KONTRIBUSI PEMIKIRAN SAJUTI THALIB TERHADAP...
Transcript of KONTRIBUSI PEMIKIRAN SAJUTI THALIB TERHADAP...
KONTRIBUSI PEMIKIRAN SAJUTI THALIB TERHADAP
PERKEMBANGAN PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
ANNISA MUTIARA
NIM: 1113044000024
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2017 M / 1439 H
KONTRIBUSI PEMTKIRAN SAJUTI THALIB TERHADAPPERKEMBANGAN PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
. Annisa Mutiara
NIM: 1173044000024
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNTVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H12017 M
i
NIP.19670608 199403 1 005
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul KONTRIBUSI PEMIKIRAN SAJUTI TIiALIB
TERHADAP PERKEMBANGAN PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam X"g".l Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 April 2017. Skripsi ini telah diterima untuk
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-I) pada
Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta,20 Apnl20l7
Mengesahkan
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. H. Abdul Halim. M.Ae.
NIP. 19670 608 tgg4031 005
2. Sekretaris : Arip Purkon. M.A.
NIP. 19790427 2003121 002
3. Pembimbing: Dr. H. Abdul Halim. M.Ag.
NrP. 19670608 199403 1 005
: Dr. Hj. Azizah. M.A.4. Penguji I
5. Penguji II
NIP. 19630409 t98902 2 001
: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie. M.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
9691216 199603 I 001
fif|Da'v-co -t-c;*t
NIP. 19760801 200312 1 001
.... .)
'-<4'...,-.,..)
.)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil kaya asli saya yang diajukan untuk memenuhi/
persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
S yarif Hidayatullah J akarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Of$ Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2.
a
lakarta,lT A
Annisa MutiaraNrM. tt13044000024
ilt
iv
ABSTRAK
Annisa Mutiara, NIM 1113044000024, KONTRIBUSI PEMIKIRAN
SAJUTI THALIB TERHADAP PERKEMBANGAN PEMBERLAKUAN
HUKUM ISLAM DI INDONESIA, Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439
H/2017 M. ix + 75 halaman + 26 lampiran.
Studi ini penting dilakukan untuk melihat dan menganalisis konstribusi
pemikiran Sajuti Thalib dalam pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yaitu
teori Receptio a Contrario yang digagasnya, dengan mencari akar-akar historis
munculnya teori Receptio a Contrario dan melihat sejauh mana implikasi atau
pengaruh teori tersebut dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. dengan
demikian akan memperjelas dinamika dan perkembangan hukum Islam di
Indonesia serta perkembangan antara relasi hukum adat dan hukum Islam dalam
koneks ke-Indonesiaan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan objek penelitian yaitu
Sajuti Thalib namun terbatas pada pemikirannya, khususnya tentang hubungan
hukum adat dan hukum Islam (teori Receptio a Contrario). Metode penelitian ini
adalah dengan menganalisis pemikiran Sajuti Thalib dengan berdasar pada sumber
data penelitian yaitu sumber primer (primary resources) yakni tulisan-tulisan serta
buku-buku karya Sajuti Thalib yang berkaitan dengan teori Receptio a Contrario,
dan sumber sekundernya adalah buku-buku, jurnal, makalah yang berkaitan
dengan pembahasan serta dengan wawancara mendalam (indept intreview) dengan
pihak-pihak terkait, yakni pihak keluarga dan pihak murid yang pernah diajar
Sajuti Thalib.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sajuti Thalib banyak terpengaruh
oleh latar belakang kepribadiannya yang bersifat lembut dan bijaksana dalam
menanggapi berbagai persoalan serta latar belakang pendidikannya yang
mengedepankan agama Islam. Teori Receptio a Contrario sangat sejalan dengan
konsep ‘urf dan maslahah mursalah dalam ilmu ushul fiqh. Dalam
perkembangannya teori ini sangat berpengaruh menyadarkan masyarakat tentang
pentingnya memberlakukan hukum Islam bagi masyarakat Islam Indonesia serta
dalam pembangunan hukum Nasional.
Kata Kunci : Konstribusi Pemikiran, Sajuti Thalib, Hukum Islam.
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1974-2016
v
KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam. Yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi yang berjudul “KONTRIBUSI PEMIKIRAN SAJUTI THALIB
TERHADAP PERKEMBANGAN PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA”
Shalawat berlantunkan salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia
yang membawa risalah kebenaran yakni baginda Nabi besar Muhammad Saw.,
keluarga serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan panutan bagi seluruh
umat manusia di dunia.
Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan bimbingan,
arahan, dukungan, dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada:
1. Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekaligus pembimbing skripsi penulis yang
selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk terus belajar dan segera
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Arip Purkon, S.HI., M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
4. Maskufa, M.A. selaku Penasehat Akademik penulis, yang telah sabar
mendampingi dan memotivasi penulis hingga semester akhir ini.
5. Para dosen pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan karyawan
yang telah dengan ramah memberi pelayanan fasilitas secara maksimal
kepada penulis.
6. Keluarga dan murid Alm. H. Sajuti Thalib, S.H. yang bersedia
meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam mengumpulkan
data-data penelitian skripsi ini, Bapak Sukri Sayuti (Anak Alm. H. Sajuti
Thalib, S.H), Ibu Supriaty (Menantu Alm. H. Sajuti Thalib, S.H), Dr. Hj.
Fal Arovah Windiani, M.H. (Murid dan asisten Alm. H. Sajuti Thalib, S.H
di UMJ), Farida Prihatini, S.H., M.H., CN. (Murid dan asisten Alm. H.
Sajuti Thalib, S.H di UI). Dan kepada tokoh yang pemikirannya menjadi
objek penelitian skripsi ini H. Sajuti Thalib, S.H (Allahu yarham), semoga
kita dapat meneladani sikap beliau dalam menjalani hidup.
7. Yang teristimewa yaitu orang tua penulis, H. Sukiin Kadir dan Hj.
Junainah serta seluruh keluarga penulis yang telah dengan sabar mendidik
dan memberi kasih sayangnya kepada penulis selama ini. Semoga selalu
diberi keberkahan oleh-Nya. Amin.
8. Seluruh teman-teman mahasiswa Hukum Keluarga angkatan 2013, yang
telah menemani penulis dalam menempuh pendidikan di Program Studi
Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
9. Seluruh keluarga HMI Hukum Keluarga, khususnya kepada kakanda Andi
Asyraf Rahman, S.Sy., S.H. yang telah dengan sabar mendidik,
menasihati, mengayomi, dan menyemangati penulis sampai pada
penyusunan skripsi ini. Kepada yunda Eka Kurnia Maulida, S.Sy., S.H.,
yang telah menjadi sosok teladan pejuang perempuan yang tangguh.
Kepada kanda Jejen Sukrillah Sanusi, S.Sy, M.H., kanda Hidayatulloh
Asmawi, S.HI., M.H., ketum Irpan, S.H., kanda Hira Hidayat, S.Sy., S.H.,
kanda Hendrawan, S.Sy. yang selalu memberikan nasihatnya kepada
penulis. Kepada para srikandi tangguh Mella Rosdiyana, Fachra Irfania
Aprilliani, Fatiah Khadijah, Siti Juariatunnuriah yang selalu menemani.
Kawan-kawan seperjuangan Khuzaifi Amir, Nur Rahmat Farhan Jamil,
Sidik, Ilham, Neng, Riyadh, Ulhaq, Ody, dan masih banyak lagi kader
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
10. Kawan-kawan KKN Kacamata, Dimas, Laras, Tika, Tanzil, Firda, Hendri,
Rasyid, Zacky, Fadil, Idris, dan masyarakat Desa Pamagersari, Jasinga.
Penulis menyadari perlu adanya perbaikan dalam skripsi ini, maka dari itu
kritik dan saran yang datang dari para pembaca akan penulis perhatikan dengan
baik. Semoga apa yang telah penulis sajikan ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan semoga kita selalu dalam lindungan, rahmat dan berkah-Nya. Amin.
Ciputat, 17 April 2017
Annisa Mutiara
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 6
D. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
F. Metode Penelitian .......................................................................... 7
G. Review Studi Terdahulu............................................................... 11
H. Sistematika Penulisan .................................................................. 11
BAB II SKETSA SOSIAL INTELEKTUAL SAJUTI THALIB
A. Asal-usul Keluarga dan Pendidikan ............................................. 13
B. Aktifitas dan Karir Sajuti Thalib di Bidang Hukum .................... 18
1. Karier Sebagai Aparat Negara................................................. 18
2. Karier dalam Bidang Hukum dan Pendidikan......................... 19
3. Sajuti Thalib sebagai Tokoh Muhammadiyah ........................ 21
C. Sosok Pribadi Sajuti Thalib ......................................................... 22
D. Karya-karya Intelektual Sajuti Thalib.......................................... 22
1. Karya Berkaitan dengan Hukum Islam ................................... 23
2. Karya di Luar Hukum Islam.................................................... 26
BAB III TEORI- TEORI PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
A. Periode Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda.......................................................................... 28
1. Teori Receptie in Complexu .................................................... 28
a. Konsep Teori Receptie in Complexu .................................. 28
b. Penggagas Teori Receptie in Complexu ............................. 28
c. Pengaruh Teori Receptie in Complexu ............................... 30
2. Teori Receptie ......................................................................... 32
a. Konsep Teori Receptie ....................................................... 32
b. Penggagas Teori Receptie................................................... 32
c. Pengaruh Teori Receptie..................................................... 34
B. Periode Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia Pasca
Kemerdekaan ............................................................................... 36
ix
1. Teori Receptie Exit................................................................ 36
a. Konsep Teori Receptie Exit .............................................. 36
b. Penggagas Teori Receptie Exit ......................................... 37
2. Teori Receptio a Contrario ................................................... 38
a. Konsep Teori Receptio a Contrario ................................. 38
b. Penggagas Teori Receptio a Contrario ............................ 38
C. Periode Pemberlakuan Hukum Islam dalam Hukum Nasional
1. Teori Eksistensi..................................................................... 39
2. Teori Konstitusi Akomodasi ................................................. 40
a. Konsep Teori Konstitusi................................................... 41
b. Konsep Teori Akomodasi................................................. 41
BAB IV TEORI RECEPTIO A CONTRARIO DALAM
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Pemikiran Teori Receptio a Contrario Sajuti Thalib................... 43
1. Substansi Teori Receptio a Contrario ..................................... 43
2. Dasar Kelahiran Teori Receptio a Contrario .......................... 45
a. Pertimbangan Sosiologis .................................................. 45
b. Perubahan Hukum Adat Menyesuaikan Hukum Islam
dan Perkembangan Zaman ............................................... 48
c. Penelitian-penelitian Sajuti Thalib di Masyarakat ........... 50
B. Implikasi Teori Receptio a Contrario terhadap Perkembangan
Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia ........................... 51
1. Hubungan dan Pengaruh Teori Receptio a Contrario dengan
Teori Sebelumnya ................................................................... 51
2. Pro-Kontra di Kalangan Ahli Hukum ..................................... 53
3. Peranan dalam Pembentukan Hukum Nasional ...................... 55
C. Studi Kritis Terhadap Pemikiran Sajuti Thalib............................ 57
1. Relasi Antara Hukum Adat dan Hukum Islam........................ 57
2. Hukum Kewarisan Adat dan Hukum Kewarisan Islam .......... 61
3. Hukum Perkawinan Islam ....................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 70
B. Saran-saran................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dalam peta pemikiran Islam dunia, adalah suatu negara yang unik
dan menarik. Selain sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, di dalam
kehidupan mayoritas masyarakatnya terdapat paradigma pemikiran menyangkut
masalah kenegaraan, kebangsaan, dan perspektif keagamaan yang beragam.
Berdasarkan fakta historis, hukum Islam telah berlaku di Indonesia sejak agama
Islam masuk ke Indonesia. Penerapan hukum Islam di Indonesia mulai dapat
dilihat dalam sejarah kehidupan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Di sinilah
Islam ditanamkan, yang kemudian membawa pengaruh ke masyarakatnya.1
Dilihat dari segi pluralisme penduduk, masyarakat Indonesia memiliki adat
istiadat dan lebih tepat disebut hukum kebiasaan (customary law) atau sering
disebut hukum adat. Dari segi pluralisme agama, terdapat nilai-nilai agama dan
lebih spesifik lagi hukum Islam sebagai agama yang diyakini sebagian besar
masyarakatnya.
Sebagai negara bekas jajahan kolonial Belanda, Indonesia mewarisi pula
hukum peninggalan penjajah2 atau sering disebut hukum Barat (hukum sipil).
3
Keragaman ini yang menyebabkan terbukanya konflik dan perbedaan dalam
memandang suatu persoalan kenegaraan, kebangsaan dan bahkan perbedaan
1Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik
Di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h.16 2A. Qodri Azizy, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum,
Jakarta: Teraju, 2004, h. 138-139. 3Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and
International Studies, 1982), h.6.
2
dalam memandang implementasi hukum Islam dalam negara kesatuan Republik
Indonesia.4
Lahirnya konflik dan pergumulan antara sistem hukum di Indonesia terjadi
sebagai konsekuensi dari tingginya pluralism masyarakat dan sistem hukum yang
ada melahirkan tiga sistem atau mazhab hukum di Indonesia, yaitu; [1] hukum
adat, [2] hukum Islam, dan [3] hukum Barat (hukum sipil). 5
Karena itu beralasan
bila dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan satu dari sekian banyak
sistem hukum yang lebih rumit di dunia.
Dalam perjalanannya, konflik itu berujung pada lahirnya kebijakan
menyingkirkan hukum Islam dan membenturkan dengan sub sistem hukum lain
yang bertujuan untuk membangun image seolah-olah bahwa telah terjadi konflik
dan pertarungan besar antara hukum adat, hukum Islam dan hukum Belanda di
Indonesia. Kondisi objektif ini sebagai alasan untuk mengatakan sebenarnya yang
berlaku bagi masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam baru
berlaku bilamana telah diterima hukum adat. Dalam sejarah politik hukum
Indonesia ini kemudian dikenal teori Receptie,6 bahwa bagi rakyat pribumi pada
dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam berlaku jika norma hukum Islam itu
telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini tertuang dalam
4Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang &
Diklat Departemen Agama RI, 2008), h. 98. 5Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and
International Studies, 1982), h.6. 6Teori yang menyatakan hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli
meskipun ke dalam hukum adat ada masuk unsur-unsur hukum Islam. Hukum Islam akan
mempunyai kekuatan bila mana diterima hukum adat. Yang muncul ke permukaan bukan
hukum Islam, tetapi hukum adat yang telah diresepsi. Tokoh terkenal aliran ini adalah
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).
3
pasal 134 ayat 2 Indiche Straaftregeling (IS). Teori ini membawa perubahan yang
sangat drastis dan berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat
Indonesia.7 Sebagai antitesa dari teori Carel Frederik Winter tentang Receptie in
Complexu8 yang netral mendapat pengakuan dalam dalam bentuk undang-undang
berupa Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie yang
disingkat dengan Regeeringsreglement (R.R.) tahun 1855 dalam Stbl. Belanda
1854: 129 atau Stbl. Hindia Belanda 1855, terdapat dalam pasal 75 R.R. ayat (2)
dan (3).9
Teori Receptie tersebut dianggap mencederai hukum Islam yang telah
lama berlaku di masyarakat. Teori ini mendapat banyak penentangan dari para
ahli hukum Indonesia, salah satunya adalah Hazairin yang menyebut teori
tersebut dengan “teori Iblis“ menurutnya pasal II aturan peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 setelah Indonesia merdeka, maka seluruh peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori
Receptie dianggap tidak berlaku lagi, dan harus exit dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan
7Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, (Bogor: Galia Indonesia, 2006), h. 75-81. 8Teori ini mengatakan bahwa di Indonesia yang berlaku adalah hukum Islam.
Pendapat ini muncul disekitar tahun 1800, oleh Carel Frederik Winter (1799-1859), Salomon
Keyzer (1823-1868). Mr. Lodewyk Christian Van Den Berg (1845-1927). Lihat Sajuti Thalib,
Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara,
1985), h. 4. 9Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam,
h.7.
4
As-Sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.
Pemikiran Hazairin ini dikenal dengan teori Receptie Exit.10
Pemikiran tersebut sangat penting sebagai pedoman dalam
mengembalikan pemurnian hukum Islam di Indonesia yang sejalan dengan ajaran
tentang penataan hukum. Salah satu tokoh hukum Islam Indonesia yang juga
mencetuskan teori perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah Sajuti Thalib
, ia mengatakan bahwa umat muslim Indonesia telah menyatakan hukum Islam
telah berlaku di Indonesia dan telah mempengaruhi kehidupan masyarakat
Indonesia,11
dan memperkenalkan teori Receptio a Contrario. Teori tersebut
menyatakan bahwa: pertama, bagi orang Islam berlaku hukum Islam; kedua, hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; ketiga,
Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama
Islam dan hukum Islam.12
Munculnya teori-teori tersebut di atas menunjukkan
bahwa adanya konflik antara kedua sistem hukum di Indonesia.
Maka dari itu, studi ini penting dilakukan untuk melihat dan menganalisis
posisi dan sumbangan Sajuti Thalib dalam perkembangan teori dan penerapan
hukum Islam di Indonesia serta perubahan dan keberlanjutan (change and
continunity) teori hukum Islam dari satu masa ke masa perkembangan berikutnya.
Dengan demikian akan memperjelas pula dinamika dan perkembangan hukum
Islam serta perkembangan teori relasi adat dan hukum Islam dalam konteks ke-
Indonesiaan.
10
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, h. 82-83. 11
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta:
INIS, 1998), h.1. 12
Raija dan Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta:
Deepublish, 2016), h. 342.
5
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang menjadi identifikasi peneliti adalah:
1. Bagaimana perkembangan teori penerapan hukum Islam di Indonesia?
2. Bagaimana konflik antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum nasional
dalam perkembangan pelembagaan hukum Islam di Indoensia?
3. Apakah teori-teori yang pernah muncul dalam wacana hukum Islam di
Indonesia, seperti teori Receptie in Complexu, teori Receptie, teori
Receptie Exit dan teori Receptie a Contrario masih berlaku atau setidak-
tidaknya masih berpengaruh di Indonesia?
4. Bagaimana pemikiran Sajuti Thalib tentang hukum Islam di Indonesia?
5. Bagaimana konsepsi dasar teori Receptio A Contrario Sajuti Thalib?
6. Apa yang melatarbelakangi pemikiran Sajuti Thalib terkait teori Receptio a
Contrario tersebut?
7. Apa implikasi atau pengaruh teori Receptio A Contrario tersebut dalam
perkembangan hukum Islam di Indonesia?
8. Bagaimana corak pemikiran Sajuti Thalib?
9. Bagaimana posisi Sajuti Thalib dalam bidang hukum Islam di Indonesia?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Studi ini diberikan batasan masalah agar dapat fokus dan tidak melebar
dari inti utama penelitian ini. Adapun fokus penelitian ini yakni
mendiskusikan kontribusi pemikiran Sajuti Thalib tentang teori Receptio a
Contrario serta pengaruhnya dalam perkembangan hukum Islam di
Indonesia.
6
2. Rumusan Masalah
Fokus utama penelitian ini adalah;
1. Apa kontribusi pemikiran Sajuti Thalib terhadap perkembangan teori
hukum Islam di Indonesia?
2. Bagaimana latar belakang sosiologis dan politik hukum Islam dari
pemikiran Sajuti Thalib terkait teori Receptio a Contrario tersebut?
3. Apa implikasi dan pengaruh dari teori Receptio a Contrario dalam
perkembangan hukum Islam di Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konstribusi pemikiran Sajuti Thalib dalam pemberlakuan
hukum Islam di Indonesia
b. Untuk mengetahui akar-akar historis munculnya teori Receptio A Contrario
c. Untuk mengetahui implikasi atau pengaruh teori Receptio A Contrario
dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
a. Dapat menjadi rujukan dalam menambah wawasan bagi mahasiswa,
akademisi, ataupun pembaca lainnya terhadap ilmu pengetahuan khususnya
hukum Islam.
b. Menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengembangkan potensi
menulis karya-karya ilmiah khususnya terkait studi penelitian pemikiran
7
tokoh, sehingga dapat menjadi bekal dan pelajaran yang berguna di masa
yang akan datang.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif (Qualitative research),
yaitu metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati atau
dijadikan sumber informasi. Dalam penelitian kualitatif penggunaan data dan
analisis deskriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “mengapa,
alasan apa dan bagaimana terjadinya” dari suatu fenomena sosial dalam
kehidupan masyarakat.13
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosio-historis,
yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan historis. Pendekatan sosiologis
terutama sosiologi hukum pendekatan yang digunakan untuk mengamati pola-
pola interaksi antara kekuatan-kekuatan politik dan respon politik hukum
masyarakat.14
Pendekatan sosiologis historis yaitu dengan merunut akar-akar
historis secara kritis mengapa tokoh tersebut menggulirkan gagasan tersebut
dan bagaimana latar belakangnya.
3. Objek Penelitian
Penelitian ini adalah studi terhadap pemikiran tokoh yaitu pemikiran
Sajuti Thalib yang terkenal dengan teori Receptio a Contrario.
13
Lexy Moeleong, Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1995), h.3. 14
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 2, (Bandung: Alumni, 1986), h. 310.
8
4. Teknik pengumpulan data
Penelitian yang dilakuan dalam skripsi ini merupakan menggunakan data
kepustakaan (library research) yaitu teknik yang digunakan diambil dari
literatur yang sifatnya primer maupun sekunder.15
1. Sumber data primer digunakan dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan
dan buku-buku karangan Sajuti Thalib yakni;
a. Hukum Kekeluargaan Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia tahun 1974;
b. Receptie In Complexu, Theorie Receptie, dan Receptio A Contrario,
diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1976;
c. Perjalanan Haji tahun 1396 H./1975 M., diterbitkan oleh Bulan Bintang
tahun 1976;
d. Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam),
diterbitkan oleh PT. Bina Aksara tahun 1980;
e. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, diterbitkan oleh Sinar Grafika,
tahun 1981;
f. Lima Serangkai Tentang Hukum (Hubungan Antara Hukum Islam
dengan Hukum Tanah, Hukum Kewarisan dan Hukum Pidana),
diterbitkan oleh PT. Bina Aksara, tahun 1983;
g. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau,
diterbitkan oleh PT. Bina Aksara tahun 1983;
15
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.17-18.
9
h. Politik Hukum Baru: Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, diterbitkan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1986.
i. Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional. Diterbitkan oleh
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1987.
j. Azas Pancasila Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, diterbitkan oleh
Korp Immawati Komisariat Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta tahun 1987.
2. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan
tulisan lain yang berhubungan dengan pokok bahasan. Dan dibutuhkan pula
wawancara mendalam (indept interview) kepada narasumber terpilih.
Penentuan responden berdasarkan dua klasifikasi yaitu dari pihak keluarga dan
murid-murid yang pernah diajarkannya, yakni; Bapak Sukri Sayuti16
dan Ibu
Supriaty17
mewakili dari pihak keluarga. Dr. Hj. Fal Arovah Windiani, S.H.,
M.H18
dan Farida Prihatini, S.H., M.H., CN.19
mewakili dari pihak murid.
16
Sukri Sayuti adalah anak pertama Sajuti Thalib, paling dekat dengan beliau dan
sering mendampingi beliau melakukan berbagai kegiatan. 17
Supriaty adalah menantu pertama Sajuti Thalib (istri dari Sukri Sayuti). Ia sangat
dekat dengan istri Sajuti Thalib, sehingga sering mendapatkan cerita tentang pribadi Sajuti
Thalib. 18
Arovah Windiani adalah murid sekaligus asisten Sajuti Thalib sewaktu ia kuliah di
Universitas Muhammadiyah Jakarta, ia menjadi asistennya cukup singkat tetapi sosok Sajuti
Thalib begitu melekat dalam jiwanya. 19
Farida Prihatini adalah murid sekaligus asisten Sajuti Thalib sewaktu ia kuliah di
Universitas Indonesia, ia sampai saat ini terus melajutkan ajaran-ajaran Sajuti Thalib yang
pernah diajarkan kepadanya.
10
5. Metode Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode deduktif yaitu metode atau
cara berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum menuju ke satu
pendapat yang bersifat khusus dan metode deskriptif analisis yaitu suatu metode
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis digunakan
untuk memperoleh data yang jelas.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Review Studi Terdahulu
Studi terhadap perkembangan teori hukum Islam di Indonesia telah banyak
mendapat perhatian para peneliti sebelumnya, baik yang dilakukan sarjana luar
negeri maupun sarjana Indonesia yang sangat banyak jumlahnya. Namun studi
yang terkait langsung dan mendalam terhadap tokoh dan pemikiran dari salah
seorang penggagas teori Receptie a Contrario Sajuti Thalib sejauh pengetahuan
dari peneliti belum pernah ditemukan. Kecuali Sajuti Thalib sendiri yang menulis
bukunya yang berjudul “Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam”. Meskipun secara subtansi pembahasan teori ini memang banyak
tersebar dalam tulisan-tulisan dan buku, namun penjelasannya hanya sedikit saja.
Biasanya terletak dalam sub-bab tersendiri, bergabung dengan teori-teori lain
yang mendahului teorinya dan juga teori setelahnya.
Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih
difokuskan kepada satu tokoh yaitu Sajuti Thalib, dan menganalisis pemikirannya
11
teori Receptio a Contrario, latar belakang munculnya teori tersebut, pengaruhnya
terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.
E. Sistematika Penulisan
Penellitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan dibahas. Identifikasi masalah, mendata dan
mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan tema penelitian.
Pembatasan dan perumusan masalah, yang dimaksudkan agar lebih terfokuskan
dalam permasalahan, supaya tidak ada tumpang tindih dengan masalah lain yang
tidak ada kaitannya dengan penelitian. Rumusan masalah, berisikan tentang
uraian masalah yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa yang akan
jadi tema penelitian. Tujuan penelitian, yaitu rumusan mengenai apa sebenarnya
yang ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh pertanyaan
penelitian. Manfaat penelitian, diharapkan dari hasil penelitian yang dilakukan
menghasilkan nilai guna penelitian. Metode penelitian,menguraikan bagaimana
cara kerja dan prosedur pelaksanaan penelitian. Review studi terdahulu,
menjelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu yang berkaitan dengan tema
penelitian. Sistematika penulisan, menjelaskan sistematika penulisan yang
berisikan deskripsi karya tulisan perbab, uraian tersebut menggambarkan alur dari
bahan skripsi yang akan dijelaskan.
Bab Kedua, Menjelaskan mengenai biografi Sajuti Thalib, mulai dari latar
belakang keluarga dan pendidikan, aktifitas dan karier yang pernah dijalani,
sosok pribadi, dan karya-karya yang dihasilkan.
12
Bab Ketiga, Kajian pustaka dibahas dalam bab ini, pemaparan kajian teori-
teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, yakni; Konsep, penggagas dan
pengaruh teori Receptie in Complexu; Konsep, penggagas dan pengaruh teori
Receptie; Konsep dan penggagas teori Receptie Exit; Konsep dan penggagas teori
Receptio a Contrario; Konsep teori Eksistensi, dan Konsep teori Konstitusi
Akomodasi.
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini.
Yakni menganalisis teori Receptio a Contrario, bagaimana landasan histroris
dikemukakannya teori ini, Implikasi pengaruhnya dalam perkembangan hukum
Islam di Indonesia, Hubungan dan Pengaruh Receptio a Contrario terhadap teori
sebelumnya, Pro-kontra teori Receptio a Contrario, dan analisis pemikiran Sajuti
thalib terkait relasi antara hukum Islam dan Adat, hukum kewarisan, dan hukum
Perkawinan.
Bab Kelima, merupkan bab akhir dalam penelitian ini, Terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan penelitian ini.
13
BAB II
SKETSA SOSIAL INTELEKTUAL SAJUTI THALIB
A. Asal-usul Keluarga dan Pendidikan
Sajuti Thalib lahir pada tanggal 25 Mei 1929 di Maninjau, Kecamatan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia berasal dari
keluarga sederhana, ayahnya bernama Thalib Sutan Mantjajo1 dan ibunya
bernama Siti Naimah.2 Masa kecilnya ia habiskan di Bengkulu, mengikuti
orangtuanya yang bekerja sebagai pedagang pakaian di sana.
Sajuti Thalib mengikuti pendidikan pada Sekolah Rakyat (SR)3
Bengkulu. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Mu‟allimin
Muhammadiyah Bengkulu.4 Ia tergabung dalam pandu Hizbul Wathan (HW),
5
berbagai kegiatan kepanduan diikutinya termasuk berkemah, perkemahan
sering dilaksanakan di lapangan sekolah Kebon Ross, juga di Pantai Panjang,
Tebapenanjung. Jiwa kepemimpinannya sudah muncul sejak kecil, ia menjadi
ketua pandu Hizbul Wathan (HW) sejak tingkat Athfal sampai tingkat
1Sutan Mantjajo adalah sebuah gelar kehormatan dalam tradisi adat Minangkabau
(Padang). Jika seseorang menikah dengan perempuan Padang, maka ia akan mendapat
gelar. „Sutan‟ adalah gelar pokoknya, sedangkan gelar di belakangnya disesuaikan
dengan suku ibunya. Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25
Maret 2017. 2Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017.
3Sekolah tingkat dasar, sekarang namanya berganti menjadi Sekolah Dasar (SD).
4Sajuti Thalib, Perjalanan Haji, Sampul Belakang Buku (Jakarta: Bulan Bintang,
1976). 5Hizbul Wathan pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH.
Mas Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdlatul
Wathan yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kemudian nama yang
dalam bahasa Arab berarti Pembela Tanah Air itu diambil oleh Muhammadiyah menjadi
perkumpulan pandunya yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Kwartir Pusat
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, “Kebangkitan HW dan Sejarah Kepanduan di
Indonesia”, diakses pada tanggal 1 April 2017 dari hizbulwathan.or.id/kebangkitan-hw-
dan-sejarah-kepanduan-di-indonesia/.
14
Pengenal, sedangkan tingkat selanjutnya yaitu tingkat Penghela6 tidak sempat
ia lanjutkan, karena datangnya kolonial Jepang ke Indonesia.7 Pada masa
Pendudukan Jepang semua organisasi kepanduan tidak diperbolehkan, diganti
dengan bentukan seperti Seidenan, Keibodan dan lain-lain (Pergerakan
Indonesia-Jepang).8
Pada zaman Jepang, tahun 1943 ia kembali ke Sumatera Barat dan
meneruskan sekolahnya di Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Padang
Panjang, yaitu sekolah pimpinan Buya Hamka9 yang diresmikan pada tanggal
2 Februari 1936 hasil perubahan nama dari Tabligh School10
pada konferensi
Muhammadiyah yang ke-11,11
pendidikannya selesai pada pertengahan tahun
1945.
6Tingkat Athfal adalah tingkatan paling dasar dalam kepanduan Hizbul Wathan.
Terdapat tiga tingkatan yang harus ditempuh yaitu Athfal Melati I, Athfal Melati II, dan
Athfal Melati Utama, berumur 6-10 tahun atau duduk di bangku Sekolah Dasar. Tingkat
Pengenal adalah tingkatan kedua setelah tingkat Pandu Athfal, ada tiga tingkatan pula
yang harus ditempuh yaitu Pengenal Purwa, Pengenal Madya, dan Pengenal Utama,
berumur 11-16 tahun atau duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan
Pandu Penghela adalah tingkatan paling tinggi setelah tingkatan Pandu Pengenal, terdapat
dua tingkatan yang harus ditempuh yaitu Taruna Melati dan Jaya Melati, berumur 17-20
tahun atau duduk di Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi. Hizbul Wathan
Kota Yogyakarta “Tingkatan Pandu dan Seragam dalam Hizbul Wathan” diakses pada
tanggal 1 April 2017 dari hwjogja.blogspot.co.id/2010/02/tingkatan-pandu-
seragamnya.html?m=1. 7Sajuti Thalib, Perjalanan Haji (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 135.
8Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, “Kebangkitan HW dan
Sejarah Kepanduan di Indonesia”, artikel diakses pada tanggal 1 April 2017 dari
hizbulwathan.or.id/kebangkitan-hw-dan-sejarah-kepanduan-di-indonesia/. 9Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1990), h. 45-47 10
Sekolah yang didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka),
berawal dari pengajian yang dinamainya dengan Surau Jembatan Besi. Yunan Yusuf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, h.28 11
Fikrul Hanif Sufyan, Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan
1982-1985, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h.82.
15
Pada permulaan masa kemerdekaan ia tergabung dalam tentara pelajar
dan pertahanan rakyat di sekitar Bukittinggi.12
Ia memenuhi panggilan
perjuangan kemerdekaan pada awal-awal masa revolusi itu dengan
menggabungkan diri dalam sebuah pasukan bernama Hizbullah di Padang
Panjang, yang didirikan pada tanggal 5 Desember 1945 oleh Malik Ahmad,
pimpinan Kuliyyatul Mubalighin Muhammadiyah saat itu bersama dengan
Duski Samad. Hizbullah adalah laskar pemuda yang umumnya beranggotakan
murid-murid yang berasal dari Kauman13
, sedangkan komandannya adalah
seluruh staf pengajar Kuliyyatul Mubalighin Muhammadiyah. Komandan
Hizbullah pada saat itu adalah Syamsudin Ahmad, untuk barisan wanita
dinamakan Sabil Muslimat yang dipimpin Syamsiah Syam dan wakilnya
Asyura.14
Sajuti Thalib menjadi pasukan Hizbullah hingga mendapat pangkat
Letnan.15
Dari pengalamannya menjadi tentara pelajar tersebut, ia mendapat
tiga buah penghargaan berupa dua buah Lencana dan satu buah Tanda
12
Sajuti Thalib, Perjalanan Haji, Sampul Belakang Buku. 13
Sebutan lain untuk Madrasah Kuliyyatul Mubalighin Muhammadiyah yang
berada di daerah Kauman, Padang Panjang. Sebagaimana sebutan “Kauman” adalah
sebuah daerah atau tempat para ulama dahulu berdiam diri. Dimana ada Masjid Agung di
situlah pusat pemerintahan, dimana ada pusat pemerintahan atau di belakang Masjid
Agung itu ada daerah namanya Kauman, Para ulama ditempatkan di situ karena manakala
ada orang yang menanyakan tentang Hukum Islam, kepada merekalah kemudian akan
dijelaskan dan penjelasannya itu dilakukan di Serambi Masjid. Arovah Windiani, Murid
Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta 15 Maret 2017. 14
Fikrul Hanif Sufyan, Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan
1982-1985, h.82. 15
Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017.
16
Kehormatan Bintang,16
yaitu Satyalancana Perang Kemerdekaan I,17
Satyalancana Perang Kemerdekaan II,18
dan Bintang Perang Gerilya.19
Setelah berakhirnya perang kemerdekaan, ia mendapat kesempatan
belajar lagi dengan bantuan pemerintah sebagai demobilisan pelajar pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Ia datang ke Jakarta tanpa
bekal apapun, bersama istrinya bernama Nurbaiti Yakub dan anaknya yang
masih kecil bernama Sukri Sayuti.20
Ia dan istrinya kemudian dikaruniai empat
orang anak, anak yang pertama bernama Sukri Sayuti, anak yang kedua
bernama Supriadi Sayuti, anak ketiga bernama Nazmi Sayuti, dan anak
keempat bernama Nasrul Sayuti.21
16
Tanda kehormatan bintang dikelompokkan menjadi dua, yaitu tanda
kehormatan bintang sipil (bintang kemanusiaan) dan tanda kehormatan bintang militer
(Bintang Gerilya). Wikipedia, “Daftar Tanda Kehormatan di Indonesia” diakses pada
tanggal 31 Maret 2017 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_tanda_kehormatan_di_Indonesia. Sajuti Thalib
mendapatkan tanda kehormatan bintang militer. 17
Satyalancana Perang Kemerdekaan I diberikan kepada anggota Angkatan
Bersenjata yang mengikuti sepenuhnya persitiwa Perang Kemerdekaan I dari tanggal 20
Juni 1947 sampai dengan 22 Februari 1948, kecuali dalam hal mereka tertawan,
mendapat luka-luka dan invalid. (Pasal 18 ayat 1(a) UU No. 70 tahun 1958). 18
Satyalancana Perang Kemerdekaan II diberikan kepada anggota Angkatan
Bersenjata yang mengikuti sepenuhnya persitiwa Perang Kemerdekaan I dari tanggal 18
Desember 1948 sampai dengan 27 Desember 1949, kecuali dalam hal mereka tertawan,
mendapat luka-luka dan invalid. (Pasal 18 ayat 1(b) UU No. 70 tahun 1958). 19
Bintang Gerilya adalah sebuah tanda kehormatan yang dikeluarkan oleh
Presiden Indonesia kepada setiap warga Negara Republik Indonesia yang menunjukkan
keberanian, kebijaksanaan, dan kesetiaan yang luar biasa dalam mempertahankan
Republik semasa revolusi antara tahun 1945-1950, terutama saat Agresi Militer Belanda I
(20 Juni 1947-22 Februari 1948) dan Agresi Militer Belanda II (18 Desember 1948-27
Desember 1949). Wikipedia, “Bintang Gerilya” diakses pada tanggal 31 Maret 2017 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bintang_Gerilya 20
Sajuti Thalib mengakhiri masa lajangnya pada usia yang cukup muda, ia
menikah pada usia dua puluh dua tahun, sedangkan istrinya pada usia dua puluh tahun.
Pada saat berangkat ke Jakarta ia sudah mempunyai satu orang anak. Sukri Sayuti, Anak
pertama Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017. 21
Anak yang ketiga dan keempat telah wafat saat penulis melakukan penelitian
skripsi ini. Penulis bertemu dengan anak kedua Sajuti Thalib yang bernama Supriadi
17
Sajuti Thalib adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak yang
pertama bernama KH. M. Rasjid Thalib, seorang pemuka agama di
Palembang, terkenal sebagai Da‟i kondang dan Dosen IAIN Raden Fatah
Palembang. Mantan Kepala Penerangan Propinsi Sumatera Selatan, Tokoh
Masyumi Sumatera Selatan sekitar tahun 1950-an. Pernah menjabat sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Selatan dan Ketua
Muhammadiyah Propinsi Sumatera Selatan.22
Kakak yang kedua adalah perempuan bernama Sariah Thalib, anaknya
yang bernama Sumiarty Absyar menikah dengan Drs. H. Ahmad Bidawi
Zubir, seorang lulusan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN).
Pernah menjadi Kakanwil Departemen Agama Propinsi Maluku, Propinsi
Sumatera Utara, Propinsi DKI Jaya, dan Propinsi Sumatera Selatan. Dewan
Kurator dan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ), Dosen
Universitas Assysyafi‟iyah Jakarta, Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ).
Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Islam Ash-Shomadiyah. Sebagai
Urang Sumando23
ia ditetapkan masuk dalam suku Tanjung sebagai anak dari
keluarga Nurbaiti Yakub, istri dari Sajuti Thalib dan diberi gelar suku Tanjung
Sayuti pada tanggal 24 Maret 2017 di kediamannya di Komplek Pertambangan Jl. Duren
Tiga No. 37 C Jakarta Selatan, tepat di samping kediaman Sajuti Thalib sewaktu hidup.
(Jl. Duren Tiga No. 37 Jakarta Selatan). 22
A. Bidawi Zubir, Meniti di atas Buih, , Cet.ke-1, (Jakarta: Penamadani, 2009),
h. 61. 23
Orang yang berasal dari luar suku Minang datang ke dalam lingkungan keluarga
Minang, diminta kesediaannya untuk dimasukkan ke dalam keluarga Minang yang
mempunyai suku, yang patut bersanding dengan suku calon pasangan, dalam hal ini
adalah Sumiarty Absyar yang mempunyai suku Melayu. Lihat A. Bidawi Zubir, Meniti di
atas Buih: Sebuah Otobiografi, h. 66.
18
“Sutan Mahmud”. Pada saat anak keempatnya lahir, anak ketiganya yang
bernama Ahmad Hamami tinggal di rumah Sajuti Thalib.24
Adik Sajuti Thalib yaitu Drs. H. Amiruddin Thalib, seorang Sarjana
Administrasi, Pejabat Tinggi pada PN Aneka Tambang, Pendiri dan ketua
Yayasan Pendidikan Budi Daya.25
Di Jakarta, Ia sering berpindah-pindah tempat tinggal. Pertama kali
tinggal di Galur, Jakarta Pusat. Kemudian pindah ke Grogol, Jakarta Barat.
Setelah itu pindah ke Jl. Borobudur, Jakarta Pusat. Kemudian pindah lagi ke
Kebayoran, Jakarta Selatan. Setelah itu pindah lagi ke daerah Menteng,
Jakarta Pusat di Jl. Bayuwangi. Kemudian tempat tinggal terakhir di Komplek
Pertambangan Jl. Duren Tiga No. 37 Jakarta Selatan sampai ia wafat pada
tanggal 10 Maret 1992 dalam usia 64 tahun, bertepatan pada hari kesepuluh
bulan Ramadhan saat itu.26
B. Aktifitas dan Karier Sajuti Thalib
1. Karier sebagai Aparat Negara
Selama masa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ia
bekerja pada Jawatan Penerangan sebagai wartawan. Setelah lulus, ia
kemudian bekerja pada Jawatan atau Departemen Pertambangan. Pernah
24
Sajuti Thalib merasakan kesulitan ekonomi Bidawi Zubir pada saat itu, dengan
kebijaksanaan dan kepeduliannya Sajuti mengajak Ahmad Hamami, anak ketiga Bidawi
tinggal dirumahnya selama beberapa tahun, untuk membantu meringankan kesulitan
Bidawi saat itu. Perhatian dan kasih sayang selalu diberikan oleh Sajuti Thalib dan
keluarga kepada Ahmad Hamami, ia sering dibelikan mainan bahkan diajak pergi ke
daerah pada saat Sajuti Thalib bertugas. Lihat A. Bidawi Zubir, Meniti di atas Buih, h.
189-190. 25
A. Bidawi Zubir, Meniti di atas Buih, h. 61-62. 26
Sukri Sayuti, Anak pertama Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25
Maret 2017.
19
bekerja juga pada Badan Pimpinan Umum (BPU) Timah (sekarang Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Timah), menduduki jabatan sebagai
Sekretaris. 27
Oleh karena pengalamannya menjadi tentara pelajar dan mendapat
beberapa penghargaan dari beberapa peperangan melawan kolonial
Belanda, Sajuti Thalib termasuk ke dalam anggota Veteran Republik
Indonesia.28
2. Karier dalam Bidang Hukum dan Pendidikan
Setelah lulus pada tahun 1958, dengan memperoleh gelar Meester in de
Rechten (Mr.) (sekarang Sarjana Hukum (S.H.)), ia mengajar pada
Fakultas Hukum Univeritas Indonesia di bawah bimbingan (asisten) Prof.
Dr. Hazairin, S.H. dan Prof. Dr. M. Rasjidi dalam mata kuliah Hukum
Kewarisan dan Hukum Perkawinan Islam.29
Ia kemudian menjadi pengajar utama Hukum Islam II pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan mengajar di beberapa Perguruan Tinggi
lainnya diantaranya di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas
Kristen Indonesia, Universitas Jayabaya, Universitas Islam Djakarta,
Universitas Pancasila, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas
Sawerigading, Akademi Geologi dan Pertambangan Bandung, Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Sriwijaya Palembang.30
27
Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017. 28
Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017. 29
Sajuti Thalib, Perjalanan Haji, Sampul Belakang Buku. 30
Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017.
20
Ia memimpin penelitian tentang “Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang
Berlaku Dewasa Ini Sebagai Hukum Positif dalam Masyarakat Indonesia”
yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)31
Departemen Kehakiman pada tahun 1977-1978 dan 1978-1979,
bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Laporan
penelitian tersebut diterbitkan pada bulan Maret tahun 1978 dan akhir
tahun 1979. Pada tahun 1980 sampai tahun 1984, ia menjadi ketua tim
Pengkajian Hukum Islam pada Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Departemen Kehakiman. Kemudian ia menjadi ketuanya pada
tahun 1984-1985.32
Sajuti sejatinya adalah seorang pengajar atau akademisi. Ia menjadi
salah seorang pendiri Yayasan Budi Daya yang bergerak pada bidang
pendidikan tingkat menengah pertama, tingkat menengah keguruan, dan
tingkat menengah atas (SMP, SMK, SMA) yang diketuai oleh adiknya
31
BPHN merupakan perombakan dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
(LPHN) yang dibentuk tahun 1958. Lembaga tersebut sering kali mengalami kesukaran-
kesukaran dalam menjalankan tugasnya disebabkan oleh pertentangan-pertentangan
politik dalam tubuhnya, telah menimbulkan gagasan unuk merombak LPHN menjadi
suatu badan yang bersifat operasional dalam pembinaan hukum yang kemudian diberi
nama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Lihat Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta,
1982, h. 217. 32
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario, Sampul Belakang Buku, (Jakarta: Bina
Aksara, 1985).
21
Amiruddin Thalib. Ia juga pernah menjadi Hakim Pengadilan Agama di
Jakarta. 33
3. Sajuti Thalib Sebagai Tokoh Muhammadiyah
Sejak kecil Sajuti Thalib hidup dalam ligkungan Muhammadiyah,
Sekolah Agama Kulliyatul Muballigin Muhammadiyah, dan Kepanduan
Muhammadiyah Hizbul Wathan. Selanjutnya ia juga aktif sebagai
pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta sebagai Anggota
Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan pernah menjabat
sebagai Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Jakarta.34
Keaktifannya dalam Organisasi Muhammadiyah membawa Sajuti
Thalib bersama para akademisi ahli lainnya yaitu Prof. Hazairin, S.H.,
Prof. Mr. Roeslan Saleh, S.H., Prof. Dr. Ismail Sunny, S.H., H. Hartono
Mardjono, S.H., Prof. Bismar Siregar, S.H. dan lainnya mengelola
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang merupakan
salah satu amal usaha organisasi Muhammadiyah. Didirikan pada tanggal
18 November 1963.35
Pada awal-awal sejak didirikannya, yaitu pada Periode Transisi ia
menjadi Pejabat Sementara Dekan selama kurang lebih satu tahun (1972-
1973). Pada periode ketiga (1973-1975) Sajuti Thalib menjabat sebagai
Pembantu Dekan I. Pada periode keempat (1975-1978) ia menjabat
33Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017.
34Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret 2017.
35Buku Panduan Akademik, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 2016), h. 1.
22
sebagai Ketua Jurusan Hukum Perdata. Pada periode keenam (1980-1983)
ia menjadi Sekretaris sekaligus merangkap sebagai Ketua Jurusan Hukum
Perdata. Pada periode ketujuh (1983-1986) Sajuti Thalib menjadi Dekan
sekaligus merangkap sebagai Ketua Jurusan Hukum Perdata. Dan menjadi
Dekan untuk dua periode selanjutnya, periode kedelapan (1986-1989) dan
periode kesembilan (1989-1991).36
C. Sosok Pribadi Sajuti Thalib
Sajuti Thalib adalah sosok yang sangat bijaksana, sangat peduli terhadap
keluarga, sanak famili, dan kampung halamannya, ia mempunyai sifat
menolong terhadap sesama.37
Ia suka membantu orang lain dan suka memberi,
pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapa saja. Ia sering menampung
keluarganya, keponakan dan temannya di rumahnya ketika mereka belum
mempunyai tempat tinggal. Ia dituakan dan dihormati oleh orang-orang
sekitarnya karena ia juga sebagai seorang ulama, sering memberi khotbah-
khotbah Jum‟at, memimpin pengajian-pengajian, dan juga menjadi imam
masjid, terlebih pada saat shalat taraweh di bulan Ramadhan. Ia mempunyai
pribadi yang rendah hati dan mempunyai prinsip hidup lillȃ ahita’alȃ .38
D. Karya-karya Sajuti Thalib
Selain menerbitkan buku, Sajuti Thalib juga banyak menulis untuk
penerbitan khusus berbagai majalah atau jurnal, makalah untuk seminar dan
36
Buku Panduan Akademik, h. 5-8. 37
A. Bidawi Zubir, Meniti di atas Buih, h. 189. 38
Sukri Sayuti, Anak pertama Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25
Maret 2017.
23
simposium.39
Berikut diantaranya karya-karya Sajuti Thalib dalam bentuk
buku:
1. Karya Berkaitan dengan Hukum Islam
a. Hukum Kekeluargaan Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia tahun 1974. Pada awalnya adalah sebuah
tulisan yang kemudian diterbitkan menjadi dua buku. Dalam buku
pertama dibagi pula menjadi dua bagian, bagian pertama adalah
beberapa pengertian umum dan bagian kedua adalah hukum
perkawinan. Sementara buku kedua mengenai hukum kewarisan
secara diterbitkan terpisah pada tahun 1981.40
b. Receptio In Complexu, Theorie Receptie, dan Receptio A Contrario,
diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1976.
(diterbitkan sendiri) Teks book ini adalah cikal bakal kelahiran buku
Receptio A Contrario yang pertama kali terbit tahun 1980. Ia
menjelaskan secara detail sejarah hukum dan pemberlakuan Hukum
Islam di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga zaman setelah
kemerdekaan dengan mengungkapkan teori-teori yang muncul
bersamaan dengan itu.41
c. Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam), diterbitkan oleh PT. Bina Aksara tahun 1980. Buku ini
merupakan kelanjutan dari tulisan ia sebelumnya berjudul “Receptio
39
Sajuti Thalib, “Analisis Yurisprudensi: Tentang Kewarisan”, Mimbar Hukum
No. 4 Tahun II 1991, h. 126. 40
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), h. xvi. 41
Sajuti Thalib, Receptie In Complexu, Receptie, dan Receptio A Contrario,
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976).
24
in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario”, nama-nama teori
itu tetap dimasukkan dalam sub bab pembahasan dalam buku ini,
kemudian ditambahkan penguatan tentang teori Receptio A
Contrario dengan menampilkan hasil putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama dalam memutus perkara waris, yang bisa
dibandingkan dan dipelajari oleh pembaca. Ditampilkan pula
beberapa hasil penelitian tentang Hukum Perkawinan dan Hukum
Kewarisan yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
yang mana Sajuti Thalib menjabat sebagai ketua Tim Pengkajian
Hukum Islam BPHN, bekerjasama dengan beberapa Fakultas
Hukum Perguruan Tinggi di Indonesia42
d. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, diterbitkan oleh Sinar
Grafika, tahun 1981. Buku ini merupakan bagian keempat dari buku
Hukum Kekeluargaan Indonesia. Dalam buku ini, ia banyak
mendasarkan tulisannya pada ajaran kewarisan bilateral Prof. Mr.
Dr. Hazairin, dan mengemukakan juga ajaran kewarisan patrilinial
Imam Syafi‟i.43
e. Lima Serangkai Tentang Hukum (Hubungan Antara Hukum Islam
dengan Hukum Tanah, Hukum Kewarisan dan Hukum Pidana),
diterbitkan oleh PT. Bina Aksara, tahun 1983. Buku ini adalah
kumpulan tulisan-tulisan Sajuti Thalib berjumlah lima buah judul
42
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario, Cet. IV, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985),
h. 49-57 dan 66-77. 43
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara,
1982), h. 2.
25
tulisan, yang ditulis dalam waktu yang berbeda-beda, dimana dapat
menggambarkan perasaan-perasaan kesadaran hukum dan
perubahan-perubahan pikiran dan pendapat disamping adanya
perubahan-perubahan dan perkembangan hukum itu sendiri.44
f. Politik Hukum Baru: Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun
1986. Karya ilmiah ini disajikan dengan memaparkan proses
hubungan yang erat di antara hukum adat dan hukum Islam dan
dalam beberapa hal mengaitkannya sebagai perbandingan dari
norma-norma hukum yang ada dalam hukum perdata Barat (B.W.)45
g. Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta tahun 1987, setahun setelah penerbitan buku dalam judul
yang sama oleh BPHN. Buku ini disusun sebagai teks book pada
Perguruan Tinggi dan Fakultas Hukum khususnya pada lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta karena buku
ini diterbitkan secara sederhana. Sudut yang diperbincangkan dalam
44
Sajuti Thalib, Lima Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: PT. Bina Aksara,
1983), h. 5. 45
Teuku Muhammad Radhie, Kata Pengantar dalam Politik Hukum Baru, h.viii.
26
buku ini adalah dari segi politik hukum terhadap pemanfaatan
hukum Islam dan hukum adat dalam penyusunan hukum Nasional.46
2. Karya di Luar Hukum Islam
a. Hukum Pertambangan Indonesia, diterbitkan oleh Akademi
Geologi dan Pertambangan Bandung tahun 1974. Sajuti Thalib
menulis buku ini sebagai bahan perkenalan bagi yang ingin
mengetahui keadaan dan ketentuan-ketentuan sekitar Hukum
Pertambangan di Indonesia, karena dibahas tidak terlalu mendalam
tetapi menunjukkan dan memperkenalkan beberapa persoalan yang
dianggap menonjol dan menarik perhatian. Di dalamnya ia juga
memperbandingkan dan menghubungkan dengan bahan lain yang
mempunyai hubungan di luar Undang-undang Pokok
Pertambangan Indonesia.47
b. Perjalanan Haji tahun 1396 H./1975 M. Diterbitkan oleh penerbit
Bulan Bintang tahun 1976. Buku ini ditulisnya dalam bentuk
catatan harian selama melaksanakan ibadah haji, dari awal
persiapan keberangkatan sampai selesai. Kejadian yang terjadi
sehari-hari bahkan hal-hal terkecil ia tulis, ia berusaha melukiskan
46
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), h. iii. 47
Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, (Bandung: Akademi Geologi
dan Pertambangan Bandung, 1973), h. 3.
27
apa yang terjadi pada saat itu juga, sehingga perasaan dan
emosinya tergambar jelas pada tulisannya tersebut.48
c. Kuasa Pertambangan di Indonesia, diterbitkan oleh Akademi
Geologi dan Pertambangan Bandung tahun 1977. Buku ini sangat
membantu masyarakat peminat pertambangan yang ingin
menguasai segala sesuatu berkenaan dengan kuasa pertambangan,
terdapat beberapa contoh tentang bermacam kuasa pertambangan
dari bermacam tingkat dan bentuk di seluruh Indonesia.49
d. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau,
diterbitkan oleh Bina Aksara tahun 1983. Buku ini membantu
menjelaskan perihal Tanah Adat yang ada di Minangkabau dan
polemik pensertifikasiannya.50
e. Azas Pancasila Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, diterbitkan
oleh Korp Immawati Komisariat Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, tahun 1987. Buku ini adalah seri kedua
dari Muhammadiyatologi yaitu salah satu cara pengkajian dalam
ke-Muhammadiyahan. Sajuti Thalib menulis buku ini dalam
rangka mempelajari Persyarikatan Muhammadiyah dari sudut ilmu
hukum.51
48
Sajuti Thalib, Perjalanan Haji, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 9. 49
Sajuti Thalib, Kuasa Pertambangan di Indonesia, (Bandung: Akademi Geologi
dan Pertambangan Bandung, 1977), h. 3. 50
Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau,
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985) 51
Sajuti Thalib, Azas pancasila Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, (Jakarta:
Korp Immawati Komisariat Fakultas Hukum UMJ, 1987)
28
BAB III
TEORI-TEORI
PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Periode Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Kolonial
Belanda
1. Teori Receptie in Complexu
a. Konsep Teori Receptie in Complexu
Dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia sekitar tahun
1800-an, hukum Islam pernah diakui mempunyai kedudukan sebagai
hukum yang berdiri sendiri atas kekuatannya sendiri dan berlaku pada
masyarakat. Keadaan itu diakui oleh para ahli hukum dan ahli
kebudayaan Belanda bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam. Oleh
karena itu politik hukum dalam Peradilan pun diberlakukan Undang-
undang Agama Islam untuk orang Islam yang ada di Indonesia.1 Karena
melihat fakta di lapangan bahwa orang pribumi yang beragama Islam
memakai dan mengamalkan sepenuhnya hukum Islam.2
b. Penggagas Teori Receptie In Complexu
Carel Frederick Winter adalah seorang ahli tertua mengenal soal-
soal Jawa-Javanici yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859)
pernah menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada masa itu
yang memegang teguh dan memberlakukan hukum Islam secara penuh
1Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario,
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), h. 2. 2Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 3.
29
dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga Salomon Keyzer (1823-1868)
seorang maha guru ilmu bahasa dan ilmu kebudayaan Jawa, menulis
banyak tentang Islam di Jawa.3
Kemudian muncul seorang ahli yang lebih terkenal lagi yaitu Prof.
Mr. Lodewyk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927). Ia
memperkuat alam pikiran bahwa yang berlaku di Indonesia adalah
hukum Islam untuk orang-orang Islam (mohammedaansche recht)
menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Ia yang memberi nama teori Receptie
in Complexu.4 Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam di
Indonesia ini dipakai sepenuhnya, complexu, lengkap, sempurna, utuh.5
Ia termasuk ahli belanda golongan akhir yang mengakui kenyataan
bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia, walaupun pemikirannya lebih
terlihat pada praktek.6
Pada tahun 1892 ia menerbitkan tulisannya tentang hukum keluarga
dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa
penyimpangan. Ia juga mengusahakan sehingga hukum kewarisan dan
perkawinan Islam dijalankan oleh hakim Belanda dengan bantuan
penghulu atau kadhi, serta menerjemahkan buku Fathu Qarib dan
Minhaaj Al-thalibin ke dalam bahasa Perancis dengan perbandingan
dengan terbitan-terbitan lain di Leiden.7
3Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 3.
4Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 3.
5Arovah Windiani, Wawancara Pribadi, Jakarta, 15 Maret 2017.
6Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 4.
7Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 5-6.
30
c. Pengaruh Teori Receptie In Complexu
Di Indonesia pada tahun 1870-1887 terkenal Resolutie Der
Indosche Regeering (VOC) berupa suatu kumpulan aturan hukum
perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam untuk
dipergunakan di pengadilan VOC untuk orang Indonesia dikenal dengan
Compendium Freijer. Juga ada kumpulan kesimpulan peraturan hukum
perkawinan dan kewarisan menurut Islam yang dibuat untuk dipakai di
daerah-daerah seperti Cirebon, Semarang dan Makassar.
Kenyataan Undang-undang Agama Islam berlaku bagi penduduk
asli bangsa Indonesia yang sebenarnya telah berjalan lama sebelum tahun
1855 itu dirumuskan dalam bentuk Undang-undang pada tahun 1855.
Dan dengan dikeluarkannya Regeerings Reglement 1855 itu maka
keadaan yang telah ada itu lebih diperkokoh dan diperkuat dengan bentuk
peraturan perundang-undangan.8
Dalam Regeerings Reglement pasal 75 ayat 3 dan ayat 4 berbunyi;
“Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan Undang-undang
Agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka
oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi andaikata terjadi
hoger beroep atau permintaan pemeriksaan banding.”
Bahkan dalam pasal 78 Regeerings Reglement Stbl. Hindia belanda
1855: 2 itu ditegaskan lebih lanjut pada ayat 2 bahwa;
”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia itu
atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka maka mereka
tunduk kepada keputusan hakim Agama atau kepala masyarakat mereka
menuntut Undang-undang Agama atau ketentuan-ketentuan lama
mereka.”
8Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 3.
31
Sedangkan pada pasal 109 RR Stbl. Hindia Belanda 1855 : 2 ini
dinyatakan bahwa ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu
berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander” yaitu
orang Arab, orang Moor, orang Cina, dan semua mereka yang beragama
Islam dan orang-orang yang tidak beragama.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa pemerintah Belanda dan
Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu dengan peraturan perundang-
undangan yang tertulis dan tegas telah mengakui bahwa undang-undang
Islam dengan Istilah Godsdienstige Wetten berlaku bagi orang Indonesia
yang beragama Islam. Hukum yang diperlakukan adalah Hukum Islam
bahkan peradilan yang diperlakukan untuk mereka juga peradilan dengan
Hukum Islam. Disamping itu diakui pula adanya Hakim Kepala
Masyarakat (adat) dengan keputusan yang berdasar kepada ketentuan-
ketentuan lama (adat) mereka yang diungkapkan dengan istilah Gebruken
Der Inlanders atau Oude Herkomsten.9
2. Teori Receptie
a. Konsep Teori Receptie
Penganut teori ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku
di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Dalam Hukum Adat ini memang
masuk sedikit-sedikit pengaruh Hukum Islam. Tetapi pengaruh hukum
9Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, cet.III, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985),
h.4-8.
32
Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau telah diterima oleh hukum
adat, bukan sebagai hukum Islam.10
b. Penggagas Teori Receptie
Cornelis Van Volenhoven yang memulai mengeritik dan menentang
pasal 75 dan 109 RR stbl 1855 : 2. Ia adalah ahli hukum adat, disebut
sebagai orang yang memperkenalkan Het Indische Adatrecht (Hukum
Adat Indonesia). Kemudian muncul tokoh yang lebih terkenal sebagai
penggagas teori ini adalah Christian Snouck Hurgronje. Ia adalah
penasihat pemerintah Hindia Belanda yang berkaitan dengan persoalan-
persoalan agama Islam dan orang-orang pribumi. Ia mendalami hukum
dan Agama Islam pada umumnya dan secara khusus yang ada di
Indonesia. Ia memiliki bakat sebagai peneliti agama karena ayahnya
adalah pendeta JJ. Snouck Hurgronje, ibunya Anna Maria, putri pendeta
Christian De Visser.11
Ia sangat totalitas dalam meneliti, bahkan ia sampai memasuki
Mekkah Mukarramah tanah suci orang Islam untuk mempelajari agama
Islam dengan nama samaran Abdul Gaffar pada tahun 1884-1885,
dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang potret. Ketika belajar
hukum Islam di Mekkah ia bergaul dengan orang-orang Jawa sehingga
10
Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 6-7 11
Tim Liputan Khusus Daud Beureuh (Tempo, 18-24 Agustus 2003), Daud
Beureuh Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak, Cet I. (Jakarta: Tempo, 2011). h.72-80
33
pergaulannya ini telah memperkenalkannya kepada hukum adat di
Indonesia. 12
Setelah menyelesaikan disertasinya tentang Mekkah. Snouck
mendapat tugas oleh pemerintah Belanda untuk meneliti Aceh.
Kunjungannya ke Aceh sebetulnya sangat singkat, hanya dari 16 Juli
1891 sampai 4 Februari 1892. Namun itu menghasilkan kajian tentang
struktur masyarakat dan adat yang sangat mendalam dan basah. Sejak
saat itu, untuk pertama kalinya terdapat data etnografi adat istiadat Aceh
yang lengkap. Berdasarkan data itu ia menyarankan agar pemerintah
kolonial tidak mengganggu kegiatan ibadah atau ritual masyarakat Aceh
tapi memangkas aktivitas politiknya, itulah konsep Snouck yang kita
kenal “Islam sebagai Agama dan Islam sebagai politik”, dengan makna
bahwa Islam sebagai politik harus diawasi secara ketat, dan Islam sebagai
agama harus dibiarkan. 13
Sesudah mempelajari keadaan di Aceh sekitar tahun 1889, ia
mengadviskan pemerintah Hindia Belanda harus mengatur strategi
menaklukkan Aceh dengan bertolak dari kemampuan memanipulasi
pertentangan yang telah terdapat dalam masyarakat Aceh yaitu antara
kesetiaan kepada agama dan kesetiaan kepada adat yang diwakili oleh
para ulama dan Uleu Balang. Ia menentang pendapat Van Den Berg,
pertentangannya sampai pada soal pengaturan Pengadilan Agama yang
12
Tim Liputan Khusus Daud Beureuh (Tempo, 18-24 Agustus 2003), Daud
Beureuh Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak, Cet I. h.72. 13
Tim Liputan Khusus Daud Beureuh (Tempo, 18-24 Agustus 2003), Daud
Beureuh Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak, Cet I. h.72-80.
34
ketika itu telah menerima pikiran-pikiran Van Den Berg. Bahkan ia
mengemukakan suatu jalan pikiran baru yang berlawanan sekali, yang
kemudian pendapatnya ini dikenal orang dengan sebutan Teori Receptie,
bahwa hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan
diterima oleh hukum adat dan dengan demikian lahirlah hukum itu
sebagai hukum adat bukan sebagai hukum Islam. Di Hindia Belanda
kemudian banyak pengikutnya. 14
Snouck berkeinginan agar orang-orang pribumi rakyat jajahan tidak
ada yang kuat memegang hukum Islam sehingga tidak mudah
dipengaruhi peradaban Barat. Snouck mengemukakan teori ini karena ia
khawatir dengan pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori oleh Sayid
Jamaluddin Al-Afghani berpengaruh di Indonesia.15
c. Pengaruh Teori Receptie
Teori ini diimplementasikan melalui perubahan-perubahan
Staatblaad dan R.R secara sistematis, halus dan berangsur-angsur. Semua
perubahan ditujukan pada pasal 75 dan pasal 78 R.R. dimana dimuat di
dalamnya tentang pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia yang
perlahan-lahan diperlunak dan kemudian dihilangkan sama sekali,
berikut beberapa tahapannya16
:
1. Pada tahun 1906 dengan Stbl. Belanda 1906 : 364 yang
diperlakukan di Indonesia dalam Stbl. Hindia Belanda 1907 No.
14
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, h. 11-12. 15Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h.122-127. 16
Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h.7-16
35
204 kata-kata tegas; “memperlakukan Undang-undang Agama”
diperlunak dengan kata-kata; “diperlakukan untuk orang
Indonesia dan Timur Asing itu yang berkenaan dengan agama dan
kebiasaan mereka”
2. Stbl. Belanda 1919 : No. 286 dan Stbl. Hindia Belanda 1919 No.
621, kata-kata: “memperlakukan peraturan yang berkenaan
dengan agama itu” diperlunak menjadi “memperhatikan peraturan
yang berkenaan dengan agama itu”
3. Pada tahun 1919 pula ditambah sebuah ayat baru berupa ayat (6)
yang menyebutkan bahwa; “bagi Inlander dan Timur Asing
berlaku Hukum Perdata dan Dagang yang berlaku sekarang
ini”mulailah beberapa pihak menafsirkan kata-kata “berlaku
sekarang ini” seagai “hukum adat”.
4. Pasal 109 R.R. Stbl. 1855 : 2 yang berbunyi: “Ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi orang Eropa dan bagi Inlander
berlaku pula bagi yang disamakan dengan mereka” menjadi
“berlakunya ketentuan-ketentuan yang diperuntukkan orang
Eropa itu bagi golongan lain”
5. Sejalan dengan pelemahan peraturan perundang-undangan
tersebut, dilancarkan pula pembunuhan dan pengejaran terus-
menerus terhadap ulama-ulama besar Islam. Hal ini terlihat dalam
perang Aceh tahun 1873-1903.
36
6. Tahun 1925 adanya perubahan R.R. menjadi Indische
Staatsregeling (I.S.), tak ada perubahan pasal 75 R.R. tersebut
kecuali perubahan kata-kata “algemeene verordening” menjadi
“ordonantie”
7. Pasal 134 ayat (2) I.S. 1925 yang murni sebagai bunyi asalnya
dalam pasal 78 (2) Stbl. 1855 : 2 itu diubah pada tahun 1929
dengan Stbl. 1929 : 221, menjadi:
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka
dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”
Inilah yang menjadi sumber formil dari teori Receptie. Keadaan
demikian telah menguasai alam pikiran hukum Indonesia sampai
dilahirkannya Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
B. Periode Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan
1. Teori Receptie Exit
a. Konsep Teori Receptie Exit
Munculnya teori ini adalah untuk menentang teori Receptie.
Bahwa dengan lahirnya Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia itu dengan sendirinya telah menggantikan Undang-undang
Dasar Negara Jajahan Hindia Belanda yang dikenal dengan I.S. itu,
secara otomatis pula menghapus teori Receptie yang diimplementasikan
dalam pasal 134 ayat (2) I.S.17
itu karena bertentangan dengan jiwa
17
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, h. 58-59.
37
UUD Negara Republik Indonesia khususnya pada pasal 29, maka teori
Receptie harus exit, harus keluar dari Hukum yang ada di Indonesia.18
b. Penggagas Teori Receptie Exit
Prof. Mr. Dr. Hazairin pada tahun 1950 mengarahkan suatu
analisa dan pandangan agar hukum Islam itu berlaku di Indonesia, tidak
berdasar pada hukum adat, tetapi hendaknya disandarkan pada
peraturan perundang-undangan tersendiri. Pada tahun 1963 dalam
bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia ia menegaskan bahwa teori
Receptie Snouck Hurgronye itu adalah teori Iblis.19
Karena jiwa Iblis itu
takabbur,20
ia tidak bisa menerima kenyataan yang ada di Indonesia
bahwa Hukum Islam telah berlaku tanpa melalui hukum adat dan
hukum apapun, namun Belanda untuk kepentingan politiknya sengaja
meminggirkan bahkan Hukum Islam dari Indonesia.21
Berdasar dari pemikirannya tersebut, orang-orang menamainya
teori Receptie Exit. Karena Hazairin tidak mengungkapkan sebuah
nama teori, tetapi hanya mengungkapkan pendapatnya yang menentang
teori Receptie Snouck Hurgronje.
18
Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April
2017. 19
Sajuti Thalib Receptio A Contrario, h. 59. 20
Takabbur dalam bahasa Indonesia adalah sombong, sebagaimana kisah Iblis
yang tidak mau sujud kepada Adam, a.s. karena merasa dirinya lebih baik daripada
manusia. 21
Arovah Windiani, Wawancara Pribadi, Jakarta, 15 Maret 2017.
38
3. Teori Receptio a Contrario
a. Konsep Teori Receptio a Contrario
Teori ini juga menentang teori Receptie, dan merupakan kebalikan
dari teori Receptie. Kalau teori Receptie mengungkapkan bahwa hukum
Islam baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum adat, maka
Teori Receptio A Contrario adalah hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini memperkuat dan
mengembangkan teori sebelumnya yaitu teori Receptie Exit. Teori ini
lebih menjelaskan bahwa hukum Islam itu berlaku dengan sendirinya
tanpa harus melalui hukum adat, bahkan hukum adat baru bisa berlaku
apabila hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
b. Penggagas Teori Receptio a Contrario
Teori ini digagas oleh Sajuti Thalib yang mana adalah murid dari
Hazairin. Sajuti Thalib sependapat dengan gurunya itu mengenai teori
Receptie kemudian mengembangkan teori Receptie Exit Hazairin
dengan melihat fakta-fakta yang ada di masyarakat bahwa Hukum
Islam itu hidup dan berlaku di masyarakat tanpa melalui hukum Adat
dan tanpa keluar menjadi hukum lain,22
tidak ada pertentangan antara
Hukum Adat dan Hukum Islam karena sudah terjadi adaptasi dan
asimilasi, sehingga seringkali sulit membedakannya.23
Ini berarti
22
Farida Prihatini, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April 2017. 23
Arovah Windiani, Wawancara Pribadi, Jakarta,15 Maret 2017.
39
bahwa hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan
hukum agama.24
C. Periode Pemberlakuan Hukum Islam dalam Hukum Nasional
1. Teori Eksistensi
a. Konsep Teori Eksistensi
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya
hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Karena Indonesia
mengakui asas Bhinneka Tunggal Ika yang mewujudkan kehidupan
agama dan kehidupan hukum yang erat dengan keyakinan agama.
Penggagas teori ini adalah Ichtijanto25
, ia melanjutkan teori-teori
yang pernah muncul sebelumnya, yakni teori Receptie Exit dan teori
Receptio a Contrario yang mempengaruhi hukum tertulis Indonesia
dengan mengambil ajaran hukum Islam di dalamnya, maka muncullah
teori Eksistensi ini, karena melihat hukum Islam berada (exist) dalam
hukum nasional Indonesia.
Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi hukum Islam
dalam hukum nasional Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional
Indonesia.
24
Juhaya S.Praja, dalam Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. h.
xiii-xiv. 25
Ichtijanto (alm) lahir pada 10 April 1941 di Magelang, Jawa Tengah. Ia adalah
murid Sajuti Thalib dan Hazairin, pernah menjadi dosen pengajar Hukum Islam pada
Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Hukum adat pada IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (sekarang UIN), dan seorang peneliti bidang agama pada badan Litbang Agama
Departemen Agama. Lihat Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan.
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 168.
40
2. Adanya dengan kemandiriannya yang diakui dan kekuatan dan
wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai
hukum nasional.
3. Dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
4. Dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum
nasional Indonesia.26
2. Teori Konstitusi dan Akomodasi
Teori ini dikemukakan oleh Abdul Halim,27
ia menilah bahwa pendapat
yang mengatakan bahwa transformasi hukum Islam dalam perundang-
undangan Negara dapat mengancam eksistensi Negara dan Undang-undang
Dasar tahun 1945 adalah tidak relevan, karena dalam membangun sistem
hukum nasional di Indonesia harus bersumber dari tiga sumber hukum yakni
hukum adat, hukum Islam, dan hukum positif (Belanda).
Dicermatinya pula bahwa dalam pembukaan UUD tahun 1945 pasal 29,
dinyatakan Indonesia bukan Negara agama tapi Republik beragama, yakni
Negara mengakui agama resmi yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budha, Indonesia bukan Negara sekuler. Dalam kaitannya dengan hukum
Islam sebagai the living law, maka adopsi hukum Islam dalam hukum
26
Ichtijanto, “Hukum Islam ada di dalam hukum Nasional (teori Eksistensi)”
dalam Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. h. 137. 27
Abdul Halim lahir di Tanjung Balai, 8 Juni 1967. Adalah seorang Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini menjabat sebagai
Ketua Program Studi Hukum Keluarga. Ia aktif dalam mengangapi isu-isu hukum Islam
dalam kajian politik hukum, telah banyak buku diterbitkannya terutama yang berkaitan
dengan poltik hukum Islam. Lihat Abdul halim, Politik Hukum Islam di Indonesia:
Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era
Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2008), h. 489.
41
nasional merupakan kewajiban berdasarkan amanah konstitusi melalui
mekanisme politik yang demokratis atau minimal hukum Islam harus
menjadi referensi bagi pembentukan hukum nasional di Indonesia. Proses
transformasi hukum Islam menjadi hukum nasional ini dinamai sebagai teori
konstitusi (constitusion theory) dan teori adopsi (the adoption theory).28
a. Konsep Teori Konstitusi
Teori konstitusi adalah transformasi nilai-nilai hukum agama ke
dalam hukum nasional Indonesia yang merupakan kewajiban konstitusi
Negara unuk membangun sistem hukum nasional melalui mekanisme
konstitusional yang demokratis.
Teori ini dibangun berdasrkan argumen bahwa secara struktural
Undang-undang Dasar 1945 meletakkan porsi agama pada posisi yang
paling tinggi berupa sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Undang-undang Dasar 1945 mengakui dan menganut ide
Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Ditegaskan pula secara eksplisit pengakuan ini
dalam Pancasila sila pertama dan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal (2) dijelaskan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.29
28
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam
dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, h. 448. 29
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam
dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, h 456.
42
b. Konsep Teori Akomodasi
Teori akomodasi dibangun atas argumentasi bahwa Negara
berkewajiban untuk mengakomodasi seluruh sub sistem hukum nasional
ke dalam perundang-undangan Negara dengan menggunakan tolak ukur
hukum Islam sebagai hukum yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia.30
Teori Konstitusi dan Akomodasi ini menyatakan bahwa ”Negara
memiliki kewajiban konstitusional untuk mengakomodasi dan menjadikan
hukum Islam sebagai referensi hukum nasional” sehingga semua produk
perundang-undangan dilahirkan oleh Negara harus sejalan dengan
substansi niai-nilai universal Islam dan nilai-nilai hukum Islam atau
sekurang-kurangnya peraturan perundang-undangan nasional tidak
bertentangan dengan hukum Islam yang diyakini mayoritas masyarakat
Indonesia.31
30
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam
dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, h.456. 31
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam
dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, h.358-359.
43
BAB IV
TEORI RECEPTIO A CONTRARIO
DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Pemikiran Sajuti Thalib Teori Receptio A Contrario
1. Substansi Teori Receptio A Contrario
Sajuti Thalib mempunyai pendirian bahwa di dalam Negara
Indonesia yang merdeka yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar tahun 1945 sudah semestinya orang yang beragama pada dasarnya
taat pada hukum agamanya, sebagaimana yang dimaksudkan pada sila
pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Ia melihat ke
dalam masyarakat bahwa telah hidup suatu keyakinan, yakni hukum
agama Islamlah yang ingin diberlakukan bagi mereka. Hukum adat akan
dilaksanakan hanya jika diperbolehkan oleh ketentuan agama Islam.
Masyarakat Indonesia diajak Sajuti Thalib untuk melihat kebalikan
dari teori Receptie Snouck Hurgronje, bahwa yang ada dalam hubungan
hukum adat dengan hukum Islam adalah kebalikan dari teori Receptie itu.
sebagaimana ia sebutkan dalam bukunya Receptio a Contrario
(Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam);
“Sekarang yang ada ialah receptio a contrario = hukum adat
baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dengan demikian dalam jiwa masyarakat, telah menang jiwa
Pembukaan dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dan telah
mengalahkan pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling itu.” 2
1Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 73. 2Sajuti, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat, h. 62.
44
Teori ini menyadarkan orang-orang yang beranggapan bahwa
hukum Islam yang berlaku di Indonesia itu tidak langsung, tetapi harus
melalui bantuan hukum adat atau hukum lainnya, bahwa anggapan
seperti itu adalah keliru, sedangkan yang benar adalah hukum Islam itu
sudah berlaku di Indonesia secara langsung sebagai hukum Islam, tidak
melalui bantuan hukum adat ataupun hukum lain dan tidak keluar sebagai
hukum yang lain.3
Ada dua aspek yang diperhatikan oleh Islam sejak awal yaitu
agama dan masyarakat atau politik. Islam tidak memisahkan persoalan-
persoalan rohani dan dunia tetapi justru mencakup keduanya. Islam tidak
hanya vertikal, tetapi juga horizontal. Mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Semuanya
diatur oleh Allah dan semua yang diperbuat selama di dunia akan
dipertanggung jawabkan kepada-Nya di akhirat kelak. 4
Aturan-aturan
selain hukum Islam seperti hukum adat, hanya dapat diberlakukan bagi
orang Islam kalau tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Karena pada
dasarnya untuk orang Islam berlaku hukum Islam, sedangkan hukum adat
hanya berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan
kesadaran batin dan cita-cita hukum Islam.5
3Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April 2017.
4Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3S,
1996), h.1. 5Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 85.
45
2. Dasar Kelahiran Teori Receptio A Contrario
a. Pertimbangan Sosiologis
Sebuah teori tidak bisa berdiri sendiri, ia pasti memiliki sesuatu
yang menyebabkan teori itu lahir. Teori Receptio a Contrario lahir
dengan latar belakang fakta di masyarakat yang tidak
mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam.
Ketidakadaan pertentangan ini karena antara hukum adat dan hukum
Islam sudah terjadi adaptasi dan asimilasi, sehingga seringkali kita
tidak bisa membedakan. Jika diilustrasikan seperti halnya teh manis,
awalnya teh dan gula adalah suatu zat yang terpisah, kemudian setelah
teh dan gula itu disatukan maka teh akan terasa manis, tanpa terlihat
adanya gula yang nampak.6
Antara hukum Islam dengan hukum adat telah terjalin suatu
jalinan yang kuat dan kokoh. Di beberapa daerah yang Islamnya kuat
dan adatnya kental, ada beberapa ungkapan yang menggambarkan
keadaan masyarakatnya, seperti di Minangkabau dikenal ungkapan
yang berbunyi: “Agamo mangato, adat mamakai”, artinya; agama
yang memberikan ketentuannya dan adat yang melaksanakannya
dalam kenyataan. Bahkan ada ungkapan yang lebih terkenal lagi yaitu
“Adat basandi syara‟, syara‟ basandi kitabullah”, artinya; adat
kebiasaan itu bersendikan agama sedangkan agama itu bersendikan
6Arovah Windiani, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 15 Maret
2017.
46
kitab Al-Qur‟an,7 disini terlihat bahwa dengan sadar masyarakatnya
mengatakan bahwa yang tertinggi kedudukannya dalam hukum adalah
Kitabullah (Al-Qur‟an),8 meskipun hukum adat (the living law) adalah
hukum yang tertua yang ada pada masyarakat,9 karena dalam
ketentuan adat Minangkabau disebutkan “sekali air gadang, sekali
tepian berubah” yang menunjukkan bahwa hukum adat itu dapat
berubah10
tapi hukum Islam karena datangnya dari Allah SWT maka
tidak ada yang bisa merubahnya.11
Di Aceh terkenal sebuah ungkapan; “Adat bak Potue Meureuhom;
Hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putroe Pahang; Reusam bak
Laksamana; Hukom ngon adat, Lagee zat ngon sifeuet.”Artinya; Adat
berada di tangan Sultan; Hukum berada di tangan Ulama; Reusam
berada di tangan Laksamana; Qanun berada di tangan Putri Pahang;
Hukum dengan adat, seperti zat dengan sifat.12
Di Madura terdapat ungkapan “abantal syahadat, asapo iman,
apayung Allah” Artinya; dalam kehidupan mereka memakai syahadat
7Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 1987), h.15. 8Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat
h. 61. 9Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April 2017.
10Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional,, h. 29 11
Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April
2017. 12
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam
dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta, Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), h.358-359
47
sebagai alas kepala, berselimut iman, dan berlindung kepada Allah,
niscaya akan selamat. 13
Ungkapan-ungkapan semacam itu membuktikan bahwa hukum
adat dan hukum Islam saling terkait, dan tidak bisa dipisahkan.
Ungkapan tersebut telah lama ada, bahkan sebelum Belanda datang ke
Indonesia. Hal ini terbukti dengan dikokohkannya hubungan antara
kedua hukum itu dalam peraturan perundang-undangan Belanda pasal
75 ayat 3 R.R. 1855. Berupa “de godsdienstige wetten, instellingen en
gebruiken” atau “undang-undang agama dan kebiasaan-kebiasaan”.14
Disini dapat dilihat undang-undang agama didahulukan daripada
kebiasaan-kebiasaan, karena pemerintah Belanda pada waktu itu
masih menganut pendapat bahwa orang Indonesia yang beragama
Islam takluk dan sepenuhnya menjalankan hukum Islam.15
Bahkan,
meskipun pada masa setelahnya hukum Islam disingkirkan melalui
I.S. pasal 134 ayat (2), hukum Islam sejatinya tetap berlaku dan tetap
dijalankan sebagaimana biasanya oleh masyarakat Indonesia yang
beragama Islam.
13
Mahrus Ali, “Akomodasi Nilai-Niai Budaya Masyarakat Madura Mengenai
Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana”, Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 Januari 2010, h.
90. 14
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, h. 15. 15
Mahadi, Uraian Singkat Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, (Bandung: PT.
Alumni, 1987), h.7.
48
b. Perubahan Hukum Adat Menyesuaikan Hukum Islam dan
Perkembangan Zaman.
Agama bagi orang Indonesia memang bukan tujuan hidup, tetapi
agama adalah sebagian dari hidupnya, maka ada di masyarakat adat di
daerah-daerah yang menempatkan agama sebagai persekutuan hukum
adatnya. Seperti di Lampung, ada ketentuan adat yang tidak akan
menerima seseorang yang tidak beragama Islam sebagai warga
adatnya, yang memeluk agama lain dianggap keluar atau dikeluarkan
dari adat dan kepala keluarga yang bersangkutan harus membayar
denda kotor (pepadun kamah) kepada majelis persidangan adat.16
Dalam hal kewarisan adat Pepadon atau Pepadun Lampung,
dahulu semua harta diserahkan dan dipegang anak laki-laki tertua.
Anak laki-laki tertualah yang menjadi penanggung jawab keluarga
setelah ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak laki-laki tertua, ia
mempunyai kewajiban yang besar, membiayai semua keperluan adik-
adiknya, dan menjadi pengganti wali bagi mereka. Rumahnya
kemudian menjadi pusat segala kegiatan keluarga. Tanggung jawab
itu diimbangi dengan menguasai semua harta kekayaan warisan orang
tuanya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, hal itu tidak lagi
terjadi dan mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Alumni,
1981), h.160-161.
49
kekuasaan atas harta warisan peninggalan orang tua tersebut yang
tidak lagi seperti dulu.17
Orang Batak Karo mengenal istilah “kawin lari”, biasanya mereka
yang menikah untuk menghindari biaya tinggi, atau tidak disetujui
pernikahnya. Karena telah membuat malu keluarga si perempuan,
mereka harus menebus “kawin lari” itu dengan membawa kepala babi,
orang yang beragama Islam tidak mungkin melakukannya, karena
dalam Islam babi itu haram, apalagi untuk dijadikan semacam
“seserahan”. Namun, adat tersebut tetap dijalankan tetapi disesuaikan
dengan ajaran Islam, kapala babi kemudian diganti dengan ikan mas.18
Di Sumatera Selatan, kawin lari disebut “Sibambangan”, pelarian
tersebut bukan membebaskan mereka untuk bisa tinggal satu rumah
sebelum menikah, karena itu tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi
dalam prakteknya pihak laki-laki membawa si perempuan ini ke
rumah „tetua‟ (yang dianggap tua) di daerahnya, seperti ke Ketua RT
atau RW.19
Dengan adanya teori ini, membuktikan bahwa hukum Islam itu
ada, dan berlaku pada masyarakat sudah sejak lama, hukum Islam itu
tidak keluar sebagai hukum adat, tetapi hukum Islam memang benar-
17
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, h. 33-34. 18
Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April
2017. 19
Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April
2017.
50
benar pure hukum Islam, bahkan hukum adat yang menyesuaikan diri
dengan hukum Islam.
c. Penelitian-penelitian Sajuti Thalib di Masyarakat
Kegiatan-kegiatan pembuktian dilakukan Sajuti Thalib sebagai
ketua Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) bersama dengan beberapa Fakultas Hukum di
Perguruan Tinggi dan laporan penelitian Direkorat Pembinaan
Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen
Kehakiman.
Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan gambaran tentang
cita-cita moral dan cita-cita batin, serta kesadaran hukum masyarakat
yang menginginkan untuk berhukum dengan hukum nasional
Indonesia, pada umumnya berkembang keinginan dan kesadaran batin
untuk orang Islam menaati hukum Islam.20
Maka dapat dihasilkan
pendapat bahwa; [1] Bagi orang Islam berlaku hukum Islam; [2] Hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum. cita-cita batin
dan moralnya; [3] Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak
bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.21
20
Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 69. 21
Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 71.
51
B. Implikasi Teori Receptio a Contrario dalam Perkembangan Hukum
Islam di Indonesia
1. Hubungan Teori Receptio a Contrario Terhadap Teori Sebelumnya
Teori Receptio a Contrario adalah bebeda dengan Teori Receptie
Exit. Penulis masih menemukan ada beberapa tulisan yang menyebutkan
bahwa teori Receptio a Contrario dan teori Receptie Exit adalah sama.
Ada juga yang mengatakan bahwa teori Receptio a Contrario adalah
teori Hazairin, ada juga yang menulis bahwa teori Receptio a Contrario
adalah teori Hazairin bersama-sama dengan muridnya Sajuti Thalib.
Padahal jika kita cermati, kedua teori tersebut tentu saja mempunyai
perbedaan dari makna dan pangkal pemikirannya, walaupun memang
tujuannya adalah sama yaitu sama-sama menentang teori Receptie
Snouck Hurgronje.
Perlu kita lihat dari segi penamaan, teori Receptie Exit dinisbahkan
kepada pencetus pemikirannya yaitu Prof. Hazairin yang bermakna
bahwa teori Receptie Snouck Hurgronje itu harus exit dari hukum yang
ada di Indonesia. Teori ini menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris
yaitu „exit‟, yang dalam bahasa Indonesia berarti „keluar‟, maka dapat
diartikan bahwa teori Receptie Snouck Hurgronje itu harus keluar dari
hukum yang ada di Indonesia, dan sudah tidak berlaku lagi karena
bertetangan dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (1) yang
52
menyebutkan bahwa: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa”.22
Hazairin sebenarnya tidak mengemukakan sebuah nama teori,
nama teori Receptie Exit itu berasal dari pemikirannya yang menyatakan
teori Receptie harus exit dari Indonesia, pemikirannya tersebut kemudian
dikenal orang-orang dengan nama teori Receptie Exit.23
Sedangkan Sajuti
Thalib menggunakan „label‟ untuk teori yang dicetuskannya dengan
nama teori Receptio a Contrario.24
Bahkan Sajuti Thalib sebagai murid
Hazairin tidak menyebutkan adanya nama teori Receptie Exit dalam
tulisannya yang berjudul “Teori Receptie in Complexu, Teori Receptie,
dan Teori Receptio a Contrario” dan “Receptio a Contrario: Hubungan
Hukum Adat dengan Hukum Islam”.
Sajuti Thalib dengan teori yang dikemukakannya teori Receptio a
Contrario mengembangkan apa yang dimaksud Hazairin dalam teori
Receptie Exit yang menentang teori receptie Snouck Hurgronje tersebut.
Ia lebih menjelaskan dan menguatkan pendapatnya bahwa hukum Islam
itu berlaku bagi orang Islam.25
22
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, h. 59 23
Arovah Windiani, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret
2017. Namun Hazairin dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional, menyinggung
sedikit nama teori tersebut dalam judul sub bab “Hukum Kewarisan Islam adalah Parental
Individual. Resepsi-teori exit”. Lihat Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta:
Tintamas, 1982) h. 35. 24
Arovah Windiani, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 Maret
2017. 25
Farida Prihatini, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April
2017
53
2. Pro-Kontra Teori Receptio a Contrario di Kalangan Ahli Hukum
Setelah Indonesia merdeka dan lahirnya Undang-undang Dasar
1945, muncullah perdebatan di kalangan ahli hukum apakah Indiche
Staatsregeling (I.S.) masih tetap berlaku di Indonesia atau tidak. Hazairin
adalah yang pertama kali menggebrak dan menentang teori Receptie
diikuti oleh muridnya Sajuti Thalib.
Teori Receptio A Contrario dan Teori Receptie Exit mempunyai
tujuan yang sama, yaitu sama-sama menentang teori Receptie dan
menganggap bahwa I.S. (Undang-undang Hindia Belanda) secara
otomatis telah terhapus dengan adanya Undang-undang Dasar 1945 dan
Pancasila sebagai dasar Negara, maka pihak-pihak yang tidak setuju atau
kontra terhadap argumen Hazairin dan Sajuti Thalib adalah sama.
Sajuti Thalib menyebutkan dalam bukunya Receptio A Contrario
itu bahwa ada pihak-pihak yang masih ingin mempertahankan I.S. pasal
134 ayat (2) yang mengandung teori Receptie itu. Mereka menganggap
bahwa peraturan itu (I.S.) masih tetap berlaku walaupun sudah ada
Undang-undang Dasar 1945,26
dengan alasan demi adanya kepastian
hukum maka peraturan tersebut harus tetap dipertahankan.27
Beberapa ahli hukum terutama yang hidup di perguruan tinggi
banyak mendukung Hazairin dan Sajuti Thalib untuk menentang teori
Receptie ini. Dan pendukung tersebut semakin bertambah hingga
26
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat,
h. 63. 27
Sajuti Thalib, Receptie in Complexu, Receptie, dan Receptio a Contrario, h. 18.
54
menghasilkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama,28
meskipun Undang-undang tersebut dinilai masih menyisakan
suatu masalah. 29
Menurut Ichtijanto dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 tersebut
masih mengandung teori Iblis, karena dimuat ketentuan bahwa pihak-
pihak yang berperkara boleh memilih untuk mengajukan perkara waris
ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Jika pihak yang
berperkara tersebut memilih berperkara di Pengadilan Negeri sudah pasti
hukum yang dipakai dalam memutuskan perkara adalah hukum adat,
dalam arti mengabaikan hukum kewarisan Islam yang ada, yang
diterapkan dalam pengambilan keputusan di Pengadilan Agama.30
Dalam
perkembangan selanjutnya, lahirlah Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1999, sejak saat itu hukum Islam mempunyai kedudukan
lebih besar dan tegas untuk berperan sebagai bahan baku dalam hukum
Nasional.31
28
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama kini telah diubah
dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 yang menyatakan bagi orang-orang yang
beragama Islam sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat, dan kewarisan. Ditambah lagi dengan
infaq, sodaqoh dan zakat. Implikasinya adalah dalam soal kewarisan umat Islam tidak
diperbolehkan lagi mengajukan perkaranya ke Pengadilan Umum. Lihat Kementrian
Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, 2012, h. 4. 29
Qadri Azizy, Hukum Nasional: Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum,
(Jakarta: Teraju, 2004), h. 193. 30
Ichtijanto, “Undang-Undang Nomor 7 Th 1989 Tentang Peradilan Agama
Masih Mengandung Teori Iblis” makalah pada Seminar Sepuluh Tahun Peradilan gama
diselenggarakan oleh kerjasama antara Fakultas Hukum UI dengan PPHIM Departemen
Agama, Jakarta, 1 Desember 1999, h. 2 dan 8. 31
Qadri Azizy, Hukum Nasional: Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, h.
202.
55
3. Peranan Teori Receptio A Contrario dalam Pembentukan Hukum
Nasional
Sebagai filosofi Negara, Pancasila mengandung nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, permusyawaratan,
keadilan sosial. Dengan adanya Pancasila ini tidak menjadikan Indonesia
sebagai Negara yang anti terhadap Tuhan dan bukan pula Negara yang
berdasarkan pada suatu agama. Banyak pendapat yang berbeda mengenai
kapan masuknya Islam ke Indonesia, membuktikan bahwa hukum Islam
telah lama berpengaruh terhadap hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan
yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia.32
Teori Receptio a Contrario Sajuti Thalib ini, mempunyai pengaruh
yang cukup besar bagi masyarakat. Teori ini membuktikan bahwa
sebenarnya dalam praktek kehidupan di masyarakat, hukum Islam itu
sudah diberlakukan, menentang pernyataan Snouck yang mengatakan
bahwa itu hukum Islam jika berlaku hanya dalam sebuah teori belaka,
namun prakteknya tidak. Teori ini semakin menguatkan bahwa
sebenarnya dalam kenyataan kehidupan masyarakat muslim, telah hidup
hukum Islam untuk mengatur kehidupan umatnya, baik untuk cara
menikah, cara membagikan harta waris, penyelenggaraan rumah
tangganya, dan lain-lain. Maka Negara berkewajiban untuk membuat
32
Abdul Karim Munthe, “Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil „Alamin”, makalah
disampaikan pada acara Masa Perkenalan calon Anggota HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum Cabang Ciputat, h.15.
56
peraturan yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang beragama
Islam tersebut.33
Adanya unifikasi hukum Nasional memang tidak akan bisa tercapai
dalam waktu yang singkat, ini memerlukan proses yang cukup panjang.
Untuk mencapai tahap itu dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak
khususnya para ahli hukum, pembuat undang-undang serta kesadaran
masyarakat. Dalam hal yang terakhir ini, pemikiran Sajuti Thalib tentang
teori Receptio a Contrario sangat berperan besar dalam menyadarkan
masyarakat Islam Indonesia dakam menjalankan hukum Islam. Secara
berangsur-angsur masyarakat dan para sarjana hukum yang mula-mula
melekat padanya alam pikiran hukum Belanda utamanya teori Receptie
menjadi sadar bahwa teori Receptie tersebut hanyalah politik hukum
Belanda yang dengan sengaja ingin menyingkirkan hukum Islam dan
menjalankan praktik kristenisasi di Indonesia, namun setelah Indonesia
merdeka Undang-undang Hindia Belanda telah secara otomatis terhapus
digantikan oleh Undang-undang Dasar tahun 1945 dan hukum Islam
harus diberlakukan secara penuh oleh masyarakat yang beragama Islam,
sedangkan pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
rakyat akan kewajibannya taat terhadap agama yang dianutnya.
Dan pada kenyataannya pemerintah dan para pemikir hukum Islam
mengabulkan keinginan masyarakat tersebut. Pada tahun 1974 lahir
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengandung
33
Farida Prihatini, Wawancara Pribadi, Jakarta, 7 April 2017
57
nilai-nilai ke-Islaman. Sajuti Thalib menyebut Undang-undang tersebut
adalah peraturan untuk bersama, karena selain berlaku terhadap orang
Islam tetapi juga berlaku untuk semua warga Negara Indonesia. Dalam
tahap ini, hukum Islam menyangkut hukum perkawinan sudah menjadi
hukum nasional, yang menurut Sajuti merupakan sistem yang terbaik.34
Dalam perkembangannya setelah Undang-undang Perkawinan
tersebut menyusul juga lahirnya peraturan perundang-undangan lainnya
yang mengandung nilai-nilai hukum Islam, bahkan undang-undang yang
khusus diperuntukan bagi orang-orang Islam seperti Undang-undang
tentang Zakat, Undang-undang tentang wakaf, Undang-undang tentang
haji dan lain sebagainya. Bahkan lahir pula Kompilasi Hukum Islam
tahun 1991 yang mana Sajuti Thalib termasuk sebagai tim perumus
dalam bidang kewarisan.35
C. Studi Kritis Terhadap Pemikiran Sajuti Thalib
1. Relasi Hukum Islam dan hukum Adat
Dalam bahasa orang Islam di Indonesia, kata “adat” yang
diturunkan dari bahasa Arab („âdah), adalah kata yang umum digunakan
untuk menunjukkan suatu adat-istiadat, kebiasaan atau praktek-praktek
yang terjadi di masyarakat.36
Sementara hukum adat adalah hukum yang
34
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru, h. 67 35
Sidang Komisi KHI dari www.indolaw.de/Texte/komisi-sidang-KHI. Diakses
pada 30 Maret 2017 36
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
(Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1998), h. 27
58
dijumpai dalam adat sebagai bagian kelengkapannya.37
Antara hukum
Islam dan hukum adat sengaja dipisahkan dan dipertentangkan oleh
politik hukum kolonial Belanda, yang kemudian melahirkan gejolak-
gejolak perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah, demikian pula
dalam ranah hukum, utamanya yang berkaitan dengan hukum Islam.
Teori Receptio A Contrario hasil buah pemikiran Sajuti Thalib ini,
ternyata sejalan dengan konsep „urf dalam ilmu ushul fiqh. Kaidah
tersebut berbunyi:
العادة هحكوت Artinya: “Adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hukum”
Sebagaimana dijelaskan Abdul Wahab Khallaf, „urf disebut juga
sebagai adat,38
adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan
telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan. „Urf yang diperbolehkan untuk dipakai adalah yang tidak
bertentangan dengan syari‟at.39
Hukum adat telah digunakan pada zaman Nabi, sahabat dan tabi‟in.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai
37
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 42 38
Meskipun secara bahasa artinya berbeda, kata „adah secara bahasa berarti
kebiasaan, adat, atau praktek. Sedangkan kata „urf berarti sesuatu yang telah diketahui.
Namun para fuqâha‟ memahami bahwa kedua kata tersebut tidaklah berlainan. Sehingga
„urf disebut juga sebagai adat. Lihat Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan
Adat di Indonesia, h. 5 39
„Urf terdiri dari dua macam yaitu „urf shahih dan „urf fasid. Urf shahih adalah
sesuatu yang saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟,
tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula membatalkan sesuatu yang
wajib. Sedangkan „urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia
tetapi bertentangan dengan syara‟, atau mengahalalkan sesuatu yang diharamkan dan
membatalkan sesuatu yang wajib. Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 123-124
59
hukum berdasarkan perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟I ketika turun ke
Mesir merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika
ia berada di Baghdad, itu terjadi karena perbedaan „urf di masing-masing
tempat tersebut, maka ia mempunyai dua mazhab yaitu mazhab lama
(qaul qadim) dan mazhab baru (qaul jadid). Maka sepanjang adat itu
tidak bertentangan dengan syara‟, wajib diperhatikan dalam
pembentukan hukum, termasuk para hakim dalam peradilannya.40
Kaidah Al-„Adatu Muhakkamah mengandung arti bahwa Adat
merupakan syari‟at yang dikukuhkan sebagai hukum. Dalam konsep urf,
adat hanya diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.41
Pemikiran Sajuti Thalib ini banyak dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan agamanya yaitu Kuliyatul Muballighin Muhammadiyah atau
dikenal juga dengan sebutan Madrasah Thawalib Padang Panjang. Yang
mana dalam studi yang diterapkan di sekolah tersebut sangat terpengaruh
oleh Islam. Ia juga banyak membaca kitab-kitab fiqih dan ushul fiqh
terkenal yaitu As-sulâm, Al-bayân, dan Mabadi Awaliah (pengkajian
permulaan dari fiqih dan ushul fiqh). Pemikiran-pemikiran buku tersebut
terlihat membentuk pola pemikiran Sajuti Thalib dalam menemukan dan
mengemukakan rumusan teori Receptio A Contrario. Kaidah-kaidah itu
antara lain: [1] Pada prinsipnya perintah Tuhan dan Rasul itu wajib; [2]
Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan dikerjakan (haram); [3]
40
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, h. 123-124 41
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, h.124
60
Adat kebiasaan („urf) dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan
dengan Islam.42
Pemikiran Sajuti Thalib ini ternyata tidak hanya sejalan dengan
kaidah-kaidah ushul fiqh dalam konsep „urf saja, namun juga dengan
konsep maslahah mursalah. Karena sebenarnya „urf tidaklah berdiri
sendiri, melainkan termasuk dari memelihara mashlahah mursalah, yang
dalam pengertiannya yaitu suatu kemaslahatan dimana syara‟ tidak
merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya. Dalam pengertian tersebut
berkmakna bahwasanya pembentukan hukum tidaklah dimaksudkan
kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak. Artinya hukum
itu dapat mendatangkan keuntungan bagi mereka, atau menolak
mudharat, atau menghilangkan keberatan bagi mereka. Jumhur ulama
berpendapat bahwa maslahah mursalah adalah hujjah syar‟iyyah yang
dijadikan dasar pembentukan hukum dan bahwasanya kejadian yang
tidak ada hukumnya dalam sumber hukum yang lain (nash atau ijma atau
qiyas atau istihsan) disyari‟atkan padanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Adapun syarat berhujjah atau menggunakan
maslahah mursalah diantaranya: [1] Ia haruslah merupakan
kemaslahatan yang hakiki, dan bukan suatu yang bersifat dugaan saja; [2]
Bahwa ia adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi;
[3] Pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak
42
Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Hukum Islam di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 85
61
bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash
atau ijma‟. 43
Jika diperhatikan mengutamakan kemaslahatan umum adalah
sesuai dengan kepribadian Sajuti Thalib yang sangat peduli dan suka
menolong orang lain, ia selalu mengutamakan kepentingan orang lain
daripada kepentingan dirinya sendiri.44
Dalam melihat sebuah teori, kita bisa melihat kepribadian dari
tokoh pencetus atau yang dinisbahkan kepadanya. Hazairin mempunyai
sikap yang keras,45
maka dia dengan lantang menyatakan bahwa teorinya
Snouck Hurgronje itu teori Iblis, karena Iblis itu mempunyai sifatnya
takabbur,46
ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa yang sebenarnya
berlaku di Indonesia ini adalah hukum Islam. Tetapi tidak dengan Sajuti
Thalib yang memiliki sifat lembut, maka dalam menanggapi teorinya
Snouck Hurgronje, ia memang menentang teori receptie tersebut tetapi
dengan menggunakan sebuah istilah lain yang lebih wise, yang pada
43
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 116-120. 44
Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta 15 maret 2017. 45
Diceritakan oleh sahabatnya Mr. S. M. Amin dalam tulisannya “Mengenang
Almarhum Prof. Mr. Dr. Hazairin” Hazairin muda sudah menunjukkan sifat keras dan
tidak dapat diperlakukan sesuka hati oleh orang lain, dalam masa ontgroening atau
perploncoan sering ia protes, tidak segan menolak dengan keras apa yang diperintahkan
oleh mahasiswa senior, bila perlu dengan mengepalkan tinju. Sifatnya ini membuat ia
menonjol dan menarik perhatian orang lain. Lihat Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia In Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin, (Jakarta: UI Press, 1976), h. 95 46
Takabbur adalah bahasa Arab yang artinya sombong, sebagaimana kisah iblis
tidak mau sujud kepada Adam a.s. karena merasa dirinya lebih baik daripada manusia.
62
hakikatnya menunjukkan bahwa teori yang dikemukakan oleh Snouck itu
berbanding terbalik dengan fakta di masyarakat.47
2. Hukum Kewarisan Adat dan Hukum Kewarisan Islam
1. Hukum Kewarisan Adat
Di berbagai daerah di Indonesia masih banyak yang menggunakan
pembagian harta peninggalan (waris) menurut kebiasaan (hukum adat)
di daerah tersebut, dan pembagiannya mempunyai sebuah patokan
atau ukuran tertentu, tetapi dalam prakteknya di masyarakat
pembagian harta waris tersebut tidak mengikuti secara mutlak hukum
adat tersebut tetapi dibagi menurut kebutuhan yang diperlukan oleh
ahli waris yang bersangkutan.48
Pembagian harta waris di satu daerah dengan daerah lainnya
memang berbeda-beda satu sama lain, namun dalam hal ini Sajuti
Thalib melihat ada satu asas yang menonjol pada pembagian waris
menurut adat tersebut yaitu asas manfaat atau asas kemanfaatan. Asas
itu dapat dilihat dalam beberapa segi, diantaranya dalam segi
perolehan jumlah setiap ahli waris dan saat penyerahan bagian
warisan.49
Pada dasarnya setiap ahli waris mendapat bagian
warisannya masing-masing. Tetapi dalam prakteknya, asas
kemanfaatan lebih diutamakan daripada jumlah bagian warisan yang
47
Arovah Windiani, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 15 Maret
2017. 48
Sajuti Thalib, Lima Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.
11 49
Sajuti Thalib, Lima Serangkai Tentang Hukum, h. 12-13.
63
telah ditetapkan tersebut. Hal demikian dilakukan untuk menghindari
kekakuan dalam jumlah perolehan masing-masing ahli waris.
Kemudian dengan adanya penyerahan harta yang disengajakan
sebelum si pewaris meninggal dunia, harta tersebut dipersamakan
dengan harta warisan, tanpa menunggu si pewaris meninggal dunia
terlebih dahulu. Hal ini disesuaikan apabila pemindahan harta sangat
perlu dan sangat bermanfaat bagi generasi penerusnya. Sajuti Thalib
dalam hal ini melihat adanya asas kemanfaatan yang ditonjolkan,
karena bentuk penyerahan harta tersebut sudah sesuai dengan
pengertian kewarisan dalam hukum adat yang intinya adalah
pemindahan harta kekayaan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya.
2. Hukum Kewarisan Islam.
Dalam pengamatan Sajuti Thalib, hukum kewarisan Islam telah
berlaku penuh bagi umat Islam Indonesia terhadap harta kekayaan
yang diperolehnya. Demikian pula hukum kewarisan Islam menganut
asas kemanfaatan, bersamaan dengan asas kepastian hukum dan asas
keadilan yang menempati tempat yang kokoh menurut sistem Islam.
Asas manfaat atau asas kemanfaatan yang dimaksud oleh Sajuti
Thalib dalam hal hukum kewarisan itu disebutkannya sesuai dengan
Asas paling utama dari enam asas yang tercantum dalam Asas-asas
64
umum Hukum Nasional Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),
yang termuat dalam ketetapan MPR no. IV/MPR/1978.50
Dalam hukum kewarisan Islam, Sajuti Thalib sangat banyak
menyandarkan pengetahuannya itu dengan ajaran kewarisan bilateral
Hazairin, sebagaimana diakuinya dalam pendahuluan bukunya
berjudul Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.51
Selain ajaran
bilateral Hazairin, ia juga banyak menjelaskan ajaran patrilinial
Syafi‟i. Sehingga dapat dikatakan dalam bukunya itu ia
membandingkan antara kedua ajaran tersebut. Namun ia memiliki
pandangan tersendiri bahwa hukum kewarisan adat dan hukum
kewarisan Islam sama-sama menonjolkan adanya asas manfaat dalam
pelaksanaannya.
Asas manfaat, asas kepastian hukum dan asas keadilan merupakan
tiga asas bidang keadilan dalam hukum Islam. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Idris Ramulyo, sebagai berikut:52
a. Azas keadilan, dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surah An-Nisa ayat
135:
الذيي ال فسكن أ عل أ ل ذاء لل اهيي بالقسط ش ا ق ا ك ا الزيي اه يأي
إى تلا ا أى تعذل وا فلا تتبعا ال ل ب أ فقيشا فالل الأقشبيي إى يكي غيا أ
ى خبيشا كاى بوا تعول ا فإى الل تعشض أ
50
Sajuti Thalib, Lima Serangkai Tentang Hukum, h.24. 51
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara,
1982), h. 1. 52
Disampaikan oleh Sajuti Thalib Pada Mata Kuliah Hukum Kekeluargaan,
Perorangan FH UI Semester Ganjil 1982/1983. Lihat Idris Ramulyo, Bunga Rampai
Hukum Kekeluargaan & Perorangan dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
(Jakarta: Lesbi, 1982), h. 19-21.
65
Artinya “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”
Dan Surah Al-Maidah ayat 8:
ألا يأيها الزيي ءاهىا كىىا قىهيي للـه شهذآء تالقسط ولا يجشهكن شـاى قىم عل
تعذلىا اعذلىا هى أقشب للتقىي واتقىا اللـه إى اللـه خثيش توا تعولىى
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maham Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa keadilan itu
adalah prinsip bagi setiap orang, maka meskipun ada tekanan dari
manapun keadilan harus terus ditegakkan.
b. Azas kepastian hukum, dapat dilihat dalam hadist:
ا ا هي يكلن في هيت التي سشقت فقال ن شأى الوشاة الوخز و عي عائشت اى قشيشا ا ل الله ص؟ فكلو الا اساهت حب سس هي يجتشئ علي ا: ل الله ص؟ فقال سس
ا د الله؟ ثن قام فاختطب فقال: اي ل الله ص: اتشفع في حذ هي حذ اساهت. فقال سس ارا سش ، ن الششيف تشك في ا ارا سش ن كا لك الزيي قبلكن ا الاس، اوا ات هحوذ سشقت لقطعت اى فاطوت ب اين الله، ل الحذ. ا علي ن الضعيف اقاه في
ا يذArtinya: “Dari „Aisyah, ia berkata: Sesungguhnya orang=orang
Quraisy disibukkan oleh kejadian seorang wanita Makhzumiyah
yang mencuri. Mereka berkata, “siapa yang berani
menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah Saw. (agar
mendapat keringanan hukuman)”. Lalu diantara mereka ada
yang berkata, “siapa lagi yang berani menyampaikan hal itu
kepada beliau kecuali Usamah kecintaan Rasulullah Saw?”.
Lalu Usamah menyampaikan hal itu kepada beliau. Maka
Rasulullah bersabda kepada Usamah, “Apakah kamu akan
66
membela orang yang melanggar hukum dari hukum-hukum
Allah?” kemudian beliau berdiri dan berkhutbah. Beliau
bersabda, “Hai para manusia, sesungguhnya yang menyebabkan
hancurnya orang-orang sebelum kalian bahwasanya mereka itu
apabila terhormat di kalangan mereka yang mencuri, mereka
membiarkannya, tetapi jika orang lemah diantara mereka yang
mencuri, mereka menghukumnya, Demi Allah, seandainya
fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya”
(H.R. Muslim)
Hukum qishash, dalam surah Al-Baqarah ayat 178:
يأيها ٱلزيي ءاهىا كتة عليكن ٱلقصاص ف ٱلقتل ٱلحش تٲلحش وٱلعثذ تٲلعثذ وٱلأث
ء فٲتثاع تٲلوعشوف وأداء إليه تإحسي رلك تخفيف لهۥ هي أخيه ش تٲلأث فوي عف
هي ستكن وسحوة فوي ٱعتذي تعذ رلك فلهۥ عزاب ألين
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemafaan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayat (diyat) kepada yang member maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih”53
Qishash itu artinya seimbang, maka dikatakan bahwa “nyawa”
yang hilang harus diganti dengan “nyawa”. Namun keputusan yang
dinilai kejam bagi sebagian orang itu, bisa dihilangkan sama sekali
karena adanya azas memaafkan atau azas kemanfaatan yang timbul
karena mementingkan kemaslahatan umum.
3. Azas manfaat atau azas kemanfaatan.
Dalam hal terjadi pembunuhan, jika keluarga yang terbunuh
tersebut memaafkan maka perbuatan tersebut dimaafkan pula, mengapa?
Karena demi kemaslahatan umum. Maksudnya adalah nyawa yang hilang
53
Idris Ramulyo, Bunga Rampai Hukum Kekeluargaan & Perorangan dan
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Lesbi, 1982), h. 19-20.
67
tadi jangan diganti dengan menghilangkan nyawa lagi, dengan perkataan
lain: ”jangan sampai timbul bunuh membunuh”. Karena Allah telah
menjelaskan dalam ayat tersebut untuk memunculkan kemaslahatan
umum, yaitu dengan cara lain yang disebut diyat (ganti rugi).
Azas memaafkan timbul karena menjamin kemaslahatan umum
tapi harus diberi manfaat. Seumpama si terbunuh mempunyai anak dan
istri, maka anak dan istri tersebut dapat memanfaatkan diyat untuk
memenuhi kehidupannya setelah ditinggal suaminya yang merupakan
tulang punggung keluarga. Kemudian setelah memaafkan, terhapus atau
tidaknya tuntutan tergantung pada diyat. Umpamanya bisa saja bagi si
pembunuh, diyatnya itu dengan hukuman seumur hidup.54
Dalam hal ini,
kembali ditemukan pemikiran Sajuti Thalib yang menggunakan
pendekatan metode ushul fiqh yaitu maslahah mursalah.
4. Hukum Perkawinan Islam
Definisi tentang perkawinan yang dikemukakan oleh berbagai ahli
hukum sangatlah beragam. Adapun dengan beragamnya definisi tersebut
bukanlah untuk memperbandingkan satu sama lain tetapi hanya untuk
memudahkan pengertian yang dimaksud oleh perkawinan itu sendiri.
Perkawinan menurut Mahmud Yunus adalah hubungan seksual,
beliau mendasarkan pendapatnya kepada hadist yang berbunyi “dikutuki
Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani)”. (H.R. Abu
54
Idris Ramulyo, Bunga Rampai Hukum Kekeluargaan & Perorangan dan
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, h. 20-21
68
Daud).55
Menurut Hazairin dalam buku Hukum Kekeluargaan Nasional
inti perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada
perkawinan bila tidak ada hubungan seksual, jika tidak ada hubungan
seksual antara suami istri maka tidak perlu ada iddah bagi istri tersebut
untuk menikah dengan laki-laki lain.56
Sedangkan menurut Sajuti Thalib, Perkawinan ialah suatu perjanjian
yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara syah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal,
santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.57
Nampaknya
Sajuti Thalib menyandarkan pengertiannya tentang perkawinan dari
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal (1) yang
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.58
Sajuti Thalib juga melihat pada pembahasan tentang iila‟,
menurutnya iila‟ yang ada di tanah Arab biasanya terjadi dalam balas
dendam keluarga, atau peneguhan niat untuk mencapai suatu tujuan.
Orang-orang Arab dahulu sering bersumpah tidak akan mencampuri
55
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hillco, 1985) h. 2 56
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1961) h.61 57
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), h. 47 58
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 2
69
istrinya kalau dendamnya belum terbalas. 59
Di Indonesia iila‟ sering
terjadi di desa-desa, sedangkan di kota-kota tidak begitu diperhatikan.
Maka jika iila‟ itu terjadi ia harus menunggu selama empat bulan untuk
berfikir; Apakah menjatuhkan talaq atau cerai, atau berbaikan dengan
istrinya dengan membayar kaffarat (denda sumpah) menurut ketentuan
dalam Al-Qur‟an. Dalam hal ini Sajuti hanya melihat ketentuan dari Al-
Qur‟an tanpa menjelaskan mekanismenya yang menurut mazhab Syafi‟i
talaq dalam permasalahan iila‟ tidak bisa dengan sendirinya terjadi, tetapi
harus melalui prosedur penjatuhan talaq melalui Pengadilan Agama. 60
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia tidak terlepas dari adanya adat
istiadat dari berbagai daerah. Biasanya ketentuan adat mengatur prosesi
dalam perkawinan, seperti mandi tujuh bunga, midodaremi, bleketepe dan
sebagainya.61
Menurut Sajuti Thalib adat tersebut boleh saja dilakukan tapi
dengan suatu ukuran, tolak ukurnya adalah hukum Islam. Apabila adat itu
bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak boleh dilaksanakan upacara
adat tersebut, tetapi harus diperbaiki dan diubah sehingga sesuai dan tidak
menyalahi ketentuan agama Islam.62
59
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 111. 60
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 112. 61
Arovah Windiani, Murid Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, Jakarta, 15 Maret
2017. 62
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat,
h. 54.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sajuti Thalib adalah salah satu tokoh pemikir hukum Islam di
Indonesia, khususnya dalam pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia. Ia
bukan hanya memiliki kemampuan dalam hukum Islam tapi juga dalam
hal yang berkaitan dengannya yaitu hukum Agraria atau Tanah dan juga
hukum Pertambangan.
Latar belakang pemikiran tentang teorinya Receptio a Contrario
adalah berasal dari penglihatannya bahwa di dalam masyarakat itu telah
hidup dan berlaku hukum Islam tanpa melalui hukum adat dan tanpa
bantuan hukum lain. Ia menguatkan teorinya dengan mengadakan
penelitian-penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa masyarakat
menginginkan hukum Islam berlaku untuk mengatur segala tentang
kehidupannya.
Teorinya ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Melalui teori ini ia
menyadarkan orang-orang bahwa hukum Islam harus diberlakukan untuk
orang Indonsia yang beragama Islam. Hukum Islam dapat diterapkan
dalam peraturan perundang-undangan dan dapat diberlakukan untuk
kehidupan bermasyarakat tanpa ada yang mengahalanginya lagi. Dan
menjadikan hukum Islam sebagai bahan baku paling utama dalam
pembangunan hukum Nasional, terlihat pada saat in+i sudah banyak
71
peraturan perundang-undangan yang mengandung nilai-nilai hukum Islam
bahkan khusus untuk orang Islam, seperti undang-undang tentang zakat,
undang-undang tentang wakaf, undang-undang tentang haji, dan lain-lain.
Kewenangan Peradilan Agama saat ini juga sudah mencakup hukum waris,
yang dahulu menjadi kewenangan Peradilan Negeri, bahkan ditambah
dengan kewenangan terkait perkara ekonomi syariah.
Pemikirannya ini berdasarkan dari sisi kepribadiannya yang
mempunyai sifat lembut, suka menolong dan bijaksana dalam menanggapi
segala persoalan. Sehingga banyak orang yang menghormatinya dan
mendukung pemikirannya tersebut. Ia memiliki corak pemikiran
sosiologis-agamis, dalam pemikirannya tentang teori Receptio a Contrario
ia mendasarkan pada pengetahuannya pada ilmu ushul fiqh yaitu konsep
‘urf yaitu adat dapat digunkana sebagai hukum namun hanya adat yang
shahih atau yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang dapat
dipakai. Dalam menanggapi berbagai persoalan ia selalu mengutamakan
kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri (sesuai dengan maslahah
mursalah) dan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist.
B. Saran-Saran
Dalam rangka mereaktualisasikan hukum Islam, sudah sepatutnya
hukum Islam diutamakan dalam kehidupan seorang muslim. Karena
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia sudah menjamin
kebebasan beragama dan melakukan perintah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. hukum Islam tidaklah dinomorduakan atau bahkan
72
disingkirkan sama sekali karena para pejuang-pejuang Islamlah yang
berada di barisan terdepan dalam membela Negara untuk melawan
penjajah.
Akhirnya, tidak ada mawar yang tidak berduri, tak ada gading yang
tak retak, dan tidak ada manusia tidak memiliki kesalahan. Penelitian
kskripsi ini disadari oleh penulis banyak kekurangan, kritik dan saran dari
pembaca sangat diperlukan untuk memperbaiki penulisan ini. Karena
setiap kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa yang harus
diperbaiki dan bersemangat untuk terus jadi lebih baik.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Djaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Azizy, Qodri. Hukum Nasional: Elektisisme Hukum Islam & Hukum Umum,
Jakarta. Teraju, 2004.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama. Kenang-
kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta. 1982.
Djatnika, Rachmat Ed. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan, cet I. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1991.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Buku Panduan Akademik.
Jakarta, 2016.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni, 1981.
Halim, Abdul. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia: Dari
Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, cet II.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
_____, Relasi Politik Islam dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.
Iqbal, Muhammad. Hukum Islam Indonesia Modern, Dinamika Pemikiran dari
Fiqh Klasik ke Fiqih Indonesia. Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009.
Ka’bah, Rifyal. Peradilan Islam Kontemporer. Jakarta: Universitas Yarsi, 2009.
74
Karim, Abdul. Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi
Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI), Yogyakara:
Sumbangsih Press Yogyakarta, 2005.
Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, 2012.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh cet.1. Penerjemah Moh Zuhri dan
Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta:
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1998.
Mahadi, Uraian Singkat Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854. Bandung: PT.
Alumni, 1987.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari Aspek
Metodologis, Legilasi dan Yurisprudensi. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Moeleong, Lexy. Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 1995.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S,
1996.
Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. 2. Bandung: Alumni, 1986.
Raija dan Iqbal Taufik. Dinamika Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish, 2016.
75
Ramulyo, Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco, 1986.
______, Bunga Rampai Hukum Kekeluargaan & Perorangan dan Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama. Jakarta: Lesbi, 1982.
Rosyadi, Rahmat dan Rais Ahmad. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif
Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Salma, R. Otje. Ikhtisar Filsafat Hukum. Bandung: Armico, 1987.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Sopyan, Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.
Subekti, Law in Indonesia, Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and
International Studies, 1982.
Sufyan, Fikrul Hanif. Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-
1985. Yogyakarta: Deepublish, 2014.
Suma, Amin. Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia.
t.d.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial
Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Sunny, Ismail, dkk. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memorian Prof.
Mr. Dr. Hazairin. Jakarta, UI Press, 1976.
Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
76
Thalib, Sajuti. Receptio A Contrario Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam, cet IV. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
______, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta,
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.
______, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1/1974 dan
Lampiran U.U. Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan. Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1975.
______, Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara, 1981.
______, Perjalanan Haji (Tahun 1396 H./1975 M.), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
______, Azas Pancasila Bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Jakarta Korp
Immawati Komisariat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1987.
______, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Jakarta:
Bina Aksara, 1983.
______, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1974.
______, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika,1981.
______, Lima Serangkai Tentang Hukum (Hubungan antara Hukum Islam dengan
Hukum Tanah, Hukum Kewarisan dan Hukum Pidana). Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1983.
77
______, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987.
______, Politik Hukum Baru: Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Penerbit
Badan Pembinaan Hukum Nasional ,1986.
______, Receptio in Complexu, Theorie Receptie, dan Receptio a Contrario.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976.
Tim Liputan Khusus Daud Beureuh (Tempo, 18-24 Agustus 2003). Daud Beureuh
Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak. Jakarta, Tempo, 2011.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Suatu
Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum
Selama Satu Setengah Abad di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995.
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Tentang
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Zubir, A. Bidawi. Meniti di atas Buih: Sebuah Otobiografi Drs. H. A. Bidawi
Zubir. Cet. I. Jakarta: Permadani, 2009.
Artikel dan Makalah:
“Sidang Komisi KHI” Artikel diakses pada 30 Maret 2017 dari
www.indolaw.de/Texte/komisi-sidang-KHI.
78
Abdul Karim Munthe, Islam Sebagai Agama Rahmatan lil’alamin, Makalah
Disampaikan Pada Acara Masa Perkenalan Calon Anggota HMI
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Cabang Ciputat, Tanggal 28
Maret 2015 di Ciputat, Tangerang Selatan.
Ali, Mahrus. “Akomodasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura Mengenai
Penyelesaian Corak dalam Hukum Pidana”, Jurnal Hukum No.1 Vol. 17
Januari 2010.
Hizbul Wathan Kota Yogyakarta. “Tingkatan Pandu dan Seragam dalam Hizbul
Wathan”. Artikel diakses pada tanggal 1 April 2017 dari
hwjogja.blogspot.co.id/2010/02/tingkatan-pandu-seragamnya.html?m=1.
Ichtijanto, Undang-Undang Nomor 7 TH 1989 Tentang Peradilan Agama Masih
Mengandung Teori Iblis. Makalah Disampaikan Pada Seminar Sepuluh
Tahun Pengadilan Agama, 1 Desember 1999. Jakarta: Kerjasama Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dengan PPHIM Departemen Agama, 1999.
Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. “Kebangkitan HW dan
Sejarah Kepanduan di Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal 1 April
2017 dari hizbulwathan.or.id/kebangkitan-hw-dan-sejarah-kepanduan-di-
indonesia/.
Thalib, Sajuti, “Analisis Yurisprudensi: Tentang Kewarisan”. Mimbar Hukum No.
4 Thn. II 1991.
Wikipedia. “Bintang Gerilya”. Artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2017 dari
https:// id.m.wikipedia.org/wiki/Bintang_Gerilya_.
79
Wikipedia. “Daftar Tanda Kehormatan di Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal
31 Maret 2017 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_tanda_kehormatan_di_Indonesia
Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Arovah Windiana, Murid dan Asisten Sajuti Thalib di
UMJ. Jakarta. 15 Maret 2017.
Wawancara Pribadi dengan Sukri Sayuti, Anak Sajuti Thalib. Jakarta. 25 Maret
2017.
Wawancara Pribadi dengan Supriaty, Menantu Sajuti Thalib (Istri Sukri Sayuti).
Jakarta. 25 Maret 2017.
Wawancara Pribadi dengan Farida Prihatini, Murid dan Asisten Sajuti Thalib di
UI. Jakarta. 7 April 2017.
Jl. Ir. tI. Jrranda No. 95 Ciputat T'airgerang Seiatan
KEl\:$&iruEE]ruANAGAMA i
Ll i\tHvERS{ThS ISLAM NIE,GER.I (Ut}d).S VAruF' TIIDAYATULLAH JAKAR-TA \'
FAKUI-.TAS SY;\RTAH DAF{ HUKUM_ Telp. (027) 74'711537
Website : wrvw. uinj kt. ac.id, Email : humas.l's h(€D uinj kt. a c.i d
j -*s&',j"' ii ffi ffi&rTfilt. i
i ttu#Hffi ffi IL*-^---_,
".,-...."-
Nomor :rJn.OliF4/pp.0O.g / b\1,r zotzI-arnp : i (satu) Berkas ProposalFIHai : I\,Iohon Kesediaan men'iadi Peinbimbing Skripsi
Yang Terhormat,Dr. H. Abdul Halinr, M.AgDosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakaita
As snl at nuolaiku n w arnhtn ntu]lalt u ab ar qkatuh
Tembusan:
Disampaikan dengan hormat kepada:l. Kasubag Akademik & Kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum2. Sekretaris Program Studi Flukum Keluarga3. Arsip
Jakarta, 22 Februari 2017 ]vI
25 ]umadil ;\wal 1438
Piurpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharaokar-rkesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasisu,a:Nama : Annisa MutiaraNIN4 : 11130a4000024
Prodi : Flukum Keluarga (Ahrval S1'akirshiyvah)
iuclul Skripsi : P emikiran s ajuti rlmlih : Teori Receptio A Contrnrio
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adaiah sebagai berikui:l. Tcpik baha,san dan out lln e dimana perlu dapat diadakan pembal-ran clan peny,empumaarl2. Teknik penulisan slrpaya merujuk kepada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakrrltas
Svariah dan Hr-rkum tJ{N Si arif I-Iidayatullah lakarta"
Denrikianlah atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih.
Wgs s nlanrusl sikum w ar cthmatull ahi w ab ar akstult
m Keluarga
,H.A{dul Halir}r, M.AgNIP. 19670608 199403 1 005
li l'I { I
-. ,",l-,i ii YJ;F,l.lr t'i -.:i.,.:; rt,ji,i,.,,r.-&.'..1 ir,:,G,:J Fi. i ' .l'-
lln/AR{-fu- HI$AY.A'I ULLA*{ "iAli..ir.t i- r,
P7I6[TLTAS SYARIAH DAN HU]KUlvl
,lin. 1r, ii. ..luanda i(o. 95 CipLriat.lakarta 15412, lndonesiaTelp. (62-21) 747 11537,l'.t01$;ls il,x^ (62-21)7491821Website :'.wvw.u injkt.ac. itj ;-m,il : :;'.' [email protected]
Nr:n'lor
Larnpiran
Hal
Uitl.01/FzXiKM.01.03/ 12Q17
Permohonan Data/Wawancara
iakarta,'; t ltiarel 2017
l(epada'/th. Dr. Aropah Windiani, S.H., M.H.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
di
Tem pat
Assalammu'alaikum. Wr. Wb.
Dekan i:akultas Syariah clan Hukum UIN Syarif Hidayatullah lakartamenerangkan bahwa :
NamaTempat/TanggalNIMSemesterProgram StudiAiamat
Telp/Hp
adalah benar YangUIN Syarif Hidayatullah
: Annisa Mutiara: Tangerang / 14 Oktober 1995
1113044000024:$: Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah): Jl:Gelatik 3 N0.105 Rt.01 Rw.03 Kel. Sawah Kec. Ciputat
Kab. Tangerang Selatan: 083879130005
bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan HukumJakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
Pemikiran Sajuti Thalib: Receptlo A Contrario
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersang[utan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsidimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wassal a m u' al ai ku m, Wr.Wb.
Ternbusan :
'1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Kaprodiisekprodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah)
agiair Tata Usaha
Guruh, M.Pd,198710 1 001
E*:Eir#{+Erli[.:.I
Telp. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. (62-21) 7491821Website : www. u injkt.ac. id E-mail : [email protected]
Ntlillr.)1'
l-llrpiriiiiFial
: Ui'J.O1 ,/ ll4,/ K\'f. 0l.03ll07ll2Al7:-'. Perniohotuut Dtttu. tlun ll'atuuttcor{l
Nama"l'empat/ Tanggal lahirNIMSernesterProgram StudiAlamat
No.Flp
Jakar1a. 22 r\,laret 20 1 7
Annisa MutiaraTangerangi 1-1 Oktober 1995
1 i 1 30440000248 (Delapan)Hukum kelr-Larga
J1. Gelatik IIi No. 105 Rt.01 Rrv.0l Ciputat-Tangerang Selatan:083878130005
Kepada Yth.Keluarga (Alm) H. Sajuti Thalib, S.H.di-
Tempat
As s alamu' alaik um, Wr. li/b.
l)ekan Fakultas Syariah dan Flukum UIN Syarif Hidavatullah Jakarla, tnenerangkan
bahrva :
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah darr Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sedang menyelesaikan Skripsi dengan Topik / Judul :
"Pemikiran Sajuti Thalib: Receptio A Contrario"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak / Ibu dapat menerima
yang bersangkutan untuk waavancara serta memperoleh data guna penulisan proposal skripsi dan
penulisan skripsi dimaskud.
Demikian surat permohonan ini,disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami
i Ntp. t962o4og 1987101001
Tembusan:
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Flidayatullah 'Takarta
. irr. lr, ir. iuenr.la ilc. 95 Ciputet Jali::rla 154 lll, lndcnesia
,il
t.;il i,',", i{,*r I t.n.irs v.\.R,iF' I [ ] fl ,4,.-\'- .
ItrA K.trI L.tr'r\ S 5 Y;\ il':.
.l-r :r.
, ,il ,,q. [ (.J I iqJ'
,l z\Kz\R'I'A"..,:'i HUKUNI
-,':ir. I 6?-2 1 ) 7 47 11 537, 7 4O1 925 F ax. \62-21 \ 7 491 821
i ,'ei;.rite : ',vww.uinjkt.ac.id E-mail : syar-hukuin@yahoo'comJin lr ll JLtarrCa No. 95 Ciputat,.lakaria 15412, lndonesia
i'JomorLarnpireutlial
: I.D"J.0l / F4 r KN'I. 0i .03i/0 ll2.l11:-'. Ptrmo!;ontn Dotu dun ll'iltrfi:tcilr(i
.iakarta. 22 N4aret 2017
Annisa iVlutiara
Tangerang/ 14 Oktober 1995
1 1 130440000248 (Delapan)I:lukum keluargaJl. Gelatik tII No. 105 Rt 0r Rr'v.03 Ciputat-
Tangerang Selatan:083878130005
Keparia Yth.tlapak Strkridi-
'1'ernpat
,,1:; s i r I aruu' a luik ttttt, Il'r. ll'b.
Delian Fakultas S,variah daii Hukum ulN Syarif Hrda-vahtullah Jakarla, menerangkan
bairlr,a :
l.iamaTempati Tanggal lahirNIN{SemesterProglan.r StudiAlamat
No.Hp
Adalah benar mahsiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sedang menyelesaikan Skripsi dengan Topik / Judul :
o'Pemikiran Sajuti Thalib: Receptio A Contrario"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak / Ibu dapat menerima
yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan proposal skripsi dan
penulisan skriPsi dimaskud.
Demikian surat permohonan ini disampaikan atas perhatian dan kerjasainanya kami
ucapkan terima kasih.
?l/us s a iamu' al aikum, Wr.Wb'
, Drs. Nkrchammad Guruh' i\lPtlI'NIP. 19620408 1987101 oo1
I ettthttsan :
i)i,lrrn F al<irltas Svariah clan }{ukun UIN Syarif i{idayahtullah Jakarta
E IIEtuEll t
_t
KTh[fr]NT-f,,R1AN AGAMAUNIVE,RSITAS ISI.AM SIEGERT (UIN)SYARTF HIDAYATULTAI{ JAKARTA
FAI(ULTAS SIARIAH DAN HUKU1VITel|. (021) 14711537
\Yebsite: www.uinjkt.ac.id, Email: humas.fsh(@rrinjkt'ac'id. Ir. i{. .Iuanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan
Nomor : UN.01 / F4 '/ KN{' 01'03i 120i7
Latnpirart : -
Fial '. Permohonan Data dsn'llutt'uncuru
Jakarta. 30 Maret 201?
Kepada Yth.Kepala Bagian Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Muhammtdiyah Jakartadi-
TemPat
As s a! a mu' a I aik u m, W r.W b.
DekanFakultasSyariahdanHukumUlNSyarifHidayatullahJakarta,menerangkanbah*'a :
NamaTempat/ "fanggal lahir
NINISemesterProgram Studi
Alamat
No.FIp
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukunr UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang sedang menyelesaikan Skripsi dengan Topik / Judul :
"Pemikiran Sajuti Thalib : Teori Reccptio A Contrario"
Llntuk melengkapi bahan penuiisan skripsi, dimohon kiranya Bapak / Ibu dapar
menerima yang bersangkutan untuk vrawancara seria memper6leh data guna penulisan
proposal skripsi dan penulisan skripsi dimaskud'
Demikian surat permohonan ini disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami
ucapkan terima kasih'
Lll as s a I a m u' a I a ik um, Wr' llt b'An. Dekan,
mad Guruh, MPd
Annisa Mutiaraf""g.r""gl 14 Oktober i9b51 I 13C44000024B (Delapan)Hukum KeluargaJl. Ceiatik III No.105 Rt.O1 Rw.03 Kel' Sawah
Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan
:083878130005
,Drs.1\I NIP. I
Tembusan :
DekanFakultasSyariahdanHukumUlNSyarifHidayatullahJakarta
08 1987101001
iil
-:.
-{ ,tt,i\"$H l}{"fl'E,st"{Aiq A GA iVtr,+.
}-i,."i ?.V }iii${TAS ISLAI\,fl NEGER"T {. L. $ h ;$'r,'i', "{F HIDAYATULLA}I JAKA RTA
i?AX<ULIAS SYARIAH DAN HUKUM
.Il. I r'. i-i. .l u rrntlr t'i o. 95 fliprrtat'lit ttgcrittt g Sr'l:rt :r tr \\'e b si te : rr"*v'rr. u i,r.i kt. ac. ia, E nr a i l,,r,r rl:,I]li$; llt,ftJ,::.:i
jrjor.nor
L.ampiranHal
Kepada Yth.tbu FaridaUniversitas Indonesiadi- .
Tempat
A s s alamu' alai kum. W7. Wb.
bahwa:
. UN.O1 / F4 i KM. {t1.031t't002017
.-'. Permohonsfl Data dan l{m+'ancara
.Takarta, 4 April 2017
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menerangkan
NamaTempaV Tanggal lahirNIMSemesterProgram StudiAlamat
No.Hp
: Annisa Mutiara: Tangerang/ 14 Oktober 1995:1113044004024: 8 (Delapan): Hukum Keluarga: Jl. Gelatik III No.105 Rt.O1 Rvr. 03 Kel. Sar,vah
Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan' :083878130005
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIli Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sedang menyelesaikan Skripsi dengan Topik I Judul :
'oPemikiran Sajuti Thalib : Teori Receptio A Contrario"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak / Ibu dapat menerima
yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan proposal skripsi dan
penuiisan skripsi dimaskud.
Demikian surat permohonan ini disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami
ucapkan terima kasih.
Was s alamu' alaikam, Wr. Wb.
Ternbusan.
Deka,: Fakultas Svariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ad Guruh,1987101001
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Dr. Arovah Windiani, S.H., M.H.
Jabatan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
Asisten (Alm) H. Sajuti Thalib, S.H. di UMJ
Tempat : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
Hari, tanggal : Rabu, 15 Maret 2017
Keterangan : P (Pewawancara) / N (Narasumber)
P : Sejak kapan Ibu menjadi asisten (Alm) pak Sajuti Thalib?
N : Sejak tahun 1984 sampai tahun 1991. Dulu beliau mengajar Hukum Waris, di
kelas saya yang lulus mata kuliah waris hanya dua orang, saya dan satu orang
teman saya. Ketika itu saya diminta beliau jadi asistennya untuk mata kuliah
Hukum Waris, padahal saya tidak suka mata kuliah itu. Namun pada akhirnya
saya jalani menjadi asisten beliau dan terus belajar. Saya sempat mau berhenti
menjadi asisten, karena pada waktu itu pernah terjadi kebocoran soal ujian,
tapi dengan sifat kebapakannya beliau terus menyemangati saya. Saya dulu
juga sempat mau tidak melanjutkan kuliah karena pada waktu itu ada
beberapa perubahan sistem kuliah, yang juga otomatis berhenti menjadi
asisten, tapi lagi-lagi beliau terus menyemangati saya untuk melanjutkan
kuliah dan menyelesaikan skripsi. Akhirnya saya dua hari selesai
mengerjakan skripsi, kemudian ujianlah saya, saya diuji oleh Pak Sajuti
Thalib, Pak Hartono Mardiyono (Alm) beliau itu pakar politik di Indonesia,
dan Pak Rustam dosen UIN, alhamdulillah lulus. Kemudian melanjutkan S2
di UI, beliau yang mereferensi kesana. Saya terus dibimbing beliau, dalam
proses pembimbingan ini selama saya jadi asisten, nilai kebapakan beliau itu
yang melekat pada saya. Jiwa muda saya dulu kalau menilai orang itu saklek,
kemudian disentuh dengan nilai kebapakan beliau akhirnya menjadi berubah,
beliau pesan ke saya: “Arovah, kalau mau menilai itu bandingkan antara
mahasiswa yang nggak bisa banget, yang setengah bisa, yang pinter, kamu
persentasikan kenapa dia bisa banget, kenapa dia tidak” itu asli dari sisi
kejiwaan. Dalam membina asisten dosen pun beliau sangat berbeda, karena
bagi beliau menilai orang itu bukan untuk sekarang, tapi untuk waktu yang
akan datang, bisa jadi dia hari ini bukan siapa-siapa, tidak bisa dan
sebagainya, tapi di masa depan dia akan jadi orang yang sukses dan
bermanfaat bagi masyarakat. Berbeda sekali dengan anak-anak zaman
sekarang yang hanya mementingkan nilai saja.
P : Selama menjadi asisten bagaimana kesan Ibu terhadap pribadi beliau?
N: Beliau itu mempunyai karakter yang futuristik, orangnya sederhana,
kebapakan, tidak pelit untuk sharing ilmu, suka membantu, bahkan suka
membantu mahasiswa yang kesulitan membayar uang kuliah dengan uang
pribadinya. Tidak ada dia cari uang disini, membantu mahasiswa. Selain jadi
Dekan beliau menjabat juga di PN Timah. Beliau juga sangat memanjakan
isterinya, kalau mau pulang kerja suka membelikan lauk untuk istrinya di
rumah, tidak mau istrinya itu capek di rumah. Beliau itu sebenarnya sudah
mau jadi doktor, tapi karena waktu menjelang S3 itu beliau menjadi asisten
Hazairin, dan dengan banyaknya kesibukan akhirnya tidak diselesaikan.
Beliau orang yang sangat arif dan bijaksana dalam menanggapi berbagai
persoalan, termasuk dalam melihat teorinya Snouck Hurgronje.
P : Bagaimana menurut Ibu tentang teori Sajuti Thalib Receptio A Contrario?
N: Pada waktu itu Hazairin melihat bahwa teori Snouck Hurgronye yang
menyatakan teori Receptie yang isinya bahwa Hukum Islam baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan Hukum Adat. Hazairin ini berpendapat
bahwa teori ini bertentangan dengan fakta yang ada sehingga dia katakan
bahwa teori Snouck Hurgronye ini sebagai teori Iblis, jiwa Iblis itu kan
takabbur, ia tidak bisa menerima kenyataan atau fakta-fakta yang sebenarnya.
Nah, Sajuti Thalib lebih kebapakkan mengeluarkan teori Receptio A
Contrario yang isinya bahwa teorinya Snouck Hurgronye itu tercounter,
berbanding terbalik dengan fakta di lapangan, karena nyatanya “Adat
bersandi syara‟, syara‟ bersandi Kitabullah”. Materi-materi yang beliau
sampaikan pada waktu perkuliahan-perkuliahan, misalkan Hukum Waris,
beliau mengajarkan dua sistem dalam waris yaitu Patrilineal Syafi‟i dan
Bilateral Hazairin. Tapi kesininya saya tidak bisa dengan hanya dua sistem,
saya tambahkan dengan KHI, saya tambahkan dengan Hukum Adat yang ada.
Pada waktu beliau mengajarkan sistem Bilateral Hazairin, masuklah teorinya
Receptio A Contrario, bahwa penyelesaian waris di Padang terjadi dualisme,
dimana satu sisi menggunakan Hukum Adat dan satu sisi lagi menggunakan
Hukum Islam. Kapan menggunakan Hukum Adat? menggunakan Hukum
Adat itu manakala penyelesaiannya untuk harta pusako tinggi, yaitu yang
punya kepemilikan turun temurun dalam keluarga itu, tapi harta bersama
diselesaikan dengan Hukum Islam. Dua sistem ini tidak pernah berbenturan,
berjalan saja sebagaimana biasanya. Harta pusako tinggi itu seperti Rumah
Gadang, yang diperuntukkan untuk keluarga besar, jadi keluarga besar kalau
kumpul ya di situ, tidak dibagi secara orang-perorangan. Dan yang
menggunakan Hukum Islam adalah harta bersama antara suami dan istri.
Teori Sajuti ini langsung dibuat fakta di masyarakat bahwa tidak ada
kontradiksi antara Adat dan Islam. Contoh lain dalam perkawinan, di dalam
sebuah perkawinan akan terjadi campuran antara Hukum Islam dan Hukum
Adat yang tidak saling bertentangan, misalnya dalam adat Jawa ada prosesi
ritual adat, seperti midodaremi ada bleketepe, mandi tujuh bunga, mandi tujuh
air, itu tetap dijalankan, tetapi begitu akad menggunakan cara Islam. Jadi teori
yang dikemukakan Snouck itu langsung dicut semua karena berbanding
terbalik dengan fakta yang ada di masyarakat dari semua sisi. Karena dalam
hukum kita ada tiga irisan: Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Belanda. Dan
irisan ini bukan bertabrakan, satu sama lain saling beradaptasi, saling
asimilasi, saling mempengaruhi, maka kemudian pada waktu kita membuat
suatu kesatuan Hukum Nasional, ini dimix antara tiga sistem hukum itu.
P : Apa latar belakang muncul teori ini?
N: Latar belakang teori ini adalah fakta di masyarakat yang tidak
mempertentangkan antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Ketidakadaan
pertentangan ini karena antara Hukum Adat dan Hukum Islam sudah terjadi
adaptasi dan asimilasi, sehingga seringkali kita tidak bisa membedakan.
Diibaratkan seperti teh, teh ini rasanya manis, tapi kelihatan tidak gulanya?
awalnya gula dengan teh berbeda, begitu disatukan dan diaduk, manis tanpa
ada gula yang nampak.
P : Apakah teori ini mempunyai pengaruh dari segi politik?
N: Pasti berpengaruh, karena teori ini akan mempengaruhi legislasi Hukum
Nasional. Jadi ada orang yang mempertentangkan, misalkan pada waktu
pembicaraan Undang-Undang Peradilan Agama mereka menyatakan bahwa
tidak seharusnya orang Islam punya Peradilan, tapi karena faktor penduduk,
baca bukunya Daud Ali tatang alasan-alasan mengapa Hukum Islam masuk
ke Hukum Nasional, karena alasan sejarah, alasan konstitusi, alasan
penduduk, alasan yuridis. Jadi artinya bahwa kondisi Hukum Islam itu sudah
matang dalam sistem hukum di Indonesia baik Hukum Adatnya maupun
Hukum Positif yang saat ini berlaku, tidak bisa dipisah-pisahkan, ini yang
unik di Indonesia. Karena pencampuran antara Hukum Adat dan Hukum
Islam sangat signifikan, contoh, ada istilah halal-bihalal atau sekaten.
Sekaten itu asal katanya syahadatain, jadi orang mengucapan syahadat
manakala dia menonton wayang, kalau kita baca literatur-literatur tentang
penyebaran Islam oleh Walisongo itu kan melalui media wayang. Jadi
sebelum nonton wayang masyarakat yang datang ke situ disuruh bersyahadat,
tapi lagam orang jawa itu tidak bisa ngomong „ha‟, jadi „ka‟, „syadatain‟ jadi
„sekaten‟, seperti „pak haji‟ disebut „pak kaji‟, „alhamdulillah‟ disebut
„alkamdulillah‟, „wal‟ashri‟ disebut „wal ngasri‟, itu adalah bagian dari syi‟ar
Islam. Ada orang yang mengartikan dengan Walisongo itu adalah mata angin
yang Sembilan, artinya bahwa di situlah peta dakwah Walisongo pada saat itu
mengikuti mata angin. Kalau kita lihat tradisi Gendang mulai dari Aceh
sampai Papua itu berbeda, padahal itu sebenarnya adalah satu kesatuan,
awalnya dari Aceh itu kan banyak, lama kelamaan sampai di Papua itu
sedikit. Jadi orang melihat itu adalah sebuah asimilasi dan adaptasi antara
agama dan budaya ya seperti itu. Kalau kita lihat hukum Islam masuk ke
Hukum Indonesia itu tidak melalui pertengkaran, ia terjadi smoothing. Atau
jika dilihat masjid-masjid di kota itu ada namanya Masjid Agung, seperti di
Cirebon, Purwokerto, Jogja, dimana ada Masjid Agung di situlah pusat
pemerintahan, dimana ada pusat pemerintahan atau di belakang Masjid
Agung itu mesti ada daerah namanya Kauman. Kauman itu pada zaman dulu
adalah tempat para ulama-ulama berdiam di situ, kenapa ditempatkan di situ?
karena manakala ada orang yang menanyakan tentang Hukum Islam, kepada
merekalah akan dijelaskan dan penjelasannya itu dilakukan di Serambi
Masjid. Jadi Serambi Masjid ini adalah embrio dari Pengadilan Agama yang
ada di Indonesia. Sebenarnya lebih cocok kita menyebut Pengadilan Agama
bukan sebagai Religion Court tetapi sebagai Islamic Court karena kalau kita
sebut sebagai Pengadilan Agama saja maka semua agama bisa masuk, kenapa
digunakan Pengadilan Agama? karena itu terjadi debat yang panjang, karena
saudara kita dari agama lain juga ingin mendirikan Pengadilan yang sama,
sementara mereka tidak punya syari‟ah, apa yang mau diadili? kalau Islam
kan ada dan embrionya sudah dari dulu sehingga untuk menerima dan
mengakomodasi keinginan mereka, menetralisir pandangan orang terhadap
Agama Islam, maka dibuatlah Pengadilan Agama. Sebagai akademisi anda
jangan menggunakan pemahaman Religion Court sebagai Pengadilan Agama
tapi dengan Islamic Court.
P : Menurut Ibu apa perbedaan pemikiran teori Hazairin dengan teori Sajuti
Thalib?
N : Berbeda dengan Hazairin yang mempunyai sikap yang keras, makanya dia
menyatakan itu teori Iblis. Tapi tidak Sajuti Thalib, beliau menggunakan
sebuah istilah lain yang memang pada hakekatnya menunjukkan bahwa teori
yang dikemukakan oleh Snouck itu berbanding terbalik, tapi dengan cara-cara
beliau sendiri. Jadi gambaran dari istilah yang digunakan Sajuti Thalib adalah
gambaran kepribadian beliau. Beliau menggunakan istilah yang lebih wise.
Kalau Hazairin tidak mengemukakan nama dari sebuah teori, sedangkan
Sajuti Thalib menggunakan „label‟ yaitu Receptio A Contrario. Sama dengan
Christian Lodewijk Van Den Berg yaitu Receptie In Complexu. Jadi
sebenarnya teori itu memang berlaku, tapi yang diinginkan oleh Sajuti Thalib
ini adalah mengcounter teori yang dikemukakan oleh Snouck dengan teori
Receptio A Contrario. Hazairin itu bukan membuat nama sebuah teori, tapi
menunjukkan bahwa teori Snocuk itu teori Iblis.
P : Apakah ada yang kontra dengan teori reception A Contrario Sajuti Thalib?
N: Tidak ada yang kontra. Tidak bisa kita melihat teori itu sebagai berdiri sendiri,
kan pertama misalkan Lodewijk Christian Van Den Berg dia mengeluarkan
teori Receptie In Complexu, kenapa? karena dia melihat fakta di lapangan
bahwa orang Islam, orang pribumi yang beragama Islam mengamalkan
sepenuhnya memakai Hukum Islam, kan In Complexu, lengkap, sempurna,
utuh. Nah, kondisi seperti ini, jadi teori Snouck itu juga ada maksudnya.
Teori Lodewijk Christian Van Den Berg ini, dari teori ini menjadikan hukum
Islam itu eksis, diakui, padahal selama ini Belanda itu selalu membuat image
building di masyarakat bahwa Hukum Islam itu harus dipinggirkan, jadi teori
Receptie In Complexu ini memberikan semangat baru, amunisi baru, bagi
orang-orang Islam untuk melawan penjajah, karena eksis. Nah, supaya atau
menghilangkan semangat anti penjajahan ini Snouck bikin teori, yaitu teori
Receptie. Nah, teori Receptie ini oleh Hazairin ditentang, dia menyatakan
bahwa itu teori iblis tuh! nunjuk, bukan nama (mengungkapkan sebuah nama
teori). Nah, begitu Sajuti Thalib tidak nunjuk, tapi ini (mengungkapkan
sebuah nama teori). Ada lagi nanti Ichtijanto mengeluarkan teori Exit, paham
kan kamu? exit, keluar. Ichtijanto terakhir itu, saya kenal pak Ichtijanto.
Artinya bahwa ngeresep-ngeresep (Receptie In Complexu, Receptie,
Receptio A Contrario) itu sekarang sudah tidak ada lagi, karena sudah ada
Unifikasi Hukum Nasional. Unifikasi Hukum Nasional ini bahan bakunya
adalah dari Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Belanda, dimix dengan
kebutuhan dan kondisi terkini, makanya jadi Unifikasi Hukum Nasional.
P : Apa kelebihan dan kekurangan dari teori Receptio A Contrario?
N : Saya tidak melihat kekurangan dan kelebihannya, tetapi yang saya pahami
bahwa teori Sajuti Thalib ini adalah hasil dari pemotretan beliau atau fakta
yang kita alami, kita pahami, yang terjadi di masyarakat antara Hukum Islam
dengan Hukum Adat itu sebagai satu kesatuan utuh yang tidak bisa
dipisahkan dan tidak bisa dipilah-pilah, dia sudah menyatu. Nanti kamu bisa
lihat ada sebuah istilah di Aceh itu, kalau saya nggak hafal-hafal masalahnya,
kecuali “Adat bersandi Syara‟, Syara‟ bersandi Kitabullah” kamu bisa lihat
di bukunya pak Daud Ali mengenai istilah yang digunakan oleh orang Aceh
terhadap hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam.
P : Apakah Ichtijanto dengan teorinya itu menyempurnakan teori Receptio A
Contrario Sajuti Thalib?
N : Dia sebenarnya bukan menyempurnakan, sudahlah teori receptie- receptie ini
sudah out of date, masanya sekarang sudah menggunakan Unifikasi. Karena
Receptie A Contario, Receptie, Receptie In Complexu itu kan, karena pada
saat itu kan. Jadi sebuah teori yang memotret kondisi saat itu, sekarang tidak
lagi, jadi sesuai dengan perkembangan zaman.
Jakarta, 15 Maret 2017
Narasumber Pewawancara
(Dr. Hj. Arovah Windiani, S.H., M.H.) (Annisa Mutiara)
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Sukri Sayuti
Anak Pertama (Alm) H. Sajuti Thalib, S.H.
Tempat : Jl. Tebet Timur IV D No. 1
Hari, tanggal : Sabtu, 25 Maret 2017
Keterangan : P (Pewawancara) / N (Narasumber)
P : Sebelumnya sudah pernah ada yang menanyakan biografi (Alm) Pak Sajuti
Thalib?
N : Belum pernah ada.
P : Bagaimana latar belakang keluarga Pak Sajuti Thalib?
N : Beliau dari keluarga sederhana, lahir di Maninjau pada tanggal 25 Mei 1929,
anak ke tiga dari empat bersaudara, anak yang pertama KH. Muhammad
Rasyid Thalib beliau pemuka agama juga di Palembang, pernah menjabat
sebagai ketua MUI di Palembang, yang kedua Sariah Thalib, yang ketiga
Sajuti Thalib, yang keempat Amiruddin Thalib. Tahun 1952 datang ke
Jakarta, sudah menikah dan punya anak satu, datang ke Jakarta pada saat
tidak punya apa-apa, pertama kali tinggal di Galur, Tanah Tinggi, Jakarta
Timur, itu cuma rumah sederhana. Beliau kerja pada Jawatan Penerangan
sebagai wartawan, sambil kuliah di UI. Beliau itu dulunya tentara pelajar,
karena dulunya sebagai tentara pelajar kemudian dapat demobilisan pelajar
kuliah di Fakultas Hukum UI, setelah tamat beliau kerja di Departemen
Pertambangan. Di Jakarta ini sering-sering pindah tempat tinggal ya, kalau
saya urutin dari Galur, ke Grogol di Jl. Makaliwe Gg. IV, di Grogol itu juga
rumah sederhana, udah sering nampung saudara-saudara, adiknya dari
sepupu-sepupu bapak, terus pindah ke Jl. Borobudur, nampung juga adik-
adiknya, satu persatu adik-adiknya dibawa ke Jakarta. Beliau itu pasti
menyambangi adik-adiknya setiap Jum’at pasti dia jalan nengokin kakaknya
yang perempuan, dari Jl. Borobudur itu pindah ke Kebayoran, sudah agak
meningkat kehidupannya, di Grogol itu kira-kira enam tahunanlah, karena
saya SD kelas 1 sampai kelas 4 di situ, kalau bapak mungkin lebih lama, itu
sekitar tahun 60-an, di Grogol itu bapak sering ngasih khotbah Jum’at, beliau
kan jadi Ulama juga ya, ngisi pengajian-pengajian, kalo dulu kan belom rame
kayak sekarang, ada masjidnya di Grogol itu sekarang udah bagus betul itu,
terus dari Grogol itu pindah ke Jl. Borobudur, di Grogol juga nampung adik-
adiknya dan keponakannya, kalau orang Sumatera ini kan keponakan ini kan
yang utama, jadi dia lebih di mengutamakan keponakan daripada anak, jadi
ada istilah : “anak dipangku, keponakan dibimbing” tetap dia memajukan
keponakannya juga. Jadi yang dianut orang Padang ini kan matrilinial, artinya
perempuan lebih utama daripada laki-laki, memang saya nggak tinggal lama
di kampung (Maninjau), katanya kalau di kampung itu anak laki-laki tidur
nggak di rumah ibunya, tidurnya di surau (kalau disini musholla), kalau laki-
laki itu menikah dia harus keluar dari rumah, rumah itu jadi milik istrinya.
Setelah dari Kebayoran tinggalnya di Jl. Bayuwangi Menteng, lalu ke Duren
Tiga, terakhir tinggal di situ, dulu di situ itu jalannya masih tanah, orang
masih jarang tinggal di situ. Bapaknya Pak Sajuti namanya Thalib Sutan
Mancayo, meninggal Tahun 1948. Profesinya sebagai pedagang pakaian di
Bengkulu. Ibunya bernama Siti Naimah. Ia dan saudara-saudaranya semuanya
disekolahin di sekolah Agama Kulliyyatul Muballighin, disuruh belajar
agama di situ, karena kalo udah belajar agama semua bisa. Istri Pak Sajuti
namanya Nurbaiti Yakub, anaknya ada empat, yaitu Sukri Sayuti, Supriadi
Sayuti, Nazmi Sayuti, dan Nasrul Sayuti, yang ketiga dan terakhir sudah
wafat sekarang. Ini kakaknya ibu Supriaty (istri pak Sukri Sayuti) ini menikah
dengan orang Palembang, Drs. H. A. Bidawi Zubir. Jadi hubungannya dengan
pak Sajuti Thalib adalah keponakan. Beliau deket banget sama pak Sajuti,
sudah dianggap sebagai anak. Beliau empat kali jadi kakanwil Departemen
Agama, pertama di Ambon, Medan, Jakarta, Palembang. Gelarnya Sutan
Mahmud, jadi kalo orang Padang itu kalo menikah suaminya dapet gelar.
Jadi kalau ada pertemuan keluarga yang dipanggil bukan namanya tapi
gelarnya.
P : Bagaimana latar belakang pendidikan dan aktifitas apa saja yang pernah
diikuti Pak Sajuti Thalib?
N : Sekolah Rakyat (SR) di Bengkulu, SMP di Bengkulu, Kuliyatul Muballighin
Muhammadiyah Padang Panjang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
lulus tahun 1958 dengan gelar Mr. Beliau juga aktif ngajar di Universitas
Indonesia sebagai pegajar Utama Hukum Islam II di Fakultas Hukumnya, dan
aktif ngajar juga di Universitas Sawerigading, di deket walikota Jakarta barat,
pusatnya di Makassar, dosen terbang (dosen tidak tetap) di Universitas
Pancasila, UKI, Jayabaya. Di luar kota juga kayak di UII Jogjakarta,
Palembang, ngajar juga di UMJ, bapak itu selain ngajar Hukum Islam juga
ngajar Hukum Perdata. Di Universitas Muhammadiyah Jakarta menjabat
sebagai Dekan Fakultas Hukum, Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta, juga sebagai Anggota Majelis
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Jakarta. Panggilan atau gelarnya dulu Mister (Mr.) kalau sekarang S.H. waktu
lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1958. Saya tau karena
saya sering antar bapak. Bapak ini kampungnya di Galapung, dekat dengan
tempat tinggal Buya Hamka di Sungai Batang. Sewaktu tinggal di Kebayoran,
Bapak setiap subuh ke masjid Al-Azhar, tempat Buya Hamka memberi kuliah
subuh, di Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru.
P : Apa benar Pak Sajuti Thalib pernah jadi asisten Prof. Hazairin?
N : Iya, pernah jadi asisten prof. Hazairin, kalo dulu dengar ceritanya susah sama
dia itu, pak Hazairin itu kan orangnya saklek, jadi apa yang ditanya apa yang
dijawab gitu (harus langsung jawab), satu-satunya asisten Hazairin ya bapak
itu. Asisten paling qualivied, kalau dulu kan kuliah ada tingkat satu, tingkat
dua, sarjana muda. Nah, bapak itu sarjana muda sudah jadi asisten professor.
P : Apa saja prestasi-prestasi yang pernah diraih?
N: Kita kurang tau, karena beliau tertutup. Beliau nggak pernah cerita kalo dapet
penghargaan. Kan kalo orang lain bangga-banggain kalo dapet sesuatu, beliau
nggak perlu begitu-begituan. Rendah hati orangnya. Tapi kalo bintang sih ada
ya seperti bintang Perang Kemerdekaan I, bintang Perang Kemerdekaan II
dan bintang Perang Gerilya. Beliau pernah jadi Pasukan Hizbullah, sampai
mendapat pangkat Letnan, tapi karena pengen belajar pengen sekolah, beliau
kuliah. Beliau pernah jadi Hakim Pengadilan Agama Jakarta. Beliau itu
administrasinya rapi karena pernah jadi wartawan ya, jadi kalau mau apa-apa
gampang karena berkas semuanya disusun rapi, lengkap. Seperti catatan
waktu beliau haji itu, beliau catat dari sebelum berangkat sampai selesai
semuanya dicatat. Bapak itu selalu berpikir positif dalam segala hal. Ada
yang saya ingat kata Alm. Bapak: “Bila berteman 10 orang, 5 orang suka
sama kita, 5 orang tidak suka”
P : Siapa saja murid-murid beliau?
N : Ada pak Ichtijanto, beliau itu seperti bapak ke Prof. Hazairin, jadi asisten. Pak
Ichtijanto juga begitu ke bapak. Ada juga pak Idris Romulyo. Murid-
muridnya banyak sih, cuma saya nggak begitu hafal, jadi yang deket-deket
aja, sudah banyak yang menginggal kalau sekarang.
P : Kapan Pak Sajuti Thalib meninggal?
N: Tanggal 10 Maret 1992 dalam usia 64 tahun.
P : Kalau istrinya kapan meninggal?
N : Tanggal 21 Desember 2010 dalam usia 80 tahun.
Jakarta, 25 Maret 2017
Narasumber Pewawancara
(Sukri Sayuti) (Annisa Mutiara)
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Supriaty
Menantu (Alm) H. Sajuti Thalib, S.H. / Istri Pak Sukri Sayuti
Tempat : Jl. Tebet Timur IV D No. 1
Hari, tanggal : Sabtu, 25 Maret 2017
Keterangan : P (Pewawancara) / N (Narasumber)
P: Bagaimana sosok Pak Sajuti Thalib di mata keluarga?
N: Beliau itu orangnya sederhana sekali. Jadi dia itu walaupun hanya dapat untuk
makan, selalu dia bawa orang untuk ke rumah, untuk makan sama-sama.
Soalnya saya deket banget ya sama ibu, jadi ibu suka cerita tentang bapak.
Kata ibu “kalau di rumah kita makan singkong empat potong, kita di rumah
cuma satu berdua”, yang lainnya dibagiin ke tetangga, begitu sekali dia
orangnya, luar biasa, sosialnya tinggi banget. Emang dia agama nomor satu
ya, tapi tidak terlalu ortodok, yang penting sholat lima waktu nggak ditinggal,
sama keluarga juga bebas nggak terlalu dikekang, bergaul sama siapapun
nggak dilarang, jadi kita sama dia tuh nyaman banget, sama mertua itu
nyaman banget. Bapak kalo pas sholat teraweh suka jadi imam, nggak pernah
baca suratnya yang panjang-panjang, kalo sekarang orang abis sholat kan ada
ceramah ya kalo dia nggak, panggil anak kecil dua atau tiga anak, suruh maju
ke depan terus ditanya: “sini sama angku, kamu bisa baca surat apa? baca”.
Emang ceramah sih ada ya, Cuma nggak tiap malem. Kata beliau: ”Kita
nggak usah ngadain ceramah tiap malam, karena setiap orang kan butuh di
rumah, butuh tidur, ceramah itu bisa dapat dari rumah, ceramah itu bisa
didapat kalo lagi butuh dia datang”, jadi beliau itu tidak pernah memaksakan
orang lain. Berapa puluh tahun itu di sana (Duren Tiga) itu beliau selalu jadi
imam. Dia kan di sana ngaji ya, cuma nggak ngajar, tapi dia dituakan banget,
sampe orang-orang di sana hormati dia banget, santun banget sama dia,
karena dia banyak memberi. Pak Sajuti itu orangnya lembut, dapat
kelembutan itu dari ibunya. Saya masih ngalamin ketemu nenek.
Kelembutannya itu diturunkan ke anak-anaknya, cuma yang paling luar biasa
memang pak Sajuti.
P : Apa benar beliau suka membantu mahasiswa yang kesulitan membayar uang
kuliah?
N: Kita nggak tau ya karena bapak nggak pernah cerita. Pernah ada salah satu
mahasiswa datang mungkin yang dibantu bapak, mungkin dia kesini mau
ngucapin terimakasih, dia bawa buah, kata bapak: ”bawa pulang ke rumah,
kasih ke ibu kamu, ibumu lebih butuh” nggak mau dia nerima apapun. Kan
kalau mau ujian itu harus bayar dulu uang kuliah ya, kalau belum bayar
nggak bisa ujian, pas anak itu mau bayar kata bapak “udah nanti-nanti aja,
kalau udah lulus udah terserah”. Waktu bapak meninggal, itu ada lebih dari
sepuluh mahasiswa datang nangis menggebu-gebu, kita tanya kan “kenapa
kamu nangis sedemikian rupa?” dia bilang: “saya sekolah, bapak semua yang
biayain” kita keluarga nggak tau dan dia nggak pernah cerita di rumah.
Mahasiswa kalau datang ke rumah buat ujian lisan di rumah itu, kita keluarga
kadang suka ketawa liatnya, mungkin mereka udah siap mau ditanya apa gitu,
tapi ternyata cuma ditanya “kamu hafal nggak surah An-Nas? coba baca”,
gitu aja ditanyanya udah, itu hebatnya dia, jadi kita tanya “pak kok begitu aja
ditanyanya?” bapak jawab “dia itu pasti udah siap, apa yang mau bapak
tanyain itu udah siap jawabannya, cuma buat apa ditanya lagi, udahlah dia
udah siap itu kita kasih keringanan”. Jadi ya bapak itu luar biasa, itu kalau
kita belanja apa aja ditawar nggak boleh, misalnya ada tukang pisang lewat
kita tanya “berapa pak?” “20 ribu”, itu kalo kita nawar bapak marah, kata
bapak : “kalian tau, orang itu udah tua, pikul-pikul dagangan, istri anaknya
makan dari situ”, karena dia ngerasa hidupnya betul-betul dari nol, prihatin
banget hidupnya. Bapak itu amalannya luar biasa, pintu rumah selalu terbuka
disana, misalnya ada pengemis dateng kan kalo kita mah bilang “maap-maap
aja ya pak” kalau kita ngiranya orang itu pura-pura, kata bapak : “nggak bisa,
orang nggak ada pura-pura, dia betul-betul, dia butuh, ya udah kasih, kalo
kita nggak punya uang, kasih beras”, betul-betul lillahita’ala hidupnya.
Lillahita’ala hidupnya itu udah dari muda.
P : Beliau sangat perhatian sama keluarga ya?
N : Iya, istrinya kalo kemana-mana dianter, kemana-mana ditungguin, dimanjain
banget. Pak Sajuti itu baik banget orangnya, luar biasa, sama keluarga yang
nggak mampu, yang jauh-jauh, dia selalu nengokin, yang tua-tua disamperin,
kayak di Bekasi. Bekasi itu dulu nggak kaya sekarang, jauh, pelosok dan
jalanannya masih tanah. Santun banget dia, sama yang tua dia bantu banget.
Beliau sakit pun nggak mau dibantu, kata ibu beliau sakit itu udah dua bulan
ya sakit di rumah, tapi kalau kita datang seolah kayak nggak sakit, kalo lagi
sakit, ada mahasiswa mau ujian, bangun dia, itu masih ada kursinya (sambil
nunjuk kursi/sofa) kursi peninggalan. Kita anak-anaknya sampe iri gitu, dia
itu hidupnya kayaknya buat orang, jadi artinya kita disuruh cari sendiri. Betul-
betul lillahita’ala hidupnya, nggak pernah mikirin kita nanti bagaimana.
Beliau itu orangnya baik banget, jadi kita kan menantu ada empat ya mbak,
perempuan semua, karena dia anaknya laki-laki semua kan, luar biasa lembut
banget, kita nikahnya urut ya dari anak pertama sampai ke empat. Sebenarnya
bapak itu pengennya kita kumpul semua di rumah di Duren Tiga, tapi karena
ada yang kerja di bank, jadi tinggalnya nggak bisa di Jakarta, jadi kita anak
yang paling tua yang ngurus beliau selama beliau masih ada. Waktu bapak
mau pergi. Adik yang paling kecil kan mau menikah, ibu sama bapak pergi ke
Tanah Abang beli kain, begitu mau pergi sandal ibu hilang sebelah, kata ibu
“kok sandal amak nggak ada ya?” kan kita keluarga manggilnya amak sama
apak, kata bapak “ah itu tandanya apak mau pergi duluan” gitu ngomongnya.
Ngomong sama anak tertuanya, pak Sukri: “Nanti gantiin bapak di pelaminan
salaman sama orang-orang”. Kami sekeluarga tidak ada firasat beliau akan
meninggalkan kami. Beliau meninggal waktu bulan puasa, hari ke-sepuluh.
Kalau istrinya meninggal waktu lagi baca Al-Qur’an.
P : Apakah beliau punya sifat seperti itu karena didikan dari kecil keluarganya
seperti itu?
N : Tapi keluarga-keluarganya nggak seperti itu saya lihat, adik kandungnya,
kakak kandungnya nggak seperti itu, dia sendiri yang kayak begitu. Kalau
sama dia semua positif, gak ada yang negatif, misalnya ada keponakan nakal,
kata bapak: “biarin aja, nanti juga pas dia besar dia sadar”
Jakarta, 25 Maret 2017
Narasumber Pewawancara
(Supriaty) (Annisa Mutiara)
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Farida Prihatini, S.H., M.H., CN.
Jabatan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Asisten (Alm) H. Sajuti Thalib, S.H. di UI
Tempat : Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hari, tanggal : Jum‟at, 7 April 2017
Keterangan : P (Pewawancara) / N (Narasumber)
P : Apa benar Ibu pernah jadi asisten pak Sajuti Thalib? Sejak kapan?
N : Ya benar, pembimbing skripsi saya juga beliau, dari tahun 1986 sampai
beliau meninggal, itu tahun 1992.
P : Beliau mengajar apa disini?
N : Hukum Perkawinan Islam sama Hukum Kewarisan Islam, karena dulu
kurikulumnya masih dipisah antara Hukum Perkawinan sama Hukum
Kewarisan, kalo sekarang sudah digabung jadi satu, jadi Hukum Perdata
Islam kalo sekarang.
P : Dari ajaran-ajaran beliau yang disampaikan di perkuliahan, apa yang melekat
sama Ibu sampai sekarang?
N : Bahwa Hukum Islam itu karena ciptaan Allah ya, jadi memang nggak ada
yang bisa melawan, nggak ada yang bisa merubah, itu udah pasti sempurna,
tidak benar kalau dikatakan bahwa di Indonesia ini yang berlaku Hukum
Adat, Hukum Islam baru berlaku apabila disetujui oleh Hukum Adat, beliau
nggak setuju tuh. Hukum Islam itu memang berlaku, karena apa? karena
memang orang Islam, manusia kalau memang sudah mengakui agamanya,
sudah bersyahadat, sudah beriman pada agama Islam ya harus mengikuti
Hukum Islam, itu beliau selalu terapkan pada kuliah-kuliahnya, dan kami
sekarang juga menjelaskan itu, karena itu sangat penting. Jangan orang
berpikir bahwa Hukum Islam itu berlaku di Indonesia itu nggak langsung,
tapi melalui bantuan Hukum Adat atau hukum lainnya, nggak, sejak Hukum
Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam itu sudah berlaku, karena semua
orang Islam kan harus mengikuti hukum Allah. Hukum Islam itu bukan
hanya vertical ya, tapi juga horizontal, bukan hanya mengatur hubungan
manusia dengan Allah tapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya, dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan alam sekitar
semua diatur oleh Allah dan semua akan dipertanggung jawabkan ke Allah.
Beliau tuh concern sekali sama itu. Beliau tidak setuju dengan pendapatnya
Snouck Hurgronje. Beliau mengikuti pendapat Prof. Hazairin, kebetulan
beliau juga kan muridnya Prof. Hazairin.
P : Apa perbedaan teorinya Prof. Hazairin dengan teori Sajuti Thalib?
N : Teorinya Prof. Hazairin itu teori Receptie Exit, maksudnya apa sih? bahwa
teorinya Snouck itu harus exit dari hukum yang ada di Indonesia, cuma itu
aja kan? kalau Pak Sajuti bilang Receptio A Contrario, kenapa dia bilang
Contrario? karena melawan teori Receptie, lebih menjelaskan bahwa
Hukum Islam itu berlaku dengan sendirinya tanpa harus melalui Hukum
Adat, bahkan Hukum Adat baru bisa berlaku (bagi orang Islam ya), apabila
Hukum Adat itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam, lebih jelas
mana? Lebih jelas Receptio A Contrario, jadi pak Sajuti Thalib itu lebih
menjelaskan lagi apa yang dimaksud dengan teori Receptie Exit dari Prof.
Hazairin.
P : Apakah itu berarti teori Prof. Hazairin mempunyai kelemahan?
N : Bukan kelemahan ya, teori Prof. Hazairin ini cikal bakal dari teori Receptio
A Contrario, jadi diteruskan, dikembangkan, maksudnya sih benar, sudah
benar, tapi kan harus dicari penguatannya, bahwa apa sih yang dimaksud
bahwa teori Receptie itu harus exit dari Indonesia, kalo harus exit terus apa
dong? Oke Receptie hilang, dengan adanya Pengadilan Agama, dengan
adanya peraturan-peraturan, terus kalau hilang apa gantinya? gantinya ya
Receptio A Contrario, pendapat beliau benar tapi belum sempurna, kalau
menurut saya.
P : Jadi pak Sajuti Thalib menyempurnakan teori Receptie Exit Prof. Hazairin?
N : Iya
P : Apakah ada kontra dengan teorinya Sajuti Thalib ?
N : Nggak ada, semua malah bersyukur dengan adanya teori ini, jadi kita Hukum
Islam bisa dibuktikan bahwa udah berlaku, dulu kan ulahnya kolonial
Belanda bahwa semua hukum kewarisan nggak boleh, dikeluarkan dari
kompetensi Peradilan Agama, waktu zaman kolonial Belanda begitu, udah
gitu semua putusan Pengadilan Agama harus disetujui oleh Landraad,
bahkan awalnya nggak boleh lagi, semua landraad, terus terjadi keributan,
karena Landraad kan hakimnya nggak ngerti Hukum Islam, jadi ada
beberapa kasus yang tidak sesuai putusannya dengan Hukum Islam.
Akhirnya orang nggak mau ngikutin, tetep ke Pengadilan Agama, hal waris
dll. Nah, akhirnya Pengadilan Agama dibolehkan walaupun ada gejolak ya,
cuma semua utusan Pengadilan Agama harus di fiat eksekusi oleh Landraad,
walaupun udah diputuskan oleh Pengadilan Agama misalnya,
perkawinannya akan jatuh talak bain kubro tapi misalnya Pengadilan
Landraad tidak menyetujui, maka nggak jadi itu, jadi kan apa disini?
Pengadilan Agama nggak ada „gigi‟, Pengadilan Agama berada di bawah
Landraad, tergantung sama Landraad, ini kan nggak boleh, ini kan akibat
dari teori Receptie jadi begitu, nah dengan adanya teori Receptio A
Contrario kan kemerdekaan kita kan berubah keadaannya, kita kan berdasar
Ketuhanan yang Maha Esa pasal 29, kalau di UI kita semua pakai itu.
P : Tapi bu, dalam buku-bukunya pak Sajuti Thalib disebutkan ada orang-orang
yang masih ingin terus mempertahankan teori Receptie, yang mana teori
tersebut diimplementasikan dalam IS pasal 132 itu ?
N : Iya, namanya ini kan sama aja kayak tujuh kata yang dihilangkan dalam
Pancasila sila pertama, mereka berpendapat bahwa dengan dihilangkan
tujuh kata maka tidak ada kewajiban orang Islam beribadah, padahal tanpa
ada Pancasila, tanpa ada UUD 1945 pun, misalnya kita bukan orang
Indonesia, tinggalnya di Amerika ya tetep aja kita harus beribadah kan?
sama, teori Receptie juga begitu, karena kurang mengerti, menganggap
bahwa tetep berlaku padahal tidak lagi, buktinya apa? kita punya Pengadilan
Agama yang solid, yang diakui, masuk dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, salah satunya adalah Peradilan Agama dari beberapa Peradilan,
dan sudah banyak beberapa hukum dari Hukum Islam terutama perdata yang
sudah di formal yuridiskan, ada Undang-undang tentang Zakat, Undang-
undang tentang Wakaf, Undang-undang tentang Perkawinan, kompilasi juga
boleh, KHI, KHES, Undang-undang tentang Perbankan, Undang-undang
tentang Haji, itu membuktikan bahwa tidak ada lagi teori Receptie, karena
memang udah muncul sendiri, udah ada sendiri. Dengan adnya UUD 1945
pasal 29 menyatakan bahwa kan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti
pemerintah harus membuat peraturan yang tidak bertentangan dengan
Hukum Agama yang diakui di Indonesia, salah satunya Hukum Islam. Dan
tidak bisa dihindari, harus ada peraturan-peraturan di Pengadilan karena tadi
saya bilang, kita Hukum Islam itu kan komprehensif, semuanya diatur, dari
zaman Rasul juga pernah ada Pengadilan kan, jadi memang kita udah eksis,
nggak ada itu teori Receptie, udah nggak laku.
P : Berarti memang ada orang-orang yang kontra dan ingin tetap
mempertahankan teori Receptie tapi kalah dengan orang-orang yang pro
dengan teori Receptio A Contrario Sajuti Thalib ya?
N : Iya, karena kita yang pro dasarnya kuat, menurut kenyataan kan dengan
kemerdekaan Indonesia, UUD 1945, Pancasila saja sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa itu kan makna dari UUD 1945, itu menurut Hazairin bahwa
Negara harus membantu, semua peraturan yang ada di Indonesia tidak boleh
bertentangan dengan hukum Agama apapun, bukan hanya Hukum Islam,
Hukum Kristen juga, Hukum Katolik juga, cuma kan kebetulan hanya
Hukum Islam yang mengatur secara keseluruhan, yang membutuhkan
lembaga peradilan, kalo agama lain kan nggak.
P : Bagaimana implikasi teori Receptio A Contrario Sajuti Thalib terhadap
pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia?
N : Sangat besar implikasinya. Jadi dengan adanya teori ini membuktikan bahwa
Hukum Islam itu ada, Hukum Islam itu bukan keluar sebagai Hukum Adat,
tapi Hukum Islam memang benar-benar pure Hukum Islam, bahkan Hukum
Adat harus nurut ke Hukum Islam, kan seperti di Minang, “adat bersandi
syara’, syara’ bersandi kitabullah”, belum lagi yang di Aceh, di Gorontalo,
di beberapa daerah yang Islamnya kuat, bahkan pada waktu selisih di
Minang mengenai harta pusako tinggi, harta pusako rendah, mereka
berkumpul akhirnya disepakati, dimana harta pusako rendah yang bisa
dibagi sama dengan mata pencaharian dalam Islam, harta bersama dalam
keluarga, kalo harta pusako tinggi itu yang nggak bisa dibagi, nah itu juga
disesuaikan dengan apa? disesuaikan dengan Hukum Islam. Jadi warisan
segala itu harus sesuai dengan Hukum Islam, padahal menurut Hukum Adat
kan dari garis Ibu, tapi kan nggak bisa karena Allah bilang nggak begitu,
dari sini terbukti bahwa sebenarnya dalam praktek pun, kan katanya Snouck
itu hanya teori tapi prakteknya nggak, sebenarnya dalam kenyaatan
kehidupan masyarakat muslim, Hukum Islam itu sudah diberlakukan, cara
menikahnya, cara warisnya, penyelenggaraan rumah tangganya, bahkan
bernegara. Nah, negara berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana
untuk terselenggaranya itu, salah satunya apa? ada Undang-undang yang
khusus buat orang Islam, Undang-undang zakat kan khusus buat orang
Islam, waris belum ada Undang-undang tapi ada kompilasinya, Undang-
undang wakaf khusus buat orang Islam berarti ada kan, Hukum Adat itu
yang dipake hanya yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam,
dibolehkan nggak dalam Islam, adat? boleh, salah satu metode ijtihad apa?
urf, urf kan adat, selama adat itu baik, selama adat itu sudah berlangsung
lama dari dulu, tidak bertentangan dan memang dibutuhkan pada waktu itu
dan belum ada yang lain, boleh dipakai, tapi inget tetap harus yang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam. Nah, teori ini malah membangunkan
orang supaya “ini loh yang bener, bukan teori Receptie”, umat Islam
memang wajib menjalankan hukum agamanya, cuma kan tidak semua
hukum diatur oleh Negara, kalau hukum itu tidak memerlukan bantuan
Negara ya nggak perlu diatur, kita sholat kan nggak perlu diatur sama
Negara, ya kan kita nggak butuh peraturan ini, belumlah, mungkin nanti
kalau puasa mungkin siapa tau negara kita berubah, orang Islam yang nggak
puasa misalnya dihaad. Kalau di Aceh kan udah ya karena mereka
menerapkan Qanun, mungkin bisa seperti di Malaysia, pemerintah merasa
itu kan antara dirinya dan tuhannya, jadi nggak perlu diatur, tapi kalo haji
kan harus ikut pemerintah, zakat kan harus ikut pemerintah, wakaf kan
berhubungan dengan pemerintah, dengan Negara, tanahnya, barangnya,
uangnya kan memerlukan lembaga-lembaga yang diatur oleh Negara.
P : Apakah Hukum Adat yang ada sekarang semuanya sudah disesuaikan
dengan Hukum Islam atau masih ada yang bertentangan?
N : Kalau Hukum Adat saya nggak tau ya, karena majority saya bukan di situ,
jadi setau saya untuk umat Islam yang dipakai Hukum Agama, suami saya
orang Batak Karo, orang Karo, mereka mengenal seperti kawin lari, saya
orang Sumatera Selatan namanya Sibambangan, itu walaupun mereka
misalnya menikah untuk menghindari biaya tinggi, atau tidak disetujui,
kalau aslinya, mereka menebus ketimpangan itu karena membuat malu
keluarga si perempuan harus bawa kepala babi, yang muslim nggak
mungkin, tetep dijalankan adatnya tapi disesuaikan, jadi diganti sama ikan
mas, seperti itu, misalnya di Sumatera Selatan namanya Sibambangan,
karena takut minta mas kawin atau mahar yang mahal, mereka lari, lari
bukannya mereka bisa serumah, tapi pihak laki-laki membawa si perempuan
ini ke rumah tetua yang dianggap tua di daerah dia, entah ke RW nya atau
ke apa gitu, jadi adatnya itu dibenarkan, dititipkan di rumah siapa gitu,
bukannya terus langsung satu rumah, kalo satu rumah kan tidak sesuai
dengan Hukum Agama, banyak Hukum Adat yang sudah disesuaikan
dengan Hukum Islam agar tidak bertentangan, babi tadi diganti sama ikan
mas, karena kan kita nggak mungkin membawa kepala babi, karena itu
haram.
P: Berarti Hukum Adat sudah ada lebih dulu dari Hukum Islam?
N : Iyalah, karena hukum tertua itu memang Hukum Adat kan, dulu kan di
Indonesia ini belum masuk Hukum Islam, walaupun ada yang berpendapat
waktu Rasulullah masih hidup pun Islam sudah ada disini, ada yang bilang
seperti itu, tapi saya belum menemukan literaturnya.
P : Apakah Hukum Adat dan Hukum Islam saat ini sudah banyak yang
disesuaikan?
N : Ya, Hukum Adatnya menyesuaikan dengan Hukum Islam, jadi bisa berjalan
berdampingan, jadi nggak dipertentangkan. Kalo dulu itu kan kolonial
Belanda itu mempertentangkan Hukum Adat dengan Hukum Islam, jadi
kalo kata Prof. Hazairin bilang seperti membelah bambu, Hukum Islam
yang diinjek, Hukum Adat yang diangkat, supaya apa? supaya Hukum Islam
nggak berlaku, kenapa Hukum Islam nggak berlaku? karena mereka Kristen
kan, dan melakukan kristenisasi disini, yang kedua karena Hukum Islam itu
mengajarkan bahwa kita itu merdeka, manusia itu sama dihadapan Allah,
cuma yang membedakan itu ketaqwaannya. Jadi kalo kita lihat sejarah
kemerdekaan yang paling berjuang itu orang mana? orang Islam itu kan.
Karena kita nggak boleh dijajah, kan Allah yang punya kita, dan tidak boleh
kita didzalimi, kita tidak akan menyakiti orang dan kita tidak boleh
menyakiti orang tapi kalau kita disiksa, kita diinjek, kita harus melawan,
kita nggak boleh duluan perang kan.
P : Bagaimana kesan Ibu selama jadi murid dan asisten pak Sajuti Thalib?
N : Beliau orangnya teguh pendiriannya, nggak banyak ngomong, baik, jadi
ilmunya banyak, beliau suka baca, suka nulis, disiplin, dan selalu
mengajarkan kita, beliau sama pak Daud Ali sama, “kalian disini mengajar
bukan hanya sebagai dosen biasa, tapi kita itu membawa ayat-ayat Allah,
membawa ajaran Allah, jadi ada tugas berdakwah juga, jadi makanya lebih
berat mungkin dari dosen lain, jadi kelakuan kita juga harus baik, pekerjaan
kita harus baik, jadi jangan sampai kita menyampaikan sesuatu yang salah”
selalu diwanti-wanti, “hati-hati, hati-hati”.
P : Bagaimana sikap beliau terhadap mahaiswa?
N : Baik, terlalu baik menurut saya mah, beda dengan pak Daud Ali, kalo pak
Daud Ali kan keras orangnya, disiplin sama mahasiswa, kalau beliau nggak,
lembut tapi kalo udah marah kita takut semua, jadi jangan sampe buat salah
lah gitu. Beliau bijaksana, dalam memberi nilai, dalam membimbing, saya
dibimbing beliau, dan menguji kesabaran mungkin karena saya mau diambil
asistennya ya, disuruh nunggu, disuruh apa, tapi nggak pernah nyuruh-
nyuruh sih, cuma duduk aja nungguin beliau.
P : Beliau sama pak Daud Ali itu seangkatan atau antara murid dan guru?
N : Nggak beda jauh sih kayaknya, tapi lebih tua pak Sajuti.
P : Siapa saja guru-guru pak Sajuti Thalib?
N : Yang saya tau ya, kalau Hukum Islamnya Prof. Rasjidi, Pak Oesman Ralibi,
Prof. Hazairin
P : Siapa saja murid-murid beliau?
N : Banyak, ada bu Neng Djubaedah, Wismar Ain, Sulekin Lubis, bu Wati, saya.
Ada juga Hakim Agung, Nurul Ania. Taher azhary, Idris Ramulyo,
Ichtijanto.
P : Beliau fasih berbahasa asing yang ibu tau?
N: Bahasa Arab, bahasa Belanda.
P : Apakah pak Ichtijanto dengan teori Eksistensinya menyempurnakan teori
Receptio A Contrario Sajuti Thalib?
N : Menguatkan ya, saya bilang sih menguatkan teori Receptio A Contrario.
Bahwa berarti kita memang ada, dan memberikan sumbangan kepada
pembinaan pengembangan Hukum Nasional kita, pemikiran-pemikiran
Hukum Islam itu masuk ke dalam hukum kita.
P : Bagaimana menurut Ibu corak pemikiran Sajuti Thalib?
N : Lebih ke hukumnya, beliau membuktikan bahwa Hukum Islam itu memang
ada dan membuktikan juga bahwa Hukum Islam itu berlaku dengan
sendirinya tanpa harus dibantu oleh hukum lain dan tidak keluar dalam
bentuk hukum lain, beliau tuh kekeuh kalo Hukum Islam itu berlaku di
Indonesia, udah ada pemikirannya, konsekuensi seorang mulim ya harus
menjalankan hukum agamanya. Beliau kekeuh, kuat di situ, karena orang
Islam harus menjalankan Hukum Islam secara kaffah, nggak boleh setengah-
setengah.
Jakarta, 7 April 2017
Narasumber Pewawancara
(Farida Prihatini, S.H., M.H., CN.) (Annisa Mutiara)
SILSILAH KELUARGA
THALIB SUTAN MANTJAJO SITI NAIMAH
1. RASJID THALIB
2. SARIAH THALIB
3. SAJUTI THALIB NURBAITI YAKUB
4. AMARUDDIN THALIB
1. SUKRI SAYUTI 2. SUPRIADI SAYUTI 3. NAZMI SAYUTI 4. NASRUL SAYUTI
SUPRIATY ICE RINI ERMI
1. SHINTA APRILA NINDYA 1. ANDRI 1. DIRA 1. ADNAN
AHMAD MUSTOPA 2. AHMAD 2. AZHAR
3. ASTI 3. AKMAL
ANANG
1. RAYHAN MIRZA AHMAD
2. ALYSSA ZAHRA RAMADHANTI
1. ATTA
Sumber :
Sukri Sayuti, Anak Pertama Sajuti Thalib, Wawancara Pribadi, 9 April 2017.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Annisa Mutiara
NIM : 1113044000024
TTL : Tangerang, 14 Oktober 1995
Program Studi : Hukum Keluarga
Konsentrasi : Peradilan Agama
Alamat : Jl. Gelatik III No. 105 Rt.01 Rw.03 Kel. Sawah
Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan
No. Hp : 03878130005
Nama Ayah : H. Sukiin Kadir
Nama Ibu : Hj. Junainah
Alamat Orangtua : Jl. Gelatik III No. 105 Rt.01 Rw.03 Kel. Sawah
Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan
No. Hp Orangtua : 0811839793