Kumpulan Cerpen Joni Ariadinata
-
Upload
rifan-yusuf -
Category
Documents
-
view
245 -
download
29
Embed Size (px)
description
Transcript of Kumpulan Cerpen Joni Ariadinata
-
KUMPULAN CERPEN JONI ARIADINATAA
Kambing
Di pintu surga nanti, ia adalah kambing yang sial. Daging memang gemuk-gempal, bulu putih
mulus, tanduk melingkar kokoh, harapan hidup dan masa depan gemilang ya ya, memang
begitu, semua ihwal tentang syarat masuknya surga para kambing (seperti yang dikatakan
Tuhan dalam kitab-Nya) telah tercukupi. Maka ketika roh baiknya dicabut, ia tersenyum. Di
saat liang nafasnya ngorok lantaran sekarat, kamu bayangkanlah itu: darah ini muncrat
melesat dari jantung muda dan sehat! Maka ia teramat ikhlas. Di kala lehernya yang mulus
itu digorok dengan bismillah, lalu tulang penyangga leher itu ditebas paksa dengan suara
krak! hingga menggelindinglah kepalanya dengan sukses (disertai sorak sorai anak-anak),
ia masih begitu gembira. Lalu kakinya yang kokoh dipotong-potong, kulitnya yang mulus
disayat-sayat, dagingnya diiris-iris, jerohan diobrak-abrik, hati dan jantung dicabut, tulang-
belulang dicacah dirajang dipisah-pisah.
Maka rohnya yang suci dan penuh harapan pun terbang menuju pintu surga. Surga yang
dijaga para malaikat (malaikat yang menyerupai kambing-kambing dengan ketampanan tak
tertandingi). Lalu, pada saat itulah ia tahu bahwa ia adalah kambing yang sial. Seorang
malaikat penjaga dengan tegas berkata: Tuhan telah berkata kepadamu, lewat perantara
aku, bahwa kamu ditolak untuk memasuki surga.
Demikianlah maka ia menggerutu tentang sebab-sebab nasib yang celaka.
Kampung Darjeling, itulah kampung para pencari surga yang ingin ia ceritakan. Di bawah
terob deklit plastik saat seutas tali gantungan terpancang hebat, menjulur mengayun-ayun.
Orang-orang menatap kagum, para lelaki, perempuan-perempuan, anak-anak, menantikan
sesuatu. Berderet, bergimbung, ada yang pura-pura sibuk, menggobrol, menunjuk-nunjuk.
Langit cerah. Angin sejuk. Di bawah deklit tali gantungan semakin hebat. Lalu meledak suara
riuh: Mereka datang! Load speaker merek Toa dibunyikan: Sodara-sodara, binatang
sudah datang. Harap bertepuk tangan!!
Semua takbir! Ayo, yang bisa takbiran, semua ikut takbir! Mumpung hari raya kurban. Yang
-
hanya bisa ngomongin orang saja, kali ini diam! Ibu-ibu jangan cerewet. Cukup kalian lihat.
Ke mana Usthaadd Mariot, he? Haji Dulroji sinis menyebut kata ustad dengan usthaadd
lantaran kedudukannya di mata Tuhan lebih baik. Lalu tiga lelaki tua, peot, dan mungkin
hampir mati, mengerti: mereka tertawa. Lalu seorang di antara yang tua, peot, dan mungkin
hampir mati itu bilang: Usthaadd Mariot tak kelihatan. Tak datang. Dia pasti malu.
Apa perlu disusul?
Tak perlu, Haji Dulroji merebut mikropon yang dipegang Solsoleh. Solsoleh tentu
bersikeras mempertahankan mikropon seperti membela nyawanya sendiri lantaran dalam
rapat panitia besar, ia ditetapkan secara resmi menjadi pembawa acara. Solsoleh memberi
sumbangan untuk binatang sebanyak 20 ribu, itulah kenapa ia mendapat kehormatan
sebagai pembawa acara. Sementara Kaji Dulroji (ia menyebut kata haji dengan kaji
semata-mata lantaran benci), cuman menyumbang 5 ribu. Tapi demi Tuhan Yang Maha
Penyayang (karena melihat bagaimana mata Kaji Dulroji melotot), ia ngeri, dan
menyerahkan mikropon segera. Aku hanya pinjam mikroponnya sebentar, Solsoleh!
Nah, sodara-sodara, teriak speaker Toa dari mulut Haji Dulroji, sehubungan karena
Usthaaaadddd Mariot tak datang (hadirin tertawa), maka kita mulai saja penyembelihan
binatang. Tak perlu pake doa bahasa Arab untuk memulai pembunuhan binatang, karena
hanya Usthaaadd Mariot yang biasanya suka pamer, pura-pura ngerti bahasa Arab (hadirin
tertawa lagi). Tuhan tidak bodoh. Dia pasti ngerti bahasa kita. Setuju?
Setuju!
Orang-orang bersorak. Bergimbung berkeliling. Membentuk lingkaran. Binatang yang baru
datang (diiringi sorak sorai) digiring ke tengah naungan deklit, di bawah tali gantungan
hebat. Ia adalah binatang, seekor kambing gemuk yang gagah. Ia yang sesungguhnya dididik
oleh tangan gembala jujur. Dengan makanan rumput halal yang selalu dijemput dengan
bismillah. Hingga pada sebuah pagi (sebuah pagi yang ia rasakan sebagai puncak kemudaan
dan kegagahan), tubuhnya yang perkasa itu digiring menuju pasar hewan. Lalu seorang
saudagar bernama Juragan Imron menaksirnya dengan penuh kekaguman. Pada saat
-
bersamaan, muncul Lelaki Berpakaian Santri membawa segepok recehan terdiri dari uang
logam ratusan, seribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan dengan ukuran fantastik: satu
kantong plastik kresek. Demikian Lelaki Berpakaian Santri mengatakan: Uang hasil
patungan warga Kampung Darjeling untuk satu ekor kambing gemuk! Gembala jujur
menerima uang dari Juragan Imron tujuh ratus dua puluh ribu. Lelaki Berpakaian Santri
membeli kambing gemuk dari Juragan Imron seharga delapan ratus dua puluh ribu, dengan
pesan penting (didahului oleh ucapan assalamualaikum) sebagai berikut: Dalam kuitansi,
catat harganya sembilan ratus lima puluh dua ribu! Tentu, Juragan Imron mengatakan
dengan bijak: Biasa lah sodara, kita sama-sama maklum. Tambah dua puluh ribu untuk
menaikkan angka kuitansi. Bagaimana? Kedua-duanya mengangguk. Kedua-duanya
tertawa. Lelaki Berpakaian Santri menyeret binatang dengan impian bisa membelikan
anaknya pakaian, sekaligus jatah daging paling banyak. Sementara Juragan Imron melepas
binatang dengan lega sambil menjawab ucapan salam yang berbunyi, Waalaikum salam
warahmatullahi wabarokaatuh.
Maka demikianlah binatang paling beruntung di hari raya kurban itu diseret menuju tiang
tali gantungan. Haji Dulroji berkenan untuk tetap merebut mikropon dari Solsoleh,
mengatakan dengan khidmat: Sodara-sodara, seperti kita ketahui bahwasanya Usthaaadd
Mariot tidak datang karena malu. Kenapa karena malu? Karena sodara-sodara, seperti kita
ketahui, dia tidak setuju dengan adanya kurban patungan. Nah, sehubungan dengan itu,
saya minta sodara yang biasa membunuh binatang supaya maju menggantikan Usthaaadd
Mariot!
Kalo dia tidak setuju kurban patungan, kenapa dia tidak kurban saja sendirian?
Nah, betul apa katamu Murod! Dia bilang, kurban patungan itu tidak sah. Nah, apa
pendapatmu Murod? Seperti kita ketahui bersama, sodara-sodara, kurban itu yang penting
adalah binatang. Binatang itu sekarang sudah ada, yaitu hasil patungan kita, warga yang
beriman. Untuk itu, marilah sebelum kita bunuh, kita berdoa pake bahasa kita! Nah, sodara
Murod, apakah kamu pernah membunuh binatang?
Saya pernah membunuh babi hutan.
-
Sebentar Pak Haji, apa perlu para penyumbang patungan itu diumumkan? seseorang
menyela.
Tidak perlu!! buru-buru Haji Dulroji mengelak dengan galak, tentu ia yang akan malu
lantaran nilai patungannya cuman lima ribu. Ketika Ustad Mariot menuding pada saat rapat
besar kampung, seminggu yang lalu, ia masih bisa mengelak dengan mengatakan: Sebagai
haji, tentu aku sudah berniat berkurban. Tapi karena anakku mendadak minta dibelikan
sepeda balap, maka niat itu terpaksa kutunda. Tahun depan aku pasti berkurban. Nah,
sodara Ustad Mariot, daripada tidak ada yang berkurban sama sekali, bukankah lebih baik
patungan? Nah, kurban itu yang paling penting adalah ada binatang, nah, bla-bla-bla.
Sodara Murod, apakah sudah siap membunuh binatang? kembali Haji Dulroji memberi
perintah. Tak usah diumumkan. Tuhan toh sudah tahu siapa yang beriman dan siapa yang
tidak.
Sebentar Pak Haji, ada surat dari Kepala Dusun! seseorang menyeruak maju. Haji Dulroji
kembali mangkel. Surat apa, heh?
Katanya amanat. Penting.
Haji Dulroji menggerutu. Ia menerima amanat penting dan membacanya dalam hati:
Kepada Haji Dulroji, ulama kepala panitia kurban. Sehubungan saya mendengar akan ada
perayaan yang di dalamnya ada menyembelih kambing. Maka sehubungan istri saya hamil
dan tadi malam nyidam dan ada permintaan perihal daging kambing. Maka harap setelah
selesai penyembelihan, dikirim buntut dan satu paha kanan belakang untuk kepentingan
nyidam dimaksud. Harap diteruskan kepada yang berwenang membagikan daging kambing.
Sekian dan terima kasih. Tertanda Ngadimin Basir Kepala Dusun.
Haji Dulroji komat-kamit tak jelas. Hadirin mendekat tak sabar, merubung hingga Haji Dulroji
sontak marah: Yang tidak berkepentingan bubar! Coba, panitia inti berkumpul. Kita rapat
darurat! Tentu, mendengar kata rapat darurat (yang artinya adalah pasti gawat), 23 orang
-
panitia inti yang terdiri dari 7 sesepuh sebagai koordinator setiap seksi, serta 16 anggota
tetap langsung mendekat. Rapat bisik-bisik. Surat amanat kembali dibaca bisik-bisik. Tegang.
Seseorang sesepuh bilang tak apa. Yang lain usul jangan paha kanan, buntut dan kaki kanan
saja. Hus, lelaki ketua RT yang adalah masih famili Kepala Dusun menggerutu. Sukarim,
ketua seksi undangan yang sejak awal memang gelisah, bilang dengan malu, Sebetulnya
saya kepingin terus terang, istri saya kurang darah, tentu saja kalau boleh saya mau minta
hatinya, dan juga jatah daging tentu, yah begitulah yang namanya penyakit, saya pikir
semua pasti setuju, yah Demi mendengar hal-hal kegawatan soal penyakit, tiba-tiba
semua wajah mendadak cerah. Sepertinya telah datang ilham-ilham yang baik. Haji Dulroji
berkata jujur, ia kena asam urat, maka untuk jatahnya tak boleh tercampur usus, harus
daging semua. 10 orang langsung mengatakan setuju, sambil mengatakan bahwa akhir-
akhir ini mereka juga merasa darah rendah, kalau berdiri suka agak pusing, katanya.
Walhasil, bagi yang mengatakan darah rendah, jatahnya harus ditambah. Ada yang usul
secara istimewa bahwa sudah seminggu ini dua anaknya bertengkar terus, harus dikasih
torpedo katanya, biar rukun. Maksud sodara Sali, dikasih kontol kambing? Itu memang baik
untuk merukunkan dua saudara yang bertengkar, baik, nanti kita tambah jatahnya dengan
torpedo. Semua tertawa. Lucu. Akhirnya rapat darurat ditutup dengan kesimpulan-
kesimpulan yang mengagumkan. Seluruh panitia inti bisa bernafas lega, sampai ketika tiba-
tiba Ahmad Masri bertanya: Bagaimana dengan jatah Ustad Mariot?
Panitia inti yang nyaris bubar dengan tertawa, tiba-tiba hening. Menatap Haji Dulroji dengan
tegang.
Tak usah dikasih! Dia kan tidak setuju, Haji Dulroji berkata tegas.
Tapi bagaimanapun dia imam di surau. Dan juga sering ngisi pengajian di kampung sebelah.
Bagaimana kalau dia terus ngomongkan fitnah di kampung sebelah? Nah, ini dia muncul
persoalan, dan baru terpikir oleh semua, bahwa Ustad Mariot bermulut tipis, nyinyir, dan
ceriwis. Maka, demi melihat kegawatan muka-muka panitia inti yang mendadak terdiam,
dengan bijak akhirnya Haji Dulroji mengambil keputusan penting. Sebuah keputusan yang
diyakini semua pihak berdasarkan ilham yang datang dari Tuhan.
-
Kalau begitu, kita kirim kepala kambing!
Rapat bubar. Di bawah tali gantungan yang hebat, Murod komat-kamit berdoa, dengan
gobang berkilat. Siap membunuh.
Adalah kambing sial, yang seluruh jiwa dan raganya telah dipasrahkan pada kehendak
takdir. Di bawah naungan deklit. Angin sejuk. Matahari yang cerah. Kegembiraan orang-
orang. Sesungguh-sungguhnyalah ia adalah kambing gemuk perkasa, yang dibesarkan oleh
tangan gembala jujur. Dengan rumput halal yang senantiasa dijemput dengan bismillah.
Maka ketika rohnya tercerabut, ia terbang dengan penuh keyakinan menuju pintu surga.
Terbang diiringi gema takbir bersama jutaan roh-roh binatang suci yang datang dari
berbagai penjuru. Demikian ia tak pernah paham, bahwa keputusan Tuhan atas nasibnya
yang gemilang, lantaran terhalang oleh kemarahan seorang lelaki. Begitulah malaikat
penjaga surga itu menceritakan, tentang seorang lelaki miskin yang tiba-tiba beringas. Ia
adalah lelaki miskin yang menenteng kepala kambing penuh darah dari pintu rumahnya.
Lelaki itu kemudian berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan kepala
kambing haram. Dan dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang.
Jogjakarta, Desember 2008
Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?
Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju
petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan
dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering
kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-
engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya
memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu.
Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus
gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada
-
kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.
Mulailah. Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada
ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah
menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan
Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat
dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo
melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.
Pahit! Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian
meludah, getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas merajam-
rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus. Lehernya tercekik:
Wardoyyy ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag jatuh. Sebelum kakinya
menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik. Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-
kelojot sekarat. Matanya membeliak. Kemudian sunyi. Mati.
***
BERPULUH tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin,
maka sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa
terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan. Di saat
itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas ia keluarkan
dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan; bahkan bagi telinganya
sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan satu-satunya yang mengeluh
putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri dengan segelas kopi bercampur racun babi.
Memang Rantawi dengan kehidupannya telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah
bahu perkebungan kopi, satu pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari
tangannya untuk pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah
sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman dengan
tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada suatu ketika.
Tapi malam ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan
-
pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak bagi
anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka justru
menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma disamaratakan
dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta panjer yang diserahkan
melalui upacara sukacita.Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan karier dan masa
depan Kang Basuki, begitu kata Ratri.Dengan tangisan tersedak-sedak. Seperti Bapak.
Karena asma adalah penyakit keturunan. Begitu yakin, apa mereka sudah memeriksamu?
Mereka menolak. Juga Kang Basuki,Ratri putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia
hanya mengurung diri dalam kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah
memain-mainkannya seperti potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan
Keluarga Sulaiman memang beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti
hanyalah Tuhan. Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. Kini, tak mungkin
ada lagi pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah! Rantawi memandang meja tertegun-
tegun. Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat.
Irama jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau
menyunting ratri selama ia ada begitu barangjali keinginan Ratri. Entah karena
keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi hidup tanpa
sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu tertidur dengan badan
melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan pada leher dan ujung kening;
ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya
hati-hati. Dirapatkannya selimut, kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata
dari sudut matanya jatuh. Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke
kamar Ijah, isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam
ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya harus
bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup lagi berpikir dan
merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam satu tarikan napas
Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis meneluwung tak bertepi. Badannya
terguncang-guncang. Suara-suara teriakan, derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi.
Senyap. Di manakah? Mungkinkah Tuhan
Satu kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki. Kemudian
badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh menahannya.Rantawi harus
-
beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa betapa dadanya teramat lapang.
Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan.
Dua hari engkau pingsan, begitu kata pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia
masih hidup? Rantawi ingin berteriak, Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah
aku?"Asmamu kumat, isterinya menjelaskan. Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah
Kang, istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah
kenapa. Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud. Mohon ampun
dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di Rumah Sakit dan
dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai rasa syukur, dan seluruh
kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki. Keluarga Mayor Sulaiman telah datang
turut mengucapkan gembira dan minta maaf. Tuhan maha besar.
***
SEHARI setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut.
Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan amat
keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum menyebutkan
ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo. Melemparinya
dengan batu: Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh? ramai berteriak. Riuh
menggelandang Wardoyo, Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo? Rantawi. Demi Allah,
Mang Rantawi yang menyuruhku Rantawi terbadai. Rantawi hanya bisa mematung, tak
mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu tiba-tiba. Sungguh ia begitu
menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh rahasia kesembuhannya pada
Wardoyo, adik iparnya. Racun babi, begitu ia menceritakan dengan mantap: Entahlah.
Segala obat telah diupayakan; tapi justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh,
bukankah mertuamu menderita asma sepertiku? Bagaimana kalau ia mati? Tuhan telah
menunjukkan sebuah keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat
mujarab. Masih tidak percayakah kamu, Wardoyo? Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi
merasa, ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi makan.
Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: Demi Allah, saya tidak
berkomplot untuk membunuhnya! katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi digelandang hina.
Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung. Menuding berteriak.
-
Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar. Keringat dingin memercik. Gusti Allah
bayangan yang buruk. Ia seperti melihat betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab
tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak
diperhitungkan? Dan kini Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: Alangkah lebih
terhormat mati ketimbang terhina di penjara
Bandung, 1993
Dimuat di Lampung post Silakan Kunjungi Situsnya! 04/03/2002
Beringin Cinta
Langit menepi. Malam pasti basah. Suara sirine melengking dalam jauh: lamat, dan
menyakitkan. Irene memindahkan chanel televisi, berisik, berpindah-pindah; lalu ia matikan.
Klik. Sepi. Beranjak ke kamar, melihat kaca: tak ada senyum. Bunga kacapiring di luar jendela
bergoyang-goyang. Malam pasti basah. Malam pastiIrene. Irene. Irene
Fajar merekah. Dia tak datang. Malam gelap selalu tempatnya rindu. Tapi pagi keburu
datang: matahari terang tak ada hujan. Telepon di kamar Irene berdering nyaring. Angkat
Irene! Pagi belum hilang alatmu sudah berisik. Bangun, Cah Ayu! Suara Mama menggedok
pintu. Dok-dok, dok-dok. Trilili. Gadis manis terbang merajuk. Jendela terbuka blak-blak
kreot dan Mang Udin tersenyum di bawah menyiram bunga. Pagi Nona! lugu. Pagi,
sewotlah ia. Kring-kring telepon kembali berdering, lari, disaut Nona seenak hati: Eh lu!
Entar datang kagak? Hua-ha-ha. Jam sembilan yo? Di kantin. Heem! Yap. Sip. Sip. Gua belon
mandiiii.
Bibiiiik, renyah Irene memanggil di kamar mandi. Bik Zubaldah berlari zig-zag meletak
sapu: Ada apa Non?
Handuuuuk!
-
Geleng-geleng. Bunga kacapiring digoyang Udin. Sisa bunga kemarin layu dan jatuh. Ada
suara Parta memanaskan mobil. Berita televisi nyaring melengking di ruang tengah. Mama
teriak. Bik Zubaldah mencuci, menakar rinso. Dan angin mendesau debu di luar jauh. Kabel-
kabel listrik. Jalanan ramai sedari subuh. Tak pernah teduh.
Mamaaah, Irene pergiii. Kuliah!
***
Di Florida, kampusnya sama. Ada banyak pohon, tapi bukan beringin, ha-ha! Di bawahnya,
tentu, di bawah pohon saat istirahat, banyak mahasiswa berkumpul, baca buku dan diskusi.
Di sini, juga sama. Ha-ha. Di bawah pohon, mahasiswa ngumpul-bergerumbul untuk ngibul
dan main gaple! He-he Nyengingis. Segerombol orang nyekakak: Apa lu pernah ke
Florida? Mahasiswa kok rajin amat, pake baca buku di bawah pohon.
Nggak. Itu kata Taufiq Ismail di televisi.
Djancuk! Suka-suka dia lah. He, lu lihat Aida kemarin kan? Asu. Ujian baca puisi di kelas
pake nungging segala. Jelas, mata Pak Dorbi tak bisa dikibulin. Pasti nilainya bagus. Alamat
buruk dah. Siangnya, benar saja dugaanku: dia minta cerai! Putus. Gila. Lu dulu yang ngotot
mau sama Aida kan? Ambil dah sekarang. Buntingin aja sekalian. Gua udah bosen. Sumpah!
Bibit Gondrong penjual es dan kacang ikut nyekakak: aneh? Tidak. Beringin di tengah
kampus tempat jualan paling betah; dan siapa nyana. Bibit Gondrong sepuluh tahun
ngendon di tempat ini nyaman tentu saja; di seberang dua kantin yang makin rame.
Bergaul dengan mahasiswa sastra: bangga kenal seniman top yang juga dosen bernama Pak
Saudi. Sesekali ikut bikin puisi jelek, biar gaul. He-he. Maklum nyampur mahluk-mahluk aneh
yang kadangkala suka nyumpah-nyumpah dosen, maka jual kacang pun perlu strategi.
Sedikit nyentrik lah, biar akur. Sengaja rambut dibikin gondrong meskipun tetap rapi, sebab
siapa tahu ada mahasiswi sastra yang tertarik lalu kawin lalu mau membantu jualan kacang
di sini. Bukankah itu nyentrik? He-he. Makanya, Bibit Gondrong tak perlu rikuh untuk
sekedar ikut nyekakak. Apalagi topiknya lucu. Biar ikut-ikutan dibilang nyentrik: laris, akrab
-
merasa ikut top. Toh tetap saja tak ada apa-apanya dibanding mereka. Lihat saja: ada yang
bangga celananya tak pernah dicuci dua tahun (he?), ada yang laki-laki gondrong tak perlu
keramas, ada yang ngaku penyair maka jarang kuliah celana robek-robek jaket bau tak
pernah bawa buku, ada cewek-cewek sukanya mamerin celana dalam belakang lalu ada
yang bunting dan tetap saja bunting tak mau kawin. Lengkap. Kayaknya, dunia memang
makin asyik dan ribut. Amit-amit.
Burung pipit jatuh, plak! ditembak Amin Wangsitalaja, tersenyum bangga seperti jagoan
(zaman model apa lagi ya Tuhanku yang lugu, ada mahasiswa ke kampus membawa senapan
angin?). Angin menyiut dari arah perpustakaan, nun, duapuluh meter di atas puncak hampir
menyentuh langit sehingga orang dengan enggan menyebutnya atas angin; dengan
257 trap tangga berkelok-kelok melewati tingkatan-tingkatan tempat terpenting semacam:
(1) gedung bazar pakaian import dan alat kecantikan serta sedikit ramuan tradisional
kejantanan Cina, yang dipadu dengan 8 meja biliard, mutlak milik saham para guru yang
dipimpin langsung Bapak Rektor Sebagai Pembina; (2) klinik kesehatan serta kamar
penerangan KB, poster-poster HIV terbalik, dan alat peraga berupa contoh-contoh kelamin
sehat; (3) bersebelahan dengan klinik, adalah Cafe Mahasiswa Abadi Sukses Mandiri
(CMASM), tentu, tanggal 27 Juli kemarin caf legendaris itu dianggap sukses lantaran
berhasil mengundang Inul lengkap beserta Orkes Dangdut Jonita pimpinan Haji Joni;
kemudian (nomor 4) setingkat di atasnya adalah deretan kakus, melulu kakus: ada kakus
mahasiswa, kakus dosen, kakus pegawai, tukang sapu, sampai satpam dan petugas parkir.
Tentu bau tai. Nah, (nomor 5, tingkat gedung paling tinggi) persis di atas gedung kakus itulah
letaknya perpustakaan, Perpustakaan Atas Angin, tak ada penghuninya, kecuali 2 petugas
sial yang sudah peot ditimbun buku-buku yang seluruhnya rusak parah disantap tikus. Tak
ada mahasiswa baca buku. Gedung perpustakaan itu lebih mirip tempat setan.
Angin aroma tai yang bertiup dari WC, menghembus pohon beringin, dan pipit kecil mati
ditembak Amin Wangsitalaja. Tak ada belas kasihan. Anak-anak masih terus-terusan ketawa.
Hidup untuk ketawa. Bunyi tulalat-tulalit SMS. Cup-cup mmmuuuah! Sinar matahari yang
payah, debu-debu, kantin yang makin ramai.
Kantinku, kantinmu, kantin kita. Dikelola guru. Depan kampus, persis setelah pintu gerbang
-
seperti lazimnya kantin-kantin di seluruh kampus seantero negeri yang kayaknya
mewajibkan mahasiswanya makan sebelum masuk gedung belajar. Mungkin takut kalau
mahasiswanya kelaparan ketika belajar sehingga mengganggu kecerdasan. Makan sebelum
belajar adalah baik, begitu kata guru setiap memulai pelajaran kuliah. Tentu. Dan
selayaknya pasar makan yang bermartabat, debat-debat penting sering terjadi di sana: lebih
ribut dan agresif dibanding ruang belajar. Wow! Sambil ketawa. Tak harus ada logika. Terus
ketawa. Perempuan lelaki, berkeciplak mulut ngomongin pantat mobil kek, atau apalah:
handphone, sepatu, parfum ketek, susu susi, dlsb, dlsb, huuuah.
Angin tai masih terasa. Matahari payah nyenggol sedan jeep kijang-krista dan van KIA dari
korea. Petugas parkir ngantuk setelah nyedot Dji Sam Soe. Pipit mati diinjak Bardi lantaran
kesusu ngejar Intan Dewi Permadi yang lari lantaran marah lantaran malam tadi Bardi lupa
nyium padahal Intan Dewi Permadi sudah minta dua kali padahal hari ini ada ulangan.
Heeei pacar!! Tungguuu Akulah Bardi lelaki yang selalu hadir dalam mimpimu. Aku tulis
seribu puisi dalam terik matahari! Dan bulan yang menghirup rindu dalam titik kebekuan
batu. Aku cinta padamuuu Penyair! Penyair! Orang-orang bertepuk. Bardi terus berlari,
merasa hebat seperti penyair. Pacar dipanggil tak peduli, ia ngebut naik krista terbaru.
Mungkin berniat bunuh diri. Debu-debu mengepul. Mahasiswa lagi bersorak: Penyair!
Penyair! Angin tai, dan matahari payah, ruang kuliah nun jauh di sana. Satmoko terlalu
banyak merokok dan meludah. Ada Marno merobek kertas ulangan. Para guru sibuk
mengajarkan sesuatu di kelas: entah puisi entah teori, yang jelas para guru sudah
menghafalkannya sejak dua puluh tahun lalu.
***
Lelap malam lampu-lampu di jalan. Kota tak juga sunyi. Irene tiba disambut gonggong Doli.
Seharian entah, pergi kuliah mampir ke Ratna. Jam dua belas. Di kantin ketemu Dodi. Masuk
ruang belajar bersama Dodi. Kencan jam tiga, jam tujuh menyusur pantai. Jam delapan
makan di kafe, ikutan nyanyi tralala-trilili. Beli kaos kaki, tisue, dan memilih CD. Lalu keliling,
mampir lagi di Ratna. Tengah malam Ratna cuap-cuap, katanya Martin payah, tahu ultah
makan malam hanya di loby Sahid.
-
Ia tanya apakah Irene telat haid? Menggeleng.
Malam basah Irene pulang. Mama tidur Parto membuka gerbang dengan mata rapat. Sunyi
di kamar. Melempar diktat, nyetel televisi. Ingat Ratna ia buka celana. Kring-kring tilpun,
tulalat-tulalit SMS. Jam tiga. Besok pagi jam sembilan ada kuliah. Oke, oke. Kita ketemu
seperti biasa. Cup-cup. Ia harus tidur. Tidur untuk membuang umur.
Yogyakarta, 14 Agustus 2003
Dimuat di Batam Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 09/07/2003
Haji
Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah
kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan
tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng.
Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin? katanya.
Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin
adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan
Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.
Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya.
Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.
Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para
langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para
langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia gesit,
atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat Kang Sirin
yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan wajah riang bisa
mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai pengetahuan omong-omong
-
beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang Sirin semakin beragam dan
berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar Kecamatan. Jika ada tukang
becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh gang di delapan desa, bahkan hapal
hampir seluruh nama (mungkin watak orang-orangnya) maka itulah Kang Sirin!
Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya
nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa S.,
dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga ngomong hal
yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, Kang Rin, mungkin enak ya kalau
punya suami haji?
Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?
Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?
Lho, Mbak Mar itu cantik kok, Kang Sirin tertawa. Maksud saya, ada yang top lho. Tapi
duda.
Siapa?
Haji Jupri.
Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja.
Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?
Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu.
Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?
Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh.
-
Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini
lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit,
mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin
Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang
cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut,
Kang Sirin. Sungguh.
Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik. Pokoknya
tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya, dengan gayanya yang
yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang menolak usul buat
dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di Desa L., hal lain tentu saja
ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal berwajah ganteng. Meskipun
tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu. Tapi kalau kebetulan jodoh, apa
mau dikata?
Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?
Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan.
Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia
cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu kenapa
Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan dengan Pak
Haji. Makanya Marsiti takut.
***
Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai
oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang melayang,
dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik, entah
bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang, tapi
kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terang-
terangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!
-
Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin baru
tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin, dan
ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi
kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu cabut
pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah
diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin menyimpulkan
bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar batu itu bilang,
Kamu anjing!
Menjijikkan!
Kafir!
Anjing? Menjijikkan? Kafir. Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benar-
benar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma
melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan ia
mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.
Apa dosa Sirin?
Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia jadi
sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang ditolong
itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. Menolak rezeki itu ndak baik, Rin, begitu kata
kakeknya dulu.
Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri
kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, Susahnya kalau
orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan itu,
rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi imam
di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki normal lho
Rin. (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya). Dipikir-pikir, kok
-
ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke sana ke mari, ndak
mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada berumah tangga, kok
ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini, malah yang bungsu
bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!
Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan keluhan
Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling terhormat. Amat
mulia jika Kang Sirin bisa menolong. Kang Sirin lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik
Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu dan akrab dengan
Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan Marsiti? Toh, kalau Pak
Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa. Edan po? Kang Sirin kok bisa
memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang Sirin merasa dipentung kiri kanan.
Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter
ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan yang
bagus, yang pantas. Bukan Marsiti.
Melihatnya saja sudah muntah.
Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!
Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan disamber
gledek.
Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak Haji?
Kok sama Sirin saja ketipu.
Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau ndak
kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan yang
zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan
kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima
Kampung kita dipermalukan.
-
Kuncinya ya Sirin itu.
Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!
***
Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya ramah,
juga sopan.
Punya anak tidak Rin?
Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga baik.
Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang
penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya,
kira-kira apa dia mau dikerudung?
Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok.
Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki
meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya,
mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang
Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa jadi
orang penting.
Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:
Mau ikut ke Sindang tidak Ri?
Wah, besok ulangan je, Pak! Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya kawin.
Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak Haji tiba-tiba
-
membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, Mau ke mana sih Pak?
Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le.
Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu,
Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya: Magelang,
Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan langsung menuju
Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk ikut. Di Pesantren
Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan menginterogasi.
Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatan-keberatan yang tak boleh
dibantah!
Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa.
Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang
pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa sih
susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran santri-
santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya tidak ada
alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang iman. Kawin
kok sama lonte.
Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu bekas
lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau dihitung-
hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya kalau
banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang Sirin tidak
bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu Marsiti
sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan dan najis
seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik ceritanya, akhir-
akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.
***
-
Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang cerdas.
Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan selalu
batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling. Tapi begitu
yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan kata-kata kamu
anjing seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya. Bahkan ingin
Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.
Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis,
yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. Kang Sirin lho, bukan Pak
Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud
Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-tiba
ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan
berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin jijik
jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh Tuhan
dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.
Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin? begitu kata Marsiti. Bukan berarti setiap
lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan
daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin. Siti
emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik. Sukur kalau
suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya, Marsiti berhenti. Menyusut air
mata, Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti mengira itulah
jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta. Meminta jadi
orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata akibatnya bisa dikutuk,
dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi Siti. Tapi kini.
Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga
disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang satu
ini butuh pertolongan.
Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang Sirin
belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang diajarkan
-
Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi. Jadi beruntunglah
Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah Kang Sirin menjadi
santri yang mengerti.
Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai. Pandai
mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin sudah jadi haji.
Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji Jupri.
dimuat di Pikiran Rakyat Silakan Kunjungi Situsnya! 02/17/2007
Orang Kampung
WAK MANGLI mulai berkeringat, menggigil. Suara deru angin. Pohon-pohon berpatahan.
Kelebat lentik pagar di depan ambruk; menembus mimpi teramat buruk. Dosa apakah? Tiba-
tiba. Lentik lampu sentir menabur jelaga, menuju atap. Hitam. Ia terpaksa terbangun
berkali-kali, menguping telinga. Jelas isyarat hujan. Betul. Tak ada jam. Juga suara kentong
peronda yang mustinya sudah berbunyi sedari tadi. Badai dari langit itu. Lelap.
Apakah kamu dengar juga, Juminah? setengah mengigau, berteriak. Membangunkan
istrinya, Jangan tidur. Aku khawatir
Kita bisa melihatnya besok, pelan. Gerimit bibirnya mengguratkan garis letih. Menjawab.
Sudahlah, ia menghibur. Tapi tak tenang. Wak Mangli hafal itu bukan isyarat baik, lalu:
Hasnah! Bunga-bunga manggis itu pasti berjatuhan. Gagal. Ah, hujan sial. Lalu bagaimana
dengan nasib Hasnah, Juminah?
Aku tak tahu.
Dengar: tahun ini tak akan ada buah. Apakah itu artinya? Besok kita akan tahu. Duh Gusti,
Wak Mangli berdoa. Telentang. Pedas matanya dan tak sanggup lagi berfikir, Bahkan ingin
-
rasanya mati. Kau dengar Juminah? diam. Badai dari langit itu
TOLOL. Memang pantas. Musim petai memanggul delapan belas bonggol petai: tersaruk-
saruk dan mengetuk pintu terbunggkuk-bungkuk. Juminah, berbedak-gincu murah dipakai
sewaktu-waktu; selendang kuning dan kebaya brukat, berjalan sepuluh kilo turun gunung.
Tentu. Bau keringat dari ketiak, juga Wak Mangli bersarung kampret dengan wajah basah;
nyaris mencium dengkul Juragan Faruk ketika datang: Kulo bawakan, Bapak Juragan Faruk!
Duh, surat dari Bapak sudah kulo tahu. Kulo tak bisa baca, tapi Bapak Kadus berkata itu;
bahwa, ehm, anu Bapak Juragan Faruk katanya memintai petai. Petai asli. Betulkah? Ah,
bingah amarwatasuta, gembira berkah kagiri-giri. Semoga Hasnah di sini betah. Anak saya
itu, Bapak Juragan. Sareatna-nya cuman begitu. Bodoh dan mohon petunjuk.
Biasa mendelik tapi Juragan faham: terbahak. Mungkin lucu. Juga suka. Metingklak di atas
kursi. Teriak memanggil babu, pekak. Ludah menyemprot gigi tongos, sungguh patut:
Hasnaaah!!
Senang. Wak Mangli memandang tak bosan-bosan. Gadis, ya, sudah perawan. Sebesar itu.
Anaknya, buah hati. Kesayangan. Diambil empat tahun lalu untuk jadi _batur_. Jadi babu.
Bayangkan, melayani Faruk! Sungguh besar anugrah Gusti Allah. Tapi nyaris. Tiga tahun lalu,
dasar Hasnah memang bodoh, anak itu kabur. Marah. Pertama kali seumur-umur Wak
Mangli memukul: Kamu yang tolol Hasnah! Ya Gusti
Tapi Hasnah dijotos. Digerus. Endas Hasnah dibentur-bentur. Lihat, endas Hasnah masih
metingul sebesar jengkol. Bengkak. Warnanya hijau. Oh
Kamu. Kamu yang salah pasti. Dasar! Kamu itu, tak ngerti berkah. Dungu. Tak sembarang
orang, tahu, bisa melayani Faruk! Pergi, ayo, kembali dan minta ampun, mengumpat. Dulu.
Katanya dicakar Bu Juragan juga. Digencet palu. Amit-amit. Anak jaman sekarang tak faham,
bahwa begitulah cara priyagung memberi ajar. Mewangsitkan petuah. Sopan santun. Agar
patuh. Berbakti dan mengabdi. Sungguh. Tapi tak apa. Hasnah masih kencur. Makanya harus
dipaksa: Ayo. Kemasi lagi pakaianmu, nduk. Bapak yang akan ngantar. Bapak akan ngglesot,
nyembah. Mencium kaki. Meminta ampun
-
Gemeragap bayangan kembali memercik. Hasnah bisa pergi. Dipaksa. Tapi begitulah,
memang takdir Gusti Allah: empat bulan barusan, Hasnah kembali. Datang. Berdiri
diambang pintu: ketawa nyekakak. Rambut trondol, cepak, seperti ah, ya, demit mur;
katanya binatang pilem. Astaga. Bedak merah. Tebal. Gincu abang dan, celana komprang
pendek mirip petani, Kamu
Hasnah bunting. Ditiduri Pak Faruk. Semalam dua kali. Enak. Ini surat. Suruh datang. Bapak
disuruh ke sana. Nyembah. Dan minta ampun.
LANGIT. Tumpah _menjelegurkan_ bunyi pekak. Bledek. Barangkali runtuh. Tujuh turunan
amit-amit, Juminah nangis segruk-segruk: alangkah. Jika masanya anugrah datang. Tapi
hujan! Angin sial puting-beliung siapa tahu. Merontokkan harapan itu. Tentang gugurnya
bunga-bunga manggis, duh! Impian Wak Mangli, bahwa empat bulan lagi Hasnah bakal
kawin. Tak perlu bawa-bawa ubo rampe segala; duit, biaya seabrek-abrek seperti orangtua
perawan kampung dipinang perjaka. Nanggap wayang. Duih, amat astaga mahalnya.
Darimana? Duit sejuta melihatpun tak bakal. Tak perlu, begitu Bapak Juragan Faruk,
malaikat itu, membenarkan sambil pethakilan dan ludah muncrat-muncrat: Hasnah akan
kawin dengan Udin. Ibu Faruk setuju. Nyembelih kambing, empat kambing dan wayang!
Hok-hok-hok, ueddan. Udin itu. Anakmu bakal jadi orang kota. Bisa nulis, Udin itu, juga bisa
baca. Bisa nyopir. Dia, Udin itu, calon suami Hasnah, juga kerja di sini. Jadi sopir. Pintar dia.
Turunan bagus.
Katanya. Wak Mangli hanya nangis. Iba. Juga Juminah, berkali-kali. Terimakasih. Ingin sujud
dan mengucap, Gusti Allah! Gusti Allah!!
Udud. Sebul-sebul asap rokok dari mulut tongos. Bapak Juragan Faruk _ngendiko_, berkata
lagi begini: Jadi tak perlu bawa duit. Hok-hok-hok. Hanya ucapan terimakasih itu. Nah,
Mangli, jika kupingmu tidak budek. Kudengar kau punya pohon manggis raja yang bagus.
Kata orang rasanya paling enak di Dusun Jablus Melebus. Kalau panen besok, bawalah
manggis ajaib. Itu sudah cukup. Seratus kilo sudah cukup. Manggis raja! Hok-hok-hok.
-
Ser seratus, Juragan?
Senyap. Lentik pucuk api sentir menggeriap. Wak Mangli tersadar mencangkung melamun.
Jelatang hitam menabur, menuju atap. Klap!! Kilat, petir. Wak Mangli terjengat: Cilaka,
Hasnah.!!
HARI ujug-ujug subuh. Lenyap sebentar, Wak Mangli kaget. Tertidur. Jam berapa? Tak ada
jam disini. Bunyi jago kluruk meneluwung jauh, pasti. Itu suara Si Bangkok, ayam tetangga.
Bumi sepi, suara angin sepoi sunyi. Aha. Wak Mangli menggerudug menggebrak jendela:
gelap. Tak sabar.
Juminah! Bangun. Siapkan obor!!
Embun kinclong di ujung daun. Padang rumput, teranyas dingin jalan setapak diterabas
telapak. Telanjang. Ada bias warna putih, di ufuk timur berkibar-kibar. Ditirai kabut: remang.
Moncong tongperet menungging-nungging dengan denging irama, binatang pengisap air
yang suka nyanyi serentak. Ratusan. Berdenyar-denyar menemplek pada batang-batang
basah. Jalan menanjak, berkelok. Dari lembah bawah sudah terlihat _juntrung_ mentiung
pohon kesayangan: manggis raja. Ohoooi! Raja manggis yang banyak dicicip para priyayi di
kota, dipesan jauh hari. Pohon mukjizat itu, satu-satunya pohon penopang hidup setelah
petai dan jambu klutuk. Dan kini, kembali dipinang justru dari rajanya priyayi, duh! Hasnah!
Hasnah! Semoga hujan tidak merontokkan bunga!! Dan kawinlah kau. Kawin! melonjak.
Doanya perih. Pada Gusti, pada malaikat, dan harapan dari berkah Juragan Faruk.
Melompat jadi bergas. Gemerudug ia-nya, cemas. Buru-buru. Wak Mangli itu, serasa
jantung mendegup, berlari. Juminah terengah menghempas nafas. Sesak. Tertinggal jauh
langkah Wak Mangli. Cepat. Kelebat sosok Wak Mangli lenyap ditelan gerombol semak.
Lentik obor tak perlu, dibuang Juminah, lantaran langit berubah. Ia berhenti, mendadak:
Juminaaaah!! Juminaaaah!! dari jauh. Suara teriak tertatih-tatih. Empat orang menyusul.
Memanggul gergaji, kapak, tengah menanjak; dan segulung tambang besar. Untuk apakah?
Tertegun. Ada firasat buruk, naluri perempuan petani berbisik. Aneh.
-
Kaukah itu, Juminah? berteriak. Semakin dekat.
Ya.
Tadi malam hujan sangat deras, jelas. Wajah Pak Kadus Jablus Melebus mulai bicara.
Tersengal-sengal. Semakin tegas. Tiga penebang lain: Emen, Karto, dan Sali, berotot kekar:
hanya terdiam. Kikuk. Pandang matanya berkilat. Juminah melongo.
Ada kabar kiriman surat untukmu. Maksudku, tadi sore. Tapi hujan sangat deras. Aku tak
bisa mengantar. Ah, maksudku, surat itu sangat penting. Makanya aku susul kemari. Tadi
pagi-pagi, aku ke rumah. Ya Tuhan, gugup. Pak Kadus menunjuk selembar kertas. Tengadah
ke langit: Dari Bapak Camat Umar
He?! Juminah. Melotot lutut bergetar. Gusti Allah!
Betul. Kamu dapat anugrah. Maksudku, ya Tuhan, begini, berbisik. Sebagai warga yang
paling baik, begitu kata Bapak Camat Umar. Kamu harus rela. Dimana Wak Mangli?
menunjuk. Juminah tak paham.
Begini: kamu kan tahu, Juminah, sekarang musim hujan? Jembatan Cihampelas sudah dua
kali hanyut. Kamu suka lewat ke sana bukan? Juga Wak Mangli. Nah, begini, katanya ehm.
Menurut anu, eh, warga kebanyakan, clingak-clinguk. Sejenak sunyi. Emen dan Karto
membuang muka. Entah. Sedang Juminah beku.
Baiklah, katanya. Tegar dan malu-malu: Jembatan itu harus dipatok dengan kayu yang
besar. Tak ada kayu yang lebih besar selain manggis raja milikmu. Bukankah begitu,
Juminah? Semua orang tahu. Betul. Bapak Camat bilang begitu. Pagi ini harus ditebang.
Kamu beruntung, Juminah. Kamu telah disebut Bapak Camat Umar itu, sebagai ah, apa
katanya itu? Kadus melongok Sali. Meminta bantuan. Emen dan Karto melengos. Nyinyir
mereka, berwajah keras, lantas meludah: Pahlawan pembangunan!
-
Tak ada cakap. Bayang Wak Mangli mengabur di sana. Sebentar. Juminah beku. Juga
bayangan Hasnah, anak perempuan yang bakal kawin. Dan manggis raja kesayangan? Kini
tak ada hujan. Jadi teramat sunyi. Bukit ini paling biru. Paling sedih. Sedang matahari
mengambang. Meleleh. Mungkin. Sebab air mata Juminah tengah menitik. Seperti telaga.
Juga di sini. Sampai kapan?
Yogyakarta, 1997