Kontroversi Impor Beras

36
KONTROVERSI IMPOR BERAS Dr. Sulastri Surono 1 ABSTRAK Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting peranannya dalam kehidupan bangsa Indonesia karena berkaitan dengan ekonomi makro, inflasi, ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan. Data yang dipakai dalam tulisan ini adalah tahun 1990- 2006. Makalah ini coba menjawab pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Di dalamnya akan dibahas mengenai situasi perdagangan beras dunia, liberalisasi perdagangan, pemikiran yang pro impor dan yang menolak impor, pihak mana yang dirugikan akibat adanya impor beras dan juga dibahas masalah rente -ekonomi dari adanya impor beras. Dari makalah ini diketahui bahwa luas areal dan produksi padi selama 16 tahun terakhir (1990-2006) sangat fluktuatif. Luas areal padi meningkat sebanyak 1,3 juta hektar sedangkan produktivitasnya relatif stagnan. Sementara itu konsumsi beras per kapita per tahun cenderung menurun sehingga konsumsi beras dalam negeri meningkat hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Diketahui juga bahwa 1 Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, program S1 dan S2; Research Associate pada LPEM-FEUI dan Komisaris PTPN XI 1

description

Paper kontoroversi impor beras

Transcript of Kontroversi Impor Beras

Page 1: Kontroversi Impor Beras

KONTROVERSI IMPOR BERAS

Dr. Sulastri Surono1

ABSTRAK

Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting peranannya dalam

kehidupan bangsa Indonesia karena berkaitan dengan ekonomi makro, inflasi, ketahanan

pangan, pengangguran dan kemiskinan.

Data yang dipakai dalam tulisan ini adalah tahun 1990-2006. Makalah ini coba

menjawab pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Di dalamnya akan

dibahas mengenai situasi perdagangan beras dunia, liberalisasi perdagangan, pemikiran

yang pro impor dan yang menolak impor, pihak mana yang dirugikan akibat adanya

impor beras dan juga dibahas masalah rente -ekonomi dari adanya impor beras.

Dari makalah ini diketahui bahwa luas areal dan produksi padi selama 16 tahun

terakhir (1990-2006) sangat fluktuatif. Luas areal padi meningkat sebanyak 1,3 juta

hektar sedangkan produktivitasnya relatif stagnan. Sementara itu konsumsi beras per

kapita per tahun cenderung menurun sehingga konsumsi beras dalam negeri meningkat

hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Diketahui juga bahwa walaupun

pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan (monopoli impor, tarif 0%, tarif 30% dan

larangan impor), impor tidak pernah berhenti selama tahun observasi, kecuali tahun 1993

dengan alasan adanya kekhawatiran Bulog atas kekurangan stok beras yang dimilikinya.

Namun yang lebih penting lagi ada dugaan motivasi perburuan rente ekonomi karena

harga beras impor sangat murah jika dibandingkan harga beras domestik sehingga

terdapat margin keuntungan bagi Bulog dan rekan-rekannya. Oleh karena perburuan rente

ekonomi tersebut maka pasti selalu saja ada pihak yang pro terhadap impor beras.

Kata kunci: beras, impor

1 Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, program S1 dan S2; Research Associate pada LPEM-FEUI dan Komisaris PTPN XI

1

Page 2: Kontroversi Impor Beras

Latar Belakang

Beras memang komoditas ekonomi, namun karena beras dibutuhkan oleh

masyarakat banyak di Indonesia, maka beras telah berubah menjadi komoditas politik,

untuk kepentingan politik seseorang maupun kelompok-kelompok tertentu. Sejak krisis

ekonomi, peran beras menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan ekonomi makro,

inflasi, resiko ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini harga beras sudah meningkat lebih dari dua kali

lipat, ditahun 2004 harga beras rata-rata hanya Rp 2.000 per kilogram namun dipenghujung

tahun 2006 harga beras telah menjadi Rp 4.500 per kilogramnya. Sementara harga beras

melambung terus, perdebatan pro-kontra impor beras, perlu tidaknya impor beras berjalan

terus. Perdebatan antara Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan para

pengamat. Disisi lain, kelompok importir yaitu Bulog dan mitranya terus memohon izin

untuk diberikan hak impor.

Menurut data BPS, produksi gabah pada tahun 2006 merupakan produksi tertinggi

selama Republik ini berdiri yaitu sebesar 54,66 juta ton GKG atau setara dengan 34,55 juta

ton beras (tersedia untuk dikonsumsi 28,33 juta ton). Sedangkan konsumsi sebesar 26,6 juta

ton beras, sehingga terjadi surplus beras sekitar 1,73 juta ton.

Persoalannya, tidak semua pihak percaya angka surplus tersebut, terutama para

spekulan beras yang selalu berupaya mempengaruhi berbagai pihak, terutama para pembuat

kebijakan, dengan mengeksploitasi kelemahan data statistik perberasan agar impor beras

dapat terlaksana. Biasanya usaha mereka berhasil walaupun pemerintah mengeluarkan

peraturan larangan impor untuk tahun 2004-2006, kemudian pemerintah juga yang

memberikan ijin impor. Terbukti di penghujung tahun 2006, pemerintah mengizinkan

Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 500.000 ton untuk tahun 2007 ini.

Berkaitan dengan latar belakang tersebut diatas, tulisan ini coba menjelaskan

kontroversi impor beras, pro dan kontra kebijakan impor beras., untuk menjawab

pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Tulisan ini mula-mula akan

membahas situasi perdagangan beras di dunia, liberalisasi perdagangan, dan juga dibahas

saran Peter Timmer untuk melakukan liberalisasi perdagangan beras di Indonesia, yang

berarti pemerintah tidak diperkenankan intervensi di bidang produksi, distribusi dan harga.

Selanjutnya, dibahas pula pemikiran yang pro impor dan yang menolak impor terutama

2

Page 3: Kontroversi Impor Beras

pada saat surplus beras, pihak pihak mana yang dirugikan akibat impor beras ini dan juga

dibahas masalah rente -ekonomi dari impor beras ini.

Pasar Beras Dunia

Perdagangan beras dunia saat ini, khususnya ekspor beras, hanya sebanyak 28-30

juta ton, dikuasai oleh enam negara saja, yakni Thailand, Vietnam, Amerika Serikat,

India, Pakistan, dan China. Beras yang mereka ekspor itu hanyalah sisa konsumsi

domestiknya saja, residual goods, kecuali Amerika Serikat. Amerika Serikat dengan

pangsa produksi yang relatif kecil (2%), ternyata merupakan negara eksportir beras ketiga

terbesar setelah Thailand dan Vietnam dengan volume ekspor sekitar 3 juta ton atau

sekitar 13% dari volume ekspor dunia tahun 2005. Dengan potensi sumber daya lahan

yang luas, benih transgenik, canggihnya teknologi produksi dan kemampuan subsidi yang

besar, AS akan menjadi pemain penentu dalam pasar beras dunia.

Harga beras internasional saat ini, tidak lagi menggambarkan tingkat efisiensi

atau ongkos produksi karena sebagian besar negara eksportir beras melakukan berbagai

support terhadap petani padi, tidak terkecuali negara Uni Eropa dan Amerika Serikat

dimana beras bukan sebagai makanan utama, serta Thailand, Pakistan dan India. Berbagai

subsidi tersebut membuat perdagangan tidak fair, namun tetap dilaksanakan oleh

sejumlah negara terutama negara maju.

Karena sebagian besar ekspor beras sifatnya adalah sisa konsumsi, maka harga

ekspor sangat tidak stabil karena tergantung pada sisa beras yang mereka miliki. Jadi,

sangatlah beresiko besar apabila Indonesia menyerahkan nasib ke pasar dunia yang

sifatnya residual market. Kalau negara tersebut tidak mempunyai sisa produksi, karena

total produksi habis dikonsumsi di dalam negerinya, tentu kebutuhan beras Indonesia

tidak dapat terpenuhi—kalaupun ada, hargapun akan naik melambung tinggi karena

produksi dibawah kebutuhan konsumsi. Inilah alasan-alasan mengapa masih

diperlukannya intervensi pemerintah dalam proses produksi, distribusi dan harga beras di

Indonesia.

3

Page 4: Kontroversi Impor Beras

Kebijakan Stabilisasi Harga

Stabilisasi harga beras menjadi salah satu kebijakan penting selama pemerintahan

Suharto. Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu (i)

ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu musim panen dan musim paceklik; (ii)

ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran ;

(iii) fluktuasi harga beras di pasar internasional, yang semuanya sulit diramalkan. Jadi

stabilisasi harga melewati batas musim, tahun dan batas negara, sehingga diperlukan

kebijakan pemerintah untuk menstabilkannya.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya berlangsung

pada bulan Februari—Mei yang mencapai 60-65% dari total produksi padi nasional, dan

produksi musim gadu pertama berlangsung antara bulan Juni—September mencapai 23-

30%, sisanya dihasilkan antara bulan Oktober—Januari. Bila harga padi/beras dilepas

sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi/beras akan jatuh pada musim

panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober—Januari), sehingga

ketidakstabilan harga dapat memukul produsen pada musim panen dan menghantam

konsumen pada musim paceklik, disamping itu akan berakibat luas pada ekonomi makro

tidak terkecuali inflasi.

Selanjutnya ketidakstabilan harga beras di pasar internasional menurut Dawe

( 1995) disebabkan oleh tiga hal yaitu: (i) pasarnya yang tipis karena volume beras yang

diperdagangkan amat kecil dibandingkan dengan total produksi yaitu kurang dari 3%

(sekitar 18-19 juta ton/tahun dalam tahun 1980an, meningkat dalam dua tahun terakhir

menjadi 25 an juta ton), (ii) pasar sisa (residual market) artinya pemerintah akan masuk

ke pasar beras kalau diperlukan dalam rangka menstabilkan supply dalam negeri,

sehingga harga beras menjadi tidak stabil dibandingkan dengan produksi dalam negeri;

(iii) permintaan dan penawaran yang inelastis yaitu tidak begitu responsif terhadap

perubahan harga. Hal ini disebabkan tingginya prioritas negara-negara Asia dalam

menstabilkan supply beras dalam negeri, pemerintah mengimpor beras untuk

menstabilkan harga dalam negeri tanpa banyak memperhitungkan tingkat harganya.

Stabilisasi harga tidak dikenal luas dalam profesi ilmu ekonomi, sehingga

kebijakan stabilisasi harga selalu disamakan dengan kebijakan proteksi (Dawe, 1997),

padahal keduanya berbeda. Proteksi dapat berakibat kepada alokasi sumberdaya yang

4

Page 5: Kontroversi Impor Beras

keliru (misallocation) dan inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Akan tetapi,

stabilisasi harga beras untuk Indonesia, oleh Dawe (1995 dan 1997) telah dibuktikannya

dapat menguntungkan tidak saja produsen dan konsumen (microeconomics benefits), tapi

juga macroeconomics benefits. Ia kemudian mempertanyakan apakah dengan demikian

semua pangan atau komoditas pertanian harus dilakukan kebijakan stabilisasi harga?.

Jawabnya tentu tidak, bergantung pada komoditas itu sendiri, apakah cukup penting buat

konsumen, produsen dan terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi makro. Komoditas

beras di Asia umumnya dan Indonesia khususnya menjadi unik dan memenuhi syarat-

syarat seperti disebutkan di atas, sehingga banyak negara di Asia tetap berusaha untuk

menstabilkan harga beras dalam negerinya.

Liberalisasi Perdagangan Dunia

Hakekat dari liberalisasi perdagangan adalah menghilangkan berbagai hambatan

baik tarif maupun nontarif. Liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian, berarti

membuka akses pasar yang lebih luas, menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik,

bertujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di pasar internasional, dan juga

untuk menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil (fair trade)2.

Indonesia sebagai salah satu peserta harus bersedia melakukan perdagangan

intenasional tanpa proteksi, termasuk di antaranya komoditas pangan. Tindak lanjut dari

liberalisasi perdagangan tersebut, pada tahun 1997, Presiden Soeharto mengumumkan

kesepakatan program reformasinya dengan IMF yaitu dengan menghapuskan monopoli

beberapa komoditas pangan strategis yang dikuasai Bulog seperti gula pasir, terigu dan

kedelai.

Monopoli beras oleh Bulog dicabut juga dengan surat Keputusan Menteri Perindustrian

dan Perdagangan No. : 717/MPP/Kep/12/1999. Pengusaha-pengusaha swasta menjadi

bebas melaksanakan impor beras tanpa bea masuk. Kebebasan inilah yang kemudian

mengakibatkan kebijakan harga dasar gabah tidak efektif.

Kebijakan tarif impor sebesar 0% ternyata sangat merugikan petani karena

membanjirnya beras dari luar negeri, sehingga kemudian muncul desakan-desakan untuk

menaikkan tarif impor tersebut. Akhirnya pada tahun 1999 pemerintah menaikkan bea

2 Tim Pengkajian Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras. (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) hal 215.

5

Page 6: Kontroversi Impor Beras

masuk dari 0% menjadi Rp 430/kg atau setara 30% yang efektif berlaku pada tanggal 1

Januari 2000 sampai akhir tahun 2003. Banyak pihak yang mendesak untuk dinaikkannya

lagi tarif impor beras tersebut, karena dipandang amat rendah terutama jika dibandingkan

dengan negara lainnya. Perbandingan tarif bea masuk beras di berbagai negara dapat kita

lihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1Perbandingan Tarif Bea Masuk Beras di Beberapa Negara

No Negara Tarif Bea Masuk (%)

1 Indonesia 30

2 Thailand 65

3 European Union 92,3

4 Japan 400

Tarif maksimum yang diperbolehkan WTO 160

Sumber: WTO

Dalam hal tarif pemerintah punya pertimbangan sendiri. Dikhawatirkan

peningkatan bea masuk beras impor bukannya menaikkan harga beras impor agar setara

dengan harga beras lokal, namun dengan bea masuk yang tinggi mengakibatkan

maraknya tindakan penyelundupan dan pengoplosan beras. Kebijakan tarif impor yang

dinaikkan menjadi sebesar 30% ternyata juga tidak efektif membatasi arus beras impor ke

pasar domestik. Hal ini disebabkan adanya “moral hazard”, berupa penyelundupan atau

“under invoice” dokumen impor, sehingga jumlah beras yang masuk tetap saja banyak

dan penawaran beras sangat besar. Harga beras di pasaran pun menjadi anjlok.

Penetapan tarif adalah dilematis. Tarif terlalu tinggi mendorong terjadinya

penyelundupan. Sementara jika terlalu rendah akan mengakibatkan tidak terlindunginya

petani dari tekanan kejatuhan harga beras internasional. Selain itu, kebijakan

perdagangan internasional tidak terlepas dari politik di masing-masing negara yang

terlibat, yang biasanya memberlakukan proteksi yang kuat terhadap pertaniannya

sehingga apabila kita serta merta membebaskan segala halangan, dapat terjadi kita justru

melepas petani ke persaingan yang tidak wajar.

6

Page 7: Kontroversi Impor Beras

Liberalisasi Perdagangan Beras ?

Peter Timmer, pengamat perekonomian Indonesia khususnya pangan dari Center

for Global Development (CGD), mengusulkan untuk melakukan liberalisasi perdagangan

beras di Indonesia. Disebutkannya bahwa Indonesia harus meliberalisasikan perdagangan

berasnya. Kebijakan Indonesia yang membatasi impor beras membuat harga beras lokal

mahal, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan

kemiskinan. Pernyataan Peter Timmer itu diungkapkan pada kuliah umum yang berjudul

The Future of Food Policy in Indonesia di Universitas Indonesia, Depok pada hari

Kamis, 30 November 2006 lalu.

Timmer juga mengungkapkan bahwa meski beras murah diperlukan untuk

menopang pertumbuhan ekonomi, tapi pemerintah Indonesia tidak perlu melakukan

intervensi pasar dengan kebijakan stabilisasi harga. Usulan Peter Timmer untuk

meliberalisasi perdagangan beras di Indonesia, hanyalah akan menggiurkan bagi para

importir beras, khususnya Bulog dan mitra kerjanya saja. Meliberalisasikan perdagangan

beras berarti pemerintah tidak diperkenankan melakukan intervensi baik dibidang

produksi, distribusi maupun harga.

Timmer (2002) menyoroti kebijakan pemerintah yang berkeinginan untuk

mendorong harga beras domestik yang tinggi di Indonesia. Argumen pendukung harga

beras tinggi yang digunakan adalah : (i) banyak negara mensubsidi petaninya dengan

subsidi domestik dan subsidi ekspor; (ii) perdagangan pasar beras dunia yang sangat tipis

dan menyebabkan harga beras tidak stabil; dan (iii) harga beras tinggi membawa dampak

positif bagi kegiatan perekonomian pedesaan melalui dampak pengganda (multiplier

effect) yang dihasilkannya

Sedangkan argumen pendukung harga beras rendah : (i) berdasarkan kalkulasi

yang dilakukan, Timmer (1999) menyatakan bahwa hanya sekitar 20-25% rumah tangga

Indonesia akan lebih sejahtera bila harga beras tinggi, dan mereka bukanlah masyarakat

miskin. Sisa masyarakat lainnya akan sangat menderita oleh kebijakan harga beras tinggi.

Jadi harga beras yang tinggi akan merugikan penduduk miskin; (ii) berkaitan dengan

pertumbuhan ekonomi, harga beras tinggi akan menghambat proses diversifikasi

usahatani yang seharusnya terjadi ; (iii) harga beras yang tinggi akan menyebabkan

7

Page 8: Kontroversi Impor Beras

tenaga kerja menuntut upah yang lebih tinggi, yang akan menyebabkan turunnya

investasi, baik domestik maupun asing ; dan (iv) pemerintah mempunyai kekhawatiran

yang berlebihan tentang kecenderungan kenaikan harga beras menjadi pemicu potensi

inflasi karena komoditas beras ini memiliki bobot yang relatif besar dalam penghitungan

Indeks Harga Konsumen (IHK) dibandingkan dengan komoditas lainnya.

Tetapi perlu digaris bawahi pula bahwa harga beras rendah juga bukan merupakan

kebijakan yang baik, seperti yang dilakukan oleh Mesir, Cina dan Uni Soviet dahulu.

Kebijakan harga beras rendah tidak menggerakkan perekonomian pedesaan. Jadi

kebijakan yang tepat adalah kebijakan dengan menentukan harga yang optimal, yang

tentu saja, sulit untuk dilaksanakan.

Hampir semua harga komoditas pertanian turun di pasar dunia, terutama beras.

Hal ini telah berdampak buruk pada petani miskin yang menghasilakan beras, mereka

tidak mampu bersaing dengan beras impor di pasar dalam negeri, selain pemerintah tidak

mempunyai dana untuk mensubsidi petaninya, pemerintah juga dihadapi dengan sejumlah

kendala karena keharusan melaksanakan SAP (structural adjustment program) IMF/Bank

Dunia sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman hutang dari lembaga keuangan

international tersebut pada periode krisis. Konsekwensinya adalah adalah rendahnya

insentif harga yang diterima petani, sehingga terjadi stagnasi peningkatan produktivitas.

Dalam kondisi saat ini, upaya peningkatan daya saing melalui peningkatan produktivitas

dan peningkatan harga merupakan pilihan yang sulit, tetapi harus tetap diupayakan.

Perkembangan Luas Areal Padi dan Produktivitas Padi

Luas areal dan produktivitas tanaman padi sejak tahun 1990 berfluktuasi. Selama

16 tahun telah terjadi peningkatan luas tanaman sebesar 1,3 juta hektar., yaitu dari 10,5

juta hectare tahun 1990 menjadi 11,8 juta hectare pada tahun 2006 (tabel 2)

Tabel 2

8

Page 9: Kontroversi Impor Beras

Perkembangan Luas Areal, Produksi Padi, Produktivitas, danPertumbuhan Produksi Padi di Indonesia,

Periode Tahun 1990-2006

Tahun Luas Panen(000 ha)

Produktivitas(ton/ha)

Produksi Padi

(ribu ton)

Produksi Beras(000 ton)

Pertumbuhan Produksi Beras

(%)19901991199219931994199519961997199819992000200120022003200420052006

10.50210.28211.10311.01310.73411.43911.56911.14111.73011.96311.79311.45011.52111.48811.92311.83911.854

4,304,354,344,384,354,354,414,434,194,254,404,394,474,544,544,574,61

45.17944.68948.24048.18146.64149.74451.10149.37749.23750.86651.89850.46051.48952.13754.08854.15154.663

29.36129.04731.35631.31830.32132.33433.21631.20631.11932.14932.79431.89032.54232.95234.18534.22234.545

1,0-1,1 7,9-0,1-3,2 6,7-2,7-3,7-0,2 3,2 0,2-2,7 2,0 1,2 2,3 0,1 0,9

Sumber: Statistik Indonesia (berbagai tahun), Badan Pusat Statistik

Begitu juga halnya dengan produktivitas padi, sangat fluktuatif dan mempunyai

kecenderungan menurun sebelum tahun 1998. Hal ini disebabkan karena rendahnya mutu

bibit padi yang ditanam atau pun pemalsuan benih, adanya hama penyakit, faktor alam

(musim kemarau yang panjang, atau adanya musibah banjir yang menyebabkan sawah

tergenang), pemalsuan pupuk dan pestisida, dan dicabutnya subsidi pupuk yang

berdampak pada peningkatan harga pupuk sehingga terjadi kondisi penggunaan pupuk

yang tidak seimbang oleh petani. Selanjutnya setelah tahun 1998, produktivitas padi

meningkat. Peningkatan produktivitas padi tersebut didorong karena perbaikan harga

beras.

Pada saat panen raya, melimpahnya persediaan gabah, rendahnya kualitas gabah

dan banyaknya impor beras telah mengakibatkan harga gabah terus menurun. Hal ini

ditambah dengan posisi tawar petani yang rendah karena petani membutuhkan dana segar

untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Rendahnya kulitas gabah yang dihasilkan petani

disebabkan ketidak mampuan petani untuk membeli input produksi yang berkualitas,

9

Page 10: Kontroversi Impor Beras

meningkatnya harga pupuk lebih cepat dari harga gabah, meningkatnya harga obat

pembasmi hama, bibit padi serta meningkatnya upah buruh tani. Dengan kata lain biaya

produksi lebih besar dari nilai jual gabah, tambahan lagi harga gabah sering mengalami

penurunan.

Produksi Padi dan Beras

Produksi padi adalah perkalian luas areal dikalikan dengan produktivitas.

Sebelum tahun 1998, produksi padi sangat berfluktuatif. Secara umum semenjak tahun

1990, kecenderungan produksi padi dalam negeri selalu meningkat, terutama tampak

sejak tahun 1997, yang diikuti dengan tercapainya kembali swasembada beras Indonesia

pada tahun 2004, dengan pertumbuhan produksi sebesar 2,3 persen dari tahun 2003.

Adapun hasil produksi tahun 2004 sebesar 54,09 juta ton padi yang apabila dikonversikan

menjadi 34,18 juta ton beras. Data terakhir bahkan menunjukkan bahwa produksi padi

Indonesia mengalami puncaknya pada tahun 2006, yaitu sebesar 54,66 juta ton padi, yang

bila dikonversi menjadi 34,55 juta ton beras. Menurut data BPS, produksi padi pada

tahun 2006 merupakan produksi tertinggi selama Republik ini berdiri yaitu sebesar 54,66

juta ton GKG sehingga terjadi surplus beras sekitar 1,73 juta ton. (tabel 3)

Mengingat kita tidak mengkonsumsi padi, tapi beras, maka data produksi padi

yang diperoleh dari BPS harus disetarakan dengan beras, dengan cara mengalikan

produksi padi dengan tingkat rendemen. Produksi padi mungkin meningkat, tetapi tidak

otomatis meningkatkan produksi beras. Hal ini disebabkan karena turunnya tingkat

rendemen dari padi menjadi beras. Menurut Sawit (1999) pada tahun 1950, angka

konversi atau rendemen adalah sebesar 71 persen, kemudian menjadi 65 persen pada

tahun 1989, dan menurun lagi menjadi 63,2 persen pada tahun 1997. Angka konversi

yang dipakai dalam tulisan ini adalah 63,2%. Turunnya tingkat rendemen tersebut bisa

disebabkan umur mesin yang sudah tua yang berpengaruh terhadap stelan rendemen,

kapasitas mesin yang sangat kecil. Hasil produksi beras tersebut masih dikurangi 18

persen yaitu 10% untuk bibit, makanan ternak, penyusutan, tercecer di jalan; serta 8%

untuk koreksi lahan, hasilnya merupakan beras yang tersedia untuk konsumsi, seperti

terlihat pada tabel 3.

10

Page 11: Kontroversi Impor Beras

Tabel 3Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia (1990—2006)

TahunProduksi Tersedia

Untuk Konsumsi

(juta ton)

Penduduk

(juta jiwa)

Kebutuhan Konsumsi Selisih Konsumsi

(juta ton)

Impor

(ribu ton)Padi

(juta ton GKG)

Beras(juta ton)

Per Kapita

(Kg/thn)

Total(juta ton/thn)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (4)*(5) (7) (8)

19901991199219931994199519961997199819992000200120022003200420052006

45,1844,6948,2448,1846,6449,7451,1049,3849,2450,8751,4850,4651,4952,1454,0954,1554,66

29,3729,0531,3631,3230,3232,3333,2231,2131,2332,1532,8031,8932,5432,9534,1834,2234,55

24,0823,8225,7125,6824,8626,5127,2425,5925,5226,3626,9026,1526,6827,0228,0328,0628,33

179,83182,94186,01189,15192,22195,28198,34201,39203,40205,44206,27208,44211,06213,72216,42218,87221,63

135135135135135135135133131129128127126126124120120

24,2824,7025,1125,5425,9526,3626,7926,7826,6526,5026,4026,4726,5926,9326,8426,2626,60

(0,33)(0,88)

0,60,14

(1,09)0,150,45

(1,19)(1,13)(0,14)

0,5(0,32)0,090,091,191,81,73

29 178 638 0 8763.0141.231 7816.0674.1821.354 6371.7861.425 230 188 210

Sumber: (1) dari BPS(2) dari perhitungan: (1) x angka konversi padi menjadi beras, dimana angka konversi 1989—1996 = 65%, 1997—2006 = 63,2%(3) dari perhitungan: (2) – (10% untuk bibit dan makanan ternak, susut dan rusak + 8% untuk koreksi lahan)(4) dari BPS(5) dari Susenas, BPS. Merupakan penjumlahan konsumsi beras di dalam rumah tangga dan di luar rumah

tangga.(6) dari perhitungan : jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan konsumsi beras per kapita(8) dari perhitungan : beras yang tersedia untuk konsumsi dikurangi dengan total kebutuhan konsumsi beras (8) dari Bulog (1972—1983) dan Tom Slayton dan Rice Trader (1997—2006)

Konsumsi Beras

Permintaan terhadap beras terdiri dari konsumsi beras di dalam rumah tangga dan

konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi di luar rumah tangga meliputi kebutuhan

beras untuk rumah makan, hotel, industri pengolahan, dan kebutuhan beras untuk

cadangan rumah tangga. Komposisi penggunaan beras tahun 1999 terdiri atas 79,6 persen

konsumsi di dalam rumah, sedangkan sisanya di luar rumah yaitu terdiri 10,8 persen di

luar rumah, dan 9,6 persen untuk industri pengolahan (Kompas, 5/9/02 dan Deptan).

11

Page 12: Kontroversi Impor Beras

Melihat komposisi tersebut dapat dikatakan bahwa porsi penggunaan beras untuk

konsumsi di dalam rumah tangga adalah yang terbesar.

Gambar 1Bagan Penggunaan Beras di Indonesia

Perhitungan konsumsi beras di dalam rumah tangga memakai data Susenas seperti

terlihat dalam tabel 4

Tabel 4Konsumsi Beras Per kapita Seminggu

Desa-Kota, 1996-2006 (Kg)

Tahun Kota+Desa1999 1,9912002 1,9242003 1,9302004 1,8992005 1,8442006 1,839

Sumber: Susenas, berbagai edisi, Badan Pusat Statistik

Konsumsi di luar rumah tangga merupakan makanan jadi dan setengah jadi.

Konsumsi di luar rumah tangga cenderung meningkat karena (i) meningkatnya tingkat

pastisipasi angkatan kerja wanita sehingga waktu untuk memasak menjadi semakin kecil;

(ii) berkembangnya sektor jasa, restoran dan rumah makan; (iii) kemajuan teknologi

memungkinkan makanan disimpan lebih lama yang menyebabkan berkembangnya

industri makanan jadi dan setengah jadi; (iv) meningkatnya perputaran ekonomi yang

12

BERAS

Konsumsi di Dalam Rumah TanggaKonsumsi di Luar Rumah Tangga

(rumah makan, hotel, industri pengolahan)

Page 13: Kontroversi Impor Beras

memaksa orang untuk bekerja lebih lama yang berarti waktu tinggal di rumah semakin

sedikit dan mendorong frekuensi makan di luar rumah; dan (v) urbanisasi mendorong

terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat pedesaan mengikuti pola konsumsi

masyarakat perkotaan.

Konsumsi total di dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga diperoleh dari

perkalian konsumsi beras di dalam rumah tangga dikalikan dengan koefisien 125,6

(diperoleh dari 100/79,6). Hasilnya dapat dilihat pada grafik 3 berikut.

Gambar 2

Trend Konsumsi Beras per Kapita per Tahun di Indonesia, 1990-2006

Konsumsi Beras per Kapita per Tahun di Indonesia, 1990-2006

135 135 135

129125 123

120

110

115

120

125

130

135

140

1990 1993 1996 1999 2003 2004 2006

Tahun

Kg

per

Kap

ita

Konsumsi Beras per Kapita di Indonesia

Pada awal tahun 1990-an, konsumsi beras per kapita di dalam rumah tangga dan

di luar rumah tangga cukup tinggi yaitu sebesar 135 kg per kapita. Tingginya konsumsi

per kapita tersebut disebabkan karena pemerintah saat itu menerapkan harga beras murah

sehingga masyarakat yang tadinya mengkonsumsi sagu dan ketela sebagai makanan

pokoknya beralih ke beras sebagai makanan pokoknya.

Selanjutnya dibandingkan tahun 1990an, tahun 2001 konsumsi beras per kapita

menurun, yaitu hanya sebesar 127 kg per kapita. Penurunan tersebut diduga karena

meningkatnya angka kemiskinan sehingga daya beli masyarakat menurun, masyarakat

mensubtitusi beras dengan bahan pangan yang relatif lebih murah, seperti mie dan roti.

13

Page 14: Kontroversi Impor Beras

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum konsumsi beras dalam negeri

meningkat hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk.

Pada tahun 2003, konsumsi per kapita penduduk sebesar 126 sehingga konsumsi

total masyarakat sebesar 26,93 juta ton beras. Sementara itu beras yang tesedia untuk

dikonsumsi di dalam negeri sebesar 27,02 juta ton. Ini artinya terdapat surplus beras

sebesar 90 ribu ton. Surplus tersebut terus berlanjut pada tahun 2004, 2005 dan 2006,

masing-masing sebesar 1,19 juta ton, 1,8 juta ton, dan 1,73 juta ton.

Impor Beras

Sesungguhnya impor beras bukanlah hal baru buat Indonesia, terbukti selama

periode observasi (1990-2006) hanya tahun 1993 saja Indonesia tidak mengimpor beras

(lihat tabel 3). Rata-rata volume impor beras mencapai 800 ribu ton per tahun selama

periode 1990-1997. Tampaknya ketergantungan Indonesia pada beras impor semakin

besar. Pada tahun 1993, Indonesia tidak mengimpor karena pemerintah memperkirakan

produksi dalam negeri akan baik, akan tetapi tahun berikutnya yang terjadi sebaliknya,

produksi dalam negeri tidak menggembirakan sehingga terjadi lonjakan impor tahun

1995 yaitu mencapai 3 juta ton, angka tertinggi ke-2 selama 30 tahun terakhir. Sejak

dibukanya pasar dalam negeri akhir tahun 1998, rata-rata impor beras melonjak tajam

yaitu hampir 3 juta ton per tahun dalam periode 1998-2000. Angka impor ini tentu akan

lebih besar lagi manakala dihitung impor swasta yang mengambil pangsa impor dalam

tahun 1999 dan 2000 masing-masing 63% dan 69% dari total impor beras 3 (Amang dan

Sawit, 2001).

Awal tahun 2004, Menperindag mengeluarkan SK Menperindag No.

9/MPP/Kep/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras tertanggal 10 Januari 2004. SK

tersebut antara lain berisi impor beras dilarang masuk wilayah Indonesia satu bulan

sebelum panen raya dan dua bulan sesudah panen raya. Pemerintah menerapkan larangan

impor beras pada bulan Januari 2004 dan terus berlangsung hingga akhir tahun 2006.

Dikeluarkannya SK tersebut menyebabkan menurunnya volume impor Indonesia yaitu

sebesar 230 ribu ton, 188 ribu ton, dan 210 ribu ton, masing-masing pada tahun 2004,

2005, dan 2006.

3 Impor swasta tahun 1998, 1999, dan 2000, masing-masing mencapai 1,3 juta ton, 3,2 juta ton, dan 1,2 juta ton (Amang dan Sawit, 2001).

14

Page 15: Kontroversi Impor Beras

Kebijakan pelarangan impor (import ban) sepanjang tahun memperoleh

tanggapan yang berbeda dari berbagai pihak. Pendukung petani produsen menyetujui

langkah yang dilakukan pmerintah karena kebijakan tersebut diharapkan mampu

meningkatkan kesejahteraan petani produsen. Sementara pendukung konsumen

beranggapan bahwa harga beras yang tingi akibat kebijakan tersebut akan merugikan

kaum miskin, terutama disebabkan sekitar 70 persen penduduk Indonesia adalah net

consumer beras.

Larangan impor beras ini masih dilanjutkan dengan alasan stok beras nasional

dinilai masih cukup, bahkan pada tahun 2004 surplus hingga 1,19 juta ton beras. Dengan

adanya larangan impor beras, harga gabah di tingkat petani mulai naik. Dari data Bulog

pada bulan Januari sampai Mei 2005, harga gabah kering panen di depan pintu gudang

mencapai Rp 1.393 per kg atau Rp 60 per kg di atas harga yang ditetapkan Inpres Nomor

2 tahun 2005.

Secara empiris memang ada korelasi antara impor beras dengan produksi beras

nasional. Semakin sedikit impor beras, harga beras di pasar domestik akan kian membaik

dan produksi beras nasional pun meningkat. Pada tahun 1998, demi memenuhi Letter of

Intent (LOI) yang dibuat bersama IMF, pemerintah RI dibawah pimpinan Presiden BJ

Habibie membuka kran impor beras dengan bea masuk nol persen. Akibatnya,

membanjirlah beras impor sampai mencapai 6,06 juta ton. Pada 1999 impor beras tetap

tinggi sampai sekitar 4,18 juta ton. Dampaknya harga gabah petani di dalam negeri

tertekan sampai Rp 700/kg.

Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, impor beras dikenakan bea

masuk 25%. Akibatnya impor beras menurun drastis sebesar 637 ribu ton, dan harga

beras dalam negeri pun kian membaik, sejalan dengan peningkatan harga beras di pasar

dunia. Pada periode berikutnya, pemerintahan Presiden Megawati menutup keran impor

beras dengan Inpres No. 9/2002 yang berlaku sejak Januari 2003 hingga satu tahun masa

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Petani pun menikmati harga beras

yang terus membaik dan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi nasional.

Namun belakangan pemerintah SBY membuka kembali keran impor beras kendati

mendatangkan tentangan keras dari berbagai kalangan.

15

Page 16: Kontroversi Impor Beras

Gambar 3Impor Beras Indonesia, Periode 1990-2006

Impor Beras Indonesia, Periode 1990-2006

281.7

1296.7

2693

2057.71605.5

209.30

1000

2000

3000

1990-1992 1993-1995 1996-1998 1999-2001 2002-2003 2004-2006

Tahun

Rib

u t

on

Impor Beras Indonesia, Periode 1990-2006

Persoalannya, tidak semua pihak percaya angka surplus tersebut, terutama para

pedagang beras. Mereka selalu ingin berupaya mempengaruhi berbagai pihak, khususnya

para pembuat kebijakan, dengan mengeksploitasi kelemahan data statistik perberasan

nasional, agar impor beras dapat terlaksana. Usaha mereka biasanya berhasil, sehingga di

penghujung tahun 2006 yang lalu, pemerintah kembali mengizinkan Bulog untuk

mengimpor beras sebanyak 500.000 ton untuk tahun 2007 ini. Selanjutnya pemerintah

melalui APBN telah mengalokasikan dana sebanyak Rp 3 triliun untuk meningkatkan

produksi beras sebanyak 2 juta ton. Jadi tahun 2007 ini pemerintah fokus pada upaya

peningkatan produksi beras. Setelah itu tercapai dan terbukti Indonesia sanggup

menaikkan produksi beras, maka diversifikasi pangan akan dijadikan program unggulan.

Program ini merupakan kebutuhan dan keharusan, dan bukan jadi alasan karena

Indonesia tidak mampu meningkatkan produksi beras.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan peoduksi beras di Indonesia yang paling

memungkinkan saat ini adalah penanaman padi hibrida secara besar-besaran. Dengan

penanaman seluas 1 juta ha, target penambahan produksi beras 2 juta ton bukan saja bisa

tercapai tetapi bisa dilampaui. Masalahnya akibat kebijakan Deptan yang selama ini

setengah hati dalam mendukung pengembangan padi hibrida membuat kebutuhan

benihnya tidak mencukupi.

Maxdeyul Sola, Ketua Dewan Beras Nasional mengatakan hal ini kepada

Business News. Untuk penanaman 1 juta ha, perlu benih padi hibrida 20.000 ton.

16

Page 17: Kontroversi Impor Beras

Masalahnya saat ini bila dipacu sekuat mungkinpun kemampuan berbagai perusahaan

benih hibrida di Indonesia ini hanya 3500 ton. Masih ada kekurangan 16.500 ton benih

yang harus diimpor dalam bentuk benih sebar langsung.

Penanaman padi hibrida menurut rekomendasi FAO merupakan satu-satunya cara

untuk mengatasi levelling off. Indonesia saat ini sudah mencapai levelling off dimana

berbagai cara sudah dilakukan tetapi produksi padi tertahan, hanya naik sedikit.

Akibatnya impor beras Indonesia tahun 2006 saja sudah mencapai 700.000 ton.

Inovasi padi hibrida adalah sebuah solusi prospektf dan operasional untuk isu ketahanan

pangan. Padi ini telah terbukti mampu meningkatkan produksi sampai 20% dibanding

jenis padi konvensional lainnya. Negara-negara produsen utama seperti China, India,

Vietnam dan Filipina telah membuktikan kinerja penanaman padi hibrida.

Kontroversi Impor Saat Surplus Beras

Mengapa perlu impor beras pada saat Indonesia surplus beras? Itu adalah

pertanyaan yang mencuat dibenak banyak orang. Ada yang memperkirakan penyebabnya

adalah data produksi, konsumsi dan stok beras nasional yang tidak jelas.

Pro Impor

Alasan klasik Bulog menyatakan merasa perlu mengimpor beras karena

stok berasnya telah menurun dibawah 1 juta ton. Pihak Bulog merasa tidak aman

dengan jumlah stok berada dibawah 1 juta ton. Boleh jadi, Bulog tidak yakin akan

kepastian ramalan data BPS yang memperkirakan bakal ada surplus beras di dalam

negeri. Sekalipun, katakan, memang stok beras kurang, mengapa Bulog tidak

membeli saja dari petani Indonesia, mengapa harus mengimpor atau dengan kata

lain membeli dari petani asing? Persoalannya karena:

1. Harga beras di negara eksportir beras seperti Vietnam dan Thailand lebih murah

dari harga domestik. Kenapa bisa lebih murah? Apakah petani di negara

anggota ASEAN itu produksinya lebih efisien? Jawabannya, tidak juga. Harga

disana bisa lebih murah karena yang dilepas adalah beras sisa produksi tahun

lalu dengan mutu yang jelas tidak sebaik beras produksi baru, kemudian petani

disubsidi.

17

Page 18: Kontroversi Impor Beras

2. Harga beras di pasar domestik relatif tinggi, diatas plafon harga pembelian

pemerintah (HPP). Berdasarkan keterangan Dirut Perum Bulog Wijanarko

Puspoyo, institusinya sulit mencari beras di pasar bila harga sedang tinggi (rata

rata sekitar Rp 4.000,- per kilogram pada awal tahu 2006), padahal kemampuan

dana yang dimiliki Bulog hanya Rp 3.550,- perkilogram sesuai harga pembelian

pemerintah (HPP). Sebenarnya ini persoalan kebijakan fiskal yang mestinya

bisa diselesaikan dengan luwes oleh instansi pemerintah terkait. Kalau saja

pemerintah mengeluarkan penyesuaian kebijakan yang memungkinkan Bulog

membeli beras di atas HPP, Bulog tidak perlu untuk mengimpor beras.

Tahun 2006, impor dilakukan dua kali yaitu pertengahan Juni dan

Desember sebanyak 210.000 ton. Meskipun panen raya bulan Juni impor tetap

dilakukan, modusnya yaitu memanfaatkan isu kekeringan dan persiapan lebaran.

Pasar beras cenderung oligopolistik dan mudah terjadi penimbunan, sehingga

spekulan dengan mudah mempermainkan harga gabah atau beras di masyarakat.

Berdasarkan penelitian Gatot Irianto, fluktuasi harga beras lebih disebabkan

masalah unfair business dibandingkan masalah produksi.

Menolak Impor

Sementara itu, kalangan DPR menolak kebijakan impor beras. 50 anggota DPR

dari berbagai fraksi (sebagian besar dari fraksi PDI-P) memprotes keputusan

pemerintah yang tetap bersikukuh mengimpor beras tanpa menghiraukan

penderitaan petani.

Anggota DPR dari fraksi Amanat Nasional, Drajat Wibowo menyatakan, impor

beras ini merupakan kebijakan pemerintah yang sulit dipahami. Pasalnya tidak ada

penurunan produksi padi. Sementara konsumsi masyarakat juga tidak sedang

melonjak, sehingga persediaan beras dalam negeri masih cukup. Beliau menduga

kebijakan impor beras itu ditujukan untuk menurunkan tingkat inflasi.

Kecenderungan untuk mencegah berlanjutnya inflasi inti (core inflation) yang

didominasi oleh bahan makanan seperti beras, dengan menekan harga beras dan

mengendalikan stabilitas pasokannya memang terasa sangat kental dalam kebijakan

stabilisasi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Inflasi mau diatasi dengan upaya

18

Page 19: Kontroversi Impor Beras

menjaga kelancaran distribusi pangan. Kebijakan ini belum tentu mampu

menurunkan inflasi karena inflasi yang terjadi di Indonesia adalah cost push

inflation akibat kebijakan kenaikan harga BBM rata-rata di atas 100% yang

terlampau overdosis sehingga sangat membebani pengusaha.

Argumentasi bahwa kebijakan impor ini ditujukan untuk meredam inflasi yang

melonjak akibat kenaikan harga BBM juga dinilai sangat tidak tepat dan terkesan

mengada-ada. Kebijakan anti inflasi janganlah dengan mengorbankan petani yang

nilai tukarnya sudah lemah, semakin melemah akibat daya belinya merosot seiring

dengan kenaikan biaya produksi, harga BBM, pupuk, dan pestisida. Apalagi jika

ditambah dengan tekanan impor beras.

Rente Ekonomi?

Berdasarkan artikel Bermand Hutagalung dalam Business News edisi 7295,

kalangan DPR dan pengamat ekonomi memperkirakan adanya motivasi pemburuan rente

ekonomi dibalik kebijakan impor beras ini. Indikasinya sederhana sekali. Harga beras

impor CIF di luar negeri, kalau dirupiahkan hanya sekitar Rp 2.500 per kilogram

(harganya murah karena di negara asalnya merupakan kelebihan stok tahun lalu).

Sementara itu harga beras di dalam negeri Rp 3.500,- per kilogramnya. Dengan demikian

ada marjin rente ekonomi sebesar Rp 1.000,- per kilogramnya. Total nilai impor yang

diizinkan sebesar 70.000 ton, tidak kurang dari Rp 70 milyar. Sebuah persentasi laba

yang sangat besar sekali yakni 40% jauh diatas rata rata suku bunga bank komersial. Jika

spekulan membiayai impor ini dengan pinjaman dari bank atau kreditor lainnya, dengan

suku bunga kredit katakan 18%, maka dengan modal dengkul saja dia masih

mendapatkan laba 22%.Bisa dibayangkan, keuntungan para pemburu rente ekonomi,

dengan diizikannya Bulog mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton pada tahun 2007 ini.

Tidak heran jika kalangan pengamat dan anggota DPR yang kritis menyatakan

bisnis ini tergolong amat menggiurkan dan sangat gampang sekali, karena modal dengkul

dan kemampuan melobi pejabat. Setelah izin dikeluarkan, dengan ”meminjam” bendera

Bulog impor bisa dilakukan dan rente ekonomi sebesar Rp 70 milyar pun didapat.

Diluar impor yang 70.000 ton tersebut, diberitakan masih terdapat lagi impor

dengan izin khusus yang dikeluarkan atas rekomendasi instansi lain, misalnya izin impor

19

Page 20: Kontroversi Impor Beras

beras khusus dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan penderita penyakit kencing

manis/diabetes melitus, yang konon jumlahnya melebihi 100.000 ton. Kalau berita media

massa ini benar, silahkan hitung berapa rente ekonomi yang dikantongi para spekulan.

Sebenarnya impor beras ditinjau dari besarnya impor hanya sebanyak 70.000 ton

tidak terlalu berpengaruh terhadap keseimbangan harga beras domestik, mengingat

persediaan beras didalam negeri relatif banyak yaitu sebanyak 34,55 juta ton. Impor beras

sebanyak 70.000 ton jelas tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi harga

keseimbangan harga di pasar. Namun dampak psikologis dari impor beras pada para

petani (yang termakan hasutan tengkulak) telah menyebabkan penurunan harga beras

ditingkat petani.

Penutup

Beras merupakan komoditas pangan yang terkait penting dengan ekonomi makro,

inflasi, ketahanan pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Saat ini perdagangan beras

dunia hanya dikuasai oleh enam negara saja, dimana beras yang diekspor tersebut

merupakan residual goods atau sisa konsumsi dari negara tersebut. Hal ini menyebabkan

harga beras menjadi tidak stabil.

Kestabilan harga beras erat kaitannya dengan musim panen dan paceklik. Harga

beras turun saat musim panen, dan naik pada musim paceklik. Di pasar beras dunia harga

beras menjadi tidak stabil karena pasar beras dunia sangat tipis yang menyebabkan

pemerintah melakukan intervensi harga saat supply beras melimpah, dan karena

inelastisnya permintaan dan penawaran beras. Kebijakan stabilisasi ini dilakukan karena

beras merupakan komoditas yang penting bagi konsumen, produsen dan negara.

Peter Timmer mengusulkan agar Indonesia meliberalisasikan perdagangan beras.

Ia tidak setuju dengan harga beras tinggi karena harga beras murah diperlukan untuk

menopang kegiatan ekonomi, tetapi pemerintah tidak perlu melakukan intervensi harga.

Pihak yang pro harga beras tinggi mempunyai alasan (i) negara-negara penghasil beras

melakukan proteksi terhadap petaninya; (ii) perdagangan beras dunia yang sangat tipis

dan harganya tidak stabil, serta (iii) harga beras tinggi membawa dampak epositif untuk

perekonomian di pedesaan. Sementara itu argumen yang mendasari harga beras murah

antara lain harga beras tinggi akan menyebabkan penderitaan bagi rakyat miskin, proses

20

Page 21: Kontroversi Impor Beras

diversifikasi usahatani terhambat, tuntutan kenaikan upah tenaga kerja, terhambatnya

investasi, dan memicu terjadinya inflasi.

Luas areal dan produksi padi selama 16 tahun terakhir (1990-2006) sangat

fluktuatif. Luas areal padi meningkat sebanyak 1,3 juta hektar selama 16 tahun sementara

produktivitasnya relatif stagnan. Namun Indonesia berhasil mencapai produksi tertinggi

pada tahun 2006 yaitu sebesar 54,66 juta ton GKG. Terkait dengan hal tersebut, pada

tahun 2007 ini pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 3 triliun demi meningkatkan

produksi beras sebanyak 2 juta ton. Satu-satunya cara untuk mencapai hal tersebut adalah

dengan menggunakan benih padi hibrida. Masalahnya Indonesia kekurangan benih padi

tersebut sehingga harus dilakukan impor benih padi hibrida.

Konsumsi beras per kapita per tahun cenderung menurun yang disebabkan krena

masyarakat mensubtitusi beras menjadi mie dan roti. Berdasarkan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa konsumsi beras dalam negeri meningkat hanya mengikuti

pertambahan penduduk.

Walaupun pemerintah mengeluarkan bermacam-macam kebijakan, dari tarif 0%,

tarif 30% sampai larangan impor, impor tidak pernah berhenti selama tahun observasi,

kecuali tahun 1993. Alasan klasik Bulog mengimpor adalah perburuan kekhawatiran

Bulog atas kekurangan stok beras yang dimilikinya. Namun yang lebih penting lagi ada

dugan motivasi perburuan rnte ekonomi karena harga beras impor sangat murah jika

dibandingkan harga beras domestik sehingga terdapat margin keuntungan bagi Bulog dan

rekan-rekannya. Oleh karena perburuan rente ekonomi tersebut maka pasti selalu saja ada

pihak yang pro terhadap impor beras.

Saran

Menurut penulis, peran pemerintah tetap diperlukan mengingat beras masih tetap

merupakan bahan pokok penting, dan kalau kebutuhan beras tidak terpenuhi akan akan

berdampak luas pada ekonomi makro, inflasi, politik dan gejolak sosial. Juga terkait erat

dengan ketahanan pangan nasional serta rumah tangga.

Indonesia sebaiknya tidak melangkah lebih jauh untuk meliberalisasi

perdagangan beras. Semakin dalam liberalisasi yang dilakukan, semakin lemah ketahanan

21

Page 22: Kontroversi Impor Beras

pangan dan semakin sulit mengatasi kemiskinan yang dominan di pedesaan dan semakin

sulit membangun pedesaan

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. Berbagai edisi, “Survei Sosial Ekonomi Nasional”. BPS. Jakarta.

Business News. (2006). “Liberalisasi Perdagangan Beras?”. Business News 7447/8-12-

2006.

22

Page 23: Kontroversi Impor Beras

Business News. (2007). “Pemerintah Segera Membuat Antisipasi Perubahan Iklim Di

Tahun 2007”. Business News 7457/5-1-2007.

Business News. (2007). Business News 7463/19-1-2007.

Business News. (2007). “Ketua Dewan Beras: Indonesia Kekurangan Benih Padi

Hibrida”. Business News 7465/24-1-2007.

CIC Indocommercial. (2006). “Impor Beras Dilarang Hingga Akhir Tahun”, CIC

Indocommercial No. 371-16 Juli 2006.

Dawe, D. (1995). “Macroeconomic Benefit for Rice Stabilization”. Indonesian Food

Jurnal, VI (11).

Dawe, D. (1997) “Should Asia Move to Free Trade in Rice?” dalam Silitonga dkk, 30

tahun Peran Bulog dalam Ketahanan Pangan, Jakarta, Bulog

Hutagalung, Bermand. (2005). “Mencermati Kebijakan Kontroversial Impor Beras”,

Business News 7295/7-12-2005.

Irianto, Gatot. (2007). “Menyiasati Goncangan Perberasan” dalam Kompas, 9 Januari

2007.

LPEM dan Perum Bulog. (2003). ”Karakteristik Konsumen dan Pola Konsumsi Rumah

Tangga Atas Komoditi Beras, Gula, Jagung dan Kedele” dalam Roadmap Menuju

Ketahanan Pangan: Peran Strategis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

LPEM. Jakarta.

Natawidjaja, Ronnie S. (2001). “Dinamika Pasar Beras Domestik” dalam Bunga Rampai

Ekonomi Beras. LPEM. Jakarta.

Sawit, M. Husein. (2001). “Kebijakan Harga Beras : Periode Orba dan Reformasi” dalam

Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM. Jakarta.

Sawit, M. Husein. (2003). “Indonesia Dalam Perjanjian Pertanian WTO : Proposal

Harbinson”, Analisis Kebijakan Pertanian, Volume I Nomor 1, Maret 2003. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Deptan. Bogor.

Surono, Sulastri. (2001). “Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta

Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani” dalam Bunga Rampai Ekonomi

Beras. LPEM. Jakarta.

23