KONVERSI KAWASAN HUTAN : ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

39
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Jl. TAMAN SUROPATI NO. 2. JAKARTA 10310 DISTRIBUSI TANAH NEGARA D O K U M E N T E K N I S - 2 KONVERSI KAWASAN HUTAN : ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A. LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP ) IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND

description

oleh Sulaefi, Ph.D.; Dr. Agus Surono, S.H., M.H.; Drs. Herry Yogaswara, M.A.LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – INDBappenas

Transcript of KONVERSI KAWASAN HUTAN : ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Page 1: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Jl. TAMAN SUROPATI NO. 2. JAKARTA 10310

DISTRIBUSI TANAH NEGARA

D O K U M E N T E K N I S - 2

KONVERSI KAWASAN HUTAN : ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA

Tenaga Ahli :

1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A.

LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )

IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND

Page 2: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Daftar Isi

Halaman

Daftar Isi ........................................................................................ i Daftar Tabel ................................................................................... ii Daftar Gambar ............................................................................... iii 1. Latar Belakang ........................................................................... 1 2. Konversi Kawasan Hutan .......................................................... 5 3. Kondisi Obyektif Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi ...... 8 4. Isu dan Permasalahan Konversi Kawasan Hutan ..................... 10

4.1. Isu Persepsi Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi ..... 11 4.2. Penelantaran Kawasan Yang telah dilepaskan ................ 12 4.3. Perencanaan dan Perijinan ………………………………………. 13 4.4. Klaim Masyarakat ............................................................ 20 4.5. Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus ........................... 21

5. Analisis Regulasi dan Kelembagaan ..………………….……………… 22 6. Reforma Agraria dan prioritas program Departemen

Kehutanan ……………………………………………………………………….

26 7. Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................. 27

7.1. Kesimpulan .......................................................................... 27 7.2. Rekomendasi ....................................................................... 29

Lampiran

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas i

Page 3: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Daftar Tabel

Halaman

Tabel 1. Luas Lahan Terlantar di Indonesia 2005 / 2006 ............ 15

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas ii

Page 4: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Daftar Gambar

Halaman

Gambar 1: Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan Masalah Konversi Kawasan Hutan

Gambar 1. Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi ...... 28

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) iii

Page 5: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara 1

Dokumen Teknis 2:

Konversi Kawasan Hutan :

Analisis Masalah dan Konsep Penyelesaian

1. Latar Belakang

Salah satu kebijakan Reforma Agraria yang didengungkan oleh

Presiden RI adalah ”tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk

mencoba apa yang disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional

(PPAN), yaitu salah satunya dengan cara distribusi tanah negara seluas 9,25

juta hektar, dimana 8,15 juta hektar berasal dari hutan konversi dan 1,1 juta

ha berasal dari tanah dibawah kewenangan langsung BPN (Winoto 2006 via

Fauzi, 2008 : 18). Dengan demikian, keberhasilan PPAN dari tolok ukur

luasan yang akan dibagikan kepada petani miskin akan sangat tergantung

dari ketersediaan tanah yang ada, dalam hal ini tanah-tanah yang masih

dalam juridiksi Departemen Kehutanan. Dengan kata lain, konversi kawasan

hutan menjadi suatu hal yang penting untuk menunjang keberhasilan

program ini.

Konversi kawasan hutan, di dalam nomenklatur Departemen

Kehutanan adalah perubahan status kawasan hutan yaitu perubahan status

sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan (Kepmenhut 70/Kpts-

II/2001). Hal ini tampaknya perlu dibedakan dengan konsep perubahan

fungsi kawasan hutan yang merupakan perubahan sebagian atau seluruh

fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan (Kepmenhut 70/Kpts-II/2001).

Dalam dokumen ini pengertiannya lebih mengacu pada pengertian perubahan

status kawasan hutan, khususnya untuk kegiatan-kegiatan di luar sektor

kehutanan. Fokus dokumen ini adalah melihat kemungkinan perubahan

kawasan hutan untuk program distribusi tanah negara. Konversi kawasan

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

Page 6: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara 2

hutan itu sendiri telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan untuk berbagai

keperluan, misalnya untuk lokasi transmigrasi, kawasan pertambangan,

kawasan perkebunan dan kebutuhan akan lahan lainnya.

Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan departemen lainnya

dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) telah memagari aturan-aturan

perubahan kawasan HPK untuk berbagai kepentingan. Untuk kepentingan

transmigrasi diatur melalui SKB 126/MEN/1994, No 422/Kpts-II/1994

tentang areal hutan untuk pemukiman transmigrasi. Sedangkan pelepasan

kawasan untuk pembangunan pertanian mengacu pada SKB Menhut, Mentan

dan BPN No. 364/Kpts-II/1990, 519/Kpts/JK.050/7/1990 tgl. 23-8-1990

tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk

Pengembangan Usaha Pertanian.

Data menunjukkan untuk perkebunan saja hingga tahun 2004 telah

dilepaskan kawasan hutan seluas 4.655,000 ha untuk 525 unit. Sedangkan

yang sudah mendapatkan ijin prinsip tetapi belum dilepaskan kawasannya

mencapai 4,055,000 ha dengan 274 unit ijin prinsip. Kemudian untuk

transmigrasi hingga tahun 2004 tercatat 956,672,81 ha, sementara ijin

prinsip lainnya telah tercatat seluas 601.658 ha, tetapi belum dilepaskan

karena belum dilakukan tata batas.

Dari angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan

memang memegang peranan penting sebagai penyedia sumber daya lahan

untuk kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan itu sendiri. Namun,

sesuai dengan kebijakan pemerintah yang akan mendistribusikan tanah

negara, dan potensi luasan tanah tersebut ada di wilayah kawasan hutan,

maka perlu untuk membangun suatu mekanisme konversi kawasan hutan

untuk kepentingan distribusi tanah. Tampaknya perlu ada suatu mekanisme

yang lebih spesifik mengenai konservasi kawasan hutan untuk kepentingan

distribusi tanah, mengingat terdapat karakter yang berbeda antara pelepasan

kawasan untuk transmigrasi, perkebunan, dan pertambangan, dimana subyek

penerima tanah tersebut merupakan badan pemerintah atau swasta yang

relatif lebih established dibandingkan calon penerima tanah obyek distribusi

yang hampir seluruhnya adalah petani (miskin).

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

Page 7: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dok

Land Manage

umen Teknis 2 – Distribusi Tanah Negara

ment and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

3

Dokumen ini pada dasarnya merupakan sebuah assessmen mengenai

isu-isu tentang konversi kawasan hutan dan berbagai usulan untuk sebuah

solusi yang dapat diterima dan berkesinambungan, termasuk implikasi

hukum dan kelembagaannya

Dalam dokumen ini akan mengacu pada beberapa rumusan

pertanyaan, yaitu (1) apakah yang disebut dengan konversi kawasan hutan di

Indonesia, (2) bagaimana kondisi obyektif dari luas kawasan hutan yang

dapat dikonversi, khususnya untuk kepentingan reforma agraria, (3) Isu-isu

dan permasalahan apakah sajakah yang ada dalam konservasi kawasan hutan

di Indonesia, (4) Faktor-faktor regulasi dan kelembagaan apa sajakah yang

melatari permasalahan tersebut; dan (5) rekomendasi kebijakan apa yang

dapat diberikan untuk konversi kawasan hutan bagi kepentingan reforma

agraria yang dapat diterima oleh para pihak dan berkesinambungan, serta

implikasinya terhadap berbagai peraturan dan kelembagaannya.

Berdasarkan fokus pertanyaan tersebut, maka kerangka pikir

(framework) dari dokumen ini adalah sebagai berikut :

Page 8: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

4

Gambar 1: Bagan Alir Kerangka Berpikir Analisis dan Solusi Pemecahan Masalah Konversi Kawasan Hutan

Kondisi Obyektif Program PPAN yang membutuhkan 8,25 juta ha

lahan hutan

Temuan Hasil Studi di 4 propinsi : Kebutuhan KBNK untuk perkebunan, pertambangan, pertanian , transmigrasi, permukiman, pemerintahan

Okupasi Kawasan hutan oleh masyarakat

Konflik di kawasan hutan (Masyarakat VS Pemerintah, Masyarakat VS Perusahaan, Perusahaan VS Perusahaan)

Isu-Isu Konversi 1. Persepsi tentang

kawasan hutan yang dapat dikonversi

2. Penelantaran kawasan yang sudah dilepaskan karena fokus untuk pengambilan kayu melalui IPK

3. Tumpang-tindih ijin konversi

4. Berbagai ijin di daerah untuk HPK

5. Berbagai ijin di pemerintah pusat pada HPK

Analisis :

- Analisis Peraturan - Analisis Kelembagaan - Analisis politik dan

kebijakan

Rekomendasi - Penyempurnan

peraturan - Penegakan Peraturan

dan Kordinasi - Komitmen Dephut

dalam Reforma Agraria

Temuan Data sekunder Luas Hutan Produksi Konversi terbatas dan digunakan untuk berbagai kebutuhan non kehutanan

Reforma Agraria Belum menjadi prioritas Dephut hingga tahun 2009

Belum ada pengalaman Konversi HPK untuk kebutuhan masyarakat

Dokumen

Page 9: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 5

2. Konversi Kawasan Hutan

Konversi atau perubahan kawasan hutan adalah suatu proses

perubahan terhadap suatu kawasan hutan tertentu menjadi bukan kawasan

hutan atau menjadi kawasan hutan dengan fungsi hutan lainnya. Namun yang

lebih difokuskan dalam dokumen ini adalah perubahan kawasan hutan

tertentu menjadi bukan kawasan hutan atau disebut dengan ”perubahan

status kawasan”. Fokus ini diberikan, karena dokumen ini pada intinya terkait

dengan perumusan kebijakan untuk distribusi tanah negara yang salah

satunya adalah memanfaatkan kawasan hutan yang dapat dikonversi.

Selain melalui pemanfaatan kawasan hutan yang dapat dikonversi,

alternatif lainnya mengenai reforma agraria yang memanfaatkan akses

sumber daya hutan dapat ditempuh melalui program-program seperti

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Tumpang Sari, Hutan

Desa, Sistem Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, dan skema-skema

lainnya yang sementara ini telah dikerjakan oleh Departemen Kehutanan

maupun institusi kehutanan di tingkat daerah. Namun keterbatasan dari

skema-skema ini adalah pemberian akses terhadap sumberdaya, tidak

disertai dengan pemberian asset kepada calon penerima distribusi tanah,

mengingat penguasaan tanah masih ada di bawah institusi Departemen

Kehutanan. Namun, harus diakui penyerahan asset menjadi hak milik juga

mengandung resiko tertentu, seperti penjualan hak atas tanah kepada pihak

ketiga. Kondisi ini justru tidak sesuai dengan tujuan dari reforma agraria

untuk meningkatkan taraf hidup petani miskin.

Konversi kawasan hutan untuk kepentingan distribusi tanah negara

ini, selain mempunyai prinisp-prinsip ”keadilan dan kemakmuran”,

tampaknya perlu ditambahkan prinsip-prinisp lainnya seperti sebagai sarana

resolusi konflik dan mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku dalam

sistem per-undang-an. Selain itu, karena kompleksitas yang biasanya

terkandung dalam suatu kawasan hutan, maka pendekatan multi-pihak dan

multi tataranpun perlu dilakukan.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 10: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 6

Konversi kawasan hutan pada intinya adalah mengubah fungsi

kawasan hutan untuk kegiatan lainnya. Konsep lainnya misalnya menyebut

hutan konversi sebagai hutan yang dirancang (dengan izin IPK) untuk

pembukaan lahan dan konversi permanen menjadi bentuk tata guna lahan

lainnya, khususnya industri kayu atau (perkebunan) (WRI, 2008). Dengan

definisi itu sebetulnya hanya ada dua bentuk usaha yang dapat dijalankan

melalui hutan konversi, yaitu industri kayu atau perkebunan. Kebutuhan

lainnya, seperti transmigrasi dan untuk kebutuhan distribusi bagi masyarakat

miskin tampaknya belum tercakup.

Dengan demikian jelas bahwa perubahan fungsi kawasan hutan

merupakan suatu tindakan legal yang direncanakan untuk berbagai

kepentingan pembangunan lainnya. Didalam pengertian-pengertian yang

disebutkan di atas terdapat dua pengertian penting, yaitu (1) berkaitan

dengan perubahan status/peruntukan kawasan hutan dan (2) berkaitan

dengan fungsi kawasan hutan. Secara lebih terinci kedua pengertian tersebut

adalah sebagai berikut :

(a) Perubahan Status/Peruntukan Kawasan Hutan :

Perubahan status/peruntukan kawasan hutan adalah

merupakan suatu proses perubahan kawasan hutan menjadi bukan

kawasan hutan, kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara :

• Pelepasan kawasan hutan pada hutan produksi yang dapat dikonversi

(HPK)

• Tukar menukar kawasan hutan dilakukan apabila di wilayah yang

bersangkutan tidak tersedia HPK dan hanya pada hutan produksi.

(b) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Perubahan fungsi kawasan hutan adalah suatu proses

perubahan fungsi kawasan hutan tertentu menjadi fungsi kawasan hutan

lainnya. HPK yang sudah dilepas sekitar 4,7 juta hektar yang sudah di

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 11: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 7

HGU-kan 2,4 juta hektar dan 2,3 juta hektar belum di HGU-kan

dicadangkan untuk bahan bakar nabati dan ketahanan pangan.

Berdasarkan PP No 47 tahun 1997 tentang RTRW Nasional dan

PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan ditegaskan

bahwa kawasan hutan merupakan bagian dari tata ruang nasional yang

wilayahnya dikuasai oleh negara (Ali Djajono, 2007). Kawasan hutan

dibagi ke dalam dua bagian wilayah sesuai fungsinya, yaitu kawasan

hutan yang berfungsi lindung, yaitu Hutan Lindung (HL), kawasan

pelestarian alam yang meliputi Taman Nasional (TN), Taman Hutan

Raya (Tahura), dan Taman Wisata Aalam (TWA); Kawasan Suaka Alam

yang meliputi Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM) dan Taman

Buru. Selanjutnya adalah Kawasan hutan yang berfungsi budi daya, yaitu

hutan prouksi yang meliputi Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan

Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

(HPK)

Sesuai dengan UU 41/1999 yang disebut dengan Hutan

Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan. Selanjutnya yang disebut dengan Hutan

Produksi Terbatas adalah hutan alam produksi yang karena faktor

topografi, kepekaan jenis tanah dan iklim sehingga pemanfaatan hasil

hutan kayunya dibatasi berdasarkan limit diameter tebang sesuai

dengan ketentuan yang berlaku (Kepmenhut 88/kpts-II/2003.

Sedangkan Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah kawasan hutan

produksi yang dapat diubah untuk kepentingan usaha perkebunan dan

tidak dipertahankan sebagai hutan tetap (Kepmenhut 146/Kpts-

II/2003)

Dari uraian-uaraian tersebut di atas, tampak bahwa konversi

hutan sebetulnya dapat dilakukan pada kawasan HPK. Walaupun

terdapat perkecualian apabila tidak terdapat fungsi HPK, maka

dimungkinkan pada kawasan hutan produksi lainnya dengan mekanisme

tukar-menukar lahan agar jumlah luasan hutan pada suatu wilayah

terdapat keseimbangan. Namun demikian Tidak semua HPK harus

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 12: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 8

dikonversi karena dalam kenyataannya bila kondisi HPK tersebut secara

geofisik dan sosial budaya dipandang perlu untuk dipertahankan dan

dibina sebagai kawasan hutan tepat maka HPK tersebut dapat dirubah

fungsinya menjadi kawasan dengan fungsi pokok lainnya seperti

kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, hutan lindung, HP atau

Hak Tanah Produksi Terbatas. Jadi tidak selalu HPK tersebut harus

dikonversi dijadikan penggunaan lain. Hal ini dimungkinkan karena

dalam kenyataannya penunjukan HPK pada waktu lalu tidak

berdasarkan survey atau pencermatan di lapangan yang sangat detail.

Sehingga sangat mungkin HPK yang telah ditetapkan tersebut mungkin

kondisi medannya bisa terjal sehingga tidak cocok digunakan untuk

kegiatan transmigrasi, pemukiman, pertanian atau perkebunan.

3. Kondisi Obyektif Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa kawasan hutan yang

mempunyai potensi untuk dialihkan kawasannya adalah fungsi hutan

produksi yang dapat dikonversi (HPK). Walaupun dalam kenyataannya,

terdapat beberapa kebijakan yang telah meng-alih fungsi-kan kawasan-

kawasan yang selama ini tidak dapat dikonversi, seperti hutan lindung.

Namun, untuk kepentingan reforma agraria, yaitu distribusi tanah bagi petani

miskin, maka seharusnya tanah-tanah yang secara agronomis layak

diusahakan untuk usaha-usaha berbasis tanah bagi para calon penerima

tanah. Sesuai dengan peruntukannya, maka Hutan Produksi Konversi-lah

(HPK) yang sebetulnya layak menjadi obyek tanah yang dapat

didistribusikan.

Selanjutnya berdasarkan PP 44/2004 (ibid : 1-2), kriteria HPK

adalah sebagai berikut : (1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,

jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka

penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, di luar kawasan

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 13: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 9

hutan/suaka alam dan kawasan/hutan pelestarian alam (2) kawasan hutan

yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan

transportasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan

lain-lain. Dengan demikian jelas bahwa HPK merupakan peruntukan hutan

yang available bagi kegiatan usaha berbasis tanah.

Berdasarkan kriteria tersebut, hingga tahun 2006, luas HPK

mencapai 22.795.961,00 ha (Lihat lampiran 2 : Luas Kawasan Hutan

dan Perairan...) Namun perlu perlu dicatat bahwa HPK itu sendiri

merupakan suatu kawasan yang memang dicadangkan untuk kepentingan-

kepentingan pembangunan lainnya yang non-kehutanan, sehingga angka

tersebut akan mengalami penyusutan. Demikian halnya dengan tingginya

konflik pemanfaatan lahan di kawasan HPK, baik dengan masyarakat sekitar

maupun pihak lainnya seperti transmigrasi dan usaha perkebunan besar

swasta

Berdasarkan data hingga tahun 2006 tersebut di atas, beberapa

propinsi seperti Aceh, kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,

Lampung, seluruh propinsi di Jawa dan Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi

Barat dan Maluku Utara adalah propinsi-propinsi yang tidak memiliki hutan

produksi yang dapat dikonversi. Oleh sebab itu di propinsi-propinsi tersebut,

untuk program distribusi tanah tidak mungkin mengambil dari kawasan

HPK, perlu diadakan skema yang lainnya, termasuk kemungkinan tukar-

menukar kawasan hutan produksi tetap dengan kawasan lainnya, atau pada

obyek tanah lainnya yang ada di bawah kewenangan BPN.

Sedangkan mengacu pada data mutasi kawasan hutan produksi yang

dapat dikonversi tahun 2003-2006 (Lampiran 3: Mutasi Kawasan

Hutan Produksi Terbatas...), terlihat bahwa Departemen Kehutanan

belum mempunyai pengalaman untuk melepaskan kawasan hutan untuk

kepentingan masyarakat miskin secara langsung, karena pada masa-masa itu

pelepasan kawasan diberikan kepada Taman Nasional, perkebunan dan

relokasi pada suatu kelompok hutan tertentu.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 14: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 10

Kawasan hutan belum clear karena perubahan – perubahan

kawasan, perambahan – perambahan belum terdata secara akurat sehingga di

lapangan terjadi kerumitan dalam penyusunan tata ruang daerah.

Misalnya berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Planologi

Kehutanan tersebut hingga tahun 2006, mutasi kawan hutan produksi yang

dapat dikonversi (HPK) mencapai lebih dari 22,5 juta ha. Dari penjelasan

diketahui konversi tersebut dapat dikategorikan pelepesan kawasn hutan

untuk perkebunan atas nama suatu kelompok masyarakat Buntu Turunan di

Sumatera Utara, menjadi kawasan Taman Nasional (Sebangau, Togean),

untuk perkebunan (Maluku, Maluku Utara, Riau, Kepulau Riau, Sulawesi

Barat, Sumatera Selatan) dan untuk kebutuhan LNG Tangguh. Dari data-data

itu tampak bahwa kepentingan perkebunan maish mendominasi alasan

konversi kawasan hutan.

4. Isu dan Permasalahan Konversi Kawasan Hutan

Konversi hutan merupakan salah satu isu yang sejak lama

berkembang dalam dunia pembangunan kehutanan di dunia, khususnya di

Indonesia. Konversi hutan ditengarai sebagai salahsatu penyebab dari

kerusakan hutan yang cukup parah di Indonesia, yang hal ini dapat dilihat

perhitungan deforestrasi 7 pulau besar di Indonesia tahun 2000-2005 di

Sumatera mencapai 1,3 juta ha, Kalimantan 1,2 juta ha, Sulawesi 866 ribu ha,

Maluku 214 ribu ha, Papua 718 ribu ha, Jawa 712 ribu ha dan Bali& Nusa

Tenggara 359 ribu ha. Dengan demikian dalam periode tersebut deforestrasi

di Indonesia mencapai 5,4 juta ha dengan rata-rata per tahun 1,01 juta ha

(Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2006). Tentunya hal

ini sangat mengkhawatirkan, mengingat fungsi hutan tidak hanya sebagai

penyedia kayu, melainkan fungsi-fungsi lainnya seperti jasa-jasa lingkungan

dari sumber daya hutan, termasuk dalam hal perubahan iklim dan fungsi

Daerah Aliran Sungai.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 15: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 11

Beberapa studi telah mencoba mengidentifikasikan masalah dan isyu

yang terkait dengan konversi hutan di Indonesia (Tim Perumus, 2000; Basyar

: anon; dan Djajono, 2007). Permasalahannya mulai dari perbedaan persepsi

tentang kawasan hutan yang dapat dikonversi, penelentaran kawasan hutan

yang telah dilepaskan (khususnya oleh perusahaan perkebunan), perbedaan

kepentingan antara para pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat), hingga

masalah perijinan yang tumpang-tindih baik di daerah maupun di tingkat

pusat.

4.1. Isu Persepsi Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi

Berdasarkan rumusan ”Lokakarya Moratorium Konversi Hutan

Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu sarat Hutang (Tim

Perumus, Agustus 2000) ternyata terdapat beberapa persepsi yang

berbeda mengenai cakupan konversi hutan, antara lain (1) konversi dari

hutan alam dapat terjadi pada hutan alam primer, hutan alam sekunder

dan hutan alam rusak, (2) konversi hanya berasal dari hutan kawasan

hutan konversi saja, (3) konversi dapat berasal dari semua kawasan

hutan, (4) konversi hutan alam mencakup perubahan untuk keperluan

non kehutanan, (5) konversi hutan alam mencakup perubahan untuk

seluruh keperluan termasuk hutan tanaman dan (6) konversi dapat

didasarkan pada ijin atau de facto proses yang sedang dan atau akan

terjadi di lapangan bagi yang ijinnnya sudah dikeluarkan.

Perbedaan pandangan ini tampaknya belum terselesaikan

dengan baik dengan baik di tingkat pusat, dan hal ini sangat terasa

dalam implementasi kegiatan pembangunan di daerah. Misalnya Walhi

perah menulis surat kepada Menteri Kehutanan RI terkait dengan ijin

prinsip Gubernur Kalimantan Tengah No 525.26/830/EK tanggal 6 juli

2004 tentang persetujuan prinsip perubahan status kawasan di wilayah

kabupaten Seruyan, propinsi Kalimantan Tengah. Dari hasil kinjungan

lapangan ternyata sekitar 16,177 ha merupakan tanah di wilayah aman

Nasional tanjung Puting (TNTP) yang jelas –jelas tidak diperbolehkan

adanya kegiatan selain konservasi. Sedangkan areal sisanya berada di

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 16: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 12

wilayah hutan produksi eks 2 HPH. Hal ini menunjukkan bahwa

pemerintah di daerah menjadi gamang dengan ketentuan mengenai

kawasan mana saja yang boleh dikonversi. Namun untuk kawasan

Taman nasional seharusnya sudah jelas tidak dimungkinkan. Selain itu,

dalam surat WALHI tersebut menyatakan bahwa untuk dapat diberikan

ijin pelepasan kawasan hutan (konversi), salah satu syaratnya adalah

tersediannya areal pencadangan pengganti berupa kawasan

pengembangan produksi atau kawasan pemukiman dan penggunaan

lainnya, sehingga luasan kawasan hutan dalam satu kesatuan unit tetap

proporsional (WALHI, 2004)

Kekhawatiran tentang konversi hutan sebetulnya telah lama

didengungkan, kemudian tim perumus (tahun 2000) kembali

memperingatkan tentang isu-isu penting apabila konversi hutan tidak

dihentikan, yaitu akan menimbulkan kehancuran hutan karena

deforestrasi dan degradasi hutan yang berskala besar.

Kelambanan dan kelengahan pengawasan terhadap kawasan

hutan, di tingkat lapangan telah menjadikan okupasi terhadap kawasan

hutan beradasarkan pengaruh-pengaruh politik lokal hingga

penggunaan identitas kesukuan. Misalnya di TN Kutai, penguasaan

wilayah-wilayah TN untuk permukiman dan perladangan telah

meruncing menjdai pertikaian antar etnis. Kemudian hal ini diperparah

dengan kepentingan jangka pendek dari elite politik lokal yang

memanfaatkan situasi untuk merebus konstituen. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa permasalahn kawasan hutan dan penguasaan

sumber dayanya seringkali gukan hanya bermotifkan penguasaan

sumber daya, tetapi harus dipahami dalam kaitan dengan kebudayaan

maupun politik lokal.

4.2. Penelantaran Kawasan Yang telah dilepaskan

Berikut ini adalah kutipan-kutipan media yang berkaitan

dengan penelantaran tanah. Beberapa diantaranya adalah :

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 17: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 13

Departemen Kehutanan banyak mengkonversi kawasan hutan karena tuntutan kepentingan pembangunan non kehutanan. Diantaranya untuk perkebunan, Departemen Kehutanan telah melepas kawasan hutan seluas delapan juta hektar. Tapi dalam realisasinya hingga saat ini baru dua juta hektar yang diusahakan oleh pihak perkebunan. Sisanya seluas enam juta hektar masih belum diusahakan, tapi sudah gundul. ....”yang perlu diwaspadai adalah perilaku land banking dari para pemegang ijin usaha perkebunan. Yakni mereka menabung tanah dan melakukan spekulasi tanah. Pada saat yang lain tanah itu dilepas untuk keperluan lain. Sehingga mereka mendapat keuntungan besar tanpa mengusahakan tanah tersebut” (Kusukabumiku.blog.26 oktober 2006)

Kemudian kutipan-kutipan yang berskala daerah, diantaranya adalah :

Lahan terlantar di wilayah Lampung hingga sekarang diperkirakan mencapai 75 ribu hektar atau 2,27 persen dari luas provinsi itu, dan lahan terlantar itu terdapat di hampir seluruh wilayah Lampung. (Berita Sore, Lampung, 21 April 2008)

Departemen Kehutanan tidak bisa mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang menelantarkan lahannya di Kabupaten Siak, Riau. "Karena kewenangan pencabutan izin HGU berada di Badan Pertanahan Nasional," kata Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban. Perusahaan HGU yang menelantarkan lahannya itu adalah PT. Teguhkarsa Wanalestari yang memiliki konsesi lahan seluas 7 ribu hektar dan PT. Tri Setya Usaha mandiri dengan lahan konsesi seluas 10 ribu hektar. Akibatnya, Pemerintah Daerah Riau dan PT Perkebunan Nusantara V meminta untuk menjadi pengelola lahan itu. Selain itu, terdapat dua perusahaan lain yang berstatus pelepasan kawasan hutan konversi yang juga menelantarkan lahannya. Perusahaan itu adalah PT. Priyatama Riau dengan lahan seluas 6 ribu hektar dan PT. Duta Swakarsa Indah dengan lahan seluas 12.600 hektar. Menurut Kaban, untuk perusahaan yang baru berstatus pelepasan lahan, pencabutan izin harus melihat terlebih dahulu jenis izin yang akan dikeluarkan selanjutnya. Jika berupa izin Hutan Tanaman, maka peninjauan masih dimungkinkan. "Namun, jika berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) harus menunggu habis izinnya. Kalau tidak, kami bisa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara,"katanya. (Tempo, 2 September 2005)

Kutipan-kutipan tersebut -- yang kasus-kasusnya berada di

wilayah studi ini -- memperlihatkan bahwa masalah tanah terlantar

demikian kompleksnya di Indonesia ini dan juga terkait dengan

kewenangan yang berbeda dari satu lembaga dengan lembaga

pemerintah lainnya. Namun dari kutipan tersebut tampak bahwa untuk

segala kegiatan yang berkaitan dengan investasi pemerintah tampaknya

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 18: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 14

memberikan ruang yang cukup luas untuk pelepasan kawasan hutan

untuk kepentingan investasi, walaupun seringkali ditelantarkan. Hal ini

seharusnya memberikan pelajaran bahwa untuk distribusi tanahpun

seharusnya pelepasan kawasan harus dimudahkan. Walaupun tentu saja

mekanisme yang ada harus menjamin agar pelepasan kawasan ini tidak

akan mempunyai masalah seperti pelepasan kawasan untuk usaha

investasi.

Sungguhpun pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah

mencoba memfasilitasi kegiatan-kegiatan pembangunan diluar akvitas

kehutanan pada kawasan hutan, melalui pelepasan kawasan; namun

pada kenyataannya kawasan yang telah dilepaskan itu tidak digunakan

sebagaimana mestinya dikarenakan berbagai alasan. Para pihak yang

terlibat dalam penelantaran itu terdiri dari para pengusaha swasta

(utamanya adalah Perkebunan Besar Swasta – PBS) maupun

penyelenggaran tranmigrasi. Misalnya temuan dari Basyar (anon) pada

tahun 1999 dari luas pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454

perusahaan), dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654

ha (245 perusahaan) ternyata realisasi penanaman hanya seluas

1.751.319 ha. Demikian halnya dengan propinsi Kalimantan Timur. Dari

sekitar 146 PBS yang telah mendapatkan kawasan dengan pencadangan

lahan 2,299 juta hektar, ternyata kegiatan penanaman baru dilakukan 39

perusahaan seluas 87.833,43 hektar saja. Dari situ situ tampak bahwa

walau kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan

besar swasta telah difasilitasi oleh pemerintah namun banyak yang

belum melakukan aktivitas pengolah kebun dengan berbagai alasan.

Namun, ditengarai bahwa para pengusaha seringkali lebih mengincar

potensi kayunya dibandingkan untuk mengusahakan menjadi kebun

kepala sawit yang produktif.

Demikian halnya dengan tanah untuk kegiatan transmigrasi,

sekitar 601.658 ha kawasan hutan yang telah disetujui oleh Menteri

Kehutanan untuk 432 unit permukiman transmigrasi ternyata belum

dilepaskan karena belum dilakukan tata batas.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 19: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 15

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Tabel 1

Luas Tanah Terlantar di Indonesia, 2005/2006

Sumber : Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 29 No 23 Tahun 2007

Tanah terlantar merupakan suatu ironi dari ketimpangan antara

rakyat yang membutuhkan lahan untuk menyambung hidupnya pada

satu sisi, sementara pada sisi lainnya jutaan hektar tanah tidak digarap

dan tidak jelas statusnya. Data dalam tabel tersebut memperlihatkan

bahwa Kalimantan dan Sumatera merupakan suatu region dimana luas

lahan yang terlantar sangatlah luas. Hasil temuan dari Pulitbang

Pertanian (2007) telah mengidentifikasikan beberapa jenis lahan

terlantar, yaitu (1) lahan bekas HGU yang sudah habis waktunya, (2)

lahan HGU swasta yang hanya membuka hutan, mengambil hasil

kayunya tetapi tidak melakukan penanaman, (3) lahan negara sisa

kebakaran hutan, (4) unit pemukiman transmigrasi (lahan restan)1

Masalah tanah terlantar ini sebetulnya telah disadari

sepenuhnya oleh pemerintah baik pada masa lalu hingga masa kini.

UUPA sendiri telah memberikan beberapa pasal agar penelantaran

tanah tidak terjadi. Misalnya pasal 27, Pasal 34 dan pasal 40 dalam

UUPA (Parlindungan, 2003). Kemudian Peraturan Pemerintah No

1 Menurut Klarifikasi dari Depnakertrans lokasi tanah redistran yang pemukiman mendapat 10% artinya untuk transmigrasi swakarsa mandiri artinya dia akan berpindah dengan sendirinya waktu lokasi sudah berkembang akan dialokasikan tanah yang ada di situ. Sekarang sedang mengadakan kerjasama permintaan dengan Perkebunan yang ada di sekitar permukiman

Luas Lahan Pulau Ha %

Sumatera 3.039.390 24,5 Jawa 53.330 0,4

Bali dan Nusa Tenggara 913.785 7,4 Kalimantan 7.424.375 59,8

Sulawesi 987.176 7,9 Maluku dan Papua Td td

Total 12.418.056 100

Page 20: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 16

36/1998 sebetulnya suatu langkah yang nyata untuk mencegah

penelantaran. Dalam Pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa… “tanah terlantar

adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah,

pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar

penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”….

Dalam loka-karya regional di Lombok Nusa Tenggara Barat,

para peserta yang berasal dari wilayah regional Kalimantan dan Nusa

Tenggara (NTB khususnya) memaparkan tentang masalah tanah

terlantar ini dari perspektif keadilan. Karena pada satu sisi maíz banyak

masyarakat miskin yang ingin mengelola suatu kawasan tanah untuk

lahan pertaniannya menghadapi kendala perijinan untuk

memperolehnya. Sedangkan pada sisi lain, para pengusaha swasta

demikian mudahnya mendapatkan perijinan untuk mengelola suatu

kawasan. Namur sebetulnya para pengusaha itu hanya ingin

mendapatkan ijin membuka hutan (berupa IPK), kemudian

menelantarkannya. Dalam diskusi tersebut berkembang pembicaraan

tentang kelemahan yang terkandung dalam PP 36/1998, diantaranya

adalah :

• jangka waktu hak atas tanah yang dikategorikan sbagai tanah

terlantar

• peringatan kepada pemegang hak yang berjarak sekitar 12 bulan,

kemudian alasan proses peringatan inipun berjalan lamban karena

tidak jelas dimana alamat si pemegang hak dan sertifikat yang

diagunkan ada di bank karena telah menjadi hak tanggungan.

Padahal hak tanggungan adalah urusan privat, sedangkan

pencabutan adalah hak publik.

• Proses yang cukup panjang untuk mengetahui adanya penelantaran

hingga tindakan yang perlu dilakukan, mulai BPN kabupaten, Kanwil

BPN propinsi Hingga BPN pusat.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 21: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 17

Mengambil pengalaman pengetahuan dari para peserta,

menunjukkan bahwa hanya 3 kasus saja yang diproses ke BPN pusat. Ini

memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah. Padahal tanah-tanah

terlantar tersebut adalah tanah pertanian, artinya sangat berpengaruh

terhadap kehidupan masyarakat

Sedangkan Parlindungan (2003) mengidentifikasikan 4

permasalahan dari PP 36/1998 ini, yaitu (1) tidak/belum menjelaskan

untuk kategori tanah terlantar jangka waktunya berapa tahun, (2)

Untuk di Desa dan Perkotaan belum diperinci berapa luas dan berapa

tahun tanah terlantar (3) Peraturan Perundangan Republik Indonesia

No.36 tahun 1998 untuk tanah terlantar baru hanya untuk tanah Hak

Milik. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Hak Pakai dan Hak

Pengelolaan (belum mencakup) untuk tanah-tanah terlantar untuk Hak

atas tanah yang lain (seperti) (a) tanah waqaf (b) tanah yang

dipergunakan untuk Real Estate, (c) tanah sudah dibebaskan tetapi

ternyata hanya sebagian yang dibangun dan sebahagian lagi hanya

menjual tanah (spekulasi tanah) dan (4) Tanah-tanah adat dan Hak

Ulayat belum ada katagori yang disebut sebagai kategori tanah terlantar.

Jangka waktu suatu tanah dianggap sebagai terlantar menjadi

penting untuk ditetapkan, mengingat pada bagian inilah dapat menjadi

ruang negosiasi bagi para pengusaha untuk menghindarkan diri dari

tuduhan melakukan penelantaran. Karena sangat dimungkinkan

berbagai alasan akan dikemukakan oleh pihak pengusaha untuk

menghindar dari tuduhan penelantaran.

Secara hukum adat, pada masa lalu dikenal berbagai istilah

“tanah terlantar” di beberapa daerah, tetapi lebih mengacu kepada

pengaturan subyek hukum masyarakat untuk obyek hukum seperti

hutan, semak-belukar, perladangan dan sawah. Misalnya di daerah

Grobogan Jawa Tengah dimana bagian sawah yang tidak dikerjakan

selama 3-5 tahun akan dikembalikan kepada masyarakat local,

kemudian di Jambi yang disebut dengan tanah terlantar adalah lading-

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 22: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 18

ladang yang berasal dari kawasan hutan, hutan tua, belukar yang selama

2-3 tahun tidak dimanfaatkan dianggap sebagai tanah terlantar.

Sedangkan untuk obyek tanah sawah apabila 5 tahun tidak dikerjakaan

dianggap sebagai tanah terlantar (ibid : 5-6)

Masalah penelantaran tanah sebetulnya dapat diantisipasi

melalui peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang. Menurut

Prof Maria Sumardjono prakarsa yang diawali dengan pengaturannya

dalam konsep RUU Hak Milik sepatutnya didukung dan perlu

diupayakan elaborasinya untuk selanjutnya dapat diterapkan pula

terhadap hak-hak atas tanah lainnya, kecuali HGU (Sumardjono, 2008 :

16). Namun RUU Hak Milik itu belum ada juga (Majalah Parlementaria,

5 Agustus 2007). Padahal dalam Prolegnas 2006-2009 RUU Hak Milik

menempati nomor urut pertama.

Kemudian perlu dilakukan elaborasi yang menyangkut lima hal

(Sumardjono, op.cit : 16-17), yaitu (1) pengertian tidak

diolah/dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu dalam arti sejauh

mana suatu usaha telah dilakukan pemegang hak dianggap emmenuhi

syrat “diolah/dimanfaatkan”, dengan mengacu kepada ketentuan

tentang tata ruang atau tata guna tanah da ketentuan lainnya yang

relevan, (2) instansi dan personalia yang kelak akan duduk dalam

panitia yang bertugas meneliti tentang adanya tanah terlantar sesuai

dengan jenis hak atas tanahnya, (3) pertimbangan/alasan yang dapat

diterima sebagai perkecualian dari tindakan menelantarkan tanah

karena tidak adanya kesengajaan dari peemgang hak, (4) pejabat yang

berhak menyatakan bahwa sebidang tanah adalah tanah terlantar dan

mekanisme untuk menentukan tanah terlantar. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa syrata untuk menentukan tanah terlantar adalah

pengertiannya, obyeknya, subyeknya, jangka waktunya, menkanismenya

serta instansi yang berwenang untuk menanganinya. Namun sebetulnya

dalam PP 36/1998 telah memberikan isi dari substansi yang dimaksud,

namun dalam praktek di lapangan hal ini masih terkendala dengan

penegakan hukum yang lemah terhadap para pelaku penelantaran.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 23: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 19

Walaupun tanah terlantar dan isu konversi kawasan hutan

merupakan hal yang berbeda, namun pada tingkat lapangan tidak dapat

disipisahkan begitu saja, mengingat tanah-tanah-tanah yang terlantar

kebanyakan berasal dari kawasan hutan yang dapat dikonversi, artinya

terjadi hubungan yang saling terkait

4.3. Perencanaan dan Perijinan

Di tingkat provinsi/kabupaten telah ada rencana pemanfaatan

kawasan hutan HPK untuk kebutuhan non kehutanan tanpa

mempertimbangkan peruntukan kawasan berdasarkan petunjuk dari

Menteri Kehutanan. Hal ini dapat diperiksa melalui RTRW Provinsi.

Salah satu contohnya adalah di Kalimantan Timur, dalam studi yang

dilakukan menunjukan bahwa berbagai rencana investasi yang

menyangkut perkebunan kelapa sawit dan batu bara berada di wilayah

HPK yang belum diminta pelepasan kawasan. Hal ini menimbulkan

konflik yang berlarut antara pemerintah peopinsi Kalimantan timur

dengan Menteri Kehutanan

Pada sektor pertambangan jika diperhatikan sampai saat ini

belum adanya rencana spasial. Biasanya sektor pertambangan ini akan

terjadi konflik dengan sektor yang lain. Karena di sektor pertambangan

ini bahkan areal yang sudah direklamasi kalau dilihat bahwa komoditas

dengan kualitas tertentu pasar memintanya akhirnya areal yang sudah di

reklamasi akhirnya dibongkar kembali dan ditambang kembali bisa

dilihat misalnya tambang batu bara dan tambang nikel. Sehingga

akhirnya apa yang sudah direklamasipun akan ditambang kembali

Demikian halnya dengan pemekaran wilayah administrasi

kabupaten biasanya banyak juga yang kurang memperhatikan Rencana

Tata Ruang Wilayah. Sehingga tidak heran kadangkala ada suatu

kabupaten pemekaran yang wilayahnya sama dengan atau hampir

seratus persen sama dengan wilayah taman nasional. Ini karena saat

pengembangan wilayah administrasi kurang memperhatikan rencana

tata ruang yang ada di wilayah tersebut.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 24: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 20

4.4. Klaim Masyarakat

Klaim masyarakat baik invidu maupun kelompok (termasuk

masyarakat adat). Klain-klaim seperti ini seringkali tidak diselesaikan

dan kedua pihak menganggap mempunyai hak terhadap kawasan

tersebut. Walaupun ada inisiatif-inisiatif seperti di Kabupaten Kutai

Barat dengan Perda-Perda untuk penanganan konflik, termasuk dalam

hal tata batas antar kampung. Namun di pihak masyarakatpun terdapat

perbedaan yaitu ada kelompok yang memang telah menempati kawasan

tersebut jauh sebelum penunjukan kawasan hutan, biasanya ini adalah

kelompok masyarakat adat. Kelompok masyarakat yang datang

setelahah penunjukan kawasan, namun tidak tahu kalau kawasan

tersebut telah ditunjuk menjadi kawasan HPK. Kelompok ketiga adalah

kelompok masyarakat yang memang pura-pura tidak tahu atau atas

suruhan pemilik modal untuk mengokupasi suatu kawasan HPK

Masyarakat yang ada di kawasan hutan memang bersifat

kompleks, karena itu klasifikasinyapun tidak bersifat tunggal. Sarjono

(2004) mengidentifikasi berbagai tipe masyarakat di kawasan hutan,

antara lain masyarakat pemburu (hunter), masyarakat peramu

(gatherer), penghuni hutan (forest dweller, petani di sekitar hutan

(forest farmer), penduduk desa di sekitar kawasan hutan (forest

surrounding villager), masyarakat terisolir, masyarakat baru yang

transisi, masyarakat yang menetap, masyarakat penghuni hutan (forest

dweller), masyarakat adat pengelola hutan (indigenous peoples),

masyarakat pemilik hutan (forest owner). Beragamnya penyebutan

kelompok-kelompok masyarakat di kawasan hutan itu untuk

menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang tinggi dari berbagai

kelompok masyarakat yang ada di kawasan hutan di Indonesia, sehingga

cara penanganannyapun harus berbeda pula. Namun, pada dasarnya

harus diakui adanya masyarakat yang masih sepenuhnya menggunakan

hukum negara dalam kehidupannya, dan masih banyak pula yang

menggunakan hukum adat dalam kesehariannya.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 25: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 21

4.5. Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus

Perubahan konstelasi politik dan tata pemerintahan di

Indonesia telah menghasilkan otonomi daerah dan otonomi khusus.

Kedua bentuk otonomi ini mempunyai dampak yang signifikan dari

pengelolaan sumber daya alam, termasuk didalamnya yag berkaitan

dengan pengelolaan hutan. Tuntutan terhadap konversi kawasan hutan

dilakukan oleh pemerintah daerah, mengingat pada beberapa propinsi

luasan kawasan budi daya non kehutanan sangat terbatas, sementara

kawasan hutan tetap dan kawasan lindungnya cukup luas. Otonomi

daerah yang menuntut pemerintah di daerah untuk menghasilkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) kebanyakan mengharapkan pendapatan

dari pemanfaatan sumber daya alam, terutama yang berasal dari

kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan tersebut pada umumnya

diberikan kepada kalangan swasta untuk kepentingan perkebunan

(utamanya kelapa sawit) dan pertambangan (batu bara). Kepentingan

pemerintah daerah untuk mendapatka tanah-tanah dari kawasan hutan

ini seringkali berbenturan dengan kepentingan pemerintah pusat untuk

menetapkan kawasan hutan produksi tetap maupun kawasan lindung

Selain adanya otonomi daerah, provinsi Papua telah

mendapatkan otonomi khusus melalui UU 21/2001. Otonomi khusus

yang pada intinya memberikan kesempatan yang kebih luas kepada

masyarakat ”asli” Papua untuk memainkan peranan yang lebih besar

dalam kegiatan pembangunan, termasuk menikmati hasil-hasil

pembangunan di daerah tersebut. Namun implikasi lainnya adalah

adanya berbagai aturan yang bersifat khusus dalam hal pengelolaan

sumber daya alam, yang menyebabkan intervensi dari pemerintah pusat

tidak mudah dilakukan. Termasuk didalamnya mengenai reforma

agraria.

Desentralisasi dapat menimbulkan konflik perijinan

penggunaan dan pemanfaatan lahan kawasan hutan. Ini bisa dilihat

bahwa pada kawasan hutan yang telah diterbitkan ijin oleh pusat di

daerah seringkali pada kawasan yang sama diterbitkan ijin dari bupati.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 26: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 22

Sehingga pada obyek yang sama terjadi tumpang tindih perijinan dan ini

merupakan masalah dan mengakibatkan deforestasi yang tidak

terkendali.

5. Analisis Regulasi dan Kelembagaan

Konversi kawasan hutan untuk kepentingan kegiatan non-kehutanan

telah diatur melalui berbagai peraturan, mulai dari secara prinsipil melalui

UU Kehutanan No 41/1999 berikut peraturan pelaksanaannya. Peraturan itu

antara lain (Djajono,2007):

• SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan,

Perubahan status dan fungsi Kawasan Hutan. Serta Perubahannya melalui

SK Menut No. 48/Menhut-II/2004.

• SK Menhut No. 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan

Hutan. Serta perubahannya melalui Permenhut No. P.66/Menhut-

II/2006.

• SKB Menteri kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No.

364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/90, No. 23-VIII-1990 tentang

Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk

PengembanganUsahaPertanian.

• Kepmenhut No. 418/Kpts-II/1993 Tentang Penetapan Tambahan

Persyaratan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha

Pertanian. Serta Perubahannya melalui SK Menhut No. 250/Kpts-II/1996.

• Permenhut No. P.13/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan

dalam Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

• SKB Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri

Menteri Kehutanan No. SKB.126/MEN/1994, No. 422/Kpts-II/1994

tentang Pelepasan Areal Hutan Untuk pemukiman Transmigrasi.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 27: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 23

Selain peraturan tersebut, beberapa peraturan lainnya mencoba

untuk menjadi safety guard dari kebijakan yang sebelumnya dikeluarkan,

yaitu diantaranya adalah :

• SK No. 76/Kpts-II/1997 tentang Pelimpahan Wewenang Pencabutan

Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Untuk

Budidaya Perkebunan Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

• Peraturan Pemerintah No 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar

• SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998 tentang luas maksimum pelepasan

kawasan hutan untuk budidaya perkebunan Pembatasan luas pelepasan

kawasan hutan untuk budidaya perkebunan diberlakukan pada tahun

1998 lewat SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998. Perusahaan atau

kelompok perusahaan, diperbolehkan mendapatkan lahan maksimal

seluas 20.000 ha dalam satu propinsi atau 100.000 ha untuk seluruh

Indonesia

• SKB Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan

Pertanahan Nasional No.364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/7/90, dan

23-VIII-1990

• Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk

perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan mengganggu

lingkungan hidup dan kelestarian hutan (SK Mentan No.

764/Kpts/Um/10/1980), memperhatikan usaha konservasi tanah dan air

(SKB Mentan dan Menhut No. 550/246/Kpts/4/1984, 082/Kpts-II/1984,

memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup (SK Menhut

No. 145/Kpts-II/1986)

• Surat Edaran Nomor 603/Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000

yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia

mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak

menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk

tujuan usaha perkebunan.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 28: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 24

Konversi kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan yang telah

difasilitasi oleh berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen

Kehutanan maupun Surat Keputusan Bersama dengan departemen/badan

lainnya seperti BPN, Transmigrasi dan Pertanian/Perkebunan telah

berlangsung sejak lama. Pada intinya menunjukan bahwa kawasan hutan

dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi memang ditujukan untuk

kepentingan pembangunan lainnya. Sejauh ini terdapat dua bentuk konversi

kawasan hutan menjadi non kawasan hutan, yaitu untuk perkebunan besar

dan transmigrasi. Namun sejauh ini belum ada pengalaman konversi untuk

kegiatan yang terkait dengan distribusi tanah negara. Walaupun program

transmigrasi merupakan salah satu bentuk landreform di Indonesia, namun

sifat perubahan kawasannya masih didominasi oleh peranan yang dominant

dari lembaga pemerintah. Pelepasan kawasan untuk kepentingan reforma

agraria, yaitu berupa distribusi tanah bagi rakyat miskin sejauh ini belum

pernah dilakukan. Departemen Kehutanan cenderung untuk melakukan

program-program yang terkait dengan pemberian akses pemanfaatan sumber

daya hutan melalui program PHBM, Hutan Rakyat, SHK, HkM, dan

sebagainya.

Walaupun pelepasan kawasan hutan merupakan tindakan legal yang

direncanakan (seperti adanya HPK), kemudian Departemen Kehutanan

sendiri merancang berbagai peraturan yang pada intinya berusaha untuk

mencegah kerusakan sumber daya alam melalui pemanfaatan kawasan yang

lestari, namun tetap saja laju kerusakan berlangsung dengan cepat. Selain itu,

fakta menunjukkan bahwa pemberiian ijin perubahan kawasan hutan

(khususnya untuk perkebunan), tidak segera dimanfaatkan oleh para

pengusaha perkebunan. Para pengusaha ini pada awalnya masih melihat

adanya celah mengenai tidak adanya ketentuan tentang masa tenggang dari

pemberian ijin prinsip, penataan batas, land clearing dan proses penanaman

tanaman yang akan diproduksi. Namun belakangan baru dimunculkan

beberapa SK yang pada intinya mengatur tentang (1) masa tenggang, (2)

maksimal luas lahan, dan (3) himbauan penghentian ijin yang ditujukan

kepada pemerintah di daerah.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 29: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 25

Tampaknya persoalannya bukan terletak pada ketiadaan peraturan,

melainkan pada beberapa hal, (1) penegakan hukum yang lemah di tingkat

lapangan, (2) benturan kepentingan antara ekonomi dan konservasi, (3)

benturan kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,

termasuk juga benturan kepentingan antara pemerintah propinsi dengan

pemerintah kota/kabupaten.

Lemahnya penegakan hukum dapat dilihat dari belum dicabutnya

ijin-ijin prinsip bagi perusahaan yang jelas-jelas telah menelantarkan

lahannya, karena prusahaan masih bisa berkelit dengan berbagai alasan

mengenai iklim investasi, masalah belum jelasnya aturan dan yang paling

sulit dibuktikan, tetapi dirasakan dampaknya adalah kemungkinan adanya

keterlibatan aparat pemerintah yang melanggar prosedur pekerjaan.

Selain itu, kehadiran UU otonomi daerah yang seharusnya disambut

sebagai bagian dari proses demokratisasi dan pemerataan pembangunan di

seluruh daerah di Indonesia, ternyata berdampak lain di daerah. Pemerintah

di daerah merasa bahwa pemerintah pusat belum sepenuhnya rela untuk

melepaskan kewenangannya, sementara itu pemerintah di daerah yang

merasakan paling memahami situasi pembangunan di daerahnya seringkali

membuat kebijakan yang tumpang tindih dan bertentangan. Kasus-kasus

timpang tindih ijin prinsip antara satu perusahaan dengan perusahaan

lainnya yang kerapkali terjadi di daerah

Benturan kepentingan antara pihak yang mendukung konservasi

dengan yang mendukung pertumbuhan ekonomi seringkali terjadi di daerah-

daerah. Para pengusaha dengan mengatasnamakan untuk kepentingan

ekonomi, seringkali menabrak aturan-aturan yang ada di kawasan hutan

Selain faktor regulasi, faktor kelembagaan memainkan peranan yang

sangat penting, khususnya dengan pemberlakukan otonomi daerah, dimana

kekuasaan pemerintah pusat tidak terlalu kuat seperti pada masa lalu, dan

munculnya actor-aktor baru di daerah yang tidak segan-segan untuk

mengabaikan regulasi yang ada di pemerintah pusat, apabila dianggap tidak

menguntungkan pembangunan di daerah

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 30: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 26

Selain itu, walaupun telah terjadi perbaikan hubungan antara

kalangan pemerintah dengan organisasi non-pemerintah (atau LSM). Namun

agenda dari kedua institusi ini masih belum sejalan. Ornop semestinya tidak

hanya menjalankan fungsi menyuarakan kritik saja, melainkan memberikan

solusi alternative terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

sekarang ini

6. Reforma Agraria dan prioritas program Departemen Kehutanan

Reforma agraria adalah suatu kesepakatan politik yang tidak hanya

dapat dijalankan oleh satu periode kepemimpinan nasional, Namun harus

dilakukan secara berkesinambungan. Demikian halnya dalam suatu periode

kepemimpinan nasional, reforma agraria tidak dapat diletakkan tanggung

jawabnya hanya semata-mata kepada Badan Pertanahan Nasional. BPN

memang dapat menjadi leading agency dalam hal reforma agraria, tetapi

perlu didukung oleh departemen lainnya, mengingat “agraria” ada di berbagai

sector. Dalam hal ini posisi Departemen Kehutanan menjadi salah satu tulang

punggung keberhasilan reforma agraria, khususnya dalam distribuís tanah.

Mengingat masih banyak tanah-tanah yang sebetulnya eligible untuk

didistribusikan, tetapi berada dibawah yuridiksi Departemen kehutanan.

Namur apabila kita melihat SK Menteri Kehutanan Nomor 456/Menhut-

II/2004, tentang lima kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam program

pembangunan nasional kabinet Indonesia Bersatu, terdiri dari :

a. Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan perdagangan kayu

illegal.

b. Revitalisasi Sektor Kehutanan, khususnya Industri Kehutanan.

c. Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan.

d. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di Sekitar Kawasan

Hutan.

e. Pemantapan Kawasan Hutan.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 31: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 27

Tampak bahwa reforma agraria belum dianggap sebagai program

prioritas Departemen Kehutanan. Namun demikian prioritas tentang

pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan

dapat menjadi jalan masuk mengenai akses masyarakat untuk memanfaatkan

kawasan hutan melalui program-program seperti PHBM, Hutan

kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan sebagainya. Namun tampaknya

pelepasan kawasan untuk distribusi tanah negara tampaknya belum menjadi

bagian dari priorita sprogram. Apalagi rancangan

Distribusi tanah kawasan hutan memang belum merupakan prioritas

bagi Departemen Kehutanan karena memang Dephut kalau diperhatikan

memang tidak ada yang berkaitan dengan distribusi tanah kawasan hutan.

Sehingga kalau hal itu tidak merupakan program prioritas Departemen

Kehutanan mungkin bisa dimaklumi, karena memang distribusi tanah

kawasan hutan memang bukan TUPOKSI dari Departemen Kehutanan.

Departemen Kehutanan hanya mengatur akses masyarakat pada tanah dan

sumberdaya kawasan hutan. Hal itu dapat dipacu melalui program

pembangunan hutan bersama masyarakat, atau pembangunan melalui

program hutan tanaman rakyat. Dimana program ini juga memberi akses

pada kemudahan masyarakat misalnya HTR yang diberikan ijin selama 60

tahun kepada masyarakat untuk memperoleh lahan sekitar 15 hektar yang

dapat diperpanjang selama 35 tahun. Sehingga tanpa memiliki lahan kawasan

hutan tersebut bisa mengakses selama 95 tahun pada kawasan hutan

tersebut.

7. Kesimpulan dan Rekomendasi

7.1. Kesimpulan

1. Reforma agraria yang dicanangkan oleh pemerintah melalui

distribusi tanah negara pada daerah-daerah di luar Jawa hanya dapat

dimungkinkan dengan adanya perubahan hutan produksi yang dapat

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 32: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 28

dikonversi menjadi tanah-tanah negara yang dapat didistribusikan

dan layak dijadikan usaha untuk pertanian bagi masyarakat miskin

2. Dari sisi obyektif reforma agraria di Indonesia membutuhkan tanah

yang berasal dari konversi kawasan hutan, namun ketersediaan

kawasan yang dapat dikonversi melalui Hutan Produksi yang dapat

Dikonversi (HPK) luasannya belum memadai dan masih

diperebutkan untuk kepentingan non-kehutanan lainnya seperti

perkebunan, pertambangan dan transmigrasi

3. Tidak semua propinsi mempunyai kawasan HPK, sehingga tidak

semua propinsi dapat mengandalkan tanah-tanah untuk obyek

reforma agraria yang berasal dari kawasan HPK. Sehingga pada

propinsi-propinsi tersebut diperlukan kebijakan lainnya untuk

mencari kawasan yang dapat menyediakan tanah untuk kepentingan

distribusi

4. Pemerintah telah cukup memberikan berbagai regulasi yang terkait

dengan konversi kawasan hutan, termasuk untuk mengurangi

dampak kerusakannya, namun tanpa suatu penegakan hukum yang

kuat dari institusi lainnya, maka regulasi tersebut tidak akan

mengurangi dampak kerusakan hutan akibat konversi hutan

5. Konversi kawasan hutan selama ini hanya terjadi untuk kawasan-

kawasan yang dimintakan oleh institusi swasta maupun pemerintah,

seperti perkebunan, transmigrasi dan pertambangan Pemerintah

belum mempunyai pengalaman melakukan konversi kawasan hutan

untuk kepentingan distribusi tanah kepada masyarakat. Oleh sebab

itu diperlukan suatu mekanisme pengaturan di tingkat Departemen

Kehutanan untuk memberikan petunjuk mengenai tata-cara

pelepasan kawasan untuk kepentingan distribusi tanah negara,

seperti pengaturan tentang kewajiban dan hak dari calon penerima

manfaat, kewenangan yang ada di tingkat pemerintah daerah dan

peran serta kelompok-kelompok non pemerintah dalam pelepasan

kawasan hutan untuk kepentingan distribusi tanah.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 33: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 29

6. Walaupun reforma agraria di kawasan hutan bukanlah Tupoksi dari

Departemen Kehutanan dan juga belum menjadi prioritas program;

tetapi sebagai sebuah program nasional yang mendesak, maka

diperlukan peran yang lebih besar dari Dephut untuk terlibat dalam

kegiatan reforma agraria dan memasukannya menjadi suatu program

nasional

7. Departemen Kehutanan selama ini telah mempunyai beberapa

program kehutanan di Jawa dan luar Jawa yang pada intinya

memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan

kawasan hutan. Program-program tersebut dilakukan pada kawasan

hutan hak maupun hutan negara dan mempunyai prinsip security

tenure, dalam jangka waktu tertentu dan tidak memberikan hak

kepemilikan kepada penerima manfaat,

8. Penelantaran tanah oleh para pengusaha merupakan suatu indikasi

mengenai lemahnya penegakan hukum di tingkat lapangan,

termasuk peraturan pemerintah yang mengatur penelantaran tanah

itu sendiri mengandung beberapa ketidak-jelasan mengenai

pengertian menelantarkan, jangka waktu penelantaran, dan proses

sanksi yang diberikan kepada pihak yang menelantarkan

9. Impelementasi otonomi daerah telah menimbulkan konflik

kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, hal

ini terjadi bukan karena regulasi dari otonomi itu sendiri, melainkan

belum disadarinya niat mulia yang terkandung didalam otonomi

daerah, yaitu memperkuat kapasitas pemerintah di daerah dan

mensejahterakan masyarakat di daerah.

7.2. Rekomendasi

1. Diperlukannya suatu Kepres yang secara khusus mencadangkan

kawasan hutan untuk kepentingan reforma agraria, yaitu distribusi

tanah bagi masyarakat miskin. Apabila pemerintah sebelumnya telah

berani mengeluarkan Perpu untuk kepentingan usaha pertambangan,

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 34: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 30

maka Kepres tentang pencadangan tanah untuk reforma agraria

yang tanahnya berasal dari kawasan hutan merupakan tugas

pemerintah untuk mewujudkannya

2. Reforma agraria perlu menjadi salahsatu prioritas program dari

Departemen Kehutanan, karena potensi tanah-tanah negara yang

akan didistribusikan kebanyakan berada di wilayah kehutanan.

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

Page 35: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas

31

Kewajiban : Pungutan ijin hasil hutan (2) pungutan lainnya

n : Pungutan ijin hasil hutan (2) pungutan lainnya

Lampiran 1 Lampiran 1

Sumber : Bachriadi, dkk 2005 : 73 Sumber : Bachriadi, dkk 2005 : 73

Catatan : nomenklatur seperti Kantor Wilayah masih mengikuti sebelum

penerapan otonomi daerah

Catatan : nomenklatur seperti Kantor Wilayah masih mengikuti sebelum

penerapan otonomi daerah

Permohonan Hak Pengelolaan

Gambar 2: Gambar 2:

Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan untuk untuk Transmigrasi

SK Pelepasan (Syarat untuk sertifikasi pengelolaan)

Penerimaan BAP

Penerimaan Saran dan Rekomendasi

Surat Permohonan

Saran dan Pertimbangan

Penerimaan Permohonan Pertimbangan

Penerimaan Permohonan Pertimbangan

Proses Penyusunan

Pertimbangan

Mengajukan Surat

Permohonan

Peta Kaw. Hutan Peta Survei Laporan Hasil Survey Laporan Hasil Studi Tahap Kedua

Penyampaian Saran dan

Pertimbangan

Menteri Kehutanan

Tim Pertimbangan Sekjen Kehutanan

MenTrans dan Perambah Hutan

Penolakan Permohonan

Penerimaan Prinsip

Pencadangan Kawasan Hutan

Kanwil

Kehutanan

Penerimaan Prinsip

Pencadangan Kawasan Hutan

Surat Permohonan

Permohonan Kawasan

HPH

Melaksanakan Kegiatan dalam Surat

Persetujuan

Ke BPN

Penerimaan Persetujuan Prinsip

Pencadangan Kawasan Hutan

Melakukan Persiapan

Pembangunan

BAP

Menunggu Jawaban Untuk Penguasaan

Hasil Hutan selama 3 hari

Disampaikan permohonan melalui Dirjen Inventarisasi

Disampaikan melalui ke Kanwil Kehutanan melalui

Pengelolaan oleh perusahaan lain atau koperasi

Pengelolaa oleh HPH

Jawaban

Y t Tida

a

ad

da

Tdk ad

?

Page 36: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 32

Lampiran 2

: LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN/

Forest Area Based on Decree of Minister of Forestry

LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha) *) Surat Keputusan

KSA dan KPA No PROPINSI LUAS DARATAN

PROPINSI (Ha)

Nomor Tanggal Jumlah Perairan Daratan HL HPT HP HPK

JUMLAH LUAS DARATAN KAWASAN

HUTAN

1 DI Aceh 5.539.000,00 170/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 1.066.733,00 231.400,00 835.333,00 1.844.500,00 37.300,00 601.280,00 - 3.318.413,00 2 SUMBAR 4.289.800,00 422/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 846.175,00 39.900,00 806.275,00 910.533,00 246.383,00 407.849,00 189.346,00 2.560.386,00 3 Jambi 5.343.600,00 421/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 676.120,00 - 676.120,00 191.130,00 340.700,00 971.490,00 - 2.179.440,00 4 Bengkulu**) 1.978.900,00 420/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 444.882,00 - 444.882,00 252.042,00 189.075,00 34.965,00 - 920.964,00 5 Lampung 3.538.500,00 256/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 462.030,00 - 462.030,00 317.615,00 33.358,00 191.732,00 - 1.004.735,00 6 DKI Jakarta 66.400,00 220/Kpts-II/2000 2 Agustus 2000 108.272,34 108.000,00 272,34 44,76 - 158,35 - 475,45 7 Jawa Barat 4.317.700,00 419/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 252.604,00 46.187,35 206.416,65 240.402,00 213.412,00 338.653,00 - 998.883,65 8 JATENG 3.254.900,00 435/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 115.086,00 110.117,30 4.968,70 75.538,00 174.185,00 396.751,00 - 651.442,70 9 Jawa Timur 4.792.300,00 417/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 230.248,30 - 230.248,30 315.505,30 - 811.452,70 - 1.357.206,30

10 DI Yogyakarta 318.600,00 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 910,34 - 910,34 2.057,90 - 13.851,28 - 16.819,52 11 Bali 563.300,00 433/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 26.293,59 3.415,00 22.878,59 95.766,06 6.719,26 1.907,10 - 127.271,01 12 NTB **) 2.015.300,00 418/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 139.025,00 11.064,00 127.961,00 421.854,00 334.409,00 126.278,00 - 1.010.502,00 13 NTT 4.734.900,00 423/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 350.330,00 253.922,00 96.408,00 731.220,00 197.250,00 428.360,00 101.830,00 1.555.068,00 14 KALBAR 14.680.700,00 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 1.645.580,00 77.000,00 1.568.580,00 2.307.045,00 2.445.985,00 2.265.800,00 514.350,00 9.101.760,00 15 KALSEL 3.653.500,00 453/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 175.565,00 - 175.565,00 554.139,00 155.268,00 688.884,00 265.638,00 1.839.494,00

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

Page 37: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 33

16 SULSEL 6.248.300,00 890/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 789.066,00 580.765,00 208.301,00 1.944.416,00 855.730,00 188.486,00 102.073,00 3.299.006,00 17 SULUT 2.748.800,00 452/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 518.130,00 89.065,00 429.065,00 341.447,00 552.573,00 168.108,00 34.812,00 1.526.005,00 18 SULTRA 3.814.000,00 454/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 1.664.069,00 1.471.800,00 192.269,00 1.061.270,00 419.244,00 633.431,00 212.123,00 2.518.337,00 19 SULTENG 6.368.900,00 757/Kpts-II/1999 23 September 1999 676.248,00 - 676.248,00 1.489.923,00 1.476.316,00 500.589,00 251.856,00 4.394.932,00 20 Maluku 7.787.100,00 415/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 443.345,00 118.598,00 324.747,00 1.809.634,00 1.653.625,00 1.053.171,00 2.304.932,00 7.146.109,00 21 Irian Jaya 42.198.100,00 891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 9.704.300,00 1.926.475,00 7.777.825,00 10.619.090,00 2.054.110,00 10.585.210,00 9.262.130,00 40.298.365,00 22 SUMSEL 10.925.400,00 76/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 714.416 - 714.416 760.523 217.370 2.293.083 431.445,00 4.416.837,00 23 KALTIM 21.098.500,00 79/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 2.165.198 500,00 2.164.698 2.751.702 4.612.965 5.121.688 - 14.651.053,00 24 SUMUT 7.168.000,00 - - - - - - - - - - 25 R i a u 9.456.100,00 - - - - - - - - - - 26 KALTENG 15.356.400,00 - - - - - - - - - -

JUMLAH 192.257.000,00 23.214.626,57 5.068.208,65 18.146.417,92 29.037.397,02 16.215.977,26 27.823.177,43 13.670.535,00 104.893.504,63 Sumber/ Source : Badan Planologi Kehutanan/ Forestry Planning Agency

Keterangan/Note : - Data TN (L) Wakatobi seluas 1.390.000 ha belum dimasukkan dalam SK Penunjukkan Kawasan Hutan Prop. Sulawesi Tenggara No.454/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 - Untuk 3 propinsi (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) saat ini sedang diproses di Daerah. *) Data luas didasarkan pada perhitungan secara manual (belum digitasi) **) Hutan Fungsi Khusus (HFK) di Prop. Bengkulu seluas 6.865 ha (Pusat Latihan Gajah) dimasukkan kedalam fungsi pokok kawasan hutannya (HPT) dan di Propinsi Nusa Tenggara Barat seluas 403 ha (Hutan Penelitian) kedalam Hutan Lindung (HL)

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

Page 38: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas

34

Lampiran 3

Dokumen

Page 39: KONVERSI KAWASAN HUTAN :  ANALISIS MASALAH DAN KONSEP PENYELESAIANNYA Tenaga Ahli : 1.

Dokumen Teknis 2 – Kajian Distribusi Tanah Negara 35

Kepustakaan :

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim

Basyar.rtf Halaman

http://jayono.blogspot.com/2007/05/reforma-agraria.html

Land Management and Policy Development Project ( LMPDP )Komponen 1 Bappenas