KUMPULAN CERPEN

41
Cermin Seekor Burung Oleh Yeni Kurniawati Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk. Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju. Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas. Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya. Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan

description

tugas sekolah buat adekku iseng-iseng aku upload, bagi yang memerlukan, silahkan didownload ^^

Transcript of KUMPULAN CERPEN

Page 1: KUMPULAN CERPEN

Cermin Seekor Burung

Oleh Yeni Kurniawati

Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…

Page 2: KUMPULAN CERPEN

Penjual Pensil

Oleh Sanice Alfieta

Tentunya kita pernah naik bis dan bertemu dengan pedagang yang aneh-aneh. Masih inget gak waktu pertama kali dapat “hadiah” sebuah barang yang tiba-tiba dibagikan orang di pangkuan kita waktu duduk di bis?. Mungkin pertama kali heran tetapi akhirnya jadi sedikit sebal karena kita jadi waspada karena dititipi barang dagangan dengan paksa sehingga ga enak klo mo tidur. Ada juga sih kita yang ceroboh menjatuhkan hingga ke kolong bangku, wis pokoke sangat merepotkan. Tapi klo aku sih daripada sebal mending menikmati momen sang penjual ngoceh berpromosi ria soal barang dagangannya. Terkadang ada juga yang kreatif, misalnya penjual pensil di bis beberapa tahun yang lalu.Sambil membagi dagangannya dia nyerocos…

”Silahkan dipilih warnanya macem-macem, hanya dengan uang lima ribu bisa dapet sepuluh pensil istimewa, warnanya pun gaul, klo suka dangdut tinggal pake yang kelap-kelip, ditanggung gak habis dalam sepuluh tahun. Pensil ini punya kemampuan bisa memendek dan kayunya empuk untuk diraut atau enak juga buat digigit-gigit karena bahannya tidak beracun dan ramah lingkungan. Selain buat nulis pensil ini punya fungsi istimewa yaitu untuk relaksasi. Tinggal dikorek-korek ke kuping pasti hidup jadi lebih indah, juga bisa buat alat pertahanan diri tinggal dicolokin ke mata lawan, atau klo nekat bisa juga digunakan sebagai tusuk gigi, tapi klo yang terakhir itu kurang disarankan…..,”

Nah itu emang penjual pensil yang agak eror tapi minimal punya selling skill. Intinya sih klo mo dagang jangan sampai menjatuhkan harga diri, misalnya dengan cara melas… “ Om ayo dong dibeli, saya belum makan tiga hari.., kasihanilah, buat makan…..” hihihi cara yang ga mbois blas… Begitupun cara-cara yang gak etis misalnya ngancam-ngancam, maksa-maksa atau berbohong tentang barangnya. Sebagai konsumen kita juga ga boleh bikin pedagang sakit hati. Jadi ingat Hilman dalam novelnya Lupus Kecil, ceritanya Lupus lagi liat penjual siput laut atau keong, trus dia nanya-nanya..”Mang siputnya bisa dimakan ga?”, “ya gak bisa dek, ini kan siput laut..”..”trus bisa gigit Ga?” “ Gak dong pokoke aman kok buat mainan. Adek mo beli?” tanya pedagangnya antusias. Trus si Lupus jawab, “ Aneh, klo gak bisa dimakan dan ga bisa gigit kok dijual? Mending jualan semut Rangrang aja, walo ga bisa dimakan tapi kan bisa gigit…..”

Nah itu baru sekelumit cerita tentang pedagang dan konsumen. Intinya sih sebagai konsumen kita juga ga boleh mengadul-adul barang dagangan orang tapi gak beli dengan legitimasi pembeli adalah raja, padahal yang namanya pembeli adalah yang bener2 melakukan transaksi. Tapi juga pedagang emang suka menyebalkan tapi kok kita butuh ya. Jadi seperti hubungan dilematis, benci tapi rindu… klo didepan pedagang kita jadi sok mencibir… “kok mahal banget sih bang, barangnya ga bagus nih dsb…”..tetapi begitu nyampe rumah kita cekikikan seneng karena dapet barang bagus dan murah ampe dipamerin ma temen2 sekantor. Budaya yang aneh dan mungkin bagi kita itu white lie, padahal tetep aja ga etis seperti gak etisnya pedagang yang suka bohong..”waduh klo segitu sih buat kulakannya aja ga nutup Neng..” atau “pokoknya klo ada yang lebih murah ta belinya sendiri deh..dsb..”. Hmmm… ternyata benar juga klo gak ati2 di Pasar bisa jadi tempat kita jual beli dosa..

Page 3: KUMPULAN CERPEN

Angin di Daun PohonOleh : Syifa Andiana

Dia adalah Seseorang yang sangat aku sayangi dan aku cintai, seseorang yang selalu memendam permasalahan sendiri, selalu tampak tegar ditengah kerapuhannya. Selalu tersenyum ditengah kemarahannya, hal itu yang membuat aku sayang padanya, tetapi dia juga yang membuat aku terhanyut dalam kesedihan ini.

Dia bernama Andri, aku bertemu dengannya di sebuah acara kemahasiswaan, dia anak yang baik dan humoris, makanya gak heran dalam waktu singkat kami bisa berteman akrab, teman-temanku mengira kami pacaran dan mereka sangat mendukung. Aku hanya tersenyum geli melihat teman-teman ku menjahili dia, terfikir olehku apa benar yang mereka katakan. Tapi aku menepisnya, aku gak mau memikirkan hal itu, karena aku pernah bertekad untuk tidak pacaran sampai aku selesai kuliah dan aku berusaha menjaga itu.

Waktu terus berlalu, aku juga tak mengerti kapan rasa itu datang dan hinggap di hati ini, berawal saat kami bermain ke rumah Hilman, saat itu hilman mengajak ku keluar untuk membeli makanan, kami bercerita banyak hal sampai hilman menyinggung tentang Andri dan pacarnya, aku terperanjat sejenak, tapi cepat-cepat kusembunyikan rasa itu, aku kembali bercerita seolah-olah aku tau kalau dia sudah memiliki pacar, baru aku tersadar hatiku sakit mandengarkan cerita dari hilman.

Sepulang dari rumah hilman, aku lebih banyak diam begitu juga dengannya, dia marah karena aku terlalu lama pergi bersama hilman, tapi bukan itu yang ku pikirkan, aku memikirkan diriku, ada apa denganku, aku hanya temannya, mengapa aku cemburu dan sakit hati kalau dia memiliki pacar, mengapa tidak terpikirkan olehku kalau orang semanis dia pasti ada yang memiliki, dasar bego!. Aku tersenyum sendiri dikamar, mencoba untuk ceria, menganggap hal ini biasa dan pasti bisa ku atasi, aku bertekad pada diriku untuk menjadi teman yang baik, selalu ada disisinya saat suka dan duka. Semangat teriakku pagi itu.

Namun perasaan itu muncul kembali saat kami pergi makan di suatu café, disana dia mencurahkan semua isi hati yang selama ini di pendamnya, aku terkejut melihatnya menangis layaknya seorang anak kecil di hadapanku, belum pernah aku melihat dia seperti itu, tarnyata dibalik keceriaannya selama ini tersimpan luka yang sangat dalam, aku terharu ketika dia mengatakan percaya padaku, aku sangat sayang padanya tapi aku tak mungkin memilikinya.

Setelah kejadian itu dia lebih terbuka padaku tentang pacarnya yang selama ini dia tutupi, aku semakin mengerti bagaimana dirinya, makin memahami apa yang diinginkannya, harapku suatu hari dia memiliki seseorang yang benar-benar mengerti dirinya dan sayang padanya, walau hati ini hancur setiap kali mendengarkan dia bercerita tentang pacarnya. Akan tetapi yang tak ku mengerti, kerap kali dia mengatakan satu hal yang membangkitkan kembali perasaan ku, bahwa dia tak ingin melepaskanku karena aku telah menjadi sebagain dari dirinya, aku bingung, tapi aku juga gak punya nyali untuk bertanya kepadanya bagaimana perasaan dia terhadapku.

Sampai pada puncaknya aku tak kuat membendung perasaanku sendiri, aku mengatakan padanya kalau aku sayang padanya dan aku tau perasaan ini gak boleh terbina, aku hanya sekedar mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam hatiku, terserah dia menganggap apa yang penting hatiku lega, aku tidak akan membahas masalah ini lagi, karena aku berjanji akan selalu menjadi teman dan sahabat yang baik buatnya

Namun rasa sayang dan cinta sudah bersemi dalam hatiku, tak mudah untuk menepisnya, walau aku sudah berusaha, ternyata benar kata pepatah cinta itu datang tiba-tiba walau kita tidak menginginkannya, tapi setelah kita tau mengapa terasa sakit jadinya. Entah mengapa, setelah kejadian itu dia makin perhatian padaku, aku gak pernah tau apa maksudnya karena dia tak pernah mengatakannya padaku, yang aku tau dia memberikan perhatian lebih

Page 4: KUMPULAN CERPEN

dari biasanya, seakan-akan menjawab semua pertanyaan tanpa harus diungkapkan, aku gak peduli aku hanya ingin menjalani apa yang aku jalani sekarang, tidak mau berfikir yang muluk-muluk tentang masa depan, apa yang terjadi antara aku dan dia biarlah berjalan seperti sekarang ini, tanpa kata-kata tapi saling mengerti dan memahami maksud satu dengan yang lain, walau entah sampai kapan hal ini akan berlanjut, akupun tak tau. Tapi biarlah kisah ini berjalan seiring dengan waktu yang kami pun tak pernah tau akhir dari semua ini, tapi aku tetap berharap semoga…….

Page 5: KUMPULAN CERPEN

Gunung dan CintaOleh : Panji

Ada sebuah kisah tentang seorang bocah sedang mendaki gunung bersama ayahnya.

Tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh!” jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh!”.

Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei! Siapa kau?”Jawaban yang terdengar, “Hei! Siapa kau?”

Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut kamu!” Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa.

Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?”

Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.”

Kemudian Lelaki itu berkata keras, “Saya kagum padamu!”

Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!”

Sekali lagi sang ayah berteriak “Kamu sang juara!”

Suara itu menjawab, “Kamu sang juara!”

Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.” Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu.

Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, ya ciptakan cinta di dalam hatimu. Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu. Hidup akan memberikankembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya.

Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.

Page 6: KUMPULAN CERPEN

Peradilan RakyatOleh Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?""Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak

pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini." Pengacara muda itu tersenyum.

"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku.""Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu

kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis."Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara

sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.""Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"Pengacara tua itu tertawa."Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong

pengacara tua.Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf."Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung

pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.""Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.""Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela

seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar

Page 7: KUMPULAN CERPEN

menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran."Bagaimana Anda tahu?"Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang

jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang."Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku

tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti."Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?""Antara lain.""Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam

lubuk hati orang tua itu."Jadi langkahku sudah benar?"Orang tua itu kembali mengelus janggutnya."Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai

profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"

"Tidak! Sama sekali tidak!""Bukan juga karena uang?!""Bukan!"

Page 8: KUMPULAN CERPEN

"Lalu karena apa?"Pengacara muda itu tersenyum."Karena aku akan membelanya.""Supaya dia menang?""Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk

mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."

Pengacara tua termenung."Apa jawabanku salah?"Orang tua itu menggeleng."Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya

ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang.""Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim

yang sangat tangguh akan diturunkan.""Tapi kamu akan menang.""Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.""Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca

walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil."Itu pujian atau peringatan?""Pujian.""Asal Anda jujur saja.""Aku jujur.""Betul?""Betul!"Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan

matanya dan mulai menembak lagi."Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?""Bukan! Kenapa mesti takut?!""Mereka tidak mengancam kamu?""Mengacam bagaimana?""Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak

memberikan angka-angka?""Tidak."Pengacara tua itu terkejut."Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?""Tidak.""Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara muda itu tertawa."Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!""Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda itu terdiam."Bagaimana kalau dia sampai menang?""Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!""Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"Pengacara muda itu tak menjawab."Berarti ya!""Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut

dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya."Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan

karena kamu disogok.""Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

Page 9: KUMPULAN CERPEN

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul.""Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu sudah

tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.

"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.""Tapi..."Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.

"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?

***

Page 10: KUMPULAN CERPEN

Tomorrow Never ComeOleh Kalina Maryadi

Ternyata aku memang mencintainya. Setiap malam aku memikirkan ini, dan sekarang baru aku merasa yakin kalau rasa ini memang hanya untuknya. Semakin aku mengenalnya, seakan aku tak bisa lepas lagi darinya. Michelle, aku sangat mengagumimu. Sosok yang begitu sederhana. Yah, alasan itulah yang selama ini membuatku tak berani meneruskan rasa ini.

Aku, seorang pemilik bisnis komputer yang cukup terkenal, tak mungkin bisa jatuh cinta pada seorang gadis biasa seperti dia. Aku yang lulusan S2 sebuah PTN terkenal di Jakarta tak mungkin bersama gadis yang hanya lulusan SMA. Aku yang terus berprestasi sepanjang masa studiku hingga sekarang berkarir, tak mungkin berniat serius dengan anak seorang pemilik warung pinggir jalan seperti dia. 6 bulan lebih aku tetap pada pemikiranku itu.

Sungguh, aku tak mungkin bersama dia. Apa kata dunia bila aku pacaran, dan akhirnya mengikat janji dengan gadis yang tak setara denganku?Dan aku yakin bisa menghilangkan rasa yang sebenarnya telah tumbuh sejak pertama bertemu dengannya, di warung milik ayahnya. Sampai hari ini tiba. Keyakinanku goyah. Yah, ternyata semua prediksiku salah. Aku tak bisa melupakannya, sedetik pun. Terlebih akhir-akhir ini. Entah apa yang membuatku begitu mengaguminya diantara gadis-gadis lainnya. Ada banyak pilihan buatku, gadis selevel, pintar, berkarir, dari keluarga yang disegani, tapi aku tak pernah bisa memilih. Tak ada satu gadispun yang sanggup menyita waktu dan pikiranku seperti Michelle.

Aku akui setahun yang lalu aku pernah berniat serius dengan salah satu branch office managerku di kantor cabang daerah Surabaya. Dia pintar, disiplin, loyal, dan yang paling penting, dia juga berniat serius denganku. Tapi aku juga tak mengerti kenapa tiba-tiba saja perasaan itu hilang justru setelah kami semakin saling mengenal, dan akhirnya aku membiarkan dia dinikahi seorang staff perbankan rekanan bisnisku. Yap, istilahnya, aku jadi mak comblang untuk orang yang katanya aku sayangi. Aneh kan? Akhirnya setelah aku mengenal Michelle, aku tahu jawabannya. Aku hanya mengagumi saja, bukan mencintai. Dan aku merasa berbeda dengan Michelle.

Walaupun sebelumnya ada banyak penyangkalan dan pemikiran rasional atas perasaanku padanya, kenyataannya, aku mengakui sekarang. Aku sedang jatuh cinta!

***

Saat itu aku melihatnya sedang membantu seorang nenek menyebrang di jalanan yang memang sangat ramai. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menghentikan laju mobilku dan memutuskan mengikutinya. Ternyata dia lalu masuk di sebuah warung pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri memandangnya. Pandanganku terus mengikutinya. Dia sibuk melayani pembeli. Dengan tangannya yang cekatan dia membersihkan meja, mengantar pesanan, menerima pembayaran dari pembeli, sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya. Tanpa sadar, hampir dua jam aku disana memandangnya. Dan hal itu berlanjut terus hingga satu minggu. Aku tetap berdiri disana, sampai pada hari ke delapan pengintaianku, aku memutuskan untuk makan di warung itu. Sebuah keputusan sulit karena sebelumnya aku tak pernah makan di pinggir jalan. Aku termasuk orang yang sangat berhati-hati dengan makanan. Tapi toh akhirnya aku masuk juga, dan mulai memilih makanan apa yang akan aku santap. Dia datang, menawarkan menu andalan warungnya.

Aku mengikuti sarannya, es kelapa muda dan soto babat tapi tanpa nasi, karena aku tak biasa mengenyangkan diri di pagi hari. Dia berlalu, melayani pesananku dengan bantuan seorang lelaki paruh baya yang akhirnya aku kenal sebagai ayahnya. Saat dia datang lagi dengan pesananku, aku benar-benar tak mengerti apa yang membuatku nekat melakukan ini. Dia biasa saja, sekilas tak ada yang menarik dari wajahnya. Sampai saat aku melihatnya tersenyum pada ayahnya sewaktu mereka asyik bercanda. Akrab sekali. Warungnya memang masih sepi, karena mungkin memang masih terlalu pagi. Dan aku memang sengaja memilih waktu ini agar aku bisa menemukan jawaban atas kelakuan anehku seminggu ini. Akhirnya aku temukan. Kesahajaannya, semangatnya, rasa percaya dirinya, keramahannya, juga senyumnya. Aku terpesona pada dirinya.

Page 11: KUMPULAN CERPEN

Hingga berbulan-bulan aku selalu sarapan di warung itu, berkenalan dengan ayahnya. Membicarakan obrolan-obrolan ringan seputar topik-topik hangat yang menjadi headline di surat kabar, hingga cerita soal keluarganya. Ternyata ayah Michelle open mind person, berwawasan, dan sangat bijak menyikapi suatu masalah. Aku tak pernah canggung dibuatnya. Dari obrolan biasa, hingga masalah serius menyangkut masa depanku aku bicarakan padanya. Tak jarang Michelle turut menyela saat dia tak sibuk melayani pembeli. Menanggapi omongan ayahnya yang kadang memang suka diselingi dengan canda. Aku seakan merasa begitu dekat dengan mereka, disamping perasaan lain yang aku rasakan semakin tumbuh subur pada Michelle. Tapi seperti apa yang aku ungkap sebelumnya, aku tak berani mengakui kalau ini adalah rasa cinta, hanya karena status sosial dan keadaan Michelle yang sangat sederhana. Tapi pagi ini, setelah semalaman aku berpikir keras, aku akan mengubahnya. Yah, aku sudah mantap pada pilihanku.

Aku sudah tahu banyak tentang latar belakang Michelle. Studinya mandek bukan karena otak Michelle tak mampu, tapi karena dia mengalah untuk adik-adiknya. Tak meneruskan studi tak membuat Michelle berhenti belajar. Banyak yang dia tahu, termasuk masalah komputer. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, membuat aku semakin tak bisa melepas pesonanya. Yah, hanya keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Dan sekarang, aku ingin sekali membuatnya bahagia. Berhenti memikirkan nafkah untuk keluarganya. Karena aku yakin sanggup menafkahinya, lahir dan batin, termasuk menyekolahkan kedua adiknya. Aku semakin mantap dengan keputusan ini.

Segera kupacu Soluna hijau metalikku dengan hati yang tak menentu. Kali ini aku berniat memarkirnya di depan warung ayah Michelle, agar dia yakin aku bisa mencukupi kebutuhan materinya. Selama ini aku memang tak mengenalkan diriku yang menjadi direktur utama perusahaan spare part komputer dengan banyak kantor cabang di seluruh Indonesia. Yang mereka tahu aku hanya seorang wiraswasta yang sedang meniti karir. Aku tak berniat membohongi mereka, hanya saja aku tertarik dengan ketulusan dan keramahan mereka pada setiap orang, tak perduli status sosial mereka. Dan itu menjadi satu bukti padaku, bahwa mereka, terlebih Michelle tak berorientasi pada status dan materi bila mengenal seseorang, berbeda dengan orang-orang yang selama ini berada di dekatku. Setelah tikungan itu aku akan segera sampai, tapi ups!!! Nyaris saja aku menabrak seorang nenek tua yang menyebrang tertatih. Untung aku cepat menguasai keadaan hingga mobilku bisa berhenti di pinggir jalan sebelum sempat menabrak pohon beringin besar di sisi jalan itu. Huff!!

Aku menarik nafas lega. Aku keluar, hanya ingin mengetahui keadaaan nenek tua itu. Tapi kelihatannya dia baik-baik saja, hanya agak terkejut sedikit mungkin. Tapi sudah ada banyak orang yang datang dan menolongnya, termasuk Michelle. Dia segera memeluk nenek tua itu sebelum dia menjerit dengan kerasnya. Aku heran melihatnya. Nenek itu baik-baik saja, bahkan sekarang bisa berdiri tanpa bantuan Michelle. Tapi Michelle terus menatap ke arah mobilku sambil meneteskan air matanya. Lirih juga kudengar dia menyebut namaku. Lalu datang ayah Michelle, melihat keadaan dan menenangkan Michelle. Ada segulir air mata jatuh di pipinya. Aku tak mengerti. Segera saja kudekati Michelle, gadis yang ingin kunikahi itu. Aku tak tahan melihatnya menangis tersedu seperti ini. Tapi seakan dia tak melihatku, berlari mendekati mobilku. Ternyata ada banyak orang di sekeliling mobilku, menarik tubuh seorang lelaki muda yang bersimbah darah dari kursi depan mobilku. Aku heran, dan berjalan mendekat. Melihat Michelle yang masih terus menangis, juga ayahnya. Lalu aku melihat wajah itu, penuh darah, tapi aku masih bisa mengenalinya.

Dia adalah aku…

Page 12: KUMPULAN CERPEN

DiahOleh Kalina

Gadis itu masih juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang, keadaan sekeling memang sedikit aneh, tak jarang ada yang bicara sendiri sambil tertawa lepas, ada yang berteriak-teriak histeris ketakutan dan ada pula yang mengomel tak henti-henti tapi entah dengan siapa. Tepatnya sudah satu bulan gadis itu berada di tempat ini, sesuatu yang mungkin juga asing untuknya. Padahal senjapun sudah ingin berlalu, karena harus digantikan dengan malam. Matanya menatap lepas ke angkasa, seperti menanti kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong, mulutnya nampak berguman seolah dia sedang bicara dengan seseorang, sembari tersenyum jemari-jemari lentiknya memainkan ujung-ujung rambut yang tergerai lepas tertiup angin senja.

Mata itu masih disitu, menatap ke angkasa tampa reaksi nyata. Namun ada basah di sudut matanya, mengalir jadikan menganak sungai namun tidak sedikitpun dia menyekanya atau sesungukan seperti lajimnya orang menangis. Malam mulai menjemput, menghadirkan bulan yang datang dengan malu-malu menyembul di pelataran angkasa luas bersama bintang-bintang gemerlap. Sunyi yang ada hingga terdengar jelas nyanyian serangga malam menghadirkan lagu kidung malam, disegudang keperihan dalam kegelapan. Iya dia masih disitu kini terdengar lirih suaranya melangukan kidung kerinduan akan sesuatu untuk bisa dia dekap dalam hadir nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tiada siapa yang bisa tau akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya saat harus kehilangan semua yang di cintai.

Adakah puing-puing berserakan kan bisa menjadi kesaksian yang nyata? Bisakah sang angin beritakan kejadian yang sesungguhnya dan bisakah sang senja kala itu menaungi rasa takut yang mencekam diri dan saudara-saudaranya. Saat itu yang ada hanya pasrah dalam doa, entah hari ini atau lusa dia atau keluarga yang lain yang menjadi giiliran kebiadaban perang. Sore itu, sekembalinya dari sekolah, belum sempat Diah melepas seragam sekolah dan melepas penat karena seharian berkutit dengan pelajaran, tiba-tiba bapaknya dan ibunya menyuruh Diah dan adik-adiknya agar siap-siap karena mereka harus pindah untuk sementara ke desa sebelah.

“Memangnya ada apa lagi pak?” tanyaku penasaran saat sehabis sholat Isya berjamaah, meski aku sudah menduga pasti ada kerusuhan lagi yang akan terjadi di desa ini seperti yang sudah-sudah.

“kabarnya penduduk desa mendengar kalau akan ada penyerangan oleh perusuh-perusuh kedesa kita.”

Aku dan adik-adikku cuma bisa membayangkan kengerian pasti kan terjadi. Malam itu kami sekeluarga berjaga-jaga agat tidak tertidur terlampau pulas. Ku lihat ibu membelai kening si kecil Milah yang saat itu masih berumur tujuh tahun dan adikku Ridho berusia dua belas tahun. Tidak bisa rasanya mataku untuk terpejam walau barang sejenak. Bapak pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di raut wajahnya yang sudah termakan usia, namun masih nampak tegar meski terkadang sakit-sakitan. Ibu menatapku penuh kesedihan sekakan dia dapat merasakan kegelisahan dalam keluarga, apa yangkan terjadi nanti.

Saat pukul tiga pagi kami sekeluarga memang masih terjaga, kami sekeluraga mendengar teriakan-teriakan warga desa.

“Ada perusuh datang! Ada perusuh datang!!”Rasa takutkupun kian mencekam, kupeluk Ridho yang tengah duduk disampingku.

Tampa perlu di komando kami semua bersama warga keluar rumah, ibu pun berlari sambil mengendong Milah, sementara aku mengandeng Ridho, kami bersama warga coba menyelamatkan diri sebisa mungkin, karena warga juga bapak tidak menyangka kalau secepat ini perusuh-perusuh itu datang.

Pemandangan yang saat tadi hening mencekam kini kian menjadi riuh disebabkan teriakan dan lengkingan histeris para warga yang terkena sabitan senjata tajam, anak panah yang melesat yang menerjang tampa belas kasihan menghujam tubuh tampa dosa, serta peluru yang mebabi buta. Kami coba lari ketempat-tempat yang kami rasa aman, akhirnya aku dan keluargaku juga warga berlari menuju masjid. Ternyata mereka masih mengejar, kami dapat saksikan dari celah-celah kaca bagai mana mereka membakar rumah-rumah kami, bagai mana mereka meledakkan bom-bom disekitar kami.

Page 13: KUMPULAN CERPEN

Bukan tampa perlawanan kami lari, pemuda-pemuda desapun dengan sekuat tenaga memberikan perlawanan, tapi apalah kemampuan dari hanya sebilah golok dan bambu runcing. Bergelimpangan tubuh-tubuh mereka, ada yang tertebas kepalanya hingga putus. Ada yang terkena peluru di kepala dan tubuhnya, sekujur tubuh bersimbah darah, bau anyir darah, lantai dan pelataran sekitar banjir darah.

“Ya Allah”Ada lagi korban tepat di depanku dia jatuh bersimbah darah seraya memegangi

dadanya yang terkena tembakan, disini darah disana pula darah dan erangan kesakitan, lantas mana bapak? Ku tak kuasa menahan airmata, menyaksikan pemandangan yang memilukan, aku resah, aku bingung, karena aku tidak melihat bapak di sekitar kami.

“Kak .Bapak!!”Ya Allah ternyata bapak telah terluka, terkena sabitan golok, Ridho memegangi bapak

sambil menangis.“Pak, tahan ya, Pak! Pasti kita selamat” Ku peluk bapak yang bersimbah darah, sudah tak ku hiraukan lagi, darah membasahi

bajuku. “Diah, jaga ibu dan adik-adikmu ya!”“Bapak!!!” Aku dan Ridho coba menguncang bapak agar dia bangun..namun sia-sia.

Belum usai sedihku tiba-tiba adikku Milah jatuh terbujur tepat juga dihadapanku dan ibu rebah bersimbah darah dan anak panah menancap di dada kirinya.

***

Gadis itu masih juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Mata itu masih disitu, menatap ke angkasa tampa reaksi nyata. Namun ada basah di sudut matanya, mengalir jadikan menganak sungai namun tidak sedikitpun dia menyekanya atau sesungukan seperti lajimnya orang menangis. Gadis itu lirih berucap " Malam mulai menjemput, menghadirkan bulan sementara aku? sedih sepanjang hari, aku merasa kehilangan teramat sangat tampa bisa ku berteriak lagi, aku rindukan mereka menjemputku juga, menjemput kepelukan mereka hingga waktu tiba".

Satu yang tersisa yang ku punyapun pergi, karena terserang penyakit yang mewabah di sekitar pengungsian. Selamat jalan Ridho, ibu, bapak dan Milah juga ikut menjemputmu, meninggalkan kakak sendirian berpijak disini, entah sampai kapan semua kan tertahan di rongga dada, sesak jiwa bernafas walau sekedar menghirup udara.

Biarlah semua membisu, mematung di jejeran pemakaman ,gugurkan bunga kemboja pada pusaran, basah sudah ku hempaskan jiwa. Menyeka perih jika ada yang tertinggal saat tertidur tadi.

Ku ingin semua usai, kuingin semua hilang, tampa ada goresan pisau di lubuk hatiku, ku kehilangan jiwa dan angan kehidupan setelah semua hilang dari kehidupanku, dari yang di kasihi.

Ku terhempas lunglai, rapuh tampa tau kelanjutan hidupku, ku ingin semua usai, yah semua.

Tanpa beban, ku ingin hari-hariku penuh ceria dan tawa, tiada mendung kesedihan di bola mataku.

Ku ingin bebaskan jiwa penatku, bersenandung kidung manja milik ibu, kidung rindu milik bapak dan kidung riang milik adik-adikku.

Selamat jalan semua, ku ingin tidurku terpulas malam ini, tampa harus terusik oleh siapapun, kuingin terbang pergi kekayangan para dewa-dewi menata hari tampa letih dan kepedihan. Biarku tertidur disini, menjemput mimpi saat kembalikan hidup tampa sukma terjaga, ku ingin terpulas saat ini juga selamanya, bersama kerdil dan kebodohan yang tak bisa kutahan lagi, selamat malam mimpi, selamat tinggal kehidupan dan angan kepedihan , kusudahin hingga kehari ini.

“Suster Mira! mana Diah? Kenapa belum juga dia ada di ruanganya?” tanya suster Sri yang juga bertugas menjaga para pasien di rumah sakit jiwa tersebut.

“Tadi dia ingin duduk-duduk di halaman samping”“masa Diah belum masuk, malamkan sudah larut,” ujar suster Mira.

Page 14: KUMPULAN CERPEN

“Meski pikiranya agak terganggu tapi Diahkan tidak biasanya seperti ini,” Suster Sri resah.

“Biar aku cari Diah” Jawab Suster Rina yang baru tiba dari ruang sebelah dan kebetulan mendengar percakapan mereka.

“Ya ampun.. Diah.. apa yang sudah terjadi dengan kamu nak?!!!” Suster Rina menemukan Diah tergolek kaku bersandar di kursi tepat dibawah pohon beringin.

Ternyata teriakan Suster Rina terdengar oleh yang lainya, hingga para petugas lainpun datang dengan penuh tanda tanya.

Ternyata Diah memang tidur untuk selamanya, menjemput kembali keluarganya, menjemput semua kenangan pedih untuk dilepaskan, meski jalan tertempuh salah, dengan seutas tali pengikat dilehernya.

Rembulan dan bintang kesaksian bisu yang takkan pernah berucap, meski tau apa yang terjadi, serangga malampun hanya bisa berkidung duka dengan nyanyian, malam kian merayap kelam di hempasan arus kehidupan, menyudahi untuk agar mentari esok tetap bisa bersinar kembali.

Sang PrimadonaOleh A. Mustofa Bisri

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Page 15: KUMPULAN CERPEN

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!""Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar

tidak hilang.""Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan

anak yatim."Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula

memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku

Page 16: KUMPULAN CERPEN

berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari

Page 17: KUMPULAN CERPEN

panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti."Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!""Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!

Rhapsody Seorang BidadariOleh Anonim

Sore itu aku berjalan-jalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi-padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak-kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan

Page 18: KUMPULAN CERPEN

penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben dan menjinjing keranjang kecil.

 Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung

atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip-kedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar-lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putrid-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta-tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

 Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap

balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti-hentinya masih bernyanyi-nyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma-aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang2 ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melempar2kan air ke mukaku, sambil tertawa2 renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa2, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, kumenoleh ke kanan kiri untuk mencari sosoknya, tapi tak muncul2 juga. Tiba2 bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angin2 harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

 " Cantikkkkk......" tiba2 suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai,

menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat2 dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya." Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

 Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh

canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi

Page 19: KUMPULAN CERPEN

semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila2. Karena cantik yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku nggombal, padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku nggombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak menambahi.

 Tapi memang sebenarnya kata2 tak cukup mampu melukiskan keindahannya, tapi aku

terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu sampai pada tujuannya. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah2 manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata2nya yang lembut, diucapkan dengan yakin. Protes2nya terhadap manusia yang sewenang2 terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

 Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya

untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga takut kehilanganku.  Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat2 Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang2 akan risaunya.Di remang2 rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun2 padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak2 memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

 Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan

pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

BungaOleh Jasmine Lanuaba

Perempuan kecil itu selalu muncul di Pura desa, wajahnya seperti api mengkilap. Senyumnya selalu menyebar dan membuat orang-orang yang melihatnya selalu ingin mencubit pipinya yang putih seperti keju.

Page 20: KUMPULAN CERPEN

"Aku ingin menari, bisakah kau menabuh untukku?" perempuan kecil itu selalu ditemani tiga orang anak lelaki yang diam-diam menganguminya.Bahkan tanpa perempuan kecil itu, mereka merasa seluruh waktu mereka tak akan pernah memiliki nilai.

Perempuan kecil itu sangat piawai menari. tubuhnya seperti sebongkah api, yng siap membakar orang-orang sekelilingnya. Tariannya patah-patah, dia tidak memiliki guru tari. Jadi dialah guru sekaligus penarinya.

"Kau mau menari tari oleg?""Ya.""Kenapa geraknya seperti tari panyembrama?""Aku ingin menggabungkan semua tari jadi satu." Perempuan kecil itu tertawa. Tiga

lelaki kecil yang mengiringi perempuan kecil itu tak kuasa menolak. Mereka pun menabuh dengan cara aneh. Perempuan kecil itu terus menari...

"Aku menyukai matanya yang bulat," sahut anak lelaki berambut lurus. Usianya sepuluh tahun.Namanya Made. Lelaki kecil itu seorang anak pengempon Pura yang sangat sakti. Ibunya bisa mengobati beragam penyakit mistik, dan bisa membaca masa depan.

"Aku menyukai kakinya, begitu runcing, mirip kaki Nicole Kidman...," sahut lelaki dua belas tahun, tubuhnya paling tinggi diantara semua anak lelaki, mungkin karena usianya paling tua diantara anak-anak yang lain.Namanya Nyoman, ayahnya seorang petinggi polisi di Denpasar.

"Apa yang kau suka dari Bunga,Gus Putu?" tanya anak-anak itu pada lelaki sembilan tahun, yang memiliki wajah sangat tampan, tubuhnya gagah, orang-orang senang memandang wajahnya yang terlihat sangat berkarakter Bali. Kulitnya hitam legam, matanya selalu bersinar tajam setiap menatap orang yang memandangnya.Konon di dalam roh itu bersemayam dua orang, roh lelaki dan perempuan sakti yang menguasai Jagat Bali, mereka sepasang kekasih yang tidak pernah menikah.

"Hai kenapa kau diam?"tanya Nyoman" Aku tak bisa menilai anak perempuan.""Dasar tolol kamu Gus Putu. Tidak cantikkah Bunga menurutmu?""Cantik.""Lalu....""Maksud Made?""Cantik itu kan ada alasannya. Misalnya, rambutnya yang indah, matanya yang bulat,

kulitnya yang putih. Atau seluruh yang dimiliki Bunga memikatmu!""Hust!" Gus Putu berkata sambil mendelik. Pikiran bocah sembilan tahun itu terus berkerut.Ada yang terasa sangat

mengganggunya.Dia sangat heran, kenapa orang-orang sering memandang Bunga dengan tatapan yang

aneh? Adakah keistimewaannya yang luar biasa? Gus Putu jadi ingat kata-kata yang diucapkan orang tua Made.

"Made sini! Sudah Meme katakan berkali-kali, kau jangan bergaul dengan anak pelacur itu! Anak tidak jelas Bapaknya! Kau bisa tertular kesialan yang dibawa sejak kelahirannya. Percalah pada Meme, Made. Kau jangan sering-sering bertemu dengan perempuan kecil itu?!" suara Ibunya Made masih tertanam di otaknya Gus Putu. Mungkinkah seorang anak perempuan seperti Bunga bisa menularkan kesialan? Memang orang-orang sering bercerita, Ibu Bunga seorang pelacur di komplek dekat lingkungan rumah mereka.

Tak ada seorang pun tahu, diantara puluhan perempuan-perempuan yang datang dan pergi dari komplek itu ibu Bunga. Karena petugas sering mengobrak-abrik tempat itu, anehnya besoknya tempat itu berjalan seperti biasa lagi. Konon, kata orang-orang kampung, komplek itu adalah komplek pelacuran tertua di Bali. Pemiliknya Made Kocol, lelaki yang tidak jelas umurnya, dia memang terlihat tua tapi tubuhnya tetap gagah. Kata orang-orang juga dia sudah menikah sepuluh kali, istrinya semua mati tua. Anak dan cucunya banyak. Bahkan dia mungkin tidak mengenalnya.Atau mungkin saja tanpa sadar dia menikahi keturunannya sendiri, darahnya sendiri.  Konon itulah yang membuatnya tetap muda. Ada yang mengatakan umurnya sudah di atas seratus!

Diantara perempuan-perempuan menor yang datang dan pergi itu yang mana ibu Bunga? Bunga pun tidak pernah mau bercerita siapa ibunya, apakah perempuan tujuh tahun itu tahu? Atau dia memang tidak tahu? Tak ada orang bisa mengorek keterangan dari si gadis

Page 21: KUMPULAN CERPEN

kecil yang cantik itu.Dia pendiam, dan terlihat selalu ceria, tak ada beban berat terlihat dari matanya. Mata itu tetap cemerlang, dia pun tidak peduli, kalau ada anak-anak perempuan yang iri pada kecantikannya sering mengejeknya.

"Untuk apa lahir cantik,kalau tidak punya Bapak. Mana hidup di daerah mesum. Otaknya isinya pasti mesum saja...." Bunga tetap tidak peduli, seolah dia kehilangan telinganya. Dan dia bahagia bisa berteman dengan Gus Putu, Made dan Nyoman. Tiga lelaki yang sering menabuh untuknya. Bunga pun akan menari.Sampai matahari jatuh, dan bunga-bunga kamboja di Pura tidak lagi berjatuhan.

Gus Putu juga sering dimaki ibunya. Kata ibunya perempuan kecil itu bisa merusak hidupnya. Gus Putu tidak habis pikir merusak apa?

Yang sering membuat Gus Putu gelisah adalah kekaguman Made dan Nyoman yang berlebihan pada Bunga.

"Kelak, kalau aku dewasa, aku yang akan mengawini Bunga.""Aku yang lebih dulu mengawininya!" Made protes"Aku!" Nyoman mendelik! Hampir saja mereka saling melempar alat-alat tabuh. Gus

Putu mendelik."Kalian masih kecil, SD saja belum tamat!" Gus Putu menatap Bunga, Bunga masih

tetap menari di bawah guguran bunga-bunga kamboja. Mereka bertiga terdiam, melihat perempuan kecil itu masih menari, sementara mereka bertengkar. Mata gadis kecil itu terpejam. Ketiga lelaki itu terdiam, melihat gerak gemulai gadis kecil itu. Roh para dewatakah telah turun?

Dan menanam taksunya di tubuh perempuan kecil itu? ***

Pagi-pagi ibunya Gus Putu ribut.Sampai setangkup roti baka isi sosis tidak bisa ditelan lelaki kecil itu. Tetapi dia berusaha memasukkan keratan roti itu pelan-pelan, roti  itu terasa seperti potongan besi yang turun ke tenggorokannya.

"Perempuan sial itu memang lebih baik mati! Anakku terus-terusan bergaul dengannya, bisa Aji bayangkan kalau mereka terus berdekatan seperti itu. Apa  Aji mau punya menantu dengan keturunan tidak jelas!" Ibunya berkata pada ayahnya yang sibuk mengaduk juice buah. Lelaki itu terdiam.

"Kita ini keluarga terhormat! Aji saja punya jabatan Bupati, target kita lima tahun lagi karier Aji makin mulus. Siapa tahu bisa jadi Gubernur, atau Menteri." Perempuan itu terus bicara, satu demi satu lumatan roti Gus Putu meluncur dengan kasar, dia tersedak sampai matanya mengeluarkan air.

Bunga mati! Mayatnya ditemukan orang-orang terapung di sungai! Tubuhnya penuh bekas siksaan. Mulutnya disumbal celana dalam miliknya, tangangnya patah, karena dipaksa ditekuk ke belakang dan diikat color celana pendek lelaki dewasa. Dan yang lebih mengerikan bagian bawah gadis kecil itu robek, dan terus mengeluarkan darah. Setan dari mana telah merenggut perempuan itu?

"Aji tahu, perempuan sial itu diperkosa ramai-ramai. Vaginanya robek, dan terus mengeluarkan darah. Tubuhnya penuh gigitan, dia memang terkutuk. Makanya mati pun dia tetap terkutuk!" Perempuan itu mengerang penuh dendam.

Lelaki kecil itu terus tersedak, ibu dan ayahnya bingung. Mereka sibuk menelpon dokter, menyuruh sopir dan pembantu mengambil ini-itu. Lelaki kecil itu terus terbatuk, sambil menangis diam-diam. Air matanya terus mengalir, rasa sedih yang dalam mengupas seluruh tubuhnya.

Perempuan kecil yang sering dicurikan sosis,  ham sapi,  roti dan buah-buahan yang jumlahnya begitu banyak di rumahnya. Lelaki kecil itu masih ingat dengan jelas ekpresi Bunga ketika menelan sosis, dan makanan yang menurutnya teramat mewah. Perempuan kecil itu menggigitnya pelan-pelan, matanya terpejam, dalam hitungan menit ludes 3 tumpuk roti isi sosis dan keju. Lalu dia menyentuh buah-buahan yang dibawa lelaki kecil itu, menciumnya, mengelusnya dengan jemarinya yang kecil.

"Harum sekali, pasti rasanya enak. Apa setumpuk buah-buahan ini juga untukku?" tanyanya sambil mencium segerombolan anggur hijau, mengusapnya, dan meletakkan dipipinya. Mata perempuan kecil itu berbinar, lalu dengan cekatan tangannya yang mungil memeluk Gus Putu, dan mencium pipinya. matanya berkaca-kaca.

"Ada buah seindah ini, pasti rasanya nikmat?"

Page 22: KUMPULAN CERPEN

"Cobalah?"Lelaki kecil itu berkata terbata-bata. Tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya disiram air panas, juga menggigil. Rasa apa ini? Musim apa yang berkecamuk dalam tubuhnya?

Perempuan kecil itu tersenyum, dengan ringan menjatuhkan tubuhnya di rumput, lalu mengunyah sebuah anggur hijau. Matanya yang berkaca-kaca berubah penuh kegembiraan.

Aneh sekali, Bunga begitu mudah berubah? Baru satu menit menangis sudah senang lagi? Luar biasa mahluk satu ini, apa karena dia berwujud perempuan?

Gus Putu muntah! Seluruh makanan yang masuk ke perutnya keluar. Orang-orang panik, dokter belum juga datang.

Hyang Jagat! Bunga mati! Dia diperkosa 3 lelaki,apa isi otak lelaki-lelaki itu? Apakah benar yang memperkosa Bunga mahluk lelaki? Apakah di bumi ini ada lelaki yang jahatnya melebihi setan?Bukankah Gus Putu juga lelaki? Apa yang salah pada tubuh lelaki sehingga tega memperkosa perempuan kecil tujuh tahun? Bagaimana rasanya menikmati tubuh perempuan tujuh tahun? Bahagiakah mereka setelah memakan tubuh kecil itu?

Dulu, Gus Putu tidak pernah mau mendengarkan berita kriminal di TV. Aneh rasanya melihat potongan-potongan tubuh diumbar. Penjahat ditembak di depan mata. Bahkan ibunya bisa menikmati beragam adegan kekerasan, bau mayat, dan darah di TV sambil menelan semangkuk sop.

Sejak kematian Bunga, Gus Putu selalu asik menonton acara kekerasan itu.Biar bisa dibayangkan seperti apa lagak para setan itu. Kenapa mesti lelaki yang melakukannya? Dia juga mendengan hukuman yang diberikan hanya 5 tahun. Gila! Belum lagi ada potongan di penjara, bisa jadi lelaki-lelaki itu hanya meringkuk 2 tahun atau 3 tahun. Lalu setelah itu apa Bunga akan kembali datang?

TV diganti chanelnya, perempuan-perempuan berdemo. Gus Putu meringsut, tak ada perempuan yang berdemo untuk membuat keputusan: hukum mati para pemerkosa anak-anak!

Bapak MeninggalOleh Rifan Nazhip

Di ruangan berukuran tiga kali empat meter ini, duduk melingkar beberapa lelaki yang menghadapi mayat Bapak. Maaf, sebenarnya dia belum berstatus mayat.

Page 23: KUMPULAN CERPEN

Hanya saja dia sekarang sekarat dengan napas satu-satu. Sudah hampir empat hari dia demikian. Tapi nyawanya tetap tak terlepas dari jasad. Kasihan juga. Orang-orang menjadi kebingungan.

Dia sebenarnya bukan bapak kandungku. Dia adalah adik Ibu. Berhubung sejak berumur satu tahun bapak kandungku meninggal dunia karena malaria, akhirnya aku memanggilnya Bapak. Dia sudah lama tinggal di rumah kami, dan menurut Ibu dia tak akan pergi ke mana-mana. Masih tetap di rumah kami, meski dia kelak menikah. Nyatanya, sampai dia sekarat, Bapak belum menikah-menikah juga.

Lelaki yang bersorban dan baju gamis putih itu --biasa dipanggil orang desa, Haji Mahmud-- sudah beberapa kali mencoba mendoakan agar Allah sudi membebaskan ruh dari jasad Bapak, sehingga Bapak lepas dari siksaan. Tapi kekuatan doanya tak mempan. Irul, lelaki di sebelah Haji Mahmud, pun telah merapalkan jampi-jampi yang dia dapat ketika berguru di Tanah Jawa, kemudian memukul-mukulkan pelan daun kelor ke jasad Bapak. "Siapa tahu dia memiliki ilmu yang tak benar!" katanya. Namun tetap saja Bapak bernapas pendek-pendek. Sekali-dua berhenti, sehingga seluruh orang di ruangan ini menganggap nyawanya sudah "lewat". Tapi, tak lama dadanya tetap turung-naik lagi dengan gerakan yang amat memilukan.

Apa kejahatan Bapak sehingga di ujung hayatnya harus menanggung beban sedemikian berat? Menurut Haji Mahmud, dan diamini Sutan Ali, mungkin Bapak pernah melakukan dosa yang amat besar, sehingga Allah menyiksanya sedemikian rupa sebelum meninggal.

"Tapi, aku meminta, apa yang terjadi di sini hanya beredar di benak kita masing-masing. Jangan sampai membocorkannya ke khalayak ramai. Malu! Lagi pula kita berdosa mengata-ngatai orang, apalagi sedang sekarat begini," kata Haji Mahmud tadi pagi setelah semua selesai mengopi dan sarapan ubi rebus.

"Tapi, orang-orang sudah ramai membicarakan kondisi Harmaen." Lauddin menimpali. Dia tetangga sebelah rumahku. Aku mengamini apa yang dibicarakan lelaki yang kerap kupanggil "Mang" itu. Orang-orang kampung sudah sibuk membicarakan masalah yang menimpa Bapak. Banyak sudah berspekulasi, mungkin akibat Bapak belum menikah hingga usianya kepala lima, maka Allah berang dan menghukumnya. Ada pula yang mengatakan karena Bapak suka mengintip perempuan mandi sejak dia akil-baliq sampai sakit-sakitan belakangan ini. Persangkaan yang satu ini kurang kusetujui. Bagaimana pun, Bapak tak mungkin melakukan pekerjaan hina seperti itu. Mengintip perempuan mandi? Untuk apa? Kalau memang berhasrat pada keelokan tubuh perempuan, kenapa Bapak tak menikah-menikah sejak dulu?

"Bagaimana, Haji? Aku bingung kalau sampai beberapa hari ke depan, kondisi Harmaen tetap begini. Sudah beberapa hari ini aku absen ke ladang. Mungkin rumput lalang sekarang sudah lebih tinggi dari batang cabe. Lagi pula, sawah yang kami garap anak-beranak, sekarang hanya dikerjakan istri dan dua anakku. Ah, aku bingung!" ucap Rastapi. Meskipun dia mengatakan bingung, tapi dapat kuhitung selama hampir tiga hari berselang, ketika Rastapi ikut menjagai Bapak, tiga puluh batang sigaret di pinggan diembatnya. Belum lagi kalau sarapan, dia selalu menambahkan susu di kopinya. Kemudian menghabiskan begitu banyak potongan ubi rebus. Manakala tiba makan siang dan malam, orang-orang yang menunggui Bapak segera pulang ke rumah masing-masing. Tapi Rastapi mengatakan tanggung. Itulah yang membuat Ibu terpaksa menyuruh Bedah, kakakku, agar memasak nasi lebih banyak, kemudian membeli ikan kaleng untuk tambahan lauk.

"Apakah bapakmu tak pernah shalat, Bir?" Latief, teman sebayaku, yang kebetulan ikut bersamaku senja ini menunggui jasad Bapak, mencoba mengemukakan prasangkanya.

"Bapak paling taat melaksanakan shalat," bantahku. "Bahkan, dia sangat berang kalau suatu kali mengetahui aku belum shalat." Teringat aku saat Bapak menghantam pantatku dengan rotan, ketika aku lupa shalat isya. Untung saja Ibu melerai. Namun hampir seminggu aku mendendam kepadanya. Berulang-ulang dia mencoba meminta maaf kepadaku lewat Ibu.

Berulang-ulang aku tak menanggapinya. Sehingga Ustadz Naen yang mengetahui aku bermusuhan dengan Bapak, mengingatkanku. Apa yang telah Bapak lakukan memang benar. Aku yang kala itu sudah berusia sepuluh tahun, memang harus dipukul atau dicambuk apabila lupa shalat. Kata ustadz, shalat adalah tiang agama. "Coba, kalau rumahmu tak memiliki tiang, apakah dia dapat berdiri kokoh hingga sekarang? Begitu pula kalau kamu tak

Page 24: KUMPULAN CERPEN

melaksanakan shalat, maka ibadahmu yang lainnya akan sia-sia. Tak bisa kau bangun rumahmu di sorga." Utstadz menceramahiku.

Sebetulnya aku tak faham apa yang dia ucapkan. Namun, aku memutuskan menerima maaf Bapak.

"Apa ada yang kurang dari perlengkapan Harmaen, Bi?" tanya seorang perempuan sebaya Bapak kepada Ibu yang telah membengkak matanya sebab terlalu lama menangis.

Ibu menatap perempuan itu. "Sudah cukup, Is! Bahkan saat dia mulai sakit-sakitan, aku sudah membelikan semuanya. Bukannya ingin dia cepat-cepat meninggal. Melainkan persiapan agar tak tergopoh-gopoh saat Allah memanggilnya."

"Lalu, apa penyebab sehingga Harmaen susah meninggal? Lihatlah, sekali-sekali wajahnya seperti menahan sakit yang amat sangat. Apa Bibi tak kasihan?"

"Siapa yang tak kasihan, Is. Aku selalu menyayanginya dari dulu hingga sekarang. Akan tetapi, aku tak tahu apa penyebab dia susah meninggal."

"Dia tak pernah menceritakan apa-apa kepada Bibi? Misalnya, tentang ilmu-ilmu hitam yang pernah dipelajarinya?" Perempuan itu menyelidik. Seperti intel saja dia. Ibu menanggapi dengan gelengan pelan. "Apa dia memiliki hutang yang cukup banyak kepada seseorang atau beberapa orang?" Ibu menoleh.

Dia menggeleng lebih kencang dan tegas. Perempuan itu tertunduk. Dia membisu. Pikirnya, Ibu mulai kesal diberondong pertanyaan yang seolah menyudutkan itu.

Azan Maghrib tiba-tiba mengoyak tingkap yang memantul-mantul dihempas angin. Aku berdiri, menutupkan tingkap itu. Di luar masih ada seorang-dua warga yang duduk-duduk di bawah tarup. Sementara sebagian besar telah berangkat menuju masjid. Haji Mahmud telah meminta kesediaan warga tadi pagi. Bahwa apabila selepas maghrib Bapak belum meninggal, maka semua diminta mengaji Yasin. Siapa tahu itu makbul, meskipun akhirnya semakin memperlebar pengetahuan warga tentang susahnya Bapak meninggal.

Aku tahu dalam batas sebulan --setelah Bapak meninggal (bila dia benar-benar meninggal)-- warga masih membincangkannya sambil menanam padi di sawah. Atau saat menderes karet. Atau bersenda-gurau di lepau-lepau yang menyuguhkan kopi yang ramah.

Aku yakin pula, seluruh keluarga di rumah ini akan menjadi keluarga pingitan. Kami pasti tak ingin mendengar cerita-cerita warga tentang prosesi meninggalnya Bapak, yang seolah langsung mengoyak-ngoyak telinga.

"Shalat Maghrib dulu, Bu!" kataku kepada Ibu yang masih duduk memperhatikan wajah Bapak. Para lelaki yang tadi sama-sama berkumpul di situ, telah berangkat ke masjid.

"Sebentar lagi, Her!" tolak Ibu halus."Kalau Ibu tak shalat dan mendoakan Bapak, bagaimana Allah berbaik hati

melepaskan siksaan sakaratul Bapak?" tegasku. Ibu mengelus kepala Bapak. Dia beranjak, dan pergi ke dapur. Sementara aku menunggu Ibu selesai mengambil air wudhuk, dan kami shalat Maghrib berjamaah di sebelah Bapak.

Suara ribut kemudian mengakhiri Maghrib yang temaram. Aku dan Ibu sudah duduk di posisi semula. Ruangan yang sempit, kemudian disesaki warga. Ruangan di bawah tarup, pun demikian. Semakin tak terbendung lagi berita tentang masalah yang menimpa Bapak. Aib tak mungkin ditutup-tutupi lagi. Dan aku menebak bahwa sebagian besar warga yang berniat yasinan hanya ingin melihat kondisi Bapak lebih dekat. Sekaligus sekadar berbisik-bisik atau lebih tepatnya berghibah.

Nyatanya, setelah yasinan, kondisi Bapak tetap seperti itu. Bahkan dia seakan menahan sakit yang lebih dan lebih lagi saat yasinan berlangsung. Mendadak dengan mata berkaca-kaca, Ibu mengajak Haji Mahmud berbicara empat mata di bilik Ibu.

Aku bingung. Sebenarnya apa yang hendak mereka perbincangkan? Saat keduanya keluar dari bilik, air mata Ibu semakin deras mengalir. Sementara warna wajah Haji Mahmud berubah-ubah. Sekali pucat, sekali merah, sekali ke kondisi asal. Namun yang pasti, berselang seperempat jam, seketika Bapak menghembuskan napas terakhirnya. Membesarlah tangis Ibu. Bersesunggukan para warga. Sementara aku hanya sedikit meneteskan air mata. Aku hanya merasa sedikit kehilangan Bapak. Sebab dia bukan Bapak kandungku. Hanya sekadar panggilan.

Tapi apa yang diperbincangkan Ibu di bilik berdua Haji Mahmud, membuatku penasaran. Bagaimanapun, meninggalnya Bapak, tak bisa terlepas dari hasil perbincangan di antara mereka.

Page 25: KUMPULAN CERPEN

Besok siangnya setelah jasad Bapak dikubur di pemakaman umum, aku menemui Haji Mahmud yang sedang duduk di pinggir luar pemakaman, di atas tunggul kayu. "Pak Haji, bolehkah saya menanyakan sesuatu kepada Bapak?" tanyaku. Aku duduk di sebelahnya sambil menatap lalu-lalang para peziarah.

"Bapak turut berdukacita atas meninggalnya bapakmu, Nak. Sekarang apa yang hendak Anak tanyakan?"

"Saya ingin tahu apa yang Pak Haji dan Ibu bicarakan tadi malam di bilik Ibu. Anehnya, setelah itu, Bapak saya langsung meninggal dunia."

Haji Mahmud tersenyum. "Sebenarnya ini kisah lucu, tapi bisa dipetik hikmahnya. Ibumu bercerita bahwa saat mengandung dirimu, dia mengidam makan mangga muda. Anehnya, mangga muda itu harus mangga curian. Jadilah Harmaen mencuri mangga dari kebunku. Kau tahu aku sangat kesal. Bahkan sempat aku mendoakan agar maling itu mendapat balasan atas perbuatannya. Tapi semuanya sudah kulupakan, hingga ibumu bercerita tadi malam, bahwa mungkin itulah penyebab Harmaen susah meninggal. Saya tak tahu apakah karena saya memaafkan si maling mangga itu, atau memang ajalnya tiba, hingga Harmaen bisa dikubur hari ini."

Musim Hujan Musim PlastikOleh Bolang

Pagi aja udah hujan apalagi nanti siang, siap siap ahh , nanti sebelum sekolah cari plastik dulu di tempat sampah . Cuci trus bawa dech ke sekolah biar baju , sepatu dan buku

Page 26: KUMPULAN CERPEN

gak basah . ini dia plastik yang besar . kemudian ada seseorang sedang memandangiku . lalu aku melihatnya ternyata Quinsha, anak dari pemilik sekolahku . aku tak pernah bergaul dengannya karena aku sungkan . Lalu, dia menyapaku.

“Hei… kamu kan Seruni , ya kan !anak ….?Hmm ya sudahlah . ““Ada apa … Ya ? kalau saya boleh tau ““Gak ada apa apa kok . Kamu lagi buang sampah juga ya …? ““Ndak lagi cari plastik bekas buat ngamanin buku – buku . Nanti kalau hujan, buku

saya tidak basah”“ Oo… ni dah 06.30 nanti telat lho ! ““ Ooo…. Iyaa , maaf ya mbak !”“Rumah kamu mana nanti bareng aja , kalau deket ““ Belakang rumah mbak . gubuk reot itu .”Keesokan harinya, Shasha akan berangkat sekolah bersama ayahnya“Wahh sarapan dah jadi ya … aku buatin bekal ya, Bi ?”“Iya, Non ”“ Buat apa, Sha?”“Buat makan lah”“ Ya sudah kalau gitu”“Yuk berangkat ”“ Papa tunggu dulu ya ,aku cari Seruni dulu .”“ Seruni yang rumahnya belakang rumah kita ini ?”“ Iya lah mana lagi . “Shasha mendatangi rumah Seruni bermaksud ingin mengajak berangkat bersama“Ibuk … assalamuallaikum! Seruni udah berangkat buk ? ““Udah, non !”“Naik apa? Aku gak dengar ada kendaraan lewat depan rumah ?”“Jalan kaki .”“Hah… mmm ya udah buk , saya permisi dulu …!”“ Iya ““ Pa… buru ngebut ya… soalnya Seruni udah berangkat jalan kaki, kasihan tau !”“Ok … lho kan jauh banget ““ makanya…?!““Ok yuk “Di tengah perjalanan, mereka bertemu Seruni yang sedang jalan kaki“Hmmm… itu nggak, Sha!?”“Ee iya iya bener . buruan pa deketin” “ Pim….pim “ (Suara klakson mobil Quinsha)“Iya ada apa ? Ee … mbak Shasha !””Buruan naik ! ““Nggak usah, Mbak! masak anak gembel kaya saya naik mobil beginian , nggak

cocok lah ““Udah masuk ..! Kamu masih anggep aku temen kan ?”“Ii… iya ““Non, saya turun sini aja gak enak sama temen temen ““Tunggu dulu, nie surat beasiswa kamu , dan ini surat lomba kamu. Aku yang

ngedampingin. Jadi, aku minta nanti siang kamu ke rumah aku ya … kita belajar bareng !”“Iya, kalau kerjaan rumah saya udah kelar .”“Ya udah kalo mau turun . ati ati ya….!”“ Iya ,Non .”“Jangan panggil non ,panggil aja Shasha , ya!” “Iya .”“oh ya , ini juga bekal buat kamu ya …! Di makan, kamu pasti tadi belum sarapan

kan ? jangan ditolak ! da… Aku duluan ya…!”Di sekolah, Seruni bertemu dengan teman sekampungnya. Dia heran karena Seruni

datang lebih awal, tidak seperti biasanya.“Runi, kamu kok udah nyampe?” kata Ujang (temen satu kampungnya ) “Aku yang

diboncengi naik motor aja baru nyampe .”

Page 27: KUMPULAN CERPEN

“Ahh,nggak juga . ““klau gitu nanti kamu pulang sendiri aja ya … nggak nebeng aku terus, aku males

satu motor sama kamu temen temen jadi ngatain aku temennya gembel . Aku kan malu jadi nanti kalau bapakku jemput kamu ngumpet .Awas lu !”

Pada waktu istirahat aku memakan bekal yang dikasih oleh Shasha . rasanya enak banget. Lalu ketika aku hendak menyantapnya lalu Zizka menjatuhkan bekal itu dari bangku jatuh ke bajuku. Sayur yang hangat menumpahi bajuku lalu menginjak bekal dari Shasha. Kemudian, Shasha pun datang

“Ada apa ini ?”“Ni masak anak gembel kaya’ dia bisa bawa bekal enak kaya gini . Gak mungkin kan

,ya udah aku buang aja dari pada dia makan barang haram .”“ Enak aja, bekal itu pemberian dariku tau… !aku gak mau temenan sama kamu lagi

tau..!!! ““Udah bel masuk tuh, kamu balik ke kelas aja, sha! Gak papa kok , bener !” “Ya udah ya…!”‘Tet…tet…tet’ bunyi bel sekolah menandakan waktunya pulang . hujan deras banget

aku membungkus bukuku,mencopot sepatu dan ganti baju. Semuanya aku masukkan ke kantong plastik yang kuambil dari tempat sampah Shasha tadi pagi , oh ya tadi aku kan udah janji mau belajar bareng Quinsha. Aku harus cepat pulang nanti Quinsha nunggu lama aku gak usah nunggu hujan reda deh. Jantungku berdetak kencang. Sejak kejadian musibah tetanggaku yang mati tersambar petir aku jadi takut banget sama yang namanya kilat / petir . tapi aku harus terus melangkah, aku tidak boleh mengecewakan Shasha yang sudah baik sama aku ! di jalan, tiba tiba kepalaku pusing banget lalu aku pingsan di jalan. Dari kejauhan Nampak mobil Shasha melintas

“ Eee… tunggu siapa tuh, Pa ? itu bukannya Seruni ya ? ““Udah masukin mobil aja”

Lalu papa Shasha mengundang dokter dan Seruni diperiksa ternyata itu karena ia belum makan aja dan masuk angin. Ketika Seruni bangun , ia sudah terbaring di kamar Shasha lalu di suapin Shasha makan dan minum obat. Lalu, istirahat sejenak dan belajar setelah itu . Shasha mengantar Seruni pulang. Sesampainya di rumah Seruni , Shasha memberi jas hujan dan sepeda lamanya . Aku pun bertanya, “kenapa ? ini kan sepeda kamu?”“Di rumah tidak terpakai, jadi buat kamu aja . Aku punya yang baru kok jadi mulai besok kita berangkat bareng , ok ?”

Aku mengucapkan banyak terima kasih sama Shasha yang telah amat teramat baik sama aku . Dari saat itu, aku terus bersama. Aku dan Shasha sering memenangkan lomba cerdas-cermat dimana – mana. hubungan kami berakhir ketika Shasha diajak mamanya untuk meneruskan kuliah di luar negeri . Aku dan Shasha hanya bisa berkomunikasi lewat email dan telepon saja . Sampai dewasa aku tidak pernah melupakanya . Sekarang aku menjadi orang yang cukup sukses . Kadang mellihat anak anak di sekitarku memakai plastik untuk senjata hujan aku sering tertawa sendiri . Aku kemudian membagikan jas hujan kepada mereka dengan cuma cuma . Itulah hidup tidak selalu pahit saja .