KTI Beserta Abstrak Samuel Terbaru 2
-
Upload
drangga-fajri -
Category
Documents
-
view
93 -
download
5
description
Transcript of KTI Beserta Abstrak Samuel Terbaru 2
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan kerja kedepan merupakan program kesehatan yang tidak bisa
dianggap program kesehatan sampingan atau tidak penting. Kalau kita runut
pentingnya kesehatan kerja sangat mudah, seorang kepala rumah tangga yaitu
figure Bapak atau Ibu yang bekerja tentunya merupakan kekuatan utama ekonomi
sebuah keluarga. Apabila Bapak atau Ibu yang bekerja tersebut jatuh sakit maka
bisa dipastikan penghasilan keluarganya juga akan berkurang, sehingga status
ekonomi keluarga juga akan menurun. Apabila masyarakat pekerja sehat dan
produktif akan berdampak pada produktifitas suatu perusahaaan atau masyarakat
dan akhirnya berujung pada produktifitas bangsa dan negara.
Dari data Biro Pusat Statistik tahun 2005, tercatat jumlah penduduk usia
kerja (15 – 54 tahun) berjumlah 22.214.459 jiwa atau 10,2 % dari jumlah
penduduk. Dengan rincian tempat bekerja pada sektor perdagangan (26,1 %),
sektor industri (18,5 %), jasa (17 %), angkutan (13,3 %), pertanian (11 %),
bangunan (9,7 %) sektor listrik, minyak dan gas (0,5 %). Dengan demikian
sasaran Kesehatan kerja sangat banyak dan harus ditangani secara serius.
Persentasi 10,2 % penduduk usia kerja tersebut sangat menentukan kondisi tingkat
sosial ekonomi keluarganya, masyarakat bangsa dan negara.
Faktanya, risiko kerja menempati urutan kesepuluh penyebab terjadinya
penyakit dan kematian. Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5
(lima) benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa penyakit kulit pada urutan
keempat penyakit akibat kerja yang paling sering, yakni sekitar 10 % (Direktorat
Bina Kesehatan Kerja, 2008).
Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan urtikaria.
Dermatitis kontak merupakan 50 % dari semua PAK (penyakit akibat kerja),
terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Insidensi Dermatitis Kontak Sangat
2
tinggi. Kejadian dermatitis kontak diperkirakan mencapai hampir 90 % dari
semua penyakit kulit akibat kerja (Harvell, Lammintausta, dan Maibach, 1995).
Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang
merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan
oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis. Bahan penyebab dermatitis kontak alergik pada umumnya adalah bahan
kimia yang terkandung dalam alat-alat yang dikenakan oleh penderita, yang
berhubungan dengan pekerjaan/hobi, atau oleh bahan yang berada di sekitarnya.
Disamping bahan penyebab tersebut, ada faktor penunjang yang mempermudah
timbulnya dermatitis kontak tersebut yaitu suhu udara, kelembaban, gesekan, dan
oklusi (Kurniawidjaja, L.M., Lestari, M., Nuraga, W., 2008). Termasuk di
dalamnya bahwa penyebab munculnya dermatitis kontak iritan ialah bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali,
dan serbuk kayu.
Pekerja bengkel termasuk pekerjaan yang di dalamnya memiliki risiko
terpaparnya minyak pelumas dan zat-zat kimia lainnya yang dapat menimbulkan
iritasi pada tangan pekerja itu (Djuanda, 2009). Di Indonesia, tidak sulit mencari
bengkel-bengkel kendaraan bermotor apalagi di kota besar seperti Medan. Apabila
kita amati maka di sepanjang jalan besar akan tampak bengkel-bengkel kendaraan
bermotor baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pengetahuan mereka
tentang dermatitis kontak dapat mempengaruhi sikap dan tindakan mereka
terhadap masalah kulit yang sering terjadi di antara pekerja bengkel ini. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian bagaimana pengetahuan, sikap dan tindakan
para pekerja bengkel terhadap dermatitis kontak akibat kerja.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini diarahkan
untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana pengetahuan, sikap, dan tindakan,
pekerja bengkel terhadap dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan
baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011?”
3
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja bengkel terhadap dermatitis kontak
akibat kerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal dan
Kecamatan Medan Helvetia, Medan tahun 2011.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pekerja bengkel terhadap
dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia, Medan tahun 2011.
2. Untuk mengetahui sikap pekerja bengkel terhadap dermatitis kontak
akibat kerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal,
dan Kecamatan Medan Helvetia, Medan tahun 2011.
3. Untuk mengetahui tindakan pekerja bengkel terhadap dermatitis
kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan
Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia, Medan tahun 2011.
4. Untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja bengkel
terhadap dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru,
Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia, dan Medan
Sunggal, Medan tahun 2011 berdasarkan karakteristik usia dan
pendidikan.
1.4. Manfaat penelitian
1. Meningkatkan pengetahuan para pekerja bengkel tentang penyakit
dermatitis kontak akibat kerja.
4
2. Memotivasi para pekerja bengkel untuk mencegah terjadinya
dermatitis kontak akibat kerja.
3. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang perilaku para
pekerja bengkel terhadap kejadian dermatitis kontak akibat kerja
sekaligus mengimplementasikan pelajaran metodologi penelitian
dalam penelitian yang sebenarnya.
4. Sebagai bahan acuan atau pertimbangan bagi penelitian-penelitian
lebih lanjut mengenai perilaku pekerja bengkel terhadap dermatitis
kontak akibat kerja.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan, sementara perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan
atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat
luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya. Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). OIeh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau “Stimulus Organisme
Respons”. Skiner membedakan adanya dua respons:
1. Responden respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini
disebut eliciting stimulation. Oleh karena menimbulkan respon-respon yang relatif
tetap. Misalnya: Makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan,
cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.
Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
(respons terhadap uraian tugasnya) kemudian memperoleh penghargaan dari
atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi
dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2007).
6
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua:
1.Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain misalnya: Seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang
pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain
misalnya: seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke
puskesmas untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau
faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan, faktor-faktor yang membedakan
respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan
perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: Tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2007).
7
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau
kawasan yakni: a. kognitif (cognitive), b. afektif (affective), c. psikomotor
(psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:
2.1.1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Notoatmodjo (2007) dalam
bukunya “Promosi Kesehatan dan Ilmu perilaku” mengemukakan bahwa
pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah (Notoatmodjo, 2007).
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar (Notoatmodjo, 2007).
3. Aplikasi (application)
8
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Notoatmodjo,
2007).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain (Notoatmodjo, 2007).
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain synthesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada (Notoatmodjo, 2007).
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap ini tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok:
9
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek) (Notoatmodjo, 2007).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap (Notoatmodjo, 2007).
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga (Notoatmodjo, 2007).
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).
2.1.3. Praktik atau Tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas (Notoatmodjo, 2007).
10
Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan:
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu
dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya (Notoatmodjo,
2007).
2. Respons terpimpin (Guided Respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. Misalnya, seorang
ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari mencuci dan memotong-
motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya (Notoatmodjo,
2007).
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah mengimunisasikan bayinya
pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain
(Notoatmodjo, 2007).
4. Adopsi (adoption)
Suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya
tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut (Notoatmodjo, 2007).
2.1.4. Perubahan Perilaku
Menurut WHO, perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
11
1. Perubahan Alamiah (Natural Change)
Sebagian perubahan perilaku manusia disebabkan karena kejadian
alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota
masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan (Notoatmodjo,
2007).
2. Perubahan terencana (Planned Change)
Perubahan perilaku terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh
subjek (Notoatmodjo, 2007).
3. Kesediaan untuk berubah (Readdiness to change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di
dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang lagi
sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini
disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang
berbeda-beda (Notoatmodjo, 2007).
4. Strategi Perubahan Perilaku
WHO mengelompokkan menjadi tiga:
1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan
Perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga
ia mau berperilaku seperti dengan yang diharapkan (Notoatmodjo,
2007).
2. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai
hidup sehat, cara pemiliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit,
dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal
tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan
12
menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu
(Notoatmodjo, 2007).
3. Diskusi partisipasi
Masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif
berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang
diterimanya (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit (Djuanda dan Sularsito, 2009).
Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda
dan Sularsito, 2009).
2.2.1. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
2.2.1.1. Defenisi
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit
nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi (Djuanda dan Sularsito, 2009).
2.2
.1.2. Epidemiologi
Jumlah kejadian dermatitis kontak iritan (DKI) melebihi 80% dari semua
kasus dermatitis kontak (Hunter, 2002). Pada orang dewasa, DKI sering terjadi
pada telapak tangan dan punggung tangan karena sering berkaitan dengan
13
pekerjaan. DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras
dan jenis kelamin. Namun, DKI dua kali lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan, bukan faktor genetik.
Pekerjaan dengan risiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong,
pekerja industri, mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services), tukang
masak, penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam, penanam bunga, dan
pekerja bangunan (Hogan, 2009).
2.2.1.3. Etiologi
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau
berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan
(Sularsito dan Djuanda, 2009).
Sebuah iritan primer ialah agen yang mengakibatkan terjadinya respon
inflamasi kulit oleh paparan langsung pada kulit seseorang dengan konsentrasi
dan durasi terpapar yang cukup. Iritan primer dibagi dalam dua jenis, yaitu iritan
absolut dan iritan relatif. Iritan absolut ialah zat yang merusak, korosif yang
melukai kulit seseorang segera setelah paparan pertama, contohnya asam dan basa
kuat. Iritan relatif ialah zat yang membutuhkan paparan berulang dan lama dengan
kulit untuk dapat menimbulkan respon inflamasi, contohnya sabun dan detergen
(Adams, 1969).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan
ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia
(anak di bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam
14
lebih tahan daripada kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak
daripada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Sularsito
dan Djuanda, 2009).
Tabel 2.1. Iritan yang sering menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan
Iritan yang sering menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan
Asam kuat (Hidroklorida, Hidroflorida, Asam nitrat, Asam Sulfat)
Basa Kuat (Kalsium Hidroksida, Natrium Hidroksida, Kalium Hidroksida)
Detergen, Epoksi, Etilen oksida, Fiberglass, Minyak(Lubrikan), Pelarut-pelarut
organik, Agen Oksidator, Plasticizer, Serpihan Kayu
Keefner, K.P. 2004
2.2.1.4. Patogenesis
Sularsito dan Djuanda, 2009 menjelaskan bahwa kelainan kulit akibat
kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis.
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan
(toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit, tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen
inti sehingga menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak
di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah
akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel
dibawahnya oleh iritan.
15
2.2.1.5. Klasifikasi
Dermatitis kontak iritan diklasifikasikan atas dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis kontak iritan kronik/kumulatif (Siregar dan Roesyanto, 1990).
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Dermatitis kontak iritan akut terjadi setelah satu atau beberapa kali yang
olesan dengan bahan-bahan iritan yang kuat (absolut), sehingga menyebabkan
kerusakan epidermis yang berakibatkan peradangan. Biasanya oleh karena
kecelakaan (tidak disengaja) pada waktu bekerja.
2. Dermatitis Kontak Iritan Kronik/kumulatif
Dermatitis ini terjadi karena kulit berkontak dengan bahan-bahan iritan
yang tidak terlalu kuat.
2.2.1.6. Manifestasi Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan.
Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.
Selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor individu
(misalnya, ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan
(misalnya, suhu dan kelembaban udara, oklusi) (Djuanda dan Sularsito, 2009).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang
mengklasifikasikan DKI menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat akut
(acute delayed Irritant Contact Dermatitis), reaksi iritan, kumulatif, traumateratif,
eksikasi ekzematik, pustular dan akneformis, noneritematosa dan subyektif. Ada
pula yang membaginya menjadi dua kategori yaitu kategori mayor terdiri atas
DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri
atas: DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI lambat akut, reaksi
iritasi, DKI eritematosa, dan DKI subyektif (Djuanda dan Sularsito, 2009).
1. DKI akut
16
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya
terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding
dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat
kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa
eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas,
dan pada umumnya asimetris (Djuanda dan Sularsito, 2009).
2. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8-
24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium
klorida, asam hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu
serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru
merasa pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah
menjadi vesikel atau bahkan nekrosis (Djuanda dan Sularsito, 2009).
3. DKI kumulatif.
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lain ialah DKI
kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin;
juga bahan, misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan juga air. DKI
kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu
bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru
mampu bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak
berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga
waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting (Djuanda dan Sularsito,
2009). Dapat dibagi atas dua stadium:
17
1. Stadium I: kulit kering, pecah-pecah dan absorbsi perkutaneus bertambah.
Stadium ini dapat sembuh dengan sendirinya.
2. Stadium II: adanya kerusakan epidermal dan reaksi dermal. Kulit menjadi
merah, bengkak, panas dan mudah terangsang. Kadang-kadang timbul papula,
vesikula berair, dan krusta. Bila kronik timbul likenifikasi tanda-tanda garutan
(Roesyanto-Mahadi, 2000). Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi untuk DKI
kumulatif yaitu: tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak,
tukang kebun, penata rambut (Djuanda dan Sularsito, 2009).
4. Reaksi Iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang
terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam
dalam beberapa bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri,
menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat berlanjut menjadi
DKI kumulatif (Djuanda dan Sularsito, 2009).
5. DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu,
paling sering terjadi di tangan (Djuanda dan Sularsito, 2009).
6. DKI Noneritematosa
Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi sawar
stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis (Djuanda dan Sularsito, 2009).
7. DKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita
merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan
bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat (Djuanda dan Sularsito, 2009).
18
2.2.1.7. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran
klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergik. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Sularsito
dan Djuanda, 2009).
1. Riwayat Penyakit
Gejala subjektif primer biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Riwayat paparan yang cukup terhadap iritan kulit.
Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam pada DKI
akut. Onset dan gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif.
Nyeri, rasa terbakar, rasa perih, dan tidak nyaman melebihi rasa gatal pada
fase awal.
Kriteria subyektif yang kurang penting pada DKI, yaitu onset dermatitis
terjadi dalam 2 minggu paparan dan adanya keluhan yang sama pada rekan kerja
atau anggota keluarga lainnya. DKI okupasional biasanya terjadi pada karyawan
baru atau mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya dari iritan.
2. Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi makula
eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol, kulit epidermis seperti terbakar,
proses penyembuhan dimulai segera setelah menghindari paparan bahan iritan
serta tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin. Kriteria
obyektif minor meliputi batas tegas pada dermatitis, bukti pengaruh gravitasi
seperti efek menetes, kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding
19
DKA, perbedaan kecil dalam waktu paparan dan konsentrasi menghasilkan
perbedaan yang besar dalam kerusakan kulit (Hogan, 2009).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri bisa dilakukan apabila ada komplikasi infeksi
sekunder bakteri.
Pemeriksaan KOH bisa dilakukan dan sampel mikologi bisa diambil untuk
menyingkirkan infeksi tinea superfisial atau kandida, bergantung pada
tempat dan bentuk lesi.
Uji tempel dilakukan untuk mendiagnosis DKA, tetapi bukan untuk
membuktikan adanya iritan penyebab munculnya DKI.
Peningkatan IgE adakalanya berguna untuk memperkuat diatesis atopik
pada seseorang yang tidak mempunyai riwayat atopik pada keluarga
(Hogan, 2009).
2.2.1.8. Penatalaksanaan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanis, fisis maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan
sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk
memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan
dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk
kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja
dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan (Sularsito dan Djuanda,
2009). Dapat juga diberikan kortikosteroid sistemik untuk indikasi parah
(misalnya: pasien tidak bisa melakukan bekerja sehari-hari, atau tidak bisa tidur
20
karena lesi eksudatif. Prednison dimulai sebanyak 70 mg (dewasa) kemudian
berangsur 5-10 mg/hari setelah periode 1-2 minggu (Fitzpatrick, 2001).
2.2.1.9. Komplikasi
DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal. Lesi kulit bisa
mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilococcus aureus.
Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutama pada
pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik.
Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pos inflamasi pada area terkena DKI
(Hogan, 2009).
2.2.1.10. Prognosis
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan
dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi
pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi
(Sularsito dan Djuanda, 2009).
2.2.2. Dermatitis Kontak Alergik
2.2.2.1. Defenisi
Dermatitis kontak alergik (DKA) merupakan peradangan kulit akibat
reaksi hipersensitivitas tipe IV yang mengikuti paparan zat-zat topikal pada
individu yang tersensitisasi (Sterry, Paus, dan Burgdorf, 2006).
21
2.2.2.2. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit,
karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlahnya produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai
oleh masyarakat. Dari suatu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat
kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat kerja (Sularsito dan Djuanda,
2009).
DKA terjadi paling sering pada wanita dibandingkan pria. Hal ini dominan
disebabkan karena alergi pada nikel yang lebih banyak terjadi pada wanita
daripada pria di hampir semua negara (Hogan, 2009).
2.2.2.3. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 Dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu, dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari). Bahan-bahan yang sering menyebabkan DKA adalah nikel, colophony,
bahan-bahan aditif karet, kromat, cat rambut, dan obat-obat topikal baik sebagai
bahan aktif utama maupun sebagai bahan dasar (Graham-Brown dan Burns,
2005).
22
2.2.2.4. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons
imun yang diperantarai sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui
dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah
mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.
2.2.2.5. Manifestasi Klinis
1. Fase akut: merah edema, papula, vesikula, berair, krusta, gatal
2. Fase kronik: kulit tebal/likenifikasi, kulit pecah-pecah, skuama, kulit kering
dan hiperpigmentasi (Roesyanto-Mahadi, 2000).
2.2.2.6. Diagnosis
1. Riwayat Penyakit
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran numular di
sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi dengan papul dan erosi,
maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga
meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun
keluarganya (Sularsito dan Djuanda, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
23
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan DKA. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas,
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura,
batasnya tidak tegas.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Perlu dilakukan preparat potasium hidroksida dan/atau kultur jamur untuk
menyingkirkan tinea. Tes tempel perlu dilakukan untuk mengidentifikasi bahan
kimia eksternal yang bersifat alergik bagi pasien. Tes aplikasi terbuka berulang,
tes Dimethylgloxime, ataupun biopsi kulit juga dapat dilakukan (Hogan, 2009).
2.2.2.7. Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka
pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan
eritema, edema, vesikel, atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednison
30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari.
Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau
larutan air salisil 1:1000. Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda
(setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan
kortikosteroid atau makrolaktam (pimekrolimus atau takrolimus) secara topikal
(Sularsito dan Djuanda, 2009).
24
2.2.2.8. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis,
atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan
penderita (Sularsito dan Djuanda, 2009).
2.3. Dermatitis Kontak Akibat kerja pada Pekerja Bengkel
Sularsito dan Djuanda (2009) menjelaskan bahwa penyebab munculnya
dermatitis kontak iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam,
alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi
oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus-
menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel,
demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
ikut berperan, dan di dalam pekerjaan sebagai pekerja bengkel, pekerja terpapar
dengan minyak pelumas, asam, alkali, ditambah dengan kekerapan kontak dengan
panas ataupun mungkin gesekan dapat menjadi faktor penyebab terkenanya
pekerja bengkel terhadap dermatitis kontak iritan.
Juga dikatakan bahwa pada dermatitis kontak iritan kumulatif, dermatitis
ini dapat disebabkan oleh kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis,
misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga
bahan, misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan juga air). DKI kumulatif
dapat terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara
sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila
bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan
25
rentetan kontak merupakan faktor penting dan hal ini pasti ditemukan pada
pekerja bengkel yang kerap sekali terpapar dengan bahan-bahan kimia dan faktor-
faktor seperti panas, gesekan yang nantinya dapat mengakibatkan dermatitis
kontak iritan.
Cycloaliphatic epoxy resin, 1,2cyclohexanedicarboxylic acid, bis
(oxiranylmethyl) ester, ditambah ke minyak sebagai penstabil (Informasi diambil
dari the European Agency for Safety and Health at Work http://a gency.osha.eu.)
ini adalah contoh-contoh bahan-bahan iritan pada pekerja bengkel yang dapat
mengakibatkan dermatitis kontak iritan pekerja bengkel tersebut (Occupational
Disease Working Group, 2006).
Pengetahuan pekerja bengkel
Sikap pekerja bengkel
Tindakan pekerja bengkel
Dermatitis kontak akibat kerja
26
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka konsep
Gambar 3.1. Kerangka konsep Penelitian Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Pekerja Bengkel Terhadap Dermatitis Kontak Akibat Kerja di Kecamatan Medan
Baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2011.
3.2. Defenisi Operasional
Variabel pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja
bengkel terhadap dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru,
Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia, Medan tahun 2011.
27
Tabel 3.1. Variabel dan Defenisi Operasional
No Variabel Defenisi
Operasional
Alat
Ukur
Cara
ukur
Hasil
ukur
Skala
ukur
1 Pengetahu
an
Segala
sesuatu yang
diketahui
responden
mengenai
Dermatitis
Kontak
Akibat Kerja
Kuesioner Wawancar
a
1.Baik
2.Sedang
3.Kurang
Ordinal
2 Sikap Tanggapan
atau reaksi
responden
mengenai
Dermatitis
Kontak
Akibat Kerja
Kuesioner Wawancar
a
1.Baik
2.Sedang
3.Kurang
Ordinal
3 Tindakan Segala
sesuatu yang
telah
dilakukan
responden
sehubungan
dengan
pengetahuan
dan sikap
tentang
Dermatitis
kuesioner Wawancar
a
1.Baik
2.Sedang
3.Kurang
Ordinal
28
Kontak
Akibat Kerja
3.2.1. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan responden diukur melalui 7 buah pertanyaan dengan
masing-masing diberi tiga pilihan jawaban. Masing-masing diberi nilai 1 jika
jawaban benar, diberi nilai 0 jika jawaban salah sehingga skor total yang tertinggi
adalah 7.
Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden, maka tingkat pekerja
bengkel dapat dibagi dalam tiga kategori (Pratomo dan Sudarti, 1986), yaitu:
1. Tingkat pengetahuan baik, apabila responden memperoleh nilai 6-7 atau
melebihi 75% dari total nilai.
2. Tingkat pengetahuan sedang, apabila responden memperoleh nilai 3-5 atau
40%-75% dari total nilai.
3. Tingkat pengetahuan kurang, apabila responden memperoleh nilai 0-2 atau
kurang dari total nilai.
3.2.2. Sikap
Jumlah pertanyaan untuk mengukur sikap ada 4. Jawaban yang benar diberi
nilai 1 dan diberi nilai 0 jika jawaban salah sehingga skor tertinggi yang dapat
dicapai responden adalah 4.
Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden, maka sikap responden
dapat dikategorikan menjadi tiga (Pratomo dan Sudarti, 1986), yaitu:
1. Nilai baik, apabila responden memperoleh nilai 4 atau melebihi 75% dari
total nilai.
29
2. Nilai sedang, apabila responden memperoleh nilai 2-3 atau 40%-75% dari
total nilai.
3. Nilai kurang, apabila responden memperoleh nilai 0-1 atau kurang dari
40% total nilai.
3.2.3. Tindakan
Jumlah pertanyaan untuk mengukur tindakan ada 6. Jawaban yang benar
diberi nilai 1 dan diberi nilai 0 jika jawaban salah sehingga skor tertinggi yang
dapat dicapai responden adalah 6.
Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh responden tentang tindakan
responden dikategorikan menjadi tiga (Pratomo dan Sudarti, 1986), yaitu:
1. Nilai baik, apabila responden memperoleh nilai 5-6 atau melebihi 75% dari
total nilai.
2. Nilai sedang, apabila responden memperoleh nilai 3-4 atau 40%-75% dari
total nilai.
3. Nilai kurang, apabila responden memperoleh nilai 0-2 atau kurang dari
40% total nilai.
3.2.4. Pekerja bengkel
Pekerja bengkel adalah orang yang bermatapencaharian/mencari nafkah
dengan bekerja memperbaiki kendaraan bermotor yang sedang mengalami
kerusakan pada suatu tempat yang disebut bengkel kendaraan bermotor.
3.2.5. Dermatitis Kontak Akibat Kerja
Dermatitis kontak akibat kerja adalah suatu respon inflamasi dari kulit yang
dapat berupa eritema, edema, panas, dan nyeri yang terjadi akibat paparan
langsung para pekerja terhadap bahan alergen atau iritan yang didapatkan saat
bekerja.
30
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei yang bersifat deskriptif untuk
mendeskripsikan bagaimana pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja bengkel
terhadap dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia pada tahun 2011. Pendekatan
yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional dimana
observasi (pengumpulan data) dilakukan pada satu saat tertentu.
4.2. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat bengkel yang berada di
Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan
Helvetia, Medan, Sumatera Utara, mulai bulan Juli sampai dengan September
2011. Adapun alasan pemilihan tempat penelitian adalah karena di tempat ini
banyak sekali bengkel-bengkel kendaraan bermotor dimana seperti yang kita
ketahui kawasan ini adalah kawasan jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan
yang berjalan di sepanjang jalan. Selain itu belum pernah dilakukan penelitian
tentang pengetahuan, sikap dan tindakan pekerja bengkel terhadap dermatitis
kontak akibat kerja sebelumnya.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua pekerja bengkel yang terdapat di
Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia,
Sumatera Utara.
31
4.3.2. Sampel
Menurut Sastroasmoro dan Ismael (2010), besar sampel tunggal untuk
estimasi proporsi suatu populasi dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
dimana n = besar sampel minimum
Zα = nilai distribusi normal baku (table Z) pada α tertentu
P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki/kesalahan (absolut) yang
dapat ditolerir
Q = (1-P)
Karena P x Q mempunyai nilai paling tinggi bila P=0,5, bila proporsi
sebelumnya tidak diketahui, maka dipergunakan P=0,5.
Bila Zα = 1,96 P=0,5 Q=0,5 d=0,1
n =
1, 962 x0,5 x 0,50,12
=97
Dengan menggunakan rumus di atas diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang.
Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah Consecutive sampling.
Semua subyek yang didatangi dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan
dalam penelitian sampai jumlah subyek yang dibutuhkan terpenuhi. Consecutive
sampling ini merupakan jenis nonprobability sampling yang paling baik dan
sering merupakan cara termudah (Sastroasmoro dan Ismael, 2010).
Adapun kriteria inklusi yang digunakan adalah:
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
32
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang terpapar langsung
dengan bahan-bahan iritan atau alergi di bengkel.
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang pernah mendengar atau
mengalami dermatitis kontak.
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang bisa membaca dan
menulis.
Kriteria eksklusi sampel adalah:
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang tidak bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang tidak terpapar langsung
dengan bahan-bahan iritan atau alergi di bengkel.
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang tidak pernah
mendengar atau mengalami dermatitis kontak.
Pekerja bengkel yang bekerja di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia yang tidak bisa membaca
dan menulis.
Semua pekerja bengkel yang termasuk dalam kriteria inklusi tetapi tidak
mengisi kuesioner dengan lengkap.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner terlebih dahulu akan diuji
validitas dan reliabilitasnya dengan aplikasi program Statistical Product Solution
Service (SPSS). Validitas menunjukkan sejauh mana ukuran yang diperoleh
33
benar-benar menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Sedangkan
reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2009).
Uji validitas yang digunakan adalah dengan teknik moment product
correlation/pearson correlation sedangkan uji reliabilitasnya dengan
menggunakan Alpha Cronbach.
Tabel 4.1. Laporan Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Variabel Nomor Total Pearson Status Alpha Status
Pertanyaan Correlation
Pengetahuan 1 0,521 Valid 0,759 Reliabel
2 0,521 Valid Reliabel
3 0,458 Valid Reliabel
4 0,574 Valid Reliabel
5 0,473 Valid Reliabel
6 0,687 Valid Reliabel
7 0,687 Valid Reliabel
Sikap 1 0,712 Valid 0,695 Reliabel
2 0,712 Valid Reliabel
3 0,613 Valid Reliabel
4 0,446 Valid Reliabel
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama editing
yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta
memastikan bahwa semua jawaban telah diisi petunjuk, tahap kedua coding yaitu
memberi kode angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu
mengadakan tabulasi dan analisis, tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari
kuesioner ke dalam program computer dengan menggunakan program SPSS versi
17.0 tahap ke empat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data
34
yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak (Wahyuni, 2008).
Untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja bengkel
terhadap dermatitis kontak akibat kerja di Kecamatan Medan Baru, Medan,
Sumatera Utara tahun 2011 dilakukan perhitungan frekuensi dan persentase. Hasil
penelitian ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.
35
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian mencakup tiga kecamatan di Kota Medan, yaitu:
Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan
Helvetia. Pada Kecamatan Medan Baru pengambilan data di tempat-tempat
bengkel kendaraan bermotor di sepanjang jalan Jamin Ginting, Kelurahan Padang
Bulan, pada Kecamatan Medan Sunggal pengambilan data di sepanjang jalan
Setia Budi, Kelurahan Tanjung Rejo, sementara pada Kecamatan Medan Helvetia,
pengambilan data ada di dua kelurahan yaitu: di sepanjang jalan Kapten Muslim,
Kelurahan Helvetia Timur, dan jalan Gaperta, Kelurahan Helvetia Tengah.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
5.1.2.1 Deskripsi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi (n) Persentase (%)
<20 tahun 17 17,5
20-29 tahun 57 58,8
30-39 tahun 23 23,7
Total 97 100
Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa mayoritas responden berusia 20-29
tahun yaitu 57 orang (58,8 %), sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok
usia <20 tahun yaitu sebanyak 17 orang (17,5 %). Responden paling muda berusia
16 tahun, sedangkan responden paling tua berusia 38 tahun.
36
5.1.2.1 Deskripsi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
Sarjana 3 3,1
SMA/sederajat 72 74,2
SMP/sederajat 17 17,5
SD/sederajat 5 5,2
Total 97 100
Dari tabel 5.2. dapat diketahui bahwa responden penelitian mayoritas
mempunyai pendidikan terakhir di jenjang SMA yaitu 72 orang (74,2 %),
sedangkan yang paling sedikit adalah jenjang pendidikan sarjana yaitu 3 orang
(3,1 %).
37
5.1.3. Deskripsi Pengetahuan Responden terhadap Dermatitis Kontak Akibat
Kerja
Tabel 5.3. Distribusi Pengetahuan Responden untuk Tiap pertanyaan Pengetahuan
mengenai Dermatitis Kontak Akibat Kerja
No Pertanyaan Pengetahuan Benar Salah
N (%) N (%)
1. Mengetahui bahwa pekerja bengkel berisiko
terhadap terkenanya dermatitis kontak.
2. Mengetahui bahwa tangan adalah salah satu
bagian tubuh yang biasa menjadi tempat
terjadinya dermatitis kontak.
3. Mengetahui dermatitis kontak dapat dicegah
dengan memakai krim pelindung kulit dan
penggunaan sarung tangan.
4. Mengetahui dermatitis kontak dapat disebab-
kan bahan-bahan kimiawi yang terkandung di
dalam minyak pelumas
5. Mengetahui dermatitis kontak akibat kerja
dipengaruhi ras (warna kulit pekerja bengkel).
6. Mengetahui bahwa dermatitis kontak akibat
kerja dipengaruhi oleh suhu peralatan dan
lingkungan bengkel
7. Mengetahui dermatitis kontak akibat kerja
dapat dipengaruhi kelembaban peralatan dan
lingkungan bengkel.
74
8
4
5
8
52
3
7
5
8
59
76,3
86,
6
59,
8
53,6
38,
1
59,
8
60,8
23
1
3
39
45
6
0
3
9
38
23,7
13,
4
4
0,2
46,4
61,
9
40,
2
39,2
38
Dari tabel 5.3. di atas, terlihat bahwa mayoritas responden mengetahui
bahwa tangan adalah salah satu bagian tubuh yang biasa menjadi tempat
terjadinya dermatitis kontak yaitu dengan persentase 86,6 %, namun mayoritas
responden belum mengetahui dermatitis kontak akibat kerja dipengaruhi ras
(warna kulit pekerja bengkel) yaitu 61,9 %.
Tabel 5.4. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden terhadap Dermatitis
Kontak Akibat Kerja
Kategori Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 31 32
Sedang 48 49,5
Kurang 18 18,6
Total 97 100
Berdasarkan tabel 5.4 di atas, terlihat bahwa mayoritas responden yakni
sebanyak 48 orang (49,5 %) memiliki tingkat pengetahuan yang sedang. Ada
sebanyak 31 orang (32 %) yang sudah memiliki tingkat pengetahuan baik, dan
hanya ada 18 orang (18,6 %) yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang.
39
5.1.4. Deskripsi Sikap Responden terhadap Dermatitis Kontak Akibat Kerja
Tabel 5.5. Distribusi Sikap Responden untuk Tiap Pertanyaan Sikap terhadap
Dermatitis Kontak Akibat Kerja
No Pernyataan Sikap Sikap Responden
Setuju Tidak setuju
n (%) n (%)
1. Menderita dermatitis kontak menyebabkan
ketidaknyamanan kerja pekerja bengkel
2. Menderita dermatitis kontak menyebabkan
menurunnya produktivitas kerja pekerja bengkel
3. Dermatitis kontak adalah penyakit yang harus
mendapat perhatian dari para pekerja bengkel
4. Penyakit dermatitis kontak sebaiknya diketahui
oleh semua pekerja bengkel.
78 80,4 19 19,6
63 64,9 34 35,1
76 78,4 21 21,6
86 88,7 11 11,3
Dari tabel 5.5 mayoritas responden setuju bahwa penyakit dermatitis
kontak sebaiknya diketahui oleh semua pekerja bengkel, yaitu dengan persentase
88,7 %, namun mayoritas responden tidak setuju bahwa menderita dermatitis
kontak menyebabkan menurunnya produktivitas kerja pekerja bengkel, dengan
persentase 35,1 %.
40
Tabel 5.6. Distribusi Kategori Sikap Responden terhadap Dermatitis Kontak
Akibat Kerja
Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 47 48,5
Sedang 43 44,3
Kurang 7 7,2
Total 97 100
Berdasarkan tabel 5.6 di atas, dapat disimpulkan mayoritas responden yaitu
sebanyak 47 responden (48,5 %) memiliki sikap yang baik terhadap dermatitis
kontak akibat kerja. Ada sebanyak 43 responden (44,3 %) memiliki kategori sikap
yang sedang dan hanya ada 7 responden (7,2 %) yang masih memiliki sikap yang
kurang.
41
5.1.5. Deskripsi Tindakan Responden terhadap Dermatitis Kontak Akibat
Kerja
Tabel 5.7. Distribusi Tindakan Responden untuk Tiap pertanyaan Tindakan
terhadap Dermatitis Kontak Akibat Kerja
No Pertanyaan Tindakan Tindakan
Ya Tidak
n % n %
1. Mencari tahu tentang penyakit dermatitis
kontak akibat kerja
2. Segera pergi berobat ke dokter ketika
mengalami gejala-gejala dermatitis kontak
akibat kerja di bengkel kendaraan bermotor
3. Selalu mencuci tangan atau membersihkan
tangan setiap kali habis kerja
4. Memakai sarung tangan atau krim pelindung
kulit untuk mencegah terjadinya dermatitis
kontak
5. Akan menyuruh rekan sekerjanya di bengkel
berobat ke dokter jika mengalami dermatitis
kontak akibat kerja
6. Mengajak rekan sekerjanya untuk mencegah
terjadinya dermatitis kontak akibat kerja di
Bengkel
38
17
87
9
42
41
39,2
17,5
89,7
9,3
43,3
42,3
59
80
10
88
55
56
60,8
82,5
10,3
90,7
56,7
57,7
42
Dari tabel 5.7 mayoritas responden selalu mencuci tangan atau
membersihkan tangan setiap kali habis kerja, dengan persentase 89,7 %, namun
mayoritas responden tidak memakai sarung tangan atau krim pelindung kulit
untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak, dengan persentase 90,7 %.
Tabel 5.8. Distribusi Kategori Tindakan Responden terhadap Dermatitis Kontak
Akibat Kerja
Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 5 5,2
Sedang 37 38,1
Kurang 55 56,7
Total 97 100
Dari tabel 5.8 di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden yakni
sebanyak 55 orang (56,7 %) memiliki kategori tindakan yang kurang terhadap
dermatitis kontak akibat kerja. Ada sebanyak 37 orang (38,1 %) yang memiliki
kategori tindakan yang sedang terhadap dermatitis kontak akibat kerja dan hanya
5 orang yang memiliki kategori tindakan yang baik.
43
5.1.6. Deskripsi Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden terhadap
Dermatitis Kontak Akibat Kerja Berdasarkan Usia
Tabel 5.9. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden terhadap Dermatitis
Kontak berdasarkan usia
Usia Responden Kategori Pengetahuan Total
Baik Sedang Kurang
<20 tahun n 6 8 3 17
% 35,3 47,1 17,6 100
20-29 tahun n 18 29 10 57
% 31,6 50,9 17,5 100
30-39 tahun n 7 11 5 23
% 30,4 47,8 21,7 100
Total n 31 48 18 97
% 32,0 49,5 18,6 100
Dari tabel 5.9 di atas, dapat dilihat bahwa untuk kategori pengetahuan baik,
paling banyak pada kelompok usia <20 tahun, dengan persentase 35,3 %.
Sementara untuk kategori pengetahuan kurang paling banyak pada kelompok
umur 30-39 tahun dengan persentase 21,7 %.
44
Tabel 5.10. Distribusi Kategori Sikap Responden terhadap Dermatitis Kontak
berdasarkan usia
Usia Responden Kategori Sikap Total
Baik Sedang Kurang
<20 tahun n 13 4 0 17
% 76,5 23,5 0 100
20-29 tahun n 21 32 4 57
% 36,8 56,1 7,0 100
30-39 tahun n 13 7 3 23
% 56,5 30,4 13,0 100
Total n 47 43 7 97
% 48,5 44,3 7,2 100
Dari tabel 5.10 di atas, dapat dilihat bahwa kategori sikap baik paling banyak
pada kelompok usia <20 tahun, dengan persentase (76,5 %), sementara untuk
kategori sikap kurang paling banyak kelompok usia 30-39 tahun, dengan
persentase 13,0 %.
45
Tabel 5.11. Distribusi Kategori Tindakan Responden terhadap Dermatitis Kontak
berdasarkan usia
Usia Responden Kategori Tindakan Total
Baik Sedang Kurang
<20 tahun n 1 10 6 17
% 5,9 58,8 35,3 100
20-29 tahun N 3 19 35 57
% 5,3 33,3 61,4 100
30-39 tahun n 1 8 14 23
% 4,3 34,8 60,9 100
Total n 5 37 55 97
% 5,2 38,1 56,7 100
Dari Tabel 5.11 di atas, dapat dilihat bahwa kategori tindakan baik paling
banyak pada pada kelompok usia <20 tahun, dengan persentase 5,9 %. Sementara
untuk kategori tindakan kurang paling banyak pada kelompok usia 20-29 tahun,
dengan persentase 61,4 %.
46
5.1.7. Deskripsi Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden terhadap
Dermatitis Kontak Akibat Kerja Berdasarkan Pendidikan
Tabel 5.12. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden terhadap Dermatitis
Kontak berdasarkan Pendidikan
Usia Responden Kategori Pengetahuan Total
Baik Sedang Kurang
n 3 0 0 3
Sarjana % 100,0 0 0 100
N 24 35 13 72
SMA/sederajat % 33,3 48,6 18,1 100
n 4 10 3 17
SMP/ sederajat % 23,5 58,8 17,6 100
n 0 3 2 5
SD/ sederajat % 0 60 40 100 N 31 48 18 97
Total % 32,0 49,5 18,6 100
Dari tabel 5.12 di atas, dapat dilihat bahwa kategori pengetahuan baik
paling banyak pada kelompok jenjang pendidikan sarjana, dengan persentase
(100,0 %). Sementara untuk kategori pengetahuan kurang paling banyak pada
Pada kelompok jenjang pendidikan SD/sederajat, dengan persentase 40 %.
47
Tabel 5.13. Distribusi Kategori Sikap Responden terhadap Dermatitis Kontak
berdasarkan Pendidikan
Usia Responden Kategori Sikap Total
Baik Sedang Kurang
n 2 1 0 3
Sarjana % 66,7 33,3 0 100
n 35 33 4 72
SMA/sederajat % 48,6 45,8 5,6 100
n 8 6 3 17
SMP/ sederajat % 47,1 35,3 17,6 100
n 2 3 0 5
SD/ sederajat % 40 60 0 100 n 47 43 7 97
Total % 48,5 44,3 7,2 100
Dari tabel 5.13 di atas, dapat dilihat bahwa kategori sikap baik paling
banyak pada kelompok jenjang pendidikan sarjana, dengan persentase 66.7 %.
Sementara untuk kategori sikap kurang paling banyak pada kelompok
SMP/sederajat, dengan persentase 17,6 %.
48
Tabel 5.14. Distribusi Kategori Tindakan Responden terhadap Dermatitis Kontak
berdasarkan Pendidikan
Usia Responden Kategori Tindakan Total
Baik Sedang Kurang
n 0 0 3 3
Sarjana % 0 0 100 100
n 5 26 41 72
SMA/sederajat % 6,9 36,1 56,9 100
n 0 7 10 17
SMP/ sederajat % 0 41,2 48,8 100
n 0 4 1 5
SD/ sederajat % 0 80 20 100 n 5 37 55 97
Total % 5,2 38,1 56,7 100
Dari tabel 5.14 di atas, dapat dilihat bahwa kategori tindakan baik paling
banyak pada kelompok jenjang pendidikan SMA/sederajat, dengan persentase 6,9
%. Sementara untuk kategori tindakan kurang paling banyak pada kelompok
jenjang pendidikan sarjana, dengan persentase 100 %.
5.2. Pembahasan
49
5.2.1. Pengetahuan Responden
Dari 15 pertanyaan yang telah dirancang, dilakukan uji validitas untuk
mengukur variabel yang diinginkan oleh peneliti. Dari hasil uji validitas, didapati
7 pertanyaan yang valid. Kemudian dilakukan lagi uji reliabilitas terhadap 7
pertanyaan tersebut dan didapati ketujuhnya reliabel. Nilai maksimum yang bisa
diperoleh responden adalah 7.
Dari hasil penelitian, didapati mayoritas responden yakni 74 orang
(76,3%), mengetahui bahwa pekerja bengkel berisiko terhadap terkenanya
dermatitis kontak akibat kerja. Seperti yang dinyatakan oleh Sularsito dan
Djuanda (2009) bahwa pekerja bengkel berisiko tinggi terkena dermatitis kontak
iritan kumulatif.
Untuk pertanyaan bahwa tangan adalah salah satu bagian tubuh yang biasa
menjadi tempat terjadinya dermatitis kontak sebanyak 84 orang (86,6 %) sudah
mengetahuinya. Seperti yang dinyatakan oleh Hogan (2009) bahwa pada orang
dewasa, dermatitis kontak iritan sering terjadi pada telapak tangan dan punggung
tangan karena sering berkaitan dengan pekerjaan.
Untuk pertanyaan dermatitis kontak dapat dicegah dengan memakai krim
pelindung kulit dan penggunaan sarung tangan ada 58 orang (59,8 %) yang sudah
mengetahuinya. Hal ini mungkin dikarenakan banyaknya iklan produk-produk
kosmetik di media massa yang dapat dikonsumsi publik, dan betapa pentingnya
penggunaan sarung tangan untuk melindungi kulit tangan mereka.
Ada sebanyak 52 orang (53,6 %) mengetahui dermatitis kontak dapat
disebabkan bahan-bahan kimiawi yang terkandung di dalam minyak pelumas.
Seperti yang dinyatakan oleh Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa penyebab
munculnya dermatitis kontak iritan ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu.
Mengetahui bahwa dermatitis kontak akibat kerja dipengaruhi oleh suhu
peralatan dan lingkungan bengkel ada sebanyak 58 orang (59,8 %). Seperti yang
50
dinyatakan oleh Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa dermatitis kontak iritan juga
dipengaruhi oleh suhu peralatan dan lingkungan bengkel.
Ada sebanyak 59 orang (60,8 %) mengetahui dermatitis kontak akibat
kerja dapat dipengaruhi kelembaban peralatan dan lingkungan bengkel. Seperti
yang dinyatakan oleh Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa dermatitis kontak
iritan juga dipengaruhi oleh kelembaban peralatan dan lingkungan bengkel.
Namun ada sebanyak 60 orang (61,9 %) belum mengetahui dermatitis
kontak akibat kerja dipengaruhi ras (warna kulit pekerja bengkel). Seperti yang
dinyatakan oleh Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa faktor individu juga ikut
berpengaruh pada dermatitis kontak iritan termasuk di dalamnya ras dimana kulit
hitam lebih tahan daripada kulit putih. Peneliti berasumsi ketidaktahuan ini
mungkin disebabkan para pekerja bengkel tidak terlalu mempedulikan masalah
warna kulit pekerja.
Secara umum, mayoritas pekerja bengkel di kecamatan Medan Baru
memiliki kategori pengetahuan yang sedang tentang dermatitis kontak akibat
kerja. Seperti yang dinyatakan oleh Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa pekerja
bengkel berisiko terhadap terkenanya penyakit dermatitis akibat kerja, jadi
penyakit ini sudah cukup dikenal oleh para pekerja bengkel.
Dilihat dari distribusi kategori pengetahuan responden berdasarkan
pendidikan, responden yang memiliki pendidikan terakhir sarjana, yakni jenjang
pendidikan tertinggi, semuanya (100 %) memiliki kategori pengetahuan baik.
Tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya
adalah kemudahan untuk mendapatkan informasi tentang suatu hal baik dari
lingkungan keluarga, mitra kerja ataupun lingkungan tetangga, petugas kesehatan
maupun media massa, maka semakin banyak ia mendapat maka semakin banyak
ia mengetahuinya, juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman kerja mereka,
semakin besar dan lama pengalaman kerja mereka, maka semakin banyaklah yang
mereka dapat dan pelajari mengenai suatu hal. Pendidikan juga merupakan sarana
51
untuk mendapatkan informasi sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang,
semakin banyak pula informasi yang didapatkannya.
Usia tidak dapat menjadi tolak ukur untuk pengetahuan seseorang.
Seseorang yang berusia lebih tua belum tentu lebih mengetahui banyak hal
dibandingkan mereka yang berusia muda. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil
penelitian dimana persentase pengetahuan responden yang memiliki kategori
pengetahuan baik justru tertinggi pada kelompok usia yang paling muda yakni
pada kelompok umur <20 tahun dengan persentase tertinggi yaitu (35,3 %),
peneliti berasumsi bahwa pada usia yang lebih muda, mereka lebih banyak ingin
tahu dan peduli terhadap masalah kesehatan kulit mereka.
52
5.2.2. Sikap Responden
Dari 7 pertanyaan yang dibuat untuk mengukur sikap responden terhadap
dermatitis kontak akibat kerja di bengkel kendaraan bermotor, ada 4 pertanyaan
yang valid dan reliabel. Nilai maksimum yang dapat diperoleh responden adalah
4.
Dari penelitian, didapatkan sebanyak 78 responden (80,4 %) setuju bahwa
menderita dermatitis kontak menyebabkan ketidaknyamanan kerja pekerja
bengkel sedangkan 19 responden (19,6 %) menyatakan tidak setuju.
Ada 63 responden (64,9 %) menyatakan menderita dermatitis kontak
menyebabkan menurunnya produktifitas kerja pekerja bengkel sedangkan 34
responden (35,1 %) menyatakan tidak setuju, ini berhubungan dengan pernyataan
Hogan (2009) bahwa pada orang dewasa, dermatitis kontak iritan sering terjadi
pada telapak tangan dan punggung tangan karena sering berkaitan dengan
pekerjaan sehingga tentunya mengakibatkan ketidaknyamanan dimana tangan
sangat diperlukan dalam pekerjaan ini dan tentunya juga dapat mengganggu
produktifitas kerja.
Ada sebanyak 76 responden (78,4 %) menyatakan bahwa dermatitis kontak
adalah penyakit yang harus mendapat perhatian dari para pekerja bengkel
sedangkan 21 responden (21,6 %) menyatakan tidak setuju. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Harvell, Lammintausta, dan Maibach (1995) bahwa kejadian
dermatitis kontak diperkirakan mencapai hampir 90 % dari semua penyakit kulit
akibat kerja, jadi penyakit ini selayaknya harus mendapat perhatian dari pekerja
bengkel tersebut.
Ada sebanyak 86 responden (88,7 %) menyatakan bahwa penyakit
dermatitis kontak sebaiknya diketahui oleh semua pekerja bengkel sedangkan 11
responden (11,3 %) menyatakan tidak setuju. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Harvell, Lammintausta, dan Maibach (1995) bahwa kejadian dermatitis kontak
53
diperkirakan mencapai hampir 90 % dari semua penyakit kulit akibat kerja, jadi
penyakit ini selayaknya harus diketahui pekerja bengkel tersebut.
Secara umum, mayoritas responden yakni sebanyak 47 orang (48,5 %)
memiliki sikap yang baik terhadap dermatitis kontak akibat kerja. Peneliti
berasumsi hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan mereka yang juga
sudah cukup baik tentang dermatitis kontak. Namun, suatu sikap belum otomatis
terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap
menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2007).
Jika dilihat pada tabel 5.10 dan tabel 5.13, distribusi kategori sikap
responden terhadap dermatitis kontak hampir sama untuk semua kelompok usia
dan pendidikan responden. Peneliti berasumsi kurang adanya pengaruh antara usia
maupun pendidikan pekerja bengkel tersebut terhadap sikap yang mereka miliki.
5.2.3. Tindakan Responden
Tindakan diukur dengan 6 pertanyaan mengenai upaya mencari tahu,
mencari pengobatan, mencegah terjadinya penyakit dan tindakan terhadap orang
lain sehubungan dengan penyakit dermatitis kontak akibat kerja. Nilai maksimum
yang dapat diperoleh responden adalah 7.
Dari penelitian diperoleh sebanyak 59 responden (60,8 %) tidak pernah
mencari tahu tentang penyakit dermatitis kontak akibat kerja. Ada ketidaksesuaian
antara sikap dan tindakan. Jika dilihat kembali, ada sebanyak 86 responden (88,7
%) menyatakan bahwa penyakit dermatitis kontak sebaiknya diketahui oleh semua
pekerja bengkel, namun dalam pertanyaan tindakan, hanya 38 responden (39,2 %)
menjawab pernah mencari tahu tentang dermatitis kontak. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sularsito dan Djuanda (2009) bahwa banyak penderita dengan
kelainan ringan tidak mengeluh, jadi banyak pekerja yang kurang peduli untuk
mencari tahu, karena menganggap penyakit ini tidak terlalu berbahaya, apalagi
dengan kelainan ringan saja.
54
Pada pertanyaan tentang upaya mencari pengobatan, mayoritas responden
yakni sebanyak 80 responden (82,5 %) tidak segera pergi berobat ke dokter ketika
mengalami gejala-gejala dermatitis kontak akibat kerja di bengkel dan hanya 17
responden (17,5 %) menyatakan segera pergi berobat ke dokter. Peneliti
berasumsi ini dikarenakan mereka menganggap penyakit ini tidak terlalu berat,
sehingga dapat berupa penyembuhan sendiri saja.
Tampak adanya ketidaksesuaian juga antara sikap dan tindakan responden
dimana mayoritas responden yakni sebanyak 78 responden (80,4 %) setuju bahwa
menderita dermatitis kontak menyebabkan ketidaknyamanan kerja pekerja
bengkel, namun hanya 17 responden (17,5 %) menyatakan segera pergi berobat ke
dokter.
Sebanyak 87 responden (89,7 %) selalu mencuci tangan setiap kali habis
kerja dan hanya 10 orang (10,3 %) yang menyatakan tidak. Peneliti berasumsi ini
dikarenakan material yang terkena tangan pekerja kelihatan sangat jorok, jadi
mereka akan selalu mencuci tangannya.
Ada sebanyak 9 responden (9,3 %) memakai sarung tangan atau krim
pelindung kulit untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak dan sebanyak 88
responden (90,7 %) yang menyatakan tidak menggunakan. Peneliti berasumsi
bahwa dengan menggunakan krim pelindung kulit dan sarung tangan itu dapat
menyulitkan mereka bekerja.
Tindakan untuk menyuruh rekan sekerja di bengkel berobat ke dokter jika
mengalami dermatitis kontak akibat kerja juga kurang dilakukan. Dimana ada 42
responden (43,3 %) yang menyatakan akan menyuruh rekan sekerja di bengkel
berobat ke dokter jika mengalami dermatitis kontak akibat kerja sementara
sebanyak 55 orang (56,7 %) menyatakan tidak.
Begitu juga dengan tindakan mengajak mitra kerja untuk mencegah
penyakit ini, hanya ada 41 responden (42,3 %) mengajak rekan sekerjanya
mencegah terjadinya dermatitis kontak akibat kerja di bengkel sementara ada
55
sebanyak 56 orang (57,7 %) yang menyatakan tidak. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Djuanda dan Sularsito (2009) yang mengatakan bahwa banyak
penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.
Secara umum, mayoritas responden yakni sebanyak 55 orang (56,7 %)
memiliki kategori tindakan yang kurang terhadap dermatitis kontak akibat kerja.
Tindakan merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata dan
terbuka. Orang yang berpengetahuan baik tidak selalu melakukan tindakan yang
benar.
Jika dilihat pada tabel 5.11, distribusi kategori tindakan responden
terhadap dermatitis kontak hampir sama untuk semua kelompok usia. Hal ini
menunjukkan kurang adanya pengaruh antara usia para pekerja bengkel tersebut
terhadap tindakan yang mereka lakukan terhadap dermatitis kontak. Begitu juga
dengan untuk kelompok tingkat pendidikan, distribusi kategori tindakan
responden terhadap dermatitis kontak hampir sama untuk semua kelompok
pendidikan dimana mayoritas di tiap tingkat pendidikan adalah kategori rendah
terutama pada tingkat pendidikan sarjana dimana semuanya memiliki kategori
tindakan kurang yakni 3 responden (100 %). Peneliti berasumsi bahwa tingkat
pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang lebih baik dalam melakukan
tindakan.
56
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Pengetahuan pekerja bengkel di Kecamatan Medan baru, Kecamatan
Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011 mayoritas
memiliki kategori pengetahuan yang sedang, yaitu sebanyak 48 orang
(49,5 %).
2. Sikap pekerja bengkel di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan
Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011 mayoritas memiliki
kategori sikap yang baik, yaitu sebanyak 47 orang (48,5 %).
3. Tindakan pekerja bengkel di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan
Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011 mayoritas memiliki
kategori tindakan yang kurang, yaitu sebanyak 55 orang (56,7 %).
4. Persentase pekerja bengkel berpengetahuan kategori baik paling banyak
terdapat diantara kelompok umur <20 tahun (35,3 %), untuk kategori
sikap baik paling banyak diantara kelompok umur <20 tahun (76,5 %)
dan untuk kategori tindakan baik paling banyak pada kelompok umur <20
tahun (5,9 %).
5. Persentase pekerja bengkel yang memiliki pengetahuan kategori baik
paling banyak terdapat diantara kelompok jenjang sarjana (100 %),
persentase untuk kategori sikap baik paling banyak diantara kelompok
pendidikan sarjana (66,7 %) dan kategori tindakan baik paling banyak
diantara kelompok jenjang pendidikan SMA/ sederajat (6,9 %).
57
1.2. Saran
1. Perlu diadakan penyuluhan tentang dermatitis kontak akibat kerja terhadap
para pekerja bengkel untuk lebih meningkatkan pengetahuan mereka
mengenai penyakit tersebut dan cara pencegahannya. Dengan demikian,
para pekerja bengkel dapat mengambil sikap dan melakukan tindakan
yang benar dalam menangani penyakit tersebut.
2. Media cetak, televisi dan media-media elektronik yang biasa menjadi
konsumsi para pekerja bengkel sebaiknya lebih banyak memuat lagi
mengenai tips-tips kesehatan, seperti cara pencegahan dermatitis kontak
akibat kerja di bengkel kendaraan bermotor.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan populasi dan sampel yang
lebih besar disertai pencarian faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan, sikap, dan tindakan pekerja bengkel terhadap dermatitis
kontak akibat kerja serta bagaimana hubungan antara ketiga variabel
tersebut.
4. Pemilik perusahaan bengkel juga sebaiknya lebih peduli juga terhadap
kesehatan para pekerja mereka termasuk di perusahaan bengkel kendaraan
bermotor dimana para pekerjanya cukup berisiko terhadap terkenanya
dermatitis kontak akibat kerja.
58
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R.M., 1969. Occupational Contact Dermatitis. London: Pitman Medical
Publishing.
.,1995. Occupational Contact Dermatitis. In: Guin, J.D., ed.
Practical Contact Dermatitis. McGraw-hill: USA, 590.
Direktorat Bina Kesehatan Kerja, 2008. Kesehatan Kerja Sangat Layak Menjadi
Program Unggulan yang Akan Datang di Indonesia. Available from:
http://binakesehatankerja.sosblog.com. [Accessed 29 Maret 2011].
Djuanda, S. dan Sularsito, S.A., 2009. Dermatitis. Dalam: Djuanda, A., Hamzah,
M., Aisah, S, (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta, 129-153.
Fitzpatrick, T.B., Johnson, R.A., Suurmond, D., Wolff, K., 2001. Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi keempat. McGraw-Hill: USA, 25.
Graham-Brown, R. dan Burns, T., 2005. Dermatologi. Edisi kedelapan. Jakarta:
Erlangga.
Harvell, J.D., Lammintausta, K., and Maibach, H.I. 1995.Irritant Contact
Dermatitis. In: Guin, J.D.,ed. Practical Contact Dermatitis. McGraw-Hill:
USA, 7-18.
Hogan, D.J., 2009. Irritan Contact Dermatitis, Emedicine. Available from:
http://www.emedicine.com/specialties.htm. [Accessed 07 Mei 2011].
., 2010. Allergic Contact Dermatitis, Emedicine. Available from:
http://www.emedicine.com/specialties.htm. [Accessed 07 Mei 2011].
Hunter, J., Savin, J., and Dahl, M., 2002. Clinical Dermatology. 3rd ed. USA:
Blackwell.
59
Keefner, K.P., 2004. Tabel Iritan Yang Sering menimbulkan Dermatitis Kontak
Iritan. Dalam: Febriani, H.T., Musa, S.T., Sumantri, M.A., Dermatitis Kontak.
Available from: http://www.pharma-c.blogspot.com. [Accessed 9 April 2011].
Kurniawidjaja, L.M., Lestari, M., Nuraga, W., 2008. Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan
Dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri
Cibitung Jawa Barat. Available from: Makara, Kesehatan, Vol. 12, No. 2,
Desember 2008, 63-70. [Accessed 29 maret 2011].
Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., dan Purwanto,
S.H.,2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Satroasmoro, S., dan Ismael, S.,
(eds). Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto: Jakarta, 302-
331.
Notoadmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Occupational Disease Working Group, 2006. Occupational Dermatitis. Available
from: http://www.iapa.ca. [Accessed 02 April 2011].
Pratomo, H., dan Sudarti, 1986. Pedoman Usulan Penelitian Bidang Kesehatan
Masyarakat dan Keluarga Berencana. Jakarta: Depdikbud.
Roesyanto-Mahadi, I.D., 2000. Ekzema dan Dermatitis. Dalam: Harahap, M., ed.
Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates: Jakarta, 23.
Sastroasmoro, S., 2010. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam: Satroasmoro, S.,
dan Ismael, S., (eds). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung
Seto : Jakarta, 78-91.
Siregar, A.S., dan Roesyanto, I.D., 1990. Ekzema-Dermatitis. Dalam: Harahap,
M.,ed. Ilmu Penyakit Kulit. Gramedia: Jakarta, 17-18.
60
Sterry, W., Paus, R., and Bugdorf, W., 2006. Thieme Clinical Comapnions
Dermatology. Jerman: Georg Thieme Verlag.
Wahyuni, A.S., 2008. Statistik Kedokteran. Jakarta Timur: Bamboedoea
Communication.
61
Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Samuel Frengki Pakpahan
Tempat/Tanggal Lahir : Duri, 22 Juli 1989
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg Golf No.7 Padang Bulan
Riwayat Pendidikan :
1. SDN 068 Duri Riau 1995-2001
2. SMPN 04 Duri Riau 2001-2004
3. SMAN 02 Duri Riau 2004-2007
4. Pendidikan Dokter FK USU 2008-sekarang
Riwayat Pelatihan :
1. Evangelism Explosion USU 2009
2. Light Nation Conference USU 2010
3. Kaliurang Camp Antar Kampus se-Indonesia 2010
Riwayat Organisasi :
1. Panitia Persekutuan Mahasiswa Kristen Stambuk 2008 FK USU
2. Panitia Perayaan Hari Natal Mahasiswa Kristen FK USU 2009
3. Panitia Bakti Sosial Mahasiswa Kristen FK USU 2010-2011
4. Anggota persekutuan Mahasiswa Kristen KMK UP FK USU
62
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PEKERJA BENGKEL TERHADAP DERMATITIS KONTAK AKIBAT
KERJA DI KECAMATAN MEDAN BARU, KECAMATAN MEDAN SUNGGAL, DAN KECAMATAN MEDAN HELVETIA TAHUN 2011
IDENTITAS RESPONDEN
No. responden : Tanggal survey : Usia : Pendidikan :
Petunjuk: Beri tanda ( √ ) A. PENGETAHUAN
No Pernyataan Ya Tidak Tidak tahu
1. Pekerja bengkel berisiko terhadap terkenanya dermatitis kontak.
2. Tangan adalah salah satu bagian tubuh yang biasa menjadi tempat terjadinya dermatitis kontak.
3. Dermatitis kontak dapat dicegah dengan memakai krim pelindung kulit dan penggunaan sarung tangan.
4. Dermatitis kontak adalah penyakit yang disebabkan bahan-bahan kimiawi yang terkandung di dalam minyak pelumas.
5. Dermatitis kontak akibat kerja dipengaruhi oleh ras (warna kulit tertentu pekerja bengkel).
6. Dermatitis kontak akibat kerja dipengaruhi oleh suhu peralatan dan lingkungan bengkel
7. Dermatitis kontak akibat kerja dipengaruhi oleh kelembaban peralatan dan lingkungan bengkel
63
B.SIKAP
No Pernyataan Setuju Tidak setuju
1. Menderita dermatitis kontak menyebabkan ketidaknyamanan kerja pekerja bengkel
2. Menderita dermatitis kontak menyebabkan menurunnya produktivitas kerja pekerja bengkel.
3. Dermatitis kontak adalah penyakit yang harus mendapat perhatian dari para pekerja bengkel.
4. Penyakit dermatitis kontak sebaiknya diketahui oleh semua pekerja bengkel.
C.TINDAKAN
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah Anda pernah mencari tahu tentang penyakit dermatitis kontak akibat kerja ?
2. Apakah anda akan segera pergi berobat ke dokter ketika mengalami gejala-gejala dermatitis kontak akibat kerja di bengkel kendaraan bermotor ?
3. Apakah anda selalu mencuci tangan atau membersihkan tangan setiap kali habis kerja?
4. Apakah anda memakai sarung tangan atau krim pelindung kulit untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak ?
5. Apakah Anda akan menyuruh rekan sekerja Anda di bengkel berobat ke dokter jika mengalami dermatitis kontak akibat kerja ?
6. Apakah anda juga mengajak rekan sekerja Anda untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak akibat kerja di Bengkel?
Lampiran 3
64
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN
Dengan hormat,
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari atas kesediaannya meluangkan waktu untuk mengisi
surat persetujuan dan kuesioner ini.
Saya Samuel Frengki Pakpahan, mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara stambuk 2008. Saat ini saya sedang mengerjakan
penelitian guna melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya
untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran USU. Adapun judul
penelitian saya adalah Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Pekerja Bengkel
terhadap Dermatitis Kontak akibat kerja di Kecamatan Medan baru,
Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011.
Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk ikut
serta dalam penelitian ini, yaitu sebagai responden. Saya akan menanyakan
beberapa hal seputar identitas, pengetahuan, sikap dan tindakan
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari mengenai Dermatitis Kontak Akibat Kerja. Informasi
yang diberikan saya jamin kerahasiaannya.
Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas partisipasi dan kesediaan
waktu, saya ucapkan terima kasih. Semoga partisipasi
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari/Saudari dalam penelitian ini bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, 2011
Peneliti,
(Samuel Frengki Pakpahan)
65
Lampiran 4
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertandatangan di bawah ini,
Nama :
Alamat :
Setelah mendapatkan penjelasan dan memahami sepenuhnya tentang penelitian,
Judul Penelitian : Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Pekerja bengkel
terhadap Dermatitis Kontak Akibat Kerja di Kecamatan
Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan
Medan Helvetia tahun 2011
Nama Peneliti : Samuel Frengki Pakpahan
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Jenis Penelitian : Deskriptif dengan pendekatan cross sectional
Lokasi Penelitian : Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan
Kecamatan Medan Helvetia, Medan, Sumatera Utara
Dengan ini menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara sukarela
sebagai reponden penelitian.
Medan, ………………2011
( )
66
ABSTRAK
Insidensi dermatitis kontak sangat tinggi. Kejadian dermatitis kontak diperkirakan mencapai hampir 90% dari semua penyakit kulit akibat kerja (Harvell, Lammintausta, dan Maibach, 1995). Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda dan Sularsito, 2009). Pekerja bengkel termasuk pekerjaan yang di dalamnya memiliki risiko terpaparnya minyak pelumas dan zat-zat kimia lainnya yang dapat menimbulkan iritasi pada tangan pekerja itu (Djuanda dan Sularsito, 2009). Kodisi ini dapat mengganggu kualitas hidup dan kapasitas pendapatan mereka. Untuk mencegah terjadinya penyakit dermatitis kontak, salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ialah perilaku pekerja salon tersebut.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pekerja bengkel di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011. Subyek penelitian sebanyak 97 orang dengan teknik penarikan sampel Consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner.
Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan responden mayoritas memiliki kategori pengetahuan yang sedang (49,5 %) dengan kategori baik paling banyak terdapat diantara kelompok umur <20 tahun (35,3 %) dan kelompok jenjang sarjana (100 %). Sikap responden mayoritas dalam kategori sikap yang baik (48,5 %) dengan kategori sikap baik paling banyak diantara kelompok umur <20 tahun (76,5 %) dan kelompok pendidikan sarjana (66,7 %). Tindakan responden mayoritas pada kategori tindakan yang kurang (56,7 %) dengan persentase kategori tindakan baik pada kelompok umur <20 tahun (5,9 %) dengan kategori tindakan baik paling banyak diantara kelompok jenjang pendidikan SMA/ sederajat (6,9 %).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pekerja bengkel di Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, dan Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011 memiliki kategori pengetahuan sedang, sikap baik, dan kategori tindakan kurang terhadap dermatitis kontak akibat kerja. Umur dan pendidikan kurang berpengaruh terhadap ketiga variabel tersebut. Diharapkan adanya penyuluhan-penyuluhan yang dapat meningkatkan pemahaman dan aplikasi mereka tentang dermatitis kontak akibat kerja.
Kata kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Pekerja Bengkel, Dermatitis Kontak Akibat Kerja
67
ABSTRACT
Incidence of contact dermatitis was very high. Contact dermatitis was estimated almost 90% of all occupational disease (Harvell, Lammintausta, dan Maibach, 1995). It is known two kinds of contact dermatitis those are irritant contact dermatitis which is nonimunological response and allergic contact dermatitis due to specific immunological mechanism. Both of those can be acute and chronic (Djuanda and Sularsito, 2009). Machinist has a risk to expose to lubricant oil and another chemical subtstances which are irritative to their hands (Djuanda and Sularsito, 2009). This condition may disrupt the machinist’s quality of life and reduce their income. To prevent contact dermatitis, a factor which influence quietly is the machinist’s behavior.
This study method is descriptive with cross sectional design. The purpose of this study is to know about the knowledge, attitude, and action of machinist about contact dermatitis in Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, and Kecamatan Medan Helvetia tahun 2011. The subjects are 97 machinists that were obtained Consecutive sampling technique. Data was accumulated by direct interview with questionare
The result of this study shows the knowledge category of majority subjects are in moderate category (49,5 %) with highest percentage of good category is among under 20 years old (35,3 %) and scholar group (100 %). The attitude category of majority subjects are in good category (48,5 %) with highest percentage of good category is among under 20 years old (76,5 %) and scholar group (66,7 %). And the action category of majority subjects are in low category (56,7 %) with highest percentage of good category is among under 20 years old (5,9 %) and Senior High School Group (6,9 %).
From the whole study result, we can conclude that machinists in Kecamatan Medan baru, Kecamatan Medan Sunggal, and Kecamatan Medan Helvetia in 2011 have moderate category of knowledge, good category of attitude and low category of action to occupational contact dermatitis. Their age and education apparently not influence these three variables. It is hoped that elucidations were given to increase the machinist’s knowledge and applications about occupational contact dermatitis.
Keyword: Knowledge, Attitude, Action, Machinists, Occupational Contact Dermatitis
68