KPS Edisi September 08

28
kemitraan prasarana & sarana k emitraan p rasarana & saran a PROYEK 10.000 MW TAHAP II SUDAH DIMULAI Wawancara dengan Yogo Pratomo Kepala Tim Percepatan10.000 Megawatt EDISI I | SEPTEMBER 2008 ”Serahkan ke IPP, Kita Harus Gerak Cepat” KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DI PERSIMPANGAN JALAN

description

adda

Transcript of KPS Edisi September 08

Page 1: KPS Edisi September 08

kemitraan prasarana & saranakemitraan prasarana & sarana

PROYEK

10.000 MW TAHAP II

SUDAH DIMULAI

Wawancara dengan Yogo Pratomo Kepala Tim Percepatan10.000 Megawatt

EDIS

I I |

SEPT

EMBE

R 20

08

”Serahkan ke IPP, Kita Harus Gerak Cepat”

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DI PERSIMPANGAN JALAN

Page 2: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 20082

Penasehat / Pelindung

Deputi Bidang Sarana & Prasarana, Bappenas

Penanggung Jawab

Direktur PengembanganKerjasama Pemerintah & Swasta

Pemimpin Redaksi

Yudo Dwinanda Priadi

Dewan Redaksi

Jusuf Arbi, Robin A. Suryo, Rachmat Mardiana Sunandar,

Eko Wiji Purwanto

Redaktur Pelaksana

Ahmed Kurnia, Prasetyo, Gusti Andry

Reporter/Riset Rina Saleh

Fadli Setyawan

Fotografer

Santo

Desain Grafi s

Raldi Khusnun

Redaksi

Alamat Redaksi

Infrastructure Reform Sector Development

Project (IRSDP)

BAPPENASJl. Tanjung No.47

Jakarta 10310Tel/Fax (62-21) 3925392

/ (62-21) 3925390

Konsultan :PT. Komunika Satu

Negeri

dari redaksi

Ketika anda menerima majalah KPS ini, pasti yang muncul dari benak anda adalah sebuah

pertanyaan besar. Siapa dibalik terbitnya majalah KPS? Sesuai dengan namanya yakni Kerjasama Prasarana dan Sarana,

tentu majalah ini dibidani oleh Pemerintah. Dalam hal ini Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta Bappenas, namun secara operasional majalah ini di bawah Program IRSDP (Infrastructure Reform Sector Development Project).

Walaupun diterbitkan oleh Pemerintah, namun pengasuh majalah ini adalah orang-orang yang profesional yang telah sangat lama bekerja sebagai jurnalis. Selain itu ada keinginan dari Direktur KPS Bappenas Bastary Pandji Indra terhadap majalah ini, yaitu menjadi majalah yang mengkritisi persoalan infrastruktur yang terkait dengan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Otonomi daerah juga diyakini akan semakin mempertegas pentingnya KPS dalam pengembangan ekonomi secara nasional.

Seperti dengan adanya workshop KPS di Kabupaten Karangasem beberapa waktu lalu. Bastary Pandji Indra bersama Bupati Karangasem I Wayan Geredeg bertekad akan bersama-sama mengembangkan KPS di daerah tersebut. Apalagi Bupati Karangasem ingin sekali melihat masyarakat di daerahnya sejahtera melalui pembangunan infrastruktur yang memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Dalam edisi perdana ini, Liputan Utama yang disajikan adalah persoalan listrik nasional. Dalam kesempatan ini, Redaksi KPS sempat mewawancarai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres dalam keterangannya menyebutkan kalau Independent Power Producer (IPP) yang ditawarkan pemerintah boleh dibilang gagal, karena hanya 15 persen yang berjalan dari 156 yang ditawarkan. Sehingga muncul crash program yakni proyek pengadaan 10.000 MW. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan kondisi kelistrikan nasional yang sudah sangat defi sit untuk dalam jangka waktu lama.

Selain liputan utama, majalah KPS juga menyajikan berita-berita yang terkait dengan contoh terbaik yang pernah dilakukan oleh beberapa daerah. Dengan dimunculkan contoh terbaik yang terkait dengan pengembangan KPS di daerah maka diharapkan akan dapat direplikasi oleh daerah lain. Tidak hanya itu, berbagai inisiatif dari masyarakat yang terkait dengan pngembangan infrastruktur daerah juga turut menjadi bagian dari liputan majalah ini. Misalnya saja adanya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTM) di Garut dan Subang diharapkan menjadi inspirator bagi pemangku kepentingan di daerah untuk mengembangkan hal yang sama.

Tentu saja dengan kehadiran majalah KPS ini, maka akan muncul inisiator-inisiator baru di tingkat masyarakat dan pemerintah serta swasta dalam upaya mengembangkan penyediaan infrastruktur di Indonesia.

Kami dari Dewan Redaksi mengharapkan kritik dan saran terhadap majalah KPS ini, dan semoga apa yang kami sajikan akan sangat bermanfaat bagi kita semua.

Redaksi

Kami Hadir

untuk Anda

Page 3: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 3

DAFTAR ISI

Topik Utama4 Solusi Percepatan Proyek 10.000 MW

7 Membuka Kunci Pintu Investasi

Opini10 Kebijakan Energi Nasional

di Persimpangan Jalan

Liputan Khusus13 PLTSa Gedebage vs Gugatan Warga

Wawancara17 Yogo Pratomo, Ketua Harian Tim Koordinasi

Percepatan Pembangunan Pembangkit

Etalase22 Berkat Gas Buang, Kuala Tungkal Bebas Gelap

23 Geliat KPS dari Karangasem

Sorotan24 Menjadi Mandiri Berkat Mikro Hidro

26 Sampah Tak Selalu Tersia

Kolom21 Kerjasama Pemerintah – Swasta (KPS) dalam

Penyediaan Infrastruktur (Bagian 1)

2 Dari Redaksi

hal 7

hal 13

hal 17

hal 23

hal 26

Page 4: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 20084

TOPIK UTAMA

Program pembangunan

pembangkit listrik 10.000 MW

telah berjalan. Pertengahan

2009, sudah dapat beroperasi

sekitar 20 persen, sedangkan

sisanya diharapkan rampung

tahun 2010. Namun, itu

semua hanya untuk menutup

kebutuhan saat

ini. Bagaimana

d e n g a n

b e r t a m b a h nya

kebutuhan listrik

t a h u n - t a h u n

berikutnya?

Pemerintah tak sanggup jika harus sendirian mengatasi persoalan energi. Ibarat dalam

cabang olahraga atletik, pemerintah tengah berupaya mencari mitra untuk menerima tongkat estafet melanjutkan Proyek 10.000 MW tahap dua. Solusi percepatan mega proyek miliaran dolar AS ini adalah melalui kerjasama pemerintah dan swasta (KPS).

Proyek 10.000 MW harus bekelanjutan guna memenuhi kebutuhan daya yang juga terus meningkat. “Rasio elektrifi kasi nasional kita baru mencapai 56 persen. Artinya, masih ada 44 persen yang belum dilistriki. Kalau dia bangun sekarang pasti diperlukan oleh masyarakat.” Pernyataan ini terlontar dari mulut Direktur Utama PT PLN (Persero) Fahmi Mochtar. Tersirat kekhawatiran yang mendalam jika program percepatan pembangunan pembangkit listrik sampai terhambat karena keterbatasan pemerintah. Fahmi menekankan keterlibatan Independent Power Producer (IPP)

dalam pola KPS untuk terlibat di Proyek 10.000 MW sangat diharapkan. Lebih-lebih, dalam kurun waktu sebelumnya, pemerintah memang kurang fokus pada

p e m b a n g u n a n pembangkit listrik ini. Alhasil, ancaman blackout berulangkali muncul. Untuk memenuhi kebutuhan daya listrik di Jawa-Bali, saat ini

hanya tersedia kapasitas terpasang 20.566 MW. Meski demikian, mengingat kondisi pembangkit yang kebanyakan sudah tua, beban mampu yang dapat terlayani hanya mencapai 16.995 MW. Jika beban puncak melebihi beban mampu tersebut, maka blackout sangat mungkin terjadi. ”Dampaknya, mesin langsung shutdown, mati. Nah, yang namanya uap, dari kondisi mati butuh 16 jam untuk merebus lagi airnya, baru pembangkit bisa hidup lagi,” jelas Aryo Subijoko, kepala humas PLN Pusat. Belum lagi, tambahnya, kemungkinan terjadi kerusakan pada mesin pembangkit yang kondisinya sudah berumur.Belajar dari riskannya kemampuan menyediakan daya saat ini, sementara

Solusi Percepatan

Proyek 10.000 MW

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)

Page 5: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 5

kebutuhannya meningkat sekitar sembilan persen per tahun, maka pemerintah tak cukup hanya mengandalkan pembangunan pembangkit 10.000 MW. Perlu tahap kedua dari proyek yang sama. Persisnya, pemerintah telah merencanakan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua --yang diharapkan mampu merajut KPS seluas mungkin.Ketua Harian Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Yogo Pratomo mengungkapkan tren permintaan kebutuhan listrik masih sangat tinggi. Permintaan bukan hanya berdasarkan pada pertumbuhan pemilik lahan. Melainkan juga adanya masyarakat yang sebenarnya mampu membeli listrik, tapi daerahnya belum dialiri. “Ini namanya surplus demand. Contoh ada industri yang saat ini masih menggunakan genset, karena di daerah pabriknya belum dialiri listrik,” jelas mantan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM yang kini berkantor di Kantor Pusat PLN.

Sekarang ini, papar Yogo, daya pembangkit listrik secara nasional sekitar 30.000 MW. Jika permintaannya

sekitar sembilan persen, berarti sama dengan 2.700 MW atau dibulatkan menjadi 3.000 MW. Jumlah daya yang seharusnya diselesaikan tiap tahun. Nah, kalau dikaitkan dengan pembangunan pembangkit 10.000 MW, maka tiga tahun ke depan, daya tersebut bakal habis terserap.

Atas dasar perhitungan itulah, betapa pentingnya program lanjutan yang mestinya sudah bisa dimanfaatkan pada 2011. “ P e m b a n g u n a n m e m b u t u h k a n waktu rata-rata tiga tahun, maka program 10.000 MW tahap kedua harus mulai dilakukan mulai sekarang,” ujar Yogo.

Energi Terbarukan

Menurut Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Bambang Praptono, visi sebenarnya adalah bagaimana pemerintah harus membangun

pembangkit besar-besaran. Dalam menyiapkan proyek tahap kedua, PLN mengacu pada Rencana Umum Pembangkitan Tenaga Listrik (RUPTL), termasuk perencanaan 10 tahun ke depan, mulai 2008 sampai 2011.

Khusus untuk tahap kedua, yang ditargetkan mampu beroperasi mulai 2011 atau 2013, didedikasikan 70 persen

pembangunan pembangkit dari energi terbarukan. Sumber energi terbarukan dimaksud adalah tenaga panas bumi (geothermal) dan air (hydro). Untuk pembangkit listrik tenaga geothermal akan dibangun mencapai 2.800 MW, sedangkan hydro sebesar 5.173 MW.

Energi terbarukan yang lain, masing-masing tenaga biomassa sekitar 200 MW, angin 75 MW dan surya 25 MW. Ini bukan berarti pembangkit listrik tenaga

uap yang membutuhkan suplai batubara ditiadakan. Dalam proyek tahap kedua ini, pembangkit yang bersumber batu bara masih ditargetkan mencapai 4.000 MW. Jadi, secara keseluruhan, percepatan pembangunan pembangkit listrik tahap kedua mencapai 12.273 MW. “Tapi tentunya angka ini akan berubah, tergantung dari availability dari energi primer,” ujar Bambang.

Melihat komposisi sumber energi dalam proyek tahap kedua, meski energi terbarukan diharapkan terbangun hingga 70 persen, namun sumber batu bara masih besar. Hal ini dikarenakan infrastruktur untuk pembangkit ini sudah cukup mendukung. Seperti, jalan masuk, pelabuhan atau penampungan batu bara. Strategi yang dilakukan untuk efi siensi itu adalah membangun

Pemerintah telah merencanakan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua.

Tidak cukup hanya mengandalkan pembangunan pembangkit 10.000MW, di lihat dari Kebutuhan yang

meningkat sekitar 9 persen per tahun

Page 6: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 20086

pembangkit di lokasi yang mendekati sumber batu bara.

PLN Batu Bara

PLN kini sedang menghitung-hitung lokasi mana saja yang akan dibangun untuk 4.000 MW pembangkit batu bara. Terobosan baru yang dilakukan adalah membentuk anak perusahaan PLN Batu Bara. Anak perusahaan, yang bergerak dalam penyediaan batu bara ini, ditargetkan mampu mengamankan 25 persen pasokan yang diperlukan. Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan anak usaha tersebut akan bertugas mengamankan pasokan batu bara ke pembangkit. “Kita sudah membentuk anak usaha batu bara, PT PLN Batu Bara. Direksi dan komisarisnya sudah dilantik. Kalau bisa mengamankan 25 persen dari kebutuhan batu bara kami, tentu sangat bagus,” ujarnya.

Fahmi menilai target tersebut cukup realistis dengan kondisi pasokan yang selama ini diperoleh PLN. Kebutuhan batu bara PLN tahun ini diperkirakan mencapai 30 juta ton. Perhitungannya, bila bisa amankan lima juta ton saja sudah bagus.Mengenai bidang pekerjaan yang dilakukan anak perusahaan ini, menurut Fahmi, bukan perusahaan yang akan mengeksplorasi tambang secara langsung. PLN Batu Bara hanya perusahaan investasi atau portofolio. “Jadi bukan seperti PTBA (Bukit Asam) yang melakukan eksplorasi sendiri, tapi lebih ke strategi amankan pasokan batubara. Tidak harus mengelola

sendiri. Bisa kasih ke orang lain, KSO atau kerjasama dengan pihak lain,” jelas Fahmi seraya mencontohkan, anak perusahaan ini bisa membeli s a h a m - s a h a m di perusahaan tambang yang dinilai potensi produksinya bisa mengamankan pasokan PLN.M e s k i memungkinkan membeli saham dari perusahan publik, Fahmi mengatakan akan lebih baik jika PLN Batu Bara

memilih perusahaan tambang milik pribadi. Saat ini sudah ada beberapa perusahaan batu bara yang menjadi sasaran PLN Batu Bara. Suplai dari PLN Batu Bara juga akan difokuskan untuk memperkuat pasokan ke pembangkit kecil yang berada di daerah terpencil. Pastinya, bagi Bambang selaku direksi yang bertanggungjawab dalam perencanaan PLN, makna pengamanan pasokan yang menjadi tugas PLN Batu Bara ini sangat vital mengingat tingginya fl uktuasi harga. “Kita harapkan dari adanya PLN Batu Bara bisa mengamankan pasokan energi primer. Sayang, kalau selama ini batu bara yang bagus diekspor semua. Kita tidak kebagian,” jelas Aryo menambahkan pentingnya eksistensi PLN Batu Bara nanti.

Memang, dalam perencanaan, PLN memiliki Visi 75/100. Maknanya, 75 tahun merdeka pada 2020, maka 100 persen aset listrik sudah bisa dicapai. Upaya percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap pertama dan kedua, serta harapan besar pada anak perusahaan, bak berpacu dengan kebutuhan listrik nasional, demi mencapai Visi 75/100 itu. Asal jangan lupa, seperti pandangan Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar, visi itu tak berarti apa-apa tanpa peran IPP sebagai mitra pemerintah di dalam skema KPS. ***Kita sudah membentuk anak usaha batu bara,

PT PLN Batu Bara.

Fahmi Muchtar (Dirut PLN)

Page 7: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 7

Sejumlah Independent Power Producer (IPP) memiliki minat yang besar untuk ikut andil

dalam mengatasi kebutuhan energi di Indonesia. Perlu beberapa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Paling penting adalah persoalan keamanan bagi investasi mereka di sini.

Adalah proyek model swasta Pembangkit Listrik Tenaga Gas-Uap (PLTGU) Pasuruan, yang sudah cukup lama bak jalan di tempat --tanpa ada kelanjutan pembangunannya. Bahkan, kajian dari tim konsultan swasta, Wood Mackenzie, ikut pula mengendap s e t a h u n belakangan ini. Berdasar kajian tersebut, tak bisa dipungkiri, kepastian pasokan gas bukanlah hal yang mudah bagi proyek ini. PLTGU Pasuruan butuh kepastian ketersediaan pasokan selama 20 tahun ke depan. Beberapa bakal pemasok telah diidentifi kasi, antara lain dari Blok Cepu dan Kangean, Terminal LNG Gresik, serta kombinasi Blok Sampang dan Selat Madura.

Tim konsultan memang berhasil mengidentifi kasi empat potensi gas yang memiliki cadangan cukup bagi PLTGU Pasuruan. Proyek pembangkit, yang masuk dalam kerangka infrastruktur International Finance Corporation (IFC) --di bawah World Bank-- ini adalah salah satu yang layak dilirik oleh IPP. Hanya saja, kebanyakan pemodal dari luar masih terkesan ragu dengan jaminan dari pemerintah.

Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Bambang Praptono mengatakan

IPP yang besar-besar memiliki keinginan untuk berinvestasi. Tapi, mungkin mereka agak ‘rewel’ jika keinginan tersebut dikaitkan dengan jaminan pemerintah. “Ini memerlukan adanya titik temu, format seperti apa yang cukup diterima oleh para calon investor dari luar,” ujar Bambang.

Membuka Kunci Pintu

InvestasiMenurutnya, skema pembiayaan melalui LC cukup manjur untuk menjembatani terealisasinya sebuah kontrak antara pemerintah dan masyarakat investor. “Sehingga perlu dibuat pilot project seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti yang gas itu,” lugas Bambang.

Geliat Paiton

Ada kekhawatiran suplai gas bagi PLTGU Pasuruan terbatas? Tentu saja pertanyaan terkait pasokan bahan baku ini sudah terjawab dengan data

yang cukup valid dari hasil kajian Wood Mackenzie. M a s a l a h n y a , kerap kali kondisi di lapangan tak sesuai dengan apa yang tercatat di atas kertas.

Sebagai contoh, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) memiliki PLTGU Gresik, yang akrab dengan kurangnya pasokan bahan baku. “Di Jawa

Timur kita masih ragu. Sampai saat ini pun, untuk yang PLTGU punya PLN, kita belum dapat dari dulu. Kalau yang Muara Tawar, Muara Karang dan Jawa Tengah, kita sudah dapat kepastian, tapi yang Jawa Timur belum. Dulu sih pernah ada, tapi lari ke Petrokimia,” ungkap Bambang. “Masalahnya

IPP yang besar-besar memiliki keinginan untuk berinvestasi

Page 8: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 20088

kadang-kadang mereka mempunyai cadangan, tapi itu masih disimpan. Tergantung berapa harga yang sanggup kita beli.”

Lain lagi dengan Humas dan Comdev PT PJB Tri Murti Eko yang mengungkapkan, selain kendala pasokan gas, PLTGU Gresik juga selalu berhadapan dengan kekurangan pasokan batubara. Penyebabnya disinyalemen karena batubara-batubara milik swasta memilih singgah di pelabuhan bukan milik PLN yang berani membeli dengan harga lebih tinggi. Setali tiga uang dengan gas yang akhirnya lebih banyak tersedot ke tabung asing.

Untunglah anak perusahaan PLN ini tak patah arang. Ada tantangan di depan mata yang dianggap lebih besar. Mereka dipercaya untuk menjalankan tugas operasi dan pemeliharaan (OM) PLTU Rembang, Indramayu, Paiton Baru dan Pacitan. Penyerahan tugas OM empat unit pembangkit ini harus tuntas dalam tiga tahun.

Keseriusan PJB juga tercermin lewat pembentukan Tim Pendampingan Pembangunan Pembangkit Baru. Tugasnya adalah melakukan pendampingan, mula proses konstruksi hingga paska konstruksi. Tujuan untuk menjamin kelancaran proses pelaksanaan pembangunan pembangkit dan jaminan keandalan unit. Selain itu juga meminimalkan kemungkinan kegagalan operasi paska konstruksi.Segala hambatan juga menjadi tanggung jawab tim, sekalipun pemicu persoalan bukan berasal dari dalam. Semisal yang terjadi di PLTU II

Paiton Baru. ”Kita memang bekerja keras untuk mendatangkan peralatan-peralatan, karena kemarin terhambat adanya Olimpiade Beijing. Kita sudah terlambat 14 hari, sehingga kontraktor harus kita push,” jelas Djoko Edi, direktur proyek dari PLN Pusat yang bertugas di Paiton Baru.

Paiton memang tengah menggeliat. Saat ini sudah berdiri Paiton Unit 1 dan 2 (2 x 400 MW) yang dikelola PJB, Paiton Unit 5 dan 6 (2 x 600 MW) yang dikelola Java Energy, Paiton Unit 7 dan 8 (2x 600 MW) yang dikelola Paiton

Energy Company. Ketiga pembangkit rakasasa tersebut, yang merupakan kombinasi pengelolaan antara PLN dan IPP, adalah penyedia daya vital bagi sebagian besar Jawa-Bali.

Kini, pemerintah berupaya keras agar Paiton Baru (atau disebut juga Paiton Unit 9 dan 10) dapat rampung tepat waktu, 2010. Kondisi yang agaknya tidak sejalan dengan mandeknya Paiton Unit 3 dan 4. Proyek itu masih menyisakan lahan kosong di lokasi berdirinya pembangkit milik PJB (Paiton Unit 1 dan 2) dan Java Energy

pemerintah berupaya keras agar Paiton Baru Unit 9 dan 10 dapat rampung tepat waktu, pada tahun 2010

Page 9: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 9

Kelangkaan listrik ternyata menginspirasi sejumlah daerah untuk mengusahakan sendiri. Seperti yang tampak pada gambar berikut ini :1. Seorang warga sedang menerapkan hemat energi mesin

mobilnya dengan menggunakan minyak jarak.

2. Turbin microhydro sebagai pembangkit listrik berkapasitas 250 KVA yang digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga microhydro di kawasan PTPN XII Blawan.

3. Air terjun Curug Taraje yang berada di kawasan Pamulihan, Kombongan, Garut, Jawa Barat, dijadikan sumber tenaga air untuk pembangkit listrik tenaga microhydro.

Listrik, dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat

(Paiton Unit 5 dan 6) ini. Pasalnya, ada silang pendapat antara Serikat Pekerja PJB dan PLN. SP menuding kebijakan privatisasi pembangunan Paiton Unit 3 dan 4, yang rencananya digarap PT Power Energy Company (PEC) --pemilik konsorsium Paiton Unit 5 dan 6--berdampak negara harus menanggung beban subsidi listrik akibat tarif harga satuan listrik per kwh yang dijual swasta kepada PLN lebih mahal dibandingkan tarif PT PJB. Jika dikaitkan dengan untung rugi, mungkin pantas kasus Paiton Unit 3 dan 4 ini disebut anomali di tengah-tengah fakta negara ini membutuhkan penambahan daya. Lantas, apakah anomali semacam ini harus menghambat pembangunan pembangkit? ***

1

2

3

Page 10: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200810

OPINI

Yahya Hidayat (Direktur Energi Bappenas)

Energi merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi. Karena

itu, kualitas pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh pengembangan, pasokan dan pemanfaatan energi secara optimal dan harus memperhatikan pengelolaan secara berkelanjutan yang menjamin kehidupan sekarang dan ketersediaan di masa mendatang.

Bangsa Indonesia saat ini menghadapi persoalan ketahanan energi (energy security) nasional yang rentan baik terhadap gejolak perekonomian global maupun pertumbuhan permintaan domestik, sehingga dikhawatirkan mengganggu sasaran-sararan pembangunan ekonomi yang direncanakan.

Salah satu Indikator kerentanan ketahanan energi adalah besarnya subsidi BBM dan Listrik dalam APBN-P yang pada tahun 2008 sebesar Rp186,8 triliun yaitu Rp. 126,8 triliun subsidi BBM dan Rp. 60 triliun subsidi listrik atau hampir sekitar 27 % terhadap total Belanja Pemerintah Pusat pada tahun 2008. Indikator ini sudah menunjukkan ada yang salah terhadap pengelolaan energi nasional.

Kemudian ada krisis listrik. Di sistim kelistrikan JAMALI (Jawa-Madura-Bali) yang menjadi pusat industri nasional, telah terjadi defi sit

KEBIJAKAN

ENERGI NASIONAL

DI PERSIMPANGAN JALANOleh

Yahya Hidayat

suplai listrik pada saat Beban Puncak (peak load). Di sistim Luar-JAMALI lebih buruk lagi. Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Bagian Timur lainnya seringkali terjadi pemadaman bergilir.Indikator lainnya adalah komposisi bauran energi sangat rentan terhadap gejolak kenaikan harga minyak dunia, yaitu didominasi oleh Bahan Bakar Minyak sebesar 54,4 % dari total pemanfaatan energi nasional. Gejolak harga minyak pada 5 bulan terakhir membuat pemerintah panik ditandai dengan pemotongan anggaran pemerintah pusat sebesar 10-15 % dan kenaikan harga BBM pada akhir Mei.

Lainnya lagi adalah intensitas energi di Indonesia dengan indeks 500. Lebih tinggi dibanding Thailand (=380) dan Malaysia (=420). Indeks ini menunjukkan Indonesia sebagai negara p e n g k o n s u m s i energi yang boros dan bahwa

pengaturan di sisi permintaan energi masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Akibatnya terjadi ketimpangan suplai dan permintaan energi di dalam negeri yang berkonsekuensi pada keharusan untuk melakukan impor BBM.

Indikator selanjutnya dan tak kalah penting adalah penguasaan teknologi

energi yang masih rendah baik di

hulu

Page 11: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 11

maupun di hilir. Eksplorasi dan eksploitasi sumber energi primer khususnya minyak dan gas bumi masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Teknologi energi baru, terbarukan atau energi alternatif lainnya masih sebagian besar diimpor. Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah dan memicu konfl ik kepentingan dalam hal pengembangan energi nasional.

Sumber daya energi beragam dan cukup melimpahIndikator-indikator ketahanan energi yang disebutkan di atas sudah sangat mengkhawatirkan dan mempunyai potensi besar untuk menghambat pencapaian sasaran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan dokumen Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009. Rasa khawatir ini, ironisnya terjadi di atas potensi kekayaan sumber daya energi nasional yang cukup melimpah. Indonesia menyimpan energi fosil seperti minyak bumi dengan potensi sebesar 87 miliar barel dan 9 miliar barel cadangan yang terbukti-terindikasi (proven-possible) dengan produksi sekitar 500 juta barrel per tahun.

Selain itu ada gas alam dengan potensi sebesar 385 TSCF (Triliun Standard Cubic Feet) dengan cadangan terbukti-terindikasi sebesar 182 TSCF dan tingkat produksi 3 TSCF per tahun. Batubara dengan potensi 57 miliar ton dengan cadangan terbukti – terindikasi sebesar 19 miliar ton dan tingkat produksi sekitar 130 juta ton per tahun. Dilihat dari perbandingan cadangan dengan produksi, maka batubara mempunyai rasio yang cukup besar, artinya pemanfaatan batubara masih berlangsung cukup lama sekitar 147 tahun. Itupun dengan asumsi tidak ada eksplorasi yang baru. Sedangkan minyak bumi sudah mengalami proses penurunan produksi.

Untuk jenis energi non-fosil, potensi Tenaga Air skala besar 76 GW, baru

dimanfaatkan 4,5 GW. Panas bumi dengan potensi 27 GW, masih relatif kecil pemanfaatannya yakni 1 GW. Mikro dan Mini Hydro berpotensi 460 MW dan baru termanfaatkan sebesar 70 MW. Biomass mempunyai potensi 50 GW dengan 300 MW yang digunakan, serta tenaga angin dengan potensi 9 GW dan terpakai 500 KW.

Kebijakan energi nasional di persimpangan jalanMeski memilliki sumberdaya energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah, Indonesia tetaplah negara berkembang yang masih sangat tinggi pertumbuhan permintaan energinya, termasuk untuk BBM maupun tenaga listrik. Konsumsi BBM selama dekade terakhir meningkat sebesar 5-7 % per tahun, dan hingga tahun 2015 diperkirakan masih akan meningkat 8-10 % per tahun. Gejala ini masih wajar karena konsumsi energi per kapita untuk minyak bumi maupun rasio elektrifi kasi juga masih rendah yakni 63 % dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Kondisi permintaan kebutuhan energi domestik yang makin meningkat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi setelah paska krisis ekonomi tahun 1998, tidak diimbangi dengan akselerasi pengembangan, pasokan dan pemanfaatan energi di dalam negeri baik melalui konservasi, diversifi kasi,

intensifi kasi, indeksasi, penentuan harga energi, dan bauran energi (energy mixed). Keadaan ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan antara potensi, eksplorasi, produksi dan permintaan energi di dalam negeri.

Ketimpangan ini mesti berhadapan dengan tidak jelasnya arah kebijakan energi nasional, bak berada di persimpangan jalan. Iklim investasi menjadi kurang menarik dan kapasitas infrastruktur energi yang harus terbangun untuk memenuhi energi fi nal domestik menjadi terbatas. Ditambah lagi dengan belum terencananya prospek bisnis energi, khususnya

Intensitas energi menunjukkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi energi yang boros, di banding Thailand dan

Malaysia

Page 12: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200812

pengembangan rencana jangka panjang dalam eksploitasi sumberdaya energi. Akumulasi problema di atas berakibat pada pola pembangunan energi yang sangat tergantung pada Pemerintah Pemenuhan kebutuhan energi terutama BBM dan tenaga listrik dalam jangka panjang masih mengandalkan BUMN, yang beroperasi secara terintegrasi vertikal dengan pola monopoli untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. Faktanya, kebijakan energi di sisi hulu sudah cenderung liberal karena dapat dilakukan oleh banyak pelaku ekonomi selain BUMN, namun di sisi hilir cenderung sosialis (sangat regulated) melalui integrasi vertikal BUMN dalam kebutuhan energi yaitu BBM untuk transportasi dan rumah tangga serta energi listrik. Pola mekanisme hulu-hilir seperti ini sangat mengganggu proses pembangunan energi.

Meski didominasi banyak perusahaan asing, struktur penyediaan energi nasional masih didominasi oleh Pertamina. Gas bumi dalam negeri dikuasai PT. PGN Tbk. Sementara

di bidang kelistrikan, PT PLN masih berperan sebagai pemasok tunggal energi listrik.

Pentingnya Kerjasama Pemerintah SwastaTingkat permintaan energi dan tingkat ekspor minyak bumi pada era 1980-an masih jauh lebih rendah dibandingkan yang ada sekarang. Sering sistem penyediaan energi yang mengandalkan Pemerintah dapat memenuhi tingkat keamanan dan keekonomian pasokan energi secara nasional. Namun demikian, seiring dengan peningkatan permintaan energi domestik yang sangat pesat dan sejalan dengan pertumbuhan di bidang industri, kemampuan penyediaan energi dari sumber-sumber sendiri telah menurun, dikalahkan dengan kekuatan mekanisme pasar global. Sementara itu kinerja BUMN energi tidak tumbuh sesuai dengan semangat persaingan global dan kerap terbentur berbagai kepentingan.

Namun demikian, dalam agenda pembangunan kita khususnya

pembangunan energi, kegiatan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus tumbuh, peningkatan kapasitas, perluasan jaringan, dan mobilisasi investasi bagi pembangunan infrastruktur, baik untuk BBM dan kelistrikan, masih harus terus dilakukan. Karena pada faktanya pemerintah tak dapat terus diandalkan dalam hal pemenuhan konsumsi energi rakyatnya, maka partisipasi lebih besar dari pihak swasta sangat dibutuhkan dalam pembangunan sistem penyediaan energi yang lebih efi sien dan berdaya saing.

Rakyat banyak tentu tak harus dikalahkan kepentingannya. Terbaik bagi semua adalah inti dari kebijakan energi nasional. Tugas pemerintah kini adalah menyiapkan institusi dan kejelasan regulasi demi berkembangnya iklim investasi dan konsumsi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kapasitas suplai dan mengoptimalkan pola konsumsi dalam negeri.

faktanya pemerintah tak dapat terus diandalkan dalam hal

pemenuhan konsumsi energi bagi rakyat

Page 13: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 13

LIPUTAN KHUSUS

Impian Pemda Kota Bandung untuk memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tampaknya masih jauh dari

kenyataan. Untuk sementara nasib pembangunan PLTSa yang direncanakan di kawasan Gedebage masih menunggu hasil gu-gatan ke Pengadilan Negeri Bandung April 2008 lalu, yang di-layangkan warga perumahan Cempaka Arum karena lokasinya bersandingan dengan rencana pembangunan PLTSa.

Memang rencana penanganan dan pengelolaan sampah yang dikembangkan Pemerintah Kota Bandung dengan membangun Pembangkit Tenaga Listrik Sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage tidak hanya mendapat penolakan dari warga setempat, yakni Perumahan Cempaka Arum, tetapi juga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar. Pasalnya, teknologi yang dikembangkan Pemkot Bandung itu yakni dengan menggunakan insenerator yang paling dikecam, karena akan menimbulkan dampak kesehatan bagi masyarakat disekitar PLTSa.

“Kami akan terus berupaya menggagalkan rencana Pemkot Bandung untuk membuat pabrik sampah di wilayah kami, tegas Muhammad Tabroni yang merupakan Koordinator Aliansi Rakyat Tolak Pemaksaaan Pabrik Sampah di

PLTSa Gedebage vs

Gugatan Warga

Permukiman (ARTP2SP) ketika ditemui KPS. Menurut Tabroni penolakan yang dilakukan warga bukan tanpa alasan. Tetapi sudah memperhitungkan dampak negatif yang dihasilkan dari adanya pabrik sampah yang akan menggunakan insenerator untuk membakar sampahnya. Menurutnya pembakaran sampah itu akan menghasilkan gas dioksin yang berbahaya bagi kesehatan.

Tabroni menyayangkan Pemkot Bandung tidak melakukan dengar pendapat dengan masyarakat, sehingga terkesan Pemkot berjalan sendiri dan tidak mau mendengar aspirasi masyarakat sekitar PLTSa. “Saya sangat berharap ada itikad baik dari Pemkot untuk mendiskusikan persoalan PLTSa secara ilmiah, dengan mengundang semua stakeholders termasuk ahli lingkungan, “tandas Tabroni.

Page 14: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200814

Sementara itu warga di Perumahan Cempaka Arum sudah lama menjadi wilayah kampung belajar composting. Yakni membuat tempat pembuangan sementara (TPS) menjadi lokasi pembuatan kompos yang kemudian dijual atau dimanfaatkan sendiri untuk pupuk oleh warga.

Hal itu dipaparkan Muhammad Tabroni saat memberi alternatif solusi, jika Pemkot kesulitan membuang sampahnya. Tabroni sudah mencontohkan untuk wilayahnya di kawasan perumahan Cempaka Arum dengan membuat dua tong sampah yang masing-masing diberi label non-

Seharusnya Pemkot terus mengkampanyekan program 3R, yakni mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur-ulang (recycling). Selain itu juga pengomposan sebagai alat yang kongkrit untuk menghemat energi dan menghindari emisi gas rumah kaca

organik dan organik. Tidak hanya itu, di sejumlah rumah juga sudah dilakukan pembuatan kompos sendiri. Sehingga jika hal itu dilakukan oleh seluruh warga Kota Bandung, maka akan mengurangi sekitar 60 persen sampah basah.

Terkait dengan rencana membangun PLTSa, Sekretaris Walhi Jabar, Afi fi Rahmat mengatakan, teknologi PLTSa yang akan digunakan Pemkot Bandung itu akan menggunakan sistem insenerator atau pembakaran. Dengan teknologi itu, energi yang dihasilkan juga akan lebih besar dari yang diperoleh. Bahkan, pembakaran

sampah untuk menghasilkan energi listrik tersebut akan menimbulkan gas berbahaya bagi kesehatan.

Ia juga menjelaskan, teknologi PLTSa yang rencananya akan dikembangkan Pemkot Bandung sebenarnya tidak layak untuk digunakan. Sebab, nilai kalor yang terdapat pada sampah Kota Bandung lebih rendah dari 4 ribu kj/kg. "Sampah kita lebih dari 60 persennya basah. Jadi tidak layak digunakan untuk energi. Selain itu, dibutuhkan energi atau bahan bakar, seperti solar yang lebih besar untuk menghasilkan listrik yang banyak," ungkapnya.

Ia mengungkapkan, untuk mengatasi sampah secara bersama, seharusnya Pemkot Bandung bisa membuat kebijakan insentif kepada produsen untuk memakai bungkus ramah lingkungan. Selain itu, masyarakat juga harus mau bekerjasama sejak awal untuk memilah sampahnya langsung dari rumah.

"Sampah harus sudah dipilah, jarak ke pemukiman penduduk juga disesuaikan dengan aturan yang ada. Air lindi dari sampah juga harus dikelola dan tidak lupa angkutan sampahnya juga dibenahi," kata Afi fi Sekretaris Walhi Jabar.

Kompos hasil daur ulang sampah yang di lakukan warga cempaka arum

Teknologi PLTSa dengan insenerator akan menimbulkan gas berbahaya bagi kesehatan

Page 15: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 15

Ia juga berharap, pemerintah Jabar juga turun tangan dalam penanganan sampah yang terjadi di Kota Bandung untuk menciptakan konsep sistematis dan terintegratif. "Kita juga selalu mengadvokasi warga untuk meminta kepada warga agar memilah sampah mulai dari sumbernya," tegasnya.

Seharusnya Pemkot terus mengampanyekan program 3R, yakni mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur-ulang (recycling). Selain itu juga pengomposan sebagai alat yang kongkrit untuk menghemat energi dan menghindari emisi gas rumah kaca," pungkasnya.

Klimaks dari aksi yang digalang Aliansi Rakyat Tolak Pemaksaan Pabrik Sampah di Permukiman (ARTP2SP) yakni mereka mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Negeri Bandung. Meja hijau menurut Koordinator ARTP2SP adalah pilihan terakhir setelah berbagai upaya dilakukan oleh mereka dari mulai menyambangi kantor Pemkota Bandung untuk meminta dialog dengan Walikota menemui jalan buntu, termasuk mendatangi wakil rakyat DPRD Kota Bandung yang tidak menemui hasil yang memuaskan. “Kami membutuhkan dialog, bukannya

tekanan dari Pemkot.”tegas Tabroni.

Namun dipihak Pemkot Bandung, ketika KPS menemui salah seorang pejabat Bappeda Kota Bandung. Pejabat tersebut mengungkapkan, bagi Pemkot Bandung sendiri sebenarnya kasus PLTSa ini boleh dikatakan hal yang masih baru dilakoni. Dan Pemkot sudah berupaya mensosialisasikan kepada warga di sekitar PLTSa, walaupun diakui oleh pejabat Pemkot tersebut, sosialisasi yang dilakukan belumlah optimal. Sehingga masih memunculkan penolakan yang dilakukan oleh warga. Pihak Pemkot juga sedang mencari alternatif solusi lain, yaitu kalau warga merasa keberatan, maka mereka bisa direlokasi. Memang agak sulit mencari lahan yang cukup luas untuk PLTSa, karena luas Kota Bandung hanya 167 km2 luasnya, Gedebage merupakan daerah pemekaran yang masih memiliki lahan yang cukup luas, dan juga menurut perencanaan kota, Gedebage akan dikembangkan, agar tidak ketinggalan dengan wilayah lain di Kota Bandung.

Rencana pembangunan PLTSa ini ternyata mendapat dukungan psikologis dari Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman. Menristek menyatakan dukungannya saat mencanangkan pembangunan

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage di Lapangan Tegalega Bandung. Ketika itu Menristek mengatakan, kalau masyarakat sekitar tidak

perlu khawatir terhadap dampak atau risiko yang dihasilkan PLTSa ini.

“Sebab seluruh risiko pencemaran semestinya sudah diminimalisir sehingga apa yang dihasilkan kelak akan berguna bagi masyarakat," ujarnya. Menristek juga memberi solusi, jika ada risiko pencemaran dari pembakaran, maka janganlah ada pembakaran tetapi semua sampah yang didapat harus di "reuse", "reduce" dan "recycle"," katanya. Kusmayanto mencontohkan jika ada sampah botol maka gunakan kembali untuk botol atau barang-barang lainnya yang dapat didaur ulang hingga akhirnya dapat menjadi sebuah barang tertentu. "Yang terpenting adalah pemilahan barang harus dilakukan sebelum dilakukan pemrosesan sampah," tegasnya. Ia juga menegaskan semua pihak harus

ikut bertanggungjawab atas semua risiko yang akan terjadi. "Kita semua harus bertanggungjawab, saya, wartawan, akademisi, LSM, Pemda dan masyarakat yang mendukung," ujarnya. Kusmayanto menuturkan Pemerintah Pusat sejauh ini telah memberikan masukan kepada Pemkot Bandung terkait sistem apa saja yang layak digunakan bagi sebuah PLTSa, tetapi tetap pihak Pemda yang akan menjadi operatornya.

Sedangkan mengenai penelitian analisis dampak lingkungannya (amdal) Dr. Ari Darmawan Pasek Ketua Pusat Rekayasa Industri ITB, mengungkapkan bahwa studi kelayakan Pembangkit Listrik

Pemkot berjalan sendiri dan tidak mau mendengar aspirasi masyarakat sekitar PLTSa.

Alternatif solusi dengan membuat dua tong sampah yang di beri label

Page 16: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200816

Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan di bangun di daerah Gedebage sudah selesai. Dalam studi kelayakan PLTSa ini, ITB tidak menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.

Menurut Dosen Teknik Mesin ITB ini, PLTSa semacam ini sudah dikerjakan cukup lama kalau di luar negeri, terutama Eropa dan RRC. Teknologi ini adalah pilihan utama dalam mengatasi sampah. Ari juga menambahkan, kalau di RRC sudah memiliki 50 PLTSa yang masing-masing hanya berjarak ratusan meter dari perumahan penduduk.

Memang PLTSa atau Waste to Energy (WTE) dapat menghasilkan polusi yang bahkan 2500 kali lebih bersih dari asap sebatang rokok. "Semuanya memang masalah dana. Dengan dana yang cukup, kita bisa membuat PLTSa ini menjadi sangat bersih," katanya, "Lewat studi kelayakan ini pula, ITB memberikan opsi-opsi teknologi yang mengkompromikan antara dana dengan tingkat polusi."

Bau sampah adalah salah risiko yang sangat diperhatikan tim studi kelayakan pimpinan Ari. Untuk mengatasi itu, ITB keluar dengan pilihan solusi truk dan desain PLTSa yang menjamin tidak akan ada bau busuk sampai ke hidung warga. Truk sampah yang didesain khusus akan melewati Tol Padaleunyi. "Truk tidak akan melewati daerah perumahan warga," kata Ari.

Dalam aspek ekonomi, PLTSa ini pun tampak sangat menjanjikan akan menjadi generator ekonomi wilayah Gedebage. "Pembangunan PLTSa akan membuat Pemerintah Kota (Pemkot) membangun akses keluar Tol Padaleunyi di Gedebage," kata Ari, "Jelas ini akan justru meningkatkan harga tanah." Selain itu, menurut rencana, dari 60

hektar lahan yang dibebaskan, hanya 10 hektar yang diperlukan untuk membangun PLTSa. Sisanya akan dibangun pusat komersil serta Sarana Olah Raga. Termasuk di dalam rencana adalah pembangunan Stadion Sepak Bola yang baru. "Kegiatan ekonomi justru akan terpacu," kata Ari. Hanya Ari menyayangkan pihak Pemkot Bandung tidak melakukan sosialisasi PLTSa ini ke masyarakat dengan baik.

Jika PLTSa Gedebage dapat beroperasi, maka dengan asumsi kapasitas sampah yang diolah sebanyak 500 ton per hari dengan modal awal sekitar Rp 320 milyar. Maka berdasarkan perhitungan,

modal ini baru bisa kembali sembilan hingga 10 tahun pasca-beroperasinya pembangkit listrik. Dari 500 ton sampah yang diolah PLTSa Gedebage akan menghasilkan hampir 20 mega Watt. Namun untuk tahap awal, mereka mentarget hanya 10 MW.

PLTSa Babakan Kab. BandungPLTSa yang akan dibangun di Gedebage sebenarnya bukanlah yang pertama jika dibandingkan dengan PLTSa yang tengah dibangun di tempat pembuangan akhir (TPA) Babakan di Desa Babakan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kawasan kumuh yang selama ini luput dari perhatian ini mencatatkan diri sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga

sampah (PLTSa) pertama di Indonesia, jika proyek percontohannya bersama ITB itu berhasil.

Pembangunan PLTSa Babakan sejak akhir Oktober lalu itu terwujud atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Bandung, PT PLN (Persero) serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB Bandung. PLN menggelontorkan dana sekitar Rp 9,5 milyar.

Sedangkan LPPM ITB bertanggung jawab dalam mendesain sistem dan teknologinya. Bila pembangunan sesuai jadwal, PLTSa Babakan bakal mulai

beroperasi pada akhir tahun 2008. Kapasitas listrik yang dihasilkan sebesar 500 KW per hari. Memang, jumlah ini boleh dibilang terlalu kecil dibandingkan rencana PLTSa Gedebage.

Untuk PLTSa Babakan sendiri, volume sampah yang akan dimanfaatkan baru sekitar 30 hingga 50 ton per hari. Sedangkan total sampah yang dibuang ke TPA Babakan sebanyak 150 ton per hari. Rencananya, sisa sampah yang 100 ton akan

digunakan untuk proyek pengomposan bekerjasama dengan sebuah perusahaan energi swasta.

Nah sekarang, bagaimana mengkolaborasikan cerita sukses warga di sekitar PLTSa Cempaka Arum yang memisahkan sampah organik dengan non-organik kemudian dijadikan kompos, serta keinginan Pemkot Bandung membangun PLTSa di Gedebage. Semua keputusan diserahkan kepada Pemkot Bandung, namun seharusnya mengedepankan dialog interaktif dengan semua pemangku kepentingan, sehingga tidak ada rasa saling curiga antara warga dan Pemkot Bandung.(*)

Desain PLTSa di jamin tidak akan menyebarkanbau busuk ke sekitar pemukiman warga

Page 17: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 17

WAWANCARA

Bagaimana kelanjutan Proyek 10.000 MW?Kalau kita tengok ke belakang, sejarah Proyek 10.000 MW itu nama aslinya adalah tim koordinasi percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara. Upaya kita adalah bagaimana membuat proyek ini cepat selesai untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan untuk menambah kapasitas suplai. Itu latar belakang yang paling mendasar. PLN tak lagi memiliki kemampuan dana untuk proyek percepatan.

Maksud Anda?Subsidi pemerintah untuk PLN sudah mencapai sekitar US$8 miliar. Naik terus, diakibatkan harga-harga yang juga naik terus. Jadi perlu running yang cepat untuk menggantikan pola pembangkit listrik.

Lantas dananya dari mana?Cara mendapatkan dana melalui pinjaman dengan skim ‘B to B’. Namun, dengan kondisi PLN seperti saat ini, untuk mendapatkan pinjaman yang sangat besar adalah hal yang sangat sulit dilakukan kalau hanya berdasar PLN sebagai perusahaan. Oleh karena itu dikeluarkanlah jaminan pemerintah. Ini merupakan jaminan penuh yang artinya pemerintah akan menjamin pinjaman dari PLN. Kalau PLN tidak sanggup, maka pemerintah yang akan

”Serahkan ke IPP,

Kita Harus Gerak Cepat”

Yogo Pratomo Ketua Harian Tim Koordinasi

Percepatan Pembangunan

Pembangkit

Pemadaman bergilir atau ancaman blackout

sudah cukup lama membayangi negeri ini.

Indonesia tengah berada dalam situasi yang tidak

menguntungkan: defi sit energi listrik. Butuh upaya

strategis untuk keluar dari masalah ini. Berdasarkan

Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2006,

dibentuklah Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan

Pembangkit Tenaga Listrik, yang diketuai Menko

Perekonomian, dengan anggota Menteri Keuangan,

Menteri Negara BUMN, Menteri ESDM dan Ketua

Bapennas. Sehari-hari, kerja tim ini dilaksanakan

oleh Yogo Pratomo. Mantan Direktur Jenderal Listrik

dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM

ini berbicara panjang lebar tentang tugasnya. Berikut

wawancaranya:

Page 18: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200818

membayarkannya melalui skim APBN. Selain itu, kita upayakan partisipasi local content, seperti manufaktur, kontraktor dan lain-lain. Kesemuanya itu kita lakukan dengan skim Engineering Procurement Construction (EPC). Jadi seperti membangun rumah, dari yang merancang, menyediakan barang, sampai yang membangun itu orang lain. Di sini, PLN sebagai pemilik proyek, sedangkan kontraktornya orang lain.

Progres Proyek 10.000 MW tahap pertama?Kita membangun 10.000 MW dari sabang sampai Merauke. Di Jawa ada sekitar 7.100 MW, di luar Jawa sekitar 2.700 MW. Jadi sebenarnya tidak bulat 10.000 MW, hanya 9.800 MW, tapi kan kalau bilangannya ganjil tidak enak, maka dibulatkan menjadi 10.000 MW.

Lokasinya?Di Jawa ada 10 lokasi, yaitu di Labuan 2x300 MW, Suralaya 1x600 MW, Teluk Naga 3x300 MW, Pelabuhan Ratu 3x300 MW, Indramayu 3x300 MW, Rembang 2x300 MW, Awar-awar 2x300 MW, Pacitan 2x300 MW, Paiton 1x600 MW. Semuanya sedang tahap konstruksi, kecuali yang di Cilacap.

Untuk luar Jawa?Aslinya ada 40 lokasi, tapi menjadi 35 lokasi, sebabnya ada tumpang tindih dengan listrik swasta, maka dikurangi supaya jangan sampai over suplay. Yang kecil-kecil bisa selesai cepat dalam waktu 24 bulan.

Kalau yang menjadi hambatan di Cilacap? Lokasi sebelumnya di Tanjung Jati. Tapi, karena di sana sudah susah dan rencananya akan dibangun lagi di Tanjung Jati B 2x300 MW, namun kapasitas transmisinya tidak cukup, sehingga dipindahkan ke Cilacap. Tapi, setelah itu kita pertimbangkan, kalau 2x300 MW tidak sebaik 1x600 MW. Sekarang di Cilacap itu masuk tahap lelang.

Apa masalah lainnya? Yang di Cilacap karena dipindahkan tadi. Lalu masalah lainnya adalah lahan. Lahan itu kita harus proses perizinannya, karena ini milik pemerintah juga, TNI AD, jadi semacam tukar guling dengan TNI AD yang prosesnya agak panjang. Ini juga mengakibatkan kemunduran di beberapa lokasi lain. Entah itu tukar guling atau tumpang tindih lahan. Di sebagian lokasi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Teluk Naga, Awar-awar, ada lahan yang statusnya hutan lindung. Kadang-kadang juga terhambat masalah birokrasi, antar instansi itu malah menghambat. Beda dengan masyarakat. Kalau dengan masyarakat kita kan langsung, beli sesuai harga jual.

Sepertinya lahan jadi persoalan utama?Selama ini yang utama memang di lahan. Yang paling terasa di Cilacap, Teluk Naga dan Awar-awar. Padahal, lahan sebenarnya ditawar dengan harga yang cukup tinggi. Di Indramayu sekitar Rp42 ribu per meter persegi. Itu kondisinya pun sudah pinggir laut, jauh dari mana-mana. Sebenarnya itu terlalu tinggi, tapi tidak mengapa, karena kita tidak boleh lama-lama menunggu, sebab namanya ini juga proyek percepatan.

Apa dasar untuk menetapkan jumlah ganti rugi lahan?Itu adalah harga kesepakatan. Selama ini PLN selalu bekerja sama dengan tim dari kabupaten setempat utuk membantu

kami dalam proses pembelian tanah tersebut, sebab kalau langsung dari PLN ke warga akan sangat sulit. Nah, untuk masalah birokasi yang saya katakan tadi, membeli lahan sangat rumit. Apalagi antara Perda dengan PP sering tidak sinkron, jadi kita mau tunduk pada peraturan dari pusat, namun kita harus berhadapan dengan daerah setempat.

Perizinan lokasi bagaimana?Begitu juga soal perizinan. Di satu lokasi, kita kan ada pelabuhan khusus untuk menerima batu bara, itu harus ada izin dari Departemen Perhubungan, namun izin diberikan kalau ada rekomendasi dari pihak setempat. Dan ada juga di satu daerah yang

mengharuskan ada izin dari Pemda setempat. Kalau rekomendasi itu cukup dari Bupati, tapi kalau izin itu dari pihak DPRD. Kalau urusannya begitu akan lebih panjang lagi mata rantai birokrasinya. Harus ini dan itu.

Pemerintah melihat masalah ini?Pernah dalam suatu kali kunjungan, Wapres meminta Bupatinya untuk mengeluarkan izin, maka langsung keluar. Padahal sebelumnya, tidak mempan oleh saya, Menteri, Menko, tapi ternyata mentoknya di Wapres. Memang sangat mengganggu sekali ketika perdebatan antara Perda dengan PP, tapi kita kan bukan

ahli hukum, sebab kita ini engineering semua. Tapi sekarang semua konstruksinya berjalan. Untuk tahap satu ini kita harapkan di 2009 selesai 2.100 MW, jadi 20 persennya. 2010 nya selesai 80 persennya. Walapun pada kontraknya, ini kan penugasan kepada PLN untuk membangun pembangkit berbahan bakar batu bara yang harus selesai di bulan Desember 2009, termasuk tim ini yang kontrak awalnya sampai 31 Desember 2009. Tapi karena terkendala masalah lahan, perizinan dan jaminan pemerintah, kita harapkan bisa memenuhi kebutuhan listrik sampai 2010.

Berapa pertumbuhan kebutuhan listrik?Sekarang ini pembangkit listrik

Sekarang ini pembangkit listrik nasional ada sekitar 30.000 MW, sedangkan demand listriknya sekitar sembilan persen. Jadi 2.700 MW atau kita bulatkan menjadi 3.000 MW yang harus diselesaikan tiap tahun, 2.000 MW di Jawa dan sisanya luar Jawa. Proyek 10.000 MW tahap pertama setelah 2011 langsung habis.

Page 19: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 19

nasional ada sekitar 30.000 MW, sedangkan demand listriknya sekitar sembilan persen. Jadi 2.700 MW atau kita bulatkan menjadi 3.000 MW yang harus diselesaikan tiap tahun, 2.000 MW di Jawa dan sisanya luar Jawa. Proyek 10.000 MW tahap pertama setelah 2011 langsung habis. Sebenarnya kita ini butuh pembangkit baru sebesar 3.000 MW pertahun. Ini tren permintaan, pertumbuhan kita bukan hanya pertumbuhan pemilik lahan, tapi karena ada yang sebenarnya mampu membeli listrik tapi belum ada listriknya, namanya surplus demand. Contoh lain industri yang selama ini menggunakan genset, karena belum dialiri listrik.

Lalu untuk 2011 dan selanjutnya bagaimana? Maka harus kita bangun mulai hari ini, supaya di 2011-2012 sudah bisa dipakai. Kita akan coba bangun 12.000 MW. Sebanyak 3.000 MW PLTP, 5.000 MW PLTA dan sebesar 4.000 MW PLTU batubara.

Batubara masih besar dalam tahap kedua? Sebetulnya kita masih membutuhkan investor batu bara itu. Ada yang membedakan secara karakteristrik masing-masing pembangkit. Kalau PLTD berputar terus, air kan tidak pernah berhenti, begitu juga dengan uap. Tapi kan kalau batubara ini bisa diatur. Nah, ini akan dibangun di lokasi-lokasi di sebelah yang sekarang sudah dibangun. Sebab infrastrukturnya sudah tersedia, baik itu jalan masuk, pelabuhan, penampungan batubara, apakah itu kantor, sehingga dengan kondisi yang sama kita bisa lebih menghemat.

Bagaimana dengan transmisinya?Ya, jadi pembangunan pembangkitnya sejalan dengan penggunaan transmisi. Jadi sekarang PLN sedang menghitung-hitung, lokasi mana yang akan dibangun untuk yang 4.000 MW ini, sekitar 13 pembangkit. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sudah ditentukan lokasi mana yang akan dibangun. Untuk tahap kedua kita mencoba untuk lebih rapi. Terus terang, untuk tahap satu kita ada dalam posisi yang sulit, kita sedang kekurangan listrik dan subsidi membengkak.

Apa saja yang tertuang dalam RUPTL?Menyangkut lokasi, kapasitas, transmisi, pendanaan, sama penetapan lahan.

Skimnya nanti bagaimana?Akan sama, melalui EPC. Tapi untuk PLTP dan PLTA sebagian besar akan diserahkan kepada independent power producer (IPP). IPP ini akan menghemat PLN juga, karena tidak perlu pinjam. Sekarang sebenarnya aset PLN Rp200 triliun. Sedangkan kemampuan pinjaman perusahaan maksimum 40 persen dari aset. Jadi pinjaman maksimalnya Rp80 triliun. Dalam proyek ini, PLN sudah meminjam Rp60 triliun,

kita butuh pembangkit baru sebesar 3.000

MW pertahun

Page 20: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200820

kurang Rp20 triliun atau setara dengan US$ 2 miliar, itu hanya bisa membangun 2.000 MW. Kalau kita bangun 12.000 MW kemauan PLN untuk EPC cuma 2.000 MW. Nah, 10.000 MW-nya dari mana? Kita serahkan ke swasta. Buat PLN ini lebih memudahkan, kalau dipegang IPP, tanah disediakan oleh swasta, pinjaman dan batu bara juga swasta yang sediakan, PLN tinggal menyediakan transmisinya. Yang jamin juga pemerintah, PLN hanya kontrak jual beli. Ini seperti skim IPP (Java Energy dan Paiton Energy Company) di Paiton.

Target tahap dua?Desember ini sudah ditentukan siapa pemenangnya. Serahkan ke IPP, kita harus cepat, karena pembangunan pembangkit ini butuh waktu sampai tiga tahun. Kalau tidak dilakukan dari sekarang, dampaknya tiga tahun ke depan akan ada pemadaman lagi.

Antisipasi agar hambatan seperti tahap pertama tak terulang?Ya lahan, kita sudah antisipasi. Untuk listrik ini kita perlu lahan 40-50 hektar.

Kalau strategi untuk menarik minat calon investor?Kita memang harus membuat mereka tertarik, karena kita butuh listrik, tapi tidak ada dana. Masalah utamanya adalah masalah lahan, ini sedang dalam pembahasan. Bagaimana agar lahan disediakan oleh PLN. Lalu, kedua masalah jaminan pemerintah. Kita gunakan seperti jaminan yang dipakai oleh Petrokimia. Pemerintah tetap akan menjalankan kewajiban PSO (public service obligation/subsidi), apabila PLN tidak bisa menyelesaikan kontraknya dengan pembeli atau gagal bayar, maka pemerintah akan membayar melalui mekanisme PSO-nya. Jadi dua masalah ini saja, sebab kalau pendanaan dan pembangkit itu urusannya IPP. Paling-paling kita menyarankan masalah local content atau SDM dari dalam negeri.

Tadi Anda mengatakan Desember sudah harus ada pemenang tender, sangat singkat?Memang, makanya sekarang ini kita lagi bekerja under pressure. Menyangkut juga harga BBM yang naik terus. Jadi

sekarang kita harus mempercepat upaya untuk membangun pembangkit agar mengurangi konsumsi BBM, sehingga nanti bisa sudah terbangun pembangkit berbahan bakar batu bara, maka hanya lima persen konsumsi BBM. Apalagi nanti 8.000 MW merupakan energi terbarukan. Jadi kita harapkan di 2010 nanti menyenangkan, dengan catatan kita mulai bangkit lagi yang tahap kedua, supaya 2012 sudah siap.

Target sekitar 15-20 persen proyek dipegang IPP, apakah bisa tercapai?Kita akan berupaya semaksimal mungkin.

Apakah sudah ada gambaran investornya siapa saja?Semuanya itu melalui tender. Supaya aman. Minat banyak, mereka sudah pada datang ke para direksi, ke saya juga. Kita tinggal jelaskan prosesnya akhir tahun sambil mensosialisasikan RUPTL. Keterlibatan asing untuk panas bumi, misalnya ada dari New Zealand dan Italia. Mereka banyak menghasilkan panas bumi. Kita kasih indikasi dimana PLTP dibangun. Cuma untuk prosesnya tetap harus melalui lelang. Dan sebenarnya lelang itu tidak perlu lama-lama.

Tapi kan butuh fi t and proper test?Begini, untuk IPP sudah ada sekitar 150-an investor. Selama ini, sudah bisa dikatakan berhasil sekitar 70-an. Bagaimana untuk ke depan jumlah mereka lebih tinggi? Pertama, kita

akan meminta bukti kemampuan fi nancial mereka. Jadi kalau mereka akan mengikuti tender yang 2x300 MW, maka mereka harus mempunyai cost sampai US$ 600 juta. Harus kita lihat juga dari kesiapan aset. Paling tidak ada formulanya, asetnya harus melebihi dana yang harus mereka siapkan. Kedua, kemampuan mereka jangan sampai pengalaman nol dan tidak pernah membangun pembangkit. Jadi kita akan lebih ketat, tapi di sisi lain kita juga cari kemudahan. Mereka harus punya uang dan pengalaman. Yang berminat banyak, dari Eropa, Jepang, Amerika dan China.

Anda optimis?Saya sudah bertemu dengan beberapa yang berminat, mereka sanggup melakukan percepatan. Jadi proses lelangnya jangan berbelit-belit. Saya kira bisa. Apalagi sekarang menteri BUMN-nya jago di bidang GCG, jadi dengan ini kita akan dapat dukungan proses yang transparan, akuntabel dan fl eksibel. PLN juga punya direksi baru yang masih segar, jadi diharapkan bisa lebih cepat, dan mudah-mudahan bisa mendatangkan IPP-IPP yang lebih bagus dari sebelumnya.

Country risk terkait eskalasi politik jelang Pemilu 2009?Setahu saya rating PLN maupun pemerintah sudah baik. Saya tidak ahli keuangan, tapi sampai saat ini tidak ada perubahan, rate-nya cukup bagus.

Lahan, pinjaman dan batu bara di sediakan oleh swasta,sementara PLN tinggal menyediakan transmisinya

Page 21: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 21

KOLOM KPS

INFRASTRUKTUR DAN KEGIATAN EKONOMIKajian literatur dan pengalaman empiris mengungkapkan bahwa infrastruktur wilayah merupakan salah satu faktor utama pendorong perkembangan kegiatan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur di suatu negara atau wilayah mempunyai korelasi positif dengan perkembangan ekonomi. Oleh karenanya penyediaan layanan infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan di negara maju maupun negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pengertian penyediaan infrastruktur dalam konteks ini mencakup penyediaan prasarana fi sik (termasuk jalan, jembatan, pelabuhan dan lain-lain) serta penyediaan layanannya. Menurut Perpres 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam penyediaan infrastruktur, di jelaskan bahwa infrastuktur yang dapat dikerjasamakan meliputi: (a) infrastruktur transportasi termasuk pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara, rel dan terminal kereta api; (b) infrastruktur jalan termasuk jalan dan jembatan tol; (c) infrastruktur untuk menyalurkan air baku; (d) infrastruktur air bersih termasuk instalasi processing, jaringan transmisi dan distribusi air bersih; (e) infrastruktur air buangan; (f) infrastuktur telekomunikasi; (g) infrastruktur listrik; dan (h) infrastruktur minyak dan gas alam. Dalam praktek perkembangan terakhir, sebagai tanggapan terhadap permintaan dari pemerintah daerah, lingkup infrastruktur yang dapat disediakan melalui pendekatan KPS ini cenderung diperluas dengan memasukkan infrastruktur perkotaan, termasuk terminal bus perkotaan, pasar serta perumahan. Semenjak awal krisis multi dimensi pada tahun 1997, anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifi kan, sehingga terjadi ”backlog” atau kekurangan penyediaan infrastruktur akibat tidak terjadinya penambahan jumlah serta rusaknya infrastruktur yang telah ada. Untuk mendukung tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 6,6 % pada perioda 2005 – 2009 (RPJM 2005 – 2009), Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya upaya percepatan penyediaan infrastruktur. Dalam hal ini, dibutuhkan dana untuk penyediaan infrastruktur sebesar 65 milyar dolar dalam jangka 5 tahun. Dari jumlah ini, Pemerintah hanya sanggup memenuhi sebesar 38 % atau 25 milyar dolar. Kekurangan dana akibat ketidak mampuan ini diharapkan sebagian dapat diperoleh melalui keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur.

PENDEKATAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTURBerdasar uraian singkat diatas, dapat dikemukakan bahwa peran sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur menjadi sangat penting. Pertanyaan yang timbul adalah: (a) dapatkah penyediaan layanan bagi publik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dijalankan oleh sektor swasta?; (b) apakah semua golongan masyarakat, termasuk yang berpenghasilan rendah akan mendapat pelayanan yang memadai?; (c) apakah tidak akan terjadi kecenderungan monopoli, sehingga tarif

KERJASAMA PEMERINTAH – SWASTA (KPS)

DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

(Bagian 1) Kawik Sugiana Ph.DKepala Kantor Sekretariat KKPPI

pengguna (user charge) menjadi tidak terjangkau oleh golongan masyarakat tertentu, serta kinerja pelayanan tidak optimal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditinjau konsep tentang penyediaan pure public goods/services, private goods/services serta toll goods/services. Pembedaan jenis barang/layanan diatas, tergantung menurut karakteristik masing-masing yang dilihat dari terminologi rivalry dan excludabality. Pengertian rivalry adalah seberapa jauh pemanfaatan/konsumsi seseorang terhadap barang/layanan, akan mengurangi ketersediaan barang/layanan tersebut bagi orang lain. Tingkat rivalry tinggi mempunyai implikasi pada konsumsi yang bersifat individual. Tingkat rivalry rendah, memungkinkan konsumsi secara bersama-sama. Excludability adalah kemampuan penyedia (supplier) barang/layanan untuk mengeluarkan seseorang atau sekelompok orang dari proses pemanfaatan/konsumsi barang/layanan karena tidak bersedia membayar barang/layanan tersebut. Tingkat excludability tinggi, memungkinkan bekerjanya mekanisme pasar melalui transaksi. Pada tingkat excludability rendah, mekanisme pasar sukar dijalankan karena ada problem pendompleng (free riders). Pure public goods/services mempunyai karakteristik tingkat rivalry yang rendah dan tingkat excludability rendah. Contohnya adalah jalan umum perdesaan, air permukaan, udara. Penyediaan barang/layanan pada kategori ini lebih tepat menggunakan pendekatan hierarkis, melalui komando dan kontrol. Kewenangan berlaku dari atasan ke tingkat bawahan seperti bentuk piramida. Dengan kata lain, penyediaan barang/ layanan dalam kategori ini, cenderung lebih tepat dilakukan oleh pemerintah. Private goods/services mempunyai karakteristik tingkat rivalry yang tinggi dan tingkat excludability tinggi. Contohnya adalah produk rumah mewah, produk layanan infrastruktur komersial. Penyediaan barang/layanan pada kategori ini lebih tepat menggunakan pendekatan mekanisme pasar melalui proses transaksi komersial yang dilakukan secara sukarela dengan pertimbangan untung-rugi oleh pihak penyedia dan pemakai. Toll goods/services mempunyai karakteristik tingkat rivalry yang rendah namun mempunyai tingkat excludability tinggi. Contohnya adalah jalan tol, air bersih melalui pipa distribusi. Penyediaan barang/layanan pada kategori ini lebih tepat menggunakan pendekatan mekanisme pasar, namun diperlukan campur tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah ini sangat penting, terutama untuk proyek penyediaan infrastruktur yang pada umumnya berskala besar, membutuhkan capital cost dan sunk cost yang cukup besar, serta membutuhkan upaya koordinasi yang erat dan ketat yang melibatkan banyak stakeholders. Perlu ditekankan pula, karena karakteristik tersebut, maka akan menimbulkan kemungkinan natural monopoly. Dengan demikian campur tangan pemerintah menjadi sangat signifi kan untuk menghindari kecenderungan natural monopoly dimana penentuan tarif penggunaan (user charges), serta tingkat kinerja pelayanan akan cenderung didominasi sepenuhnya oleh pihak penyedia.

Page 22: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200822

ETALASE

Warga Kuala Tungkal di Tanjung Jabung Barat, Jambi, kini bisa hidup tenang. Sementara sebagian besar penduduk di propinsi itu - dan juga di negeri ini - mengeluh terjadinya pemadaman bergilir. ‘’Enak tinggal di sini. Kami tidak terkena pemadaman listrik,’’ tutur Ratno, warga Kuala Tungkal yang menikmati listrik dari hasil olahan sisa gas buang atau fl are gas dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas atau PLTG Tanjung Jabung Power I.

Sudah hampir tiga bulan belakangan ini pemadaman bergilir terjadi di hampir seluruh Provinsi Jambi – kecuali di Kuala Tungkal. Menurut Humas PLN Jambi H Tambunan, pemadaman terjadi karena Jambi mengalami defi sit listrik 36,1 MW.

Penyebabnya adalah sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) rusak dan dalam pemeliharaan. PLTU Ombilin Unit I

dan H rusak, sedangkan PLTU Tarahan Unit 4 dan PLTU Danau Singkarak dalam pemeliharaan.

Selain PLTU sejumlah pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Bengkulu dan Jambi juga mengalami kerusakan atau tidak dapat beroperasi karena kekurangan bahan bakar minyak. Akibatnya, PLN menetapkan kebijakan tiga jam mati dan dan enam jam hidup setiap hari. Pemadaman bergilir akan berlangsung hingga akhir September.

Gas buang penghasil listrik

Gas buang yang diolah PLTG Tanjung Jabung Power I adalah gas ikutan yang terkandung dalam resevoir minyak bumi. Dalam dunia perminyakan, gas ini kerap disebut associated gas.

Dinamakan fl are gas karena umumnya dalam pengeboran minyak, gas ini dimanfaatkan untuk mengeluarkan minyak mentah karena tekanannya yang kuat. Jika gas sudah sampai dipermukaan, lalu dibakar (fl are) sehingga disebut gas buang.

Gas buang dari penambangan dalam perut bumi umumnya langsung dibuang oleh perusahaan pengelola. Namun oleh PetroChina Tanjung Jabung Ltd, gas buang dialirkan ke pipa-pipa besar untuk diolah oleh PLTG Tanjung Jabung Power I yang merupakan usaha kongsi antara Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan pihak swasta.

Menurut Manajer Operasional PT Tanjung Jabung Power I Dicky Riyadi, pasokan gas buang mencapai 1300 juta metrik

british thermal unit (MMBTU) perhari. Dari jumlah itu, dapat dihasilkan sekitar 100.000 kWh listrik perhari.

Penggunaan gas buang sebagai sumber alternatif penghasil listrik, menurut Dicky jauh lebih hemat ketimbang bahan bakar dari batu bara dan minyak. Dengan memanfaatkan gas buang pihaknya cukup menjual Rp550 per kWh ke PLN. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan solar yang menghabiskan biaya Rp2.000-Rp2.500 per kWh.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat harus mengeluarkan subsidi sebesar Rp3 miliar per tahun untuk menutupi biaya produksi listrik PLN. Kini mereka tidak perlu mensubsidi lagi.

Meski begitu, pasokan listrik sebesar 6,3 MW dari PLTG belum memenuhi kebutuhan seluruh warga di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Masih diperlukan lagi sekitar 13-14

MW agar penyaluran listrik aman dalam kondisi pemakaian puncak.

Saat ini antrean pemasangan listrik semakin panjang. “Sekarang daftar tunggu pemasangan listrik baru sudah mencapai 2.500 orang. Padahal, hingga pertengahan tahun ini, hanya tersdia kuota untuk 200 pemasangan baru,” ujar Munir. (sumber KOMPAS)

Berkat Gas Buang,

Kuala Tungkal

Bebas Gelap

Jika gas sudah sampai dipermukaan, lalu dibakar (fl are) sehingga disebut gas buang

Page 23: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 23

Ketika KPS mengunjungi Kabupaten Karangasem, yang

berjarak sekitar 70 km dari Bandara Ngurah Rai. Pemandangan yang terlihat adalah suasana pedesaan khas Bali, maklum saja di daerah tersebut masih begitu lekat adat istiadat leluhur mereka. Coba saja mampir ke Desa Tenganan yang masih berada di kabupaten itu, suasana senyap menyergap ketika kita memasuki kawasan semacam cagar budaya itu.

Desa itu merupakan salah satu dari sejumlah pariwisata yang berada di Karangasem. Tentu jangan bandingkan dengan Kabupaten Badung yang memiliki primadona pantai Kuta. Walaupun Karangasem sektor pariwisatanya hanya semenjana tetapi pendapatannya ternyata mampu menjadi andalan untuk mengisi pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Karangasem yang berjumlah Rp 29 milyar. Bisa jadi, pariwisata yang ditawarkan Karangasem sangat segmented yakni hanya turis yang ingin melihat wisata religi yang disodorkan Karangasem, misalnya Pura Besakih ataupun berbagai upacara adat yang kerap diadakan wilayah itu.

Ketika KPS menemui Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg, di sela-sela kesibukannya, dia mengungkapkan keinginannya untuk

Geliat KPS

dari Karangasemmengubah daerahnya menjadi wilayah yang kompetitif. Walaupun jumlah kepala keluarga miskin mencapai 40.272 KK dari 384.208 jiwa penduduk Karangasem, tetapi dirinya optimis jika daerah yang dipimpinnya itu dapat berkembang ekonominya. Menurutnya, untuk mengembangkan ekonomi maka perlu membangun infrastruktur yang memadai. Walaupun kondisi geografi snya kurang mendukung, karena hanya memiliki lahan subur 20 persen dan hanya bermodal APBD Rp 617 milyar. Namun Bupati optimis daerahnya akan mampu membangun infrastruktur yang dipersyaratkan.

Infrastruktur yang dimaksud adalah pembangunan pelabuhan kapal pesiar yang berada di Dusun Tanahampu Desa Ulakan Kec. Manggis dan juga waduk yang berada di Kecamatan Selat dan Rendang. Waduk tersebut akan berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga air dan juga irigasi. Untuk itu dibutuhkan lahan 80 hektar untuk membangun waduk. PLTA tersebut akan memanfaatkan arus Sungai Telaga Waja yang berasal dari kawasan Pura Besakih.

Kedua proyek besar tersebut rencananya akan menggunakan sistem kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Khusus untuk pelabuhan kapal pesiar sudah dikucurkan dana dari pemerintah pusat berjumlah Rp 10 milyar untuk pematangan lahan, dan dermaga. Sementara dana dari Pemda Karangasem Rp 3 milyar. Total biaya untuk membangun pelabuhan yang akan menjadi persinggahan kapal-kapal pesiar dari luar negeri dan juga sebagai objek wisata bahari adalah sekitar Rp 135 milyar yang ditargetkan selesai 2010. Sementara itu untuk pembangunan waduk sebagai PLTA dan irigasi dibutuhkan dana sekitar Rp 500 milyar. Kalau mengandalkan APBD yang dimiliki Karangasem,

tampaknya sangat tidak memungkinkan untuk membangun kedua infrastruktur tersebut. Untuk mewujudkannya, pola KPS akan diterapkan oleh Pemda Karangasem untuk mewujudkannya.

Bupati juga akan menggandeng investor asing dari Bulgaria yang akan menanamkan dananya ke bidang infrastruktur, termasuk pelabuhan. Untuk mendukung pola KPS yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur di daerahnya. Bupati Karangasem menyatakan akan membenahi aparaturnya agar mampu menjadi aktor kunci dalam penerapan KPS, sehingga memiliki kemampuan dalam menarik investor. Hal itu dibuktikannya dengan menggelar Workshop Kerjasama Pemerintah Swasta di Kantor Pemda Karangasem yang pesertanya berasal dari berbagai instansi di lingkungan Pemda Karangasem. Nah, kalau sudah begitu kita tunggu saja perkembangan penarapan KPS untuk pembangunan infrastruktur dari Karangasem.

Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg

Page 24: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200824

SOROTAN

Apa kata dunia? Ya, apa kata dunia jika di Era Persaingan Bebas seperti saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih ada yang belum menikmati listrik?

Masyarakat Desa Cinta Mekar, yang berada di Kecamatan Serang Panjang Kabupaten Subang Jawa Barat, menyandang titel yang tidak mengenakkan: salah satu desa tertinggal di Kabupaten Subang. Namun, keinginan kuat masyarakat Desa Cinta Mekar untuk mendapatkan aliran listrik di wilayahnya sangat besar. Sebab, aliran listrik adalah awal upaya warga untuk melepaskan diri dari status sebagai penduduk desa tertinggal. Desa Cinta Mekar berpenduduk sekitar 2.300 jiwa dengan 700 kepala keluarga. Sekitar 70 persen warganya hanya mengenyam pendidikan hingga Sekolah Dasar. Dengan pendidikan

Menjadi

Mandiri

Berkat

Mikro Hidro yang sedemikian rendah, maka 85 persen profesi masyarakatnya adalah buruh tani dan hanya sebagian kecil yang berstatus petani pemilik lahan. Walaupun sebagian wilayahnya terdiri dari persawahan dan ladang tetapi boleh dikatakan bercocok tanam sangat sulit, karena tidak ada irigasi.

Berawal dari keprihatinan sejumlah warga terhadap kondisi sosial ekonomi desanya yang agak tertinggal dibandingkan desa lainnya di wilayah Kabupaten Subang, di tahun 1999 datanglah Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) --sebuah LSM dari Jakarta-- untuk mendengar curahan hati warga. IBEKA, yang bertindak sebagai fasilitator bagi warga desa untuk membangun sarana irigasi, mencium potensi lain yang dimiliki Desa Cinta Mekar, yaitu sumber listrik melalui potensi alam. Hingga tahun 2003, IBEKA melakukan penelitian

untuk membuat studi kelayakan terhadap potensi alam Desa Cinta Mekar demi membuktikan di desa tersebut layak diterapkan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Selanjutnya adalah sosialisasi kepada masyarakat desa akan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.

Menurut Nanang, Sekretaris Desa Cinta Mekar, salah satu titik lemah dari desanya, sehingga berpredikat desa tertinggal adalah karena sebagian besar masyarakatnya tidak memiliki listrik. Beruntung Desa Cinta Mekar dilewati Sungai Ciasem dengan mata air berasal dari mata air Gunung Burangrang yang bisa dijadikan modal untuk membangun PLTMH.

Potensi alam yang dimiliki Desa Cinta Mekar yaitu sebagian wilayahnya berbukit-bukit dan dialiri Sungai Ciasem, menggugah semangat sejumlah warga desa untuk membangun sebuah pembangkit listrik sederhana yang dapat dinikmati semua warga. Obsesi itu memang terdengar sangat ambisius bagi ukuran desa tertinggal macam Desa Cinta Mekar.

Setelah yakin Desa Cinta Mekar dapat menerapkan PLTMH, selanjutnya IBEKA menggandeng UNESCAP (United Nations Economics, Social Committee Asia Pacifi c) dan investor lokal PT. Hidro Bakti Swadaya (PT HBS) untuk menyediakan perangkat dan juga peningkatan kapasitas bagi

keinginan masyarakat Desa Cinta Mekar untuk mendapatkan aliran listrik sangat besar

70 persen warga desa sudah mendapat aliran listrik

Page 25: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 25

warga desa agar mampu mengoperasikan PLTMH jika kelak berdiri. Diperkirakan biaya yang diperlukan untuk membangun PLTMH itu sekitar Rp1,8 milyar. Dana pembangunan berasal dari tiga lembaga, yakni PT. HIPS, IBEKA dan UNESCAP. Hal itu dikatakan Iyan Sofi an yang sehari-hari bertugas sebagai operator turbin PLTMH bersama lima warga lainnya yang juga penduduk Desa Cinta Mekar.

Selama kurang lebih tiga tahun hingga 2003, PLTMH Desa Cinta Mekar selesai dikerjakan dan mulai beroperasi pada 2004. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan PLTMH adalah Koperasi Mekarsari dengan anggota para warga yang desanya dialiri listrik PLTMH. Pembangkit listrik tersebut memiliki kapasitas 120 KW dalam keadaan sungai mengalir normal. Namun di saat kemarau dan debit air sungai berkurang, akan mempengaruhi kapasitas listrik menjadi sekitar 90 KW. Produksi listrik 120 KW tersebut kemudian dijual ke PLN.

Cara kerja PLTMH untuk menghasilkan listrik terbilang sederhana, seperti yang dipaparkan Iyan Sofi an, air sungai yang mengalir deras dialiri melalui dua pipa berdiameter 50 cm. Aliran air yang deras itu menggerakkan turbin dan dinamo yang menghasilkan medan magnet dan aliran listrik melalui trafo untuk menaikkan daya yang kemudian dijual ke PLN.

Setelah beroperasinya PLTMH, manfaatnya sangat dirasakan oleh warga desa dan juga pemerintah desa. Seperti yang disampaikan Nanang Sekretaris Desa, yakni sudah lebih 70 persen warga desa sudah mendapat aliran listrik. Dan juga warga desa nyaris tidak pernah mengalami pemadaman listrik yang sebelumnya kerap terjadi. Kemudian melalui Koperasi Mekarsari yang juga mendapatkan keuntungan dari

penjualan listrik, berhasil meningkatkan dari sisi sosial ekonominya.

Sekarang, jika warga desa sakit tidak perlu repot-repot membayar biaya pengobatan, karena semuanya gratis berobat di rumah sakit daerah. Tak hanya itu sebagian besar anak yang bersekolah di tingkat SD hingga SMP mendapatkan beasiswa. Semua manfaat tersebut diperoleh warga setelah listrik dari PLTMH tersebut dijual ke PLN. Selain warga desa yang mendapatkan manfaat, kas desa juga kebagian jatah 10 persen dari hasil penjualan listrik tersebut.

PLTMH Kombongan Garut

Hal serupa juga dinikmati warga Dusun Kombongan Desa Pakejeng Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut yang juga membangun Pembangkit Listrik bertenaga Mikro Hidro yang disebut dengan PLTMH Kombongan. Pembangkit listrik tersebut airnya berasal dari Curug Taraje atau air terjun Taraje yang juga bagian dari Sungai Taraje. Sepasang air terjun yang mengalir deras menghujam setinggi

100 meter menjadi tenaga bagi PLTMH untuk menghasilkan listrik hingga 165 KW

KPS agak kesulitan untuk mencapai lokasi PLTMH Kombongan. Di samping medan yang berat dan terjal di sepanjang tiga kilometer tersebut, juga hanya tersedia jalan batu berdiameter kurang dari dua meter dan kendaraan yang dapat melintasi hanya sepeda motor. Selain itu, tingkat keterjalannya hingga 45 derajat membuat siapapun yang melintasinya harus ekstra hati-hati. di sisi kanan kirinya tebing dan jurang menganga cukup membuat perjalanan yang mencekam sekaligus menakjubkan, karena indahnya ngarai dan sepasang air terjun yang tampak gagah di tengah belantara hutan di kawasan Kombongan. Tak hanya itu, sejumlah elang Jawa dengan santainya terbang mengitari kawasan PLTMH Kombongan yang sulit dijumpai di daerah lain.

Kehadiran PLTMH Kombongan, menurut Rina (Kepala Desa Pakejeng), jelas sangat berguna bagi masyarakat desa. Setidaknya saat ini ada 200 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa di Dusun Kombongan sudah mendapatkan aliran listrik. Mereka hanya diwajibkan membayar Rp10.000 per ampere.

Selain menghasilkan listrik, PLTMH Kombongan juga mengairi irigasi di sejumlah persawahan di wilayah Kombongan dan sekitarnya. Hasilnya pun saat ini dinikmati warga, karena produksi padinya semakin meningkat. Masuknya listrik ke rumah-rumah warga desa juga semakin meningkatkan kreativitas warga, terutama menjahit dan keterampilan rumahtangga lainnya. Jumlah penduduk di Desa Pakejeng Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut berjumlah 3.962 jiwa.

Pembangkit listrik bertenaga mikro hidro di Desa Cinta Mekar dan Dusun Kombongan Desa Pakejeng menjadi contoh bagaimana masyarakat bisa mandiri melalui energi listrik yang dibangun sendiri. ***

Warga hanya di wajibkan membayar Rp.10.000 per ampere

Page 26: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 200826

Silang pendapat antara Walikota Bekasi Mochtar Mohamad

dan DPRD Kota Bekasi berkaitan perpanjangan kontrak pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang mungkin tak akan terjadi, jika saja Pemprov DKI berhasil memanfaatkan gunungan sampah di TPA tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga, semisal kompos atau energi listrik.Pemprov DKI Jakarta memang berniat mengubah produksi sampah yang mencapai 5.000 ton per hari di Jakarta menjadi energi listrik 150 megawatt. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna. Menurutnya, sudah ada 24 perusahaan nasional yang bermitra dengan

Sampah Tak

Selalu Tersia

perusahaan asing berniat menjadi pengelola sampah itu.

Listrik yang dihasilkan dari tumpukan sampah itu, kata Eko, akan dijual ke PLN. Hasil penjualan dibagi kepada pemprov dan perusahaan pengolah. Investasi untuk mengolah listrik di lahan 108 hektar itu diperkirakan mencapai Rp500 miliar.

Eko memperkirakan pembangunan TPA di Bantar Gebang, Bekasi akan dimulai Oktober 2008, sekaligus pemancangan tiang pertamanya.

Teknologi CDMTPA Bantar Gebang yang luasnya 108 hektar itu selama ini digunakan untuk menampung sampah dari DKI

yang mencapai 6.000 ton per hari. Menurut Eko, sampai 20 tahun ke depan TPA Bantar Gebang masih bisa dimanfaatkan, maka DKI berencana mengelola TPA tersebut dengan tiga cara, yakni

komposting, mengubah menjadi energi listrik, dan membakar gas metana sampah dengan sistem sanitary landfi ll.

Bisa jadi perubahan pengelolaan sampah yang diterapkan Pemda DKI terkait dengan adanya peringatan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad, yang menegaskan, bahwa siapa pun pengelola TPA Bantar Gebang nanti, yang terpenting adalah memiliki teknologi Clean Development Mechanism (CDM). Selain itu, Mochtar Mohamad juga menambahkan, pengelolaan sampah harus berbasis industri untuk mengubahnya menjadi biji plastik dan kompos serta membangun pembangkit listrik yang dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang.

Keputusan Mochtar untuk memperpanjang kontrak TPA itu juga berarti menentang upaya DPRD Kota Bekasi yang ingin menutup TPA Bantar Gebang -- setelah kontrak berakhir pada Juli 2009 nanti. Dewan menilai Pemprov DKI tidak memenuhi kewajibannya mengelola sampah dengan teknologi ramah lingkungan.Sementara Mochtar setuju perpanjangan kontrak TPA karena

DPRD Kota Bekasi menilai Pemprov DKI tidak mengelola sampah dengan teknologi ramah lingkungan

Page 27: KPS Edisi September 08

KPS kemitraan prasarana & sarana | September 2008 27

alasan industrialisasi. Sebab, Gubernur DKI Fauzi Bowo pernah menjanjikan segera menyulap gunungan sampah seluas 108 hektar itu menjadi sumber uang bagi masyarakat Kota Bekasi.

Di antaranya, dengan mengolah sampah menjadi pembangkit tenaga listrik, yang akan dialirkan ke masyarakat di sekitar TPA secara gratis. DKI bersedia menaikkan nilai kompensasi sampah (tipping fee) menjadi Rp103 ribu dari Rp60.070 per ton sampah.

Mochtar juga melihat bahwa TPA Bantar Gebang tidak mungkin ditutup begitu saja setelah kerja sama berakhir. Sebab, membiarkan sampah open dumping justru berisiko besar menimbulkan kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, ketinggian sampah di sana telah melebihi ketentuan maksimum 12 meter dengan kemiringan 45 derajat, sehingga rawan longsor. Padahal, kemiringan ideal tidak lebih dari 30 derajat. Dengan kondisi tersebut, Pemda Kota Bekasi mensyaratkan Pemprov DKI mengelola sampah dengan sistem composting, yaitu mengepres sampah untuk dijadikan bahan bakar gas pengganti batu bara.

Best Practices Sumur Batu Jika Pemprov DKI Jakarta baru merancang pengelolaan sampah terpadu untuk TPA Bantar Gebang maka Kota Bekasi telah lebih maju dalam pengelolaan sampah terpadu. Di TPA Sumur Batu sebagai

lumbung sampah masyarakat Kota Bekasi, sudah diterapkan pengelolaan sampah sebagai sumber energi listrik.

Bagaimana caranya? Bukit-bukit sampah setinggi 13 meter di lahan sekitar 10 hektar di TPA Sumur Batu merupakan sampah organik yang mudah membusuk. Bau busuknya menyengat dan mengundang hadirnya lalat. Di dalam tumpukan sampah busuk yang baunya menyengat itu tersimpan gas metana (CH4). Diperkirakan di tengah timbunan sampah itu mengandung potensi 280.000 ton gas metan.

Sejak tahun 2007, Pemkot Bekasi bekerja sama dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia membangun fasilitas dan instalasi pengolahan gas metana, landfi ll gas fl aring (LGF), di TPA Sumur Batu.

Hasil pengolahan gas metana di TPA Sumur Batu akan dibeli pihak Netherland Clean Development Mechanism Facility, yang diwakili oleh Bank Dunia. Mereka membeli 250.000 ton CO2 hasil pembakaran gas metana di TPA Sumur Batu sampai tahun 2012.

Pemkot Bekasi berpeluang memperoleh pendapatan sekitar Rp 4,2 miliar setiap tahun, dari tumpukan sampah di TPA Sumur Batu.Separuh pendapatan itu digunakan untuk

membiayai program pemberdayaan masyarakat di sekitar TPA Sumur Batu. Sebagian lainnya digunakan Pemkot Bekasi untuk memperbaiki sarana pengangkutan dan pengumpulan sampah kota.

TPA Sumur Batu lokasinya berdekatan dengan TPA Sampah Bantar Gebang milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selama ini TPA Sumur Batu hanya menampung sampah dari Kota Bekasi.Dengan penduduk lebih dari dua juta orang, Kota Bekasi menghasilkan 1.700 ton sampah setiap hari. Walikota Bekasi Mochtar Mohamad mengatakan, apabila proyek LGF di TPA Sumur Batu dapat beroperasi tahun ini, Kota Bekasi akan mulai kekurangan sampah pada tahun 2009.

Jika sudah beroperasi normal, menurut dia, Kota Bekasi akan siap menampung sampah dari daerah tetangga. Mochtar juga menambahkan, Pemkot Bekasi kini sedang menjajaki peluang mengolah sampah kota menjadi sumber energi listrik. ”Kami memandang sampah bukan lagi sebagai masalah, melainkan sebagai sumber ekonomi baru,” ujar Mochtar. ***

Page 28: KPS Edisi September 08

Pembentukan IRSDP atau Infrastructure Reform Sector Development Project adalah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dalam sektor infrastruktur. Nuansa yang dimunculkan dalam IRSDP yaitu reformasi kebijakan dalam upaya penyediaan sarana dan prasarana dengan melibatkan pihak swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP). Langkah ini sangat strategis, mengingat pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran dalam pembiayaan infrastruktur. Untuk menutup kekurangan dana dalam penyediaan infrastruktur tersebut, pemerintah berupaya untuk menggalang dana dengan melakukan kerjasama dengan swasta, untuk membangun dan mengelola infrastruktur melalui pola Build Operate and Transfer (BOT) maupun Build Operate and Own (BOO), dan pola kerjasama lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selain itu, IRSDP juga menyiapkan dokumen proyek yang matang dan memadai, khususnya untuk proyek yang mampu memberikan pemulihan biaya (cost recovery) dan dapat dibiayai oleh bank (bankable) sehingga dapat menarik investor swasta untuk berinvestasi.

Minimnya minat investor swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur ini dapat terlihat dari Infrastructure Summit I yang digelar oleh Komite Kebijakan Percetakan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) beberapa tahun lalu. Rendahnya investor untuk menanamkan investasinya di bidang infrastruktur disebabkan kurangnya informasi mengenai proyek tersebut baik dari sisi detail teknis maupun informasi keuangan. Selain itu juga tidak adanya informasi mengenai analisa terhadap berbagai macam risiko dan dukungan pemerintah untuk menanggung risiko tersebut secara bersama-sama turut mendorong lemahnya minat investor.

Untuk mengakomodir keinginan investor agar mau menginvestasikan dananya di sektor infrastruktur, maka Pemerintah membentuk program Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) yang bertujuan untuk membantu departemen teknis dan pemerintah daerah dalam menyiapkan

Apa itu IRSDP ?

proyek-proyek infrastruktur . Bantuan teknis tersebut memanfaatkan pinjaman lunak dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan hibah dari pemerintah Belanda. Bantuan teknis ini akan dikelola oleh BAPPENAS dengan melibatkan beberapa departemen teknis terkait yaitu: Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber daya Mineral, dan juga perwakilan Pemerintah Daerah.

Struktur Pinjaman

IRSDP terdiri dari tiga komponen utama yaitu:

1. Program Loan Sumber dana : Ordinary Capital Resources

(OCR) ADB Program loan ini dimaksudkan mengisi

defi sit pembiayaan APBN, yang terdiri atas 3cluster (sub-program):- Sub-program 1 pada tahun 2006 sebesar

USD 400 juta.- Sub-program 2, tentatif dicairkan pada

tahun 2008 sebesar USD 300 juta.- Sub-program 3, tentatif dicairkan

pada tahun 2010, jumlah belum ditentukan(diperkirakan USD 300 juta)

Komponen program loan ini menggunakan

fasilitas Single Tranche, dimana masing-masing sub-program akan dinegosiasikan secara terpisah tergantung kesiapan pemerintah.

2. Project Loan dan Dutch Grant Sumber dana : Asian Development

Fund (ADF) sebesar USD 26,5 juta Dutch Grant sebesar USD 7,5 juta. 3. Grant Technical Assistance (TA No.

4872-INO Enhancing Private Sector Participation In Infrastructure Provision)

Maksud dilaksanakannya proyek IRSDP ini adalah untuk mempercepat pembangunan

infrastruktur dan meningkatkan partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dengan badan usaha swasta yang secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap penanggulangan kemiskinan berupa penciptaan lapangan kerja dan peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan infrastruktur.Sedangkan tujuannya adalah membantu departemen teknis terkait dan pemerintah daerah dalam menyiapkan proyek-proyek infrastruktur, khususnya untuk proyek yang mampu memberikan pemulihan biaya (cost recovery) dan dapat dibiayai oleh bank (bankable) untuk dibangun melalui kerjasama dengan swasta (KPS).Adapun bantuan teknis IRSDP terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu:

Project Development FacilityKomponen ini terdiri dari dua level yaitu nasional dan regional. Pada level nasional selanjutnya akan disebut sebagai Fasilitas Pengembangan Proyek Nasional/National Project Development Facility (NPDF) yang bertujuan membantu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan dan Departemen Energi dan Sumber daya Mineral, sedangkan pada level regional dinamakan Fasilitas Pengembangan Proyek Regional/Regional Project Development Facility (RPDF) bertujuan memberikan bantuan teknis kepada pemerintah daerah untuk mempersiapkan proyek KPS.

Tujuan utama dari NPDF adalah mempercepat terjadinya transaksi proyek KPS di level nasional, dan sejalan dengan diundangkannya Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka NPDF akan menyediakan pendanaan mulai dari tahap persiapan yaitu dimulai dari pra studi kelayakan, analisa resiko, bentuk kerjasama, rencana pengadaan hingga terjadinya transaksi yang meliputi prakualifi kasi, pelelangan, evaluasi proposal, negosiasi dan penandatanganan kontrak/konsesi. Pada saat proyek memasuki tahap pelaksanaan maka NPDF tidak akan menyediakan lagi pendanaannya.