Kuliah+13+(14 Des 2011)+Menegakkan+Hukum

download Kuliah+13+(14 Des 2011)+Menegakkan+Hukum

of 33

Transcript of Kuliah+13+(14 Des 2011)+Menegakkan+Hukum

MENEGAKKAN HUKUM PIDANA

MISCARRIAGE OF JUSTICE

Dan Tugas Yuridis Mahkamah AgungOleh : Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLMKetua Muda Pidana MARl

I. Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime

Korupsi politik yang terjadi di Indonesia ditunjukkan dalam berbagai kasus korupsi yang terbukti dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara. Telah banyak pemangku kekuasaan politik yang dipidana karena melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara. Korban kejahatan korupsi politik adalah rakyat. Dalam negara demokrasi, sejatinya rakyat menjadi pemangku kepentingan (stakeholder) kedaulatan negara. Banyaknya kesempatan dan sarana yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan di eksekutif dan kekuasaan electoral di parlemen, menjadi peluang melakukan korupsi. Dengan berbagai modus operandi pelaku korupsi politik melakukan tindakan transaksional yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.

Dampak korupsi politik sangat berbahaya bagi integritas negara dan martabat bangsa. Predikat negara korup akan dan harus ditanggung oleh seluruh komponen bangsa, termasuk sebagian besar rakyat yang tidak berdosa. Kendatipun korupsi di Indonesia secara yuridis telah dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), namun fenomena korupsi yang sistemik dan meluas tetap merisaukan masyarakat secara nasional. Pelaku korupsi politik mencoreng harga diri bangsa di depan publik internasional. Hilangnya harta kekayaan negara dalam jumlah trilyunan rupiah, telah mengakibatkan banyak rakyat menderita, kehilangan hak-hak strategis secara sosial-ekonomi, mengalami degradasi martabat kemanusiaan dan menjadi buram masa depannya.

Kendatipun banyak rakyat tidak tahu secara harfiah bunyi undan-undang, tetapi secara naluriah rakyat memiliki hari nurani dan akal sehat (common sense) dalam merespon praktek perlakuan hukum terhadap koruptor dan makelar kasus. Cita rasa keadilan rakyat banyak akan terluka manakala ada pemegang kekuasaan politik menjual harga dirinya demi memperoleh kekayaan dan keuntungan. Dalam negara demokrasi, sejatinya pemangku jabatan politik dan pemegang kekuasaan electoral menjadi transmisi aspirasi rakyat. Banyaknya korupsi politik menjadi ironi bagi demokrasi, apalagi proses pemilihan langsung oleh rakyat telah menelan biaya sosial-ekonomi yang sangat mahal. Demokrasi yang di dalamnya banyak korupsi politik, menunjukkan betapa demokrasi baru berproses secara procedural tidak substantif, baru menjadi ritual politik tidak aspiratif.

Makelar kasus dalam korupsi merupakan pembajak proses hukum menuju keadilan dan menodai perjalanan peradaban bangsa. Buah demokrasi ekonomi harus dijaga agar jangan hanya sampai hanya dinikmati oleh tiap koruptor, makelar kasus dan jago suap. Akan terjadi the death of justice (matinya keadilan), jika terjadi beberapa gelintir orang menjadi kebal hukum akibat ulah makelar kasus. Bertemunya kepentingan makelar kasus dengan aktor pelaku korupsi politik menunjukkan bisa mengatur proses hukum, untuk berada di atas hukum. Penanggulangan korupsi politik tidak dapat dilakukan setengah hati, karena akan menimbulkan budaya sinisme dan apatisme dalam memberantas korupsi. Sebagai pemegang kedaulatan dalam negara demokrasi, rakyat Indonesia tidak boleh mati rasa dalam upaya menumpas korupsi. Alangkah malangnya rakyat Indonesia jika otoritas kekuasaan negara kalah dalam berperang melawan pencuri kekayaan negara.

Dengan masuknya peran makelar kasus, maka proses hukum akan menjadi arena lomba berdusta. Makelar kasus berusaha membelokan arah kebenaran kepada kesesatan dan mempengaruhi penegak hukum menjadi bias nurani. Aparat yang terperangkap dalam skenario makelar kasus berarti mengidap kolesterol moral dan kehilangan daya tahan independensinya. Cahaya kedaulatan hukum harus selalu dinyalakan karena kolusi antara koruptor dan makelar kasus selalu berlangsung di tempat yang gelap dan bersembunyi dari sorotan media. Bendera perang terhadap korupsi harus selalu dikibarkan, karena menyangkut pertaruhan masa depan bangsa. Koruptur per se mencuri hak-hak anak bangsa yang belum lahir, karena porsi persediaan dan potensi masa depannya telah dikurangi secara tidak sah.

Tindakan para koruptor dan makelar kasus, menimbulkan iklim sosial predatory society atau masyarakat saling memangsa, karena tidak menghormati hukum dan kehilangan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dalam kondisi yang demikian akan muncul ketidapercayaan terhadap otoritas kekuasaan negara. Untuk itu, proses penegakan hukum pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) harus menjadi solusi autoritatif dalam penyelesaian koruspi politik dan fenomena makelar kasus yang terjadi dalam masyarakat.

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNACAC), hal ini menunjukan bahwa negara kita telah mengikatkan diri dalam komunitas internasional untuk memberantas korupsi. Konsekuensi logisnya, Indonesia memiliki instrument hukum untuk bersikap proaktif dalam upaya mengembalikan uang rakyat yang dikoruspi dan melakukan kerjasama internasional mengektradisi korupsot yang melarikan diri ke luar negeri. Tugas seluruh komponen bangsa saat ini adalah merevitalisasi fungsi protektif hukum terhadap korban kejahatan korupsi yaitu rakyat miskin yang tidak sanggup merasa mampu menuntut hak-hak konstitusionalnya untuk hidup layak bagi kemanusiaan.II. Entitas dan Substansi Hukum

Apakah Hukum merupakan Empty Container? atau merupakan "Peti Kemas yang Kosong". Hukum diberlakukan untuk masyarakat manusia, hukum bukan untuk hukum. Untuk itu, hukum dituntut untuk berisi nilai- nilai yang diperlukan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena hukum mengatur masalah hubungan sosial, budaya dan ekonomi, juga mengkualifikasikan relasi kekuasaan politik dan aspek kehidupan lainnya. Hukum mengkonstruksi hubungan individu dengan pihak lain dan mengkategorikan perbuatan yang salah dan yang benar.

Apa artinya Hukum yang tanpa berisi moralitas ? (Quid Leges Sine Moribus). Setiap hukum dalam dirinya mengandung sistem nilai, sehingga dipertanyakan keberadaan hukum, jika dalam suatu masyarakat terjadi kekacauan sosial dan banyak ketidakadilan.

Ketaatan terhadap Asas

Salah satu karakteristik pemikiran hukum pidana adalah ketaatan terhadap asas hukum (pidana), sehingga percaturan pemikiran dalam praktek penerapan hukum tidak keluar dari arena nilai, asas dan norma. Nomologos hukum pidana yang ada dalam norma perangkat hukum sejatinya tidak lepas dari postulat moral yang melatarbelakangi. Norma tersebut harus sesuai dengan asas-asas dalam rangka menegakkan nilai-nilai yang menjadi esensi dari keberadaan hukum yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan individu dan komunitas sosial.

Kewajiban Hakim

Dalam memeriksa dan meng-adil-i suatu perkara, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Ketentuan pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tersebut menunjukkan bahwa keadilan menjadi wajib untuk tetap ditegaskan kendatipun tidak ada ketentuan hukum normatifnya.

Keadilan merupakan kebutuhan pokok rokhaniah dalam tata hubungan masyarakat, keadilan merupakan bagian dari struktur rokhaniah suatu masyarakat. Suatu masyarakat memiliki gambaran tentang mana yang patut dan tidak patut, mana yang benar dan yang salah, kendatipun dalam masyarakat tersebut tidak ada undang-undang tertulisnya.Dinamika dan Spirit Hukum

Hukum yang mencakup pengertian undang-undang memiliki hubungan sentrifugal (bergerak ke luar) dengan faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hukum juga memiliki hubungan sentripetal (bergerak ke dalam) dengan nilai logis (kebenaran), etis (keadilan), dan estetis (keindahan). Hukum dalam tekstur (susunan) tersebut tidak hanya bersifat yuridis formal dan tidak seperti peti kemas kosong (empty container), tetapi hukum tersebut memiliki spirit nilai-nilai kehidupan komunitas manusia.*Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

*The Spirit of Laws--- Montesquieu

*Kaedilan adalah hal yang ada dalam metanorm*In the morality of law, Prof. Fuller has explored the ethical root of legal ordering as well as the links between legal morality and traditional American values. (Stuart A Scheingold: l974 : 53).Arena berpikir penerapan hukum

Karakteristik Putusan Pengadilan (Yurisrudensi)

Setiap Hakim memiliki latar belakang keluarga, pendidikan, usia, lingkungan pergaulan, universitas, dan panutan pendidik yang berbeda, sehingga bisa menimbulkan konsekuensi perbedaan sistem nilai (ideologi) diantara para Hakim.

1. Yurisprudensi Pengertian

Proses penerapan hukum dipandang sebagai tindakan kognitif murni atau pengenalan murni dan penyelesaian kasus konkrit dipandang sebagai proses silogisme.*Proses Kognitif: proses berpikir---proses logika penalaran.

2. Yurisprudensi Asas Proses penerapan hukum didasarkan kepada asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum yang memiliki persamaan hakiki, seperti prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law), orang tidak bisa diadili untuk yang kedua kali dalam kasus yang sama (non bis in idem), dan lain sejenisnya.

3. Yurisprudensi Volitief

Putusan pengadilan bukan sekedar pengenalan murni atau mengetahui bunyi undang-undang kemudian menerapkan dalam situasi konkrit, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan tindakan kehendak (volitief) berdasarkan pertimbangan nilai-nilai yang dapat menuntun Hakim dalam memecahkan masalah yuridis.

*Proses Konatif: proses bersumber pada hati nurani, menyangkut proses kimiawi dalam tubuh.Pengadilan di Indonesia berbeda dengan pengadilan di Negara lain yang sekuler, karena dengan adanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti memiliki dimensi Ilahiyah. Pengadilan di Indonesia tidak Demi Ratu, pengadilan di Indonesia bukan pengadilan rakyat. Pengadilan di Indonesia adalah pengadilan negara yang kemerdekaannya berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, mengakui dan mengikatkan diri kepada Allah Yang Maha Adil.

Demi Keadilan atau atas nama keadilan dalam proses penegakkan hukum, dikandung makna bahwa undang-undang yang diterapkan merupakan hukum yang bersukma keadilan.

Hakim tidak bisa melihat atau menunjuk jiwa seseorang pelaku kejahatan. Penegakan keadilan melibatkan hal-hal yang meta yuridis.Perangkat disiplin ilmu hukum yang bersifat verbal dan penampakannya berupa produk perangkat peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu produk buatan manusia dan diproses melalui lembaga politik, perangkat undang-undang per se melekat adegium No Rule Whitout Exception (tidak ada undang-undang yang tidak ada kecualinya).

Vide, Chairul Anam dkk (2008: 33). Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan

1. Teori Koherensi atau Konsistensi

-yang membuktikan adanya bukti yang satu yang saling berhubungan dengan bukti yang lain alat bukti pasal184 KUHAP

Hubungan bersifat rasional a priori.

2. Teori Korespondensi

Jika ada fakta-fakta persidangan yang saling bersesuaian. Misalnya persesuaian antara keterangan saksi dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr X menyatakan bahwa pembangunan Kantor DPRD yang dilaksanakan oleh Mr Y tidak melalui proses lelang tetapi hanya dengan penunjukan langsung PT Nilep, sehingga tidak melaksanakan fungsinya sesuai dengan Keppres No. 18 Tahun 2000 pasal8 ayat (1) dan (2) Hubungan fakta persidangan ini bersifat empiris a posteriori

3.Teori Utilitas

- progmatik, kegunaan yang bergantung pada : a). manfaat (utility)

b). yang dapat dikerjakan (workability)

c). hasil yang memuaskan (satisfactory result)Note:

*Unus testis nullus testis*Salah satu dimensi kebenaran adalah pembenaran (verification).*Semakin banyak jumlah bukti yang obyekti/mandiri/independen, akan semakin tinggi derajat kebenaran tentang kejadian kasus yang sebenarnya.

Tujuan Putusan Pengadilan

1. Harus merupakan solusi autoritatif

Independence Judiciary - Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2. Harus mengandung efisiensi Justice delayed is justice denied

3. Harus sesuai dengan tujuan undang-undang

4. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat.

5. Harus ada fairness yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.Note:

* Ada 3 komponen Legal Reasoning: a) Rules, b) Facts, c) Jurisprudence/pecedence/Stare Decicis.

I. PENINJAUAN KEMBALI

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

1. Teori hukum murni dan penafsiran gramatikal.

a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menyebut sama sekali tentang Jaksa/Penuntut Umum.b.Demi kepastian hukum tidak boleh dibuka kesempatan bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

c.Hukum yang bersifat dogmatik harus bersih dari unsur-unsur non yuridis (baik buruk, hal yang berkembang dalam masyarakat, kekuasaan, keadilan).

d.Penegakan hukum harus demi kepastian hukum bukan dari pertimbangan lain, seperti keadilan, politis, sosial ekonomi.

d.Sumber utama dalam memutus perkara adalah hukum dan tidak didasarkan pada kebijaksanaan.

2.Hukum yang bermuatan nilai-nilai.a).Dari formulasi rumusan pasal tersebut di atas peluang yang diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya, bersifat fakultatif, karena mempergunakan dapat dan tidak bersifat eksklusif.

b).Dengan formulasi rumusan yang tidak bersifat eksklusif, maka secara inklusif JPU sebagai stakeholder atau pemangku kepentingan dalam perkara a quo juga dapat mengajukan PK.

c).Posisi sebagai pemangku kepentingan (stakeholder), JPU mewakili kepentingan negara, kepentingan publik, kepentingan kemanusiaan, kepentingan nilai keadilan.

d).Dalam perspektif viktimologi, yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan dalam perkara korupsi adalah rakyat dan/atau negara, karena korupsi mempunyai hubungan kausal dengan kerugian keuangan negara.

e).Sistem peradilan adversarial kita memberi kesempatan yang sama (fairness) kepada terdakwa dan penuntut umum yang mewakili kepentingan negara.

f). Dalam hal suatu Yayasan merugikan negara (mis. pasal 53 UU No.16 Th 2001), pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

II. Penjatuhan Pidana di bawah minimum khusus

1. Demi kepastian hukum

a. Tidak dapat dibenarkan menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus.

b. Hakim tidak berwenang menyimpang dari ketentuan (antara lain pasal 2 dan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999) yang telah ditentukan dalam undang-undang.

2. Demi keadilan.

Putusan pengadilan pidana sejatinya merupakan puncak kearifan dalam proses penyelesaian perkara baik bagi pelaku maupun bagi negara yang direpresentasikan oleh JPU. Sesuai pasal197 ayat (1) f KUHAP, dalam suatu putusan harus memuat baik hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan.

Putusan Pengadilan yang berkualiatas, menuntut adanya perpaduan antara knowledge dengan wisdom yang hal itu ada dalam energi mental, energi emosional, dan energi spritual. Optimalisai penggunaan energi-energi yang dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Besar dan Maha Adil tersebut akan menyentuh akal, perasaan dan keyakinan, sehingga akan memunculkan putusan pengadilan yang berkualitas puncak kearifan.Energi Mental_____________ Saya Berpikir

Energi Emosional__________ Saya Merasakan

Energi Spritiual____________ Saya Meyakini

Untuk itu dalam suatu putusan pengadilan biasanya didasari oleh pernyataan terbukti secara sah dan meyakinkan.

Kelurusan pikiran (nilai logis) dan beningnya hati (nilai etis) para Hakim, akan menghasilkan kebenaran putusan pengadilan yang otentik. Hati yang bening dan jujur menunjukan kepekaan terhadap suara hati atau suara bathin. Mengadili suatu perkara akan selalu mempergunakan peranti akan pikiran dan potensi spiritual secara bersamaan.

Posisi Hakim

1. Terdakwa / Penasehat Hukum

Pandangan subyektif dari posisi yang subyektif.

2. Jaksa Penuntut Umum

Pandangan subyektif dari posisi yang obyektif (mewakili kepentingan negara / masyarakat).

3. Hakim

Pandangan obyektif dari posisi yang obyektif.

Dari posisi yang subyektif tersebut tidak terlalu berat beban Terdakwa/Penasehat Hukum karena sebagai pihak berhak untuk berada dalam posisi memenangkan perkara. Sedangkan Hakim dituntut untuk bersikap obyektif sehingga tercapai keadilan.Dalam hubungan dengan pemenuhan keutuhan hakikat keberadaan hukum dan proses peradilan--- Alan M Dershowitz menyatakan bahwa dalam proses peradilan pidana, kebenaran bukanlah satu-satunya tujuan (vide peradilan O.J. Simpson).

Tanpa pertimbangan yang komprehensif, proses peradilan dapat tergelincir ke dalam peradilan yang bias, dan menimbulkan The Death of justice (matinya keadilan) serta memunculkan The Death of Common Sense (matinya akal sehat).TRUTH versus JUSTICE vide buku Robert I Rotberg & Dennis T.

Ada 4 dimensi bahasa Putusan Pengadilan

1. harus dapat mengungkapkan dengan bahasa tertentu sehingga dapat dipahami

dimensi___________Komprehensif SHAPE \* MERGEFORMAT 2. harus merujuk kepada obyek sengketa

dimensi___________Kebenaran (nilai logis)

3. harus jujur dengan apa yang diungkapkan

dimensi___________truthfulness (sesuai hati nuraninya)

4. harus ada relasi dengan aturan yang berlaku, baik norma moral atau estetik dimensi___________rightness (nilai etis dan nilai estetis)

Penentuan batasan minimum khusus berlatar belakang kekurang percayaan terhadap Hakim, karena lazimnya yang ada adalah ketentuan batas maksimum.

Penjatuhan pidana di bawah minimum khusus, didasarkan kepada rasa keadilan dengan mempergunakan hati nurani.Permsalahan penegakan hukum seharusnya dibenahi melalui perbaikan sistem dan peningkatan profesionalisme personil, bukan dengan cara memangkas kewenangan berdasarkan kekurangpercayaan.

KONSEKUENSI dari SISTEM

Pemakaian sistem hukum Civil Law memiliki konsekuensi produk putusan pengadilan (Judex Facti & Judex Juris) yang berbeda dengan negara yang memakai sistem common Law, karena ada perbedaan metode berpikir.

Differences Betwen the Civil (Roman) and Common Law System

Civil (Roman) Law

Law and procedure are governerd by seperate, comprehensive, systematized codes, which are forward looking, wishing to anticipate all new problems.

Codes are based on scholarly analysis and conceptualizations.

Supreme Courts interpret nuance of law.

Legal proceedings must establish the entire truth.

Judges are free to find and interpret facts.

There is very little lay participation.

There is no presumption of guilt or innocence

Common Law

Law and procedure are governed by laws and precedents, which, if codified at all, simply organize past experiences.

Laws reflect the experience of practitioners, on a case by case basis.

Supreme Courts develop law.

Truth finding is strictly limited by pleadings and rules of evidence.

Rules of evidence limit the fact-finding process.

Grand and petit juries play a strong role.

There is a presumption of innocence.

Source: Adler, Mueller, and Laufer, 1995. Used with permission of the McGraw/Hill CompaniesSee : Comparative Criminal Justice Systems Erika Fairchild & Harry R. Dammer (2001 : 54).Dari perbedaan sistem tersebut di atas terlihat bahwa dalam dalam sistem Civil Law :

Mahkamah Agung menafsirkan nuansa hukum Hakim bebas menafsirkan fakta-fakta

Apalagi dalam perkembangan dewasa ini banyak negara mempergunakan sistem Hybrid dalam penegakan hukumnya.

*Negara-negara seperti Jepang, Mesir, Scotlandia, Philipina, Afrika Selatan termasuk yang mempergunakan Hybrid System. Bahkan menurut Erika Fairchild & Harry R Dammer, sebenarnya tidak ada lagi negara yang mempergunakan sistem yang orisinil dalam sistem peradilan.

*There would be no globalization without international law. Professor Anthony Giddens has depicted globalization as a stretching process, in which connections are made between different social contexts and region, which then become across the aert as a whole. ( Sands : Lawless World, 2005:15).*The Community Legal System:

Whereas the Treaties serve as plans for the construction of Europe and the cement for it is the economic and social cohesion between Member Satates which unites them in the will ti live and work together, the bricks for the construction are constitute by an incrising number of Community Legal Acts adopted by the Council and the Commission.

(Nicholas Moussis, Access To European Union,l995:40)Butir-butir Pokok :

1.Pengajuan PK (Peninjauan Kembali) oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) pada dasarnya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam keadaan yang sangat eksepsional misalnya untuk kepentingan umum yang sedemikian rupa sifatnya, misalnya kerugian negara yang cukup besar dengan dukungan bukti-bukti yang cukup kuat tidak menutup kemungkinan JPU mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas dasar alasan seperti yang diatur dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP.

*Sangat eksepsional, merujuk pada dalil no rule without exception__tidak ada undang-undang yang tidak ada kecualinya.*Kepentingan umum, merujuk pada nilai keadilan bagi korban (victim), dalam kasus korupsi yang secara yuridis dikualifikasikan sebagai termasuk Extra Ordinary Crime---korbannya adalah rakyat, keuangan negara, keuangan rakyat.2. Pada dasarnya tidak dapat dibenarkan penjatuhan pidana di bawah ancaman minimum khusus, akan tetapi secara kasuistis atas dasar pertimbangan nilai keadilan dan nilai kemanusiaan dapat dibenarkan.Putusan pengadilan merupakan hasil dari proses peradilan sesuai dengan prosedur yang berlaku bagi jenis perkara yang bersangkutan apakah perkara pidana, perdata, agama, militer, tata usaha negara, dengan segala turutannya seperti perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penipuan, penggelapan, korupsi, dan lain sejenisnya.

Putusan pengadilan merupakan bagian dari penegakan hukum. Hukum per-se, bukanlah peti kemas yang kosong (empty container), tetapi merupakan holoyuridis yang berisi nilai-nilai.

Keberadaan aturan hukum yang ada dalam putusan pengadilan, dapat secara dinamis bergerak secara centripetal ke arah nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang tersebut dan juga bergerak secara centrifugal ke arah lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupinya.

Kelahiran suatu perangkat hukum tidak pernah lepas dari postulat moral yang melatar-belakanginya dan selanjutnya.

Di negara-negara Anglo-Saxon, putusan pengadilan dapat digambarkan dalam 5 komponen, yaitu Facts, Issue(s), Holding(s), Reasoning, and Policy.

Mengenai fact atau fakta hukum, merupakan deskripsi tentang posisi kasus (case position) atau peristiwa hukum yang terjadi yang menuntut adanya penyelesaian. Sedangkan komponen legal issuers) merupakan pertanyaan tentang hukum apa yang harus dipergunakan pengadilan dalam menyelesaikan peristiwa hukum tersebut.

Berkenaan dengan komponen holding(s) merupakan legal statement yang ada dalam putusan pengadilan (the court decision). Sedangkan reasoning merupakan komponen tentang pertimbangan-pertimbangan hukum yang mendasari putusan pengadilan tersebut. Komponen policy merupakan kebijakan sosial (the social policy) atau tujuan-tujuan (goals) yang terkandung dalam hakekat keberadaan aturan hukum tersebut.

Hal yang dipertimbangkan (legal reasoning) dalam putusan adalah 1) Facts, 2) Rules, dan 3) Jurisprudence, baik yang menganut asas precedence, stare decisis di negara Anglo Saxon maupun dinegara yang memakai sistem kontinental.

Putusan pengadilan di Indonesia sesuai syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 197 KUHAP (1), harus memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan-keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b, c, d, e, f, h, j, k, dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

Dalam proses peradilan perkara (pidana) yang berupaya maksimal untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran materiel, menuntut adanya adanya kompetensi dari Hakim yang berupa knowledge, legal technical capacity (skill) dan commitment agar dapat menelorkan putusan pengadilan yang mencerminkan keadilan. Proses mengadili perkara (pidana) merupakan proses interaksi nalar hukum dan nurani dalam upaya mencapai puncak kearifan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Putusan pengadilan (pidana) harus berdasarkan atas fakta-fakta yang sah muncul di persidangan dan dapat meyakinkan Majelis Hakim. Bukti-bukti yang sah mengandung arti asli (authentic), dapat dipercaya (reliable), benar seperti adanya (valid). Meyakinkan berarti tidak ada keraguan lagi bagi Majelis Hakim bahwa ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang timbul. Putusan pengadilan (pidana) harus menjelaskan tentang tidak terbukti atau terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan (dalam ranah lahir) dan bersalah (dalam ranah bathin). Di samping ada teori yang membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggung-jawaban pidana, juga ada teori yang membedakan antara pelaku dengan perbuatan pidana.

Perkara yang diajukan ke muka pengadilan menuntut dipenuhinya syarat beyond reasonable doubt dan harus dibuktikan dalam proses pengadilan. Dalam proses pengadilan yang berada dalam kompetensi Judex Facti semua hal-hal yang relevan secara yuridis (pasal 184 KUHAP= keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa) harus dipertimbangkan

dan dijadikan dasar bagi putusan pengadilan yang dijatuhkannya. Jika ada fakta yang relevan secara yuridis tidak dipertimbangkan dan terdakwa dibebas-kan, maka putusan Judex Facti tersebut berpotensi untuk dibatalkan dalam tingkat kasasi oleh Judex Juris, karena Judex Facti salah menerapkan hukum dengan alasan kurang mempertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) atau tidak mempertimbangkan dengan benar adanya fakta yang diajukan secara sah di persidangan.

Hubungan kausal dalam suatu peristiwa hukum harus dibuktikan dalam proses peradilan, kacamata teori tentang causation menunjukkan adanya 2 macam yaitu 1) recursive/hierarchial A_B_C dan 2) reciprocal A B. Dalam kacamata teori filsafat logika, hubungan kausalitas digambarkan ada yang a priori, a post teriori dan akibat ke akibat.

Terhadap putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti dan diputus oleh Judex Facti dan jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan upaya hukum kasasi, maka Pemohon Kasasi (JPU) harus dapat membuktikan bahwa putusan bebas tersebut bukan bebas murni, jika tidak dapat membuktikan maka upaya hukum kasasi oleh JPU tersebut oleh Judex Juris akan dinyatakan tidak dapat diterima; dengan alasan pemohon kasasi (JPU) tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai di mana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut. Dan sebaliknya, kalau dapat mem-buktikan upaya hukum tersebut akan dinyatakan dikabulkan. Sedangkan kalau putusan pada pengadilan tingkat pertama dinyatakan terbukti tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, maka putusan Judex juris terhadap upaya hukum kasasi akan berupa menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.

Putusan pengadilan, akan menjelaskan tentang terbukti atau tidak terbuktinya unsur-unsur dari pasal (pasal) yang didakwakan terhadap terdakwa dalam perkara pidana atau posita gugatan dalam perkara perdata. Unsur "melawan hukum" dalam perkara pidana dapat dikaji dalam 2 perspektif, yaitu : 1) Dari segi praktek penerapan hukum, ada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yaitu dalam putusan Mahkamah Agung No. 71 K/Pid/1973 dengan tegas disebutkan bahwa unsur melawan hukum tidaklah dapat diartikan dalam pengertian sempit melainkan harus diartikan dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya ketentuan yang tidak tertulis maupun kebiasaan yang seharusnya dipatuhi karena terdakwa telah jelas melanggar ketentuan prosedur pemberian overdraft, sehingga unsur melawan hukum haruslah dinyatakan terbukti.

2). Dari segi filosofis, sifat melawan hukum materiel dapat dilihat: a) secara ontologis, artinya dilihat dari hakekat ADA-nya atau keberadaan perbuatan tersebut (bersifat korup) tidak dikehendaki oleh masyarakat, dan b). secara aksiologis, artinya dilihat dari segi NILAI, perbuatan tersebut (korupsi) tidak cocok dengan nilai kesusilalan dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam suatu putusan pengadilan apa cukup diper-timbangkan (mis. dalam perkara korupsi) tentang menyalahgunakan kewajibannya, antara lain diwajibkan mengecek laporan bawahannya tetapi tidak di cek secara teliti. Dan apakah cukup dipertimbangkan tentang menyalahgunakan kewenangan dalam kasus korupsi Ketua DPRD yang mengatur masalah publik (masalah tata usaha kayu) padahal secara yuridis dia tidak mempunyai kewenangan untuk hal itu. Sehingga fakta yuridis terbukti Ketua DPRD tsb menyalahguna-kan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Dia menetapkan kepemilikan kayu illegal logging tanpa melalui proses lelang.

Putusan pengadilan menurut pasal 19 ayat (4), (5) UU No. 4 Tahun 2004, disyaratkan : dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Begitu pula ketentuan dalam pasa1 30 ayat (2) (3) UU No 5 Tahun 2004 yang memuat juga tentang Dissenting Opinion yang menunjukkan adanya transparansi dan kejelasan pertanggungjawaban hakim terhadap tugas profesionalnya.

Dalam hubungan ini, putusan pengadilan ada 3 macam, yaitu :

1. Unanimous atau putusan diambil dengan suara bulat.

2. Concurring Opinion, yaitu ada pendapat anggota majelis yang setuju dengan amar putusan, misalnya terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun, karena penipuan, tetapi dengan pertimbangan yang berbeda.

3. Dissenting Opinion, yaitu pendapat anggota majelis yang berbeda dengan pendapat suara terbanyak, berbeda baik pertimbangan hukum maupun amar putusan, suara terbanyak menyatakan terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena salah satu unsur tidak terpenuhi, tetapi yang menyatakan Dissenting Opinion berpendapat lain bahwa seluruh unsur dakwaan terpenuhi dan terdakwa dijatuhi pidana 3 tahun.

4. Secara prosedural, pengajuan permohonan kasasi diatur dalam pasal 245 KUHAP dan pengajuan memori kasasi diatur dalam pasal 248 KUHAP. Tidak dipenuhinya syarat formal misalnya permohonan kasasi permohonan kasasi diajukan melebihi batas waktu 15 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan (kepada terdakwa), maka permohonan kasasi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk verklaren atau biasa disebut NO dan karena menyangkut prosedur formal di Mahkamah Agung biasanya disingkat NO F. Hal ini sekedar untuk membedakan dengan kode NO yang lain yaitu tidak diterimanya kasasi JPU, atas dasar Pemohon kasasi/JPU tidak dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti bukan bebas murni, karena pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai di mana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut tersebut. Untuk yang tidak diterimanya kasasi yang menyangkut esensi pokok perkara sebagian Hakim Agung memberi tanda NO E.

5. NO E yang berkaitan dengan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan : Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atu penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Dalam praktek ternyata pengertian bebas dapat ditafsirkan bebas murni dan bebas tidak murni. Dalam pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung, majelis kasasi akan mengabulkan kasasi JPU sebgai pemohon kasasi jika dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti ternyata bukan bebas murni, sebaliknya akan memutuskan tidak dapat diterima atau NO F jika JPU tidak dapat membuktikan bahwa putusan JF bukan bebas murni, karena tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijdikan dasar pertimbangan mengenai di mana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut. Dalam hubungan ini terlihat bahwa tradisi suatu kovensi sering lebih kuat dari logika. Seperti halnya juga sering dikatakan bahwa law not have been logic but experience.

6. Dalam pasal 253 KUHAP ditentukan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan :

a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;

c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.Dengan dasar pasal 253 KUHAP tersebut di atas pintu masuk permohonan kasasi adalah dengan alasan hukum :

a. Judex Facti (JF) salah menerapkan hukum, karena salah menafsirkan dan menerapkan unsur melawan hukum, dlsb.b. Judex Facti dalam mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, karena (misalnya) dalam mengadili perkara a quo tidak dengan majelis, tetapi dengan hakim tunggal, dlsb.

c. Judex Facti dalam mengadili telah melampaui batas kewenangannya, karena (misalnya) menjatuhkan pidana di atas batas maksimum yang telah ditentukan oleh undang-undang, dlsb.

7. Dalm hubungannya dengan pasal 263 KUHAP yang mensyaratkan terpidana harus hadir dalam pemeriksaan Peninjuan Kembali (PK), maka jika tidak memenuhi ketentuan tersebut tidak dapat diterima, yaitu jika terpidana tidak hadir dalam pemeriksaan di pengadilan di mana permohonan PK tersebut diajukan.Pasal 265 ayat (1) menyebutkan bahwa: Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut beralasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (2). Dalam pasal 265 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa : pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Sedangkan pasal 266 ayat (1) menyebutkan: dalam permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima disertai dasar alasannya. Pasal 263 ayat (2) intinya menyatakan bahwa : permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a) apabila terdapat keadaan baru, b) ternyata ada pertentangan satu dengan yang lain, c) ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Butir-butir pokok:

1. Secara umum putusan Pengadilan Tinggi selaku Judex Facti (JF) akan dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung selaku Judex Jurist (JJ), jika tidak memenuhi ketentuan pasal 197 KUHAP.

2. Putusan Tingkat Banding, akan dinyatakan batal oleh Majels Kasasi, jika putusan Tingkat Banding tersebut berkualifikasi Onvoldoende Gemotiveerd atau kurang mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis.

3. Putusan Tingkat Banding, akan dinyatakan batal dalam pemeriksaan Tingkat Kasasi, jika merubah jumlah pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat Pertama dengan tanpa memberikan pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dengan tepat dan benar, hal ini karena tidak memenuhi ketentuan pasal 197 ayat (1)f KUHAP.

4. Putusan Tingkat Banding, akan dibatalkan oleh pemeriksaan Tingkat Kasasi, jika menguatkan putusan tingkat Pertama yang tidak mempertimbangkan adanya Prae Judicial Geschil seperti yang ditentukan dalam pasal 81 KUHP. Misalnya karena tipisnya batas antara penipuan pasal 378 KUHP dengan perbuatan Wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata.

5. Putusan Tingkat Banding, akan dibatalkan dalam pemeriksaan tingkat Kasasi, jika menguatkan putusan tingkat pertama yang menerapkan pasal 285 ayat (2)b terhadap pelaku perzinahan pria.

6. Putusan Tingkat banding, akan dibatalkan dalam pemeriksaan Tingkat Kasasi, jika menguatkan putusan Tingkat Pertama yang memproses perkara perzinahan padahal tidak ada pengaduan dari suami/isteri yang tercemar, karena perzinahan merupakan delik aduan absolut. 7. Putusan Tingkat Banding, akan dibatalkan dalam pemeriksaan Tingkat Kasasi, jika salah satu anggota majelis ada hubungan keluarga atau mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang ditangani, karena hal itu melanggar pasal 29 ayat (3) dan (6) UU No. 4 Tahun 2004.

Kepustakaan :

Berring, Robert C, & Edinger, Elizabeth A, Finding The Law, West Group, ST. Paul, Minnesota, 1999

Poespoprodjo, W, Logika Scientifika, Pustaka grafika, Bandung, 1999

Reynold, William L, Judicial Process, West Publishing Co, ST. Paul, Minnesota, 1980

Shapo, Helene S, et al, Writing and Analysis in the Law, Foundation Press, New York, 1999

Yuridis Formal

Kosmos

Sosial

Ekonomi

Sosial

Politik

Nilai:

Logis Etis

Estetis

NILAI

ASAS

NORMA

Nilai logis=kebenaran

Nilai etis=keadilan

Nilai=keindahan, harmoni

Ne bis in idem

Presumption of innocence

- Konstruksi hipotesis

- Formulasi kategori

Level A

Level C

Level D

Sunnatullah/akal semesta/supra rasional/common sense

Ayat Kauniah

Perangkat

Ayat Kauliah

Numerik

Verbal

Numerik

Verbal

Disiplin Ilmu

Matematika

Fisika

Kimia

Bahan

Hukum

Sejarah

Matematika

Fisika

Kimia

Bahan

Hukum

Sejarah

Produk

Teknologi

Lembaga

Peraturan

Teknologi

Lembaga

Peraturan

Bagan Pengetahuan

31