Korupsi Dan Pencegahannya Dalam Perspektif Hukum Islam

45
KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (bag 1) Akar masalah Timbulnya Korupsi Dalam Perspektif Islam Fenomena dan Tindakan Korupsi sampai saat ini masih menjadi fakta yang terus bergulir bagai bom waktu. Hampir di seluruh Negara, perbincangan korupsi akan menyita waktu yang lama dengan hasil yang tak pernah tuntas, apalagi sampai diselesaikan. Tindak korupsi telah menjadi gurita yang senantiasa menggelayuti sendi- sendi kehuidupan masyarakat. Alih-alih ia telah dinilai wajar oleh sebagian rakyat Indonesia. Membicarakan korupsi memang menarik. Sejarah timbulnya korupsi di dunia pasti berbarengan dengan kekuasaan yang berada di belakangnya. Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai korupsi ada baiknya kita sinkronisasikan terlebih dahulu sebenarnya pengertian korupsi itu sejauh mana. Karena seiring bergulirnya waktu ada kecenderungan khusus yang mengindikasikan pergeseran paradigma korupsi ditinjau dari konteks pengertiannya. Pengertian Korupsi Kata ’korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti suatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ’korupsi’ dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ’a corrupt manuscript’ (naskah yang rusak)dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu ’korupsi’ juga berarti tidak bersih (impure) seperti frasa corrupt air yang berarti impure air (udara tidak bersih)[1]. Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi. Syeh Hussein Alatas menegaskan bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan’[2]. Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai “ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”[3]. Menurut Robert Klitgaard korupsi merupakan tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa[4]. Bank

Transcript of Korupsi Dan Pencegahannya Dalam Perspektif Hukum Islam

KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (bag 1)

Akar masalah Timbulnya Korupsi Dalam Perspektif Islam Fenomena dan Tindakan Korupsi sampai saat ini masih menjadi fakta yang terus bergulir bagai bom waktu. Hampir di seluruh Negara, perbincangan korupsi akan menyita waktu yang lama dengan hasil yang tak pernah tuntas, apalagi sampai diselesaikan. Tindak korupsi telah menjadi gurita yang senantiasa menggelayuti sendi-sendi kehuidupan masyarakat. Alih-alih ia telah dinilai wajar oleh sebagian rakyat Indonesia. Membicarakan korupsi memang menarik. Sejarah timbulnya korupsi di dunia pasti berbarengan dengan kekuasaan yang berada di belakangnya. Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai korupsi ada baiknya kita sinkronisasikan terlebih dahulu sebenarnya pengertian korupsi itu sejauh mana. Karena seiring bergulirnya waktu ada kecenderungan khusus yang mengindikasikan pergeseran paradigma korupsi ditinjau dari konteks pengertiannya. Pengertian Korupsi Kata ’korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti suatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ’korupsi’ dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ’a corrupt manuscript’ (naskah yang rusak)dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu ’korupsi’ juga berarti tidak bersih (impure) seperti frasa corrupt air yang berarti impure air (udara tidak bersih)[1]. Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi. Syeh Hussein Alatas menegaskan bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan’[2]. Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai “ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”[3]. Menurut Robert Klitgaard korupsi merupakan tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa[4]. Bank Dunia menganut definisi klasik yang singkat tapi luas cakupannya yang memandang korupsi sebagai the abuse of public office for private gain ’penyalahgunaan jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi[5]’. Sementara itu Badan Informasi Internasional di Lebanon menyatakan, “Korupsi adalah perlakuan individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah ditetapkan dengan menggunakan jabatan atau kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan pribadi maupun mengamankan kepentingan pribadi[6]”. Dengan demikian unsur pokok korupsi itu sesungguhnya tercermin adalam adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tindakan berjalannya sistem hukum, (3) adanya penyalahgunaan wewenang. Dari UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta dengan perubahannya ( UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi adalah melakukan secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. Apa yang tercakup ke dalam tindak pidana korupsi itu menurut UU No. 31/1999 dan perbuatannya UU No. 20/2001 adalah melakukan perbuatan seperti dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, pasal 12 B, Pasal

13, dan Pasal 14. Korupsi ditandai oleh ciri-ciri berupa (1) adanya pengkhianatan kepercayaan, (2) keserbarahasiaan, (3) mengandung penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pribadi dan mereka yang dapat mempengaruhinya[7]. Ada beberapa jenis atau macam korupsi. Menurut Alatas, jenis tersebut meliputi pertama, korupsi transaksi, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbul balik antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini biasanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau anggota masyarakat dan pemerintah. Kedua, korupsi ekstortif (memeras), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa melakukan perbuatan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya.Ketiga, korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan. Keempat, korupsi keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan. Kelima, korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhadap teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi perlakukan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku. Keenam, korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Ketujuh, korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Dapat pula ditambahkan jenis korupsi kedelapan yang akhir-akhir ini berkembang ke permukaan, yaitu suatu jenis korupsi yang disebut korupsi legal, yaitu suatu kebijakan yang secara hukum adalah sah karena sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, namun sesungguhnya pada dasarnya merupakan suatu korupsi bila dilihat dari sudut visi penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Termasuk ke dalam kategori ini adalah apa yang disebut dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh legislatif, namun bertentangan dengan visi yang benar dari kepemerintahan yang baik. Misalnya penganggaran rumah dinas pejabat yang jauh lebih besar dari anggaran pembangunan gedung sekolah dasar. Penyebab Korupsi dalam Perspektif Islam Ada sebuah kecenderungan yang sulit terbantahkan terhadap fakta-fakta yang terjadi negeri-negeri muslim. Survei yang dilakukan badan pemeringkatan korupsi di dunia menunjukkan bahwa timgkat korupsi yang terjadi di negeri-negeri muslim relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki tingkat korupsi yang tinggi di dunia. Di tahun 2009, Indonesia menduduki Negara dengan peringkat korupsi nomor dua[8] di Asia dengan urutan tingkat akuntabilitas 111. Kenyataan ini ditengarai sebagian kalangan sebagai kegagalan agama dalam membatinkan nilai-nilai moral kepada pemeluknya. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa korupsi dapat terjadi karena keadaan Negara yang tidak stabil, ekonomi yang carut marut, sistem perpolitikan yang tidak kondusif, dan adanya ketidakpuasaan terhadap pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan adanya trend hidup hedonis yang melanda setiap Negara. Jika ditilik secara pragmatis, memang pelbagai alasan di atas dapat dijadikan sebagai dasar mengapa korupsi dapat terjadi di setiap Negara. Islam merupakan agama yang syumul. Semua sektor kehidupan manusia diatur dengan rinci oleh Alquran dan sunnah. Islam dalam wilayah politik termasuk di dalamnya sebagai sektor yang diatur dalam islam. Keberpihakan islam menyikapi budaya korupsi sebenarnya sudah sangat jelas, yakni: memerangi segala bentuk korupsi. Agaknya memang hal ini seperti paradoks. Namun, di luar itu sebenarnya secara transcendent dan ke-humanis-an Islam tidak menagajarkan untuk menipu atau merugikan orang lain, dalam hal ini konteksnya adalag Negara. Memang benar adanya bahwa saat ini

sebahagian Negara-negara muslim di seluruh dunia, tingkat korupsi mendominasi di antara Negara-negara lain di dunia ini. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bukan karena Negara muslim agamanya adalah Islam. Bukan pula dengan ideologi islam suatu Negara akan tinggi tingkat korupsinya. Logika berpikirnya bukan seperti itu. Bangunan pemikiran korupsi sebenarnya lahir bersamaan dengan kemunduran kesadaran akan ilmu di dunia Islam itu sendiri. Selama kekhalifahan khulafaurrasyidin, pada masa dimana sumber hukum utama Islam dijadikan sebagai rujukan utama, tidak ditemukan satu riwayat pun yang menyatakan secara gamblang adanya korupsi di tubuh umat Islam. Islam tumbuh bersih dengan tidak menyisakan satu perbuatan tercela termasuk korupsi. Barangkali sebuah kisah yang menarik adalah kisah seorang Umar bin Abdul Aziz[9] yang tidak mau mencium minyak wangi yang bukan haknya dan mematikan lampu Negara yang tidak dipeuntukkan untuk keperkuan Negara. Dewasa ini, dengan semakin majemuknya kepentingan, ada sebuah fakta empirik bahwa saat ini sedang terjadi perang pemikiran yang memiliki dampak terhadap tatanan agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Perang pemikiran juga bisa diartikan perang budaya, perang mode, atau apapun lainnya. Yang jelas, dampak dari perang pemikiran ini adalah terjadinya eksodus ideologi dari batas territorial Negara satu terhadap batas territorial Negara lainnya. Batas (boundary) wilayah bukan lagi merupakan kedaulatan pokok bangsa, tapi dengan adanya arus informasi yang tidak dapat dibendung maka eksodus ideologi dapat menyebar kemana saja dalam hitungan menit bahkan detik. Tentunya penyebaran ini tidak serta merta langsung pada inti pokok ideologi, namun mereka menjelma se-elegan mungkin untuk dapat diterima dalam sistem/tatanan masyarakat yang berbeda. Akar timbulnya korupsi secara faktual terjadi karena pandangan yang salah terhadap visi hidupnya. Karakter seseorang atau sekelompok orang yang memiliki budaya korupsi ditentukan karena ketidakmampuannya untuk bertindak benar. Perkara ini oleh Syed Naquib Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme disebutkan sebagai “the loss of adab”. Hilangnya kemampuan seseorang dalam menentukan perkara benar atau salah adalah pandangan hidup (worldview) yang ia gunakan. Apabila pandangan hidup yang ia pakai adalah pandangan hidup yang materialistis maka semua norma-norma yang mengatur mengenai adab ia anggap sebagai angin lalu dan sebagai gantinya adalah ia gunakan sebebas-bebasnya kekuasaan yang ia punya untuk mengeruk harta kekayaan Negara atau perkara yang bukan haknya menjadi milik pribadinya. Jika sudah demikian, maka yang terjadi semua kehidipan ini akan diisi oleh kedenderungan dunia. Ada sebuah pepatah arab yang menarik: hubb al-dunya ra’su kulli khati’ah[10]. Cinta dunia adalah pangkal dari segala petaka. Kira-kira pepatah di atas jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah seperti itu. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pun sudah pula mengingatkan tentang bahaya cinta dunia. Terlalu cinta dunia menyebabkan orientasi akhirat menjadi tinggal kenangan. Dalam konteks masyarakat islam yang banyak korupsi seperti Indonesia dan mesir, ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pemahaman yang salah pemeluk agama islam terhadap agamanya. Ia anggap agama sebagai sesuatu yang sifatnya nonrasional atau bahkan lebih ekstrem lagi, menyatakan bahwa agama adalah masalah individu sedangkan dunia adalah masalah kita semua. Pelaksanaan hukum islam yang setengah-setengah juga menyebabkan korupsi tetap merajalela di negeri-negeri muslim. Tidak adanya efek hukum jera dan kesadaran akan pentingnya menjaga kesucian harta yang diporehnya menjadi kenyataan yang terbantahkan. Hukum Islam hanya tertulis dalam teks-nya saja tanpa kemudian diterapkan secara syariat di Negara. Rasulullah Bersabda: Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari suht [harta haram](HR. Ad-Darimi). Sabda Rasullah ini sebenarnya sudah mewailiki bahwa Islam adalah agama yang tegas. Namun karena tidak ada kekuatan/supporting systems pemimpin yang dapat menggerakkannya maka yang terjadi adalah banyak orang yang melanggarnya

dengan perasaan tanpa salah atau tanpa merasa berdosa. Selain itu, konteks teologis tidak dapat dijadikan sebagai kacamata simpulan yang menjustifikasi bahwa umat islam banyak korupsi karena memeluk islam. Dalam konteks apapun permisivisme tidak dapat dikaitkan dengan sebuah ajaran agama, karena pada dasarnya bukan karena ajaran yang salah tapi karena nafsu manusia yang tidak terkendali sehingga menyebabkan korupsi atau tindakan amoral lainnya terjadi. Berkaitan dengan itu, tata kelola/good government sesungguhnya sudah dicontohkan semasa rasulullah dan para sahabat. Tinggal bagaimana kita membuat momentum yang tepat untuk menghidupkan syariat dan mencerdaskan umat islam sehingga pada akhirnya nanti semuanya kembali ke syumuliyatul islam, bahwa islam mencakup pada semua sektor kehidupan, dan konsekuensinya jelas, penerapa syariah. ________________________________________ [1] Horby dalam Syamsul Anwar. Korupsi Dalam Perspektif Islam. Jurnal Hukum no 1 Vol 15 Januari 2008 hal 1 – 18 [2] Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasan Nitworno (Jakarta: LP3ES, 1987), h. viii. [3] Dikutip dalam Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia”, dalam Hamid Basyaib dkk., (ed), Mencuri uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Aksara, 2002), h. 98. [4] Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, alih bahasa Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor dan Patnership for Governance Reform in Indonesia, 2002), h. 3. [5] Dikutip dalam Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia”, dalam Hamid Basyaib dkk (ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Akasara, 2001), h. 99. [6] Dikutip dalam Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi (Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita harapan, t.t.), h. 120. [7] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. 13. [8] Fawaid, Ahmad. 2010. Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Jurnal Karsa. Vol XVII No 1 halaman 1 – 10 [9] Dikutip dari Sirah Sahabat. Umar Bin Abdul Aziz seringkali dijuluki sebagai khalifah kelima. Umar dikenal sangat zuhud sampai-sampai tampak secara jelas sebelum diangkatnya ia sebagai khalifah yang cenderung hedonis dan setelah diangkat sebagai khalifah yang sangat sederhana, bahkan cenderung miskin. [10] Fawaid, Ahmad. 2010. Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Jurnal Karsa. Vol XVII No 1 halaman 1 – 10 Sumber: http://jogjaasahan.blogspot.com/2013/02/akar-masalah-timbulnya-korupsi-dalam.html

Korupsi Dalam Perspektif Islam Firman Maulana

11/11/2010 10:01:00 PM

islam korupsi

Persoalan korupsi adalah hal mendasar yang dirasakan oleh bangsa Indonesia dari awal kemerdekaan sampai hari ini dan mungkin sampai kapan. Permasalahn korupsi di negeri ini sudah sedemikian kronisnya, sehingga belum ada obat yang mujarab untuk menyembuhkannya. Upaya pemberantasan koruspi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama ini rasaya membuat hati menjadi miris, dan terkesan lamban. Berbagai kebijakan telah dilakukan, tetapi tetap saja penyakit ini malah menjadi budaya yang menggorogoti negeri ini.

Sangat ironis memang, melihat budaya korupsi begitu besarnya menghinggapi negeri Indonesia ini. Padahal Indonesia adalah negeri dengan penganut muslim terbesar di dunia, namun sayang mental masyarakat muslimnya justru terjerumus terhadap perilaku yang justru menghancurkan reputasi pribadi dan negerinya sendiri.

Islam dan agama mana pun tak sedikit pun mengajarkan perilaku korupsi. Islam adalah bagian dari system yang rahmatan lil alamin yang teruji di setiap zaman. Namun, sayang perilaku mental buruk manusia Islam yang tidak berlandaskan asas Islam itu sendiri yang akhirnya menjerumuskan manusianya ke ambang kemerosotan moral dan kehinaan melalui tindak pidana korupsi. Kita bisa melihat bagaimana negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Iraq memiliki tingkat korupsi yang tinggi menurut Global Corruption Index dan Tranparancy Internasional Index rata-rata di atas tujuh (limit 1-10). Walaupun kita tidak bisa kemudian mengaitkan bahwa korupsi identik dengan agama tertentu, tetapi korupsi dapat teratasi melalui mental masing-masing individu sebuah masyarakat dan tatanan hukum yang jelas dan tegas, yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Dan Islam memiliki nilai-nilai itu semua, sehingga pada dasarnya ketika manusia muslim mampu mempraktekkan nilai-nilai ajaran agamanya, maka secara tidak langsung seorang muslim mampu mencegah dirinya dari kecurangan perbuatan dan perilaku korupsi yang merugikan banyak pihak. Budaya korupsi ini sudah terjadi sepanjang peradaban umat manusia. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa korupsi merupakan fenomena kebudayaan manusia yang cukup tua. Barang kali hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Paling tidak dapat diperkirakan bahwa fenomena korupsi sudah muncul dalam sejarah peradaban manusia, sejak manusia itu mengenal sistem hidup bersama yang terorganisir.

Dalam sejarah Islam, praktik korupsi juga telah ditemukan sejak periode yang relatif dini, setidaknya beberapa kitab Hadis menyebutkan antara lain; Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi dan Musntad Imam Ahmad. Sebagaimana diketahui masyarakat Islam di zaman Nabi saw.. khususnya pada periode Madinah, telah menjadi suatu masyarakat yang terorganisir secara rapi, bahkan dinyatakan bahwa Madinah sendiri merupakan sebuah Negara kota yang dilengkapi dengan sebuah konstitusi, yang belakangan dikenal dengan Konstitusi Madinah. Itu berarti di sana telah terdapat suatu struktur kekuasaan dan adanya kekayaan publik untuk mengelola dan mengenai kepentingan penyelenggaraan kekuasaan itu. Dengan demikian, dapatlah dibuat suatu hipotesis bahwa dalam masyarakat tersebut tentu ada korupsi dalam bentuk tertentu, walaupun hanya kecil.

Bilamana kita mempelajari rekaman-rekaman yang mencatat sejarah Islam awal, kita melihat bahwa isu

korupsi muncul pada periode Madinah awal. Dalam hal ini, ditemukan sebuah riwayat bahwa dalam Perang badar tahun 2 H. terjadi korupsi, yaitu raibnya sehelai beludru merah rampasan Perang yang diperoleh dari kaum Musyrikin. Tetapi ada pula riwayat yang menerangkan bahwa yang hilang itu adalah pedang. Laporan mengenai hilangnya beludru merah dalam Perang Badar ini ditemukan dalam beberapa sumber orisinil berikut: Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi. Dalam Sunnan al-Tirmidzi ditegaskan:

”Telah menyampaikan kepada kami Qutaibah: telah menyampaikan kepada kami Abdul Wahid Ibn Ziyad dari Khusaif (dilaporkan bahwa ia berkata): Miqsan telah menyampaikan kepada kami seraya berkata: Ibnu Abbas mengatakan: Ayat ini ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Badar. Beberapa orang mengatakan: Barangkali Rasulullah SAW. mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ hingga akhir ayat (HR. Tirmidzi).” maksud ayat ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ (‘Tiada seorang Nabi akan melakukan gulul [korupsi]”)

Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya ayat 161 Ali-Imran :

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Al-Imran: 161)

Penolakan tegas pada ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkhianat dan tidak mungkin Nabi SAW melakukan tindak korupsi datang langsung dari Allah. Penegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa sedangkan Rosulullah adalah seorang yang paling mulia, memiliki tabiat yang amanah, adil dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak pantas, maka tidak mungkin pribadi yang agung itu melakukan tindakan yang sangat buruk dan memalukan.

Imam Ar-Razi, setelah beliau menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Sesungguhnya tindak khianat ini haram hukumnya bagi siapa saja.” Pengkhususan penolakan terhadap pribadi Rosulullah mempunyai faedah, yaitu jika seorang yang melakukan perbuatan ini adalah orang yang mulia, maka berlaku khianat adalah sesuatu yang sangat buruk bagi dirinya.” Kemudian Allah mengancam siapa saja yang melakukan tindak kriminal ini dengan pembalasan yang setimpal: “kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal”.

Rosulullah bersabda: Rosulullah bersabda: “Hai manusia, barang siapa yang mejalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan (korupsi) yang kelak akan dibawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan Ahmad) Korupsi dalam Perang Khaibar

Khaibar, sebuah perkampungan Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah SAW. pada tahun 6 H. di sini kita menemukan bentuk korupsi yang riil, meskipun jumlahnya kecil. Ada dua kasus korupsi di Khaibar yang dilaporkan dalam beberapa kitab Hadis. Pertama, peristiwa kematian seorang laki-laki yang melakukan korupsi (gulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah tersebut, dan kedua, kasus kematian seorang budak bernama Mid’am yang juga melakukan korupsi dan kasus korupsi tali sepatu. Kasus pertama dilaporkan dalam beberapa Hadis di antaranya adalah versi Ahmad Ibn Hambal sebagai berikut:

Yahya Ibn Sa’id telah menyampaikan kepada kami dari Yahya Ibn Sa’id Ibn Hayyan, dari Muhammas Ibn Yahya, dari Abi ‘Amrah, dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi dari meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi SAW.. Lalu beliau bersabda: “Salatkanlah kawanmu itu”, maka berubahlah raut wajah orag-orang karena sabda itu.dan Nabi bersabda: “Rekanmu itu telah melakukan gulul dalam Perang”. Maka kamipun memeriksa barang-barangnya, lalu kami temukan manik-manik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Ahmad)

Hadis ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang ikut dalam penaklukan Khaibar. Tidak ada catatan tentang nama orang tersebut. Hanya saja dalam beberapa versi dari Hadis bersangkutan disebutkan bahwa ia berasal dari Bani ‘Asyja’. Dalam kasus ini korupsi diberi hukuman moral, yaitu Rasulullah saw.. tidak ikut menyalatkan jenazahnya; beliau menyuruh sahabatnya saja yang menyalatkannya.

Kasus kedua, dari korupsi di Khaibar adalah korupsi mantel dan korupsi tali sepatu. Korupsi mantel dilakukan oleh Mi’dam, seorang budak yang mengikuti perjalanan Nabi saw. ke Wadi al-Qura beberapa waktu setelah penaklukan Khaibar. Ia terkena tembakan anak panah misterius di Wadi al-Qura, ketika hendak menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah dari untanya sehingga meninggal dunia. Para sahabat yang melihat kejadian itu mengatakan ‘semoga ia masuk surga.’ Namun Nabi SAW. menyanggah dan menerangkan, bahwa ia pernah melakukan korupsi mantel pada waktu penaklukan Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu akan membakarnya di neraka kelak. Korupsi tali sepatu pada waktu penaklukan Khaibar dilakukan oleh salah seorang yang ikut dalam perjalanan ke Wadi al-Qura tersebut. Identitasnya secara lebih jelas tidak ada informasinya. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah saw. mengenai mantel yang dikorupsi oleh Mi’dam dapat menjadi penyebab ia masuk neraka, lelaki itu buru-buru memberikan tali pengikat sepatu yang dikorupsinya pada waktu penaklukan Khaibar kepada Rasulullah saw. Teks Hadis tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:

Ismail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Saur Ibn Zaid ad-Dili, dari Abi al-Ghais bekas budak Ibn Muti’, dari Abu Hurairah (bahwa) ia berkataa: Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada waktu penaklukan Khaibar, kami tidak memperoleh rampasan Perang berupa emas dan peran, yang kami peroleh adalah benda tak bergerak, pakaian dan barang-barang dan seorang lelaki dari Bani ad-Dubaib bernama Rifa’ah Ibn Zaid menghadiahi Rasulullah SAW. seorang budak bernama Mi’dam. Rasulullah SAW. berangkat menuju Wadi al-Qura, sehingga ketika ia sampai ke

Wadi al-Qura itu pada saat Mi’dam emnurunkan barang-barang bawaan Rasulullah SAW. tiba-tiba sebuah panah misterius (mengenai Mi’dam) dan menyebabkan ia meninggal. Maka orang-orang (yang melihat) mengatakan: Semoga ia masuk sorga. Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak! Demi Tuhan yang diriku berada di tangannya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu penaklukan Khaibar dari rampasan Perang yang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.” Ketika orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah itu, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu (keraguan dari rawi). Nabi SAW. lalu mengatakan: seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan). (HR. Bukhari)

Dalam Hadis ini, seperti disinggung terdahulu, terdapat korupsi yang jumlahnya kecil; mantel dan tali sepatu. Namun para ahli Hadis menegaskan bahwa Hadis ini menekankan beratnya dosa korupsi. Korupsi dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri melalui penggelapan kekayaan publik. Dalam kasus ini para koruptor menggelapkan harta rampasan Perang (ghanimah) dan tidak melaporkannya kepada Nabi Saw.

Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan hadiah di sini menurut pensyarah Hadis dan ulama fiqih adalah pemberian yang diterima seorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait jabatan. An-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) menyatakan, “dalam Hadis Nabi SAW. menjelaskan, sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan

Dari Tsa'ban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW. melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad)

Dalam khasanah hukum Islam, ada keteladanan lain yang layak dicontohkan. Di zaman Nabi, ada wanita ningrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Quraisy enggan menetapkan hukuman. Nabi mengecam keras. "Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya." Jadi berbicara tentang hujjah dalam hal ini umat Islam di Indonesia mempunyai ladasan kuat untuk tidak berbuat korupsi, apa pun bentuk dan jenisnya. Karena dalam agamanya nyata dan jelas bahwa hal itu dilarang, walaupun korupsinya sesuatu yang amat kecil. Kerena akibatnya sangat besar sekali baik di mata manusia atau pun di mata Allah swt.

Dari berbagai riwayat diatas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dalam berprilaku sebagai seorang muslim. Islam mendidik kaum muslimin dengan pendidikan yang menakjubkan, ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabawi yang mulia ini telah menunaikan tugasnya dalam mendidik kaum muslimin. Sehingga membuahkan hasil yang sangat luar biasa, membentuk masyarakat yang bersifat amanah, menghindari sesuatu yang meragukan kehalalannya, merasa benci dan jijik terhadapat

tindak korupsi dalam bentuk apapun.

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab sejarahnya, Tarikh At-Thabari, beliau menuliskan, “Ketika kaum muslimin singgah di Madain dan mengumpulkan barang-barang rampasan yang belum dibagi, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang menyerahkan haknya kepada pemilik barang. Maka, berkatalah pemilik barang itu dan orang-orang yang bersamanya, “Kami tidak pernah melihat orang seperti ini, tidak ada yang menyamainya dan menandinginya di sisi kami”. Orang-orang bertanya, “Apakah Anda mengambil sesuatu darinya?” Dia menjawab, “Ingatlah! Demi Allah, seandainya bukan karena Allah niscaya aku tidak akan membawanya kepada Anda?” Maka mereka mengerti bahwa orang ini adalah orang yang istimewa, lalu mereka bertanya, siapakah Anda? Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah aku tidak mau memberitahukan kepada kalian, nanti kalian memujiku, dan aku tidak mau memberitahukan kepada orang lain, nanti mereka menyanjungku. Akan tetapi, aku memuji Allah dan aku ridho dengan pahala-Nya.” Lalu mereka mengutus seseorang untuk membuntutinya hingga sampai kepada teman-temannya, lalu ia menanyakan kepada mereka tentang orang ini, ternyata dia adalah Amir bin Abdi Qais.” Hampir-hampir kisah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak yang telah dicontohkan oleh generasi terdahulu dianggap dongeng belaka. Pada saat zaman sekarang ini cukup sulit didapati orang-orang seperti itu. Namun, orang-orang yang memiliki kepribadian mulia itu masih ada, dan insya Allah dalam jumlah yang tidak sedikit.

Ustadz Sayyid Qutb mengatakan: “Begitulah seharusnya kehidupan nyata seorang muslim, dan alam akhirat begitu nyata dalam perasaannya, seakan-akan dia melihat wujud dirinya seperti itu di hadapan Rabbnya dan nabinya. Oleh karena itu, ia menjaga dirinya dan merasa takut kalau sampai mengalami keadaan seperti itu. Begitulah rahasia takwa dan rasa takutnya. Maka akhirat dirasakan sebagai sesuatu yang nyata yang ditempuh di dalam hidupnya, bukan sekedar ancaman yang masih jauh masa terjadinya. Dia merasa yakin, tanpa dicampuri keraguan sedikitpun, bahwa setiap orang akan mendapatkan pembalasan secara sempurna dari semua yang dilakukannya, sedang mereka tidak dianiaya sedikitpun.” Wallahu a’lam bishowab.

FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT ILMU 11 Aug

23 Votes

Pendahuluan

Sebahagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.

Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari korupsi.

Makalah singkat ini akan mengkaji kembali dari sudut pandang filsafat ilmu tentang fenomena korupsi di Indonesia. Tulisan ini mengasumsikan bahwa ada yang salah dalam memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodologi pemaknaan / pendefinisian yang tidak tepat sehingga berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia hingga sekarang ini tetap tidak memuaskan.

Ontologi Korupsi

Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.

Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.

Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata:

- “perbuatan”,

- “melawan hukum”,

- “memperkaya diri sendiri atau orang lain”,

- “merugikan keuangangan/perekonomian negara”,

- “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,

- “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.

Persoalannya adalah apakah seluruh rangkaian “gambaran” atau “bayangan” dalam rumusan tersebut sudah mewakili pemahaman kita yang benar bahwa hal itu adalah korupsi? Atau ada yang salah dari penggambaran tersebut. Karena itu perlu dikaji lebih dahulu tentang hakekat atau makna dari penggambaran tersebut secara lebih mendalam.

Korupsi adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan” tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul

rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat. Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang korupsi.

Apa yang dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”. Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.

Unsur selanjutnya adalah “melawan hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan hukum”. Apa yang dimkasud dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi.

Adanya kata-kata “merugikan perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian

pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara.

Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.

Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.

Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan penerima suap”. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “dengan melawan hukum” serta “menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya”, “untuk kepentingan dirinya atau orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman.

 

Epistemologi Korupsi

Metodelogi yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena anggapan dari pembuatn undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi. Nampaknya beberapa persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang-undang tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi. Apa yang secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan berokrasi bisa berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja birokrasi hal itu bukanlah korupsi.

Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.

Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia

obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.

Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Pandangan Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62), mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan putusan “sintetis a priori”. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori; yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan “meja itu bagus”, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pendekatan sintesis a priori dalam memahami korupsi lebih mendekati kebenaran apa sebenarnya korupsi itu.

Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.

Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka

pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat masalah “suap” dari sudut pandang filsat idealisme saja.

Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya seperti “tantiem”.

Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud perbuatan korupasi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut “korupsi” dan apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang legal realism.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.

Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Nampaknya pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan “legal realisme”. Apa yang diuraikan di atas adalah

baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi itu.

Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.

—————————

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin Lopa & Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 tahun 1971) Breikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1987.

Budi Hardiman, F., Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Donald Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Conny Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005.

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005.

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2001.

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003.

Bank Dunia (The World Bank), Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank Dunia Jakarta, 2003.

United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004).

Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

I.       PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi.

Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih

nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.

Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya.

Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi

selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti,

kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya

fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak

perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak

Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam

masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh

beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di

Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi

ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung

memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog

berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk

mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa

tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak

gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi

sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke

lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN.

Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari

pejabat kecil hingga pejabat tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang

khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.

B.   PERUMUSAN MASALAH

1.      Apakah yang dimaksud dengan korupsi.

2.      Bagaimanakah tindak pidana dalam kasus korupsi di Indonesia.

3.      Bagaimanakah kinerja KPK tehadap kasus korupsi sekarang ini.

4.      Bagaimanakah dampak korupsi terhadap Negara Indonesia dan bagaimana cara menanggulangi

terjadinya korupsi.

II.    PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN KORUPSI

Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gamblang dijelaskan dalam 13

buah pasal dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.20 tahun 2001

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi

dirumuskan kedalam 30 bentuk tindak pidana korupsi.  Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara

terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana korupsi.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakar yang memakai uang

sebagai standar kebenaran dan sebagai suatu kekuasaan mutlak. Sebagai akibat korupsi

ketimpangan antara si miskin dan sikaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan memiliki

politisi korup bisa masuk dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga

memilik status sosial yang tinggi.

Korupsi menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku yang menggunakan

jabatan dan wewenang guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum

Dijabarkan pula oleh Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor seorang melakukan tindak korupsi adalah

factor dorongan dalam diri (keinginan, hasrat, kehendak) dan faktor rangsangan dari luar

(kesempatan, dorongan teman-teman, kurang kontrol, dan lain-lain).

Secara bahasa, korupsi berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang berasal daari

perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rupere yang

berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur

atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya korupsi

lebih dikenal menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa adanya catatan

administrasi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan

publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :

  Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban

dan sebagainya.

  Warisan pemerintahan kolonial.

  sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran

bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat

pemerintah.

  B.   PENJATUHAN PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KASUS

KORUPSI DI INDONESIA

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 undang-undang nomor 20

tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak

pidana korupsi adalah sebagai berikut.

1)      Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

2)      Pidana Penjara

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara

atau perekonomian Negara (Pasal 3)

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi

atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam

perkara korupsi. (Pasal 21)

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal

28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

3)      Pidana Tambahan

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak

bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk

perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang

yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian

keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya

dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman

maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo

undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal

ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-

(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai

berikut:

a.       Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan

dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

b.      Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam

lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

c.       Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut

diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

d.      Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan

dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.

e.       Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan

menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus

atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20

tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

a.       Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

b.      Perbuatan melawan hukum;

c.       Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

d.      Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan

kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

  C.   KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

1.      koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2.      supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3.      melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4.      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5.      melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

1.      mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

2.      menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3.      meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang

terkait;

4.      melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

5.      meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Alasan utama yang paling sering disinggung dengan munculny KPK adalah karena mereka

tidak lagi dapat memercayai kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus korupsi.

Harapan satu-satunya untuk dapat melihat keadilan ditegakkan bagi masyarakat kebanyakan

hanya ada di tangan KPK. Berdirinya KPK dalam waktu cepat telah menumbuhkan kepercayaan

publik atas pemberantasan korupsi.

Sepak terjang KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan pejabat

publik dianggap masyarakat mampu menghadirkan proses hukum yang sesungguhnya. Bukan

penegakan hukum pura-pura, dagelan, apalagi proses hukum korupsi yang diselimuti oleh

praktik korupsi. Kritik terhadap KPK memang tetap ada,namun hal itu lebih sebagai upaya

publik mengawasi KPK supaya proses penegakan hukum tidak tebang pilih, diskriminatif, dan

manipulatif.

Pengambilalihan kasus oleh KPK dari aparat kejaksaan dan kepolisian belum cukup

dijadikan pelajaran yang berguna.Bahkan usaha (jika memang ada dan sungguh-sungguh) untuk

memperbaiki citra kejaksaan, misalnya, justru tercoreng oleh ulah beberapa jaksa nakal yang

tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan. Terakhir,Kepala Kejaksaan Negeri

Tilamuta yang dicopot oleh Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang

mengancam, memeras, sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.

Dalam situasi aparat penegak hukum konvensional mengalami kemandekan dalam

penanganan kasus korupsi, di sisi lain situasi politik menciptakan korupsi yang kian massif, tentu

berharap agar kepolisian atau kejaksaan segera pulih adalah mimpi.

Sebagaimana kita tahu, berbagai modus korupsi yang muncul di berbagai daerah,

kebanyakan diotaki oleh kepala daerah atau anggota legislatif,dengan cara yang kasar dan

terang-terangan.Tapi tidak ada daya yang cukup untuk menghentikannya, karena mandulnya

fungsi penegakan hukum dari kepolisian dan kejaksaan.

Sebagaimana kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism. Artinya,

KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam

penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Salah satu latar

belakang berdirinya KPK adalah karena aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam

mengemban amanat konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi.

Kehadiran KPK dimaksudkan untuk memberikan teladan, contoh, dan model penegak hukum

yang memiliki integritas,profesionalitas, dan independensi yang tinggi. Dengan hadirnya KPK

perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK akan menggantikan posisi kejaksaan dan

kepolisian. Padahal, sejatinya KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini.

KPK lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan pejabat negara

dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum

konvensional. Pendek kata, tujuan KPK dilahirkan, salah satu yang strategis, adalah

memberantas korupsi yang memiliki hambatan politik dan hukum besar. Bukan untuk menangani

semua kasus korupsi. Apabila KPK disibukkan dengan berbagai penanganan kasus korupsi, KPK

akan menjadi tidak fokus, sehingga melupakan hal-hal yang strategis.

Menghadirkan KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas.Sebuah kondisi yang sulit

dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali kian jauh.Dalam ilmu

manajemen standar, rentang kendali akan sangat memengaruhi efektivitas dari kontrol itu

sendiri. Dengan demikian, tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat

memastikan bahwa integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK perwakilan

dapat dijaga dengan baik.

  D.   DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT KORUPSI DAN  UPAYA

PENANGGULANGANNYA

Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu

1.      Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal,

terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.

2.      ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan

ketimpangan sosial budaya.

3.      pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya

kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,

ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,

tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,

pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas

adalah sebagai berikut :

1.      Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan

penanaman modal.

2.      Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.

3.      Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya

kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.

4.      Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian,

hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan

tindakan-tindakan represif.

Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan

serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan

Undang-undang Dasar 1945.

Upaya penanggulangan korupsi.

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya,

karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan

menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan

menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi

secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang

ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden

(dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai

berikut :

a.       Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran

tertentu.

b.      Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.

c.       Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan

pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi

yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran

yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.

d.      Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.

e.       Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi

memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi

sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin

untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.

Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula

dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di

lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu

halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya

tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa

meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.

Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun

bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu

ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga

harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.

Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :

1.      Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi

politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

2.      Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.

3.      Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

4.      Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.

5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah

departemen, beserta jawatan dibawahnya.

6.      Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan

sistem “ascription”.

7.      Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.

8.      Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.

9.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,

dibarengi sistem kontrol yang efisien.

10.  Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan

pengenaan pajak yang tinggi.

Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi

malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena

menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan

korupsi adalah sebagai berikut :

a.       Preventif.

1.      Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun

swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau

milik negara.

2.      mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan

kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa

dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh

wewenangnya.

3.      Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan

pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan

tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.

4.      Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan

pandangan, penilaian dan kebijakan.

5.      menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan

peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.

6.      Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness”

dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik

sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

b.      Represif.

1.      Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.

2.      Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

III. KESIMPULAN

1.      Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi

keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.

2.      Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi

kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.

3.      Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.

Pencegahan(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos

kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara miliknegara atau perusahaan

dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-

kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku

pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan,

terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of

belongingness” diantara para pejabat dan pegawai.

Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada

koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)

kekayaan pejabat dan pegawai.