KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP...
Transcript of KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP...
KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN
KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN
KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208
Pembimbing,
Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630703 199803 1 003
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
iii
ABSTRAK
Ni’ma Diana Cholidah
Kontribusi Ali Mustafa Yaqub
Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia
Berbicara tentang perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia, yang berkaitan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual pemikiran Ali Mustafa Yaqub-sampai hari ini ternyata masih cukup relevan untuk dibincangkan dan diteliti. Di Indonesia, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi salah satu prioritas kajian keislaman sejak abad-abad awal islamisasi di Indonesia yang diperkirakan berawal pada abad ke-13.
Penelitian tentang hadis di Indonesia dalam taraf perkembangannya dikatakan mudah. Beberapa literatur yang ada tentang pembelajaran hadis dan sejumlah akademisi hadis terlihat telah berhasil membuktikan pernyataan ini. Ali Mustafa Yaqub adalah tokoh yang punya pengaruh besar terhadap corak keberagaman sebagian umat Islam Indonesia, terutama dalam kajian di bidang hadis.
Skripsi ini membahas tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia dengan fokus kepada studi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub. Sumber utama (Primary Resources) penelitian adalah buku-buku yang ditulis Ali Mustafa. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, data-data yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber, diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis.
Ali Mustafa dianggap sebagai ahli hadis yang melanjutkan pembelaan A’zamî (l. 1932) secara akademis terhadap hadis. Dalam menghadapi hadis-hadis yang berkaitan dengan permasalahan ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan ibadah murni (al-Ibâdah al-Mahdah), Ali Mustafa menekankan aspek tekstual, karena menganggap dua hal ini tidak mampu dipahami secara utuh oleh nalar manusia.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
memberikan kekuatan rohani, jasmani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis, serta berbagai kemudahan dan kesabaran untuk menjalani berbagai
rintangan selama penyelesaian skripsi ini. Penulis yakin benar bahwa hanya
dengan pertolongan-Nya skripsi ini selesai disusun. Untuk itu sudah sepatutnya
bagi penulis untuk mengakui kebesaran dan kedermawanan-Nya. Shalawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah mengajak
umatnya kepada jalan yang diridhai Allah SWT supaya mendapatkan kebahagiaan
dan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan penulis
dalam rangka mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Tafsir Hadis.
Judul skripsi ini adalah “KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB
TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI
INDONESIA”. Dalam hasil penelitian ini, penulis menyadari banyak kekurangan
yang sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka pintu
lebar-lebar untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya konstruktif. Dalam
proses penyusunan ini, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik
berupa sumbangan pikiran, tenaga maupun materil. Maka sepatutnyalah dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, (Dekan
v
Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si, (Ketua Jurusan Tafsir Hadis)
dan selaku pembimbing yang telah bersikap sangat kooperatif dalam
membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA., (sekretaris Jurusan Tafsir Hadis) yang telah memberikan kemudahan
kepada penulis dalam melengkapi persyaratan administratif selama
penyusunan skripsi ini.
2. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir Hadis yang dengan penuh keikhlasan telah mencurahkan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis dalam masa studi.
3. Segenap pengelola perpustakaan, baik Fakultas Ushuluddin, perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah maupun Iman Jama’ yang telah
memberikan berbagai fasilitas yang penulis butuhkan.
4. Kedua orangtua penulis, Ibu Nurnihayah dan Bapak H. Mas ‘Udi, S.Ag.
yang telah dan masih mendidik penulis sejak buaian hingga sekarang serta
senantiasa memberikan do’a dan motifasi kepada penulis. Semoga penulis
selalu mendapatkan rida mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya.
(Allâhumma irhamhumâ wa ihfazhumâ kamâ rabbayânî sagîran, waballig
maqâsidahumâ wa tawwil ‘umûrahumâ fî tâ’âtik)
5. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.; yang telah meluangkan waktunya
untuk diwawancara guna melengkapi data-data kajian skripsi ini dan
selaku khâdim ma’had Dârus-Sunnah, yang telah mendidik penulis dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan. (Jazâhullâh wa hafizahu wanafa’anâ
bi’ulûmih); juga Ibu Hj. Ulfah Uswatun Hasanah (istri Prof. Dr. Ali
Mustafa Yaqub) yang telah membantu penulis dalam menentukan waktu
wawancara.
vi
6. Segenap keluarga, Mbah Hj. Sa’idah, Mas Mujib dan Bule’ Tutik yang
selalu memberikan bantuan moril maupun materil dan mengajarkan makna
kesungguhan guna menuntaskan kewajiban. Terima kasih atas motivasi
yang telah diberikan kepada penulis.
7. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. Terima kasih atas masukan-masukan
yang telah diberikan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
8. Bapak Dr. M. Isa HA Salam, MA (penguji I) dan bapak Maulana, MA
(penguji II). Terima kasih atas kritikan dan saran-sarannya.
9. Segenap civitas akademika Darus-Sunnah High Institute For Hadith
Sciences, mahasantri khususnya K’ Rika, Teh Aan, The Iwi, Alya, Iin dan
Syifa berikut alumninya. (Allahumma waffiqna fî kulli khayr).
10. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis
TH-B angkatan 2007 khususnya May, Risti, Ajeng, Nuril, Eva, k’ Ana,
Zahro, Ni’mah dan Nisa’. Teman-teman seperjuangan KKN HASTA,
teman-teman bisnis MLM (Ita, Arma, Teh Zizah, Hanim, k’ Aunur dan k’
Nia Amalia) dan sahabat satu almamater (Indri Yulianti) yang selalu
mendampingi penulis dalam segala keadaan dan yang selalu memberikan
support.
vii
11. Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya
disini. Penulis ucapkan terima kasih dan Jazâkum Khair al-Jazâ, semoga
Allah membalas pengorbanan dan kebaikan mereka semua dengan sebaik-
baiknya balasan.
Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan
luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka
yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan penulis
selanjutnya.
Wallah al-Hadî ilâ Sirât al-Mustaqîm
Ciputat, 09 Maret 2011
Ni’ma Diana Cholidah
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Lembar Pengesahan Panitia Ujian .................................................................... ii
Abstrak ............................................................................................................ iii
Kata Pengantar ................................................................................................. iv
Daftar Isi .......................................................................................................... viii
Pedoman Transliterasi ...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ........................ 5
C. Kajian Pustaka .................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 7
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................... 8
F. Metodologi Penelitian ......................................................... 8
G. Sistematika Penulisan.......................................................... 9
BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB ................................... 11
A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan .................................. 11
B. Sumber Pemikiran ............................................................... 15
C. Aktivitas dan Karya ............................................................ 18
D. Aliran Theologi ................................................................... 25
ix
BAB III SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS ............................. 27
A. Dua Istilah Yang Populer .................................................... 27
B. Pembagian Hadis ................................................................ 30
C. Kajian Hadis di Indonesia ................................................... 35
BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM
PEMAHAMAN HADIS .......................................................... 45
A. Tekstual .............................................................................. 46
1. Perkara Ghaib (al-Umur al-Ghaibiyyah)........................ 50
2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdhah) ......................... 51
B. Kontekstual ......................................................................... 52
1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd) ........... 54
2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni) ..................... 57
3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) .............................. 58
4. Sosio Kultural (Taqâlid) ................................................ 59
BAB V PENUTUP ............................................................................... 60
A. Kesimpulan ......................................................................... 60
B. Saran-saran ......................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Di
Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman
Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam
tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah
ulama dan pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Tapi sayangnya,
kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi primadona
kajian keislaman di Indonesia. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok
ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya, hadis seharusnya menduduki
posisi penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur’an, hadis tidak boleh diabaikan. Karena itu, hadis di tengah masyarakat
Islam perlu dikaji.1
Memahami dan menjabarkan prinsip umum ajaran Islam berikut
penjelasannya akan menemukan kesulitan, jika tanpa bantuan hadis-hadis
Nabi Saw yang diyakini sebagai penjelas. Maka, sebuah kemestian jika
kemudian di Indonesia bermunculan para tokoh-tokoh yang secara intens
ataupun tidak yang memasyarakatkan atau mengembangkan hadis, baik secara
individual ataupun kelompok.
1 Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan
Organisasi Masyarakat Islam”, al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4, Malaya, April 2006, h. 63.
2
Dari uraian di atas dapat kita pahami dari arti kebutuhan masyarakat
Islam di Indonesia terhadap pengetahuan ajaran Islam dengan baik khususnya
dalam bidang kajian hadis, karena seseorang tidak hanya dituntut mampu
memahami dan mendalami hadis Nabi saw dari segi matannya saja, juga
dituntut untuk mengetahui tentang sanad dan para periwayatnya. Dalam kajian
ini, pengetahuan tentang berbagai istilah, kaidah, metode penelitian dalam
ilmu hadis yang berhubungan erat dengan hadis yang dikajinya itu perlu
dipahami dengan baik. Karena cukup banyak dan rumit pengetahuannya yang
berkaitan erat dengan hadis tersebut, maka dapat dimaklumi bila ulama dan
para sarjana Islam yang memiliki keahlian tentang hadis relatif tidak banyak.
Di Indonesia pun, ulama dan sarjana Islam yang ahli tentang hadis amatlah
minim.
Usaha untuk memahami hadis Nabi saw2 agar bisa dimengerti dan
diamalkan secara benar juga banyak dilakukan. Mengetahui beragam fungsi
yang Rasulullah saw perankan ikut menjadi faktor penting dalam menciptakan
pemahaman yang baik. Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad saw.
selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa.
2 Memahami hadis Nabi dengan baik agar bisa diamalkan secara benar adalah satu
hal yang harus dilakukan seorang muslim, walaupun Hadis merupakan wahyu sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam firmannya: إن ھو إال وحي یوحى . وما ینطق عن الھوى “Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya,ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”. (QS. Al-Najm/53: 3-4). Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa pengecualian tertentu dari keadaan Rasul yang tidak wajib diteladani. Yang disimpulkan dalam tiga hal, Pertama, karena adanya dispensasi dari Allah swt terhadap pribadi Rasulullah saw. Seperti Rasulullah saw beristri lebih dari empat. Kedua, yang berhubungan dengan masalah dunia. Sesuai sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah ra: أنتم أعلم بأمور دنیاكم “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Contohnya pada waktu sebelum perang khandak, Rasul saw telah merencanakan taktik untuk melawan musuh, tetapi Salman al-Farisi ra mengusulkan kepadanya agar dibuat parit untuk melawan musuh. Ketiga, perbuatan yang bersifat manusiawi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), h. 51-52.
3
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Imran ayat 144 dan al-Kahf ayat
110:
ǠŁȵŁȿ ŅǼʼnȶŁǶłȵ ǠƋȱnjǙ džȯɀłȅŁǿ ŃǼLjȩ ŃǨLjȲŁǹ ŃȸŇȵ ŇȼŇȲŃǤLjȩ NJȰłȅŊȀȱǟ ǐȷnjǚLjȥLjǕ ŁǧǠŁȵ ŃȿLjǕ LjȰŇǪNJȩ ŃȴłǪŃǤLjȲLjȪŃȹǟ ɂLjȲŁȝ ŃȴNJȮnjǣǠLjȪŃȝLjǕ ŃȸŁȵŁȿ ŃǢŇȲLjȪŃȺŁɅ ɂLjȲŁȝ ŇȼŃɆŁǤŇȪŁȝ ŃȸLjȲLjȥ ʼnȀłȒŁɅ ŁȼƋȲȱǟ ǠDŽǞŃɆŁȉ ɃnjȂŃDzŁɆŁȅŁȿ łȼƋȲȱǟ
ŁȸɅnjȀŇȭǠʼnȊȱǟ. “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-Imran: 144).
ǐȰNJȩ ǠŁȶʼnȹnjǙ ǠŁȹLjǕ ŅȀŁȊŁǣ ŃȴNJȮNJȲǐǮŇȵ ɂŁǵɀłɅ ʼnɄLjȱnjǙ ŁȶʼnȹLjǕǠ ŃȴNJȮłȾLjȱnjǙ ŅȼLjȱnjǙ ŅǼŇǵǟŁȿ ŃȸŁȶLjȥ LjȷǠLjȭ ɀłDZŃȀŁɅ ĆǒǠLjȪŇȱ ŇȼōǣŁǿ ǐȰŁȶŃȞŁɆǐȲLjȥ ǠDŽȲŁȶŁȝ ǠńǶŇȱǠŁȍ ǠLjȱŁȿ ŃȫnjȀŃȊłɅ ŇǥŁǻǠŁǤŇȞnjǣ ŇȼōǣŁǿ ǟńǼŁǵLjǕ.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110).
Menurut Yusuf al-Qardawî untuk memahami hadis secara baik dan
benar harus memperhatikan perbedaan kewenangan Rasulullah saw.
Selanjutnya menurut Mahmûd Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan
Nabi saw. dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-
hal itu sangat besar manfaatnya.
4
Dalam wacana kaijian hadis kontemporer di Indonesia dikenal
beberapa nama.3 Salah satunya adalah Ali Mustafa Yaqub. Beliau adalah
ulama hadis di Indonesia yang cukup disegani dan diperhitungkan kredibilitas
dan intelektualitasnya. Buku-bukunya banyak dibaca kaum muslimin
Indonesia dewasa ini, baik yang berkaitan dengan Hadis, Fiqih dan Dakwah.
Tidak kurang dari 32 karya Ali Mustafa Yaqub dalam bentuk buku beredar di
kalangan umat Islam Indonesia.
Menurut Hidayat Nurwahid, buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul
Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal adalah buku fatwa khas Indonesia
yang memang meng-Indonesia.4
Ali Mustafa Yaqub yang penulis ambil sebagai salah satu tokoh yang
memahami kebutuhan umat Islam di Indonesia terhadap kajian hadis maupun
Ilmu Hadis, melalui karya-karya inovatifnya yang telah dipublikasikan
merupakan salah satu solusi kesulitan dalam memahami ajaran Islam. Kiranya
sejalan dengan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengkaji, selanjutnya penulis merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah
judul skripsi ini yaitu: “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”.
Alasan penulis memilih Ali Mustafa Yaqub sebagai tokoh yang dikaji,
lebih didasarkan pada anggapan bahwa beliau banyak menekuni dan
mendalami hadis, baik meneliti kualitasnya, menjelaskan makna dan
3 Seperti Mahmûd Yûnus, Syuhudi Ismâ’îl, Daud Rasyid, Lutfi Fathullah, Yunahar
Ilyas, Abdul Qâdir Jawwâz, Afif Muhammad, ‘Abdurrahman, Muhibbin Noor, Ahmad Sutarmadi, dan masih banyak lagi.
4 Hidayat Nurwahid, “Pengantar” dalam Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 22.
5
kandungannya, dan mendidik Jama’ah (santrinya) untuk mendalami hadis dan
Ilmu Hadis. Namun di sisi lain banyak juga yang mempermasalahkan
kapasitas ilmiah dan kredibilitasnya dalam Ilmu Hadis. Sehingga muncul
pendapat-pendapat, baik yang mendukung maupun yang menentang
pemikirannya. Terlepas dari semua itu, peranan beliau dalam membumikan
sunnah Rasulullah saw dengan kekhasan beliau perlu mendapat apresiasi.
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah
Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul
permasalahan mendasar yang menjadi pokok (major research question)
penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah dinamika kajian hadis kontemporer di
Indonesia yang diperankan Ali Mustafa Yaqub ? pokok masalah tersebut
selanjutnya dapat dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan (minor research
questions) sebagai berikut:
1. Apa saja kontribusi dan gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub sebagai
upaya pelestarian dan pengembangan pemikiran dan kajian Hadis di
Indonesia ?
2. Bagaimanakah tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) akademisi
maupun non akademisi terhadap gagasan pemikiran Ali Mustafa Yaqub ?
Dari identifikasi masalah tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi
batasan penulis, yaitu:
Pertama, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan
Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia difokuskan kepada tiga tema, yaitu: 1.
6
Biografi Ali Mustafa Yaqub; 2. Sekilas Mengenai Kajian Hadis; 3. Pemikiran
Ali Mustafa Yaqub dalam Pemahaman Hadis.
Kedua, Komentar para tokoh yang relevan untuk mengetahui sejauh
mana peranan dan kiprah Ali Mustafa Yaqub diakui masyarakat akademis.
Maka rumusan masalahnya adalah apa “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub
Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia ?”
C. Kajian Pustaka
Sejauh ini, penulis menemukan jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, dalam
jurnal itu terdapat tulisan Ramli Abdul Wahid yang berjudul Perkembangan
Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam;
Pemikiran Syuhudi Ismail Tentang Hadis Nabi saw. Karya Arifuddin Ahmad.
Di dalam tulisannya ini Arifuddin mengelaborasi pemikiran Ali Mustafa
Yaqub tentang peran Ilmu Hadis dalam pembinaan hukum Islam. Tetapi
karena kepentingan Arifuddin hanya untuk tinjauan pustaka disertasinya,
sehingga tulisannya tentang Ali Mustafa Yaqub tersebut hanya sedikit saja dan
tidak mendalam; Kajian Hadis di Indonesia: Profil Literatur Hadis di
Indonesia Dari Tahun 1955 sampai tahun 2000 karya Andriansyah. Di dalam
tulisannya ini, Andriansyah membahas tiga karya Ali Mustafa Yaqub, yaitu
Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kritik Hadis, serta Imam
Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis sebagai karya yang patut
diperhitungkan dalam deretan literatur hadis di Indonesia. Namun Adriansyah
sama sekali tidak membahas metodologi yang dipakai Ali Mustafa Yaqub di
7
dalam ke dua bukunya tersebut ataupun hal lain yang terkait dengan Ali
Mustafa Yaqub.
Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada.
Kajian ini merupakan kajian tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Tidak sekedar
mengemukakan kualitas dan kapasitas intelektual di bidang hadis, tetapi juga
yang lebih utama adalah mengungkapkan peran dan pemikirannya.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi
ini adalah:
1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang
berhubungan dengan hadis.
2. Mengetahui kontribusi dan gagasan-gagasan baru yang dikemukakan dan
dilakukan tokoh-tokoh hadis di Indonesia dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub
sebagai upaya pelestarian dan pengembangan hadis.
3. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum
intelektual) terhadap gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub dalam masalah
hadis.
4. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi
pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.
8
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi
yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian hadis serta kepada
masyarakat umum mengenai Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, sebagai satu kajian
terhadap tokoh-tokoh hadis melalui karya-karyanya, diharapkan muncul
gambaran objektif dan penilaian yang jujur.
F. Metodologi Penelitian
Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap
pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk
menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan
berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail
dan dapat dipahami.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan
(library research), yaitu sebuah penelitian berasal dari buku-buku karangan
Ali Mustafa Yaqub dan buku-buku yang diberikan kata pengantar oleh Ali
Mustafa Yaqub. Oleh karena itu sumber datanya diperoleh dari berbagai buku
yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga dengan melakukan hal itu
diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid tentang
kajian yang sedang dibahas.
Selanjutnya, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode
kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
9
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.5
Atau dengan ungkapan lain menguraikan dengan kata-kata dan menganalisis
satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007”.6
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima
bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi, rumusan dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, untuk memberikan gambaran umum tentang Kontribusi
Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di
Indonesia maka pada pembahasan ini akan dipaparkan biografi Ali Mustafa
Yaqub yang terdiri dari: sosio kultural, sumber pemikiran, aktivitas dan hasil
karya, serta aliran theologi Ali Mustafa Yaqub.
Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas sekilas mengenai kajian
hadis yang terdiri dari: dua istilah yang popular, pembagian hadis, dan kajian
hadis di Indonesia.
5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Kaya, 2004), h. 4 6 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II (Jakarta: CeQda, 2007).
10
Bab Keempat, pemikiran Ali Mustafa Yaqub terhadap pemahaman
hadis Nabi Muhammad saw secara tekstual dan kontekstual.
Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik
kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab
sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut.
11
BAB II
BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB
A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan
Ali Mustafa Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa
Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam
lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali
tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar (SD) di desa tempat kelahirannya, ia
habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng
bukit pesisir Utara Jawa Tengah.1 Kebiasaan ini kelak membentuk karakter
dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan peduli.
Ayahnya bernama Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada
zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan
Amar Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai
terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas
penduduk di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum
mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan kakeknya mendirikan
sebuah pondok pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah
beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap rida Allah swt, berjiwa
besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.2
Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga
yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Ibu Ali meninggal pada
1 Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 143.
2 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
12
tahun 1996. Beliau memiliki tujuh saudara, dari tujuh bersaudara tersebut, dua
di antaranya meninggal dunia, dan yang masih hidup lima bersaudara, salah
satu dari kakaknya yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak
ayahnya sama seperti beliau, dan sekarang kakaknya sebagai pengasuh
Pondok Pesantren Darus Salam di Batang, Jawa Tengah.3
Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya
memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat
kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok untuk memperoleh
ilmu agama di pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah.
Rentang waktu 1966-1969. Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng
Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok Seblak,
1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan
menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari
Jombang dan selesai pada tahun 1975.4
Di Tebuireng ini ia banyak menekuni kitab-kitab kuning5 di bawah
asuhan para kiyai senior antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali, KH.
Shobari, dan KH. Syamsuri Badawi. Dari KH. Idris Kamali ia belajar ilmu-
ilmu alat (bahasa Arab), hadis dan tafsir dengan metode sorogan (individual)
dimana ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, antara lain: Alfiyyah
3 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 4 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h. 240. 5 Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak di atas kertas berwarna
kuning. Sebagian penerbit bahkan mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna kuning ini menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142.
13
Ibnu Malik, al-Baiqûniyyah, al-Waraqât, dan lain-lain. Sebagai prasyarat
untuk boleh membaca kitab di hadapan beliau- dari KH. Adhlan ia belajar
ilmu akhlak dan lain-lain. Dari KH. Shobari ia belajar ilmu hadis dan ilmu
lain-lain. Sementara dari KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan ilmu usûl
al-Fiqh. Di tebuireng dia juga pernah belajar dengan Abdurrahman Wahid
(Gusdur)6 khususnya untuk bidang studi bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada.7
Di samping belajar, Ali Mustafa juga mendapat tugas mengajar di
almamaternya tersebut untuk kajian kitab-kitab kuning dan bahasa Arab,
sampai awal tahun 1976.
Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari pemerintah
Arab Saudi, Ali Mustafa mencari ilmu lagi di Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Imâm Muhammad bin Sa’ûd, Riyâd, Saudi Arabia, sampai tamat
dengan ijazah Licance (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia
melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud Departemen Studi Islam
jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985.
Dipilihnya Fakultas Syari’ah (S1) dan Departemen Tafsir Hadis (S2) oleh Ali
Mustafa bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua
ilmu ini (Syari’ah dan Hadis) sangat diperlukan masyarakat.8
6 Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, wafat di Jakarta, 30 Desember
2009 pada umur 69 tahun. Beliau adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Lihat Syamsul Hadi, Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book, t.t.), h. 11.
7 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.
8 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
14
Pada tahun-tahun Ali Mustafa kuliah di Saudi, program doktor belum
dibuka pada Universitas-universitas di Riyâd. Hal tersebut karena rendahnya
minat orang Arab Saudi untuk kuliah S2 waktu itu. Pihak universitas hanya
bersedia untuk membuka program doktor dengan syarat mahasiswa asli Saudi
harus lebih dari 50 persen. Tetapi, saat itu dari 20 orang mahasiswa program
S2 di Universitas King Sa’ûd Riyâd hanya dua orang saja yang asli saudi
sehingga program S3 tidak bisa diadakan.
Kondisi ini membuat Ali Mustafa tidak bisa langsung melanjutkan
kuliahnya pada program doktor, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk
pulang ke Indonesia.9 Baru pada tahun 2006 Ali Mustafa melanjutkan studi
doktoralnya di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M.
Hasan Hitou,10 Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh universitas Kuwait dan
Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada
pertengahan tahun 2007 Ali Mustafa mampu menyelesaikan program
doktornya pada konsentrasi Hukum Islam universitas tersebut.11
9 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 10 M. Hasan Hitou adalah orang yang paling berperan besar dalam studi S3 Ali
Mustafa di universitas Nizamia Hyderabad India. Kepakarannya dalam Fiqh Islam menjadi motivasi tersendiri bagi Ali Mustafa untuk secepatnya merealisasikan cita-citanya yang sempat tertunda sejak 1985. Bimbingan M. Hasan Hitou lah yang diharapkannya sehingga ia memilih kuliah S3 di India bukan di Timur Tengah. Wawancara Pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
11 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
15
B. Sumber Pemikiran
Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Yaqub, ada empat orang
gurunya yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Pertama, Syamsuri
Badawi, guru hadis dan Usûl Fiqh Ali Mustafa di pesantren Tebuireng
Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa banyak belajar sikap tawâdû’, ikhlas,
dan semangat untuk mendalami studi hadis. Dari beliau pula Ali memperoleh
sanad hadis-hadis sahîh al-Bukhâri dan sahîh Muslim dengan cara ijâzah12
yang bersambung kepada Nabi saw melalui jalur Hasyim Asy’ari. Kedua, Idris
Kamali, darinya Ali belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir.
Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa kemudian bisa
menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ketiga, Muhammad Mustafa al-
A’zamî,13 guru hadis Ali Mustafa di Universitas King Sa’ûd Riyâd.
12 Ijazâh termasuk salah satu metode dalam al-tahammul wa al-adâ’ (belajar) dalam
ilmu hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka sahîh al-Bukhari”/Aku ijazahkan kamu sahîh al-Bukhâri. Dengan ungkapan itu, seorang yang mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana gurunya kepada pengarang kitab.
13 Muhammad Mustafa al-A’zamî, guru besar ilmu hadis Universitas King Sa’ûd, Riyâd, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting A’zamî adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early Hadîtsh Literature” (1996), karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zamî secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. A’zamî telah berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang kuat dan ilmiah dengan meruntuhkan teori Projecting Back Joseph Schacht. Dimana menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para qâdi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qâdi. Pengangkatan qâdi baru dilakukan pada masa dinasti Banî Umaiyah. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 25.
16
Dari para guru itulah Ali Mustafa banyak belajar keistiqamahan,
semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, dan sikap kritis terhadap
orientalis. A’zamî dalam pandangan Ali Mustafa adalah satu contoh ulama
kontemporer yang punya karakter kuat. Walaupun kuliah di universitas
Cambridge Inggris yang saat itu menjadi salah satu sarangnya orientalis,
A’zamî sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi A’zamî
justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz
Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1920-1969). Sikap kritik ilmiah
A’zamî ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh
orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969).14
Selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi, Ali Mustafa juga rajin
menghadiri halâqah-halâqah di luar kampus, misalnya halâqah hadis al-Kutub
al-Sittah yang diasuh oleh Abdul Azîz bin ‘Adullâh bin Bâz (w. 1999) yang
berjarak 30 kilo meter dari tempat tinggal Ali di Riyâd. Nampaknya, dari
interaksi dengan halâqah inilah Ali Mustafa mendapat inspirasi untuk
mendirikan pesantren khusus hadis kemudian hari di tanah air. Di samping itu,
Ali Mustafa juga menghadiri perkuliahan-perkuliahan yang dibawakan oleh
‘Abdul Azîz dan tokoh-tokoh lain.
Kemampuan bahasa Inggris Ali Mustafa yang baik, menjadikan ia juga
bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku
14 A. J. Arberry adalah orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawwuf Islam dan
sastra Persia. Arberry tergolong orientalis yang bersikap netral terhadap ajaran Islam. Terbukti dengan usaha dia untuk menjelaskan hakikat Islam terutama pada orientalis sebelum memberikan justifikasi negatif atas ajaran Islam lewat menterjemahkan literatur-literatur Arab dan Persia ke bahasa Inggris, tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah dia menganut agama Islam atau tidak. Lihat Abd al-Rahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, (Yogyakarta: LKis, 2003), h. 1-4.
17
Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Schacht (1902-1969), David Samuel
Margoliouth (w. 1940), Junyboll (L. 1935), A. Guillaume, dan lain-lain.
Namun pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa menjadi terpengaruh
oleh pemikiran mereka. Tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai
komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun.
Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa terutama terhadap
orientalis. Sikap kritis Ali Mustafa tersebut banyak dipengaruhi oleh Mustafa
al-Sibâ’î (Guru besar Universitas Damaskus) yang menulis buku al-Sunnah
wa Makânatuhâ Fi al-Tasyrî’ al-Islâmi (1949), Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb
yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwîn (1964), dan Muhammad Mustafa
al-‘Azami (l. 1932) yang menulis Studies in Early Hadith Literature (1966).
Ali Mustafa sangat kagum terhadap pembelaan yang mereka lakukan terhadap
hadis Nabi saw. Mustafa al-Sibâ’î dikenal dengan sikap berani dan sportif
karena ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Schacht di
universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak
jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah.
Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb menurut Ali Mustafa juga memiliki
kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis.
Sementara ‘Azami dalam pandangan Ali Mustafa adalah sosok intelektual
yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas
ajaran Islam. Walaupun ia belajar di komunitas orientalis, namun ‘Azami
sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi ‘Azami justru
mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher
18
(1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Sikap kritik ilmiyah ‘Azami ini
akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri
seperti Arthur John Arberry (1905-1969).
Sikap kritis dan kritis Ali Mustafa tidak pandang bulu. Bukan hanya
tokoh-tokoh orientalis yang menjadi sasaran kritiknya, ulama besar seperti
Nâsir al-Dîn al-Bânî (w. 1999 M) tidak luput dari kritik tajam Ali Mustafa.
Menurutnya, pemikiran al-Bânî banyak yang melawan arus. Hadis yang sudah
di-sahîh-kan oleh ulama ahli hadis justru di-daif-kan oleh al-Bânî. Sebaliknya,
ia juga sering men-daif-kan hadis yang sebelumnya sudah sahîh. Seperti fatwa
al-Bânî tentang diharamkannya perhiasan emas yang melingkar, padahal fatwa
tersebut bertentangan dengan hadis sahîh dan ijmâ’ ulamâ’.15
C. Aktivitas dan Karya
Walaupun berniat untuk mengabdikan diri berdakwah di Indonesia
Timur Papua, tetapi takdir berkata lain. Pertemuannya dengan Abdurrahman
Wahid (Gusdur)16 ketika pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985
di kantor pengurus besar Nahdlatul Ulama (PB NU)17 merubah paradigma
berpikir Ali Mustafa sejak masa kuliahnya itu. Menurut Gusdur, berdakwah
tidak mesti harus ke Papua (Irian Jaya) apalagi Timor-Timor. Jakarta adalah
medan dakwah yang juga butuh perhatian khusus.
15 Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h. 122-126. 16 Gusdur atau Abdurrahman Wahid adalah guru Ali Mustafa Yaqub sejak tahun
1971 di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Dari Gusdur, Ali Mustafa belajar bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.
17 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis, h. 108.
19
Setelah pertemuan tahun 1985 dengan Gusdur tersebut, Ali Mustafa
mengajar di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta untuk mata kuliah hadis dan
ilmu hadis. Di samping sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, beliau juga mengajar
di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pengajian tinggi Islam
masjid istiqlal Jakarta. Dalam perjalanan karir dosennya, beliau juga pernah
mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang telah menjadi
UIN, Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INNISA) Tambun Bekasi,
pendidikan Kader ulama Hamidiyah, Jakarta, dan di berbagai majlis ta’lim.
Tahun 1989. Beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren Darus-Salam
di desa kelahirannya, Kemiri.18
Dalam keorganisasian, Ali pernah menjadi ketua umum Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) Riyâd. Setelah kembali ke Indonesia Ali pernah
menjadi pengasuh pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997), juga pernah
aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI pusat sejak 1987 dan pada tahun
2005 menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI serta Ketua Sekolah Tinggi
Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta. Selain itu, ia juga aktif
mengajar hadis dan ilmu hadis di berbagai tempat. Ketika aktif dalam
organisasi dakwah, tahun 1990-1996 Ali diamanahi menjadi Sekretaris Jendral
Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Kemudian untuk periode kepengurusan
1996-2000 Ali diamanahi menjadi Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua
Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul Muballighin. Ketua Lembaga
Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi), pengasuh Rubrik hadis majalah
18 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), h. 240.
20
Amanah, dan pengasuh rubrik mudzakarah majalah Panji Masyarakat dan
Wakil Ketua Dewan Syari’ah Nasional. Pada tahun 1997 ia mendirikan
pesantren Darus Sunnah di Pisangan Barat Ciputat dengan spesialisasi hadis
dan ilmu hadis.19
Sekarang Ali Mustafa tercatat sebagai guru besar hadis pada Institut
Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta,20 pengasuh (Khadim Ma’had) pesantren Darus
Sunnah. Imam Besar Masjid Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pentashih al-
Qur’an DEPAG RI,21 anggota dewan Syari’ah Majlis al-Zikra, anggota dewan
Syari’ah Bank Bukopin Syari’ah, pengasuh rubrik tanya jawab majalah
Amanah, buletin Nabawi, pemateri hadis masjid Sunda Kelapa dan
sebagainya.22
Dalam dunia tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang
menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya yaitu, “Walâ Tamûtunna Illâ
wa antum Kâtibûn”. “Pantang meninggal sebelum berkarya”. Menurutnya,
tulisan akan menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk
orang waktu yang terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di
19 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), h. 240. 20 Pengukuhan Ali Mustafa sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hadis IIQ Jakarta
dilangsungkan pada hari kamis, 14 Sya’ban 1419 H bertepatan dengan 3 Desember 1998. Orasi ilmiah Ali Mustafa ketika pengukuhan tersebut berjudul “Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam”. Di depan sidang senat IIQ Jakarta yang dipimpin oleh Ibrahim Hosen (Rektor IIQ dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat pada waktu itu) Ali Mustafa resmi dikukuhkan sebagai guru besar. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis, h. XX.
21 Anggota lainnya adalah Muhammmad Quraish Shihab, Sayyid Muhammad Sara, Khatibul Umam, Ali Audah, Ahsin Sakho Muhammad, Muhammad Ardani, Rif’at Syauqi Nawawi, Salman Harun, Faizah Ali Syibromalisi, Mujahid AK, Syibli Syarjaya, Abdul Muhaimin Zain, Badri Yunardi, Mazmur Sya’rani, Muhammad Syatibi al-Haqir, Bunyamin Surur, Ahmad Fathoni, Ali Nurdin, dan Ahmad Husnul Hakim. Lihat al-Qur’ân al-Karîm Edisi Doa, (Jakarta: PT. Cicero, 2007).
22 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
21
setiap waktu. Dalam sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa
mengungkapkan:
LjǟǐȱŁǺǎȔ’ŁɅŃǤLjȪɄ ŁȁŁȵńȹǠǠ ŁǣŃȞŁǼ ŁȍŇǵǠŇȼnjǤ ǢŇǩǠLjȭŁȿ’ƍȔŁǺǐȱǟ ŁǨŃǶŁǩ njȏŃǿLjǖǐȱǟ ȥŃǼŁȵŃɀȷ “Karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa sementara
penulisnya hancur terkubur di bawah tanah.”23
Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa adalah seorang pakar
hadis, tetapi karya yang telah beliau hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian
hadis saja, tetapi pada kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fiqih,
Dakwah, dan Tafsir. Sampai tahun 2009 telah berjumlah 27 judul bukunya
yang telah diterbitkan.
Dalam bidang kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa meliputi: Imam
Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis
(1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM
A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003);
dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003).
Dalam bidang Fiqih meliputi: Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan,
Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2009); Nikah
Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam
Perempuan (2006).
Dalam bidang Dakwah meliputi: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan
Penghafal al-Qur’an (1990); Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997);
Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian
23 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. v.
22
Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada
Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).
Selain kajian di atas, ada beberapa buku Ali Mustafa yang berisi
kumpulan tulisan dari berbagai materi bahasan seperti al-Qur’ân, Tafsir,
Hadis, Sirah Nabi saw, Dakwah, Aqidah, Tarbiyah, Fiqih, Tanya Jawab
Keagamaan, dan lain-lain. Tulisan-tulisan tersebut pernah dimuat di berbagai
media massa, baik surat kabar maupun majalah yang terbit di Jakarta. Tulisan-
tulisan itu sebagian ada yang berasal dari makalah-makalah yang disampaikan
Ali Mustafa dalam berbagai seminar, simposium,24 lokakarya, temu ilmiah,
dan ada juga yang berasal dari Tanya jawab yang diasuh oleh Ali Mustafa di
majalah. Buku-buku tersebut meliputi: Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa
Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid
Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Piace
(2009); dan Islam di Amerika (2009).
Ali Mustafa juga telah menerjemahkan beberapa buku karya ulama-
ulama terkenal yang menurut beliau memiliki manfaat dan dampak yang luas
bagi kehidupan masyarakat. Yaitu: Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih
Bahasa dari al-Bayanuni, Jakarta: 1986); Bimbingan Islam Untuk Pribadi Dan
Masyarakat (Alih Bahasa dari Mohammad Jameel Zino, Saudi Arabia: 1418
H); Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa Dari Abd al-Rahman
al-Khumais, Jakarta: 2001); Aqidah Imam Empat: Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta:
24 Pertemuan yang didalamnya ada beberapa pidato singkat tentang suatu topic. Lihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena, h. 711.
23
2001); dan Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari
Muhammad Mustafa A’zami, Jakarta: 1994).
Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa, yang menjadi karya
monumentalnya dan sekaligus menjadi masterpeacenya adalah buku Kriteria
Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-
Qur’an dan Hadis (Jakarta: 2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali
Mustafa untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam dari Universitas
Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli “Ma’âyîr al-Halâl wa al-Harâm
fi al-At’imah wa al-Asyribah wa al-Adwiyah wa al-Mustahdarât al-Tajmilah
‘Alâ Daw’ al-Kitâb wa al-Sunnah”.25 Buku yang dicetak dalam dua bahasa
(Arab dan Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar Fiqih
dan Usûl Fiqih paling populer saat ini.26
Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa lainnya, tampak dengan
jelas kalau beliau adalah seorang ahli hadis. Mentakhrij hadis adalah salah
satu aktifitasnya yang paling menonjol. Langkah-langkah “takhrîj” yang ia
tempuh merujuk kepada kitab Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd karya
Mahmûd al-Thahhân. Dalam kajiannya Ali Mustafa mengkombinasikan antara
kritik sanad (kritik ekstren) dan kritik matan (kritik intern) dengan
25 Sidang Munâqasyah yang dilakukan oleh tim penguji internasional, dipimpin oleh
M. Hassan Hitou, Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh Universitas Kuwait yang juga Direktur lembaga studi Islam di Frankfurt Jerman. Para anggota penguji terdiri dari: Taufi Ramadân al-Bûti (Guru Besar dan Ketua Jurusan Fiqih dan Usûl Fiqh Universitas Damaskus, Syria), Mohammed Khaja Sharief M. Shahabuddin (Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad, India) dan Saifullah Mohammed Afsafullah (Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia). Mereka menyatakan Ali Mustafa Yaqub lulus dan berhak menyandang gelar doctor. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Ikhtisar Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: t.pn, 2008); Hasil Pengamatan pribadi, Jakarta, Juni 2008.
26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. vii.
24
menggunakan kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan
oleh al-Thahhân dan ulama-ulama lainnya.
Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (sahîh,
hasan, atau da’if), Ali Mustafa menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu
(mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî, Ibn Hibbân, al-Baihaqî, Ibn al-Jauzî, dan
pendapat ulama mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zaila’î al-Haytsamî, Ibn
Hajar, al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Ia juga mengutip pendapat
ulama kontemporer seperti al-Bâni, Ahmad Syâkir, al-Arna’ût dan lainnya.
Ali Mustafa juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam menentukan
kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat ulama jarh
dan ta’dil tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa
ta’dil mengenai kualitas seorang râwi, maka ia mengkomparasikan antara
ulama mutasyaddidûn27, mutawassitûn28, dan mutasâhhilûn29.
D. Aliran Theologi
Walaupun Sembilan tahun belajar di Riyâd, Ali Mustafa tidak
terkontaminasi dengan lingkungan sekitar di Riyâd. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Ali Yafie (mantan ketua MUI) yang banyak memberikan
penilaian positif dengan mengatakan, “Meskipun tercatat sebagai salah
seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim sebagai daerah yang
27 Adalah ulama yang dikategorikan sangat ketat dalam menilai seorang rawi hadis. 28 Ulama yang dikategorikan moderat (pertengahan) dalam menilai seorang rawi
hadis. 29 Ulama yang dikategorikan agak longgar dalam menilai seorang rawi hadis.
25
jumud, statis dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena
keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras”.30
Sepertinya, interaksi Ali Mustafa dengan tradisi pesantren NU Tebu
Ireng Jombang dari jenjang SMA sampai universitas (1969-1975) menjadi
salah satu penyebabnya. Di sini beliau banyak dididik untuk menghargai
perbedaan. Demikian juga bimbingan Muhammad Mustafa A’zami selama di
Riyâd, semakin memperkuat jiwa moderat dan toleran Ali Mustafa.
Hal ini ditambah lagi dengan interaksi Ali Mustafa dengan tokoh-
tokoh ulama Syiria (2003) seperti Muhammad Hasan Hitou, Wahbah Zuhailî,
Badî’ Sayyid al-Laham dan Taufîq bin Ramadân al-Bûti. Dengan berguru
bersama mereka Ali Mustafa semakin banyak belajar sikap toleransi dalam
perbedaan dan budaya menghargai dalam keberagaman. Secara teoritis sikap
egaliter ini seharusnya memang harus dilakukan oleh setiap muslim secara
luas, baik dalam kehidupan individu dan sosial. Karena antara aspek religius,
sosial, dan konsep kesederajatan dalam Islam berkaitan erat satu sama
lainnya.31
Dalam banyak hal, sikap ulama Saudi memang dikenal tegas dan
kurang mengenal kompromi dalam perbedaan terutama sejak Abd al-‘Azîz bin
Bâz menjadi mufti umum kerajaan pada tahun 1395 H. Pada masa tersebut
buku-buku anti bid’ah seperti al-Bida’ wa al-Muhdatsât karya Abd al-‘Azîz
bin Bâz dan kawan-kawan tersebar secara luas ke berbagai negara muslim.
Buku tersebut banyak berbicara tentang hal-hal yang oleh penulisnya dianggap
30 Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari 2002 M.
31 Loise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 7.
26
bid’ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut ada unsur-unsur
kebaikannya. Seperti zikir berjama’ah, membaca wirid pagi dan sore secara
berjama’ah, merayakan maulid Nabi saw, merayakan isrâ’ mi’râj, merayakan
nuzûl al-Qur’ân, fotografi, isbâl, dan lain-lain.32
Dalam hal ini Ali Mustafa lebih memilih sikap moderat. Ia
berpandangan bid’ah bukanlah pendapat yang berbeda karena lahir dari
konsekuensi adanya ijtihad. Namun bid’ah dalam ibadah adalah amalan-
amalan yang tidak ada dalilnya.33 Oleh karena itu, menurutnya zikir
berjama’ah, perayaan isrâ’ dan mi’raj, maulid Nabi saw, nuzul al-Qur’an,
qunut subuh terus-menerus, berdo’a berjama’ah selesai salat, tidaklah
termasuk bid’ah yang sesat.34
32 Abd al-Azîz bin Bâz dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed.,
Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, (Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999), h. 201. 33 Ahmad Dimyati Badruz Zaman, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar
Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Republika, 2003), h. Xxxiv. 34 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Antar Umat Beragama, h. 10; Islam Masa Kini, h.
48.
27
BAB III
SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS
A. Dua Istilah Yang Populer
Dalam buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Kritik Hadis disebutkan
bahwa:
“untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, pertama: Hadis, dan kedua: Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi Hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan atsar (peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang.
Dari sudut kebahasaan (etimologis), kata Hadis (aslinya tertulis: Hadith atau Hadits), berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadîm (lama, dulu) yang menjadi sifat Kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat ‘tidak ada’. Sementara kalam Allah (al-Qur’an) tidak demikian, ia tidak didahului dengan ‘tidak ada’”.1
Hadis berasal dari bahasa Arab الحدیث (al-Hadîs); jamaknya adalah
Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di .(al-Ahâdîts) األحادیث
antaranya: الجدید (al-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata القدیم (al-qadîm)
berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw, itu adalah hadis (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah (kalam Allah)
yang bersifat qadîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad
‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadis berarti sesuatu yang baru.
Sedangkan menurut istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh
ulama.
1 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
28
Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis yang dikutip oleh Usman
Sya’roni dalam kitab ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu karya Subhî al-Sâlih
adalah:
LjǠȵ NJǕŇȑŃɆŁȤ njǙLjȱɂ ʼnȺȱǟnjǤɄ ŁȍƋȲɂ ǃǟ’ŁȝLjȲŃɆŇȼ ŁȿŁȅƋȲŁȴ ŇȵŃȸ LjȩŃɀLJȯ LjǕŃȿ ŇȥŃȞLJȰ LjǕŃȿ ŁǩǐȪnjȀŃɅLJȀ LjǕŃȿ ŇȍLjȦňǦ. “Semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat.”2
Menurut Ibn al-Subkî (w. 771 H = 1370 M), hadis adalah segala sabda
dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Beliau tidak memasukkan taqrîr Nabi
Muhammmad saw sebagai bagian dari rumusan definisi hadis.
Sementara pendapat masyhur ulama mengatakan hadis adalah segala
sabda, perbuatan, taqrîr, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw. Hadis dalam kategori yang keempat, yaitu hal-ihwal Nabi
Muhammad saw, di luar jazirah Arab lebih banyak ditinggalkan karena
dipandang sebagai pengaruh budaya Arab bukan bagian dari ajaran Islam,
sehingga meninggalkan hal tersebut bukan berarti meninggalkan ajaran Islam
tetapi hanya meninggalkan budaya Arab.3
M.M. Azamî dalam kitabnya Dirâsât fi al-Hadîth al-Nabawi wa
Târîkh Tadwînih berpendapat tentang pengertian sunnah Menurut ahli hadis,
sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani);
atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun
2Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), h. 3. 3 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 6.
29
sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim
dengan hadis.4
Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan
dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa
hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi
mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.5
Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut
Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada
mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang
dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.
Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa
‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ (al-tariqah
dan al-sirah). Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah al-
Islam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah (tata cara yang tidak
dikenal dalam Islam).6
Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam
buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman
Sya’roni adalah:
ŁȵǠ LjǕLjǭŁȀ Łȝnjȸ ʼnȺȱǟnjǤōɄ ŁȍƋȲɂ ǃǟ’ŁȝLjȲŃɆŇȼ ŁȿŁȅƋȲŁȴ ŇȵŃȸ LjȩŃɀLJȯ LjǕŃȿ ŇȥŃȞLJȰ LjǕŃȿ ŁǩǐȪnjȀŃɅLJȀ LjǕŃȿ ŇȍLjȦňǦ ŁǹǐȲŇȪŁɆňǦ LjǟŃȿ ŇȪȲǹʼnɆňǦ LjǟŃȿ ŇȅŃɆŁȀňǥ ŁȅŁɀǒǟ LjǕLjȭLjȷǠ LjȩŃǤLjȰ ǐȱǟnjǤŃȞLjǮŇǦ LjǟŃȳ ŁǣŃȞŁǼŁȽǠ.
4M.M. ‘Azamî, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 14. 5M.M. ‘Azamî, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 644. 6 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
30
“Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, (perangai atau jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya”.7
Dari sudut terminologis, para ahli hadis tidak membedakan antara
hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis dan sunnah adalah hal-hal yang
berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat
fisik, moral maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi
maupun sesudahnya.8
B. Pembagian Hadis
Yang dimaksud dengan pembagian hadis di sini adalah pembagian
hadis dilihat dari kualitasnya. Penulis mengutip dari pendapat al-Ghazâli yang
menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh jumhur ulama ahli
hadis, bahwa setelah diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi
dari zaman ke zaman yang telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke
periode berikutnya, akhirnya hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab
hadis, yang dari segi kualitasnya terdiri dari hadis sahih, hasan, da’if dan
mawdu’.9
7 Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), h. 5. 8 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 33. 9Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 272.
31
Istilah mutâwâtir dan ahâd pada awalnya lebih akrab dalam
pembicaraan fuqahâ’ dan usûliyyûn.10 Imâm al-Syâfi’î (w.204 H) masih
menggunakan istilah khabar ‘âmmah (berita umum) dan khabar khâsah
(berita perorangan) dalam karya risalahnya. Ibnu Hibbân (w. 354 H) yang
mengalami kampanye hadis ahâd oleh ulama Mu’tazilah semacam Abû ‘Ali
al-Jubbâ’i (w. 303 H) dan sebelumnya oleh al-Nazâm (w. 223 H) serta
Qasyâni, belum merasa perlu terlibat membahas kriteria mutawâtir dan ahâd.
Ulama Muhaddîtsîn yang mulai bergabung membicarakannya adalah Imâm al-
Hâkim (w. 405 H), kemudian Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dan Khâtib al-
Baghdâdi (w. 463 H).11
Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya menurut
pendapat al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli
hadis, yang terbagi pada hadis mutawâtir dan ahâd,12 hadis-hadis ahâd
walaupun sanad-nya sahîh-kehilangan validitas (ke-sahîh-annya) apabila
terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ‘ilah
qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa Abû Hanîfah menolak
hadis yang menyatakan bahwa “seorang muslim tidak boleh dibunuh sebagai
hukuman atas perbuatannya membunuh seorang kafir”, walaupun hadis ini
sahîh sanadnya.
Hal ini bertentangan dengan nas al-Qur’an tentang qisas yang
tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan atas dasar ini, para pengikut
10 Ibn al-Salâh, Muqaddimah Ibn Salâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, h. 169. 11 Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 131. 12 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273.
32
madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas
hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek
penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa
praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah
nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan.13
Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah
banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi
tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan,
sehingga mereka mustahil bersepakat berbohong.14 Untuk generasi
sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis
memanfaatkan jasa (media) dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan
jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi
periwayat.15 Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja
dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain
jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap
disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi
dalam semua jenjang.16
Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid (satu). Dalam
terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang
atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatannya, dan jumlah itu
13 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273. 14 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 452. 15 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 177. 16 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 132.
33
tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawâtir.17
Jelasnya, hadis ahâd itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang sahabat
atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tâbi’i
(murid sahabat) atau lebih, dan seterusnya. Namun jumlah mereka dalam
setiap jenjang nya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis
mutawâtir.
Imâm Ibn Hazm (w. 456 H) menegaskan, umat Islam secara
keseluruhan, baik ahlussunnah, khawârij, syî’ah maupun qadâriyah menerima
hadis ahâd sebagai hujjah. Baru pada awal abad kedua hijriyyah para ahli
kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang
konsensus umat tadi dengan mengatakan bahwa hadis ahâd tidak sah
dijadikan hujjah dalam agama.18
Bila ditelusuri mayoritas fuqaha’ dengan mengecualikan al-Jubbâ’i
dari Mu’tazilah sepakat mengakui kehujjahan hadis ahâd. Persyaratan yang
harus terpenuhi sangat bervariasi antara fuqaha’ berbagai madzhab. 1)
Hanâbilah: mencukupkan dengan kesahihan sanad; 2) Syâfi’iyyah:
mensyaratkan a). sanad harus sahîh, baik periwayat faqîh dan ‘âlim atau tidak.
b). perawi harus hâfiz dan dâbit. c). hadisnya tidak kontradiksi dengan hadis
lain yang sanadnya terdiri dari para pakar hadis; 3). Mâlikiyyah mensyaratkan:
substansi hadis ahâd tersebut tidak bertentangan dengan praktek keagamaan
warga Madinah;19 4). Hanâfiyyah mensyaratkan: bahwa prilaku perawi harus
17 Mahmûd Tahhân, Taisîr Mustalah al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 22. 18 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 73. 19 Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1982), h. 411-412.
34
sejalan dengan hadis yang ia riwayatkan, sebab penyimpangan
mengindikasikan nasakh. Bila perawi bukan seorang faqîh dan cara
pengungkapan hadis dengan penyaduran (riwayat bi al-Ma’na), substansi
hadis tidak boleh menyalahi qiyas serta prinsip-prinsip syari’ah secara
umum.20
Di dalam buku Otentisitas Hadis karya Badri Khaeruman disebutkan
bahwa, al-Ghazali merinci lebih jauh penjelasan para ulama tentang syarat ke-
sahih-an suatu hadis sebagai berikut:
1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.
2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.
3. Kedua sifat tersebut di atas (point 1 dan 2) harus dimilki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahîh.
4. Mengenai matn (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
5. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadis ahâd dan
mutawâtir. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazali mengakui adanya pembagian
hadis, yakni bahwa hadis itu ada yang mutawâtir dan ada yang ahâd, jika
dilihat dari segi periwayatannya. Sedangkan dilihat dari segi kualitasnya, tentu
20 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 471-
472.
35
saja al-Ghazali mengakui adanya hadis sahîh, hasan, da’if, dan bahkan hadis
mawdu’.21
C. Kajian Hadis di Indonesia
Melacak kajian hadis di Indonesia, tidak akan terlepas dari
perkembangan hubungan antara Muslim di kepulauan Nusantara ini dengan
pusat pendidikan Islam yang ada di Timur Tengah, yang menurut Azyumardi,
khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa yang panjang dan
dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim.22
Hal tersebut kemudian didukung oleh semakin kuatnya semangat baru
dalam keagamaan (religious revivalism) di sebagian besar kepulauan
Nusantara, seperti Jawa dan Sumatera. Penyebabnya antara lain
berkembangnya hubungan laut antara Eropa dan Asia (dan tentunya dengan
Jawa), terutama setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang
melancarkan proses penyebaran Islam ke daerah-daerah pedesaan di Jawa.
Untuk beberapa puluh tahun terakhir di abad ke-19, Jawa seolah-olah dilanda
oleh intensitas kehidupan Islam.23 Di samping itu, perkembangan selanjutnya
yang cukup penting ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anak-
anak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah
untuk memperdalam pengetahuan mereka.
21 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 274-275. 22 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1994), h. 15 dan 23. 23 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari
Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 133.
36
Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama yang terkenal
dan mengajar di Makkah atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini
turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat
di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara.
Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan
spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara, dan semakin jelas di Jawa
menyebabkan hilangnya sifat-sifat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat
semakin berkurang (walaupun tidak berarti hilang sama sekali).24
Pada akhir abad ke-19, terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang
diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di
masjid al-Haram di Makkah, seperti Syekh Nawawi (Banten) dan Syekh
Mahfudz dari Tremas (w. 1919/ 20 M), Perkembangan pemikiran ‘ulum al-
Hadis di Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh pendidikan ulama
Indonesia di Timur Tengah, khususnya di Haramayn.
Sedikitnya karya ulama Indonesia dalam bidang hadis dan ulum al-
Hadis, menjadikan semakin sulitnya melacak informasi kekuatan dari
pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia. Bahkan, Dalam penelitian Martin,
dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran hadis dan ulum al-
Hadis sama sekali baru. Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini
ialah bahwa para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan
pelajaran di Makkah biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka
24 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari
Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 134.
37
setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran
Jawa.25
Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada
saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja
bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti
masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang
ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah
dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih
sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan
mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral
dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis
ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis.
Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya,
peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada
masa Nabi.
Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab
memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun
kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek
siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal
adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar
25 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari
Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 134.
38
merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung
mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.26
Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi
dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat
diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat
bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal
dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman
nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya
larangan ini dihapus.27 Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman
sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang
orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup
antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan
menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).28
Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti
yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis terdahulu.29
Pada dasarnya, “Kritik Hadis” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama. Bahkan
hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad saw. maupun
26 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 1. 27 Misalnya hadis yang dinukil oleh MM. Azami dalam bukunya Studies In Early
Literature, (terjemah oleh Ali Mustafa Yaqub) dari Sa’id bin Khudari yang berbunyi: “Jangan kamu tulis ucapan-uacapanku, barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an maka hendaknya ia menghapusnya……meskipun nantinya hadis ini dinaskh oleh hadis lain.
28 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 8. 29 Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Hadis mengatakan bahwa syarat
diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama, sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua, rawinya adil, ketiga, rawinya dabit baik dabit secara hafalan maupun tulisan, keempat, tidak ada cacat/’illat dalam matannya, kelima, tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. (hal.117).
39
masa sahabat. Namun hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadis.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oeh ulama
klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan
metodenya.
Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik
sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode
kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan
yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadis itu mencakup
berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia
mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
dimana menurutnya, al-Bukhârî hanya melakukan kritik sanad dan tidak
melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh
Goldziher, hadis itu ternyata palsu.30
Goldziher juga orang pertama yang menuduh al-Zuhri sebagai seorang
pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri
yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits”
dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara
akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif
(ma’rifah), yaitu “al-ahadits”.
Sepertinya Ini bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan
pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya
akan berbeda dengan jika memakai “al”. pengertian ucapan al-Zuhri yang asli
30 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 15.
40
adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis
Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu
buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para
pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada saat
itu.31
Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujukan utama
yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga dianggap sakral oleh
mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahannya harus diberangus dari
dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadis oleh
orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental
dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of
Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya
An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.
Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadis
Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadis nabawi terutama yang
berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan
ketiga Hijriyah.32
Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back”
yaitu memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia
menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadis yang menjadi
sandaran ke-sahîh-an sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk
berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang
31 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 10. 32 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 20.
41
sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-
doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan
akhirnya kepada Nabi saw. Inilah yang dinamakan teori projecting back.33
Kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak
berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus
melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis
Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori
common link-nya.
Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan
fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai
pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia
selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah
common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins
Of Muhammadan Jurisprudence.34
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi
fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang
cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak
lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu
sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian
dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-
matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem
33 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan
Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 2. 34 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan
Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. x.
42
penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah
(historical approach).
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang
mendengar suatu hadis dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan
lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya
kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya.
Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam
berkas isnâd yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan
demikian, ketika berkas isnâd hadis itu mulai menyebar untuk yang pertama
kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.35
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk
meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak
berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada
umumnya bersifat filosofis.
Kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi
pada abad 19 M, yang dilakukan oleh para orientalis. Namun umumnya hasil
studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bias diterima oleh umat Islam.
Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis
nabawi umumnya negatif, sehingga menyentuh emosi umat Islam, yang pada
gilirannya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan penulis muslim,
sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan.
35 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan
Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 3.
43
Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan kaum orientalis
terhadap hadis yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan dipuji oleh banyak
kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku: Studies in Early
Hadith Literature,36 karya Muhammad Mustafa ‘Azamî, seorang cendekiawan
muslim kelahiran India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadis di
Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M.
‘Azamî.
Buku tersebut semula merupakan disertasi M.M. A’zamî di Universitas
Cambridge, Inggris, pada tahun 1965 / 1966. Sumbangan pemikiran M.M.
A’zamî pada masa awal (pra-Goldziher), disimpulkan bahwa hadis bukanlah
ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad saw.
Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadis
sebagaimana didefinisikan oleh ulama muhadditsin, karena dipandang tidak
pernah ada. Menurut mereka, hadis adalah karya manusia belaka, yang tidak
memiliki kebenaran sama sekali. Periode kedua tentang penelitian hadis yang
dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan
karyanya, Muhammadenische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die
Zahiriten, karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher.37
36 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diberi judul: Dirâsât fi al-
Hadîth al-Nabawi wa Tarîkh Tadwînih, diterbitkan oleh Dâr al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1980. Pada tahun 1986, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Nurjaman dan Endang Soetari Ad, namun tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Mustafa Yaqub, dan diberi judul: Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994.
37Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 244.
44
BAB IV
PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS
Kemampuan Nabi berkomunikasi dengan komunitas Arab yang berbeda-
beda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis, tetapi juga
pada pemahaman matan hadis. Yakni selain memberikan peluang yang relatif luas
terjadinya periwayatan makna, hal itu juga dapat menyebabkan adanya lafal yang
berfariasi. Adakalanya berupa Jawâmi’ al-Kalim (ungkapan singkat namun padat
makna), tamtsîl (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan,
Qiyâs (ungkapan analogi), dan lain-lain.1 Perbedaan bentuk matan hadis
menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus berbeda-beda.
Dalam hal ini, Yûsuf al-Qardâwi merumuskan bahwa ada dua tipologi
pemahaman ulama atas hadis nabi, yaitu tekstual dan kontekstual.2 Gejala awal
pemahaman tekstual dan kontekstual ini telah muncul sejak zaman Nabi saw
masih hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada perbedaan para sahabat dalam
menterjemahkan pesan Nabi, “Janganlah kalian salat Ashar kecuali di
perkampungan Banî Quraizah”.3
1 Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah
Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 9.
2 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M (Bandung: Mizan, 2001), cet-9, h. 54.
3 Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahih al-Bukhâri, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb salâh al-tâlib wa al-matlûb râkiban wa îmâ’an, hadis nomor 904, j. 1. H. 321.; Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, bâb al-mubâdarah bi al-Ghazw, hadis nomor 1770, j. 3, h. 1391.
45
Berdasarkan realitas sejarah di atas, penulis akan mencoba memetakan
pada bab ini tentang pemahaman tekstual dan kontekstual yang akan digali dari
buku-buku yang pernah ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub.
A. Tekstual
Tekstualis (zâhiri) adalah orang-orang yang hanya berpegang kepada
nas-nas secara harfiah, tanpa mendalami maksud kandungan serta tujuannya.
Kelompok tekstualis menolak mempertimbangkan alasan, motivasi, dan latar
belakang hukum, dan menyamaratakan antara adat dan ibadah dalam satu
rangkaian.4
Jamal al-Din al-Qasimî dan Yusuf al-Qardawi menilai bahwa hal ini
dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu motivasi cinta (adab kepada Rasulullah
Saw) dan motivasi ibadah.
Pertama, Motivasi cinta (adab kepada Rasulullah saw) seperti yang
ditunjukkan oleh sebagian sahabat sejak Rasulullah saw masih hidup. Ibnu
Umar merupakan potret utama dalam hal ini. Ketika Rasulullah saw pernah
turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan salat dua rakaat,
maka Ibnu Umar melakukannya ketika ia melewati tempat itu.5 Kesetiaannya
yang tinggi dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah saw ini telah
mengundang pujian dari Ummu al-Mukminîn ‘Āisyah ra, “Tak seorangpun
mengikuti jejak langkah Rasulullah saw di tempat-tempat pemberhentiannya,
sebagai yang dilakukan oleh Ibnu Umar.”6
4 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 54. 5 Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah.
Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. (Bandung: CV. Diponegoro, 2002), h. 121. 6 Khâlid Muhammad Khâlid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat, h. 121.
46
Kedua, Motivasi Ibadah, misalnya seorang muslim yang
memendekkan pakaiannya (sarung, baju gamis dan celana) karena ingin
mengikuti sunnah, menjauhkan diri dari tuduhan melakukan kesombongan,
atau menghindari perbedaan pendapat, maka ia mendapat pahala. Tetapi
dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain melakukan seperti dirinya
sendiri. Dan juga tidak boleh bertindak keterlaluan dalam mengkritik orang
lain yang tidak melakukannya, karena adanya pendapat mujtahid lain yang
berbeda, dan setiap mujtahid akan mendapat pahala atas ijtihadnya.7
Namun Muhammad Abduh seorang tokoh revivalis modern
berpandangan bahwa tidak semua ucapan dan perbuatan Nabi saw memiliki
kandungan hukum. Hanya para ahli fiqh tradisionalis ekstrim dari madzhab
Zahiri dan sebagian pengikut Hanbali yang menyerukan bahwa mengikuti
Nabi saw dalam setiap hal sebagai kewajiban.8 Mereka juga terikat pada
makna harfiah teks al-Qur’an dan hadis.9 Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab
Hanbali10 (w. 241 H).
7 Yûsuf al-Qardâwi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa
Dawâbit (Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi,1990), h. 108. 8 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah
Jaziar Radianti, (Bandung: Mizan, 2000), h. 33. 9 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 151. 10 Ahmad bin Hanbal memiliki nama lengkap Abû Abdillah ibn Muhammad ibn
Hanbal ibn Hilal al-Syaibani. Keluarganya pindah dari Marwa ke Baghdad pada waktu ibunya mengandung Imam Ahmad. Ia lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 164 H di Baghdad dalam keadaan yatim. Imam Ahmad belajar hadis secara dikte kepada para guru-gurunya di Bagdad selama 7 tahun yaitu sejak berumur 15 tahun sampai umur 22 tahun. Setelah itu, ia pergi ke Kûfah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah Arab untuk menuntut ilmu. Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, h. 5. Ahmad bin Hanbal mempunyai kitab koleksi hadis yang memuat 40.000 hadis. Ia menulisnya berdasarkan musnad (kumpulan hadis) para sahabat dan menyusunnya berdasarkan tema-tema hadis. Namun Imâm Ahmad menyusunnya tidak berdasarkan urutan huruf hijaiyah atau huruf mu’jam, melainkan berdsarkan hal-hal yang bermacam-macam, di antaranya; keistimewaan para sahabat, daerah tempat tinggal sahabat, suku atau kabilah sahabat, dan lain sebagainya. Lihat Mahmûd al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid, (Riyâd: Maktabah al-Ma’arif, (1417 H/1996 M), h. 42.
47
Sementara itu, tokoh-tokoh madzhab lain berpendapat adanya
kebutuhan akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya.11
Imam al-Syafi’i (204 H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan
tetapi dia masih mentolelir dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang
memang berpotensi pada pemaknaan yang lebih dari satu.12 Selain itu, dua
corak pemikiran al-Syâfi’î, Qaul Qadîm ketika ia tinggal di Bagdad dan Qaul
Jadîd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan
konteks secara serius.13 Adapun Abû Hanîfah (w. 150 H) lebih dikenal sebagai
tokoh madrasah Ahl Ra’y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang ahli
hadis,14 sehingga madzhab Hanafi seperti diutarakan Muhammad al-Ghazâli
lebih dekat dengan rada keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia.15
Berdasarkan karakteristik setiap tokoh tersebut, Farûq Abû Zaid menyebut
kelompok pertama sebagai al-muhafizûn (kaum ortodoks), sedang kelompok
11 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 33. 12 Muhammad Jamâl al-Din al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits min Funun Mustalah al-
hadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 305. 13 Misalnya, menurut Qaul Qadim orang yang salat sementara pakaiannya terkena
najis beberapa waktu sebelum salat maka salatnya tidak sah kecuali ia orang bodoh atau lupa. Menurut Qaul Jadid salatnya tidak sah apabila ia bodoh atau lupa. Muhyi al-Dîn bin Syarf al-Nawâwi, al-Majmû’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H/1996 M), juz 3, h. 139.
14 Menurut Imâm Yahya bin Ma’în (w. 233 H), Abû Hanîfah adalah seorang yang tsiqah (dapat diandalkan hadisnya). Ia tidak mau meriwayatkan hadis kecuali yang ia hafal saja. Di antara orang yang menulis hadis darinya adalah ‘Abdullah bin al-Mubârak, Abû Yûsuf, dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Salah satu kitab hadis karya Abû Hanîfah adalah kitab Musnad al-Imâm al-A’zam Abî Hanîfah. Lihat Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri Abû al-A’la, Tuhfah al-Ahwadzi, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H/1990 M), h. 13. Muhammad Mustafa al-A’zami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 425. Menurut Mustafa al-A’zamî pendapat yang mengatakan bahwa orang Iraq lebih mementingkan ra’yu dari pada hadis adalah tidak tepat Karena pernyataan eksplisit ulama Iraq menyebutkan “lâ hujjata Fi Ahadin ma’a al-Nabiy shallallahu ‘alaihi wasallam” / “Tidak ada orang yang memilki otoritas jika dipersandingkan dengan Nabi saw”. Muhammad Mustafa al-A’zami , Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, penerjemah Asrofi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 97.
15 Muhammad al-Ghazâli, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerjemah Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 32.
48
kedua sebagai al-mujaddidûn (kaum pembaharu).16 Adapun pada masa
kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi.17
Sementara Ali Mustafa Yaqub memiliki pandangan bahwa pada
dasarnya hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila pemahaman
tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka pemahaman kontekstual
boleh digunakan.18
Walaupun terlihat ada perbedaan tentang posibilitas pemahaman
kontekstual antara Ali Mustafa Yaqub dan tokoh-tokoh hadis kontemporer
lain, namun mereka memiliki pandangan yang sama tentang beberapa tema
hadis-hadis yang harus dipahami secara tekstual. Tema-tema hadis tersebut
dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni
(al-Ibâdah al-Mahdah).19
16 Farûq Abû Zaid, al-Syari’ât al-Islâmiyyah bain al-Muhâfizin wa mujaddidîn,
(Kairo: Dâr al-Ma’mun, 1978), h. 5. 17 Salafi adalah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama
Islam berdasarkan pemahaman kaum salaf al-Sâlih yaitu orang-oramg terdahulu yang saleh dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam. Nama salafi (wahhabi) disandarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhâb yang melakukan usaha untuk memurnikan kembali ajaran Islam dari budaya bid’ah dan takhayul yang dianggapnya telah meracuni umat Islam pada saat itu. Gerakan ini mulai pada abad 18 M (1744 M) di daerah Nejed dan Hijaz yang dikenal sekarang sebagai Arab Saudi. Selain dinamakan Wahhabi kelompok ini menamakan dirinya salafi. Inti ajaran salafi (wahhabi) adalah mengamalkan ajaran agama berdasarkan al-Qur’an dan hadis serta bertumpu pada pemahaman salaf al-Shâlih tanpa terikat dengan salah satu madzhab. Mereka mengambil ajaran-ajaran yang berada dalam madzhab tersebut yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Terutama hadis yang derajatnya baik dan tidak ada pertentangan di dalamnya. Lihat Muhammad Tijani, Madzhab Alternatif, Perbandingan Syi’ah Sunnah (Cianjur: Titian Cahaya, 2005).
18 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 152; menurut Ali Mustafa pemahaman tekstual (textual) hadis dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap makna hadis seperti apa adanya (lafziyyah). Lihat Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152.
19 Tabligh al-Risalah (hal-hal yang termasuk wahyu kerasulan) berdasarkan firman Allah swt. ھ فانتھوا واتقوا اللھ إن اللھ شدید العقابوما آتاكم الرسول فخذوه وما نھاكم عن / “Apa yang diberikan Rasul maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr/59: 7) di antaranya adalah informasi tentang akhirat, kehidupan alam ghaib, syariat, aturan ibadah, dan akhlak umum. Fungsi Nabi dalam hal ini di antaranya adalah merinci hal-hal global, seperti akhlak terpuji dan tercela. Lihat Muhammad Jamal al-Din al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits Min Funûn Musthalah al-hadits, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 269; Lihat juga Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 21.
49
1. Perkara Ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah)
Yûsuf al-Qardâwi menegaskan bahwa semua hadis sahîh yang terkait
dengan alam ghaib harus diyakini kebenarannya dan dipahami dengan
tekstual. Tidak boleh ditolak, walaupun mustahil menurut akal dan ganjil
menurut kebiasaan. Sikap terbaik adalah dengan mengatakan, “Kami beriman
dan kami membenarkannya.”20
Dalam hal ini Yûsuf al-Qardâwi menyebutkan bahwa di antara
fenomena Ghaib yang harus dipahami secara tekstual ada tiga hal. Pertama,
kehidupan alam barzah seperti pertanyaan kubur, nikmat, dan azabnya. Kedua,
kehidupan akhirat seperti kebangkitan, mahsyar, kondisi hari kiamat, syafa’at,
timbangan, jembatan, surga, neraka dan lain-lain. Ketiga, hakekat Allah,
Malaikat, Iblis, dan Jin.21
Adapun Ali Mustafa mencoba mendefinisikan terlebih dahulu alam
ghaib berdasarkan kategorinya. Ia mengatakan bahwa ghaib itu ada dua
macam, yaitu ghaib nisbi (relatif) dan ghaib haqîqî (mutlak). Ghaib nisbi
(relatif) seperti kota New York bagi orang yang belum pernah berkunjung,
namun bagi orang yang telah berkunjung tidak ghaib lagi. Sedangkan ghaib
haqîqî (mutlak) adalah seperti datangnya hari kiamat, yang tidak diketahui
oleh siapapun termasuk oleh Nabi Muhammad saw. Hal-hal yang berkaitan
dengan masalah-masalah ghaib, seperti hakikat Allah, malaikat, surga, neraka,
dan lain-lain tidak layak untuk ditafsirkan secara kontekstual. Dalam masalah-
20 Yûsuf al-Qardâwi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa
Dawâbit (Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi,1990), h. 173-174. 21 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Beirût: Dâr al-Ma’rifah,
t.t.), j. 1, h. 254.
50
masalah ini cukup mengikuti petunjuk tekstual dari al-Qur’an dan hadis
nabawi. Ali Mustafa menolak alasan sebagian orang yang masih mau
melakukan interpretasi terhadap hal tersebut hanya karena ketidakmampuan
untuk memahaminya. Ketidakpahaman manusia tidak dapat dijadikan
argumen untuk menundukkan hadis-hadis itu kepada pemikiran manusia
dengan mengontekstualkannya. 22
2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdah)
Yûsuf al-Qardâwi mengemukakan bahwa masalah ibadah merupakan
suatu kepastian yang harus ditaati oleh manusia tanpa memandang maksud-
maksud dan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Berlainan dengan apa yang
berkaitan dengan masalah adat kebiasaan dan muamalah.23 Oleh karena itu,
tidak diperkenankan mengatakan bahwa infaq harta untuk fakir miskin lebih
penting dari pada menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Adapun dalam
masalah-masalah selain ibadah yang murni (al-‘Ibadah al-Mahdah) seperti
hal-hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan dan muamalah antar manusia
harus dengan memperhatikan sebab-sebabnya serta maksud-maksud yang
terkandung di dalamnya.24
Di samping itu, al-Dahlawi menyebutkan bahwa sesuatu yang
termasuk dalam kategori ibadah yang murni (al-‘Ibadah al-Mahdah) adalah
aturan rinci pelaksanaan ibadah25 seperti hadis, “Salatlah kalian sebagaimana
22 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h. 48. 23 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 55. 24 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 55. 25 Jamâl al-Dîn al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits, h. 269.
51
kalian melihat aku salat”.26 Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut
tidak memberi peluang bagi kemunculan interpretasi yang melahirkan
pengertian yang berbeda. Dalam ilmu al-Qur’an model redaksi kata seperti itu
sering disebut dengan (muhkamât).27
Adapun teks yang berkaitan dengan ibadah-ibadah murni (al-‘Ibâdah
al-Mahdah), yang berkaitan dengan hubungan personal antara khâliq dan
makhluk-Nya menurut Ali Mustafa Yaqub juga tidak layak ditafsirkan secara
kontekstual. Teks yang berkaitan dengan ibadah murni seperti cara salat,
puasa, haji, dan lain-lain harus dipahami secara tekstual dan apa adanya,
bahkan seseorang mesti tunduk kepada petunjuk tekstual semua jenis dan
bentuk pelaksanaan ibadah murni baik dari al-Qur’an maupun hadis nabawi.
Mengontekstualkan masalah-masalah tersebut, ungkap Ali Mustafa, malah
akan menjadikan substansi teks tersebut kehilangan universalitasnya, karena
masing-masing lingkungan atau negara dapat membuat aturan salat yang
berbeda dengan negara lain karena perbedaan kondisi negara tersebut.28
B. Kontekstual
Dalam pandangan Ali Mustafa, tafsir kontekstual tidak bisa dinafikan
sebagai sebuah aktifitas berfikir (ijtihâd) yang bersifat “human construction”.
Sebagai bikinan manusia tentu saja hal tersebut bisa benar bisa salah serta
26 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri,
(Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb al-adzân li al-musâfir, hadis nomor 605, j. 1, h. 226.
27 Abd al-Wahhâb Khalâf, Ilm Usûl al-Fiqh (Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972), h. 168.
28 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 21.
52
masih debatable (dapat diperdebatkan), karena itu “seorang mufassir
kontekstual” dituntut untuk memiliki perangkat-perangkat ilmiah yang
diperlukan untuk melakukan aktifitas ijtihad, di samping dituntut pula untuk
memiliki perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan penafsiran
kontekstual.
Adapun dalam melakukan aktifitas itu ia tetap dituntut untuk
menempuh metode yang disebut sebagai ahsan turuq al-tafsîr terlebih dahulu
sebelum melakukan penafsiran kontekstual, yaitu tafsir al-Qur’an bi al-
Qur’an, kemudian tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah. Ali Mustafa mengingatkan
bahwa tanpa memakai metode seperti itu dikhawatirkan “tafsir tekstual”
merupakan tindakan mendikte Allah (al-hukm ‘ala Allâh), karena hal itu tidak
lebih dari sekedar pendapat pribadi.29
Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa memiliki
rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah hadis tidak dapat
dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara kontekstual, yaitu
dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafaz (teks) itu sendiri, yang
meliputi Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd); Lokal dan
Temporal (Makâni wa Zamâni); Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) dan;
Sosio Kultural (Taqâlid).30 Berikut ini akan dipaparkan beberapa perangkat
pemahaman kontekstual yang dirumuskan Ali Mustafa Yaqub.
29 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 22. 30 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152.
53
1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd)
Pada dasarnya, tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis,
karena ada hadis yang muncul begitu saja, tidak karena sebab tertentu.
Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang
harus dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai
sabab al-wurûd atau tidak. Pemahaman terhadap hadis Nabi saw, sering kali
memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan
tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi (asbâb
al-Wurûd)31 harus pula diperhatikan.
Secara sederhana, sabâb al-Wurûd dapat diartikan sebagai sebab-sebab
yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalâl al-Dîn al-Suyûti (w.
911 H), sabâb al-Wurûd berarti sesuatu yang menjadi Târiq (jalan) untuk
menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, mutlaq atau
muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu.
Sebab-sebab yang melatar-belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa
pertanyaan sahabat, peristiwa, maupun keputusan Nabi terhadap persoalan
yang terjadi antar sahabat.32 Menurut Ibnu Hamzah Asbâb al-Wurûd
kadangkala disebutkan dalam hadis itu langsung, namun kadangkala
disebutkan pada hadis lain.33
31 Sebab-sebab yang melatar-belakangi terjadinya hadis Nabi saw dalam ilmu hadis
dikenal dengan istilah asbâb al-Wurûd. Para ulama telah menghimpun hadis-hadis Nabi yang memiliki asbâb al-Wurûd dalam kitab-kitab tertentu, misalnya: al-Bayân wa al-Ta’rîf Fi Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad Ibn Hamzah al-Husaini dan asbâb Wurûd al-Hadîts karya Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Abi Bakr al-Suyûti.
32 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153. 33 Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, h. 27.
54
Ali Mustafa menjelaskan bahwa tela’ah historis melalui sabâb al-
Wurûd ini sangat penting dilakukan, karena sebagaimana dinyatakan al-
Suyûtî, dengan mengetahui sabâb al-Wurûd seseorang akan bisa mengetahui
mana hadis yang umum, khusus, mutlaq, dan mana hadis yang muqayyad,
sehingga bisa menempatkan hadis sesuai porsinya. Jadi, mengetahui sabâb al-
Wurûd itu sangat membantu dalam memahami hadis dan ayat, karena
mengetahui sebab itu dapat mengetahui musabbab (akibat).34
Dengan mengetahui latar belakang lahirnya hadis, ajaran Islam juga
bisa ditempatkan secara proporsional. Dengan sikap ini, seseorang bisa
menyimpulkan isi kandungan sebuah hadis secara tepat. Bahkan pengamalan
dan penerapannya akan lebih tepat pula. Misalnya, hadis yang diriwayatkan
Imâm al-Bukhâri dari al-Barrâ bin Âzib, bahwa Rasulullah saw pada suatu
ketika ditanya oleh seorang pemuda yang hendak masuk Islam, namun ia baru
akan mengucapkan syahadat setelah ikut perang bersama Nabi saw, lalu beliau
bersabda: “Masuk Islamlah kamu, kemudian berperanglah!”.35
Orang yang tidak mengetahui latar belakang munculnya hadis di atas,
kemungkinan ia akan salah menyimpulkan. Dengan membaca hadis ini secara
sepintas, bisa saja ada kalangan yang berasumsi bahwa Islam itu punya tradisi
yang buruk, suka berperang, dan ajarannya memberatkan. Bahkan, tidak
mustahil ada orang yang memahami, bila tidak berani berperang, tidak usah
masuk Islam. Akan tetapi, bila dilihat dari latar belakang lainnya hadis
34 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153. 35 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri,
(Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034.
55
tersebut, dapat diketahui dengan jelas kepada siapa perintah yang ada di balik
hadis itu dan dalam konteks apa ucapan itu lahir. Menurut al-Barrâ’, ternyata
hadis itu diucapkan Nabi saw karena ada suatu peristiwa. Yaitu, peristiwa
datangnya seorang laki-laki yang menemui beliau seraya berkata. “Ya
Rasulullah saw, aku berperang kemudian barulah masuk Islam.” Kata
Rasulullah saw, “Masuk Islamlah kemudian berperang!” akhirnya orang
tersebut menyatakan masuk Islam, kemudian ia meloncat ke medan perang
dan terbunuh di sana. Menyaksikan kejaidian itu, Rasulullah saw bersabda,
“Dia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.”36 Jadi, sekarang kita
bisa mengetahui bahwa hadis tersebut terkait dengan sebuah peristiwa dan
ditujukan kepada seorang tertentu juga. Dengan demikian, kesimpulan bahwa
Islam itu suka berperang, tentu tidak tepat.37
Contoh lain, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dan Imâm
Muslim dari ‘Abdullâh bin ‘Âbbas. Nabi saw bersabda, “Apabila kamu
sekalian hendak menunaikan salat jum’at, maka hendaklah (terlebih dahulu)
mandi”.38 (HR. al-Bukhâri dan Muslim). Berdasarkan petunjuk hadis di atas,
Ali Mustafa menukilkan bahwa Imâm Dâwud al-Zâhiri (w. 270 H/883 M)
seorang pendiri madzhab al-Zâhiri menyatakan bahwa mandi pada hari Jum’at
sebelum menunaikan salat Jum’at adalah wajib dan berlaku untuk siapa pun.
36 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri,
(Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034.
37 M. Suwarta Wijaya, Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, h. i-v.
38 al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb fadlu al-ghusli yaum al-Jum‘ah, hadis nomor 837, j. 1, h. 299; Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim (T. tp: Maktabah Dahlân, t.t.), kitâb al-Jum’ah, hadis nomor 844, j. 2, h. 579.
56
Ini dikarenakan beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya
dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.39
Ali Mustafa menjelaskan bahwa menurut riwayat yang ada, hadis itu
memilki sebab khusus. Dalam sebuah riwayat, pada saat itu perekonomian
para sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka
hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga
banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, banyak dari
mereka yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jum’at. Pada
suatu Jum’at, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw
berkhutbah, aroma keringat dari orang yang berbaju wol kasar dan belum
mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening di dalam masjid menjadi
terganggu oleh aroma yang tidak sedap itu, sehingga Nabi saw pun
mengatakan seperti tadi. Oleh karena itu, Ali Mustafa Yaqub menyimpulkan
bahwa berdasarkan kondisi sosiologis di atas, Nabi saw hanya mewajibkan
mandi Jum’at itu bagi orang-orang yang badannya kotor saja.40
2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni)
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat
tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya
hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara
tekstual belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia.
Karenanya, kondisi seperti ini menuntut adanya pemahaman secara
kontekstual, sehingga makna hadis itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada
39 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153-154.
40 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 154.
57
wilayah berbeda. Misalnya hadis yang diriwayatkan Imâm al-Tirmidzi.
“Antara Timur dan Barat adalah kiblat”.41
Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada di utara
Ka’bah (Makkah), maka makna tekstual hadis itu tepat sekali. Bagaimana
dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis berbeda dengan
masyarakat Madinah. Apabila hadis tersebut dipahami secara tekstual, maka
tentu akan menimbulkan kekeliruan yang fatal. Oleh karena itu, pemahaman
yang mendekati kebenaran adalah dengan melalui pendekatan kontekstual,
yaitu dengan melihat lokasi geografis hadis yang disabdakan.42
3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm)
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi saw terkadang
menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara
konkrit oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat
dipahami kecuali melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap
kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm). Misalnya, sabda Nabi saw, “Seandainya
tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan menjadi basi, daging tidak
akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada Hawâ’, maka tidak ada istri
yang berkhianat pada suaminya.”43
Hadis ini disabdakan Nabi saw sebagai kritik atas kebakhilan orang-
orang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang lain,
41 Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
(Semarang: Toha Putra, t.t.), bâb mâ jâ’a anna mâ bain al-masyriq wa al-maghrib qiblah, hadis nomor 342, j. 2, h. 171.
42 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 155. 43 Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb laulâ hawâ lam takhun
untsa zaujuhâ, hadis nomor 1470, j. 2, h. 1092.
58
sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga
makanan itu busuk. Ali Mustafa menukilkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî
memahami hadis ini secara tekstual, sehingga ia berkesimpulan bahwa hadis
ini palsu, karena membusuknya daging tidak ada kaitannya dengan orang-
orang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî yang
terkenal kontekstualis masih terjebak pada metode tekstual ketika memahami
beberapa hadis yang tidak ia pahami.44
Dalam hal ini prinsip umum kaedah usûl fiqh mesti diterapkan untuk
mengetahui kandungan ‘illat dalam sebuah hadis. Karena berjalannya
ketentuan hukum selama ada ‘illatnya. Kalau ‘illatnya sudah hilang, maka
ketentuan hukumpun menjadi batal / “al-hukmu yadûru ma’a al-‘illah
wujûdan wa ‘adaman.”45
4. Sosio Kultural (Taqâlid)
Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman kontekstual juga
dapat dilakukan melalui pengetahuan tentang Sosio Kultural (Taqâlid), yaitu
dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu.
Misalnya, hadis Nabi saw yang membolehkan orang yang sedang salat,
meludah di masjid.46 Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan
persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid
sekarang. Masjid zaman Nabi saw belum mengenal lantai keramik, melainkan
pasir, sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir.
44 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 157. 45 Al-Sayyid Bakri bin al-Sayyid, I’ânah al-Tâlibîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), j. 2, h.
290. 46 Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb hadis Jâbir al-Ta’wîl, hadis
nomor 3006, j. 4, h. 2303.
59
Apalagi ternyata pasir di Arab dengan udara kering dan panas menyebabkan
bakteri-bakteri tidak tahan lama.
Ini berbeda dengan masjid saat ini yang lantainya telah menggunakan
keramik atau marmer. Bila meludah di masjid seperti ini dibenarkan, maka
justru akan mengotori masjid dan membahayakan kesehatan. Bahkan boleh
jadi, masjid semakin tidak ada peminatnya, karena penuh kotoran ludah.
Karena itu, kita tidak mungkin menerapkan hadis itu secara tekstual, tanpa
mengaitkannya dengan kondisi kultural saat itu.47
47 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 157.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia tampak
mempunyai corak yang khas sebagaimana terjadi di dunia Islam secara umum.
Dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub (l. 1952) termasuk tokoh yang
mempertahankan tradisi kajian hadis dengan pendekatan berbeda, yaitu lebih
banyak menggunakan pendekatan kontekstual (ma’nawi).
Berdasarkan hasil penelitian tentang Perkembangan Kajian Hadis
Kontemporer (Studi Atas Pemikiran Ali Mustafa Yaqub), maka peneliti
memperoleh beberapa kesimpulan:
1. Ali Mustafa dianggap sebagai ahli hadis yang melanjutkan pembelaan
Mustafa al-A’zamî secara akademis terhadap hadis. Walau pernah selama
9 tahun kuliah di Arab Saudi dan belajar langsung kepada Abd al-Azîz bin
Abdullâh bin Bâz (w. 1999) dan Abd al-‘Azîz Âlu Syaikh, namun Ali
Mustafa terkesan lebih tertarik untuk memadukan antara tradisi lokal dan
Arab. Oleh karena itu, Ali Mustafa termasuk yang menggagas konsep
lokalisasi tradisi keislaman. Ia juga terlihat toleran terhadap interpretasi
kontekstual, bahkan ia juga ikut menerapkan pendekatan tersebut.
Ali Mustafa Yaqub termasuk tokoh kontemporer Indonesia yang
mempertahankan tradisi kajian hadis dengan pendekatan berbeda, yaitu
lebih banyak menggunakan pendekatan kontekstual (ma’nawi). Namun
61
dalam menghadapi hadis-hadis yang berkaitan dengan permasalahan ghaib
(al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan ibadah murni (al-Ibâdah al-Mahdah) beliau
menekankan aspek tekstual. Karena beliau menganggap dua hal tersebut
tidak mampu dipahami secara utuh oleh nalar manusia.
2. Kontribusi dan gagasan Ali Mustafa sebagai upaya pelestarian dan
pengembangan pemikiran kajian hadis di Indonesia sangat banyak sekali.
Di antaranya beliau menerbitkan karya-karya yang berkaitan dengan
kajian hadis, beliau juga mendirikan pesantren luhur Ilmu Hadis Darus
Sunnah khusus untuk mahasiswa.
3. Ali Mustafa Yaqub dinilai oleh banyak kalangan tokoh seperti Ali Yafi,
Hidayat Nurwahid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Huzaimah Tahido Yanggo,
Nasaruddin Umar, dan lain-lain sebagai ahli hadis Indonesia yang
produktif menulis, kritis dan telah dikenal luas oleh masyarakat, baik
umum maupun perguruan tinggi. Namun bukan berarti beliau tidak diterpa
berbagai kritikan.
Berdasarkan pemahaman yang ia yakini kebenarannya, Ali Mustafa
tidak menilai bid’ah sesat praktik lokal seperti peringatan maulid, Isrâ’ dan
mi’râj, yasinan, selamatan tujuh bulanan, shalawatan sebelum azan, zikir
berjama’ah, bersalaman selesai salat, dan lain-lain. Karena menurut ahli
bid’ah sesat dalam ibadah adalah sesuatu yang tidak memiliki dalil syar’î, baik
dari al-Qur’an, hadis, ijmâ’, qiyâs, istihsân dan lain-lain. Seperti salat shubuh
empat rakaat.
62
B. Saran-saran
Setelah menyimpulkan, penulis memiliki beberapa saran yang kiranya
dapat bermanfaat bagi kelanjutan kajian-kajian sejenis pada masa mendatang.
Terutama yang terkait dengan pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap
hadis Nabi saw, adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Diperlukan kajian yang mendalam tentang sikap tekstual dan kontekstual
tokoh-tokoh Islam Indonesia yang berimplikasi langsung terhadap praktek
keberagaman masyarakat. Hal ini diharapkan bisa mewujudkan terciptanya
budaya saling menghargai dan sikap arif menyikapi perbedaan.
2. Diperlukan kajian yang komprehensif tentang sejarah masa lalu umat
Islam. Termasuk didalamnya sejarah generasi al-Salaf al-Sâlih yang
menjadi panutan semua gerakan Islam-tentu saja dengan kadar yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
3. Penelitian yang penulis lakukan mengenai kontribusi Ali Mustafa Yaqub
terhadap perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia masih
dalam tataran yang sederhana, yang pembahasannya masih terfokus pada
pemahaman tekstual dan kontekstual. Karena itu, hendaknya ada
penelitian lanjutan menyangkut pembahasan yang sempat belum dibahas
di dalam penelitian ini.
63
Akhirnya, tidak ada manusia sempurna. Kullu banî âdama khatâûn wa
khair al-khatâin al-tawwabûn. Setiap anak Adam itu berpotensi melakukan
kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu terjatuh dalam kesalahan
adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi saw.
setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik pada
akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari
memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahu al-Muwaffiq.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2004.
Abû al-A’la, Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri, Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H/1990 M.
Al-A’zami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994.
Badawi, Abd al-Rahman. Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, Yogyakarta: LKis, 2003.
Bâz, Abd al-Azîz, dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed., Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penerjemah: Jaziar Radianti. Bandung: Mizan, 2000.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.
Al-Bukhâri, Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M.
Bustamin dan Salam, M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Al-Ghazâli, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Hadi, Syamsul. Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, Jombang: Zahra Book, t.t.
Husaini, Ibnu Hamzah. Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
65
Al-Khalâf, Abd al-Wahhâb, Ilm Usûl al-Fiqh, Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972.
Khâlid, Khâlid Muhammad. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah. Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. Bandung: CV. Diponegoro, 2002.
Al-Khinn, Mustafa Sa’îd. Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982.
Marlow, Loise. Masyarakat Egaliter Visi Islam. Bandung: Mizan, 1999.
Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: Lkis, 2007.
Al-Naisâbûrî, Muslim bin al-Hajjâj. Shahîh Muslim. T. tp: Maktabah Dahlân, t.t.
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II. Jakarta: CeQda, 2007.
Al-Nawâwi, Muhyi al-Dîn bin Syarf, al-Majmû’. Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H/1996 M.
Al-Qardâwi, Yûsuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit. Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi, 1990.
------------------------, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M. Bandung: Mizan, 2001.
Al-Qâsimi, Muhammad Jamal al-Din. Qawâid al-Tahdits Min Funûn Musthalah al-hadits. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
Al-Qur’ân al-Karîm dan terjemahannya.
Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t.
Rudliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Al-Sayyid, Bakri, I’ânah al-Tâlibîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Suyûti, Jalal al-Din. Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrib al-Nawawi. Beirût: Dâr al-Fikr, 2006.
Sya’roni, Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Al-Syahrazûrî, Ibn al-Salâh. Muqaddimah Ibn al-Salâh fî ‘Ulûm al-Hadîts. (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006).
66
Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari 2002 M.
Al-Tahhan, Mahmûd, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid. Riyâd: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H/1996 M.
-------------------------, Taisîr Mustalah al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm, 1979.
Tijani, Muhammad. Madzhab Alternatif, Perbandingan Syi’ah Sunnah Cianjur: Titian Cahaya, 2005.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi. Semarang: Toha Putra, t.t.
Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam”. al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4, Malaya, April 2006.
Wijaya, M. Suwarta. Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul. tp, tt.
Yaqub, Ali Mustafa, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
------------------------, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
------------------------, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
------------------------, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
------------------------, Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
------------------------, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
------------------------, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
------------------------, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
------------------------, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
------------------------, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
67
------------------------, Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
------------------------, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
------------------. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. penerjemah Asrofi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zaid, Farûq Abû. al-Syari’ât al-Islâmiyyah bain al-Muhâfizin wa mujaddidîn. Kairo: Dâr al-Ma’mun, 1978.
Zaman, Ahmad Dimyati Badruz, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Republika, 2003.
Zuhaili, Wahbah. Usûl Fiqh al-Islâmi. Beirût: Dâr al-Fikr, 1986.
x
Pedoman Transliterasi
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development dan Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
I. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Nama tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
B be ب T te ت Ts te dan es ث J je ج H ha dengan garis di bawah ح Kh ka dan ha خ D de د Dz de dan zet ذ R er ر Z zet ز S es س Sy es dan ye ش S es dengan garis di bawah ص D de dengan garis di bawah ض T te dengan garis di bawah ط Z zet dengan garis di bawah ظ koma terbalik di atas ‘ ع G Ge غ F Ef ف Q Ki ق K Ka ك L El ل M Em م N En ن W We و H Ha ه apostrof ' ء Y Ye ي
xi
II. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـــ
I Kasrah ــ
U dammah __و
III. Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ـا
Î i dengan topi di atas ـي
Û u dengan topi di atas ـو
IV. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Âi A dan i ــ ي
Au A dan u ــ و