desentralisasi di bidang pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota. Di bidang pendidikan justru sampai pada pelaksana teknis atau ujung tombak pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. By :