Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

download Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

of 11

Transcript of Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    1/11

    Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia1 

    oleh M. Donny Azdan2 dan Candra Samekto3 

    1. Pendahuluan

     Air merupakan sendi utama kehidupan manusia. Air bukan hanya sekadar memenuhikebutuhan mendasar manusia sebagai air minum, namun juga berfungsi untuk sumber penghidupanseperti mengairi lahan pertanian, perikanan, hingga pembangkit listrik. Terdapat berbagai kegiatanperekonomian lain juga sangat tergantung kepada ketersediaan air, bahkan air bisa menjadi salahsatu limiting factors dalam pertumbuhan ekonomi jika ketersediaannya sangat terbatas.

    Kebutuhan air hampir dapat dipastikan mempunyai kecenderungan tidak sejalan dengantingkat ketersediannya baik terkait dengan dimensi waktu dan ruang, maupun jumlah dan kualitasnya.Untuk itu manusia melakukan intervensi ke pola ketersediaan air melalui pembuatan tampungan-

    tampungan air melalui pembangunan bendungan. Dengan tampungan ini diharapkan kelebihan air dimusim hujan dapat disimpan untuk digunakan di musim kemarau yang mempunyai tingkat kebutuhanair relatif tinggi.

    Bendungan juga bermanfaat untuk melakukan konservasi air. Dengan menahan air lebihlama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap danmemberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Meskipun nilai manfaat yang besartersebut, pembangunan bendungan juga menyimpan berbagai potensi permasalahan. Di dalammakalah ini akan dipaparkan potret kondisi bendungan di Indonesia saat ini untuk menjadi masukanbagi rencana pembangunan bendungan baru yang akan datang. Selain itu juga akandirekomendasikan kebijakan penanganan bendungan-bendungan yang telah ada untuk meminimalkanresiko dengan tetap mengoptimalkan keberlanjutan fungsinya.

    2. Potret Kondisi dan Permasalahan Bendungan di Indonesia

    Dari data yang telah dihimpun sebelumnya sejak tahun 1970-an, waduk di Indonesiaterutama di Pulau Jawa sudah mulai terganggu fungsinya. Dalam laporan Project Implementation Planfor Dam Operational Improvement and Safety Project (DOISP) dijelaskan bahwa perubahan sangatcepat terjadi pada kurun 1990-an sampai tahun 2000. Dari tiap 100 hektar lahan di kawasantangkapan air mengalami konversi sebanyak 60 persennya. Hal ini tentunya berakibat meningkatkansedimentasi di dasar waduk. Sebagai contoh; survei terhadap tingkat erosi dan sedimentasi yangdilakukan tahun 1980-an terhadap Waduk Wonogiri sudah menunjukkan tingkat sedimentasi yang

    sangat tinggi hingga mengakibatkan pendangkalan. Setiap tahun laju sedimentasi akibat erosi diWaduk Gajah Mungkur Wonogiri mencapai 3 juta m3. Bagian penampung sedimen kini dayatampungnya berkurang dari 500 juta m3 menjadi 300 juta m3.

    1 Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bendungan Besar di Surabaya 2-3 Juli 20082

     Direktur Pengairan dan Irigasi, Kementerian PPN/Bappenas3 Fungsional Perencana di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Kementerian PPN/Bappenas

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    2/11

    Extra Flood W.L. EL. 139.1 m

    Design Flood W.L. EL. 138.3 m

    Crest of DamEL. 142.0 m

    13.4 % Lost

    Sedimentatio

    0.9% Lost

    49.1% Lost

       I   r   r   i   g   a   t   i   o   n

       &

       H  y   d   r   o   p   r   o  w   e   r

       4   4   0  x   1   0   6

        m

       3

       F   l   o   o   d

       C   o   n   t   r   o   l

       2   2   0  x   1   0   6

        m

       3

    Sediment Storage Capacity 120 x 106

    m3

    Control W.L. EL. 135.3 m

    Normal H. W.L. EL. 136.0 m

    L.W.L. EL. 127.0 m

     

    Gambar 1: Sedimentasi yang terjadi di Bendungan Wonogiri

    Sumber Balai Besar Sungai Bengawan Solo

    Pada Gambar 2 di bawah ini diperlihatkan nilai resiko kerusakan bendungan yang terjadi diIndonesia (DPU, 2008). Besaran tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam tingkatan low, moderate, high, dan extreme  dimana penilaian low berkisar antara nilai 0 – 15, penilaian moderate berkisarantara nilai 16 – 45, penilaian high berkisar antara nilai 46 – 75, dan penilaian extreme berkisar antaranilai 76 - 90. Dalam penilaian yang dilakukan terdapat dua kriteria dasar yang menjadi acuan dalampenilaian ini, Resiko tersebut diantaranya adalah :

    1.  Resiko Ekonomi, resiko ini mencakupa)  Keterlambatan dalam implementasi proyek yang disebabkan oleh kesulitan pengadaan

    material dan elemen pendukung lainnyab)  Cost Overruns yang terjadi sebagai akibat ekskalasi harga yang melebihi 10 % toleransi

    dari perkiraan awalc)  Peningkatan harga yang signifikan terhadap barang dan jasa, dimana besaran nilainya

    melebihi prediksi kenaikan harga terhadap inflasi rencana.2.  Resiko Fisik

    Seluruh bendungan yang ada di Indonesia memiliki resiko dalam beberapa tingkatankerusakan fisik dan kegagalan fungsinya. Oleh karenanya maka penilaian yang dilakukanpada resiko diatas akan berkaitan dengan :

    a)  Volume tampungan dari bendungan yang dinilaib)  Ketinggian bendungan terhadap daerah di luar konstruksi fisik bendunganc)  Jumlah populasi penduduk disekitarnya terkait dengan musibah yang ditimbulkan

    apabila terjadi kerusakan atau kegagalan fungsi bendungan.

    d) 

    Untuk bendungan yang telah berdiri sebelumnya, faktor – faktor resiko lain yangperlu ditambahkan diantaranya adalah keberlangsungan kegiatan pemeliharaanbendungan beserta catatannya, ketersediaan instrumen pemantauan keselamatanbendungan, dan upaya yang telah dilakukan terkait dengan mitigasi resikobendungan.

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    3/11

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

          S      C      O      R      E

    RISK SCORE OF INDONESIAN DAM

     

    Gambar 2: Penilaian Resiko Bendungan di IndonesiaSumber :Project implementation Plan for DAM Operational Improvement and Safety Project (2008)  

    Dari data ini dapat dilihat bahwa sebagian bendungan besar di Indonesia telah termasukkedalam resiko kerusakan tinggi, seperti Sermo dan Wonorejo. Dalam laporan tersebut jugadisebutkan bahwa Selorejo mempunyai tingkat resiko kerusakan paling tinggi.

    Waduk yang dirancang memiliki umur efektif pemanfaatan selama 100 tahun kini hanya

    memiliki sisa waktu selama sekitar 10 tahun, dari 30 tahun sisa umur layanan rencananya. WadukWonogiri dibangun mulai 1977 hingga selesai 1982. Artinya waduk telah beroperasi 25 tahun. WadukWonogiri memiliki daya tampung total 780 juta m3, meliputi 120 juta m3 untuk penampungan sedimen,440 juta m3 untuk menampung air baku, dan 220 juta m3 pengendalian banjir dengan masa operasi 25tahun. dari sumber informasi yang didapatkan dari Departemen Pekerjaan Umum, saat ini sedimentelah terisi 58 juta m3 atau 49% dari daya tampung awal. Pada Waduk Wonorejo terdapat delapansistem sungai yang masuk waduk, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon, Solo Hulu, Alang, Unggahan,Wuryantoro, dan Remnan, dimana penyumbang sedimen terbesar adalah DAS Keduang karenasebagian besar daerahnya merupakan permukiman, lahan pertanian, tegalan yang rentan terjadinyaerosi permukaan dan sumber sedimen.

    Selain Gajah Mungkur nampak bahwa waduk-waduk lain di Jawa juga menghadapi masalah

    yang sama, pendangkalan oleh sedimentasi akibat erosi di bagian hulu dan DAS. Waduk itu antaralain adalah Kedung Ombo yang mengairi Pati, Kudus, dan Demak. Waduk Mrica untuk wilayahWonosobo dan Rawa Pening mengairi wilayah Ambarawa.

    2.1. Analisa Permasalahan Bendungan di Indonesia

    Potensi permasalahan pembangunan bendungan dapat dibagi menjadi dua hal utama yaitu(1) dampak dari konstruksi bendungan, dan (2) paska konstruksi atau masa pemanfaatan daribendung. Pembangunan bendungan tidak bisa dipungkiri akan memberikan dampak yang besar baikbagi lingkungan maupun sosial. Pembebasan lahan untuk daerah genangan dan lokasi tubuh bendungtelah menjadi isu yang sering kali mengemuka. Dengan mudahnya sharing informasi sebagai

    konsekuensi majunya teknologi akan menempatkan isu pemindahan penduduk ini menjadi isu global

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    4/11

    yang menjadi concern dunia internasional. Permasalahan yang sering dikaitkan dengan isu hak asasimanusia ini akan menghambat pelaksanaan pekerjaan pembangunan bendungan, bahkan bisamenghasilkan keputusan pemberhentian pelaksanaan pembangunan. Tidak sedikit pula protes daripara pemerhati lingkungan terhadap potensi perubahan lingkungan yang akan ditimbulkan.

    Potensi permasalahan tidak berhenti seiring dengan selesainya pelaksanaan konstruksi.Masih terdapat isu-isu lain dalam tahap pemanfaatan bendungan ini, yaitu (1) potensi kegagalankonstruksi yang akan mengancam masayarakat yang bermukim di hilir bendungan, dan (2)permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan.

    Mengingat sifatnya yang termasuk kedalam heavy construction maka bendungan menyimpanpotensi bahaya yang besar. Namun di sisi lain, pada saat ini pemeliharaan merupakan suatu tahapanpasca konstruksi yang sering terabaikan bahkan terlupakan. Hasrat untuk membangun terkadang tidakdiimbangi oleh kemampuan dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder ) untuk memelihara apayang telah dibangun. Potensi kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada bendungan di Indonesiasangat terkait dengan rendahnya tingkat pemeliharaan termasuk di dalamnya sistem monitoring

    keamanan bendungan. Akibat minimnya biaya Operasi dan Pemeliharaan (OP) yang dianggarkan olehpemerintah saat ini yang tidak sebanding dengan tingginya biaya pemeliharaan bendungan, makatingkat resiko kerusakan bendungan akan semakin tinggi.

    Secara umum kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada bendungan di Indonesiadiantaranya adalah :

    1.  Erosi akibat mengalirnya air melalui lubang-lubang/pondasi (piping)  suatu bendunganpenyebab utama kerusakan bendungan di dunia, dibandingkan dengan sebab-sebab yanglain kecuali peluapan diatas tubuh bendungan (overtopping), bila air dari waduk merembesmelalui tubuh atau pondasi bendungan urugan yang terdiri atas material tanah yangdipadatkan, maka tekanan hidrolisnya akan didistribusikan terhadap tegangan pori yangmerupakan pengikat antar butiran material. Jenis kegagalan ini terjadi pada bendungan

    Solorejo, Kedung Sengon dan Kaliulo.2.  kerusakan akibat retakan (Crack), retakan sering kali menjadi penyebab kebocoran pada

    bendungan yang berkembang menjadi erosi buluh dan akhirnya menyebabkan kerusakanbendungan. Retakan yang patut diwaspadai adalah retakan dengan lebar lebih dari ¼ inchi.Retakan yang paling bahaya yakni jenis melintang as bendungan, sebab retakan iniberpotensi menjadi alur buluh yang menembus tubuh bendungan dan disebabkan konsolidasiyang tak seragam pada tubuh bendungan atau pondasi. Hal tersebut juga dapatmengindikasikan tidak memadainya proses pemadatan pada saat konstruksi. Jeniskerusakan ini terjadi pada bendungan Kedung Ombo dan Kedung Bendo di Provinsi JawaTengah.

    3.  Longsoran (slide), pada bendungan urugan disebabkan karena penyebab yang sama yaknikejadian longsoran pada tebing atau lereng yang biasa ketika gaya yang bekerja pada suatu

    bidang geser melampui batas gaya yang dapat ditahan. Terdapat tiga jenis longsoran yaknilongsoran selama konstruksi, longsoran pada lereng timbunan sebelah hilir sebelum wadukdioperasikan dan longosorang lereng timbunan sebelah hulu. Jenis kerusakan ini terjadi padabendungan Way Curug di Provinsi Lampung dan Kedung Sengon di Provinsi Jawa Tengah.

    4.  Peluapan (Overtopping)  yakni peristiwa meluapnya air waduk melalui puncak bendunganyang terjadi karena banjir besar melebihi kapasitas dan gelombang tinggi melampaui puncakbendungan yang diakibatkan gempa tektonik atau kelongsoran pada dinding waduk.bendungan beton pada umumnya tahan peristiwa ini namun peluapan sangat fatal padabendungan urugan, sebab aliran yang melampaui puncak bendungan urugan sedemikianderasnya dan mampu menggerus puncak bendungan urugan, baik tanah maupun batu,sehingga keruntuhan total hampir selalu terjadi. Di Indonesia, peristiwa semacam ini pernahterjadi satu kali, yakni di anak bendungan ( urugan batu) Waduk Sempor Jawa Tengah

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    5/11

    yang belum selesai, runtuh total akibat banjir besar pada tahun 1967 dan mengibatkan 125meninggal dunia.

    5.  Gempa Bumi, siaga gempa bumi terjadi apabila gempa bumi terasa dan membawa akibatpada bangunan-bangunan utama di daerah bendungan/embung. Akibat terjadinya gempabumi sangat tergantung pada besar kecilnya gempa. Guncangan gempa bumi yangmembahayakan bendungan/embung adalah jika terjadi hal sebagai berikut :

    - Lebih besar dari 4 MMI (Modified Marcalli Intensity),- Lebih dari 15 – 18 detik pada frekuensi 3 Hz dan akselerasi lebih besar dari 0,12

    gal,- Terdapat gempa bumi dengan kekuatan :

      Lebih dari 4 Skala Riechter dalam radius < 50 km,  Lebih dari 5 Skala Riechter dalam radius < 80 km,  Lebih dari 6 Skala Riechter dalam radius < 80 km,  Lebih dari 7 Skala Riechter dalam radius < 80 km,

    Tingkat frekuensi dari kerusakan yang telah diuraikan diatas dapat terlihat dari tabel di bawah

    ini.

    No Faktor PenyebabMekanisme

    ProsentaseTerjadinya

    1 Limpasan (Overtopping) banjir 30%

    2Piping/aliran buluh atau longsoran

    rembesan dan erosipada bagian dalam

    25%pada timbunan atau pada pondasi

    3 Kebocoran pipa saluran 13%

    4Kerusakan pada lapisan permukaan

    5%timbunan bagian hulu

    5 Ketidakstabilan lereng timbunan bervariasi 15%

    6Penyebab lain (gempa, liquefaction,sabotase, dll)

    bervariasi 12%

    Tabel 1: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan di DuniaSumberDam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005

    Waktu Penyebab Keruntuhan (%) Rerata

    Setelah Pengisian Overtopping Kebocoran Saluran Rembesan Gelincir (%)

    0 - 1 9 23 16 29 19

    1 - 5 17 50 34 24 31

    5 - 10 9 9 13 12 11

    10 - 20 30 9 13 12 16

    20 - 50 32 9 24 23 22

    50 - 100 3 0 0 0 1

    Tabel 2: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan Ditinjau dari Usia BendunganSumberDam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005

    Menutur data yang telah dipublikasikan oleh World Comission on Dam,  dengan tingkatkompleksitas yang sangat tinggi dalam perencanaan dan pembangunannya maka beberapa faktayang harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pembangunan sebuah bendungandiantaranya adalah :

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    6/11

    1.  Hanya 50% (n=99) bendungan sampel di seluruh dunia yang selesai tepat waktu, Haltersebut tentu saja berhubungan erat dengan membengkaknya anggaran proyek hinggamencapai 56% (n=80) melebihi anggaran awal

    2.  Bendungan dengan tujuan irigasi sebanyak 50% (n=52) tidak mampu memenuhi target jangkauan irigasinya

    3.  Bendungan dengan tujuan PLTA sebanyak 54 % proyek tidak menghasilkan output yangditargetkan

    4.  Bendungan dengan tujuan sebagai penyimpan air sebanyak 70% gagal memenuhi suplai airyang ditargetkan. Bahkan ditemukan bahwa semakin kecil area reservoir semakin tinggitingkat keberhasilannya untuk memenuhi target penyuplaian air. Hal ini menunjukkanbendungan untuk tujuan ini seringkali dibangun berlebihan dan mubazir.

    5.  60% mitigasi yang dilakukan untuk menanggulangi dampak dam tidak berhasil sehinggakerusakan terus berlangsung.

    6.  Jumlah masyarakat yang dipindahkan selalalu lebih besar dari yang diperkirakan bahkanmencapai 44% lebih banyak. Dan dari jumlah yang akan dipindahkan sebanyak 1% haruspindah dengan biaya sendiri karna tidak mendapatkan biaya translokasi.

    7.  Sebanyak 70% pembuatan kesepakatan-kesepakatan menyangkut kehidupan penduduklokal tidak melibatkan penduduk lokal tersebut.8.  Pembangunan bendungan multipurpose (seperti bendungan Jatigede) umumnya terlambat

    selesai dan memakan biaya yang jauh lebih besar dari anggaran awal dibandingkanpembangunan bendungan single purpose.

    Meninjau permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan,sedimen yang menyebabkan kritisnya kondisi bendungan diIndonesia pada umumnya diakibatkan olehtingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah hulu bendungan, akibat maraknya pengalihan fungsilahan hutan menjadi lahan permukiman penduduk atau areal pertanian baru. Dengan adanyatumpukan sedimen dibeberapa wilayah tersebut, maka daya tampung air waduk atau bendungan padawaktu musim hujan menjadi semakin berkurang yang pada akibatnya mengakibatkan banjir, ditambah

    lagi pemenuhan kebutuhan air baku baik untuk air minum, industri maupun air untuk irigasi tidaksesuai dengan desain layanan yang telah direncanakan sebelumnya.

    Seperti disampaikan di atas, yang menjadi penyebab utama pengurangan kapasitastampungan bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi yang disebabkankarena adanya kerusakan hutan budidaya dan lahan pertanian di daerah hulu. Oleh karena itu upaya-upaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya . Upaya vegetasi ini tidak bisalangsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jangka waktu tersebut kebutuhan air semakinmeningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun pertambahan penduduk.

    Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini adalah bagaimana agar bagian penampungsedimen tidak cepat penuh, antara lain dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun cekdam

    penampung sedimen, dan mengonservasi areal penangkap air hujan di sekitar waduk, mencegaherosi, yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidakmenimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali.

    3. Belajar dari Pengalaman

    Mengingat potensi permasalahan yang ada sekaligus melihat potret kondisi bendungan-bendungan di Indonesia saat ini, maka dapat diambil sebagai spelajaran dalam memformulasikankebijakan pembangunan dan penanganan bendungan ke depan. Dalam paparan kami mencobamembagi kebijakan menjadi dua opsi utama, yaitu (1) Kebijakan pembangunan bendungan baru, dan(2) Kebijakan terhadap bendungan yang telah ada.

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    7/11

    3.1. Kebijakan Pembangunan Bendungan Baru

    Dalam kebijakan pembangunan bendungan baru, pemerintah harus lebih berhati – hatisesuai dengan beberapa fakta kondisi bendungan di Indonesia seperti pada apa yang telah diuraikandi atas. Mengingat kebutuhan investasi yang sangat besar dalam pembangunan bendungan, embung-embung skala kecil dan menengah bisa menjadi salah opsi dalam menyediakan tampungan air. Selainitu, lebih luasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalm operasi dan pemeliharaan embung akanmenjadi point tambahan dalam mempertimbangkan opsi ini.

    Perlu diingat pula bahwa fungsi bendungan juga sekaligus untuk sarana konservasi gunameningkatkan muka air tanah di daerah hulu dikarenakan air yang ditampung akan terserap ke dalamtanah. Oleh karena itu diharapkan pembangunan embung skala kecil dan medium dengan jumlahyang lebih banyak akan meningkatkan distribusi peningkatan muka air tanah. Selain fungsi tersebuthal ini juga dapat menurunkan dan meringankan kapasitas tampungan banjir yang harus dilayanidaerah hilir. Debit banjir di daerah hulu akan dapat didistribusikan dan ditampung secara sementaraoleh bendungan- bendungan skala kecil dan menengah di daerah tersebut.

    Berbeda halnya apa yang terjadi di Pulau Jawa. Melihat kenyataan karakteristik sungai –sungai di pulau Jawa yang cenderung pendek dan tajam akan lebih cocok untuk pembangunanbendungan. Namun pembangunan bendungan baru akan memberikan dampak sosial tinggi terkaitdengan isu resettlement mengingat tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang sangat tinggi.

    Baik dalam investasi pembangunan waduk maupun embung, pemerintah harusmemperhatikan aspek Integrated Water Resources Management (IWRM) mengingat bahwa intervensiini memberikan dampak yang cukup besar dan memerlukan penanganan yang menyeluruh.Penanganan yang terintegrasi antara hulu-hilir, air permukaan dan air tanah, antar sector maupunantar wilayah ini akan mendukung keberlanjutan fungsi dan mengoptimalkan manfaatnya. Pengelolaandaerah hulu akan mempertahankan laju sedimentasi yang akan masuk ke tampungan waduk sehingga

    dapat memperpanjang umur manfaat waduk. Konsolidasi antar wilayah dan antar sector akanmeminimalkan konflik antar pengguna air dan sekaligus menentukan peran dan tanggungjawabmasing-masing pihak. Pembangunan bendungan juga harus didukung setting kelembagaan yangmampu mengakomodasi tanggungjawab pengelolaan asset tersebut.

    Pada akhirnya perlu ditekankan bahwa perencanaan pembangunan bendungan ke depanmembutuhkan:

      Perencanaan pembebasan lahan dan pemukiman penduduk yang matang denganmelibatkan peran serta masyarakat untuk meminimalisasi gejolak sosial yangditimbulkan. Selain itu diperlukan penanganan keseluruhan DAS secara terintegrasi danmenyeluruh terutama di daerah hulu untuk menjamin keberlanjutan fungsi bendungan.

      Perhitungan prediksi tingkat sedimentasi yang akurat dan tepat yang memperkirakan

    perubahan tata guna lahan sampai dengan 25 - 50 tahun kedepan  Perencanaan bangunan pengendali sedimen di hulu bendungan yang merupakan satu

    paket perencanaan bendungan sehingga dapat mengurangi beban sedimen yang masukke tubuh bendungan.

      Pedoman Operasi dan Pemeliharaan (SOP) yang sesuai dengan karakteristik setiapbendungan sehingga bendungan yang telah direncanakan dapat memenuhi usialayanan bendungan sesuai dengan apa yang telah menjadi perencanaan sebelumnya.

      Sosialisasi yang baik dalam proses pemeliharaan, berupa pengerukan sedimenbendungan, rehabilitasi outlet dan inlet serta tindakan teknis lainnya, sehinggamasyarakat dapat berperan aktif dalam melaksanakan fungsi kontrol dan dapat lebihbersahabat dengan bendungan yang ada di arealnya.

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    8/11

      Rencana Tindak Darurat (RTD), dalam setiap perencanaan bendungan harus didukungdengan adanya suatu Rencana Tindak Darurat (RTD) yang disesuaikan dengankarakteristik setiap bendungan, sebagai salah satu standar dalam pengamananbendungan apabila terjadi kegagalan bendungan. Pada RTD tersebut harus dapat

    tercantum Klasifikasi Tingkat Bahaya Bendungan (Hazzard Classification) yang memuattingkatan – tingkatan bahaya, potensi kerusakan, dan upaya yang harus dilakukan dalamrangka mengeliminir kerugian dan korban jiwa. Setiap bendungan yang dibagun harusmemiliki permodelan bahaya (Hazzard Model) yang diketahui dan dapat diakses olehmasyarakat atau stake holder yang terkait, sehingga setiap komponen yang terlibat didalamnya memiliki kesiagaan yang lebih baik dalam menghadapi kegagalan bendunganyang terjadi di kemudian hari.

    Gambar 3: Bagan Rencana Tindak DaruratSumberProject implementation Plan for DAM Operational Improvement and Safety Project (DOISP) 

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    9/11

     3.2. Kebijakan Penanganan Bendungan yang Sudah Terbangun

    Dengan tinnginya tingkat sedimen dari beberapa bendungan yang telah disebutkansebelumnya, maka beberapa langkah mitigasi yang perlu dilakukan adalah

    1.  Merevisi kembali manual prosedur operasi dan pemeliharaan dari bendungan yang ada diIndonesia, terutama yang memiliki tingkat resiko sedimen dan kerusakan tinggi

    2.  Pembilasan kembali waduk – waduk dengan tingkat sedimen tinggi. Dalam hal ini perluadanya perancangan desain terhadap low level outlet sehingga waktu pengurasan sedimendapat dilakukan lebih cepat.

    3.  Pengerukan kembali waduk – waduk yang memiliki tumpukan sedimen besar, yang disertaianalisis mendalam terhadap dampak lingkungan hidup terkait dengan adanya kandungancontaminated sludge 

    4.  Pengoptimalan kembali fungsi bangunan pengecek bendungan, agar sedimen sudah dapattermitigasi sebelum masuk ke dalam bendungan.

    Untuk menangani bendungan yang telah ada, pertama-tama diperlukan penanganan yangcukup mendesak untuk mengembalikan kapasitas tampungan yang pada akhirnya dapatmeningkatkan fungsi bendungan itu sendiri. Pembilasan kembali waduk – waduk dengan tingkatsedimen tinggi bisa menjadi salah satu alternatif selain upaya pengerukan (dredging). Dalam hal iniperlu adanya perancangan desain terhadap low level outlet sehingga waktu pengurasan sedimendapat dilakukan lebih cepat. Pengerukan kembali waduk – waduk yang memiliki tumpukan sedimenbesar perlu disertai analisis mendalam terhadap dampak lingkungan hidup terkait dengan adanyakandungan contaminated sludge.

    Selain itu, pemerintah perlu merevisi kembali manual prosedur operasi dan pemeliharaan daribendungan yang ada di Indonesia, terutama yang memiliki tingkat resiko sedimen dan kerusakantinggi. Dengan menerapkan sistem ini maka upaya yang dilaksanakan tidak hanya menyentuh sektor

    fisik semata, namun juga akan menyentuh sektor sosial yang turut menentukan dalamkeberlangsungan fungsi bendungan kedepan.

    Dalam upaya mengimplementasikan IWRM perlu diingat kembali prinsip-prinsip dasar dalampendekatan terintegrasi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi -economic growth, kesetaraan sosial -social equity, dan keberlanjutan lingkungan - environmentalsustainability  (Gabbrielli, 2006). Permasalahan yang terjadi di catchment area tidak hanyapermasalahan lingkungan saja, tetapi mungkin justru berasal dari masalah-masalah sosial. Isu konflikkepentingan dalam penggunaan lahan, kemiskinan serta rendahnya pendapatan penduduk dikawasan hulu dan sekitar areal bendungan harus menjadi perhatian utama, dalam rangka mendukungpelaksanaan IWRM.

    Selain itu, perlu ditekankan pula pentingnya monitoring dan pemeliharaan yangberkesinambungan terhadap instrumen pemantau sedimen di setiap bendungan, sehingga sedimentersebut tidak tertumpuk terlalu lama di dasar bendungan yang mengakibatkan volume pengerukanmenjadi sangat besar di kemudian hari. Pengoptimalan kembali fungsi bangunan cek-dam juga dapatdioptimalkan agar sedimen sudah dapat termitigasi sebelum masuk ke dalam bendungan. Operasi danpemeliharaan cek dam ini dapat memanfaatkan kelembagaan komunitas penggali pasir yang berbasismasyarakat sehingga dicapai bentuk kerjasama yang sinergis dan saling menguntungkan.

    4. Dampak Kebijakan Bandungan terhadap Optimalisasi Sumber Energi Primer

    Mengingat potensi tenaga air dengan head yang besar, sangat disadari bahwa bendungan juga berfungsi sebagai sumber energi primer melalui pembangkit listrik tenaga airnya (PLTA). Kondisi

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    10/11

    kritis yang dialami bendungan-bendungan besar secara tidak langsung akan mempengaruhi kapasitaslistrik yang dihasilkan. Kabijakan terkait bendungan yang diterapkan juga akan berdampak terhadappemanfaatannya sebagai pembangkit listrik.

    Isu global warming maupun climate change akibat dari penumpukan green house gasses (GHGs) ditambah harga minyak dunia yang semakin melonjak telah memaksa pemerintah untukmencari sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan dan renewable. Keputusan pemerintahuntuk lebih berhati-hati dalam pembangunan bendungan baru akan mengarahkan kepada pencarianalternative sumber energi primer yang lain dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional, misalnyapanas bumi. Dengan strategi pengelolaansumber daya air ke arah pembangunan tampungan air skalakecil dan menengah akan menyebabkan potensi tenaga air tidak akan bisa dimanfaatkan secaramaksimal. Tapi keputusan ini merupakan konsekuensi dari potensi permasalahan yang akanditimbulkan dalam pembangunan bendunganbesar.

    Di lain sisi, optimalisasi PLTA yang sudah terbangun telah sejalan dengan kebijakanpemerintah untuk mempertahankan fungsi bendungan melalui rehabilitasi waduk dan penanganan

    kawasan tangkapan air. Salah satu isu yang mengemuka mengenai hal ini terkait denganpermasalahan pembiayaan bendungan yang dioperasikan dan dipelihara oleh swatsa (BUMN) nonriver basin organization  seperti halnya PB. Sudirman di Propinsi Jawa Tengah yang dikelola olehIndonesia Power sebagai kepanjangan tangan dari PLN. Mengingat pentingnya fungsi bendungandalam mendukung penyediaan sumber energi primer, Pemerintah perlu mencari mekanismepembiayaan yang tepat untuk menghindari permasalahan administrasi di kemudian hari. 

  • 8/17/2019 Kritisnya_Kondisi_Bendungan_di_Indonesia.pdf

    11/11

    5. Bibliografi

    Balai Besar Sungai Bengawan Solo. (2008). Dipresentasikan di Departemen Pekerjaan Umum tanggal11 Januari 2008.

    Balai Keamanan Bendungan. (2006) Kegagalan Bendungan di Indonesia. Direktorat Sungai, Danaudan Waduk, Departemen Pekerjaan Umum

    Balitbang Pekerjaan Umum. (2003). Bendungan Besar di Indonesia. Proyek Pembinaan TeknisPembangunan dan Pengamanan Waduk, Direktorat Jendral Pengairan, DepartemenPekerjaan Umum

    Departemen Pekerjaan Umum (2008) Project Implementation Plan for Dam Operational Improvementand Safety Project (DOISP). Water Resources and Irrigation Sector Management Project(WISMP)

    Dinas Infokom Jatim. (2004). Minimalkan Resiko, Pemerintah Susun Operasi Pemeliharaan DanPengamanan Bendungan. Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.d-infokom- jatim.go.id/news.php?id=1148. Surabaya: Pemda Jatim

    Gabbrielli, E. (2006) Why Integrated Water Resources Management is relevant to water utilities. 

    Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.adb.org/water/operations/2006/ Gabbrielli.pdf .Kemitraan Air Indonesia. (2008). Bendungan di Indonesia dalam Kondisi Kritis Akibat Sedimentasi. Diakses 11 Juni 2008, dari www.inawater.com/news/ wmview.php. Jakarta : KAI

    Kuswardono, T. (2006). Bendungan Jatigede, Pengulangan Sejarah Kegagalan. Diakses 11 Juni 2008,dari http://www.walhi.or.id/kampanye/air/bendungan/061026_ jatigede_li/  . Jakarta:Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

    Maryono, E., et al. (2004). Atasi Krisis Air, Haruskah Dengan Bendungan Besar ? Diakses 11 Juni2008, dari http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=26 .Jakarta: Suara Publik, Jaringan Informasi Kebijakan Publik

    Washington Departemen of Ecology. (2005) Dam Safety Guidelines. Washington