kukuh

download kukuh

of 12

description

KUKUH

Transcript of kukuh

Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.

Suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki ciri geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan arah ke laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat (BAKOSURTANAL, 1990, dalam Sutikno, 1999). Wilayah pesisir/pantai adalah suatu hal yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas kearah daratan hingga batas pengaruh marin masih dirasakan (Bird, 1969 dalam Sutikno, 1999). Klasifikasi pantai menurut Valentin, 1952 (Sutikno, 1999), dasar klasifikasinya adalah perkembangan garis pantai maju atau mundur. Pantai maju dapat disebabkan oleh pengangkatan pantai atau progradasi oleh deposisi, sedangkan pantai mundur disebabkan pantai tenggelam atau retrogradasi oleh erosi. Dalam menentukan tingkat perubahan pantai yang dapat dikatagorikan kerusakan daerah pantai adalah tidak mudah. Untuk melakukan penilaian terhadap perubahan pantai diperlukan suatu tolok ukur agar supaya penilaian perubahan pantai dapat lebih obyektif dalam penentuan tingkat kerusakan tersebut. Perubahan pantai harus dilihat tidak dalam keadaan sesaat, namun harus diamati dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan garis pantai yang terjadi sesaat tidak berarti pantai tersebut tidak stabil, hal ini mengingat pada analisis perubahan garis pantai dikenal keseimbangan dinamis daerah pantai. Keseimbangandinamis berarti pantai tersebut apabila ditinjau pada suatu kurun waktu tertentu (misalnya satu tahun) tidak terjadi kemajuan atau kemunduran yang langgeng, namun pada waktu-waktu tertentu pantai tersebut dapat maju atau mundur sesuai musim yang sedang berlangsung pada saat itu. Untuk mengetahui perubahan pantai secara tepat perlu adanya patok pemantau (monitoring) yang diketahui koordinatnya, dan dipasang pada tempat-tempat yang rawan erosi dan diamati pada setiap bulan (minimum dilakukan selama satu tahun).

Pesisir merupakan wilayah yang dinamis dan rawan. Kedinamisan wilayah pesisir disebabkan oleh karena wilayah tersebut merupakan pertemuan dua ekosistem, yaitu ekosisten daratan dan ekosistem lautan. Wilayah pesisir mengandung potensi sumberdaya yang besar, baik hayati maupun non hayati termasuk jasa-jasa lingkungan. Konsekwensi dari dinamika wilayah pesisir yang berpotensi menyebabkan manusia untuk datang dan berinteraksi denganekosistem pesisir lainnya. Interaksi manusia dengan lingkungan pesisir menyebabkan terjadi kerawanan-kerawanan karena aktivitas tersebut membutuhkan ruang dan sumberdaya. Di samping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia di daerah hulu dan kegiatan di perairan lepas pantai maupun laut lepas, serta pengaruh alam - yang memberi andil tidak sedikit terhadap degradasi lingkungan pesisir.Realitas wilayah pesisir yang dinamis memerlukan suatu pengelolaan wilayah yang spesifik untuk dapat mengakomodasi semua kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan. Pengelolaan wilayah pesisir harus dapat mengakomodasi berbagai kepentingan stake holdersekaligus memperhatikan potensi dan kemampuan lingkungan wilayah pesisir sebagai ekosistem yangharus berkelanjutan tanpa mengurangi hak manusia dan komunitas lainnya untuk hidup di dalamnya.

Dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir, telah dikembangkan apa yang disebut Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Managemen disingkat ICZM). ICZM merupakan cabang ilmu baru bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia. Banyak terminologi mengenaiI CZM yang dikemukakan oleh beberapa negara maupun para ahli, namun esensi dari kesemuanya adalah sama, yaitu kegiatan manusia dalam mengelola ruang, sumberdaya, atau penggunaan yang terdapat di wilayah pesisir.Pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia menggunakan terminology Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT), yaitu suatu program yang selain ditujukan untuk mengatasi permasalahan pembangunan pesisir dan lautan saat ini dan masa depan, juga untukmemberdayakan masyarakat pesisir agar dapat menikmati keuntungan secara berkesinambungan.Operasionalisasi dari PWPLT, yaitu hingga sejauh mana program tersebut dapat mengatasi permasalahan-permasalan yang timbul di wilayah pesisirmembutuhkan suatu rencana pengelolaan diperlukan penataan ruang. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,dan pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 1, Undang-Undang No. 24Tahun 1992 tentang Penataan Ruang).Salah satu tahap yang cukup penting dalam penataan ruang adalahperencanaan tata ruang. Dikaitkan dengan wilayah pesisir, hasil perencanaantata ruang pesisir adalah rencana tata ruang wilayah pesisir (RTRW Pesisir),antara lain memuat mintakat-mintakat (zones) peruntukkan ruang yang merupakan arahan dan pedoman pemanfaatan ruang wilayah pesisir.Walaupun secara konsepsual perencanaan tata ruang wilayah pesisir telah dicanangkan, namun permodelan rencana tata ruang pesisir yangberkelanjutan dan berbasis masyarakat hingga saat ini baru sekedar wacana belum merupakan wujud yang siap dioperasikan. Dalam kontek tersebut diatas, tulisan ini menjelaskan rencana penelitian dalam rangka membangun model RTRW Pesisir berkelanjutan berbasis masyarakat.

Di beberapa daerah Indonesia yang mempunyai wilayah pesisir hampir selalu terlihat suatu fenomena yang menggelitik. Fenomena yang sudah menjadi kenyataan tersebut adalah berkumpulnya komunitas masyarakat miskin pada wilayah pesisir yang sebenarnya mempunyai potensi sumberdaya yang besar. Akibat tekanan kemiskinan, masyarakat cenderungakan mengeksploitasi sumberdaya dan lingkungan secara tidakberkesinambungan, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan degradasidan mengganggu keseimbangan lingkungan. Kenyataan ini diperparah lagioleh kegiatan lain yang sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, seperti konversi mangrove untuk tambak udang, pembangunan pemukiman dan pabrik,pembuangan limbah, dan sebagainya. Kesemuanya itu di samping menyebabkan degradasi lingkungan dan rusaknya ekosistem, jugamenyebabkan konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang, karena semuakegiatan dilakukan pada wilayah yang sempit pada lahan yang terbatas. Hal-hal tersebut di atas menjadi tanda tanya besar mengapa bisa terjadi,mengapa besarnya sumberdaya pesisir tidak memakmurkan rakyat?, mengapa kegiatan pembangunan justru merusak lingkungan?. Dalam katayang sederhana ada kesalahan dalam pengelolaan - ada ketidak selarasan antara rencana dengan pelaksanaan - rencana tata ruang yang dibuat tidakterintegrasi dengan baik, atau memang rencana tata ruang wilayah pesisir belum ada.Tujuan dan Manfaat Praktikum

Pembangunan model RTRW Pesisir berbasis masyarakat dimaksudkan sebagai upaya untuk membuat (mengembangkan) RTRW Pesisir yang "ideal"- memadukan ilmu dan teknologi dengan peran (masukan) dari masyarakat,yang merupakan subyek sekaligus obyek perencanaan.Adapun tujuannya antara lain adalah :

1.mewujudkan RTRW Pesisir yangdapat mewadahi dinamika masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnyakini dan masa depan;

2.memberi arahan dalam penggunaan danpemanfaatan ruang;

3.memperkecil konflik penggunaan ruang;

4.menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan dan konservasi kawasanlindung. Di samping itu RTRW Pesisir yang akan dibangun merupakantawaran alternatif pemikiran dalam rangka membantu pemerintah danmasyarakat akan kebutuhan RTWR Pesisir.

5.Mengetahui kesesuaian RTRW Kelurahan Mangunharjo dengan landuse yang sudah ada dengan software ArcGIS 9.3Lokasi Praktikum

Kelurahan Mangun Hardjo, jalan Laut Mangunhardjo RT 3 RW 1.

Pengertian RTRW PesisirRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) wilayah pesisirAdalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah pesisir, yang merupakan penjabaran dari RTRW. Tujuan penataan ruang wilayah pesisir Adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.RTRW Pesisir sudah mendesak untuk dibuat supaya dapat mewadahi dan mengarahkan dinamika pembangunan di wilayah pesisir. Dengan adanya RTRW Pesisir diharapkan ada kebijaksanaan yang jelas antara aspekkonservasi dan aspek pemanfaatan. Sehubungan dengan penyusunan RTRW Pesisir, beberapa hal perlu mendapat perhatian, antara lain : Kelangkaan dan terbatasnya data dan informasi sumberdaya pesisirdan lautan.

Belum jelasnya pranata kelembagaan yang mengurusi penataan ruangpesisir, baik di tingkat pusat maupun di daerah apalagi jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Masih kurangnya landasan peraturan perundangan dan lemahnyapenegakan hukun dalam penataan ruang.

Tebatasnya peran masyarakat dalam penataan ruang.Masalah-masalah di atas perlu diperhatikan dalam rangka menyusun RTRWPesisir. Oleh karena itu, sehubungan dengan rencana penelitian yang akandilakukan, yaitu membangun model RTRW Pesisir berkelanjutan danberbasis masyarakat, penulis mendeskripsikan masalah sesuai pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Bagaimana memenuhi penataan ruang (perencanaan tata ruang,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang) pesisiryang ideal.

2. Model RTRW Pesisir yang bagaimana yang dapat mengakomodasisemua kepentingan stake holderdan bagaimana menyeimbangkanantara konservasi kawasan lindung dengan aspek pemanfaatan.

3. Model RTRW Pesisir yang bagaimana yang dalam prosespenyusunannya melibatkan masyarakat pesisir dan stake holderlainnya.

4. Model RTRW Pesisir yang bagaimana yang dalam implementasinyadapat meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga pada gilirannyatercapai suatu kemakmuran. Maksud dan Tujuan.(Kaswadji, 2001).

Manusia sebagai bagian dari ekosistem, dalam kehidupan sehari-hari selalubersinggungan dengan ekosistem lain di wilayah pesisir dan secara sengajamaupun tidak mempunyai pengaruh terhadap perubahan ekosistem. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah : dengan cara bagaimana dan dengankegiatan apa saja manusia dapat merubah sistem ekologi di wilayah pesisir ? (Kaswadji, 2001). Jawabnya sudah tentu akan merujuk pada akibat kegiatan manusia, antaralain : pembukaan lahan untuk pertanian, pembakaran hutan/pohon,pembangunan waduk, penggundulan hutan, pembangunan gedung, pembuangan limbah, perkerasan jalan. Kegiatan manusia yang mengganggu/merusak ekosistem tadi kalau dilihat sepintas nampaknya hanya berpengaruh pada ekosistem yang diganggu saja, tetapi kalau dilihat lebih lanjut kegiatan di satu ekosistem dapat berpengaruh pada ekosistem lain yang terkait (Kaswadji, 2001). Dahuri (2000), menyebutkan bahwa perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya (gambar 1). Begitu pula jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak dilakukan secara bijaksana (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan berpengaruh pada tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir.

Lebih jauh Kaswadji (2001), menjelaskan keterkaitan antara tiga ekosistem utama pesisir sebagai berikut. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang akan dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupanterumbu karang (Kaswadji, 2001). Yang terakhir, ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut.Selain itu ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai habitat (tempattinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan danpembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun hutan mangrove (Kaswadji, 2001). Mengingat betapa penting nilai wilayah pesisir baik secara ekologis maupun ekonomis dengan semua komunitas yang hidup di dalamnya, banyak negaratermasuk Indonesia telah mengembangkan suatu model pengelolaan wilayah pesisir. Menurut Kay (1999), pengelolaan yang dilakukan meliputi pengelolaan strategis sampai pengelolaan operasional yang merupakan suatutahapan pengelolaan yang terintegrasi. Dikatakan juga bahwa suatu rencanayang baik adalah yang tidak terlalu banyak zonasinya, dapat dilaksanakan,dan mudah dimengerti. Adapun Clark (1996), membuat suatu diagram tahap-tahap pengelolaan wilayah pesisir yang merupakan siklus (gambar 2). Begitujuga Cincin-Sain (1998), dalam teori Integrated Coastal Management (ICM) yang dikembangkannya, memperlihatkan enam tahap dalam proses ICM.Tahap-tahap tersebut adalah : tahap penilaian dan identifikasi isu, tahappersiapan dan perencanaan program, tahap pembiayaan dan adopsi, tahappelaksanaan, tahap operasi, dan tahap evaluasi. Enam tahap ICM menurutCincin-Sain tersebut sebagaimana Clark juga merupakan suatu siklus.

Walaupun pengelolaan wilayah pesisir sudah terpadu, namun hanya sampai tahapan pemintakan (zonasi) kawasan lindung, belum menyentuh tahapanperencanaan tata ruang yang memasukan semua kepentingan penggunaanruang dan perkiraan perkembangan masa depan. Padahal perencanaan tataruang sangat penting, karena dalam tahapan tersebut keseimbangan antaraaspek konservasi dan aspek pemanfaatan diperhitungkan dengan baik (Clark, 1996). Penyusunan rencana tata ruang pesisir yang merupakan bagian dari pengelolaan pesisir di era otonomi daerah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dengan arahan dari departemen teknis yang berwenang untukmaksud tersebut. Di Indonesia, departemen yang paling berwenang dalam mengkoordinasikan penataan ruang pesisir adalah Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan(DELP), dimana ada salah satu direktoratnya yang membawahi bidangtersebut, yaitu Direktorat Pengelolaan Tata Ruang (DPTR) DirektoratJenderal Pesisir, Pantai dan Pulau Pulau Kecil (P3K). Sebagai tindak lanjutdari tugas DPTR, pada Desember 2000 telah dilakukan temu pakar dalamrangka penyusunan kosep tata ruang pesisir. Dalam pertemuan tersebut masalah yang cukup mencuat adalah rencana tata ruang pesisir tidak bisadilakukan dengan begitu saja mengadopsi rencana tata ruang daratan, tetapi dalam operasionalisasinya harus merujuk pada peraturan dan perundanganyang ada, antara lain Undang Undang Penataan Ruang.Menurut Undang Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR), perencanaan tata ruang merupakan satu tatapan dari keseluruhanproses penataan ruang. Dalam UUPR pasal 1, dinyatakan bahwa penataanruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (Republik Indonesia, 1992).

Penataan ruang dapat disederhanakan menjadi aktivitas mengarahkan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk duniausaha - bukanlah suatu tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan.Dengan demikian, kegiatan tata ruang tidak boleh berhenti dengan di-Perda-kan rencana tata ruang, tetapi penataan ruang harus merupakan aktivitas yangterus menerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayahmencapai tujuan-tujuan pokok, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga,rekreasi termasuk kegiatan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, sepertimenikmati keindahan alam dan tempat-tempat bersejarah (Darwanto, 2000). Berbeda dengan penataan ruang daratan, paradigma yang dikembangkan diwilayah pesisir pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempatmuara segala kegiatan dan bertemuanya berbagai macam ekosistem, lebihdari itu pesisir (laut) juga mempunyai vertikal zoning yang tidak dimiliki olehdaratan (Suwandono, 2000).

Oleh karena itu dalam penyusunan tata ruang pesisir perlu diupayakan cara-cara atau metode-metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatumodel tata ruang pesisir yang bisa mengakomodasi kepentingan stake holder yang muaranya harus kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan sumberdaya danekosistem pesisir.Temu pakar dalam rangka penyusunan konsep tata ruang pesisir antara lainmerekomendasikan perlunya suatu pedoman dari pemerintah (dalam hal ini DELP) yang dipadukan dengan kepentingan masyarakat bawah, sehinggadapat terwujud suatu perencanaan tata ruang dan pengelolaan pembangunanyang lebih implementatif. Secara keseluruhan kesimpulan hasil temu pakartersebut adalah (DELP, 2000) :

Rencana tata ruang merupakanpublic instrumentyang bertujuan untuk meningkatkan kondisi masyarakat berdasarkan aspirasi yangada, sehingga dapat sejahtera, adil dan berkelanjutan.

Dalam penataan ruang pesisir, perlu diperhatikan beberapa hal :

1. Prosesnya dilakukan secara participatory approach terutama untuk pengelolaan kawasan lindung dan pengembangan kegiatan Menggunakan pendekatan integrasi antara darat dan lautdengan memperhatikan DAS. Memperhatikan unsur budaya masyarakat setempat Data informasi tentang pesisir dan laut harus akurat.

2. Mempertimbangkan kebijakan yang rasional dan aspiratif.

3. Rencana harus sinergis antar sektor, tidak parsial dankonsisten.4. Pengembangan basic science.Syarat Syarat Penetapan Tataruang Wilayah PesisirStruktur ruang pada hakikatnya merupakan hasil dari suatu proses yang mengalokasikan objek-objek fisik dan aktivitas ke suatu kawasan di suatu wilayah.Wawasan sistem tata ruang ini berdasarkan pada kerangka konseptual yang diformulasikan oleh beberapa pakar seperti Kevin Lyinch dan Llyod Rodwin (1958), Donald Foley (1964), Stuart Chapin (1965), Melvin M. Webber (1967), dan Peter Hall (1970) yang semuanya menekankan adanya kaitan antara tiga proses yang saling bergantung.

1. Proses untuk mengalokasikan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tertentu. 2. Proses pengadaan atau ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi akivitas seperti untuk tempat bekerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi. Proses ini, yakni pengadaan bangunan jalan, prasarana umum dan sebagainya, akan merupakan faktor pendukung bagi proses pengalokasian aktivitas yang disebut pada pertama. Dalam hal ini, proses pengalokasian aktivitas akan ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam dan buatan, serta kondisi fisik di wilayah tersebut.

3. Dalam proses pengadaan dan pengalokasian tatanan ruang, kaitan antara bagian-bagian permukaan bumi, tempat berbagi aktivitas dilakukan dengan bagian atas ruang (angkasa) serta ke bagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya perlu dilihat dalam wawasan yang integratif. Deskripsi Kelurahan Mangun Hardjo

Kawasan Mangunharjo Kecamatan Tugu, Semarang, adalah kawasan mangrove yang telah dikonversi sedemikian hebatnya menjadi area pertambakan ikan dan udang sehingga telah mengurangi kurang lebih hingga 70% vegetasi mangrovenya. Menurut informasi dari warga sekitar, konversi ini telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan sekarang dan telah menyengsarakan warganya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ini. Hilangnya ekosistem mangrove ini, nyatanya telah membuat puluhan hektar tambak warga hilang tertelan laut. Tak adanya sabuk hijau mangrove sebagai pelindung pantai, telah membuat gelombang laut dengan bebasnya menerjang tambak-tambak ikan dan udang sehingga menyebabkan abrasi yang sangat parah. Tak hanya itu, permasalahan-permasalahan lainnya, seperti pencemaran air sebagai akibat dari pembuangan limbah pabrik yang tumbuh subur di sekitarnya, juga telah semakin memperparah kondisi pesisir Mangunharjo (Kesemat, 2011).

Melihat betapa hebatnya tekanan lahan yang diterima oleh Mangunharjo ini, maka para stakeholder mangrove Semarang, mulai bergerak dan sedang berupaya sekuat tenaga untuk mengembalikan kondisi lingkungan di Mangunharjo agar bisa pulih seperti sedia kala, dimana secara ekologi, mangrove akan bisa lagi memiliki keanekargamannya yang tinggi sehingga mampu melindungi warga Mangunharjo dari dampak degradasi lahan yang sekarang terjadi. Maka, program penanaman dan penyulaman mangrove, saat ini telah, sedang dan akan dilaksanakan di kawasan ini. Selanjutnya, mengingat adanya pencemaran dari pabrik-pabrik yang berdiri menjamur di sekitarnya, maka ada sebagian pihak yang sempat mengkhawatirkan mengenai kelulushidupan bibit mangrove yang telah ditanam, mengingat kondisi substratnya yang tercemar(Kesemat, 2011). Rasa pesimistis sebagian pihak akan kegagalan penanaman mangrove di Mangunharjo, memang sangat beralasan. Namun demikian, dari penelitian yang telah kami lakukan beberapa waktu yang lalu, sebenarnya kawasan Mangunharjo masih layak dijadikan area program rehabilitasi mangrove. Dan, hal ini sudah kami buktikan. Dua puluh ribu bibit mangrove jenis Rhizophora dan Avicennia yang kami tanam di sekitar pesisir Mangunharjo, berhasil tumbuh dengan baik dengan kelulushidupan tinggi mencapai lebih dari 80%! Kemudian, untuk menjaga kelulushidupan ini tetap terjaga optimal, maka Mangunharjo dan sekitarnya juga sudah memiliki kelompok tani mangrove dan nelayan yang setiap saat siap menggantikan bibit-bibit mangrove yang mati dan tumbang terkena gelombang (Kesemat, 2011).

Kebijakan Tataruang Wilayah Pesisir

Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota dan Kabupaten akan menjadi pedoman untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang guna mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan di daratan, wilayah pesisir dan lautan. Esensi tata ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah rencana tata ruang, pedoman pemanfaatan ruang, dan cara pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 32,33, dan 34 UU Nomor 26/2007). Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan perumusan penggunaan ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang wilayah mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi serta indikasi program dan kegiatan pembangunan. Perumusan kebijakan tersebut didalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan wilayah pesisir adalah perlunya perencanaan tata ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang meliputi: (1) Kawasan non budidaya (kawasan lindung/konservasi), misalnya: suaka alam, konservasi hutan mangrove, taman nasional, taman wisata alam dan kawasan budidaya, misalnya: kawasan industry, kawasan permukiman, kawasan pertanian dan (2) Kawasan budidaya perikanan. Kondisi lapangan survey : 1. Lokasinya dekat dengan pemukiman

2. Daerah dampak Rob

3. Banyak sampah rumah tangga

4. Tepi sungai banyak ditumbuhi tumbuhan liar

5. Kanan dan kiri sungai dikelilingi rata rata oleh tambak

6. Tambak ditumbuhi mangrove

7. Daerah survey termasuk daerah muara

8. Air sungai merupakan air asin

9. Terdapat Sea Wall disepanjang salah satu sisi sungai

10. Banyak kegiatan nelayandilapangan survey

Kepemilikan lahan sekitar yang berkaitan : Tambak, pada daerah muara dan batas pantai milik Marina, sedangkan tambak lainnya milik warga perorangan.

Posisi Rob tertinggi dan terjauh :1. Titik 1: S: 0656479

E: 11018698

2. Titik 2: S: 0656480

E: 11018708

Kemungkinan luasan tambak: 2 Km2 disatu sisi dan 3 Km2 disisi lainnya.

Sungai yang terkait pada daerah tersebut : Sungai Irigasi, Sungai Belingir, Sungai Santren, Sungai WakaMetodologi yang dikembangkan/digunakan dalam membangun model RTRW Pesisir secara garis besar terdiri atas dua konsep utama, yaitu :mendefinisikan model konsepsual dan membangun model operasional .Model konsepsual adalah suatu model yang menunjukkan alur pikirbagaimana suatu rencana akan dilaksanakan dengan semua aspek-aspek yang terkait. Sedangkan model operasional adalah pelaksanaan model konsepsual di lapangan, lengkap dengan data dan perangkat lunak yang digunakan.Sebagaimana telah dijelaskan pada maksud dan tujuan, dalam rangka membangun model operasional, penulis memanfaatkan kemajuan ilmu danteknologi. Ilmu dan teknologi yang dimaksud di sini adalah Sistem Informasi Geografik (SIG) sebagai tool dalam melakukan simulasi/analisis keruangandan pengambilan keputusan, serta pembuatan scenario-scenario. Untuk data-data keruangan (peta-peta tematik), antara lain akan diekstrak dari citra satelit (Inderaja).

Untuk Kelurahan Mangunharjo telah dapat dilihat terjadi ketidak sesuaian dengan rencana tataruang yang sudah direncanakan dengan kenyataan yang ada (survey lapangan), ketidak sesuaian terjadi didaerah sekitar muara menuju laut, menurut rencana tataruang pesisir daerah tersebut adalah daerah kawasan konservasi, Akan tetapi sebagian daerah tersebut mengalami perubahan yaitu menjadi kawasan tambak. Sekitar 3 H daerah kawasan tambak yang mengelilingi daerah kawasan konservasi. Tambak tambak tersebut dimiliki oleh masyarakat untuk menjalankan system ekonomi daerah tersebut. Akibat pembuatan tambak yang banyak tanpa memperhatikan RTRW pesisir akibatnya daerah tersebut sering mengalami banjir Rob, karena naiknya permukaan laut ke perumahan penduduk, sehingga dibuatlah sea wall agar menahan naiknya permukaan laut jika nantinya terjadi pasang di laut. Akibat adanya tambak juga kawasan mangrove yang ada disana kurang memenuhi untuk menahan adanya gelombang laut yang datang dan menyebabkan banjir. Menurut data kelurahan sudah sesuai dengan tataruang, tetapi berbeda setelah diolah data menggunakan data pencitraan. Terjadi banyaknya ketidak sesuaian antara data kelurahan dan kenyataannya.

Kesimpulan

1. Daerah Mangunharjo kecamatan tugu semarang memiliki wilayah yang masih berdampak banjir Rob.

2. Data yang didapatkan pada data lab dan data lapangan berbeda jauh, karena pada lapangan kelurahan menyebutkan tidak ada masalah dengan RTRW pesisir akan tetapi dari data lab daerah tambak yang dibuat oleh penduduk merupakan daerah konservasi.

3. Model RTRW Pesisir yang simpel, mudah dipahami, dapatdilaksanakan, dapat memberi arahan yang jelas dalam penggunaandan pemanfaatan ruang, serta mudah dalam updating datanya.

4. Model RTRW Pesisir yang dinamis, berkelanjutan, berwawasanlingkungan, dan dapat diterima oleh semu stake holder

5. Model RTRW Pesisir yang dapat mewadahi dinamika pembangunanmasa kini dan menjangkau perkembangan masa depan dalam kurunwaktu perencanaan.

6. Model RTRW Pesisir yang menyeimbangkan antara aspek konservasikawasan lindung dan aspek pemanfaatan.

7. Model RTRW Pesisir yang dalam operasionalisasinya memberi ruanggerak yang luwes dalam rangka peningkatkan pendapatan masyarakatpesisir.

8. Model RTRW Pesisir yang mampu melakukan simulasi spasial dalambentuk scenario-scenario perkembangan keruangan kini dan masadepan dan scenario-scenario perubahan lingkungan pesisir atasperubahan yang terjadi atau yang akan dilakukan. Scenario-scenariotersebut harus dilihat pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomimasyarakat, khususnya masyarakat pesisir.

1