Koran Cinta Jakarta April 2011

16
Berebut Napas di Jakarta Wilayah Kecamatan Tambora merupakan salah satu wilayah terpadat di Asia Tenggara. BPS melansir, pada tahun 2010 lalu masing-masing wilayah ini mempunyai kepadatan mencapai 43.789 jiwa per km2. Hitung-hitun- gan sederhananya, Anda akan bertemu orang lain setiap berjalan enam langkah. Kisah Heroik Jin Kali Pesanggrahan Hutan yang menyelamatkan air Kali Pesanggarahan tetap bening adalah buah karya dari seorang laki-laki yang men- gabadikan hidupnya untuk masyarakat Jakarta. Namanya, H. Chaeruddin, biasa dipanggil Bang Idin. BERITA JAKARTA > 4 INSPIRASI JAKARTA > 8 c ntajakarta JADI KARENA CINTA KORAN UNTUK UMUM TERBIT 16 HALAMAN DI JAKAR TA EDISI 1/APRIL 2011 S ekarang sang Ibu sudah mulai men- ua. Ibukota kewalahan menampung jumlah penduduk yang ada. “Jakarta sudah overloaded. Apapun pembangunan yang dilakukan di Jakarta sekarang akan menimbulkan masalah” tutur Yayat Supri- atna, ahli tata kota dari Universitas Trisak- ti, Jakarta. Kurangnya rasa kepemilikan (sense of belonging)sebagai rumah terhadap Jakar- ta dipastikan menjadi salah satu masalah dasar. Ibukota kerapkali hanya dipandang sebagai rumah singgah untuk mencari uang. Akibatnya, partisipasi warga dalam pembangunan dan penjagaan DKI menjadi kurang. Pemerintah DKI kerap mengeluh, kurangnya partisipasi warga ini memang menjadi momok bagi penataan Ibukota. Contohnya, Wakil Gubernur Prijanto awal bulan ini di Balaikota mengkritik masyara- kat atas mandeknya tingkat hunian di Rumah Susun. “Mereka susah diajak pin- dah meski disediakan tempat” ujarnya. Menyoal kurangnya partisipasi warga tersebut, banyak pihak menilai menyalah- kan warga bukan tindakan yang tepat. Tantowi Yahya, anggota Komisi I DPR RI menilai perlunya pencarian terhadap akar permasalahan dari kurangnya partisipasi warga tersebut. “Salah satunya, adalah rasa kepemilikan terhadap kota sebagai rumah bagi para warga kota. ” ucapnya. Rasa kepemilikian ini, menurut Tan- towi memiliki dua sisi. “Seperti susahnya memindahkan warga ke Rusun. Karena warga merasa tempat tinggalnya sekarang adalah rumah mereka, dalam skala kecil”. Lebih lanjut, Tantowi menilai, rasa me- miliki rumah ini harus dibesarkan, “Kita harus melihat Jakarta ini sebagai rumah” katanya. Pernyataan Tantowi beralasan, sebuah rumah selayaknya menjadi tempat yang paling nyaman bagi penghuninya. “Jika warga menganggap ini rumah, tentunya tidak akan buang sampah sembarangan. Tentu pula, mempunyai kerelaan yang tinggi demi pembangunan dan keindahan ibukota. Asalkan rakyat dan pemimpinnya saling percaya, sama-sama cinta akan Ja- karta” jelasnya. Ditelisik ke bawah, pendapat Tantowi tersebut terbukit. Kecintaan yang besar yang bisa membuat perubahan di Jakarta. Bang Idin, tokoh pembersih Kali Pesang- grahan, mengaku apa yang ia dia lakukan untuk Jakarta adalah bukti kecintaan- nya pada Jakarta. “Gue cinte Jakarta, Ini rumah Gue,” pungkasnya. hmp-11 JAKARTA RUMAH KITA Sebagai magnet ekonomi yang besar, wajar jika Jakarta menjadi pusat urbanisasi di negara ini. Ibarat seorang Ibu, Jakarta tidak pernah memilih- milih anak (warga) yang datang kepadanya. Sekarang, Jakarta menjadi rumah dari lebih dari sembilan juta warganya, dan juga memberi makan penduduk yang tinggal wilayah Megapolitan Jadebotabek yang jumlahnya lebih banyak lagi. C NTA JAKARTA KAMU CINTA JAKARTA? TAU APA AJA SOAL JAKARTA? TUNJUKIN DI dapatkan hadiah UANG TUNAI Rp 500.000,- kuis on radio follow @cinta_jakarta CINTAJAKARTA/ TITAH PRABOWO

description

Koran Cinta Jakarta diterbitkan oleh Gerakan Cinta Jakarta

Transcript of Koran Cinta Jakarta April 2011

Berebut Napas di JakartaWilayah Kecamatan Tambora merupakan salah satu wilayah terpadat di Asia Tenggara. BPS melansir, pada tahun 2010 lalu masing-masing wilayah ini mempunyai kepadatan mencapai 43.789 jiwa per km2. Hitung-hitun-gan sederhananya, Anda akan bertemu orang lain setiap berjalan enam langkah.

Kisah Heroik Jin Kali Pesanggrahan

Hutan yang menyelamatkan air Kali Pesanggarahan tetap bening adalah buah karya dari seorang laki-laki yang men-gabadikan hidupnya untuk masyarakat Jakarta. Namanya, H. Chaeruddin, biasa dipanggil Bang Idin.

BERITA JAKARTA > 4 INSPIRASI JAKARTA > 8

c ntajakartaJ A D I K A R E N A C I N TA

Koran UntUK UmUm

terbit 16 Halaman

Di JaKarta

eDiSi 1/aPril 2011

Sekarang sang Ibu sudah mulai men-ua. Ibukota kewalahan menampung jumlah penduduk yang ada. “Jakarta

sudah overloaded. Apapun pembangunan yang dilakukan di Jakarta sekarang akan menimbulkan masalah” tutur Yayat Supri-atna, ahli tata kota dari Universitas Trisak-ti, Jakarta.

Kurangnya rasa kepemilikan (sense of belonging)sebagai rumah terhadap Jakar-ta dipastikan menjadi salah satu masalah dasar. Ibukota kerapkali hanya dipandang sebagai rumah singgah untuk mencari uang. Akibatnya, partisipasi warga dalam pembangunan dan penjagaan DKI menjadi kurang.

Pemerintah DKI kerap mengeluh, kurangnya partisipasi warga ini memang menjadi momok bagi penataan Ibukota. Contohnya, Wakil Gubernur Prijanto awal

bulan ini di Balaikota mengkritik masyara-kat atas mandeknya tingkat hunian di Rumah Susun. “Mereka susah diajak pin-dah meski disediakan tempat” ujarnya.

Menyoal kurangnya partisipasi warga tersebut, banyak pihak menilai menyalah-kan warga bukan tindakan yang tepat. Tantowi Yahya, anggota Komisi I DPR RI menilai perlunya pencarian terhadap akar permasalahan dari kurangnya partisipasi warga tersebut. “Salah satunya, adalah rasa kepemilikan terhadap kota sebagai rumah bagi para warga kota. ” ucapnya.

Rasa kepemilikian ini, menurut Tan-towi memiliki dua sisi. “Seperti susahnya memindahkan warga ke Rusun. Karena warga merasa tempat tinggalnya sekarang adalah rumah mereka, dalam skala kecil”. Lebih lanjut, Tantowi menilai, rasa me-miliki rumah ini harus dibesarkan, “Kita

harus melihat Jakarta ini sebagai rumah” katanya.

Pernyataan Tantowi beralasan, sebuah rumah selayaknya menjadi tempat yang paling nyaman bagi penghuninya. “Jika warga menganggap ini rumah, tentunya tidak akan buang sampah sembarangan. Tentu pula, mempunyai kerelaan yang tinggi demi pembangunan dan keindahan ibukota. Asalkan rakyat dan pemimpinnya saling percaya, sama-sama cinta akan Ja-karta” jelasnya.

Ditelisik ke bawah, pendapat Tantowi tersebut terbukit. Kecintaan yang besar yang bisa membuat perubahan di Jakarta. Bang Idin, tokoh pembersih Kali Pesang-grahan, mengaku apa yang ia dia lakukan untuk Jakarta adalah bukti kecintaan-nya pada Jakarta. “Gue cinte Jakarta, Ini rumah Gue,” pungkasnya. □ hmp-11

JAKARTA RUMAH KITASebagai magnet ekonomi yang besar, wajar jika Jakarta menjadi pusat urbanisasi di negara ini. Ibarat seorang Ibu, Jakarta tidak pernah memilih-milih anak (warga) yang datang kepadanya. Sekarang, Jakarta menjadi rumah dari lebih dari sembilan juta warganya, dan juga memberi makan penduduk yang tinggal wilayah Megapolitan Jadebotabek yang jumlahnya lebih banyak lagi.

C NTAJAKARTA

KAMU CINTA JAKARTA? TAU APA AJA SOAL JAKARTA?TUNJUKIN DI

dapatkan hadiah UANG TUNAI Rp 500.000,-

k u i s

on radio

follow@cinta_jakarta

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

2APRIL 2011 -

UMLAH koin sastra yang terkumpul sebenarnya tidak banyak, hanya se-nilai Rp. 102,6 juta. Na-mun gaungnya terdengar

besar. Kritik datang dari berbagai pihak. Salah satunya seperti yang diungkap oleh pemerhati sastra Linda Djalil. Dalam kolomnya di

Kompasiana, Linda mengungkap-kan bahwa tindakan Pemprov DKI Jakarta telah membuat perih hati seniman dan meremehkan bangsa. “Uang bukan segalanya, namun bila upaya penyelamatan karya sastra Indonesia tidak memperoleh sokongan yang pantas, tentu mem-buat hati perih” tulisnya.

Kepala PDS HB Jassin, Ariany Isnamurti menuturkan dalam se-bulan dana pemeliharaan seluruh koleksi mencapai Rp. 100 juta. "Yang kami ajukan itu kemarin anggarannya satu miliar. Tapi pal-ing tidak minimal yah Rp. 50 juta per bulan. Tapi kan katanya yang akan kami dapat cuma Rp. 50 juta per tahun," ungkapnya pasrah. Faktanya memang, ditengah jalan permintaan PDS HB Jassin diciut-kan Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta dengan mengajukan Rp. 750 juta. DPRD DKI Jakarta dalam putusannya hanya menyetu-jui Rp. 50 juta.

Kepasrahan Ariany ternyata sementara, setelah meledak di media nasional, Pemprov DKI Ja-karta terpaksa memalingkan muka kembali. Pun begitu, Pemprov ti-dak mau kena batu sendiri. Kepala Biro Kesbang DKI Jakarta, Marul-lah mengatakan bahwa kesalahan ini tidak sepenuhnya salah pemer-intah. “Proposal untuk mendapat-kan dana hibah ada, tapi untuk keputusannya dibahas bersama oleh pemerintah dengan DPRD.” terangnya mengelak.

Gubernur DKI Jakarta pun ikut menampik bahwa Pemprov tidak mempedulikan PDS HB Jassin. Menurutnya, terjadi keke-liruan persepsi, setelah adanya penggabungan antara Dinas Ke-budayaan dan Dinas Pariwisata di Pemprov DKI Jakarta, sehingga dianggap setelah diperbaiki ban-tuan operasionalnya tidak diper-lukan lagi. "Setelah fisiknya diper-baiki, kemudian operasionalnya dianggap tidak dibutuhkan lagi dan itu dikecilkan. Ini yang akan kita koreksi," ungkap Gubernur beralasan.

Sebagai pusat dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia, PDS HB Jassin memiliki koleksi sekitar 50.000 dokumen sastra In-donesia modern dan naskah-nas-kah yang ditulis para pengarang sejak tahun 1900. Tidak mengher-ankan jika PDS HB Jassin menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian kebudayaan dan sastra dari dalam dan luar negeri. □ thp-23

PEMERINTAH Provinsi DKI akan segera menggusur stadion Lebak Bulus pada tahun 2011 ini. Rencananya, komplek stadion ini akan digunakan menjadi depo Mass Rapid Transit (MRT). Pemprov sendiri berjanji akan mencari-kan lahan untuk mengganti stadion yang memi-liki kapasitas 12.000 penonton ini.

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, men-egaskan pemugaran stadion dilakukan tahun ini. Pasalnya, pada triwulan pertama 2012 sudah ha-rus dimulai pembangunan fisik dengan melaku-kan ground breaking. “Yang pasti Stadion Lebak Bulus ini harus segera dipindahkan begitu depo dibangun. Sekarang kami masih mencari peng-ganti yang lebih baik dan lebih besar”, ungkap pria berkumis yang akrab dipanggil Foke ini.

Tidak hanya stadion yang akan digusur Pemprov, nasib Terminal Lebak Bulus juga akan terkena proyek pembebasan lahan untuk pembangunan MRT koridor selatan-utara ta-hap pertama. Koridor dengan rute Lebak Bulus-Bundaran HI ini membentang sepanjang 15,2 kilometer dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah).

Dana pembangunan proyek MRT ini sendiri akan menggunakan dana Japan International Cooperation Agency (JICA). JICA menyatakan memberikan pinjaman senilai 120 miliar yen untuk proyek MRT tahap pertama, hanya un-tuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Nantinya MRT diharapkan mampu mengangkut 960.000 orang per hari dengan rentang tunggu per 5 me-nit. Target waktu perjalanan dari Lebak Bulus-HI mencapai 30 menit. Pada tahun 2016, ditar-getkan, MRT rute Lebak Bulus-HI bisa mulai beroperasi. □ thp-22

MARAKNYA penggunaan air tanah oleh masyarakat di Ibukota su-dah dalam tahap memprihatinkan. Menurut Setyo Sarwanto Moersi-dik, Pakar Teknik Lingkungan dari Fakultas Teknik Universitas Indone-sia, khusus di Jakarta, hampir 90% sumur pantau terindikasi tercemar bakteri e-coli yang berasal dari tinja dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

"Terbatasnya pasokan air ber-sih membuat masyarakat meng-konsumsi air dalam kemasan yang harganya lebih mahal karena pemerintah melalui PAM belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih, khususnya air minum," ujarnya.

Namun, meski e-coli banyak ditemukan, luas penyebaran po-lutan mikrobiologis ini umumnya lebih rendah dibanding polutan kimia yang bisa meresap hingga kedalamam 95 meter dengan ra-dius 9 meter. Karena itu, Setyo melihat pencegahannya pun lebih

mudah, yaitu dengan memastikan septic tank dan sumur terisolasi dengan baik, “jika sudah teriso-lasi, maka jarak septic tank dengan sumur sudah tidak perlu menjadi masalah, terutama di wilayah padat penduduk seperti di perkotaan.” tu-turnya.

Selain itu, pemanasan air minum dinilai sudah cukup efektif untuk membunuh polutan mikrobiologis. Es batu yang digunakan di warung-warung pinggir jalan seringkali ma-sih tercemar e-coli karena berasal dari air mentah yang tidak dimasak sebelum dibekukan.

Air yang tercemar tinja manu-sia bisa memicu 2 jenis penyakit, yakni water-borne disease dan wa-ter-washed disease. Water-borne disease dipicu oleh air yang dimi-num misalnya diare, kolera dan disentri, sementara water-washed disease dipicu oleh air untuk mandi misalnya infeksi kulit. □ thp-24

90% Air Tanah Jakarta Tercemar Tinja

Buat Parkir MRT, Stadion Lebak Buluk Digusur

Kasus PDS HB Jassin Meledak, Pemprov Sibuk MengelakPELAYANAN publik yang dilakukan Pemer-

intah Provinsi DKI dalam pemerintahan Fauzi Bowo ternyata masih buruk. Hal ini terlihat dari hasil survei Komisi Pemberantasan Ko-rupsi (KPK) yang merilis hasil survei Integri-tas Sistem Pelayanan Publik 2010 baru-baru ini. Dalam survei ini, pelayanan publik di DKI mendapat nilai jauh di bawah standar yang di tetapkan oleh KPK. “Nilai indeks ini skala ter-tingginya adalah 10. Artinya, kalau mahasiswa masih perlu her atau mengulang, belum lulus,” kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Eko Sus-anto Ciptadi dalam Rapat Kerja Evaluasi Super-visi Peningkatan Pelayanan Publik di Balai Kota DKI Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Eko mengatakan, kelompok pemerintah kota terbaik dalam pelayanan pub-lik berturut-turut adalah: Surabaya dengan nilai 6,13; Samarinda 6,11; Yogyakarta 5,89; Ambon 5,60; dan Tanjung Pinang 5,59. Nilai tertinggi Pemkot di DKI Jakarta diraih Jakarta Barat dengan nilai 5,46 (peringkat ke-8), Jakarta Timur 5,44 (9), Jakarta Pusat 5,44 (10), Jakarta Utara 5,36 (12), dan terendah Jakarta Selatan 4,58 (15).

Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah Pem-prov DKI Jakarta Fadjar Panjaitan mengakui, penyelenggaraan pelayanan publik masih diha-dapkan pada sejumlah kondisi yang belum ses-uai dengan kebutuhan masyarakat.

“Kesiapan kita sebagai pelayan masyarakat belum optimal. Kondisi dan perubahan ini perlu disikapi dengan bijak. Kita harus melakukan ke-giatan yang berkesinambungan guna mewujud-kan tata kelola yang baik,” kata Fadjar.

Sementara itu, Ketua DPRD DKI Jakarta Ferrial Sofyan mengaku prihatin dengan ha-sil yang diraih Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, penilaian itu terkait dengan pelayanan publik. “Rapor merah KPK itu harus dievaluasi to-tal. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo harus melakukan perbaikan, terutama untuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang nilainya paling buruk,” ujar Ferrial. □ thp-21

KPK Beri Jakarta Nilai Merah

Anggaran hibah 2011 yang diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang hanya Rp. 50 juta berbuntut panjang. Setelah munculnya Koin Sastra yang digagas oleh para sastrawan untuk mencegah PDS ditutup, kasus hibah meledak di media nasional. Selain mempermalukan Pemerintah DKI Jakarta sendiri yang dinilai tidak peduli pada sastra dan budaya Indonesia, kasus ini juga membuka banyak ketimpangan dalam pemberian hibah di lingkungan Pemprov.

J Uang bukan segalanya, namun bila upaya penyelamatan karya sastra Indonesia tidak memperoleh sokongan yang pantas, tentu membuat hati perih.

KILAS JAKARTA

CIN

TAJA

KARTA

/ HA

FIZ PILIAN

G

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

- APRIL 2011

CINTA JAKARTAditerbitkan olehGerakan Cinta JakartaGraha Pejaten No. 8 Jalan Raya PejatenTel: 021-7974718, 021-70704018Fax: 021-7974718Email: [email protected]: www.cintajakarta.com

PENANGGUNG JAWABHasan Nasbi A.

PEMIMPIN UMUMEko Prasetyo Galan T.

PEMIMPIN REDAKSIHafizhul Mizan Piliang

REDAKTUR PELAKSANA Eko Dafid Afianto

REDAKTURFadhli Muhammad Riad, Amir Maulana Batupahat, Diponegoro Santoso

REDAKTUR FOTOTitah Hari Prabowo

REPORTERDasman A.A., Anindya Ayu Sulistyani, Felicia Idama, Yan Yan Heriana, Rian Fadlan Maulana

DESAINER DAN PERWAJAHANDiponegoro Santoso

SIRKULASI DAN DISTRIBUSIFelicia Idama

Saya Orang Jakarta!

JAKARTA memiliki semua syarat untuk menjadi sebuah kota internasional yang modern, maju, se-jahtera, dan nyaman untuk ditinggali. Jakarta adalah

etalase, atau ruang depan bangsa yang seharusnya layak dibanggakan. Jika menengok Jakarta, orang sudah bisa membayangkan seperti apa negara ini dikelola dan ditata.

Tentu kita tidak ingin membanggakan sebuah serambi republik yang penuh dengan superblok dan ruang-ruang komersil dalam kondisi oversupplied. Sebuah kota yang konon memiliki pusat perbelanjaan modern terbanyak di dunia, tetapi juga mempertontonkan kekumuhan dan ke-munduran kualitas hidup manusia di lokasi yang hanya berjarak beberapa puluh langkah dari sana. Pasti bukan pula kemacetan, banjir, polusi, dan buruknya pelayanan publik yang akan diangkat sebagai sebuah kebanggaan.

Kalau saja kita merenung sejenak, mungkin bisa meru-nut pangkal masalah dari ketidakmampuan Jakarta men-jadi kota yang nyaman. Padahal, di Jakarta berkumpul seluruh potensi terbaik bangsa ini. Sumber daya manusia terbaik, orang-orang pintar, para ahli berkumpul di sini. Di Jakarta juga berkumpul sumber daya finansial yang be-sarnya alang-kepalang. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri memiliki dana 27 triliun untuk digunakan membenahi kota. Dan jumlah itu meningkat setiap tahun-nya. Jangan pula sampai ada yang bilang Jakarta tidak me-miliki srategi dan teknologi untuk menata kota. Kita punya, tersedia, dan jumlahnya banyak.

Lalu apa yang kurang? Sekali lagi ini bukan soal ke-mampuan, tapi kemauan. Ketiadakmauan yang berbuah ketidakmampuan. Ada satu hal yang absen dari kehidupan warga maupun dalam pikiran pemerintah, yaitu rasa me-miliki, menganggap Jakarta sebagai rumah sendiri, bukan rumah singgah.

Konsepsi ini sederhana, tetapi tak mudah untuk diwu-judkan. Karena sudah telanjur berkarat dalam ketidakber-esan, warga kota dan pemerintah seolah-olah imun, kebal terhadap segala persoalan kota. Padahal, kondisi itu harus-nya membuat kita sakit secara mental maupun sosial. Na-mun efek terburuk dari imun tadi adalah ketidakpedulian.

Seandainya kereta terlambat 30 menit, basih banyak yang bersukur karena tidak harus menunggu selama 1 jam. Ketika menjalani macet yang menyia-nyiakan waktu, warga Jakarta masih bisa menerima selama tidak menghabiskan waktu seharian. Bau got pun tidak lagi membuat mual, ter-bukti ribuan orang setiap hari berjubel menyantap makan-an di pinggir selokan yang menghitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Kita imun, dan tak punya kepedulian untuk memperbaikinya

Jadi, hari ini kita harus mulai dari titik start yang benar. Sebelum merencanakan sebuah konsep pemban-gunan dengan segala kerumitan dan kecanggihannya, kita warga Jakarta perlu mengubah cara pikir. Selama para penghuni Jakarta masih menganggap Jakarta sebagai tem-pat persinggahan, rumah kontrakan, mungkin memang sulit untuk berharap perbaikan. Ketidakpedulian adalah penghambat terbesar Jakarta untuk berbenah. Namun, jika kita mulai sadar bahwa kota ini milik kita, rumah kita, ada harapan besar semua warga bersedia menata, mempercan-tik, dan membuatnya sebagai tempat tinggal yang nyaman

Dalam rangka itulah kami hadir. Gerakan Cinta Jakarta ingin memulai dengan meluruskan cara pandang. Jakarta adalah tempat bertemunya seluruh etnis dan budaya nus-antara, bahkan juga dari luar nusantara. Sejarah Jakarta dari berabad-abad lalu memang seperti itu. Namun yang belum terjadi adalah, saat di mana seluruh penghuni Ja-karta mengatakan, “Inilah rumah Gue, tempat tinggal Gue, Karena Gue orang Jakarta!”. □

HARUSKAH MORAL TERKIKIS DI IBUKOTA

WALAU sudah tinggal di Jakarta seumur hidup, saya masih her-an dengan hal-hal baru yang saya temui. Seperti minggu lalu ketika saya dan teman saya menuju Senayan dari Lebak Bulus menggunakan salah satu bus metromini.

Seperti biasa, busnya penuh dengan penumpang lain. Tidak jarang dia menghentikan bus di tempat yang banyak calon penumpang. Walau para penumpang sudah kepanasan dan terlihat letih menunggu, sang supir tetap santai mem-bawa busnya.

Tiba-tiba salah satu penum-pang di sisi belakang bus berte-riak keras. Ternyata, yang ber-teriak adalah wanita muda yang tengah hamil. Dari besar pe-rutnya, kemungkinan dia sudah memasuki bulan-bulan terakhir kehamilan. Cairan lengket yang menetes dari kedua kakinya ke lantai bus,memastikan ketuban-nya pecah tiba-tiba. Sang calon

CUEK seorang anak ter-tidur di terowon-gan stasiun kota beberapa waktu

lalu. warga ibukota sekarang ini makin bersikap individual

tanpa mempedu-likan sesamanya

SUDUT

SUARA JAKARTA

Says

C NTAJAKARTA

Anda bisa mengirimkan komentar, kritikan, saran, foto, atau artikel ke: [email protected]

Anda juga bisa menjadi bagian dari komunitas: Gerakan Cinta Jakarta di facebook

Atau follow twitter@cinta_jakarta

“Mereka susah diajak pindah, meski dise-diakan tempat,” Priyanto, Wagub DKI, menanggapi keengganan warga ting-gal di rusun.Sedia tempat, tp sedia fasilitas ga, Pak?

¤

KPK Beri Jakarta nilai merah untuk pelayanan publik.Wah berarti Pak Guber-nur ga lulus dong yah? Sayang ga ada remedial.

@rojak2k8 ga, kakek gua nyuruh gua untuk ban-gun kota ini, haha RT @cinta_jakarta: kalo lalu muncul kota lain yg lebih potensial untuk diting-gali dan m

@fauzipahrezi Follow @cinta_jakarta u/ mengenal jakarta dari sisi lain, berbagi cerita tanah betawi & seruan mencintai Jakarta menjadi kota bersahabat

@fauzipahrezi @cinta_jakarta #ceritaJKT selain jawara dia juga melindungi yg lemah, sampai saat ini, ahli waris silat beliau sdh hampir hilang :(#Sabeni

@dianpertiwiA +1 RT @cinta_jakarta: Jakarta han-ya bisa maju dan modern kalau mampu mengubah spertiga pengendaranya jadi pejalan kaki

@izakkkk RT @cinta_jakarta: gak perlulah turun ke jalan buat protes, bikin macet.. bersihin kali, tanem pohon lebih nyata hasilnya"

@fadhlimr sampah yg dibuang sembarangan akn membunuh kt perlahan2,aplg sampah yg dibuang kesungai,rindu melihat ank2 berenang d sungai @cinta_jakarta

EDITORIAL

Warga Jakarta, mari merenung sejenak. Kira-kira apa yang kurang di kota kita ini?

Ibu berteriak histeris, memo-hon pertolongan kepada siapa saja yang mendengarnya.

Saya ingat, kami baru saja melewati rumah sakit kira-kira 10 menit lalu. Tetapi saat saya mengusulkan untuk memutar balik bus untuk mengantar wanita malang itu, sang su-pir cuek saja. “Kita buru-buru semua. Nanti paling juga ada rumah sakit lagi di depan,” tu-kasnya.

Melihat si supir yang ti-dak peduli dengan situasi ini,

penumpang lain hanya terlihat prihatin namun tetap cuek, akh-irnya saya dan teman saya beri-nisiatif untuk mengantarkan si calon ibu. Kami membantunya turun dari bus, dan menemanin-ya menuju rumah sakit dengan taksi.

Kami kecewa, menyay-angkan kesadaran penduduk Jakarta untuk membantu sesa-manya masih kurang. Apakah memang begini seharusnya hidup di perkotaan? Memang, mereka semua mempunyai

kesibukan masing-masing yang harus diutamakan. Namun tidak terpercikkah sedikit jiwa sosial mereka untuk menolong yang membutuhkan, apalagi yang meregang nyawa seperti Ibu hamil ini. Apakah hanya sampai disini saja moral Jakarta, Tidak adakah yang bisa membangkit-kan kebaikan kota ini. Saya per-caya ada. Karena saya orang Jakarta dan saya tidak begitu.

Lukita, penduduk JAKARTA Tinggal di Lebak Bulus

3APRIL 2011

Ranny Rastati ChibiWah ada grup baru ya? Haloo~ mari qt cintai Jakarta slh stny dg cara tdk mbuang sampah smbarangan. Happy friday~~ selamat beraktivitas, warga Jakarta~!! Semangat selalu \(^o^)/April 1 at 7:19am

Axank TiknoJakarta sbgai kota k banggaan mari kita sama2 jaga,dr hal yg paling kecil dg buang sampah pd tmptnya dan menanam pohon untk penghijauan,tuk mengurangi pemanasan global,HIDUP KOTA JAKARTA.April 1 at 9:01am

Yudith Sari Dewiada gak acara yg diusung sm gerakan cinta jakarta?Yg bisa membuat kita warga jakarta lebih mencintai jakarta, meski dengan berbagai macam problema dan masalah yg ada. Yah seperti kata2 "macet, yah maklum lah jakarta" itu bisa dirubah jadi "inilah jakarta and gw bangga tinggal disini". kabar2in yah kl ada acara ato kegiatan kyk gitu :DApril 11 at 6:31pm

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

4APRIL 2011 -

AYA tampung dan daya dukung Jakarta terhadap kehidupan penduduknya yang semakin hari sema-kin bertambah memang

bukan isu baru. Namun banyak pi-hak menilai bahwa kondisi terkini Jakarta sudah mencapai tahap kri-tis. Salah satunya Yayat Supriatna, ahli tata kota dari Universitas Tri-sakti. Yayat menilai Jakarta sudah melewati titik nadir kesanggupan-nya dalam menampung kebutuhan warga. “Jakarta sudah overload, aki-batnya semua yang dibangun di Ja-karta akan menimbulkan masalah” jelasnya.

Dinas Kependudukan DKI men-catat, pada Februari 2011, rata-rata kepadatan penduduk per-km2 di Jakarta adalah 12.995 jiwa. Dan kepadatan memiliki pola terpusat pada daerah tertentu. Contoh saja, Kelurahan Johar Baru di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, memiliki kepadatan sebesar 48.952 jiwa/km2. Jumlah yang menobatkan wilayah ini sebagai wilayah berkepadatan tertinggi se-Asia Tenggara. Tentu tidak mungkin mengharapkan ke-

nyamanan tempat tinggal, jika satu orang hanya memiliki ruang gerak 4x3 meter, itu bahkan belum dipo-tong ruang publik (baca hal 5: “Bere-but Napas di Jakarta”).

Namun mempersalahkan kepa-datan, akibat kedatangan penduduk yang tak henti ke Jakarta juga bukan merupakan cara berpikir yang bijak. Yayat menilai, sebagai ibukota, Ja-karta wajar menjadi magnet urban-isasi yang besar. Sebaliknya, kegaga-lan Jakarta bertransformasi menjadi kota yang modern dengan tata kota yang mumpuni adalah kunci perma-salahan yang sebenarnya.

Menurutnya, kegagalan Jakarta dalam mengelola tata ruang inilah yang kemudian memberi efek nega-tif ke berbagai bidang, termasuk masalah banjir dan kemacetan. Tata

ruang yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebabkan semikin banyaknya perpindahan yang harus dilakukan oleh warga ibukota dalam memenuhi kebutuhannya. “Jakarta tidak pernah menjadi kota yang ter-encana selama tumbuh berkembang. Tidak pernah punya fasilitas yang baku dan menjadi rujukan” jelas Yayat. Dan kita send-

iri sebagai warga belum biasa kerja dengan kebijakan yang terencana” tuturnya melanjutkan.

Kenyamanan Tidak MustahilNamun, mengharapkan kenya-

manan dengan jumlah penduduk sepadat ini, sementara jumlah lahan terbatas, bukanlah hal yang musta-hil. Tantowi Yahya, anggota Komisi I DPR-RI secara tegas mengung-kapkan bahwa kenyamanan warga dengan kotanya sendiri adalah keha-rusan. “Merasa nyaman adalah hak warga kota. Karena Jakarta adalah rumah kita, dan semestinya kita merasa nyaman dengan rumah kita sendiri” ucapnya.

Menurut Tantowi, parameter kebahagiaan warga Jakarta lebih rendah dari warga di kota lain-lain di dunia. “Di luar negeri, keterlam-batan kereta 1-2 menit membuat penumpang menjadi resah. Sedan-gkan kita di Jakarta, setengah jam sudah menjadi barang biasa. Kita bahagia-bahagia saja” tukasnya setengah bercanda.

Solusinya, masih menurut Tan-towi, yang diperlukan adalah pe-nataan ibukota ke arah kota yang modern, dengan pengaturan dan sanksi yang jelas. “Jadi, jika me-mang ada ketegasan untuk mem-perbaiki pelayanan publik. Karena hanya pelayanan yang baik yang bisa membuat warga merasa nyaman.” lanjutnya.

Setali tiga uang dengan Tantowi, Yayat menuturkan bahwa regulasi yang jelas sebagai wujud budaya ur-ban adalah hal yang mesti dipunyai kota yang ingin menjadi kota mod-ern. Ia mencontohkan Singapura se-bagai kota dengan pengaturan yang jelas, sehingga masyarakat pun ber-partisipasi. “Jakarta tidak punya bu-daya urban, sehingga apapun yang dilakukan itu boleh.” tukasnya.

Menurut Tantowi, partisipasi warga hanya bisa didapatkan jika warga dan pemimpin punya kecin-taan dan rasa kepemilikian (sense of belonging) pada Jakarta. “Dan ini bukan tidak mungkin, kita pernah melakukannya. Pada masa Bang Ali (Ali Sadikin,-red), warga merelakan

tanah untuk pelebaran jalan, dan itu bisa dinikmati sampai seka-

rang” pungkas Tantowi. Jadi masihkah ada hara-

pan untuk kenyamanan di Jakarta? □ hmp-41

D

Jakarta dalam keadaan yang mengkhawatirkan, mungkin bila Jakarta bisa bicara, dia akan mengeluh karena terlalu banyaknya beban yang dihadapi, mulai dari masalah lalu lintas, masalah sosial, lingkungan dan seabrek permasalahan lainnya.

berikut fakta-fakta menarik tentang mengenai Jakarta :

1 Ruas Jalan baru maksimal bertambah 1% per tahun,

bandingkan dengan pertamba-han jumlah kendaraan bermotor yang mencapai 9,8% per tahun.

2 Jumlah kendaraan bermotor sekitar 4,9 juta kendaraan

dan 98% adalah kendaraan pribadi.

3 Dalam kurun waktu 1985-2005 Ruang terbuka hijau

ditargetkan 30% namun, di ta-hun 2010 mengalami penurunan menjadi 13 %

4Setiap tahunnya ketinggian permukaan amblas 0,8 cm

pertahun untuk ketinggian tanah 0-10 m.

5 Penyebab turunnya permu-kaan tanah adalah pemban-

gunan gedung bertingkat (87%) dan eksploitasi lahan yang tidak terkendali (13%).

6 Konsumsi air tanah men-capai 53% sedangkan dari

PDAM hanya 47%.

7 Hanya 73 hari pada tahun 2007 yang mempunyai

kualitas udara baik, mengalami kenaikan jika dibanding tahun 2006 yang hanya 45 hari. Dan dalam kurun waktu lima tahun-belumnya rata rata tidak lebih dari 30 hari.

8 Penyebab utama pencerma-ran air tanah adalah limbah

domestik dari septic tank (55%). □ das-32

Jakarta Timur Terpadat

Berita Jakarta

Jakarta Nyaman Bukan ImpianHidup di Jakarta sangatlah tidak nyaman. Kurang lebih begitulah hasil penelitian dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia. Dengan Indeks Persepsi Kenyamanan Penduduk hanya sebesar 51,90, IAP menempatkan Jakarta di posisi dua terbuncit dari 12 Kota Besar di Indonesia yang diteliti. Namun pada kenyataannya, kendati tidak nyaman, hampir 10 juta jiwa masih memilih tinggal di Ibukota. Bahkan beberapa bagian wilayahnya, menjadi daerah terpadat di Asia Tenggara.

SEORANG WARGA menggandeng anaknya pada acara Jakarnaval tahun lalu. bagi seba-gian warga jakarta, menikmati karnaval merupakan salah satu cara melepas kepenatan ditengah berbagai masalah yang mendera Jakarta.

4 - APRIL 2011

FAKTA JAKARTA

Ibukota tidak kejam, hanya tak sanggup menampung sebanyak itu

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

Uniknya, berbagai masalah terse-but tidak menyurutkan pendatang untuk terus bermukim di daerah yang sudah melampaui ambang batas kepa-datan penduduk. “Andaikan dibangun rumah (kamar–red) satu lantai lagi ke atas. Hari selesai dibangun pasti sudah ada yang mau menempati” ujar Idrus. “Karena daerah ini memang sudah menjadi daerah pemukiman dari za-man pelabuhan Sunda Kelapa. Takdir tanah ini adalah pemukiman” ceritan-ya melanjutkan.

Kegagalan Pemda? Kebijakan pemerintah DKI pun

terasa tidak mampu menembus pemu-kiman yang sangat padat ini. “Dari za-man Bang Ali (Ali Sadikin,-red) kesini, sama saja, tidak ada yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan warga” jelasnya. “Karena berdekatan, kami jadi saling mengenal dan menjaga se-hingga kami mencintai kampung send-iri. Jakarta kami, ya ini. Mungkin tidak nyaman, namun kami sudah sangat terbiasa dengan ini” lanjutnya.

Berbagai kebijakan relokasi sep-erti pengadaan Rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik) dan Rusu-nawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) sebenarnya telah coba digalakkan oleh Pemda DKI. Namun Faktor kecintaan pada wilayah sendiri—meski dianggap tidak layak huni—membuat program-program tersebut kurang direspon.

Menurut Tantowi Yahya, pendiri Gerakan Cinta Jakarta, adalah wajar jika relokasi membuat masyarakat merasa terusir dari rumahnya sendiri. “Sebagian mereka telah lahir dan besar disitu, tanah di sana pun kepemilikan pribadi” tukasnya. Lebih lanjut Tan-

towi menilai, pemerintah DKI saat ini belum sanggup memancing partisipasi aktif warga untuk secara sadar mengi-kuti program-program pemerintah.

“Terjadi perbedaan pola pikir an-

tara warga dan pemerintah. Memang harus tegas, tapi tidak bisa dipaksa. Jika dipaksa, kita bisa belajar dari peristiwa penggusuran makam Mbah Priok. Pasti ada jalan, jika masyarakat dan pemimpin sama-sama mencintai Jakarta” tutur Tantowi.

Dengan kondisi Tambora seperti ini, tidak terbayang keadaan Tambora 20 tahun dari sekarang. Ketika ditan-yakan kepada Idrus, pria lewat separuh baya ini tercenung. “Entah apa yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Tapi kami percaya dengan Jakarta. Ja-karta adalah Ibukota, Ibu akan selalu menjaga anak-anaknya.” □ hmp-51

JAKARTA, sebuah kota dengan segala kompleksitasnya. Denyut aktivitas warganya tidak pernah mengenal waktu, terus berputar seiring jarum de-tik yang terus berputar tanpa pernah lelah. Keberadaan warganya telah menarik roda-roda perekonomian kota ini, menjadikan kota yang hampir berumur 5 abad ini menjadi sentra perekonomian yang tidak pernah tidur.

Menurut sensus yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, hingga akh-ir 2010 warga kota Jakarta hampir menyentuh angka sepuluh juta jiwa. Bandingkan dengan tahun 1970, jumlah penduduk Jakarta meningkat 52%. Dengan 70% penduduknya adalah warga pendatang.

Sementara itu, kepadatan penduduk turut meningkat. Catatan statistik menunjukkan, kepadatan ”penduduk” Jakarta tahun 1995 pada kisaran di atas 12.000 orang/km2, sedangkan kepadatan penduduk di tahun 2002 diperkirakan melebihi 15.000 orang/km2 dengan pola perkembangan in-tegrasi kota utama dengan pusat-pusat baru di sekitarnya.

Perkembangan yang sedemikian pesat tentunya diiringi oleh perkem-bangan implikasi sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakatnya, terma-suk di dalam implikasi sosial adalah perkembangan kejahatan di dalam-nya. Sebuah efek sosial yang selalu beriringan dengan majunya Jakarta sebagai sebuah kota besar.

Ancaman kejahatan terhadap warganya pun tidak main-main dalam data yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS), risiko penduduk Jakarta terkena tindak pidana per 100.000 penduduk menyentuh angka 228 orang pada tahun 2003 dan melonjak 65,71% menjadi 347 orang.

Masih dari angka BPS dari tahun 2003 sampai tahun 2005 jumlah ke-jahatan di Jakarta tiap tahunnya mengalami kenaikan, dari 37.895 kasus melonjak menjadi 57.762 kasus, lonjakan tersebut sekaligus menempat-kan ibukota negara ini di tempat teratas dalam jumlah kejahatan. Lebih ironis lagi rentang waktu kejahatan yang terjadi di Jakarta mencapai satu kasus tiap sembilan menitnya. □ thp-52

Penduduk Meningkat, Kejahatan Merangsek?

ILAHKAN duduk Pak, beginilah rumah kami.” Sambut Toto, 54 tahun, warga Kelurahan Krenda-ng, Kecamatan Tambora,

sambil mengelap keringatnya sembari tersenyum. Ruang yang disebutnya rumah ini sempit dan panas, hanya berukuran 4x3 meter. Di dalamnya, sebuah televisi, lemari dan mesin jahit bekas menghabiskan lebih separuh ru-angan. Ditambah satu meja, dua kursi tempat kami duduk dan sedikit ruang untuk sholat dan tidur, rumah tersebut penuh sudah. Di sinilah Toto hidup berdua dengan istrinya, dengan biaya sewa 600 ribu rupiah per bulannya.

Namun, bukan hanya Toto yang menganggap ruang sempit seperti itu sebagai rumah. Sebagian besar warga Tambora hidup seperti dir-inya. Bahkan, Toto cenderung merasa lebih beruntung, “Saya ini lebih baik, di rumah lain, ada yang ukurannya 3x10 meter tapi diisi lima KK (Kepala Keluarga,-red).” Tukasnya sambil ter-tawa.

Ketimpangan antara luas lahan dan jumlah penduduk memang men-capai puncaknya di beberapa wilayah di DKI. Di Jakarta Utara terdapat Ke-camatan Cilincing, Tebet di Jakarta Selatan, Johar Baru di Jakarta Pusat dan Matraman di Jakarta Timur. BPS melansir, pada tahun 2010 lalu mas-

ing-masing wilayah ini mempunyai ke-padatan mencapai 40-60 ribu jiwa per km2. Hitung-hitungan sederhananya, setelah dipotong fasilitas umum seperti jalan dan selokan misalnya, tiap-tiap penduduk hanya mempunyai ruang gerak 3x4 meter atau nyaris seukuran penjara.

Kepadatan yang berlebihan men-gundang banyak masalah yang kom-pleks. Mulai dari masalah sosial sampai pada masalah kesehatan. Untuk kes-ehatan sepeti sarana sanitasi misalnya, tidak memungkinkan bagi warga un-tuk memiliki MCK-nya sendiri. MCK, khususnya untuk mandi dan buang air besar, yang dimiliki pribadi atau kepunyaan RT biasanya dikomersial-kan. “MCK digunakan oleh masyarakat umum, setiap pakai membayar seribu rupiah” tutur Ali, salah satu Ketua RT.

Kerapatan bangunan juga men-imbulkan kerawanan akan kebakaran. Di Krendang saja misalnya, tahun lalu terjadi kebakaran yang meludeskan ratusan rumah warga yang sebagian besar hanya terbuat dari seng dan tri-plek. “Tapi kebakaran ada hikmahnya, masyarakat jadi sadar kalau memban-gun rumah tidak bisa hanya dibatasi triplek. Jarak antar atap juga diberi ruang, sehingga sekarang sinar ma-tahari lebih masuk” tutur Idrus, tokoh masyarakat yang juga penduduk asli Tambora.

Berebut Napas Di Jakarta

“S

Andaikan dibangun rumah (kamar--red)

satu lantai lagi ke atas, hari selesai dibangun pasti sudah ada yang

mau menempati

Wilayah Kecamatan Tambora merupakan salah satu wilayah terpadat di Asia Tenggara. BPS melansir, pada tahun 2010 lalu masing-masing wilayah ini mempunyai kepadatan mencapai 43.789 jiwa per km2. Hitung-hitungan sederhananya, Anda akan bertemu orang lain setiap berjalan enam langkah.

PADAT. Para pengguna kereta memadati salah satu kereta di Stasiun Senen Jakarta beberapa waktu yang lalu. Tingginya angka pen-datang di Jakarta dituding sebagai salah satu penyebab kepadatan Jakarta saat ini.

SEMPIT. Ibu-ibu sedang berkumpul di gang sempit kawasan Tambora, Jakarta Barat, bebera-pa waktu lalu. Kelurahan Tambora merupakan salah satu kawasan terpadat di Asia Tenggara.

Berita Jakarta5 - APRIL 2011

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

6APRIL 2011 -

“EMPAT tahun yang lalu daerah ini kumuh, jalanannya becek dan banyak sampah di got” tutur Soekono, Ketua RW 02 pada Cinta Jakarta di beranda rumahnya. Berawal dari niat un-tuk menjadikan lingkungan yang lebih baik, empat tahun yang lalu, pria berumur 78 tahun ini mengumpulkan para Ketua RT di lingkungannya. Bermodalkan ke-sadaran bersama dan komitmen kecintaan pada lingkungan, hasil-nya bisa terasa dan terlihat dalam waktu yang tidak terlalu lama. Wilayah yang berada dibelakang Universitas Nasional (UNAS) itu kini hijau dan asri. “Kini lingkun-gan di sini lebih nyaman untuk ditinggali” tuturnya.

Tidak hanya berhenti di penghijauan lingkungan, warga juga secara aktif mau mengelola sampah bersama sehingga tidak menjadi masalah di pemukiman. “Sampah bukan masalah, tetapi malah jadi berkah” ungkap Edi, salah seorang warga. Sampah organik di pemukiman ini telah dijadikan pupuk organik untuk penghijauan di kanan-kiri jalan. Sedangkan sampah non organik dijual kepada pengumpul yang telah menjadi langganan warga sekitar.”Tiap warga membawa sampahnya ke bank sampah ini untuk ditimbang. Jumlah pen-jualan dicatat setelah dijual, mer-eka bisa mengambil uangnya” jelas Edi.

Tak pelak, kesadaran dan komitmen hijau warga dilingkun-gan ini sering diganjar dengan penghargaan di berbagai lomba lingkungan yang sering diada-kan, baik tingkat Kota maupun Provinsi. Seluruh hadiah yang dimenangkan tersebut dikemba-likan kepada warga sebagai ben-tuk apresiasi kepedulian mereka.

Ada Damai dan Teduh di Jakarta

RUMAH SUSUN

Solusi Tepat Yang TertatihSeperti di kota-kota besar di negara lain, pro-gram pembangunan rumah secara vertikal (keatas) merupakan solusi yang bisa menjem-batani ketimpangan antara lahan dan jumlah penduduk yang melahirkan berbagai per-masalahan lanjutan, seperti macet dan tata perkotaan. Namun di Jakarta, alih-alih selesai, program pembangunan vertikal berupa Rusun (Rumah Susun) malah melahirkan banyak ken-dala dalam perjalanannya. Padahal dana yang telah dihabiskan mencapai ratusan miliar.

SEIRING RUU Rusun yang tersendat di DPR, ri-buan rusun yang telah ada tidak terisi dan tidak

terawat, atau tidak tepat guna. Di Rusun Kebon Kacang misalnya, pantauan Cinta Jakarta men-emukan bahwa kebanyakan penghuni di gedung empat lantai tersebut adalah golongan menengah. Sementara itu, sebanyak 11 menara Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) yang dibangun masih tak berpenghuni hingga Februari 2011. Itu yang ter-jadi di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara dan Pinus Elok, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Masalahnya ber-macam-macam, mulai fasilitas sampai harga yang kemahalan.

Hal ini diakui oleh pemerintah. Bicara di Balaiko-ta awal bulan ini, Wakil Gubernur DKI Prijanto mem-benarkan banyak diantara Rumah Susun tersebut masih belum mendapat fasilitas air dan listirk, dan cenderung tidak strategis karena terletak di ping-gir kota. Namun, Wagub juga menuding masalah sebenarnya ialah keengganan masyarakat pindah ke Rusun, “Mereka susah diajak pindah, meski dise-diakan tempat” cetus Prijanto di Balaikota awal bu-lan ini.

Pendapat Wagub ada benarnya, beberapa ma-syarakat yang ditemui Cinta Jakarta di pemukiman padat memang enggan untuk pindah. Toto misal-nya, seorang pedagang mesin jahit bekas di Tam-bora, mengaku tidak mau pindah ke Rusun meski rumahnya sudah begitu sempit. “Disini rumah saya juga tempat saya berusaha” jelasnya. Dalam ke-adaan yang lebih buruk, Tito (bukan nama sebena-rnya), seorang pemulung di Pademangan, men-gaku belum bisa pindah karena hasil pulungannya tentu tidak bisa dibawa ke Rusun.

Cosmas Batubara, Mantan Menteri Perumahan Rakyat, mendesak Pemprov untuk segera menyele-saikan permasalahan tersebut. “Jadi ada komitmen moral para birokrat dengan pola melayani . Pro-gram harus berjalan baik karena kita (pemerintah,-red) ada di sini untuk masyarakat.” tukasnya. “Jika semua pihak jujur, rakyat pasti mau.” tegasnya.

Jadi, selama ini ada pihak yang belum jujur, bu-kan begitu Pak Cosmas? □ hmp/asn-62

Kontras dengan daerah sekitarnya yang gersang, jalanan selebar 1,5 meter Gang Mesjid Al-Falah RT 08/RW 02 Kelurahan Pasar Minggu dipenuhi dengan rimbun-nya tumbuhan, mulai dari tanaman hias hingga tanaman buah. Tidak tercium bau menyengat dari selokan yang biasanya menjadi ciri khas pemukiman padat pen-duduk. Pohon-pohon anggur yang melintang di atas jalan menjadikannya kanopi alami. Kepemimpinan kuat yang bisa merangkul kesadaran warga menjadi kuncinya.

Berita Jakarta6 - APRIL 2011

Namun bagi masyarakat Jalan Masjid Al-Falah sendiri, rasa puas membangun kam-pung sendiri lebih penting dari-pada prestasi-prestasi dari lomba tersebut. “Kita telah melaku-kan tindakan nyata, mengelola sampah sendiri, menghijaukan kampung sendiri. Meski tidak menggunakan teknologi” tuntas Soerono.

Setali tiga uang dengan warga jalan masjid Al-Falah, warga RW 08 Banjarsari Jakarta Selatan memiliki kesadaran lingkungan serupa. Ini terlihat dari adanya pohon di hampir seluruh depan rumah warga. Memasuki kam-pung ini efeknya langsung terasa, suasana rindang dan teduh me-nyapa ketika kita memasuki kam-pung ini.

Meskipun disebut kampung, namun perkampungan yang di-huni oleh 938 warga itu jauh dari kesan kumuh. Tidak seperti kawasan urban-kampung lain di Jakarta. Tidak ada parit mengan-ga yang menebarkan bau busuk. Juga tidak tampak sampah berte-baran di mana-mana. Semua parit sudah ditutup dengan beton

oleh warga.Di atas parit-parit yang ter-

tutup itu, ribuan tanaman pot di-tata sehingga membentuk rerim-bunan tanaman. Di depan pagar setiap rumah warga pasti ada tanamannya. Meskipun cuma sekadar tanaman lidah buaya atau tanaman lain di sebuah pot kecil, yang pasti ada tanamannya. Sebuah konsensus yang wajib di-taati warga.

Menurut Ketua Tim Peng-gerak PKK Banjarsari, Ny. Harini Bambang, mengarahkan parti-sipasi aktif warga dalam penghi-jauan dan penanaman tanaman pengusir nyamuk di Banjarsari tidaklah mudah. Upaya itu ia rintis sejak 1992, tatkala usianya menginjak 61 tahun. “Waktu itu penuh pengorbanan karena yang diajak belum tentu mau. Kami berupaya setahap demi setahap melalui pendekatan hati nurani dan penyuluhan terus-menerus” tuturnya.

Alhasil, pada 1997, RW 08 Banjarsari mendapatkan juara pertama Kategori Taman Ling-kungan RW dalam rangka HUT ke-470 Kota Jakarta dan HUT

ke-52 Proklamasi Kemerdekaan RI Tingkat Kota Jakarta Selatan. Tiga tahun kemudian RW 08 di-tunjuk Unesco (badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan) se-bagai proyek percontohan ling-kungan sehat. Lalu tahun 2003, meraih prestasi RW terbaik se DKI Jakarta. Sejak 2002, Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat menetapkan Banjarsari sebagai objek wisata di Jakarta Selatan.

Sayangnya, banyak hal baik yang bisa jadi inspirasi, namun tidak menular ke wilayah lain. Partisipasi warga menjadikan tempat tinggal mereka nyaman untuk ditinggali tidak diikuti oleh warga di kawasan seki-tarnya. Pemukiman hijau ini memang sangat nyaman, namun hanya berupa sejengkal tanah di Jakarta. Begitu keluar dari lo-rong atau gerbang pemukiman hijau, siapapun pasti tersadar dengan kontrasnya suasana. Suasana panas dan kumuh akan terasa begitu keluar dari lorong hijau, dan bergumam dalam hati, “Nah ini baru Jakarta yang sebenarnya”. □ thp-61

SEORANG PENGENDARA sepeda melintas di RW 02 Kelurahan Pasar Minggu. Kawasan ini merupakan salah satu lingkungan yang menjadi kampung hijau dan meraih predikat sebagai RW teladan

KOSONG. Rusun di kawasan Marunda yang kosong menjadi tempat mencari rumput bagi kambing-kambing. Lokasi yang jauh dan minimnya fasilitas membuat 11 tower yang berada di komplek ini sebagian besar tidak berpenghuni.

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

7 - APRIL 2011

MASALAH permukiman kumuh di Jakarta tetap setia menjadi wajah kota dan tidak kun-

jung ditangani secara tuntas. Pada kenyataannya masalah permukiman kumuh terkait pula dengan berbagai isu lainnya seperti masalah kurangnya lapangan kerja dan tumbuhnya lapangan kerja in-formal, masalah kemiskinan kota, masalah sistem transportasi kota yang memberatkan warga kota dari kalangan bawah. Pada gilirannya, kini masalah permukiman kumuh berhadapan dengan masalah pembukaan ruang terbuka hijau atau RTH di Ja-karta.

Pemprov DKI Jakarta berupaya menambah luas RTH dengan menertibkan permukiman in-formal tersebut. Hal ini bisa dipahami, karena dari sekitar 8.000 hektar luas wilayah kumuh di Jakar-ta, sekitar 40 % nya adalah permukiman informal / ilegal atau biasa disebut squatter settlements atau informal settlements. Perolehan tambahan luas RTH dari penertiban permukiman kumuh cukup signifikan mengingat Pemprov DKI meskipun men-gatakan telah berupaya namun penambahannya sangat lambat dan kini baru mencapai sekitar 10 % dari ketentuan RTH 30% di dalam UU Penataan Ruang.

Namun, bagaimana upaya yang dilakukan Pemprov DKI? Apakah penertiban merupakan strategi yang efektif? Ataukah uang kerohiman merupakan solusi yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah? Pada kenyataannya tidak demikian. Penertiban yang dilakukan hanya beru-jung pada tindak kekerasan yang pada dasarnya bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Demikian juga dengan uang kerohiman, hanya memindahkan masalah kekumuhan ke tempat lain. Pada intinya, semua langkah-langkah ini tidak akan menyele-saikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru.

Target penambahan RTH tidak bisa dicapai dengan langkah-langkah yang menyederhanakan masalah permukiman kumuh. Jika kita perhatikan, permukiman kumuh itu telah berkembang dalam waktu yang lama sekali hingga puluhan tahun. Per-mukiman kumuh telah tumbuh di dalam kondisi dimana Pemprov DKI tidak kunjung mampu me-nyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi golongan bawah di satu sisi, serta adanya pem-biaran yang terus menerus terhadap pendudukan tanah-tanah negara.

Sedangkan program rusunawa meskipun konstruksinya terus dibangun hingga ribuan unit, tidak juga mencapai hasil yang efektif karena ban-yak kondisinya yang dibangun tidak terencana, terlantar, maupun beralih penghuni. Dari laporan observasi harian Kompas belum lama ini, ditemu-kan ribuan unit rusunawa yang terlantar di sekitar Jabodetabek. Di Jakarta dijumpai di Cengkareng dan Marunda.

Kesimpulannya, kegagalan Pemprov DKI dalam menyediakan RTH 30% ternyata berke-lindan pula dengan kegagalan dalam penyediaan hunian layak terjangkau untuk semua (shelter pro-vision for all) dan kelemahan dalam pengendalian permukiman ilegal (low squatter control). Justru dari perspektif perumahan rakyat, langkah-langkah Pemprov DKI untuk mencapai target RTH telah melanggar hak bertempat tinggal (housing right) dan semakin mencerabut jaminan bermukim bagi warga masyarakat (security of tenure). Padahal kedua hak ini dijamin di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28H dan menjadi tanggung jawab Pemprov DKI berdasarkan UU Ibukota Negara 29/2007.

Untuk itu, langkah-langkah yang salah kaprah dan tidak akan mencapai tujuan ini perlu segera dihentikan dan dievaluasi secara menyeluruh. Per-tanyaannya kemudian, evaluasi dan penyusunan langkah-langkah dan strategi seperti apa yang ha-rus dilakukan ke depan?

Menghilangkan Kendala PemahamanBanyak kendala yang dijumpai dalam penanga-

nan suatu masalah yang kompleks adalah kendala pemahaman (cognitive constraint). Untuk itu hal ini harus terlebih dahulu diatasi. Pemahaman mengenai permukiman kumuh informal di tanah

air umumnya masih kurang tepat, yaitu dipandang sebagai ketidaktertiban semata. Sebenarnya, per-mukiman kumuh informal merupakan fenomena global.

Adanya tingkat urbanisasi yang cepat menye-babkan tumbuhnya permukiman kumuh dan infor-mal, yang ditandai oleh rumah-rumah yang didiri-kan di tempat yang tidak seharusnya. Namun, kurang bijak jika sekitar 45 % penduduk kota-kota besar menghuni permukiman kumuh dan informal dipandang sebagai manusia-manusia yang tidak tertib. Apalagi fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di seluruh dunia. Bahkan kini secara global dipahami bahwa keberadaan permukiman informal justru merupakan masalah besar, sebagai bentuk pelanggaran hak-hak dasar manusia di, sehingga

harus segera diatasi secara progresif.Beberapa acuan sekaligus arah kebijakan yang

telah disepakati secara global, dan Indonesia men-jadi bagian dari negara-negara yang meratifikasin-ya, yaitu: 1) Habitat Forum tahun 1976 di Vancou-ver, Canada, dimana diluncurkan program “Cities without Slums” atau kota-kota tanpa permukiman kumuh, termasuk pula permukiman kumuh yang tergolong informal. 2) Universal declaration of human rights, dimana dinyatakan adanya hak perumahan atau “right to the housing” di dalam UN charter Article 25 (1), dan 3) Di dalam Agenda 21 chapter 7 terdapat pasal yang mendorong ter-capainya permukiman yang berkelanjutan untuk seluruh rakyat. 4) Tujuan Millenium atau Mille-nium Development Goals atau MDGs, yang dalam Tujuan 7 dan Target 11 yang harus menjamin pada 2020 dilakukan perbaikan kehidupan 100 juta pen-ghuni permukiman kumuh.

Dari arah pembangunan global tersebut, jelas sekali upaya menangani permukiman kumuh informal yang dilakukan Pemprov DKI dengan tujuan hanya untuk mendapatkan RTH adalah pendekatan yang sangat sederhana sebagai akibat adanya kendala pemahaman tersebut. Yang perlu dipahami adalah bahwa pasar perumahan formal di perkotaan tidak mampu melayani kebutuhan pe-rumahan dan permukiman yang besar dari kelom-pok berpenghasilan rendah dan miskin tersebut. Pasar yang tak mampu bisa dipandang sebagai pas-ar yang terdistorsi. Artinya, belum dikembangkan pasar perumahan yang baik secara terencana.

Jadi, tumbuhnya permukiman kumuh dan informal di Jakarta pada dasarnya adalah cermin kegagalan administrasi Pemprov DKI untuk me-menuhi kebutuhan pe-rumahan dan permu-kiman dari golongan masyarakat yang tidak mampu tersebut. Pa-dahal pada saat yang sama berbagai perang-kat dan sumberdaya seperti Rencana Tata Ruang Kota, Rencana Pembangunan Kota Jangka Menengah, Program dan Ang-garan Pembangunan Kota, Program dan Anggaran Infrastruk-tur Kota dan Permuki-man, Administrasi Pertanahan, Kebijakan dan Strategi Peruma-

han dan Permukiman, Program dan Anggaran bidang Perumahan, Perijinan Usaha Pembangunan Perumahan, dan sebagainya dikelola secara lang-sung oleh administrasi Pemprov DKI Jakarta.

Pendekatan Menuju Jakarta Bebas KumuhMeskipun tidak sedikit upaya yang dilakukan,

permukiman kumuh informal terus bertumbuh. Ini adalah realita yang tidak bisa dihindari maupun tidak bisa pula ditangani secara sederhana melalui pendekatan proyek-proyek. Mau tidak mau, harus ditangani dengan cara-cara yang seksama dan melembaga. Pola-pola yang menyederhanakan masalah seperti intimidasi dan penggusuran, pola karitatif dengan “uang kerahiman”, proyek perema-jaan yang hanya merubah potret sesaat, adalah di antara pola penanganan yang sudah terbukti tidak menyelesaikan masalah kekumuhan.

Untuk itu pertama-tama, di tengah iklim demokrasi, pemerintah jelas tidak pada tempat-nya lagi mengambil langkah-langkah represif dalam menangani permukiman kumuh informal. Pendekatan yang harus didorong adalah pendeka-tan yang partisipatif, baik dalam skala komunitas (neighborhood scale) maupun dalam skala kota (city-wide scale). Selain itu, proses pengembangan kapasitas perlu dilakukan di berbagai tingkatan pula, meliputi tingkat nasional, provinsi dan kota. Di tingkat nasional perlu pula dilakukan kerjasama antar instansi pemerintah.

Disamping itu, sistem perencanaan secara par-tisipastif perlu dilakukan secara terpadu di tingkat komunitas maupun kota. Peremajaan permukiman kumuh perlu pula dipandang sebagai bagian upaya terpadu di tingkat kota. Ada tiga pilar yang harus segera dipersiapkan, yaitu: 1. Pengendalian permukiman informal

(squatter control) adalah kapasitas penting yang harus dimiliki oleh sebuah kota. Tanpa adanya squatter control maka yang akan ter-jadi hanyalah pembiaran-pembiaran semata. Squatter control adalah upaya pertama yang akan meredam pertambahan permukiman ku-muh dan informal secara sangat efektif. Berb-agai upaya penertiban berbentuk penggusuran paksa (forced eviction) hendaknya dihentikan dan dialihkan menjadi pengendalian permuki-man informal.

2. Secara bersamaaan pula dengan squatter con-trol adalah upaya untuk meningkatkan kapa-sitas dalam merelokasi dan memukimkam kembali (resettlement) warga permukiman kumuh di lokasi baru yang lebih terencana dan memberi peluang-peluang sosial dan ekonomi baru bagi warga.

3. Pilar ketiga adalah pengembangan ka-wasan permukiman baru (new area development), sebagai tujuan lokasi pemuki-man kembali, baik di lokasi semua maupun di lokasi baru. Baik dalam skala kecil (0,5-5 Ha), skala sedang (5-50 Ha) maupun skala besar ( > 50 Ha). NAD dapat sebagai bagian tersendiri (infill) maupun sebagai bagian dari pengembangan kawasan, serta dapat berbentuk pengembangan permukiman campuran (mix-strata settlement). □

Prakondisi Jakarta Menuju Kota Bebas Kumuh

M. JEHANSYAH SIREGAR, Ph.D

Pengamat Tata Kota Tim Visi Indonesia 2033

PermukimanLegal

Tata Bangunandan Lingkungan

Formal,Lahan Formal

Tata Bangunandan Lingkungan

Informal,Lahan Informal

Tata Bangunandan Lingkungan

Informal

PERMUKIMAN INFORMAL

KawasanPemukimanTerencana

KawasanPemukimanTak Terencana

PermukimanIlegal

LahanInformal

Tumbuhnya permukiman

kumuh dan informal di

Jakarta pada dasarnya adalah

cermin kegagalan administrasi

Pemprov DKI untuk memenuhi

kebutuhan perumahan dan

permukiman dari golongan

masyarakat yang tidak mampu

KOLOM PAKAR

DO

K. PRIBAD

I

PERJALANAN laki-laki paruh baya yang akrab dipanggil Bang Idin atau

Bang Haji ini bermula saat mulai merasakan kehilangan keindahan Kali Pesanggrahan semasa ke-cil. Ia mengenang, hingga tahun 1970-an di kawasan Kali Pesang-grahan masih mudah memanc-ing ikan. Alam tampak semarak dengan kicauan aneka burung, air kali yang masih terlihat jernih dan bebas dari tumpukan sampah serta banyaknya pepohonan di sekitar kali. Begitu memasuki ta-hun 1980-an, lingkungan menjadi tandus. Selain banyak sampah, airnya juga semakin hitam dan bantaran kali mulai disulap jadi tempat tinggal maupun bangunan usaha. “Gue kecewa lingkungan jadi rusak akibat keserakahan manusia. Apa yang tersisa yang bisa diselamatkan sebagai titipan ke anak cucu kita?” ucapnya.

Kerja keras Bang Idin dimulai di tahun 1989. Selama lima hari enam malam, Jawara Betawi ini menyusuri Kali Pesanggrahan. Perjalanan yang sangat melelah-kan, dan tentunya nekat. Dan aki-bat dari kenekatannya tersebut, pria yang hanya sekolah sampai kelas dua SMP ini beberapa kali harus beradu argumen dengan orang-orang yang tertangkap tan-gan sedang membuang sampah ke kali. Mulai dari pemilik rumah di sekitar sungai sampai den-gan pejabat-pejabat yang sedang membangun rumah dan tempat-tempat usaha di bantaran kali Pe-sanggrahan.

Namun dalam hitungan tahun ketekunan Bang Idin berbuah. Kini, 17.000 pohon terbentang sepanjang 20 kilometer. Mu-lai dari pohon produktif seperti melinjo, durian, mangga, rambu-

tan hingga tanaman langka seper-ti bambu apel, rengas, mandalka, drowakan dapat ditemui disini. Tak hanya itu, berbagai tanaman apotik hidup tumbuh dengan subur di bantaran kali pesang-

grahan. Ia juga berhasil merangkul

warga untuk bersama-sama men-jaga lingkungan dengan memben-tuk Kelompok Tani Bambu Kun-ing dan mendapatkan 17 orang anggota. Kini kelompok tersebut bernama Kelompok Tani Ling-kungan Hidup Sangga Buana dengan anggota kelompok ± 80 orang. Sangga-Buana ini me-miliki filosofi tersendiri, Sangga merupakan tiang yang berfungsi untuk menyangga atau menopang serta menunjang sesuatu benda yang ada di atasnya. Sedangkan Buana merupakan bumi atau dunia yang di dalamnya terdapat udara, tumbuhan, air, manu-sia, satwa dan lain-lain yang ha-rus di jaga dan di rawat serta di lestarikan.

Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut saat ini adalah menjaga lahan hu-tan kota tersebut dari tangan-tangan nakal orang yang tidak bertanggung jawab. Sampai dengan saat ini, Jakarta masih membutuhkan orang-orang sep-erti Bang Idin yang tidak hanya bicara, tetapi berbuat terhadap Jakarta, terutama di bidang lingkungan. Sosok Bang Idin ini harus menjadi inspirasi bagi kita untuk turut menjaga keber-sihan dan melestarikan keinda-han Ibukota yang makin hari makin renta, karena seperti kata Bang Idin “ALAM INI BUKAN WARISAN NENEK MOYANG, TAPI TITIPAN ANAK CUCU KITA”. □ hmp/asn-81

KISAH HEROIK JIN KALI PESANGGRAHAN

Siapa sangka, di balik kungkungan beton Kota Jakarta terselip sebuah lingkungan hijau nan asri seluas 40 hek-tar di pinggir kali Pesanggrahan, Lebak Bulus. Kawasan

yang kini bernama Hutan Kali Pesanggrahan Jakarta Selatan bukanlah berasal dari tata ruang yang digariskan

oleh pemerintah. Hutan yang menyelamatkan air kali pesanggarahan tetap bersih ini adalah buah karya dari seorang laki-laki yang mengabadikan hidupnya untuk

masyarakat Jakarta. Namanya, H. Chaeruddin.

Prestasi yang diraih :

1 “Penyelamat Air Sektor Masyarakat” pada Hari Apresiasi Sedunia 2003

dari Departemen KIMPRASWIL.

2 Piagam penghargaan dari Dinas Olahraga dan Pemuda propinsi DKI

Jakarta sebagai “Peserta Pelatihan Kelom-pok Pemuda Produktif Daerah Khusus Ibukota Jakarta” dengan tema: ”Mening-katkan Partisipasi Aktf Pemuda Menuju Kemandirian Di Era AFTA 2003” di Cibu-bur tanggal 19 s/d 21 Juli 2002.

3 Piagam pengakuan “KELAS LANJUT” sebagai pendorong bagi kelompok

tani nelayan untuk mengembangkan lebih lanjut dan sebagai syarat untuk mengikuti penilaian kemampuan kelom-pok tani nelayan KELAS MADYA dari Ca-mat Cilandak, Kota Madya Jakarta Selatan pada tanggal 4 Juli 2002.

4 Piagam penghargaan atas jerih payahnya dalam peran serta kegiatan

gerakan peduli sampah, membantu pem-bersihan sampah pasca bencana banjir yang melanda Jakarta pada awal bulan Februari 2002 dari Ketua KWARTIR NASIONAL GERAKAN PRAMUKA pada tanggal 18 Maret 2002.

5 Penghargaan INTERNASIONAL DUBAI untuk kategori ”Best Practice”

pada Februari 2000.

6 Meraih Juara I pada Puncak Penghi-jauan dan Konservasi Alam Nasional

(PPKAN) ke-41 Tingkat Propinsi DKI Ja-karta bulan Desember tahun 2001.

7 Piagam penghargaan sebagai pering-kat I dalam rangka Lomba Penghijau-

an dan Konservasi Alam Nasional Tingkat Propinsi DKI Jakarta dari Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 23 November 2001.

8 Piagam penghargaan sebagai Ke-lompok Tani Penghijauan Terbaik

Propinsi DKI Jakarta dari Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Nasional pada bulan Oktober 2001.

9 Piagam penghargaan KALPATARU 2000 tingkat Propinsi DKI Jakarta

sebagai “Penyelamat Lingkungan” dalam rangka Peringatan Hari Lingkungan Hid-up 2000 di Propinsi DKI Jakarta dari Gu-bernur Propinsi DKI Jakarta Pada Tanggal 22 Juni 2000.

10 Piagam penghargaan atas peran sertanya dalam kegiatan loka

karya “Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Menuju Produksi Air Limbah“ yang di selenggarakan oleh BAPEDAL, BATAN dan Yayasan Kirai Indonesia pada tanggal 20 November 2000 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN, Jakarta. □

Nama: H. ChaeruddinSapaan: Bang IdinUmur: 54 tahunLahir: 13 April 1956Profesi: PetaniPendiri: Kelompok Tani

Bambu Kuning (KTL Sangga Buana)

INSPIRASI JAKARTA 8APRIL 2011 -

SUASANA KALI PESANGGRAHAN. Sebuah plang yang mengingatkan tentang pent-ingnya alam bagi anak cucu terpampang di kawasan Kali Pesanggrahan. Kawasan Kali Pesanggrahan merupakan salah satu kawasan hijau yang masih bertahan di Jakarta

CINTAJAKARTA/ TITAH PRABOWO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

“Ngapain Lu Cinte-Cinte Jakarte?!

Emang Jakarte Punya Elu?”

Bagaimana konsep Mencintai Ja-karta Menurut Abang?

Elu baru hari ini ngomongin Cin-ta Jakarta. Gue udah dari dua puluh tahunan yang lalu. Karenanya, gue sadar, lalu punya niat, gue harus se-lamatkan kampung ini musti dengan cara gue. Dan ini yang gue bilang manajemen kearifan alam. Gue gak pernah protes di jalan, ngata-ngatain orang. Gue pilih cara nyata. Ibaratnya setitik embun di padang pasir. Daripa-da banyak ngerepotin orang. Karena gue cinta Jakarta, kota leluhur gue.

Bagaimana kalau leluhur tidak dari sini, Bang?

Bukan karena leluhurnya, keb-etulan aja leluhur gue dulu dari sini. Mungkin leluhur gue (asalnya,-red) dari mana juga nggak tau. Namun bagaimana gue merasa memiliki kota ini, itulah filosofis dimana kaki berpi-jak disitu langit dijunjung. Siapapun elu, kalau emang disini, ya Jakarta kampong lu. Tanpa memandang stra-ta, suku atau agama.

Ini yang aneh dan harus dirubah. Sekarang masih ada kelas-kelas, gue orang Padang, gue orang Jawa, gue orang Banten. Pa-dahal udah tujuh turunan anak-ber-anak disini masih aja ngaku orang Padang, Jawa, Bant-en, kan aneh. Ya orang Jakarta dong, ini kan kampung kita. Lu jangan cuma nyari duit terus lu umpetin. Jakarta lu jadiin closet doang.

Cara mengubahnya, gimana tuh Bang?

Jadi kita harus mengembalikan Jakarta ke kultur aslinya. Kembali ke filosofi kata Jakarta itu, yang berasal dari kata Jayakarta, artinya, kemenan-gan yang adem (damai,-red). Kalau mau tahu ruh Jakarta, ya perdamaian. Kalo lu gaya Belanda, ya berantem terus. Gue tampang jawara tapi hati adem…hehehe.

Nah, dari itu maka filosofi gue adalah “Alam bukan warisan, tapi titipan cikal bakal anak cucu”. Filosofi ini untuk jauh kedepan, buat siapa aja yang tinggal di Jakarta punya tanggung jawab moral. Ini yang sampai sekarang gue sama komunitas Sangga Buana perjuangkan. Harusnya semua

orang Jakarta berpikir seperti itu. Biar kite sama-sama Cinta Jakarta. Gue ke-nal beberapa temen Inggris. Meskipun Inggris modern, tapi Kingdom Brit-tania-nya tetap terasa. Nah kalau lu? Mau ke Arab-laguan lu? Maka udeng-udeng (yang ada,-red) asal ngaji, malah bikin macet orang. Emang jalanan pu-nya bapak moyang lu?

Hehe, Bagaimana Karakter Ja-karta yang Abang impikan?

Ya gitu, gue memimpikan Jakarta yang beradab, yang berkarakter sesuai dengan trah asli Jakarta. Sekarang, apa gitu karakternya (Jakarta,-red)? Dulu disini juga multi etnis, namun tetap terjaga ratusan tahun. Sekarang lu mau (berhaluan,-red) kemana? Eropa, Arab? Ini terjadi, karena Jakar-tanya sudah ditinggalkan.

Jadi dari situ gue berpendapat, dari budaya gue selamatkan alam ini. Gue ambil langkah nyata, karena den-gan begitu gue punya jati diri. Kem-ana-mana gue pake pangsi (pakaian

khas Betawi,-red). Amerika kan gaya cowboy yang dima-juin. Kenapa kita gak pakai gaya jawara-jawaranya.

Spesifiknya, kara-kter Jakarta itu seperti apa?

Dari dulu orang Jakarta itu musy-awarah. Artinya, me-mentingkan orang

banyak daripada diri sendiri. Contoh 80 persen jalanan yang ada sekarang adalah hasil sumbangan warga Jakar-ta. Itu sumbangsih orang Jakarta, ker-elaan. Hingga menjadi kota bernama Jakarta. Kenapa? Karena siapapun yang dateng kemari diterima.

Bagaimanapun Jakarta berjuang melihat jati diri orangnya. Kalau lu membangun karena orientasi profit (keuntungan,-red), tuh Monas pindah tuh. Tapi kalau lu bangun dengan ke-arifan, profit pasti ngikut. Ibarat kata orang tua “Kalau nanem padi pasti tumbuh rumput juga. Kalau na-nem rumput padi gak akan ikut tumbuh”. Makanya gue masuk ke AMDAL (di sekitar pesanggrahan,-red), gue beri pengertian, gue pen-garuhin, biar bagaimanapun gue gak mencegah pembangunan. Tapi gimana cara membangunnya supaya gak men-ganggu alam.

Gimana tuh Bang caranya biar bisa ngasih pengertian?

Kawasan ini (Ruang Terbuka Hi-jau Pesanggrahan,-red) luasnya 40 hektar, harga tanah 5 juta per meter. Kenapa semua pihak menerima? (ad-anya RTH ini,-red). Ya karena ini mi-lik kita semua, orang Jakarta. Secara badan pengelolaan, tidak jauh dari “manajemen kearifan alam”. Karena yang membangun gak harus pemerin-tah tapi juga masyarakatnya.

Sebenarnya, ini kan satu bentuk protes, tapi bentuknya halus gak pake ngata-ngatain orang, gak macetin Sudirman. Gue bersihin sampah, ber-sihin kali, kalinya bening, alamnya ijo, nyontohin orang kan? Apa pernah gue menagih uang? Gak kan. Tapi kan orang merasa, ada apa sih? Siapapun juga ini kampung lu.

Kenapa gue gak digaji tapi tetep nanem pohon, karena gue cinta ama kampung gue, ama Jakarta. SK gue dari langit bukan dari SBY. Kalau SK gue dari SBY atau Foke (gubernur,-red) capek gue nungguin honor. Macem fi-losofi “Gak kering karena kemarau, gak lapuk karena hujan”. Itu musti!

Dengan hasil yang sudah dicapai sekarang ini, Bang Idin sudah merasa berhasil?

Belum, yang gue impikan adalah Jakarta yang punya peradaban, ada kepedulian sesama, punya budaya. Bu-daya berasal dari dua kata “Budi dan Daya”. Ya sekarang, yang kaya makin kaya yang miskin tetep miskin. Tapi gue harus berusaha dong, gue ber-buat aja yang punya nilai bagi orang lain. Itu yang gue ajarin di anak-anak Sangga Buana. Siapapun dia.

Tapi, Abang yakin itu semua bisa tercapai?

Bisa. Tapi itulah, jangan orientasi proyek. Kembali ke kearifan alam. Apa sih yang gak dipunya Jakarta? Selama ini gue jarang belanja di mall, gue lebih suka belanja di pasar. Karena ada interaksi disana. Jadi—kembali lagi—membangun Jakarta harus pu-nya kearifan, siapapun dia. Jakarta punya modal, kemauan aja yang gak kita punya sekarang.

Sekarang bagaimana orang yang gak bisa sekolah, dan gak punya kerjaan? 27 trilyun APBD untuk mengangkat warga dari kemiskinan sebenernya bisa, cuma gak ada kemauan. Bangga cuma karena gebyarnya. Gue ingin Jakarta jadi green city yang adem. Bisa kok, gue udah buk-tiin sendiri. □ hmp/thp-91

Sebuah bentakan, teguran, sekaligus pertanyaan keras di awal wawancara meluncur dari mulut Bang Idin (55), jawara Betawi sekaligus penyelamat Kali Pesanggra-han, ketika Cinta Jakarta menemui beliau di Pendoponya di Kali Pesanggrahan. Sebuah pertanyaan yang menurut Bang Idin akan menjadi pokok utama untuk menjawab semua permasalahan yang kompleks di Jakarta.

Menemui Bang Idin, pahlawan Kali Pesanggrahan ini, ti-daklah mudah. Sekitar tiga jam menunggu Bang Idin men-garit rumput untuk kambing-kambingnya, Cinta Jakarta akhirnya bisa mewawancarai Jawara bernama lengkap H. Chaeruddin ini. Dengan logat betawi yang sangat kental, Bang Idin akhirnya bersedia menjawab pertanyaan-per-tanyaan tentang Jakarta dimata beliau, dan kecintaannya yang “24 karat” pada Jakarta, dan Jakarta untuk semua.

Kalau nanem padi pasti tumbuh rumput juga. Kalau

nanem rumput padi gak akan ikut

tumbuh

TOKOH JAKARTA9 - APRIL 2011

LAKSM

I PRASVITA

/ RUJA

K.ORG

Apakah Jakarta sudah merupakan untuk tempat tinggal yang nyaman?

Konteks sebagai rumah yang nyaman tentu tidak, Ja-karta sangat tidak nyaman. Rumah adalah tempat kem-bali, dan seharusnya rumahlah tempat ternyaman di dunia. Ti-dak perlu dari saya, Survei IAP (Ikatan Ahli Perencanaan,-red) menempatkan Jakarta di urutan kedua terbawah seb-agai kota besar yang nyaman sebagai tempat tinggal. Tapi ini kembali kepada warganya masing-masing, kadang kita sudah terbiasa pada suatu kon-disi, sehingga merasa nyaman-nyaman saja.

Tapi apakah warga memi-liki hak untuk nyaman di Jakarta?

Tentu saja. Merasa nya-man adalah hak warga kota. Tapi tidak semua orang di Ja-karta adalah warga Jakarta. Ini

harus dipilah. Orang di Jakarta itu ada dua, warga dan para ko-muter. Warga adalah mereka yang terdaftar secara resmi se-bagai penduduk Jakarta. Mer-ekalah yang mempunyai hak dan perlu diprioritaskan serta diperjuangkan haknya. Bukan berarti tidak memperhatikan para komuter dan pendatang, tetapi prioritas pertama harus ditujukan kepada warga kota

Nah, mimpi kita itu adalah bagaimana menjadikan Jakar-ta menjadi rumah yang nya-man, milik kita semua. Secara perlahan, kita akan mencip-takan semua—penduduk Ja-karta yang datang dari seluruh etnis—menganggap Jakarta sebagai rumah. Dan ini harus ditata.

Bagaimana menata hal tersebut?

Kita harus lihat akarnya dulu. Magnet terbesar ke-datangan orang di Jakarta

TANTOWI YAHYA:

Agar Jakarta Kembali Nyaman, Proteksi Dulu Warga Ekonomi LemahInis ia tor Gerakan Cinta Jakarta, Tantowi Yahya, memiliki perspektif yang unik tentang bagaimana membangun Jakarta sebagai tempat tinggal yang nyaman. Sebagai magnet urbanisasi yang dilandasi ekonomi, Tantowi percaya Jakarta bisa nyaman jika mampu memberikan perlindungan pada masyarakat berekonomi lemah. Simak wawancara kami disela-sela kesibukannya sebagai anggota DPR-RI.

J a k a r t a P u n y a S o l u s i

ga, harus dipancing kesadaran warga agar timbul partisipasi aktif untuk mengikuti program pemerintah.

Selama ini Pemerintah DKI cenderung terbentur dengan kurangnya parti-sipasi warga untuk tinggal di rumah hunian vertikal seperti Rusun. Bagaimana menumbuhkan partisipasi aktif warga tersebut?

Dalam budaya kita, ini memang belum menjadi cara hidup orang Indonesia. Tapi ini kebudayaan kota, risiko sebagai kota besar. Mungkin ada solusi lain, tapi yang ter-bukti paling applicable adalah Rusun. Harus ada upaya un-tuk mendidik warga, agar mau tinggal dalam konsep vertikal, seperti kota-kota besar lainnya di dunia, untuk menjadikan ini kenyataan.

Kita harus kembali lagi ke konsep Cinta Jakarta dan kenyamanan tadi. Partisipasi warga hanya akan timbul jika kedua pihak, pemerintah mau-pun warganya cinta akan kota kita ini (Jakarta,-red). Warga akan merasa memiliki Jakarta sebagai kotanya. Mereka in-gin melihat kota ini lebih nya-man, ada ruang publik, ruang kreativitas dan tidak macet. Pemimpin pun seperti itu, juga cinta terhadap Jakarta. Semua program pemerintah dilaku-kan demi kepentingan kecin-taan terhadap kota ini. Saling percaya. Tanpa kecintaan, itu tak mungkin. □ hmp-101

Ini sebenarnya terjadi di seluruh kota besar dunia. Na-mun di Jakarta, kita agak me-nyedihkan. Sementara lahan yang belum terbangun di Ja-karta itu hanya ada sekitar 9%, namun ruang-ruang yang telah ada itu belum banyak digu-nakan untuk kepentingan ke-nyamanan warga. Kebanyakan dihabiskan untuk ruang usaha dan real estate yang notabene tidak akomodatif terhadap ma-syarakat ekonomi lemah. Mal-mal sudah terlalu banyak, ini harus dihentikan.

Solusi untuk pemukiman adalah pembangunan hunian vertikal. Ini wajib, karena ter-batasnya lahan. Sementara jalur urbanisasi sangat sulit dihentikan. Keberlanjutan pengadaan rumah susun yang sudah ada sudah tepat, namun ada banyak hal yang harus di-perbaiki agar ini berhasil dan tepat sasaran.

Mengenai Rusun ini, apa yang mesti diperbaiki?

Pertama, kembali lagi, kita harus mulai dari tahapan regu-lasi yang memproteksi kepent-ingan masyarakat ekonomi lemah. Kedua, ketegasan dari Pemda dalam menjalankan peraturan yang sudah ada. Terutama Rusun, tidak boleh menjadi investasi untuk ka-langan menengah ke atas. Ini harus benar-benar menjadi pe-rumahan, terutama warga Ja-karta berekonomi lemah. Keti-

adalah faktor ekonomi. Semua orang berkumpul di Jakarta karena faktor ini. Karena itu ada gula ada semut. Gula itu ya terkumpul di Jakarta. Fak-tor inilah yang menyebabkan ketidaknyamanan tadi. Banyak yang mengeluh kumuh, macet, dan sebagainya. Jakarta bisa kehilangan identitasnya.

Nah, untuk menata, kita harus memperhitungkan ke-pentingan warga ekonomi lemah. Jakarta harus tetap menjadi tempat nyaman bagi pengusaha dan ada keutamaan bagi pengusaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Tapi tetap, harus ada proteksi terh-adap warga, garis bawahi, war-ga kota yang resmi—namun berekonomi lemah—harus di-proteksi, harus dilindungi. Jika masyarakat berekonomi lemah hidup lebih teratur dan nya-man, yang berekonomi lebih bagus tentu bisa tertata.

Urbanisasi menimbulkan ketimpangan antara lahan dan jumlah penduduk. Bagaimana menyikapinya?

JIKA MASYA-RAKAT BER-EKONOMI LEMAH HIDUP LEBIH TER-ATUR DAN NYAMAN, YANG BER-EKONOMI LEBIH BA-GUS TENTU BISA TER-TATA

10APRIL 2011 -

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

11 - APRIL 2011

Akar masalah Jakarta, ko-non menurut mereka, adalah pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh migrasi dari luar ke dalam Kota Jakarta—sebuah gejala yang secara salah kaprah disebut “urbanisasi”, (Urbanisasi dalam arti yang luas yang benar adalah “proses menjadi kota”). Konsekuensinya adalah kebi-jakan yang salah kaprah pula: pendatang baru, yang dicap miskin dan marginal, diusir-usir. Lebih buruk lagi, semua kega-galan lain seperti kekumuhan pemukiman, kegagalan sistem angkutan umum dan pelayanan air bersih, ditimpakan pada mer-eka juga. Pada saat bersamaan, tak ada kebijakan nyata untuk meningkatkan kapasitas Jakarta agar dapat menampung lebih banyak penduduk—yang mes-tinya wajar mengingat tingkat pertumbuhan ekonominya yang di atas rata-rata nasional dan kota lain.

Seberapa besar kebohongan publik itu?

Data dari Biro Pusat Statistik Regional Jakarta berdasarkan Sur-vei Penduduk Antar Sensus (SU-PAS) 1995 menunjukkan bahwa selama lima tahun sebelumnya tingkat migrasi netto metropo-lis ini minus 7,87%. Artinya, lebih banyak orang yang keluar daripada yang masuk ke Jakarta. Sejumlah 1.222.800 jiwa keluar; hanya 505.501 yang masuk. Dalam dasawarsa 1990-2000, penduduk Jakarta jauh lebih ban-yak bertambah karena kelahiran, bukan karena pendatang. Misal-nya, tingkat pertumbuhan Jakarta Selatan yang 1,13% per tahun ternyata terdiri atas 1,09% bayi lahir dan 0,04% pendatang baru.

Sementara itu, Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa dalam masa yang sama, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Jakarta paling rendah dibandingkan dengan semua provinsi lain, kecuali Maluku dan Maluku Utara. Yaitu hanya 0,17%. Bahkan, bila angka dari Biro Pusat Statistik Regional Jakarta yang digunakan, yaitu 1,1%, ini pun masih lebih ren-dah daripada rata-rata nasional, yaitu 1.49%. Tingkat pertumbu-han ini telah cenderung menu-run sejak 1980 dan diperkirakan akan terus demikian. Bandingkan juga dengan tingkat pertum-buhan di kota-kota lain dalam periode yang sama: Bandar Lampung, 1,55%; Palu, 3,12%; Denpasar, 3,01%; dan Palem-bang 2,36%.

Jadi, tidaklah benar tuduhan bahwa penduduk dari daerah-daerah lain pindah ke Jakarta karena daerah-daerah itu tidak membangun. Pertumbuhan pen-duduk di daerah-daerah itu bah-

kan jauh lebih tinggi daripada di Jakarta. Beban kota-kota lain jauh lebih berat.

Memang, angka absolut akan menunjukkan jumlah pertamba-han penduduk yang besar untuk Jakarta. Tetapi, harus pula ada perbandingan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi kota-kota

dan daerah itu. Jakarta selalu di atas rata rata nasional, di atas banyak kota lain, dan jauh di atas tingkat pertumbuhan pen-duduknya sendiri. Pada 1996, ekonomi Jakarta tumbuh 9,1%. Saat ini, konon tingkat perkem-bangan itu telah “pulih’ menjadi sekitar 4 sampai 5%.

Jadi, pertanyaan yang se-harusnya diajukan adalah: apakah benar sebuah kota, suatu provinsi yang tingkat per-tumbuhan ekonominya jauh di atas tingkat pertumbuhan pen-duduknya, tidak dapat memberi makan kepada lebih banyak penduduk Indonesia yang datang dari daerah-daerah dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah? Urbanisasi adalah konsekuensi logis dari perubahan struktural ekonomi, gula bertambah lebih banyak dan cepat di kota daripada di pedesaan.

Sebuah negara dan bangsa dikategorikan “maju” kalau

perubahan itu terjadi. Maka, penduduk urban negeri-negeri Barat berkisar antara 70 sampai 90% dari seluruh jumlah pen-duduknya. Di Indonesia pada saat ini, jumlah penduduk urban telah mencapai sekitar 40% dari total penduduk negeri ini.

Persoalan prinsipilnya bukan-lah bagaimana meratakan per-tumbuhan ekonomi secara ruang (dengan lebih banyak pertum-buhan di pedesaan), melainkan bagaimana meratakan pertum-buhan di kalangan penduduk. Mazhab perencanaan yang menekankan pada “pemerataan ruang” akan menjadi salah kalau ia menghindari pemerataan yang

lebih mendasar tersebut. Ia akan ilusif dan mengulangi kesalahan selama ini di kota-kota.

(Jakarta yang tidak mening-katkan kapasitasnya untuk mem-beri kesempatan kepada lebih banyak penduduk adalah sama dengan monster yang tidak ber-tanggung jawab, yang membuat kue makin besar hanya untuk makin menggemukkan dirinya sendiri, dengan menyedot secara tidak proporsional sumber daya kolektif seluruh bangsa Indone-sia).

Migrasi neto negatif ke Ja-karta berarti pindahnya tempat tinggal kelas menengah ke ka-bupaten tetangga, yaitu Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Sebagian besar dari kelas menen-gah ini tetap bekerja di Jakarta, dan menglaju (commuting) setiap pagi dan sore hari, me-nyebabkan kemacetan satu arah yang memperpanjang “waktu ter-sia”. Di Jakarta Pusat dan Selatan, penduduk malah berkurang secara absolut sebesar sekitar 330 ribu jiwa dalam lima tahun terakhir, meninggalkan tanah kosong menganggur di kawasan segitiga emas.

Itulah akibat ketiadaan ke-bijakan yang berdasarkan data keras dan perspektif masa depan. Berkurangnya lahan hijau Jakarta ternyata bukan untuk menye-diakan lebih banyak rumah untuk lebih banyak orang, me-lainkan untuk ruang komersial yang ternyata over supplied dan menghantar ke krisis.

Pada saat yang sama, ka-wasan subur bisa mengkonsoli-dasi diri dengan semua fasilitas konsumsi yang diperlukan kelas menengah. Artinya, basis pajak Jakarta akan terus berkurang, meskipun kelompok kelas menengah itu tetap bekerja di Jakarta. Yang lebih berbahaya sebenarnya adalah berkurangnya basis sosial budaya kelas menen-gah, yang-maaf—memang tidak bisa digantikan oleh kelas bawah maupun kelas atas, dalam hal daya hidup dan pemeliharaan ru-ang kota. Penduduk miskin tidak bertambah secara drastis, tetapi proporsinya meningkat karena kelas menengah yang berkurang.

Di masa depan, Jakarta hanya dapat diselamatkan dengan kebijakan yang mau tidak mau sosialistis. Peraturan Daerah anti spekulasi, insentif untuk hemat lahan, pajak bumi dan bangunan yang progresif, serta penekanan pada fasilitas bersama, bukan individual. Hanya pemerintah yang bersih dan kompeten (yang diantara lain bekerja berdasarkan data) yang akan mendapat du-kungan dan punya disiplin yang diperlukan. □

UrbanisasiMarco KusumawijayaArsitek, Pengamat Tata Kota, Editor rujak.org

Sumber:Marco Kusumawijaya, Kota Rumah Kita, Borneo, 2006, halaman 6-9

Di masa depan, Jakarta hanya dapat diselamatkan dengan kebijakan yang mau

tidak mau sosialistis; Peraturan Daerah anti-spekulasi, insentif untuk hemat

lahan, pajak bumi dan bangunan yang progresif, serta penekanan pada fasilitas

bersama, bukan individual.

OPINI

Kebohongan publik yang selalu didengungkan pemerintah Jakarta menyangkut satu

kambing hitam: urbanisasi.

istockphoto.com

ISTIMEW

A

12APRIL 2011 -

Masalah-masalah seperti macet, banjir, kekurangan air bersih sampai sulitnya bernapas karena kepadatan penduduk mulai dianggap biasa dan kita mencoba nyaman dengan semua itu. Padahal, semua masalah yang kini kita hadapi adalah investasi ben-cana untuk anak-cucu kita.

Gerakan Cinta Jakarta memu-lai gerakannya dengan sebuah per-tanyaan mendasar: masih adakah harapan untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat tinggal yang nya-man, sekaligus sebagai tempat men-cari nafkah yang menjanjikan tanpa merusak alam dan tradisinya? Kare-nanya, Gerakan Cinta Jakarta memu-lai sebuah langkah kecil.

Gerakan cinta Jakarta adalah se-buah gerakan sosial masyarakat Ja-karta dalam rangka menumbuhkan rasa cinta dan kepedulian pada Kota Jakarta. Kita percaya bahwa Jakarta dengan segala problematikanya ma-sih memiliki harapan selama warg-anya memiliki rasa cinta pada kot-anya. Rasa cinta bisa juga diartikan sebagai rasa memiliki dan tanggung jawab. Sehingga, kedepan kita tidak lagi merasakan banjir yang diakibat-kan timbunan sampah dari warganya.

Kita juga akan melihat Jakarta yang bebas macet, tatkala seluruh peng-endara mau berdisiplin di jalanan.

Tentunya rasa cinta warga Ja-karta tak boleh bertepuk sebelah tan-gan. Kekuatan dari sebuah kemajuan adalah sinergi antara cinta-kepedu-lian warganya dengan kebijakan dan pengaturan dari pemerintah. Kebi-jakan yang bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para elit yang mengorbankan kebahagiaan seba-gian besar warga kota.

Mungkin diantara dari Anda su-dah tahu dan mendengar Gerakan Cinta Jakarta melalui radio ataupun melalui anak-anak sekolah. Ya. Ger-akan Cinta Jakarta memiliki pro-gram kuis di radio-radio di Jakarta. Di Ben’s Radio 106.2 FM Kuis Cinta Jakarta diadakan setiap hari Jum’at pukul 16.00-17.00 WIB dan Sabtu pukul 10.00-11.00 WIB; Delta FM

99.1 FM setiap Senin-Selasa pukul 14.00-15.00 WIB; dan di Jak FM 101.0 setiap Rabu pukul 10.00-11.00 dan Kamis pukul 16.00-17.00 WIB. Kuis Cinta Jakarta akan menguji pengetahuan Anda seputar sejarah, budaya dan pengetahuan populer tentang Jakarta.

Selain kuis di radio, Gerakan Cin-ta Jakarta juga telah mengajak para pelajar dan mahasiswa untuk berpar-tisipasi dalam lomba menulis esai. Mereka bisa berimajinasi tentang Jakarta di masa depan sekaligus me-nyumbangkan ide kreatif untuk men-gatasi permasalahan kota ini melalui.

Tentunya, tak hanya sampai di situ, masih banyak program-program lain yang akand datang. Berikut kami sajikan ringkasan keseharian warga-warga yang telah berpartisipasi dalam Gerakan Cinta Jakarta. □ egp-121

Gerakan Cinta Jakarta M E N E B A R Pesona

ongoing

Gerakan Cinta Jakarta memulai sebuah lang-kah untuk mengarahkan warga Jakarta pada ke-hidupan yang lebih baik.

Berawal dari keprihati-nan terhadap masalah-masalah yang selama ini akrab dengan keseharian warga Ibu Kota,

C NTAJAKARTA

C NTAJAKARTA

KAMU CINTA JAKARTA? TAU APA AJA SOAL JAKARTA?TUNJUKIN DI

k u i s

on radiodapatkan hadiah Uang Tunai Rp 500.000,-

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

CIN

TAJA

KARTA

/ TITAH

PRABO

WO

13 - APRIL 2011

PELESIR KE MUARA SAMPAH

Bau busuk tercium dari tumpukan sampah yang bertebaran di sepanjang bantaran sungai di Jalan Tanggul Barat, Kelu-rahan Kapuk Jakarta. Di Cilincing, air hitam pekat disertai bau menyengat dari air yang kotor santapan sehari-hari. Sementara, di ujung jakarta yang lain, seorang warga di daerah Pintu Air Banjir Kanal Timur berenang di tengah sungai dengan limbah cair yang membusa. “Nyari ikan Mas, buat makan” tuturnya polos. Ia sudah terbiasa dengan sampah, karena ruang tersebut adalah sampah.

Pemandangan tersebut sudah hal biasa, kalau tidak disebut lumrah dilihat di daerah muara-muara sampah. Sungai memang selalu menjadi muara dari sampah yang dibuang oleh penduduk. Sampah dari belasan juta penduduk mega-politan yang dibuang ke sungai akan mengumpul disana.

Di Pintu Air Manggarai saja, belum ke Muara, tumpukan sampah sudah menggunung, meski dua alat jenis beko terlihat bercokol disitu. Menurut penuturan petugas pintu air, setiap hari sampah tersebut diangkat,”Namun sampah itu selalu ada, karena masyarakatnya membuang terus” katanya.

Berpelesir ke muara sungai yang penuh sampah me-nyadarkan kita pada satu hal, bahwa sampah telah men-jadi masalah serius. Perlu ada penanganan nyata, yang diikuti kesadaran masyarakat. Tidak cukup hanya dengan mengeruk.

Bang Idin telah mencontohkan, Kali Pesanggrahan seka-rang bening, sekurangnya dibandingkan dengan kali-kali lain di Jakarta. Tapi tak cukup dengan satu bang Idin, kita utuh Bang Idin-Bang Idin lain dalam bentuk lain. Yang tidak harus bertarung dengan modal, bahkan harusnya didukung masyarakat.

Kalau kesadaran itu tak pernah ada. Maka terimalah ke-nyataan, kehidupan masyarakat Daerah Aliran Sungai di Jakarta tak akan lepas dari sampah dan bau busuk. Dan sepandai-pandainya menyembunyikan sampah, pasti akan tercium juga. □

FOTO JAKARTA

FOTO & TEKS:T.H. PRABOWO

14APRIL 2011 -

Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai ruang terbuka publik, seperti taman-taman kota, merupakan ruang awal terwujudnya budaya kreativitas perkotaan. Seper-ti jika anda berkunjung ke Taman Suropati, Menteng, pada minggu sore. Disana anda bisa menikmati alunan berbagai alat musik klasik, seperti symphony Mozart yang akan mengayun memanjakan telinga, sambil me-nikmati udara segar diantara rimbunnya pohon taman.

Para pelantun lagu-lagu tersebut bukan pemusik profe-sional dengan alat-alat yang canggih, bukan pula kum-pulan orang-orang kurang kerjaan. Pelantun musik tersebut adalah Komunitas Kota Seni, sebuah komuni-tas masyarakat pecinta seni, yang saban minggu sore berkumpul bersama di Taman Suropati. Tidak hanya musik klasik dan lagu gubahan dari komposer-kom-poser dunia yang sering dimainkan. Lagu-lagu daerah maupun lagu-lagu nasional penggugah nasionalisme pun ada. Seperti lagu Gundul-gundul Pacul dari Jawa Tengah, Bungong Jeumpa dari Aceh, atau Rayuan Pu-lau Kelapa serta Indonesia Pusaka.

Darwin, salah satu anggota komunitas mengungkap-kan, tersedianya RTH seperti Taman Suropati yang menjadi fasilitas publik, menjadi berkah bagi kumpu-lan seniman ini. “Taman Suropati adalah rumah kami, disini kami bertemu,dan disini kami berkumpul” ujar Darwin, salah satu anggota Komunitas Kota Seni.

Tersedianya ruang publik ini juga memungkinkan untuk para anggota komunitas bertemu orang-orang dengan lintas umur, pekerjaan, dan status sosial. Ko-munitas Kota Seni sendiri sekarang memiliki anggota mulai dari pedagang, pelajar, pegawai kantor. “Bahkan pengamen pun ada di komunitas ini. Mereka mena-bung untuk beli biola agar bisa ikut bergabung dalam latihan”, tutur Agustinus, Ketua Komunitas Kota Seni.

FOTO JAKARTA

Agustinus berharap, apa yang dilaku-kan komunitasnya di Taman Surapati dapat menjadi pilot project untuk mengembangkan komunitas-komuni-tas serupa di daerah lain. “Selama ada ruang terbuka publik, budaya kreati-vitas dapat berkembang.” tuturnya. Harapan Agustinus sudah sepentasnya menjadi harapan masyarakat kota. Na-mun kita tak menutup mata, penamba-han RTH di Jakarta selalu mandek.

FOTO: T.H. PRABOWOTEKS: H.M. PILIANG

RUANG PUBLIK, RUANG KREATIVITAS,

RUANG BUDAYA

15 - APRIL 2011 SENGGANG

1

12

16 17

26

31 32

43 44

50

53

51

33

29

36

46

49

54

57 58

55 56

59

39 40

52

41

18

22 23

45

19 20

27

35

38

42

28

21

13

2 3

8 9 10 11

4 5 6

7

14

15

24

34

37

47 48

25

30

MENDATAR1. Jakarta Era Kolonial7. Bahan bangunan8. 10 Dzulhijah12. Lorong yang berliku-liku14. Tidak jelas (Inggris)15. Zat dalam asap rokok16. Agak gila19. Sesuatu yang dibayangkan20. Tempat pementasan seni22. Bapak (Sunda)24. Pendakwah26. Penyalur kredit27. Musuh malaikat29. ….Jakarta (yang sedang Anda

baca)30. Grup band asal Malaysia31. Kalender35. Kamu37. Memasak dengan uap panas39. Tempat perdagangan saham

di Jakarta42. Pemodal MRT43. Cahaya muka46. Ihtisar49. Senyawa udara50. Nuh (Inggris)51. Hikmah (Arab)52. Try Out (singkat)53. Zona perdagangan bebas

Amerika utara55. Eksekutor57. Budaya Jepang bunuh diri

dalam pertempuran59. Nenek (Belanda)

TEKA TEKI SILANG

MENURUN1. Lenyap/hilang (Jawa)2. Arsip Nasional Republik Indo-

nesia3. Rasa yang dikecap lidah bagian

samping-depan4. Kedelai yang diragikan5. Semangat kerja6. Negara di Amerika Tengah9. Sisi10. Olahan buah-buahan11. Tanda nada13. Research Assessment Exercise 14. Maksud17. Tanda/ciri18. Keluarga miskin21. Cela/Noda/Salah23. Tidak tersusun 25. Saya27. Proses menjadi28. Nama depan teman duet H.

Benyamin S.32. Berbagi ilmu33. Sesuatu yang segera terjadi34. Pulau tempat Pramoedya

dibuang36. Mengulang ujian38. Ustad kondang (singkat)40. Cinta…….(yang sedang Anda

baca)41. National Geographic44. Lapisan atmosfer pelindung

bumi45. Huruf47. Kelapa (Jawa)48. Negara di Afrika Utara54. Tempat air55. Lagu Rhoma Irama56. Pupuk dari kotoran burung58. Melafalkan huruf

C NTAJAKARTA

GROSIR TIKET PESAWATDomestik Dan Internasional

Kini Hadir di Kota AndaLebih Dekat, Lebih Cepat, Lebih Hemat

Harga Bersaing

RESERVASI:Phone: 021 786 2753SMS: 0857 1632 5262 (24 Hour)YM: nagaritravelBBM: 21C436B9 (24 Hour)

MENANGKAN SATU BUAH TELEVISI 21" DAN SEBUAH LEMARI ESDENGAN MENJAWAB PERTANYAAN BERIKUT INI

SIAPAKAH NAMA TOKOH JAKARTA DI ATAS?

KIRIMKAN JAWABAN ANDA LEWAT SMSDENGAN FORMAT SMS : NAMA(SPASI)JAWABAN(ALAMAT)

KE NOMOR : KE 0821 2558 1813

PEMENANG AKAN DIHUBUNGI OLEH PIHAK GERAKAN CINTA JAKARTA, DAN DIUMUMKAN DI EDISI KORAN CINTAJAKARTA BERIKUTNYA.

LOMBA MENULIS ESAI

CINTA JAKARTA

2011PEMENANG DAN HADIAH

Kategori Pelajar SMA/SederajatJuara I : Rp. 5.000.000,00 plus sertifikat dan trophyJuara II : Rp. 3.000.000,00 plus sertifikat dan trophyJuara III : Rp. 1.500.000,00 plus sertifikat dan trophy

Kategori MahasiswaJuara I : Rp. 7.000.000,00 plus sertifikat dan trophyJuara II : Rp. 4.500.000,00 plus sertifikat dan trophyJuara III : Rp. 2.500.000,00 plus sertifikat dan trophy

Kontras dengan mimpi Bung Karno menjadikan Jakarta sebagai kota kebanggaan bangsa dan dunia, Jakarta saat ini masih punya banyak permasalahan kompleks, seperti macet dan banjir, sehingga kurang mampu menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi warga kota. Untuk memecahkan masalah tersebut, dipercaya harus ada partisipasi aktif dari warga kota untuk menyelamatkan Jakarta. Dan partisipasi tersebut hanya bisa muncul jika ada kesadaran, kepedulian, dan kecintaan warga kota terhadap Jakarta. Gerakan Cinta (Genta) Jakarta adalah gerakan sosial masyarakat Jakarta yang diinisiasi oleh anggota DPR-RI, Tantowi Yahya, dalam rangka menumbuhkan rasa cinta dan kepedulian kepada Kota Jakarta. Kita percaya, Jakarta, tempat tinggal, masih memiliki harapan sebagai rumah yang nyaman untuk saat ini hingga masa depan. Jakarta harus mampu sebagai kota tempat tinggal (as a place to live) maupun tempat usaha/bekerja (as a place to business or work).Lomba Menulis Essay Cinta Jakarta merupakan salah satu tekad dan upaya untuk menumbuhkan partisipasi aktif dari Generasi Muda dalam menciptakan Jakarta untuk semua, dan kita mimpikan bersama. Bergabunglah bersama Genta Jakarta.

C NTAJAKARTA

Terbuka untuk seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa kecuali, domisili di Provinsi DKI Jakarta, bersifat perorangan, yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok lomba: Siswa SLTA dan MAHASISWA. Dibuktikan dengan Kartu Pelajar/Mahasiswa atau Surat Keterangan dari Institusi Pendidikan.

Tema Esai: • Pelajar: “Jakarta Kini, Esok, dan 20 Tahun lagi”

(Judul bebas, isi esai berkaitan dengan keadaan Jakarta saat ini sampai dua dasawarsa kedepan, termasuk posisi dan kontribusi anda sebagai generasi Jakarta berikutnya. Esai dapat berkaitan dengan berbagai dimensi, seperti sosial-budaya, pendidikan, sejarah, masyarakat, ekonomi, politik, pertahanan-keamanan, dll.)

• Mahasiswa: “Menciptakan Jakarta Bebas Banjir dan Macet”

(Judul bebas, isi esai berkaitan dengan kebijakan strategis jika anda Gubernur DKI Jakarta, untuk memecahkan salah satu, bisa dipilih, dari dua masalah terbesar di Jakarta, yakni Banjir (flood) dan Kemacetan (traffic). Esai tidak harus berasal dari latar belakang akademik mahasiswa, namun harus solutif, inovatif, terukur, dan applicable)

Setiap peserta lomba boleh mengirimkan lebih dari satu naskah. Tulisan asli (orisinil) bukan saduran, ditulis dalam bahasa populer, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan EYD. Kutipan diperbolehkan tidak lebih dari 20% dan wajib mencantumkan sumber referensinya

Naskah diketik dengan jenis huruf Times New Roman (TNR), ukuran 12, spasi 1,5 , dengan panjang esai 1.000 – 1.500 kata saja. Di akhir naskah harus dituliskan biodata penulis, terutama Nama, Sekolah/Universitas, No.KTP/Kartu Keluarga, No Telp/HP, dan email.

Naskah dikirim melalui e-mail ke: [email protected] dalam format MS Word (*.docx) dengan judul email “Nama Anda_kategori (siswa/mahasiswa)”. Naskah diterima paling lambat 31 Mei 2011 Pukul 24.00 WIB

KETENTUAN

PENGUMUMAN PEMENANG

Pemenang akan diumumkan pada acara “Grand Launching Gerakan Cinta Jakarta” pada 22 Juni 2011 di Jakarta.

Keputusan dewan juri bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.

Informasi lebih lanjut dapat dilihat di Facebook Group Gerakan Cinta Jakarta atau follow twitter @cinta_jakarta contact person Fadhli 081381913157 atau Amir 085719587047Sekretariat Gerakan Cinta Jakarta, Graha Pejaten No 8 Jl Pejaten Raya Jakarta Selatan, no telp 021-7974718