KONTEN ARTIKEL-ARTIKEL DALAM KORAN SINAR DJAWA DAN...
Transcript of KONTEN ARTIKEL-ARTIKEL DALAM KORAN SINAR DJAWA DAN...
KONTEN ARTIKEL-ARTIKEL DALAM KORAN SINAR
DJAWA DAN SINAR HINDIA TAHUN 1917-1918
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan
memperoleh gelar
Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Irvan Hidayat
NIM: 1113022000054
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2020 M
i
ABSTRAK
Skripsi ini berupaya menganalisa artikel-artikel dalam
koran terbitan Sarekat Islam Semarang. Koran itu bernama
Sinar Djawa yang kemudian berganti nama menjadi Sinar
Hindia pada 1 Mei 1918. Dalam penelitian ini ada tujuh jenis
konten artikel yang dimuat di antaranya: pendidikan, politik,
ekonomi, tradisi, agama, ajaran sosialisme, dan kesehatan.
Penelitian ini menggunakan metode historis dengan
penulisan deskriptif-analisis. Hasil penemuan dalam skripsi ini
bersifat eksplorasi dengan data-data yang diperoleh dari
berbagai sumber. baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Untuk menganalisa konten artikel tersebut penulis
menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci yang berfungsi
untuk menganalisis kolonialisme tersembunyi (hidden
colonialism) yang dikembangkan pemerintah lewat
kebijakannya.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa artikel-
artikel yang berkembang adalah bentuk upaya kontra hegemoni
yang dilakukan oleh para penulis, jurnalis, dan tokoh
pergerakan terhadap pemerintah Belanda yang bersekutu
dengan para pemilik modal (kapitalis). Kontra hegemoni
dilakukan untuk mewujudkan keadilan bagi Bumiputera.
Kata kunci: Sinar Djawa, Sinar Hindia, kolonialisme
tersembunyi, dan kontra hegemoni.
ii
KATA PENGANTAR
Seraya puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada
Tuhan semesta alam yang Maha segala-Nya dan tidak ada lagi
Maha setelahnya. Berkat kuasanyalah penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam akan selalu
teriring kepada manusia paling sempurna, pada tokoh
revolusiner peradaban manusia yaitu Kanjeng Nabi
Muhammad SAW.
Dalam misi memenuhi dan menyelesaikan syarat studi
strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, maka dengan itu penulis telah menulis karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul, “Konten artikel-artikel
Dalam Koran Sinar Djawa dan Sinar Hindia Tahun 1917-
1918”.
Skripsi ini adalah penelitian sejarah dalam bidang pers
yang sampai saat ini di Indonesia umumnya dan di lingkungan
UIN Syarif Hidayatullah masih sangat minim. Padahal
perkembangan pers pada awal abad ke-20 ini sangatlah penting
untuk dipahami, sebab melalui perslah rasa kebangsaan itu
terbentuk sebagaimana dinyatakan oleh Benedict Anderson
dalam karyanya Imagined Communities. Selain itu pemahaman
akan pers di masa lalu sangat penting untuk membentuk
karakter dan jati diri pers pada masa kini.
Dalam proses pengkajian dan penelusuran jejak-jejak
pers di masa lalu, penulis banyak menemui tantangan dan
kesulitan. Akan tetapi, berkat dorongan semangat dan do’a
iii
dari berbagai pihak,tantangan dan kesulitan. Akan tetapi,
berkat dorongan semangat dan do’a dari berbagai pihak,
penulis mampu menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Oleh karena itu, izinkan penulis menghaturkan ucapan
terimakasih sebagai bentuk apresiasi kepada beberapa pihak
yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini, baik
bantuan dari segi moril maupun materil
1. Kepada (Alm) ayahanda Syamsuri dan ibunda Anasih
tercinta, yang tak henti-hentinya mencurahkan kasih
sayang, kerja kerasnya, serta membimbing penulis
sedari kecil sampai saat ini. Semoga dengan selesainya
karya tulis ini, bisa menjadi kebanggan bagi mereka.
Serta adik tecinta (Ari Al Farizi, Anisa Yuliani, dan
Rahma Indah Purnama Sari) dan semua anggota
keluarga.
2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA,
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode
2019-2023.
3. Saiful Umam, P.hD, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam beserta Shalikatus Sa’diyah selaku
Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI),
UIN Syarif Hidayatullah.
5. Dosen pembimbing akademik, Dr. H. M. Muslih
Idris M.A, selaku dosen pembimbing akademik penulis,
iv
yang telah mengarahkan perkuliahan penulis dari
semester awal hingga kini.
6. Dosen pembimbing skripsi yang pertama Dr. Fuad
Jabali yang selalu memberi arahan, namun harus
digantikan karena kesibukan beliau. Dosen pembimbing
skripsi yang kedua, Prof. Budi Sulistiono yang sudah
memberikan arahan dan mengajarkan bagaimana cara
menulis yang baik.
7. Kepada seluruh civitas akademik Fakultas Adab dan
Humaniora, khususnya dosen-dosen SPI yang telah
memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis
semenjak penulis memasuki bangku perkuliahan.
8. Kepada teman-teman SPI 2013 semuanya,
merasa beruntung bisa berteman dengan tiga kelas yang
berbeda- beda.
9. Kepada semua pengurus HMS SPI 2015 dan SEMA
FAH 2016.
10. Kepada keluarga LKISSAH (Lingkar Kajian Ilmu
Sosial dan Sejarah), terutama para pendiri yang sangat
luar biasa kerennya dan assabiqunal awwalun, Dede
Mulyana, Fikri Dikriansyah, Rian Wahyudin, Faisal
Bagaskara, Syafiq Noval, Triraharjo, Ubaidillah,
Abdurrahman Heriza, Diki Prasetya, Ahmad Fachri
Husein, Andhika Ripwan, Ika Wahyuni, Rika Kamila,
dan yang lainnya.
11. Kepada keluarga Himpunan Mahasiswa Islam
Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora, di sinilah
v
kampus kedua penulis di mana, gagasan, cinta, dan
persahabatan terjalin dengan sangat harmonis.
12. Kepada Keluarga Gerakan Nusantara Terdidik
terutama Ikin Sodikin sebagai pendiri yang telah
memberikan inspirasi bagi penulis.
13. Kepada Akhmad Yusuf, S,Hum yang telah
melibatkan penulis dalam beberapa penelitian sehingga
terbiasa dengan tumpukan sumber yang harus
dikerjakan.
14. Kepada semua orang yang secara sengaja atau
tidak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, atau
hanya sebatas mendoakan, karena berkat doa-doa
merekalah skripsi ini bisa terselesaikan.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
penulis memohon maaf apabila ada kesalahan dalam seluruh
tahapan penulisan atau pengerjaan skripsi ini. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perkembangan historiografi penulisan sejarah pers di masa
yang akan datang. Semoga skripsi ini mampu bermanfaat dan
bernilai positif bagi akademisi dan pihak-pihak yang
membutuhkan.
Ciputat, 2 Juli 2019
Penulis
vi
DAFTAR ISTILAH
Binnenlands bestuur Dewan domestik
Boschwezen Dewan kehutanan
Bumiputera Penduduk asli Hindia
Committe Komite
Cultuurstelsel Tanam paksa
Eerste Klasse School Sekolah kelas satu untuk
golongan priyai
Gemeenteraad Dewan kota
Grondwetsherziening Revisi Undang-undang
Dasar
Hoofdredacteur Pemimpin redaksi
Hogere kweekschool Sekolah guru lanjutan
Hulpstadsverband Asosiasi perkotaan bantu
Indie weerbaar Milisi Bumiputera
Kota Praja Daerah dan pemerintahan
kota yang setingkat dengan
kabupaten
Kromo Orang kecil
Landrente Sistem bunga pajak tanah
yang dibuat oleh Stamdford
Raffles
Lid Anggota
Londo Orang Belanda
Persdelict Kasus pers atau pelanggaran
pers.
Politik etis Politik balas budi yang
vii
diterapkan pemerintah
Belanda
Priyayi Golongan bangsawan
Selfgovernment Pemerintahan sendiri
Setan Oeang Pemilik modal
Stadtverband Perkotaan
Plantloon Uang pembayaran tanaman
Tweede Klasse School Sekolah Bumiputera Kelas
Dua
Volksraad Dewan Rakyat
Voortgezet onderwijs Sekolah lanjutan perempuan
Voorzitter Ketua
Woning verbetering Perbaikan rumah
viii
DAFTAR SINGKATAN
BO Boedi Oetomo
CSI Central Sarekat Islam
CV Cooperatieve Vereniging
HBS Horgere Burger School
HCS Hollandsch Chineesche School
IB Indische Bond
IP Indische Partij
ISDV Indische Sociaal Democratische Vereeniging
NIOG Nederlandsch-Indisch Onderwijzers
Genootschap
NIS Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij
NU Nahdlatul Ulama
OSVIA Opleiding Schol Voor Inlandsche
Ambtenaren
PGHB Persatoean Goeroe Hindia Belanda
PKBT Persatoean Kaoem Boeroeh Tani
SDAP Sociale Democratische Arbeiders Partik
SDI Sarekat Dagang Islam
SI Sarekat Islam
SS Staatsspoorwegen
STOVIA School Tot Opleiding van Inlandsche Arsten
VOC Vereenigde Oost Indische Compagnie
VSTP Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................... ii
DAFTAR ISTILAH ........................................................ vi
DAFTAR SINGKATAN ...............................................viii
DAFTAR ISI .................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................. 10
C. Batasan Masalah................................................... 11
D. Rumusan Masalah ................................................ 12
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................ 12
F. Metode Penelitian................................................. 12
G. Sistematika Penulisan .......................................... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ..................................................... 16
B. Tinjauan Pustaka .................................................. 16
C. Kerangka Berpikir ................................................ 20
D. Skema Kerangka Berpikir .................................... 23
BAB III LATAR BELAKANG SOSIAL MASYARAKAT
SEMARANG DAN KEMUNCULAN INDUSTRI
PERCETAKAN
A. Letak Geografis .................................................... 25
B. Kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya ...... 27
C. Sarekat Islam Semarang ....................................... 45
x
D. Kemunculan Industri Percetakan di Semarang .... 49
BAB IV SINAR DJAWA SEBAGAI PELOPOR SURAT
KABAR PRIBUMI DI SEMARANG
A. Sinar Djawa Beralih Ke tangan SI Semarang ...... 53
B. Redaktur-redaktur berpengaruh ........................... 60
BAB V ARTIKEL-ARTIKEL DALAM SINAR DJAWA DAN
SINAR HINDIA
A. Artikel-artikel Dalam Sinar Djawa (Agustus-Desember
1917) .................................................................... 64
1. Artikel Pendidikan ................................... 65
2. Artikel Politik ........................................... 84
3. Artikel Ekonomi ..................................... 116
4. Artikel Tradisi ........................................ 124
5. Artikel Agama ........................................ 126
6. Artikel Sosialisme dan Sosial-Demokratik
................................................................ 127
B. Artikel-artikel Dalam Sinar Hindia
(Mei-Agustus 1918) ........................................... 129
1. Artikel Politik ......................................... 150
2. Artikel Pendidikan ................................. 151
3. Artikel Ekonomi ..................................... 154
4. Artikel Kesehatan ................................... 157
C. Respon Sinar Jawa dan Saat Menjadi
Sinar Hindia ............................................................. 159
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................ 170
xi
B. Saran ................................................................... 172
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 175
LAMPIRAN .................................................................. 180
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pelapisan sosial di Semarang ........................... 36
Tabel 3.2 Sistem pemerintahan Kota Praja Semarang ..... 40
Tabel 3.3 Pertumbuhan penduduk Semarang................... 41
Tabel 3.4 Angka kematian penduduk Semarang
tahun 1917 ....................................................................... 44
Tabel 4.1 Struktur redaksi Sinar Djawa dan
Sinar Hindia ..................................................................... 58
Tabel 5.1 Pendapatan fancylair ........................................ 67
Tabel 5.2 Tipe sekolah di sekolah perempuan lanjutan ... 71
Tabel 5.3 Ilustrasi surat suara........................................... 90
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Logo Sinar Djawa dan Sinar Hindia ........... 55
Gambar 5.1 Pamflet pemberitahuan
penggalangan dana ........................................................... 66
Gambar 5.2 Mosi Tionghoa Ing Giap Hwee .................... 98
Gambar 5.3 Sosiologis Bumiputera ............................... 105
Gambar 5.4 Surat Keputusan Wabah Pes ...................... 111
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mesin cetak sudah masuk di Hindia Belanda sejak abad ke-17
yang dibawa oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
digunakan untuk keperluan administrasi. Pada masa Gubernur
Jendral Van Imhoff, yaitu tahun 1744 barulah mesin cetak
digunakan untuk kepentingan menerbitkan surat kabar yang
bernama Bataviasche Nouvelles terbit sepanjang tahun 1744-1746
setelah itu mati, dan kemudian muncul Het Vendue Nieuws terbit
pada tahun 1776-1809.1
Sejak dimulainya penerbitan surat kabar oleh pemerintah
Hindia Belanda, kemudian bermunculan surat kabar lainnya yang
sebagian besar membawa kepentingan-kepentingan pemerintah.
Surat kabar itu di antaranya, Java Government Gazette, Het
Bataviasch Advertentie Blad, Java Bode, De Locomotief,
Soerabajaasch Handelsblad, Vorstenlanden, Tjeremai dan lain
sebagainya.
Mulai tahun 1897 muncul surat kabar oposisi pemerintah
yaitu Bondsblad dengan membawa suara dari kaum Indo-Belanda
yang menuntut perlakuan sama dalam bidang politik. Ada juga
Java Post, Jong Indie, Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-
Indie, dan Bataviaasch Nieuwsblad semuanya adalah surat kabar
1 A.B. Lapian dan Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2002), 106.
2
yang kerap kali mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda
yang tidak adil atau menjadi surat kabar oposisi.2
Berkembangnya penggunaan mesin cetak di Hindia Belanda
telah membuka era baru media massa, terbitnya surat kabar
Belanda atau Pers Belanda menandakan perubahan zaman itu.
Pers dalam arti sempit yaitu media cetak seperti surat kabar,
majalah, tabloid, dan dalam arti luas adalah kegiatan yang
berhubungan dengan massa.3 Selain pers Belanda yang
berkembang pesat, sejak awal abad ke-20 juga berkembang pers
Bumiputera. Pers Bumiputera yang pertama adalah Soenda Berita
didirikan oleh R.M Tirtoadisuryo pada 1903 dengan bantuan dari
bupati Cianjur R.A.A Prawiradiredja. Kemudian pada 1907
Tirtoadisuryo mendirikan Medan Prijai yang terbit seminggu
sekali.4
Berdasarkan penerbitan dan kepemilikannya, pers masa
kolonial dibagi menjadi tiga: (1) surat kabar Hindia Belanda,
yang umumnya berbahasa Belanda diterbitkan dan dikelola oleh
orang-orang Belanda, (2) surat Kabar Tionghoa, berbahasa Cina-
Mandarin atau Melayu-Tionghoa yang dikelola oleh orang
Tionghoa baik Peranakan maupun totok, dan (3) surat kabar
2 A.B. Lapian dan Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia, 26-33. 3 Junedi Kurniawan, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 1991), 206. 4 Takashi Shiraishi dan Hilmar Farid, Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat Di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), 44.
3
Bumiputera, termasuk surat kabar daerah, yang berbahasa
Melayu, Arab, Daerah, dan belakangan bahasa Indonesia.5
Pers Islam sebagai bagian dari pers Bumiputera hadir
mewakili suara umat Islam dalam merespon kondisi sosial pada
saat itu. Dalam ensiklopedia pers Indonesia, yang dimaksud
dengan pers Islam adalah penerbitan yang bernafaskan atau
melakukan syiar Islam dan orang-orang Islam yang terjun dalam
bidang pers serta memperjuangkan cita-cita Islam agar dapat
dilaksanakan.6
Pers Islam yang pertama kali berdiri di wilayah Hindia
Belanda ketika itu adalah majalah al-Munir yang didirikan oleh
Haji Abdullah Ahmad pada tahun 1911 di Padang Panjang
Sumatera Barat. Majalah ini merupakan majalah kaum muda
reformis Islam yang mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk
memimpin dan membawa Muslim Melayu di Sumatera kepada
kepercayaan dan praktik agama yang benar. Kedua, untuk
memelihara kedamaian dan keharmonisan sesama manusia dan
menerangi umat Islam dengan pengetahuan dan kebijaksanaan.7
Majalah al-Munir lahir karena terpengaruh oleh majalah al-
Imam yang didirikan oleh Thaher Djalaludin di Singapura pada
tahun 1906 dan berhenti terbit pada 1908. Abdullah Ahmad
sendiri adalah perwakilan al-Imam di Padang Panjang. Majalah
5 Ahmad Kosasih, ―Pers Tionghoa Dan Dinamika Pergerakan Nasional
Di Indonesia, 1900–1942,‖ Susurgalur 1, no. 1 (2016), 41. 6 Junedi Kurniawan, Ensiklopedia Pers Indonesia, 251.
7 Azyumardi Azra dan Jajat Burhanudin, Sejarah Kebudayaan Islam
Indonesia: Institusi Dan Gerakan, (Jakarta: Kemendikbud, 2016), 255.
4
al-Imam lahir karena pengaruh majalah al-Manar di Mesir yang
didirikan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha8
Al-Munir sebagai pers Islam pertama, menjadi stimulus bagi
munculnya pers Islam yang lain, seperti dalam organisasi
Muhammadiyah menerbitkan juga sejumlah majalah antara lain,
Bintang Islam (1923), Bendera Islam (1924), Al-Kirom (1928),
Adil (1932), Pantjaran Amal (1936), Soegoenting
Muhammadiyah (1927-1929), dan Swara Islam (1931-1933).
Begitu pula dengan Persatuan Islam (Persis) yang menerbitkan
majalah Pembela Islam (1929), Sual-Djawab (1930-an) dan al-
Fatwa (1931). Demikian juga dengan Sarekat Islam yang
menerbitkan juga Majalah yaitu, Hindia Serikat (1913), dan surat
kabar harian seperti Oetoesan Hindia, Pantjaran Warta, Sinar
Djawa (1914), Neratja (1916), Sinar Hindia (1918), dan Hindia
Baru (1924).
Pada umumnya surat kabar dan majalah Islam berfungsi
sebagai media penyiaran Islam, menjawab persoalan sosial
keagamaan, menjadi corong politik organisasi dan menyiarkan
berita-berita dalam dan luar negeri.
Sejak diperkenalkannya mesin cetak di wilayah Hindia
Belanda penggunaannya dilakukan dengan masif, baik oleh
pemerintah atau pun masyarakat sipil. Sebelum diperkenalkannya
teknologi mesin cetak, informasi hanya berada di tangan otoritas
tertentu sehingga ada jarak dengan pihak yang lain, misalkan
kebijakan dan seluk-beluk pemerintah hanya dapat diketahui oleh
8 Azra dan Burhanudin, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi
Dan Gerakan, 256.
5
mereka yang di pemerintahan dan golongan elit lainnya, serta
sangat sulit diketahui oleh masyarakat luas sehingga terjadi
dominasi yang berlebihan atau misalkan di kalangan umat Islam
otoritas keagamaan berada di tangan para guru atau ulama yang
mempuni keilmuwannya, sehingga segala sesuatunya harus
terlebih dahulu di konfirmasi sebelum mengambil tindakan.
Otoritas pemerintahan dan keagamaan terkikis dengan
sendirinya secara perlahan, surat kabar, majalah dan buku-buku
yang dicetak dalam jumlah banyak membuat sosok ulama
misalnya tidak terlalu sentral lagi. Masyarakat tidak harus
langsung bertatap muka dengan seorang guru jika menemui
masalah keagamaan, karena bisa langsung mengakses melalui
buku-buku, koran ataupun majalah yang memuat konten-konten
keagamaan.9
Koran, majalah dan buku-buku yang dicetak oleh kebanyakan
kalangan umat Islam pada awal abad ke-20 berbahasa Melayu
dan sebagiannya berbahasa daerah dengan tulisan latin (rumi),
beberapa masih menggunakan tulisan Arab (Pegon dan Jawi),
sehingga membuka peluang besar untuk bisa dibaca oleh semua
kalangan. Penggunaan bahasa Melayu juga menandai satu zaman
baru, yaitu munculnya kesadaran nasional sebagai identitas
bersama untuk melawan penjajahan. Di samping itu, koran
majalah dan buku-buku juga telah membuka peluang lebar bagi
umat muslim terlibat dalam merumuskan Islam pada konteks
9 Jajat Burhanuddin, Islam Dalam Arus Sejarah Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2017), 478.
6
Indonesia, perbedaan pendapat pun melahirkan diskusi dan
perdebatan yang berdampak baik bagi kalangan umat muslim.
Kesadaran umat Islam akan pentingnya kemerdekaan
membangkitkan perlawanan terhadap dominasi Belanda. Sistem
politik etis yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda sejak
1901, tidak berjalan sesuai janji yang ditawarkan. Kemajuan yang
digadang-gadang tidak terealisasi dengan merata, ketimpangan
masih terjadi di mana-mana. Politik etis pada dasarnya dibuat dan
diperuntukan kepada golongan pedagang menengah dan priyai
Bumiputera. Bumiputera yang tidak masuk kedua golongan
tersebut tidak merasakan dampak besar dari kemajuan yang
dijanjikan oleh politik etis, mereka tetap pada posisi
ketertinggalan. Jika sebelum politik etis mereka adalah seorang
buruh tani atau pedagang kecil, maka kondisinya tidak berubah
jauh saat politik etis, dalam menerima pendidikan misalnya,
mereka masih menempuh pendidikan dengan sistem tradisional.
Penerapan politik etis oleh pemerintah Hindia Belanda yang
tidak sesuai janji dan ekspektasi Bumiputera, menimbulkan
respon beragam. Respon terhadap Politik etis tumbuh merebak
dan termanifestasikan dalam bentuk organisasi, sebagaimana
Sarekat Islam yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia pada tahun 1930, Muhammadiyah, Persatuan Muslimin
Indonesia, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan,
dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Organisasi-organisasi
tersebut sebagiannya memiliki media cetak sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, media cetak dalam bentuk koran atau
majalah berkala itulah yang menjadi alat dalam merespon
7
kebijakan Politik etis yang dilakukan oleh Belanda.10
Sartono
Kartodirdjo, mengatakan organisasi dengan surat kabar bagaikan
dua sisi mata uang yang saling mendukung eksistensinya.11
Sarekat Islam khususnya adalah organisasi yang pada
masanya (1912-1942) banyak memberikan kontribusi terhadap
umat Islam dan Bangsa. Pada awalnya Sarekat Islam (SI)
bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang di dirikan oleh Haji
Samanhudi atas usulan Raden Tirtoadisuryo pada 16 Oktober
1905, adalah organisasi yang bertujuan untuk memajukan
ekonomi umat Islam dalam menghadapi persaingan bisnis dengan
pedagang-pedagang Tionghoa. SDI juga melindungi para
anggotanya dari tekanan kaum bangsawan yang tidak memenuhi
hak-hak rakyat dan sering melakukan tindakan diskriminasi.12
Baru lah pada 11 November 1912 SDI mengubah namanya
menjadi Sarekat Islam (SI), ada dua sebab didirikannya SI.
Pertama kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan
batik terutama dengan para pedagang Tionghoa dan sikap
superioritas mereka terhadap orang-orang Bumiputera,
sehubungan dengan berhasilnya revolusi Tiongkok tahun 1911.
Kedua adanya tekanan oleh masyarakat di Solo dari para
bangsawan, maka SI dimaksudkan menjadi benteng bagi orang-
orang Bumiputera yang umumnya terdiri dari pedagang-pedagang
10
Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
(Jakarta: Serambi, 2005), 341. 11
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional (Yogyakarta: Ombak, 2011),135. 12
Azra and Burhanudin, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi
Dan Gerakan, 290.
8
batik di Solo terhadap orang-orang Tionghoa dan para
bagsawan.13
Deliar Noer membagi empat periode perkembangan Sarekat
Islam, pertama dari 1911-1916 yang memberi corak dan bentuk
partai tersebut, kedua dari 1916-1921 yang dapat dikatakan
sebagai periode puncak, ketiga dari 1921-1927 ini adalah periode
konsolidasi karena harus bersaing dengan golongan komunis dan
terjadi banyak tekanan dari pemerintah Hindia Belanda, keempat
dari 1927-1942 periode yang memperlihatkan usaha partai untuk
tetap eksis di ranah politik Indonesia.14
Dari empat periodisasi yang dibuat oleh Deliar Noer tersebut,
SI banyak menerbitkan majalah dan surat kabar berkala yang
berfungsi sebagai corong politik organisasi dan salah satu sumber
penghasilan organisasi. Hasan Ali Soerati, Direktur Setija Oesaha
sekaligus penerbit Otoesan Hindia mengatakan bahwa
pentingnya suatu organisasi memiliki media cetak sebagaimana
kelompok Sosial Demokrat yang menerbitkan Het Volk dan
Indische Partij yang mengeluarkan de Expres, keuntungan dari
mengeluarkan media cetak digunakan untuk menambah kas SI
dan sebagai corong organisasi.15
Media cetak yang dikeluarkan oleh SI diantaranya Kaoem
Moeda, (1913), Oetoesan Hindia, Pantjaran Warta, Sinar Djawa
13
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia, 1900-1942
(Jakarta: LP3ES, 1982), 115-116. 14
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, 114. 15
Tim Museum Kebangkitan Nasional, H.O.S. Tjokroaminoto
Penyemai Pergerakan Kebangsaan Dan Kemerdekaan (Jakarta: Museum
Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementeriaan
Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), 12.
9
(1914), Neratja (1916), Sinar Hindia (1918), Hindia Baru (1924),
Bendera Islam (1924-1927), Fajar Asia (1927-1930), Sarotomo
(1911) Laskar (1930-1932), dan Suara PSII (1937-1941). Secara
umum media cetak yang dikeluarkan oleh SI berisikan konten-
konten yang mengangkat harga diri bangsa untuk mencapai
kemerdekaan, baik yang bersifat kooperatif dan atau yang non-
kooperatif.
Media cetak yang dikeluarkan oleh Sarekat Islam terhitung
sejak tahun 1911-1942 berjumlah sekitar 12 buah.16
Seiring
dengan pergantian nama mulai dari Sarekat Islam (SI), Partai
Sarekat Islam (PSI), sampai Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
media yang mereka terbitkan muncul di berbagai daerah yang
terdapat cabang organisasi. Media-media itu terbit tidak dalam
waktu yang bersamaan, munculnya dalam waktu yang berbeda-
beda dan di tempat yang berbeda pula.
Jumlah media cetak yang cukup banyak dengan rentan waktu
yang panjang, akan menyulitkan dilakukan penelitian dalam
skripsi ini, karena ruang pembahasan yang terlalu luas. Oleh
karena itu penulis hanya memilih dua dari dua belas media cetak
yang dikeluarkan oleh SI yang terdapat dalam katalog
Perpustakaan Nasional Indonesia. Media yang akan penulis ambil
untuk dijadikan penelitian dalam skripsi ini adalah surat kabar
Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Sinar Djawa dan Sinar Hindia merupakan organ yang
digunakan oleh SI Semarang sebagai media propaganda selain
rapat umum (vergadering) terbuka yang sering dilakukannya.
16
Katalog Koran SI-PSII Perpustakaan Nasional Indonesia
10
Sinar Djawa termasuk media Islam, merujuk pada organisasi
yang menerbitkannya yaitu Sarekat Islam yang menjadikan Islam
sebagai ideologi organisasi. Sebagai media Islam, Sinar Djawa
aktif dalam merespon kebijakan-kebijakan Belanda termasuk
ebijakan Politik etis. Sinar Djawa merespon Politik etis melalui
pemberitaan dan artikel-artikel kiriman pembaca atau yang ditulis
oleh dewan redaksi sendiri.
Oleh karenanya penulis memutuskan hal ini sebagai objek
penelitian sejarah dengan melakukan peninjauan melalui data-
data yang diperoleh dari berbagai macam sumber tertulis ataupun
lisan baik yang bersifat sekunder dan primer dengan judul
“Konten Artikel-artikel Dalam Koran Sinar Djawa dan Sinar
Hindia Semarang 1917-1918”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang akan diteliti oleh
penulis adalah sejarah sosial dan politik, dengan beberapa
masalah pokok mengenai bagaimana Sarekat Islam merespon
politik etis melalui media cetaknya, yaitu Sinar Djawa yang
kemudian berubah nama menjadi Sinar Hindia. Di samping itu,
penulis juga akan menjelaskan dinamika kemasyarakatan di
Semarang pada masa politik etis, sebagai konteks sosial yang
membentuk narasi pemberitaan dan artikel-artikel dalam Sinar
Djawa dan Sinar Hindia.
Menjadi salah satu pusat perdagangan pada masa politik etis
di Jawa, membuat Semarang juga menjadi salah satu kota
terpadat dengan penduduk yang sangat heterogen. Heterogenitas
11
penduduk menjadi faktor penting bertemunya berbagai macam
kelompok atau serikat dengan ideologi yang berbeda-beda.
Kondisi yang demikian itulah yang memunculkan banyak
benturan antara masyarakat dan pemerintah atau masyarakat
dengan masyarakat yang berbeda ideologi.
Benturan-benturan itulah yang kemudian menjadi narasi
yang setiap hari muncul dalam rubrik-rubrik Sinar Djawa dan
Sinar Hindia dengan penulis-penulis dari kelompok yang bereda-
beda atau tidak hanya dari kalangan Sarekat Islam saja.
C. Batasan Masalah
Agar kajian dalam skripsi ini tidak melebar dan terfokus
pada satu pembatasan masalah, terkait judul penelitian “Konten
Artikel-artikel Dalam Koran Sinar Djawa dan Sinar Hindia
Semarang 1917-1918”. Penulis membatasi kepada tiga hal
pokok. Pertama, batasan spasial, yaitu batasan ruang yang hanya
meliputi wilayah pers yang diterbitkan oleh Sarekat Islam
Semarang yaitu Sinar Djawa dan Sinar Hindia. Kedua, batasan
temporal, yaitu batasan waktu yang dimulai tahun 1917 sampai
akhir tahun 1918. Kurun waktu 1917-1918 menjadi kurun waktu
yang penting dimana Sarekat Islam telah menjadi organisasi yang
besar dengan propaganda yang dikembangkannya lewat media
cetak dan memasuki tahun 1918 infiltrasi paham Marxisme
mampu mempengaruhi arah gerak Sinar Djawa sehingga berubah
menjadi Sinar Hindia. Ketiga, batasan tema yang menjadi
masalah utama yaitu dinamika perjalanan atau Pers Sarekat Islam
yaitu Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
12
D. Rumusan Masalah
Adapun masalah utama skripsi ini dapat diuraikan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa saja konten artikel-artikel yang ada dalam Sinar
Djawa dan Sinar Hindia?
2. Bagaimana Sinar Djawa dan Sinar Hindia merespon
politik etis di Semarang?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konten-
konten artikel yang berkembang dan dialektika dalam Sinar
Djawa danjuga saat berubah nama menjadi Sinar Hindia. Adapun
manfaat penelitian skripsi ini sebagai berikut:
1. Memberikan Wawasan tentang kecenderungan penulisan
artikel koran pada awal abad ke-20 di Jawa.
2. Dapat memberikan wawasan tentang perkembangan pers
Islam khususnya yang diterbitkan oleh Sarekat Islam.
3. Menambah historiografi sejarah intelektual dan pers Islam
Indonesia.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
metode sejarah dengan pendekatan sosial, politik, dan
komunikasi. Metode sejarah adalah proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau
13
(historis).17
Adapun penelitian ini bersifat analitical history18
,
dengan menggunakan penelitian sejarah yang mencakup heuristik
(pengumpulan sumber), kritik sumber (internal dan eksteral),
interpretasi atau penafsiran, dan historiografi atau penulisan
sejarah.19
Tahapan pertama adalah pemilihan topik, dalam hal ini
kajiannya adalah sejarah pers. Tahapan selanjutnya adalah
heuristik atau pegumpulan sumber yang berhubungan dengan
objek penelitian.
Penelitian proses heuristik, penulis menggunakan metode
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengacu
pada sumber tertulis. Penulis menghimpun sumber-sumber yang
bersifat primer dan sekunder. Untuk sumber primer penulis
menggunakan surat kabar Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Sedangkan sumber sekunder menggunakan data-data yang
diperoleh dari artikel-artikel dalam jurnal, tesis, disertasi, dan
buku.
Dalam studi kepustakaan ini penulis mengunjungi berbagai
tempat di antaranya, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Arsip
Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
17
Louis Gottschalk and Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah:
Pengantar Metode Sejarah (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
1975), 32. 18
Analitical History diartikan jenis penelitian sejarah yang
memanfaatkan teori dan metodologi. Lihat, M. Dien Madjid dan Johan
Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), 218. 19
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2013), 69.
14
Sumber primer penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia yaitu Sinar Djawa dan Sinar Hindia, baik
yang berbentuk microfilm ataupun yang masih berwujud asli
dengan keadaan yang sudah sangat rapuh.
Tahap selanjutnya adalah verifikasi atau kritik sumber
dengan melakukan pengujian terhadap keaslian sumber yang
dilakukan dengan cara kritik eksternal dan internal.20
Dalam
kritik ekstern, penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber
primer yang telah didapat baik dari segi kertas, ataupun tinta yang
digunakan. Sedangkan kritik intern adalah pegujian terhadap
sumber yang dilihat dari relevansi isinya.
Selanjutnya interpretasi sejarah dengan menguraikan sebab
akibat dari sebuah peristiwa. Interpretasi dilakukan setelah
penulis mengumpulkan dan mengolah data. Terakhir,
historiografi yaitu proses penyusunan fakta-fakta sejarah dalam
sebuah tulisan dengan memeperhatikan struktur dan gaya
bahasa.21
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian,
sekaligus memberikan gambaran yang jelas dan sistematis
tentang materi yang terkandung dalam skripsi ini, penulis
menyusun sistematika penulisan ke dalam 5 bab beserta
bibliografi dengan urutan sebagai berikut.
20
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. 77. 21
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, dan
Contoh Aplkasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2014). 107.
15
BAB I Berisikan pendahuluan yang terdiri dari,
penjabaran singkat latar belakang penulisan, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika.
BAB II Berisikan penjabaran landasan teori yang dipakai
dalam penelitian ini, tinjauan pustaka dan kerangka berpikir.
BAB III Membahas secara singkat latar belakang sosial
masyarakat Semarang dan kemunculan industri percetakan di
Semarang.
BAB IV Membahas perkembangan Sinar Djawa Sebagai
Pelopor Surat Kabar Bumiputra di Semarang dan beberapa nama
redaktur berpengaruh di dalamnya.
BAB V Membahas konten artikel-artikel yang a d a dalam
Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
BAB VI Kesimpulan dari penelitian skripsi ini, dan saran
untuk penelitian lanjutan.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Sinar Djawa adalah organ atau media cetak yang dikeluarkan
oleh Sarekat Islam Semarang pada 4 Januari 1914 dan berubah
nama menjadi Sinar Hindia pada 1 Mei 1918. Surat kabar ini
berperan sebagai corong organisasi.
Maka dari itu dalam penelitian skripsi ini digunakanlah teori
hegemoni untuk menganalisis artikel-artikel dalam Sinar Djawa
dan Sinar Hindia, teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramsci.
Analisis terhadap artikel-artikel menjadi penting karena media
memberikan pengaruh terhadap realitas sosial, diantaranya
mengonstruksi identitas sosial, relasi sosial, dan mengonstruksi
sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan.22
Teori ini akan
diaplikasikan pada bab 5 skripsi.
Teori dalam penulisan sejarah sebagaimana diejawantahkan
oleh Sartono Kartodirjo bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor
kausal, kondisi, konteks, serta, serta unsur-unsur yang merupakan
komponen dan eksponen dari sejarah yang dikaji.23
B. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian skripsi ini yang menjadi inspirasi adalah
buku yang berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
22
Aris Badara, Analisis Artikel: Teori, Metode, Dan Penerapannya
Pada Artikel Media (Jakarta: Kencana, 2014), 26. 23
Sartono Kartodirdjo and Sarwono Pusposaputro, Pendekatan Ilmu
Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992),
2.
17
di Indonesia, buku ini ditulis oleh tim peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan diterbitkan oleh penerbit buku
Kompas pada tahun 2002. Buku ini mendeskripsikan secara
umum sejarah pers di Indonesia yang diklasifikasikan menjadi
tiga jenis, yaitu Pers Belanda, Pers Melayu-Tionghoa dan Pers
Indonesia serta beberapa peristiwa pemberedelan pers oleh
pemerintah.
Buku kedua yang turut menyumbang ide dalam penelitian
skripsi ini adalah buku karya Ahmat adam yang berjudul Sejarah
Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan 1855-
1913. Buku karya Ahmat Adam ini memberikan penjelasan
sejarah pers di Indonesia secara komprehensif, dimulai pada saat
pers hanya dikuasai oleh orang-orang Eropa, Tionghoa, hingga
sampai kepada Bumiputera Indonesia. Buku ini juga menjelaskan
perkembangan pers dari segi kebahasaan, artikel yang dipilih
hingga jumlah produksi dan konsumsi yang terjadi selama kurun
waktu tersebut. Adam juga menjelaskan melalui pers lah
kesadaraan kebangsaan lahir, dan berhasil membentuk rasa
persaudaraan yang sama.24
Selanjutnya buku karya Basilius Triharyanto, bukunya
berjudul Pers Perlawanan Politik Artikel Antikolonialisme Pertja
Selatan diterbitkan oleh Lkis Yogyakarta pada tahun 2009. Buku
tersebut mengeksplorasi sejarah surat kabar Pertja Selatan yang
terbit sejak 1926-1941 di Palembang Sumatera Selatan. Buku ini
membahas tentang sepak terjang Pertja Selatan sebagai surat
24
Ahmat B Ahmat Adam et al., Sejarah Awal Pers Dan Kebangkitan
Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913 (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 209.
18
kabar harian yang menolak kolonialisme Belanda, artikel-artikel
yang dikeluarkan oleh koran ini hampir semuanya bernada
nonkooperatif. Orang-orang yang menulis di koran ini berasal
dari berbagai golongan baik itu yang nasionalis maupun komunis.
Dengan sikapnya yang seperti itu tak jarang para dewan redaksi
sering ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan sering kali
pula perusahaan surat kabar ini diberi peringatan berupa teguran
ataupun pemberentian terbit sementara.25
Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa,
menjadi buku selanjutnya yang masuk dalam tinjaun pustaka ini.
Buku ini merupakan buku yang disusun oleh sekelompok peneliti
dengan tujuan untuk memperingati satu abad pers yang digeluti
oleh Bumiputera atau pers anak bangsa. Berangkat dari tesisnya
yang mengatakan bahwa bangunan kebangsaan didirikan dari
tradisi pers, jika melihat fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh
kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh
pers. Buku ini memuat sejarah singkat berbagai macam pers, baik
itu cetak ataupun elektronik sejak awal abad ke-20 sampai tahun
2007. Ada 300 buah lebih pers yang diteliti dalam buku ini.26
Selanjutnya terdapat tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia
yang berjudul, Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda
Sinar Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam
Semarang (1914-1924), tesis ini ditulis oleh Dewi Yuliati pada
tahun 1993. Tesis ini ini mengeksplorasi perkembangan Sinar
25
Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan, Politik Artikel
Antikolonialisme Pertja Selatan (Yogyakarta: Lkis, 2009), 27. 26
Tim Periset Seabad Pers Kebangsaan, Seabad Pers Kebangsaan,
(Yogyakarta: I: BOEKOE, 2008), 15.
19
Djawa dan Sinar Hindia sejak dibeli oleh SI Semarang dari
perusahaan milik orang Tioghoa pada 1914. Setelah dibeli, Sinar
Djawa menjadi corong organisasi SI Semarang berperan sebagai
media yang merepresentasikan gerakan SI Semarang. Sinar
Djawa bertahan selama empat tahun, yaitu sepanjang kurun
waktu 1914-1918, kemudian berganti nama menjadi Sinar
Hindia. Pergantian nama ini menandai perubahan yang sangat
radikal, paham komunis yang telah terinfiltrasi ke dalam tubuh SI
Semarang sejak 1914 pun mempengaruhi Sinar Hindia.27
Redaktur Sinar Hindia yang punya andil besar terhadap
perubahan yang sangat radikal adalah, Semaun, Marco, dan
Darsono. Ketiga tokoh itu adalah tokoh yang dikenal sebagai
tokoh SI Merah yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis
Indonesia setelah diterapkannya disiplin partai oleh Sarekat
Islam. Sinar Djawa dan Sinar Hindia oleh Dewi Yuliati dijadikan
objek penelitian sebagai cerminan dari SI Semarang dan di bab
akhir sebelum kesimpulan penulis menyoroti respon pemerintah
Hindia Belanda yang sangat keras dalam menerapkan hukuman
terhadap jurnalis yang melanggar aturan tentang pers yang telah
ditentukan. Akan tetapi penekanan lebih dilakukan terhadap Sinar
Hindia, karena pada saat itu lah gejolak dunia pers terjadi dan
seperti yang dikatakan Mc Vey bahwa Sinar Hindia adalah surat
kabar yang sangat berani dan radikal. Pada saat namanya masih
Sinar Djawa Dewi Yuliati tidak melakukan ekplorasi dengan
mendalam.
27
Dewi Yuliati, ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda Sinar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-1924.‖
20
Namun dari kelima tulisan terdahulu tersebut, belum ada yang
secara eksplisit menyoroti bagian artikel-artikel di dalam pers
merespon kolonialisme tersembunyi pada masa Politik etis yang
diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, terutama oleh media
cetak atau organ yang dimiliki Sarekat Islam sebagai organisasi
terbesar dan berpengaruh pada saat itu. Meskipun begitu kelima
karya tulis tersebut menjadi tinjauan pustaka untuk penelitian
skripsi ini yang memberikan banyak informasi yang dibutuhkan
oleh penulis.
C. Kerangka Berpikir
Awal abad ke-20 adalah penggalan waktu yang sangat penting
bagi sejarah Indonesia. Pada abad inilah pijakan awal kesadaran
kebangsaan lahir, ada banyak sekali faktor yang
melatarbelakanginya. Sebagian sejarawan ahli Indonesia
meletakan politik etis pemerintah Hindia Belanda sebagai titik
tolak lahirnya kebangsaan itu, diantaranya M.C. Ricklefs,
Takashi Shiraishi, Jhon Ingelson, Sartono Kartodirjo dan Taufiq
Abdullah.
Politik etis adalah program yang dibuat pemerintah Hindia
Belanda dalam rangka memperbaiki kerusakan alam dan
masyarakat akibat politik liberal yang diterapkan sejak 1870.
Atas perintah Ratu Wilhelmina politik etis diterapkan di wilayah
jajahan sejak 1901, ada tiga poin penting dalam program Politik
etis ini yaitu, emigrasi (imigrasi), irigasi, dan edukasi.
Dari penerapan Politik etis ini maka lahirlah kelas
intelegensia, kelas inilah yang berperan sebagai lokomotif
21
penggerak kekuatan Bumiputera. Kelas intelegensia inilah
membentuk perkumpulan atau organisasi sebagai menifestasi dari
kesadaran akan persatuan dan kemerdekaan. Organisasi-
organisasi itu bergerak dalam berbagai bidang, politik, ekonomi,
sosial dan budaya misalnya.
Dalam penelitian skripsi ini Sarekat Islam (SI) yang didirikan
oleh H.Samanhudi pada 1912 menjadi objek penelitian, namun
bukan pada organisasi Sarekat Islamnya yang akan diteliti,
melainkan pada organ atau media cetak yang diterbitkan oleh
Sarekat Semarang, yaitu Sinar Djawa dan Sinar Hindia
Sinar Djawa dan Sinar Hindia, adalah media cetak yang dibeli
SI Semarang dari perusahaan Tionghoa pada 1913 dan mulai
diterbitkan oleh SI Semarang pada 1914-1918. Korelasinya
dengan politik etis adalah, penelitian ini akan melihat bagaimana
Sinar Djawa merespon dan merepresentasikan politik etis dengan
melihat artikel-artikel yang dikembangkan, begitupun saat
bertransformasi menjadi Sinar Hindia. Sederhananya penelitian
ini ingin melihat era politik etis lewat media cetak. Hal yang
semacam ini masih sangat langka dalam kajian sejarah Indonesia.
Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
ini.
Untuk menyiasati hal itu, peneliti menggunakan teori
hegemoni Gramsci untuk menganalisis artikel-artikel yang ada di
Sinar Djawa dan Sinar Hindia. Dengan menggunakan hegemoni
Gramsci maka akan diketahui latar belakang kemunculan teks-
teks dalam kolom-kolom Sinar Djawa, diantaranya latar ideologi,
kekuasaan, dan faktor lain yang menyebabkan produksi teks.
22
Saat faktor produksi yang melatar belakangi munculnya teks-
teks tersebut bisa diketahui maka akan dapat diketahui juga
bagaimana Sinar Djawa dan Sinar Hindia merespon politik etis.
Kurang lebih skemanya sebagai berikut:
23
Skema Kerangka Berpikir
Artikel d
an T
ransfo
rmasi
Ideo
logi S
inar D
jaw
a d
an
Sin
ar H
india
1917-1
918
Masalah
Literature
review
Bagaimana artikel-artikel dalam
Sinar Djawa dan Sinar Hindia
merespon politik etis di Semarang.
Buku, Pers Perlawanan
Politik Artikel
Antikolonialisme Pertja
Selatan,karya Basilius
Triharyanto.
Tesis, Pers Bumiputera
Dalam Era Kolonial Belanda
Sinar Djawa-Sinar Hindia:
Cermin Pergerakan Sarekat
Islam Semarang (1914-
1924), Dewi Yuliati.
Sumber
primer
Koran Sinar Djawa dan Sinar
Hindia 1917-1918
Metode Historis Heuristik,
kritik,
interpretasi,
historiografi
pendekatan multidisiplin Melihat
artikel yang
berkembang
Teori Hegemoni Gramsci
Temuan
Para penulis dan jurnalis melakukan
kontra hegemoni terhadap
kolonialisme tersembunyi
pemerintah.
24
BAB III
Latar Belakang Sosial Masyarakat Semarang dan
Kemunculan Industri Percetakan di Semarang
A. Letak Geografis
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda atau dalam hal ini
dimulai sejak tahun 1901 terdapat tiga pengertian dalam mengkaji
tata lingkungan Semarang, yaitu Semarang sebagai karesidenan,
Semarang sebagai kota, dan Semarang sebagai kabupaten.
Pertama, Semarang sebagai wilayah karesidenan (Karesidenan
Semarang) ditetapkan berdasarkan Ind. Staadblad. Nomor 331, 1
Januari 1901 dengan menambahkan Jepara sebagai bagian
karesidenan.28
Secara administratif ada tujuh wilayah (afdeling)
yang termasuk kedalam Karesidenan Semarang yaitu, Semarang,
Kendal, Grobogan, Pati, Kudus, Demak, dan Jepara, kemudian
dibagi menjadi 15 afdeling kontroler, 35 distrik (kecamatan),
3433 desa pemerintah, dan 227 desa partikulir. 29
Letak Karesidenan emarang jika ditinjau dari garis
astronomis terletak pada posisi 11 45 -11 Bujur imur dan
6 45 -6 35 Lintang elatan. Luas wila ah Karesidenan
Semarang kurang lebih 8144 Km2, di sebelah Timur dibatasi oleh
sebagian sungai Randugunting, di sebelah Barat berbatasan
dengan sungai Kalu Kuta, di Selatan ada Gunung Merbabu,
Gunung Telemoyo, Gunung Unggaran dan Gunung Prau.
Sedangkan di sebelah Timur dibatasi oleh beberapa tanjung,
28
Hartono Kasmadi dan Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang:
1900-1950, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1985), 5.
29
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 8.
25
diantaranya Tanjung Bugel, Tanjung Batu,Tanjung Mrican,
Tanjung Jati, Tanjung Piring, Tanjung Kudiran, dan Tanjung
Morowelang, serta ada dua gunung, yaitu Gunung Muria dan
Gunung Celering.30
Sungai-sungai yang berada di Karesidenan
Semarang semuanya bermuara di Laut Jawa sehingga membuat
wilayah ini menjadi pelabuhan terpenting di Jawa Tengah pada
masa kolonial Belanda.31
Semarang sebagai kabupaten secara astronomi terletak pada,
1100
14 54
sampai 110
0 39
3
Bujur Timur dan 70
31
57
sampai
30
54
Lintang Selatan.32
Di sebelah Utara berbatasan dengan
Laut Jawa, di Timur dengan afdeling Demak, Selatan dengan
afdeling Salatiga, dan di Barat dengan afdeling Kendal dengan
luas wilayah 391 Km2. Kabupaten Semarang terbagi menjadi tiga
distrik, diantarnya, Semarang, Pedurungan, dan Singen Lor.
Daerah yang menjadi pengawasannya (kontroleur) adalah,
Salatiga, Ambarawa, dan Sekitar Semarang.33
Sedangkan Semarang sebagai kota terletak pada garis
astronomis 1100
23 57
79
sampai 110
0 27
70
Bujur Timur dan
60
55
6
sampai 60
58 18
Lintang Selatan.
34 Semarang sebagai
kota juga berfungsi sebagai ibukota kabupaten, kabupaten
karesidenan, dan juga merupakan kotapraja. Secara administratif
luas kota Semarang adalah 346,55 Km2.35
30
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 6.
31
Kasmadi, 8.
32
Dinas Pariwisata, Sejarah Kabupaten Semarang (Semarang: Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Semarang, 2007), 9.
33
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 9.
34
Pemerintah Daerah Kota Madya Dati II Semarang, 9.
35
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang. 10.
26
B. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi
Amen Budiman dengan menggunakan sumber tradisional
yaitu, Serat Kandhaning Ringgit Purwa naskah KBG No. 7
berpendapat bahwa Semarang didirikan oleh Ki Pandan Arang
anak dari Pangeran Sabrang Lor, sultan kedua Demak. Ki Pandan
Arang bersama anakn a Pangeran Kasepuhan datang ke ―Pulo
irang‖ untuk men ebarkan Islam kepada ―Ajar‖36
Hindu dan
Budha serta membuat pesantren di sana. Perkembangan
Semarang pada masa awal beriringan dengan islamisasi dan
politik ekspansi dari Kesultanan Demak.37
Penamaan Semarang sendiri ada beberapa versi, diantaranya
masih menurut Serat Kandhaning Ringgit Purwa penamaan
Semarang diberikan oleh Syeh Wali Lanang karena tempat yang
didiami oleh Ki Pandan Arang I belum diberi nama. Versi kedua
menurut C. Kejjerkeker dan D. van Hintoopen Leberton, nama
― emarang‖ berasal dari kata ―asem-arang‖, oleh karena daerah
itu banyak terdapat pohon asam yang ditanam jarang-jarang yang
dalam bahasa Jawa arang-arang ang menjadi ― emarang‖.
Versi lainnya adalah seperti yang dikatakan oleh Raden Mas
Ngabehi Tjokrohadiwikromo, dia mengatakan bahwa nama
― emarang‖ berasal dari kata Semaran atau Kasemaran nama
tempat kediaman resmi Kiai Ageng Kasemaran atau Ki Ageng
Pandan Arang I, yang mungkin disebabkan karena Ki Pandan
Arang menikah dengan Endang Kasmaran atau Endang
36
Pengajar atau guru 37
Dewi Yuliati, ― trengthening Indonesian National Identit through
Histor emarang as a Maritime Cit : A Medium of Unit in Diversit ,‖
Global Journal of Human-Social Science Research, 2014.
27
Sejanila.38
Meskipun Ki Pandan Arang dianggap sebagai peletak
batu dasar pendirian Semarang, akan tetapi hari lahirnya secara
resmi ditetapkan pada masa anaknya Ki Pandan Arang II pada 12
Rabiulawal 950 H atau 2 Mei 1547 M.
Sejak abad ke-15 Semarang sudah menjadi daerah yang
banyak dikunjungi oleh bangsa-bangsa lain di luar Nusantara.
Catatan Tahunan Melayu Semarang memberikan informasi
bahwa pada abad ke-15 telah terjalin hubungan dengan para
pedagang Cina dan di sana sudah ada perkampungan muslim
Cina. Selain itu pada 1413 armada laut China dari Dinasti Ming
yang dipimpin oleh Haj Sam Po Bo (Cheng Ho) juga mendarat di
Semarang. Pada masa ini Sultan Trenggono, sultan ketiga Demak
tahun 1541-1546 telah mengirim 1000 kapal. Tome Pires juga
melaporkan bahwa pada abad ke-16 telah terdapat banyak
nelayan dan pedagang di Semarang.39
Seorang sarjana Inggris, E.A.J. Johnson bependapat bahwa
Semarang merupakan A Dendritic Market System yaitu kota yang
terbentuk dari hubungan perdagangan yang didasarkan kepada
tiga unsur, yakni: pertama, kota pelabuhan sebagai pusat ekspor
dan impor. Kedua, sebagai kota strategis yang berhubungan
dengan kota-kota pelabuhan lain distributor ekspor-impor dan
penyalur ke pasar-pasar kecil. Ketiga, pasar-pasar kecil yang
tersebar di perkampungan bergantung pada distribusi dari kota-
38
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 28. 39
Yuliati, ― trengthening Indonesian National Identit through Histor
emarang as a Maritime Cit : A Medium of Unit in Diversit .‖
28
kota strategis.40
Pendapat lain mengatakan Semarang adalah pusat
transaksi antar daerah pedalaman (hinterland) dan daerah sebrang
(foreland) Jawa, tidak hanya itu Semarang juga menjadi salah
satu simpul penting jaringan perdagangan laut di Nusantara
maupun perdagangan internasional.41
Dengan begitu Kerajaan-
kerajaan sepanjang pantai utara sangat bergantung pada
perdagangan lewat jalur laut.
Memasuki paruh kedua abad ke-16 kerajaan-kerajaan
tersebut mengalami kerugian besar akibat dari kericuhan politik
dalam negeri dan juga serangan dari Kerajaan Mataram. Mataram
mengirim pasukan untuk menaklukan kota-kota di wilayah
pesisir, adapun beberapa kota-kota di antaranya yang berhasil
ditaklukan adalah Semarang, Jepara, dan Pati, sehingga pada
abad berikutnya kawasan pantai utara Jawa dikuasi oleh Kerajaan
Mataram.42
Pada akhir abad ke-17 Semarang menjadi tujuan para
imigran Cina selain Surabaya dan Batavia, para imigran itu
berasal dari, Amoy, Kanton, dan Macau. Penduduk Semarang
bertambah banyak saat orang-orang Melayu, Arab, dan India juga
datang untuk berdagang.
Selain bangsa-bangsa dari Asia, koloni Belanda pun datang
diakhir abad ke-16 ini. Pada Oktober 1678 Amangkurat II raja
dari Kerajaan Mataram menyerahkan Semarang kepada kongsi
40
ogi Effendi, ― arekat Islam emarang Dan Pendidikan ( ekolah
Sarekat Islam Semarang 1921-1924)‖ (Depok: Universitas Indonesia, 1990),
23. 41
Pariwisata, Sejarah Kabupaten Semarang, 56. 42
Pariwisata, 57.
29
dagang Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), hal
ini dilakukan karena VOC telah membantu Amangkurat II
melawan Trunojoyo. Penyerahan Semarang kepada VOC diiringi
dengan pemindahan loji dari Jepara ke Semarang dan
membangun benteng De Vijfhoek (bersudut lima). Sebelum
kedatang VOC, orang-orang Cina mendapat kepercayaan menjadi
syahbandar dari bupati Semarang mereka juga memonopoli
perdagangan garam dan beras. Setelah VOC menduduki
Semarang, orang-orang Cina hanya diberi peran dalam
perdagangan impor dan expor.43
Sejak saat itu VOC mendapat
pemasukan dari pelabuhan-pelabuhan di Semarang, memonopoli
perdagangan gula, beras, tekstil, opium, dan mengambil pajak.44
Awal abad ke-18 di Mataram terjadi perselisihan antara
Amangkurat III dengan Pangeran Puger (setelah menjadi raja
bergelar Sunan Paku Buwana I). Perselisihan tersebut dicampuri
tangan VOC yang berpihak pada keluarga Paku Buwana I.
Kemudian pada 1705 atas jasanya membantu menyelesaikan
perselisihan antara Amangkurat III dengan Paku Buwana I,
daerah Semarang, Losari, Cirebon, dan Madura Timur diserahkan
ke VOC. Selain peristiwa itu, pada tahun 1740-1743 VOC
memberi bantuan kepada Mataram untuk memadamkan
pemberontakan orang-orang Cina dengan menyetujui kontrak
untuk menyerahkan daerah di pesisir utara Jawa pada 1
43
Pariwisata, 61. 44
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 80.
30
November 1743 dan 18 Mei 1746, sejak saat itu Mataram tidak
lagi berkuasa atas daerah pesisir utara Jawa.45
VOC mengalami kemunduran menjelang akhir abad ke-18
akibat praktik korupsi, skandal, dan salah urus yang marak
dilakukan oleh para pengurusnya. Praktik korupsi ini menjadi
faktor utama menurunnya kesejahteraan para pengurusnya, VOC
pun meminta bantuan keuangan kepada pemerintah Hindia
Belanda, dengan kondisi seperti ini maka pada 31 Desember 1799
VOC dibubarkan. Setelah VOC bubar kekuasaan atas wilayah-
wilayah di Hindia Belanda beralih ke tangan pemerintah kolonial
Belanda pada 1 Januari 1800. Walaupun kekuasaan beralih ke
tangan pemerintah Hindia Belanda tidak ada perubahan besar
yang terjadi, karena pemegang jabatan masih tetap orang-orang
lama dan dengan cara-cara lama.46
Periode sejarah selanjutnya yang sangat berkaitan dengan
Semarang, adalah periode tanam paksa (culturstelsel) yang
dimulai saat kepemimpinan Gubernur Johannes Van den Bosch
tahun 1830-1833. Bosch mendapat tugas untuk meningkatkan
produksi komoditas ekspor yang tidak dapat dicapai pemerintah
sebelumnya. Tugas yang diberikan itu guna memenuhi kebutuhan
uang negara Belanda yang sedang krisis akibat hutang negara.
Untuk memecahkan masalah itu dia melaksanakan sistem tanam
paksa (culturstelsel).47
45
Pariwisata, Sejarah Kabupaten Semarang, 62. 46
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, 243. 47
Hendra Kurniawan, ―Dampak istem anam Paksa erhadap
Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-187 ,‖ SOCIA: Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial 11, no. 2 (2014), 165.
31
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Bosch adalah,
sistem yang mewajibkan masyarakat untuk menanam tanaman
sesuai kebutuhan ekspor yang diantaranya adalah, kopi, tebu,
indigo, tembakau, lada, teh, dan kayu manis. Tanaman-tanaman
tersebut ditanam di atas seperlima luas tanah milik penduduk
yang dilakukan secara paksa, yang di kemudian hari luas itu terus
bertambah. Pelaksanaan tanam paksa ini sebagian besar
dilakukan di Jawa terkecuali di wilayah Vorstenlanden yaitu
Yogyakarta dan Surakarta, di wilayah ini yang berlaku adalah
sistem sewa tanah. Dalam memobilisasi masyarakat, pemerintah
Hindia Belanda mengandalkan sistem tradisional yang feodalistik
dengan melalui perantara struktur kekuasaan lama. Pemerintah
melibatkan pejabat-pejabat pribumi dan Eropa. Pejabat pribumi
mulai dari bupati sampai kepala desa, pejabat Eropa meliputi,
Residen, Asisten Residen, Kontrolir, dan Direktur Tanaman.48
Dalam masa tanam paksa ini pemerintah memberlakukan
pajak in natura, yaitu pembayaran pajak dengan menggunakan
hasil panen yang didapatkan. Menurut Sartono Kartodirdjo dan
Djoko Suryo ada tiga kewajiban yang harus dilakukan semasa
tanam paksa ini, yaitu (1) kerja wajib umum (heerendiensten),
mencakup pelayanan kerja untuk umum, seperti pembuatan atau
perbaikan jalan, pembuatan gedung perkantoran, penjaga tawanan
dan sebagainya, (2) kerja wajib pancen (pancendiesten),
menyangkut tugas pelayanan pertanian di tanah milik pemuka-
pemuka pribumi, (3) kerja wajib garap (cultuurdiensten),
menyangkut pengerahan kerja untuk membuka lahan perkebunan,
48
Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa, 166.
32
membuat atau memperbaiki irigasi, kegiatan penanaman,
pengangkutan hasil panen, dan kerja lain di perkebunan
pemerintah. Setiap penduduk dibebani 66 hari kerja dalam satu
tahun sesuai dengan perturan yang dibuat.49
Pemerintah Hindia Belanda akan memberikan bonus yang
dinamakan cultuurprocenten (prosenan tanaman) kepada para
pegawai Belanda maupun para bupati, dan kepala desa yang
dapat menunaikan tugasnya dengan baik, yaitu dengan
melampaui target produksi yang telah ditentukan pada setiap
desa, hal ini menjadi stimulus tersendiri bagi para pegawai.
Sementara penduduk memperoleh uang pembayaran tanaman
(plantloon) komoditi ekspor.
Pembayaran plantloon dimaksudkan agar penduduk mampu
membayar pajak dan memiliki daya beli untuk barang-barang
yang tersedia di pasar, terutama barang-barang impor dari
Belanda. Pembayaran plantloon telah meyebabkan perluasan
ekonomi uang kelingkungan rumah tangga petani desa. Sistem
tanam paksa telah menciptakan lalu lintas uang yang
mempercepat timbulnya ekonomi uang desa.50
Pusat perdagangan
Kota Semarang pada saat itu adalah di Kota Lama (Kota
Benteng) atau berada di Benteng VOC de Vijfhoek (Ujung Lima)
di dekat Sleko, di sana pulalah pemukiman orag Belanda berada.
Laju ekonomi yang semakin cepat dan membesar di
Semarang, menuntut perangkat pendukung yang memadai. Untuk
memenuhi kebutuhan itu pada tahun 1864 untuk pertama kalinya
49
Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa, 167. 50
Kurniawan, 168.
33
jalur kereta api dibuat, yang menghubungkan Semarang dengan
Surakarta dan Yogyakarta. Artikel pembuatan jalur kereta api di
Jawa sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1840, akan tetapi
pemerintah enggan membangun rel kereta api karena tidak ingin
perusahaan swasta meraup keuntungan lebih banyak. Hal itu
berubah saat Van Twist menjadi menteri jajahan pada 1850,
pandangan liberal lebih diterima dan menuntut masuknya modal
swasta. Sehingga pada masa Van Der Putte menjadi menteri
jajahan pada 1860 banyak modal swasta yang masuk dan pada
masa ini dibentuk maskapai kereta api swasta pertama yaitu,
Nederlandsch Indische Spoorweg Mastchappij (NIS).
Pembangunan jalan-jalan kerera api tersebut menyebabkan
semakin besarnya minat para pengusaha perkebunan swasta
untuk menanamkan modalnya di Semarang.51
Penanaman modal
swasta semakin meluas saat tanam paksa berakhir dan dimulainya
politik dan ekonomi liberal yang secara formal diatur dalam
Undang-undang Agraria 1870.52
Sistem ekonomi liberal yang
diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda berhasil
meningkatkan industrialisasi di Semarang. Industri yang paling
penting adalah pembukaan pabrik gula oleh para pengusaha,
terutama di daerah, Cepiring, Gemuk, dan Kaliwungu.53
Dampak dari penerapan sistem tanam paksa dan ekonomi
politik liberal oleh pemerintah telah menghancurkan desa-desa di
51
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang, 59. 52
Shiraishi dan Farid, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa
1912-1926,10. 53
Mutiah Amini, ―Industrialisasi Dan Perubahan Ga a Hidup:
emarang Pada Awal Abad Keduapuluh,‖ Industri Dan Kerajinan Tradisional,
2009, 621, 622.
34
Jawa. Perluasan lahan pertanian dengan komiditi ekspor sebagai
prioritas utamanya, lalu penduduk diwajibkan menyerahkan
seperlima bahkan lebih tanahnya untuk ditanami komoditas
utama, dan penanaman modal swasta yang berlaku sejak akhir
masa tanam paksa telah merusak hak-hak perorangan yang
sebelumnya pernah ada dan merubah struktur kemasyarakatan di
Jawa. Clifford Geertz dalam teori involusi pertaniannya
mengatakan bahwa dampak dari tanam paksa adalah munculnya
homogenisasi sosial di desa-desa Jawa yang mengakibatkan
kemiskinan bersama.54
Geertz juga berpendapat bahwa sawah-
sawah di Jawa adalah hasil proses historis dari perkembangan
kebudayaan, bagi orang Jawa sawah erat kaitannya dengan
organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisan
masyarakat. Bagi orang Jawa berpisah dengan tanah berarti
berpisah dengan rakyat, karena kehilangan jasa yang diberikan
oleh rakyat yang tinggal pada tanah itu.
Memang setelah VOC bubar dan kekuasaan berpindah
tangan ketangan pemerintah sistem kemasyarakatan tradisional
Jawa berubah dengan pelan-pelan digantikan oleh sistem Barat.
Meskipun pemerintah tidak menghilangkan strukur kekuasaan
tradisional secara total, tapi merubahnya dengan perlahan sesuai
dengan kepentingan pemerintah.55
Sistem kemasyarakatan yang telah dicampuri oleh sistem
barat meyebabkan pola pelapisan masyarakat di Semarang terbagi
54
Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa, 170. 55
Rachmat usat o, ―Penguasaan anah Dan Ketenagakerjaan Di
Karesidenan emarang Pada Masa Kolonial,‖ Abstrak, 2006, 42.
35
menjadi tiga tipologi yaitu berdasarkan, ekonomi, sistem feodal,
dan berdasarkan ras.
Tabel 3.1. Pelapisan Sosial di Semarang
Pelapisan sosial
ekonomi
Pelapisan sistem
feodal
Berdasarkan
Ras
Masyarakat
petani:
Pemilik
tanah
Penyewa
tanah
Buruh
tani
Masyarakat
nelayan:
Nelayan
tetap
Nelayan
musiman
Masyarakat
industri:
Pemilik
modal
Buruh
pabrik
1) Pejabat
Belanda
2) Pengrehpraja
tinggi
3) Belanda
sipil/militer
4) Pegawai
menengah
5) Pegawai
rendahan
1) Eropa
2) Cina
3) Timur
asing
4) Bumiputera
36
Pembedaan pelapisan atau stratifikasi sosial yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial juga terjadi di wilayah pendidikan.
Pemerintah kolonial membangun pendidikan dengan
mengklasifikasikannya sesuai dengan ras, kedudukan, dan
kemampuan ekonomi. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya ada
model pendidikan tradisional seperti pesantren yang bisa
dinikmati oleh semua kalangan dan biasanya menjadi alternatif
bagi kaum kromo (orang kecil). Sistem pendidikan Barat mulai
dikenal saat golongan kapitalis-liberal mendesak pemerintah
kolonial untuk memperkenalkannya kepada masyarakat di Hindia
Belanda. Desakan yang dilakukan oleh golongan kapitalis-liberal
adalah dampak dari dirubahnya haluan Undang-undang Dasar
(Grondwetsherziening) Belanda dari konservatisme menuju
liberalisme.
Dengan Undang-undang Dasar 1848 ini, Belanda berubah
menjadi sebuah negara monarki konstitusional yang sebelumnya
adalah monarki absolut dan Sang Ratu menjadi bertanggung
jawab kepada parlemen. Dalam bidang pendidikan, Undang-
undang Dasar 1848 menjamin pendidikan secara bebas bagi
setiap warga di Belanda dan berdampak pada lahirnya sebuah
sikap baru terhadap pendidikan di Hindia Belanda.56
Pemerintah kolonial mulai mendirikan sekolah-sekolah,
tahun 1877, di Semarang didirikan sekolah menengah yang
dikenal dengan Horgere Burger School (HBS), setelah itu
56
Yudi Latif, Inteligensia Muslim Dan Kuasa: Genealogi Inteligensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20 (Bandung: Mizan Pustaka, 2006),
88.
37
mendirikan Sekolah Dasar Bumiputra pada 1893 dengan
membaginya menjadi dua golongan, yaitu Sekolah Bumiputra
Kelas Satu (Eerste Klasse School) untuk golongan priyai, dan
Sekolah Bumiputra Kelas Dua (Tweede Klasse School) untuk
golongan orang biasa. Di Sekolah Bumiputra Kelas Satu bahasa
Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar pelajaran tahun
terakhir.57
Pendirian sekolah-sekolah ini pun memiliki tujuan
yang bermuara pemenuhan tenaga administrasi untuk menopang
roda perekonomian wilayah jajahan dan negara Belanda.
Memasuki awal abad ke-20 kondisi sosial politik Hindia
Belanda mengalami perubahan yang sangat berarti. Sejak 1901
pemerintah Belanda melalui maklumat tahunan yang dikeluarkan
oleh Ratu Wilhelmina memerintahkan untuk menerapkan Politik
etis di wilayah jajahan Hindia Belanda. Politik etis adalah politik
balas budi terhadap wilayah jajahan Hindia Belanda, akibat
eksploitasi kekayaan alam dan sumber daya manusianya. Ada
tiga hal yang menjadi prioritas dari kebijakan Politik etis ini,
diantaranya educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi) dan
ëmigratie (transmigrasi).58
Politik etis ini pun lahir bukan hanya
karena eksploitasi terhadap Hindia Belanda, melainkan ada faktor
internal pemerintah Belanda yang akhirnya melahirkan kebijakan
ini. Pada 1901 partai Sayap Kanan (Partai Kristen) memenangkan
pemilihan umum, mereka berhasil meraih kekuasaan karena
posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Merekalah
yang pertama kali mendeklarasikan sebuah kebijakan kolonial
57
Kasmadi, Sejarah Sosial Kota Semarang: 1900-1950, 107. 58
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, 319.
38
baru yang menegaskan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh
negara maupun oleh perusahaan swasta, haruslah didasarkan pada
sebuah kebijakan yang bertanggung jawab secara moral.59
Kebijakan yang mereka telurkan merupakan jawaban
terhadap beragam malapetaka di Hindia Belanda, seperti stagnasi
ekonomi, gagal panen, penyakit ternak, kelaparan, dan kondisi-
kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Beragam malapetaka itu
merupakan konsekuensi dari ekonomi liberal yang diterapkan
oleh pemerintah Belanda sejak akhir abad ke-19. Liberalisme
ekonomi di Hindia Belanda terjadi sejak 1870, investasi modal
asing swasta masuk dalam industri perkebunan. Industri padat
modal yang didukung alat produksi modern meneguhkan
kapitalisme di negeri Hindia Belanda, kaum buruh Bumiputera
semakin tertindas.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1903 mengeluarkan
Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet). Tujuan
pemberlakuan undang-undang tersebut adalah agar terbentuk
daerah-daerah otonom di seluruh Hindia Belanda. Hal ini
dilakukan karena sistem sentralisasi yang digunakan oleh
pemerintah pusat tidak mampu lagi mengakomodasi pekerjaan-
pekerjaan yang bersifat lokal. Dengan sistem desentralisasi,
pemerintah pusat mulai menyerahkan urusan dan kepentingan
lokal pemerintah setempat.
Semarang berubah statusnya menjadi Kota Praja pada tahun
1906 berdasarkan staatblad tahun 1906 No. 120.
59
Latif, Inteligensia Muslim Dan Kuasa: Genealogi Inteligensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20, 90.
39
Konsenkuensinya adalah pemerintah kota harus membangun
berbagai infrasruktur penunjang bagi kehidupan para warga kota.
Kota Semarang dengan demikian menjadi tempat tinggal bupati,
residen, dan juga walikota. Bersamaan dengan itu dibentuk pula
dewan kota yang berjumlah 23 orang, yang ditunjuk oleh asisten
residen dan juga diketuai oleh asisten residen dan juga diketuai
oleh asisten residen. Mulai tahun 1909 anggota dewan kota tidak
lagi ditunjuk oleh pemerintah melainkan dipilih. Dari ke-23 orang
itu, 15 orang Belanda, 5 orang bumiputera, dan 3 orang Timur
Asing.60
Tabel 3.2 Sistem pemerintahan Kota Praja Semarang
Pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Semarang
mempengaruhi juga angka pertumbuhan penduduk. Semakin
banyak penduduk yang datang ke Semarang untuk bekerja,
60
Pariwisata, Sejarah Kabupaten Semarang, 76.
Pemerintah pusat
Bupati
Pemerintah
pribumi
Lurah
Asisten Wedana
Wedana
Pemerintah Kota
Walikota
Penasehat
1. Eropa
2. Pribumi
3. Timur
Asing
Dewan Kota
1. Eropa
2. Pribumi
3. Timur
Asing
40
kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh. Lahan
persawahan di desa yang semakin sedikit karena digunakan untuk
penanaman komoditas ekspor pesanan pemerintah adalah
penyebabnya.
Tabel 3.3 Pertumbuhan Penduduk Semarang 1850-1941.
Penduduk 1850 1890 1920 1930 1941
Pribumi 20.000 53.974 126.628 175.457 221.000
China 4.000 12.104 19.720 27.423 40.000
Timur
Asing
1.850 1.543 1.530 2.329 2.500
Eropa 1.550 3.565 10.151 12.587 16.500
Jumlah 29.000 71.786 158.036 217.796 280.000
Sumber: Syadah Akla: Perkembangan Pers Dalam Kaitannya
dengan Perkembangan Politik di Semarang Tahun 1912-1930,
h.23.
Pertumbuhan penduduk pulau Jawa yang terus meningkat
menyebabkan kemerosotan kesejahteraan, sebuah komisi Belanda
pada tahun 1900 melaporkan kehidupan rakyat Jawa dari hari ke
hari semakin susah. Untuk mengatasi masalah tersebut
pemerintah Hindia Belanda membentuk Departemen Van
Lanboub, Nijverbeid en Handal (Departemen pertanian,
perindustrian dan perdagangan) pada tahun 1904. Departemen ini
berperan dalam menggalakan industri, pada bulan September
1915 Gubernur Jenderal Idenburg menyetujui dibentuknya komisi
41
perdagangan industri yang bertugas untuk memajukan industri di
Hindia Belanda.61
Industrialisasi yang dibangun oleh pemerintah Hindia
Belanda ternyata tidak membuat kondisi lebih baik, sepanjang
tahun 1913-1923 kondisi malah semakin memburuk. Bila
produksi gula di tahun 1900 berjumlah 744.257 ton, maka di
tahun 1915 adalah 1.319.087, tahun 1916 1.822.188, dan tahun
1917 1.822.188. Perluasan lahan tebu yang terjadi pada tahun
1916 hingga 1920 membuat lahan sawah semakin sempit
sehingga produksi padi berkurang. Berkurangnya produksi padi
menyebabkan harga beras mahal, kondisi diperparah oleh Perang
Dunia I sehingga pasokan beras dari negara-negara penghasil
beras di Asia Tenggara berkurang.62
Selain bahan pangan yang membuat prihatin keadaan
Semarang pada awal abad ke-20 adalah kondisi kesehatan
masyarakatnya. Wilayah ini menjadi salah satu wilayah terpadat
di Jawa, menjadikan Semarang sebagai kota yang sangat kumuh.
H.F. Tillema Seorang apoteker dan anggota gemeenraad (dewan
kota) Semarang, mengadakan penelitian terhadap kondisi
kesehatan fisik kampung-kampung di Kota Semarang. Dari hasil
penelitiannya, Tillema mengungkapkan; ―jika orang mengamati
kondisi itu, dan jika orang ingin memperbaiki kondisi hampir
10.000 jiwa itu. orang harus berharap akan datangnya Hercules
61
a dah Akla, ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a Dengan
Perkembangan Politik Di Semarang Tahun 1912-193 .‖ ( emarang:
Universitas Negeri Semarang, 2007), 28. 62
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1999), 9.
42
kedua untuk dapat membersihkan dan memperbaiki augiastal
ini‖.
Penduduk kampung meminum air sumur yang terletak dekat
saluran-saluran pembuangan kotoran, kepadatan penduduk
mencapai 400 sampai 1.000 orang per hektar.63
Mereka tinggal di
dalam gang-gang yang berjejal, sempit, dan becek. Kondisi
perkampungan yang tidak layak seperti itu meyebabkan wabah
pes, wabah pes ini meningkatkan angka kematian di Semarang.
63
Dewi Yuliati, Buruh Dan Ketidakadilan: Lahan Subur Bagi
Perluasan Marxisme Suatu Kajian Historis Tentang Buruh Di Semarang Pada
Awal Abad Ke-20 (Semarang: Universitas Diponegoro), 8.
43
Tabel.3.4 Angka Kematian Penduduk Semarang per 100 Jiwa
pada tahun 1917.
No Daerah Triwulan
pertama
Triwulan
kedua
1 Semarang Kulon 48 67
2 Semarang Kidul 32 57
3 Semarang Wetan 59 72
4 Semarang Tengah 45 49
5 Genuk 24 64
6 Pendurungan 26 90
7 Srondol 13 23
8 Maranggen 26 151
9 Karangun 24 115
10 Kebon Batu 20 98
Rata-rata 31,2 78,6
Sumber: Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1999), 12.
Kesengsaraan yang semakin meluas menimpa rakyat
Bumiputera akibat dari penerapan tanam paksa (cultuur stelsell),
ekonomi politik liberal dan politik etis melahirkan respon yang
beraneka ragam, diantaranya membuat rapat-rapat (vergedering),
membuat organisasi sosial atau politik, surat kabar, demonstrasi,
dan teatrikal. Takashi Shiraisi menyebut awal abad ke-20 sebagai
zaman bergerak. Organisasi-organisasi yang muncul di kota
Semarang pada awal abad 20, Indische Social Democratische
Van Spooreer Tramweg Personeel (1908), Indische Partij (1912),
44
Sarekat Islam (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Partai
Nasional Indonesia (1927), dan Partai Bangsa Indonesia.
beberapa organisasi itu menerbitkan surat kabar, jurnal, atau
majalah sebagai media untuk menyuarakan kepentingannya.64
C. Sarekat Islam Semarang
Sarekat Islam (SI) Semarang berdiri pada akhir tahun 1912
yang semula merupakan cabang dari SI Surakarta.65
Dari sumber
yang didapat hanya ada nama Presiden atau Ketua yang
mengepalai SI Semarang pada tahun itu, yaitu Moestahal. Di
tahun selanjutnya 13 April 1913 SI Semarang mengadakan
pemilihan pengurus baru, berikut nama-nama pengurus baru itu :
Presiden : Mas Soedjono
Wakil Presiden : Raden Mohammad Joesof
Sekretaris 1 dan Sekretaris 2 : Mas Poespo Hadikoesomo dan
Raden Soemodirdjo
Bendahara 1 dan Bendahara 2 : Mas Artosoedarmo dan Hadji
Achwan
Komisaris : Raden Prawito Koesoemo, Raden Soepardi, Raden
Soefaham, Raden Tjokrokoesoemo, Raden Prawirosastro,
Soerodibroto, Mas Resoetmodjo, Mas Darmawinata, Mas
Kartowijoyo, Hadji Ridwan, Hadji Abdullah, Sajid Hoesin bin
hasan Moessawa, Hadji Oemar, dan Hadji Saleh.
64
Akla, dkk., ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a Dengan
Perkembangan Politik Di Semarang Tahun 1912-193 .‖, 32. 65
Shiraishi and Farid, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa
1912-1926, 49-50.
45
Terselenggaranya pemilihan baru ini dilatarbelakangi oleh
desakan pemerintah setempat untuk mengurusi kerusuhan yang
terjadi, yaitu perkelahian di Kampung Brondongan, Semarang
pada bulan Maret 1913. Kerusuhan tersebut terjadi akibat
provokasi seorang Tionghoa bernama Liem Mo Sing terhadap
orang-orang SI di Kampung Brondongan. Liem merasa terancam
dengan dibukanya koperasi SI di kampung tersebut, para
pelanggannya yang kebanyakan adalah kaum buruh bergabung
menjadi anggota SI Semarang dan tidak lagi menjadi langganan
warungnya.66
Anggota pegurus SI Semarang yang baru ini adalah anggota
perkumpulan Mangoenhardjo yang merupakan perkumpulan
pegawai negeri Bumiputera, dengan begitu mudahlah pemerintah
mengendalikan gerak dari SI Semarang. Meski kepengurusan
sudah terbentuk sejak Maret 1913, pemerintah baru mengakuinya
secara sah pada 25 Juni 1914. Setelah disahkan, para pengurus
giat melaksanakan rapat umum dan propaganda di berbagai
daerah. Dengan dilancarkannya propaganda-propaganda, maka
bertambahlah jumlah anggota dengan pesat, pada April 1913
jumlah anggota tercatat ada 12.216 orang dan dua tahun
kemudian April 1915 meningkat menjadi 21.823.
Meskipun jumlah anggota SI Semarang sudah begitu besar,
namun tidak menampakan gerakan politik yang dianggap
membahayakan pemerintah, sebagaimana diungkapkan oleh
penasihat urusan Bumiputera di Hindia Belanda, D.A. Ringkes,
66
Dewi Yuliati, ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda Sinar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-
1924.‖, 25.
46
bahwa surat kabar Sinar Djawa milik SI Semarang tidak penting
karena ungkapan-ungkapannya yang tidak tajam.
Naiknya harga kebutuhan hidup sejak meletusnya Perang
Dunia I, Revolusi Rusia pada 1917, membawa perubahan dalam
dunia pergerakan di Hindia Belanda. Perubahan iklim polititk
dunia pergerakan di Hindia Belanda berpangkal pada dua hal,
yaitu pertama, kebijakan dari pemerintah yang waktu itu
dipimpin oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum yang
merupakan seorang pemikir liberal, ia menginginkan agar tanah
Hindia menjadi wilayah otonomi dan mengarahkan pergerakan
secara evolusioner dengan membentuk volksraad sebagai
prasyarat menjadi pemerintah sendiri (self government). Kedua di
tahun yang sama, van Limburg Stirum juga berkeinginan
membentuk milisi Bumiputera (Indie Weerbaar) untuk
mempertahankan Hindia Belanda dari musuh-musuh luar menjadi
bahan perdebatan yang sangat sengit.67
Naiknya harga kebutuhan
pokok akibat Perang Dunia I, hilangnya lahan persawahan akibat
dijadikan pabrik gula oleh para kapitalis, dan kebijakan Gubernur
Jenderal yang tidak menguntungkan Bumiputera, memantik api
kemarahan kaum Bumiputera yang lebih didominasi oleh parah
buruh dan petani.
Haluan dari SI Semarang mulai berubah dari yang tadinya
dianggap lembek atau tidak membahayakan pemerintah berubah
menjadi revolusioner saat tokoh muda bernama Semaoen masuk
ke dalam tubuh SI Semarang. Semaoen lahir 1899 di Mojokerto,
seorang putera dari pegawai kereta api atau bukan keturunanan
67
Gie, Di Bawah Lentera Merah, 11.
47
priyai. Setelah lulus sekolah Bumiputera klas satu, ia bekerja di
Staatspoor (SS) sebagai juru tulis tahun 1912. Pada 1914 ia
menjadi sekretaris SI Surabaya, di awal 1915 Semaoen bertemu
dengan tokoh sosialis Belanda Henk Sneevliet. Sneevliet pernah
menjadi ketua Sociale Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di
Belanda, ia datang ke Hindia Belanda pada bulan Februari 1913
bekerja sebagai editor Soerabajaasch Handelsblad. Bulan Mei
1913 ia pindah ke Semarang menggantikan D.M.G. Koeh sebagai
sekretaris Semarang Handelsvereniging. Bersama dengan J.A.
Bransteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma, Sneevliet
bekerjasama mendirikan kelompok debat di kalangan orang-
orang sosialist Belanda, yaitu Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV) pada Mei 1914. Di samping itu ia juga
menjadi editor De Volharding surat kabar dari Vereeniging voor
Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP). VSTP adalah sarekat kerja
tertua di Hindia Belanda yang didirikan pada 1908 oleh tokoh
sosialis Belanda, yaitu C.J. Hulshoff dan H.w. Dekker,
anggotanya adalah orang-orang Eropa dan Indo, baru pada 1913
menerima anggota dari kalangan Bumiputera.68
Pada awal tahun 1900-1920-an umumnya seseorang bisa
memiliki keanggotaan rangkap dalam organisasi, dari sinilah
infiltrasi sosialisme masuk ke dalam tubuh SI Semarang, di mana
Sneevliet berhasil mempengaruhi banyak golongan muda dengan
paham sosialis yang dibawanya, salah satu dan yang paling
berpengaruh adalah Semaoen. Saat usianya mamsih 18 tahun , ia
68
Dewi Yuliati, ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda Sinar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-
1924.‖, 31-34.
48
berhasil menjadi pemimpin SI Semarang pada tahun 6 Mei 1917,
dengan strutur organisasi sebagai berikut:
Presiden : Semaoen
Wakil Presiden : Noorsalam
Sekretaris : Kadarisman
Komisaris : Soepardi, Aloei, Jahja al-Joefri, H. Boesro,
Amathadi, Martodidjojo, dan Kasrin.
Pergantian pengurus berpengaruh pada basis pendukung SI
Semarang, jika awalnya diisi oleh banyak pegawai negeri
Bumiputera yang mudah dikontrol oleh pemerintah Hindia
Belanda, setelah diganti oleh Semaoen dan kawan-kawan, para
pendukung SI Semarang lebih banyak berasal dari kalangan
buruh dan rakyat kecil lainnya. Perubahan pengurus ini
merupakan wujud pertama gerakan radikal SI Semarang.
Gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh Semaoen adalah gerakan
nonkooperatif atau menolak bersekutu dengan pemerintah. Demi
maksimalkan aspirasi dan gerakan SI Semarang pada 19
November 1917 Semaoen masuk jajaran redaksi Sinar Djawa.69
D. Kemunculan Industri Percetakan di Semarang
Sebagai kota paling penting di Jawa Tengah, Semarang telah
menjadi pusat industri surat kabar sejak paruh kedua abad ke-19
bersama dengan Surabaya dan Batavia. Pembangunan sarana
komunikasi modern seperti pos, telegraf, dan telepon turut
memperkuat industrialisasi media komunikasi di Semarang.
Pertengahan abad ke-19 tepatnya pada 1848 di Semarang muncul
69
Dewi Yuliati, Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda, 35.
49
penerbit surat kabar ―Oliphant & Co.‖ dengan izin Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen untuk menerbitkan Semarangsche
Advertentieblad. Penerbit ini juga menerbitkan Semarang
Courant, di tahun 1852 P.J. de Groot menerbitkan Semarangsch
Nieuws en Advertentieblad. Saat maskapai kereta api swasta
pertama yaitu, Nederlandsch Indische Spoorweg Mastchappij
(NIS) berusia tiga tahun yaitu pada 1863 nama Semarangsch
Nieuws en Advertentieblad menjadi De Locomotif.70
De Locomotif ini awalnya hanya terbit dua kali dalam
seminggu, dalam waktu yang cukup singkat surat kabar ini terbit
setiap hari. Selain surat kabar Belanda muncul juga surat kabar
Tionghoa dan Melayu diantaranya, Selompret Melajoe yang terbit
pada 3 Februari 1860 diterbitkan oleh G.C.T. Van Dorp. Pembaca
surat kabar ini kebanyakan berasal dari kalangan orang Melayu
dan Tionghoa dan merupakan surat kabar melayu pertama di
Semarang. Konten dari surat kabar ini adalah tentang maklumat
pemerintah, berita luar negeri, berita kota, dan iklan. Dalam salah
satu halamannya ada yang berbahasa Jawa agar jangkaun
pembacanya tidak terbatas pada orang yang bisa berbahasa
melayu.71
Dua tahun kemudian firma Gebruders Janz Bros menerbitkan
juga surat kabar melayu yang bernama Tambor Melayu pada 30
Januari 1888. Surat kabar ini dipimpin oleh Tuan Sie Hian Ling
terbit setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sayangnya surat kabar
ini tidak bertahan lama hanya bertahan empat tahun, kematian
70
Dewi Yuliati, 49. 71
Akla, dkk, ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a Dengan
Perkembangan Politik Di Semarang Tahun 1912-193 .‖, 38.
50
Abraham Janz pemilik perusahaan adalah yang menyebabkan
surat kabar ini berhenti terbit.
Hoang Thaij & Co pada tahun 1899 menerbitkan Sinar
Djawa, dipimpin oleh Sie Hian Ling yang berkantor di Karang
Sari. Surat kabar ini dibeli oleh Sarekat Islam Semarang lima
belas tahun kemudian (1913), di 1 Mei 1918 Sinar Djawa
mengubah namanya menjadi Sinar Hindia. Surat kabar ini
merupakan surat kabar pribumi pertama di Semarang, dan dapat
bertahan sampai tahun 1924.72
J.A. Retel Helmrich, Direktur administrasi dari
Semarangsche Courant menerbitkan edisi melayu dengan nama
Pemberita Semarang kemudian dalam tahun 1900 berubah nama
menjadi Bintang Semarang, surat kabar ini bertahan sampai 1906.
Pada tahun 1909 kongsi dagang yang didirikan oleh Tuan Be
Kwat yaitu, N.V. Java Ien Boe menerbitkan dua surat kabar, Jawa
Kong Po yang berbahasa Cina dan Jawa Tengah yang berbahasa
melayu. Jawa Kong Po di bawah pimpinan Be Nay Tong dan
Souw Kam Ting pada tahun pertamanya mengalami kerugian
lebih dari f.10.000. kerugian disebabkan karena sedikitnya orang
Tionghoa yang suka membaca. N.V. Java Ien Boe pada 1930
berganti nama menjadi Handel Maatschappijeen Drukkerij
Djawa Tengah.73
Daja Oepaja di bawah pimpinan Syamsoedin Makmoer
dianggap sebagai surat kabar berpengaruh di Semarang, surat
kabar ini terbit semingu dua kali dan kemudian menjadi surat
72
Akla, dkk, 39. 73
Akla, dkk, 40.
51
kabar harian. Surat kabar ini terbit sampai 1938 harus mengakhiri
penerbitannya karena kekurangan iklan dan langganan.74
Demikianlah jejak awal industri surat kabar di Semarang
beberapa diantara surat kabar itu menjadi media pergerakan
organisasi sosial dan politik yang mampu membuat perubahan
sosial. Dari tahun 1900-1930 tercatat ada kurang lebih 15 surat
kabar yang terbit di Semarang.
74
Akla, dkk.,, h.42.
52
BAB IV
Sinar Djawa Sebagai Pelopor Surat Kabar Pribumi di
Semarang
A. Sinar Djawa Beralih Ketangan SI Semarang
Akhir tahun 1913 Sarekat Islam (SI) Semarang membeli
perusahaan percetakan milik orang Tionghoa, yaitu Hoang Thai
and Co, perusahaan inilah yang menerbitkan Sinar Djawa. Hoang
Thai and Co, berdiri pada 1899 di bawah pimpinan Sie Hien
Liang yang berkantor di Karang Sari.75
Setelah dibeli, Sinar
Djawa jadi milik SI Semarang, nama tersebut tetap digunakan
sampai 1 Mei 1918 saat berganti nama menjadi Sinar Hindia.
Dari tahun 1914-1916 koran ini memiliki slogan “Orgaan bagi
Boemipoetra dan segala bangsa‖. Nama percetakannya adalah
N.V. Handel Matschappij dan Drukkerij Sarekat Dagang Islam
merk ―Sinar Djawa‖. Ignatius Haryanto dalam pengantar buku
Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan,
mengatakan sejak akhir abad ke-19 banyak koran tumbuh dengan
menggunakan nama, ― erang‖, ― uara , dan ―Gerak‖. iga kata
kunci ini mewakili semangat zamannya, bahwa pers adalah alat
untuk memberikan penerangan (informasi, sesuatu yang
mencerahakan dari kegelapan), termasuk juga kata ― inar‖,
75
Akla, dkk., ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a Dengan
Perkembangan Politik Di Semarang Tahun 1912-193 .‖ h.40.
53
dalam nama Sinar Djawa.76
Pemimpin redaksi ditahun
pertamanya adalah, P.H. Koesomo.77
Pemimpin Redaksi: P. H. Koesomo
Administrasi: Mohamad Joesoef
Asisten Administrasi: S. Soerodibroto
Redaktur: Mohamad Joesoef dan Saleh Handojomo
Kantor: Kauman telepon 905
Di tangan SI Semarang, Sinar Djawa pertama kali terbit pada
4 Januari 1914. Sinar Djawa terbit setiap hari kecuali hari
Minggu dan hari raya. Terbit dengan jumlah halaman sebanyak
empat halaman, namun diwaktu yang tidak menentu juga terbit
lima halaman. Sistem pembayaran surat kabar ini terbagi menjadi
tiga, pertama membayar f. 3/ 3 bulan, f. 6/ 6 bulan, dan f. 12/ 1
tahun utuk di wilayah Hindia. Untuk di luar Hindia harga berbeda
f. 3,75/ 3 bulan, f. 7,50/ 6 bulan, dan f. 15/ 1 tahun. Harga
mengalami kenaikan pada 1 Januari 1915 sebesar f. 0,25 per tiga
bulannya. ―Lantaran di dalam peperangan ini semoewa harga
kertas, tinta, dan lain-lain keperloean bagi Sinar Djawa ada naik
keras, maka kita telah ambil poetoesan, moelai tanggal 1
JANUARI 1915 harga abonnement Sinar Djawa jang satoe
kwartaal ditambah f. 0,25. Kita harep dan pertjaja jang toewan-
toewan lengganan akan moefakat atas hal ini.‖78
76
Adam et al., Sejarah Awal Pers Dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan, 1855-1913, XVI. 77
Dewi Yuliati, ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda Sinar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-
1924.‖, 52. 78
Sinar Djawa, Senin 21 Desember 1914.
54
Orang pun bisa memasang advertentie (iklan) dengan harga
25 sen/ 5 kata dengan iklan paling sedikit seharga f. 1, dimuat
sebanyak 2 kali.79
Perubahan terjadi pada logo Sinar Djawa dan
Sinar Hindia seperti berikut:
Gambar 4.1
Logo 4 Januari-14 Juli 1914
Logo 15 Juli-23 Juli 1914
Logo 24 Juli 1914-Maret 1918
Logo Maret 1918-April 1918 kembali seperti Januari 1914
79
Sinar Djawa, Sabtu 17 Januari 1914.
55
Logo 1 Mei 1918 atau sejak berubah jadi Sinar Hindia
Konten atau isi dari Sinar Djawa di antaranya, Opini, Cerita
Sambung, Kabar Hindia, Kabar Kota Semarang, berita kawat, dan
iklan. Iklan yang dipasang oleh para pengusaha merupakan
sumber dana untuk menghidupi surat kabar, sumber dana juga
berasal dari bayaran para pelanggan, dan menjual saham N.V.
Handel Matschappij dan Drukkerij Sarekat Dagang Islam merk
―Sinar Djawa‖, sebagaimana diwartakan oleh Sinar Djawa
tertanggal 23 Januari-20 Juli 1914.
―Soedara-soedara kaoem Moeslimin, teroetama lid dari
― arekat Islam‖ diharap soedilah pertoeloengan pada
peroesahaan kita dengan membeli aandeel dari maatschapij
tersebut soepaja peroesahaan kita Boemipoetra bisa koeat
dan madjoe. Oendjoekkanlah soedara-soedara ampoenja
keroekoenan, soepaja djangan amat terhina oleh bangsa lain,
satoe aandeel hara f. 5‖.80
Penjualan saham ini juga diumumkan ketika diadakan rapat
umum Sarekat Islam di Semarang.81
Pada bulan Desember Sinar
Djawa memberi peringatan kepada para pelanggan untuk
membayar tagihan yang masih tertunggak selama sembilan bulan.
Maklumat ini sering dimuat di dalam surat kabar, untuk
80
Sinar Djawa, 23 Januari 1914. 81
Sinar Djawa, 16 Maret 1914.
56
pelanggan yang tidak membayar maka akan diserahkan ke
pengadilan.82
Dalam kolom opini banyak orang mengirim tulisan yang
berisi tentang argumentasi atau respon terhadap kondisi sosial
yang sedang terjadi. Kebanyakan dari para penulis menggunakan
nama samaran, seperti yang tertera pada kolom opini tertanggal
17 Januari 1914 yang berjudul Beloem Kehilangan Pengharapan
penulisn a men amarkan nama dengan nama ― i Bebal‖, ada
juga yang menyingkat namanya. Penyamaran nama itu dilakukan
demi keamanan penulis. Menariknya Sinar Djawa menjadi media
untuk berdialektika bagi orang-orang yang ingin beragumentasi
tentang kondisi kekiniannya, baik itu kebijakan pemerintah, atau
pun hal-hal di luar itu.83
Dalam hal struktur Sinar Djawa dan Sinar Hindia sering
berganti-ganti pengurus dan pergantian itu bisa terjadi tiba-tiba
tanpa ada pemberitahuan. Berikut perubahan yang terjadi jika
melihat dari kepala Sinar Djawa dan Hindia;
82
Dewi Yuliati, Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda Sinar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-1924,
55. 83
Sinar Djawa 17 Januari 1914.
57
Tabel 4.1 struktur redaksi Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Waktu
Perubahan
Perubahan Struktur
Januari 1914 Hoofdredacteur: P.H. Koesoemo
Redacteur: Mohamad Joesoef dan Saleh
Handojomo
Administratie: Mohamad Joesoef
Asisten Administratie: S. Soerodibroto
11 April 1914 Hoofdredacteur: P. H. Koesoemo
Redacteur: Mohamad Joesoef dan Saleh
Handojomo
Administratie: Mohamad Joesoef
Asisten Administratie: Tjokromidjojo
14 April 1914 Hoofdredacteur: P.H. Koesoemo
Redacteur: Saleh Handojomo dan
Hadiasmoro
Administratie: Mohamad Joesoef
Asisten Administratie menjadi:
Tjokromidjojo
Januari 1915 Hoofdredacteur: P. H. Koesoemo
September 1915 Hoofdredacteur: P. H. Koesoemo
Administratie: Tjokromidjojo
Januari 1916 Hoofdredacteur: P. H. Koesoemo
Desember 1916 Hoofdredacteur: P. H. Koesoemo
Administratie: Tjokromidjojo
Januari 1917 Hoofdredactuer: Tjokromidjojo
58
Administratie: Tjokoromidjojo
19 November 1917 Administratie: Tjokroamidjojo
Comite Redactie:
Politik: Semaoen
Kabar Hindia dan Semarang: Mohamad
Joesoef
Telegram: Kadarisman
Ekonomi: Noto Widjojo
Vergadering: Aloewi
Berita Betawi: Alimin
Maret 1918 Administratie: Tjokoromidjojo
Radctie: Semaoen, Marco, Darsono.
Notowidjojo
Mei 1918 Directeur Redacteur: Semaoen
Redacteur: Marco. Darsono, Mohamad
Joesoef
Reizend Redacteur: Noto widjojo,
Administratie: Tjokroamidjojo
Sumber: Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Keberhasilan pengelolaan Sinar Djawa dirasakan pada 1916,
pada tahun ini SI Semarang merasakan pengelolaan surat kabar
ini sudah cukup bagus.
Woejoed keroekoenan Sarekat Islam Semarang jang masih
ada jaitoe drukkerij Sinar Djawa. Pengoeroesnya bekerja
sangat hati-hati, rela menerima gaji rendah dengan soeatoe
toejoean oentoek mendjoenjoeng derajat boemipoetra.84
84
Sinar Djawa 9 Mei 1916.
59
Nama Sinar Djawa bertahan sampai 1 Mei 1918, perubahan
nama ini bertujuan untuk merubah haluan redaksi yaitu untuk
mencapai kemerdekaan Hindia di bidang politik ekonomi dengan
memerintah negerinya sendiri.85
―Telah dipoetoeskan di Aandeelhouder vergadering Sinar
Djawa kemarin, ini boelan jaitoe atas permintaan saudara
Semaoen maka nama soerat kabar kita Sinar Djawa diganti
Sinar Hindia. Memang kita meofakat sekali tentang
gantinya itoe nama. Moelai besok tanggal 1 Mei di moeka
ini Sinar Djawa memakai namanja baroe Sinar Hindia.
Hoebaja-hoebaja lantaran perubahan ini nama Sinar Hindia
orgaanja Sarekat Islam Semarang jang ini waktoe bergerak
keras bisa pandajang oesianja. Djadi sekarang N.V. Handel
Matschappij dan Drukkerij Sarekat Dagang Islam Semarang
merk Sinar Djawa menerbitkan soerat kabar jang bernama
Sinar Hindia. Hidoepalah Sarekat Hindia dan Sarekat
Islam‖.86
Pada awal bulan Mei di halaman muka koran terdapat sedikit
tambahan di bagian bawah dan samping. Tambahan itu berupa
kalimat slogan yang bernada provokatif, seperti kalimat berikut,
―Hindia berdarah, Hindia berapi. Gasaklah ang salah dengan
berani sampai mati!‖87
B. Redaktur-redaktur Berpengaruh
Dari sekian banyak redaktur yang ada dalam Sinar Djawa
dan Sinar Hindia, beberapa di antaranya adalah redakur yang
sanga berpengaruh dalam menentukan konten arikel dalam kedua
85
Sinar Djawa 1 Mei 1918. 86
Sinar Djawa, 30 April 1918. 87
Sinar Djawa, 2 Mei 1918
60
surat kabar ini. Redaktur tersebut di antaranya, Mohammad
Joesoef, Semaoen, Marco Karodikromo, dan Darsono.
Muhammad Joesoef bekerja sebagai juru tulis (klerk) di
perusahaan Semarang Joana Tramwegmaatschappij. Ia juga
pernah menjabat sebagai Wakil Presiden SI Semarang saat
presidennya R. Soedjono dan pernah menjadi Sekretaris Pengurus
Pusat SI periode 1913-1916. Sama seperti Semaoen, ia juga
anggota aktif dari ISDV. Selama menjadi bagian dari tim redaksi
Sinar Djawa, Mohammad Joesoef memilih jalan untuk bersikap
kooperatif dengan pemerintah yang berdampak pada pergumulan
konen arikel dalam Sinar Djawa. Hal tersebut menurut Rinkes
sehubungan dengan keterikatan dengan pekerjaannya.88
Redaktur selanjutnya adalah Semaoen, setelah diangkat
menjadi Presiden SI Semarang pada 8 Mei 1917 enam bulan
kemudian 19 November 1917 ia masuk jajaran redaksi Sinar
Djawa sebagai redaktur politik. Semaoen adalah redaktur yang
memberi warna berbeda pada Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Sejak masuknya Semaoen penulisan dalam Sinar Djawa berubah
menjadi lebih radikal atau nonkooperatif dengan pemerintah. Hal
ini terjadi karena kondisi sosial semakin merugikan Bumiputera
ditambah ideologi Marxisme-komunisme yang dianut oleh
Semaoen.
Marco Kartodikromo atau yang akrab disapa Mas Marco
adalah redaktur berpengaruh sekaligus penulis paling produkti
dalam Sinar Hindia. Marco lahir tahun 1890 di Cepu, Jawa
88
Dewi Yuliati. ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda inar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-
1924.‖, 59.
61
Tengah. Ia bukan berasal dari priyai dan juga bukan pejaba
Belanda, sehingga Marco hanya sebentar mengenyam pendidikan
formal dan harus mengambil kursus priva Belanda. Pendidikan
jurnalistik pertamanya dari Tirto Adi Soerjo, pendiri surat kabar
Medan Priyai di Bandung. Dari sanalah Marco mulai akti di
dunia jurnalis, setelah Medan Prijai tidak terbit lagi, ia pindah ke
Surakarta dan bergabung dengan Sarotomo pada akhir 1912. Dua
tahun setelah itu (1914) Indlansche Journalisten Bond (IJB)
Bersama Cipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoema di
Surakarta, ia juga menerbitkan Doenia Bergerak sebagai organ
IJB.89
Marco masuk menjadi redakur Sinar Djawa pada 18 Maret
1918 dia menjadi redakur yang juga radikal seperi Semaoen.
Artikel-arikel yang ditulisnya juga memberikan karakter khas
dalam Sinar Hindia dan selain arikel ada juga cerita pendek
bersambung (cerbung) seperti Student Hidjo dan Matahariah,
pada 15 November 1918 Marco keluar dari Sinar Djawa.90
Redakur paling berpengaruh yang terakhir adalah Darsono, ia
lahir pada 15 November 1897 di Pati. Setelah lulus dari sekolah
dasar kelas 2, dia meneruskan sekolahnya di sekolah pertanian
Sukabumi berkat beasiswa dari pemerintah. Setelah lulus dia
bekerja pada Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel.
89
Henri Chambert-Loir, Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas
Karangan (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 2-3. 90
Dewi Yuliati. ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda inar
Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-
1924.‖, 6.
62
Darsono kemudian bertemu dengan Semaoen pada bulan
November saat persidangan Sneevliet sehubungan dengan kasus
tulisannya dalam surat kabar De Indier. Berkat pertemuannya
dengan Semaoen, Darsono terjun ke dunia pergerakan dengan
menjadi propagandis Central Sarekat Islam (CSI). Darsono
masuk jajaran redaksi Sinar Djawa pada 1 Februari 1918 di
bagian Kabar Kawat. Setelah menjadi tim redaksi, ia aktif juga
menulis dan mengulas secara tajam kritik terhadap pemerintah.91
91
Henri Chambert-Loir, Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas
Karangan, 65.
63
BAB V
Artikel-artikel dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia 1917-
1918
A. Artikel Dalam Sinar Djawa (Agustus-Desember 1917)
Semarang pada awal abad ke-20 M menjadi salah satu
wilayah terpadat di Jawa dengan kepadatan penduduk mencapai
400-1000 orang per hektar, hal tersebut disebabkan karena
wilayah ini menjadi salah satu tempat pengembangan industri
terbesar setelah Surabaya dan Batavia. Industri terpenting di
Semarang adalah industri gula yang ada di Cepiring, Gemuk, dan
Kaliwungu. Sejak Semarang berubah statusnya menjadi Kota
Praja pada tahun 1906 berdasarkan staatblad tahun 1906 No. 120,
pemerintah kota membangun berbagai infrasruktur penunjang
bagi kehidupan para warga kota, diantaranya pembangunan
sarana komunikasi modern seperti, pos, telegraf, dan telepon
yang turut memperkuat industrialisasi media komunikasi di
Semarang, salah satunya industri surat kabar yang muncul sejak
paruh kedua abad ke-19 M.92
Sinar Djawa sebagaimana telah disebutkan di muka, adalah
surat kabar miliki SI Semarang yang pada masa ini berperan
penting dalam merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi di
wilayah Semarang khususnya, dan Hindia Belanda pada
umumya. Sebelumnya perlu diketahui bahwa pers mampu
menciptakan sistem komunikasi yang terbuka, membantu
tumbuhnya massa kritikal di masyarakat, berperan sebagai juru
bicara, menjadi pendidikan politik bagi Bumiputera, dan sering
92
Pariwisata, Sejarah Kabupaten Semarang, 76.
64
menjadi ancaman bagi penguasa kolonial. Hal yang menyertai
pertumbuhan pers adalah meluasnya cakrawala perhatian atau
empati terhadap dunia luar, batas-batas kekerabatan, kesukuan,
subkultur, dan tempat tinggal. Pertumbuhan pers juga beriringan
dengan pertumbuhannya pergerakan nasional yang diibaratkan
sebagai kembar siam.93
Sepertinya yang terjadi pada Sarekat
Islam Semarang dengan Sinar Djawa dan Sinar Hindia sebagai
persnya.
1) Artikel Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu program yang dicanangkan
oleh pemerintah Belanda pada masa Politik etis dengan
triloginya, yaitu emigrasi, irigasi, dan edukasi (pendidikan).
Menjadi salah satu program prioritas, pendidikan mendapat
banyak perhatian dari kalangan Bumiputera, hal ini dikarenakan
mereka meyakini bahwa melalui pendidikanlah derajat rakyat
Bumiputera bisa terangkat dan bisa memajukan bangsa. Secara
sepintas semangat dan harapan itu bisa kita temukan dalam
slogan-slogan yang ada dalam artikel-artikel Sinar Djawa
diantaranya, pendidikan oentoek kemadjoean bangsa,
menjoengjoeng dradjat, djaman kemadjoean, memandjoekan
kepandaian, memandjoekan rakjat, dan zaman perubahan.
Sinar Djawa merekam dinamika pertumbuhan pendidikan
untuk rakyat Bumiputera yang diterapkan oleh pemerintah
Belanda, beserta respon yang dilakukan oleh Bumiputera.
Pertama, ada artikel berjudul Fancylair Goenanja van
93
Sartono Kartodidjo, Pengantar Sejarah II.
65
Deventerschool artikel ini membahas tentang pengumpulan dana
untuk mendirikan sekolah perempuan Bumiputera yang akan
diberi nama Sekolah van Deventer. Hal tersebut dilakukan untuk
memajukan bangsa sekaligus menghargai jasa-jasanya yang telah
memperjuangkan pendidikan untuk perempuan Bumiputera.
―Mr. Van Deventer itoelah jang pertama membangoenkan kegiatan
Boemipoetra akan menoedjoe kemadjoean bangsanja perempoean
seperti yang telah diriwayatkan oleh marhum R. A. Kartini dalam
boekoe karangannja‖.94
Untuk mendirikan sekolah ini orang-orang di negeri Belanda
juga mengumpulkan uang ribuan Gulden, dan di Semarang pun
diadakan penggalangan dana di pasar derma dengan mengadakan
pameran yang dimulai pada malam Minggu sampai malam Senin.
Gambar 5.1 Pamflet pemberitahuan penggalangan dana
94
Sinar Djawa 6 Agustus 1917
66
Tabel. 5.1 pendapatan Fancylair
Waktu Jumlah Orang Jumlah Uang
Malam Minggu 12490 f. 2320
Hari Minggu 2093 f. 274,50
Malam Senin 7077 f. 1103,50
Total 21660 f. 3707,-
Sumber: Sinar Djawa 6 Agustus 1917
Sekolah van Deventer adalah bagian dari Yayasan Kartini
dan merupakan sekolah guru (Kweekschool) yang diprioritaskan
bagi siswa lulusan Sekolah Kartini. Penggalangan dana dilakukan
karena uang yang tersedia tidak cukup, kebutuhan untuk
membangun sekolah ini sebesar f. 80.000, sedangkan dana yang
tersedia hanya f.14.000. Selain menggalang dana untuk menutupi
kekurangan tersebut, sekolah ini juga mendapat bantuan dari
Sekolah Kartini.
Secara resmi Sekolah Van Deventer Semarang berdiri pada
tahun 1917, tetapi belum mempunyai ruang kelas sendiri. Ruang
belajarnya masih meminjam salah satu kelas di Sekolah Kartini,
jabatan Kepala Sekolah Van Deventer pun dirangkap oleh
Nyonya F.A. Vokers Schippers, yang juga merancang kurikulum
sekolah tersebut. Sekolah tersebut juga dibuka di Bandung,
Malang, dan Solo dengan lama pendidikan selama empat tahun.95
Pada tahun pertama jumlah siswa Sekolah Van Deventer
Semarang hanya ada sembilan orang, sedikitnya jumlah siswa
95
Retnaningtyas Dwi Hapsari (Alumnus Pascasarjana Jurusan Ilmu
ejarah Universitas Diponegoro, ― ekolah Kartini Dan Van Deventer: Pelopor
Sekolah Perempuan Di Semarang Pada Masa Kolonial,‖.
67
dan masalah finansial membuat sekolah hanya berdiri satu tahun,
karena dewan sekolah memutuskan untuk menutupnya
sementara waktu.
Sekolah ini kemudian dibuka kembali pada 4 Juni 1921
dengan lokasi yang berbeda. Sekolah Van Deventer menempati
gedung baru dan memiliki asrama bagi siswa yang bertempat
tinggal jauh. Pendirian Sekolah Van Deventer ini nampaknya
telah membantu memberikan peluang bagi perempuan untuk
dapat bekerja.96
Selanjutnya Sinar Djawa menyajikan artikel dengan judul
Minta Sekolah! Minta Sekolah! Di Ambarawa artikel ini tulis
oleh Djoeroe Martini. Intisari dari artikel itu adalah permohonan
pendirian sekolah di Ambarawa Semarang kepada pemerintah
untuk kemajuan pendidikan, karena sekolah-sekolah lama penuh,
sehingga warga Bumiputera sulit mendapatkan pendidikan.
―Pada tiap-tiap tahoen permole an sekolahan terboeka
masoek lagi jaitoe penghabisan vacantie boelan poeasa,
sehari datang kesehari terdengarlah ratap dan keloehnya
orang-orang kampoeng jang anak-anaknya tidak bisa
termasoek ke roemah sekolah, maoepoen ke H.I.S.
maoepoen ke sekolah klas II. Menoeroet kata orang
disebabkan karena tiap-tiap roemah sekolah soedah sama
penoeh dan menerimanja anak moerid baroe soedah
ditentoekan banjaknja jang sepadan tjoekoepnja kamar.
Sedang jang memasoekkan anak-anaknja ke sekolah
beberapa orangnja‖.97
96
Retnaningtyas Dwi Hapsari (Alumnus Pascasarjana Jurusan Ilmu
Sejarah Universitas Diponegoro. 97
Sinar Djawa 17 Agustus 1917
68
Tidak semua orang optimis dengan saran yang diajukan
kepemerintah ada sebagaian dari mereka yang pesimis, ―Maka
setengah orang poeala mengatakan, bahwa anak-anaknya tida
oesah dimasoekan ke sekolah sebab meskipeon ada niat jang
sedemikian, toch tida laloe kaboel, apa jang dikehendakinja‖.98
Upaya pendirian sekolah tidak hanya terjadi di Semarang
atau di Jawa saja, pendirian sekolah juga diakukan di Sungailiat,
Pulau Bangka. Di daerah ini telah diadakan mufakat agar dapat
berdiri sekolah perempuan Bumiputera (Indandsch meijsschool).
Kegiatan itu direkam dalam artikel dengan judul Soengeiliat
Vooruit, ditulis oleh Si Bodo bin Djidjoloho. Demi keseriusan
dan menjunjung tinggi derajat Bumiputera, kemudian
didirikanlah perhimpunan yang bernama Boedi Setia dengan
Presidennya Kalman dan Sekretaris Abdul Hamid Nasution.
Sinar Djawa 20 Agustus 1917
Didirikannya Indandsch meijsschool adalah untuk
memperbaiki wawasan keilmuan orang-orang di Bangka yang
jauh tertinggal dari orang di Jawa baik untuk laki-laki atau
perempuan. Pada hari Kamis 2 Agustus 1917 Indandsch
98
Sinar Djawa 17 Agutus 1917.
69
meijsschool di Soengeiliat dibuka, dengan jumlah murid
pertamanya 27 anak perempuan.99
Masih membahas sekolah untuk perempuan terbit artikel
berjudul Kartini School Pekalongan, ditulis oleh Semar, berisikan
tentang upaya memajukan perempuan Bumiputra dengan
mendirikan sekolah Kartini di Pekalongan. Dengan menaruh
harapan kepada pemerintah untuk membantu dalam pembiayaan
dan agar di sekolah ini juga diajarakan bahasa Belanda. Pada
paragraf terakhir artikel ini tertulis kalimat seperti ini;
―Kemoedian kami mengharap akan kemoerahan hati dari
pada pembesar- pembesar negeri bangsa toean-toean
Belanda dan bangsa toean-toean particulier di Pekalongan,
toenjoekanlah ketjintaannja sebagai bangsa toean-toean di
Tegal atau Semarang kepada kita Boemipoetra di
Pekalongan‖.100
Pembahasan sekolah perempuan kemudian berlanjut di
bulan September, terbit artikel berjudul Mr. C. Th. van Deventer
Stictiting ditulis oleh Kepala Redaktur (Hoofdredacteur).
Pendirian sekolah perempuan lanjutan (voortgezet onderwijs)
untuk Bumiputera sebagai media mempersiapkan perempuan
yang cakap saat menjadi ibu untuk anaknya dan lebih jauh lagi
menjadi guru untuk Bumiputera lainnya. Selain itu orang yang
sekolah pun akan mudah mendapat pekerjaan karena ditopang
oleh keterampilan bahasa Belanda. Rencana ini dimotori oleh
Kartinifonds di Belanda. Hambatan kelak ditemukan saat para
orang tua tidak mengizinkan anak perempuannya bersekolah
karena yang menjadi guru lebih banyak laki-laki, dalam tradisi
99
Sinar Djawa 20 Agustus 1917. 100
Sinar Djawa 11 September 1917
70
masyarakat pada saat itu adalah hal yang tabu ketika anak
perempuan digurui oleh laki-laki.
Ada dua golongan anak perempuan yang dapat memasuki
voortgezet onderwijs, pertama anak-anak perempuan yang sudah
tamat sekolahan Belanda, seperti Indlandsche Scholen atau
sekolahan lain yang setara termasuk juga sekolah Kartini. Kedua
anak-anak perempuan yang tamat sekolahan Jawa kelas 2 atau
dari sekolahan yang sepadan, itupun jikalau dianggap harus
mendapat pengajaran yang lebih tinggi. Dua golongan itu juga
dibagi menjadi dua tipe sekolahan yang akan diterapkan, tipe A
dibuat seperti sekolahan Mulo dengan lama belajar 3 tahun, di
dua tahun pertama diajarkan pengetahuan umum dan di tahun
terakhir diajarkan pengetahuan tentang keguruan bagi yang ingin
jadi guru. Sekolah tipe B masa pendidikannya juga sama selama
3 tahun yang membedakan hanya mata pelajaran dan target
lulusan yang keluar, berikut ini mata pelajaran:101
Tabel 5.2 tipe sekolah di sekolah perempuan lanjutan
(voortgezet onderwijs)
No Sekolah Tipe A Sekolah Tipe B
1 Bahasa Belanda Bahasa Belanda
2 Bahasa Melayu, dan Jawa, Sunda,
atau Madura
Bahasa Melayu, dan
Jawa, Sunda, atau
Madura
3 Matematika Huishoudelijk rekenen
101
Sinar Djawa 11 September 1917
71
4 Ilmu Alam Ilmu tanaman dan
hewan di Hindia
5 Babad (pen. Sejarah) Ilmu bumi Hindia
Belanda dan ditambah
tentang Nederland
6 Ilmu bumi Pengantar ilmu
kesehatan
7 Ilmu rumah tangga Ilmu rumah tangga
8 Pengantar ilmu kesehatan Kerajinan tangan
9 Kerajinan tangan Menyanyi
10 Menyanyi dan music Menggambar
11 Menggambar Gimnastik/olahraga
12 Gimnastik/olahraga
Sumber: Sinar Djawa 11 September 1917.
Murid-murid pun diwajibkan untuk tinggal di asrama yang
telah disediakan, namun terbatas hanya untuk 120 orang. Rencana
mendirikan voorgezet onderwijs urung dilakukan karena
biayainya yang tidak mencukupi, untuk itu maka didirikanlah
sekolah guru (kweekschool) di Semarang. Hal tersebut
disampaikan oleh Kepala Redaktur Sinar Djawa, P. H. Koesoemo
dalam artikelnya berjudul Kweekschool Boeat Gadis
Boemipoetra.
―Setelah memperingati segala keterangan dan nasehat dari
kaoem deskundingen dalam hal onderwijs, dan dari orang
lain-lainnja jang mempoenjai kepentingan, menimbang
boeat sekarang ada keberatan akan mengadakan voorgezet
onderwijs bagi anak-anak perempoean Boemipoetra di
Hindia Ollanda dengan mengadakan sekolahan sendiri
72
sebagai kweekschool. Keberatan itoe pertama-tama terbit
dari kekoerangannja ongkost, karena boeat mengadakan
sekolahan jang sematjam itoe tiadalah sedikit bijajanja.
Maka oleh karena itoe, Raad van Beheer dari Kartinifonds
telah mengoenjoekkan soerat permohonan pada pemerintah
di Hindia, soepaja pemerentah sendiri jang mengadakan
sekolah jang sematjam itoe‖.102
Masih di hari yang sama Sinar Djawa memuat artikel
Pimpinlah Bangsa Kita, ditulis oleh M. H. M. De Hope. Artikel
ini paling tidak berhubungan dengan artikel-artikel sebelumnya
tentang sekolah perempuan Bumiputera yang bertujuan agar
lulusan sekolah perempuan itu menjadi orang tua yang baik.
Artikel ini ingin menyampaikan bahwa pemimpin yang baik itu
terlahir dari orang tua yang berpendidikan dengan memiiki ciri-
ciri terpelajar, wawasan yang luas, setia, dan harus berani karena
benar. Artikel tentang pendidikan terakhir di bulan ini berjudul
Nasib Goeroe Bantoe, ditulis oleh Gebes. Di suatu sekolah di
kota Semarang ada kepala sekolah baru yang tidak memahami
aturan P.K.T. Adj. Inspecteur, hal itu membuat guru bantu sulit
mengikuti kemauann a kepala sekolah, ―akan tetapi sajang,
sajang kepala sekolah baroe itoe beloem begitoe gemblengan, dan
belum mendengar nasehat P.K. . Adj. Inspecteur‖.103
Untuk Sinar Djawa edisi bulan Oktober 1917 yang tersedia
di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kondisi fisiknya
sudah rusak dan belum tersedia versi alih medianya (microfilm),
oleh karena itu penulis tidak dapat mengakses artikel-artikelnya.
Penulis langsung lompat ke edisi bulan November 1917. Artikel
102
Sinar Djawa 12 September 1917 103
Sinar Djawa 14 September 1917
73
tentang pendidikan bulan ini ada pada 29 dan 30 November, yang
pertama berjudul Toeroet Tjampoer Memboeat Pandangan
Pemogokan moerid di Osvia Probolinggo, artikel ini ditulis oleh
Oud Osviaan. Gagasan dari artikel itu adalah tentang mogoknya
murid Osvia kelas III karena guru-gurunya tidak memberikan
kebebasan (kemerdekaan) untuk para muridnya. Di usia mereka
yang sudah 16 tahun masih ada makian, pukulan, dan penghinaan
dari guru-guru mereka. Pihak sekolah malah mewajarakan hal itu
sebagai bentuk perlakuan kesatria, namun para murid menentang
keras perlakuan itu.
"Sepandjang saja poenja pengetahoean maka moerid jang
telah berdoedoek di kelas III vak afdeeling itoe tentoe
soedah akil balig, jadi kalau moerid sebesar itoe mendapat
maki-maki, poekoelan, dan penghinaan dari goeroenja
tentoelah merasa maloe"104
Para murid Osvia memilih untuk mogok bersekolah sebagai
sikap tegas kepada para gurunya. Melihat perlakuan yang seperti
itu menandakan bahwa para guru Belanda menganggap murid
Bumiputera adalah sekumpulan orang yang harus diperlakukan
keras, karena derajat kemanusiaannya yang lebih rendah dari
warga Eropa atau Indo.
Perang Dunia I tidak hanya menyebabkan kenaikan harga
kebutuhan pokok, hal lain yang terjadi adalah kelangkaan
peralatan sekolah, sebagaimana diceritakan oleh artikel berjudul
Merintangi Kemadjoean, ditulis oleh Karjadipa. Kelangkaan ini
terjadi pada sekolah-sekolah yang baru dibangun tahun 1916-
1917, mulai dari buku-buku pengajaran, batu tulis, kapur, dan
104
Sinar Djawa 29 November 1997.
74
tinta. Menanggapi persoalan ini kepala sekolah telah mengajukan
permohonan pengadaan barang kepada pemerintah, akan tetapi
setelah 6 bulan pihak pemerintah belum juga memenuhi
permintaan itu. Padahal tidak ada cara lain agar sekolah-sekolah
tetap berjalan selain memenuhi kebutuhan itu.
Anak-anak sekolah yang notabene adalah orang-orang
kromo (rakyat kecil) merasakan sekali kenaikan harga akibat
kelangkaan peralatan sekolah itu, misalnya saja harga anak batu
tulis (pen. Kapur/pensil) yang dulu harganya hanya f.0.005
menjadi f.0.045, sebuah buku seharga f.0.06 menjadi f.0.125.
Kenaikan harga yang berlipat ganda tersebut sangat memberatkan
kaum kromo yang ingin maju pendidikannya. Karjadipa
menempatkan gagasan utama artikelnya di paragraf pertama,
seperti ini:
"Telah beroelang-oelang kita bergerakan keboetoehan kita
tentang pengadjaran teroetama bagi kaoem jang biasanja
diseboet orang kromo; baroe kita bergirang hati karena
sebahagian ketjil telah terkaboel, kini datanglah rintangannja
jang barangkali terbawa pengaroehnja perang doenia jang amat
moerkanja itoe, jaitoe KEKOERANGAN ALAT
PENGADJARAN".105
Pertentangan dalam dunia pendidikan Bumiputera muncul
saat N.I.O.G. (Nederlands-Indiesche Onderwijzersgenootschap)
menyarankan agar sekolah-sekolah Bumiputera menggunakan
bahasannya sendiri, dengan dalih untuk mempertinggi derajat
bahasa Bumiputera. Namun Bumiputera yang mulai mengerti
permainan dari para kaum kapitalis maupun penguasa yang ingin
bangsa Bumiputera tertinggal menolak keras usulan itu, karena
105
Sinar Djawa 29 November 1917
75
mereka sadar kalau segala hal yang berkaitan dengan keilmuan
banyak tersedia dalam bahasa Belanda. Sehingga untuk menjadi
bangsa yang maju harus menguasai bahasa Belanda.
"O, bangsakoe, awaslah!...Masih banjak poela daja
oepajanja si-anti kemadjoean Bp., Jang disertai perkataan
manis, jang membikin gembira pada telinga Bp. dalam
sekdjap Mata. Tetapi....jang terdapat dalam hatinja, hanja
doeri belaka, jaitoe soeatoe djalan jang merintangi gerakan
kita, atau satoe fondament goena menindas BP."106
Pernyataan itu termaktub dalam artikel berjudul N.I.O.G dengan
ini onderwijs.
Pada bulan Desember Sinar Djawa kesulitan yang terjadi
dalam dunia pendidikan, dijelaskan dalam Kesoesahan Goeroe
Pada Sekolah Klas II Jang Pendoedoeknja Masih Achteruit,
ditulis oleh P. H. Djono. Artikel ini menunjukan kesulitan
megembangkan sekolah-sekolah yang sudah dibangun oleh
Gouvernement di wilayah yang masih tertinggal (achteruit).
Kesulitan mendirikan sekolah di daerah yang tertinggal, karena
penduduknya belum sadar akan pentingnya pendidikan. Jumlah
anak yang tidak masuk sekolah saja bisa mencapai 30% sehingga
guru-guru sering dipersalahkan oleh pemerintah berbeda dengan
dengan daerah yang sudah sadar akan pendidikan, dari 200 orang
murid hanya 15% saja yang tidak masuk sekolah. Dalam keadaan
seperti ini guru sering menjadi sasaran pemerintah. Untuk
menangani hal itu, penulis menyarankan hal-hal berikut ini:
106
Sinar Djawa 30 November 1917
76
a. Wakil K. Pemerintah, ialah B. B. (Binnelands
Bestuur) soeka mengamat-amati dengan betoel-betoel
pada djalannja onderwijs.
b. Kaoem werkgever (pen. majikan) haroes menghargai
betoel pada orang-orang jang soedah menelan
onderwijs, teroetama di ondernemingen (pen.
perusahaan).
c. K. P. hendaklah menimboelkan lagi persen dan
mainan anak-anak sekolah jang pendoedoeknja masih
terhitoeng achteruit (pen. tertinggal) (hal ini haroes
mendengarkan timbangan Goeroe dan B. B)
d. Loerah dan djoeadjang krawat, itoe haroes memilih
candidaat jang sedikit-dikitnja bercertificaat dari
sekolah klas II, begitoepoen opas-opas, mandoor-
mandoor djalan, pengoeroes pasar-pasar, mandoor-
mandoor kebon ondernemingen enz enz:
e. Semua sikap (gogol) jang mempoenjai anak
perempoean atau laki-laki kalau soedah beroemoer
tjoekoep haroes menjekolahkan anaknja seorang
kalau tida, haroes dipetjat dari sikapnja (diambil
bengkoknja sawah).
Penulis berpendapat bahwa orang-orang akan berbondong-
bondong masuk sekolahan jika 5 persyaratan itu dipenuhi.107
Perang Dunia I tidak hanya membuat kelangkaan pada
peralatan sekolah, perang itu juga berdampak pada nasibnya
107
Sinar Djawa 4 Desember 1917
77
guru-guru bantu di sekolah klas II (Tweede School). Guru-guru
bantu mengalami kesulitan membagi penghasilan untuk
menghidupi rumahtangganya karena semua kebutuhan naik. Hal
itu dirasa berat karena mereka tidak mendapatkan uang belanja
(duurte-toeslag) dari pemerintah. Berbeda dengan sekolah dan
guru-guru yang Ada di HIS mereka menerima bantuan uang
sementara untuk membeli peralatan sekolah, padahal para
muridnya pun bukan dari kaum kromo yang jika dimintai
uangpun tidak keberatan.
R. M. Dihardjo sebagai penulis artikel ini yang berjudul
Nasib Goeroe-goeroe Jang Kedoea, menyeru kepada
Perhimpunan Guru Hindia Belanda (PGHB) untuk memikirkan
masalah ini juga. Pasalnya pemerintah sedang asik memajukan
rakyatnya dengan membangun sekolah di sana-sini tetapi tidak
dipelihara dengan baik, kekurangan peralatan saja tidak bisa
mengantisipasi. Di samping kualitas guru seharusnya diperbaiki
kemampuan mengajarnya.108
Pembahasan tentang upaya yang harus dilakukan PGHB
berlanjut di artikel berjudul Pengadjaran Boemipoetra ada
Dalam Bahaja ditulis oleh SM. Artikel ini memotret kesulitan
guru-guru di kelas II yang mereka harus berhutang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, banyak juga dari mereka yang
mencari pekerjaan lain untuk menutupi kekurangan gaji yang ia
terima dari sekolah. Hal tersebut membuat para guru tidak fokus
untuk mengajar anak-anak muridnya, sehingga khawatir kualitas
pengajarannya menurun.
108
Sinar Djawa 7 Desember 1917
78
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka PGHB harus
menuntut pemerintah untuk menaikan uang belanja (duurte-
toeslag). Namun dalam hal ini Hoofdbestuur (Ketua) PGHB tidak
setuju karena, kalau uang belanjanya guru dinaikan maka kasihan
rakyat yang bayar pajak, pembangunan sekolah-sekolah akan
kekurangan uang dan menghambat jumlah pertumbuhan sekolah,
dan PGHB hanya berusaha untuk memperbaiki pengajaran.
pernyataan itu dibantah oleh 3 hal ini:109
a) Padjegnja ra jat mesti nommer satoe diperboeat
goena pengadjaran ra jat, tidak boet Werbaar. Boeat
Werbaar dalam tahoen 1917 dan 1918 sadja akan
dikeloearkan TAMBAH kira-kira 10 milijoen,
sedang boet onderwijs Boemipoetra dalam ini tempo
banjak-banjak ada tambah 2 a 3 milijoen. Goeroenja
soedah mengempeskan peroetnja dan kehilangan
sebagian dari ichtiarnja mempertinggikan
pengadjaran dengan tjepat. Dus…kita ra jat roegi
djoega.
b) Halnja tambahan sekolahan gampang didapat kalau
banjak sekali Boemipoetra jang ingin djadi goeroe,
hal jang mana bisa kedjadian dengan tjoekoepnja
belandja. Adapoen hal tambahnja sekolahan itoe
haroes diperloekan dan bolehlah ongkos Werbaar
dikoerangkan.
c) Kalau statuen P.G.H.B tida bisa meloeloeskan
gerakan minta tambahan belandja boeat dapatnja a
109
Sinar Djawa 8 Desember 1917
79
dan b, itoe aneh sekali. Kalau difikir a dan b ini
soenggoehlah gerakan tambahan belandja akan
menimboelkan ichtiar keras boeat: berichtiar
memperbaiki pengadjaran.
Dengan sikap hoofdbestuur PGHB yang seperti itu penulis
menghimbau para anggotanya tidak menerima begitu saja,
mereka harus menimbang pro dan kontranya. Diakhir artikel ini
penulis berseru seperti ini, ―boeat keperloeannja perabaikan dan
pertinggian pengadjaran kita soepaja djangan dapat bahaja, maka
kita berseroe: pegawai onderwijs! Bangoenlah!.
Pembangunan sekolah untuk Bumiputera perempuan terus
menjadi pembahasan dalam artikel-artikel Sinar Djawa, kali ini
artikelnya berjudul S.M.P. Koedoes, ditulis oleh Toerhorder.
Penulis ini menyampaikan bahwa President S.M.P., IR
Soemodirdjo berpendapat bahwa di zaman yang berubah ini
perempoen harus pula mendapatkan pendidikan sama dengan
laki-laki, namun dengan syarat mendapat pendidikan sebagai
seorang istri dan ibu yang tidak melupakan adat Jawa yang baik,
agar anak-anaknya kelak tetap mencintai budaya Jawa.
Soemodirdjo berkata seperti itu karena banyak orang-orang yang
sudah menjadi terpelajar lantas ia lupa dengan budaya Jawa dan
berubah menjadi seperti Londo110
. Ia pun mengajak orang-orang
untuk mendirikan sekolah perempuan di Kudus yang
mengajarkan keahlian menyulam, menjahit, membatik, dan
memasak.
110
Sebutan orang Jawa untuk orang Belanda
80
Di pihak yang lain H. M. Djajengwijoto, seorang guru HIS
menyumbangkan pendapatnya bahwa pada masa itu ada tiga cara
mendidik perempuan, pertama dipingit yaitu belajar di rumahnya
sendiri atau tidak boleh keluar, cara ini adalah cara klasik Jawa.
Kedua anak-anak perempuan disekolahkan supaya bisa melayani
suami dan anaknya dengan baik, ketiga anak perempuan dididik
seperti laki-laki agar nanti bisa mendapatkan pekerjaan dan hidup
mandiri. Ketiga cara itu seperti yang dikatakan pepatah kuno;
tetes, titis, dan tatas, ketiga cara itu baik dan buruknya atau salah
benarnya tergantung pada orang pada orang yang
menjalankannya. Dari tiga cara itu, pengurus S.M.P. menyetujui
cara yang kedua.
R. Wignjodisastro, seorang guru sekolah kelas II dalam
artikel ini juga mengemukakan pendapatnya. Baginya untuk
mendirikan sekolah khusus perempuan banyak menemukan
kesulitan, terutama dalam pembiayaan pembangunan sekolah.
Cara lainnya adalah dengan menggabungkan sekolah perempuan
dengan sekolah laki-laki, akan tetapi ada mata pelajaran yang
tidak bisa diikuti oleh keduanya secara bersamaan, yaitu soal
ilmu pengetahuan alam manusia (pen. biologi). Meskipun
mendapat tanggapan yang beragam President S.M.P. tetap akan
mengadakan sekolah perempuan dengan harus mengeluarkan
uang (schoolmaterialen) kira-kira f. 125, yang diminta jadi guru
pada sat itu adalah isteri R. Soekardi. Untuk gajihnya setiap bulan
adalah, jika jumlah muridnya 1-15 orang maka gajihnya f. 25, 16-
25 orang f. 30, 26-35 orang f. 35 dan ditambah ongkos perjalan f.
10. Setiap bulannya seorang murid harus membayar 2% dari
81
penghasilan orang tuanya, paling kecil f. 1 dan paling esar f. 7,50.
Waktu sekolahnya 3 kali dalam seminggu, mulai pukul 2 siang
sampai jam 4 sore.111
Onderwijs Boemipoetra dengan Kemadjoen Boemipoetra
adalah artikel yang terbit pada 15 Desember 1917, penulisnya
han a menulis nama samarann a aitu ―X‖. Dalam pembukaan
artikelnya penulis mengutip perkataan A. W. Adiwardojo dari
Jepara, ia berkata ―ja ni, bahwa Bahasa Ollandalah ada mendjadi
sendjata Boemipoetra goena menempoeh dan mentjapai
kemadjoean dari tanah Europa dan alat goena mentjahari belandja
jang besar‖.112
Pernyataan itu untuk menyikapi NIOG yang
memerintahkan Boemipoetra agar menggunakan bahasa
Bomipoetra sendiri, agar terangkat derajatnya bahasa. Hal itu
adalah siasat agar Boemipoetra tidak merasakan kemajuan
zamannya, karena umumnya sumber pengetahuan banyak
tersedia dalam bahasa Eropa, salah satunya bahasa Belanda.
Selanjutnya artikel ini mengajak Boemipoetra agar sadar
sebagai bangsa, apalagi setelah mendapat pendidikan Belanda.
Jangan sampai lupa asal-usul dan budaya Boemipoetra, karena
harus disadari mereka yang sudah lulus sekolah hanya akan
menjadi buruh atau budak dari kaum kapitalis. Gagasan penting
lainnya dalam artikel ini adalah tentang para pemimpin Sarekat
Islam yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah yang
hidupnya belum merdeka (kaum buruh) sehingga masih sering
mengikuti perkataan para kaum kapitalis. Padahal sebagai
111
Sinar Djawa 14 Desember 1917.
112
Sinar Djawa 15 Desember 1917.
82
organisasi terbesar di Hindia, SI harus benar-benar mewujudkan
tujuannya yang lima ini:
1. SI menolong kesengsaraan dan penindasan
2. SI berupaya memajukan sekolahan Boemipoetra
3. SI berupaya memajukan perdagangan
4. SI berupaya memajukan pertanian
5. SI berupaya untuk menegakan agama Islam
Untuk mewujudkan kelimanya maka, SI harus mempunyai
pemimpin yang setia dan mengetahui kewajibannya, mengetahui
kebutuhan Bumiputera serta tidak menjadi perkakasnya kapitalis.
Artikel terakhir tentang pendidikan di tahun 1917 ditulis oleh
Achmad Basar, berjudul Pendidikan dan Pengajaran, intisari dari
artikel ini adalah bahwa pendidikan atau sekolahan-sekolahan
yang dibangun di Hindia hanya mengejar kemampuan otak saja
dengan mengenyampingkan budaya dan agama yang sudah ada
sejak lama. Berbeda dengan negara maju seperti Jepang, alhasil
lulusannya tidak lagi meghargai budaya nenek moyangnya.
―kemoedian berseroelah saja: djanganlah menghina bangsa dan
agamamoe, hal bangsa kita! Insjaflah!‖.113
2) Artikel Politik
Artikel selanjutnya yang dibicarakan dalam Sinar Djawa
adalah artikel politik, artikel ini termasuk yang paling banyak
ditulis. Seperti telah disinggung di bab sebelumnya bahwa dua
dekade awal abad ke-20 adalah zaman bergerak seperti apa yang
113
Sinar Djawa 21 Desember 1917.
83
dikatakan oleh Takashi Shiraishi. Pada masa inilah imperealisme
Belanda mendapatkan perlawanan yang sangat sengit, baik
dengan cara yang kooperatif ataupun nonkooperatif. Bangkitnya
Nasionalisme Bumiputera adalah faktor terkuat yang
menyebabkan hal itu. Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa
manifesto politik Perhimpunan Indonesia (Indiseche Vereeniging)
1908 di Belanda-lah yang menjadi cikal bakal meluasnya
Nasionalisme Bumiputera di Hindia Belanda, tiga poin penting
dari manifesto politik itu adalah, kebebasan (kemerdekaan),
kesatuan, dan persamaan. Masih menurut Sartono, pengaruh
nasionalisme berasal dari; kemenangan Jepang atas Rusia 1905,
Revolusi Cina 1907, gerakan Turki Muda, gerakan nasional di
India dan Filipina. 114
Perlawanan Bumiputera terhadap kolonial Belanda sangat
terbantu dengan adanya media cetak seperti Sinar Djawa ini. Para
penulis dari berbagai latar belakang menyuarakan aspirasinya,
meski kadang cara yang dilakukannya berbeda. Secara sepintas
arah tulisan itu bisa diketahui dari perkataan yang selalu diulang-
ulang dalam berbagai artikel, seperti ini: Persatoean, pergerakan
rakyat, Hindia boeat orang Hindia, revolutie, evolutie, sama rata
sama rasa, kemadjoean Boemipoetra, menjoengjoeng rakyat,
rechtpersoon (hak individu), berani karena benar, zelfbestuur
(pemerintahan sendiri), kemerdekaan dunia,dan persamaan
nasib. Jadi apa yang dikatakan oleh Sartono tentang manifesto
politik Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) dalam hal
ini sangat terwakili. Untuk mendapat gambaran yang utuh tentang
114
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru II
84
artikel politik yang berkembang di Sinar Djawa selanjutnya akan
diuraikan.
Pertama terbit artikel berjudul Voorstel (proposal), ditulis M.
O. Bok Soerjo. Dalam tulisannya penulis menyampaikan
keinginannya untuk membuat 5 patung (Standbeeld) dari pendiri
3 organisasi yang berbeda, karena dianggap sebagai motor
gerakan awal organisasi Bumiputera yang memberikan pengaruh
besar. Orang-orangnya adalah, Dr. Raden Seotomo sebagai
pendiri Boedi Oetomo (BO) di Batavia, Raden Tohar, Mas
Soerohamiprodjo, dan Atmodirono pendiri Mangoenhardjo di
Semarang, dan Haji Samanhoedi sebagai pendiri Sarekat Islam di
Solo. Dalam artikel ini penulis menyarankan membuat panitia
untuk mengumpulkan uang agar bisa membuat patung-patung
kelima orang tersebut. Patung-patung itu akan ditempatkan di
Batavia, Semarang, dan Surabaya.115
Selanjutnya seorang pegawai penggadaian di Poncol,
bernama Soegeng, mengirimkan tulisan yang berisi kronologi
kejadian dipermasalahkannya penggunaan bahasa Melayu oleh
atasanya yaitu, Tuan Ch. A. van Reedem Adm. Bermula saat
Soegeng masuk kerja pada 25 Juli 1917, ia baru saja selesai cuti.
Judul artikelnya adalah, Peperiksa’an dari Mas Soegeng
Hoofdkassier Pandhuis Depok jang Telah Dioesir Lantaran
Memakai Bahasa Melajoe.116
Begini dialog yang ditampilkan
Sinar Djawa:
Van Reedem: ono opo kowe?
115
Sinar Djawa 1 Agustus 1917 116
Sinar Djawa 3 Agustus 1917
85
Soegeng: akan mengatoerkan hamba poenja dienstboek
Van Reedem: akoe hora gelem brobah pengantoerankoe, dadi
misti anggo temboeng Djowo, lan akoe hora gelem tompo
Soegeng: habis bagaimana hamba peonja dienstboek? Dan
hamba moesti kembali di pandhuis Depok apa poelang?
Van Redem: Sepatah poen tiada mendjawab dan pergi kelihatan
tiada senangnja ketemoe pada saja poenja moeka. Sekoenjong-
koenjoeng satu beambte bilang pada saja begini: Pandjenengan
dawoehidoen bendoro toean poerih wangsoel kemawon sebab
bendoro toean boten poeroen nampi!
Soegeng: hinggih!.
Setelah kejadian itu Soegeng dipanggil oleh Inspektur ke
rumahnya Kontrolir di Jalan Bojong, Semarang, pada hari Sabtu
28 Juli 1917, pukul 09.30. Soegeng membawa istri dan anaknya
yang berusia 3 tahun dalam pemeriksaan ini. Inspektur
melontarkan beberapa pertanyaan yang menjurus pada pertanyaan
―kenapa anda menggunakan bahasa Mela u saat bertemu dengan
Tuan Ch. A. van Reedem Adm, padahal seharusnya
menggunakan bahasa Jawa kromo? Soegeng pun mengajukan
beberapa alasan diantaranya, dia baru pertama kali bertemu
dengan tuan van Redeem jadi belum tahu aturan yang harus
ditaatinnya, lalu menurutnya akan lebih baik jika para petinggi-
petinggi mengutip dan mengumumkan kepada kepala bagian
(chef) tentang peraturan no. 2014 yang menjelaskan tidak ada
bangsa selain, indies, Eropa, dan China di Hindia. Sehingga tidak
ada lagi kesalahan sama yang akan terulang.
86
Soegeng juga memohon pada inspektur untuk mengambil
keputusan yang adil sesuai dengan aturan yang berlaku.
―Hamba djoega akan hoendjoek periksa, dan hamba moehoen
djoega kangdjeng toean sampai mempihak pada T. Adm. Dan
djangan sampai mempihak pada hamba melainkan hamba
moehoen jang djatoeh adil, hamba poenja atoeran moehon
diperiksa djoega‖.117
Pemeriksaan berakhir pada pukul 10 lebih, inspektur itu
nampaknya memperlakukan Soegeng dengan baik, saat hendak
pulang dipanggillah pedati untuk menghantarkan Soegeng, istri,
dan anaknya pulang.
Belanjut pada artikel berjudul Toean-toean Besar dan
Deputie Indie Weerbaar Sama Angkat Bitjara. Artikel yang
ditulis sendiri oleh Hoofdredacteur ini gagasan utamanya adalah,
ajakan kepada Bumiputera yang berakal untuk mengumpulkan
kekuatan atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda untuk
mendirikan pemerintah sendiri (zelfbestuur) dengan mengatur
anggaran belanjanya sendiri. Begini bunyinya salah satu paragraf
yang terkesan memberikan satu mandat untuk mendirikan
zelfbestuur;
―Lantaran adan a evolutie Pemerintah Agoeng pertjaja, akan
memberi hak kepada Boemipoetra, soeatoe hak akan toeroet
memikirkan dan merasakan, bagaimana baiknja tanah Hindia
Belanda diperintah dan diatoer; telah lamalah di tanah
Djawa soedah ada pemerintah sendiri (zelfbestuur) ja ni di
desa; bersama-sama itoe maka hal pemerintahan sendiri
(zelfbestuur) pada pihak Bumiputera lainnja (jang lebih
tinggi dari pada desa) akan dibangoenkan‖.118
117
Sinar Djawa 4 Agustuts 1917 118
Sinar Djawa 4 Agustuts 1917
87
Bestuur decentralisatie (pemerintah desentralisasi) sesuai
dengan aturannya desentralisasi keuangan (financieele
decentralisatie) akan memberikan izin untuk menggunakan nama
sendiri dan berhutang atas namanya sendiri. Untuk mewujudkan
tujuan itu perlu kerjasama yang baik antara Bumiputera dengan
orang Belanda dan nantinya harus dipimpin oleh orang-orang
yang berpendidikan.
Masih berhubungan dengan rancana untuk membuat sistem
pemerintahan sendiri (zelfbestuur), Diwan Ra’iat (Volksraad).
Artikel ini dikutip oleh Sinar Djawa dari surat kabar Neratja,
berisikan tentang prosedur pemilihan anggota (lid-lid) volksraad.
Jumlah anggota disesuaikan oleh aturan yang berlaku (pasal-pasal
baru R.R.). Jumlah anggota volksraad sedikitnya ada 39 anggota.
Sesuai dengan aturan itu 19 orang diangkat Gubernur Jenderal, 5
orang Bumiputera dan 14 bangsa Eropa dan Timur Asing. Namun
apabila mengikuti pasal 68 b R.R. (Locale Raden) alinea 2 maka
anggota Dewan Rakyat itu adalah, 10 orang Bumiputera dan 9
orang bangsa Eropa dan Timur Asing.
Pemilihan atas bangsa Eropa dan Timur Asing dilaksanakan
terpisah. Pemilihan pertama dilaksanakan pada hari selasa di
minggu ketiga bulan November 1917. Petugas pelaksana
pemilihan ini adalah 5 orang anggota dengan 3 wakilnya yang
diangkat oleh Gubernur Jenderal dengan masa jabatan selama 3
tahun, mereka ditempatkan di kantor pemungutan suara
(Stemkantoor) di Batavia.
Di masing-masing karesidenan sudah ada dewan-dewan yang
ditetapkan juga sebagai pelaksana di daerah dengan kantor yang
88
dibuka dari pukul 8 pagi sampai 4 sore. Dewan-dewan di daerah
ini bertugas membuka pendaftaran dan memungut suara. Adapun
persyaratan untuk menjadi kandidat dewan rakyat adalah, dalam
formulir pendaftaran itu haru diisi biodata diri dan ditandangi
oleh sedikitnya 10 orang pendukung. Untuk memasukan formulir
atau surat suara itu ke dalam kotak suara dilakukan oleh satu
orang yang menandatangani atau bisa lebih dari satu orang dan
boleh juga kandidat tersebut ikut. Setelah masa pengumpulan
suara selesai maka kotak suara disegel, bagian luarnya diberi
tanda tangan dan diberi keterangan jumlah surat suara yang ada
di dalamnya. setelah itu dikirim ke kantor pemungutan suara
(stemkantoor) di Batavia, dan tentang pengiriman itupun harus
disertai telegram ke Ketua stemkantoor di Batavia. Sesampainya
di Batavia, ketua mengumumkannya dalam koran Javasche
Courant.
Surat suara yang sudah masuk ke stemkantoor akan
diverifikasi, jika dalam surat tersebut tidak ditandatangani oleh
paling sedikit 10 orang pendukung maka dinyatakan tidak lolos.
Berkas yang lolos nama-namanya akan disusun secara alfabetis.
Tujuh hari sebelum pemilihan para pendukung yang ada daerah
dipanggil untuk ke Batavia untuk memilih kepala dewan rakyat
lokal.
Kemudian para wakil daerah tersebut memilih para calon atau
kandidat dengan surat suara yang sudah tersedia, berikut ilustrasi
surat suaranya:
89
Tabel 5.3 Ilustrasi surat suara
No Nama Dewan Pilihan diurutkan sesuai pilihan
prioritas
1 Soegeng Atmodjo
Soegeng 2 Atmodjo
Setelah selesai pemungutan suara, maka pada hari selanjutnya
stemkantoor melakukan persidangan dan penetapan hasil
pemilihan. Adapun surat suara yang tidak sah, dijelaskan sebagai
berikut;
Dan lagi jang terpandang sebagai soerat pilihan (Stembriven)
jang tidak berharga ialah:119
a. Jang tiada ada satoe soera (pilihan) poen, pada salah staoe
candidaat-candidaat jang terseboet di dalamnja.
b. Jang berisi pertoendjoekan apa-apa hingga ketahoean
nama kiezer itoe.
c. Jang tiada pakai tjap.
Satu surat suara hanya berlaku untuk satu kandidat, setelah
ada hasilnya, petugas langsung membuat pemberitahuan pada
pihak terkait. Tiga hari setelah menerima pemberitahuan itu,
pihak terkait yang terpilih harus memberikan pemberitahuan
balasan. Mereka yang menerima surat pemberitahuan atas
keterpilihannya sebagai dewan rakyat, diberi waktu 4 minggu
untuk memantapkan diri, atau dengan kata lain menerima atau
menolak keputusan tersebut. Jika ada orang yang menolak hasil
keputusan itu, Ketua Stemkantoor menunjuk orang lain yang
119
Sinar Djawa 10 Agustus 1917
90
terpilih untuk mengisi tempat tersebut. Orang-orang yang terpilih
harus membuat surat keterangan, sebagai berikut120
:
a. Djika dia seoarang bangsa Eropa: satoe toeroenan register
kelahiran atau djka ini tida ada satoe acie van bekendheid
(kebenaran), jang diberi oleh Hoofd van plaatselijk
Bestuur, jang menjatakan hari dan tempat kelahirannja.
b. Djika ia seorang bangsa Boemipoetra atau Timoer Asing:
Satoe keterangan dari Hoofd van Plaatselijk Bestuur, jang
menjatakan seolah-olah djadi kesaksian, bahwa orang
jang dipilih itoe sampai pada hari pilih itoe sampai pada
hari pilihan itoe, soedah tjoekoep ber oemoer 25 tahoen.
c. Djika ia boekan orang pegawai negeri: Satoe keterangan
dari Hoofd Gewestelijk Bestuur, jang seolah-olah djadi
kesaksian, bahwa pada hari waktoe dipilih itoe, betoel
djadi pendoedoek di Hindia Belanda.
d. Djika ia boekan seorang bangsa Belanda: Satoe
keterangan dari Hoofd van gewestelijk Bestuur, jang
seolah-olah djadi kesaksian, bahwa pada hari waktoe ia
dipilih, itoe masih djadi ra iat Nederland.
Dalam persidangan pertama dewan rakyat dan setelah
terpilihnya para anggota-anggota dewan yang baru, voorzitter lalu
mengangkat panitia dari anggota dewan yang lama untuk
memeriksa surat pernyataan dari anggota-anggota dewan yang
baru. Adapun kewajiban dari voorzitter adalah memimpin dan
mengatur pekerjaan dari anggota dewan, menjaga ketertiban
dalam hal bermusyawarah, menjaga berlakunya peraturan,
120
Sinar Djawa 11 Agustus 1917
91
memberi kesempatan pada anggota dewan untuk berbicara, dan
menjalankan aturan yang telah disepakati.
Etika dalam persidangan, seorang voorzitter hanya boleh
memberhentikan persidangan apabila dirasa perlu untuk
memberikan pengetahuan pokok tentang suatu hukum. Ketika
menyampaikannya pun seorang voorzitter harus meninggalkan
kursinya terlebih dahulu. Apabila voorzitter tidak bisa hadir
dalam sebuah persidangan, maka ia diwakili oleh salah satu
wakilnya, jika tidak bisa juga maka akan diwakili oleh salah
seorang anggota dewan dari bangsa Eropa yang paling tua.
Dalam persidangan, peserta sidang diperbolehkan bicara
apabila voorzitter memberikan izin bicara. Jika ada peserta yang
menyimpang pembicaraannya dari masalah yang sedang
dipersidangan voorzitter berhak mengarahkan kembali
pembicaraan ke pokok pembicaraan. Selain itu jika ada peserta
yang berlaku tidak baik maka voorzitter berhak untuk tidak
memberikannya kesempatan bicara. Voorzitter juga berhak
memberhentikan sementara sidang jika kondisi persidangan
sudah tidak kondusif, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan.
Dewan rakyat (Volksraad) juga bertugas mengatur undang-
undang anggaran belanja. Dalam tahapan pembuatan undang-
undang anggaran belanja yang harus dibicarakan terlebih dahulu
adalah hal-hal pokok atau maksud yang ingin dicapai oleh
undang-undang tersebut. Setelah itu baru membicarakan pasal-
pasal yang bersangkutan. Lain halnya jika ingin melakukan
amandemen undang-undang. Amandemen undang-undang bisa
dilakukan jika tiga anggota dewan mengajukan permohonan
92
voorzitter, setelah itu dicetak dan dibagikan kepada semua
anggota dewan untuk dibicarakan dalam persidangan.
Dalam persidangan itu Gubernur Jenderal dan yang diutusnya
juga turut serta mengawasi. Para anggota dewan hanya boleh
memberikan keputusan ―i a‖ atau ―tidak‖ terhadap rancangan
undang-undang itu, tidak boleh ditambahi apapun. Voorzitter
kemudian mengangkat satu kepanitian dari kemudian
mengangkat satu kepanitian terdiri dari tiga orang anggota dewan
yang bertugas untuk memeriksa surat pernyataan persetujuan atau
penolakan terhadap undang-undang yang akan diamandemen.
Sederhananya saat melakukan amandemen dalam volksraad
dilakukan pemungutan suara.121
Namun kelompok gerakan kiri
menolak volksraad karena yang berhak memilih adalah orang-
orang yang berpenghasilan f 50/bln dan yang bisa berbahasa
Belanda yang jumlah semuanya cuma ada 1% dari jumlah
Bumiputera. Volksraad dianggap sebagai comidie yang tidak
berpihak pada Bumiputera, maka diharapkan Bumiputera
bergerak untuk mengubah aturannya.
Rencana pembetukan volksraad nampaknya tidak sejalan
dengan realita di lapangan, di mana ketimpangan dan ketidak
adilan masih terjadi di Hindia. Di Jambi pemberontakan
Bumiputera terhadap pemerintah terjadi karena kesewenang-
wenangan dan penindasan. Mereka yang dianggap memberontak
kemudian dijatuhkan hukuman oleh pemerintah. Permohonan
grasi pun diajukan agar hukumannya dikurangi, peristiwa ini
121
Sinar Djawa 13 Agustus 1917
93
dicatat dalam artikel berjudul Permohonan Grasi Boeat Orang-
orang Djambi.122
Selanjutnya artikel berjudul Sarekat Islam dan S.D.A.P.
ditulis oleh Kepala Redaktur sendiri. Gagasan utama dari tulisan
ini adalah mengenai pendirian atau sikap dari Abdoel Moeis yang
ingin Indiewerbaar (milisi Bumiputera) tetap diterapkan di Hindia
agar kemajuan pendidikan, ekonomi, dan keamanan terjamin.
"Djikalau mengingat hal ini maka Indiewerbaar
sesoengoehnja djadi kepentingan kita. Soedah tentoe sahadja
tida memandang halnja kapitalisme. Djikalau Hindia jang
masih haroes mempoenjai penoentoen, diserang oleh
keradjaan lain, soedah barang tentoe anak Hindia haroes
melindoengi Hindia itoe, sebab mereka haroes melindoengi
tanah airnja sendiri".123
Dengan kata lain Abdoel Moeis sedang melakukan politik
kooperatif, ia tidak menyukai propaganda Sneevliet yang terlalu
keras di Hindia. Baginya kondisi politik di Belanda sangat
berbeda dengan yang ada di Hindia, menurutnya bangsa Belanda
adalah bangsa yang mampu menjalankan pemerintahannya
sendiri, sedangkan orang-orang di Hindia belumlah mengerti apa-
apa tentang politik. Jadi apabila Hindia melepaskan diri dari
Belanda saat datang bangsa lain yang lebih besar dan tangguh
maka rakyat Hindia belum bisa menghadapinya. Bagi Abdoel
Moeis Indie Werbaar adalah cara untuk mempertahankan diri dari
ancaman bangsa-bangsa lain. Selain itu Moeis sebagai anggota
Sarekat Islam tidak segan-segan melawan SDAP jika memang
merintangi jalannya untuk mewujudkan Indiewerbaar di Hindia.
122
Sinar Djawa 17 Agustus 1917 123
Sinar Djawa 23 Agustus 1917
94
Sebelumnya pada 31 Mei 1917, telah diadakan suatu rapat
Sebelumnya oleh SDAP di Amsterdam dengan mendatangkan 2
orang anggota dari Indiewerbaar, Soewardi Soerianingrat, dan
seorang anggota dari majelis Tweede-Kamer sekaligus kelompok
Sosial demokrat, yaitu Tuan Mr. Mendels. Wakil Ketua (Vice
Voorzitter) Bern van Praag membuka rapat, dalam pembukaanya
ia mengatakan bahwa pergerakan rakyat di Hindia banyak
menarik pikiran rakyat dan pers di Belanda. Karena hal itulah
SDAP mengundang pemimpin pergerakan yang ada di Belanda
untuk menjelaskan pokok haluan pergerakan rakyat di Hindia.
Di hari berikutnya terbit artikel dengan judul yang sama
berisikan tentang sanggahan terhadap pernyataan dan sikapnya
Abdoel Moeis. Sanggahan itu dilayangkan oleh Mr. Mendels
tokoh sosial demokrat Belanda. Mendels berpendapat bahwa
Indiewerbaar adalah politik yang akan menjerat Bumiputera
dengan alasan pekerjaannya Bumiputera sudah berat ditambah
berat lagi.
"Ini politiek menjerot pada kita ke dalam oelekan haloean
imperialisme dari imperialisme lain, pada politiek mana kita
akan terjeroemoes, bila kita bisa memperlindoengi kita pada
penjerangan keradja'an Jang mengantjam pada Hindia. Maka
oleh karena itoe di dalam madjelis Tweede-Kamer Kamer
orangpoen tida moefakat pada halnja memboeat tegoeh
tanah Hindia, sebab kita tida mengharap, bahwa rakyat
Boemipoetra jang senantiasa mendapat godaan padjek
boemi, dan tindasan, di soeroeh bekerdja berat lagi goenanja
imperialisme".124
Kemudian dibantah lagi oleh Moeis, tidak 99% Sarekat Islam
menolak Indiewerbaar, dari 120 afdeling (cabang) di Jawa hanya
124
Sinar Djawa 24 Agustus 1917
95
3 afdeling yang menolak, karena keputusannya baru akan diambil
pada 30 Agustus.
Artikel bernada perlawanan Bumiputera terhadap pemerintah
terbit yang ditulis oleh R. Moeljadi, dengan judul Barang Siapa
Tertindas Timboellah Keberaniannya. Si penulis ingin
menyampaikan bahwa untuk memajukan rakyat terutama kaum
buruh dari perlakuan pemerintah yang tidak adil dan kaum
kapitalis yang menindas maka perlu ada kerja sama rata, sama
rasa. Rakyat bukan benci kepada pemerintah, tapi kepada
kelakuannya yang jahat, rakyat akan berubah sikapnya jika
pemerintah berlaku adil dan benar-benar menjalankan
pemerintahan dengan demokratis. Penulis berpendapat juga
bahwa di dunia ini tidak ada kelakuan curang atau jahat yang di
lakukan oleh pihak rakyat, kejahatan atau kecurangan datangnya
dari pemerintah. Sehingga muncul sikap perlawanan dari rakyat
kepada pemerintah sebagai bentuk perlindungan diri. Mereka
yang melakukan perlawananpun adalah orang-orang terpelajar
yang sadar pada hak-haknya sebagai sebuah bangsa. Kesadaran
itu kemudian tersalurkan dalam berbagai bentuk persekutuan,
perkumpulan, atau organisasi.
Perlawanan juga dilakukan oleh sekumpulan orang Tionghoa
yang tergabung dalam organisasi bernama Tionghoa Ing Grap
Hwe. Organisasi ini melakukan rapat terbuka (openbare
vergadering) di Semarang untuk menuntut kesewenang-
wenangan yang dilakukan oleh polisi pengawas (politie opziener)
96
terhadap Toean Kian Seng di Surabaya.125
Rapat terbuka ini
dipimpin oleh Presiden Tionghoa Ing Grap Hwe, Tan Koel Kok.
Ia menyampaikan pidato dalam acara ini, berikut kutipan
pidatonya:
― aja kepalakan ini vergadering perloenja kasih tahoe
kepada sekalian toen-toean dari perkara toean The Kian
Seng di Soerabaja, satoe orang jang terhormat dan jang
banjak bikin kebaikan boeat kita orang Tionghoa di
Soerabaja, toean-toean semoea soedah tahoe terang jang
baroe-baroe ini , ia soedah dibikin maloe oleh satoe politie
opziener jang tidak sopan, dengan zonder salah apa-apa, ia
soedah diborgol tangannja dan ia soedah dapat lain-lain
kekasaran‖.
Dalam rapat terbuka tersebut, siapa saja dipersilahkan
berbicara asalkan tidak melanggar sopan santun. Toean Hjo Joe
Tek dari Solo angkat bicara, ia menyampaikan bahwa orang
Tioghoa adalah bangsa Asia yang tidak harus mengikuti tradisi
Eropa,
―saja perloe akan boeka sedikit pikiran jang ada pada
saja bangsa Tionghoa, setjara bangsa Azia, sebetoelnja
jangan terlaloe terboeroe akan tiroe adat Europa. Kalau
bangsa Tionghoa pada masa ini soedah bisa tiroe
djoega, itoe saja tida moefakat, sebetoelnja adatnja
bangsa kita sendiri masih bagoes dari pada bangsa jang
diboeroe itoe…..‖
Pernyataan dari Toean Hjo Joe, kemudian diklarifikasi oleh
Toean Tan Kok Tjing salah satu pengurus dari Tionghoa Ing Giap
Hwe.
―Baroesan apa jang toean Njo Joe Tek soedah bitjara itoe,
sebetoelnja djoega itoe omongan jang sekali-kali memang
boekan jang dimaksoedakan dalam ini vergadering, apa
125
Sinar Djawa 28 Agustus 1917
97
poela ia mengatakan kalau adat bangsa Eropa itoe tida sopan
dan koerang tjotjok boeat bangsa Tionghoa akan tiroe, itoe
perkara adat dan lain perkata an jang toean Njo telah kata
itoe, tidak masoek dalam ini maksoed vergadering, hanja apa
yang mau kita bitjarakan ini, lain tida dari perkaranja toean
he Kian eng di oerabaja…..‖.
Liem Kheim Siang menyampaikan pula pendapatnya pada rapat
ini, ia hanya mengingatkan kembali bahwa tujuan dari rapat ini
adalah memohon kebaikan kepad Gubernur Jenderal untuk
memperlakukan bangsa Tionghoa dengan adil. Dalam rapat ini
dibuat mosi untuk dikirim ke Surabaya dan dibacakan oleh
Sekretaris Tionghoa Ing Giap Hwee, Goh Siang Aan.
Gambar 5.2 Mosi Tionghoa Ing Giap Hwee (sumber: Sinar
Djawa 28 Agustus 1917)
Artikel selanjutnya berjudul Neraka dan Soerga, ditulis oleh
Achmad Basar tertanggal 30 Agustus 1917. Dalam artikel ini
penulis ingin menyampaikan bahwa Bumiputera yang bekerja di
perusahaan sering mendapat perlakuan yang tidak adil oleh
atasannya. Atasan yang notabene orang kulit putih (Eropa)
menurutnya adalah orang yang gila hormat, memperlakukan
bawahannya seperti binatang, misalnya menyuruh sembah
jongkok seperti kodok, penulis mengumpamakan perlakuan itu
seperti neraka.
98
Tidak hanya itu, priyai yang bekerja di Pekalongan Barat
merasakan perlakuan yang sama yang diibaratkan neraka. Penulis
menyeru kepada pemuda-pemuda yang punya rasa cinta kepada
bangsanya untuk mengajak banyak orang menjadi manusia yang
tercerahkan, dan di paragraf terakhir menyeru kepada semuanya
seperti ini;
―Wahai, saudara-saudara kita! Djanganlah kamoe takoet
akan sesoeatoe manoesia jang hendak mengindjak-indjak
kita. Tampakanlah keberanianmoe! Berani itoe sifat jang
djangan sampai terlepas dari dirimoe! Tetapi djanganlah
berani terlepas dari ada sopan! Meskipoen hingga sampai ke
tiang penggantoengan, djangan kamoe getarkan! Berani
dengan adat sopan, ertinja dengan benarnja, masakan orang
akan berboeat djelek pada siapa jang melakoekan‖.126
Dunia pergerakan Hindia yang semakin masif, menarik
perhatian tokoh-tokoh pergerakan di Belanda, hal itu terlihat dari
artikel berjudul Soeara dari Tanah Belanda, ditulis oleh N.
pijkman. Begini bun i paragraph pertaman a ―Moelai dari
sekarang hendak kami rentjanakan dalam soerat kabar ini
bertoeroet-toeoret kabar-kabar jang besar-besar dari negeri
Belanda tentang tanah Hindia dan keada an Boemipoetra‖.127
Kemudian artikel ini mendeskripsikan 2 kelompok besar
pergerakan yang ada di Belanda, yaitu kelompok kiri dan
kelompok kanan. Awal mula nama kelompok itu berasal dari
kursi yang mereka duduki saat sidang di parlemen. Kelompok kiri
duduk di sebelah kiri Voorzitter parlemen, dan kelompok kanan
di sebelah kanannya.
126
Sinar Djawa 30 Agustus 1917 127
Sinar Djawa 15 September 1917
99
Kelompok yang termasuk kelompok kiri, di antaranya SDAP
(Sociaal Demokratisch Arbeiders Partij), Vrijzinnig Democraat,
Vrijzinnig Liberaal, dan Liberale Unie. Sedangkan kelompok
kanan, yaitu Antirevolutionnair, Nationaal atau Christelijk
Historie dan kaum Roemsch Katholiek. Ideologi sekaligus arah
gerakan dari SADP adalah menginginkan modal dan alat
produksi tidak dipegang hanya oleh segelintir orang melainkan
menjadi milik bersama, kelompok ini sangat membela golongan
buruh. Kelompok Vrijzinnig Democraat menghendaki kekuasaan
ada di tangan rakyat, setiap orang memiliki kebebasan dalam hal
politik dan ekonomi yang tidak boleh dicampuri oleh
pemerintahan.
Kelompok ini memperjuangkan persamaan ha antar semua
bangsa. Selanjutnya kelompok Liberale Unie, mereka
menginginkan kemajuan dengan cara perlahan (evolusi), mereka
bersepakat jika undang-undang yang dibuat pemerintah bisa
memajukan rakyat, namun dalam hal ekonomi pemerintah tidak
boleh campur tangan terlalu banyak.
Berbeda halnya dengan kelompok kiri yang menginginkan
kehidupan rakyat harus lebih baik dan kekuasaan ada di tangan
rakyat. Kelompok kanan tidak menghendaki itu, misalkan
kelompok Antirevolutionnair berpendapat bawa kekuasaan wajib
ada di tangan raja karena raja adalah perantara kekuasaan Tuhan,
bagi mereka raja memerintah atas nama Tuhan. Kelompok
Roomsch-Katholiek berpendapat bahwa pemerintahan harus
berdasarkan pada ajaran Nasrani, mereka tidak mengakui bahwa
antara pemodal dan buruh bertentangan. Tapi mereka juga
100
membenarkan kalau rakyat miskin harus dilindungi. Mengenai
negeri jajahan, kedua kelompok ini berpendapat bahwa di negeri
jajahan harus juga dikembangkan agama Nasrani dan dilindungi
oleh pemerintah.
Dalam artikel ini, ketua dari Indische Commisie, Faubel
mengatakan bahwa perkumpulan indo (Indische Bond) di Hindia
seperti, Insulinde dan Indische Partij memberikan dampak besar
terhadap gerakan politik Bumiputera di Hindia. Perkumpulan di
Hindia kebanyak menghendaki kekuasaan ada di tangan rakyat.
Secara garis besar perkumpulan di Hindia itu terbagi menjadi tiga
kelompok besar, yakni kelompok agama, sosialis, dan demokrat.
Organisasi Bumiputera yang ada di Hindia misalnya, Sarekat
Islam yang didirkan menurut artikel ini bertujuan untuk
membangun ekonomi yang mampu memperbaiki kehidupan
rakyat kecil, adapun yang mengikat anggota-anggotanya adalah
agama Islam. Selain itu ada juga Boedi Oetmo yang didirikan
oleh Dr. Sutomo. Adapun gerakan-gerakan politik yang ada di
Hindia harus ditunjang oleh pendidikan yang baik dan pemerintah
seharusnya mendukung semua pergerakan yang ditujukan untuk
rakyat kecil.
Politik pergerakan Bumiputera juga merambah ke sektor
pekerja swasta, Sinar Djawa menerbitkan artikel yang
membicarakan kondisi organisasi pegawai swasta yang tidak bisa
tegak dan bergerak bebas karena masih dikendalikan oleh
matschappij atau perusahaan dan belum bersatu karena masing-
masing punya organisasi. Pegawai swasta harusnya bersatu agar
bisa tegak dan bergerak leluasa. Penulis mengajukan saran agar
101
membuat permohonan kepada pemerintah agar bisa mendirikan
organisasi pegawai swasta dengan nama Particuliere Bond Van
Nederlandsch. Atikel ini berjudul Sedikit Pertimbangan, ditulis
oleh R.M. dan Co Tjepoer.128
Karena harus diketahui pemerintah
baru pada tahun 1919 mengizinkan kegiatan politik
penggorganisasian massa, itupun masih dalam pengawasan yang
ketat agar tidak mengganggu ―ketentraman dan ketertiban‖ (rust
en orde).129
Sinar Djawa 18-20 September 1917 di halaman muka
mewartkan dinamika rapat umum anggota (algemeen
ledenvergadering) Sarekat Islam Semarang yang mengajukan
berbagai tuntutan seperti pendidikan, politik, ekonomi, dan
pekerjaan kepada Pengurus Pusat (Centraal Bestuur) agar
menyampaikan tuntutan itu kepada pemerintah. Dalam bidang
pendidikan tuntutannya pemerintah harus membolehkan orang-
orang kampung untuk masuk HIS (Hollandsch-Inlandsche
School) tanpa pandang asal, pangkat, atau kekayaan orang
tuanya. Selain itu pemerintah juga harus menambah beberapa
Sekolah Guru (Kweekschool) dan Sekolah Guru Lanjutan
(Hoogere Kweekschool) untuk perempuan Bumiputera untuk
memenuhi kekurangan guru di Hindia.
Tuntutan dalam bidang politik adalah Central Sarekat Islam
(CSI) harus bekerjasama dengan Komite Pergerakan (Comitte
voor bewegingsvrijheld) di Semarang agar peraturan-peraturan
yang melarang perkumpulan itu dihapuskan. Di samping itu
128
Sinar Djawa 17 September 1917 129
John Ingleson, Buruh, Serikat, Dan Politik: Indonesia Pada 1920-
1930an (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), 28.
102
pembentukan Indie Weerbar harus diputuskan oleh Wakil Hindia
dan merekapun yang harus membuat undang-undang terkait Indie
Weerbar untuk menjaga negeri.
Selanjutnya CSI harus meminta kepada pemerintah untuk
merobah peraturan tentang pemerintahan desa, dengan bunyi
sebagai berikut:
a. Soeatoe bestuur dessa boeat saban 5 tahoen ganti jang
terdiri atas sedikitnja 5 orang, semoenja terpilih oleh
pendoedoek dessa sendiri. Salah satoe jang dipilih itoe
haroes djadi voorzitternja (tjarik) dalm vergadering itoe
bestuur serta satoe djadi djoeroetoelis. Vergadering haroes
terboeka boeat semoea pendoedoek dessa (openbaar).
Adapoen itoe bestuur haroes mengoeroes dan mengatoer
boeat kebaikannja dessa dan berdaja oepaja boeat
menambahi penghidoepannja rajat dessa dengan stem jang
terbanjak. Sekolahn dessa dan lain-lain perkara dessa
haroeslah ada dalam pengaroehnja ini bestuur.
b. Soeatoe ambtenaar atau beambte Gouvernement tida
boleh dipilih djadi lid bestuur dessa dengan pembantoenja
kalau perloe jang wadjib menariki padjag Gouvernement,
mendjalankan perkara politie dan poenja kekoeasaan
mendjalankan wet-wet negeri serta perdjanjian-
perdjanjian dessa atau atoeran dessa jang diadakan oleh
bestuur dessa, ini ambtenaar atau beambte ada di
bawahnja bestuur dessa dan tida boleh toeroet
berpengaroeh dalam oeroesan dessa, seperti bikin djalan
103
dessa, membagi sawah gogol geblakan, menjewakan
tanah dsb.
Peraturan tersebut harus diterapkan karena banyak kasus
kepala desa yang bertingkah seperti raja berlaku sewenang-
wenang terhadap penduduk desa. Contoh dari kesewenang-
wenangan mereka di antaranya, menyewakan tanah miliki
penduduk pada pengusaha swasta, memberikan pekerjaan yang
berat kepada penduduk untuk kepentingan kepala desa, dan
memfitnah penduduk. Atas dasar itulah kekuasaan kepala desa
harus dikurangi dan dibatasi.
Rapat umum anggota ini juga mengajukan tuntutan kepad CSI
agar membuat satu komisi yang merancang program awal (begin
selprogram) dan pokok pergerakan (strijdprogram) dan aturan
pokok untuk mengurus umat (Gemente program) dan setelah itu
harus disebarkan ke semua SI lokal. Kemudian CSI harus
berupaya agar surat kabar Oetoesan Hindia menjadi organ (media
cetak) CSI yang sah. CSI juga harus membuat propaganda agar
semua SI lokal mendapatkan hak memilih Dewan Kotapraja
(Gemeenteraad), Dewan Daerah (Gewestelijk raad), dan Dewan
Rakyat (Volksraad).
Dalam setiap rapat umum pemerintah juga harus
menggunakan bahasa Melaju karena; memudahkan dan
membebaskan Bumiputera untuk menyampaikan pikirannya,
dengan menggunakan bahasa Melayu akan lebih banyak
Bumiputera yang mengerti isi dari sebuah rapat sehingga
memudahkan jalan menuju kemajuan. Rapat umum ini juga harus
memutuskan perubahan dalam tubuh SI yaitu dengan membuat
104
kelompok-kelompok dalam cabang-cabang SI yang disesuaikan
dengan kebutuhan, misalkan buruh membuat kelompok buruh,
pegawai penggadaian membuat kelompoknya sendiri. Pengurus
kelompok-kelompok tersebut harus berhubungan satu sama lain.
Dalam karangan ini juga Presiden SI Semarang, Semaun
menyerukan kepada kaum buruh untuk bersatu memajukan
perdagangannya Bumiputera, menurutnya setelah industri pabrik
miliki kapitalis berkembang, barang dagangan buatan Bumiputera
tidak selaku dahulu.
Gambar 5.3 Sosiologis Bumiputera (sumber: Sinar Djawa 20
September 1917)
Berlanjut Sinar Djawa menerbitkan artikel berjudul Islam dan
Moesoeh, ditulis oleh P. Wardojo. Sang penulis ingin
menyampaikan tentang Sarekat Islam yang sudah berdiri sejak
empat tahun lalu dan sudah mendapatkan izin berdiri dari
pemerintah masih memiliki musuh di luar. Pendirian SI semata-
mata untuk memimpin bangsa yang rendah, lemah, dan bodoh,
supaya harga diri bangsa Bumiputera sederajat dengan bangsa
Eropa. Wardjo mengakhiri tulisannya dengan membuat pendapat
105
bahwa orang-orang yang membenci kebenaran maka akan masuk
neraka jahanam.
Pada bulan selanjutnya, bulan November ada satu artikel
khusus yang membahasa tentang delikpers (persdelict) Henk
Sneevliet, tertanggal 21-24 November 1917. Artikel ini menyoal
jalannya proses pengadilan Sneevliet yang disebabkan oleh
karangannya yang terbit pada 17 Maret 1917 di koran de indier
milik insulinde. Artikel itu berisi informasi revolusi sosial di
Rusia beserta kritik pergerakan politik di Hindia. Ia berpendapat
bahwa di Hindia rakyat hidup miskin, lemah, dan bodoh, mereka
dimanfaatkan tenaganya oleh kam kapitalis untuk mengeruk hasil
alam. Di sinilah pergerakan politik rakyat dilarang, surat kabar
diancam hukuman yang berat sebelah, dan oleh karena itu jalan
menuju kemerdekaan terasa sangat berat. Menurut Sneevliet,
tidak ada lagi pergerakan rakyat di Jawa yang sehebat dilakukan
oleh Diponegoro, Bumiputera hidup di bawah kungkungan
pemerintah yang bekerjasama dengan kaum kapitalis. Oleh
karena isi artikelnya itu Sneevliet harus diadili oleh dewan
hukum (pengadilan), pada 20 November 1917. Berikut susunan
petugas di pengadilan:
President: Mr. I.G.I. Oetgens van Waveren Pancras Clifford
Anggota: Mr. A. H. Walkate, Mr. I. C. Heyning, Griffer
Buitengewoon dan Mr. Lange.
Jaksa: Mr. van Meerten.
Mr. van Meerten sebagai jaksa mengajukan 4 perihal yang
dakwaan Snevlieet yaitu:
106
1) Sneevliet didakwa menuduh pemerintah Belanda berbuat
sewenang-wenang yang membiarkan kebodahan dan
pemerasaan terus terjadi.
2) Sneevliet didakwa menuduh pemerintah Belanda
menindas rakyat.
3) Sneevliet didakwa menuduh pemerintah membuat
pengadilan yang berat sebelah.
4) Sneevliet didakwa menuduh pemerintah telah berbuat
sewenang-wenang kepad gerakan-gerakan politik.
Dalam pengadilan dihadirkan beberapa saksi di antaranya,
Westerveld, Viewel, Hartogh, dan V. Weezel. Mereka
menyampaikan beberapa hal, sebagai berikut:
1) Karangannja Sneevliet dalam de indier menoeroet
perasaan saja tidak lain tjoema karangan ini ditoelis hanja
oentoek membangkitkan bangsa Djawa, soepaja ia tidak
terima sadja.
2) Sneevliet tida mufakat kalau Boemipoetra bergerak dngan
sendjata.
3) Koran Belanda bikin miring apa sadja jang dibitjarakan
oleh Sneevliet.
4) Yang ditoelis neevliet tentang ra jat miskin, koerang
pengetahoean, soeka menoeroet sadja itoe semoea benar.
5) Sneevliet ditoedoeh sebagai tokoh social anarki.
Akibat perbuatannya itu Sneevliet dijatuhi hukuman 9 bulan
penjara oleh pengadilan.
Pertanyaan tentang volksraad sebagai salah satu instrument
yang harus dipenuhi untuk menjadi pemerintah sendiri
107
(zelfbestuur) kembali dipertanyakan. Kali ini penulis yang hanya
mencantumkan inisialn a saja aitu ―G‖ menulis artikel berjudul
Pendapat Tentang Volksraad. Gagasan utama dari artikel ini
adalah mempertanyakan soal volksraad ke Dwidjo Soewojo di
Jogja yang pernah menulis tentang volksraad di koran Neratja
pada 20 November 1917. Dalam tulisannya di koran Neratja, ia
mengatakan bahwa volksraad adalah sekolah politik untuk
Bumiputera karena volksraad berfungsi sebagai jembatan antara
wilayah jajahan dan zelbestuur. Penulis memberikan 4 pertanyaan
kepada Dwidjo Sewojo;
1) Volksraad dalam bahasa Melayu artinya wakil rakyat,
tapi kenapa orang-orang kromo (orang kecil) tidak
mengetahui itu?
2) Anggota volksraad kebanyakan dari gubernemen
sendiri?
3) Kenapa anggota volksraad dipilih dari orang-orang
yang pandai berbahasa Belanda saja?
4) Apa benar orang yang bisa bahasa Belanda akan
merasa sayang bangsanya?
Sinar Djawa megutip lagi artikel dari Neratja, kali ini artikel
berjudul Congres Jang Amat Penting dimuat dari tanggal 28-30
November 1917. Artikel ini berisi penjabaran hasil rapat dari
Vereeniging voor de studie van Koloniaal Maatschappelijke
Waagstukken. Ada dua hal penting yang dibicarakan dalam rapat
ini, yaitu tentang pembangunan pabrik-pabrik di Hindia dan
pemulangan tanah-tanah partikulir menjadi tanah milik negara
108
(staatsdomein). Bangsa Belanda berupaya menandingi bangsa-
bangsa lain di Eropa dan Amerika dalam hal industri yag sudah
lebih maju. Di Hindia bangsa Bumiputera yang umumnya belum
memiliki kemampuan yang setara seperti hanya menumpang di
rumahnya sendiri, karena hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar
dengan gaji yang sangat kecil.130
Pemerintah Belanda berdalih pembangunan pabrik-pabrik itu
untuk menyejahterakan Bumiputera seperti yang sudah dilakukan
oleh Eropa. Tapi usulan itu ditolak oleh Cock Buning, Koperberg,
dan Conan Stuart, menurut mereka pendirian pabrik hanya
menguntungkan kaum uang (kapitalis). Mereka memberikan
saran agar pemerintah mendirikan pabrik dengan modal sendiri
dengan tidak membuka modal untuk perusahaan swasta, selain itu
pemerintah harus memberikan pendidikan yang baik agar
Bumiputera bisa mengelola pabrik 25 tahun ke depan.131
Meski
begitu rapat berjalan sangat alot karena terjadi perdebatan antara
beberpa pihak yang medirikan pabrik dan di pihak lain tidak
setuju, karena akan menjadikan Bumiputera budak yang
disamakan dengan perkakas. 132
Kekhawatiran akan Bumiputera yang hanya menjadi
perkakasnya kaum uang terjadi di Wonogiri, artikel berjudul
Perhijasa’an tulisannya Si Rendah menggambarkan hal itu.
pembangunan bendungan, jembatan, perumahan, dan jalan di
Wonogiri dengan menggunakan tenaga rakyat banyak dari
mereka yang tidak dibayar sepeserpun. Hal itu membuat mereka
130
Sinar Djawa 28 November 1917 131
Sinar Djawa 29 November 1917 132
Sinar Djawa 30 November 1917
109
tidak bisa makan dengan layak, mereka hanya bisa memakan
bonggol pisang dan dedaunan. Dalam hal ini mereka berharap
pemerintah tidak hanya melakukan pembangunan infrastruktur
tapi harus mementingkan rakyat kecil agar bisa makan dengan
layak.133
Perlakuan terhadap buruh yang semakin semena-mena tidak
begitu saja didiamkan, PKBT (Perhimpoenan Kaoem Boeroeh
dan Tani) Surabaya melakukan rapat umum (openbare
vergadering) di Pare, Kediri pada 11 November 1917. Rapat
umum ini memutuskan 3 perihal yang dianggap penting, yaitu
meminta kenaikan gajih (duurte-toeslag), meminta aturan belanja
(salarissenregeling), dan gratifikasi. Tiga keputusan hasil rapat
ini pun disebar ke seluruh PKBT yang ada di Jawa Barat dan
Jawa Tengah agar mereka mendapat penghasilan yang sama
pula.134
Kelakuan pemerintah Belanda yang otoriter semakin kentara
saat melarang Mas Marco membaca koran di dalam penjara di
Batavia. Petugas penjara melarang Marco membaca koran apapun
mulai 1 Januari 1918, sikap tersebut diambil karena
dikhawatirkan tulisan-tulisan Marco akan terus menyasar
pemerintah dan dibaca oleh banyak orang, sehingga mereka
terhasut untuk melakukan gerakan melawan pemerintah. Padahal
sebelumnya ia diizinkan untuk membaca koran, diantaranya, De
Indier, De Locomotief, Pantjaran Warta, Het Vrije Woord, dan
lain-lain. Koran-koran itu biasanya dikirim oleh redaksi
133
Sinar Djawa 28 November 1917 134
Sinar Djawa 3 Desember 1917
110
Pantjaran Warta lewat pos. Perihal ini terekam dalam tulisnnya
Alimin yang berjudul Marco di dalam pendjara.135
Nampaknya pemerintah Belanda tidak hanya memperlakukan
Bumiputera sebagai perkakas di pabrik, kehidupan sehari-harinya
pun terintimidasi. Di Semarang pada saat terjadinya wabah pes,
pemerintah Belanda dengan sembarangan mengeluarkan surat
keputusan sebagai berikut ini:
Gambar 5.4 Surat Keputusan Wabah Pes
Dalam tempo waktu 8 hari, warga harus membongkar
rumahnya yang teridentifikasi wabah pes, dan dilarang menolak
keputusan itu. Surat ini dikeluarkan oleh pengurus pencegah
wabah pes di bawah Wali Kota Semarang dengan nomor 330.
Atas kebijakan itu Semaoen menulis sebuah artikel berjudul
Gemente bestuur Semarang mendjadi revoltuonair. Menurutnya
keputusan itu bertentangan dengan 63-65 a dan b, selain itu surat
itu dianggap tidak manusiawi karena memaksa warga pindah
rumah tapi tidak diberikan penggantinya, karena dalam surat itu
135
Sinar Djawa 7 Desember 1917
111
tidak dicantumkan penggantian rumah. Warga yang harus
meninggalkan rumahnya ini bukanlah orang kaya yang
diperkirakan ada 150 orang. Sekalipun tidak diberi pengganti
rumah, menurut Semaoen seharusnya diberikan pemondokan
sementara yang biayainya ditanggung oleh pemerintah.
Kelakuan pemerintah yang seperti itu adalah akibat dari kaum
kapitalis yang memegang kendali atas pemerintahan dengan
mejadikan Hindia sebagai sapi perah untuk Eropa. Di akhir
artikel ini Semaoen mengajak semua Bumiputera untuk meniru
perbuatannya nabi untuk mewujudkan kemanusiaan.
―Ra jat Boemipoetra! Bangoenlah! iroelah perboeatannja
nabi-nabi pada djaman doeloe dan achirnja kemanoesia an
kita akan dapat kemenangan di atas djeleknja sjetan.
Tiroelah dengan tetap hati, dengan korbankan djiwamoe,
dengan keberanian, KEBERANIAN jang tida boleh dibeli
dengan oeang atau pangkat dalam djabatannya ambtenaar,
pemerintahaan boekan ra jat‖.136
Keresahan rakyat Bumiputera bertambah lagi saat para priyai
terutama priyai BB masih banyak yang mewarisi watak priyai
terdahulu. Mereka tidak bisa melihat semangat zaman yang
sedang terjadi, di mana pergerakan tumbuh di mana-mana. Di
semangat zaman yang seperti ini para priyai tidak senang jika ada
orang-orang yang melakukan protes menuntut haknya. Ada dua
jenis golongan yang termasuk orang-orang yang tidak
mengenakan hati;
1) Orang-orang jang soeka korek-korek perboetannya politie
atau prijai itoe tentoe orang jang seodah tiada bisa dapat
tempat pekerdjaab negeri.
136
Sinar Djawa 8 Desember 1917
112
2) Orang-orang jang soeka menoelis dalam soerat kabar itoe
tentoe orang jang soedah tiada bisa tjari makan dengan
djalan biasa. Lantaran ia tiada bisa tjari makan lantas tjari
akal soepaja orang itoe dapat boeroehan dari karangannja
dan dia soepaja dipandangannja seperti orang jang pintar
dan berani.
3) Kita orang prijai tiada perloe perdoelikan tereakan dalam
soerat kabar asal kita orang soedah mendjalankan
kewadjiban.
Tiga hal itu dimuat dalam artikel berjudul Pikiran jang
Njasar oleh Handojomo. Penulis juga menambahkan, dengan
banyaknya priyai yang berpikiran kolot dengan menggap renadah
Bumiputera hal itu merupakan tindakan gelap pikir. Seharusnya
para prijai mulai berpikiran berbeda di tengah perubahan zaman
ini.137
Meski gerakan buruh atau pegawai terus mendapat tekanan
dari otoritarinisme pemerintah yang bersekutu dengan kaum
kapitalis, gerakan-gerakan itu tidak akan bisa terbendung.
Buktinya pegawai penggadaian yang sudah terkena hukuman pun
masih bergerak menantang ketidakadilan. Para pegawai ini
meyakini kalau nasibnya kaum uang ada di tangan kaum kromo,
karena penghasilan mereka bergantung pada tenaganya kromo.
Begitu penulis yang hanya mencantumkan namanya dengan
inisial ―N‖ menulis artikel berjudul Ketegoehan Hati.138
Kemudian di hari yang sama juga terbit artikel berjudul Iseng-
137
Sinar Djawa 12 Desember 1917 138
Sinar Djawa 13 Desember 1917
113
iseng kedaster, dalam artikel ini secara ringkas penulis
menunjukan bahwa banyak bermunculan organisasi Bumiputera
dan di salah satunya adalah Kadaster Bond.139
Semaoen dan SI Semarang kembali menyasar pemerintah
dan pemiliki tanah partikulir, kali ini Sinar Djawa memuat artikel
berjudul SI Semarang Bergerak Keras.140
Dalam artikel ini
dijelaskan bahwa perlakuan pemilik tanah partikulir sangat tidak
manusiawi. Penduduk yang tinggal di tanah partikulir dipaksa
menanam padi di sawah dengan bayaran hanya f.0.5/setengah
hari, setelah musim panen dimulai mereka diharuskan bekerja
menjaga lumbung padi kalau rusak maka mereka harus
bertanggung jawab, dan saat irigasi air tersumbat para pemilik
tanah membiarkan begitu saja. Masalah ini ada hubungannya juga
dengan wabah pest di Semarang yang sempat disinggung oleh
Semaoen dalam tulisannya berjudul Gemente bestuur Semarang
mendjadi revoltuonair. Menurutnya jika semua tanah partikulir
dibeli oleh negara maka bisa dimanfaatkan untuk tempat tinggal
warga yang rapih dan bersih sehingga wabah pest bisa dilawan.
Kemudian Semaoen mengingatkan pihak pemerintah bahwa
anggaran belanja (begrooting) 1918 harus digunakan untuk
membeli tanah partikulir, bukan digunakan untuk membeli
meriam atau peralatan perang lainnya. Untuk menyelesaikan
masalah ini Semaoen membuat forum debat dengan menantang
para pemilik tanah, sa angn a mereka tidak hadir. ―Laloe
diperkenakan debat. Wakil-wakil toean tanah tiada ada jang
139
Sinar Djawa 13 Desember 1917 140
Sinar Djawa 28 Desember 1917
114
debat, djadi boleh dibilang jang mereka berasa berdosa, ujar
Semaoen. Adapun yang menghadiri debat ini adalah perwakilan
dari SI Semarang, ISDV, Boedi Oetoemo, dan Insulinde.
Sneevliet dari perwakilan ISDV menyampaikan bahwa ia
senang melihat gerakannya SI Semarang yang begitu kuat
menuntut hak-hak rakyat kecil (pedagang, buruh, dan petani) dan
terus melawan kaum kapitalis sampai hancur. Mohamad Joesoef
perwakilan Boedi Oteomo, ia sepakat dengan gerakannya SI
Semarang, ia menyampaikan saat menjadi Presiden SI Semarang
di tahun 1916 sudah disampaikan permohonan agar tanah-tanah
partikulir dibeli oleh negara, namun permohonan itu belum
ditanggapi. Perwakilan Insulinde, Teeuwen pun bersepakat
dengan apa yang dilakukan oleh SI Semarang. Semuanya
bersepakat kalau SI Semarang harus melancarkan propagandanya
dengan cara yang keras.
Dengan kekuasaannya dan ketakutannya terhadap serangan
kritik dari tokoh-tokoh pergerakan, untuk kesekian kalinya
menjatuhkan delik pers. Delik pers itu kali ini jatuh kepada
Goenawan, pimpinan redaksi (hoofdredacteur) Pantjaran Warta.
Goenawan dijatuhkan hukuman 30 hari penjara dengan denda
f.200 karena menghina rapat umum para pejabat (openbare
ambtenaar). Berita ini dimuat dalam artikel berjudul Kiriman
yang ditulis oleh Patriot.141
Salah satu strategi yang digunakan pemerintah Belanda
untuk memecah pergerakannya Bumiputera adalah dengan
membuat polarisasi antara pegawai Belanda dan Bumiputera
141
Sinar Djawa 29 Desember 1917
115
untuk menyerang gerakannya. Hal yang demikian diinformasikan
lewat artikel Bertambah Kontra tulisannya SM. Pegawai
pegadaian Bumiputera membuat organisasiya sendiri yaitu PPPB
(Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputera) untuk melawan
serikat pegawai Belanda.142
Di akhir tahun 1917 gerakan rakyat Bumiputera semakin
menunjukan tajinya, semakin ditekan semakin jadi. Djojopranoto
menulis artikel Perkelahian Hidoep Soedah Moelai Datang, iya
memperingatkan kepada semua pembaca bahwa akibat kerjasama
antara pemerintah Belanda dengan kaum kapitalis membuat
revolusi Bumiputera semakin cepat datang. Industri yang
menyiksa, memperbanyak Bumiputera yang berwarna merah
(sosialis) yang siap memberikan perlawanan terhadap
pemerintah.
3) Artikel Ekonomi
Setelah artikel pendidikan dan politik pergerakan banyak
didiskusikan dalam Sinar Djawa, ada artikel lain yang cukup
dominan dan berkaitan erat dengan dua artikel sebelumnya,
artikel tersebut adalah tentang ekonomi. Artikel ekonomi yang
akan diperbincangkan di sini adalah aspek mata pencaharian
Bumiputera.
Artikel pertama yang akan dibahas berjudul Apakah Orang
Djawa itoe bangsa orang pemalas? Oleh R. Sasrodipoero.
Penulis ingin melakukan kontra isu yang disebarkan oleh Mr. van
Haastert dan jurnalis kulit putih lainnya yang membenci
142
Sinar Djawa 31 Desember 1917
116
Bumiputera. Para jurnalis kulit putih mengembangkan isu
bahwasannya orang Jawa itu pemalas dan tidak bisa apa-apa.
Penulis menjelaskan bahwa orang Jawa bukanlah pemalas,
buktinya mereka bekerja sebagai polisi, petani, buruh bangunan,
dan pedagang di kesehariannya. Bahkan bangsa Jawa sudah
menjunjung kemajuan zaman.143
Dari sini kita bisa mengetahui
perang isu antara jurnalis kulit putih (Eropa) dengan jurnalis
Bumiputera. Jurnalis kulit putih menyebarkan isu kerendahan
derajat Bumiputera, sebaliknya jurnalis Bumiputera menulis
artikel-artikel yang meninggikan derajat mereka seiring dengan
kemajuan zaman.
Kemajuan zaman tidak hanya soal persamaan derajat, tapi
juga soal kebutuhan hidup yang semakin mahal karena
kelangkaan barang akibat Perang Dunia I. Oleh karena itu gajih
f.40/bulan untuk seorang juru tulis (klerk) tidaklah cukup, hal
yang demikian terjadi di Sumatera. Seperti yang diungkapkan
dalam artikel berjudul Nasibnja Personeel Arbeidsinspectie
Doskust van Sumatra, oleh Anak-Lantjang. Penulis menyarankan
agar gaji seorang juru tulis dinaikan agar mereka tetap setia pada
pekerjaannya.144
Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa krisis
seperti yang terjadi selama Perang Dunia I, memaksa Bumiputera
yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keahlian menjadi
pengemis. Peristiwa itu terjadi di Kota Tegal sebagaimana
dituturkan oleh P.Hj dalam artikelnya Boeah Pengharapan. Di
143
Sinar Djawa 8 Agustus 1917 144
Sinar Djawa 9 Agustus 1917
117
dalam Kota Tegal ia menyaksikan banyak pengemis (bedelaars)
berkeliaran, bahkan sebagian dari mereka buta dan borok
kakinya.
―Ada koerang lebih 20 orang lelaki dan perempoean,
toeboeh badanja boleh dibilang hampir roesak, begitoe
koeroes dan mesoem. Di antaranja mereka itoe adalah jang
boeta matanja dan barangkali ada djoega jang masih bisa
diobati, hingga berdjalan mereka didoekoengnja oleh kanak
jang masih ketjil‖.145
Penulis menyinggung pemerintah Bumiputera agar
menyelesaikan persoalan ini, karena jika tidak ada hukum atau
rehabilitasi maka saat kaum uang membangun perumahan di
daerah ini dan banyak bangsa Eropa yang menempati, tudingan
mereka tentang Bumiputera yang pemalas dan kekurangan
makanan akan dibenarkan.
1 September 1917, terbit artikel berjudl Peroesahaan Batoe
Merah dan Gendeng di Keboemen dan Karanganjar. Artikel ini
menanggapi berita miring yang beredar bahwa perusahan itu
untuk mementingkan kebutuhan kaum uang. Perusahaan ini
bertujuan untuk kepentingan Bumiputera.146
Dalam masa krisis semua pekerja yang gajinya tidak
mencukupi untuk biaya hidup meminta kenaikan gaji, seperti
yang diceritrakan oleh artikel Keloeh Kesah Seorang Hamba
Gouvernement. Artikel yang ditulis oleh Indier ini menyampaikan
pesan tentang seorang pegawai Gubernemen (Gouvernement)
yang menuntut kenaikan gaji karena tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya. Seorang pegawai Gubernemen menerima gaji setiap
145
Sinar Djawa 16 Agustus 1917 146
Sinar Djawa 1 September 1917
118
bulannya sebesar 1500 sen, itu sudah termasuk ongkos untuk
kunjungan ke 2 unit kontrol dalam 1 distrik, kejadian berlangsung
selama 6 tahun. Setelah itu gaji dinaikan menjadi 3750 sen, tapi
sudah termasuk sewa penginapan selama 16 malam, karena hal
inilah uang gaji hanya habis untuk biaya hidup selama bekerja.
Adapun serikat Bumiputera seperti Perserikatan Guru Hindia
Belanda (PGHB), BOWNI dan O.R. Bond hanya mementingkan
kepentingan kelompoknya, atau dengan kata lain mereka
mengenyampingkan kepentingan masyarakat secara umum.
Pada tahun 1917 masih ada petani yang belum memiliki
wawasan pertanian yang mempuni, karena terdesak oleh
kebutuhan hidup yang semakin mahal, mereka menjual hasil
pertaniannya di waktu yang tidak tepat sehingga membuat harga
menjadi sangat murah.
― entoe toean-toean telah ma loem bahwa bangsa kita B.p
kaoem tani apabila mendjoeal apa-apa kebanjakan dengan
harga moerah. Akan tetapi kalau kita beli apa-apa
bagaimanakah? Ja, tentoe sadja sebeloem tanamannja toea,
adalah di antaranja paman-paman tani itoe jang soeka
mendjoeal tanamannja; soedah tentoe sadja harganja rendah
sekali‖.
Untuk menangani permasalahan Gubernurmen membuat CV
(Cooperatieve Vereniging) di Pare, Kediri. Petani yang menjadi
anggota CV harus menjual hasil pertaniannya ke CV, nanti saat
sampai waktunya oleh CV akan dijual ke pasar dan untungnya
akan diberikan pada petani. Para anggota CV juga akan diberi
pinjaman sebsar f.25.000 untuk modal bertani. Persoalan ini
dimuat dalam artikel berjudul Haroes Ditiroe ditulis oleh M.H.
MP.147
147
Sinar Djawa 7 September 1917
119
Selain soal pertanian, pada masa ini moda transportasi umum
juga belum dikelola dengan baik, artikel berjudul Pendapatan di
dalam perjalanan, oleh Jong Indier merekam persoalan itu. Sang
penulis memuat cerita tentang perjalanannya dari Semarang
menuju Bagelen148
. Untuk ke Bagelan, ia menggunakan kereta
NIS tujuan stasiun Tugu Jogjakarta baru kemudian disambung ke
Maos149
.
Penulis menyaksikan kondisi loket karcis di stasiun Tugu
yang ricuh atau tidak tertib, penyebabnya adalah loket karcis
yang baru dibuka 10 menit sebelum kereta datang. Para
penumpang saling berdesakan supaya mendapat karcis, situasi ini
dimanfaatkan oleh para calo yang menjual karcis dengan harga
yang lebih mahal. Alhasil bagi para penumpang yang tidak ingin
berdesak-desakan mereka lebih memilih membeli tiket dari calo.
Penulis berpesan agar loket karcis dibuka 1 jam sebelum kereta
datang agar antrian tidak berdesakan dan mengurangi praktik
pencaloan.150
Selanjutnya, Sinar Djawa memuat artikel yang ditulis oleh
penulis yang hanya mencantumkan inisialny yaitu, K.S. Judul
tulisannya Iseng-iseng Kadaster, penulis menyampaikan tentang
keharusan pensiun untuk Kepala Menteri yang sudah selesai
tugasnya. Para menteri yang harus pensiun adalah mereka yang
sudah bekerja selama 30 tahun, diperkirakan saat mereka berusia
148
Bagelen sekarang ini adalah kecamatan di Kabupaten Purwerejo,
Provinsi Jawa Tengah. 149
Maos sekarang ini adalah Kecamatan di kabupaten Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. 150
Sinar Djawa 14 September 1917
120
50 tahunan. Saat mereka pensiun maka para menteri kelas 1 bisa
menggantikan kedudukan kepala menteri, namun sayangnya dari
para kepala menteri itu enggan pensiun dengan alasan masih
membutuhkan gajihnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sikap mereka yang demikian dianggap menghalangi menteri
kelas 1 untuk naik pangkat dan gajih.151
Perkembangan industri kapitalis dan akibat Perang Dunia I
lagi-lagi membuat perdagangan Bumiputera mengalami kerugian
besar. Dalam artikel Hindia Kedjepit, Z. Mohammad
mengutarakan keresahan pengusaha tekstil Bumiputera yang
kalah bersaing dengan industri tekstil besar miliki kapitalis.
Selama ini rapat-rapat (vergadering) belum ada yang bisa
mendorong pemerintah untuk memberikan modal dan bimbingan
keahlian untuk para pengusaha tekstil Bumiputera.
Selain soal tekstil, rakyat juga mengalami hidup yang
semakin terhimpit saat industri gula semakin merebak besar,
karena lahan persawahan berkurang dan impor beras dari negara
tetangga seperti Vietnam dan Thailand pun tidak dilakukan,
alhasil harga beras di pasaran menjadi mahal dan sulit bagi
Bumiputera membelinya. Akibat itulah banyak dari Bumiputera
yang kelaparan dan tak jarang hanya bisa memakan bonggol
pisang dan dedaunan.152
Di Kudus sebuah bank bernama Koedoesche Hulp Bank
sudah melakukan praktik meminjamkan uang kepada Bumiputera
dengan bunga yang rendah yaitu 18% dari uang yang dipinjam.
151
Sinar Djawa 21 September 1917 152
Sinar Djawa 19 November 1917
121
Rakyat Bumiputera pun dikerjakan sebagai agen-agen yang
berkeliling kampung untuk menawarkan pinjaman dengan
pertimbangan terlebih dahulu, dengan persyaratan yang sudah
ditentukan, sayangnya dalam artikel yang berjudul Afdeeling
Bank tidak disebutkan. Uang yang dipinjam bisa mencapai
f.350.000, tujuan dari peminjaman uang ini supaya memudahkan
kehidupan Bumiputera terutama untuk mereka yang mempunyai
usaha.153
Pada Februari 1918 pemerintah Belanda mengeluarkan surat
perintah agar semua pengendara (committer) di Grobogan yang
tidak mempunyai sertifikat atau ijazah dari sekolah akan dipecat
dari jabatannya. Hal ini menjadi masalah bagi mereka yang tidak
berijazah, apabila mereka dipecat maka keluarganya tidak ada
yang menfkahi. Gandul mencatat itu dalam artikelnya berjudul
Apakah Soedah Oentoengja Badan?.154
Persoalan tentang pekerja atau buruh tidak hanya berhenti di
permasalahan kurangnya gajih yang diterima dari sebuah
perusahaan atau institusi pemerintahan. Kebodohan juga menjadi
masalah yang menyebabkan tenaga pekerja Bumiputera kurang
dihargai sehingga diperlakukan sekehendak hati oleh tuannya.
Artikel Mohon diperhatikan Oleh Regering, oleh Koesmobroto
mencoba membuktikan praktik kebohongan yang dilakukan oleh
welver gelap atau mandor-mandor yang suka mengajak warga
kampung bekerja keluar Jawa, dalam hal ini di perkebunan di
Deli. Koesmobroto membongkar kebohongan yang sering dimuat
153
Sinar Djawa 4 Desember 1917 154
Sinar Djawa 5 Desember 1917
122
dalam koran De Locomotif dan beberapa koran Belanda-Melayu.
Kebohongan-kebohongan itu di antaranya, buruh yang bekerja
per harinya digaji f.1, padahal kenyataannya f.0,35 itupun
diberikan kepada orang-orang yang kerjanya benar atau dalam
kondisi yang sehat, sehingga kuat menggarap sekian luas lahan
yang sudah ditargetkan.
Kebohongan berlanjut saat koran-koran tersebut
memberitakan bahwa para buruh mendapat pelayanan kesehatan
yang baik dari rumah sakit. Padahal pelayanan yang baik hanya
diberikan kepada administratur dan asistennya. Dalam hal
makananpun pemberitaan koran-koran itu mengatakan kalau
buruh kontrak di sana mendapat makanan yang cukup, padahal
selama 15 tahun penulis menyaksikan di kebun-kebun buruh
tidak dapat makanan kalau tidak beli.
Penulis berpendapat bahwa masalah ini tidak akan
terselesaikan jika pemerintah tidak ikut campur menyelesaikan.
Pertama pemerintah harus memerintahkan para dokter untuk
memperketat pemeriksaan kesehatan calon buruh kontrak, hal ini
dilakukan agar setibanya di perkebunan tidak merugikan dirinya
karena tidak digaji atau malah terkena hukuman. Selanjutnya
sistem kontrak hanya diperbolehkan selama satu tahun bukan tiga
tahun, dan pemerintah harus memberikan sangsi kepada para
mandor yang merekrut buruh dari desa tapi hanya untuk
dimanfaatkan tenaganya, tanpa mendapat perlakuan yang
pantas.155
155
Sinar Djawa 12 Desember 1917
123
4) Artikel Tradisi
Gerakan perlawanan terhadap hegemoni Belanda juga
dilakukan dalam ranah penggunaan bahasa dengan membentuk
organisasi bernama Djawa Dwipa. Organisasi ini ingin melawan
dominasi bahasa Belanda dan Jawa Kromo dengan menggunakan
bahasa Jawa Ngoko atau bahasa yang biasa digunakan oleh
rakyat sehari-hari pada siapapun. Namun artikel itu menjadi
perdebatan di kalangan elit, karena menggangu kemapanan
berbahasa yang sudah ada. Di sinilah Z Mohamad menulis artikel
Djawa Dwipa dengan mengetengahkan isu lain yang lebih
penting.
Z Mohamad memandang bahwa persoalan bahasa tidak
terlalu penting untuk diperdebatkan. Baginya tradisi sembah
jongkok kaum kromo kepada orang asing dan pejabat lebih
penting untuk dihapuskan. Tradisi ini merendahkan derajat
Bumiputera sebagai penduduk Hindia; sedang orang asing yang
datang hanya menguras kekayaan alam.156
Di tengah-tengah hegemoni budaya Belanda yang terus
diinfiltrasi satu artikel terbit dengan judul Java dan Japan, oleh
Achmad Basar. Penulis mencoba membangkitkan semangat
hidup sesuai dengan tradisi yang sudah warisi turun temurun
yaitu bertani. Penulis membandingkannya dengan bangsa Asia
lainnya yaitu Jepang, menurutnya orang-orang Jepang bisa maju
karena watak mereka yang pekerja keras dan pemberani.
Berbanding terbalik dengan watak Bumiputera yang pemalas dan
156
Sinar Djawa 22 Agustus 1917
124
penakut, karena sedari kecil sudah ditanamkan rasa takut kepada
orang asing (barangkali Gubernemen).
Munculnya banyak perhimpunan pun tujuannya adalah untuk
merukunkan bangsa dan menguatkannya agar menjadi bangsa
yang maju. Di akhir artikel penulis berpesan agar diperbanyak
sekolah-sekolah pertanian agar Bumiputera menjadi petani yang
cerdas atau tidak melupakan adat kebiasaan lamanya sebagai
petani.157
Masih penulis yang sama, kali ini iya menulis artikel Rendah
dan Tinggi, gagasan utamanya adalah masih seputar tentang
kesetaraan derajat Bumiputera dengan bangsa lain. Baginya
bangsa Bumiputera bisa jadi bangsa yang terhormat dengan cara
menghormati bangsa lain dengan sewajarnya saja, tidak perlu lagi
ada sembah jongkok, menjadi penjilat, dan memuja-muja bangsa
asing.158
Achmad Basar masih melanjutkan pembahasannya tentang
harga diri Bumiputera, kali ini berjudul Haroem dan Boeseok. Ia
mengingatkan kepada semua pembaca agar pandai menjaga nama
baik yang ia sebut dengan nama harum, dengan berperlaku baik.
Siapapun yang bisa menjaga nama baik maka hidupnya juga akan
baik-baik saja.159
Penulis dengan nama Wongtjlik menyinggung kebiasaan
buruk Bumiputera dalam artikelnya Tentang Kesanggoepan dan
Perjanjian. Kebiasaan buruk itu adalah ingkar janji dan tidak
tepat waktu, ―bangsa kita masih banjak jang tidak menepati
157
Sinar Djawa 7 September 1917 158
Sinar Djawa 13 September 1917 159
Sinar Djawa 21 September 1917
125
perjanjian atau kesanggoepan seandainja soedah sanggoep datang
djam toejoeh pagi, tiba-tiba baroelah poekoel djam delapan lebih
datang‖.160
Tentang perilaku tidak hanya ditujukan kepada Bumiputera,
seorang penulis bernama Gato Lotjo dalam artikel Boeah Pikir
mengkritik pemerintah yang berbudi rendah, dengan sering
berkata kasar. Baginya pemerintah juga harus memperbaiki budi
pekertin a agar rak at hormat dan cinta. ―Pengharepan saja
hendaklah kepala negeri dan ambtenaar-ambtenaar ketjil lainnja
terboeka fikiranja, menoendjoekan kesoetjian hatinja mempelajari
rakjat pada kebenaran‖.161
Kemudian seorang penulis bernama Handojomo mencoba
mendedah tradisi demokrasi yang sudah ada lama dalam tradisi
lama Jawa. Baginya demokratisme bangsa Jawa sudah ada sejak
dulu terlihat dari penggunaan bahasa yang bukan bahasa asli
melainkan serapan dari bangsa lain.162
5) Artikel agama
Sayangnya meskipun di bawah SI Semarang, Sinar Djawa
tidak banyak memuat artikel tentang pembahasan Islam secara
eksplisit yang di letakan di halaman paling depan. Adapun
penulis hanya menemukan 2 artikel yaitu, Berbahagialah Orang
Jang Takoet Kepada Allah, oleh D.P. Karjadipa. Artikel ini
menghimbau kepada kaum Bumiputera untuk menjaga kesehatan
jasmaninya dengan sering berolahraga, hal itu sebagai wujud dari
160
Sinar Djawa 28 November 1917 161
Sinar Djawa 3 Desember 1917 162
Sinar Djawa 4 Desember 1917
126
taqwan a seorang muslim kepada Allah ubhanahu wata ala.163
Artikel kedua berjudul Igama Islam yang ditulis Sosrosoedirdjo,
yang ingin disampaikan penulis adalah mengambil api semangat
perjuangan para nabi yang harus ditiru oleh kaum Bumiputera
yang sedang memerdekakan diri.164
6) Artikel Sosialisme dan Sosial-Demokratik
Sinar Djawa menampilkan artikel yang tidak biasa, ia
mengutip surat kabar D.K. yang membahasa buku berjudul De
Groote denkers de eeuwen bagian Karl Marx en Zijne
Voorgangers, karangan Jos Loopuit. Penulis artikel ini adalah
Karjadipa yang mencoba untuk memperkenalkan ajaran Karl
Marx kepada Bumiputera. Bagian pertama yang ia bahas adalah
tentang Sosialisme dan Sosial-demokratik, ia menganggap bahwa
pengetahuan itu sangat penting untuk Bumiputera.
Ia berusaha menjelaskan isi buku itu dengan mudah kepada
para pembaca. Dimulai dari sebuah pertanyaan apa itu
Sosialisme? Sosialisme artinya memperbaiki kehidupan orang
yang bekerja di perusahaan (maatschappij) dan Sosial-
demokratik adalah memperbaiki peraturan perihal perusahaan
menurut hukum-hukum yang sudah ditentukan bersama.
keduanya adalah orang yang mengindahkan ajaran-ajarannya
Karl Marx. Sosialis adalah sebutan untuk mereka yang
menjalankannya dan sepakat dengan kesama rataan dan kesama
rasaan.165
163
Sinar Djawa 18 Agustus 1917 164
Sinar Djawa 5 September 1917 165
Sinar Djawa 22 Desember 1917
127
Karjadipa melanjutkan pembahasannja tentang komunisme
di masa lalu. Ia menceriterakan bahwa zaman dahulu sudah ada
komunisme, yaitu orang-orang yang menganut agama Nasrani
dalam hal makanan mereka memilikinya bersama, sama rata.
Orang Amerika laut dan orang Jerman pun sudah menjalani nilai-
nilai komunisme sejak dahulu. Ia pun menjelaskan tentang akar-
akarnya Sosial-demokratik, ada dua akarnya. Pertama yang
disebut dengan Kumunisme-utopis yang dibangun oleh golongan
bangsawan tinggi, menurut mereka hanya komunisme lah yang
mampu menghilangkan Kapitalisme dari muka bumi, namun bagi
mereka waktunya belum datang. Akar yang kedua berasal dari
pengusaha rendah yang berpendapat bahwa harus ada kesetaran
dalam Komunisme (gelijkheidcommunisme).
Penulis mencatat sejarah Komunisme modern di Inggris yang
terjadi pada 1652 sebuah pergerakan yang bernama Livellrs atau
gelijkmakers. Kelompok ini membuat buku berjudul Syarat dan
Hukum Kemerdekaan Beserta Programnya (De wet der vrijheid,
als program uiteengezet). Dalam buku ini dijelaskan tentang
sistem pemerintahan dan sistem pemerintahan republic. Buku ini
berguna untuk orang-orang Inggris yang bersepakat meskipun
mereka dari golongan yang berbeda. Di dalamnya juga di atur
tentang Komunisme, mislakan tentang jual beli, atau tentang
pekerjaan yang tidak boleh menyewakan pekerjaan dan menjual
tanah. Siapapun yang menjual tanah maka akan dihukum mati
128
dan diharamkan untuk membuat emas dan perak jadi uang atau
hanya boleh dijadikan periasan.166
B. Artikel-artikel dalam Sinar Hindia (Mei-Agustus 1918)
1) Artikel politik
Seperti yang terjadi pada Sinar Djawa, saat namanya
berganti menjadi Sinar Hindia artikel seputar politik lebih banyak
dimuat. Namun tidak jarang artikel-artikel lain juga dimuat
sebagai kelanjutan dari Sinar Djawa. Penelitian ini dimulai pada
edisi bulan Mei 1918 disebabkan untuk edisi bulan Januari-April
1918 versi microfilmnya tidak ada dan versi aslinya sudah rusak,
dan tidak boleh diakses oleh Perpustakaan Nasional Indonesia di
Salemba, Jakarta.
Artikel pertama dengan artikel politik berjudul Boeah
Fikiran, oleh Gato Lotjo. Gagasan utama dari artikel ini berupa
kritik terhadap setan uang (kapitalis) dan pemerintah yang selalu
membuat rakyat menderita dengan mengembangkan industri di
tanah Hindia sedang Bumiputera dipekerjakan seperti perkakas
yang bernyawa. Kerja berat dengan waktu yang lama namun
dengan gaji yang tidak mencukupi kehidupannya.
Kemelaratan itu ditambah lagi oleh pemerintah yang
membuat aturan (wet) yang tidak berimbang atau lebih berpihak
pada kapitalis. Sang penulis menghimbau kepada para pembaca;
―marilah bergerak madjoe! Lawanlah Si setan oeang jang
berlakoe sewenang-wenang hendaklah kita bersatoe hati sampai
mati, djangan kita kasih berhenti sebeloem ia tobat toejoeh
166
Sinar Djawa 31 Desember 1917
129
toeroenan‖. Waktunya sudah habis untuk selalu mengalah dan
tunduk pada hawa nafsunya kapitalis dan baginya tidak ada yang
bisa melawan kekuasaann a rak at. ― iadalah di dalam doenia
ini jang berkoeasa daripada ra jat karena bilamana ra jat soedah
bersatoe hati sampai mati djangankan Si setan oeang sedang raja
jang besarpoen dapat djoega dibinasakan oleh ra jat‖.167
Pemerintahan pun dibahas dalam artikel Perihal Zelf
Gouvernement. Sejak kekalahannya Rusia oleh Jepang (1905)
bangsa-bangsa di Asia semakin bersemangat untuk
memerdekakan diri. Hal itu ditandai dengan munculnya banyak
pergerakan Bumiputera di tanah Hindia. Gerakan-gerakan itu
muncul sebagai respon terhadap tuduhan bangsa Eropa terhadap
Bumiputera yang dianggap sebagai manusia rendahan.168
Masih
dalam edisi yang sama ada artikel yang menyinggung sedikit
tentang sikapnya Abdoel Moeis yang kooperatif dengan
pemerintah yang ingin membuat milisi Bumiputera (Indie
werbaar). Sikapnya yang ingin bekerjasama dengan pemerintah
itu ditentang oleh golongan sosialis di Hindia, menurut mereka
Abdoel Moeis adalah ―djago-djago setan, alias pendjoeal ra jat‖.
Tekanan berupa kesewenang-wenangan dan perendahan
harga diri yang dilakukan pemerintah yang bersekutu dengan
kapitalis membuat geram kaum kromo dalam hal ini buruh.
Hingga terbit sebuah artikel berjudul Kaoem Boeroeh
Haroesroekoen, oleh S. Partoatmodjo, artikel ini menyampaikan
sebuah pesan kepada seluruh buruh di Hindia agar hidup rukun
167
Sinar Hindia 2 Mei 1918 168
Sinar Hindia 7 Mei 1918
130
satu sama lain untuk melawan setan uang (kapitalis). ―kini soedah
masanja kita sekalijan kaoem boeroeh haroes mangada
kekoeatan, jaitoe roekoen! Sebab kalau tiada demikian barang
soedah tentoe tiada akan kesampaian maksoed kita!.169
Indie Werbaar yang akan dibuat oleh pemerintah Belanda
terus mendapati penolakan dan artikel itupun terus dimuat dalam
Sinar Hindia. Darsono adalah salah satu tokoh pergerkan
sekaligus redaktur Sinar Hindia yang menolak keras Indie
Werbaar. Ia menulis artikel berjudul Giftige Waarheidspijlen
(Panah Pengadilan Beracun), baginya Indie Werbaar sama saja
menjual bangsanya pada setan uang (kapitalis), seharusnya setan
uang itu dilawan bukan dibantu. Dia juga menyinggung sikap
Abdoel Moeis yang setuju dengan didirikannya Indie Werbaar,
bahkan Moeis bersama Dwijosewojo pergi ke Belanda untuk
melakukan konsolidasi dan propaganda. Darsono melaporkan
dalam tulisannya bahwa semua perkumpulan di Hindia sudah
setuju dengan Indie Werbaar tapi ada organisasi besar yang tidak
setuju, yaitu, ISDV (Indische Social Democratische Vereneging),
Sarekat Islam Semarang, dan perkumpulan bangsa Tionghoa.
Persoalan tentang kerukunan buruh yang sempat ditulis oleh
S. Partoatmodjo pada 8 Mei 1918, kemudian disinggung kembali
oleh penulis yang mengatasnamakan Kaum Buruh. Ia menulis
artikel berjudul ITOE BAGOES (Menjamboeng oerainnja toean
S. Partoatmodjo SH no 100 jang berkepala Kaoem Boeroeh
Haroes Roekoen). Pada dasarnya sama saja dengan sampaikan
Partoatmodjo, namun ia menambahkan untuk melawan kapitalis
169
Sinar Hindia 8 Mei 1918
131
harus dibuat sebuah perkumpulan buruh, perkumpulan itu
diibaratkan sebagai sapu lidi yang kuat, karena lidi yang tunggal
itu lemah maka setalah bersatu maka akan kuat. ― elama kita
beloem terikat mendjadi satoe lebih terang lagi sekalian bangsa
kita kaoem boeroeh beloem mempoenjai kekoeatan goena
melabrak kaum setan oeang‖.170
Darsono kembali melanjutkan tulisannya yang berjudul
Giftige Waarheidspijlen, kali ini ia mempertanyakan keadilan
peraturan-peraturan yang dijalankan oleh pemerintah,
diantaranya: (1) pemerintahan, (2) sekolah, (3) perusahaan tanah
dan hewan, (4) kesehatan rakyat, (5) pajak, (6) lumbung dan
bank, (7) perdagangan, (8) pegadaian, (9) candu, (10) militer, dan
(11) transportasi. Darsono menjelaskan bahwa sejak kedatangan
Belanda ke Hindia, mereka menganggap rendah Bumiputera,
bahkan sejak 1831 Bumiputera dianggap pemalas maka oleh
mereka orang Belanda dipaksa untuk bekerja. Menurutnya
kedatangan bangsa Belanda ke Hindia hanya mencarin
keuntungan semata, adapun peraturan-peraturan yang pemrintah
Belanda buat, bagi Darsono hanya berdasarkan pada keuntungan
yang dihasilkan, karena selalu memberatkan pihak Bumiputera.171
Kritik dalam Sinar Hindia terhadap pemerintah tidak melulu
negatif, adakalnya saat pemerintahan di suatu daerah itu memang
baik maka berita ataupun artikel yang terbit pun akan mengatakan
kebaikan itu. Sebagaimana yang terjadi di afdeling Majalengka,
atas nama Wong Goenoeng sang penulis menulis artikel berjudul
170
Sinar Hindia 11 Mei 1918 171
Sinar Hindia 13 Mei 1918
132
Pemandangan dalam Afdeeling Madjalengka. Artikel ini
mendeskripsikan tentang afdeling Majalengka sebagai afdeling
terkecil di Karesidenan Cirebon, namun berhasil menjadi afdeling
yang sadar akan kemajuan rakyat. Kesadaran itu tercipta karena
para pembesarnya sangat memperdulikan rakyatnya, selain itu
keamanan di wilayah ini pun sangat terjamin. Sayangnya warga
afdeling ini masih sangat rendah dalam minat baca, terutama
membaca koran sehingga tertinggal dalam hal perkembangan
zaman.
―Hanja sajang dalam afdeeling ini ra jatnja koerang gemar
batja soerat kabar terboekti di mana pertemoean kalau salah
satoe tjerita adanja kemajoean-kemajoean atau anaeh-aneh
di lain tempat, kebanjakan mereka itoe lantas
menggojangkan kepala‖.172
Dalam Sinar Hindia nampaknya Marco sebagai salah satu
redaktur mendapat ruang yang cukup luas dalam menulis dan
mengkritik pemerintahan dan kaum kapitalis. Kali ini ia menulis
artikel berjudul Sama Rata Sama Rasa, isinya adalah kritik
kepada para raja-raja Jawa yang memanggil para pejabat Belanda
dengan nama yang sangat berlebihan, misalkan Susuhanan Solo
men ebut nama Gubernur Jenderal ―E ang‖ dan kepada residen
atau bupati ―Papah‖. Menurut Marco panggilan ang berlebihan
itu sama saja dengan merendahkan diri sendiri dan ia menduga
bahwa hal itu dilakukan oleh para raja Jawa hanya untuk
dipandang oleh kaum kapitalis. Bagi Marco ―sebagai socialist
kita mesti bisa memberanikan kaum kromo orang boeroeh,
dengan cara meninggikan derajat dan minta toeroen prestige
172
Sinar Hindia 25 Mei 1918
133
Belanda jang keliwet, sebab prestige inilah jang bisa
mengoeatkan peperasan kaoem oeang‖.173
Bagi Marco harusnya
mereka sadar kalau kaum kapitalis sering mengucapkan kata-kata
kasar kepada Bumiputera misalkan ―orang Djawa bangsat, orang
Djawa koerang adjar, orang Djawa binatang!.
Jika pemanggilan nama yang berlebihan kepada para pejabat
itu tidak dihilangkan, maka akan menjadi racun kemanusiaan dan
stratifikasi sosial akan sangat terlihat hal itulah yang mereka
harapkan. Bagi Marco hidup seharusnya sama rata-sama rasa.174
Nampaknya para pejabat pemerintahan tidah hanya berat
sebelah dalam memutuskan sebuah perkara hukum, beberapa dari
mereka pun ada yang menggelapkan pajak, seperti yang
diceriterakan dalam artikel Ini dan Itoe dari Controle Afdeeling
Pare (Kediri), oleh Embah Boedha. Keadaan afdeling Pare
selama kepemimpinan kontrolir Kusarteno dan Belhbeter terjadi
banyak penindasan, umumnya pengambilan lahan sawah untuk
pabrik gula Kenceng, selain itu terjadi juga praktik pemalsuan
pajak dan penggelapan pajak bunga tanag (landrente). Dalam
artikel ini penulis mengutip perkataann a nevliet dan oeha ija
yang mengatakan bahwa kebanyak kontrolir adalah budak-
budaknya pabrik gula. Si penulis menegaskan,
―Sekarang teranglah soedah bahwa penindasan-penindasan
kepada ra jat di desa-desa itoe sebagian ada dilakoekan oleh
ambtenar-ambtenarnja regeering dan capitalist tiada bisa
bikin apa-apa djika tiada dibantoe oleh ambtenaar-
ambtenaarnja regering‖.175
173
Sinar Hindia 28 Mei 1918 174
Sinar Hindia 29 Mei 1918 175
Sinar Hindia 30 Mei 1918
134
Z. Mohamad sebagai salah satu penulis produktif di Sinar
Djawa, juga masih aktif menulis saat berubah nama menjadi
Sinar Hindia. Kali ini ia menulis artikel Pengadilan di Rusland,
isinya adalah sedikit kisah perjuangan kaum buruh di Rusland
yang menuntut keadilan hukum kepada pemerintah. Tuntutan
mereka itu tidak digubris, bahkan pemimpin-pemimpin mereka
banyak yang gantung dan dibuang karena dianggap mengancam
hubungannya dengan para pemodal atau kaum kapitalis.
Hal yang demikian juga terjadi di tanah Hindia, kaum buruh
yang sudah melek atau sadar akan penindasan yang dilakukan
pemerintah Belanda dan setan uang melakukan perlawanan.
Mereka membuat gerakan buruh yang masif, namun gerakan itu
segera ditumpas oleh pemerintah dengan tangan besi.
―Boektinja di waktoe kita baroe sedari tidoer, pemerintah
telah mengoelangkann tangan besinja goena melempar
keloear dari Hindia tiga orang pemimpin kita dengan adanja
itoe poetoesan jang didjatoehkan tiga pemimpin, mata kita
djadi terboeka lebar membikin napsoe kita mengedjar hak
kita…..‖.
Persekutuan antara pemerintah dan kapitalis melahirkan
pemerintahan yang represif.176
Kalau kita pahami mengapa pergerakan Bumiputera begitu
masif, mereka berusaha menagih janji pemerintah yang akan
mengangkat derajat Bumiputera. Awal abad 20 menjadi titik
tolak dari politik etis di mana janji itu dimulai, tapi kenyataannya
janji itu tak urang ditepati. Ada satu artikel yang membahas ini
yaitu, Doeloe dan Sekarang, oleh Soepeno. Penulis melakukan
176
Sinar Hindia 3 Juni 1918
135
perbandingan perlakuannya pemerintah terhadap Bumiputera
sejak era tanam paksa (cultuurstelsel) sampai tahun 1918.
Baginya tida ada perubahan semuanya tetap sama, tidak
menguntungkan Bumiputera yang berbeda hanya caranya saja.
―Mengenai apa jang terseboet di atas maka saja berani bilang
bahwa haloesnja pemerintah jang doeloe dan sekarang tida ada
bedanja melainkan djalannja sadja ada sedikit berlainan‖.177
Saat pergerakan Bumiputera bangkit di mana-mana
pemerintah malah menganggapnya sebagai suatu bahaya, maka
mereka mengekangnya dengan peraturan (wet). Masih dengan
Soepeno sebagai penulis, ia menulis artikel Kemerdika’an
Pergerakan, gagasan utamanya menghapus semua peraturan yang
melarang berdirinya sebuah perkumpulan.
Kali ini ia menuntut untuk dihapuskan pasal 111 R.R, 63,
66A dan B, pasal-pasal ini lah yang megahalangi pergerakannya
Bumiputera.
―Mesti linjap dari wetboek artikel 111 R.R, artikel mana
jang mengalang-ngalangi kita orang boeat mendirikan
perhimpoenan-perhimpoenan dan mengadakan vergadering-
vergadering. Bagaimana artikel itoe berbahaya boeat
pergerakannja ra jat Hindia. Djoega artikel 63 dan 66 a dan
b dilinjapkan sebab artikel-artikel itoe berbahaja sangat boet
journalist-journalist di Hindia teroetama bangsa
Boemipoetra‖.178
Dengan pasal-pasal ini pemerintah bisa dengan seenaknya
mengasingkan siapa saja yang ia pandang berbahaya.
Masih di hari yang sama Z. Mohamad menulis artikel
Pemandangan dalam Vergadering Insulinde, ia mengikuti rapat
177 Sinar Hindia 5 Juni 1918
178 Sinar Hindia 8 Juni 1918
136
umum yang dilaksanakan oleh perkumpulan Insulinde pada 26
Mei 1918 di alun-alun Semarang. Sampai ia menyimpulkan
bahwa Insulinde berdusta, ia mengatakan kepada publik kalau ia
akan membela kepentingannya kromo, karena tenyata Insulinde
bersekutu dengan setan uang (kapitalis).
Pembahasan tentang ketidak adilan dalam Sinar Hindia terus
bergulir kali ini ada artikel berjudul Raad Wit en Blauw (Merah
Poetih dan Biru), oleh M.A. Penulis sengaja menggunakan judul
itu untuk menggambarkan benderanya Kerjaan Belanda yang
sudah ratusan tahun berkibar di seluruh Hindia. Baginya
keberadaan Belanda yang sudah ratusan tahun di Hindia tidak
membawa maslahat untuk Bumiputera karena tidak berlaku adil,
misalnya hukum dan pengadilan berat sebelah, bahkan bisa
dibayar oleh orang-orang yang beruang. Bangsa kromo
Bumiputera adalah pihak yang paling menerima beban berat dari
peraturan-peraturan yang dibuat. Di samping itu mereka juga
startifikasi sosial untuk membedakan derajat Bumiputera,
―Penduduk Hindia dibaginjalah mendjadi 3 pangkat: (1) bangsa
Eropa dan jang disamakan kepadanja, (2) bangsa Hindia
bangsawan, dan (3) bangsa Hindia logoe dan jang disamakan
kepadanja. Jelas kromo menempati derajat terendah.
Untuk mendapatkan keadilan yang sejati bangsa kromo harus
bersatu melawan mereka dan filosofi tiga warna itu pun bisa
digunakan sebagaimana merah itu berapi-api dan berani, putih
kesucian dan kebenaran, dan biru artinya langgeng.179
179
Sinar Hindia 12 Juni 1918
137
Dampak yang paling dirasakan oleh rakyat Bumiputera dari
industri yang terus digalakan oleh kapitalis adalah kekurangan
bahan pangan terutama beras. Lahan yang seharusnya digunakan
untuk sawah malah dijadikan lahan tebu untuk pabrik gula. Selain
itu kelangkaan juga disebabkan harga-harga naik akibat perang di
Eropa. Kondisi yang seperti ini bisa menyebabkan kelaparan di
Hindia, oleh karena itu pemerintah mengambil kebijakan agar
tidak menjual barang-barang ke luar Hindia dan membuat
bebrapa lumbung padi.
Pemerintah membeli padi dari petani kromo, kemudian
disimpan dan akan dijual saat paceklik datang dengan harga yang
lebih mahal sebagai tambahan biaya operasional. Dengan
kebijakan itu masyarakat awam akan menilai usaha pemerintah
amatlah baik, tapi bagi penulis artikel Pemandangan Tentang
Loemboeng Toeloengan yaitu, Anti Schijn Pencinta Kromo,
usaha itu tidak lebih dari memperdaya kromo saja.180
Kelicikan pemeritah Belanda tidak berhenti pada soal
lumbung padi saja, seperti yang sudah diungkap sebelumnya, hal
yang sering dilanggar adalah peraturan yang telah mereka buat
sendiri. Misalkan dalam artikel berjudul Tidak Adil tulisan RTD
Atmodjo. Pemerintah padahal sudah membuat aturan pada hari
pertama bulan puasa, semua pabrik diliburkan, tapi kenyataannya
masih ada pabrik yang buka dan masih ada kromo yang bekerja.
Dalam situasi seperti ini kromo menghadapi dilemma, pasalnya
jika ia libur maka akan dianggap sedang memberontak tuannya.
Saat kejadian seperti ini pemerintah pun tidak bisa mengambil
180
Sinar Hindia 13 Juni 1918
138
keputusan yang adil, mereka malah membela tuan pabrik yang
jelas salah.
Tak habis-habis pemerintah Belanda mendapat kecaman dari
Bumiputera, kali ini lagi-lagi Z. Mohamad yang melakukannya.
Ia menulis artikel Pendjagaan Tebda, menurutnya kedatangan
para pedagang dari Belanda ke Hindia telah membawa
kesengsaraan yang amat panjang. Penyebab kesengsaraan yang
paling utama menurutnya adalah saat Jenderal Daendels datang
dan membuka jalan besar. Daendels mempekerjakan paksa kromo
hingga tidak sedikit dari mereka yang mati, ia pun berdalih
pembukaan jalan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat Hindia agar tidak kelaparan.
Namun sayangnya infrastruktur jalan yang dibangun
Daendels itu diperuntukan untuk kelancaran usaha para
pengusaha swasta. Para pengusaha swasta yang disebut dengan
setan uang itu pun malah membawa kesengsaraan bagi
Bumiputera, karena mempekerjakannya bagai perkakas atau
mesin saja.181
Marco kembali menohok pemrintah dan kaum kapitalis, tapi
kali ini ia menerbitkan sajak berjudul Penoentoen yang pesannya
tidak mudah menjadi pemimpinnya kaum kromo, harus berani
dan tulus; berikut penggalan sajaknya:
Penoentoen
Tidak gampang mendjadi penoentoen
Kromo tertindas bertahoen-tahoen
Dia bertereakan minta ampoen
181
Sinar Hindia 18 Juni 1918
139
Seperti orang memakan ratjoen
Manoesia jang mendengarkannja
Soearanja jang seperti disiksa
oenggoeh ta bisa tahan hatinja
Mengepel tangan dengan berkata:
Hai! penghisap darahnja Kromo
Dengarkanlah soearanja kang Kromo
Kamoe mengisap seperti boeto
Boetoe sabrangan jang amat moerko
Begitoe kala Leider jang berani
Tidak menghitoeng apa jang djadi
Jang mengenai diri sendiri
Asal soedah berkata berani
Bagaimanakah akalnja Leider?
Menoloeng kang Kromo yang dipoeter?
Insulinde kembali mendapat kritik dari seorang penulis
bernama Soepeno dalam artikelnya Giftge Zoetigheid. Sikap
kooperatifnya Insulinde lagi-lagi ditolak oleh penulis baginya
sikap insulinde yang seperti itu membahayakan Bumiputera.182
Marco tidak kehabisan bahan untuk mengkritik pemerintah,
ia adalah orang yang terus menyosialisasikan slogan ―sama rata
sama rasa‖, judul artikelnya kali ini adalah Kita Orang poen
Manoesia!. Dalam artikel ini ia menuntut hak memilih (klesrecht)
dewan rakyat di Hindia, karena baginya Bumiputera juga adalah
182
Sinar Hindia 24 Juni 1918
140
manusia yang mempunyai hak memilih. Dengan hak memilih
Bumiputera lebih leluasa untuk melakukan apa saja.183
Tidak habis-habisnya para pejabat pemerintahan
memanfaatkan kaum kromo yang sebagian besar masih buta
huruf dan minim pengetahuan. Seperti yang dilakukan oleh
seorang wedana di Kutoarjo yang dipublikasikan dalam artikel
Apakah Ratjoen. Wedana Kutoarjo itu memungut uang sebesar
f.1 kepada setiap buruh atau petani sehingga terkumpul sebesar
f.13.000. Wedana itu berencana menggunakan uangnya untuk
membeli kelapa kemudian dijual kembali, keuntungan dari hasil
penjualan itu akan dibagikan kembali kepada buruh dan petani.
Namun penulis mempertanyakan transparansi keuangan yang
dicuragai akan dicurangi oleh wedana. Artikel ini terbit di hari
yang sama dengan tulisannya Marco.
Sinar Hindia kembali menerbitkan soal kebijakan pemerintah
yang dianggap tidak tepat sasaran, sang penulis S. Dipanagara
menulis tentang Hal Wadoek (talih) dan Woning
Woningvwerbetering, isinya adalah tentang penolakan terhadap
pembangunan waduk dan penggusuran rumah (woning
verbetering). Penolakan ini dilakukan karena akan menggusur
sekiat 88 desa di dekat Rawa Pening dengan jumlah penduduk
150.000 orang. Walaupun rencana pembangunan itu masuk
anggaran belanja 1918-1920.184
Sinar Hindia edisi 29 Juli
1918 menerbitkan berita tentang Openbare Vergadering SI
Betawi atau rapat umum SI Betawi. Rapat umum ini dilakukan
183
Sinar Hindia 28 Juni 1918 184
Sinar Hindia 30 Juni 1918
141
pada 21 Juli 1918 di Deca Park Betawi. Rapat ini dihadiri oleh
lebih dari 5000 muslim, rapat dibuka pada pukul 8.30 ditandai
dengan sambutan ketua SI Betawi Notoatmodjo. Rapat ini juga
hadiri oleh tamu dari berbagai daerah dan pers. Masalah yang
dibahas dalam rapat ini di antaranya, soal pelayanan kesehatan
terhadap bangsa kromo. Jika bangsa kromo sakit maka pelayanan
dilakukan dengan tidak maksimal misalkan dalam narasi berikut
ini,
―Toean Moh. Saleh jang beroemah di Salemba. Di dalam
roemahnja Moh. Saleh ada jang terserang penjakit tjatjar.
Toean tersebut hanja disoentik sadja di
Gezondheidadienstburesu tiada dibawa ke
Hulpstadsverband‖.
Persoalan lain yang dibahas di antaranya: (a) soal
kebebasannya orang-orang yang di tahan di asosiasiperkotaan
bantu (hulpstadsverband) terbatasi karena dilarang berbicara lagi
saat sudah jam 6 sore, (b) soal kebersihan dan kesehatan di
hulpstadsverband, (c) minimnya tempat ibadah.185
Pentingnya pendidikan politik untuk membangun kesadaran
bagi Bumiputerapun dibahas, kali ini ada artikel berjudul
Pendidikan Politik. Gagasan utamanya adalah tentang pencalonan
anggota SI Semarang dan ISDV dalam pemilihan dewan rakyat
(gementeraad) yang dianggap juga sebagai pendidikan politik
untuk Bumiputera. Seperti yang telah disingung oleh Marco
sebelumnya tentang hak pilih Bumiputera yang harus diberikan
untuk memilih dewan rakyat yang mereka kehendaki. Namun
dalam pencalonan dan pemilihan itu dibayang-bayangi
185
Sinar Hindia 29 Juli 1918
142
kecurangan yang akan dilakukan oleh perkumpulan
Semarangschekies Vereniging dan Insulinde yang terindikasi
bekerjasama dengan kaum kapitalis.
Semarangschekies Vereniging itu sendiri dipimpin oleh
bangsa Belanda yang mengusung kepentingan keturunan
Belanda. SI Semarang dan ISDV menghadapi sebuah kesulitan
karena tidak akan mungkin para kapitalis akan memilih calon-
calon dari mereka karena jelas akan merugikan mereka
kedepannya.186
Artikel tersebut kemudian mendapat tanggapan dari anggota
SI bernama Heroetjokro yang menulis artikel Pilihan lid
Gementeraad Bumiputera Semarang. Ia mempunyai saran agar
janganlah SI Semarang dan ISDV menjatuhkan nama Insulinde
karena pada dasarnya tujuan ia sama-sama meninggikan derajat
Bumiputera dalam dewan rakyat. Apalagi Insulinde memiliki
ratusan hak pilih, jika dibandingkan SI dan ISDV yang hanya
memiliki 40 hak pilih. Oleh karena itu seharusnya organisasi-
organisasi seperti ISDV, VSTP, SI, dan Insulinde saling
bekerjasma bukang salin serang.187
Indie Werbaar seperti tidak pernah seutuhnya disetujui oleh
Bumiputera, hal itu digambarkan oleh artikel Indie Werbaar
dengan……Lapar, oleh Pro-countant. Penulis sangat tidak
sepakat dengan Indie Werbaar yang akan disidangkan dalam
volksraad di bulan Oktober, karena orang Jawa dipaksa jadi
serdadu untuk melindungi harta kekayaannya setan uang, selain
186
Sinar Hindia 31 Juli1918 187
Sinar Hindia 1 Agustus 1918
143
itu pajak untuk Bumiputera pun dinaikan. Seperti apa yang
dikatakan artikel ini,
― ambahan lagi, padjaknja diberatkan boeat bajar onkostnja
Werbaar (Militie). Jang djadi soldadoe (militia) orang
Djawa, jang bajar (padjak) ongkostnja orang Djawa, jang
djadi pemboeneoh orang Djawa, jang melarat sahingga
orang Djawa, jang di rangkat orang Djawa, jang diboeneoh
orang Djawa, jang ngrampok orang Djawa, jang anoe-anoe
orang Djawa‖.188
Sang Marco terus mewarnai halaman depan Sinar Hindia,
kali ini ia mengambil semangatnya bangsa Jepang sebagai bangsa
Asia yang dihormati, ia menulis artikel berjudul Azia boeat
Orang Azia. Ia menghadirkan fakta bahwa bangsa Jepang adalah
bangsanya asia yang derajatnya sama dengan orang Eropa, karena
Jepang dibekali oleh senjata yang mempuni sehingga musuhpun
takut. Marco menbyarankan agar sesama bangsa Asia bersatu
terutama dengan Jepang agar bisa melawan penjajah bangsa
eropa.189
Adil dan Dzalim oleh S. Prawirosoemarto, menjabarkan
penyebab ketidakadilan itu lahir dari orang-orang yang memiliki
jabatan, diantaranya karena pengaruh uang, pengaruh orang lain,
dan ingin menampakan kegagahan dirinya.190
Saat situasi politik tidak stabil karena guncangan terus
dilakukan oleh para penggerak dari berbagai perhimpunan, cara
paling efektif yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah
dengan membuat undang-undang yang mematikan gerak mereka.
Seperti halnya yang dilakukan pada para jurnalis yang berhaluan
non kooperatif yang kerap mengkritik pemerintah. Pembatasan
188
Sinar Hindia 2 Agustus 1918 189
Sinar Hindia 7 Agustus 1918 190
Sinar Hindia 8 Agustus 1918
144
gerak jurnalis disampaikan oleh artikel berjudul Awas Kaoem
Journalist, sesuai staadblad tahun 1914 nomor 205 yang
bunyinya,
―Siapa jang dengan perkataan atau tanda-tanda dengan
pertoendjoekan atau dengan lain roepa djalan goena
menimboelkan atau memadjoekan perasa an perseteroen
bentji atau pertjela an di antara berbagi-bagai golongan
ra jat Nederland atau pendoedoek Hindia Belanda bakal
dihoekoem: enam hari hingga 5 tahoen‖.
Pasal ini dianggap pasal karet yang bisa menjerat siapapun yang
dikehendaki oleh pemerintah.
Selain itu hukum delik pres (presdelict) tidak lagi ditangani
oleh pengadilan (raad van justitie), tapi langsung ke pengadilan
negeri (landraad).
―Menilik keada an djaman sekarang Ini seolah-olah
pemerentah dengan betoel beteol memberangoes moeloet
pers, soepaja pers tidak berani berkata sebetoelnja.sebab
semakin lama wet semangkin sempit memberi kemerdekaan
pers. Regeering kita sekarang seolah-olah menoetoep
moeloetja kaoem journalist‖.
Di akhir artikel ini penulis menghimbau agar semua jurnalis di
Hindia, baik itu bangsa Belanda, Tionghoa, dan Bumiputera
untuk membuat perhimpunan jurnalis (jurnalisten bond) agar
terbebas dari penindasannya pemerintah.191
Setelah lama menghilang pembicaraan tentang Douwes
Dekker (DD) yang diasingkan oleh pemerintah Belanda, namanya
kembali muncul saat Marco membicarakan sikapnya terhadap
penindasan di Hindia setelah lama diasingkan. Dalam artikel
Douwes Dekker Tidak Beroebah Haloeanja, awalnya Marco
191
Sinar Hindia 11 Agustus 1918
145
menduga bahwa sikap DD berubah atau tidak bisa bersatu dengan
sikapnya Marco yan merupakan pihak SI dan ISDV dengan DD
dari Insulinde. Dugaan itu ternyata tidak terbukti, DD masih
sangat peduli dengan kondisi di Hindia, cita-citanya masih sama
untuk memerdekaan rakyat Hindia.
Untuk meyakinkan itu Marco mengutip pernyataan sikapnya
marco terhadap organisasi-organisasi di Hindia dari koran Djawa
Tengah. Berikut penuis kutip pernyataannya DD: Sikapnja pada
orang Tionghoa: ia bilang bahwa Tiong Hoa Hwee Koamshool
vereniging tiada mempoenjai dasar politiek, tapi iakasih tahoe,
bahwa orang Tionghoa tiada bertjidra pada Indissche Partij.
Maksosednja persama an dari keperloeannja pekerdjaan tjoega.
Spreker tahoe betoel bahwa orang Tionghoa bisa ditarik ka
perhimpoenan insulinde dan marilah kita moesti adjak marika,
meskipoen kita ditoedoeh, bahwa kita tjoemah pemboeroe
oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi keperloeannja tiada
diperhatikan. Sikapnja pada NIV: ini perhimpoenan Nederland
Indie Verenigng tjoema boeat orang-orang Europa di Hindia
Sadja, tapi haloeannja toch hampir sama sadja dan itoe
perhimpoenan djoega soeka bersama-sama kedja dengan Insulide,
ternjata dalam pilihan boeat gemeenteraad jang telah laloe.
Djoega sekarang ini soedah soeka ambil lid lain. Sikapnja pada
SDAP: kalau kita, Insulinde tiada boeta maka di lain partij ada
timboel maksoed roepanja sadja seperti dalam fihak moesoeh
kita. Sikapnja pada ISDV: D.D. anggap pemimpin-pemimpin
dari perhimpoenan ISDV ada orang-orang jang lakoekan
toedjoeannja Marx. Diantaranja ada jang doega bahwa kaoem
146
Insulinde berboeat tida socialistish, tapi toch tida boleh
diloepakan bahw kaoem ISDV membenarkan toedjoean
Insulinde. Dengan begitu DD pun sepakat dengan pembrontakan
kepada kapitalis sebagai cara terakhir.192
Masih dengan Marco, ia meneruskan pembahasannya tenang
Sama rata Sama rasa, kali ini Marco menulis artikel sebuah
perckapan antara dia dan temannya, dimulai dengan pertanyaan,
tinggi manakah deradjatnja bangsa Hindia dengan sapi perasan?
Marco jelas menjawab bangsa Hindia, namun temannya
membantah. Bagi temannya itu lebih tinggi derajat sapi peras,
karena ia diberi makan cukup dan dirawat dengan baik. Sekalipun
saat tenaganya habis sapi tau kerbau bisa dipotong dan
dagingnyabisa dimakan. Sedangkan bangsa Hidia untuk makan
saja susah apalagi untuk hidup dengan baik, hanya tenaganya
yang diambil sampai mati. Begitu rendah derajat Bumiputera
bahkan lebih rendah dari seekor sapi.193
Masih di hari yang sama, menyambung artikel tentang
peraturan pers yang semakin dibatasi oleh pemerintah, respon
yang dilakukan oleh para jurnalis bukanlah diam atau
menghilang, mereka malah menampakan diri dengan berani.
Seperti kasus di Solo saat surat kabar milik SI Solo yaitu
Sarotomo tidak lagi terbit, maka terbitlah surat kabar dengan
nama Pasopati. Pasopati sendiri adalah nama yang diambil dari
cerita perang Baratayudha sebagai senjataya Raden Harjo
Danoedjojo. Perbedaanya Pasopati adalah pers yang kan bersuara
192
Sinar Hindia 14 Agustus 1918. 193
Sinar Hindia 17 Agustus 1918
147
keras mengkritik pemerintah karena zaman penindasan semakin
menjadi. Pasopati menjadi pers yang akan bersuara lantang
seperti yang dinyatakan oleh Marco sebagai penulis artikel
berjudul Pasopati ini.
―Mendjadi misiti sama dengan ARO-TOMO tjoemah sadja
soera kita terpaksa tidak bisa haloes bagi telinga Regering
sebab zamannja soedah amat soeka sekali, sedang adanja
tindasan malahan bertambah banjak dan beratnja‖.
Marco seakan tidak lelah menulis, terbit lagi artikel berjudul
Kita orang poen manoesia! (Hal Gemeenteraad), pesannya
adalah hak pilih untuk memilih dewan kota praja (gemeenteraad)
meluas. Kali ini bukan hanya orang dengan penghasian tiggi dan
kemampuan berbahasa Belanda saja yang bisa memilih, semua
orang yang membayar pajak berhak memilih. Namun sayangnya
dewan-dewan dari Bumiputera lebih sedikit daripada dewan
Belanda, misalkan keadaan Gemeenteraad Semarang sekarang
jumlah dewan bangsa Belanda lebih banyak yaitu, 15 orang, 8
orang Bumiputera, dan 4 orang timur asing (Tionghoa dan Arab).
Oleh karenanya Marco menyarankan untuk dibalik, 15
Bumiputera, 8 Timur Asing, dan 4 Belanda. Selain itu ia sudah
membuat saran yang diterbitkan di koran Doenia Bergerak agar
pemerintah mau membuat petugas yang mengumpulkan laporan-
lapoan dari kampung-kampung, petugas itu dipilih oleh
Bumiputera yang nanti akan digunakan sebagai rekomendasi
kepda pemerintah. Hal tersebut lebih mengirit biaya daripada
volksraad. Anggota volksraad pun pada dasarnya tidak
mempunyai suara langsung dari rakyat, suara mereka hampir
sama dengan sering disuarakan oleh surat kabar. Terakhir,
148
penulismenarankan dalam dewan kotapraja digunkaan bahasa
Jawa atau Melayu saja agar semua angota bisa saling
berkomunikasi dengan baik.194
Selain Marco sebagai salah satu redaktur Sinar Hindia,
Semaoen sebagi direktur redaktur pun turut aktif menulis. Ia
melakukan kritik terhadap volksraad dalam artikel Kita Orang
Mesti Segadja. Bagi Semaoen Volksraad adalah tempat komedi
yang dibuat pemerintah, dewan rakyat di volksraad pegerakannya
dibuat lembek dan lambat. Selain itu pemerintah telah membuat
hukum-hukum baru (lihat atas) yang kan menjerat siapun yang
menebar kebencian kepada pemerintah. Hukum itu dibuat
berhubungan dengan presdelictnya Sneevliet yang mampu
menunjukan kelemahannya aturan itu. Para jurnalispun sekarang
harus melalui hukuman di pengadilan negeri. Pemerintah adalah
alatnya kapitalis apalagi saat politik opendeur dibuka, dengan
politik itu para pengusaha swasta bisa masuk dengan bebas.
Untuk menghilangkan penindasan ini maka Bumiputera harus
melawannya.195
Tidak selamanya orang sepakat dengan perlawanan yang
terus dilakukan oleh Marco, ada saja orang yang menganggap
bahwa ia bukanlah orang terpelajar dan ia hanya bisa membuat
keresahan di masyarakat. Pernyataan itu langsung dibantah oleh
Marco dalam artikel Dorongan oentoek si Pendjilat. Di sini
Marco mencoba menggambarkan dua sosok Belanda yang
dipecat dari pekerjaannya karena membela kemanusiaannya
194
Sinar Hindia 20 Agustus 1918 195
Sinar Hindia 21 Agustus 1918
149
Bumiputera. Selain itu dia menyinggung para penjilat yang ingin
mendapatkan atau sekedar mencicipi hasil dari kapitalisme. Ia
pun mebantah tuduhan bahwa dia adalah orang tidak terpelajar, ia
mengakui memang dia bukan seorang lulusan sekolah tinggi tapi
dia membuktikan pada semua orang karena turun ke medan
kemajuan untuk membela bagsa Bumiputera196
.
Dua hari setelah artikel ini terbit Marco yang dikenal sebagai
jurnalis berhaluan sosialis mencoba memberitahukan bahwa
dirinya menganggap saudara dengan semua orang yang tertindas
baik serdadu, materus, maupun orang preman dan ternyata benih
sosialisme telah meraja dihatinya balatentara daratan dan
lautan.197
2) Artikel pendidikan
Setelah artikel politik yang mendominasi halaman depan
Sinar Hindia, para penulis masih mempersoalkan pendidikan di
Hindia meski tak sebanyak seperti Sinar Djawa. Artikel pertama
ditulis oleh salah satu redaktur Sinar Hindia yaitu Darsono, ia
menulis Giftige waarheidspijlen (Panah Pengadilan beratjoen).
Darsono kecewa dengan sistem pendidikan yang diterapkan
pemerintah Belanda, menurutnya sekolah-sekolah itu diadakan
hanya untuk memperbesar keuntungan setan uang (kapitalis) saja
dengan mendirikan sekolah-sekolah kejuruan,
―Sekolah machinist boeat pabrik-pabrik atau spoor dan tram
kepoenjaanja setan oeang asing. Sekolah opalchter begitoe
djoega sekolahan dagang idem, opleiding school boeat
196
Sinar Hindia 23 Agustus 1918 197
Sinar Hindia 25 Agustus 1918
150
ambtenaar idem, HBS idem, cultuurschool di Soekaboemi
idem, sekolah dokter setali tiga oeang dan begitoe
sebagainja .198
Darsono juga menyinggung soal gaji guru, ia meminta
kenaikan gaji jika tidak maka ia akan membat protes. Buruknya
sistem pendidikan di Hindia amat disayangkan oleh Darsono,
padahal sudah 300 tahun Belanda berdiam di Hindia tapi masih
banyak orang yang bodoh. Dengan keadaan seperti maka yang
sangat dirugikan adalah bangsa kromo.
Permasalahan gaji guru kembali disinggung oleh penulis
bernama Jono Patier dengan artikelnya Chabar jang
menjedihkan. Ia mendapat kabar dari PGHB (Persatuan Guru
Hindia Belanda) cabang Bandung tentang gaji guru Bumiputera
yang akan segera diperbaiki, tapi itu hanya berlaku untuk guru
lulusan Kweekschool saja. Jono Patier meresponnya dengan
kecewa, baginya keputusan itu tidak adil karena masih berat
sebelah. Guru-guru bantu pun harus menerima kenaikan gaji
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, protes sudah dilakukan
berulang kali lewat tulisan-tulisan, ia juga mengajak kepada
kromo untuk bergerak bersama-sama meminta kenaikan gaji.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Hindia selain untuk
kepenting kapitalis penerapannya pun dianggap berat sebelah,
dalam hal ini lebih mementingkan orang dari bangsa Belanda,
buktinya adalah pemerintah hanya main-main memberikan
pengajaran kepada Bumiputera, lambat dalam menangani
keperluannya sekolah Bumiputera, tidak mau membayar guru,
dan jika sekolah Belanda rusak langsung diperbaiki, tapi sekolah
198
Sinar Hindia 2 Mei 1918
151
Bumiputera tidak. Keterangan ini ditulis oleh Gato Lotjo dalam
tulisannya Boeah Fikiran.199
Pentingnya sebuah pendidikan untuk Bumiputera tertuang
dalam artikel Kita dan Onderwijs, sekolah adalah tempat untuk
mengembangkan kemampuan, mengentas kebodohan, dan untuk
menjunjung tinggi derajat. Sekolah juga bisa dijadikan senjata
untuk melawan penindasan dan menuntut keadilan.200
Marco tidak hanya aktif mengisi kolom-kolom Sinar Hindia
dengan artikel politik, dalam artikel pendidikan pun ia
menuliskan kritiknya yang tajam pada pemerintah ataupun
kapitalis. Ia menulis Orang Asia di Asia (Hal onderwijs), Marco
mencoba mendedah persoalan kebutuhan sekolah di Hindia yang
belum terpenuhi oleh pemerintah. Dengan jumlah penduduk
sekitar 60 juta orang di Hindia baru 10% yang sekolah, itupun
dengan sekolahan yang diberi seadanya yang tidak bisa dinikmati
oleh semua golongan. Yang bisa menimati sekolah itu hanyalah
orang-orang berpangkat dan beruang, berbanding terbalik jika
melihat negeri Belanda sebagai negeri induk, di mana siapapun
bisa sekolah asal ada kemauan.
Buruknya sistem pendidikan terlihat dari sekolah-sekolah di
desa untuk Bumiputera misalnya, di sekolah desa ini anak-anak
diajari oleh anak yang lebih tua kisaran usia 14-15 tahun, jumlah
sekolah yang masih sangat kurang menyebabkan ratusan anak
tidak bisa sekolah setiap tahunnya, adapun sekolah-sekolah
199
Sinar Hindia 23 Juni 1918 200
Sinar Hindia 5 Agustus 1918
152
lainnya hanya bisa dinikmati oleh prijai, hartawan, dan bangsa
Belanda,
―Masoek sekolah Belanda dilarang (bapaknja boekan
djaksa), masoek sekolah HI poen ta boleh bapaknja
ta beroeang.‖. Marco membandingkan keadaan ini dengan
negeri Belanda sebagai negeri induk ―Di tanahnja sendiri
diadakan ini, itoe, onderwijs jang mentjoekoepi, di negeri
Belanda sekalian anak jang berkepandaian dan jang ada
kemaoean (anaknja siapa djoega) dapat melandjoetkan
peladjaran…‖.
Di Hindia selain bangsa Belanda yang bisa menikmati
pendidikan dengan baik, bangsa Tionghoa adalah salah satunya.
Bangsa Tionghoa sudah sadar dengan pendidikan lebih dahulu,
tanpa bantuan pemerintah mereka bisa membangun sekolah-
sekolah untuk bangsanya sendiri dengan dibekali bahasa Inggris.
Pemerintah Belanda melihat itu sebagai suatu ancaman, oleh
karenanya dibuatlah sekolah Hollandshe Chineesche School
(HCS) untuk bangsa Tionghoa, dalam sekolah ini kemampuan
bahasa ditambah dengan bahasa Belanda. Keberhasilan bangsa
Tionghoa membangun pendidikannya adalah karena ditopang
uang yang cukup. Marco menyarankan pemerintah untuk
mengubah aturan tentang sekolah agar bisa dinikmati oleh semua
golongan dan memperbanyak sekolah guru (Kweekschool dan
Normaalschool) agar tidak kekurangan guru lagi.201
Terakhir, masih menyoal kurangnya sekolah di Hindia, S.
Joenoes menulis Hindia Kekoerangan Onderwijs. Ia
menyampaikan bahwa Hindia sudah 300 tahun diperintah oleh
Belanda tapi rakyatnya masih banyak yang bodoh, karena jumlah
201
Sinar Hndia 16 Agustus 1918
153
sekolah yang masih sangat kurang untuk Bumiputera jika
dibandingkan dengan Nederland yang banyak sekali sekolah
tingginya. Padahal perbandingan penduduk Hindia 10 kali lebih
banyak. Di Hindia hanya ada sebuah sekolah guru lanjutan
(Hoogere Kweekschool) dan kira-kira ada 7 Kweekschool dan
Noormaalscholen dan hanya ada berapa buah sekolahan
menengah (Middelbare scholen) tetapi yang bisa duduk di
bangkoe sekolahan tersebut hanya anaknya priyai dan anaknya
orang-orang hartawan.202
3) Artikel ekonomi
Masih bertalian dengan dua artikel sebelumya, selanjutnya
yang amat penting adalah artikel ekonomi dan berhubungan
dengan pekerjaannya Bumiputera. Pertama Abdoel Moeim
menulis artikel berjudul Hal koeli Kontrak (Kalau di sesoeatoe
onderneming ada kedjadian jang sangat boeroek oentoek koeli
kontrak bangsa kromo). Pesannya adalah meskipun sudah
menjadi kuli kontrak, baik laki-laki atau perempuan jangan
sampai lalai dan menjatuhkan derajat bangsa Bumiputera. ―o!
kromo!! Bangsakoe!! Miski sekarang ini telah mendjadi koeli
kontrak sekalipoen, baik laki-laki maopoen perempoean sadarlah
ja saudarakoe….‖.203
Lagi-lagi soal pembagian gaji oleh para pemilik perusahaan
tidak bertindak adil. Satoe Poor Allen menulisnya dalam Moeloet
Manis!!. Ia menyampaikan tentang pembagian gajih yang tidak
202
Sinar Hindia 22 Agustus 1918 203
Sinar Hindia 22 Mei 1918
154
adil atau tidak merata oleh kaum setan uang kepada kaum buruh,
contohnya terjadi pada buruh Bumiputera yang sudah bekerja 11
tahun tapi gajinya hanya sebesar f.40/bulan. Dengan begitu parah
buruh meminta kenaikan gaji sebar 50 f/bulan. Selain itu penulis
mengajak kaum buruh agar tidak perca a pada ―mulut manis‖
nya kaum uang yang sering menyengsarakan rakyat. Ia pun
mengajak agar kaum buruh bersatu untuk mengalahkan kaum
uang yang adalah musuh lahir batinnya.
―Apa itoe!!! Awas!! O saudara! Djangan sampai kena
pengaroehnja moeloet manis, sebab ini berbahaja soenggoeh
bagi kita kaoem boeoroeh jang nasibnja masih djelek. Ajo
saudara kaoem boeroeh, koempoelkanlah kekoeatanmoe
masih soeka berboeat sewenang-sewenang….‖.204
Jika saat membahas artikel di Sinar Djawa kita menemukan
kasus pengelolan tiket di stasiun Tugu Jogjakarta yang
semarawut, di Sinar Hindia kita temukan kenaikan harga tiket
yang terlampau mahal. Tiket yang terlampau mahal itu dianggap
tidak adil untuk Bumiputera Djawa kromo, karena kenaikan
harga tiket itu akan lebih menguntungkan pemilik perusahaan
kereta. Pernyataan ini dimuat dalam artikel berjudul Tidak Adil!!!
Ditulis oleh Satoe poor Allen.205
Z. Mohamad kembali muncul dengan tulisan Pemandangan-
nya, kali ini ia menggambarkan kejahatannya pemerintah dan
kapitalis yang bekerjasama membuat bank di afdeling-afdeling.
Siasat awalnya adalah meminjamkan uang kepada kromo dengan
alasan membantu, namun saat kromo tidak mampu membayar
atau menunggak maka tanahnya akan disita, bahkan tak jarang
204
Sinar Hindia 27 Mei 1918 205
Sinar Hindia 1 Juni 1918
155
menyeretnya ke pengadilan. Kasus itu pernah terjadi di afdeling
Kudus pada pertengahan tahun 1917, rumahnya disita karena
menunggak pinjaman kepada Koedoesche Hulpbank dan ratusan
orang dibawa ke pengadilan negeri.206
Di Sinar Djawa kita telah temukan banyak artikel yang
memuat tentang pendidikan perempuan, namun menariknya di
Sinar Hindia kita menemukan hal lain yang berhubungan dengan
perempuan. Hal lain itu adalah pekerjaan perempuan Bumiputera
sebagai seorang gundik atau Nyai-nya orang-orang Belanda.
Mereka menjadi Nyai-nya para militer laki-laki Belanda karena
tergoda oleh uang. Kasus ini banyak terjadi di daerah pabrik-
pabrik gula,
―Kemadjoean kaoem perempoean Bumiputera koerang
sekali diperhatikan oleh pihak lelaki, tandanja kalau
sajadatang di Legerkorpa soenggoeh boekan main banjaknja
perempoean bangsa kita jang mendjadi njai militairen‖.
Berita ini dimuat dalam artikel berjudul Ratjoen bagi
Perempoean Boemipoetra, oleh Seoamdi.207
Selanjutnya terbit artikel Djoeroetoelis B.B. tiada berharga
yang mempersoalkan tentang pembagian kerja yang
diperdebatkan oleh priyai dewan domestik dan dewan kehutanan
(Binlendens Bestuur dan Boschwezen), jika saling ambil
pekerjaan maka akan saling merugikan.
―Dengan pendek kita seboetkan, hal penggerakan prijai
boschwezen (kehutanan) jang ingin masoek bekerdja
kepada B.B. tentoe sadaj bakal meroegikan kepada kaoem
djoeroetoelis B.B. jang berkenag-kenang siang dan malam
boeat pengharapannja, sebaliknja penggerakan prijai B.B.
206
Sinar Hindia 30 Juni 1918 207
Sinar Hindia 31 Juli 1918
156
jang ingin masoek bekerdja kepada boschwezen tentoe
sadja bakal meroegikan toean-toean mantra politie
boschwezeb atao boshwachter‖.208
4) Artikel kesehatan
Sinar Hindia sedikit menyinggung soal kesehatan
Bumiputera dan perlakuan pemerintah terhadapnya. Seperti
dalam artikel Siapakah jang soeka roegi? oleh Soemardi.
Dijelaskan bahwa kapitalis Belanda menjual makanan afkir
seperti susu dan biskuit di toko-tokonya, sungguh tindakn itu
sangat merugikan bagi siapapun yang memakanya karena akan
mendatang penyakit. Sayangnya pemerintah seolah mendukung
tidakan itu dengan rencana akan menjual kue buatan pabrik roti
yang sudah afkir juga. Tindakan yang sangat apalagi saat wabah
kolera datang bangsa Bumiputera pun sering kena imbasnya
karena dilarang berdagang buah-buahan. Penulis juga berpesan
jangan sampai barnag itu jatuh ketangan orang-orang Tionghoa
larena pasti akan ia jual di toko mereka seprti yang ditemuka di
Glodok Betawi. Tindakan itni sebelumnya sudah pernah ditegur
oleh Het nieuws van den dag no. 302 dd 22 December 1917 jang
boeninja ―siapakah jang soeka beli makanan jang berbahoe dan
keloear tjajingnja, sedang soengggoehnja boeat makanan babi
sadja tidak patoet‖. Diakhir penulis memeohon kepada
pemerintah agar dilenyapkan para kapitalis itu dari mukabumi.209
Selain artikel itu terbit artikel berjudul, Orang Djawa di sia-
sia! Orang mendatang pada senang! Oleh S. Partoatmodjo,
208
Sinar Hindia 12 Agustus 1918 209
Sinar Hindia 10 Agustus 1918
157
isinya lanjutan dari sikap pemerintah terhadap wabah pest dan
kolera yang sempat disinggung Semaoen dalam Sinar Djawa
tempo lalu. Kali ini artikel menyinggung soal penanganan wabah
pest dan kolera dari pemerintah yang tidak manusiawi, orang
yang sakit akan dibawa ke Stadsverband, dan keluarganya akan
dibawa ke barak. Di barak kondisi perwatannya sangat tidak
sempurna. Saat anggota kelurga wafat baik itu di perkotaan
(Stadsverband) atau di barak, keluarganya tidak diperbolehkan
mengambil mayat karena mayat akan diurus. Sayangnya sedikit
dari mereka yang paham cara mengubur dalam Islam.
―Hatta maka sedjak timboelnja matjam-matjam penjakit di
Hindia, maka orang-orang Djawa kromo djoga pendoedoek
Semarang mendjadi kalang kaboet, jaitoe lantaran kekerasan
atau pendjagaan keselamatan oemoem.‖.210
C. Respon Sinar Djawa dan saat menjadi Sinar Hindia
Kembali mengutip pernyataannya Sartono Kartodirdjo,
baginya pers mampu menciptakan sistem komunikasi yang
terbuka, membantu tumbuhnya massa kritikal di masyarakat,
berperan sebagai juru bicara, menjadi pendidikan politik bagi
Bumiputera, dan menjadi ancaman bagi penguasa kolonial.
Sejak Sinar Djawa dibeli oleh SI Semarang pada akhir 1913
dan mulai terbit pada 4 Januari 1914, koran ini memiliki moto
―Orgaan bagi Boemipoetra dan segala bangsa‖, artin a sasaran
pembaca koran ini tidak terbatas pada orang-orang Jawa saja
melainkan seluruh masyarakat yang ada di Hindia bahkan di luar
Hindia, hal ini bisa dilihat dari harga jual koran yang berbeda
210
Sinar Hindia 18 Agustus 1918
158
antara di Hindia dan luar Hindia. Memilih bahasa melayu atau
bukan bahasa Jawa dalam koran juga adalah strategi yang
digunakan agar sekup pembaca lebih luas. Tidak hanya pembaca
yang lebih luas tapi para kontributor atau penulis pun tidak
terbatas hanya pada kalangan SI Semarang saja. Ruang yang
lebih luas memberi dampak dinamis tersendiri, di dalamnya
terjadi dialektika antar berbagai penulis yang tertuang dalam
berbagai artikel dan beberapa di antaranya berbentuk sajak.
Tentang haluan atau karakter koran ini Dewi Yuliati dalam
tesisnya mengutip pernyataan penasihat urusan Bumiputera di
Hindia Belanda, D.A. Ringkes, bahwa surat kabar Sinar Djawa
milik SI Semarang tidak penting karena ungkapan-ungkapannya
yang tidak tajam. Hemat penulis kondisi itu tidak konstan, karena
sifatnya sangat dinamis, terutama dalam penelitian ini. Penelitian
ini mengambil edisi 4 bulan terakhir Sinar Djawa dan 4 bulan
awal Sinar Hindia untuk mengetahui respon dari keduanya.
Empat bulan terakhir Sinar Djawa, artikel yang berkembang
menunjukan semangat Bumiputera terhadap sebuah perubahan
kehidupan yang lebih maju, dengan mengedepankan keadilan,
persamaan derajat dan kemajuan dalam pendidikan. Hal tersebut
bisa diketahui dari kata-kata yang sering muncul dalam setiap
edisinya dan menjadi sebuah misi tersendiri, misalnya;
Persatoean, pergerakan rakyat, Hindia boeat orang Hindia,
revolutie, evolutie, sama rata sama rasa, kemadjoean
Boemipoetra, menjoengjoeng rakyat, rechtpersoon (hak
individu), berani karena benar, zelfbestuur (pemerintahan
sendiri), kemerdekaan dunia, pendidikan oentoek kemadjoean
159
bangsa, menjoengjoeng dradjat, djaman kemadjoean,
memandjoekan kepandaian, memandjoekan rakjat, dan zaman
perubahan. Pernyataan itu diperkuat oleh misi emansipasi yang
di sepakati oleh Sarekat Islam yaitu, (1) persamaan derajat, (2)
penghargaan terhadap identitas diri, (3) penentu nasib sendiri
dalam politik, dan (4) antikapitalisme.211
Masuknya Semaoen sebagai Presiden SI Semarang juga
memberi pengaruh dari mengerasnya suara Sinar Djawa,
dibandingkan saat presidennya masih Mas Soedjono. Pengaruh
itu tidak terlalu signifikan sampai Semaoen masuk dalam jajaran
redaksi Sinar Djawa pada 19 November 1917 sebagai redaktur
bagian politik dan secara terang benderang ditandai dengan
terbitnya artikel SI Semarang Bergerak Keras yang terbit pada 28
Desember 1917. Pengaruh sosialisme juga semakin menguat saat
terbit artikel berjudul De Groote denkers de eeuwen bagian Karl
Marx en Zijne Voorgangers, karangan Jos Loopuit. Penulis
artikel ini adalah Karjadipa yang terbit pada 22 Desember 1917
dan terbit secara berkala guna memperkenalkna gagasan
sosialismenya Karl Marx.
Sinar Djawa meneguhkan sikapnya sebagai surat kabar yang
keras terhadap pemerintah dan kapitalis saat berubah namanya
menjadi Sinar Hindia 1 Mei 1918, ― elah dipoetoeskan di
Aandeelhouder vergadering Sinar Djawa kemarin, ini boelan
jaitoe atas permintaan saudara Semaoen maka nama soerat kabar
kita Sinar Djawa diganti Sinar Hindia. Memang kita meofakat
211
A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? (Jakarta: Grafiti
Pers, 1985), 27.
160
sekali tentang gantinya itoe nama. Moelai besok tanggal 1 Mei di
moeka ini Sinar Djawa memakai namanja baroe Sinar Hindia.
Hoebaja-hoebaja lantaran perubahan ini nama Sinar Hindia
orgaanja Sarekat Islam Semarang jang ini waktoe bergerak keras
bisa pandajang oesianja. Djadi sekarang N.V. Handel
Matschappij dan Drukkerij Sarekat Dagang Islam Semarang merk
Sinar Djawa menerbitkan soerat kabar jang bernama Sinar
Hindia. Hidoepalah arekat Hindia dan arekat Islam‖.212
Pada awal bulan Mei di halaman muka koran terdapat sedikit
tambahan di bagian bawah dan samping. Tambahan itu berupa
kalimat slogan yang bernada provokatif, seperti kalimat berikut
―Hindia berdarah, Hindia berapi. Gasaklah ang salah
dengan berani sampai mati!‖213
Semenjak kemunculan tokoh-
tokoh muda yang berhaluan marxis seperti Semaun, Darsono, dan
Marco orientasi surat kabar ini lebih keras atau non koperatif
terhadap pemerintah dan pihak swasta yang menghisap tenaga
kaum buruh dengan upah yang sangat minim. Saat berubah
menjadi Sinar Hindia isi dari artikel-artikel yang terbit lebih
berani terlihat dari pilihan kata yang digunakan misalnya untuk
kata kaoem oeang yang berarti kapitalis berubah menjadi setan
oeang, dan penyebutan langsung nama orang di pemerintahan
yang menjadi sasaran kritiknya, mislanya Daendels yang dikritik
karena pembangunan jalan yang dilakukannya hanya membuka
keran keuntunga untuk kapitalis dan menjadikan Bumiputera
hanya sebagai pekerja yang diibaratkan sebagai perkakas.
212
Sinar Djawa, 30 April 1918. 213
Sinar Djawa, 2 Mei 1918
161
Semangat ini lahir karena tekanan dari pemerintah yang
didukung oleh para kapitalis, sudah dijelaskan sebelumnya
semenjak Semarang berubah status menjadi Kota Praja
pembangunan infrastruktur terjadi sangat massif, guna
mendukung industrialisasi yang dikembangkan oleh para kapitalis
tersebut, terutama industri gula. Menjadi salah satu pusat industri
terbesar membuat mobilitas kota ini lebih tinggi dan lebih terbuka
dari kota-kota lainnya di Jawa. Selain itu di kota ini pula lah
permasalahan sosial muncul lebih banyak dari yang lainnya,
sehingga muncul banyak kritik.
Di mulai dari persoalan pendidikan yang menjadi sebuah
artikel besar karena sering sekali dibahas, dalam jangka waktu 4
bulan saja Sinar Djawa menerbitkan 18 artikel tentang
pendidikan. Pembangunan sekolah, perlakuan guru yang semena-
mena terhadap siswa, kelangkaan alat pengajaran akibat Perang
Dunia I, gaji guru yang kecil, siasat untuk tidak menggunakan
bahasa Belanda, dan peringatan terhadap dampak negatif
pendidikan model Barat yang melupakan tradisi lama, adalah
artikel yang berkembang selam 4 bulan di Sinar Djawa. Secara
umum artikel pendidikan yang berkembang adalah tentang
pendidikan yang layak untuk semua golongan tidak terkecuali
Bumiputera Laki-laki dan perempuan.
Dalam Sinar Hindia artikel tentang pendidikan tidak
sebanyak seperti Sinar Djawa, terhitung hanya ada 5 artikel yang
menyinggung soal pendidikan. Dalam Sinar Hindia yang disasar
oleh para penulis adalah sistem pendidikannya yang semerawut,
sekolah-sekolah kejuruan itu diadakan hanya untuk memperbesar
162
keuntungan setan uang (kapitalis). Permasalahan lama yang
sudah di singgung oleh Sinar Djawa tidak bisa diselesaikan oleh
pemerintah, guru bantu masih menerima gajih yang sangat kecil,
anak-anak kromo di desa hanya bisa menikmati pendidikan yang
gurunya anak berusia 14-15 tahun dan sekolah yang masih sangat
sedikit. Bangsa Belanda yang sudah menduduki Hindia selama
300 tahun tidak berhasil membuat masyarakatnya lebih cerdas
berbeda dengan di negeri Belanda, semua orang bisa sekolah.
Dalam Sinar Hindia artikel politik lebih banyak muncul dari pada
artikel pendidikan menandai konsentrasi gerakan pada saat itu
lebih pada aspek politik.
Pada dasarnya, tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial Belanda adalah sebuah strategi kolonialisme
tersembunyi (hidden colonialism). Dengan kata lain terdapat
politisasi dalam praktik pendidikan kolonial Belanda. Ada dua
tujuan besar yang terkandung dari praktik pendidikan kolonial
Belanda tersebut. Pertama, menciptakan tenaga kerja terampil
yang akan dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam
mengeksploitasi sumber daya alam dengan upah yang rendah,
juga dipekerjakan di perusahan-perusahan milik kaum kapitalis.
Kedua, sosialisasi dan internalisasi kebudayaan Barat pada
penduduk Bumiputera. Dengan pendidikan model Barat ini,
diharapkan akan tercipta kaum Bumiputera yang berbudaya Barat
sehingga mengacuhkan budayanya sendiri.214
214
Syaifudin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat Dan Pendidikan
Indonesia Yang Sosialistis (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 27.
163
Dalam teori hegemoni Antonio Gramsci, model pendidikan
yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah salah
satu cara untuk mendominasi, sehingga kaum Bumiputera harus
menerima posisinya sebagai kelompok subordinat dan menerima
budaya yang dimiliki oleh kelompok yang mendominasi, dalam
hal ini budaya Belanda. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang mematuhi tidak hanya harus merasa
mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai norma penguasa,
lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas
subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan
hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan
intelektual secara konsensual.215
Atau seperti yang paparkan oleh
James Lull; ―hegemoni adalah kekuatan dominasi ang dimiliki
satu kelompok sosial atas ang lain, ini merujuk pada ―saling
ketergantungan asimetris‖ antar kelas sosial dalam satu negara.
Hegemoni adalah dominasi dan subordinasi yang disusun oleh
kekuasaan‖.216
Melalui pendidikan, pemerintah Belanda mencoba untuk
menghegemoni Bumiputera dengan internalisasi budaya.
Internalisasi budaya adalah cara halus untuk meneguhkan
kekuasaan. Kondisi itu segera disadari oleh Bumiputera yang
sudah mengenyam pendidikan modern, baik di tanah Hindia
maupun di Belanda, Yudi Latif menyebutnya sebagai
intelegensia. Kaum intelegensia ini kemudian melakukan apa
215
Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan
Dunia Ketiga (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 31.
216
James Lull, ―Hegemon ,‖ in A Cultural Studies Approach To
Media: Theory (Columbia: Columbia University Press, 1995), 33.
164
yang dinamakan dengan kontra hegemoni, yaitu memunculkan
ide dan gerakan tandingan untuk melawan hegemoninya
pemerintah dan kapitalis.
Untuk bisa menghegomoni, menurut Gramsci ada tiga fase
yang harus dilalui, pertama lahirnya kesadaran tentang
kesetaraan, kedua berkembang menjadi kesadaran akan
kepentingan bersama untuk memperoleh persamaan politik dan
hukum dengan pihak yang berkuasa, dan ketiga fase di mana
ideologi-ideologi yang sebelumnya terpecah bersaing sampai
salah satunya, atau gabungan dari ideologi-ideologi itu menang
sehingga bisa menyatukan tujuan-tujuan ekonomi, politik,
intelektual, dan moral.217
Sampai saat tahap hegemoni, maka akan
lahir kepercayaan dominan yang akan mengontrol keseluruhan
proses sosial di dalam masyarakat.218
Setelah artikel-artikel pendidikan mengarah pada
kolonialisme tersembunyi (hidden colonialism) golongan
intelegensia atau apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual
organik melakukan kontra hegemoni politik dalam hal ini artikel
politik yang berkembang di Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Dalam Sinar Djawa setidaknya masih terbit artikel yang
bersepakat dengan kebijakannya pemerintah, yaitu untuk
membuat pemerintahan sendiri (zelfbestuur) dengan membuat
Dewan Rakyat (volksraad), dan milisi Bumiputera (indie
werbaar). Tokoh yang sepakat dengan itu adalah Abdoel Moeis,
217
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Insist
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004), 34. 218
Yasraf Amir Piliang and Jejen Jaelani, Teori Budaya Kontemporer:
Penjelajahan Tanda Dan Makna, 98.
165
karena menurutnya dengan begitu Hindia akan mengalami
kemajuan pendidikan, ekonomi, dan keamanan yang terjamin.
Artikel politik yang bersepakat dengan pemerintah hanya ada tiga
artikel, jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang
kontra yang berjumlah 20 lebih artikel. Jika melihat jumlahnya
maka artikel penolakan terhadap kebijakan pemerintah lebih
mendominasi.
Fokus kritik dalam Sinar Djawa adalah, persamaan hak,
penolakan terhadap volskraad dan indie werbaar, pengembalian
tanah partikulir, industri kapitalis yang mencekik kaum kromo,
delik pers Sneevliet dan Marco, serta gerakan yang dilakukan
oleh berbagai perkumpulan Bumiputera, Tionghoa, dan keturunan
Belanda. Notabene yang menolak atau mengkritik kebijakan
pemerintah adalah kelompok-kelompok gerakan berhaluan kiri
(marxis dan sosialis). Kelompok-kelompok kiri yang sering
muncul adalah ISDV, SDAP, dan SI Semarang setelah
pengaruhnya Sneevliet menguat. Kelompok itu menilai kebijakan
pemerintah kolonial hanya berpihak pada kapitalis, misalnya
volksraad yang berhak memilih adalah orang-orang dengan
penghasilan f. 50/bulan dan yang bisa berbahasa Belanda yang
jumlah semuanya hanya ada 1% dari jumlah Bumiputera.
Volksraad dianggap sebagai comidie yang tidak berpihak pada
Bumiputera.
`Rata-rata artikel politik yang berkembang adalah suara
perlawaan yang harus didukung dengan bersatunya para buruh
atau kaum kromo yang hidupnya tidak sejahtera di bawah
pemerintah Belanda yang bersekutu dengan kapitalis.
166
Artikel politik yang ada dalam Sinar Hindia tidak jauh
berbeda karena hanya kelanjutan dari terbitan sebelumya dalam
Sinar Djawa. Ada pun yang sedikit membedaknnya adalah, para
penulis menuntut keadilan hukum atau persamaan di mata
hukum, di antaranya diantaranya: (1) pemerintahan, (2) sekolah,
(3) perusahaan tanah dan hewan, (4) kesehatan rakyat, (5) pajak,
(6) lumbung dan bank, (7) perdagangan, (8) pegadaian, (9) candu,
(10) militer, dan (11) transportasi.
Bergerak dalam bidang politik saja tidak cukup, karena
bidang ekonomi pun harus diperjuangkan. Gramsci mengatakan
sebuah kelas yang sedang bergerak maju kearah hegemoni harus
berusaha mencapai kepemimpinan dalam bidang produksi.219
Dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia, penulis menemukan
artikel-artikel yang mengarah kesana yang selanjutnya disebut
dengan artikel ekonomi. Secara garis besar artikel ekonomi dalam
Sinar Djawa membahas persoalan tentang gaji pegawai
Bumiputera yang sangat kecil, sebagai dampak dari minimnya
kemampuan mereka dalam bekerja. Secara eksplisit para penulis
artikel menyebutnya dengan kebodohan Bumiputera adalah
penyebab kurang dihargainya pikiran dan tenaga mereka.
Kondisi itu diperparah dengan barang kebutuhan pokok yang
mahal karena kelangkaan yang diakibatkan Perang Dunia I.
Beberapa Bumiputera yang tidak memiliki keahlian pun rela
menjadi pengemis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, seperti
yang terjadi di Tegal sebagaimana dituturkan oleh P.Hj dalam
artikelnya Boeah Pengharapan. Selain itu dalam masa krisis
219
Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani, 117.
167
akibat Perang Dunia I para pengusaha Bumiputera tidak mampu
bersaing dengan perusahaan besar milik orang Eropa dan
Tionghoa.
Dalam Sinar Hindia kembali ditegaskan akibat kebodohan
dan minimnya kemampuan Bumiputera, mereka terjebak dalam
siasatnya pemerintah Belanda. Siasat itu berupa peminjaman
uang dari bank,awalnya adalah meminjamkan uang kepada
kromo dengan alasan membantu, namun saat kromo tidak mampu
membayar atau menunggak maka tanahnya akan disita, bahkan
tak jarang menyeretnya ke pengadilan. Jika dalam Sinar Djawa
ditemukan kasus Bumiputera menjadi pengemis, dalam Sinar
Hindia ada kasus perempuan Bumiputera menjadi seorang gundik
atau Nyai-nya orang-orang Belanda, kasus ini banyak terjadi di
daerah pabrik-pabrik gula. Iklim kapitalisme yang sedang tumbuh
pesat di Hindia membuat Bumiputera semakin terpuruk.
Membaca artikel pendidikan, politik, dan ekonomi dalam
Sinar Djawa dan Sinar Hindia melalui kacamata hegemoni
Gramsci dengan tiga fase yang harus dilewati, artikel-artikel yang
berkembang selama 8 bulan terbit hanya sampai pada fase kedua.
Fase pertama yaitu bangkitnya kesadaran akan kesetaran telah
terlewati dengan lahirnya berbagai perkumpulan Bumiputera.
Fase kedua yaitu, timbulnya berbagai kritik terhadap pemerintah
dan tuntutan terhadap persamaan hak pendidikan, politik, dan
ekonomi. Fase yang terakhir belum mampu terlewati yaitu
menyatukan tujuan-tujuan ekonomi, politik, intelektual, dan
moral di antara ideologi-ideologi yang berbeda, karena sebelum
168
sampai tahap ini kelas yang terhegemoni harus mampu meguasai
kepemimpinan dalam bidang produksi.
Lalu artikel-artikel lainnya seperti artikel kesehatan, tradisi,
dan agama tidak banyak yang diterbitkan, jumlahnya tidak lebih
dari lima artikel. Ketiga artikel itu pun lahir akibat dampak
langsung dari tiga artikel utama terdahulu, yaitu pendidikan,
politik, dan ekonomi.
169
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab dalam skripsi ini, dapat
disimpulkan bahwa, Sinar Djawa dan Sinar Hindia hidup di
tengah-tengah situasi politik yang tidak stabil. Hegemoni
persekutuan pemerintah dan kapitalis mendapat perlawanan
sengit dalam bentuk artikel dan beberapanya berbentuk sajak.
Sinar Djawa tidak bisa dikatakan sebagai surat kabar yang tidak
kritis karena sejak masuknya Semaoen dalam tubuh Sarekat Islam
Semarang secara tidak langsung menajamkan daya kritis Sinar
Djawa. Apalagi saat ia masuk jajaran redaksi sebagai redaktur
dalam bidang politik. Artikel-artikel yang dikembangkan
menyentuh semua aspek kehidupan yang penting pada saat itu,
terutama pendidikan, politik, dan ekonomi.
Dalam pendidikan sistem yang dikembangkan adalah sistem
klasifikasi berdasarkan rasial, jabatan, dan penghasilan orang tua.
Sistem itu jelas sangat merugikan kromo karena mereka tidak
bisa bersekolah. Belum lagi persoalan bangunan sekolah yang
masih sangat kurang sehingga setiap tahunnya ada ribuan anak
Bumiputera yang tidak bisa langsung mengenyam pelajaran di
sekolah. Selain itu gaji guru bantu masih sangat kecil sehingga
tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka, apa lagi kondisi
krisis yang terjadi akibat Perang Dunia I menambah berat beban
mereka.
170
Dalam bidang politik, bangsa Bumiputera masih berada
dalam posisi subordinat dari golongan Eropa terkecuali mereka
yang ikut mengkritik dengan keras pemerintah. Keadilan hukum
tidak jauh berbeda keberpihakannya hanya kepada setan oeang.
Bahkan karena ketakutannya pemerintah, mereka membuat
undang-undang pers yang represif untuk mematikan suara para
penulis maupun jurnalis.
Bidang ekonomi sangat jelas keberpihakan pemerintah pada
para kapitalis, Bumiputera hanya dijadikan perkakas yang
bernyawa atau sapi perah saja. Keuntungan yang yang sangat
besar dari eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya
manusia tidak membuat sejahtera bangsa Bumiputera.
Perubahan nama menjadi Sinar Hindia hanya sebagai
pertanda meneguhkan haluannya sebagai surat kabar non
kooperatif yang ada di Semarang. Artikel-artikel yang
dikembangkan pun tidak jauh berbeda dengan Sinar Djawa,
hanya saja piliha kata-kata yang digunakan lebih berani dan to
the point.
Transformasi ideologi tidak terlalu terlihat kentara jika
ditinjau dari 8 bulan terbitan Sinar Djawa dan Sinar Hindia, yang
terlihat jelas adalah pengaruh tokoh-tokoh muda Sarekat Islam
Semarang, di antaranya Semaoen, Marco, Darsono, Mohamad
Joesoef, dan Noto widjojo. Tokoh-tokoh muda itu sedikit-banyak
telah terpapar idelogi marxisme yang diinternalisasi oleh
Sneevliet lewat ISDV, hal tersebut lumrah terjadi pada waktu itu,
karena seseorang bisa memiliki keanggotaan rangkap dalam
organisasi yang berbeda.
171
Perlawanan atau kontra hegemoni yang dilakukan oleh Sinar
Djawa dan Sinar Hindia melalui para penulis dan jurnalis hanya
mampu masuk pada fase kedua dari tiga fase yang telah
ditentukan oleh Gramsci, Fase pertama yaitu bangkitnya
kesadaran akan kesetaran telah terlewati dengan lahirnya
berbagai perkumpulan Bumiputera. Fase kedua yaitu, timbulnya
berbagai kritik terhadap pemerintah dan tuntutan terhadap
persamaan hak pendidikan, politik, dan ekonomi. Fase yang
terakhir belum mampu terlewati yaitu menyatukan tujuan-tujuan
ekonomi, politik, intelektual, dan moral di antara ideologi-
ideologi yang berbeda, karena sebelum sampai tahap ini kelas
yang terhegemoni harus mampu meguasai kepemimpinan dalam
bidang produksi.
B. Saran
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan untuk memahami identitas dan jati diri dunia pers di
Indonesia, di mana porsi keberpihakan kepada rakyat lebih besar
dari pada keberpihakan kepada pasar. Jika kita mengamati dunia
pers sekarang ini, pers dalam berbagai jenisnya memantapkan diri
sebagai mesin pencetak uang para pemilik modal dan alat politik
bagi segelintir orang saja.
Selain itu penelitian ini juga menambah penulisan sejarah
pers yang masih sangat sedikit, terutama di lingkungan Fakultas
Adab dan Humaniora. Namun penulis sadar masih banyak
kekurangan dalam penelitian ini dari berbagai segi misalnya
sumber primer, sumber sekunder, metodologi, dan bahasa
172
penulisan. Meskipun begitu, penulis berharap kajian ini mampu
memantik para peneliti atau penggiat pers untuk melakukan
penelitian selanjutnya yang lebih baik dan menarik.
173
Daftar Pustaka
Buku
A.P.E. Korver. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti
Pers, 1985.
Aris Badara. Analisis Artikel: Teori, Metode, Dan Penerapannya
Pada Artikel Media. Jakarta: Kencana, 2014.
Azra, Azyumardi, dan Jajat Burhanudin. Sejarah Kebudayaan
Islam Indonesia: Institusi Dan Gerakan. Jakarta:
Kemendikbud, 2016.
Chambert-Loir, Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas
Karangan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
Eriyanto. Analisis Artikel: Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS, 2001.
Gie, Soe Hok. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1999.
Gottschalk, Louis, dan Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah:
Pengantar Metode Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, 1975.
John Ingleson. Buruh, Serikat, Dan Politik: Indonesia Pada
1920-1930an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015.
Kartodirdjo, Sartono, dan Sarwono Pusposaputro. Pendekatan
Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Kasmadi, Hartono dan Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang:
1900-1950.Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
174
Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional,
1985.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2013.
Kurniawan, Junedi. Ensiklopedia Pers Indonesia.
Jakarta:Kompas Gramedia, 1991.
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim Dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Bandung:
Mizan Pustaka, 2006.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah
Pengantar, Jakarta: Kencana, 2014.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia, 1900-1942.
Jakarta: LP3ES, 1982.
Pariwisata, Dinas. Sejarah Kabupaten Semarang. Semarang:
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Semarang,
2007.
Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004.
Jakarta: Penerbit Serambi, 2005.
Roger Simon. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta:
Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004.
Sartono Kartodirjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Ombak, 2011.
Shiraishi, Takashi, dan Hilmar Farid. Zaman Bergerak:
Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1997.
181
Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci Terhadap
Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Surjomihardjo, Abdurrachman. Beberapa Segi Perkembanagn
Sejarah Pers Di Indonesia.. Proyek Penelitian
Pengembangan Penerangan, Departemen Penerangan RI,
1980.
Syaifudin. Tan Malaka: Merajut Masyarakat Dan Pendidikan
Indonesia Yang Sosialistis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012.
Tim Museum Kebangkitan Nasional. H.O.S. Tjokroaminoto
Penyemai Pergerakan Kebangsaan Dan Kemerdekaan.
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Kementeriaan Pendidikan dan
Kebudayaan, 2015.
Tim Periset Seabad Pers. Seabad Pers Kebangsaan. Yogyakarta:
I: BOEKOE, 2008.
Triharyanto, Basilius. Pers Perlawanan, Politik Artikel
Antikolonialisme Pertja Selatan. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Yasraf Amir Piliang, dan Jejen Jaelani. Teori Budaya
Kontemporer: Penjelajahan Tanda Dan Makna.
Yogyakarta: Aurora, 2018.
Koran
Sinar Djawa edisi Agustus, September, November,dan Desember
1917.
Sinar Hindia edisi Mei, Juni, Juli, dan Agustus 1918.
176
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Akla, a dah, and others. ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a
Dengan Perkembangan Politik Di Semarang Tahun 1912-
193 .‖ Disertasi, Universitas Negeri Semarang, 2007.
Dewi Yuliati. ―Pers Bumiputera Dalam Era Kolonial Belanda
Sinar Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat
Islam Semarang 1914-1924.‖ Pasca arjana Universitas
Indonesia, 1993.
ogi Effendi. ―Sarekat Islam Semarang Dan Pendidikan (Sekolah
Sarekat Islam Semarang 1921-1924).‖ Universitas
Indonesia, 1990.
Artikel dalam jurnal
Akla, a dah. ―Perkembangan Pers Dalam Kaitann a Dengan
Perkembangan Politik di Semarang Tahun 1912-1913‖
Amini, Mutiah. ―Industrialisasi Dan Perubahan Gaya Hidup:
emarang Pada Awal Abad Keduapuluh.‖ Industri Dan
Kerajinan Tradisional, 2009, 621.
Kosasih, Ahmad. ―Pers ionghoa Dan Dinamika Pergerakan
Nasional Di Indonesia, 1900–1942.‖ SUSURGALUR 1,
no. 1 (2016).
Kurniawan, Hendra. ―Dampak istem anam Paksa erhadap
Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-187 .‖
SOCIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial 11, no. 2 (2014).
Retnaningtyas Dwi Hapsari (Alumnus Pascasarjana Jurusan Ilmu
ejarah Universitas Diponegoro. ― ekolah Kartini Dan
181
Van Deventer: Pelopor Sekolah Perempuan Di Semarang
Pada Masa Kolonial.‖ Www.Sejarahdk.Com, n.d.
usat o, Rachmat. ―Penguasaan anah Dan Ketenagakerjaan Di
Karesidenan emarang Pada Masa Kolonial.‖ Abstrak,
2006.
Yuliati, Dewi. Buruh dan Ketidakadilan: Lahan Subur Bagi
Perluasan Marxisme Suatu Kajian Historis Tentang Buruh
di Semarang Pada Awal Abad ke-20. Semarang:
Universitas Diponegoro, n.d.
———. ― trengthening Indonesian National Identit through
History Semarang as a Maritime City: A Medium of
Unity in Diversit .‖ Global Journal of Human-Social
Science Research, 2014.
178
Lampiran
Sinar Djawa
Sumber: Katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Salemba
179
Sinar Hindia
Sumber: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Medan
Merdeka, Jakarta Pusat.
181
Marco Kartodikromo
Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Marco_Kartodikromo
182
Gedung Kantor Sarekat Islam Semarang
Sumber:
https://yunantyoadi.wordpress.com/2015/01/02/penguasaan-
gedung-sarekat-islam-semarang-dari-masa-ke-masa/