KRISTENISASI DI MARGOREJO KECAMATAN DUKUHSETI ...
Transcript of KRISTENISASI DI MARGOREJO KECAMATAN DUKUHSETI ...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ZENDING : KRISTENISASI DI MARGOREJO
KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI
TAHUN 1852-1942
SKRIPSI
Oleh :
LISTYARINI DYAH WULANDARI
K4407029
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ZENDING : KRISTENISASI DI MARGOREJO
KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI
TAHUN 1852-1942
Oleh :
LISTYARINI DYAH WULANDARI
K4407029
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Listyarini Dyah Wulandari. ZENDING: KRISTENISASI DI MARGOREJO,
KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI 1852-1942. Skripsi,
Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Maret. 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Sejarah terbentuknya desa Kristen di Margorejo,Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati (2) Pelaksanaan
pendidikan Kristen di Margorejo oleh zending, (3) Proses perkembangan gereja di Margorejo menjadi gereja yang mandiri, lepas dari zending
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber
primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka, wawancara, dan observasi. Teknik analisis yang digunakan adalah
teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Sejarah
terbentuknya desa Kristen Margorejo berawal dari pekerjaan Doopgezinde Zendingsvereeniging (DZV) yang dipimpin oleh Pieter Janz di kawasan Jepara.
Dalam beberapa tahun lamanya, Pieter Janz berhasil mengkristenkan beberapa orang di wilayah Jepara dan Kedungpenjalin. Jemaat yang makin banyak itu kemudian dikumpulkan dalam suatu desa persil untuk dijauhkan dari pengaruh
budaya pribumi yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Desa persil itu disebut Margorejo yang artinya jalan menuju kesejahteraan. Margorejo terbuka bagi siapa
saja, baik orang Kristen maupun yang bukan Kristen, yang ingin masuk dan tinggal dengan syarat harus bersedia mentaati tata hidup Kristen. (2) Keberhasilan Pieter Janz dalam mengkristenkan penduduk didukung oleh penyelenggaraan
pendidikan oleh zending, dan pelaksanaannya terbuka untuk umum dan dengan biaya yang rendah. Sekolah yang didirikan zending ini dibagi menjadi dua, yakni
Sekolah Jemaat yang setingkat dengan sekolah dasar dan Sekolah Guru Zending. Kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah itu terdiri dari pelajaran pengetahuan umum dan Agama Kristen. (3) Gereja Jawa Muria lahir pada tanggal
16 April 1854, ditandai dengan pelaksanaan upacara pembaptisan oleh Pieter Janz. Sejak tahun 1854 sampai dengan tahun 1909, segala sesuatu yang berkaitan
dengan desa persil, gereja, dan pelayanan jemaat dilakukan sepenuhnya oleh zending. Konferensi para zendeling di Margorejo memutuskan gereja Margorejo resmi menjadi gereja yang dewasa dan dapat mengatur keuangannya sendiri,
namun masih didampingi oleh zending. Pendampingan zending terhadap pengelolaan gereja ini akhirnya harus benar-benar berakhir ketika Perang Dunia II
dan Belanda jatuh ke tangan Jerman maka terputuslah hubungan antara pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia dengan pusatnya. Putusnya hubungan ini berarti pula putusnya hubungan zending yang bekerja di Indonesia
dengan pengurus pusat zending di Belanda, termasuk Zending Menonit di Margorejo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Listyarini Dyah Wulandari. K4407029. ZENDING : CHRISTIANIZATION
IN MARGOREJO, DUKUHSETI, PATI. 1852-1942. Skripsi. Surakarta:
Faculty of Education and Teacher Training, Sebelas Maret University, Maret
2011.
This research for describing: (1) the established history of Christian Village in Margorejo, Dukuhseti, Pati. (2) the Christian religion school of Zending
in Margorejo,Dukuhseti, Pati (3) the independent of Christian church of Zending This study uses historical method. The steps taken in historical methods
include heuristic, criticism, interpretation and historiography. The sources of data tha used by the writer are primary and secondary sources. The techniques of collecting datas used bibliography study, interviews, and observation. The
analyzing technique used technique of historical analysis which prioritizes acurity in interpreting the facts of history.
Based on the result of the research, it can be concluded: (1) ) the established history of Christian Village in Margorejo, Dukuhseti, Pati originated from the work Doopgezinde Zendingsvereeniging (DZV) led by Pieter Janz in the
district of Jepara. In recent years, Pieter Janz managed to convert some people in the region and Kedungpenjalin Jepara. Then, the increasingly of the congregations
were gathered in a village to be maintained and kept away from the influence of indigenous culture that is incompatible with Christian doctrine. The village called Margorejo which means the road to prosperity. Margorejo open to everyone, both
Christians and non-Christians, who want to go and live with requirement that must obey the Christian life. (2) The success of Pieter Janz in Christianize is
supported by the implementation of education by zending, and their implementation is open to the public and with low cost. School founded by zending is divided into two, namely the Church School; it is the same level with
the primary school and the Teacher School Zending. The curriculum is taught consisted of subjects of general knowledge and the Christian Religion. (3) Java
Moriah Church (Gereja Jawa Muria) was born on April 16, 1854, marked by the ceremony of baptism by Pieter Janz. From 1854 until 1909, all things relating to the village, church, and service for the congregation conducted entirely by
zending. The Conference of the Zendeling in Margorejo decided Margorejo church officially became an independent church and can manage its own finances,
but still accompanied by zending. Accompaniment zending in manage this church finally ended when World War II and . Large-scale war that led to the east invaded Poland and attacked the Dutch. Successful Dutch occupied on May 10,
1940 experienced a sudden change in the world of international politics. These political changes also affect the life of Christian congregations around muria.
With the fall of the Netherlands from Germany then the relations between the Dutch East Indies colonial government in Indonesia is ended. It is give impact to the end of relationships of zending who works in Indonesia with central
committee of zending in the Netherlands, including Zending Menonit in Margorejo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang”
( Amsal 23 : 18 )
“Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”
(Andrea Hirata)
“Hasil yang positif berawal dari pikiran yang positif”
(penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada :
Bapak dan Ibuku atas doa dan dukungannya
Saudara-saudaraku yang terkasih : Mas Wikan, Mas
Sigit, dan Thomas
Simbah, om, dan bulik atas doa dan motivasinya
Sepupuku, Stefanus Dwi, yang sudah membantu
dalam pemilihan judul skripsi
Leley, Renda, Aga, Margi, Fitri, Djoko, Dian,
Gandul, Aul, Siti, Puji dan teman-teman FKIP
Sejarah Angkatan 2007 atas bantuan dan
kebersamaannya selama ini
Kakak dan adik tingkat di FKIP Sejarah yang selalu
membantu dan menyemangatiku
Saudara-saudariku di Persekutuan Hosea dan
Yohanes yang selalu mendukungku dalam doa
Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis
selesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui
permohonan penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang
telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs Leo Agung S.,M.Pd selaku pembimbing I atas bimbingan dan arahan
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku pembimbing II atas bimbingan dan arahan sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan.
6. Berbagai pihak yang tidak bisa ditulis satu persatu.
Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv
ABSTRAK ......….. ............................................................................. v
ABSTRACT ......................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO .......................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ix
DAFTAR ISI .............. ........................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 8
1. Kolonialisme ................................................................... 8
2. Pendidikan Kolonial ....................................................... 11
3. Zending............................................................................ 15
4. Kristenisasi ...................................................................... 20
B. Kerangka Berfikir ................................................................. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 31
B. Metode Penelitian.................................................................. 32
C. Sumber Data ................................................................ ......... 34
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 35
E. Teknik Analisis Data ............................................................ 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
F. Prosedur Penelitian ................................................................ 37
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Kristenisasi di Margorejo ....................................... 41
1. Permulaan Pekerjaan Doopgezinde Zendingvereeniging
di Jepara.......................................................................... 41
2. Usaha Kristenisasi oleh Pieter Jansz di Sekitar Jepara ... 46
3. Pembentukan Desa Kristen Margorejo ........................... 49
B. Pelaksanaan Pendidikan oleh Zending di Margorejo ......... 59
1. Sekolah Jemaat Margorejo ............................................. 60
2. Sekolah Guru Zending Margorejo .................................. 67
D. Perkembangan Gereja di Margorejo Menjadi Gereja yang
Mandiri Lepas dari Zending ................................................ 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 80
B. Implikasi ................................................................................ 82
C. Saran ...................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 85
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Daftar informan .......................................................................... 88
Lampiran 2. Hasil Wawancara ........................................................................ 89
Lampiran 3. Staatbladen van Nederlandsch Indie 1854 .................................. 100
Lampiran 4. Peta .............................................................................................. 101
Lampiran 5. Foto .............................................................................................. 104
Lampiran 6. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ................................... 109
Lampiran 7. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan .................................................................................... 110
Lampiran 8. Surat Permohonan Ijin Research ................................................. 111
Lampiran 9. Surat Rekomendasi Penelitian Kabupaten Pati ........................... 112
Lampiran 10.Surat Rekomendasi Penelitian Kecamatan Dukuhseti ............... 113
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia mengakui enam agama sebagai agama yang
resmi di Indonesia. Agama-agama tersebut ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Kong Hu Cu. Tiap pemeluk agama dilindungi oleh pemerintah dan
Undang-Undang Dasar 1945 sehingga bebas melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing. Agama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Agama
Kristen. Agama Kristen adalah agama yang mengakui dan menyembah Yesus
Kristus sebagai Tuhan (Ensiklopedi Alkitab, 2000: 237).
Menurut Pater G. Van Schie, Agama Kristen sebenarnya sudah
menyentuh Nusantara pada awal abad ke-7 Masehi, bersamaan dengan tumbuhnya
Gereja Mar Thoma di Barus Sumatera. Disebutkan bahwa di Jawa Timur sudah
pernah ada dua tempat Kristiani Chaldea, yaitu Gereja Nestorian yang induknya
terdapat di Asia Barat dan telah bersatu kembali dengan Gereja Roma, akan tetapi
di Jawa, gereja itu sudah lenyap tanpa meninggalkan bekas (Pater G. Van Schie,
1994 : 104). Hal senada diungkapkan oleh Sukoco, bahwa jauh sebelum
datangnya Portugis di Asia Tenggara pada awal abad ke-16, diduga gereja Kristen
telah berkembang di Asia Tenggara sebagai bagian dari Gereja Kristen yang
tumbuh di India. Agama Kristen yang dimaksud ini adalah Agama Kristen
Katolik. Jemaat Kristen Katolik ini berkembang sebagai buah aktivitas para
pedagang-pedagang Kristen dari Mesir dan Persia yang menetap di Arabia
Tenggara, India Barat, dan Selatan serta Sri Lanka. Jemaat-jemaat Kristen
Nestorian yang tumbuh di sana tetap bertahan sampai sekarang dengan nama
Gereja Mar Thoma. Bukan tidak mungkin bahwa diantara pedagang Kristen itu
ada yang sampai di Asia Tenggara dan Nusantara. Dalam beberapa sumber yang
ditulis sekitar tahun 1050 Masehi dan tulisan salah seorang sejarawan Islam yang
menulis pada tahun 800-an M, menyatakan bahwa terdapat banyak Gereja
Nestorian yang berada di pantai barat Sumatera, di sebuah tempat yang bernama
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Fanshur, yang letaknya diduga di sebelah utara kota Sibolga sekarang (Soekoco,
2010 : 14).
Pada beberapa abad sesudah Masehi, pedagang-pedagang Kristen dari
Mesir dan Persia menetap di Arabia Tenggara, di India barat dan Selatan, dan di
Sri Lanka. Jemaat-jemaat mereka di India selatan bertahan terus sampai sekarang
(Gereja Mar Thoma). Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang
Kristen datang ke Nusantara juga. Diketahui bahwa pada abad ke-14 dua kali
seorang misionaris dari Barat singgah di Sumatera, tetapi bagaimanapun juga
kehadiran orang-orang Kristen dari luar itu tidak meninggalkan bekas di
Indonesia (Van Den End, 1980:19-20).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak sekitar 700
tahun sebelum datangnya Kristen Barat di Indonesia, sudah terdapat orang Kristen
dan gereja Kristen Timur di wilayah Nusantara. Namun ketika Vasco da Gama
dan pelaut Portugal yang lain mulai berlayar ke Indonesia lewat Afrika Selatan
pada tahun 1498, gereja-gereja Nestorian itu telah lenyap. Diperkirakan karena
adanya tekanan penganiayaan oleh penganut kepercayaan pribumi yang telah
berlangsung lebih dahulu.
Agama Kristen dibawa kembali ke Nusantara adalah ketika Portugis
datang ke Indonesia mencari rempah-rempah, mereka juga membawa serta para
misionaris Katolik. Misi diartikan sebagai organisasi-organisasi yang
menyebarluaskan Agama Katolik kemana dan kapanpun juga (Burhanuddin Daya,
2004:98). Kegiatan Misi ini didukung sepenuhnya oleh penguasa Portugal dan
Spanyol. Raja Portugal dan Spanyol memiliki tiga tujuan pokok yang dikenal
dengan semboyan 3G, yakni Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel
(menyebarkan Agama Katolik). Misionaris yang terkenal adalah Fransiscus
Xaverius, yang melancarkan usaha penginjilan yang cukup hebat di pulau rempah-
rempah ini. Sekitar 200 misionaris Dominikan dan Fransiskan melayani di
Indonesia Timur sepanjang abad ke-16 (Sukoco, 2010 : 16). Namun ketika para
misionaris sampai di Maluku, mereka harus menghadapi tantangan-tantangan
seperti iklim yang buruk, kekurangan bahan pangan dan gangguan dari kaum
Muslim. Maju mundurnya pekerjaan itu semata-mata bergantung pada kuasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
militer Portugis. Sampai tahun 1570, pengaruh Misi berkembang dengan
memuaskan. Keadaan ini berubah sejak tahun 1600, sebab pada waktu itu Belanda
dan Inggris telah merebut kuasa laut dari Spanyol dan Portugal. Dengan
kandasnya kekuasaan Portugis, maka masuklah agama baru yakni Agama Kristen
Protestan.
Tidak seperti kedatangan Bangsa Portugis yang mempunyai tujuan pasti
untuk menyebarkan Agama Katolik, kedatangan Belanda ke Indonesia lebih
mengutamakan tujuan ekonomi dan mengesampingkan tujuan untuk menyebarkan
Agama Kristen Protestan. Hal ini terkait erat dengan karakteristik orang Belanda
yang datang ke Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut datang ke Indonesia
untuk berdagang. Sebagai pedagang, orang-orang Belanda tidak mengutamakan
pekabaran Injil. Mereka lebih berkonsentrasi pada bidang ekonomi dan
penguasaan daerah. Mereka mengakui kewajiban negara untuk mendukung
kehidupan gereja pada umumnya dan usaha pekabaran Injil pada khususnya. Akan
tetapi pemerintah koloni ini hanya memperhatikan penyiaran Agama Kristen ke
luar apabila itu menguntungkan baginya, misalnya di Maluku. Di Maluku,
penduduk pribumi berusaha dikristenkan dengan harapan bahwa orang Indonesia
yang beragama Kristen akan lebih mudah diatur daripada orang Indonesia yang
masih beragama Islam atau memeluk kepercayaan asli. Namun rupanya keyakinan
mereka meleset, terbukti ketika rakyat Maluku yang beragama Kristen juga
mengadakan perlawanan dengan sengit terhadap Belanda, dibawah pimpinan
Pattimura dan pejuang lainnya (Sukoco, 2010:17).
Di daerah lain, khususnya di daerah-daerah Islam, VOC tidak
mengusahakan pekabaran Injil karena mereka takut apabila hal itu terjadi maka
akan menyebabkan pemberontakan orang-orang Islam sehingga akan mengganggu
usaha dagang mereka. Pada intinya gereja dan aktivitasnya di wilayah benteng
didukung dan dibiayai serta diawasi, sedangkan gereja dan aktivitas pekabaran
Injil di luar benteng tidak diperhatikan apalagi didukung. Agama Kristen yang
dibawa oleh Bangsa Belanda ke Indonesia baru dapat berkembang lebih pesat
pada akhir abad XVIII. Secara umum penyebaran Agama Kristen bersumber dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
para Zending, meskipun ada beberapa orang Jawa (pribumi) yang menyebarkan
agama tersebut.
Berbeda dengan Misi, Zending diartikan sebagai pekabaran Injil, usaha-
usaha kaum Protestan untuk menyebarkan agama Kristen Protestan dan
menegakkan gereja-gereja Protestan (Burhanuddin Daya, 2004: 99). Pada masa
kekuasaan Belanda di Indonesia terdapat kerancuan terhadap penggunaan istilah
gereja untuk menyebutkan sebuah perkumpulan agama. Karena tindakan
pemerintah Hindia Belanda yang mengistimewakan gereja, maka ada beberapa
perkumpulan agama yang menyebut diri sebagai gereja. Snouck Hurgronje
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gereja adalah perkumpulan yang
mendasarkan ajarannya dari Alkitab, baik Kitab perjanjian lama maupun perjanian
baru (Snouck Hurgronje, 1932:1146). Untuk dapat memahami aktivitas Zending,
sebaiknya perlu dibahas dahulu mengenai beberapa lembaga pekabaran Injil yang
berkembang pada masa itu. Minat baru terhadap Zending yang timbul di Inggris
pada akhir abad ke XVIII yang kemudian diikuti oleh Belanda. Sebelum Belanda
mengirimkan penginjil ke Indonesia, pada tahun 1813 Inggris telah mengutus
Robinson, seorang pekabar Injil yang bertugas mengkristenkan penduduk
bumiputra Indonesia. Tahun 1814 London Missionary Society (LMS) mengirim 3
missionaris lagi. Sejenis dengan LMS, di negeri Belanda pun dibentuk lembaga
misonaris Nederlandsche Zendeling-Genootschap (NZG) pada tahun 1797
(Guillot, 1985 : 5). Namun karena ada perselisihan dalam badan NZG di Belanda
maka ada beberapa anggota yang keluar dari NZG, kemudian mendirikan badan
pekabaran Injil yang baru bernama: Nederlandsche Zendelingvereniging (NZV).
Setelah itu mulai bermunculan lembaga-lembaga pekabaran Injil yang bermacam-
macam aliran, yakni : Java Committee, Salatiga Zending, Het Genootschap voor
In-en Uitwendige Zending (GIUZ), Nederlandsche Gereformede
Zendingsvereniging (NGZV), dan Doopsgezinde Zendingvereniging (DZV).
Lembaga-lembaga Zending yang tertulis di atas memiliki perbedaan dalam hal
aliran, prinsip-prinsip rohani, wilayah kerja, dan cara-cara Kristenisasi yang
diterapkan (Sukoco, 2009: 110).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Ketika Belanda menerima kembali Hindia Belanda dari tangan Inggris
pada tahun 1816 mereka harus menata lagi hubungan antara Gereja dan Negara.
Maka, Raja Wilhem I, yang memperhatikan nasib daerah jajahan, merasa prihatin
dengan masalah penyebaran agama ini. Sebab itu, dengan alasan agar lebih
berdaya guna, ia meminta kepada gereja-gereja yang terdapat pada waktu itu di
daerah jajahan supaya lebih bersatu memusatkan usaha mereka secara bersama-
sama daripada bergerak sendiri-sendiri pada wilayah masing-masing. Persatuan
ini terwujud pada tahun 1835. Landasannya Kristen Protestan, organisasi ini
terdiri dari berbagai aliran : Calvinisme, Lutherian, Remontran, dan Mennonite
(Guillot, 1985 : 5).
Aliran-aliran ini kemudian menyebar ke beberapa daerah di Hindia
Belanda, termasuk di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati.
Zendeling yang menyebarkan agama Kristen, yang mengadakan baptisan pertama
kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Desa Kristen Margorejo bernama
Pieter Jansz. Pieter Jansz, misionaris kelahiran 1820 ini tiba di Jawa tahun 1851,
dikirim oleh DZV (Doopsgezinde Vereeniging ter bevordering
derEvangelieverbreiding in Nederlandsche bezittingen), yaitu masyarakat
misionaris Mennonite yang baru terbentuk di Belanda. Tahun 1852 Jansz pindah
tempat dari Semarang ke Jepara, kemudian menyebarkan agama di daerah sekitar
Jepara dan Pati. Tiga tahun setelah itu, Jansz mengadakan baptisan pertama di
Margorejo, Pati, dan mendirikan sekolah pemuridan agama Kristen. Dalam
perkembangannya, pekerjaannya digantikan oleh putranya yang bernama Pieter
Anthonie Jansz yang menjadi pendeta I di Margorejo pada tahun 1883 (Guillot,
1985: 6).
Margorejo adalah sebuah desa yang unik karena sebagian besar
penduduknya beragama Kristen Protestan. Bila dibandingkan dengan jumlah
penduduk Kristen dengan desa-desa tetangganya, seperti Banyutowo, Tegalombo,
Margokerto, dan lain-lain, maka Margorejo dapat dikatakan mempunyai jumlah
penduduk Kristen yang banyak dengan pengaruh Agama Kristen yang paling kuat.
Dari kenyataan di atas mendorong penulis untuk memaparkan bagaimana proses
Kristenisasi yang dilakukan oleh Zending di Margorejo. Oleh karena itu penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mengangkat suatu pokok permasalahan “Zending : Kristenisasi di Margorejo
Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati Pada Tahun 1852-1942” sebagai judul
skripsi.
B. Perumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang masalah seperti yang telah disebut di
depan, dapat diungkapkan masalah inti : bagaimana sejarah Kristenisasi di
Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati. Masalah ini dijabarkan
menjadi tiga sub masalah, yaitu:
1. Bagaimana sejarah Kristenisasi di Margorejo?
2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh Zending
di Margorejo?
3. Bagaimana perkembangan gereja di Margorejo sampai menjadi gereja
yang mandiri setelah lepas dari Zending?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini
adalah untuk :
1. Mengetahui Sejarah pembentukan Desa Kristen Margorejo
2. Mengetahui pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh Zending
di Margorejo
3. Mengetahui perkembangan gereja di Margorejo sampai menjadi gereja
yang mandiri setelah lepas dari Zending
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti
b. Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Sejarah Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartispasi
mengenai penyebaran Agama Kristen Protestan dengan benar dan
yang belum terjangkau dalam penelitian ini
b. Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya,
mengenai Sejarah Kristenisasi oleh Zending
c. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana
pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan
IPS Program Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kolonialisme
a. Pengertian Kolonialisme
Kata kolonialisme berasal dari Bahasa Latin colonia yang berarti tanah
pertanian atau pemukiman atau jajahan. Berdasarkan Oxford English Dictionary
yang dikutip oleh Ania Lomba (2000 : 1), yang dimaksud dengan koloni adalah :
Sebuah pemukiman dalam negara baru ..... sekumpulan orang yang
bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas
yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang
dibentuk seperti itu terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan
mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan asal
masih dipertahankan.
Edward W. Said (1996 : 32) mendefinisikan koloni adalah daerah jajahan
sebagai tempat bagi penduduk atau sekelompok orang yang bermukim di daerah
baru yang merupakan daerah asing serta jauh dari daerah asal akan tetapi masih
tetap mempertahankan ikatan dengan daerah asalnya. Kata kolonialisme menurut
Kansil dan Julianto (1988 : 22) diartikan sebagai serangkaian nafsu suatu bangsa
untuk menaklukkan bangsa lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi
kebudayaan.
Kolonialisme juga dipandang sebagai nafsu dan sistem yang merajai atau
mengendalikan ekonomi atas negeri atau bangsa lain. (Cahyobudi Utomo, 1995
:2). Hasan Alui (2002 : 582) memberikan definisi tentang kolonialisme adalah
paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan
maksud untuk memperluas negara itu. Lebih lanjut International Encyclopedi of
The Social Sciences (1972) memberikan definisi kolonialisme adalah pengelolaan
tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditujukan pada orang asing yaitu dari
suatu bagian tertentu terhadap peran kekuasaan tersebut.
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan kolonialisme adalah usaha dari suatu bangsa atau negara
menaklukkan bangsa lain di luar daerah kekuasaannya sendiri yang meliputi aspek
politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan
b. Tujuan Kolonialisme
Pelaksanaan kolonialisme di berbagai Negara mempunyai tujuan yang
meliputi berbagai aspek, antara lain :
1) Tujuan Ekonomi
Eksploitasi ekonomi terutama sumber daya alam yang dipengaruhi
sepenuhnya untuk kepentingan negara kolonial, demi kelangsungan industrinya.
Daerah kolonial juga dijadikan pasar paksaan bagi barang-barang Eopa (Ania
Lomba, 2000 : 5).
2) Tujuan Politik
Proses membentuk komunitas dalam negara baru, yang berarti
membubarkan atau membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada
akibat terjadi praktek-praktek perdagangan, penjarahan, negosiasi, perang,
pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan. Dengan
demikian kolonialisme merupakan penaklukkan dan penguasaan atas tanah dan
harta benda rakyat lain. (Ania Lomba, 2000 : 2).
3) Tujuan Sosial
Kolonialisme bukan hanya penguasaan ekonomi dan politik saja, tetapi
juga merupakan hasrat penguasaan identitas. Pada saat perkembangan
kolonialisme digerakkan dalam kerangka kekerasan yang sama sekali tidak
memanusiakan manusia ditimpangkan lewat tajamnya gap kehidupan sosial
ekonomi. Manusia dibagi berdasarkan kasta dengan faktor nilai dan bukan milik
suatu ras tertentu. (Mubiddin M. Doblani, 2001 : 4).
4) Tujuan Budaya
Salah satu ciri kolonialisme yaitu diskriminasi ras atau teknis. perspektif
kolonial superioritas-inferioritas mendasari prinsip diskriminasi. Sistem kolonial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola
hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang secara hierarkis menempatkan
golongan bangsa yang memerintah di puncak teratas dari struktur masyarakat
tanah jajahan. (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991 : 6).
c. Pengelolaan Daerah Kolonial
Daerah jajahan atau yang disebut dengan koloni adalah tempat atau
wilayah yang dijadikan sebagai obyek dari praktek kolonial. Ada dua macam cara
untuk melakukan pengelolaan daerah koloni yaitu pengelolaan langsung (direct
rule) dan pengelolaan tidak langsung (indirect rule). Pengelolaan politik kolonial
yang diterapkan tidak menggunakan tangannya langsung tetapi melalui penguasa
tradisional atau feodal disebut dengan penguasaan tidak langsung (indirect rule).
Dalam sistem ini rakyat atau golongan petani dikuasai dan dieksploitasi ganda
oleh kaum feodal dan kaum kolonialis.(Noer Fauzi, 1999 : 41). Pada sistem
pengelolaan tidak langsung seperti yang dilakukan oleh Belanda dalam mengatur
daerah wilayah kekuasaannya menggunakan tenaga-tenaga atau penguasa-
penguasa lokal sebagai tangan panjang dari kekuasaan Belanda.
d. Aktivitas Kolonialisme
Tujuan utama politik kolonialisme adalah menguasai sumber kekayaan
daerah koloni untuk kelangsungan industri negara induk. Sejarah perkembangan
politik kolonial modern dimulai abad XV yang dimulai dari perjalanan panjang
dari Portugis ke Afrika pada tahun 1498 yang dibawa oleh Vasco da Gama di
India. Negara pendukung kolonialisme yang pertama di dunia adalah Portugis dan
Spanyol. Dalam abad ke XVII muncul Bangsa Inggris, Perancis, dan Belanda.
Abad ke XIX merupakan puncak perkembangan politik kolonial. Pada abad ini
pula muncul negara-negara kolonial baru seperti Jerman, Italia, dan Belgia.
(Ensiklopedi Indonesia, 1990 : 812).
Diskriminasi ras atau etnis menjadi suatu ciri sistem kolonial, hal ini
didasari oleh perspektif superioritas-inferioritas. Sistem kolonial menghendaki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial
dalam masyarakat kolonial yang secara hierarkis menempatkan golongan bangsa
yang memerintah di puncak teratas dari struktur masyarakat tanah jajahan.
(Sartono Kartodirjo, 1991: 6).
Dalam struktur masyarakat kolonial, diskriminasi mendasari sistem
pergaulan dalam berbagai dimensi kehidupan baik sosial, ekonomi, politik
maupun kebudayaan. Diskriminasi menjadi inti hubungan sosial dan menjadi
faktor penguatan dalam hubungan kolonial antara golongan yang memerintah
dengan yang diperintah. (Sartono Kartodirjo, 1991 : 60). Salah satu aktivitas
kolonial adalah eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia terhadap
daerah koloni. Hal ini berarti kolonialisme memandang tanah jajahan menjadi
sumber kekayaan bagi negara induk, tersedianya tanah dan tenaga kerja yang
murah dan melimpah memungkinkan untuk dilaksanakan eksploitasi produksi
pertanian yang menguntungkan bagi sasaran dunia. (Tauchid, 1952 : 189).
2. Pendidikan Kolonial
a. Konsep Pendidikan
1) Arti Pendidikan
Ditinjau secara etimologi istilah pendidikan berasal dari Bahasa Latin
educate yang berarti membimbing keluar. Kata tersebut sama dengan educare
yaitu memelihara, membimbing, serta memperkaya. Jadi mendidik adalah usaha
membimbing, memelihara, dan melengkapi seseorang agar mandiri di masa
depan. (Samuel Sidjabat, 1987:3). Sementara Winarno Surakhmad (1982:77),
meninjau pendidikan tidak terlepas dari pengajaran sebab di dalamnya terdapat
usaha sadar dan tujuan sistematis dan terarah untuk mengubah tingkah laku anak
agar menjadi dewasa. Pendidikan merupakan proses edukatif yang meliputi
unsur-unsur pendidikan, yaitu tujuan yang jelas, bahan yang menjadi isi interaksi,
pelajar yang aktif, guru, metode, lingkungan penunjang dan penilaian terhadap
interaksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Pendidikan adalah suatu konsep, sedangkan konsep pendidikan menurut
Dimyati Mahmud (1982:43), adalah sebagai berikut :
a) Pendidikan itu menyentuh setiap aspek kepribadian anak.
b) Pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus.
c) Pendidikan itu dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman- pengalaman,
baik di dalam maupun di luar sekolah.
d) Pendidikan itu dipersyarati oleh kemampuan dan minat anak, oleh tepat atau
tidak tepatnya situasi belajar dan efektif tidaknya cara belajar.
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa arti pendidikan ialah upaya manusia dalam membantu perkembangan anak
didik dalam menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.
Mengingat anak didik berada dalam masyarakat dimana anak tersebut hidup.
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang tidak bebas nilai, sistem yang berkembang
dalam masyarakat akan dipengaruhi usaha yang dilakukan.
2) Tujuan Pendidikan
Pendidikan yang diterapkan kepada anak didik mempunyai tujuan
tertentu. Adapun tujuan pendidikan menurut Vembrianto (1984:5), ada 3 macam
yaitu : (a) pendidikan bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir, tidak
sekedar menyampaikan informasi; (b) pendidikan bertujuan mengejar kebaikan
dan bukannya sekedar memberikan keterampilan teknik; (c) pendidikan bertujuan
mengejar kebenaran berdasarkan akal dan bukannya memberikan pendapat dan
pengetahuan praktis.
Dalam pendidikan seseorang dibantu mengenali unsur-unsur budaya
dalam masyarakat dan bersedia untuk menyelami segala segi kebudayaan baik
kesenian, cara hidup, adat istiadat, sistem nilai dan kekayaan rohaninya.
Pendidikan ini membantu orang untuk menyumbangkan saran, peran serta dan
penyempurnaan kebudayaan dan sampai pada pemanfaatannya dalam kontak
dengan kebudayaan lain. Dengan begitu proses pendidikan membantu seseorang
untuk berkembang sebagai individu yang mandiri dan berhubungan dengan
lingkungan secara otonom. (Mardiaatmaja, 1986:88).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Melihat batasan dan tujuan tersebut diatas disimpulkan bahwa
pendidikan pada dasarnya lebih dari latihan keterampilan saja, melainkan
pendidikan juga suatu pembinaan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
juga suatu pendamping agar anak didik mengenal dan menghayati nilai-nilai
manusiawi yang paling luhur.
b. Pendidikan Kolonial
Istilah kolonial telah lama muncul dan dipakai dalam berbagai pustaka.
Beberapa ahli memberikan definisi kolonial sebagai daya upaya suatu bangsa
untuk menaklukkan bangsa lain. Suhartoyo Hardjosatoto (1985:8) mengartikan
kolonial sebagai nafsu menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau
negara lain. Disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa kolonial merupakan
rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain dalam bidang
politik, sosial, ekonomi, dan penetrasi kebudayaan (Kansil dan Julianto, 1986:66).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kolonial adalah nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan dan menguasai
daerah dan bangsa lain dalam segi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial,
maupun kebudayaan. Menurut Poerwanto (1993:9), pendidikan kolonial adalah
suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial sehingga di
dalamnya terdapat pengaruh kolonial yang sangat kuat. Pendidikan dan
pengajaran di dalam paradigma kolonial diselenggarakan demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pihak monopoli dan bukan untuk kepentingan rakyat
pribumi. Warga pribumi yang memperoleh pendidikan dididik menjadi pelaksana
setia dari pengambilan keputusan yang datang dari penguasa dan bukan untuk
menjadi pemikir, konseptor yang kreatif dan terampil. Pendidikan dan pengajaran
dalam paradigma demikian menunjukkan ciri selalu menjaga kelangsungan dan
konsolidasi hak-hak istimewa kaum elit dengan segala mekanismenya yang pada
hakekatnya mengacu pada feodalisme dan fasis. (Y.B. Mangunwijaya, 1980:23).
Sejalan dengan pendapat Y.B Mangunwijaya, Hilmar Farid S. (1991:90)
menyatakan bahwa tujuan paling dasar dari penyelenggaraan pendidikan yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
mencetak kaum pribumi yang berpendidikan untuk mengisi berbagai bidang kerja
yang ada. Lebih jauh kaum etis pada masa itu melihat pendidikan sebagai satu-
satunya jalan bagi pribumi untuk mengenal peradaban barat demi kepentingan
penyesuaian. Tujuan utama pendidikan bagi masyarakat jajahan bukan didasarkan
pada kemauan baik untuk menjadikan kaum bumiputera sejajar dengan tuan
Belanda, melainkan hanya kebutuhan praktis dari perkembangan kapitalisme di
Hindia Belanda. Pendidikan barat yang diciptakan di negeri jajahan mulai
menyebar di dalam masyarakat Hindia Belanda, sebagai jawaban atas
meningkatnya kebutuhan personel yang terlatih bagi dinas-dinas yang tumbuh
cepat dan untuk mendukung kantor-kantor perusahaan ekonomi barat. (Linda
Christandty, 1994:76).
Menurut Y.B. Mangunwijaya (1980:78), Sistem pendidikan kolonial
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Tujuan utama pendidikan kaum terpelajar ialah membentuk orang-orang yang
terampil yang diperlukan sebagai pembantu dalam pelaksanaan operasional
mekanisme Hindia Belanda.
2) Mata pelajaran dan sistem sasaran pengajaran disesuaikan pada pedoman
kebutuhan struktur-struktur industri dan bisnis.
3) Dunia persekolahan dibuat dengan bermacam-macam mekanisme dan
persyaratan sehingga selalu merupakan dunia kaum elit.
4) Devide at impera dilakukan antar lapisan-lapisan berijazah yang diperketat
oleh mekanisme pengganjaran dan penghukuman, penganakemasan, dan
penganaktirian jenis-jenis sarjana dan tenaga-tenaga ahli. Demikian juga
sistem kemasyarakatan diatur, agar para pemikir yang sejati diberi status yang
kurang daripada para kaum terampil pelaksanaan setia.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan nasional diartikan sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang
terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam
usaha untuk menguasai daerah jajahan dalam segi politik, ekonomi, sosial,
maupun kebudayaan dengan penyelenggaraan pengajaran yang bertujuan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
mencetak kaum pribumi berpendidikan guna memenuhi kebutuhan praktis dari
perkembangan kapitalisme di negara koloni, dalam hal ini yang dimaksud adalah
Hindia Belanda. Penerapan pendidikan barat yang meliputi cabang-cabang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh
industri-industri penunjang mendapatkan promosi pengembangan dan bantuan
dana yang banyak. Siswa hanya dipersiapkan untuk menjadi pelaksana setia demi
kepentingan kolonial.
3. Zending
Zending diartikan sebagai organisasi-organisasi yang menyebarluaskan
Agama Kristen Prostestan ke mana dan kapan pun jua (Burhanudin Daya, 2004:
98). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Zending adalah pekabaran Injil, usaha-usaha
kaum Protestan dalam menyebarluaskan agama Protestan dan menegakkan
gereja-gereja Protestan. Bagi mereka, pekabaran Injil atau Zending sama saja
dengan gereja karena keduanya merupakan dwi tunggal yang tak terpisahkan.
Ketika gereja lahir pada hari turunnya Roh Kudus maka pada saat itu pula sebuah
mandat diamanatkan pada umatnya, yaitu menyebarkan Injil kemana-mana.
Lebih lanjut H. Kraemer (1987:332) menyatakan bahwa “Zending
menurut cirinya yang hakiki bersifat universal dan supranasional, karena
merupakan pengejawantahan dari alam dan panggilan gereja Kristen yang harus
dilaksanakan Yesus Kristus dan ajaran-Nya dalam kata dan perbuatannya kepada
semua bangsa sampai ke ujung dunia”. Selain Zending, dikenal juga istilah
zendeling, yaitu paderi atau orang Kristen Protestan yang melaksanakan tugas
pekabaran Injil di antara orang-orang yang dianggap kafir untuk dijadikan Kristen
dengan membawakan ajaran Kristen kepada mereka.
Walaupun Zending baru dicetuskan lima belas abad setelah misi Katolik
(sejak abad ke-16 M) tugas pekabaran Injil tersebut cepat menjangkau Indonesia,
mulai permulaan abad ke-17 M. Bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa
Protestan lainnya terutama Inggris, baru mendapat kesempatan untuk melakukan
pekabaran Injil ke luar Eropa, setelah mereka berhasil merebut kekuasaan di laut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dari tangan Spanyol dan Portugis yang beragama Katolik. Pada awal abad ke-17,
dibentuk kongsi dagang perkapalan Belanda, Verenidge Oost-Indische
Compagnie (VOC), tepatnya tahun 1602 di Belanda. Kompeni ini melakukan
tugas-tugas perdagangan dari Belanda sampai ke Jepang melalui Tanjung Harapan
dan Indonesia. Di Indonesia, di bawah seorang Gubernur Jenderal, kompeni juga
membawa penghibur atau perawat penderita rohani atau jasmani yang
memperoleh hak dari gereja untuk membaptiskan orang dan mengusahakan
penyebaran Injil atau Zending. (Burhanudin Daya, 2004: 99).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Zending adalah
organisasi keagamaan yang menyebarluaskan Agama Kristen Prostestan dan
menegakkan gereja-gereja Protestan, bersifat universal dan supranasional yakni
mewartakan ajaran Kristen kepada semua bangsa di dunia. Zending Belanda
mulai memasuki Pulau Jawa pada tahun 1848, ketika Hindia Belanda diperintah
oleh Stamford Raffles. Di bawah ini adalah Zending-Zending yang memasuki
Pulau Jawa, antara lain:
a) Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG)
Badan Zending NZG didirikan pada tanggal 19 Desember 1797 di
Rotterdam Belanda oleh orang-orang yang tergerak untuk melakukan penginjilan
berkat pengaruh gerakan Reviel-Pietisme di Belanda. Zending NZG merupakan
Zending yang non-gerejawi karena tidak didirikan oleh gereja sehingga tidak
bertanggung jawab kepada gereja mana pun. Zending NZG juga bukan Zending
konvensional karena tidak berdasarkan dogma gereja tertentu. Mula-mula NZG
mengirim tiga orang zendeling, yaitu : J.Kam, J.C. Supper, dan G. Bruckner ke
Hindia Belanda bertepatan dengan pemerintahan Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles di Jawa. (Soekotjo, 2009:107).
Mereka tiba di Batavia tanggal 26 Mei 1814. Oleh pemerintah, J.Kam
dikirim ke Ambon, J.C. Supper dijadikan pendeta di Batavia, sedangkan
G.Bruckner ditempatkan di Semarang, dan tercatat dalam sejarah bahwa ia
berhasil menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa Jawa pada tahun 1823, namun
sayang sekali Alkitab tersebut setelah dicetak di Serampore disita oleh Pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Belanda. (Imam Sugiri, 1986:15) . Angkatan zendeling berikutnya semua dikirim
ke Indonesia bagian timur, terutama ke Maluku, Timor, dan Minahasa. NZG
mulai mendapatkan ijin untuk mengadakan penginjilan di Jawa, pada Februari
1848, zendeling Jelle Eeltjes Jellesma ditempatkan di Surabaya.
Sejak Juli 1851 Jellesma pindah ke Mojowarno bersatu dengan jemaat
Kristen asuhan Kyai Paulus Tosari. Sejak itu NZG bekerja di tengah-tengah
masyarakat Jawa Timur. Dari pekerjaan mereka di Jawa Timur ini lahirlah Gereja
Kristen Djawi Wetan. Di Jawa Tengah, pekerjaan Zending tidak sebaik pekerjaan
mereka di Jawa Timur. Karena pekerjaan mereka berhenti di tengah jalan maka
jemaat Semarang dan Nyemoh (Salatiga) diserahkan kepada Salatiga Zending,
sedangkan jemaat Kayuapu dan Ngalapan diserahkan kepada Doopsgezinde
Zendingsvereninging (DZV).
b) Java Committee
Java Commite merupakan bagian dari Vereniging ter verbreiding der
Waardheid. Organisasi ini didirikan di Amsterdam pada tanggal 24 Maret 1855
dengan tokohnya J. Esser bekas Residen Timor dan pembentuk Het Genootschap
voor in-en Uitwendige Zending (GIUZ) di Batavia. Sama seperti NZG, Zending
ini pun tidak berafiliasi dengan gereja tertentu dan mengusung ajaran gereja
tertentu. Tujuan membangun gereja yang dewasa dan berdiri sendiri bukan
merupakan tujuan utama bagi Zending ini. Karena di Batavia pekerjaan mereka
kurang berhasil, maka mereka mengalihkan sasaran ke etnis Madura di Jawa
Timur. Namun rupanya di Madura pekerjaan Zending ini juga kurang berhasil,
terbukti hanya satu orang saja yang mau menerima baptisan, yakni Ebing, yang
nantinya akan membantu mengabarkan Injil ke daerah sekitarnya.
c) Doopsgezinde Zendingsvereniging (DZV)
Bersamaan dengan bekerjanya zendeling Jellesma di Surabaya, pada
Bulan Agustus 1852 telah bertugas seorang zendeling utusan dari Doopsgezinde
Zendingsvereniging (DZV) yang bernama Pieter Jansz di Jepara. DZV sendiri
merupakan perkumpulan Zending warga gereja Doopsgezinde (Menonite)
Belanda yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1847. Sebagai perkumpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
gereja, ternyata Zending ini bukan Zending gerejawi. Jadi bisa dikatakan bahwa
Zending ini hampir sama dengan NZG dan Java Commite yang non-gerejawi,
namun terdapat sedikit perbedaan, yakni pada sifat DZV yang konvensional. DZV
berpegang pada ajaran Gereja Menonite. Ciri khas ajarannya adalah bersifat
kontekstual, pembaptisan hanya dilakukan pada orang dewasa, menolak segala
bentuk kekerasan, dan prinsip pemisahan yang tegas antara gereja dan negara.
(Soekotjo, 2009: 109).
Pieters Jansz dan penerusnya cenderung menekankan pertobatan manusia
untuk membuahkan kesusilaan yang nyata. Bersamaan dengan bekerjanya di
kawasan sekitar Muria, terdapat penginjil pribumi yakni Kyai Tunggul Wulung.
Kyai Tunggul Wulung melakukan penginjilan di Kayuapu-Kudus, Ngalapan-Pati,
Bangsal-Juana, Bondo-Jepara, dan sekitarnya. Meskipun demikian Zending DZV
tetap terus bekerja. Beberapa zendeling berikutnya datang membantu Jansz adalah
H.C Klinkert (Jepara), N.D Schuurman (Jepara), Pieter Anthonie Jansz
(Margorejo), Johann Hubert (Kedung Penjalin), Johann Fast (Kayuapu), Johann
Klassen (Margorejo), H. Thieesen (Margorejo), dan masih banyak lagi. Mereka
dibantu oleh guru Injil yang berasal dari daerah setempat yakni : Pasrah Karsa,
Semuel Sampir, Petrus, Ngangkah, Andreas Ngariman, Tresna Wiradiwangsa, dan
penginjil-penginjil generasi berikutnya. Dari pekerjaan mereka telah tumbuh desa
Kristen di Kedungpenjalin, Margorejo, Margokerto, dan Pakis Suwawal. Dari
pusat-pusat ini Injil menyebar ke daerah sekitar Muria. Pekerjaan Zending DZV
ini melahirkan dua gereja di kawasan kerjanya yakni Gereja Injili di Tanah Jawi
(GITJ) dan Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI).
d) Salatiga Zending
Lembaga Zending yang dikenal dengan Salatiga Zending ini sebenarnya
Die Waisen und Missionssanstaalt zu Niukirchen yang didirikan pada tahun 1878
oleh Dr. L.Doll di Niurchen, Jerman. Mereka muncul sebagai akibat lanjutan
adanya jemaat Nyemoh Salatiga hasil pekerjaan Ny. E.J.Le Jolle yang mendapat
bantuan dari zendeling W.Hoezoo-Semarang dan zendeling J.Kruyt-Mojowarno.
Salatiga Zending ini juga bukan Zending yang bersifat gerejawi dan konvensional,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
bahkan tanpa tata gereja dan tanpa pengakuan iman tertentu. Kecuali menggarap
kawasan Salatiga ke arah timur sampai Blora, Salatiga Zending di penghujung
abad ke-20 dengan bubarnya NGZV menerima limpahan jemaat Muaratuwa dan
sekitarnya di Tegal. Bahkan pada tahun 1933 menerima penggabungan jemaat
Kyai Sadrach yang berada di kawasan Jawa Tengah Utara. Dari pekerjaan
Salatiga Zending inilah lahir Gereja Kristen Jawa Tengah Utara-Parepatan Agung
(GKJTU-PA). (Soekotjo, 2009: 111).
e) Het Genootschap voor in-en Uitwendige Zending (GIUZ)
GIUZ didirikan di Batavia pada tahun 1852 atas prakarsa tiga serangkai,
yaitu: Mr. F.L.Anthing, Ds. E.W.King, dan J.Esser yang merasa prihatin dengan
kehidupan orang-orang yang berada di luar gereja, dan yang murtad dari gereja.
Mereka ingin mendapatkan orang-orang ini bagi Kristus melalui penginjilan.
Prinsip GIUZ ialah memberitakan Injil keselamatan bagi kaum pribumi dengan
menggunakan penginjil kaum pribumi pula. Zending ini bersifat non-gerejawi dan
non-konvensional.
Lewat penginjil-penginjil pribumi yang dididik, seperti Ibrahim Sujana,
mereka berhasil menumbuhkan jemaat di sekitar Batavia. Jemaat ini dikenal
dengan “jemaat Anthing”, tumbuh di Kampung Sawah, Pondok Melati, Gunung
Putri, Cigelam, Cikuya, Tanah Tinggi, Cakung, dan Ciater. Di samping itu mereka
mengutus kelompok penginjil seperti Johannes Vrede, Laban, Hebron Lilie,
Jonathan Saridja, dan Leonard ke Karesidenan Tegal dan Banyumas untuk tugas
yang sama. Pekerjaan di Jawa Tengah ini nanti diteruskan oleh Zending NGZV
sampai akhir abad ke-19.
f) Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereniging (NGZV)
Di kalangan Nederlandsche Hervormd Kerk (NHK), sayap kanan
Gereformeerd juga muncul kerinduan untuk ikut serta dalam pekabaran Injil di
negeri jajahan. Keinginan ini terjawab dengan dibentuknya Nederlandsche
Gereformeerde Zendingsvereniging (NGZV) pada tanggal 6 Mei 1859 di
Amsterdam. Lembaga ini berbadan hukum sejak tanggal 19 Oktober 1850. NGZV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
juga bersifat non-gerejawi tetapi bersifat konvensional, yakni berpegang teguh
pada ajaran Calvin.(Soekotjo, 2009: 112).
g) Nederlandsche Zendingsvereniging (NZV)
NZV didirikan di Amsterdam pada tanggal 2 Desember 1858. NZV
menetapkan hati untuk bekerja di Pasundan dengan kota-kota sebagai sasaran
utama pekerjaannya. NZV lebih menekankan pada kesalehan dan spontanitas
daripada ilmu pengetahuan dan persiapan kekristenan yang matang. Dengan
demikian praktek para zendeling lebih bersifat anthroposentrisme, yaitu membawa
umat kepada pertobatan dan hidup kesusilaan yang baik.
Beberapa zendeling seperti : D.J. van der Linden (Indramayu), C.Albers
(Cianjur), A.Dijkstra (Cirebon), S. Coolsma (Bogor), dan lain-lain. Setelah
melakukan penginjilan selama beberapa waktu, bisa dikatakan bahwa mereka
gagal mendekati etnis Sunda. Hal ini disebabkan terutama karena fanatisme
masyarakat Jawa Barat terhadap agama yang telah dipeluknya serta sebab lain,
yakni karena para zendeling tidak benar-benar mendalami lingkungan social-
budaya dan religius tempat mereka bekerja. (Soegijanto Padmo, 2008: 21).
Perlawanan demi perlawanan dari Islam sangat kuat sehingga pekabaran Injil
berjalan sangat lambat dan itu pun hanya terbatas pada daerah perkotaan yang
tidak terlalu kuat tradisinya. Setelah bekerja puluhan tahun, pada tahun 1934
gereja asuhan NZV di tanah Pasundan ini mencapai kedewasaannya dengan
sebutan Gereja Kristen Pasundan (GKP) dengan warga jemaat sejumlah 6.215
orang yang sebagian besar terdiri dari etnis Jawa, Ambon, Manado, dan
Cina.Warga gereja dari etnis Sunda sendiri boleh dikatakan sangat kecil
jumlahnya.
4. Kristenisasi
a. Pengertian Agama Kristen
Agama Kristen ialah agama yang mengakui Tuhan Yesus Kristus
sebagai Tuhan dan juruselamat manusia, berdasarkan pernyataan Allah yang
tertulis di dalam Alkitab yang berisi kitab Perjanjian Lama dan Baru (Timotius
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Haryono, 2009: 6). Iman Kristen adalah iman yang berkeyakinan bahwa Tuhan
Allah di dalam Yesus Kristus telah mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya
sendiri (Harun Hadiwijoyo, 1995:24).
Agama Kristen memiliki dasar-dasar ajaran yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan agama yang lain. Kekhususan-kekhususan tersebut antara
lain :
1) Agama Kristen sebagai agama
Unsur-unsur utama dalam agama lain juga terdapat dalam Agama
Kristen. Unsur-unsur tersebut antara lain: doa, upacara, fungsi kemasyarakatan,
dan lainnya. Alkitab menyatakan bahwa Agama Kristen menyembah kepada
Allah yang esa.
2) Yesus Kristus
Allah yang disembah oleh umat Kristen adalah Yesus Kristus. Yesus
ialah Putera Allah yang datang dari surga ke bumi. Ia dilahirkan seorang perawan
Maria dalam sebuah kandang di Betlehem. Ia memperlihatkan kemahatahuan-Nya
dengan meramalkan keadaan sekitar pada saat kematian-Nya. Ia menegaskan diri-
Nya sebagai Al-Masih dan Putera Tuhan, pribadi kedua dalam Trinitas ini
dibuktikan dengan mukjizat-Nya yang menakjubkan, yaitu kemampuan-Nya
meredakan badai, mengubah air menjadi anggur, berjalan di atas air, dan bukti
yang paling hebat adalah meninggalkan kubur pada hari ketiga setelah kematian-
Nya. Ia bangkit dari kematian dan naik ke surga.
Yesus mengajarkan bahwa kerajaan Tuhan ada dalam hati manusia.
Mengetahui saat kematian-Nya sudah dekat, Ia kemudian mewariskan gereja yang
didirikan selama kehidupan-Nya di dunia. Ia memilih 12 rasul menjadi wakil-Nya,
kemudian disebut Uskup yang akan menjadi pengganti dalam mengajarkan dan
memerintah gereja sampai akhir jaman (Peter de Rosa, 2006:4).
Gereja ini menjadi simbol persatuan dan cinta kasih sebagai tanda bahwa
Yesus merupakan sumber dari segala kehidupan. Yesus Kristus menjadi
kekhususan dalam Agama Kristen disebabkan oleh pernyataan Alkitab atau
wahyu Allah tentang Yesus Kristus yang menjelaskan bahwa ke-Allah-an Yesus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Kristus terbukti. Keistimewaan pelayanan Yesus Kristus dalam tindakan-Nya
mewujudkan kehendak Allah; sikap-Nya yang penuh kasih terhadap orang-orang
yang sederhana, manusia berdosa dan orang-orang yang menderita. Konsekuensi
sikap Yesus Kristus sampai mengorbankan diri dan wafat di kayu salib karena
dosa manusia; Kebangkitan-Nya dari antara orang mati dan kenaikan-Nya ke
sorga sebagai pembenaran kehidupan-Nya.
3) Alkitab
Alkitab adalah wahyu Allah atau pernyataan Allah yang diinspirasikan
oleh Roh Kudus dan tertulis dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang
terdiri dari 66 kitab. Inspirasi Alkitab hendak menyatakan bahwa kebenaran iman
Kristen dapat dibuktikan.
4) Keselamatan
Jalan keselamatan adalah inisiatif Allah yang Maha Pengasih itu, dan
bahwa manusia dipanggil untuk menggantungkan diri seluruhnya kepada karya
Allah di dalam Yesus Kristus. Keselamatan diterima manusia hanya oleh iman
kepada Yesus Kristus dan diikuti dengan pertobatan serta perbuatan yang sesuai
dengan ajaran cinta kasih yang tertulis di dalam Alkitab.
5) Gereja
Allah memanggil setiap manusia berdosa dari kegelapan untuk datang
kepada terang-Nya yang ajaib. Manusia berdosa yang menanggapi panggilan
Allah itu secara bersama-sama diterima menjadi umat Allah (gereja). Jadi gereja
tidak hanya diartikan sebagai sebuah gedung tempat umat Kristen beribadah, tapi
merupakan umat Kristen itu sendiri. Yesus Kristus diibaratkan sebagai kepala
gereja dan umat Kristen sebagai tubuh. Keikutsertaan dalam tubuh Kristus
merupakan sarana untuk bertumbuh dalam iman dan saling melayani satu sama
lain (Timotius Haryono, 2009:8).
b. Asas-Asas Etika Kristen
Asas-asas etika Kristen yang harus diperhatikan oleh umat Kristen, yaitu
pertama: kasih. Kasih mengandung arti orang Kristen harus takut dan penuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
hormat kepada Allah, mentaati kehendak Allah, dan mewujudkan hidup sebagai
ibadah yang berkenan kepada Allah. Kedua, Alkitab. Alkitab adalah wahyu
normatif yang harus menjadi patokan dalam pengambilan keputusan pribadi umat
Kristen. Ketiga, Kristusentris. Allah mewajibkan orang Kristen untuk hidup sama
seperti Kristus hidup dan berpusatkan pada Kristus. Oleh karena itu ajaran dan
teladan kehidupan Yesus harus mendasari keputusan hidup umat Kristen.
Keempat, hidup normal di dunia abnormal. Setiap umat Kristen adalah
manusia yang sudah diperbarui oleh kuasa Roh Kudus yang harus berkarya dan
memuliakan nama Tuhan. Dalam konteks ini Allah menuntut dan menunjukkan
cara hidup yang harus lebih baik dibandingkan umat kebanyakan. Kelima, relasi
intim dengan Allah. Agar umat Kristen senantiasa hidup berkenan kepada Allah,
maka ia harus membina hubungan yang intim dengan Allah. Keintiman relasi
dengan Allah akan membuat umat Kristen memiliki kepekaan ilahi yang tinggi
sehingga mampu membuat keputusan hidup yang sesuai dengan pimpinan Roh
Kudus.
Keenam, Allah menghendaki kesempurnaan. Sekalipun umat Kristen
hidup dalam dunia yang telah berdosa di hadapan Tuhan, namun Tuhan
menghendaki umat Kristen hidup sempurna dalam melaksanakan perintah-Nya,
sebagaimana Allah itu kudus dan sempurna adanya. Ketujuh, berlaku universal.
Firman Allah menjadi patokan normatif dalam pengambilan keputusan etis dan
prinsip ini berlaku bagi semua manusia di manapun berada dan dalam kondisi
apapun.
c. Pengertian Kristenisasi
Masdum Muharram (2003 : 3) berpendapat bahwa Kristenisasi adalah
sebuah gerakan keagamaan yang bersifat politis kolonialis. Gerakan yang muncul
akibat kegagalan Perang Salib sebagai upaya penyebaran agama Kristen ke
tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia ketiga. Pada awalnya para pengikut Yesus
Kristus tidak menyebut diri mereka dengan suatu nama, sebutan Kristen justru
diperkenalkan oleh orang-orang Yahudi di Anthiokia sebagai nama ejekan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
sindiran kepada pengikut Kristus. Dalam perkembangannya para pengikut Kristus
itu tidak mempermasalahkan penggunaan nama Kristen bagi kelompok mereka,
karena dirasa tidaklah memalukan apabila pengggunaan nama tersebut berisi
nama Juruselamat mereka, yakni Kristus. Dan bagaimanapun juga sebutan
„Kristen‟ telah baku pada tahun 60-an. (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini,
2004:594).
Yang dinamakan Kristenisasi ialah mengkristenkan orang atau membuat
seseorang memeluk agama Kristen. Arti kata-kata itu menurut istilah ialah
mengkristenkan orang secara besar-besaran dengan segala daya upaya yang
mungkin agar supaya adat dan pergaulan dalam masyarakat mencerminkan ajaran
agama Kristen. Masyarakat yang demikian akan lebih melancarkan tersiar luasnya
agama Kristen. Akhirnya kehidupan rohani dan sosial penduduk diatur dan
berpusat ke gereja. Pengkristenan dipercayai sebagai satu tugas suci yang dalam
keadaan bagaimanapun tidak boleh ditinggalkan. Mengkristenkan orang dianggap
sebagai membawa kembali anak-anak domba yang tersesat, dibawa kembali
kepada induknya. Manusia-manusia sebagai anak domba akan dibawa kepada
kerajaan Allah.
Kristenisasi adalah usaha internasional, artinya mereka bermaksud
menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia. Dapat diakui bahwa ini adalah
mutlak hak asasi mereka, sebagaimana orang Muslim juga mempunyai tugas
menyiarkan Islam ke seluruh dunia. Namun demikian memang perlu sama-sama
disadari perlunya suatu garis pengamanan yang dapat menghindarkan terjadinya
pergesekan dan perselisihan, sehingga masing-masing pemeluk agama tertentu
tidak merasa cemas untuk dipaksa atau dibujuk atau diusahakan pindahnya
kepada agama lain. Garis ini harus jelas dan ditaati terutama oleh para pemeluk
agama yang telah disahkan oleh Negara Republik Indonesia seperti misalnya
agama Islam dan Kristen. (http://www.scribd.com/doc/7856963/Sejarah-
Kristenisasi-Di-Indonesia,18 Januari 2011).
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Kristen
berarti pengikut Kristus, maka Kristenisasi adalah usaha untuk menjadikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
seseorang maupun suatu kelompok menjadi pengikut Kristus. Di dalam usaha
tersebut terdapat pengajaran-pengajaran maupun bimbingan-bimbingan untuk
membawa jemaat akan pengenalan terhadap Yesus Kristus dan ajaran-Nya.
d. Usaha-Usaha Kristenisasi
Usaha Kristenisasi pada masa kolonial dilakukan dengan segala daya,
biaya peralatan yang lengkap, rencana yang masak, teknik yang tinggi, kemauan
dan kesungguhan yang mantap dan kuat, dan keyakinan yang mendalam. Usaha-
usaha itu dilakukan melalui segala jalan dan saluran yang meresap dalam hampir
semua aspek kehidupan manusia, yakni aspek sosial, budaya, ekonomi, dan
pendidikan.
1). Sosial
Suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kegiatan
Kristenisasi adalah begitu rendahnya tingkat kesehatan dan tingginya tingkat
kemiskinan di masyarakat. Usaha Kristenisasi yang dilakukan oleh para
zendeling adalah mengarahkan usaha dalam bidang pengabdian sosial, kerajinan
tangan, dan terutama pendidikan. (Guillot, 1985:18).
Untuk memperbaiki kesehatan masyarakat, pihak Zending mendirikan
pos-pos pelayanan kesehatan dengan membagikan obat-obatan secara gratis yang
diperolehnya dari perorangan, badan sosial maupun pemerintah (Sukoco, 2010:
235). Pos-pos pelayan itu di kemudian hari berkembang menjadi poliklinik dan
rumah sakit yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat. Pelayanan sosial yang
tidak kalah penting adalah pendirian panti asuhan yang menampung anak-anak
hasil peranakan orang-orang Eropa yang awalnya bertugas di Hindia Belanda dan
mengawini perempuan-perempuan pribumi. Sehingga muncul kebiasaan untuk
mengambil perempuan pribumi sebagai gundik, yang biasa disebut “nyai”. Praktik
itu, sesungguhnya didorong dan dilembagakan oleh adanya kebijakan VOC pada
tahun 1652 yang membatasi imigrasi perempuan Belanda, dan menuntut
persyaratan rumit kepada perkawinan resmi antara laki-laki Belanda dengan
perempuan Jawa. (Gouda, 2007: 197). Apabila bapak pulang ke Eropa atau pindah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
ke tempat yang jauh, nyai dan anak-anaknya kerap kali ditinggal begitu saja.
Banyak bapak-bapak itu yang meskipun tidak beragama Kristen minta supaya
anaknya dibaptis dengan harapan bahwa kelak bila anak tersebut ditinggalkan,
gereja akan merawatnya. Dengan alasan tersebut maka gereja mendirikan rumah
yatim piatu, yang pertama didirikan di Semarang (1809), disusul di Jakarta
(1856), dan Surabaya (1862). (Soegijanto Padmo, 2008: 27).
2). Budaya
Dalam hal budaya, Kristenisasi dilakukan dengan menulis, menerbitkan
dan menyebarkan buku/ selebaran berbahasa Jawa (Sukoco, 2010: 170). Cara ini
dianggap kurang berhasil karena banyak orang yang belum bisa membaca, dan
Alkitab sebagai dasar penulisan buku tersebut belum diterjemahkan dalam Bahasa
Jawa. Salah satu cara Kristenisasi dalam bidang budaya yang cukup berhasil
adalah lewat jalur perkawinan.
Agama Kristen melarang perkawinan campuran sehingga mewajibkan
bagi pasangan yang akan menikah, keduanya harus beragama Kristen. Dengan
aturan agama yang ketat, maka orang-orang yang hendak menjadi istri atau suami
orang yang sudah beragama Kristen maka diwajibkan memeluk Agama Kristen
terlebih dahulu.
3). Ekonomi
Metode kerja Zending dalam memperkenalkan Injil di kalangan pribumi
di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain adalah dengan mendirikan desa
Kristen. (Soegijanto Padmo, 2008: 20). Dengan adanya pembukaan desa persil
sehingga masyarakat dapat memperbaiki nasibnya dengan bekerja mengolah tanah
untuk meningkatkan pendap atan sekaligus terbebas dari kemiskinan dan kerja
paksa dari pemerintah kolonial. (Guillot, 1985:18). Selain harus memerangi
kemiskinan dan penyakit, Zending juga memerangi para lintah darat yang sering
merugikan rakyat kecil. Untuk menolong mereka kemudian diadakan bank
pinjaman sosial yang dapat menyediakan fasilitas pinjaman dengan bunga dan
aturan yang adil. (Sukoco, 2010: 170).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
4). Pendidikan
Salah satu usaha Kristenisasi yang berperan besar adalah bidang
pendidikan. Usaha ini dilakukan dengan penyelenggaraan pendidikan di
masyarakat. Sekolah-sekolah bernafaskan Kristen mulai didirikan di berbagai
daerah penginjilan. Tujuan persekolahan itu memang membawa anak-anak itu
terhadap pemahaman Agama Kristen. Bagi murid-murid pria dipersiapkan sebagai
guru atau pekabar Injil, sedangkan bagi murid-murid wanita disiapkan semata-
semata sebagai ibu rumah tangga yang baik (Sukoco, 2010: 158-159).Khusus
dalam bidang pendidikan ini mereka mendapatkan hasil yang menggembirakan.
Orang-orang mengharapkan mereka memindahkan ilmu Barat kepada anak-anak
mereka. Anggapan mereka, ilmu adalah satu-satunya kunci sukses dalam
masyarakat baru. (Guillot, 1985:18).
Perlu diketahui bahwa sekolah Zending ini menggunakan kurikulum
yang cukup baik dengan mata pelajaran yang meliputi : Bahasa Jawa, Bahasa
Melayu, Bahasa Belanda, berhitung, sejarah umum, sejarah Bangsa Jawa, sejarah
suci, ilmu bumi umum, ilmu bumi dari Hindia Belanda teristimewa dari Pulau
Jawa, ilmu bumi Palestina, dasar-dasar ilmu alam dan menyanyi. Khusus bagi
yang ingin menjadi guru atau pekabar Injil mendapatkan pelajaran tambahan.
Sampai tahun 1920 pemerintah Belanda tidak menyediakan pendidikan
tingkat lanjutan atas sebagai persiapan ke universitas. Zending secara konsisten
mengikuti pola kebijakan semacam itu. Pada akhir dasawarsa 1920-an, lembaga
pendidikan setingkat lanjutan pertama dan lanjutan atas didirikan oleh misi dan
Zending di kala pemerintah telah membuka kesempatan untuk itu. Di kalangan
Zending dirasakan perlunya meningkatkan pendidikan teologia di Indonesia.
Untuk itu pada tahun 1930 dibentuklah suatu panitia untuk membangun sekolah
tinggi teologia. (Soegijanto Padmo, 2008: 28).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
B. Kerangka Berpikir
Sesuai judul penelitian ini, yaitu “Zending : Kristenisasi di Margorejo
Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati Pada Tahun 1852-1942”, maka dapat
digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
Keterangan:
Agama Kristen pertama kali masuk ke Indonesia di bawa oleh orang-orang
Nestorian, namun sejak beberapa abad sejak kedatangannya segera mengalami
penurunan dan akhirnya agama tersebut hilang akibat berbagai hambatan yang
terjadi pada masa itu. Agama Kristen masuk kembali ke nusantara dibawa oleh
misionaris Katolik dari Portugis. Seiring dengan perkembangan jaman,
kolonialisme Belanda berkuasa di Indonesia, dan melakukan tindakan represif
terhadap perkembangan Agama Kristen Katolik. Agama yang diijinkan untuk
berkembang adalah Agama Kristen Protestan.
Perlindungan dan ijin mengembangkan Agama Kristen Protestan dilakukan
oleh Belanda dengan membuat peraturan resmi mengenai pelaksanaan penyebaran
agama yakni dengan Staatblad Van Netherland Indie 1854. Peraturan tersebut
mengatur, mengawasi dan memberikan perlindungan pada Zending untuk
mengadakan Kristenisasi di Hindia Belanda.
Kolonialisme
Staatbladen Van
Netherlandsch Indie
1854
Kristenisasi
Sekolah
Zending
Desa Margorejo
Rumah Sakit
Gereja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Peraturan tersebut didukung oleh perkembangan Zending di luar negeri,
yang nantinya mengirimkan utusan-utusannya untuk melaksanakan misi
penyebaran Agama Kristen Protestan di Hindia Belanda. Kegiatan Zending di
Hindia Belanda dapat berjalan lancar karena dukungan dan perlindungan dari
Pemerintah Hindia Belanda. Melalui para zendeling yang bekerja di Hindia
Belanda untuk menyebarkan Agama Kristen Protestan, maka dapat dikatakan
bahwa proses Kristenisasi di Indonesia dimulai sejak itu.
Usaha Kristenisasi yang berkembang melibatkan lebih banyak zendeling,
baik oleh lembaga pekabaran Injil resmi utusan pemerintah maupun yang berdiri
secara mandiri. Kristenisasi di Hindia Belanda mulai berkembang dan menyebar
ke wilayah yang lebih luas, bahkan di daerah pedalaman. Salah satu wilayah
Kristenisasi adalah Kabupaten Pati. Usaha pertama yang dilakukan oleh Zending
untuk melaksanakan misinya adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi
pribumi.
Usaha mendirikan sekolah ini berjalan dengan baik sehingga menghasilkan
para petobat baru untuk masuk Agama Kristen Protestan. Semakin hari pekerjaan
para Zending membuahkan hasil yang baik, sehingga jemaat yang dibina menjadi
semakin banyak. Oleh karena berbagai pertimbangan, maka dicetuskanlah ide
untuk membuat sebuah tempat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
semua jemaat hasil penginjilan. Pada tanggal 3 Januari 1881, Pieter Jansz selaku
penaggung jawab kegiatan Zending di daerah Muria, mengajukan permohonan
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menyewa sebuah tanah di kawasan
Desa Puncel, di Distrik Margotahu. Enam bulan kemudian berdasarkan
persetujuan Gubernur tertanggal 13 Agustus 1881 no. 29 keluarlah besluit no. 37
tertanggal 21 September 1881, disusul dengan surat tanda hak (akte) nomor 5
tertanggal 13 November 1881 yang isinya menyetujui permohonan Pieter jansz
untuk membuka tanah sewa jangka panjang di tempat yang di kehendaki.
Desa persil khusus untu jemaat binaan Zending tersebut dinamakan Desa
Margorejo. Di desa inilah Zending dapat membina dan mengembangkan jemaat
binaannya dengan baik. Sekolah-sekolah yang mereka dirikan dapat berkembang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dengan baik. Untuk menunjang kegiatan penginjilan dan pemeliharaan jemaat,
didirikanlah poliklinik dan rumah sakit untuk melayani kesehatan para jemaat.
Di desa inilah Zending yang dipimpin oleh Pieter Jansz dapat mengadakan
baptisan pertama dan membentuk suatu komunitas Kristen. Dalam
perkembangannya, jemaat tersebut terus berkembang baik dalam hal jumlah
maupun kualitas iman mereka, sehingga suatu saat menjadi jemaat dan gereja
yang berdiri sendiri, lepas dari naungan Zending Belanda tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui
studi pustaka. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data baik berupa
dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan maupun sumber tertulis lain yang
diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan, koleksi
swasta maupun perorangan dan di tempat-tempat yang menyimpan dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. (Dudung
Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai berikut .
a. Perpustakaan Akademi Kristen Wiyata Wacana Pati
b. Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta
c. Perpustakaan Sekolah Tinggi Teologi Gamaliel Surakarta
d. Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta
e. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta
f. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
g. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari disetujuinya judul
skripsi yaitu pada bulan Juli 2010, sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini
yaitu pada bulan Maret 2011.
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
B. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Kata metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang terdiri dari dua
kata, yaitu methos berarti jalan atau cara dan theodos yang berarti masalah.
Menurut Helius Sjamsudin (1994:2), metode ada hubungannya dengan suatu
prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin
ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek/ bahan-bahan yang diteliti. Lebih lanjut
kata metode diartikan sebagai cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami
obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1977:
16).
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan dan memaparkan Kristenisasi di Margorejo pada tahun 1852-
1942. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa
lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode
sejarah ini, penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa
lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian metode historis
merupakan langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.
Tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan objektif (Sumadi S, 1992, 16).
Menurut Louis Gottchalk (1985:32) metode historis adalah: proses
menguji dan menganalisa secara kritis terhadap sumber yang berupa rekaman,
tulisan, dan peninggalan masa lampau, kemudian diadakan rekonstruksi yang
imajinatif, berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi.
Menurut Nugroho Notosusanto (1971:17) metode historis terdiri dari
empat langkah, yaitu : (a) heuristik, yang merupakan kegiatan menghimpun jejak
masa lampau. Dalam penelitian ini heuristik dilakukan dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber informasi baik yang tertulis maupun lisan; (b)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kritik, yang merupakan kegiatan menyelidiki apakah jejak-jejak itu sah baik isi
maupun bentuknya; (c) interpretasi, yaitu menetapkan makna yang saling
berhubungan dari data-data yang diperoleh tersebut; (d) penyajian atau penulisan,
yaitu kegiatan yang menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu
kisah atau historiografi.
Hadari Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian
sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu
atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan
yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang.
Gilbert J.Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43),
mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan
prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,
menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis.
Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44),
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha
sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.
Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode
sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-
peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-
data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat
dipercaya.
Nugroho Notosusanto (1971: vii) menyatakan pengertian tentang metode
penelitian sejarah yaitu :
“Metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji,
menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian
masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini
merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau,
sehingga menjadi kisah yang nyata”.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.
Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan
menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita
sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data ialah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai bahan tulisan
atau penelitian sejarah. Nugroho Notosusanto (1978 : 36) mengklasifikasikan
sumber sejarah menjadi tiga, yaitu: (a) Sumber benda (misalnya bangunan,
perkakas, batu nisan, senjata); (b) Sumber tertulis (misanya dokumen); (c) Sumber
lisan (misal wawancara dengan narasumber). Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sumber data sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga
data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1994: 94) kata ”data” merupakan bentuk
jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.
Helius Sjamsuddin (1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu:
”Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada
kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu
(past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw
materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang
telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas
mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata
yang diucapkan (lisan)”.
Dalam usaha untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan sumber
tertulis. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 31), sumber tertulis merupakan
data verbal yang berbentuk tulisan, yang dapat berupa artefak, foto, buku-buku,
dokumen, arsip, laporan, surat, maupun catatan. Sumber tertulis dibedakan
menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis
Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah
kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer
juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan
kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari
seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis
sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.
Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini
berupa Staatblad van Indie Tahun 1854; buku Catatan Harian Pieter Janz pada
tahun 1854, 1855, dan 1856. Sumber primer tersebut berisi data-data yang terkait
dengan Kristenisasi di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati.
Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian.
Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain:
Ragi Carita, Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, karangan Dr. Th. Van Den
End; Benih Yang Tumbuh, karangan Dra. Martati Ins. Kumaat; Nusa Jawa :
Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, karangan Dennis Lombard; Kyai
Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa, karangan C. Guillot; Harta Dalam
Bejana, Sejarah Gereja Ringkas, karangan Dr. Th. Van Den End; dan lain-lain
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in-depth
interview). Wawancara mendalam ini dilakukan untuk memperoleh data secara
terperinci. Wawancara mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari, biasanya
berjalan lama dan seringkali dilanjutkan pada kesempatan berikutnya. Dalam
penelitian ini wawancara dilakukan dengan beberapa responden yang terpilih dan
teknik wawancara tidak dilakukan secara tertutup, kaku, dan formal melainkan
dilakukan secara luwes, terbuka, akrab, dan penuh kekeluargaan. Dalam
pelaksanaan wawancara, peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan yang
terkait dengan judul penelitian. Cara ini diterapkan dengan tujuan menangkap
kejujuran informan untuk menjawab informasi yang sebenarnya terutama yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
berkaitan dengan Kristenisasi di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten
Pati. Agar informasi ini mengarah pada permasalahan maka dipersiapkan daftar
pertanyaan interview guide yang disusun dengan sikap terbuka dan terstruktur.
2. Observasi
Observasi dilakukan dengan jalan pengamatan dan pencatatan terhadap
objek yang diteliti. Observasi merupakan salah satu cara untuk mencocokan data
dari informasi yang didapatkan dari hasil wawancara dengan keadaan sebenarnya
dilapangan. Dengan cara demikian maka akan didapatkan data-data yang akurat.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi langsung
yaitu peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian di Margorejo, Kecamatan
Dukuh Seti, Kabupaten Pati.
3. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini teknik yang dilakukan adalah studi pustaka, yakni
mengumpulkan dan membaca buku-buku yang relevan dengan penelitian yang
ada. Untuk menjaring data sebanyak-banyaknya maka penulis memanfaatkan
perpustakaan. Menurut Nugroho Notosusanto (1971) perpustakaan merupakan
himpunan dari dokumen-dokumen yang diperoleh dengan cara membeli,
menerima sebagai hadiah atau sebagai hasil dari tukar-menukar. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (1986: 3) menyatakan studi pustaka penting sebagai proses
bahan penelitian. Tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik
permasalahan. Teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara
membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau
brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan, museum ataupun instansi yang
menyediakan sumber tertulis lainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis
data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan
interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa
berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks,
sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri.
Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun
historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan,
sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas.
Oleh karena itu Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk
menganalisis suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik eksternal dan internal.
Dalam penelitian ini analisis data dilaksanakan setelah kegiatan pengumpulan
data. Dari data yang terkumpul kemudian dibandingkan antara sumber data yang
satu dengan sumber data yang lain. Dari hasil perbandingan sumber data yang satu
dengan sumber data yang lain akan menghasilkan fakta sejarah. Fakta-fakta
tersebut kemudian diseleksi, diklasifikasi, kemudian ditafsirkan sehingga fakta
tersebut dapat dijadikan bahan dalam penulisan ini.
F. Prosedur Penelitian
Agar suatu penelitian mendapatkan hasil penelitian yang optimal, maka
diperlukan adanya proses yang harus dilalui. Prosedur itu berisikan langkah-
langkah sistematis yang menggambarkan kegiatan penelitian dari awal sampai
dengan membuat hasil hasil penelitian. Adapun prosedut penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi
Fakta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Keterangan :
1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan yang di dalamnya mencari dan
mengumpulkan jejak peristiwa masa lampau. Jejak-jejak sejarah sebagai peristiwa
merupakan sumber bagi penulisan sejarah. Sumber sejarah perlu adanya
pengklasifikasian atau penggolongan agar penelitian tidak mengalami kesulitan
sebab sumber sejarah baru berupa bagian politik, ekonomi, sosial, budaya,
maupun militer. (Nugroho Notososanto, 1978 : 36).
Dalam penelitian ini sumber-sumber sejarah yang dipergunakan dalam
penulisan adalah berupa arsip-arsip maupun dokumen yang disimpan di beberapa
perpustakaan di Kabupaten Pati serta buku-buku yang relevan. Data-data diambil
dari arsip maupun dokumen yang berisi penjelasan tentang sejarah Kristenisasi di
Indonesia, kegiatan dan aktivitas Zending di Indonesia, sejarah pembentukan Desa
Margorejo, pelaksanaan pendidikan di Desa Margorejo, dan proses perkembangan
gereja yang menjadi gereja mandiri setelah lepas dari Zending.
2. Kritik
Kritik adalah kegiatan meneliti dan memberi penilaian terhadap data
yang diperoleh, apakah data tersebut sejati atau bukan, kredibel atau tidak.
Penelitian ini menggunakan dua kritik, yaitu :
a). Kritik Ekstern
Yaitu kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan
keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli
atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadapa
kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji
keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan, dimana,
siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung
Abdurrahman, 1999: 38). Dalam penelitian ini kritik ekstern terhadap sumber
primer yakni Staatblad van Indie Tahun 1854. Keaslian sumber dilihat dari tahun
pembuatan yakni abad ke-19, dibuat di Hindia Belanda, bahan terbuat dari kertas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
tebal berserat khas Belanda dengan huruf berbahasa Belanda dicetak dengan
mesin ketik yang rapi sehingga dapat dipastikan keaslian sumber.
b).Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan
untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat
dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara
mengidentifikasikan watak dan sifatnya, membandingkan isi dari sumber yang
satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan dengan
tema penelitian. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan
yang lain, terdapat perbedaan mengenai penjelasan mengenai ijin dari pemerintah
Hindia Belanda untuk Pieter Janz. Di buku Kyai Sadrach karangan C.Guillot
hanya dijelaskan bahwa Pieters Janz mendapatkan ijin dari pemerintah untuk
melaksanakan Kristenisasi di daerah Jepara, sedangkan di buku Tata Injil di Bumi
Muria karangan Sukoco dijelaskan lebih rinci bahwa Pieter Janz mendapatkan dua
surat ijin dari pemerintah Hindia Belanda, yakni surat ijin untuk mengadakan
Kristenisasi dan menyelenggarakan pendidikan di Jepara. Untuk menghindari
kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan kehati-hatian
supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja melainkan perlu sumber
yang lain sebagai pelengkap dan pembanding.
3. Interpretasi
Interpretasi data dilakukan dengan menafsirkan, memberi makna dari
data yang diperoleh serta menghubungkan antara sumber satu dengan sumber
yang lain yang dikaitkan dengan teori maupun konsep yang mendukungnya
sehingga muncul fakta sejarah yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya pada
saat terjadinya peristiwa sejarah, sehingga perlu menghubungkan dan
membandingkan antar sumber yang satu dengan sumber yang lain.
4. Historiografi
Historiografi adalah suatu penyajian yang menghubungkan data yang
satu dengan data yang lain dengan hubungan kausalitas sehingga teruraikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
sebuah peristiwa sejarah dalam bentuk karya tulis setelah melalui langkah-langkah
di atas. Pada saat sejarawan memasuki tahap menulis, maka sejarawan
mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis
penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama
penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya sejarawan
harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuannya
secara utuh yang disebut historiografi (Helius Sjamsuddin, 1996). Historiografi
merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis.
Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan
bahasa ilmiah dengan seni yang khas, menjelaskan apa yang ditemukan, beserta
argumentasinya secara sistematis.
Pada tahap historiografi, dilakukan penulisan hasil penelitian tentang
Zending: Kristenisasi di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati
Tahun 1852-1942. Zending yang merupakan organisasi pekabaran Injil juga
mengadakan kontak dengan nusantara untuk tujuan yang sama yakni
mengabarkan Injil. Dalam aktivitasnya, Zending mendapat perlindungan sekaligus
pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam
perkembangannya daerah target pekerjaan Zending mulai meluas di berbagai
daerah di Hindia Belanda termasuk di Pati. Di daerah ini pekerjaan Zending mulai
berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan yang didirikan oleh
Zending. Keberhasilannya dilihat dari jumlah jemaat yang makin bertambah dan
berhasil mendirikan sebuah gereja bernama Gereja Injili di Tanah Jawi (GITJ)
Margorejo. Gereja ini sampai tahun 1940-an masih di bawah pengawasan
Zending. Namun setelah pendudukan Jepang di Indonesia maka mau tidak mau
GITJ Margorejo harus berdiri sendiri lepas dari Zending.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Kristenisasi di Margorejo
1. Permulaan Pekerjaan Doopgezinde Vereeniging di Jepara
Sekitar akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, di Eropa mulai
didirikan perkumpulan untuk menyebarluaskan Agama Kristen ke luar negeri.
Didirikannya perkumpulan atau organisasi misi ini merupakan wujud permulaan
gerakan misi Protestan yang besar dan berkembang sepanjang awal abad 19.
Gerakan ini diawali di Inggris yang kemudian meluas ke Eropa dan koloni
mereka di Amerika. Dari Amerika, gerakan tersebut meluas lagi ke Belanda dan
negara-negara lain.
Pada tahun 1797 berdiri sebuah perhimpunan pekabaran Injil yang
pertama dengan nama Nederlandsche Zendelingen Genootschap (NZG) di Negeri
Belanda. Berdirinya perhimpunan ini menggerakkan orang-orang Doopsgezind di
Belanda yang tertarik dalam pengutusan pekabaran Injil. Doopsgezinden dalam
bahasa Inggris disebut sebagai Mennonites, atau Mennonit dalam sebutan di
Indonesia. Mennonit merupakan pengembangan dari kaum Anabaptis yang
muncul pada abad ke-16. Aliran ini kini terjelma dalam puluhan organisasi gereja
yang tersebar di lima benua, kendati jumlah warganya tidak besar dibanding
beberapa rumpun gereja protestan lainnya. Aliran ini termasuk salah satu aliran
yang sudah lama hadir di Indonesia, lewat dua organisasi GITJ (Gereja Injili di
Tanah Jawa) yang berpusat di Pati, dan PGKMI (Perhimpunan Gereja Kristen
Moria Indonesia). Nama Mennonit berasal dari nama Menno Simons, tokoh
gerakan Anabaptis di Belanda, yang menurut garis moderat dan anti
kekerasan.(Jans Ari Tonang, 1995:104-105).
Kelompok Mennonit ini mendukung usaha NZG, tetapi keinginan untuk
memelihara ciri khas kelompoknya mendorong mereka untuk medirikan lembaga
pekabaran Injil sendiri. Ciri-ciri ajaran Mennonit ialah : penolakan baptisan anak-
41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
anak, sumpah serta dinas militer, dan pemakaian asas-asas kongregationalistis
dalam hal organisasi gereja.(Van Den End, 1993:18).
Langkah mereka yang pertama yaitu mengadakan kontak dengan Baptist
Mission Society (Persekutuan Misi Baptis) di Inggris, yang ajarannya mirip
dengan ajaran Mennonit. Kerjasama ini bertujuan untuk memperoleh dukungan
dalam hal keuangan, karena keuangan mereka belum mencukupi untuk
membentuk organisasi yang berdiri sendiri. Menindaklanjuti maksud itu, pada
tahun 1821 orang-orang Mennonit Belanda mendirikan sebuah cabang dari
Persekutuan Misi Baptis Inggris tersebut di Belanda. Kerjasama inilah yang
digunakan sebagai batu loncatan untuk membentuk organisasi Zending sendiri.
(Sukoco, 2010: 117).
Pendirian kantor cabang Persekutuan Misi Baptis Inggris di Belanda ini
rupanya menimbulkan ketidakpuasan pengurus Mennonit Belanda. Hal ini
disebabkan karena sedikitnya kegiatan Persekutuan Misi Baptis Inggris di wilayah
jajahan Belanda, padahal justru jajahan Belanda tersebut yang menjadi perhatian
utama orang Mennonit Belanda. Pada tanggal 21 Oktober 1847 diadakan sebuah
pertemuan yang dihadiri oleh sekelompok orang yang tertarik dengan pekabaran
Injil dan pada hari itu juga dibentuk badan pekabaran Injil dengan nama
Vereeniging van Doopsgezinden tot Bevordering des Evangelie Verspreiding,
Voornamejilk in de Nederlansche Overzeesche Bezittingen Zendingsvereeniging,
yang disingkat Doopgezinden Zendingsvereeniging (DZV) atau Persekutuan
Mennonite Belanda.(Sukoco, 2010: 119). Kegiatan Kristenisasi yang dilakukan
oleh DZV didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dengan keluarnya ketetapan
pemerintah yang mengatur kegiatan dan pengawasan terhadap gereja Protestan di
Hindia Belanda. Peraturan itu dimuat di Staatbladen Nederlansch van Indie, tahun
1854, yang berisi:
Ketetapan kerajaan pada tanggal 28 Februari 1854 no.63, yang telah
disetujui dan dikukuhkan untuk menjalankan kegiatan dan pengawasan
terhadap gereja-gereja Protestan di seluruh Hindia Belanda. Peraturan ini
berbunyi :
a. Pengawasan kegerejaan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dewan
gereja di daerah-daerah setempat dan pengurus gereja di Batavia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
b. Kegiatan ini bertujuan untuk melestarikan adat-adat keagamaan dan juga
pengawasan terhadap anggota-anggota dari wilayah atau maupun pejabat-
pejabat gereja dan pembantu-pembantunya dalam melaksanakan ajaran
dari penginjil, untuk menjaga kemurnian adat dan mengupayakan
kemajuan gereja sedapat mungkin.
c. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan untuk mengawasi perbuatan-
perbuatan yang menyimpang dalam penguasan sipil melainkan
menjatuhkan hukuman untuk kelakuan-kelakuan yang tidak baik. Begitu
juga atas perbuatan-perbuatan yang menyalahi atau menelantarkan
pegawai gereja dalam hal menjalankan kewajiban mereka.
Dengan bekal dan pengalaman yang memadai, Mennonit Belanda ini
mulai bergerak dan mengirim utusan Injil ke Hindia Belanda. Dengan demikian
mereka mulai mencari orang-orang yang memenuhi kriteria untuk diutus ke
Hindia Belanda.
Para pemuda yang melamar pada lembaga-lembaga pekabaran Injil
karena ingin menjadi zendeling, biasanya berasal dari kalangan rakyat kecil.
Banyak di antara mereka, sebelumnya telah bekerja sebagai tukang kayu atau
tukang roti. Jarang ada yang telah menerima pendidikan yang tingkatnya melebihi
tingkat Sekolah Dasar (SD). Pada abad ke-19 ada beberapa calon yang telah
menjadi guru SD, dan pada abad ke-20 mulai ada zendeling yang berpendidikan
akademis. Calon zendeling harus memenuhi beberapa syarat. Syarat pertama
menyangkut kesehatannya yang diperiksa secara teliti. Syarat kedua, calon
zendeling harus memenuhi patokan keadaan rohani sesuai dengan yang diinginkan
oleh lembaga. Patokan yang dipakai dalam menentukan apakah keadaaan rohani
calon itu cocok atau tidak bagi pekerjaan Zending, sedikit berbeda pada masing-
masing lembaga. DZV menuntut supaya para utusannya “sungguh-sungguh
mengalami kebangunan rohani, memiliki iman yang hidup, terlatih baik dalam
kehidupan Kristen dan dalam kesalehan, didorong hanya oleh kasih kepada
Kristus dan hasrat untuk memenangkan jiwa-jiwa.(Van Den End, 1993:24-25).
Dari beberapa orang yang terpanggil untuk menjadi penginjil, terpilihlah
Pieter Jansz sebagai utusan resmi dari Mennonit Belanda. Pieter Jansz lahir di
Negeri Belanda pada tanggal 25 September 1820 dari keluarga pedagang buku.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Jansz bekerja sebagai guru sekolah
setingkat sekolah dasar di Kota Delft. Untuk persiapan dalam melaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
tugasnya nanti, Pieter Jansz belajar dan berlatih secara khusus di Koninlijke
Akademie di Deft tentang Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu, serta mengikuti
kursus-kursus perseorangan tentang ilmu bumi, sosial, dan kebudayaan bangsa-
bangsa di Hindia Belanda. (Sukoco, 2010:120).
Setelah dirasa cukup menguasai berbagai pengetahuan tentang Hindia
Belanda, Pieter Jansz pindah ke Amsterdam untuk menerima pelajaran teologia
dan pengetahuan Kitab Suci dari Prof. Jan Van Gilse yang mengajar di seminari
Mennonit di Amsterdam. Langkah selanjutnya adalah mencari pasangan hidup
untuk menemani Pieter Jansz dalam melaksanakan tugasnya di Hindia Belanda.
Pilihan akhirnya jatuh pada Nn. Jacoba Wihelmina Frederica Schmilau dari
Rotterdam. Keduanya segera mengikat diri dalam tali pernikahan dan pada
tanggal 5 Juni 1851 sepasang suami istri ini berangkat menuju pos pelayanannya
di Jawa. Pada tanggal 15 November 1851 mereka tiba di Batavia (sekarang
Jakarta) disambut oleh Hunnich dan Bleeker, dua sahabat yang lebih dulu bekerja
di Jawa. (Sukoco, 2010:121).
Dari Batavia Pieter Jansz melanjutkan perjalanannya dan tiba di
Semarang pada bulan Desember 1851.(Van Den End, 1993: 220). Mula-mula
Pieter Jansz bekerja sebagai guru privat bagi anak-anak Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, Bupati Demak, kakek R.A Kartini. Dengan bantuan Pangeran
Ario Tjondronegoro IV, Pieter Jansz dapat mengajar anak-anak dari Margar
Soekiazian, seorang tuan tanah perkebunan tebu yang berkebangsaan Armenia.
Margar Soekiazan, atau yang disebut Markar Sukias adalah orang Kristen yang
kaya dari kawasan Jepara. Dia memiliki sebuah persil erfpach (tanah sewaan
jangka panjang) di Cumbring, Kabupaten Jepara. Tanah persilnya ini meliputi luas
lebih kurang 6 Km dari Mlonggo ke arah selatan di lereng Gunung Muria. Tanah
sewaan ini terdiri dari 12 desa dengan penduduk sekitar 6.000 s.d 7.000 orang.
(Van Den End, 1993:220). Sukias menyambut Pieter Jansz dan menawarkan
pekerjaan di persilnya sebagai pengelola sekolah di perkebunan bagi anak-anak di
sekitarnya. Dalam persil milik Sukias ini, tiap-tiap desa dipimpin oleh kepala desa
dan masing-masing bertanggung jawab melaksanakan pemerintahan di desa persil.
Oleh Sukias, persil ini diusahakan sebagai perkebunan padi dan kelapa, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
karena pasaran barang komoditi sering mengalami perubahan maka tanah persil
ini juga ditanami panili, gula, atau tom (semacam nila untuk mewarnai pakaian).
(Jensma, 1968:17).
Untuk menarik minat Pieter Jansz, Sukias menjanjikan akan memberikan
fasilitas penuh di sana seperti : perumahan, biaya pembangunan sekolah, dan
bantuan moril untuk mendorong anak-anak supaya bersedia bersekolah di sekolah
Jawa. Karena janji inilah Pieter Jansz akhirnya mengawali pekerjaannya di
Cumbring. Dengan segera Pieter Jansz mengajukan permohonan pada Gubernur
Jenderal Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan ijin bekerja di lapangan
pendidikan dengan mengusahakan sekolah partikelir sendiri yang terbuka untuk
anak-anak usia sekolah baik anak-anak Belanda maupun anak-anak pribumi.
Sambil menunggu ijin dari pemerintah Pieter Jansz segera berangkat
meninggalkan Semarang menuju Jepara. Pada tanggal 14 Agustus 1852 Jansz
dengan keluarga naik perahu dari Semarang ke Jepara. Tetapi karena perumahan
yang dijanjikan Sukias di Cumbring belum disiapkan, untuk sementara Pieter
Jansz tinggal di kota Jepara, menempati rumah Sukias yang ada di sana. Pada
bulan Agustus 1852 Pieter Jansz mulai membuka sekolah untuk anak-anak
pribumi maupun Belanda. (Jensma, 1968:17).
Pada tanggal 3 Februari 1853 surat ijin tersebut tiba berupa Besluit
Gubernur Jenderal dan ijin pemerintah No. 64/9 tertanggal 17 Februari 1853.
Isinya memberi ijin pada Pieter Jansz untuk membuka sekolah untuk anak-anak
pribumi di Karesidenan Jepara dibawah pengawasan pemerintah dan untuk
mengabarkan Injil di antara orang-orang Islam di daerah Jepara. (Jensma,
1968:18). Setelah dibaca dengan seksama maka Pieter Jansz merasa keberatan
mengenai isi surat ijin tersebut. Sebetulnya Pieter Jansz hanya meminta ijin untuk
membuka sekolah di kalangan anak-anak pribumi, sedangkan untuk masalah
pekabaran Injil tidak perlu dengan ijin pemerintah. Bagi Pieter Jansz, soal
mengabarkan Injil tidak memerlukan ijin dari pemerintah sebab menurut
keyakinan Mennonit, pemerintah tidak mempunyai hak untuk melarang orang
mengabarkan Injil dan berarti tidak perlu pula memberikan ijin untuk itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Pada tanggal 26 Februari 1853 Jansz datang untuk berbicara dengan
residen dan menyampaikan keberatannya mengenai surat ijin itu. Residen
menganjurkan supaya Jansz mendapat keterangan langsung dari pemerintah pusat.
Bagi Jansz itu tidak dirasa perlu, dan dia tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa
berpegang pada ijin Kristenisasi dari pemerintah. Dengan demikian Pieter Jansz
dengan istrinya sudah siap untuk memulai tugas pokoknya, yaitu mengabarkan
Injil kepada masyarakat Jawa yang ada di daerah Jepara.(Sukoco, 2010: 124).
2. Usaha Kristenisasi oleh Pieter Jansz di Sekitar Jepara
Sejak keluarnya ijin dari pemerintah, Pieter Jansz merasa sudah tiba
saatnya untuk mengawali tugas pokoknya. Setiap hari Minggu Pieter Jansz
mengabarkan Injil di tanah sewaan Cumbring itu dengan memberi ceramah
kepada 10 s.d. 20 orang yang dikumpulkan oleh Sukias untuk urusan dinas.
Mereka terdiri dari para kepala desa bersama orang-orang kampung. Namun
rupanya mereka kurang tertarik dengan kabar keselamatan yang disampaikan oleh
Pieter Jansz, lagipula mereka sudah terlalu lelah duduk berjam-jam untuk urusan
dinasnya. Ternyata tanpa disadari, usaha pekabaran Injil yang pertama ini Pieter
Jansz terbentur dengan sistem ekonomi kolonial Belanda yakni dengan kerja
paksa, menindas beratus-ratus ribu orang selama bertahun-tahun. Sehingga
meskipun benar isi ceramahnya, namun Injil yang disampaikannya menjadi kabur
karena sistem ekonomi jajahan yang menindas rakyat.
Pieter Jansz baru memahami bahwa pengetahuannya tentang budaya
Jawa yang dipelajari di Belanda tidak cukup untuk memahami sikap dan
kebiasaan hidup masyarakat setempat. Dia tidak mengetahui bahwa kepala-kepala
desa ini mempunyai sikap dan pandangan tertentu. Mereka terlalu menyadari
keberadaannya sebagai pemimpin rakyatnya di bidang pemerintahan, hidup
kemasyarakatan, lebih-lebih di dalam adat. Karena kesadaran ini mereka tidak
dapat begitu saja menerima apa yang diceramahkan oleh orang yang tidak begitu
mereka kenal. Ketaatan mereka hanya tertuju semata-mata pada Sukias yang
merupakan tuan tanah mereka. Jiwa mereka tidak dapat diatur dengan cara yang
sama. (Wawancara dengan Martati Ins Kumaat, 6 Februari 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Kegagalan usaha Kristenisasi yang dilakukan oleh Pieter Jansz pada para
kepala desa ini tidak membuatnya berhenti di situ saja. Pieter Jansz mengalihkan
sasaran Kristenisasi kepada pengemis-pengemis di Jepara yang setiap hari Minggu
pagi mendatangi rumahnya. Pengemis-pengemis itu diberi makanan oleh Pieter
Jansz baru setelah itu diperdengarkan ajaran-ajaran Kristen. Para pengemis itu
selalu datang sesuai perintah Pieter Jansz dan dengan setia mendengar ceramah
yang disampaikan Jansz. Pada awalnya usaha Kristenisasi pada para pengemis ini
terlihat berhasil, namun keberhasilan itu rupanya bukan karena ketertarikan para
pengemis terhadap Injil melainkan kebutuhan mereka akan makanan. Sayang
sekali Pieter Jansz tidak bisa menekuni lahan barunya itu karena harus pindah ke
Cumbring dan tentu saja tidak bisa membawa para pengemis itu.(Sukoco, 2010:
126-127).
Pekabaran ajaran Kristen juga ditujukan kepada para pembantu di rumah
Pieter Jansz dengan cara memberi pelajaran agama pada mereka. Karena
kedudukannya yang lebih tinggi maka pembantu-pembantu ini juga menjadi
pendengar setia dari pengajaran Pieter Jansz, meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama pada akhirnya nantinya Jansz dapat memetik buah dari
pekerjaannya ini. Baik pengemis maupun pembantu rumah tangga ini disapa
Pieter Jansz dari posisi sosial dan ekonomi yang lebih tinggi, karena itu dapat
dikatakan bahwa mereka terpaksa untuk mendengarkan Injil yang disampaikan.
Orang-orang yang mendengarkan ceramahnya selalu mengamini apa yang ia
sampaikan, namun hanya sampai disitu dan tidak berdampak apa-apa dalam
kehidupan mereka.
Pada permulaan pekerjaannya, Pieter Jansz harus mengalami kegagalan
dalam usaha mengabarkan Injil kepada orang-orang di tanah sewaan Sukias di
Cumbring. Namun pada tanggal 23 Juni 1853, Pieter Jansz dan istrinya akhirnya
dapat pindah rumah ke Cumbring. Di sinilah cita-citanya terwujud, yakni tinggal
bersama dengan masyarakat pribumi. Pieter Jansz kini menghadapi kenyataan,
bagaimana sebenarnya hidup orang-orang Jawa yang jauh dari kabar keselamatan.
Mereka yang sudah sejak lama dijajah oleh orang asing, sudah tidak lagi terikat
oleh ikatan-ikatan norma tata nilai yang benar. Orang-orang ini telah tercabut dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dasar aturan moral dan nilai kebudayaannya sendiri. Pergunjingan dan perzinahan
merupakan hal yang biasa bagi masyarakat. Karena kurangnya pengetahuan,
mereka menjadi orang kolot dalam mempertahankan kebiasaan hidup. Para
penduduk ini mudah percaya kepada nasib, serta beranggapan bahwa agama
hanyalah semacam pakaian yang sama saja fungsinya. Perbedaan agama yang ada
hanyalah corak dan warnanya. (Wawancara dengan Martati Ins Kumaat, 6
Februari 2011).
Berbagai tantangan yang ada menyadarkan bahwa Pieter Jansz
membutuhkan bantuan dari orang pribumi untuk menghadapi masyarakat Jawa.
Pengetahuan mengenai bahasa dan kebudayaan Jawa yang dipersiapkan sebagai
bekal ternyata tidak cocok dengan medan yang dihadapi. Karena itu Jansz segera
menghubungi zendeling Jellesma di Mojowarno dari persekutuan Zending
Nederland (NZG) untuk minta dikirim kepadanya seorang pembantu pekabar Injil
yang bersuku Jawa. Yang perlu diperhatikan adalah orang Belanda seperti
Jellesma mampu menghasilkan banyak penginjil bersuku Jawa, hal itu
dimungkinkan karena metode penginjilannya sendiri yang dari permulaannya
selalu mendorong orang Jawa yang sudah bergama Kristen untuk menyebarkan
ajaran agamanya kepada siapa saja yang ia temui. Dengan senang hati Jellesma
memenuhi permintaan Pieter Jansz dengan mengirim seorang Jawa, yaitu Sem
Sampir, atau Sem Sam. Kedatangann Sem Sam di Jepara diberitahukan lewat
surat bertanggal 11 November 1853. (Sukoco, 2010: 128). Sem Sam adalah
seorang pemuda berusia 21 tahun yang sangat bersemangat. Karena semangatnya
ini, kedatangnya Sem Sam ke Jepara ini memberi dampak yang sangat baik bagi
perkembangan pekerjaan Pieter Jansz. Sem Sam berhasil mendekatkan hati
orang-orang Jawa pada pekabaran Injil dengan teladan hidup dan kesaksiannya
sebagai orang Jawa yang telah menerima ajaran Kristen. Dengan bantuan Sem
Sam, Pieter Jansz berhasil membaptis beberapa orang yang mau menerima ajaran
Kristen.
Pada hari Paskah tanggal 16 April 1854, Pieter Jansz akhirnya
membaptis lima orang pendengarnya melalui penyaringan yang ketat.
Pembaptisan dilakukan tidak semata-mata untuk mendapatkan anggota sebanyak-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
banyaknya melainkan supaya orang benar-benar mengimani Agama Kristen dan
bertobat dari kehidupannya yang lama. Lima orang yang menerima pembaptisan
pertama oleh Pieter Jansz adalah : Dja Santika dengan nama baptis Paulus, Mbok
Setro dengan nama baptis Elizabeth, Dimah dengan nama baptis Suzanna, rasinah
dengan nama baptis Magdalena, dan Janiah dengan nama baptis Anna. (Sukoco,
2010: 132). Selesai upacara pembaptisan Pieter Jansz menyelenggarakan
perjamuan kudus yang pertama bagi anggota-anggota barunya. Pada tahun 1855
pembaptisan dilakukan kepada dua orang, dan setahun kemudian bertambah tujuh
orang lagi. (Guillot, 1985:12). Meskipun upacara pembaptisan semacam ini
pernah dilakukan kepada sekelompok orang di Kayuapu yang dibaptis delapan
bulan sebelumnya di Semarang, namun kebaktian baptisan dan perjamuan kudus
di Jepara ini merupakan yang pertama diselenggarakan di sekitar Gunung Muria.
Maka tanggal 16 April 1854 disebut hari kelahiran Gereja Jawa Muria. (Sukoco,
2010:133).
Dari anggota yang berjumlah lima orang tersebut dapat berkembang
menjadi banyak dan dalam perkembangannya, beberapa anggota gereja mulai
terpengaruh oleh kehidupan luar yang bertentangan dengan ajaran Kristen seperti
kebiasaan menonton wayang, tayub, sunat, pelacuran, perjudian, dan sebagainya.
Karena hal itu, Pieter Jansz mulai memikirkan sebuah tempat yang dapat
menampung mereka agar dapat dipelihara imannya dan menghindarkan jemaat
dari pengaruh luar yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Rencana tersebut
direalisasikan berupa pembukaan sebuah desa persil Margorejo.
3. Pembentukan Desa Kristen Margorejo
Melihat jumlah jemaatnya yang bertambah banyak, Pieter Jansz berniat
untuk mengumpulkan jemaat pada satu tempat dengan adanya gembala di tengah-
tengahnya. Agar tidak menimbulkan kesukaran, Pieter Jansz merencanakan
sebaiknya desa yang akan dibuka tersebut tidak jauh dari Jepara sehingga
memudahkan Pieter Jansz maupun pembantunya untuk melayani kebaktian tanpa
menimbulkan prasangka-prasangka buruk. Baru sesudah semuanya berjalan
dengan baik, dia akan mengajukan ijin untuk tinggal di tengah-tengah mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
untuk sementara, lalu kemudian meminta perpanjangan ijin tinggal. Demikian
dapat dilihat bahwa tenaga zendeling berbangsa Eropa tetap dibatasi meskipun
sudah diberi ijin untuk memberitakan Injil kepada masyarakat Jawa di wilayah itu.
Ide awal untuk membuka sebuah desa khusus untuk mengumpulkan
jemaat berasal dari Pieter Jansz, namun baru benar-benar terlaksana pada saat
kepemimpinan Zending Mennonit digantikan oleh Pieter Anthonie Jansz, putra
Pieter Jansz. Pergantian kepemimpinan ini dipicu oleh konflik yang dialami
Pieter Jansz dengan pemerintah. Konflik ini berawal ketika Jansz mengarang
sebuah buku yang berjudul Landontginning en Evangelisatie op Java. Buku ini
berisi tentang pembukaan hutan dan penginjilan di Jawa.(Lombard, 2008:102).
Tulisan Pieter Jansz ini menimbulkan protes dari pihak Islam yang didengar oleh
residen oleh sebab itu Pieter Jansz dilaporkan kepada Gubernur Jenderal, sebagai
pihak yang memberikan ijin kepada Pieter Jansz untuk melakukan penginjilan.
Sebelumnya Pieter Jansz juga sempat menulis sebuah selebaran dalam bahasa
Jawa yang berjudul “Waktoene woes Tekan, Kratone Allah woes Tjedhak, Padha
Mratobata lan Pratjajaa Marang Indjil” (waktunya sudah tiba, Kerajaan Allah
sudah dekat, bertobatlah dan percayalah pada Injil). Karangan ini bertujuan untuk
mendorong siapapun untuk bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus,
lebih-lebih kepada lapisan masyarakat yang sudah mampu membaca dan menulis
tetapi belum dapat bertatap muka dengan Pieter Jansz. (Guillot, 1985:12).
Sesuai aturan pasal 123 tentang pekabaran Injil,Pieter Jansz mengirimkan
naskah tersebut ke pemerintah Karesidenan Semarang agar diteliti dan memberi
ijin beredar. Satu eksemplar dari karangan itu dikirim kepada Asisten Residen
Jepara, H.J Dagneaux, pada akhir Desember 1858. Namun Dagneaux khawatir
kalau isi karangan ini mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi
pemerintah. Oleh karena itu Dagneaux menyampaikan karangan itu kepada Bupati
Jepara dan Residen pati, C.Cartens. Berdasarkan kekhawatiran yang sama maka
tulisan Pieter Jansz tersebut dilarang untuk diedarkan. (Van Den End, 1993:220).
Dengan pertimbangan dan dukungan para pembantunya, Pieter Jansz
tetap mengedarkan karangan itu kepada penduduk. Karena tindakannya ini,
pemerintah mengeluarkan keputusan Gubernur Jenderal Ch. F. Pahud tanggal 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Maret 1860, yang menyatakan bahwa ijin pekabaran Injil yang diberikan kepada
Pieter Jansz dicabut, namun tetap diperbolehkan untuk tinggal di Hindia Belanda
tapi tidak boleh melakukan Kristenisasi pada orang non-Kristen.(Sukoco,
2010:148). Pieter Jansz menolak keputusan tersebut dan tetap melanjutkan
pekerjaannya. Karena tindakannya itu, Asisten Residen dan Bupati disertai para
serdadunya mendatangi Pieter Jansz untuk memastikan bahwa Pieter Jansz hanya
melayani orang-orang yang sudah beragama Kristen. Pada waktu itu jemaat sudah
beranggotakan 42 orang. (Guillot, 1985:12-13). Reaksi dari Pieter Jansz adalah
tetap pada pendiriannya, Jansz merasa bahwa sejak semula dia tidak pernah
meminta ijin dari pemerintah untuk mengabarkan Injil, maka pemerintah juga
tidak berhak melarangnya untuk melakukan pekabaran Injil. (Sukoco, 2010:149).
Sejak konflik pertama dan ditambah dengan konfliknya yang kedua
dengan pemerintah, Pieter Jansz makin ditekan dan akhirnya menarik diri dari
aktivitas pelayanan yang terlibat langsung dengan jemaat. Pieter Jansz pindah ke
Solo dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, sebuah pekerjaan yang
dulu telah dirintis oleh zendeling lain yakni Bruckner dan Gericke. Setelah resmi
menjadi pegawai British and Foreign Society dan menerjemahkan Alkitab, maka
sejak saat itu Pieter Jansz sudah bukan menjadi zendeling lagi.( Guillot, 1985:13).
Pada tahun 1892 setelah menyelesaikan tugas penerjemahan Alkitab ini, Pieter
Jansz dan istrinya menetap di Kayuapu, di rumah anak perempuannya yang
bernama Jacoba Johanna Maria. Pieter Jansz meninggal di Kayuapu pada tanggal
6 Juni 1904. Sedangkan istrinya meninggal di Wonorejo, Nyemoh, Salatiga pada
tanggal 29 Maret 1909. Keduanya dimakamkan di makam Kristen
Kayuapu.(Sukoco, 2010:176).
Sejak ayahnya menarik diri dari pelayanan jemaat, Pieter Anthonie Jansz
melanjutkan pekerjaan Zending di Jepara. Pieter Anthonie Jansz dilahirkan di
Jawa pada tanggal 29 Mei 1853. Karena itu Pieter Anthonie Jansz sejak kecil
mengerti tentang kehidupan di Jawa. Pada tahun 1867 Pieter Anthonie Jansz
dikirim ke Belanda untuk belajar di sekolah guru di Utrecht. Studi ini berhasil
diselesaikan pada tahun 1875 dengan baik dan melanjutkan sekolah dalam bidang
teologi di Badan Studi Zending dan Penginjilan di Amsterdam. (Sukoco,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2010:165). Dalam hal tugas belajar lanjutan ini terjadi ketegangan antara Pieter
Jansz dan pengurus pusat Zending Mennonit. Pieter Jansz menghendaki supaya
anaknya memiliki bekal yang tidak hanya penguasaan terhadap masalah
pendidikan saja tetapi juga menguasai teologi, karena dalam praktek pekabaran
Injil di Jawa tidak mungkin seseorang hanya berbekal pengetahuan pendidikan
saja.
Pengurus pusat Zending di Belanda justru hanya menginginkan supaya
Pieter Anthonie Jansz nanti menjadi penerus Shuurmans yang “mengkristenkan
suatu bangsa melalui pendidikan” merupakan proses peradaban atau akulturasi,
dimana masyarakat yang dianggap kurang berkebudayaan akan diberi kebudayaan
yang baik, dalam hal ini yang dimaksud dengan kebudayan yang baik adalah
Agama Kristen. (Sukotjo, 2010: 165). Tetapi Pieter Jansz dan putranya yakin
bahwa pekerjaan penginjilan bukan sekedar itu.
Sejak Pieter Jansz menyerahkan pimpinan pekerjaan Zending Mennonit
ke tangannya, Pieter Anthonie Jansz, yang masih muda itu tinggal bekerja
sendirian melayani jemaat Tuhan di Jepara dan sekitarnya. Sesuai dengan
rencananya untuk merombak lapangan pekerjaan Injil. Pieter Anthonie Jansz
mulai mencari tempat untuk melanjutkan cita-cita ayahnya untuk membangun
sebuah desa Kristen. Tempat ini nantinya akan diolah menjadi suatu perusahaan
perkebunan, tetapi sedikit berbeda dengan apa yang dicita-citakan ayahnya. Kalau
dalam karangan Pieter Jansz bahwa zendeling tidak dibenarkan ikut campur
dalam urusan perusahaan, dan para pengolah tanah boleh terdiri dari orang Kristen
ataupun bukan Kristen. Tetapi Pieter Anthonie Jansz justru menempatkan
zendeling sebagai pemilik tanah, yaitu dirinya sendiri, dan yang berhak mengolah
tanah hanya orang-orang Kristen. (Wawancara dengan Suharto, 8 Februari 2011).
Menurut Pieter Anthonie Jansz, perusahaan perkebunan persil ini
merupakan sarana pelayanan atas jemaat yang masih muda itu. Dengan tegas
Pieter Anthonie Jansz berkeinginan membangun perusahaan itu menjadi semacam
desa Kristen dengan penghuni-penghuninya terdiri dari orang-orang Kristen.
Dalam persetujuan dengan pemerintah, Pieter Anthonie Jansz mendapat
wewenang untuk menerima siapa saja yang disukai dan menolak yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
disenangi, dan kalau perlu mengusir orang-orang yang tidak mentaati peraturan
desa. Dengan mendirikan tempat yang baru ini Pieter Anthonie Jansz bermaksud
memindahkan jemaatnya di daerah Jepara itu, termasuk jemaat Kedungpenjalin.
Beberapa orang Kedungpenjalin sudah menyatakan kesediaannya untuk
mengikuti Pieter Anthonie Jansz ke desa yang baru. (Wawancara dengan Suharto,
8 Februari 2011).
Dukungan dari pemerintah daerah terhadap rencana Pieter Anthonie
Jansz dinilai sangat baik. Bahkan Residen J.W. Moojen menyatakan kesediaannya
untuk membantu rencana Pieter Anthonie Jansz. Dengan sikap terbuka dan penuh
perhatian residen memberikan saran-saran yang cukup bermanfaat dan
menganjurkan supaya rencana ini segera ditindaklanjuti mengingat masa
jabatannya yang tinggal satu tahun. Selama itu residen akan membantu dan
memberi jaminan secara diam-diam, karena sebagai aparat pemerintah yang
seharusnya bersikap tidak memihak dia tidak bisa dibenarkan oleh atasannya oleh
perilakunya ini. Karena itu kalau perlu residen menyarankan supaya Pieter
Anthonie Jansz tidak terlalu lama menunggu persetujuan dari pengurus Zending,
melainkan segera mengajukan permohonan untuk membangun usaha perkebunan
atas namanya sendiri dulu. Tidak hanya residen, bahkan Bupati Juana maupun
Wedana Tayu yang membawahi daerah yang dipilih Pieter Anthonie Jansz juga
setuju dan bersedia membantu. Bupati ini sangat mendukung rencana Pieter
Anthonie Jansz karena dengan menetapnya Pieter Anthonie Jansz dan jemaatnya
di daerahnya akan membantu dan membawa pengaruh yang baik bagi orang-orang
Jawa. (Sukoco, 2010:181).
Setelah melakukan pencarian dan pemeriksaan kelayakan, Pieter
Anthonie Jansz akhirnya menentukan tempat yang sesuai dengan keinginannya,
yaitu Desa Puncel di distrik Margotahu, wilayah Kabupaten Juana, Karesidenan
Jepara. Area tersebut berupa lahan semak-semak yang tidak jauh dari pantai.
Sesuai saran residen, Pieter Anthonie Jansz segera mengajukan permohonan
kepada pemerintah pada tanggal 3 Januari 1881 untuk menyewa tanah itu dengan
jangka panjang selama 75 tahun. Luas tanah tersebut kira-kira 200 bau. Enam
bulan kemudian berdasarkan persetujuan Gubernur Jenderal tertanggal 13 Agustus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
1881 No. 29 keluarlah besluit No.37 tertanggal 21 Sepetember 1882, disusul
dengan surat tanda hak (akte) No. 5 tertanggal 13 November 1882 yang isinya
menyetujui permohonan Pieter Anthonie Jansz untuk membuka tanah sewa jangka
panjang di tempat yang dikehendaki seluas 192 bau. Adapun batas-batasnya
antara lain berupa hutan dan ara-ara (semak) di sebelah utara, hutan di sebelah
timur, hutan dan ara-ara di sebelah barat, dan di sebelah selatan merupakan jalan
raya menuju Tayu. Ijin ini berlaku dengan empat syarat tertentu, antara lain :
a. Pemilik erfpacht (tanah sewa jangka panjang) harus melindungi sumber-
sumber air yang ada dengan jalan menghutankan daerah sekitarnya paling
tidak sampai dengan 25 RR.
b. Jalan besar antara Tayu dan Puncel maupun jalan dari Tegalombo ke pantai
harus dipelihara.
c. Tidak dibenarkan menanam kopi.
d. Setiap bau tanah tersebut dikenakan uang sewa f 2.10 per tahun
Desa Kristen yang akan dibuka tersebut tidak dibuka untuk semua orang
melainkan dengan syarat-syarat dan ketentuan yang diatur oleh Pieter Anthonie
Jansz. Peraturan-peraturan yang ditetapkan itu antara lain :
a. Diakui berkelakuan baik. Bersedia mentaati tata hidup Kristen
b. Bagi yang melakukan perbuatan tercela akan diusir dari desa persil
c. Keturunan penduduk yang meninggalkan tata hidup Kristen tidak mendapat
bagian tanah
d. Dilarang memiliki, menyelundupkan, dan menggunakan candu atau minuman
keras
e. Taat pada pimpinan persil atau diusir dari desa
f. Bersedia mentaati hari Minggu dengan tidak bekerja dan bersedia dengan
sungguh-sungguh mengikuti kebaktian gereja maupun kegiatan yang lain.
g. Menyekolahkan anak-anaknya dalam Sekolah Zending dalam usia tujuh
tahun sampai selesai secara gratis, dan bersedia mengasuh anaknya menurut
tata hidup Kristen sampai dewasa.
h. Bersedia dengan sungguh-sungguh menghindari sikap dan perbuatan
penyembahan berhala seperti memelihara punden, jimat, tumbal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
berhubungan dengan setan dan danyang, mengikuti primbon, perhitungan
hari, dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Agama Kristen.
i. Tidak boleh berbuat zina, melacur, atau kawin lebih dari satu orang.
j. Dilarang berjudi dan tayuban.
k. Dilarang melakukan gadai atau merentenkan uang dan memperkaya diri
dengan merugikan orang lain.
l. Harus menjaga kebersihan jalan-jalan, jembatan, pengairan, dan kubur.
m. Membayar f 18 per tahun dan pada tahun keempat sesudah mereka
menempati dan menerima 1 bau sawah dan satu bau tanah tegal dan bebas
dari kerja paksa. Bila menginginkan menambahkan sawah maka untuk tiap
bau membayar f5,-.
n. Tiap petani/ penggarap tidak boleh memiliki sawah lebih dari tujuh bau.
o. Mereka yang setelah menduduki tanah selama dua tahun tetapi belum
mengolah tanah tersebut, akan dicabut haknya atas tanah itu.
p. Tiap penduduk pada waktu membangun rumah dan pagar halaman harus
bersedia mengikuti petunjuk-petunjuk dan perjanjian pemilik persil.
q. Kerbau, sapi, dan ternak yang lain ditempatkan dalam satu kandang bersama,
kecuali kuda yang diperbolehkan dibuatkan kandang di halaman rumah.
r. Para penduduk wajib taat pada peraturan-peraturan pemilik tanah/ persil
dalam hal kebersihan, kesusilaan, kesehatan, ketenteraman, dan ketertiban.
s. Mulai tahun keenam sejak menempati tanah, tiap petani memberi bantuan
untuk pembangunan dan perawatan gedung gereja dan sekolah, perawatan
orang-orang miskin dan sakit, maksimal sepersepuluh dari hasil tanahnya.
Apabila ada kelebihan dari dana tersebut, uang itu menjadi fonds dana
jemaat, ditangani oleh pemilik tanah.
t. Fonds ini digunakan untuk pengeluaran luar biasa bagi kepentingan bersama
setelah dirundingkan bersama dengan orang-orang tua di desa.
u. Kepala desa terpilih oleh rakyat dengan persetujuan pemilik tanah. Calon-
calon diajukan oleh pemilik tanah untuk dipilih oleh rakyat. Para calon tidak
diperkenankan mencari atau mengumpulkan suara dengan jalan “membeli”
suara secara suap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
v. Bagi yang melanggar peraturan-peraturan di atas data diusir dari tanah-tanah
itu. Dan kalau selama itu mereka telah menambah sawahnya dengan usaha
sendiri, maka waktu meninggalkan persil akan menerima pengganti biaya
mengolah sawahnya sebanyak f 10,- per bau. (Sukoco, 2010:182).
Tujuan didirikannya desa Kristen ialah supaya orang-orang yang ingin
memeluk Agama Kristen tidak mundur karena takut diusir dari desanya sendiri.
(Van Den End, 1993:221). Selain orang yang sudah Kristen, orang-orang yang
non-Kristen juga diperbolehkan untuk menempati desa persil dengan syarat harus
memenuhi tata hidup Kristen. Secara tidak langsung, orang-orang yang non-
Kristen harus meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk Agama Kristen
apabila ingin menempati desa persil.(Wawancara dengan Sulistyo, 7 Februari
2011).
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pieter Anthonie Jansz tersebut
tidak mendapat larangan dari pemerintah karena pemberian ijin pembukaan tanah
sewa jangka panjang itu merupakan kebijaksanaan yang umum pada waktu itu.
Hanya saja, dalam kasus desa persil Kristen Margorejo ini disamping
persyaratan-persyaratan umum tersebut masih ada persyaratan lain. Misalnya
kayu-kayu yang ditebang dari hutan itu masih menjadi milik dari pemerintah
sehingga rakyat atau penduduk persil yang menginginkannya masih harus
merogoh kantong sendiri. Penanganannya diserahkan pada pemilik persil yang
bekerja sama dengan kantor yang mengurus kayu-kayu. Biarpun ada kebebasan
dari pemerintah untuk pengelolaan tanah persil itu, tetapi ada satu larangan yang
tidak boleh dilanggar yaitu tentang penanaman kopi.(Sukoco, 2010:188)
Larangan pemerintah agar tidak menanam kopi disebabkan pada waktu
itu kopi merupakan komoditi yang sedang ramai dibutuhkan di pasaran dunia,
sehingga pemerintahan kolonial mendapat keuntungan yang besar sekali dari
penanaman kopi. Supaya harga dapat terus dipertahankan pada tingkat
maksimum, maka produksi selalu diusahakan tidak bertambah. Produksi yang
bertambah akan menyebabkan harga menjadi merosot, sehingga keuntungan
menjadi berkurang pula. Itulah mengapa di tanah sewa jangka panjang dilarang
keras menanam kopi, karena dikhawatirkan hasilnya akan membanjir dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
menggoncangkan harga dasar. Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak terlalu
mengganggu maksud dan tujuan Pieter Anthonie Jansz untuk desa persil ini.
Sebab sejak dahulu ia sudah menetapkan bahwa tanahnya akan diusahakan melulu
demi tercapainya cita-cita pekabaran Injil, bukan untuk keuntungan semata-mata.
Atas dasar non-komersialisasi tanah, maka desa ini akan diusahakan untuk sawah
dan tegalan tanpa mengharapkan keuntungan berlebihan atau laba material,
kecuali tanaman kapuk yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai demi
berlangsungnya penyelenggaraan desa persil tersebut. (Wawancara dengan
Martati Ins Kumaat, 6 Februari 2011).
Setelah persiapan-persiapan untuk membuka desa persil ini memadai,
Pieter Anthonie Jansz segera meminta pada Nicodemus Sudjalmohardjo untuk
memimpin pekerjaan membuka lahan. Dibantu oleh 160 orang yang lain,
Sudjalmohardjo mulai bekerja di awal tahun 1882. Dengan cepat tanah tersebut
dibuka dan disusul dengan pembangunan rumah tinggal sementara untuk
zendeling dan bangunan sekolah yang sekaligus digunakan sementara sebagai
gereja. Sudjalmohardjo inilah yang nantinya banyak menurunkan pemuka-pemuka
jemaat GITJ.
Pieter Anthonie Jansz mengadakan pesta pembukaan untuk meresmikan
desa persil baru pada tanggal 9 Juni 1883 dan memberi nama Margorejo bagi
desa persil ini. Margorejo dipilih sebagai nama karena mengandung arti “jalan
kepada kesejahteraan”. Fasilitas dan keuntungan seperti tanah garapan, rumah,
dan terbebas dari kerja paksa, membuat banyak orang Kristen maupun orang-
orang yang bukan Kristen berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk tinggal
di Margorejo, namun baru tinggal sebentar di sana kemudian tanpa alasan yang
jelas mereka pergi dari Margorejo. Mungkin mereka menjadi tidak sanggup untuk
memenuhi aturan persil yang diberikan Jansz, atau mereka takut tidak mampu
mengerjakan tanah yang masih perawan itu, apalagi ternyata tanah tersebut belum
memiliki sumber yang cukup. (Wawancara dengan Suparsono, 8 Februari 2011).
Pada awal musim tanam tahun 1884 datang 13 orang yang di antaranya
merupakan tiga anggota jemaat. Lima orang datang dari Tegalombo dan tiga
orang yang lain mengaku Islam tetapi bersedia mentaati peraturan desa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Margorejo. Dihitung dengan isteri-isteri mereka, anak-anak, murid-murid sekolah
dan para pegawai, Margorejo pada tahun 1884 berpenduduk 91 jiwa. (Sukoco,
2010:190).
Pekerjaan di Margorejo di bidang rohani dibantu oleh Yakobus Semadin
sebagai utusan dari Kedungpenjalin. Sedangkan sebagian besar anggota jemaat
Kedungpenjalin tetap tinggal di tempat semula dengan dilayani oleh Pasrah Karso
yang sudah sangat tua. Dia dibantu oleh pekabar Injil Yokanan Semadin, saudara
tua Yakobus Semadin yang sama-sama menantu Pasrah Karso, serta Yahuda
Limbun, menantu yang lain yang sifatnya lebih senang mengabarkan Injil ke
Kedungpenjalin. Sebagai pekabar Injil Yakobus Semadin diharapkan dapat
menjadi teladan yang baik bagi jemaat muda. Apagi berkenaan dengan peraturan-
peraturan desa persil yang demikian ketat. Tetapi bukannya menjadi teladan yang
baik justru dia terjerumus menjadi pemadat candu yang tidak tanggung-
tanggung. Oleh sebab itu terpaksa Yakobus Semadin diminta meninggalkan
persil. Demikian juga seorang guru sekolah dasar yang bernama Sis Kerso pun
terpaksa diminta untuk meninggalkan Margorejo karena dia pun jatuh dalam
kehidupan yang kurang baik.(Sukoco, 2010: 190). Setahun kemudian jumlah
penduduk di Margorejo ini kecuali pegawai-pegawai guru dan keluarga zendeling
berkembang menjadi 18 orang di antara 137 warga. Sedangkan tanah desa persil
yang telah digarap mencapai 44 bau, diantaranya berhasil ditanami padi dan
palawija. Untunglah tanaman kapuk segera tumbuh sehingga hasilnya masih
dapat digunakan untuk bertahan hidup.
Dalam hal urusan administrasi, Pieter Anthonie Jansz mengangkat
adminstratur J. Schroot Betting sebagai tenaga yang mengurus administrasi desa
persil. Kegiatan administratif desa persil meliputi pendataan warga dan
penempatan tempat tinggal warga di desa persil. Sedangkan yang bertugas
menangani urusan pemerintahan desa persil diserahkan pada seorang lurah yang
bertindak sebagai kepala desa. Demikian kehidupan jemaat asuhan Zending
Mennonit sampai tahun 1884. Sebagian ada di daerah Kabupaten Jepara dengan
Kedungpenjalin sebagai intinya. Sebagian lagi jemaat boyongan Margorejo,
tempat barunya di Kabupaten Juana, yang sangat diperhatikan oleh pengasuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
(Sukoco, 2010: 191). Selain mendirikan desa-desa Kristen, Zending memiliki
pandangan bahwa mereka dapat mempengaruhi lingkungannya yang tidak mau
mendengarkan pekabaran Injil secara langsung dengan menulis berbagai buku
bacaan Kristen. Selama 30 tahun, Pieter Jansz dan putranya membaktikan diri
untuk menyelesaikan tugas itu. Hasilnya berupa kamus bahasa Jawa; terjemahan
Alkitab Perjanjian Baru yang selesai pada tahun 1891 dan Perjanjian Lama-Baru
yang selesai pada tahun 1896; Katekismus Heidelberg, dan lainnya. Di samping
itu ada usaha pendidikan dan pelayanan di bidang sosial.(Van Den End, 1993:
222). Usaha Kristenisasi dalam bidang sosial adalah pendirian sebuah rumah sakit
di Margorejo untuk memelihara kesehatan penduduk Margorejo dan orang-orang
di luar Margorejo yang membutuhkan perawatan kesehatan. Selain rumah sakit,
usaha Kristenisasi yang memainkan peranan penting bagi kemajuan pekabaran
Injil di Indonesia adalah pendidikan.
B. Pelaksanaan Pendidikan oleh Zending
Munculnya sekolah di Indonesia pada jaman penjajahan Belanda
merupakan keinginan dari penjajah itu sendiri. Meski demikian, tujuan pendirian
sekolah ini berbeda jauh dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Sekolah
hanya dimanfaatkan untuk mendukung kekuasaan pemerintah dan bukan untuk
kepentingan pribumi. Pada jaman VOC (1600-1800), sebenarnya sudah ada
sekolah untuk anak-anak pribumi, yaitu sekolah khusus untuk orang-orang
beragama Kristen. (Poerwanto, 1993:9). Hal ini secara jelas ditulis dalam instruksi
terhadap Gubernur Jenderal dan VOC tahun 1617 yang menyebutkan bahwa
sekolah-sekolah itu bertujuan untuk menancapkan pengaruh Agama Kristen di
Hindia Belanda.
Tahun 1799 VOC bangkrut dan kekuasaan Hindia Belanda diambil alih
oleh pemerintah Inggris dari tahun 1811-1816. Pada masa pemerintahan Inggris,
sekolah untuk anak-anak pribumi ditiadakan, dan baru dibuka kembali pada tahun
1818 setelah kekuasaan dipegang lagi oleh Belanda. Saat itu diberlakukan
peraturan baru yang mengatur pelaksanaan pengajaran bagi anak pribumi. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
peraturan itu akhirnya hanya menjadi sebuah peraturan tanpa ada realisasinya. Hal
ini disebabkan karena pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda sedang
mengalami kesulitan keuangan, sehingga tidak bisa mengeluarkan uang untuk
pelaksanaan pendidikan untuk pribumi bahkan justru memeras segala sumber
alam dan manusia Indonesia untuk mengisi kas pemerintah. (Poerwanto, 1993:
51).
Pada tahun 1848, ditetapkan sebuah bergrooting (anggaran belanja)
sebanyak 25.000 Gulden untuk mendirikan dan membiayai sekolah-sekolah di
Indonesia. Sekolah-sekolah untuk pribumi memang benar-benar didirikan, tapi
tujuannya hanya untuk mencetak ambtenaar (pegawai) yang nantinya
dipekerjakan sebagai mandor atau juru tulis di perkebunan-perkebunan. Pada
tahun 1850, ada ketentuan supaya sekolah-sekolah Belanda di Indonesia
menyelaraskan kurikulum sesuai kurikulum sekolah di Belanda. Di sekolah
Belanda ini anak-anak pribumi juga diterima tapi terbatas bagi para putra priyayi
gedhe. Sedangkan putra priyayi cilik hanya bisa sekolah di sekolah kelas dua.
(Poerwanto, 1993:51).
Demikianlah pelaksanaan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang walaupun memiliki teori yang mulia tetapi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Peraturan-peraturan yang diberlakukan di sekolah-sekolah
milik pemerintah Hindia belanda ini tidak berlaku bagi sekolah yang didirikan
oleh Zending. Ketika Zending memulai pekerjaannya di suatu daerah, hampir
dipastikan mereka mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi. Pendirian
sekolah ini bertujuan untuk mengangkat martabat dan taraf kehidupan masyarakat
setempat. Diharapkan setelah taraf hidup meningkat dan para pribumi beroleh
pengetahuan, maka mereka akan lebih mudah menerima ajaran Kristen. Zending
Mennonit di Jepara memprakarsai dua sekolah yang diperuntukkan bagi anak-
anak pribumi. Kedua sekolah itu antara lain :
1. Sekolah Jemaat Margorejo
Pembahasan mengenai Sekolah Jemaat yang didirikan oleh Zending ini
dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah sekolah yang dikelola oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Pieter Jansz dan kedua, sekolah yang dilanjutkan oleh putra Pieter Jans, Pieter
Anthonie Jansz.
a. Sekolah Jemaat yang didirikan Pieter Jansz
Pieter Jansz memulai pekerjaannya sebagai pekabar Injil dengan
mendirikan sekolah pada Agustus 1852. Sekolah ini masih sangat sederhana dan
belum dilengkapi dengan fasilitas-faslitas penting. Gedung yang dipakai adalah
rumahnya sendiri, ia bertindak sebagai guru dan dibantu oleh istrinya. Hal tersebut
disebabkan karena jumlah murid yang masih terbatas. Pelajaran yang diajarkan di
sekolah juga masih sangat sederhana, yaitu pelajaran membaca, menulis, dan
menyanyi. Sekolah yang didirikan Pieter Jansz kurang mendapat perhatian
penduduk disebabkan pada waktu itu kesadaran penduduk untuk menyekolahkan
anaknya masih sangat kurang, sedangkan Pieter Jansz sendiri juga mempunyai
pekerjaan untuk mengabarkan Injil dengan metode ceramah pada penduduk yang
lainnya. Kondisi ini berlangsung sampai kedatangan zendeling baru bernama
Nicholas Dirk Schuurmans tahun 1863. (Sukoco, 2010:157).
Schuurmans sampai di Jawa pada bulan Juni 1863 dan bekerja
mendampingi Pieter Jansz di Jepara sejak bulan Agustus. Sebelum menjadi
zendeling, mula-mula Schuurmans yang masih muda ini bekerja sebagai pandai
besi, tetapi kemudian dia meninggalkan pekerjaannya dan berniat melayani Tuhan
dengan masuk sebagai tenaga Zending Mennonit untuk menyebarkan Injil.
Selama lima tahun sejak 1857, Schuurmans menjalani masa persiapan dalam
pendidikan sebagai zendeling dan pada tanggal 18 Maret 1863, sesudah
pernikahannya, Schuurmans berangkat ke Jawa untuk memulai tugasnya.
Schuurmans, yang oleh orang-orang Jawa setempat dipanggil sebagai Tuan
Kirman, dan Pieter Jansz setuju kalau pekerjaan yang ada akan dibagi di menjadi
dua. Pieter Jansz menangani khusus pemeliharaan jemaat dan perluasan pekabaran
Injil, sedangkan Schuurmans menangani penyelenggaraan sekolah, sesuai dengan
kegemarannya di bidang pendidikan.
Kedatangan Schuurmans ini sungguh membawa angin segar bagi
kehidupan sekolah Zending yang dibangun oleh Pieter Jansz. Schuurmans
mempunyai minat dan bakat sebagai pendidik yang baik. Dengan tekun sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
ini diasuhnya sehingga makin lama makin banyak anak-anak yang disekolahkan
di situ. Perkembangan sekolah membuat sekolah itu tidak kalah mutunya dengan
sekolah lain yang sudah ada, didukung dengan jumlah uang pembayaran sekolah
yang relatif murah dan terbuka untuk umum. Sampai tahun 1865 sekolah ini telah
memiliki 19 murid. Setahun kemudian bertambah menjadi 26 orang murid, dan 14
diantaranya tinggal di asrama yang memang disiapkan untuk anak-anak yang
tempat tinggalnya jauh dari sekolah. Untuk penanganan asrama yang masih
sederhana, yakni terbuat dari bambu, mula-mula cukup dipegang oleh Ny.
Schuurmans sendiri, yang bekerja dibantu pengawas untuk mengawasi anak-anak
supaya tertib dan teratur.
Tujuan pendirian sekolah itu memang untuk membawa anak-anak
kepada Kristus. Tentang pembagian persiapan, bagi pria dipersiapkan sebagai
guru Injil, sedangkan wanita disiapkan semata-mata sebagai ibu rumah tangga
yang baik. Untuk menunjang tujuan tersebut tiap minggu diadakan kebaktian
khusus buat mereka antara pukul 09.00-10.00. Selain itu diberikan katekisasi
(pembekalan khusus) yang dilayani langsung oleh Pieter Jansz. Dengan penuh
ketekunan penyelenggaraan sekolah ini dilaksanakan sehingga untuk itu saja
memerlukan biaya f 100,-/ bulan disamping biaya asrama per anak f 0,11/ hari.
Jadi sekolah yang didirikan oleh Pieter Jansz ada dua yakni sekolah guru dan
sekolah jemaat. (Sukoco, 2010:158).
Dalam perkembangan sekolah tersebut timbul persoalan antara Jansz dan
Schuurmans. Keduanya memiliki visi yang berbeda dalam hal memajukan
sekolah. Jansz yang merasa lebih senior selalu berusaha untuk mengawasi,
menegur, dan mengarahkan Schuurmans dalam penyelenggaraan sekolah
sehingga sering terjadi benturan-benturan kecil antara dia dan Schuurmans.
Benturan-benturan itu antara lain dalam hal penamaan sekolah, pembagian
kelompok murid, dan pelajaran. Dalam hal penamaan, Schuurmans menamakan
sekolah tersebut dengan Sekolah Pendidikan, bukan Sekolah Jemaat. Alasannya
sebagian besar dari anak didiknya tidak berasal dai jemaat. Sebaliknya Jansz
menghendaki supaya sekolah itu disebut Sekolah Jemaat. Akhirnya dalam hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Schuurmans mengambil sikap mengalah sehingga sekolah itu tetap disebut
sebagai Sekolah Jemaat.
Persoalan yang kedua adalah mengenai usul Jansz untuk memisahkan
anak-anak antara usia di bawah 12 tahun dan di atas 12 tahun. Schuurmans
sebenarnya bukan bermaksud untuk tidak setuju, karena sebelum Jansz
mengusulkan hal tersebut sudah diterapkan. Tetapi ternyata pemisahan ini tidak
banyak memberi keuntungan dan justru menimbulkan kerugian. Apabila hal itu
tetap diterapkan, maka akan dibutuhkan tempat dan pengawas baru sehingga
pengeluaran akan bertambah, karena otomatis pemisahan juga dilakukan untuk
murid putra dan putri. Inilah yang menjadi alasan Schuurmans tidak menghendaki
pembagian kelas tersebut mengingat pengurus Zending sudah memberi lampu
kuning untuk penghematan.
Persoalan terakhir yang lebih berat adalah ialah soal pelajaran Bahasa
Belanda. Sejak semula Schuurmans telah memberikan pelajaran Bahasa Belanda
pada murid-muridnya, sedangkan selama itu pula Jansz tidak mempersoalkannya.
Mendadak pada pada tahun 1870 Jansz menegur Schuurmans dengan pernyataan
tidak setuju kalau anak-anak diberikan pelajaran Bahasa Belanda. Alasannya
murid-murid akan menjadi sombong, membaca bacaan yang tidak baik, dan
keluar dari lingkungannya. (Wawancara dengan Martati Ins Kumaat, 6 Februari
2011). Schuurmans dengan tegas menolak alasan-alasan yang disertakan Jansz
karena dianggap alasan-alasan tersebut bukan hal yang prinsip.
Di saat persoalan ini terjadi, jumlah murid mencpai 39 anak, 29
diantaranya tinggal di asrama. Setahun kemudian jumlah itu naik menjadi 53
anak, 43 diantaranya tinggal di asrama. Akibat ledakan siswa yang diasramakan
ini diambil dua tindakan penting, yakni pertama, membuka cabang sekolah di
Desa Bondo dena guru bernama Wagiman yang adalah anak didik Schuurmans.
Pembukaan cabang ini bertujuan untuk melayani anak-anak Bondo yang jauh dari
Jepara. Tindakan yang kedua yaitu mendatangkan seorang perawat asrama khusus
untuk membantu atau menggantikan pekerjaan Ny. Schuurmans yang cukup lama
mengabdi untuk pekabaran Injil tanpa imbalan apapun. Untuk itu didatangkan Nn.
Sjoukje Deinum yang mulai bekerja per April 1874.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Partisipasi orang tua dan pendidikan anak mereka sangat kurang.
Mereka tidak mau memikirkan bagaimana anak-anaknya seharusnya sebagai anak
sekolah, bahkan kesadaran ini menjadi turun ke titik nol pada tahun 1873 ketika
anak-anak Bondo dan Banyutowo ditahan orang tuanya untuk tidak sekolah lagi.
Demikian pula sekolahan di Bondo pun terpaksa ditutup karena tidak ada murid
yang masuk karena Tunggul Wulung, yang lebih dulu melakukan kegiatan
pekabaran Injil di tempat itu tidak mengijinkan pendirian sekolah di
lingkungannya. Bahkan ketika pengurus pusat memutuskan untuk tidak lagi
memperbolehkan pengajaran Bahasa Belanda kecuali kepada murid yang
menunjukkan minat besar dan ada kemungkinan menjadi guru sekolah maka
banyak orang tua yang mencabut anaknya, terutama para kepala desa.
Dengan segala usaha dan pengorbanan sampai dengan tahun 1875
sekolah-sekolah asuhan Schuurmans berhasil mencetak 88 orang lulusan, tetapi
hanya tiga orang yang menjadi guru sekolah cabang yakni Wagiman (guru
sekolah di Bondo), Sanjan (guru sekolah di Petekeyan), Siput (guru sekolah di
Karang Gondang). Selanjutnya dibuka pula cabang sekolah di Cumbring,
Kedungpenjalin, dan Pengkol. Karena gedung sekolah yang selama ini dipakai di
Jepara terbuat dari bangunan bambu sehingga kekuatannya mengkhawatirkan
maka gedung ini dirombak dan diganti dengan gedung yang terbuat dari batu
dengan biaya f 1600,-.(Sukoco, 2010:162).
Sekolah Zending ini sudah menggunakan kurikulum sekolah yang cukup
baik dengan mata pelajaran yang meliputi : Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Bahasa
Belanda, berhitung, sejarah umum, sejarah Bangsa Jawa, sejarah suci, ilmu bumi
umum, ilmu bumi dari Hindia Belanda teristimewa dari Pulau Jawa, ilmu bumi
Palestina, dasar-dasar ilmu alam, dan pelajaran menyanyi. Khusus bagi yang
menginginkan mendapatkan pendidikan untuk menjadi pekabar Injil atas guru
maka akan mendapatkan pelajaran tambahan. Setelah beberapa tahun mengabdi
dalam pekerjaan Zending, Schuurmans harus berhenti karena faktor kesehatan.
Tahun 1878 ia mengambil cuti untuk beristirahat di Nederland atas nasehat
dokter, dan ternyata Schuurmans tidak bisa kembali ke Indonesia karena
kesehatannya yang tidak kunjung membaik. Sekolah Jemaat asuhan Schuurmans
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
ini kemudian dilanjutkan oleh putra Pieter Jansz yakni Pieter Anthonie Jansz,
yang sudah beberapa tahun belajar di Negeri Belanda dan kembali ke Indonesia
dengan berbekal banyak pengetahuan mengenai pendidikan.
b. Sekolah Jemaat yang Dikelola oleh Pieter Anthonie Jansz
Memasuki masa pengembangan desa persil Margorejo, sekolah
mengalami sedikit kesulitan mengenai tenaga guru pengajar sejak Schuurmans
pergi. Selama beberapa waktu Zending Mennonit meminjam seorang guru
bernama Poerna dari zendeling Hoezoo sampai calon guru yang disiapkan oleh
Zending menyelesaikan pendidikannya. Pada tahun 1890 Poerna harus kembali
kepada Hoezoo karena tiga orang calon guru yang dididik di Depok, dekat
Batavia, melanjutkan studi praktis perawatan orang sakit dan sekolah taman
kanak-kanak di Mojowarno telah selesai dan kembali, yaitu Naftali Wirodito,
Dirdjo Soerodirono, serta Moersidin Semangoen Ardjo. Demikian juga telah
kembali Talidjo Kromoatmodjo yang dikirm khusus untuk belajar di Mojowarno.
Kedatangan beberapa tenaga terdidik ini yang mula-mula
menggembirakan berubah menjadi mengecewakan ketika Moersidin Semangoen
yang baru bekerja dua hari di lingkungan jemaat mendadak menyatakan tidak
sanggup bekerja dan minta keluar dengan alas an yang tidak jelas. Dengan
perginya Semangoen, maka sekolah Zending diasuh oleh tenaga-tenaga
Nicodemus Soedjalmahardjo sebagai pengawas sekolah jemaat; Jusuf
Wirodiwongso sebagai guru; dan Naftali Wirodito,Dirdjo soerodirono
(Ronodirjo), dan Talidjo Kromoatmodjo sebagai calon-calon guru. Sedangkan
rencana pembangunan taman kanak-kanak yang sedianya akan diserahkan kepada
Talidjo ditangguhkan untuk sementara waktu. Sekolah Jemaat yang dipindah ke
Margorejo berkembang cukup pesat. Tetapi tujuan sekolah ini kurang tercapai
meskipun muridnya mencapai 65 anak (41 putra, 24 putri), tetapi 43 diantaranya
berasal dari luar Margorejo. Keadaan murid di Margorejo berkembang pula
sehingga pada tahun 1890 jumlah murid mencapai 82 anak. Dari jumlah ini, anak
penduduk desa persil Kristen ada 37 anak, anak-anak penduduk Non Kristen ada
23 anak, sedangkan 22 anak yang lain berasal dari luar. Dari jumlah 37 anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Kristen ini ternyata hanya 14 anak yang berasal dari margorejo karena yang lain
berasal dari Kedungpenjalin, Bondo, dan Tempuran; disamping ada 3 orang anak
lain yang belajar di sore hari. (Sukoco, 2010: 195).
Selain di Margorejo, sekolah di Kedungpenjalin masih juga berjalan
seperti biasa. Tahun 1890 ini juga sekolah Kedungpenjalin masih memiliki 30
murid yang belajar pagi hari, sedangkan yang belajar sore hari ada 9 anak. Tetapi
dua sekolah lain, yaitu Sekolah Banyutowo walaupun hanya dengan tujuh murid
saja, serta Sekolah Bondo yang hanya memiliki 10 murid yang keadaannya
menyedihkan diputuskan akan tetap dipertahankan. Walaupun sekolah-sekolah ini
kurang begitu berhasil, tetapi demi pekabaran Injil, kedua sekolah ini tetap
dipertahankan dengan harapan akan timbul kesadaran dari orang tua di kedua
kelompok bekas asuhan Tunggul Wulung ini untuk menyekolahkan anak-
anaknya.
Sekolah yang dibuka semakin lama semakin berkembang. Banyak
masyarakat Islam di sekitar jemaat, lebih-lebih dari Puncel, menggunakan fasilitas
pendidikan ini. Antusiasme masyarakat luar untuk bersekolah di Sekolah Jemaat
di Margorejo ini disebabkan karena keuntungan yang ditawarkan di Sekolah
Jemaat Margorejo, antara lain Zending memberikan sekolah gratis, buku, sabak,
pen untuk menulis, pakaian, makanan, dan hadiah setiap perayaan Natal.
(Wawancara dengan Dirdjotono, 9 Februari 2011). Sebaliknya andaikata tidak ada
peraturan wajib sekolah mungkin orang-orang Kristen sendiri tidak terlalu
tertarik dengan sekolah. Begitulah manusia, yang tidak memiliki berusaha untuk
ikut menikmati fasilitas yang ada, tetapi yang memiliki fasilitas justru tidak
memanfaatkan dengan baik. (Wawancara dengan Sulistyo, 8 Februari 2011).
Tidak hanya Sekolah Dasar tujuh tahun, serta Sekolah Petang tetapi pada tahun
1896 dibuka pula Sekolah Taman Kanak-Kanak seperti yang diidam-idamkan di
bawah asuhan kakak Pieter Jansz, yaitu Ny. De Boer. Taman Kanak-Kanak ini
diberi nama Pamong Rini. Sama seperti persekolahan jaman N.D. Schuurmans,
anak-anak putri pun diberi tambahan pelajaran berupa keputrian yang
diselenggarakan sore hari dan malam hari. (Sukoco, 2010:212).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
2. Sekolah Guru Margorejo
Tempat-tempat pekabaran Injil dan jemaat yang dikerjakan Zending
makin berkembang luas, terdiri dari Margokerto, Tegalombo, Banyutowo, Tayu,
Pati, Kayuapu, Pulojati, Srobyong, Kedungpenjalin, dan Bondo. Di pihak lain
Zending selalu berusaha mendirikan sekolah-sekolah di masing-masing jemaat
yang ada. Bahkan di tempat-tempat yang belum ada orang Kristen didirikan pula
sekolah sebagai alat pekabaran Injil, biarpun banyak kesulitan yang dialami
karena tentangan dari orang-orang Islam dan sikap pemerintah yang tidak tegas.
Karena itu para zendeling merasa kekurangan tenaga yang memenuhi syarat, baik
untuk guru sekolah maupun untuk membantu dalam pekabaran Injil. Tidak
mungkin Zending harus berpuas diri dengan guru-guru lulusan sekolah Zending
yang masih setingkat Sekolah Dasar. Lebih tidak memungkinkan apabila
mengirim tenaga-tenaga untuk dididik di luar daerah, karena selain biaya yang
relatif mahal juga ilmu pengetahuannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan
lapangan. Selain alasan-alasan di atas, Zending Mennonit juga mewajibkan
supaya guru-guru sekolah dapat merangkap sebagai pelayan jemaat. Oleh karena
itu guru-guru itu memerlukan pendidikan dan persiapan khusus.
Mengacu pada pertimbangan yang ada maka Zending di Margorejo
membuka sebuah Kursus Sekolah Guru Zending sejak Juni 1896. Ternyata kursus
ini mendapat sambutan yang baik, dan pada tahun 1902 Zending mengubah
kursus itu menjadi Sekolah Guru Zending dengan status swasta penuh. Murid
pertama Sekolah Guru Zending ini adalah Anna, putri dari Pak Kobis dari Desa
Puncel yang mendaftarkan diri pada tanggal 1 Juli 1902.
Pada tanggal 1 Januari 1904, Sekolah Guru Margorejo ini berubah status
dari swasta ke subsidi, karena permintaan subsidi pada pemerintah dikabulkan
berupa bantuan guru, yaitu mengakui dan mengangkat zendeling Pieter Anthonie
Jansz yang menjadi direktur, baik untuk Sekolah Jemaat maupun Sekolah Guru
Zending ini sebagai guru yang dibiayai oleh pemerintah. Hal ini dikukuhkan
dengan pernyataan yang tertulis di Staatbladen Nederlandsch van Indie tahun
1854, yang berisi:“Keputusan Gubernur Jenderal, 9 Desember 1854 memuat
ketentuan untuk misi Kristen. art.1 pandangan resolusi 6 September 1835 No.24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
yang menyatakan bahwa beban dalam perjalanan guru dari komunitas Kristen di
Jawa diatur menurut kantor audit umum”.
Sekolah guru pada umumnya bertujuan untuk mendidik calon guru untuk
mengajar di sekolah-sekolah dasar sampai tingkat menengah. Sedangkan Sekolah
Guru Zending Margorejo ini mengajarkan supaya murid-muridnya sanggup
menjadi guru sekolah dan mengurus jemaat. Cara ini erat kaitannya dengan pola
yang berlaku di gereja-gereja Mennonit di Belanda. Para zendeling telah melihat
perekonomian Jawa terlebih di desa yang masih sangat lemah. Sistem ekonomi
uang masih belum berjalan dengan baik sehingga dimungkinkan para penduduk
desa tidak sanggup untuk membayar seorang pendeta professional. Karena itu
dirasa akan lebih baik apabila pendeta-pendeta awam yang telah memiliki profesi
dan penghasilan sendiri. Hanya saja dalam kenyataannya Zending Mennonit
berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas. Terbukti bahwa guru-
guru hasil pendidikan Sekolah Guru Zending ini ketika diangkat sebagai pemuka
jemaat mereka digaji oleh Zending sesuai pola pendeta professional, walaupun
kapabilitasnya belum sesuai dengan standar pendeta professional.
Sekolah Guru Zending Margorejo ini hanya menerima murid dari lulusan
Sekolah Dasar tujuh tahun dengan menunjukkan ijasah aslinya serta keterangan
dari jemaat setempat dari mana calon ini berasal. Setelah diterima, calon-calon ini
tidak dapat langsung duduk di tingkat satu Sekolah Guru Zending melainkan
disaring dulu pada tingkat calon (persiapan) selama satu tahun. Kalau berhasil
menempuh tingkat ini dengan baik, calon bisa duduk di tingkat satu dan
seterusnya sampai tamat sekolah. (Wawancara dengan Dirdjotono, 8 Februari
2011). Kurikulum yang terdapat di Sekolah Guru Zending ini terbagi menjadi dua
bagian yaitu teori dan praktek. Keduanya terdiri dari dua bagian mata pelajaran,
yaitu mata pelajaran pendidikan umum serta mata pelajaran agama dan Alkitab.
Mata pelajaran pada Sekolah Guru Zending Margorejo ini terdiri dari 16 mata
pelajaran, yaitu :
a. Vak Agama (Bijbelsche vakken)
b. Sejarah Kitab Suci (Bijbel Geschiedenis)
c. Ilmu Bumi Kitab Suci (Bijbel Aardrijkskunde)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
d. Sejarah Gereja ( Kerk Geschiedenis)
e. Pengetahuan Kitab Suci (Bijbelkennis)
f. Dogmatika (Geloofsleer)
g. Vak Umum (Schoolen vakken)
h. Bahasa Jawa (Janaansch taal)
i. Bahasa Melayu (Maleisch taal )
j. Menulis Halus (Schrijven)
k. Ilmu Bumi (Aardrijkunde)
l. Ilmu Ukur (Vorm I)
m. Ilmu Mengajar (Op Voedkunder)
n. Berhitung (Rekenen)
o. Sejarah (Geschiedenis)
p. Ilmu Alam (Natuur kunde)
q. Menyanyi (Zang)
r. Menggambar (Teekenen) (Sukoco, 2010:224).
Kurikulum yang ada tidak menyertakan pengajaran bahasa Belanda
kepada pribumi. Bahasa Belanda tidak diajarkan karena beberapa alasan, antara
lain :
a. Biasanya anak-anak yang diajari Bahasa Belanda akan berubah menjadi
kemlanda (Kebelanda-belandaan), kalau berbicara lebih senang dan bangga
menggunakan Bahasa Belanda. Ini tidak sesuai dengan tujuan yang
tersembunyi dari persekolahan yang ingin membentuk jiwa anak-anak
didiknya betul-betul berjiwa nasional. Apabila diajari Bahasa Belanda
dikhawatirkan akan menjauhkan diri dari pergaulan dengan bangsanya
sendiri. (Wawancara dengan martati Ins Kumaat, 6 Februari 2011).
b. Tujuan pendirian sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan guru yang
akan mengajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar
Bahasa Jawa atau Bahasa Melayu, sehingga dirasa bahwa Bahasa Belanda
tidak diperlukan.
Alasan-alasan yang dimukakan oleh Zending itu melandasi kebijakan
untuk tidak mengajarkan Bahasa Belanda di Sekolah Guru Zending Margorejo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Dipandang dari sisi budaya, tindakan Zending ini patut dipuji karena dengan
demikian orang-orang Jawa yang telah dikristenkan ini tidak dicabut dari akarnya
dan kemudian didandani dengan gaya budaya Barat.. Sedangkan dari sisi lain, hal
ini dianggap sebagai suatu kelemahan dari kurikulum Sekolah Guru Zending
Margorejo karena kurang memperhitungkan masa depan para lulusannya. Para
lulusan dari Sekolah Guru Zending di Margorejo ini hanya mampu menjadi guru
sekolah maupun pemimpin agama saja. Padahal kalau mereka dibekali dengan
Bahasa Belanda maka mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang lebih
tinggi dan dapat berkomunikasi dalam bahasa asing Internasional. Sehingga para
lulusan yang dicetak memiliki peluang untuk menjadi pemuka-pemuka jabatan
yang dapat berinteraksi langsung dengan orang-orang Belanda. (Wawancara
dengan Martati Ins Kumaat, tanggal 6 Februari 2011).
Sekolah Guru Zending Margorejo sangat memperhatikan mata pelajaran
sejarah dan bahasa Jawa dengan tujuan supaya para murid tetap menyadari bahwa
mereka adalah bagian dari masyarakat Jawa. Di bidang kesenian, tembang dan
gending Jawa juga diajarkan pada murid-murid. Dalam pemakaian bahasa
pengantar, baik guru (termasuk yang berkulit putih) maupun murid-murid,
semuanya menggunakan Bahasa Jawa tinggi (krama inggil). (Wawancara dengan
Dirdjotono, 8 Februari 2011). Ilmu Kimia dan pertanian tidak diajarkan karena
alasan praktis. Ilmu kimia tidak relevan bagi lulusan Sekolah Guru, dan ilmu
pertanian sudah merupakan latar belakang kehidupan murid-murid sehingga tidak
diperlukan. Bagian tertentu dari kedua pelajaran itu disatukan dalam ilmu alam.
Namun rupanya kebijakan ini kurang memperhitungkan kemajuan-kemajuan
dalam bidang pertanian yang kelak pasti berkembang lebih kompleks.
Mata pelajaran umum seperti menyanyi, bahasa Jawa, dan bahasa
Melayu diajarkan tidak semata-mata bersifat umum begitu saja, melainkan untuk
menunjang pelajaran agama. Pelajaran praktek pun terbagi atas dua bagian
menurut vak agama dan umum. Untuk mata pelajaran agama, praktek dilakukan
dengan pengamalan langsung. Masing-masing siswa diminta untuk membuat
catatan serta karangan tentang kotbah yang didengar di gereja. Karangan yang
disiapkan nantinya dibacakan dan didiskusikan di kelas. Para murid tidak diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kewajiban khusus untuk praktek mengajar di gereja, tetapi diharapkan mereka
dapat menguasai keterampilan itu dengan sendirinya. Sebaliknya praktek
mengajar betul-betul dilakukan dengan cermat di sekolah-sekolah Zending,
dilanjutkan dengan evaluasi dan diskusi tentang hasil praktek oleh guru dan murid
secara bersama-sama. (Wawancara dengan Dirdjotono, 8 Februari 2011).
Perbandingan alokasi waktu antara pelajaran agama dan pelajaran umum
untuk setiap kelas per minggu di dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah
Guru Zending di Margorejo diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Perbandingan jumlah jam pelajaran agama dan pelajaran umum itu
antara lain:
a. Kelas I 6:25
b. Kelas II 5:11
c. Kelas III 5:11
d. Kelas IV 5:11
e. Kelas V 25:61
Jumlah jam pelajaran keseluruhan = 107: 388 jam. (Sukoco, 2010:227).
Beberapa waktu lamanya Sekolah Guru Zending di Margorejo
menggunakan dua gedung yang dibangun di atas tanah Margorejo. Mulai tahun
1925 gedung lama tidak dipergunakan karena Sekolah Guru mendapat gedung
tembok baru yang lebih meha, lengkap dengan asrama dengan sarana-sarana
lengkap dari mulai kamar mandi, WC, dapur, dan penerangan listrik serta gedung
tempat tinggal direktur. Gedung yang lama nantinya diboyong ke Tayu sebagai
gedung Sekolah Peralihan yang didirikan di sana.
Selama hampir 25 tahun sekolah dipimpin oleh Pieter Anthonie Jansz
dan mendapat subsidi dari pemerintah Belanda, Pieter Anthonie Jansz memang
pernah berhenti sebentar sebagai guru dan direktur sekolah ini karena dia telah
pensiun sebagai guru yang dibayar oleh pemerintah. Untuk waktu yang singkat itu
ia digantikan oleh keponakannya yakni C.P. Jansz. Tetapi karena C.P. Jansz ini
tidak pernah berhasil memperoleh ijasah sebagai kepala guru, maka C.P Jansz
dengan kemauannya sendiri mengundurkan diri dan Pieter Anthonie Jansz mau
tidak mau kembali ke tempatnya semula dengan dicabut hak pensiunnya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
sementara guna diaktifkan kembali untuk memimpin Sekolah Guru Margorejo.
Tetapi pada tahun 1925 Sekolah Guru Margorejo ini terpaksa harus siap untuk
ditutup karena subsidi dari pemerintah telah dicabut. Pieter Anthonie Jansz yang
merintis dan membimbing Sekolah Guru ini berkeberatan apabila sekolah ini
ditutup hanya karena tidak ada subsidi. Pieter Anthonie Jansz ingin supaya
Zending di Negeri Belanda memikirkan kelangsungan hidup sekolahnya. Tetapi
ketika usahanya ini tidak mendapat perhatian, Pieter Anthonie Jansz patah arang
dan meninggalkan Margorejo dengan segala permasalahannya untuk menerima
tawaran menerjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Jawa di Yogyakarta.
Sepeninggal Pieter Anthonie Jansz, zendeling-zendeling lain menjadi
kebingungan mengenai ditutup atau tidaknya Sekolah Guru Zending di
Margorejo. Johann Hubert menyatakan persetujuannya kalau Sekolah Guru ini
ditutup dan gedungnya digunakan sebagai rumah sakit, namun Thiessen tidak
setuju dengan keputusan penutupan sekolah. Tahun 1932 merupakan tahun
penentuan bagi Sekolah Guru tersebutapakah ditutup atau tetap dilanjutkan. Akhir
dari persoalan ini diputuskan oleh Pengawas Pusat Zending dengan menutup
sekolah ini untuk selamanya.
Dokter Gramberg, kepala pelayanan medis Zending menyayangkan
keputusan pengurus pusat yang begitu mudah menutup sekolah ini. Thiessen juga
berkeras tetap melanjutkan sekolah ini namun rupanya kesulitan demi kesulitan
menghadang. Karena kondisi keuangan dan kurangnya dukungan dari berbagai
pihak, ahirnya Thiessen menyerah pada keputusan pemerintah untuk menutup
sekolah guru tersebut. Sebagai gantinya, Thiessen merintis sebuah sekolah
peralihan dimana murid-murid Sekolah Guru yang akan melanjutkan sekolah
untuk mendapatkan pelajaran bahasa Belanda dapat melanjutkan pendidikan di
Sekolah Peralihan di Tayu.(Sukoco, 2010:229).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
C. Proses Perkembangan Gereja Menjadi Gereja yang Mandiri Lepas
Dari Zending
Hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh Zending dapat dilihat dari
berapa jumlah jemaat Kristen yang dibaptis. Jemaat tersebut akan berkumpul dan
bersekutu dalam suatu wadah yaitu gereja, dan pada waktu itu disebut Gereja
Jawa Muria. Gereja itu sekarang dikenal dengan nama Gereja Injili di Tanah Jawa
(GITJ), menggantikan beberapa sebutan yang pernah digunakan sebelumnya.
(Sukoco, 2010:8). Jemaat-jemaat yang ada lahir dan berkembang di wilayah
Jepara, Kudus, dan Pati dalam tiga akar melalui kegiatan penginjil pribumi jawa
dan zendeling-zendeling Belanda.
Akar yang pertama adalah jemaat hasil Kristenisasi yang dilakukan oleh
penginjil pribumi dan penyebar kekristenan Jawa bernama Kyai Tunggul Wulung
yang muncul di kawasan Jepara pada awal tahun 18. (Lombard, 2008:101). Kyai
Tunggul Wulung lahir pada permulaan abad ke-19 di Kawedanan Juana dari selir
keluarga bangsawan Mangkunegaran. Sebelum menjadi Kristen, Tunggul Wulung
telah memeluk Agama Islam . Setelah melakukan pertapaan dan berjumpa dengan
zendeling Jellesma di Mojowarno. Oleh Jellesma dan Endang Sampurnawati,
Tunggul Wulung diperkenalkan dengan ajaran Kristen. (Sukoco, 2010:30).
Pada tanggal 11 Januari 1854 terjadi pertemuan antara Tunggul Wulung
dan Pieter Jansz di Jepara yang menimbulkan sedikit gesekan antara keduanya.
Gesekan itu timbul dari perbedaan visi dan misi Kristenisasi di Jepara. Pieter
Jansz menghendaki supaya tunggul Wulung belajar lebih dalam lagi tentang
kekristenan kepadanya, dibaptis, baru kemudian menjadi pembantunya untuk
mengabarkan Injil di daerah muria. Bagi seorang kyai ngelmu yang sekian lama
berusaha bebas dari kolonialisme Belanda tentu saja tidak tertarik akan tawaran
dari Pieter Jansz. Dengan saran dari Pieter Jansz, Tunggul Wulung kembali ke
Mojowarno untuk dibaptis oleh Jellesma. Melalui pembaptisan itu ia mendapat
nama baptis Ibrahim Tunggul Wulung. (Danang Kristiawan, 2009:11). Kyai
Tunggul Wulung mengembangkan jemaat ”Kristen Jawa” di daerah Muria dekat
dengan Desa Bondo, Kawedanan Banjaran, sekitar 20 Kilometer di sebelah utara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Kota Jepara, dan menyusul kemudian dibangunnya jemaat serupa di Banyutowo
dan Tegalombo di sebelah utara Kota Tayu. Setelah Ibrahim tunggul Wulung
meninggal, orang-orang kristen di desa-desa itu berada di bawah naungan gereja
Mennonit yang dibawah pengelolaan Pieter Jansz. (Guillot, 1985:47).
Akar yang kedua, zendeling DZV bernama Pieter Jansz dan beberapa
kawan sekerjanya yang tinggal dan melayani di Jepara mulai tahun 1852 serta
mengembangkan jemaat di daerah itu. (Sukoco, 2010:9). Akar ketiga, zendeling
Hervormd bernama Hoezoo, menetap di semarang, tetapi sering berkunjung di
Kayuapu, Kudus. Pada waktu yang hampir bersamaan untuk memperhatikan
kelompok orang yang tertarik akan Injil di tempat itu. Beberapa orang Kayuapu
dibaptis di semarang pada tahun 1853. Mengacu pada kebaktian baptisan dan
perjamuan kudus yang pertama yang dipimpin oleh Pieter Jansz di kota Jepara
pada tanggal 16 April 1854, maka tanggal itu diperingati sebagai hari kelahiran
Gereja Jawa muria.
Sampai tahun 1909, jemaat setempat tidak diberi kesempatan untuk
terlibat aktif dalam pengelolaan gereja. Hal ini sengaja dilakukan karena jemaat
dirasa belum mampu dan tidak memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan
gereja. Namun walau tidak diucapkan dalam kata-kata, bagi para jemaat
seharusnya sudah jelas bahwa mereka harus menjadi dewasa. Para pembinanya,
yaitu para zendeling, sejak 1910 tetap mengupayakan supaya jemaat Margorejo
makin maju untuk menjadi gereja yang mandiri. Selama ini jemaat diberi
kesempatan untuk duduk sebagai wakil jemaat dalam “lembaga pemerintahan”
jemaat, tetapi pembagian tugas dan tanggung jawab di antara mereka belum
pernah diatur. (Wawancara dengan Sulistyo, 7 Februari 2011). Semuanya masih
dipegang oleh zendeling atau pembantu zendeling. Fungsi para wakil jemaat ini
hanya menjadi penyalur aspirasi antara zendeling dengan jemaat atau sebaliknya.
Tindakan Zending yang mendominasi kegiatan penyelenggaraan dan
pengelolaan gereja mulai berubah di Margorejo sejak tahun 1917 yakni dengan
diangkatnya majelis gereja (kerkand) yang diambil dari wakil jemaat. Dengan
adanya majelis gereja ini, Margorejo dan Kedungpenjalin telah diserahi tangung
jawab untuk berlatih mengatur diri sendiri. Lembaga majelis gereja ini hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
semacam latihan bagi jemaat andaikata sewaktu-waktu mereka didewasakan.
Mulai saat itu Margorejo diberi kesempatan untuk berlatih tanggung jawab dalam
membiayai diri sendiri dengan cara menarik iuran (persembahan) dari anggotanya.
Langkah-langkah pendewasaan selanjutnya yang dilakukan oleh zendeling
Schmitt dan Thiessen adalah usulan supaya Margorejo diberi seorang pamomong
yang berhak membaptis dan melayani Perjamuan Kudus. Sebagaimana Margorejo
merupakan satu-satunya jemaat di sekitar Muria yang dapat memenuhi
persyaratan bagi suatu jemaat untuk didewasakan. Oleh karena itu telah
diputuskan untuk mendewasakan jemaat Margorejo agar dapat berdiri sendiri
lepas dari Zending dengan memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Membiayai keperluan kegiatan gereja secara mandiri
b. Mampu mengelola organisasi gereja secara mandiri
c. Dapat mengambil langkah-langkah untuk kemajuan gereja
d. Sanggup berkorban untuk keutuhan jemaat dan kemajuan gereja (Sukoco,
2010:274).
Melalui suatu pertemuan dengan wakil-wakil jemaat, terbukti Margorejo
dapat memenuhi syarat pertama sampai dengan ketiga, sedangkan syarat keempat
akan dipenuhi dalam jangka waktu lima tahun yang akan datang. Mengenai
keuangan, zendeling pembina Margorejo sudah menjanjikan akan mengaturnya.
Untuk sementara pembukuan keuangan akan diurus oleh zendeling sampai dengan
tahun 1929. Selanjutnya akan dipegang oleh seorang guru yang dipilih oleh
jemaat di bawah pengawasan zendeling. Sebagai pelengkap kedewasaan
Margorejo, jemaat ini dipersilakan memilih pamomongnya sendiri antara Roeben
Martoredjo dan Samuel Saritruno. Pemilihan untuk pertama kali ini dilakukan
oleh wakil-wakil jemaat dari hasil pemilihan yang dilaksanakan dalam rapat
wakil-wakil jemaat pada tanggal 27 Juni 1928, terpilihlah Roeben Martoredjo
sebagai pamomong di Margorejo.(Sukoco, 2010:275).
Pemilihan pamomong bagi jemaat Margorejo ini lalu diberitahukan
kepada pengurus pusat Zending Mennonit di Belanda melalui surat bertanggal 20
Juli 1928. Pengurus pusat sangat terkejut dengan hasil-hasil yang diperoleh
Konferensi Para Zendeling di Margorejo. Mereka merasa dilangkahi oleh petugas-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
petugasnya di Jawa. Sebaliknya para zendeling berpikir bahwa soal pendewasaan
ini merupakan urusan jemaat setempat itu sendiri, bukan urusan pusat.
Bagaimanapun tingkat kedewasaan jemaat tidak dapat dinilai dan ditentukan oleh
tuan-tuan besar di negeri Belanda seperti pengurus pusat. Di pihak lain jemaat
Margorejo sudah terlanjur dilanda semangat pendewasaan dan betul-betul ingin
berdiri sendiri. Bahkan Pieter Anthonie Jansz juga mendukung tindakan jemaat di
Margorejo agar segera berdiri sendiri.
Pada tahun 1928 Konferensi Zendeling sudah memutuskan bahwa
Margorejo akan didewasakan. Tetapi prosesnya berjalan terus sampai tahun 1929,
dan keputusan untuk tetap mendewasakan Margorejo baru diambil secara bulat
dalam Konferensi Para Zendeling pada tanggal 4 s.d.6 Maret 1929. Sedangkan
penetapan Roeben Martoredjo sebagai pamomong berlangsung tanggal 12
Agustus 1929.
Permasalahan baru timbul mengenai status kedewasaan jemaat
Margorejo. Catatan Konferensi Para Zendeling dalam Sukoco ( 2010:276)
menjelaskan bahwa kalau para zendeling mengetahui apa yang dikatakan di dalam
surat-surat pengurus, mereka akan dapat mengundurkan satu bulan lagi untuk
memberikan waktu kepada pengurus agar menyetujui keputusan para zendeling.
Konferensi amat menyesal bahwa begitu jadinya, tetapi para zendeling akan
meyakinkan pengurus bahwa bukanlah maksud mereka untuk melangkahi
pengurus. Apalagi adanya pernyataan bahwa Margorejo dinyatakan dewasa untuk
sementara saja. Dalam waktu percobaan lima tahun lamanya harus membuktikan
bahwa Margorejo betul-betul dapat berdiri sendiri. Karena kas jemaat belum
diserahkan, itu berarti bahwa jemaat adalah dalam waktu percobaan lima tahun
lamanya. Dalam jangka waktu lima tahun jemaat akan lambat laun dipercayakan
untuk mengatur keuangannya sendiri. Berdasarkan notulen rapat pada Konferensi
Para Zendeling, Margorejo dinyatakan masih dalam tahap percobaan menuju
status kedewasaan jemaat. Berbagai urusan keuangan gereja masih ditangani
langsung oleh zendeling karena antara urusan keuangan jemaat dan desa persil
masih saling terkait. Selain itu jemaat belum memiliki kemampuan utuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
mengelola sendiri karena sejak awal memang tidak dilibatkan untuk mengatur
keuangan secara langsung.
Akhirnya pada tahun 1933 pengurus pusat menyetujui Margorejo diberi
tanggung jawab untuk mengurus keuangannya sendiri, tetapi urusan persil tetap
dikelola oleh Zending Mennonit sendiri. Dengan dewasanya Margorejo dan tetap
dikuasainya persil oleh Zending Mennonit, maka Zending tidak perlu lagi
memikirkan Margorejo, terutama dalam hal keuangan. Sisi positif yang bisa
diambil dari pendewasaan gereja adalah hasil pengolahan tanah persil tetap
masuk ke kas Zending tanpa diganggu dengan kebutuhan Margorejo. Ini berarti
tugasn dan beban Zending sedikit berkurang.
Menjelang Perang Dunia II gereja sekitar Muria telah berkembang
demikian luas dan masing-masing jemaat telah memiliki pemulang atau guru Injil
tersendiri. Oleh Zending Mennonit sebagai pengasuhnya, jemaat-jemaat ini dibagi
dalam tida resort pengawasan zendeling. Masing-masing resort ialah Resort
Kudus dengan zendeling Herman Schmitt, Resort Kedungpenjalin dengan
zendeling Otto Stauffer, dan Resort Kelet, termasuk di dalamnya adalah
Margorejo di bawah pengasuhan zendeling Daniel Amstutz. Resort Kelet
meliputi 6 kelompok jemaat, satu diantaranya sudah dinyatakan sebagai jemaat
dewasa yang berdiri sendiri yaitu Margorejo dengan seorang pendeta bernama
Samoeel Saritroeno Harsosudirjo. Jemaat ini anggotanya berjumlah paling besar
dibanding kelompok jemaat yang lain, yakni sekitar 1488 anggota. Jumlah yang
demikian besar ini disebabkan karena Margorejo memiliki pepanthan atau cabang
yang banyak seperti jemaat Tegalombo, Kembang, Tawangrejo, Puncel,
Bumihardjo, dan Karangsari. Kenyataan lain yang menunjukkan kelebihan
Margorejo dari yang lain dapat dilihat dari banyaknya organisasi-organisasi yang
dimilikinya seperti kumpulan kaum ibu Rukun Wanita Kristen, Pakempalan
Rukun Tani, Muda Kristen Djawi, Kumpulan Strijk-Orkest, Persatuan Guru
Christen (PGC), dan Organisasi Kematian Bandha Pralena.
Sebelum Perang Dunia II pecah, jemaat-jemaat ini masih diliputi oleh
suasana tenang. Masing-masing hidup dalam kelompoknya dan dengan tenang
mereka berlindung di bawah Zending dan bantuan luar negeri. Tetapi segalanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
berubah ketika Perang Dunia II dikobarkan oleh pemerintah Nazi Jerman mulai
tanggal 1 September 1939. Perang besar-besaran yang mengarah ke timur
menyerang Polandia kemudian menyerang Belanda. Belanda yang berhasil
diduduki pada tanggal 10 Mei 1940 mengalami perubahan mendadak di dunia
politik internasional. Perubahan politik ini berpengaruh juga terhadap kehidupan
jemaat Kristen di sekitar muria. Dengan jatuhnya negeri Belanda ke tangan
Jerman maka terputuslah hubungan antara pemerintah Kolonial Hindia Belanda di
Indonesia dengan pusatnya. Putusnya hubungan ini berarti pula putusnya
hubungan Zending yang bekerja di Indonesia dengan pengurus pusat Zending di
Belanda, termasuk Zending Mennonit. Biaya pelaksanaan pekerjaan Zending dan
bantuan jemaat di negeri Belanda kepada para zendeling di Indonesia ikut terhenti
secara mendadak.
Gereja Jawa Muria yang baru benar-benar berdiri sendiri tanpa campur
tangan Zending harus mengalami ujian yang sangat berat pada ujung tahun 1942.
Jepang yang ikut terlibat di dalam Perang Dunia II dengan menyerbu Cina,
Vietnam, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan cepat Jepang berhasil
mengalahkan penguasa-penguasa kolonial di Indonesia. Jepang yang anti Barat
segera membersihkan orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia, termasuk
para zendeling dan para rohaniawan Kristen. Masa transisi ini digunakan oleh
kaum Islam fanatik untuk menyerang dan melemahkan jemaat Kristen di sekitar
Muria. Mereka menyerbu dan membakar gereja yang ada termasuk di Margorejo.
Para pemimpin Kristen ditangkap dan dibunuh. Orang-orang Tiong Hoa yang
tinggal dekat dengan mereka ditangkap dan dianiaya. (Wawancara dengan
Suharto, 8 Februari 2011).
Kondisi genting akibat serangan pemuda Ansor menyebabkan gereja
yang baru dewasa itu mengalami masa pasang surut. Dengan dukungan dari
gereja-gereja tetangga, yakni dari Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan (GKJTS)
yang diwakili oleh Pendeta Samidjo Wirjotenojo dari Purworedjo, dan Pendeta
Yudokusumo dari Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), jemaat Margorejo
mendapat semangat untuk berbenah diri. Pada tahun 1943, gedung-gedung yang
sempat roboh karena dirusak dan dibakar massa mulai dibangun kembali. Jemaat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
yang tercerai berai akibat serbuan Pemuda Ansor mulai dicari dan dikumpulkan
kembali. Sekalipun waktu itu masih dalam pengawasan Pemerintahan Jepang,
namun kehidupan Jemaat dapat berangsur-angsur pulih. Kemandirian jemaat
makin terlihat karena saat itu mereka benar-benar harus sanggup mengatur segala
sesuatunya sendiri tanpa bantuan dari Zending. Biaya untuk operasional
pelayanan jemaat berasal dari hasil tanah milik jemaat seluas 150 bau (diantaranya
sawah seluas kurang lebih 45 bau), ditambah sedikit dengan kolekte atau
persembahan proliman yang dikumpulkan tiap kebaktian Minggu sejumlah f 120
per tahun dan iuran anggota. (Wawancara dengan Dirdjotono, tanggal 8 Februari
2011).
Gereja Jawa Muria di Margorejo di kemudian hari disebut Gereja Injili di
Tanah Jawa (GITJ) Margorejo. Pada tahun 2011 telah berkembang menjadi gereja
yang dewasa dan dikelola sendiri oleh jemaat pribumi. Sesuai data yang dimiliki
oleh Majelis, jumlah jemaat GITJ Margorejo sebanyak 768 kepala keluarga, atau
sekitar 3.072 jiwa. Jumlah yang besar ini disebabkan karena hampir semua warga
penduduk di Margorejo merupakan anggota jemaat gereja. Biaya operasional
gereja berasal dari persembahan warga jemaat, ditambah dengan hasil sewa sawah
dan tambak milik gereja seluas 12 hektar. Desa persil ini disewa selama 70 tahun
sehingga ketika batas waktu sewa tanah itu habis maka tanah itu seharusnya di
kembalikan pada pemerintah Belanda. Tapi karena saat waktu sewa sudah habis,
Belanda sudah tidak berkuasa lagi maka urusan tanah diurus oleh pemerintah
Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an ada peluang bagi penduduk untuk
memiliki sertifikat atas tanah desa Margorejo. Ada hak guna bangunan sehingga
penduduk bisa mendapatkan sertifikat tanah. Jadi saat ini sebagian besar tanah
yang ada sudah dibeli oleh penduduk Margorejo. Namun beberapa bagian tanah
masih dimiliki oleh pihak gereja, tanah tersebut dikenal dengan tanah pasamuwan.
Tanah pasamuwan atau tanah milik gereja ini meliputi RT 05, RT 01 dan daerah
di sebelah selatan makam. (Wawancara dengan Suparsono, 8 Februari 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari permasalahan yang telah diuraikan dimuka, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kegiatan pekabaran Injil di Margorejo diawali oleh Pieter Jansz yang
merupakan utusan dari Zending Mennonit di Belanda (DZV). Pieter Jansz
mengawali pekerjaannya dengan memberikan ceramah pada para kepala desa
di Cumbring, Jepara. Upaya pertama yang ia lakukan kurang berhasil karena
kurang mempertimbangkan pola pikir dan kebudayaan setempat. Usaha
pekabaran Injil yang ia lakukan akhirnya dapat berkembang setelah ada
bantuan tenaga yang dikirim oleh rekannya dari Mojowarno, Jawa Timur,
yang bernama Sem Sampir. Utusan tersebut merupakan orang pribumi,
sehingga dapat menjangkau orang-orang Jawa untuk lebih mengenal dan
menerima Injil dengan baik. Dalam perkembangannya, Pieter Jansz memiliki
ide untuk membuka sebuah lahan dan mengumpulkan seluruh jemaatnya di
dalam suatu tempat. Daerah tersebut terbuka untuk siapapun, baik orang
Kristen maupun bukan Kristen, dengan syarat mereka yang bersedia masuk
harus menuruti tata hidup Kristen. Pembukaan desa persil (sewaan) baru
dapat terealisasi ketika Zending DZV dipimpin oleh Pieter Anthonie Jansz,
putra Pieter Jansz. Setelah mencari-cari akhirnya P.A Jansz menemukan
sebuah tanah untuk dijadikan desa persil yang akan menampung jemaat dan
melanjutkan usaha Kristenisasi. Setelah proses pembukaan dan pembangunan
sarana serta prasarana selesai, daerah tersebut dinamakan Margorejo yang
berarti jalan menuju kesejahteraan.
2. Pekerjaan Zending di Indonesia tidak akan bisa lepas dari pendirian sekolah
dan rumah sakit di wilayah kerjanya. Hal itu terjadi karena kondisi penduduk
Indonesia yang masih sangat terbelakang dan tingkat kehidupan yang rendah
sehingga dimungkinkan tidak akan dapat menerima ajaran Kristen dengan
80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
baik. Oleh karena itu para zendeling berusaha untuk meningkatkan taraf
hidup penduduk dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan supaya
penduduk dapat lebih mudah diajari tentang Agama Kristen. Sekolah yang
didirikan Zending DZV ada dua, yakni Sekolah Jemaat dan Sekolah Guru.
Sekolah jemaat ini terbagi dalam dua tahap, yang pertama adalah sekolah
yang didirikan oleh Pieter Jansz di Jepara dan Kedungpenjalin, kedua, adalah
sekolah yang didirikan oleh Pieter Anthonie Jansz di Margorejo. Sekolah
yang pertama tadi akhirnya dipindahkan di Margorejo. Sekolah jemaat ini
memiliki jenjang pendidikan tujuh tahun dan dalam perkembangannya
dibuka Sekolah petang dan sekolah Taman Kanak-Kanak yang dinamakan
Pamong Rini. Sekolah yang kedua adalah Sekolah Guru Margorejo, yang
dibuka pada bulan Juni 1896. Sekolah ini memiliki tujuan ganda, yakni
mencetak lulusan yang mampu mengajar di sekolah-sekolah jemaat binaan
Zending, dan mencetak lulusan yang mampu menjadi penginjil atau pendeta.
Karena tujuan yang kurang fokus akhirnya pada tahun 1925 sekolah guru ini
ditutup dan digantikan dengan Sekolah peralihan dimana murid-murid
Sekolah Guru yang akan melanjutkan sekolah untuk mendapatkan pelajaran
Bahasa Belanda dapat melanjutkan sekolah di Sekolah Peralihan di Tayu.
3. Gereja Jawa Muria berdiri atas prakarsa Zending sehingga otomatis
pelaksana kegiatan dan pengelola gereja adalah pihak Zending. Sampai tahun
1909 jemaat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengelolaan gereja karena
dirasa belum mampu karena tidak mempunyai pengetahuan mengenai hal itu.
Tahun 1917 terjadi perubahan dalam hierarki gereja, yakni jemaat diberi
kesempatan untuk menjadi majelis gereja. Hal tersebut digunakan oleh
jemaat untuk berlatih mengelola gereja atas bimbingan para zendeling. Tahun
1928, zendeling DZV di Margorejo mengusulkan pada pengurus pusat DZV
si Belanda supaya mengijinkan gereja Margorejo untuk dewasa. Setelah
mengalami proses yang cukup panjang,maka pada tahun 1933 Gereja
Margorejo resmi menjadi gereja yang dewasa, namun masih berada dalam
perlindungan dan bimbingan Zending. Pada tahun 1939 terjadi Perang Dunia
II yang menimbulkan perubahan besar dalam poltik internasional. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
jatuhnya negeri Belanda ke tangan Jerman maka terputuslah hubungan antara
pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia dengan pusatnya. Putusnya
hubungan ini berarti pula putusnya hubungan Zending yang bekerja di
Indonesia dengan pengurus pusat Zending di Belanda. Para zendeling masih
bertahan di Margorejo sampai tahun 1942 dengan keadaan yang tidak stabil.
Di penghujung tahun 1942, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, semua
pengaruh Barat dihapuskan, termnasuk para pekerja Zending dari Belanda.
Pada masa itu terjadi penganiayaan, pembakaran, dan penjarahan tergadap
aset orang Cina dan orang Kristen. Kehidupan jemaat kristen turun secara
drastis, para zendeling dibunuh dan banyak yang kembali ke negeri asalnya.
Semenjak itu dimulailah babak baru bagi jemaat untuk benar-benar
memperbaiki keadaan gereja dan jemaat secara mandiri, lepas dari campur
tangan Zending.
B. Implikasi
1. Teoritis
Zending adalah organisasi keagamaan yang menyebarluaskan Agama
Kristen Prostestan dan menegakkan gereja-gereja Protestan, bersifat universal dan
supranasional yakni mewartakan ajaran Kristen kepada semua bangsa di dunia.
Seseuai dengan definisinya, Zending utusan Belanda di Indonesia juga
menjalankan tugasnya untuk mengabarkan Injil kepada penduduk Indonesia.
Usaha-usaha Kristenisasi oleh Zending menitiberatkan pemberian bantuan kepada
penduduk Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Usaha
tersebut dimaksudkan untuk mengangkat derajat dan martabat penduduk
Indonesia serta memperbaiki kelayakan hidup penduduk. Apabila hal tersebut
sudah tercapai maka penyebaran pengaruh Agama Kristen akan lebih mudah
diserap oleh penduduk Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
2. Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian terutama dikaji mengenai masuknya
pengaruh praktek kolonialisme Belanda di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat
dilihat secara positif dan negatif. Secara negatif, Indonesia mengalami banyak
penindasan dan kesengsaraan akibat pratek kolonialisme. Secara positif, bangsa
kolonial sedikit banyak telah menyumbang bagi kemajuan pendidikan di
Indonesia. Sumbangan dalam hal pendidikan itu terbukti dengan pendirian
berbagai sekolah untuk pribumi yang dibuka oleh Zending Kristen. Hal tersebut
terjadi karena Zending Kristen, selain menyebarkan Agama Kristen di Indonesia
juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang terbuka untuk penduduk
pribumi bukan untuk tujuan komersil tetapi untuk misi kemanusiaan.
Implikasi di bidang pendidikan formal yang dapat diambil dari penelitian
ini adalah menambah wacana baru bagi materi pengajaran sejarah di Indonesia.
Wacana baru tersebut berupa materi pelajaran sejarah perkembangan Agama
Kristen dan pelaksanaan pendidikan kolonial di Indonesia. Selama ini pelajaran
sejarah hanya terfokus pada pembahasan mengenai praktek politik kolonial tanpa
melihat sisi lain pengaruh kolonialisme di bidang agama dan pendidikan.
Diharapkan dengan penelitian ini maka pelajaran sejarah kolonialisme di sekolah
menengah akan lebih kaya dan berwawasan luas.
3. Metodologis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode historis yang
bertujuan untuk merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga
dapat menghasilkan historiografi yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah
melalui prosedur sejarah yang sistematis dengan menggunakan tahap-tahap
tertentu. Dalam tehnik pengumpulan data, peneliti kesulitan dalam mencari
sumber-sumber primer terutama buku maupun arsip-arsip yang berangka tahun
1852-1942, disebabkan karena sumber-sumber tersebut sudah rusak dan beberapa
sumber primer yang masih berbahasa Belanda maupun bahasa Jawa yang ditulis
dengan huruf Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
C. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai
berikut :
1) Bagi Peneliti Lain
Sampai saat ini penelitian-penelitian sejarah di Indonesia yang bertema
Kristen masih terbatas sehingga perlu dikaji dan dikembangkan lebih
lanjut.
2) Bagi Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Sampai saat ini pembahasan mengenai Zending di Indonesia masih sangat
terbatas. Hal ini disebabkan karena seringkali Zending dibahas dengan
cara yang kurang seksama dan diletakkan sebagai salah satu bagian dari
berbagai macam aspek kehadiran Belanda di Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan sebuah kecermatan dan pendalaman khusus dalam mempelajari
Zending di Indonesia.