Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Program Perbaikan Kualitas ...digital.library.ump.ac.id/182/1/Kultur...

12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017 Makalah Utama 10 Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Program Perbaikan Kualitas dan Konservasi Kelapa di Indonesia Sisunandar, Ph.D Coconut Research Center, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182 [email protected] ABSTRAK Kelapa merupakan memiliki nilai ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini Indonesia menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia, namun produktivitas perkebunan di Indonesia relatif rendah dengan keragaman hayati yang semakin terancam. Oleh karena itu upaya perbaikan kualitas perkebunan kelapa maupun pelestarian plasma nutfah kelapa perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder kelapa dan menggunakan berbagai teknolgi termasuk teknologi kultur jaringan. Makalah ini mendiskusikan tidak hanya kemajuan kultur jaringan kelapa di dunia dan di Indonesia seperti kultur embryo, embryogenesis somatik maupun kriopreservasi, tetapi juga mendiskusikan arah penelitian ke depan yang perlu dilakukan untuk menggerakkan kembali budidaya pohon kehidupan (tree of life) ini. Kata kunci: kelapa, plasma nutfah, kultur embrio PENDAHULUAN Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman bernilai ekonomi tinggi di Indonesia, disamping kelapa sawit, karet dan kopi (FAO, 2017). Indonesia merupakan negara dengan perkebunan kelapa terluas di dunia dengan luas area lebih dari 3.5 juta hektar (Hendaryati & Arianto, 2017). Perkebunan tersebut mampu menghasilkan kelapa dengan total produksi buah kelapa per tahun mencapai sekitar 19 juta ton (FAO, 2017) dan menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia. Meskipun mayoritas produksi kelapa digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, namun pada tahun 2016, ekspor kopra dan turunannya memberi devisa hampir 1,2 milyar US$ (Hendaryati & Arianto, 2017) dan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa terbesar di dunia (FAO, 2017). Namun demikian, terdapat banyak kendala yang dihadapi dalam keberlanjutan budidaya kelapa di Indonesia. Luas area perkebunan kelapa di Indonesia terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 3,8 juta hektar pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 3,5 juta hektar pada tahun 2015 (turun sekitar 0.8 % per tahun; Hendaryati & Arianto, 2017). Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab berkurangnya luas area perkebunan kelapa di Indonesia, di antaranya adalah tingginya serangan hama dan penyakit, seperti hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros L.), ataupun jamur Phytophthora palmivora. Faktor alih fungsi lahan menjadi tempat hunian ataupun tanaman budidaya lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi juga menjadi penyebab berkurangnya luas perkebunan kelapa di Indonesia. Kendala lain yang dihadapi pada perkebunan kelapa di Indonesia adalah tingginya persentase pohon kelapa berusia lebih dari 50 tahun, yaitu sekitar 15 % atau lebih dari 0,5 juta hektar perkebunan kelapa (Novarianto, 2008), sedangkan sisanya merupakan pohon berusia produktif (73 %) ataupun usia muda (12 %). Akibatnya, perkebunan-perkebunan tersebut memiliki tingkat produktivitas yang relatif rendah, hanya sekitar 1,2 ton kopra per hektar per tahun dari potensi produksi sekitar 3 5 ton kopra per hektar per tahunnya (FAO, 2014). Upaya peremajaan perkebunan kelapa di

Transcript of Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Program Perbaikan Kualitas ...digital.library.ump.ac.id/182/1/Kultur...

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    10

    Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Program Perbaikan Kualitas dan Konservasi Kelapa di Indonesia

    Sisunandar, Ph.D

    Coconut Research Center, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

    Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182 [email protected]

    ABSTRAK

    Kelapa merupakan memiliki nilai ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini Indonesia menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia, namun produktivitas perkebunan di Indonesia relatif rendah dengan keragaman hayati yang semakin terancam. Oleh karena itu upaya perbaikan kualitas perkebunan kelapa maupun pelestarian plasma nutfah kelapa perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder kelapa dan menggunakan berbagai teknolgi termasuk teknologi kultur jaringan. Makalah ini mendiskusikan tidak hanya kemajuan kultur jaringan kelapa di dunia dan di Indonesia seperti kultur embryo, embryogenesis somatik maupun kriopreservasi, tetapi juga mendiskusikan arah penelitian ke depan yang perlu dilakukan untuk menggerakkan kembali budidaya pohon kehidupan (tree of life) ini. Kata kunci: kelapa, plasma nutfah, kultur embrio PENDAHULUAN

    Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman bernilai ekonomi tinggi di Indonesia, disamping kelapa sawit, karet dan kopi (FAO, 2017). Indonesia merupakan negara dengan perkebunan kelapa terluas di dunia dengan luas area lebih dari 3.5 juta hektar (Hendaryati & Arianto, 2017). Perkebunan tersebut mampu menghasilkan kelapa dengan total produksi buah kelapa per tahun mencapai sekitar 19 juta ton (FAO, 2017) dan menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia. Meskipun mayoritas produksi kelapa digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, namun pada tahun 2016, ekspor kopra dan turunannya memberi devisa hampir 1,2 milyar US$ (Hendaryati & Arianto, 2017) dan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa terbesar di dunia (FAO, 2017).

    Namun demikian, terdapat banyak kendala yang dihadapi dalam keberlanjutan budidaya kelapa di Indonesia. Luas area perkebunan kelapa di Indonesia terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 3,8 juta hektar

    pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 3,5 juta hektar pada tahun 2015 (turun sekitar 0.8 % per tahun; Hendaryati & Arianto, 2017). Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab berkurangnya luas area perkebunan kelapa di Indonesia, di antaranya adalah tingginya serangan hama dan penyakit, seperti hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros L.), ataupun jamur Phytophthora palmivora. Faktor alih fungsi lahan menjadi tempat hunian ataupun tanaman budidaya lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi juga menjadi penyebab berkurangnya luas perkebunan kelapa di Indonesia.

    Kendala lain yang dihadapi pada perkebunan kelapa di Indonesia adalah tingginya persentase pohon kelapa berusia lebih dari 50 tahun, yaitu sekitar 15 % atau lebih dari 0,5 juta hektar perkebunan kelapa (Novarianto, 2008), sedangkan sisanya merupakan pohon berusia produktif (73 %) ataupun usia muda (12 %). Akibatnya, perkebunan-perkebunan tersebut memiliki tingkat produktivitas yang relatif rendah, hanya sekitar 1,2 ton kopra per hektar per tahun dari potensi produksi sekitar 3 – 5 ton kopra per hektar per tahunnya (FAO, 2014). Upaya peremajaan perkebunan kelapa di

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    11

    Indonesia juga mengalami banyak kendala. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kebun induk dengan luas dan jumlah yang memadai sehingga tidak mampu menyediaakan benih kelapa yang unggul dengan jumlah massal (Novarianto, 2008). Oleh karena itu upaya produksi benih kelapa unggul dalam jumlah yang massal melalui teknik kultur jaringan menjadi kebutuhan yang mendesak pada saat ini.

    Dalam hal keanekaragaman hayati, Indonesia memiliki keragaman kelapa tertinggi di dunia. Pada saat ini teridentifikasi sebanyak 419 kultivar kelapa di seluruh dunia yang terdiri atas 319 kelapa dalam dan 100 kultivar kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Dari Jumlah tersebut, Indonesia memiliki 105 kultivar yang terdiri dari 82 kelapa dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Indonesia juga memiliki kultivar kelapa yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi yaitu kelapa kopyor. Harga buah kelapa kopyor mencapai lebih dari 10 kali lipat kelapa biasa. Bahkan kelapa kopyor yang dimiliki Indonesia memiliki kultivar yang beragam, baik kultivar dalam maupun genjah.

    Namun demikian, upaya pelestarian keragaman kelapa di Indonesia memiliki kendala yang besar. Mayoritas perkebunan kelapa di Indonesia adalah milik petani (98 %; FAO, 2014) sehingga sangat rentah untuk beralihfungsi sehingga mengakibatkan hilangnya plasma nutfah yang dimiliki. Bahkan, menurut Novarianto (2008), Indonesia masih memiliki sekitar 400 kultivar kelapa yang belum diinventarisasi dan didokumentasi dengan baik dan menghadapi ancaman kepunahan akibat area perkebunan yang menurun maupun perkebunan kelapa yang rusak. Oleh karena itu upaya pelestarian keragaman hayati kelapa dengan melibatkan bioteknologi khususnya kultur jaringan sangat diperlukan di masa sekarang dan akan datang.

    PERKEMBANGAN TEKNIK KULTUR EMBRYO KELAPA DI INDONESIA

    Teknik kultur embryo merupakan salah satu teknik kultur jaringan untuk produksi benih

    tumbuhan yang mengalami kendala tertentu. Dalam produksi benih kelapa, teknik kultur embryo dipercaya merupakan satu-satunya cara yang tersedia saat ini untuk memproduksi benih kelapa kopyor true-to-type yang mampu menghasilkan 100 % buah kopyor. Teknik kultur embryo juga banyak digunakan untuk memproduksi benih kelapa sesudah embryo disimpan pada suhu ultra rendah dengan teknik kriopreservasi (Engelmann, 1999; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b, 2012; Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2015).

    Seperti umum diketahui, buah kelapa yang bersifat kopyor memiliki endosperm yang lunak bahkan sebagian terlepas dari batok kelapa sehingga bercampur dengan air kelapa (Gambar 1.A), bahkan endosperm akan cepat mengalami pembusukan setelah 2 – 4 minggu pasca panen. Hal tersebut mengakibatkan embrio kelapa tidak dapat berkecambah secara alami. Akibatnya petani kelapa menggunakan buah kelapa normal yang membawa sifat kopyor untuk digunakan sebagai benih kelapa kopyor. Teknik tersebut hanya mampu menghasilkan pohon kelapa yang memproduksi buah kopyor dengan kemungkinan sekitar 60 %, sedangkan sisanya akah menghasilkan pohon kelapa dengan seluruh buahnya normal (Gambar 1.B). Dari tanaman kelapa kopyor yang dihasilkan tersebut memiliki produksi buah kopyor relatif rendah, yaitu hanya sekitar 30 % dari buah kelapa yang dihasilkan per tandannya (Sisunandar et al., 2015).

    Penelitian tentang kultur embryo kelapa kopyor telah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1980an (Tahardi & Warga-Dalem, 1982; Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008; Mashud, 2010). Namun demikian, tingkat keberhasilan produksi benih masih relatif rendah. Kendala umum yang dihadapi dalam mengaplikasikan teknik kultur embryo tersebut antara lain tingginya tingkat kontaminasi, rendahnya kualitas embryo yang digunakan untuk inisiasi kultur, rendahnya tingkat keberhasilan induksi akar, serta sebagian besar benih yang dihasilkan akan mati selama proses aklimatisasi dari lingkungan in-vitro ke lingkungan ex-vitro.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    12

    Coconut Research Center, Universitas Muhammadiyah Purwokerto (CRC-UMP) telah berhasil mengembangkan teknik produksi benih kelapa kopyor true-to-type melalui teknik kulur embryo. Tingkat keberhasilan produksi benih dengan menggunakan teknik tersebut cukup tinggi, 90 % dari embryo yang ditanam berhasil tumbuh menjadi benih siap tanam ke lahan. Protokol kultur embryo yang berhasil dikembangkan tersebut meliputi empat tahap (Gambar 1), yaitu (1) tahap persiapan dan sterilisasi embryo kelapa kopyor, (2) tahap perkecambahan dan pemanjangan tunas, (3) tahap ex vitro rooting dan aklimatisasi, serta (4) tahap pembesaran benih di nursery.

    Tahap 1, Persiapan dan sterilisasi embryo

    Segera setelah buah kopyor dipanen (umur 11 – 12 bulan), buah kelapa kemudian dikupas dan dibelah. Endosperm yang di dalamnya terdapat embryo kemudian diisolasi dengang menggunakan sendok dan diletakkan dalam botol steril yang telah diisi dengan air kelapa. Setelah tahap isolasi endospem selesai, endosperm kemudian di bawa ke dalam laboratorium untuk dilakukan isolasi embryo. Tahap isolasi diawali dengan cara endosperm dicuci dengan air mengalir dilanjutkan dengan rendam dalam ethanol (70 %) selama 5 menit. Dengan teknik aseptis, embryo kelapa diisolasi di dalam laminar air flow cabinet (Gambar 1.C). Embryo selanjutnya disterilkan dengan cara direndam dalam larutan kalsium hipoklorida (6 %) selama 12 menit sebelum dicuci dengan menggunakan medium cair hibrid embryo culture (HEC; Rillo, 2004) untuk selanjutnya digunakan dalam tahap germinasi.

    Tahap 2, Germinasi dan pemanjangan tunas

    Embryo kelapa kopyor yang telah disterilkan kemudian ditanam pada medium germinasi berupa medium HEC padat dengan penambahan 2 x 10-5 M asam indole butirat (IBA) dan 5 x 10-6 M 6-furfurilamino purine (KIN). Selama tahap inisiasi, medium ditambahkan sukrosa (0,175 M), karbon aktif 2

    g/L) dengan pH 5,7. Medium dipadatkan dengan penambahan agar (8 g/L) dan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C dan tekanan 1,2 Kg cm-2 selama 20 menit.

    Tahap germinasi dilakukan dengan menanam embryo pada medium germinasi dan dipelihara di tempat selama 5 – 8 minggu atau sampai medium berkecambah. Setelah kecambah memiliki panjang sekitar 4 cm (Gambar 1.E), kecambah kemudian dipindahkan ke medium cair HEC dan dipelihara di tempat terang dengan 14 jam fotoperiode (10 jam gelap dari pukul 20.00 sampai dengan 06.00). Tahap pemanjangan tunas dilakukan selama 8 – 12 minggu atau sampai benih memiliki paling tidak dua buah daun yang terbuka (Gambar 1.F)

    Tahap 3, Ex vitro rooting dan aklimatisasi Benih kelapa yang telah memiliki dua

    daun kemudian dicuci dengan air mengalir kemudian direndam dalam larutan fungisida (2 %, Dithane M-45 80 WP, Dow Agroscience, Indonesia) selama 15 menit. Benih kemudian ditanam pada pot plastik yang diisi medium campuran cocopeat dan arang sekam. Selanjutnya benih ditempatkan pada alat mini growth chamber (Patent No. P00201508121; Gambar 1.G) yang telah diisi larutan hidroponik. Kelembapan di dalam mini growth chamber diatur dengan mengatur posisi tutup setiap 1 bulan sekali selama 3 bulan.

    Tahap 4, Pembesaran benih di dalam nursery

    Setelah 3 bulan di dalam mini growth chamber, benih kemudian dipindahkan ke pot plastik (15 x 12 cm d/t) yang lebih besar yang telah diisi dengan medium kompos. Benih dipelihara selama 3 bulan dengan kelembapan udara diatur sekitar (85 ± 10 %). Benih selanjutnya dipindahkan ke pot plastik berbentuk kotak (20 x 20 cm , l/t) yang telah diisi pot dan dipelihara di dalam nursery selama 4 bulan. Benih dengan ketinggian minimal 60 cm (Gambar 1.H) selanjutnya siap ditanam di lapang.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    13

    Gambar 1 Tahap produksi benih kelapa kopyor melalaui teknik kultur embryo. A. perbandingan morfologi endosperm buah kopyor dan buah normal (B), C. embryo kelapa kopyor yang digunakan sebagai eksplan, D. Tahap inisiasi dan embryo mulai berkecambah setelah 4 – 8 minggu (E), F. tahap pemanjangan tunas sampai tunas memiliki dua daun terbuka setelah 4 – 7 bulan kultur, G. tahap ex-vitro rooting dan aklimatisasi yang dilakukan di dalam alat mini growth chamber, H. benih kelapa kopyor true-to-type di dalam nursery siap untuk ditanam di lapang. I. Kebun plasma nutfah kelapa kopyor Indonesia di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto berumur 1,5 tahun yang dibangun dengan menggunakan benih hasil kultur embryo, J. Pohon kelapa kopyor genjah hijau hasil kultur embryo yang mulai berbuah pada umur 3,5 tahun.

    Pada saat ini CRC-UMP telah berhasil membangun kebun plasma nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia (Gambar 1. I) yang telah mengkoleksi kelapa kopyor dari 4 daerah utama

    penghaisl kelapa kopyor, yaitu Lampung, Pati dan Banyumas (Jawa Tengah), dan Sumenep (Jawa Timur). Kebun plasma nutfah seluas 2 hektar tersebut telah berhasil mengkoleksi 8

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    14

    kultivar kelapa kopyor true-to-type, yaitu Pati Kopyor Green Dwarf, Banyumas Kopyor Green Dwarf, Pati Kopyor Yellow Dwarf, Pati Kopyor Brown Dwarf, Pati Kopyor Orange Dwarf, Banyumas Kopyor Tall, Kalianda Kopyor Tall, dan Sumenep Kopyor Tall. Sebagian kelapa kopyor tersebut telah mulai berbuah ketika berumur 3, 5 tahun setelah tanam di lahan (Gambar 1.J).

    Meskipun kultur embryo kelapa telah berhasil digunakan untuk memproduksi benih kelapa kopyor true-to-type, namun jumlah benih yang dihasilkan masih sangat terbatas. Setiap embryo yang ditanam hanya dihasilkan 1 buah benih siap tanam. Oleh karena itu CRC-UMP juga telah mengembangkan teknik embryo incision (Patent no IDP000041045) untuk menggandakan jumlah benih yang dihasilkan (Gambar 2).

    Teknik embryo incision merupakan modifikasi dari teknik kultur embryo, yaitu setelah embryo mulai berkecambah (umur 1 – 2 minggu setelah tanam), bagian titik tumbuh (plumulae) ditoreh dengan menggunakan pisau steril. Langkah selanjutnya embryo tersebut ditanam kembali sampai menghasilkan embryo dengan dua tunas (Gambar 2.A). Selanjutnya kedua tunas tersebut dipisahkan dan ditanam mengikuti langkah-langkah kultur embryo yang telah dijelaskan sebelumnya ataupun dipelihara lebih lanjut untuk dihasilkan benih kembar (Gambar 2.B) yang selanjutnya akan dihasilkan benih kelapa kembar siap tanam ke lahan (Gambar 2.C). Dengan menggunakan teknik tersebut dapat dihasilkan kelapa yang dapat ditanam dua pohon dalam satu lubang sehingga meningkatkan jumlah pohon kelapa per hektarnya (Gambar 2.D) sehingga produktivitas kelapa meningkat.

    Gambar 2. Teknik embryo incision yang dapat digunakan untuk menggandakan benih kelapa kopyor yang dihasilkan dari kultur embryo. A. embryo yang ditoreh pada titik tumbuh dapat terinduksi dua buah tunas, B. tunas kembar dengan dua daun siap untuk diaklimatisasi dengan menggunakan mini growth chamber, C. benih kembar siap tanam ke lahan, D. Pohon kelapa kopyor true-to-type kembar beumur 1 tahun setelah tanam yang dihasilkan dengan teknik embryo incision.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    15

    PERKEMBANGAN TEKNIK EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA

    Teknik embryogenesis somatik merupakan salah satu teknik kultur jaringan yang banyak digunakan untuk memproduksi benih tanaman melalui proses pembentukan embryo dari sel-sel somatik. Teknik tersebut telah berhasil dan banyak diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman. Namun demikian aplikasi teknik embryogenesis somatik untuk produksi benih kelapa masih sangat terbatas (Nguyen et al., 2015).

    Upaya produksi benih kelapa melalui teknik embryogenesis somatik telah dilakukan dengan menggunakan eksplan batang muda pada tahun 1977 (Eeuwens & Blake, 1977). Langkah selanjutnya upaya produksi benih kelapa dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis eksplan seperti daun muda (Pannetier & Buffard Morel, 1982; Karunaratne et al., 1991), immature inflorescence (Verdeil et al., 1994; Magnaval et al., 1997; Antonova, 2009), embryo zigotik (Kumar et al., 1985; Adkins et al., 1998; Samosir, 1999), plumulae (Chan et al., 1998; Fernando et al., 2003; Perez-Nunez et al., 2006), maupun ovarium (Perera et al., 2007; Perera et al., 2009; Bandupriya et al., 2017).

    Namun demikian, di antara eksplan yang telah dicobakan, hanya plumulae dan ovarium yang menunjukkan hasil yang menjanjikan. Perez-Nunez et al. (2006) melaporkan bahwa dari 100 eksplan yang ditanam memiliki kemampuan untuk menghasilkan kalus embryogenik sampai lebih dari 1 juta kalus, meskipun para peneliti tersebut belum mampu melaporkan berapa banyak benih yang dapat dihasilkan dari kalus embryogenik tersebut. Hasil yang mirip juga dilaporkan oleh Bandupriya et al. (2017) dengan menggunakan eksplan ovarium.

    Di Indonesia, upaya untuk memproduksi benih kelapa melalui teknik embryogenesis somatik belum banyak dilakukan. Sampai saat ini baru Samosir (1999) dan Sukendah (2009) yang telah melakukan upaya untuk memproduksi benih kelapa dengan menggunakan teknik

    tersebut dengan menggunakan eksplan embryo zygotik. Namun demikian hasil yang diperoleh masih belum memuaskan dan belum dapat diaplikasikan untuk memproduksi benih kelapa secara vegetatif (Samosir, 1999; Sukendah, 2009). Oleh karena itu CRC-UMP berupaya melakukan pengembangan teknik embryogenesis somatik kelapa dengan menggunakan eksplan plumulae (Gambar 3). Meskipun hasil penelitian masih belum memuaskan, namun hasil penelitian menunjukkan kemungkinan yang tinggi untuk menggunakan teknik tersebut dalam produksi benih kelapa di masa yang akan datang.

    KRIOPRESERVASI UNTUK KONSERVASI KERAGAMAN HAYATI KELAPA

    Salah satu keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara penghasil kelapa lainnya adalah memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi. Keragaman yang tinggi tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya perbaikan kualitas kelapa sehingga dapat diperoleh kelapa unggul dengan produktivitas yang tinggi. Namun demikian, mayoritas keragaman kelapa tersebut masih tersebar di lahan-lahan petani kelapa (lebih dari 98 %) sehingga sangat rentan hilang sebelum dilakukan konservasi. Upaya konservasi kelapa baik in-situ maupun ex-situ telah dilakukan di Indonesia, namun program-program konservasi tersebut masih rentan terhadap hama dan penyakit, biaya tinggi, bencana alam ataupunkonversi lahan ke peruntukan yang lain. Oleh karena itu aplikasi kultur jaringan sangat dibutuhkan sebagai back-up plasma nutfah kelapa di Indonesia.

    Sudah jamak diketahui bahwa kelapa memiliki buah yang besar , antara 600 g sampai dengan 3 Kg per biji, serta tidak memiliki waktu dormansi yang panjang sehingga tidak memungkinkan untuk disimpan dalam bentuk biji. Oleh karena itu, satu-satunya alternatif yang dapat digunakan untuk menyimpan plasma nutfah kelapa secara utuh adalah dengan menyimpan embryo zigotik. Setiap biji kelapa memiliki satu embryo yang berukuran relatif kecil (0,1 gr ; Sisunandar et al., 2014), mampu

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    16

    berkembang menjadi tanaman utuh seperti halnya pada biji setelah ditanam melalui teknik kultur embryo, serta bibit yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan morfologi, fisiologi, biokimia maupun genetik dengan bibit yang dihasilkan dari pembibitan alami (Sisunandar et al., 2010a). Teknik penyimpanan embryo kelapa dapat dilakukan dengan cara embryo dikeringkan sampai kadar air sekitar 30 % kemudian embryo disimpan pada suhu rendah ( -20 oC sampai -80 oC; Sisunandar et al, 2012). Teknik penyimpanan yang praktis tersebut tidak membutuhkan peralatan dan biaya operasional yang mahal. Namun demikian, jangka waktu penyimpanan embryo pada suhu rendah tersebut masih terbatas (26 minggu) serta memiliki tingkat keberhasilan yang masih rendah yaitu hanya sekitar 12 % (Sisunandar et al., 2012). Oleh karena itu, alternatif penyimpanan embryo kelapa dalam jangka waktu yang lama (long term conservation)

    dengan menggunakan kriopreservasi masih diperlukan untuk dikembangkan.

    Hingga kini, kriopreservasi tanaman kelapa masih terus dikembangakan. Berbagai eksplan tanaman kelapa telah dicobakan di antaranya adalah dengan menggunakan plumulae (Hornung et al., 2001; Malaurie et al., 2003; N'Nan et al., 2008), pollen (Karun et al., 2014), embryo immature (Bajaj, 1984; Chin et al., 1989) maupun embryo matang (Assy-Bah & Engelmann, 1992; Kumaunang, 2002; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sajini et al., 2011; N’Nan et al., 2012; Sisunandar et al., 2012; Sisunandar et al., 2014). Namun demikian, penyimpanan embryo matang melalui teknik kriopreservasi lebih banyak digunakan karena lebih sederhana dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan eksplan yang lain (Sisunandar et al., 2014).

    Figure 3. Tahapan embryogenesis somatik kelapa dengan menggunakan eksplan plumulae. A. embryo zygotik dipotong di bawah mikroskop stereo untuk mengisolasi plumulae (tanda lingkaran kuning) yang memiliki ukuran sekitar 0,5 mm (B), C. Kalus embryogenik yang berhasil diinduksi dari eksplan setelah 8 minggu kultur, D. Contoh tunas yang hasil diinduksi dari kalus embryogenik setelah 6 bulan kultur (D) dan 12 bulan kultur (E).

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    17

    Gambar 4. Salah satu contoh tahapan kriopreservasi embryo kelapa. A. Embryo didehidrasi di dalam botol kaca yang berisi silika gel untuk menurunkan kadar air embryo sampai sekitar 25 % , B.C. teknik dehidrasi secara cepat yang dikembangkan untuk menurunkan tingkat kerusakan sel akibat berkurangnya air dari dalam sel secara lambat, D. embryo yang berhasil dikecambahkan kembali setelah disimpan dalam suhu beku menunjukkan adanya kerusakan jaringan selama proses penyimpanan. E. F. benih kelapa yang berhasil ditumbuhkan kembali dari embryo yang telah disimpan dengan metode kriopreservasi.

    Pada umumnya, kriopreservasi embryo

    kelapa dapat dilakukan dengan tahap sebagai berikut (1) persiapan dan isolasi embryo, (2) dehidrasi embryo, (3) freezing, (4) thawing, (5) recovery menjadi benih (Gambar 4). Tahap 1 dan 5 umumnya dilakukan seperti metode kultur embryo kelapa, sehingga laboratorium-laboratorium yang akan melakukan penyimpanan embryo kelapa melalui teknik kriopreservasi harus memiliki ketrampilan dan metode yang sudah baku terlebih dahulu tentang kultur embryo kelapa. Tahapan freezing dan thawing yang umum dilakukan dalam kriopreservasi kelapa tidak memiliki variasi yang mendasar. Pada

    umumnya freezing dilakukan dengan cepat, yaitu dengan cara embryo yang telah didehidrasi (Gambar 4.A, B, C) dimasukkan ke dalam cryovial selanjutnya disimpan dalam nitogen cair pada suhu beku (-196 0C; Sisunandar et al., 2010a; Sajini et al., 2011; N’Nan et al., 2012). Variasi pada tahap thawing juga tidak banyak dilakukan. Pada umumnya thawing dilakukan dengan cara mengambil embryo di dalam cryovial langsung dari nitrogen cair dan dimasukkan ke dalam waterbath pada suhu 40 0C selama 1 – 3 menit (Sisunandar et al., 2010a; Sajini et al., 2011; N’Nan et al., 2012). Embryo yang diperoleh selanjutnya di tanam pada

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    18

    medium perkecambahan embryo (Gambar 4.D, E, F).

    Faktor kunci dalam keberhasilan kriopreservasi adalah tahap dehidrasi. Embryo kelapa termasuk kelompok jaringan rekalsitran yang tidak dapat diturunkan kadar airnya sampai di bawah 20 % sehingga menyulitkan untuk dilakukan penyimpanan embryo pada suhu beku (-196 0C). Teknik dehidrasi terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan cara embryo ditempatkan pada sebuah botol kaca yang diisi silika gel dan sebuah kipas angin agar dehidrasi dapat dilakukan dengan cepat (Gambar 4.B,C). Dengan teknik tersebut, keberhaislan dehidrasi dapat mencapai sekitar 40 % dibandingkan dengan teknik dehidrasi dengan menggunakan silika gel tanpa penambahan kipas angin yang hanya memiliki tingkat keberhaislan sekitar 30 % (Sisunandar et al., 2010b). Namun demikian, tingkat keberhasilan kriopreservasi yang masih rendah masih membutuhkan pengembangan teknik dehidrasi lebih lanjut untuk meningkatkan keberhasilan kriopreservasi kelapa.

    KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT

    Kelapa merupakan salah satu kekayaan hayati yang mampu memberi nilai ekonomi sosial dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini Indonesia menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia, namun produktivitas perkebunan di Indonesia relatif rendah dengan keragaman hayati yang semakin teramcam. Oleh karena itu upaya perbaikan kualitas perkebunan kelapa maupun pelestarian plasma nutfah kelapa perlu dilakukan secara terprogram, masif dan kerjasama dari berbagai pihak, baik pemerintah dan peneliti, industri maupun para petani.

    Pada saat ini proposi tanaman kelapa tua cukup tinggi (15 % atau lebih dari 0,55 juta hektar) yang sangat mendesak untuk diremajakan. Jika setiap hektar dibutuhkan 220 benih kelapa unggul, maka untuk meremajakan kelapa tersebut selama 5 tahun ke depan dibutuhkan benih lebih dari 24 juta benih setiap

    tahun. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kebun induk kelapa unggul yang mampu menyediakan benih dengan jumlah tersebut. Perkembangan teknologi kultur jaringan khususnya teknik embryogenesis somatik kelapa kopyor perlu dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan benih unggul kelapa di Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

    Dalam hal pelestarian plasma nutfah kelapa juga perlu perhasian serius dari seluruh stakeholder kelapa. Lebih dari seperempat plasma nutfah kelapa dunia dimiliki Indonesia. Pada saat ini Indonesia memiliki sekitar 7 kebun plasma nutfah yang mengkoleksi sekitar 97 aksesi kelapa dalam dan 40 aksesi kelapa genjah. Indonesia juga merupakan salah satu tuan rumah kebun plasma nutfah kelapa untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun demikian sampai saat ini Indonesia belum memiliki back-up collection untuk kelapa dalam bentuk lain selain dalam bentuk kebun plasma nutfah. Oleh karena itu pengembangan teknik kriopreservasi untuk menyimpan plasma nutfah kelapa perlu dilakukan lebih lanjut meskipun tingkat keberhasilannya saat ini masih relatif rendah.

    Upaya pengembangan metode kultur jaringan untuk meningkatkan kualitas tanaman kelapa maupun untuk menjaga keragaman hayati kelapa harus dilakukan secara terencana dan melibatkan seluruh stakeholder kelapa di Indonesia.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dana dari Hibah Komptensi 2016 – 2018, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian RIset, Teknologi dan Pendidikan TInggi, Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adkins SW, Samosir YMS, Ernawati A, Drew

    RA, Godwin ID (1998). Control of ethylene and use of polyamines can optimeis the condition for somatic

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    19

    embryogenesis in coconut and papaya. Acta Horticulturae, 461:459 - 466

    Antonova ID (2009). Somatic embryogenesis for micropropagation of coconut (Cocos nucifera L.). The University of Queensland, Australia, Place, Published

    Assy-Bah B, Engelmann F (1992). Cryopreservation of mature embryos of coconut (Cocos nucifera L.) and subsequent regeneration of plantlets. CryoLetters, 13:117 - 126

    Bajaj YPS (1984). Induction of growth in frozen embryos of coconut and ovules of citrus. Current Science, 53:1215 - 1216

    Bandupriya HDD, Iroshini WWMA, Perera SACN, Vidhanaarachchi VRM, Fernando SC, Santha ES, Gunathilake TR (2017). Genetic fidelity testing using SSR marker assay confirms trueness to type of micropropagated coconut (Cocos nucifera L.) plantlets derived from unfertilized ovaries. The Open Plant Science Journal, 10:46 - 54

    Bourdeix R (2012). List of 419 Coconut Cultivars Registered in the Coconut Genetic Resources Database as of April 2012. COGENT, The International Coconut Genetic Resources Network

    Chan JL, Saenz L, Talavera C, Hornung R, Robert M, Oropeza C (1998). Regeneration of coconut (Cocos nucifera L.) from plumule explants through somatic embryogenesis. Plant Cell Reports, 17 (6-7):515-521

    Chin HF, Krishnapillay B, Hor YL (1989). A note on the cryopreservation of embryos from young coconut (Cocos nucifera var MAWA). Pertanika, 12 (2):183 - 186

    Eeuwens CJ, Blake J (1977). Culture of coconut and date palm tissue with a view to vegetative propagation. Acta Horticulturae, 78:277 - 286

    Engelmann F (1999). Cryopreservation of coconut germplasm. In: Oropeza C, Verdeil JL, Ashburner GR, Cardena R, Santamaria JM (eds) Current Advances in Coconut Biotechnology. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Boston, London, pp 289 - 296

    FAO (2014). Report of the FAO high level expert consultation on coconut sector development in Asia and the Pacific region. Paper presented at the FAO-APCC High Level Expert Consultation on

    “Coconut Sector Development in Asia – Pacific Region”, Bangkok, Thailand, 30 October - 1 November 2013

    FAO (2017) FAOSTAT Statistics Database. http://www.fao.org/faostat/en/ - data/QD. Accessed 8 Juni 2017

    Fernando SC, Verdeil JL, Hocher V, Weerakoon LK, Hirimburegama K (2003). Histological analysis of plant regeneration from plumule explants of Cocos nucifera. Plant Cell Tissue and Organ Culture, 72 (3):281-284

    Hendaryati DD, Arianto Y (2017). Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa 2015 - 2017. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta

    Hornung R, Domas R, Lynch PT (2001). Cryopreservation of plumular explants of coconut (Cocos nucifera L.) to support programmes for mass clonal propagation through somatic embryogenesis. CryoLetters, 22 (4):211-220

    Karun A, Sajini KK, Niral V, Amarnath CH, Remya P, Rajesh MK, Samsudeen K, Jerard BA, Engelmann F (2014). Coconut (Cocos nucifera L.) pollen cryopreservation. CryoLetters, 35 (5):407 - 417

    Karunaratne SM, Gamage CKA, Kavoor A (1991). Leaf maturity, a critical factor in embryogenesis. Journal of Plant Physiology, 139:27 - 31

    Kumar P, Raju C, Chandramohan M, Iyer R (1985). Induction and maintenance of friable callus from the cellular endosperm of Cocos nucifera L. Plant Science, 40:203 - 207

    Kumaunang J (2002). Cryopreservation of laguna tall coconut (Cocos nucifera L.) embryos. Master thesis, University of the Philippines Los Banos, Place, Published

    Magnaval C, Noirot M, Verdeil JL, Blattes A, Huet C, Grosdemange F, Beule T, Buffard MJ (1997). Specific nutritional requirements of coconut calli (Cocos nucifera L.) during somatic embryogenesis induction. Journal of Plant Physiology, 150 (6):719-728

    Malaurie B, Borges M, N'nan O Research of an optimal cryopreservation process using encapsulation / osmoprotection / dehydration and encapsulation / osmoprotection / vitrification techniques

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    20

    on caulinary meristems of coconut (Cocos nucifera L.). In: Libro Resumen, IV Jornada Cientifica del Instituto de Investigaciones Agropecuarias "Jorge Dimitrov", Agricultura en Ecosistemas Fragiles y Degradados, Bayamo, Granma, Cuba, 19 - 21 de Septiembre del 2002 2003. p 80

    Mashud N (2010). Pengembangan metode kultur embryo kelapa kopyor yang lebih efisien (30 %). Laporan Penelitian Program Insentif Riset Terapan, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Manado

    Mashud N, Manaroinsong E (2007). Teknik Kultur embryo untuk pengembangan kelapa kopyor. Buletin Palma, 33:37 - 44

    N'Nan O, Hocker V, Verdeil JL, Konan JL, Balo K, Mondeil F, Malaurie B (2008). Cryopreservation by encapsulation-dehydration of plumules of coconut (Cocos nucifera L,). CryoLetters, 29:339 - 350

    N’Nan O, Borges M, Konan JL, Hocher V, Verdeil JL, Tregear J, N’guetta ASP, Engelmann F (2012). A simple protocol for cryopreservation of zygotic embryos of ten accessions of coconut (Cocos nucifera L.). In vitro Cellular & Developmental Biology-Plant, 2012 (48):2

    Nguyen QT, Bandupriya HDD, Lopez-Villalobos A, Sisunandar, Foale M, Adkins SW (2015). Tissue culture and assoociated biotechnological interventions for the improvement of coconut (Cocos nucifera L.) : A review. Planta, 242:1059 - 1076

    Novarianto H (2008). Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler dan implikasinya terhadap peremajaan kelapa di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian, 1 (4):259 - 273

    Pannetier C, Buffard Morel J Production of somatic embryos from leaf tissues of coconut, Cocos nucifera L. In: Proceedings of the 5th International Plant Tissue Culture Congress, Tokyo, Japan, 1982.

    Perera PIP, Hocher V, Verdeil JL, Doulbeau S, Yakandawala DMD, Weerakoon LK (2007). Unfertilized ovary : A novel explant for coconut (Cocos nucifera L.) somatic embryogenesis. Plant Cell Report, 26:21 - 28

    Perera PIP, Yakandawala DMD, Hocker V, Verdeil JL, Oropeza C (2009). Effect of plant growth regulators on ovary culture of

    coconut (Cocos nucifera L.). Plant Cell and Tissue Organ Culture, 99:171 - 180

    Perez-Nunez MT, Souza R, Saenz L, Chan JL, Zuniga-Aguilar JJ, Oropeza C (2006). Improved somatic embryogenesis from Cocos nucifera (L.) plumule explants. In Vitro Cellular & Developmental Biology-Plant, 42:37 - 43

    Rillo EP (2004). Importing and growing embryos for the coconut genebank. In: Ikin R, Batugal P (eds) Germplasm Health Management for COGENT's Multi-site International Coconut Genebank. International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia, pp 62 - 68

    Sajini KK, Karun A, Amarnath CH, Engelmann F (2011). Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryo by vitrification. CryoLetters, 32:317 - 328

    Samosir YMS (1999). Optimation of somatic embryogenesis in coconut (Cocos nucifera L.). Ph D, University of Queensland, Place, Published

    Sisunandar, Alkhikmah, Husin A, Suyadi A (2015). Embryo incision as a new technique to double seedling production of Indonesian elite coconut type "Kopyor". Journal of Mathematical and Fundamental Sciences, 47:252 - 260

    Sisunandar, Novarianto H, Mashud N, Samosir YMS, Adkins SW (2014). Embryo maturity plays an important role for the successful cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.). In vitro Cellular & Developmental Biology-Plant, 50 (6):688 - 695

    Sisunandar, Rival A, Turquay P, Samosir Y, Adkins SW (2010a). Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos does not induce morphological, cytological or molecular changes in recovered seedlings. Planta, 232:435 - 447

    Sisunandar, Sopade PA, Samosir Y, Rival A, Adkins SW (2010b). Dehydration improves cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) Cryobiology, 61:289 - 296

    Sisunandar, Sopade PA, Samosir Y, Rival A, Adkins SW (2012). Conservation of coconut (Cocos nucifera L.) germplasm at

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISBN 978-602-51854-0-3 BIOLOGI XXIV PBI MANADO, 24-26 AGUSTUS 2017

    Makalah Utama

    21

    sub-zero temperature. CryoLetters, 33:465 - 475

    Sukendah (2009). Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor. Disertasi Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Disertation, Institut Pertanian Bogor, Place, Published

    Sukendah, Sudarsono, Witjaksono, Khumaida N (2008). Perbaikan teknik kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) asal Sumenep, Jawa Timur melalui penambahan bahan aditif dan pengujian

    periode subkultur. Buletin Agronomi, 36:16 - 23

    Tahardi S, Warga-Dalem K (1982). Kultur embrio kelapa kopyor in vitro. Menara Perkebunan, 50 (5):127 - 130

    Verdeil JL, Huet C, Grosdemange F, Buffard MJ (1994). Plant regeneration from cultured immature inflorescences of coconut (Cocos nucifera L.): Evidence for somatic embryogenesis. Plant Cell Reports, 13 (3-4):218-221.

    .