Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis...

27
[36] BAGIAN DUA Panglima Laot dapat memainkan perannya dalam membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem [Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao] Selama tahun 2007 hingga tahun 2012 tidak ada satupun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Dukungan Regulasi dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Aceh Besar [Muhammad Insa Ansari] Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Namun, lebih dari itu karena sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional. Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh Menuju Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan [Sitti Zubaidah] Agar sumberdaya laut tetap lestari atau berkelanjutan (sustainable), negara (pemerintah) juga harus mengawasi alat tangkap nelayan yang diketahui tidak ramah lingkungan. Pengelolaan Perikanan Aceh dalam Perspektif Islam: Menuju Perikanan Aceh yang Mandiri dan Lestari [Hafinuddin bin Hasaruddin]

Transcript of Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis...

Page 1: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[36]

BAGIAN DUA

Panglima Laot dapat memainkan perannya dalam membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan.

Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao]

Selama tahun 2007 hingga tahun 2012 tidak ada satupun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan.

Dukungan Regulasi dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Aceh Besar

[Muhammad Insa Ansari]

Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Namun, lebih dari itu karena sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional.

Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh Menuju Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan

[Sitti Zubaidah]

Agar sumberdaya laut tetap lestari atau berkelanjutan (sustainable), negara (pemerintah) juga harus mengawasi alat tangkap nelayan yang diketahui tidak ramah lingkungan.

Pengelolaan Perikanan Aceh dalam Perspektif Islam: Menuju Perikanan Aceh yang Mandiri dan Lestari

[Hafinuddin bin Hasaruddin]

Page 2: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[37]

4

Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan

Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao]

Pendahuluan

Perairan laut Aceh1 berkontribusi positif terhadap produksi

perikanan laut nasional dalam satu dekade terakhir. Namun, dalam

kurun waktu 2003-2011, kontribusi perikanan tangkap Aceh cenderung

menurun. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan

(2012), sekitar 135.040 ton atau 3,08% dari produksi perikanan laut

Indonesia berasal dari Aceh pada 2003, kontribusi tersebut menurun ke

2,73% pada 2011. Fluktuasi produksi nampak sekali dalam kurun

waktu 2003-2011; terutama 2004, 2005, 2008, dan 2010 dengan

pertumbuhan produksi -22,92%, -20.76%, -0.41%, dan -8.72% secara

berurutan (Hasil Analisis, 2014).

Kondisi produksi perikanan Aceh tidak terlepas dati status

sumberdaya ikan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 dan

572 yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Disinyalir bahwa WPP

571 dan 5722 masuk dalam kategori baik dan sedang, ditinjau dari

komposisi sumberdaya ikan (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor 45 Tahun 2011). Namun disebutkan dalam Kepmen tersebut

bahwa beberapa jenis ikan pelagis dan demersal telah mengalami

1 Untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan, perairan laut

Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) (Surat Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor 45/MEN/2011). Perairan laut Aceh terletak pada WPP 571 (Selat Malaka) dan 572 (Samudera Hindia).

2 Mencakup perairan Selat Malaka di pantai timur dan Samudera HIndia di Pantai Barat Aceh

Page 3: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[38]

tangkap lebih (overfishing). Sebagai contoh, Imran dan Yamao (2014)

melaporkan bahwa sumberdaya teri sebagai salah satu jenis ikan pelagis

kecil sudah mengalami overfishing sejak sebelum tsunami dan terus

memburuk kondisinya dalam kurung waktu 2007-2012 di Teluk Krueng

Raya yang terletak pada WPP 571.

Hal yang sama juga dialami ekosistem pesisir, terutama terumbu

karang dan mangrove yang terus terdegradasi dalam kurun waktu

tersebut. Aceh memiliki luas terumbu karang mencapai 152,34 km2

berdasarkan data citra satelit tahun 2000-2002 (Aceh Ocean Coral,

2012). Namun masih sedikit penelitian untuk memastikan bagaimana

kondisi ekosistem terumbu karang tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahun

Indonesia melaporkan bahwa ada kecenderungan terjadinya degradasi

kondisi terumbu karang di Aceh, baik disebabkan secara alami maupun

karena faktor aktivitas manusia (anthropogenik). Gempa dan tsunami

24 Desember 2004 semakin memperparah kerusakan eksositem ini

yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh.

Hasil survei Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2009) menunjukkan

bahwa persentase tutupan karang keras hanya berkisar 0-25%.

Sementara pendataan 2008-2010 terhadap 91 total lokasi yang di

survey, menunjukkan bahwa hanya 14 lokasi tergolong dalam kondisi

baik (Aceh Ocean Coral, 2012).

Ekosistem mangrove pun mengalami degradasi dari waktu ke

waktu. Hanya tersisa 105.260 ha setelah tsunami dan bertambah

menjadi 422.703 ha setelah adanya rehabilitasi dan rekontruksi, namun

160.876 ha dalam kondisi rusak berat (Badan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai Krueng Aceh, 2007). Selain disebabkan oleh tsunami,

penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove adalah konversi

menjadi lahan tambak dan pemanfaatan kayunya untuk berbagai

peruntukkan.

Fluktuasinya sumberdaya ikan dan rusaknya ekosistem utama

pesisir merupakan ancaman bagi keberlanjutan mata pencaharian

nelayan dan sekaligus mengingatkan akan arti pentingnya konservasi

perairan dimasa mendatang. Berbagai produk kebijakan dan peraturan

perundang-undangan pemerintah Indonesia telah memberikan koridor

untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistem di wilayah pesisir

dan laut. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah

Page 4: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[39]

mengeluarkan beberapa peraturan menteri dan pedoman tentang

kawasan konservasi perairan. Dari semua itu, hal yang menarik disimak

adalah terbukanya peluang pelibatan kelembagaan traditional atau

nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan kawasan

konservasi perairan tersebut.

Aceh sebagai daerah otonom memiliki posisi tawar yang kuat

dan melalui UU Nomor 11/2006 telah diberikan kewenangan secara

khusus untuk mengelola kawasan konservasi perairan. UU ini

memberikan ruang kepada Pemerintah Aceh untuk pelibatan

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sudah lama

eksis, yaitu Panglima Laot, khususunya pada tingkat lhok.

Secara luas telah diketahui bahwa Panglima Laot Lhok (PLL)

memiliki peran dan fungsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

dan nelayan dalam batas-batas pengelolaan tertentu3. Sebagaimana

diketahui bahwa peran sosial, budaya dan politik sudah banyak

dikontribusikan oleh lembaga ini. Namun peran konservasi secara

gamblang sangat jarang mengemuka, walaupun peran ini juga melekat

pada PLL. Sebagai contoh, PLL Kruang Raya (2012) menyebutkan

bahwa peran lembaga ini terkait dengan konservasi diantaranya

mengingatkan para nelayan untuk tidak memotong pohon mangrove

dan merusak terumbu karang. Peran ini dilakukan karena mereka sadar

akan fungsi kedua ekosistem ini terhadap kelestarian sumberdaya ikan.

Namun bila dikaji lebih jauh, peran konservasi terhadap kedua

ekosistem ini dan sumberdaya alam yang berasosiasi di dalamnya masih

belum berjalan dengan optimal.

Memang sudah banyak upaya pengelolaan sumberdaya ikan

sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources, CPRs)

dan kawasan konservasi perairan melalui kelembagaan formal baik

dengan membentuk WPP atau badan/kelembagaan konservasi seperti

taman nasional laut. Bahkan unit-unit dalam skala kecil seperti unit

pengelolaan teknis Kawasan Konservasi Laut Daerah pun sudah mulai

dibentuk di beberapa daerah di Indonesia. Namun yang menarik

3 Umumnya batas-batas pengelolaan PLL adalah satu hamparan ekosistem

(ecosystem boundaries) tertentu seperti muara, teluk, atau pantai); dan kebanyakan wilayah administrasinya berhimpitan dengan batasan administrasi kemukiman yang terdiri dari beberapa desa.

Page 5: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[40]

dicermati adalah keterlibatan kelembagaan lokal seperti awig-awig di

Nusa Tenggara Barat dan sasi di Ambon yang tetap mampu menjadi

kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Belajar dari kedua

kelembagaan tradisional ini, maka tidak salah jika mengharapkan PLL

berbuat lebih banyak untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan

dan ekosistem pesisir Aceh di masa yang akan datang.

Beranjak dari kondisi dan fakta-fakta di atas, maka tulisan ini

secara umum akan menguraikan suatu tinjauan terhadap perlu tidaknya

membangun konstruksi tata kelola PLL dalam kegiatan konservasi

perairan daerah (KKPD). Lebih khusus bertujuan: (1) identifikasi peran

panglima laot terhadap konservasi sumberdaya perairan, dan (2)

integrasi pelibatan panglima laot lhok dalam pengelolaan kawasan

konservasi laut daerah.

Tinjauan Peran Panglima Lhok dalam Konservasi

PLL4 memliki peran-peran strategis dalam pengelolaan kegiatan

perikanan tangkap di Aceh. Tak dapat dipungkiri bahwa peran lembaga

tradisional ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hiruk pikuk

kondisi sosial-budaya-politik serta isu industrilisasi dan modernisasi

perikanan. Namum sebagai entitas dan keterwakilan masyarakat

nelayan, lembaga ini masih tetap eksis dan bertahan lebih dari 400

tahun. Lembaga tradisional ini memeliki peran sosial untuk mengelola

sejumlah nelayan dalam satu batasan social-ekologi. Peran social yang

dominan adalah pengaturan hubungan antara manusia dengan sang

pencipta dan hubungan manusia dengan manusia. Peran-peran lain

yang menonjol adalah pengaturan atau regulasi terhadap tatacara

pemanfaatan sumberdaya ikan baik dalam wilayah pengelolaannya

4 Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan

lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan (Nasution 2012). Satu unit entitas kelembagaan panglima laot lhok di batasi oleh batasan pengelolaan yang merujuk kepada teluk, estuary atau kuala, pantai, atau dapat juga sejumlah pulau-pulau kecil. Satu lhok biasaya dipimpin oleh seorang panglima laot lhok yanh dipilih dari pawang-pawang senior dan dilengkapi dengan seperangkat struktur organisasi sesuai dengan kondisi lhok tersebut.

Page 6: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[41]

ataupun di luar wilayah kewenangnya yang diatur atau dimediasi oleh

panglima laot di tingkat kabupaten atau pun provinsi.

Dalam kehidupan masyarakat nelayan, setidaknya PLL memeliki

4 peran utama, yaitu melestarikan hukum adat, adat-istiadat, kebiasaan-

kebiasaan dalam masyarakat nelayan; dan membantu pemerintah

dalam pembangunan perikanan bila diminta. Di awal gagasan

didirikannya pada masa Raja Isakadar Muda abad 16, lembaga ini lebih

banyak berperan untuk memungut pajak laut dan (Abdullah et al.,

2006). Saat ini peran PLL terus berubah dan berkembang, bahkan

belakangan lembaga ini juga berkiprah di bidang pendidikan karena

kepeduliannya terhadap arti pentingnya pendidikan anak-anak nelayan.

Pasca tsunami, lembaga adat ini juga peran membantu pemerintah dan

lembaga donor mendistribusikan bantuan, membantu rehabilitasi dan

rekonstruksi sektor perikanan, terutama pembangunan kembali kapal

nelayan dan mendorong nelayan untuk kembali melaut.

Seiring dengan perubahan dan perkembanan zaman, peran PLL

juga ikut mengalami beberapa perubahan. Kurien (2008) menyebutkan

bahwa adanya perubahan politik membuat lembaga ini juga mengambil

peran untuk mediasi pelaksanaan program pemerintah. Sehingga tidak

salah ia menyarankan model pendekatan manajemen kolaboratif atau

collaborative management (selanjutnya disebut co-management) pada

program Food Agricultural Organisation (FAO) memposisikan peran

panglima laot untuk bermitra dengan pemerintah. Sebagai contoh,

Yulianto (2008) menyebutkan bahwa indikasi terjalnnya pendekatan

co-management antara pemerintah dan PLL tampak sekali dengan

terjalinnya komunikasi dalam implementasi program pengelolaan

perikanan di Kota Sabang. Ia menambahkan bahwa adanya

pendelegasian peran pelestarian lingkungan dari pemerintah kepada

lembaga ini. Wilson et al. (2012) menyebutkan bahwa Panglima Laot

merupakan model skala besar pendekatan masyarakat (large scale

communities based) dalam pengelolaan perikanan. Dengan bantuan

lembaga ini, mereka menambahkan bahwa telah berhasil melakukan

pemetaan secara partisipati daerah-daerah berbahaya dan puncak-

puncak gunung di beberapa wilayah perairan laut Aceh, seperti di

sekitar perairan Lampulo-Banda Aceh.

Page 7: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[42]

Dari sekian banyak peran, nampaknya peran PLL sebagai

pengawal konservasi jarang mengemuka ke permukaan. Biasanya

peran-peran konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistem

pendukungnya lebih bersifat sebagai aturan dalam hokum adat dan

tidak terkait langsung dengan kegiatan konservasi. Peran-peran yang

dimainkan lebih bersifat larangan dan sangsi yang diberlakukan kepada

nelayan, dan itupun sangat jarang terdengar perbelakuan sangsi adat

terhadap nelayan yang melanggar hukum adat.

Hal ini ini dapat dipahami karena sejatinya PLL yang sudah eksis

sejak abad ke 16 didesain sebagai pasukan cadangan dan memungut

cukai di pelabuhan. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan terjadinya

perubahan termasuk mengkonservasi sumberdaya perikanan, namun

pada musyawarah lembaga hukom adat laut 6-7 Juni 2000 secara

gamblang disepakati bahwa salah satu aspek adat laot adalah adat

pemeliharaan lingkungan. Ada tiga poin penting arahan adat terhadap

pemeliharaan lingkungan: (1) dilarang melakukan pemboman,

peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan biota karang, dan

bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota

lainnya; (2) dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir

pantai laut seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan

pohon lainnya yang hidup di pantai; dan (3) dilarang menangkap

ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumbu, penyu dan lain

sebagainya). Beberapa hasil penelitian mengemukakan juga bahwa dari

3 aspek cakupan pelaksanaan hukum adat laot, dua aspek berkaitan

langsung dengan masalah lingkungan, adalah (1) pengaturan

penggunaan alat tangkap dan pencegahan penggunaan alat tangkap

yang merusak lingkungan dan pembatasan wilayah penangkapan pada

jarak tertentu terhadap habitat ikan; dan (2) pelarangan terhadap

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, membuang

sampah, membuang sisa bahan perbaikan kapal, dan membuang oli ke

laut.

Jika dianalisis lebih lanjut dari kedua aspek terakhir dan

kesepakatan panglima laot, maka akan sangat menunjang kegiatan

konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, namun tidak

menjelaskan peran PLL dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi

didalam wilayah kewenangannya. Sehingga dari 193 PLL yang ada saat

ini, maka hanya satu dalam wilayah pengelolaannya terdapat kawasan

Page 8: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[43]

konservasi laut yaitu PLL Iboih di Kota Sabang. Menurut Wildlife

Conservation Society (2010), Project Aceh Weh Seascape telah berhasil

menfasilitasi pengelolaan dearah perlindungan laut pertama yang

dikelola oleh PLL. Dari 40% ekosistem karang yang potensial untuk

dijadikan daerah perlindungan laut sebagai kawasan konservasi, maka

sebagai prioritas telah di pilih wilayah PLL Iboih sebagai pilot proyek

(Yulianto, 2008). Hal ini dimungkinkan karena antara kelembagaan

pemerintah Kota Sabang dan PLL sudah terjalin komunikasi dalam hal

rencana pengelolaan kawasan konservasi laut (Yulianto, 2008). Disisi

lain, Pemerintah Kota Sabang menganggap bahwa lembaga tradisional

ini memiliki kewenangan pengaturan pemanfaatn laut di wilayahnya

dan dapat didelegasikan kewenanagan untuk kegiatan perlindungan

jenis-jenis biota unik dan perlindungan dearah pemijahan (Yulianto,

2008).

Kemunduran Peran Konservasi Panglima Laot Lhok

Keberadaan PLL memang tetap eksis, namun efektivitas

perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan eksosistemnya

terutama peran konservasi sudah mengalami pergeseran bahkan

cenderung mengalami kemunduran. Memang tidak ada penelitian

secara khusus mengkaji penurunan peran PLL terhadap konservasi

sumberdaya ikan, habitat dan ekosistemnya. Hasil wawancara dengan

Panglima Laot Krueng Raya (2012) menyebutkan bahwa peran PLL

selain mengelola nelayan juga mengawal kegiatan konservasi

sumberdaya ikan dan ekosistemsnya. Lebih lanjut, Pawang Zakaria

selaku PLL menjelaskan bahwa kelembagaan yang dipimpinnya tidak

saja mengelola para nelayan dari sisi sosial saja, tetapi juga membuat

aturan-aturan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI).

Banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivityas pengelolaan

SDI. Kurniawan (2008) mengkaji sejumlah PLL di Kota Sabang dan

menjelaskan bahwa cara penangkapan ikan di laut, pendapatan

lembaga, batas-batas wilayah, kualitas sumberdaya manusia, system

manajemen dalam usaha perikanan, dan faktor sarana dan prasanaran

perikanan berkontribusi terhadap terhambatnya efektivitas pengelolaan

sumberdaya ikan. Adanya hambatannya ini jelas akan sangat

berpengaruh dan terjadi pergeseran terhadap peran PLL dalam

Page 9: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[44]

mengawal adat-adat laot yang berkaitan dengan kegiatan konservasi

sumberdaya ikan dan ekosistemnya.

Untuk memperkuat apa yang menjadi argumen di atas, maka

hasil observasi, diskusi kelompok dan wawancara mendalam yang kami

lakukan terhadap 76 responden di wilayah PLL Krueng Raya dapat

menjelaskan juga mengapa mundurnya peran PLL dalam kegiatan

konservasi. Penelitian kami menyimpulkan bahwa menurunkan peran

konservasi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kelembagaan

tersebut. Sebagai lembaga non profit, faktor internal yang mendominasi

kemunduran peran konservasi diantaranya kurangnya kepatuhan

sukarela terhadap aturan adat yang telah ditetapkan untuk menjaga

kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemenya, misalnya nelayan

bagan (lift net boat) tetap saja menggunakan lampu melebihi dari

ketentuan yang telah disepakati yaitu menggunakan lampu neon lebih

dari 25 buah, bahkan ada yang menggunakan 40 buah.

Disamping itu, tuntutan akan meningkatnya permintaan ikan

teri baik kering dan segar telah mendorong para nelayan meningkatkan

upaya (effort) penangkapan, terutama sebelum terjadinya tsunami.

Akibatnya, sumberdaya ikan teri telah mengalami kelebihan tangkap

dari 2.363,2 ton sumberdaya lestarinya yang diperbolehkan selama

periode 1999-2004 (sebelum tsunami) (Imran and Yamao, 2014a). PLL

tidak dapat mengendalikan jumlah kapal yang terus meningkat pada era

1990-an dan akhirnya mencapai 89 unit bagan dalam kurun waktu 5,

seharusnya jumlah bagan optimal yang dapat dioperasikan dalam kurun

waktu tersebut sesuai rekomendasi model surplus produksi hanya 43

unit (Imran and Yamao, 2014b).

PLL dan para nelayan yang di jadikan responden (hampir 95%)

di wilayah studi mengetahui dan memiliki pengetahuan pentingnya

ekosistem mangrove dan terumbu karang untuk melestarikan

sumberdaya ikan. Hal ini tercermin dari adanya adat laut untuk tidak

menebang pohon bakau, aron (cemara laut) dan terumbu karang pada

wilayah kewenangan PLL Krueng Raya. Dalam konteks ini nelayan yang

bernaung dalam PLL Kreung Raya sangat menghormati dan mematuhi

adat laut tersebut, namun konversi mangrove untuk tambak pada era

1980-an tidak dapat dicegah oleh PLL karena status kepemilikan lahan

sebagian besar bukanlah milik nelayan. Dan tsunami menambah parah

Page 10: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[45]

kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini dan luasannya tinggal 5%

pada 2012 (Imran and Yamao, 2014b). Begitu juga yang terjadi

terhadap terumbu karang, misalnya di sekitar Tanjung Akhmad

Ramanyang terus mengalami peningkatan kerusakan akibat

meningkatnya aktivitas nelayan yang menggunakan potassium sianida

untuk menangkap jenis-jenis ikan hias oleh para nelayan pendatang

yang telah menetap di wilayah Kreung Raya, dan umumnya mereka

tidak mematuhi adat laut yang telah ditetapkan.

Lemahnya fungsi-fungsi pengelolaan PLL dan terbatasnya dana

juga membuat lembaga ini tidak memiliki peran sampai pada tingkatan

aksi pengelolaan kawasan konservasi. Artinya adat laot terhadap

pelestarian sumberdaya ikan tidak diikuti oleh tindakan pengelolaan

kawasan konservasi. Sebagai contoh di wilayah Teluk Krueng Raya

yang memiliki laguna dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang

tidak ada wilayah atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan

konservasi. Di sisi lain keterbatasan pengetahuan tentang siklus

reproduksi ikan pun telah membuat nelayan secara tidak sadar

melakukan eksploitasi terhadap sumberaya ikan sepanjang siklus hidup

ikan teri misalnya. Hasil penelitian Imran dan Yamao (2014a)

melaporkan bahwa nelayan bagan menangkap ikan teri sepanjang tahun

pada musim timur dan barat.

Faktor internal lainnya adalah menurunnya kewibawaan PLL,

terutama pasca tsunami. Para nelayan umumnya sangat menghormati

peran dan fungsi lembaga yang mewadahi mereka, namun rasa

kepatuhannya agak berkurang sebagai akibat kurang adilnya oknum

PLL dalam mendistribusikan bantuan para donor dan pemerintah.

Akibatnya konflik sering terjadi antara PLL dan nelayan. Sebagai

contoh, nelayan bagan yang beralih profesi menjadi nelayan pancing5

ada kontribusi oleh faktor ketidakadilan dalam pendistribusian bantuan

bagan. Karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh PLL,

akibatnya mereka mulai kurang mematuhi apa yang menjadi ketentuan

adat laot, terutama yang berkaitan dengan konservasi, misalnya

5 Umumnya nelayan pancing ini menangkap jenis-jenis ikan karang seperti

kerapu pada ekosistem terumbu karang dan aktivitas labuh jangkar mereka di sekitar atau bahkan pada karang-karang yang masih hidup tanpa disadari sudah merusak ekosistem tersebut.

Page 11: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[46]

merusak ekosistem terumbu karang dengan melempar jangkar pada

karang yang masih hidup.

Disamping faktor internal, beberapa faktor ekternal juga ikut

mendorong semakin lunturnya penegakkan adat laut yang berkaitan

dengan konservasi. Kepentingan pembangunan sektor lain, sering kali

mengalahkan sub sektor perikanan tangkap. Acapkali pengembangan

kegiatan industri seperti yang terjadi pada pembangunan pabrik

pengolahan semen, aspal, dan depot penampung minyak di Teluk

Krueng Raya tidak melibatkan secara aktif PLL. Akibatnya peran-peran

PLL untuk menyampaikan berbagai adat laot termasuk yang berkaitan

dengan konservasi menjadi sangat minim. Para pihak-pihak yang

berkepentingan sering menghindar dari nilai-nilai kearifan lokal dan

lebih mengutamakan pengakuan kelembagaan formal seperti unsur

pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten, dan Provinsi dalam

pengambilan keputusan. Kondisi semacan ini pun juga sering terjadi di

wilayah PLL lainnya di Provinsi Aceh.

Tsunami tidak saja berakibat pada jatuhnya korban jiwa, tetapi

juga mempengaruhi terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama

berkembang di Aceh secara tidak langsung. Masuknya Non Government

Organisation (NGO) dan organisasi donor baik dalam maupun luar

negeri ikut berperan dalam membentuk tatanan nilai baru terhadap

PLL. Karena kebanyakan program dan kegiatan yang mereka lakukan

lebih berorientasi kepada pemulihan mata pencaharian perikanan

tangkap, sehingga nilai-nilai atau adat laot yang berkaitan dengan

konservasi sedikit terabaikan. Bahkan jarang sekali NGO atau lembaga

donor yang membina dan membangun kembali nilai-nilai konservasi

yang telah ada pada kelembagaan PLL. Walaupun ada, persentasenya

sangat kecil (tidak sampai 1%), seperti yang dilakukan World

Conservation Society terhadap PLL Iboih di Kota Sabang.

Faktor eksternal lainnya adalah adanya peran pemerintah yang

cenderung dominan dalam proses perencanaan suatu kawasan

konservasi laut. Jika dominansi pemerintah terlalu dipertontonkan,

maka bukan tidak mungkin peran PLL untuk mengelola kawasan

konservasi perairan akan termajinalkan karena pemerintah

mengganggap PLL tidak memiliki struktur dan sistem organisasi yang

memadai, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan tidak

Page 12: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[47]

tersedianya dana dalam mengelola kawasan konservasi perairan.

Barangkali pemerintah berpikir lebih baik menyiapkan kelembagaan

yang lebih formal dan memliki hubungan vertikal langsung, dapat

berbentuk unit pelaksana teknis atau badan pengelola KKPD.

Kebutuhan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Wilayah

Pengelolaan Panglima Laot Lhok

Kebutuhan terhadap keberadaan KKPD bagi Aceh sudah tidak

dapat di tawar lagi. Kebutuhan ini didasarkan pada kajian aspek

sumberdaya ikan, tersedianya perangkat hukum, kekuatan nilai-nilai

kearifan lokal yang dimiliki nelayan Aceh, target pengembangan luasan

kawasan konservasi perairan nasional, dan adanya pengakuan dunia

international terhadap keberadaan kelembaaan orisinal yang peduli

dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kesemua aspek ini ada

yang bersifat tantangan, peluang, kekuatan dan kelemahan dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di masa

mendatang.

Aceh memliki sumberdaya perikanan tangkap yang besar dan

berkontribusi terhadap produksi perikanan tangkap nasional. Namun

kontribusi Aceh terus menurun dan hanya mencapai 2,73% pada tahun

2011. Indikasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Aceh sudah

mulai menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kelimpahan

(abundance). Namun, Komisi Nasional Stok Sumberdaya Ikan

melaporkan bahwa kondisi beberapa unit stok sumberdaya ikan

demersal dan pelagis pada WPP 571 dan 572 sudah mengalami tangkap

lebih (over exploited), terutama jenis udang (shrimp), kakap merah (red

snappers), banyar (indian mackerel) dan kembung (short body mackerel)

pada tahun 2010 (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45

Tahun 2011). World Fish Center (2006) melaporkan bahwa

sumberdaya ikan di perairan Selat Malaka telah berada pada kondisi

tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini diperkuat oleh oleh ekspedisi

Lembaga Penelitian Pengetahun Indonesia pada 2006 yang melaporkan

bahwa jenis ikan pelagis baik komposisi jenis maupun ukuran distribusi

sudah mengalami penurunan.

Di sisi lain, jumlah armada penangkapan ikan terus bertambah

baik sebelum maupun setelah tsunami, terutama armada penangkapan

ikan skala kecil. Menurut data statistik perikanan aceh, jumlah kapal

Page 13: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[48]

yang beroperasi di Aceh mencapai 15.576 unit pada tahun 2004.

Jumlah ini meningkat 44,7% dari jumlah 10.768 unit pada tahun 2002.

Walaupun tsunami, jumlah armada penangkapan ikan tetap meningkat,

dan mencapai 15.995 unit pada tahun 2012. Bila jumlah ini tidak

dikendalikan, diprediksikan akan mengancam keberlanjutan

sumberdaya ikan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.

Namun tuntutan perluasan kawasan konservasi perairan

nasional sudah menjadi target pemerintah Indonesia. Kementerian

Kelautan dan Perikanan mentargetkan luasan konservasi perairan

mencapai 20 juta ha pada tahun 2020, pada tahun 2013 luasannya

sudah mencapai 13,9 juta ha. Namun sangat disayangkan di Aceh

sendiri sampai dengan tahun 2013, secara resmi hanya tercatat satu

kawasan konservasi laut, yaitu Teluk Pulau Weh melalui surat

keputusan Menteri Pertanian Nomor 928/KPTS/U/12/82 untuk

melindungi terumbu karang.

Peluang ini telah ditangkap dengan baik oleh PLL dan

pemerintah kabupaten untuk mengusulkan KKPD. Setidaknya sudah

ada sembilan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang diusulkan

menjadi KKPD yaitu Kecamatan Seulimum, Mesjid Raya, Baitusalam,

Darussalam, Peukan Bada, Pulau Aceh, Lhoknga, Leupung, dan Lhoong,

karena terdapat kawasan yang memiliki potensi sebagai tempat

berkembang biak ikan-ikan dan terumbu karang (Panglima Laot

Kabupaten Aceh Besar, 2012). Dan sebenarnya pemerintah Kabaupaten

Aceh Besar telah mengusulkan dan menetapkan 16 kawasan yang

dicadangkan sebagai kawasan konservasi perairan daerah melalu Surat

Keputusan Bupati Nomor 11 dengan tujuan menjaga sumberdaya hayati

ekosistem pesisir dan laut yang menjadi penunjang hidup masyarakat

pesisir.

Jika ditilik lebih lanjut Aceh sebagai daerah istimewa memiliki

peluang besar untuk menginisiasi dan mengembangan KKPD dengan

pelibatan PLL secara aktif. Berbagai produk perundangan-undangan

dan qanun telah memberikan ruang kepada kelembagaan adat dalam

hal ini PLL untuk megelola kawasan konservasi perairan (lihat Tabel 1).

Page 14: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[49]

Tabel 1.

Berbagai produk hukum menguatkan adanya pelibatan PLL dalam

pengelolaan KKPD

Produk Hukum Pasal/ayat/butir Isi

UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Pasal 6 ayat 2

Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Pasal 52 Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau penyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.

UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Pasal 60

Ayat 1

Butir c

butir d

mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K

melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Laut

Pasal 61

Ayat 1

Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun

Page 15: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[50]

Ayat 2

Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh

Pasal 162

Ayat 2 butir e

Pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Pasal 2

Ayat 9

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Qanun No. 16 tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pasal 11

Ayat 1

Dalam pengelolaan, sumber daya perikanan Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga Panglima Laot dan hokum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat, nelayan di Provinsi

Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

Pasal 10

Ayat 1

huruf f

perlindungan hak masyarakat adat, yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat lainnya

Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat

Pasal 2

Ayat 2, huruf i

Pasal 6

panglima laot atau nama lain

Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses perumusan kebijakan oleh

Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan

Page 16: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[51]

tingkatannya yang

berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga adat.

Disamping dukungan berbagai produk hukum secara nasional

dan daerah, Aceh sebagaimana telah diuraikan juga memiliki kekuatan

nilai-nilai kearifan lokal yang telah berkembang lebih dari 400 tahun

yang lalu. Unit-unit pengelolaan sumberdaya perikanan sampai tingkat

lhok6, teluk, dan kuala telah eksis walaupun sangat minim

pengetahuannya tentang bagaimana menetapkan kawasan konservasi

laut, namun nilai-nilai traditional dan adat laut sudah memberikan

ruang untuk pengelolaan konservasi perairan. Jika peluang ini

dimanfaatkan, setidaknya 193 kawasan konservasi perairan dapat di

tetapkan dan dikelola secara bersama oleh pemerintah dan PLL.

Keberadaan PLL sebagai unit pengelola sumberaya ikan juga

sudah dikenal oleh dunia international. Bahkan dunia international pun

mengaku keberadaan PLL sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang

memiliki peran untuk konservasi sumberdaya ikan. Pasca tsunami,

Wildlife Consrvation Society (WCS) sebagai salah satu lembaga

konservasi bertaraf internasional meluncurkan The Aceh-Weh Seascape

Program di wilayah perairan Sabang pada 2005. Dari sejumlah

ekosisem terumbu karang yang dikaji, setidaknya telah diusulkan

wilayah Iboih sebagai kawasan konservasi dengan ujung tombak

pengelolaanya dilakukan oleh PLL setempat. Belakangan, pada tahun

2012, WWF juga telah memprakarsai kegiatan fokus grup diskusi dan

sosialisasi Kawasan Konservasi Perairan Indra Purwa Kecamatan

Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar untuk mendesain adanya

pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disertai dengan

6 Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara

terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh

sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan

untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok)

(Nasution, 2012). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut

penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir)

Page 17: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[52]

tersusunnya rencana strategis zonasi kawasan pesisir Kabupaten Aceh

Besar.

Apa yang menjadi fakta di atas merupakan suatu peluang bagi

Aceh untuk menysun suatu konsep pengelolaan KKPD yang berbasis

pada masyarakat atau kelembagaan lokal. Pastinya peluang ini perlu

diikuti dengan suatu konsepsi dalam kerangka yang lebih lengkap.

Memperhatikan pada kondisi Aceh, maka pada kesempatan ini kami

akan sedikit mengulas dan menawarkan konsepsi “Tatakelola KKPD

Berbasis Sosial-Ekologi Sistem” sebagai salah satu alternatif atau model

yang dapat dikembangkan ke depan.

Integrasi Panglima laot dalam Tatakelola Kawasan Konservasi

Perairan Daerah Berbasis Sosial Ekologi Sistem

1. Pengenalan Tatakelola dan Pendekatan Sosial Ekologi Sistem

Kawasan Konservasi

Adanya KKPD di wilayah perairan kabupaten (Peraturan Pemerintah

No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), sejogyanya

perlu diikuti oleh tatakelola (governance)7 untuk menjaga keberlanjutan

pengelolaan kawasan itu sendiri. Banyak definisi yang mengemuka

tentang tatakelola terhadap sumberdaya alam, namun yang paling dekat

untuk tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah definisi

rumusan Jones et al. (2011) untuk United Nation Environment

Programe (UNEP) yang menyebutkan bahwa tatakelola mengarahkan

perilaku manusia dengan mengkombinasikan peran masyarakat,

pemerintah dan insentif pasar dalam rangka mencapai tujuan strategis.

IUCN menyebutkan bahwa tujuan strategis pembentukan kawasan

konservasi dalam satu hamparan geografis didikasikan dan dikelola

secara legal untuk menkonservasi alam dalam jangka panjang dan

menyatu dengan jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya. Tujuan strategis

7 Seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi untuk menentukan

keputusan…the process of decision-making and the process by which decisions are implemented by using the principle of participation, concesus oriented, accountable, transparent, responsive, equitable and inclusive, effective and efieisein, and follow the rule of law (UNESCAP). “the systems and processes concerned with ensuring the overall direction, effectiveness, supervision and accountability of an organisation.”

Page 18: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[53]

ini juga di adop dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di

Indonesia.

Jika tawaran UNEP yang dikemukan Jones et al. (2011) dapat

diterima dalam tatakelola KKPD, maka setidaknya ada tiga perpektif

yang perlu diperhatikan yaitu pendekatan dari atas ke bawah (top-

down), pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan

insentif pasar (market-incentive). Ketiga pendekatan tatakelola KKPD

ini akan bermuara kepada pengelolaan sumberdaya perikanan

umumnya yaitu pengelolaan secara co-management. Namun dalam

kontek tatakelola KKPD ini juga perlu diarahkan dan menempatkan

pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menjadikannya

unsur yang sangat penting dan strategis. Namun, pendekatan ini juga

perlu menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai komponen

penunjang tatakelola KPPD. Kedua pendekatan inilah yang dikenal saat

ini sebagai pendekatan sistem sosial ekologi.

Kajian Jones et al. (2013) menyebutkan bahwa dari sisi top-down

dibutuhkan kontrol negara melalu hukum dan regulasi lainnya untuk

memastikan keanekaragaman hayati dan sumberday alam sebenarnya

terproteksi untuk mencegah terjadinya degradasi dan kerusakan. Dalam

konteks ini, jika diimplementasikan di Indopnesia, maka akan sangat

jelas sekali bahwa peran Negara adalah membuat undang-undang

dengan berbagai perangkat hukum dan kebijakan menjadi sangat

penting, sehingga ada jaminan hukum dan keuangan dalam melakukan

proteksi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Produk-produk

hukum yang mengarah adanya peran Negara sudah dilahirkan, sebagai

contoh UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan bebeberapa UU

lainnya (lihat Tabel 1). Bahkan di Aceh sendiri, produk peraturan

dearah atau lebih dikenal saat ini dengan sebutan qanun (lihat Tabel 1)

sudah banyak berpihak kepada adanya upaya proteksi sumberdaya ikan

dan ekosistemnya. Peran negara yang diwakili oleh pemerintah dan

beberapa pemerintah daerah sudah tampak dengan semakin luasnya

kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan. Namun kondisi ini

masih sangat jauh berbeda jika menilik keberadaan KKPD di Aceh.

Kedua, dari pandangan bottom-up dituntut adanya adopsi

pendekatan berbasis masyarakat dalam rangka tatakelola wilayah yang

dilindungi yang mendedapankan desentralisasi keputusan dan

Page 19: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[54]

penguatan masyarakat local melalui pelibatan mereka baik dalam

musyawarah dan pengambilan keputusan. Saat ini pendekatan model

ini sudah banyak disososialisasikan dan diimplementasikan karena

mempertimbangkan pengetahun lokal (local knowledge) dan adat

istiadatnya yang mempraktekkan pemanfaatan sumberdaya secara

berkelanjutan, serta dianggap sesuai dengan kebutuhan konservasi

keanekaragaman hayati. Keberhasilan pendekatan seperti ini sudah

terbukti pada masyarakat adat di Ambon yang menerapkan adanya sasi

(aturan) tutup perairan saat musim tertentu, terutama saat ikan akan

bertelur dan sasi buka saat ikan boleh ditangkap kembali, terbukti

efektif untuk pelestarian jenis ikan sampai dengan saat ini. Di Aceh

sendiri, adanya beberapa hukum adat laut terhadap larangan perusakan

ekosistem, terutama terumbu karang setidaknya memberikan peran

dalam pelestarian ikan, terutama wilayah perairan PLL yang memiliki

ekosistem terumbu karang seperti di Iboih Kota Sabang.

Dan ketiga, market-incentives setidaknya diperlukan sebagai: (1)

dukungan alternatif untuk keberlanjutan matapencaharian yang

relavan, (2) dalam perhitungan nilai ekonomi jasa keanekaragaman

hayati sebagai modal alam dan ekosistem sebagai penyeimbang

pengembailan keputusan untuk mengeksploitasinya, dan (3)

penekanan pada hak-hak sumberdaya alam dalam memperbaiki

tatakelola sumberdaya alam untuk pengembangan ekonomi yang lebih

rasional. Pendekatan ini sangat rasional, mengingat bahwa masyarakat

sekitar kawasan konservasi terutama yang bermata pencaharian

sebagai nelayan perlu diberikan insentif ekonomi jika mereka berhasil

mengelola kawasan konservasi, karena mereka sudah mematuhi untuk

mengurangi luasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan

barangkali mereka akan mengembangkan rumpon-rumpon laut dangkal

sebagai alternatif wilayah penangkapan. Dalam kontek inilah

pemerintah perlu memberikan kemudah-kemudahan kepada nelayan

yang memasarkan produk-produk perikanan dan dapat juga

memberikan subsidi bahan bakar minyak atau dalam bentuk program

pengadaan rumpon, sehingga mengurangi biaya operasional yang

dikeluarkan oleh nelayan.

Integrasi ketiga aspek diatas dalam pengelolaan KKPD juga perlu

diikuti dengan menngabungkan (incorporating) pendekatan sistem

sosial ekologi (social-ecological system, SES) dalam perlindungan

Page 20: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[55]

kawasan tersebut. Pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem

(ecosystem based management) sudah sering dikaji dan sudah

diimplementasikan untuk pengelolaan perikanan dan daerah

perlindungan laut baik mengikuti kerangka kerja (framework) FAO

maupun IUCN. Namun pendekatan SES mulai dikenal ketika Berkes dan

Folke (1998) mengemukan alasan bahwa mereka menolak anggapan

dimensi sosial atau ekologi memiliki bobot yang berbeda, tetapi harus

memiliki bobot yang sama dan terhubungkan (link) dalam mengelola

sumberdaya alam. Mereka menyebutkan bahwa interaksi komponen

SES yang terdiri ekosistem (ecosystem), manusia dan teknologi (people

and technology), pengetahun lokal (local knowledge), dan hak kepelikan

(property right) yang akan membentuk pola interaski dan keberlanjutan

social, begitu juga sebaliknya bahwa pola interaksi dan keberlanjutan

social akan mempengaruhi pola hubungan setiap komponen SES.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ostrom (2009) kembali

mengemukakan pandangannya bahwa pengelolaan sumberdaya alam

termasuk perikanan perlu di analisis dengan menggunakan kerangka

pendekatan SES, karena kerusakan sumberdaya perikanan sangat

dipengaruhi system lainnya dan salah satunya adalah sistem sosial. Di

Indonesia sendiri, kajian pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir

dengan menggunakan pendekatan SES setidaknya telah dilakukan oleh

Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE)

Project- Leibniz Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) yang

mengkaji interaksi sosial dan ekologi di Kepulauan Spermonde (Provinsi

Sulawesi Selatan), Sagara Anakan (Kabupaten Cilacap) dan Dearah

Aliran Sungai Siak (Provinsi Riau) dalam kurun waktu 2003-2007.

Adapun tujuan akhir dari penerapan pendekatan SES dalam kontek

KPPD adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan

ekosistemnya.

Namun akhir-akhir ini, kajian penerapan pendekatan SES dalam

pengelolaan kawasan konservasi atau daerah perlindungan (protected

area) mulai menjadi wacana. Pada tanggal 22 Januari 2014, Jurnal

BioScience mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan Palomo

dan kawan-kawan dengan judul “Incorporating the Social-Ecological

System Approach in Protected Areas in the Anthropocene”. Ide Palomo

dan kawan-kawan muncul sebagai kegelisahan mereka akibat

berlanjutnya penurunan terhadap keanekargaman hayati (Butchart et

Page 21: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[56]

al., 2010) walaupun sampai akhir 2013 luasan daerah perlindungan

mencapai 12,7% di darat dan 1,6% di laut (Bergzky et al., 2012).

Palomo et al. (2014) menyebutkan bahwa pendekatan atau konsep

daerah perlindungan terus berevolusi dari pendekatan pulau (island

approach) (era 1872-1980) kepada pendekatan bentangan atau

kawasan (landscape approach)(era pertengahan 2000-saat ini). Mereka

memperkirakan bahwa pendekatan terakhir ini akan berubah lagi

kepada pendekatan social ekologi (SES approach)(saat ini-masih tanda

tanya). Ada beberapa evolusi terhadap atribut yang terkandung dalam

setiap konsep dan sebagai gambaran dapat dilihat perbedaan antara

landscape approach and SES approach (Paloma, 2014)(lihat Tabel 2)

Tabel 2.

Perbandingan Antara konsep kawasan perlindungan dengan

pendekatan landscape approach dan social-ecological approach

Atribut Pendekatan untuk daerah perlindungan

Tipe pengelolaan Dinamis: perubahan-perubahan alam perlu dipertimbangkan

Adaptif: perubahan alam dan sosial seharusnya di gabungkan dalam pengelolaan

Pertimbangan nilai konservasi

Nilai intrisik ekosistem, keanekaragaman, proses-proses ekologi (fungsi, integritas ekologi), nilai-nilai budaya

Nilai intrisik dan instrumental ekosistem dan keanekaragaman (jasa ekosistem)

Pelibatan pengetahuan

Ilmiah dan teknis Ilmiah, teknis, dan pengetahuan ekologi local

Resiliensi melawan gangguan

Sedang-tinggi Tinggi

Kompetisi melawan peruntuhan lahan lainnya

Kompetisi sangat tinggi karena kebutuhan terhadap lahan sangat tinggi

Koperatif karena menggunakan pendekatan multifungsi lahan

Keterlibatan penduduk lokal

Penduduk lokal terlibat dalam proses pengelolaan

Benar-benar dikelola oleh penduduk lokal

Page 22: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[57]

partisipatif

Pengelaan kawasan

Tidak memadukan pengelolaan terpadu, pengelolaan di arahkan untuk menghindari ancaman terhadap kawasan

Memadukan pengelolaan kawasan, pengelolaan kawasan dilakukan secara menyeluruh

Sumber: Paloma et al. (2014)

Pengelolaan daerah perlindungan saat ini ada beberapa

keterbatasan. Paloma et al. (2014) setidaknya mengidentifikasi 3

keterbatasn daerah perlindungan saat ini, yaitu: (1) tidak

mempertimbangkan adanya perubahan yang berakibat langsung dan

tidak langsung serta cenderung terisolir, (2) kurang tepatnya lokasi dan

ukuran daerah perlindungan, dan (3) tidak terhubungkan antara daerah

perlindungan dengan masyarakat. Untuk menjawab adanya

keterbatasan tersebut, maka Paloma et al. (2014) menawarkan

pendekatan daerah perlindungan perlu mempertimbangkan

keterpaduan system sosial ekologi dan ilmu sosial ekologi, peningkatan

dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management untuk

mengurangi konflik sosial, pelibatan beragan institusi pada tatakelola,

pelibatan penerimba manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan,

pemahaman adanya kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan

hindari kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam

kawasan perlindungan yang multi fungsi. Memang apa yang dikemukan

oleh Paloma dan kawan-kawan barangkali lebih terkesan pada daerah

perlindungan di darat, namun konsep ini tidak salah juga jika

diterapkan terhadap daerah perlindungan laut dengan menyesuaikan

dan memperhatikan karakteristik sosial ekologi wilayah pesisir dan

laut.

Dengan memperhatikan pada penjelasan dan argumentasi di

atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa tatakelola kawasan

konservasi perairan yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan

sumberdaya ikan dan ekosistemnya, adanya pelibatan pemerintah dan

masyarakat (setidaknya diwakili kelembagaan lokal), dan kemanfaatan

kepada masyarakat. Mempertimbangkan pada kondisi dan keberadaan

sumberaya ikan saat ini, barangkali pendekatan tatakelola kawasan

konservasi perairan berbasis sosial ekologi sistem dapat diterapkan di

Page 23: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[58]

Aceh. Penjelasan berikut akan terbatas kepada bagaimana membangun

kontruksi peran PLL dalam tatakelola dan implementasi rencana

pengelolaan KKPD ke berbasis sosial ekologi sistem ke depan.

2. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok ke dalam Tatakelola

Kawasan Konservasi

Keberhasilan pengelolaan KPPD sangat ditentukan oleh adanya

peran secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah, NGO

dan kelembagaan lokal (indigenous institution). Memperhatikan pada

kondisi dan sejarah Aceh, maka model tatakelola yang sesuai untuk

mengelola KKPD adalah model tatakelola secara kolaboratif8. Secara

umum model semacam ini sudah banyak diterapkan pada berbagai

kawasan konservasi laut di seluruh dunia dan Indonesia. Barangkali

contoh yang menarik untuk di tiru adalah model pengelolaan KPPD di

wilayah perairan Raja Ampat. Menurut Rumetna et al. (2011) Raja

Ampat yang memiliki 7 unit KKLD9 di bentuk kedalam satu jejaring

KKLD dengan membentuk satu struktur tatakelola mengikuti arahan

Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan dan KKLD Raja Ampat memang harus dikelola secara

terpadu. Dalam model struktur tatakelola KKLD Raja Ampat

sebagaimana telah disyahkan melalui Peraturan Bupati Raja Ampat

No.16 Tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas

Kelautan dan Perikanan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten

Raja Ampat, jelas tercermin bahwa tatakelola yang dikembangkan

melibatkan unit pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Raja Ampat) dan unsur masyarakat lokal (unit pengelolaan

KKLD setempat)10. Dalam mengembangkan model ini peran NGO sangat

membantu, karena seperti pada kasus pembnetukkan KKLD Raja Ampat,

8 Teori kolaboratif mempertimbangkan perilaku negoisasi antar organisasi dan

proses social. Pada tataran pengelolaan, maka koolaboarat- dapat dideoifikaskan sebagai adanya bagi-bagi (sharing) kekuasaan dan tanggungajawab antaran pemerintah dan masysarakat (Pinto da Silva, 2004)

9 KKLD Ayau-Asia, KKLD Wayag-Sayang, KKLD Teluk Mayalibit, KKLD Selat Dampier, KKLD Kofiau dan KKLD Misool Timur Selatan, dan KKLD di Waigeo Barat Daya

10 Kepala UPTD dan unsur tatausaha merupakan pegawai pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan berstatus fungsional. Sementara unit-unit pengelola KKLD masing-masing wilayah merupakan unsur masyarakat local yang bersifat non structural.

Page 24: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[59]

The Nature Consevartion memiliki peran sebagai fasilitator dan

mediator mulai dari tahapan inisiasi, lanjutan, sampai tahapan finalisasi.

Pastinya keberhasilan pembentukan KKLD Raja Ampat tidak terlepas

dari peran-peran masyarakat local secara pro aktif yang ingin

memperbaiki tingkat kesejahteraan dan menjaga kelestarian

sumberdaya, utamanya ikan dan ekosistem terumbu karang.

Pada model tata kelola kolaboratif terdapat beberapa peran

strategis dan penting yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau

kelembagaan lokal. Pada tatakelola dengan pendekatan co-

management, maka 5 peran penting dan strategis masyarakat yang

meliputi peran instructive, consultative, co-operative, advisory, dan

informative; perlu diperhatikan dan diseimbang dengan peran

permeintah (Sen and Neilson, 1996). Dalam konteks ini masyarakat

lokal diwilayah pesisir dan laut Aceh dapat direpresentasikan oleh PLL

dapat memainkan 5 peran sebagaimana yang dirumuskan dalam

spektruk co management. Pendekatan model ini atau disebut juga

pendekatan desentralisasi tatakelola (desentralized governance) telah

diadopsi dan diimplementasikan oleh Negara-negara berkembang

termasuk Indonesia untuk keperluan tatakelola kawasan konservasi

laut (Jones et al, 2013). Mereka menyebutkan pendekatan ini dicirikan

oleh adanya perpaduan pendekatan top-down, buttom-up, dan market

incentive.

Mempertimbangkan pada penjelasan di atas, maka PLL memiliki

multi peran dalam tatakelola KKPD. PLL harus mampu menempatkan

diri sebagai wakil nelayan mulai dari tahapan inisiasi, perencanaan, dan

pelaksanaan pengelolaan LLD sesuai dengan peran-peran yang di adopsi

dari spektrium co management. Sebagai contoh, PLL yang mengelola

nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya ikan harus dapat menawarakan

dan mentranfer pengetahuan lokal sesuai dengan kondisi sosial dan

budaya setempat untuk membangun tatakeloa KKPD yang baik.

Disamping itu, PLL perlu membantu pemerintah melalui unit

pengelolaan yang dibentuk nantinya dalam menyusun kerangka dan

penegakan hukum dalam pengelolaan KKPD dan melestarikan

sumbereaya ikan dan ekosistemnya. Secara rinci peral PLL dalam

kerangka tatakelola KKPD dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 25: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[60]

Tabel 3.

Peran PLL pada tahapan inisiasi, pengembangan rencana, dan

pelaksanaan menggunakan pendekatan spectrum co management

Peran Tahapan

Inisiasi Penyusunan dan Pengembangan

Rencana

Pelaksanaan

Informatif Pro- aktif melakukan identifikasi potensi wilayah yang dapat diusulkan menjadi kawasan konservasi perairan

Memberikan informasi tatakelola pengelolaan sumberdaya perikanan secara lokal,

Menyampaikan kedinamisan perubahan kondisi social, ekonomi, budaya, dan konflik antar nelayan;

Menyampaikan kondisi sumberdaya perikanan

Menyampaikan fungsi regulasi, eksekutur dan yudikator yang perannya

Pro-aktif melaporkan permasalah dan konflik yang terjadi dalam fase pengelolaan KKPD;

Menyampaikan data dan informasi hasil tangkapan ikan pada zona pemanfaatan dan penyangga

Penasehat (Advisory)

Sosialisasi pentingnya kawasan konservasi laut kepada nelayan;

Menginformasikan pola pendekatan yang tepat dalam memahami perilaku nelayan

Mendampingi nelayan setiap proses pengambilan keputusan;

Mengarahkan nelayan untuk menyampaikan aspirasi yang positif dan partisipa aktif dalam

Menjalin kerjasama dengan PLL lainnya yang memiliki jejaring pengelolaan KKPD;

Membuka peluang kerjasama dengan lembaga tradisional lainnya untuk

Page 26: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[61]

penyusunan dokumen perencanaan;

Menyampaikan informasi kepada mediator atau fasilitator tentang tatalaksana penyelesaian konflik, dan pemberlakuan sangki adat laot kepada para pelanngar

pengelolaan secara terpadu kawasan konservasi perairan

Kooperatif Mengarahkan nelayan untuk berpikir positif akan manfaat adanya KKPD;

Membuka peluang kerjasama pengelolaan secara kolaboratif KKPD

Pro aktif dalam setiap pengambilan keputusan tentang zonasi, renacana pengelolaan, dan rencana aksi KKPD;

Mengedapan musyawarah untuk mufakat setiap pengampilan keputusan tentang dokumen perencanaan;

Memadukan dan menyatukan diri dengan pihak pengelola yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten dalam struktur tatakelola KKPD, walaupun sifatnya sukarela dan non-struktural;

Melaksanakan tugas-tugas implementasi program, monitoring, dan pengawasan secara sukarela

Konsultatif Pro-aktif bertanya terhadap arti penting adanya KKPD

Menawarkan penerapkan pengetahun local tentang hokum adat laot yang berkaitan dengan pelestarian sumberaya ikan dan ekosistem

Menyampaikan evaluasi terhadap program yang telah dilaksanakan

Menyapaikan saran dan nasehat untuk perbaikan program selanjutnya

Page 27: Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

[62]

Instruktif Mengarahkan nelayan memberikan informasi yang benar dan akurat bila ditanya pihak pemerintah dan fasilitator (NGO)

Partipatif dan secara sukarela dalam mendampingi mediator dan fasilitator dalam melakukan survey, dan pertemuan-pertemuan

Mengarahkan nelayan untuk mematuhi aturan dan sangsi adat laut;

Memberikan sangsi kepada nelayan yang melanggar adat laut tentang KKPD

Sumber: Hasil Analisis (2014)

Pada akhirnya PLL dapat memainkan perannya dalam

membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara

kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara

berkelanjutan. Diharapkan PLL dapat membantu mengadopsi 8 prinsip

tatakelola yang baik yang telah dikembangkan United Nation

Development Program (UNDP), yaitu: adanya partisipasi masyarakat

dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak

langsung, rule of Law yang ditandai dengan membangun kerangka

hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, keterbukaan

(transparency) yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh

informasi berkaitan dengan kepentingan public, tanggungjawab

(responsiveness) yang ditandai adanya lembaga-lembaga publik yang

cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder, orientasi konsesus

(consensus orientation) kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas,

kesetaraan (equity) kesempatan untuk setiap masyarakat untuk

memperoleh keadilan, efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber

daya publik, dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability) kapada

publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.