KONTRADIKSI KEDUDUKAN HAKIM AD HOC DALAM STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN … · 2019. 4. 9. · Ahmad...
Transcript of KONTRADIKSI KEDUDUKAN HAKIM AD HOC DALAM STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN … · 2019. 4. 9. · Ahmad...
KONTRADIKSI KEDUDUKAN HAKIM AD HOC DALAM STRUKTUR
KEKUASAAN KEHAKIMAN
(Analisis Putusan MK No. 32/PUU - XII/2014 Judicial Review Pasal 122
huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD SAIDI
NIM: 1613048000083
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
iv
ABSTRAK
Ahmad Saidi. NIM 1613048000083. Kontradiksi Kedudukan Hakim Ad
Hoc Dalam Struktur Kekuasaan Kehakiman (Analisis Putusan MK No. 32/PUU-
XII/2014 Judicial Review Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara. Fakultas Syariˊah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437/ 2015 M..
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Kontradiksi Kedudukan hakim ad
hoc dalam struktur kekuasaan kehakiman dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang mana dalam Putusan ini, MK menolak permohonan pemohon yang
mengajukan judicial review terhadap Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, karena menurut MK alasan pemohon tidak
beralasan menurut MK.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data
berupa buku-buku, undang-undang, artikel, jurnal dan literatur lain yang berkaitan
dengan judul yang penulis angkat. Sedangkan teknik dan pengumpulan data
adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang
menitik beratkan pada proses perbandingan antara dalil-dalil atau undang-undang
dengan lainnya, lalu penulis menganalisis putusan tersebut.
Hasil penelitian disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap kedudukan hakim ad hoc tersebut sudah tepat karena memberikan
kedudukan yang sama terhadap suatu hal yang berbeda justru menimbulkan
ketidak adilan. Walaupun penulis lebih setuju kalau hakim ad hoc juga diberikan
kedudukan yang sama sebagai pejabat negara walaupun bersifat sementara, hakim
ad hoc juga penyelenggara negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman.
Kata Kunci: Kekuasaan kehakiman, Hakim ad hoc, Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Pembimbing I : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH. HM
Pembimbing II : Dr. Burhanuddin, SH. MH
v
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan
kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw.,
para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan umat beliau yang
mengikuti dan mengamalkan sunnah dan ajarannya hingga hari akhir nanti.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak terkait, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, dan motivasi yang diberikan,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata
Satu (S1) di jurusan Hukum Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada kedua orang tua penulis Syafiuddin dan Syamsiyah, yang telah
memberikan banyak kebaikan kepada penulis yang tak bisa penulis sebutkan
seluruhnya dan tak akan pernah bisa penulis balas seutuhnya. Terimakasih banyak
Ayah dan Ibu, semoga Allah swt. memberikan pahala yang berlimpah atas amal
kebaikan kalian kepada anak-anak kalian. Aamiin. begitu juga saya mengucapkan
terimakasih kepada:
vi
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH. MH, Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, selalu memberikan dukungan kepada penulis selama
perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Abu Tamrin, SH, MH., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, selalu pelayanan terbaiknya bagi dalam melayani mahasiswa
khususnya dalam menyelasaikan skripsi ini.
4. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH. MH & Burhanuddin, SH. MH
selaku dosen Pembimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini yang selalu
memberikan arahan khusus dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Pegawai perpustakaan kampus, baik perpustakaan fakultas maupun
perpustakaan utama yang selalu melayani saya dalam peminjaman buku-
buku sebagai refrensi penulisan skripsi saya.
6. Saudara-Saudara kandung saya Hamidah yang telah pulang duluan ke
rahmatullah (Allahummaghfir laha war ham ha), Moh. Salim, Zainullah,
Rifˊatun, Rahimah, dan Khoiruddin yang telah banyak memberikan
motivasi dan selalu mendoakan saya. sehingga saya lebih bertambah
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
7. Sehabat-sehabat sekaligus senior saya Muhammad Karim Munthe dan
Novita yang selalu memberikan arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan skripsi ini
8. Sahabat-sahabat mahasiswa Hukum Keluarga khususnya jurusan peradilan
agama angkatan 2011 dan sahabat-sahabat mahasantri Darus-Sunnah
angkatan 2011 (Fushilat). Terimakasih atas kebersamaannya, penulis
bangga menjadi bagian dari kalian. Tetap berjuang dan tetap semangat!
Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah keilmuan terutama
bagi rekan-rekan mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sadari bahwa skripsi
ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis menyadari
pentingnya kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi
masukan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pihak lain pada umumnya.
Jakarta, 15 Juli 2015
Ahmad Saidi
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR IS ........................................................................................................viii
BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
D. Tinjauan Studi Terdahulu .............................................................. 8
E. Kerangka Teori dan Konseptual ...................................................... 10
F. Metode Penelitan ........................................................................... 13
G. Teknis Pengumpulan Data ............................................................... 14
H. Metode Analisis Data ..................................................................... 14
I. Metode Penulisan ........................................................................... 15
J. Sistematika Penulisan ..................................................................... 15
ix
BAB II: NEGARA HUKUM DAN STRUKTUR KEKUASAAN NEGARA
A. Indonesia Sebagai Negara Hukum ................................................. 16
B. Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara ............................. 23
C. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia .............................................. 30
BAB III:KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM STRUKTUR
KEKUASAAN NEGARA
A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman ..................................................... 36
B. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman ......................................... 41
C. Dasar Pembentukan Hakim Ad Hoc Dalam Kekuasaan Kehakiman
......................................................................................................... 44
D. Kedudukan Dan Kewenangan Hakim Ad Hoc Dalam Struktur
Kekuasaan Kehakiman .................................................................... 52
BAB IV: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-
XII/2014 TENTANG KEDUDUKAN HAKIM AD HOC DALAM
STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA..........59
A. Posisi Perkara ................................................................................. 59
B. Pertimbangan Majelis Hakim ......................................................... 61
C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Kedudukan Hakim
Ad Hoc dalam Struktur Kekusaan Kehakiman ............................... 70
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 77
x
B. Saran ............................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan pancasila.
Berdasarkan Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” dijelaskan bahwa setiap rakyat Indonesia di mata hukum
kedudukannya sama. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapat suatu keadilan. Baik itu suatu keadilan yang berasal dari
lingkungan sekitar maupun keadilan yang berasal dari pemerintah.
Konstitusi telah menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti bebas dari campur tangan
pihak kekuasaan ekstrayudisial lain yang merupakan ideologi universal masa
kini maupun masa akan datang.1 Prinsip ini tertuang dalam ketentuan pasal 24
(1) yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Dan dalam
penjelasan pasal 24 dan 25 yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim”.2
Doktrin pemisahan kekuasaan (sparation of power) merupakan
sebuah upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-
1 Ridman, Kekuasaan kehakiman Pasca-Amandemen, (Jakarta: Prenada Media Group,
2012), h.14
2 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2011), h.94
2
wenang. Dengan kata lain, kekusaan kehakiman yang merdeka ini adalah
dalam rangka menjamin dan melindungi hak-hak rakyat dari kemungkinan
kesewenang-wenangan dari pemerintah. Independensi kekuasaan kehakiman
adalah suatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi
terwujudnya cita negara hukum (rechtsidee) dan merupakan jaminan bagi
tegaknya hukum dan keadilan.3
Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 tersebut, dapat
dipahami bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini,
Mahkamah Agung lembaga peradilan yang ada dibawah naungannya serta
Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat
kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan.
Pada masa sekarang, corak dan struktur organisasi dewasa ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat, itu terbukti pasca reformasi
1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan organ negara dibentuk Bahkan
sampai sekarang seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan
3 Mujahid A Latief , dkk, Kebijakan Penegakan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional, 2010), h.163
3
Korupsi (KPK), Peradilan Perikanan dan lain sebagainya. Kekuasaan
kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah satu peradilan
yang mengalami perkembangan seperti terbentuknya beberapa peradilan
khusus yaitu peradilan HAM, peradilan tipikor, peradilan industrial, peradilan
perikanan dan lain sebagainya. Dengan dibentuknya beberapa peradilan
khusus tersebut juga diangkat beberapa hakim ad hoc yang berkompeten
sesuai bidang peradilan tersebut.
Profesi hakim pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tidak secara jelas status hakim ad hoc sebagai Pejabat Negara, sehingga
dibuat peraturan Menteri Sekertaris Negara Nomor 6 Tahun 2007 dan diganti
oleh peraturan Menteri Sekertaris Negara Nomor 7 Tahun 2012 yang
menyatakan bahwa hakim ad hoc termasuk katagori Pejabat Negara lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggara negara menyatakan bahwa Penyelenggara Negara adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 2 UU No 28 tahun 1999, Penyelenggara Negara adalah
pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga
tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pejabat lain yang memiliki
4
tempat strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang
bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Hakim ad hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang
merupakan pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung, baik dalam peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan pengadilan tata usaha negara. Misalnya hakim ad hoc
pada pengadilan tipikor, pengadilan HAM, pengadilan perikanan atau
pengadilan niaga.
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.4 Hakim dan
Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang5. Dalam hal ini, semua hakim
baik hakim Mahkamah agung termasuk hakim pengadilan yang berada
4 Pasal 1 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
5 Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
5
dibawahnya serta hakim Mahkamah konstitusi berkedudukan sebagai pejabat
negara tanpa terkecuali.
Namun, Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara menyatakan “Pejabat Negara sebagai dimaksud dalam
Pasal 121 yaitu: ketua wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung pada
Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan
peradilan kecuali hakim ad hoc;”. Berdasarkan Pasal 122 huruf e UU Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini, hakim ad hoc status
kedudukannya tidak jelas seperti sebelumnya sebagai pejabat negara. Karena
sudah tidak diakui dalam kedudukan tersebut.
Pada tanggal 19 Maret 2014, beberapa hakim ad hoc mengajukan
peninjauan kembali terhadap Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Namun, MK memutuskan menolak terhadap judicial review tersebut sehingga
putusan MK No. 32/PUU-XII/2014 tersebut lebih memperkuat Pasal 122
huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut
yaitu hakim ad hoc tidak berkedudukan sebagai pejabat negara. Hal tersebut
merupakan permasalahan yang sangat signifikan terutama bagi hakim ad hoc
yang sebelumnya kedudukannya sama seperti hakim-hakim karir lainnya
tanpa terkecuali.
Peristiwa perubahan kedudukan hakim ad hoc sebagai
pejabat menjadi hakim yang bukan pejabat negara sehingga kedudukan tidak
6
jelas berdasarkan Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-
XII/2014.
Latar belakang yang penulis uraikan diatas membuat penulis
tertarik memilih penelitian yang berdasarkan dengan kedudukan hakim ad
hoc, hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Kontradiksi
Kedudukan Hakim Ad Hoc Dalam Struktur Kekuasaan Kehakiman
(Analisis Putusan MK No. 32/PUU-XII/2014 Judicial Review Pasal 122
huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dikemukakan masalah-masalah
yang berkaitan dengan kedudukan hakim dalam struktur kekuasaan
kehakiman, yang mana hal tersebut mempengaruhi beberapa
permasalahan, yaitu sebagai berikut:
a. Pemberlakuan pajak atas penghasilan para pemohon sebesar 15%.
b. Adanya pemberlakuan yang berbeda terhadap hakim ad hoc yang
menyebabkan kecemburuan antara hakim ad hoc dengan hakim karir.
c. Adanya pembedaan dalam hal pemberian fasilitas dan tunjangan kepada
hakim ad hoc.
7
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup pembahasan mengenai Hakim Ad
hoc. Maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi, yaitu
hanya membahas dari segi kedudukan hakim ad hoc dalam struktur
kekuasaan kehakiman dengan mengalisis Putusan MK No. 32/PUU-
XII/2014 Judicial Review Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rumuskan dalam beberapa pertanyaan
berikut, yaitu:
a. Bagaimana kedudukan hakim ad hoc dalam kekuasaan kehakiman
sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-
XII/2014 Judicial Reiew Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara?
b. Apa pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XII/2014 Judicial Review Pasal
122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kedudukan hakim ad hoc dalam struktur kekuasaan kehakiman pasca
8
putusan Putusan MK No. 32/PUU-XII/2014 Judicial Review Pasal 122
huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
a. Untuk mengetahui kedudukan hakim ad hoc sebelum putusan
MK No. 32/PUU-XII/2014 Judicial Review Pasal 122 huruf e
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap kedudukan
hakim ad hoc dalam putusan MK No. 32/PUU-XII/2014
Judicial Review Pasal 122 huruf e UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan menjadi sumbangsih
pengetahuan tentang kedudukan hakim ad hoc dalam struktur kekuasaan
kehakiman Republik indonesia yang berasaskan pancasila sebagaimana
hakim telah diberi amanat oleh oleh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Terkait dengan kedudukan hakim ad hoc agar Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) benar-benar
menjadi dasar yang membawakan rasa keadilan bagi seluruh rakyat
indonesia pada umumnya, khusus bagi hakim ad hoc. Bukan justru
memberikan rasa diskriminatif.
D. Tinjauan (review) Studi Terdahulu
Sejauh ini sudah ada penelitian yang berjudul:
9
Pertama, “Eksistensi Hakim Ad Hoc Pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam sistem Kekuasaan Kehakiman”, yang ditulis oleh Efa Roza
Nur „Afifah, fakultas hukum Universitas Sebelas Maret. Dalam skripsi ini
dijelaskan bahwa adanya hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi akan memberi dampak positif dalam rangka mewujudkan keadilan
bagi masyarakat Indonesia.
Kedua, “Tinjauan yuridis keberadaan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga”,
yang ditulis oleh Shandi Izhandri fakultas hukum Universitas Sumatra Utara
Medan, dalam skripsi ini dinyatakan bahwa keberadaan hakim ad hoc dalam
Pengadilan Niaga ini sangat diperlukan karena hakim ad hoc lebih dapat
memberikan jaminan akan pengambilan keputusan yang tepat karena hakim
ad hoc berasal dari para ahli tertentu yang memiliki spesifikasi keilmuan yang
baik.
Ketiga, “Tinjauan Yuridis Tentang Contempt Of Court oleh Hakim (Studi
kasus hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi yang Walk Out dari sidang
perkara Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Harini Wijoso)” yang ditulis
oleh Ahmat Samsul Hadi, Fakultas Hukum Universitas Jember, dalam skripsi
ini dijelaskan bahwa tindakan apapun yang ada dalam persidangan yang
melakukan perbuatan merendahkan atau tidak menghormati pengadilan dapat
dikualifikasikan sebagai contempt of court sedangkan hakim yang keluar dari
persidangan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai contempt of court karena
mereka sudah menjalankan mekanisme hukum acara pidana yang berlaku.
10
Beberapa judul yang telah saya cantumkan di atas, tidak satupun yang
sama dengan tema skripsi yang saya angkat sehingga judul skripsi saya
benar-benar karya saya sendiri yang belum pernah ditulis oleh orang lain.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia.
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur
dalam undang-undang.
Pasal 1 butir 8 KUHAP menyatakan bahwa Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Selain itu, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam
Pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan
istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau
mahkamah.
11
Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum, wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Oleh karena itu hakim itu dianggap mengetahui
hukum. Maka, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkan
dan apabila tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan
ijtihadnya sendiri.
2. Kerangka Konseptual
Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bebas dari segala intervensi baik dari dalam pemerintahan maupun luar
pemerintahan. Maka diperlukan tata tertib antara lain di bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan tersebut harus mengatur secara jelas fungsi, kewenangan serta
kedudukan hakim baik hakim karier maupun hakim ad hoc agar tidak
terjadi permasalahan atau kesenjangan dalam menjalani tugas sebagai
hakim.
Kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang sangat
berlawanan atau bertentangan.6 Hal ini bisa terjadi pada satu perorangan
atau lembaga. Kontradiksi jika tidak dijelaskan akan menimbulkan
kesenjangan dalam menjalaninya.
Secara bahasa kedudukan berarti tempat kediaman, tempat pegawai
tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatan, letak atau tempat suatu
6 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1988), h. 1011
12
benda, tingkat atau martabat. Dalam pemerintahan kedudukan biasanya
digunakan dalam penempatan posisi jabatan sehingga mempengaruhi
terhadap fungsi dan wewenang dalam menjalani tugas dan kewajiban dari
posisi kedudukan tersebut.
Pasal 1 angka 3 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc adalah seorang yang
diangkat berdasarkan undang-undang seperti hakim ad hoc pengadilan
Tipikor. Ia seorang ahli dalam bidang tertentu yang diangkat menjadi
menjadi hakim. Hakim Ad Hoc ini diangkat atas usul ketua MA untuk
bertugas sebagai hakim anggota dalam suatu majelis dan bertugas seperti
hakim-hakim lainnya yaitu memeriksa dan memutus perkara.
Struktur menurut bahasa berarti susunan, bagian atau unsur.
Misalnya dalam sebuah organisasi ada yang dinamakan sekertaris,
bendahara, humas dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan
sebuah bagian dari struktur organisasi.
Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 1 UU No.48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila. Dan demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia. Hal senada juga dinyatakan dalam pasal 24 UUD
1945.
13
Kontradiksi Kedudukan Hakim Ad Hoc dalam Struktur Kekuasaan
Kehakiman yang dimaksud oleh penulis adalah suatu kedudukan jabatan
hakim ad hoc dalam pemerintahan yudikatif yang bertentangan antara satu
aturan dengan aturan lainnya sehingga menimbulkan ketidak jelasan
perihal kedudukan tersebut
F. Metode Penelitian
Metode adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka
metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode
penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang
digunakan dalam suatu kegiatan penelitian.7
1. Jenis Penelitian
Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang
sumber datanya diambil dari tulisan-tulisan atau sumber bacaan yang
diterbitkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu
masalah yang timbul. Dalam hal ini yaitu dengan mencari dan
mengumpulkan serta menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan
kedudukan dan cara pengangkatan hakim ad hoc.
7 Afifi Fauzi Abbas, Metode Penelitian, (Jakarta: 2010), cet ke-1, h. 97.
14
2. Sumber Data
Sumber penelitian yang yang digunakan dalam penelitian ini
berupa data Primer dan sekunder. Di dalam penelitian hukum, data
sekunder mencakupi:8
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Yang
terdiri dari Undang-Undang Dasar RI 1945, Undang-undang, Peraturan
pemerintah, Sema dan lain-lain.
b. Data hukum Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer yang terdiri dari buku-buku, artikel ilmiah, dan
arsip-arsip yang mendukung.
G. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data-data yang akurat saat penelitian, penulis
menggunakan teknik dokumentasi yang merupakan pengambilan data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen.9 Dalam hal ini penulis mengambil
dokumen dan arsip-arsip yang ada di lembaga pemerintahan setempat yang
dijadikan objek penelitian serta data-data dari literatur dan referensi yang
berhubungan dengan judul penelitian ini.
H. Metode Analisis Data
Setelah seluruh data yang penulis peroleh, data tersebut lalu dianalisa
dengan analisa kualitatif, yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Edisi 1, Cet. XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 13.
9 Husaini Usman, dkk., Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.
69.
15
deskriptif analisis.10
Lalu di interpretasikan sedemikian rupa dengan metode
deduktif. Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif
eksploratif yakni menggambarkan atau melukiskan secara jelas dan terperinci
mengenai suatu keadaan yang terjadi dilapangan secara objektif, sehingga
didapatkan fakta-fakta yang diselidiki.
I. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Cet. I, 2012".
J. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini
akan penulis sajikan dalam 5 Bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian teoritis tentang kekuasaan kehakiman yang berisi tentang
indonesia sebagai negara hukum, pemisahan dan pembagian kekuasaan
negara, hakim ad hoc dalam struktur kekuasaan kehakiman.
Bab III Sejarah kekuasaan kehakiman, ruang lingkup kekuasaan kehakiman,
dasar pembentukan dan wewenang hakim ad hoc dalam kekuasaan
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
16
kehakiman, kedudukan hakim ad hoc sebelum dan setelah putusan
Mahkamah Konstitusi.
Bab IV Posisi perkara, pertimbangan majelis hakim, analisis dan implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan hakim ad hoc dalam
struktur kekusaan kehakiman
Bab V Penutup, berisikan kesimpulan dan saran penulis berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan.
16
BAB II
KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM STRUKTUR
KEKUASAAN NEGARA
A. Indonesia Sebagai Negara Hukum
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas
menyatakan “Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas
kekuasaan belaka. disebutkan juga bahwa pemerintah Indonesia “berdasar
atas konstitusi (hukum dasar), tidak berdasar absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas)”.
Konsep negara hukum dimaknai sebagai suatu keadaan dalam
masyarakat, dimana hukum dalam kehidupan bernegara yang demokratis
adalah ditentukan oleh rakyat yang tidak lain merupakan pengaturan interaksi
antara mereka.1 Selaras dengan pendapat Sajipto Raharjo bahwa hukum itu
memiliki struktur sosial yang berhubungan dengan asal-usul perkembangan
sosial dari suatu hukum, sehingga mencapai bentuk sebagaimana apa adanya,
hukum merupakan interaksi dari pengorganisasian masyarakat dan kekuatan-
kekuatan lain seperti ekonomi dan politik.2
1 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (bandung: PT Rafika Aditama,
2007), hal,45 yang dikutip dari Guellermo S. Santos, The Rule of Law in Unconventional Warfare,
Philipine Law Jounal, Number 3 (July 1965), P.24.
2 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, hal,45.
17
Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum terjadinya
Revolusi 1688 di Inggris3 bahkan ide negara hukum sebenarnya telah lama
dikembangkan oleh para filusuf dari zaman yunani kuno. Plato pada awalnya
dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara
ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu kekuasaan
harus dipegang oleh yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the
philosoper king). Namun dalam bukunya the statesman dan the law, Plato
menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling kedua (the
second best) yang menempatkan supermasi hukum. Pemerintahan yang
mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan
oleh hukum. Senada dengan plato, tujuan negara menurut aristoteles adalah
untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat
dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan
kolektif warga negara (colletive wisdom), sehingga peran warga negara
diperlukan dalam pembentukannya.4
Konsep negara hukum pada dasarnya memiliki akar historis dalam
perjuangan menegakkan demokrasi, karena pengertian negara hukum kerap
dijadikan satu istilah, yaitu konsep negara hukum yang demokratis. Dalam
pengertian yang sederhana, di negara hukum tidak ada warga negara di atas
3 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, (Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2005), h.1.
4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h.130.
18
hukum, dan karenanya semua warga negara harus patuh pada hukum.5
Persamaan di muka hukum (equality before the law) merupakan satu diantara
unsur-unsur negara hukum dalam tradisi anglo saxon (rule of law), yang
kemudian diakui sebagai nilai-nilai yang universal. Keadilan dan persamaan
sangat erat kaitan dengan penegakan hukum yang merupakan instrumen
praktis dalam negara hukum.
Eropa kontinental mengembangkan konsep negara hukum modern
menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat antara lain oleh Immanuel
Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika
konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang
dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait
dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. Menurut stahl, konsep
negara hukum yang disebut dengan istilah rechtsstaat mencakup empat
elemen penting, yaitu6:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha negara.
5 A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, (Jakarta:
ELSAM, 2004), h.42.
6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004),
h.122.
19
Adapun A.V. Decey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law,
yaitu7:
1. Supremacy of law.
2. Equality before the law.
3. Due process of law.
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Prof. Utrech membedakan dua macam
negara hukum, yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan
negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara hukum formil
menyangkut hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peraturan perundang-undangan tertulis terutama. Tugas negara melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakan ketertiban. Tipe
negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam8. Negara
hukum formal ini harus mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan
penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-
undang. Negara hukum formal ini disebut pula negara dengan negara
demokratis yang berlandaskan negara hukum.9
7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrakrasi, h.130.
8 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962), h.9.
9 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, h.6.
20
Dengan pengaruh paham liberal dari Rousseau, F.J. Stahl menyusun
negara hukum formal dengan unsur utamanya sebagai berikut:10
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi.
2. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan
kekuasaan).
3. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
4. Adanya peradilan administrasi.
Keempat unsur utama negara hukum formal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa menurut Stahl, negara hukum bertujuan untuk melindungi
hak-hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak
langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya
mengedepankan aspek formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan
individu terlindungi secara formal.11
Negara hukum materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk
keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan
melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk
keadilan (Welfarestate)12
. Sehingga materiil ini dibenarkan bertindak
menyimpang dari undang-undang demi kepentingan warga negaranya atau
10
Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Tentang Unsur-unsur, (Jakarta: UI
Press, 1995), h.44-45.
11
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, h.6.
12
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962),
h.9.
21
berlaku asas opportunitas. Tipe negara hukum ini sering disebut negara hukum
dalam arti luas atau disebut pula negara hukum modern.13
Berdasarkan beberapa prinsip negara hukum yang dikemukakan
tersebut dan melihat kecenderungan perkembangan negara hukum modern
yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara
hukum , maka terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang
menyangga berdirinya negara hukum. Kedua belas prinsip tersebut adalah
sebagai berikut14
:
1. Supremasi hukum (Supremacy of Law).
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law).
3. Asas Legalitas (Due Process of Law).
4. Pembatasan Kekuasaan.
5. Organ-organ penunjang yang independen.
6. Peradilan bebas tidak memihak.
7. Peradilan tata usaha negara.
8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
10. Bersifat Demokratis (Democratishe Rechsstaat).
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat).
12. Transparansi dan Kontrol Sosial.
13
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, h.7.
14
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrakrasi, h.131.
22
Perkembangan perinsip-prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi
oleh semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi
dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model tradisional15
karena
hal tersebut dipandang lebih sesuai dalam menciptakan rasa keadilan.
Keberhasilan penegakan hukum sangat terkait dengan tercapainya rasa
keadilan masyarakat sebagai elemen penting dalam sistem hukum yang
demokratis. John Rawls melihat pentingnya sistem hukum untuk
melaksanakan prinsip kebebasan dan keadilan. Karena itu hadir sistem hukum
merupakan suatu keharusan dalam masyarakat16
. Penegakan hukum sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian
hukum pada setiap individu warga negara merupakan ekspresi nilai-nilai
demokratis. Karena adanya keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi
dan elemen-elemen negara hukum, maka sering dijadikan satu nafas untuk
menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang melindungi hak-hak warga
negara dalam satu istilah negara hukum yang demokratis17
.
Negara indonesia di satu segi adalah negara demokrasi yang berdasar
atas hukum (constitusional democracy), tetapi dari segi yang lain adalah juga
negara hukum yang demokratis (democratic rule of law, democratische
15
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrakrasi. h.131.
16
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, h.45.
17
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.25.
23
rechtsstaat).18
Dalam paham negara hukum ini yang diutumakan adalah
hukum sebagai suatu kesatuan sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi
kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum.
Hukumlah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang. Artinya, dalam paham
kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukan pemegang kekuasaan tertinggi yang
sebenarnya.
Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang
pengaturannya pada tingkat puncak tertinggi tercermin dalam konstitusi
negara, yaitu the rule of the constitution. Dalam kaitan itu, di negara kita
hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengannya.19
B. Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan Negara
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut legal
state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman
disebut rechtsstaat adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan
rule of law itu memiliki latar belakang yang sejarah yang berbeda, tetapi
sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan
dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme
18
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution; Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h.108.
19
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution; Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar, h.108.
24
modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara
konstitusional atau constitusional state, yaitu negara yang dibatasi oleh
konstitusi.20
Teori pemisahan atau pembagian kekuasaan pada mulanya lahir akibat
adanya kekuasaan raja yang absolut di Eropa barat. Disatu pihak, pemisahan
kekuasaan adalah untuk mencegah tumbuhnya kekuasaan di tangan satu orang
yaitu raja, aspek lainnya agar adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia.21
Secara umum, sistem kenegaraan membagi kekuasaan pemerintahan
menjadi tiga bagian yaitu ekskutif, legislatif, dan yudikatif, yang biasa disebut
trias politica sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu, dimana ketiga jenis
kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie)
maupun mengenai alat perlengkapan (orgaan) yang melakukannya.22
Menurut
ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan antara satu kekuasaan
dengan kekuasaan lainnya. Masing-masing menjalankan tugas dan fungsinya
tanpa ada yang mempengaruhi. Oleh karena itu ajaran ini disebut pemisahan
kekuasaan karena masing-masing lembaga terpisah dalam menjalankan
fungsinya.
20
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009), 281.
21
Ridman, Kekuasaan Kehakiman, Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana
Predana Media Group, 2012), h. 28.
22
Moh. Kusnardi da Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI), h.141.
25
Menurut Montesquieu, dalam sistem suatu pemerintahan negara, ketiga
kekuasaan harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat
perlengkapan yang melaksanakan:23
1. Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh satu badan perwakilan rakyat.
2. Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja
dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet).
3. Kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah
Agung dan Pengadilan dibawahnya).
Isi ajaran Montesquieu ini kemudian dikenal dengan istilah pemisahan
kekuasaan negara (the separation of power) yang lebih dikenal dengan istilah
“trias politica” nama yang diberikan oleh Immanuel Kant.
Sebelumnya, John Locke24
juga membagi kekuasaan negara dalam tiga
fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan
negara itu meliputi:
1. Fungsi legislatif;
2. Fungsi ekskutif;
3. Fungsi federatif.
Dalam bidang legislatif dan ekskutif, pendapat kedua sarjana itu
tampaknya sependapat dalam membagi kekuasaan. Akan tetapi, dalam bidang
yang ketiga, pendapat mereka berbeda. Jonh Locke mengutamakan fungsi
23
Ridman, Kekuasaan Kehakiman, Pasca-Amandemen Konstitusi, h.29.
24
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 283.
26
federatif, sedangkan Baron de Montesquie mengutamakan fungsi kekuasaan
kehakiman (yudisial). Montesquie lebih melihat pembagian atau pemisahan
kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan
John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan ke luar dengan
negara-negara lain. Bagi Jonh Locke, penjelmaan fungsi defincie baru timbul
apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh karena itu, yang dianggap
penting adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup
dimasukan ke dalam fungsi ekskutif, yaitu terkait dengan fungsi pelaksanaan
hukum. Namun bagi Montesquie, fungsi pertahanan (defincie) dan hubungan
luar negerilah (diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi ekskutif sehingga
tidak perlu disebut tersendiri. Justru dianggap penting menurut Montesquie
adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman25
.
Meminjam teori Ivor Jennings dapatlah dilihat bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti materiil, dalam arti pembagian kekuasaan itu
dipertahankan dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan itu kepada tiga bagian tidak
dianut oleh UUD 1945. UUD 1945 hanya mengenal pemisahan dalam arti
formal, oleh karena itu pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara
prinsipiil. Dengan kata lain, UUD 1945 hanya mengenal pembagian
25
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 283.
27
kekuasaan (divison of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of
power).26
Adapun menurut pandangan Soepomo, bahwa UUD 1945 mempunyai
sistem tersendiri, yaitu berdasarkan pembagian kekuasaan. Walaupun dalam
pembagian kekuasaan itu setiap lembaga negara sudah tugas tertentu, namun
dalam sistem ini memungkinkan adanya kerja sama antar lembaga27
.
Namun, pada dasarnya istilah-istilah separation of power, division of
power, distribution of power, dan demikian pula istilah-istilah pemisahan
kekuasaan dan pembagian kekuasaan, sebenarnya mempunyai arti yang sama
saja, tergantung konteks pengertian yang dianut. Misalnya dalam konstitusi
Amerika Serikat, kedua istilah separation of power dan devision of power juga
sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah devision of power itu digunakan
dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian,
sedangkan separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan
di tingkat pemerintahan federal, yaitu antara legislature, the executie, dan
judiciary28
.
Maka dari itu, dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan
pemisahan kekuasaan itu dalam konteks yang berbeda, yaitu konteks
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Perspektif vertikal
26
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.75.
27
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia.., h.75.
28
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 288.
28
versus horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep
pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut Indonesia sebelum
perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi
dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang
dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap sebagai
pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang
bersifat vertikal, sedangkan sekarang, setelah perubahan yang keempat, sistem
yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power) berdasarkan prinsip checks and balances.29
Perubahan amandemen UUD 1945 tersebut dilakukan oleh MPR pada
tahun 1999 hingga 2002 yang dilatar belakangi adanya kehendak untuk
membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances yang
setara dan seimbang diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan
supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi
manusia.
Disamping itu, pergeseran tersebut berkaitan pula dengan doktrin
pembagian kekuasaan versus pemisahan kekuasaan. Sebelum diadakan
perubahan, kedaulatan rakyat dianggap tercermin dalam kekuasaan lembaga
tertinggi negara bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari lembaga
tertinggi inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga
29
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 289.
29
tinggi negara yang secara distributif (ditributif of power atau division of
power).30
Oleh karena itu, paham yang dianut bukan pemisahan kekuasaan
dalam arti horizontal (horizontal separation of power), melainkan pembagian
kekuasaan dalam arti vertikal (vertikal distribution of power). Sekarang sejak
diadakannya perubahan pertama yang kemudian lebih dilengkapi lagi oleh
perubahan kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945, konstitusi negara kita
meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan itu dan mengadopsi gagasan
pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power).
Pemisahan kekuasaan itu dilakukan dengan menerapkan prinsip cheks and
balances diantara lembaga-lembaga konstitusional yang sederajat itu yang
diidealkan saling mengendalikan satu sama lain.31
Berkaitan dengan kelembagaan negara, perubahan pertama UUD 1945
memuat pengendalian kekuasaan presiden dan tugas serta wewenang DPR
dan presiden dalam hal pembentukan undang-undang. Perubahan kedua UUD
1945 menata ulang keanggotaan, fungsi, hak, maupun cara pengisiannya.
Perubahan ketiga, membahas ulang kekuasaan dan kedudukan MPR, jabatan
presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan dan pemilihan secara
langsung, pembentukan lembaga negara baru meliputi Mahkamah Konstitusi,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial serta pengaturan tambahan
30
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.39.
31
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
h.40.
30
BPK. Dan perubahan keempat UUD 1945, meliputi keanggotaan MPR,
pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua dan kemungkinan
presiden/wakil presiden berhalangan tetap, serta kewenangan presiden.32
UUD 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7
(tujuh) lembaga negara sebagai berikut:33
1. Kekuasaan eksaminatif (Inspekatif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK);
2. Kekuasaan Legislatif, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
tersusun atas: a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b)Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). C) Kekuasaan Pemerintahan Negara
(Ekskutif), yaitu Presiden, dan Wakil Presiden;
3. Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif), meliputi:
a. Mahkamah Agung (MA);
b. Mahkamah Konstitusi (MK);
4. Lembaga Negara Bantu (The Auxiliary State Body), yaitu Komisi
Yudisial (KY).
C. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah
32
Titik Triwulan Tutik, Konstrujsi Hukum Tata Negara Indonesia .. h.77.
33
Titik Triwulan Tutik, Konstrujsi Hukum Tata Negara Indonesia. h.77.
31
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan.
Pasal 1 angka 1 UU Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan
sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dengan prinsip pemisahan kekuasaan kehakiman, fungsi-fungsi legislatif,
ekskutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang
terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD,
maka cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang
juga dapat dipahami terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.34
Prinsip trias politika yang juga terkandung di dalam UUD 1945 adalah
adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak sebagai ciri dan
34
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h.191.
32
syarat tegaknya negara hukum.35
Penganutan atas prisip itu tertuang di dalam
ketentuan Pasal 24 (1) yang berbunyi; “kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Kemandirian kekuasaan kehakiman lebih
lanjut diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai payung hukum seluruh badan peradilan di Indonesia, pada
Pasal 1 ayat (1) sebagaimana disebutkan di atas.
Dua ketentuan dasar tersebut, memberikan pemahaman bahwa
kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan landasan kuat untuk
dilaksanakan dan diakui secara konstitusional. Karena tidak ada negara hukum
tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, pada negara hukum yang
demokratislah kekuasaan kehakiman yang merdeka akan dapat diwujudkan
dan bukan hanya uraian kata-kata semu di dalam konstitusi.36
Kekuasaan kehakiman diakui secara konstitusional tersebut di atur
dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945 37
yang menyebutkan: “kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam
undang-undang tentang kedudukan hakim”.
35
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011), h.94.
36
Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. h.299.
37
Pasal 24 dan 25 UUD 1945
33
Disamping itu, ketetapan MPR No. III/MPR/1978, Pasal 11 ayat 1 juga
menyebutkan: “Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah”.38
Kekuasaan kehakiman yang merdeka
dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, juga ditegaskan
kembali, baik dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
yang sudah diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 maupun dalam UU No.
14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah
kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan fungsi
yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau
sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.39
Bagir Manan juga berpendapat, bahwa beberapa subtansi kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yaitu:
a. Kekuasaaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam
menyelenggarakan peradilan dan fungsi yustisial yang meliputi
kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan
kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksud untuk menjamin
kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat
suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.
38
Pasal 11 ayat 1 ketetapan MPR No. III/MPR/1978
39
Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kukuasaan Kehakiman Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005), h.25-26.
34
c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim
bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak.
d. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-
mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa
oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.
e. Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut
undang-undang.
Kekuasaan kehakiman sebagai alat negara itu berdiri sendiri di samping
sejajar dengan kedua alat negara lainnya yaitu kekuasaan pelaksanaan
(executive power) dan kekuasaan perundang-undangan (legislatif power) dan
oleh sebab itu kekuasaan kehakiman bebas dari kedua alat negara ini. jaminan
yang diberikan kepada hakim sangatlah penting keberadaannya guna
tercapainya tujuan hukum.40
Mengenai penyelenggaraan peradilan, maka kekuasaan kehakiman,
karena kedudukannya yang bebas itu, telah bertanggung jawab, baik kepada
kekuasaan perundang-undangan, maupun kekuasaan pelaksana. Akan tetapi
walaupun demikian tidaklah boleh hakim menyalah gunakan kedudukannya
yang bebas itu, karena terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus
diindahkannya pada saat menunaikan tugasnya, yakni syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh hakim yang berlaku, yang harus dipatuhinya dengan tidak
40
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradila pidana, h.221.
35
ditawar-tawar, untuk memberi jaminan-jaminan bagi sesuatu penyelenggaraan
peradilan yang layak dan adil.41
Oleh karena itu, dalam rangka menegakan keadilan dalam kekuasaan
kehakiman, hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang telah
dipositifkan, tetapi lebih dari sekedar itu, hakim harus pula memahami makna
yang terkandung dibalik hukum yang dipositifkan tersebut, karena hakim
memainkan peran sentral dalam proses komunikasi di pengadilan melalui
interpretasi, dan seorang hakim pun harus sadar akan ideologi dan
subjektifitas sendiri, sehingga keduanya tidak akan mengintervensi proses
interpretasi. Hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan analitis, agar kunci dan gagasan-gagasan
sentral ini hakim diharapkan dapat menemukan makna yang tersembunyi dan
mengembangkan makna-makna baru.42
41
MH Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Djambatan, 1962)
cet.kedua. h.2.
42
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana; Komponen, & Pelaksaannya
Dalam Penegakan Hukum Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h.223.
36
BAB III
KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM STRUKTUR
KEKUASAAN NEGARA
A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman
Sejarah kekuasaan kehakiman di indonesia dapat dibagi menjadi 4
(empat) bagian yaitu kekuasaan kehakiman pada Masa UUD 1945 pertama
(18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949), kekuasaan kehakiman pada
Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1947-17 Agustus 1950), kekuasaan
kehakiman pada Masa UUDS 1950 (17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959)
dan kekuasaan kehakiman pada Masa UUD 1945 Kedua. Selanjutnya penulis
akan menguraikan sejarah kekuasaan kehakiman sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman pada Masa UUD 1945 pertama (18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949)
Kekuasaan kehakiman pada Undang-Undang Dasar 1945 periode
pertama, yakni dari tanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949.
Kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang di dalam BAB IX tentang
kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (1) berbunyi “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang.1” ayat (2) berbunyi “ Susunan dan kekuasaan badan
`
1 Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
37
kehakiman itu diatur dengan undang-undang”2 Pasal 25 berbunyi “Syarat-
syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.”3
Lebih lanjut dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945
terhadap Pasal 24 dan 25 dinyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim.4
Dilihat dari sejarahnya, pada awalnya peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pasal
24 dan 25 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 adalah dikeluarkannya undang-undang No 7 Tahun 1947
tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung
disahkan pada tanggal 27 februari 1947 yang ditetapkan di Malang-Jawa
Timur oleh Presiden Soekarno.5
2. kekuasaan kehakiman pada Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1947-17
Agustus 1950)
2 Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
3 Pasal 25 ayat (1) UUD 1945
4 Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. h.88.
5 Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. h.88.
38
Aturan-aturan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam
Konstitusi RIS dapat dijumpai pada Pasal 135 yang berbunyi:
a. Segala campur tangan, bagaimanapun juga, oleh alat-alat perlengkapan
yang bukan perlengkapan kehakiman, terlarang, kecuali diizinkan oleh
undang-undang.
b. Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan swapraja dan pengadilan
adat sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim
yang ditunjuk dengan undang-undang.6
Kemudian kekuasaan kehakiman di dalam Konstitusi RIS diatur
dalam BAB III, di dalam pasal 113 dinyatakan, “maka adalah suatu
Mahkamah Agung Indonesia yang susunan dan kekuasaannya diatur
dengan undang-undang federal.” Dapat dipahami bahwa lembaga tertinggi
pemegang kekuasaan kehakiman hanya diatur dengan undang-undang
yang sifatnya terkotak-kotak, sehingga tidak menggambarkan kesatuan
payung hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia sehingga juga
tidak berlaku di dalam seluruh wilayah negara Republik Indonesia,
padahal sudah merupakan kepastian dan keharusan bahwa sistem peradilan
dalam suatu negara tidak hanya berlaku bagi seluruh wilayah negara.7
3. Kekuasaan kehakiman pada Masa UUDS 1950 (17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959)
6 Pasal 135 Konstitusi RIS
7 Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. h.98.
39
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950
merupakan perubahan terhadap Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat. Salah satu sebab yang menjadi pertimbangan yang menjadi dasar
disahkannya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 adalah karena
rakyat daerah-daerah bagian di seluruh Indonesia menghendaki bentuk
susunan Negara Republik Kesatuan.
Dalam hal kekuasaan kehakiman pada Undang-Undang Dasar
Sementara dicantumkan secara tegas pada Pasal 103 yang berbunyi:
“Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh alat-alat
perlengkapan yang bukan perlengkapan pengadilan, dilarang, kecuali
diijinkan oleh undang-undang.8 Pasal 78 dan 79 mengatur tentang susunan
dan kekuasaan Mahkamah Agung, sebagaimana Pasal 79 angka 1 yang
berbunyi, “Ketua, Wakil Ketua dan Anggota-anggota Mahkamah Agung
diangkat menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup; ketentuan ini tidak
mengurangi yang ditetapkan dalam ayat-ayat yang berikut.”9
Berdasarkan uraian di atas, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 telah meletakan dasar-dasar kekuasaan kehakiman yang merdeka,
dengan cara telah mengatur tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah
8 Pasal 103 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950
9 Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950
40
Agung di dalam Undang-Undang Dasar dan memerintahkannya dengan
menindaklanjuti ke dalam undang-undang sebagai pelaksana.10
4. Kekuasaan kehakiman pada Masa UUD 1945 Kedua
Setelah berakhir masa Orde Baru yang ditandai dengan tragedi
kemanusiaan pada tanggal 12 hingga 15 Mei 1998, dan dengan turunnya
Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Masa
ini ditandai dengan perubahan besar yaitu dengan dilakukannya
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar sebanyak empat kali oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan perubahan-perubahan mendasar
pada UUD 1945, maka perubahan-perubahan juga dialami oleh peraturan-
peratuan pelaksana dibawahnya.11
Peraturan perundang-undangan tentang
kekuasaan kehakiman adalah:
a. Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman (mencabut UU No 14 Tahun 1970):
b. Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Secara umum, munculnya peraturan perundang-undangan tersebut
disebabkan terjadinya perubahan mendasar kekuasaan kehakiman dan
pergeseran kekuasaan dalam amandemen 3 UUD 1945, sebagaimana
terdapat dalam BAB IX Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi, “Kekuasaan
10
Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. h.112.
11
Rachmani Puspita Dewi, Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakima di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia, Januari 2006, Volume 24 No.1. h.6.
41
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Dan ayat (2) berbunyi,
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi.”
B. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 merupakan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan oleh
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan payung hukum bagi
seluruh badan peradilan di Indonesia, lebih lanjut pasal 1 kembali ditegaskan:
1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
42
2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
6. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung.
7. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
43
mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur
dalam undang-undang.”12
Asas yang menyatakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, berarti
bahwa dalam melaksanakan proses peradilan, hakim pada dasarnya bebas,
yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur
tangan atau turun tangan kekuasaan ekstrayudisial. Jadi pada dasarnya tidak
ada satu kekuatan pun yang dapat memengaruhi hakim dalam proses
peradilan.13
Kemerdekaan dan kemandirian proses peradilan merupakan parameter
mandiri tidaknya suatu peradilan ditandai dengan ada tidak campur tangan
(intervensi) dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dengan
berbagai upaya memengaruhi proses peradilan baik secara langsung ataupun
secara tidak langsung. Apakah dengan intervensi tersebut proses peradilan
menjadi terpengaruh kalau ternyata berpengaruh, berarti proses peradilan
tersebut tidak merdeka dan tidak mandiri.14
Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 menjelaskan beberapa fungsi peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu:
12
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
13
Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen, h.70.
14
Bambang Sutioso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia, (Yogyakata: UII Press, 2005), h.53.
44
1. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
2. Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.15
C. Dasar Pembentukan Hakim Ad Hoc Dalam Kekuasaan Kehakiman
Hakim Ad hoc mulai masuk kedalam sistem peradilan di indonesia
yaitu dengan dimulainya hakim ad hoc yang ditempatkan di jajaran
Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN), secara historis bentuk hakim ad hoc
yang berpartisipasi dari luar peradilan ikut duduk sebagai hakim bersama –
15
Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
45
sama hakim karir untuk tujuan khusus sesungguhnya sudah pernah dijalankan
sebelumnya di indonesia, dengan kata lain hakim ad hoc yang secara
konseptual kedudukannya untuk tujuan khusus (a special purpose) seperti
dalam pengadilan pidana dewasa ini bukanlah hal baru sejarah pengadilan di
indonesia.
Salah satu alasan dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk membantu
para hakim dalam menganalisis berbagai kasus yang dihadapi. Oleh karena
itu, diperlukan hakim yang ahli dalam bidang tertentu yang disebut hakim ad
hoc. Pasal 1 ayat (2) peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2000 tentang
penyempurnaan peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1999 tentang
hakim ad hoc yang menyatakan bahwa, “ahli adalah seseorang yang memiliki
disiplin ilmu yang cukup dan berpengalaman di bidangnya sekurang-
kurangnya 10 tahun.”
Ketika zaman kolonial, di pengadilan negeri yang disebut landraad
telah mengenal hakim ad hoc yang disebut dengan lid landraad. Hakim ini
bukan hakim karir tetapi anggota masyarakat yang duduk bersama hakim karir
untuk mengadili suatu perkara pidana. Selain juga keberadaan peradilan
perdamaian desa dibeberapa daerah di indonesia yang mendasarkan pada
hukum masyarakat setempat.16
16
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc,(Jakarta: Papas Sinar Sinanti,
2009), h.399.
46
Dalam pengadilan khusus seperti pengadilan HAM, Pengadilan
Tipikor, dan Pengadilan Perikanan semuanya dalam lingkungan peradilan
umum diperkenalkan hakim yang berdasarkan karir di pengadilan yang
disebut dengan hakim ad hoc.17
Hakim ad hoc seperti dalam pengadilan
khusus bukanlah yang pertama karena sebelumnya sudah diperkenalkan dalam
pengadilan TUN.18
Kemudian di pengadilan niaga19
, pengadilan pajak20
, serta
pengadilan hubungan industrial21
. Hakim ad hoc ini sama dengan hakim
agung non karir yang sudah ada sebelumnya di MA, yakni sama-sama sarjana
hukum yang berkarir di luar pengadilan kemudian diangkat menjadi Hakim ad
hoc.22
Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim ada lima orang yang
mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Pengaturan yang
sifatnya khusus ini didasarkan atas karakteristik kejahatan yang sifatnya extra
ordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya
juga sifatnya khusus.23
UU Nomor 26 Tahun 2000 mengatur kekhususan
17
UU No.31 Tahun 2004 tentang perikanan, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang HAM.
18
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tapi tidak terlaksana
sampai sekarang tidak ada Ppnya
19
UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
20
UU No. 12 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
21
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
22
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, h. 399.
23
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, (Bandung: PT. Alumni, 2012) h. 250.
47
Pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang
berat.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam
UU Nomor 26 Tahun 2000 adalah digunakannya Penyidik Ad Hoc, Penuntut
Ad Hoc, dan Hakim Ad Hoc, penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima
laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP.24
Hakim ad hoc dalam pengadilan HAM diangkat untuk masa kerja 5
tahun dan hanya untuk satu kali masa jabatan saja. Majelis hakim Pengadilan
HAM diketuai oleh hakim karir pengadilan HAM.25
UU Pengadilan HAM
mengatur untuk menjadi hakim ad hoc pada Pengadilan HAM, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. warga negara Republik Indonesia
2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian
di bidang hukum
5. sehat jasmani dan rohani
6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
24
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, h. 250.
25
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, h.360.
48
7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.26
Selanjutnya hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
dibentuk berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Sebagaimana Pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa hakim ad
hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan
jabatannya diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Sebagai tindak lanjut Undang-undang Pengadilan Tipikor Tahun 2009,
Mahkamah Agung pada tahap awal akan membentuk Pengadilan Tipikor di
tujuh Provinsi, yakni Bandung, Semarang, Surabaya, Medang, Palembang,
Samarinda, dan Makassar. Dalam proses pembentukan tersebut, Mahkamah
Agung melakukan seleksi hakim ad hoc untuk mengisi pengadilan tipikor di
tujuh daerah itu baik tingkat pertama, banding, maupun kasasi.27
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi
hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor yang diatur Pasal 10 ayat (12) UU
Nomor 46 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut:
26
Pasal 29 UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
27
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 253.
49
1. warga negara Republik Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. sehat jasmani dan rohani;
4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di
bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk
Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan
tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung;
5. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses
pemilihan untuk hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung;
6. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
7. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik;
8. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
9. melaporkan harta kekayaannya;
10. bersedia mengikuti pelatihan sebagai hakim tindak pidana korupsi; dan
11. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama
menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi.
Hakim ad hoc selanjutnya adalah hakim ad hoc di Pengadilan
Perikanan. Adapun Pengadilan Perikanan itu sendiri bertugas dan berwenang
50
memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang
dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri atas satu orang Hakim karier
Pengadilan Negeri dan dua orang hakim ad hoc.28
Pengadilan Perikanan yang
dibentuk melalui UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan untuk pertama
kali dibentuk di Pengadilan Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Blitung, dan Pengadilan
Negeri Tual.29
Hakim ad hoc dalam Pengadilan Perikanan sebagaimana ayat (1),
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas Usul Ketua Mahkamah
Agung.30
Adapun yang dimaksud hakim ad hoc pada Pengadilan Perikanan
adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain,
perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan
mempunyai keahlian dalam bidang hukum perikanan.31
Adapun hakim ad hoc pada Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 302
ayat (3) yang berbunyi “dengan tetap memperhatikan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat
28
Pasal 78 ayat (2) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 29
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 254.
30
Pasal 78 ayat (4) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
31
Pasal 78 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Penjelasan terhadap
UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan)
51
seseorang yang ahli, sebagai hakim ad hoc, baik pada pengadilan tingkat
pertama, kasasi, maupun pada peninjauan kembali”
Pengadilan Niaga dibentuk melalui Perppu Nomor 1 Tahun 1998 yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengadilan Niaga yang pertama
kali dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan
keputusan Presiden dibentuk Pengadilan Niaga di Medan, Surabaya,
Semarang dan Makassar. Kewenangan mengadili Pengadilan termasuk
mengadili perkara kepailitan dan Hak Kekayaan Intelektuan (HKI).32
Terakhir adalah hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial,
yang mana Pengadilan Industrial ini dibentuk melalui UU Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan mempunyai
kewenangan untuk mengadili sengketa perselisihan hubungan industrial.
Pengadilan menggantikan fungsi dari Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah (P4D) yang telah dilikuidasi.33
32
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 255 33
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 256.
52
D. Kedudukan dan Kewenangan Hakim Ad Hoc Dalam Kekuasaan
Kehakiman
Pasal 1 angka 9 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman menyebutkan hakim ad hoc adalah: “hakim yang
bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang.34
”
Sebagaimana telah diuraikan bahwa dalam pengadilan pidana yakni
dalam pengadilan khusus HAM, Tipikor dan Perikanan telah dibentuk hakim
ad hoc. Sebelumnya, dalam pengadilan lain yakni Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dan Niaga sudah ada terlebih dahulu. Hakim justru pertama-
tama diperkenalkan dalam undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) pada tahun 1986 sekalipun sampai sekarang hakim ad hoc di PTUN
belum pernah terbentuk dan menjalankan tugasnya. Penjelasan mengapa
hakim ad hoc akan dibentuk di PTUN sangat sumir yakni dikatakan jika
memerlukan keahlian dalam memeriksa suatu perkara tertentu dapat diangkat
menjadi hakim ad hoc. Pembentukan selanjutkan akan dilakukan oleh
peraturan pemerintah yang sampai ini belum pernah diterbitkan.35
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
34
Pasal 1 angka 9 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
35
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, h. 400.
53
dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. dalam hal ini Mahkamah Agung
termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi
adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara sehingga
menjalankan fungsi ketatanegaraan alias bertindak atas nama negara.36
Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial,
berkedudukan sebagai “pejabat negara”.
Berdasarkan Pasal 2 UU No 28 tahun 1999, Penyelenggara Negara
adalah pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada
lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pejabat lain yang
memiliki tempat strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Lebih diperkuat lagi oleh Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang penyelenggara negara menyatakan bahwa Penyelenggara Negara
adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Hakim adalah hakim pada Mahakamah Agung dan hakim pada badan
peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan
36
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52d60f02e2b5c/hakim-ad-hoc-adalah-
pejabat-negara diakses pada hari jum’at tanggal 11 September 2015
54
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.37
Hakim dan
Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang38
. Dalam hal ini, semua hakim
baik hakim Mahkamah agung termasuk hakim pengadilan yang berada
dibawahnya serta hakim Mahkamah konstitusi berkedudukan sebagai pejabat
negara tanpa terkecuali. Pernyataan senada juga datang dari Luhut M
Pangaribuan yang mengatakan bahwa “hakim ad hoc bila sudah diangkat akan
sama seperti hakim karir yakni sebagai pejabat negara.39
”
Sebelumnya, profesi hakim pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tidak secara jelas status hakim ad hoc sebagai Pejabat Negara,
sehingga dibuat peraturan Menteri Sekertaris Negara Nomor 6 Tahun 2007
dan diganti oleh peraturan Menteri Sekertaris Negara Nomor 7 Tahun 2012
yang menyatakan bahwa hakim ad hoc termasuk katagori Pejabat Negara
lainnya.
Namun, setelah lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara kedudukan hakim ad hoc itu kandas sebagai pejabat negara.
Karena, dalam undang-undang tersebut Pasal 122 huruf e disebutkan bahwa
“Pejabat Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: ketua wakil ketua,
37
Pasal 1 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
38
Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Lihat juga pasal 1 butir
8 KUHAP
39
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, h. 359.
55
ketua muda, dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil
ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”
Berdasarkan Pasal tersebut, hakim ad hoc dikecualikan sebagai pejabat
negara. Sehingga menurut penulis pasal yang mengecualikan hakim ad hoc
sebagai pejabat negara tersebut berimplikasi terhadap hakim ad hoc yang tidak
jelas kedudukannya. Walaupun hakim ad hoc tersebut masih mempunyai
wewenang yang sama dengan hakim lainnya baik dalam memeriksa dan
memberikan putusan atas suatu perkara.
Dalam mengadili perkara, hakim profesional (karir) dan hakim ad hoc
ini bersama-sama dalam satu majelis untuk mengadili satu perkara di
pengadilan khusus masing-masing. Bersama-sama dalam arti mereka secara
kolegial (kolaboratif) duduk dalam satu meja yang sama dan memiliki
wewenang dan hak suara yang sama dalam memeriksa dan memberikan
putusan atas suatu perkara.40
Adapun kewenangan hakim ad hoc, penulis akan jelaskan sebagian
kewenangan hakim ad hoc di beberapa badan peradilan. Pertama;
kewenangan hakim ad hoc di Pengadilan HAM. Pasal 4 UU No 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Begitu juga Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di
40
Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc. h.360.
56
luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara
Indonesia.41
Namun, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan
oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat
kejahatan dilakukan.42
Dalam melakukan Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 27 dilakukan oleh
majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2
(dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc.43
Selain di Pengadilan HAM, hakim ad hoc juga terdapat dalam
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hakim ad hoc dalam pengadilan
ini dibentuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi bersama hakim karier lainnya baik di pengadilan tindak pidana
korupsi, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung.44
Pasal 26 ayat (1)
Nomor 46 Tahun 2009 diatur bahwa dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim
berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-
41
Pasal 5 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
42
Pasal 5 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 43
Pasal 27 ayat (2) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
44
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Adapun Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung. (Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi)
57
banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Berdasarkan uraian di atas, kewenangan Pengadilan Tipikor adalah mengadili
perkara tindak pidana korupsi khusus yang penuntutannya dilakukan oleh
KPK.
Kemudian hakim ad hoc di Pengadilan Perikanan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.45
Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc yang
mana susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu)
hakim karier.46
Pemeriksaan di Pengadilan Perikanan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim berwenang
melakukan penahanan selama 20 hari, yang dapat diperpanjang paling lama 10
hari atas izin ketua Pengadilan Negeri. Dalam jangka waktu paling lama 30
hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusan yang tidak perlu dihadiri oleh
terdakwa. Dalam hal putusan dimintakan banding pengadilan tinggi, perkara
tersebut diperiksa dan diputus paling lama 30 hari; dalam pemeriksaan
banding hakim dapat menahan paling lama 20 hari yang dapat diperpanjang
paling lama 10 hari dengan izin ketua Pengadilan Tinggi. Putusan banding
45
Pasal 71 ayat (1) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
46
Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
58
dapat dimintakan kasasi dan perkara diperiksa dan diputus paling lama 30
hari.47
Selanjutnya adalah hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial. Yang dimaksud hakim ad hoc pada pengadilan ini adalah hakim ad
hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi pengusaha. Hakim tersebut berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.48
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutuskan di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselihan kepentingan, di tingkat pertama
mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan
terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan. Sesuai Pasal 57 UU Nomor 2 Tahun 2004, hukum acara yang
berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata
kecuali ditentukan lain.49
47
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 254.
48
Pasal 1 Point 19 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
49
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan h. 256.
59
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XII/2014
TENTANG KEDUDUKAN HAKIM AD HOC DALAM STRUKTUR
KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA
A. Duduk Perkara
Pengujian konstitusionalitas Pasal 122 huruf e UU No 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara ini diajukan oleh perwakilan hakim ad hoc dari
berbagai daerah. Pertama; DR. Gazalba, S.H., M.H yang lahir di Bone 15
April 1968 berprofesi sebagai hakim ad hoc tipikor pada pengadilan Negeri
Surabaya yang berkedudukan sebagai pemohon I. Kedua, DR. Lufsiana, S.H.,
M.H, beralamat jalan sugihwaras E 2 No 13 Candi Sidoarjo, jawa timur. lahir
di Sekayu 29 November 1965, menjabat sebagai hakim ad hoc di Pengadilan
Negeri Palembang. Ketiga, Sumali, S.H., M.H. lahir di Malang 12 Desember
1962, beralamat di Perum IKIP Tegalgondo Asri F/19 Malang Jawa Timur,
menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Denpasar
yang berkedudukan sebagai Pemohon ke III.
Keempat, Sugeng Santoso PN, S.H., M.H., M.M, lahir yogyakarta 09
Maret 1968, alamat Taman Pondok I FG IVA-17 Pepelagi, sidoarjo.
Jabatannya sebagai hakim ad hoc PHI pada PN Surabaya sebagai pemohon
ke IV. Kelima, DR. Ir. Moh. Indah Ginting, MM, lahir di Kaban Jahe, 15
Maret 1947, beralamat di Ruko Cempaka Mas Blok L No 39 RT.007/008
Jalan Cempaka Mas Tengah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Kemayoran,
Jakarta Pusat. Menjabat sebagai hakim ad hoc Perikanan pada PN Jakarta
60
Utara. Kedudukannya sebagai Pemohon ke V. Keenam, Elias Hamonangan
Purba, SE, S.H., lahir di Jakarta 10 Maret 1966, alamat jalan Kapas 14
Nomor 35 Desa Mangga Medan Tuntungan, Medan. Menjabat sebagai hakim
ad hoc PHI pada PN Samarinda.
Ketujuh, Sahala Aritonang, S.H., AM.Pd, lahir di S. Langge, 30 Agustus
1965, alamat jalan Perkebunan III Nomor 9, RT 007/06 Kelurahan Pondok
Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Jabatannya sebagai hakim
Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Kedelapan, Abdur
Razak., S.H., M.H., lahir di Masalembu 27 April 1967, alamat jalan Tupai 9
Nomor 5 Makassar. Jabatannya sebagai hakim ad hoc Tipikor pada
Pengadilan Negeri Makassar. Kesembilan, Army Rustam Effendy, S.H., M.H,
lahir di Surabaya 27 Januari 1958, alamat jalan Komp. Bea Cukai Nomor 11
Pisangan Ciputat Timur, jabatannya sebagai hakim ad hoc Perikanan pada
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kesepuluh, Lukman Amin S.H., M.H., lahir di Galesong, 12 Juli 1969.
Alamat komp. Tirta Nusantara Blok B 2 Nomor 3 karampuang, penakkukan,
Makassar. Jabatannya sebagai hakim ad hoc Perikanan pada Pengadilan
Negeri Tual. sebelas, Suwito S.H., M.H, lahir di Wonogiri 14 Januari 1971,
alamat Jaya Asri Blok AD No 9 Entrop Jayapura, profesi sebagai hakim ad
hoc tipikor Jaya Pura. Dalam hal ini, para pemohon mengajukan permohonan
pada tanggal 6 Marer 2014, yang diterima kepanitraan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 14 Maret 2014 berdasarkan akta penerimaan berkas permohonan
nomor 80/PAN.MK/2014 dengan Nomor 32/PUU-XII/2014, yang telah
61
diperbaiki dan diterima di kepanitraan Mahkamah pada tanggal 17 April 2014
yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
Para pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji
konstitusionalitas frase kecuali hakim ad hoc pada Pasal 122 huruf e
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang
selengkapnya berbunyi, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
121 yaitu: “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada
Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan
peradilan kecuali hakim ad hoc” terhadap UUD 1945.
B. Pertimbangan Majelis Hakim
Sebelum mempertimbangkan pokok perkara yang diajukan para pemohon
Mahkamah mempertimbangkan kewenangan Mahkamah terlebih dalulu.
salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945, ini berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 No 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
62
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076). Berdasarkan uraian di atas, Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo.
Di dalam pengajuan Uji Materiil Undang-Undang, Menurut Jazim Hamidi,
Muhammad sinal dkk, pemohon diharuskan untuk membuktikan bahwa
pemohon benar-benar memiliki kedudukan hukum, sehingga permohonan
pengujian yang diujikan dapat diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim
Mahkamah Konstitusi.1 Maka dari itu, mahkamah juga melihat kedudukan
hukum (legal standing) pemohon dalam mengajukan pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. hal
itu dijelaskan dalam UU MK Pasal 51 ayat (1), yang dapat bertindak sebagai
pemohon dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian, yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok yang
mempunyai kepentingan sama.
2. Kesatuan hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang di atur dalam Undang-Undang.
3. Badan hukum publik atau privat. Atau
1 Jazim Hamidi, Muhammad sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point of
The State, (Jakarta: Selemba Humanika, 2012), hal.158
63
4. Lembaga negara.
Dengan demikian, para pemohon dalam melakukan pengujian
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu
mengenai kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK, juga menjelaskan hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan oleh pengujian.
Dalam konteks pengujian undang-undang, kepentingan yang digugat
adalah kepentingan yang luas yang menyangkut kepentingan semua orang
dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, perkara yang diajukan tidak
dalam bentuk gugatan, tetapi permohonan dan subjek yang mengajukannya
disebut pemohon. Lebih lanjut agar suatu perkara yang diajukan dapat
diperiksa dan diputus, pemohon yang mengajukan permohonan atas
pengujian undang-undang haruslah yang mempunyai persyaratan kedudukan
(legal standing), sehingga masalah pemenuhan persyaratan legal standing
pemohon ini merupakan masalah pokok dalam setiap pengajuan permohon
pengujian undang-undang.2
Untuk dapat dinyatakan memiliki legal standing, dalam mengajukan
permohonan merupakan hal yang sulit. Hal ini karena seseorang tidak dapat
dengan serta merta dapat dinyatakan memiliki legal standing sebelum
2 Jazim Hamidi, Mohammad Sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Selemba
Humanika, 2012), hal,158
64
pemeriksaan pokok perkara, bahkan legal standing seseorang baru diketahui
setelah proses pembuktian atau bahkan kadang-kadang keputusan tentang
penentuan seseorang miliki legal standing baru dapat ditentukan dengan
keputusan final atas pokok perkara.3
Maka dari itu, pertimbangan selanjutnya para pemohon dalam melakukan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Mahkamah juga menimbang sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005.
Tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20
September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945.
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
3 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: Bahana Ilmu
Populer,2007), hal.65
65
c. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan
tidak lagi terjadi.
Pertimbangan selanjutnya adalah tentang para pemohon, yang mana para
pemohon ini adalah perorangan warga negara Indonesia yang saat ini
berprofesi sebagai hakim ad hoc. Mereka beranggapan telah dirugikan hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
serta mendapatkan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman,
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi dengan berlakunya Pasal 122 huruf e UU
No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Menurut para pemohon, pasal a quo telah merugikan hak-hak
konstitusional para pemohon sebagai hakim ad hoc yang dijamin oleh UUD
1945 khususnya Pasal 24 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945, karena memuat hukum yang menimbulkan ketidak jelasan,
perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang beda di hadapan hukum, dan
66
perlakuan diskriminatif. Para Pemohon sebagai hakim ad hoc merasa
dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan yang sama
sebagai hakim pada umumnya sebagai pejabat negara disebabkan berlakunya
UU a quo.
Kerugian yang dialami oleh para pemohon dengan berlakunya Pasal 122
huruf e UU ASN adalah sebagai berikut:
1. Perberlakuan pajak atas penghasilan para pemohon sebesar 15%;
2. Adanya pemberlakuan yang berbeda terhadap hakim ad hoc telah
menyebabkan adanya kecemburuan diantara para hakim ad hoc
dengan hakim karier yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya
kewibawaan dan kehormatan hakim ad hoc;
3. Adanya pembedaan dalam pemberian fasilitas dan tunjangan kepada
hakim ad hoc yang dianggap bukan sebagai pejabat negara telah
menyebabkan adanya perlakuan yang tidak sama antara hakim ad hoc
dengan hakim karir sehingga menyebabkan runtuhnya wibawa hakim
ad hoc.
Berdasarkan dalil yang dijelaskan oleh para pemohon di atas, menurut
Mahkamah, para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sehingga para pemohon dapat mengajukan permohonan a quo.
Sebelum menjelaskan tentang pokok permohonan, mahkamah
menjelaskan bahwa pengertian dari pada hakim ad hoc yang tersebar di
beberapa undang-undang, antara lain dalam Pasal 28 ayat (1) UU No 26
67
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (2) UU No
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 78 ayat (1) Tahun 2004
tentang Perikanan, Pasal 1 angka 19 UU No 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pasal 1 angka 3 UU No 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 9 UU
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 angka 6 UU No
49 Tahun tentang perubahan kedua atas UU No 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
Pengertian pejabat negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan”, sedangkan
pengertian pejabat negara dalam undang-undang antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam
Pasal 1 disebutkan bahwa “Penyelenggara Negara adalah Pejabat
Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Sedangkan dalam Pasal 2 yang dimaksud
penyelenggara negara dijelaskan yaitu “Pejabat negara pada lembaga
tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri,
gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang
memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara
68
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Yang
dimaksud pejabat negara lain dalam pasal 1 di atas, misalnya Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh, wakil gubernur,
dan Bupati/Walikotamadya.
2. Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Pasal 122 menyebutkan yang dimaksud pejabat negara dalam pasal
121 yaitu a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Ketua, wakil ketua, dan
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Ketua, wakil ketua, dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d) Ketua, wakil ketua, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah; e) Ketua, wakil ketua, ketua muda
dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan
hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f) Ketua,
wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g) Ketua, wakil ketua,
dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h) Ketua, wakil ketua, dan
anggota Komisi Yudisial; i) Ketua dan wakil ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi; j) Menteri dan jabatan setingkat menteri; k)
Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l)
Gubernur dan wakil gubernur; m) Bupati/walikota dan wakil
bupati/wakil walikota; dan n) Pejabat negara lainnya yang ditentukan
oleh Undang-Undang.
69
Dibentuknya hakim ad hoc menurut mahkamah karena adanya faktor
kebutuhan akan keahlian dan efektifitas pemeriksaan perkara di
pengadilan yang bersifat khusus. Selain itu, tujuan awal dibentuknya
hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran kekuasaan kehakiman
dalam menegakan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas
perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang
mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara
khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika
hakim ad hoc bersama hakim karir menangani sebuah perkara.
Mahkamah juga menjelaskan bahwa adanya pengecualian hakim ad hoc,
sebagaimana diatur dalam Pasal 122 huruf e UU ASN menurut Mahkamah
mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa
tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas
dan sementara maka penentuan hakim ad hoc yang dikatagorikan sebagai
pejabat negara tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini,
Mahkamah menolak permohonan pemohon karena menurut Mahkamah
permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Menurut Mahkamah, tidak tepat apabila Pemohon beranggapan bahwa
penegasan hakim karir dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk
dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 46 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan “hakim adalah hakim karir dan hakim ad hoc”
yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang
70
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa, “hakim di bawah Mahakamah agung adalah pejabat Negara”
Begitu juga, menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad
hoc dan hakim karir, tetapi perbedaan tersebut menurut Mahkamah tidak serta
merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28I ayat (2) UUD 1945, perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter,
dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan
diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda
atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap suatu hal yang sama.
menurut Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karir sama-
sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda,
hal itu merupakan wilayah kebijakan undang-undang.
C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Kedudukan Hakim Ad
Hoc dalam Struktur Kekuasaan Kehakiman
Dukungan kelembagaan untuk penyelenggara kekuasaan kehakiman
adalah sebuah keniscayaan sebagaimana diatur secara konstitusional dan
perundang-undangan yang berlaku. Kelembagaan dimaksud adalah instansi
yang bertugas melaksanakan fungsi penegakan hukum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni kepolisian, kejaksaan, KPK,
Advokat, dan instansi lainnya.4 Penyelenggara kekuasaan kehakiman diatur
dalam UUD 1945 Bab IX. Pasal 24 ayat (1) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman
4 Mohammad Askin, Dukungan Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman/Peradilan Tipikor. h.45.
71
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.” Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pembentukan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum dimungkinkan oleh Pasal 27 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pembentukannya untuk menjawab tantangan zaman karena masyarakat
mengalami perubahan dengan cepat yang menghendaki penyelesaian suatu
perkara dilakukan oleh pengadilan yang sesuai dengan bidang hukumnya dan
dengan proses yang berjalan lebih cepat serta profesional.5
Refleksi paling mendasar dari tugas pengadilan termasuk pengadilan
khusus pidana adalah tentang keadilan. Konkritnya, setiap putusan pengadilan
bertujuan untuk mencapai keadilan yang subtansinya dapat dinikmati orang
secara setara dan pada waktunya. Sebab proses hukum yang dialami oleh
seseorang melalui peradilan akan dirasakan apakah sebagai keadilan atau
ketidakadilan dapat dinilai dari dua hal secara bersamaan yakni dari derajat
subtansinya dan dari aspek waktunya. Dalam hubungan dengan yang terakhir
ini dikenal satu maksim: justice delayed justice denied, artinya keadilan yang
tertunda adalah sama dengan meniadakan keadilan itu.6
5 Gatot Supramono, Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor dan Masalah Keahliannya,
(Jakarta: IKAHI, 2013), h.53
6 Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc. h.397
72
Sejalan dengan namanya pengadilan khusus, pejabat yang menangani
perkara adalah hakim khusus yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc.
Hakim karier berasal dari hakim umum di Pengadilan Negeri yang telah
berpengalaman menyidangkan berbagai perkara. Sedangkan hakim ad hoc
adalah pihak ketiga yang berasal dari luar pengadilan yang memiliki keahlian
tertentu sesuai dengan bidang pengadilan khususnya.7
Hakim ad hoc merupakan pejabat pengadilan yang sifatnya sementara,
untuk kurun waktu tertentu. Oleh undang-undang ditentukan masa jabatannya
selama lima tahun dan sesudahnya dapat diangkat kembali dengan waktu
yang sama. Masuknya hakim ad hoc ke dalam sebuah pengadilan khusus
karena adanya keputusan politik yang dituangkan dalam undang-undang,
dengan tujuan agar pengadilan di dalam menjalankan tugasnya bersih dari
campur tangan pihak ketiga, jujur, berwibawa, dan mampu memberikan
keadilan dan kebenaran dan putusannya berguna bagi masyarakat.8
Dalam putusan No 32/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan pemohon yang mengajukan pengujian Pasal 122 UU Aparatur
Sipil Negara yang mengecualikan hakim ad hoc sebagai pejabat negara. dari
semua pertimbangan majelis hakim terhadap pengujian tersebut menurut
penulis sudah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengujian konstitusionalitas Pasal 122 UU ASN oleh para pemohon
dikarenakan sejak awal terbentuknya hakim ad hoc, hakim ad hoc
7 Gatot Supramono, Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor dan Masalah Keahliannya. h.53
8 Gatot Supramono, Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor dan Masalah Keahliannya. h.53
73
mempunyai kedudukan yang sama dengan hakim-hakim karier lainnya yaitu
sebagai pejabat negara, sehingga UU ASN khususnya Pasal 122 tersebut
menurut para pemohon telah merugikan pemohon karena menimbulkan
perlakuan diskriminatif terhadap pemohon.
Dari beberapa pertimbangan Mahkamah sehingga menolak
permohonan pemohon menurut penulis sudah tepat. Namun, dalam hal lain
menurut penulis pertimbangan Mahkamah yang mengecualikan hakim ad hoc
sebagai pejabat negara dalam Pasal 122 UU ASN disebabkan pola rekrutmen,
dan tidak adanya batasan usia berakhir masa tugasnya sehingga menyebabkan
hakim ad hoc dikecualikan sebagai pejabat negara bukan berarti hakim ad
hoc tidak bisa mendapatkan kedudukan sebagai pejabat negara, dikarenakan
hakim ad hoc juga diangkat melalui peraturan perundang-undangan dan juga
dibatasi masa jabatannya walaupun dalam hal usia hakim ad hoc tidak
dibatasi.
Namun, menurut penulis, walaupun dari segi usia hakim ad hoc tidak
dibatasi tidak menjadi masalah terhadap wibawa hakim, karena dalam
undang-undang sudah diatur bahwa syarat menjadi hakim ad hoc tersebut
salah satunya harus sehat jasmani dan rohani, sehingga masalah usia menurut
penulis tidak bermasalah asalkan telah memenuhi persyaratan yang sudah
diatur dalam undang-undang.
Mahkamah juga mengatakan tidak tepat terhadap alasan pemohon
yang menegaskan hakim karier dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara
dengan merujuk dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun
74
2009 tentang pengadilan Tindak Pindak Korupsi yang mengatakan, “hakim
adalah hakim karier dan hakim ad hoc” yang kemudian dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa, “hakim di bawah
Mahakamah agung adalah pejabat Negara”. Dalam hal ini, penulis lebih
sepakat terhadap alasan pemohon dikarenakan hakim ad hoc di Pengadilan
Tindak Pindana Korupsi dan pengadilan lain juga berada dibawah Mahkamah
agung. dalam undang-undang tersebut juga tidak membeda-bedakan
kedudukan hakim karir dan hakim ad hoc. Itu terbukti sebelum adanya
undang-undang ASN kedudukan hakim ad hoc sama seperti hakim karir
sebagai pejabat negara. Namun, disisi lain penulis juga menyayangkan dalil
yang digunakan pemohon yang menggunakan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang pengadilan Tindak Pindak Korupsi
saja, karena pasal tersebut hanya mewakili hakim ad hoc Tipikor saja.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan batasan dan
kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara,
justru karena tidak ditentukan dalam UUD 1945 itulah menurut penulis alasan
pemohon tepat karena hakim ad hoc termasuk di bawah naungan Mahkamah
Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) UU tentang
Kekuasaan Kehakiman tersebut. satu-satunya frasa pejabat negara dalam
UUD 1945 hanya terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) yang menyatakan
“Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
75
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Dalam undang-undang sudah diatur dengan jelas bahwa hakim ad hoc
dan hakim karir mempunyai kewenangan yang sama yaitu untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara dalam suatu persidangan. Hanya saja,
dalam suatu persidangan, hakim ad hoc hanya bisa menjadi anggota saja tidak
bisa menjadi ketua majelis. Karena ketua majelis hanya bisa diduduki oleh
hakim karir, Mungkin hal itu disebabkan karena hakim karir dipandang lebih
pengalaman dalam memimpin persidangan.
Senada dengan pendapat Luhut M Pangaribuan, menurutnya hakim
ad hoc dan hakim karier dalam permusyawaratan dalam mengambil
keputusan juga mempunyai hak yang suara yang sama. Setiap anggota
majelis hakim termasuk hakim ad hoc dapat tidak setuju dengan suatu
putusan. Ketidak setujuan itu akan dituangkan secara tertulis dan merupakan
bagian putusan disebut disenting opinion. Tetapi tidak mengenal bentuk
concuring opinion, yakni setuju dengan putusan dengan alasan yang
berbeda.9 Perbedaan mendasar antara hakim ad hoc dengan hakim karier
yaitu dalam bentuk kebutuhan, cara pengangkatan serta batasan usia yang
tidak ditentukan dalam hakim ad hoc.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan
pemohon tetap harus dihormati, dan itu menjadi keputusan final dan
mengikat. Namun, bukan berarti hakim ad hoc tidak punya harapan lagi
9 Luhut M Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc. h.448.
76
untuk menjadi pejabat negara, karena Mahakamah juga menjelaskan bahwa
penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah pejabat negara atau
atau bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Yang
sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada sesuai dengan jenis dan
spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian, penentuan
kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. suatu saat nanti bisa saja
pembentuk undang-undang akan mengembalikan kedudukan hakim ad hoc
sebagai pejabat negara.
Penulis sendiri lebih setuju kalau kedudukan hakim ad hoc sama
dengan hakim-hakim karir lainnya sebagai pejabat negara selama mereka
menjabat sebagai hakim sebagaimana ditentukan waktunya dalam undang-
undang, karena pada prinsipnya hakim ad hoc juga menjalankan salah satu
fungsi ketatanegaraan seperti hakim lainnya sehingga merupakan
penyelenggara negara. sedangkan penyelenggara negara adalah pejabat
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang penyelenggara
negara.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan, menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi No
32/PUU-XII/2014 terhadap uji konstitusional Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengecualikan hakim ad hoc, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan hakim ad hoc sebelum putusan Mahkamah Konstitusi sama
seperti kedudukan hakim karir yaitu sebegai pejabat negara, sedangkan
setelah adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Pasal 122 No 5
Tahun 2014 hakim tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai pejabat
negara.
2. Menurut Mahkamah Konstitusi bahwa alasan para pemohon terhadap uji
konstitusional Pasal 122 Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara yang mengecualikan hakim ad hoc sebagai pejabat
negara tidak beralasan menurut hukum sehingga Mahkamah Konstitusi
menolak terhadap permohonan pemohon. Justru menurut Mahkamah,
memberikan kedudukan yang sama terhadap suatu yang berbeda itulah
yang dinamakan perbuatan diskriminasi. Namun Mahkamah juga
mengatakan bahwa penentuan hakim ad hoc untuk pejabat negara atau
bukan adalah kewenangan pembuat undang-undang sehingga suata saat
nanti bisa berubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
78
B. Saran-Saran
1. Bagi para hakim ad hoc, walaupun kedudukannya dibedakan dengan
hakim karir agar tetap menjaga wibawa hakim dan menjalankan tugas dan
fungsi kekuasaan kehakiman sebaik-baiknya. Jangan sampai perbedaan
kedudukan tersebut berdampak negatif terhadap kinerja hakim ad hoc
dalam menegakan hukum di negeri ini.
2. Bagi pembuat undang-undang atau dewan legislatif harus berpikir kembali
secara matang dalam membuat undang-undang, jangan sampai undang-
undang yang dibuat menimbulkan keresahan atau diskriminasi terhadap
suatu institusi, masyarakat atau perorangan termasuk kepada hakim ad
hoc.
79
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Ali, M. Hatta. Peradilan Sederhana, Cepat, & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif. Bandung: PT. Alumni. 2012
Anwar, Yesmil dan Adang. Sistem Peradilan Pidana; Komponen, &
Pelaksaannya Dalam Penegakan Hukum Indonesia. Bandung: Widya
Padjadjaran. 2009
Asrun, A.Muhammad. Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto.
Jakarta: ELSAM. 2004
Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution; Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2010
---------------------- Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrakrasi. Jakarta:
Sinar Grafika. 2012
---------------------- Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2011
---------------------- Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2009
---------------------- Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika. 2012
---------------------- Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Bahana Ilmu
Populer. 2007
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Tentang Unsur-unsur.
Jakarta: UI Press. 1995
80
Dewi, Rachmani Puspita. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia. 24 No.1. (Januari
2006).
Hamidi, Jazim. sinal, Muhammad, dkk. Teori Hukum Tata Negara A Turning
Point of The State. Jakarta: Selemba Humanika. 2012
Huda, Ni’matul. Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review. Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta. 2005
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. 1988
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
1985
Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI
Manan, Bagir. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Jakarta: Mahkamah Agung RI. 2005
MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2011
Mujahid A Latief , dkk. Kebijakan Penegakan Hukum. Jakarta: Komisi Hukum
Nasional. 2010
Mujahidin, Ahmad. Peradilan Satu Atap di Indonesia. bandung: PT Rafika
Aditama. 2007
Pangaribuan, Luhut M. Lay Judges & Hakim Ad Hoc. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
2009
Ridman. Kekuasaan kehakiman Pasca-Amandemen. Jakarta: Prenada Media
Group. 2012
81
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali. 1985
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. 2010
--------------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984
Supramono, Gatot. Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor dan Masalah Keahliannya.
Jakarta: IKAHI. 2013
Sopyan, Yayan. Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2009
Surachmad, Winarno. Dasar dan Teknik Research, Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: C.V Tarsito. 1975
Sutiyoso, Bambang dan Hastuti, Sri. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Yogyakata: UII Press. 2005
Tirtaamidjaja, MH. Kedudukan Hakim dan Jaksa. Jakarta: Djambatan. 1962
Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011
Usman, Husaini, dkk. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar. 1962
Warfare, Unconventional. Philipine Law Jounal. Number 3. (July 1965)
B. Internet
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52d60f02e2b5c/hakim-ad-hoc-
adalah-pejabat-negara diakses pada hari jum’at tanggal 11 September 2015
82
C. Undang-Undang
Pasal 1 angka 9 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Pasal 1 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
Pasal 1 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
Pasal 1 Point 19 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
Pasal 103 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950
Pasal 11 ayat 1 ketetapan MPR No. III/MPR/1978
Pasal 135 Konstitusi RIS
Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
Pasal 19 UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Lihat juga pasal 1
butir 8 KUHAP
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
Pasal 24 dan 25 UUD 1945
Pasal 25 ayat (1) UUD 1945
Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
83
Pasal 27 ayat (2) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 29 UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pasal 5 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 71 ayat (1) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Pasal 78 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Pasal 78 ayat (2) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Pasal 78 ayat (4) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun
1950
UU No. 12 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselihan Hubungan Industrial
UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM.
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tapi tidak terlaksana
sampai sekarang tidak ada Ppnya
UU No.31 Tahun 2004 tentang perikanan, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK
UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran