Konsultasi nasional v e-book final

271
“ALLAH KEHIDUPAN, PIMPIN KAMI MEWARTAKAN KEADILAN DAN PERDAMAIAN” Hasil-hasil Konsultasi Nasional V Gereja dan Komunikasi, 12-13 November 2013 Penyunting Rainy MP Hutabarat

Transcript of Konsultasi nasional v e-book final

Page 1: Konsultasi nasional v e-book final

“ALLAH KEHIDUPAN, PIMPIN KAMIMEWARTAKAN KEADILAN DAN

PERDAMAIAN”

Hasil-hasil Konsultasi Nasional V Gereja dan Komunikasi, 12-13

November 2013

PenyuntingRainy MP Hutabarat

Page 2: Konsultasi nasional v e-book final

“Allah Kehidupan, Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian

Hasil-hasil Konsultasi Nasional V Gereja dan Komunikasi

Penerbit: YAKOMA-PGI (Pelayanan Komunikasi Masyarakat-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia)

Jakarta, April 2015

Alamat: Jalan Cempaka Putih Timur XI/26 Jakarta 10510Telepon: (62-21) 4205-623; Faks: (62-21) 4253-379Surel: [email protected] Web: yakomapgi.org

Penyunting: Rainy MP Hutabarat

Tata-Letak dan Sampul: George Soedarsono Esthu

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 2

Page 3: Konsultasi nasional v e-book final

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang(Dilarang mengutip tanpa mencantumkan sumber).

Kata Sambutan

Pertama-tama saya mengucapkan Selamat Datang kepada Bapak-Ibu dan Saudara

sekalian peserta Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi yang bertajuk “Allah

Kehidupan, Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian”.

Selama beberapa hari ini kita akan sama-sama berkonsultasi, yang sebenarnya lebih

tepat dimaknakan sebagai saling belajar, saling bertukar dan saling memerkaya dalam

pengetahuan, pemikiran dan pengalaman di bidang komunikasi dan secara khusus

media. Sebagaimana kita sama-sama ketahui, dunia dan pola kehidupan manusia

dewasa ini telah banyak berubah. “Globalisasi”, itulah fenomena yang terjadi dan

sekaligus istilah yang sudah kerap kita dengar. Sebenarnya proses mengglobal itu sudah

cukup lama bergulir, tapi ia masih terus berjalan hingga kini dan akan terus berjalan ke

depan entah sampai kapan dan ke mana arahnya. Yang jelas, kita harus berupaya

mengikutinya kalau tak mau tertinggal atau ketinggalan zaman yang terus-menerus

berubah ini.

Faktanya kita sekarang hidup di era multi-media, dengan revolusi internet, yang

membuat arus deras informasi dan ide begitu mudahnya masuk dan keluar dari benak

kita. Berbagai media konvensional seperti media cetak, radio dan televisi kini sudah

terkonvergensi ke dalam laptop, tablet, smart-handphone dan smart-TV. Semua yang

kita perlukan demi memuaskan keingintahuan kita begitu mudahnya didapat, karena

semuanya tersedia di ruang maya (cyber spaces). Kita merasa senang karena kita

sungguh merasa terbantu dengan pelbagai kemudahan itu. Namun kita juga khawatir,

mengingat dampak-dampaknya yang negatif selalu mengintai dan siap menjadi

ancaman yang potensial merusak pola interaksi dan komunikasi antarpersonal kita

selama ini. Bukan kehidupan sosial kita saja yang kelak bisa berubah, bahkan

kehidupan bergereja pun bisa saja “dipaksa” berubah karenanya. Di titik itulah kita

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 3

Page 4: Konsultasi nasional v e-book final

mungkin merasa cemas menatap masa depan yang kian tak pasti. Namun alih-alih

menghindarinya, lebih bijaklah jika kita berupaya secara cerdik mengikutinya seraya

berharap kita bisa juga memanfaatkannya.

Kalau kita bicara secara khusus tentang pers, di negara ini kita sudah mengalami dua

era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, yang iklim persnya kurang menggembirakan atau

bahkan suram. Sebab, dominasi penguasa dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan

infrastruktur politik di kedua era itu begitu kuatnya. Di satu sisi suara-suara kritis rakyat

dibungkam, di sisi lain suara-suara penguasa memonopoli kebutuhan rakyat akan

informasi. Untuk kepentingan politik hegemoni dan a-politisasi masyarakat itulah maka

pers di kedua era itu dijadikan perpanjangan tangan penguasa. Tak heran kalau Bahasa

yang digunakan kerap bermakna ganda, baik untuk tujuan penghalusan maupun demi

kepentingan memperdayakan rakyat.

Namun, dinamika proses politik yang telah berjalan selama puluhan tahun itu kini telah

mengantar kita tiba di sebuah era baru yang oleh banyak orang disebut sebagai Era

Reformasi. Sejak rezim Orde Baru berlalu, pengelolaan negara berjalan bagaikan tanpa

arah yang jelas. Namun satu hal yang pasti, kebebasan kini terbuka lebar. Karena 2

Konsultasi Nasional Gereja & Komunikasi 2013 perubahan itulah maka sistem pers pun

turut berubah - sebagai dampaknya. Jika di kedua era sebelumnya telah terjadi banyak

pembredelan maupun pembungkaman pers oleh pemerintah demi “stabilitas nasional”,

kini situasinya jauh berbeda: pers kian bergairah. Alhasil, jumlah pers pun tak bisa lagi

secara pasti dihitung. Sebab selalu saja ada yang baru, apalagi pers yang kini sudah

mengambil rupa baru: maya alias on-line. Siapa pun bisa membuatnya dan siapa pun

bisa bersuara apa saja di sana.

Di satu sisi kita patut merayakan perubahan yang semakin menekankan nilai kebebasan

itu, namun di sisi lain kita juga pantas merasa khawatir karena di balik itu ada tabiat-

tabiat baru yang muncul dan sayangnya negatif: mudahnya mencaci-maki dan bahkan

berkatakata kotor, mudahnya beropini tanpa didukung bukti dan nalar yang kritis, dan

hal-hal lain yang sejenisnya. Di sinilah kita, sebagai gereja dan lembaga paragereja,

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 4

Page 5: Konsultasi nasional v e-book final

tertantang untuk mampu mengawal perubahan-perubahan itu. Kita tertantang untuk

mampu menggarami media-media di sekitar kita dengan prinsip “media perdamaian dan

keadilan”. Memang, media-media harus tetap informatif dan edukatif, dengan

sementara itu tetap menjujung tinggi kebebasan karena media dewasa ini telah menjadi

pilar keempat demokrasi (media sebagai “watchdog” bagi penguasa). Namun sejalan

dengan itu, bisakah media-media juga tetap menjadi wahana untuk menyebarkan ide-ide

dan nilai-nilai perdamaian dan keadilan kepada publik?

Kiranya hal penting ini dapat menjadi perhatian kita selama beberapa hari duduk

bersama dalam acara Konsultasi Nasional ini. Sepulangnya dari sini, kita terpanggil

untuk meneruskan pesan-pesan yang kita dapatkan selama beberapa hari ini kepada

gereja, lembaga paragereja, dan publik di mana kita menjadi bagian di dalamnya. Kita

berharap peran kita sebagai Kristen, pengikut Kritus, dapat lebih strategis lagi dalam

rangka mewartakan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Mungkin itu kita lakukan

melalui media cetak, radio, atau bahkan televisi, namun mungkin juga melalui media

on-line atau bahkan media sosial yang relatif murah dan mudah tapi tetap berdampak

penting bagi masyarakat sekitar kita.

Akhirnya, atas nama YAKOMA-PGI, saya mengucapkan Selamat Berkonsultasi kepada

kita semua. Terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Gereja Bethel Indonesia

(GBI) dan pihak-pihak lain yang tak bisa disebutkan namanya satu-persatu di sini.

Tuhan memberkati.

Ketua Pengurus

Dr. Victor Silaen

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 5

Page 6: Konsultasi nasional v e-book final

Daftar Isi

halaman

Kata Sambutan 3

Bab I 10

Bab II 15

Bab III 61

Bab IV 68

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 6

Page 7: Konsultasi nasional v e-book final

Bab I

Kerangka Acuan

KONSULTASI NASIONAL V “GEREJA DAN KOMUNIKASI”

ALLAH KEHIDUPAN, PIMPIN KAMI MEWARTAKAN KEADILAN DAN PERDAMAIAN

Grha Bethel, 12-14 November 2013

Kata Pengantar

Abad XXI  dicatat sebagai era multi-media, internet atau tsunami informasi. Berbagai

media konvensional seperti media cetak, media radio dan televisi sudah terkonvergensi

ke dalam aptop, tablet, smart-handphone dan smart-TV. Revolusi internet atau digital

telah menjadikan dunia sebagai sebuah desa global. Lalu lintas komunikasi dan

informasi pun telah berubah dari kecenderungan satu arah (atas - bawah) dan terpusat,

menjadi multi-arah. Setiap orang bisa dengan bebas berkomunikasi dengan siapa saja,

di mana saja dan kapan saja. Kita belum tahu revolusi apa lagi yang akan terjadi dengan

4 G dan WI MAX yang tak lama lagi akan segera dipasarkan.

Berbagai pihak, mulai dari kalangan partai politik, bisnis, kelompok/organisasi agama,

organisasi profesi dan keilmuan, kelompok kampanye dan seterusnya, memanfaatkan

multi-media dan ruang maya yang terbuka luas tanpa batas waktu dan ruang bagi para

penggunanya. Mudah ditebak, yang paling gesit memanfaatkan ruang maya adalah

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 7

Page 8: Konsultasi nasional v e-book final

kalangan bisnis dan politik. Di mana kalangan remaja dan anak muda yang paling

banyak menggunakan internet.

Semua ini menantang kesiapan gereja untuk memanfaatkan perkembangan era internet

ini di dalam persekutuan, kesaksian dan pelayanan ke dalam gereja maupun keluar

kepada masyarakat luas, karena penggunaan yang semakin mudah dan menjangkau

semua lapisan masyarakat. Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah pesan-pesan

apa yang penting dan strategis yang akan dikomunikasikan atau dipublikasikan oleh

gereja-gereja atau lembaga pelayanan Kristen kepada masyarakat luas yang plural?

Terkait ini, YAKOMA-PGI bekerjasama dengan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI)

bermaksud menyelenggarakan Konsultasi Nasional  Gereja dan Komunikasi.

YAKOMA-PGI sendiri sejak berdiri melalui mandat gereja-gereja di Indonesia, sudah

menyelenggarakan 4 (empat) kali Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi dan 4

(empat) kali Pekan Komunikasi Kristen sejalan dengan rekomendasi gereja-gereja di

Indonesia. Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi pertama diselenggarakan di

Klender – Jakarta tahun 1976 dengan tema “Strategi Komunikasi Massa”, kedua tahun

1987 di Sukabumi dengan tema “Komunikasi untuk Keadilan, Perdamaian dan

Keutuhan Ciptaan”, ketiga tahun 1992 di Makasar bertema “Komunikasi Untuk

Martabat Manusia” dan keempat di Jakarta tahun 2010 bertema “Allah Itu Baik Kepada

Semua Orang”. Semua kegiatan tersebut mencoba memetakan persoalan-persoalan pada

ruang dan waktu serta sekaligus merumuskan respons dan refleksi gereja atasnya. Satu

hal yang perlu digarisbawahi dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah, semua

diselenggarakan sebelum internet menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat modern

Indonesia.

Sejalan dengan arak-arakan oikoumenis gereja-gereja sedunia, Konsultasi Nasional V

Gereja dan Komunikasi mengangkat tema, “Allah Kehidupan, Pimpin Kami

Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Tema ini hendak menggarisbawahi bahwa

gereja/umat Kristen selaku pewarta Kabar Baik harus menjadi berkat bagi kehidupan –

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 8

Page 9: Konsultasi nasional v e-book final

mewartakan keadilan dan perdamaian – bukan semata untuk lingkungan Kristen, tetapi

juga kepada orang-orang lain dan ciptaan Allah lainnya.

Dari konsultasi nasional ke konsultasi nasional, yang secara khusus membahas

persoalan-persoalan di seputar gereja dan media (cetak, radio, audio-visual, daring)

belum pernah diselenggarakan. Kendati posisi dan fungsi strategis media diakui, namun

para pekerja media (berbasis) gereja maupun media Kristen belum pernah duduk

bersama dalam sebuah forum untuk saling berbagi pengalaman, pengetahuan, serta visi-

misi dan strategi. Padahal jumlah media gereja dan media Kristen mencapai ratusan.

Masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan permasalahannya dan tidak berjejaring

oikoumenis untuk menyinergikan peluang dan kekuatan. Ada media gereja dan media

Kristen yang sudah sedemikian profesional pengelolaannya, ada yang dikelola seadanya

saja dan kerap terlambat terbit, ada pula yang “hidup segan mati tak mau”.

Dari pengalaman YAKOMA-PGI menyelenggarakan lokakarya-lokakarya media

komunitas selama satu dasawarsa terakhir, diperoleh gambaran bahwa mayoritas

sinode/gereja belum mengembangkan medianya dengan sebaik-baiknya. Sejumlah

masalah terkait siklus hidup media gereja terkuak: mulai dari ketiadaan visi media yang

jelas, tema tak digarap serius, perekrutan pekerja media yang asal saja tanpa pelatihan

lebih dulu, pengelolaan media yang sambil lalu dan rangkap jabatan, pekerja yang

direkrut tanpa pembekalan yang memadai, isi media yang merupakan corong sinode

sehingga kering, membosankan dan akhirnya tak dibaca, rendahnya minat baca dan

menulis, dan seterusnya.

Dari percakapan dengan para peserta lokakarya diketahui bahwa peningkatan mutu

media gereja memerlukan pendekatan dua arah: pekerja media dan pemimpin di aras

pengambilan keputusan organisasi gereja. Pekerja media perlu diperlengkapi dengan

pengetahuan dan keterampilannya dengan dasar-dasar pengelolaan media seperti

jurnalisme, menyunting, menata letak, fotografi, pemasaran dan seterusnya. Sedangkan

para pemimpin gereja juga perlu mengetahui posisi dan fungsi strategis media gereja

dan strategi komunikasi dan media di tengah-tengah masyarakat yang plural.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 9

Page 10: Konsultasi nasional v e-book final

Dalam era otonomi daerah dan demokrasi, posisi dan peran strategis media gereja

semakin penting sebagai “juru bicara” dalam menyosialisasikan pandangan gereja

terhadap isu-isu penting dan terkini misalnya HAM, demokrasi, korupsi, gereja/pendeta

dan politik, dan seterusnya. Ada kesan bahwa tanggapan dan refleksi terhadap isu-isu

sedemikian dilimpahkan kepada PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) untuk

merumuskannya dan sekaligus menyebarkannya ke gereja-gereja antara lain melalui

majalah Berita Oikoumene.

Seorang pekerja media gereja pernah mengungkapkan bahwa gerejanya memang tidak

berani memuat isu-isu sensitif karena pandangan bahwa gereja tidak berpolitik. Yang

lain menggarisbawahi bahwa kini bukan saatnya lagi media gereja dan media Kristen

berjalan sendiri-sendiri, sebab peluang dan tantangan bersama di era digital dan di

tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural perlu disikapi bersama-sama.

Dalam konteks pertarungan penyebarluasan informasi, berbagai pihak, mulai dari partai

politik, bisnis, kelompok/organisasi agama, organisasi profesi dan keilmuan, kelompok

kampanye dan seterusnya, memanfaatkan multi media dan ruang maya yang terbuka

luas tanpa batas waktu dan ruang. Mudah ditebak, yang paling gesit memanfaatkan

ruang maya adalah kalangan bisnis dan politik. Kepedulian gereja-gereja terhadap

posisi dan fungsi strategis media dapat disaksikan dari media yang ada di

lingkungannya entah cetak, radio, media daring, bahkan juga dari keikutsertaan dalam

penyelenggaraan acara mimbar agama di televisi dan Facebook. Pertanyaan yang

muncul adalah, apakah gereja-gereja telah memanfaatkan media yang ada secara

maksimal?

Sejauh ini tak tampak strategi media gereja menghadapi era multimedia dan internet.

Media gereja dikelola secara sambil lalu, sebagai pekerjaan sampingan, dan karenanya

“asal ada ketimbang tidak ada”. Warga jemaat juga tidak diajak untuk hidup sadar dan

waspada terhadap gempuran media massa agar tidak menjadi korban-korban misalnya

iklan atau informasi yang bias. Di sisi lain, warga jemaat di daerah-daerah yang

infrastruktur telekomunikasinya jauh dari memadai memperoleh pengetahuan dan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 10

Page 11: Konsultasi nasional v e-book final

informasi terkait iman Kristen dan ajaran gereja semata berdasarkan media tradisional

seperti kotbah-kotbah, katekisasi, dan Penelaahan Alkitab.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, YAKOMA-PGI bekerjasama dengan

beberapa gereja/lembaga media di Jabodetabek bermaksud menyelenggarakan

Konsultasi Nasional Gereja dan Media. Tema yang dipilih adalah “Allah Kehidupan,

Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Tema ini hendak

menggarisbawahi bahwa media gereja dan media Kristen selaku pewarta Kabar Baik

harus menjadi berkat bagi kehidupan – mewartakan keadilan dan perdamaian – bukan

semata untuk lingkungan Kristen, tetapi juga agama-agama lain dan ciptaan Allah

lainnya. Kehidupan yang dimaksud tak semata bersifat antropologis (berpusat pada

manusia) tetapi juga ekologis. Dengan tema ini kita diingatkan bahwa “Tuhan itu baik

kepada semua orang dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikanNya.” (Maz. 145:

9).

Tujuan:

Memetakan tantangan-tantangan dan peluang-peluang yang dihadapi oleh

media gereja dan media Kristen terutama dalam menghadapi multi media dan

internet

Merumuskan refleksi teologis maupun faktual tentang peran dan fungsi media

gereja dan media Kristen

Membangun dan memperkuat jejaring yang sinergis media gereja dan media

Kristen untuk proses saling belajar dan RTL bersama yang merupakan karya

bersama.

Penyelenggara: YAKOMA-PGI bekerjasama dengan Gereja Bethel Indonesia (GBI).

Peserta: Pengelola, pekerja, pemimpin media gereja dan Kristen (radio, cetak, daring,

audiopvisual pengambil keputusan), pengelola media rakyat (teater), pemimpin gereja

di aras sinode.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 11

Page 12: Konsultasi nasional v e-book final

Alur Lokakarya

Tahap 1

Penggalian dan pemahaman tema Konsultasi Nasional “Allah Kehidupan,

Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian” dan Pemetaan Perubahan

Media massa (Kekuatan, Kebijakan dan Orientasi, Konten, Perngelolaan,

Format) di Indonesia sebelum dan pascareformasi. Pada tahap ini peserta

mampu mengidentifikasikan permasalahan, perubahan, tantangan, serta

peluang.

Tahap 2

Kebijakan infokom pemerintah pascareformasi. Pada sesi ini peserta

diperlengkapi dengan informasi seputar kebijakan-kebijakan pemerintah terkait

infokom, prioritas, tujuan dan target agar masyarakat Indonesia menjadi

masyarakat berbasis informasi dan pengetahuan. Informasi kebijakan ini

diharapkan membuka horizon tentang kebijakan infokom dan dampaknya bagi

media massa, media sosial atau media baru dan media komunitas.

Tahap 3

Media massa dan media komunitas merespons perubahan: (1) Bagaimana

media massa komersial seperti stasiun televisi dan radio merespons era

globalisasi, internet dan pluralitas media yang mengubah secara total lalu lintas

komunikasi dan informasi dari yang terpusat dan satu arah menuju ke populis,

dua arah dan nonprofit sebagaimana media baru atau media sosial. (2)

Bagaimana media komunitas keagamaan yang berorientasi nonprofit merespon

era globalisasi, internet dan pluralitas media? Bagaimana mereka memosisikan

diri (visi, misi, strategi).

Tahap 4

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 12

Page 13: Konsultasi nasional v e-book final

Perspektif Bermedia: Pengalaman Media Difabel dan Masyarakat Adat-

Lingkungan Hidup

Media tak lepas dari bias-bias tertentu. Kerap media melakukan reviktimisasi

terhadap korban dan kelompok marjinal (ODHA, difabel, perempuan,

masyarakat adat) melalui pilihan-pilihan kata dan konstruksi narasi berita. Di

sisi lain, orientasi bisnis juga menjadi filter dalam pemilihan berita yang

diminati oleh masyarakat luas. Berita-berita tentang politik, bisnis,

perang/konflik menjadi pilihan utama.

Kini kita hidup dalam lingkungan media yang mengepung kita selama 24 jam

memerlukan sikap kritis. Kritis tak hanya berarti mampu mewaspadai berbagai

konten media, namun juga mampu mengelola penerbitan media khusus bagi

kelompok-kelompok marjinal yang persoalan-persoalannya dipinggirkan oleh

media massa yang berorientasi bisnis, seperti masyarakat adat dan difabel.

Berbagi visi dan misi keadilan bagi kelompok marjinal melalui penerbitan

media diharapkan dapat membuka wawasan bagaimana media memosisikan

diri di tengah-tengah gempuran media massa berorientasi bisnis dan eforia

gerakan media sosial.

Tahap 4

Penggalian dan Perumusan Masalah (Diskusi Terfokus Kelompok)

Peserta dibagi dalam empat kelompok yang menggali tiga fungsi majalah gereja

dan majalah Kristen yang tampak dalam penerbitan: humas (internal),

penginjilan, perubahan sosial. Satu kelompok akan merumuskan pesan

konsultasi nasional tentang gereja dan komunikasi.

Tahap 5

Pleno dan Tanggapan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 13

Page 14: Konsultasi nasional v e-book final

Tiap-tiap kelompok menyajikan hasil-hasil diskusi untuk ditanggapi oleh

seluruh peserta. Hasil-hasil diskusi kelompok kemudian ditulis ulang untuk

direvisi berdasarkan masukan-masukan para peserta.

Seluruh materi Konsultasi Nasional akan dibukukan dalam bentuk format cetak

maupun digital. Format cetak akan dikirim ke pada para peserta dan sinode-

sinode gereja. Hasil Konsultasi Nasional akan menjadi bahan masukan pada

Sidang Raya PGI 2014 di Nias, Sumatra Utara.

Jadwal Acara

WaktuSelasa,

12 November 2013Rabu,

13 November 2013Kamis,

14 November 2013Jumat,

15 November 2013

06.00 - 07.30

REGISTRASIPESERTA

MAKAN PAGI MAKAN PAGI MAKAN PAGI

07.30 - 80.00 IBADAH PAGI IBADAH PAGI

CHECK OUT

08.00 - 09.30

Refleksi TeologiKomunikasi sebagai perwujudan KasihPdt. Dr. Einar Sitompul

Refleksi TeologiMenjadi Pewarta Keadilan dan Perdamaian, Pengalaman Perempuan Pdt. Sylvana Apituley, M.Th.

09.30 -10.00 Rehat

10.00 -12.00

Sesi I1. Sharing: Peta

perubahan media massa, media komunitas di Indonesia sebelum dan pasca-reformasi: orientasi, kebijakan konten, pengelolaan dan format(Ignatius Haryanto)

2. Kebijakan pemerintah di bidang Infokom(Freddy Tulung, Dirjen Infokom Publik)

Sesi III : Awal Pemetaan

Media dan Masyarakat Adat-Lingkungan Hidup

Media dan Difabel dan ODHA

12.00 -13.00 MAKAN SIANG

13.00 -15.00 Bagaimana Media menyikapi perubahan-perubahan di era globalisasi dan internet:1. MNC

Kelompok I Kelompok II Kelompok III

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 14

Page 15: Konsultasi nasional v e-book final

2. First Media

15.00 -15.30 REHAT KOPI

15.30 -17.30Kebaktian Pembukaan

Sharing dari peserta:1. HKBP2. GKPB (MDC)

PLENO

17.30 -18.30Sambutan-sambutan Pembukaan

ISTIRAHAT PENUTUPAN

18.30 -19.30 MAKAN MALAM MAKAN MALAM

19.00 -20.30MALAM BUDAYA

20.30 -21.00

Bab II

PROSES DAN PERCAKAPAN KONSULTASI NASIONAL

Hari Pertama, 12 November 2013

I. Pembukaan KONAS

Renungan/kotbah dalam ibadah pembuka disampaikan oleh Pdt. Dr. Japarlin

Marbun, Ketua BPH Sinode GBI. Refleksi ditekankan pada tema “Allah

kehidupan, pimpin kami mewartakan keadilan dan Kedamaian” mengacu pada

teks 1 Petrus 4: 11 “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai

orang yang menyampaikan firman Allah; jika ada orang yang melayani, baiklah ia

melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan. Allah, supaya Allah

dimuliakan,  dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya

kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin.”

Melalui tema dan renungan teologis, peserta KONAS didorong untuk dapat

memanfaatkan media apa pun dari sederhana sampai yang canggih. Misalnya

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 15

Page 16: Konsultasi nasional v e-book final

Facebook, bagaimana setiap warga gereja mampu memposkan Firman Tuhan atau

kata-kata hikmat yang mengandung unsur perdamaian, keadilan, dan kebenaran.

Ada tiga persyaratan dalam menyampaikan warta: tepat waktu, tepat media,

mendayagunakan yang diwartakan itu. Media yang ada sekarang banyak

menimbulkan kebencian, ketidakadilan dan bukan kebenaran Firman Tuhan.

II. Kata Sambutan

a. Ketua Panitia (Pdt. Fecky Angkow, MA)

Bersyukur kepada Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja, karena diberikan

kesempatan untuk mengadakan KONAS yang dihadiri beberapa sinode,

walaupun persiapannya hanya dua bulan namun telah berusaha semaksimal

mungkin untuk menyukseskan acara KONAS. Gereja perlu selektif dan bijak

menggunakan berbagai media komunikasi dalam menyampaikan nilai-nilai

kristiani yang menyuarakan “kebenaran dan keadilan”. YAKOMA-PGI

berupaya memotivasi dan memfasilitasi berbagai media Kristen untuk duduk

bersama memikirkan, mendiskusikan dan menyusun langkah-langkah yang riil

melalui KONAS V Gereja dan Komunikasi. Diharapkan KONAS ini

menghasilkan rumusan-rumusan rekomendasi visi, misi, dan perjuangan

bersama media Kristen dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi yang

kontekstual dan berdampak bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dan

secara khusus bagi persekutuan gereja-gereja di Indonesia. Diharapkan,

melalui KONAS ini dirumuskan rencana tindak-lanjut untuk program-

program nyata sehingga kualitas dan kuantitas media Kristen dapat dirasakan

kontribusinya bagi negara, masyarakat dan persekutuan gereja-gereja di

Indonesia. Selamat mengikuti KONAS V Gereja dan Komunikasi, kiranya

berbagai acara yang diselenggarakan dapat diikuti dengan baik dan dapat

memberi masukan yang bermafaat bagi pelayanan di lingkungan gereja dan

sinode masing-masing.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 16

Page 17: Konsultasi nasional v e-book final

b. Ketua Pengurus YAKOMA-PGI (Dr. Victor Silaen)

(membacakan Kata Pengantar di buku ini)

c. Sekretaris Umum MPH-PGI (Pdt. Gomar Gultom, M.Th)

Secara resmi Pdt. Gomar Gultom memukul gong pembukaan. KONAS Gereja

dan Komunikasi kali ini adalah kegiatan ke-5 yang diselenggarakan

YAKOMA-PGI, dengan mengangkat tema, “Allah Kehidupan, Pimpin Kami

Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Kontak, interaksi dan relasi antara

manusia yang terdiri dari beragam manusia dipupuk oleh komunikasi dan

berbagai TIK. Proses dan cara kita berhubungan dengan manusia secara efektif

menjadi sebuah kebutuhan. Apalagi ketika harus mewartakan Injil, peran

komunikasi semakin penting. Tiga catatan penting terkait penyelenggaraan

KONAS V Gereja dan Komunikasi:

Catatan pertama: Komunikasi sebagai Sikap Peduli  

Dalam perspektif Kristen, cara berelasi dan pola komunikasi harus memiliki

nilai lebih. Tidak cukup sekadar mengucapkan “halo” atau “haleluya”. Relasi

harus terungkap dalam upaya mendarmakan diri kepada orang lain dalam

wujud cinta kasih. Dalam komunikasi Kristen harus ditandaskan bahwa

komunikasi seturut dengan maknanya mewujud dalam penyerahan diri kepada

orang lain. Pemberian diri menjadi perilaku yang hakiki kalau seseorang mau

disebut sebagai Kristen. Artinya, orang yang takut atau tidak pernah bersedia

menyerahkan dirinya demi orang lain atas dasar kasih seturut dengan

perspektif komunikasi Kristen, sulit disebut sebagai seorang Kristen sejati.

Yesus adalah contoh puncak komunikasi yang sejati, Yesus adalah figur

komunikasi yang mendarmakan dirinya demi orang lain. Lalu timbul

pertanyaan: kepada siapakah kita harus mendarmakan diri kita dalam

komunikasi ini? Tentu kita akan berkata kepada semua orang! Tetapi

komunikasi akan mendapat tingkatan yang lebih tinggi apabila pendarmaan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 17

Page 18: Konsultasi nasional v e-book final

diri itu tertuju kepada dan demi orang yang terpinggirkan dan terabaikan oleh

sistem yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan diri; kepada sistem

yang selama ini memuaskan diri atau sistem yang lebih mementingkan

kelompok.

Tema KONAS ini sangat tepat, “Tuhan, pimpinlah kami kepada keadilan dan

perdamaian”. Tema mengisyaratkan kepedulian kepada mereka yang

terpinggirkan. Olehnya komunikasi Kristiani ditandai semangat untuk hidup

keluar dan pergi dan berjumpa dengan rekan yang lain, keluar dari

keterkumpulan kita, keluar dari pemenuhan diri sehingga kita mampu

membebaskan diri dan pada gilirannya juga akan mampu melepaskan diri dan

akan mampu membebaskan orang lain.

Catatan Kedua: Komunikasi sebagai Upaya Pembebasan 

Dewasa ini berbagai bentuk media komunikasi telah begitu hebatnya, dengan

kemajuan yang pesat dalam bentuk broadcasting radio, televisi dan

sebagainya maupun hubungan media sosial. Seperti dikatakan Pak Fecky,

komunikasi seperti tsunami.

Tapi ada sesuatu yang menguatirkan di sini, komunikasi telah membelenggu

kita sedemikian rupa, sehingga misalnya untuk berpakaian pun selera kita

telah ditentukan oleh media, seperti iklan dan sebagainya termasuk selera

musik juga telah digiring. Selera makanan anak-anak kita pun digiring oleh

media. Kita tidak lagi bebas. Anak-anak kita digiring oleh pemberitaan media:

tawuran itu sebagai bentuk perlawanan keberanian, begitu juga dengan

narkoba dan dugem sebagai tanda-tanda modernitas. Komunikasi begitu

ambigu; tsunami kata Pak Fecky tadi.

Celakanya, konon, komunikasi yang dikembangkan di lingkungan gereja kita

tidak membawa masyarakat semakin dewasa, keluar untuk mampu

menentukan atau memutuskan pilihannya sendiri. Komunikasi gereja kita telah

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 18

Page 19: Konsultasi nasional v e-book final

begitu menggurui dan memandulkan daya kritis warga jemaat kita, dan

menggiring kita kepada pola berpikir yang monolitik. Komunikasi gereja kita

konon telah memperlakukan warga gereja sebagai anak-anak yang masih harus

minum susu, dan tidak pernah sampai kepada makanan keras.

Catatan Ketiga: Dari  Media ke Mediasi

Bagaimana komunikasi tidak hanya kita anggap dalam kerangka media tapi

juga mediasi. Para pendengar komunikasi gereja dewasa ini masih sangat

fungsional melihat komunikasi, sehingga menganggap media komunikasi

melulu sebagai saluran untuk menyampaikan pesan yang dianggap sebagai

obyek komunikasi. Dari perspektif ini, kita sebagai komunikator sering kali

menggangap diri sebagai yang lebih tahu, superman, tahu segalanya, dan

komunikan itu dianggap sebagai obyek semacam tabularasa yang siap

menampung segala informasi dan pesan yang akan disampaikan. Dalam

sistem ini media dilihat sebagai saluran atau channel. Dalam paradigma

komunikasi Kristen, kita mestinya tidak lagi berbicara tentang media sebagai

saluran, karena media bukan sekadar pengantar informasi tetapi juga sebagai

lingkungan hidup, bukan hanya media tetapi juga mediasi. Itu berarti media

tidak sekadar menjadi penyalur dan berdiri sendiri dan netral, pengantar

komunikasi bisa media yang berdiri sendiri; media adalah bagian dari

masyarakat, bagian dari realitas. Merupakan keharusan bagi kita untuk

mempertanyakan siapa pemilik media, ideologi manakah yang ada di balik

media; idiom atau bahasa apakah yang dipakai dalam operasional media, siapa

di belakangnya? Dari negara mana? Bagaimana media mengonstruksikan

gender, keadilan, kekerasan, diskriminasi, dan lain-lain. Semua itu turut

menentukan terbentuknya sebuah bangunan komunikasi.

Dengan tiga catatan inilah, kami menyambut penyelenggaraan KONAS, yang

diharapkan di satu sisi akan mengevaluasi bentuk dan subtansi komunikasi kita

selama ini dan lewat satu proses belajar sebagaimana yang dikatakan oleh

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 19

Page 20: Konsultasi nasional v e-book final

Ketua YAKOMA-PGI, lewat proses saling belajar, saling bertukar

pengalaman, bertukar pengetahuan, pemikiran, informasi dan komunikasi

mendorong kita dalam sisi lain mengembangkan komunikasi yang perduli

kepada mereka yang terpinggirkan dan mengembangkan komunikasi yang

membebaskan.

Terima kasih kepada YAKOMA-PGI yang menyelenggarakan KONAS dan

terima kasih kepada Sinode GBI, dan terutama kepada Bapak/Ibu yang

bersedia mengikuti KONAS ini. Kami menilai ini sebagai komitmen kita

bersama untuk bersedia mengkomunikasikan Injil yaitu Injil yang peduli dan

Injil yang membebaskan.

d. Pembacaan Alur

Gracia L. Simanjuntak menyampaikan pengalamannya di Sekolah Minggu

kepada peserta KONAS, “Adik-adik, Ibu mau membacakan cerita-cerita

kebenaran Firman Tuhan dari ini “Alkitab! Alkitab!” Apa namanya adik-adik?”

jawab anak-anak serentak, “Alkitab!” Namun, dengan teknologi yang semakin

berkembang, bayangkan Alkitab kini berformat lain seperti Tab, Iphone, Ipad,

ponsel dan BB. Bayangkan, bagaimana mengajukan pertanyaan kepada anak-

anak, “Ini apa, adik-adik?” sambil mengacungkan BB atau ponsel sebab

Alkitab terdapat dalam software gawai (gadget).

Dari ilustrasi di atas, media gereja dan media Kristen harus sadar, kini

teknologi dan media menjadi begitu penting.

Bagi seluruh peserta, selama KONAS akan dibagikan kartu lembaran komitmen

agar apa saja yang kita diskusikan dapat diwujudkan bentuk nyata dalam media

dan komunikasi kita bersama nantinya. Jadi setiap peserta akan mendapat kartu

komitmen dan ditempelkan di pohon supaya dapat kita lihat bersama-sama.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 20

Page 21: Konsultasi nasional v e-book final

Untuk pendalaman materi dalam kelompok-kelompok, akan dibentuk 5

kelompok. Setiap kelompok bisa memilih Ketua Koordinator, dengan tugas

sebagai berikut:

Memulai doa pagi atau malam sesuai jadwal kelompok secara mandiri

bersama kelompok yang sudah ditentukan.

Memimpin sharing pergumulan sesuai topik-topik yang ditentukan.

Memimpin doa kelompok.

Mengajak anggota menuliskan doa komitmen.

e. Doa Penutup

Disertai doa makan malam yang dipimpin oleh Pdt. Ny. Altje Runtu-Lumi

Hari Kedua, 13 November 2013

Refleksi Teologis:“Komunikasi sebagai Perwujudan Kasih” (materi terlampir)

Pdt. Dr. Einar Sitompul

Tanggapan peserta:

Dwi Yatmoko (WVI): menarik tentang tiga tahap, namun ada satu hal jenis

komunikasi yang menjadi booming, yaitu komunikasi tanda kutip “autis”, seperti

orang semakin jauh dengan keluarganya, orang semakin jauh dengan guru

agamanya dan penguasaan diri yang dibatasi oleh teknologinya seperti aplikasi

yang menarik dengan gawai (gadget) dan lain-lain. Dan, gereja ada pada tahap

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 21

Page 22: Konsultasi nasional v e-book final

mana. Yang menarik juga adalah, bagaimana gereja melihat apa yang disebut

jemaat teknologi, seperti: jemaat tidak perlu hadir di gereja untuk persekutuan dan

lain-lain. Karena sudah tersedia dengan life streaming, cukup melihat di televisi

dan lain-lain. Padahal dalam pertemuan itu dibutuhkan relasi sosial yang

membutuhkan kehadiran kita di gereja.

Narasumber

Publikasi autis atau komunikasi autis sebagai tantangan, bagaimana gereja untuk

meresponnya, jangan melulu menyalahkan karena banyak orang mendoktrinkan

untuk menyalahkan perkembangan teknologi, padahal IT atau teknologi informasi

dan komunikasi adalah sebuah penemuan baru dalam peradaban manusia. Pernah

ada opini di Kompas bertajuk Remot (remote) yang menyinggung pemberkatan

jarak jauh sebagai suatu kemungkinan: pengantin tidak perlu hadir dalam gereja,

cukup tumpang-tangan dengan cara jarak jauh. Pertanyaan etisnya adalah,

seberapa jauh hikmat yang diterima oleh orang tersebut. Tujuan saya adalah:

mengatakan kita saat ini sudah memasuki peradaban baru sejak IT berkembang

pesat pada abad ke 19. Penemuan baru radio dan telegram dan kini menjadi bagian

dari peradaban yang berkembang. Saat ini penduduk terbanyak di dunia adalah

Tiongkok tetapi penduduk kedua adalah Facebook dan Twitter. Populasi saat ini

bukan hitungan kepala lagi tetapi penggunaan hobi dan media. Jadi siapa yang

menguasai media, dialah yang menguasai komunikasi. Bagaimana menjembatani

komunikasi secara lebih cepat dan tepat di era digital atau jarak jauh: yang dekat

menjadi akrab atau akrab menjadi dekat. Juga mesti ada pengaturan atau

kesepakatan kapan kita menggunakan media digital. Jadi kita yang mengatur

penggunaan teknologi, membuat kesepakatan dengan keluarga untuk menyusun

pengaturan demi kebahagiaan kita; disepakati pukul berapa menggunakan waktu

untuk hubungan personal. Bagaimana etikanya jika berdoa pagi kepada Tuhan

kita hanya mengklik gawai (gadget) kita. Kita jangan menyalahkan dahulu,

mungkin Tuhan juga senang karena praktis dalam berdoa namun masih banyak

gereja yang alergi kepada kemajuan teknologi digital. Tunda dulu penilaian

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 22

Page 23: Konsultasi nasional v e-book final

hingga kita menuju kepada etika yang berorientasi pada peradaban manyarakat

teknologis. Inilah tujuan Konas, yakni membuka wawasan dan bukan kelemahan

dan kekurangan dari organisasi yang lain.

Pdt. Herminsius Udjung (BPH GBI Kalteng): Bagaimana bisa menjalin

komunikasi yang baik bila selama tiga tahun lebih GBI dikeluarkan dari PGI

Wilayah dan alasannya GBI punya tiga aras PGI, PGLII dan GBI. Kenapa gara-

gara itu dikeluarkan dari PGI Wilayah sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan-

kegiatan PGI. Soal ini sudah disampaikan ke PGI, dan dianjurkan agar

berkoordinasi dengan PGI Wilayah. Apa yang bisa kami angkat lagi? Membangun

komunikasi yang bagaimana agar kami bisa diterima kembali menjadi anggota

PGI Wilayah.

Narasumber

Saat ini kita masih mencari bentuk-bentuk kebersamaan, karena harus kita akui

PGI masih mencari kesatuan yang berazaskan NKRI. Untuk permasalahan dengan

PGI Wilayah agar dikomunikasikan langsung.

Alex Mangonting (Gereja Toraja): Gereja tidak akan mundur dari teknologi.

Hanya, bagaimanakah respon gereja? Pengalaman di Toraja: membuat akun

Facebook untuk para perantau yang ada di luar negeri dan ini diakte-notariskan.

Gereja-gereja sangat terlambat untuk merespon hal tersebut, padahal komunitas

lain sudah merespon kemajuan teknologi tersebut. Perlu membuat komitmen

bersama di Konas untuk menjalin komunikasi, khususnya ihwal Indonesia Timur

yang kekurangan informasi. Usul, Konas berikutnya harus di Indonesia Timur.

Narasumber

Mari kita sama-sama mengisi dan mengembangkan jaringan teknologi informasi

untuk kebersamaan dengan komunitas. Usul kepada YAKOMA-PGI, bagaimana

Konas ini bisa diselenggarakan tiap tahun atau 2 tahun sekali.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 23

Page 24: Konsultasi nasional v e-book final

Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Kita belum memiliki format yang jelas tentang

perkembangan TIK, dan ketika gereja juga belum bersikap jelas untuk kemajuan

teknologi tersebut, kita perlu banyak berkomunikasi, bukan mencari kesepakatan

melainkan memahami dahulu perkembangan teknologi. Selanjutnya, perlu ada

sikap bijak untuk berhenti dahulu karena teknologi ini terus berkembang. Gereja

masih sulit mengelola situs web, karena itu perlu membimbing warga gereja untuk

memanfaatkan TIK.

Narasumber

Sebaiknya kita sendiri yang memilih dan membatasi diri kita dengan sikap bijak

untuk menyaring TIK yang akan dimanfaatkan.

Epifania Raintung (Persetia): Secara tidak sadar, banyak gereja dalam arti

komunitas, terbentuk karena adanya sosok-sosok hebat bertalenta dalam

berkomunikasi. Mereka adalah para komunikator. Adakah pakar komunikasi

membawa warga gereja menjadi lebih kuat, tidak membuka komunitas baru atau

gereja yang baru. Mengapa tidak fokus saja untuk membina warga gereja.

Chrisostomus Sihotang (Bina Kasih): Membagi cerita tentang lokakarya

penulisan bahan ajar Sekolah Minggu di daerah Toraja. Yang ditanyakan, apakah

yang perlu gereja lakukan sekarang? Jawabannya: 70 persen menuliskan

pergaulan bebas karena internet dan media komunikasi karena gereja tidak pernah

menjelaskan kebaikan dan bahaya pengunaan internet. Seharusnya gereja

merespons dan menanggapi kemajuan teknologi terutama dalam hal penggunaan

internet di kalangan anak-anak muda.

Pdt. Altje Lumi (GMIM): Persoalan: bagaimana kita menemukan kasih

dalam sebuah komunitas di era globaliasi seperti sekarang?

Pdt. Ananta Purba (GBKP): Gereja akan mengalami lost generation jika

memandang sebelah mata pentingnya penguasaan teknologi komunikasi dalam

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 24

Page 25: Konsultasi nasional v e-book final

kehidupannya. Anak-anak muda akan minggat dari gereja, karena itu KONAS

sangat strategis untuk berpikir menempatkan TIK sebagai bagian dari pelayanan

strategis gereja. GBKP di kota-kota besar mewajibkan memasang WIFI sehingga

komunikasinya punya frekuensinya sama. Gereja harus menempatkan TIK sebagai

suatu komisi dalam program kerjanya.

Diskusi Panel

Sesi I:

♦ Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik KEMKOMINFODr. Freddy H. Tulung

♦ Pengamat Media: Ignatius Haryanto

♦ Moderator: Pdt. Dr. Lies Sumampouw-Pangkey

Panelis I: Dr. Freddy H. Tulung (materi terlampir)

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 25

Page 26: Konsultasi nasional v e-book final

Keterbukaan yang membabi-buta adalah ketelanjangan. Gereja dan organisasi

keagamaan harus mendapatkan public trust dari masyarakat. Peran gereja menjadi

benteng pembangunan karakter moral bangsa. Tadi sudah saya katakan gawai

tidak bisa dihindari, data menunjukkan orang mempelajari pembuatan bom dari

internet, ini hanya sebuah alat dan kita tidak bisa menyalahkan alat itu.

Pertanyaannya, bagaimana alat itu berpengaruh dalam membentuk karakter

seseorang. Salah satu peran gereja adalah menjadi agen dalam memberikan

kontribusi signifikan dalam membangun karakter bangsa dan memberi edukasi

informasi kepada masyarakat.

Panelis II: Ignatius Haryanto (materi terlampir)

Saya membayangkan alur materi dengan tetap setia pada ToR yang diberikan oleh

panitia. Kalau boleh dikatakan media di zaman Orde Baru dikontrol oleh

pemerintah, siapa yang mengatur dan siapa yang memiliki media itu. Sekarang

orang bisa dengan mudah mengurus izin pendirian media dengan memenuhi

beberapa persyaratan yang tidak terlalu sulit. Tetapi pada zaman Orde Lama,

pemerintah menentukan media mana yang bisa beraktivitas termasuk pemerintah,

juga mengatur isi media. Kita semua tahu, dua hari lalu ada helikopter yang jatuh

di Kalimantan Utara yang merupakan milik AD, disebutkan 13 orang tewas. Di

zaman Orde Baru berita seperti ini tidak akan muncul secepat itu, sekarang dengan

mudah disebarkan. Di zaman Orde Baru isi media kalau tidak sesuai dengan

keinginan pemerintah bisa dibredel atau dicabut izinnya. Sejak zaman Orde Baru

ada lebih dari 30 media yang ditutup usai peristiwa Malari tahun 1974; tahun 1978

juga ada dan terakhir tahun 1994 ketika 3 majalah mingguan (Tempo, Detik dan

Editor) ditutup. Sebelumnya media cenderung takut dan tidak bereaksi, namun

pada 1994 mulai muncul perlawanan. Di zaman Orde Baru tidak ada istilah media

komunitas, yang ada “penerbitan terbatas” yang berasal dari kampus dan kelompok

gereja. Penerbitan terbatas ini dan izinnya pun dibatasi. Waktu itu media gereja

tidak terlalu diperhatikan karena isinya juga tidak terlalu mengancam stabilitas

nasional. Saya tidak pernah meriset media gereja dan saya sekarang adalah peneliti

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 26

Page 27: Konsultasi nasional v e-book final

media bukan ahli Information Technology. Penerbitan berbasis gereja memiliki

peluang besar. Kita tahu beberapa media yang sudah bertahan lama dari media

gereja mungkin ada yang masih bertahan sampai sekarang seperti Immanuel.

Peluang media berbasis gereja bisa kita sebut sebagai media komunitas yang terikat

dengan satu teritori tertentu dan dari situ ini bisa menjadi wadah latihan bagi anak-

anak muda. Saya pernah mengelola media gereja di mana saya tinggal dan

difasilitasi. Sudah 10 tahun ini saya dan beberapa teman wartawan mendidik

beberapa anak muda untuk belajar jurnalistik, minimal bukan agar mereka menjadi

wartawan melainkan jadi penulis di media umum. Radikalisasi yang terjadi

sekarang tidak hanya terlihat dalam kelompok yang menjadi teroris atau yang lain,

tetapi percakapan yang mengatakan bahwa kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.

Ini mengkuatirkan karena landasan negara sudah digugat oleh sebagian orang,

apakah kita siap dengan generasi kita untuk meng-counter wacana semacam itu?

Ada berapa banyak orang yang kita miliki untuk berhadapan dengan konteks

jurnalis ini. Minimal bagaimana opini publik menjadi ladang penting untuk gereja

mana pun.

.Problem yang dihadapi media gereja

Kalau bicara media internal selalu ada persoalan. Media terbatas seperti ini apakah

cukup otonom atau menjadi counterpart dari para pengurus gereja? Sebab salah

satu fungsi pers adalah melakukan kontrol sosial dan apakah media gereja sudah

melakukan itu? Gereja bukan kumpulan para malaikat yang tidak dapat salah

makanya kemudian muncul gunjingan di kalangan umat. Apakah kita siap untuk

kondisi ini? Apakah media berbasis gereja semata-mata bersifat eksklusif? Ataukah

kita mulai menyebarkan semangat inklusif? Kita perlu mengundang teman-teman

dari kelompok mana saja untuk mulai membicarakan hal-hal di luar gereja.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 27

Page 28: Konsultasi nasional v e-book final

Bagaimana gereja menjaga keberlangsungan medianya. Kalau kita berbicara dalam

konteks komunikasi maka tidak terbatas pada percakapan. Ada gereja-gereja yang

sudah memiliki situs web yang bagus dan mereka dapat menyapa warga gereja

melalui media itu. Sebenarnya kita punya potensi besar untuk bisa mengelola media

ini. Bagaimanapun juga umat Kristiani masih merupakan kelompok penting dalam

bidang media. Kita punya Kompas, Suara Pembaharuan, artinya bahwa kita masih

punya tempat yang cukup besar dan bagaimana kita melibatkan anak-anak muda

untuk mengisi ruang-ruang publik ini untuk komunikasi yang lebih luas dan

mampu menjalankan kepentingan publik.

Moderator

Kita masih punya waktu 20 menit, nanti akan dilihat apakah bisa dikorupsi waktu

makan siang kita. Kita mendapat gambaran yang lengkap, dari Pak Freddy maupun

Pak Ignatius Haryanto, yang memberikan analisa internal dan eksternal untuk

melihat di mana posisi media gereja kita. Pak Freddy menantang kita, ternyata

gereja sangat minim memberi sumbangan pada kondisi bangsa melalui media.

Karena itu sekarang kita akan memberi respon atas materi ini, kami beri

kesempatan untuk mendaftarkan diri dulu:

Tanggapan Peserta

Orpa Lemba (POUK Larangan Indah): Saya mantan mahasiswi Pak Ignatius

Hariyanto. Saya bukan menyinggung suku dan saya minta maaf jika yang saya

tanya ini menyakitkan hati. Saya masih terus bertanya tentang Dayak dan Madura.

Saya pernah mau meneliti dua suku ini tetapi tidak diizinkan oleh orang tua saya.

Mereka saling bunuh, apakah ini terjadi karena persoalan komunikasi yang kurang

baik ataukah ada persoalan lain, dan bagaimana peran gereja dalam permasalahan

ini.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 28

Page 29: Konsultasi nasional v e-book final

Pdt. Amos Puasa (GMIH): Untuk Pak Ignatius, ihwal peran media gereja.

Ketika dididik di YAKOMA-PGI beberapa waktu yang lalu tentang jurnalisme,

saya masih konsen dan sampai sekarang masih tetap menulis. Pengalaman saya,

ketika menulis di media gereja yang terbit bulanan seringkali proses penerbitan

tidak tetap, kadang terbit kadang tidak, sedangkan ide terus berkembang dan

menuntut untuk selalu di-follow-up. Kemudian hadir media lokal milik grup Jawa

Pos dan saya mulai menulis di media lokal ini. Ini saya lakukan untuk mengimbangi

banyaknya tulisan dari kawan-kawan Muslim. Saya kemudian bergeser dari media

gereja ke media lokal tetapi persoalan yang saya hadapi adalah, saya melihat seperti

tidak ada pengaruhnya dalam masyarakat padahal apa yang saya tulis selalu

berkaitan dengan permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, misalnya

politik. Untuk Pak Freddy, apakah benar radikalisme lahir karena kebablasan dalam

dunia media? Apakah ini karena pemerintah yang sekarang, Orde Reformasi, dan

saya sempat mendengar pemerintah SBY lebih jahat dari pemerintah Soeharto.

Apakah benar penguasa dalam hal ini pemerintah dalam berkomunikasi cenderung

melakukan permainan sehingga masyarakat dininabobokan; menganggap

masyarakat kita mudah dibodohi.

Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Pemaparan Pak Freddy luar biasa karena kita

diberi peta tentang bagaimana pengaruh informasi dan komunikasi terhadap maju

mundurnya negara ini. Tentu sebagai gereja kita mengukur diri, sejauh mana media

komunikasi dalam gereja menjadi penting, apakah ini bersifat substantif atau hanya

suplemen. Berkaca dari Kitab Kejadian, mengenai makan buah yang baik dan jahat,

manusia sebenarnya tahu mana yang baik dan jahat, tetapi ini merupakan tahapan

awal dari evaluasi tindakan. Mari kita jalani masa ini dan kita perlu tetap

berkeyakinan sebab sekarang ada kebingungan di kalangan warga jemaat, kami

perlu bekal dari pemerintah. Di antara sekian hal yang paling riil, apakah yang bisa

dilakukan gereja? Pengelolaan media gereja, sampai sekarang kita belum punya

model, media seperti apa yang bisa jadi acuan. Memang media gereja sebaiknya

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 29

Page 30: Konsultasi nasional v e-book final

dikelola dengan berorientasi profit tetapi gereja cenderung memilih nonprofit jadi

agak susah. Bagaimana mengatasi masalah ini?

Alex Mangoting (Gereja Toraja): Yang dipaparkan tadi canggih, karena saya

dari desa jadi saya sedikit cerita tentang desa. Beberapa waktu yang lalu ada “orang

janggut” yang masuk di Toraja dan ini meresahkan masyarakat. Kami meminta

beberapa orang yang menjadi tokoh Muslim di Toraja untuk berbicara dengan

mereka karena tidak mungkin dari Kristen. Orang berjanggut itu lalu meninggalkan

Toraja. Komunikasi sosial seperti ini sudah lama terbangun, sehingga tidak ada

kecurigaan di antara kami meskipun kami sering mengalami ancaman penyusupan.

Bahan yang disampaikan cukup bagus, apakah kami bisa dapatkan bahannya? Ini

sangat membantu saya dalam tugas di Sinode. Karena korban kekerasan banyak

terjadi di kampung, sehingga salah satu pekerjaan baru saya adalah mendampingi

korban kekerasan yang diakibatkan oleh media antara lain Facebook. Media di

kalangan Protestan tidak ada yang dapat dijadikan contoh sebagai media yang

hidup. Pengalaman saya di Gereja Toraja -- disepakati untuk menerbitkan media

dalam Sidang Sinodal -- hanya beberapa yang rutin berkonstribusi, malah ada

pemahaman jangan berbisnis dalam gereja, termasuk menjual media gereja.

Pdt. Kotler Siagian (HKBP): Pak Freddy Tulung, terima kasih atas info hari

ini. Ada dua pertanyaan: pertama, Bapak sudah menyajikan peran gereja sebagai

benteng pembangunan moral bangsa dalam menghadapi dampak negatif media

karena itu gereja perlu memaksimalkan fungsi-fungsinya. Program-program apa

sajakah yang bisa dikerjasamakan dengan Kemenkominfo sehingga peran media

gereja lebih optimal. Kedua, era kita sekarang adalah era kebebasan pers, dan

pemerintah berperan sebagai pihak penyaring dan pengontrol informasi sehingga

kehadiran media di Indonesia bermanfaat untuk kelangsungan bangsa. Untuk Pak

Ignatius, HKBP sejak 1890, sudah memiliki media gereja bernama Suara

Pembaruan Imanuel, sudah berusia 123 tahun dan sampai sekarang tetap hidup.

Kami mengakui peredaran Immanuel masih terbatas, di lingkungan HKBP secara

internal dan juga belum menjadi bagian dari masyarakat Kristen Indonesia. Apakah

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 30

Page 31: Konsultasi nasional v e-book final

suatu saat majalah Imanuel memberlakukan penetapan satu penerbitan tentang

gereja lain, dalam arti media gereja jangan hanya menyuguhkan ihwal pelayanan

gereja itu sendiri seperti warta pelayanan, dan lain-lain. Perlu ada suatu waktu

media itu juga mengetengahkan informasi dari hal yang lain.

Dwi Yatmoko (WVI): Ada dua pertanyaan yang sama dengan Pak Kostler, jadi

saya tidak perlu ungkapkan lagi. Media seperti apa yang dapat mewakili semua

unsur dalam pelayanan gereja, sebab bisa bermasalah jika tidak mewakili golongan

usia, jender dan kategori lainnya.

Pdt. Fecky Angkow (GBI): Begitu banyak kendala yang dihadapi oleh gereja,

misalnya membuat program berbiaya besar. Memang ada ahli IT, tetapi masih

belum sepenuhnya memberikan diri untuk mengelola media gereja sehingga

diperlukan dorongan hati untuk mendedikasikan diri. Selain itu media gereja juga

tidak menyatu, terkotak-kotak, bagaimana pandangan narasumber atas hal ini, dan

strategi apakah yang bisa digunakan untuk menyatukan hal ini.

Narasumber

Ignatius Haryanto: Yang namanya konflik sosial tidak pernah ada faktor tunggal,

bukan karena agama, suku, ras tetapi ada faktor lain yang saling berhubungan.

Semua konflik memiliki sejarah yang cukup panjang di tiap-tiap daerah. Dalam

pengamatan saya, beberapa konflik di Indonesia berkaitan dengan masyarakat asli

atau pendatang. Biasanya kelompok pendatang lebih ulet, rajin karena mereka ingin

memperbaiki hidup mereka. Situasi ini yang menimbulkan gesekan tertentu karena

kelompok pendatang lebih maju ketimbang kelompok lokal. Kebetulan masyarakat

Madura kemana-mana selalu membawa clurit dan ini sudah menjadi budaya

mereka. Bagi masyarakat Dayak, alat tajam itu hanya dipakai ketika berkebun dan

setelah itu disimpan. Konflik dimulai dengan senggolan di acara dangdutan lalu

berkembang menjadi masalah besar. Kita perlu melihat secara jeli tanpa ada asumsi,

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 31

Page 32: Konsultasi nasional v e-book final

kata Pak Amos tadi bukan Maluku Utara tanpa konflik tetapi apakah begitu? Kita

perlu memeriksa apakah sebenarnya demikian? Ataukah ada hal yang lain?

Untuk Pak Amos, sudah harus mulai berpikir untuk mendapatkan hak Bapak

dengan meminta honor tulisan. Ini kondisi yang tidak adil. Bagaimanapun juga ada

karya intelektual bapak yang sudah dipublikasikan dan itu hak bapak. Memelihara

niat untuk tetap menulis itu butuh strategi sebab teman menulis adalah membaca,

jadi dengan membaca kita menstimulasi diri dengan berbagai bacaan untuk menjadi

amunisi kita yang berikut untuk menulis. Pak Heski, kita juga perlu mencari

beberapa terobosan atau memanfaatkan peluang di sekitar kita. Apakah media

gereja kita terpusat pada majalah, lalu bagaimana halnya dengan radio? Sebab

radio lebih efektif, mekanisme pengurusan tidak terlalu sulit. Di beberapa tempat,

media ini powerful dan dampaknya lebih dahsyat bagi masyarakat setempat.

Bagaimanapun bekerja dalam dunia ini tidak semata-mata bisnis. Dalam beberapa

institusi tertentu mereka mengutus beberapa orang untuk studi komunikasi sehingga

mereka dipersiapkan untuk mengurus media gereja setelah menyelesaikan studi.

Sekarang, kita banyak menerima informasi yang belum tentu akurat, seperti saya

beberapa hari ini menerima SMS tentang tawaran kartu kredit, jual mobil dll. Ini

merupakan modus penipuan lewat dunia komunikasi. Ini tergantung kita, apakah

punya kemampuan untuk menyaring informasi yang berguna bagi kita. Saya sangat

senang kalau ide bapak itu dilakukan dan kita bisa mulai dengan media kita masing-

masing, dengan mencoba mengenal gereja-gereja lain di sekitar kita. Terkait dengan

mengakomodir semua golongan, menurut saya situs web bisa dipakai mewakili

berbagai segmen. Istilahnya, kita tinggal membuat rubrikasi saja, ada yang umum

dan ada yang khusus yang akan mengakomodir kategori-kategori itu, sehingga

mereka diberi ruang. Yang menarik dari dunia situs web adalah ruang yang tidak

terbatas. Unsur situs web ini juga sangat menolong penulis, karena akan selalu

mendapat respons dari orang yang membacanya.

Freddy Tulung: Dalam penutup, presentasi saya menyampaikan 4 prinsip

memperkokoh komitmen kita. Konflik Madura dan Dayak, diawali dengan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 32

Page 33: Konsultasi nasional v e-book final

komunikasi yang gagal sehingga tidak ada komunikasi dan terjadilah konflik. Kita

dapat melihat bagaimana minimnya komunikasi antara penduduk pendatang dan

masyarakat lokal. Saya sepakat kalau ini bukan hanya satu segi, tetapi ada banyak

hal yang saling mempengaruhi. Bagaimana peran gereja? Saya pikir ini bukan

hanya soal teologis tetapi aspek sosiologis gereja juga menjadi penting. Pintu

masuk menurut saya adalah 4 M tadi. Motivasi menulis bisa buntu karena

kebutuhan yang tidak terpenuhi atau tidak memperoleh apresiasi dari masyarakat.

Kalau mau jujur, bisa dikatakan saat ini tidak ada komunikasi dengan pemerintah.

Kalau pemerintah kejepit, presiden marah-marah, inilah era demokrasi kita di mana

semua orang bebas bicara. Saya merasakan ada kealpaan agenda setting

pemerintah. Semua menteri bebas mengatakan apa saja tetapi agenda pentingnyya

tidak muncul. Gelas yang sama dilihat dari kacamata yang berbeda tentu hasilnya

pun berbeda. Padahal kita memiliki infrastruktur yang cukup, konten yang cukup

hanya mekanisme yang belum sejalan. Bagaimana dengan gereja apakah ikut-ikutan

juga tidak konsisten? Kemampuan mempersatukan agenda setting ini yang tidak

mudah. Kita punya jubir presiden yang selalu berbicara tentang presiden tetapi kita

tidak punya jubir pemerintah yang mau membicarakan tetang pemerintah kita.

Bapak bisa mewakili gereja di Halmahera, jangan ikut-ikutan ada dalam kondisi

seperti ini.

Pak Hesky, ada media yang selalu kami sampaikan kepada publik dalam

kepentingan agenda setting. Gereja merasa kosong dalam agenda kemasyarakatan.

Di lingkungan GPIB sangat terasa konsen bagi umat tapi begitu berbicara kepekaan

gereja dengan umat beragama lain, terasa sangat minim. Karena perbedaan yang

dikedepankan, misalnya liturgi, yang berbeda. Saya sering berdebat dengan teman-

teman Muslim, bagaimana sifat ketuhanan menjadi al rahmat al rahim, sebenarnya

kita berbicara konsep yang sama tetapi dalam paham yang berbeda-beda. Terkait

dengan kerjasama antar lembaga, saya sudah berkali-kali menghubungi PGI tetapi

tidak bersambut, malah lebih banyak dari KWI melalui Divisi Kerasulan Awam dan

saya sering berdiskusi dengan mereka. Saya merasa susah dengan birokrasi PGI,

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 33

Page 34: Konsultasi nasional v e-book final

tetapi saya juga merasa senang karena YAKOMA-PGI mengundang saya. Dalam

program KEMENKOMINFO, sekarang ini sudah tersambung dengan kabel optik,

hampir seluruh wilayah Indonesia sudah terjangkau dan 7.700 kecamatan sudah

tersedia yang namanya pusat internet kecamatan. Bahayanya adalah tidak ada

isinya, jadi karena tidak ada isinya maka orang membuka situs yang lain.

Kekuatiran kami sekarang adalah yang seperti itu. Karena itu saya katakan kepada

menteri: stop dengan program itu. Pelanggaraan konten di media cetak itu

berurusan dengan hukum dan tidak bisa seenaknya mencabut, harus dengan

persetujuan pengadilan. Program pemerintah yang disiapkan adalah membuat

pelatihan media literasi yang intinya memampukan masyarakat untuk mampu

menyeleksi informasi dalam bentuk seminar, pelatihan, diskusi dll. Karena

resources kami juga terbatas maka kami tidak mungkin melayani satu persatu,

namun memungkinkan jika bekerja sama dengan lembaga lain misalnya dengan

KWI, MUI dan lembaga lain. Secara terbatas kami memberikan bantuan dalam

bentuk perangkat tekhnologi penyiaran. Tahun ini, kami membagikan 300

perangkat radio komunikasi tetapi masih diprioritaskan untuk daerah perbatasan

dan daerah kantong kemiskinan. Lainnya dalam bentuk media center, perangkat

lengkap IT, konektivitas dan lembaga yang kami anggap sudah representatif,

syaratnya tidak bisa dipakai ekslusif untuk kepentingan sendiri tetapi harus

berimplikasi pada masyarakat karena itu didanai dari uang rakyat (APBN).

Pdt. Hermusius Udjung: Saya asli Dayak. Informasi tadi sebagian benar,

sebagian perlu diklarifikasi. Ada yang menganggap ini adalah masalah pendatang

dan penduduk lokal, padahal ada banyak pendatang dan bukan cuma Madura.

Padahal, masalahnya tidak demikian. Ibarat pepatah “di mana bumi dipijak di situ

langit dijunjung”. Ada masalah yang kami hadapi dengan orang Madura; kalau

mereka meminjam tanah maka tanah itu tidak akan dikembalikan. Kalau ada

perempuan Dayak yang tidak mau menikah dengan mereka, maka perempuan itu

akan dibunuh dan ini berlangsung sudah lama. Lalu suku Dayak bertanya kepada

leluhur apakah boleh berkelahi dan leluhur mengatakan tidak boleh berkelahi.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 34

Page 35: Konsultasi nasional v e-book final

Tetapi karena ini sudah bertahun-tahun, suku Dayak kembali bertanya kepada

leluhur melalui burung elang, lalu disebut, “Lawanlah bagaimana pun!” Maka

terjadilah perkelahian itu dan yang berkelahi bukan orang Dayak kota tetapi orang

Dayak pedalaman yang bahasanya pun kita tidak mengerti. Saya waktu itu

menghadap Presiden Megawati dan menyampaikan kondisi itu. Selain itu mereka

juga suka mengganti nama daerah misalnya Sampit jadi “Sampang”, Pangkalan

jadi “Bangkalan”, ini menunjukkan adanya keinginan untuk berkuasa di beberapa

tempat. Tetapi sekarang sudah aman dan kami sudah dapat menerima mereka

kembali.

Moderator

Semua kita sudah menerima hal yang berguna, bagaimana peran media, apakah bisa

menyuarakan kritik atau memilih diam? Lalu bagaimana media gereja bisa

membekali warga jemaat untuk menyampaikan suara profetis sehingga warga

jemaat mampu menyaring informasi yang berkembang secara kritis dan cerdas.

Banyak hal, fakta dan data, yang menolong kita untuk mengembangkan media

gereja. Kami menyampaikan terima kasih banyak kepada kedua narasumber.

Diskusi Panel

Sesi II

♦ Rudi TanusudibyoMenyikapi Perubahan di Era Globalisasi dan Internet

♦ Yadi Budhi SetiawanTantangan dan Peluang Media Gereja dalam MenghadapiPerkembangan Multi Media dan Internet

♦ Moderator: Dr. Victor Silaen

Panelis 1:

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 35

Page 36: Konsultasi nasional v e-book final

Menyikapi Perubahan di Era Globalisasi dan Internet

Saya melihat kurangnya peran gereja dalam pendewasaaan jemaat. Saya

mengamati, kualitas itu menjadi suatu tolok-ukur yang jauh lebih penting sehingga

meninggalkan kuantitas. Saya bertemu dengan Richard Boke, mengatakan bahwa

tidak banyak gereja yang melakukan Firman Tuhan di mana semua jemaat diberi

makanan keras. Yang sering dilakukan adalah memberi jemaat makan bubur.

Beliau mengatakan, “Saya pernah berkotbah di Afrika di hadapan 1 juta orang

tetapi saya tidak bisa mengetahui kondisi mereka sebab saya tidak hidup di Afrika”.

Dia mengatakan gereja gagal mendewasakan manusia rohani. Fokus terhadap

kuantitas menyebabkan beberapa gereja sering mengkotbahkan apa yang enak

didengar seperti salah satu gereja di Amerika yang tidak pernah mengatakan kata

“dosa” dan kita bisa membayangkan apa yang dikatakan tentu ungkapan-ungkapan

seperti “hanya Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha baik, dst.” Kalau seperti ini

terus diperdengarkan kepada umat, di manakah pendewasaan karakter umat?

Permasalahan yang dihadapi antara lain: ketidaksatuan dalam gereja. Saya sadar di

sini banyak denominasi, saya pernah bermimpi kapankah umat Kristen bisa seperti

“sepupu”-nya, kapan pun datang dan tiba saat berdoa bisa masuk di mesjid mana

saja tanpa terikat dengan liturgi dll. Kenapa kita sibuk dengan tata-cara? Kenapa

kita lupa dengan pesan, “Jadikanlah semua bangsa muridku!” Saya beribadah di

salah satu gereja, tetapi saya juga suka beribadah di GKI atau HKBP. Kesatuan

sering dibicarakan tetapi tidak terjadi di lapangan, kita sibuk dengan siapa yang

paling benar. Faktor-faktor ini yang membuat pekerja gereja perlu lebih sungguh-

sungguh membina umatnya jangan sampai ada masalah sedikit, pindah agama,

diiming-iming dengan hal sedikit masuk mesjid. Saya kira, tugas kita semua adalah

memastikan bahwa kita ikut berperan dalam membangun karakter kerohanian.

Salah satu cara yang paling efektif adalah melalui media. Ada 3 (tiga) elemen

penting untuk melaksanakan pelayanan dalam media:

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 36

Page 37: Konsultasi nasional v e-book final

1. Sumber Keuangan (Financial Resources)

Media itu mahal, kecuali di Live Channel, kami tidak memungut biaya dari

semua pembicara yang kami tayangkan 1 x 24 jam. Kalau kita membuat

sebuah sinetron Kristen yang baik dalam satu episode biayanya sekitar Rp. 300

juta- Rp. 400 juta.

Dari segi dana umat Kristen tidak kekurangan. Sayangnya unity tidak pernah

terjadi di luar gereja. Berapa banyak gereja yang ditutup, yang sangat

memprihatinkan kondisinya. Ini berarti sumber keuangan harus membuka tirai

bagi semua gereja tanpa harus diembel-embeli dengan benderanya. Ini yang

harus diperjuangkan. Unity maksudnya apa? Apakah dengan bersatu di tempat

ini, makan bersama dan duduk bersama, bisa disebut unity? Bukan, ini

gathering. Unity yang sebenarnya belum pernah terjadi. Unity yang

sesungguhnya adalah gereja yang satu membantu gereja yang lain tanpa

menuntut ini dan itu. Alokasi sumber keuangan itu sebenarnya ada hanya

kurang tepat sasaran. Jadi kita harus berbesar hati untuk melupakan bendera

kita, berkorban dan mau melupakan siapa kita. Bukankah denominasi yang

besar dan terpecah ini adalah karena ketidakpuasan? Malah yang terjadi adalah

separation dan menjadi banyak. Kami membuka peluang bagi bapak ibu

pendeta untuk mengisi konten, dan dari pengalaman kami yang masuk

sebagian besar adalah kotbah, dan ini harus melalui proses editing dan

broadcast. Channel yang tersedia hanya satu yaitu Channel 70 dan kotbah itu

harus bersaing dengan 170 channel lain. Ini menunjukkan bahwa materi

kotbah yang disampaikan harus mengena dan menarik para penonton.

Memang ada pendeta yang rating-nya tinggi karena cara berkotbahnya juga

menarik dan kreatif. Esensinya adalah, bukan siapa yang menyampaikan pesan

itu tetapi apa isi pesan itu. Ada kompetisi eksternal terhadap seluruh channel

yang lain dan kompetisi internal terhadap semua konten dalam satu channel.

Setiap hari Minggu ada banyak siaran khotbah, TVRI juga sering menyajikan

kotbah. Yang penting dari semua itu adalah kotbah berdampak atau tidak.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 37

Page 38: Konsultasi nasional v e-book final

Kebiasaan orang Indonesia menonton 5 jam sehari berarti ada 20 jam

seminggu. Broadcast ministry itu sensitif. Ada karakteristik yang perlu kita

pahami. Itu jangkauannya luar biasa dan sensitif, bukannya kami menolak

untuk menayangkan. Ada beberapa stasiun televisi yang didatangi oleh

kelompok FPI. Mana yang kita pilih, apakah mengamankan jalur kita atau

menimbulkan permasalahan yang berakibat pada ruang publikasi kita. Kadang

materi lokal menjadi politis. Waktu tayang juga perlu disesuaikan. Misalnya

ada yang dapat Sabtu pagi, sedangkan Sabtu pagi itu waktunya anak-anak:

mana yang mau ditayangkan kotbah atau kartun rohani anak? Pasti lebih

penting kartun rohani anak.

2. Human Resources

Ini sangat penting dalam mendukung program. Saya melihat kompetensi itu

kurang, tidak dimiliki oleh banyak pengisi acara, ada yang bagus, ada yang

sangat bagus. Kompetensi di dunia media tidak hanya sampai dalam hal

berbicara, tetapi harus menyentuh hati para pengguna media itu.

3. Networking

Untuk hal jaringan kita perlu belajar dari negara Israel yang bersemboyan

hidup tidak boleh tergantung kepada orang lain. Sejarah mereka mencatat, dari

Tanah Perjanjian kemudian mereka tidak boleh tinggal di tanah sendiri, karena

itu orang Yahudi ada di mana-mana. Sampai tahun 1947, setelah peristiwa

Hitler mereka sadar bahwa mereka tidak punya tanah dan mereka bersatu

untuk membangun bangsa mereka dan sekarang di mana-mana ada gedung

besar yang merupakan milik orang Yahudi. Di sana ada pusat informasi dari

semua negara. Dan karena itu mereka kemudian terisolir dan tidak punya

teman. Jadi network dalam dunia media penting kalau tidak akses kita tidak

akan tersampaikan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 38

Page 39: Konsultasi nasional v e-book final

4. Media Baru - Media Sosial

Dulu yang dominan berbentuk tulisan dan karena itu efeknya tidak terlalu

berpengaruh. Era digital begitu pesat perkembangannya dan Indonesia adalah

negara ke 4 pengguna Facebook terbanyak di dunia. Ini merupakan peluang

bagi dunia media gereja tetapi juga tantangan yang perlu disikapi. Yang

penting, sekali lagi, adalah konten dan pemahaman konten itu menentukan

kualitas media.

Moderator

Kita sudah mendengarkan materi yang menarik dari Pak Rudi, saya yakin ada

banyak hal yang ingin dipertanyakan, karena itu kami langsung saja memberi

kesempatan kepada Bapak/Ibu untuk merespon materi ini.

Tanggapan Peserta

Dwi Yatmoko (WVI): Bagaimana peran media sendiri untuk memampukan

multi media kepada gereja. Gereja sudah sangat banyak tersebar, sampai ke

desa-desa, dan orang dapat menonton video yang menayangkan ihwal

bagaimana peran media menghadirkan tontonan menarik bagi warga desa.

Konten memang diperlukan tetapi banyak orang yang potensial namun kurang

diberi kesempatan.

Narasumber (Rudi Tanusudibyo)

Kita harus pisahkan dulu dari kacamata media, misalnya MNC menayangkan

sinetron yang bernuansa rohani. Kalau kita berbicara kepada semua pelaku

media, kita perlu bertanya apakah ini komersial atau tidak? Apakah pure

ministry itu berarti kita perlu menyiapkan resources-nya. Pernah ditawarkan

untuk mengusahakan sebuah satelit, sebab dengan satelit semua bisa diakses.

Tetapi itu juga tidak semudah yang dibayangkan. Sebab tidak mungkin kita

tidak memberi tempat kepada yang mayoritas, karena negara kita terdiri dari

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 39

Page 40: Konsultasi nasional v e-book final

banyak elemen. Ada aturan dari KEMENKOMINFO yang mengatur soal-soal

tersebut.

Adi Setyawan (GBI): Saya dipercaya sebagai pengurus pemuda dalam

bidang art media. Betul yang dikatakan Pak Rudi bahwa konten media gereja

dianggap kurang seksi. Saya memperhatikan salah satu konten, yaitu Sekolah

Minggu. Dari segi human resources, ini berkaitan dengan pengalaman saya

dengan teman-teman pemuda, soal keahlian broadcast. Apakah ada sekolah

broadcast di perusahaan Bapak sehingga bisa mendidik pemuda untuk belajar

dan kemudian menjadi tenaga tetap di bidang multi media di gereja.

Ini tidak mudah, sebab saya katakan tadi kalau saya melakukan yang Bapak

sarankan, maka saya akan ditanya oleh orang pesantren, kenapa kami tak

dapat? Ini selalu berkaitan dengan soal-soal yang demikian.

Apa yang sudah disampaikan sebagai kontribusi Live Channel terhadap

kehidupan bergereja. Saya menanggapi dari sisi keadilan, dalam arti program

channel itu kalau bisa tidak didominasi oleh salah satu gereja tertentu. Sesuai

amanat PGI: memberi kesempatan kepada semua denominasi gereja. Hanya,

persoalan sekarang adalah apakah diberi kesempatan untuk tampil atau tidak?

Ada satu televisi komunitas yang signifikan seperti Buddhis TV. Apakah bisa

komunitas Kristen juga punya televisi tersendiri sehingga dapat menyuarakan

berbagai hal berkaitan gereja.

Saya bahasakan secara lembut tentang “semua orang diberi kesempatan yang

sama”. Dalam mekanisme manajemen kami, saya tidak mencampuri tim redaksi

untuk memberi porsi lebih kepada pendeta mana pun, termasuk pendeta dari

gereja saya. Ini berarti kita perlu melihat kualitas. Saya pribadi memantau

channel lain dan mengamati supaya jangan sampai menayangkan sesuatu yang

tidak sejalan dengan penonton. Sering ada komplain, entah soal pendeta yang

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 40

Page 41: Konsultasi nasional v e-book final

berkotbah marah-marah atau pendeta yang bermasalah, kami diprotes.

Feedback yang masuk banyak, karena itu kami selalu memantau karena ini soal

ministry. Ministry itu sebagai tontonan tidak berguna. Kami menerima jauh

lebih banyak kontribusi dari dalam dan luar negeri dari pada yang harus

ditayangkan. Sekalipun begitu terima kasih atas masukkannya. Idealnya sebuah

kotbah diambil dengan 3 kamera atau minimal 2, dan ini berkaitan kesiapan

pendeta berhadapan dengan kamera. Kadang terjadi kamera di tempat lain dan

pendeta menghadap ke arah yang lain.

Panelis 2: Tantangan dan Peluang Media Gereja dalam Menghadapi

Perkembangan Multi Media dan Internet

Ada 5 jenis komunikasi:

1. Komunikasi sosial lingkungan

2. Komunikasi pemasaran dan pasar

3. Komunikasi pemerintah dan politik

4. Komunikasi ekonomi dan bisnis

5. Komunikasi seni dan budaya

Perlu dilihat terlebih dahulu tentang integrasi komunikasi sosial. Saya berbicara

sebagai warga negara indonesia, lebih konkrit lagi sebagai warga kristiani di

negara ini. Ada 4 komponen yang penting: media, pesan, desain dan pemirsa.

Indonesia termasuk paling cepat berbicara tentang public issues, dan dengan

sendirinya opini terbentuk di sana, dan gereja tidak terlepas dari kondisi ini.

Sebuah riset yang dilakukan di Indonesia menunjukkan aktivitas

penduduk/jemaat/warga aktifitas yaitu 9 persen menulis, 16 persen membaca,

30 persen berbicara, 45 persen mendengar. Ironisnya tabel itu memberikan

gambaran, sebagian besar orang Indonesia lebih dominan mendengar dan fakta

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 41

Page 42: Konsultasi nasional v e-book final

ini tidak memberi dampak apa-apa karena hanya mendengar. Tren komunikasi

sosial 2011-2020 berkembang dengan mengacu pada:

1. Peningkatan teknologi: Contoh kasus Bina Nusantara dulunya adalah

sebuah universitas kecil, tetapi sekarang mahasiswanya mencapai 44.000

orang sedangkan Universitas Indonesia baru 33.000 padahal Universitas

Indonesia sudah tua. Ini disebabkan BINUS sangat mengutamakan skill

bukan cuma pengetahuan. Ini menunjukan sebuah perkembangan yang

sangat luas, misalnya kita bisa membandingkan model situs web dulu

dengan sekarang. Situs web yang sekarang kontennya lebih beragam, ada

video, dan kata-katanya semakin sedikit.

2. Borderless, virtual, instant, direct, transparant: Apa yang terjadi di Jerman

akan diketahui oleh kita di Indonesia.

3. Budaya individualis, netizen global

4. Paperless

5. Dari akar rumput ke samping/peer communication

6. Monolog kurang disukai

7. Masyarakat 15-34 tahun menerima dan membaca 43 pesan per hari.

Sasaran bidik target pemirsa (audience) (lihat slide)

Sasaran penyampaian komunikasi ke target pemirsa (8 lokasi terbanyak.

Di mal atau pusat keramaian, di hotel/saat travelling, di kafe atau resto,

saat rapat di mana pun.

Sebagai pendeta atau pekerja gereja, sasaran tidak saja diarahkan dari

atas mimbar tetapi dari lokasi virtual ini. Ini yang disebut virtual space.

Paradigma baru Gereja dan Komunikasi.

Kita perlu lebih meningkatkan komunikasi, bukan hanya internal gereja

tetapi antargereja juga penting. Bisa juga antar kelembagaan. Kita harus

menggunakan dan memanfaatkan komunikasi audiovisual bukan hanya

mengandalkan teks.

Tanggapan Peserta

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 42

Page 43: Konsultasi nasional v e-book final

Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Ini memberi kita pandangan dan arah yang

makin tajam dalam kaitan untuk lebih serius memikirkan media gereja kita supaya

makin disempurnakan. Kalau kita melihat apa yang dipaparkan tadi, saya pikir kita

perlu survei lagi seperti apa keinginan gereja untuk konten atau bahan apa yang

tepat. Bapak tidak membahas soal pembiayaan, saya justru ingin tanyakan

bagaimana dari segi pembiayaan terutama media sosial sebab sebagaimana yang

dikatakan Pak Rudi tadi, bahwa media sosial lebih murah.

Pnt. Johan Kristantoro (GKJ Bekasi): Teringat ungkapan tokoh gereja

“semestinya para rohaniwan berpikir keluar dari gereja”. Dan revolusi teknologi

informasi membawa pekerja gereja harus berpijak pada segi itu. Kalaupun revolusi

teknologi ini memungkinkan kita memasuki dunia yang tak berdinding, masalahnya

adalah kita sendiri yang membangun tembok itu sendiri. Misalnya, kita jarang

menggunakan bahasa yang lebih universal tetapi masih lebih suka menggunakan

bahasa Alkitab. Menurut Bapak seberapa jauh seorang rohaniwan atau pekerja gereja

dimampukan mengkomunikasikan bahasa yang lebih universal.

Narasumber

Tadi sudah dikatakan Pak Rudi bahwa media sosial lebih murah. Untuk mengerjakan

media sosial yang sederhana misalnya situs web dan banyak orang bisa

mengerjakannya. Tetapi pada umumnya berusia di bawah 40 tahun. Kita juga bisa

menyampaikan firman melalui video games dengan menggunakan akses Kakaotalk.

Misalnya, sekarang kenapa tidak ada games yang mengarahkan kepada

pengembangan karakter. Kalau bicara komunikasi agama, itu berkaitan dengan hal

teologis tetapi saya batasi itu dalam konteks gereja pada saat kotbah atau rapat

kepengurusan. Tetapi kalau pendeta melayani untuk pelayanan ibadah kematian,

kedukaan, rumah sakit, oikoumene, rumah-rumah itu sudah masuk area: bisa murni

spiritual teologis, bisa juga dicampurkan bahasa universal. Saya tidak mengatakan

itu kasual sebab kasual memberi kesan informal sekali. Ketika kita masuk ke

departemen pemuda dan anak, semestinya bahasa visualnya lebih banyak

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 43

Page 44: Konsultasi nasional v e-book final

dimasukkan. Pendeta bisa memanfaatkan sumber dalam jemaat yang bisa membantu

menemukan situs yang menolong dalam menggunakan bahasa universal. Saran saya,

hal itu dipakai dalam persekutuan, atau di sekolah Kristen sebab dalam pendidikan

Kristen yang sangat dibutuhkan adalah character building.

Diskusi Panel

Sesi III

♦ Jose Yusuf Marwoto (Radio Heartline) Pengelolaan Radio di Tengah Masyarakat Plural

♦ Sinode GKPBGerakan Keagamaan Merespons Era Globalisasi, Internet dan Pluralisme

Panelis 1: Pengelolaan Radio di Tengah Masyarakat Plural

Sesi ini berbicara seputar keadilan dan perdamaian. Keadilan dalam konteks

informasi, kalau kita membaca UU no. 48 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi

publik, di situ jelas disebutkan berbagai hal berkaitan informasi sehingga orang

dapat mengetahui apa yang menjadi hak-haknya: hak kesehatan, hak pendidikan dan

hak kesejahteraan. Menurut saya keadilan adalah pendistribusian informasi yang

merata. Hal kedua adalah perdamaian, sebab dalam kenyataannya agenda konflik

selalu dibuat sedemikian rupa sehingga media sangat berperan dalam mengupayakan

perdamaian. Sejarah keselamatan adalah sejarah komunikasi antara Allah dan

manusia di mana Allah berkomunikasi untuk perdamaian dengan manusia. Visi kami

adalah bagaimana mengkomunikasikan Kristus melalui radio. Tantangan yang kami

hadapi sekarang:

Perizinan. Ada sekitar 100 radio Kristen di seluruh Indonesia dan hampir 80

persen kesulitan mendapat izin dari pemerintah. Kesulitan utama adalah, dalam

pengajuan proposal perizinan, harus ada evaluasi atau semacam dengar

pendapat dari masyarakat setempat, lalu diadakan ujian untuk mencari tahu

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 44

Page 45: Konsultasi nasional v e-book final

lebih mendalam tentang radio ini berkaitan dengan isi, konten, misi, kegiatan

dll. Di situlah kesulitannya karena banyak radio Kristen masih berpusat pada

kepentingan internal gereja. Ini yang kami evaluasi bahwa sebaiknya kita

menggunakan ranah publik. Kita tidak bisa siaran hanya untuk kepentingan kita

saja sebab kita menggunakan frekuensi umum.

Sustainability. Mempertahankan keberlangsungan radio tidak cukup hanya

berharap dari gereja tetapi kita juga membutuhkan dukungan dari lembaga lain

misalnya di Tangerang, Yogyakarta, sangat mendapatkan dukungan dari

lembaga-lembaga lain. Selain itu pendekatan dengan agen untuk iklan dsb itu

tetap diupayakan untuk mendukung finansial radio tersebut.

Industri Radio versus Bisnis Radio. Dewasa ini ada banyak cara yang

dilakukan orang untuk mendapatkan informasi misalnya dari internet, dan lain-

lain. Ini suatu tantangan yang kita hadapi.

Budaya Visual. Televisi adalah tantangan terbesar dari radio sebab kultur

masyarakat dekat dengan sesuatu yang audiovisual. Kekuatan radio ada pada

imajinasi, misalnya anda makan burger, bukan burgernya yang enak tetapi

imajinasi anda tentang burger itu yang enak. Kita memainkan imanjinasi kita

sesuka kita. Apalagi sekarang ini banyak pekerja radio adalah anak-anak muda,

sehingga ketika mereka siaran mereka begitu ekspresif seakan ada satu kamera

yang menyorot mereka.

Kreativitas. Kalau tidak kreatif pasti tidak akan menarik. Kalau hanya kotbah

terus maka tidak akan cukup, ada begitu banyak kreativitas yang bisa

dikerjakan termasuk juga kualitas suara, teknik penyiaran, dll. Sebagai media

yang mengandalkan pendengaran maka radio selalu mempertahankan

keintiman/ kedekatan yang dipraktikkan dalam siaran sehingga meskipun

pendengar ada di berbagai tempat maka pendengar tetap akan menemukan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 45

Page 46: Konsultasi nasional v e-book final

suasana keakraban misalnya melalui sapaan, dll. Tahun ini kami membuat

training bagi penyiar kami dan juga memberikan award untuk penyiar kreatif.

Ini dimaksudkan untuk memacu kreativitas tim kerja di radio kami.

Perhatian: Limited Resources. Masyarakat kita sekarang hampir tidak punya

waktu yang cukup untuk melihat sesuatu secara serius. Ada salah satu

pengamat sosial dari Jerman yang mengatakan bahwa perhatian sekarang ini

sudah seperti sumber yang terbatas, tidak fokus lagi. Ini menunjukkan kalau

anda mengelola media maka harus semenarik mungkin. Waktu belajar

broadcast dan mempraktikkannya, dan dalam 3 menit anda diminta membuat

program dan tidak ada yang menelepon, itu berati anda gagal.

Peluang Radio

1. Budaya tutur. Jurnalisme telinga: dalam banyak budaya di Indonesia

budaya tutur menjadi sesuatu yang sangat dekat. Kalau kita bisa

memanfaatkan kekuatan itu, akan sangat efektif untuk penginjilan.

2. Kekuatan imajinasi. Anak yang ditanya: “Lebih suka nonton televisi atau

dengar radio?” Anak ini menjawab, “Lebih suka dengar radio.” Kenapa?

Karena radio penggambarannya lebih bagus. Kekuatan imajinasi ini yang

menurut saya dapat dipakai untuk mewartakan Injil sehingga iman

pendengaran bertumbuh.

3. Bisa mendengar radio sambil masak, mencuci, menyetir, dan lain-lain.

Piramida penduduk Indonesia akan lebih banyak perempuan daripada laki-

laki. Dalam survei saya, ternyata yang menjadi pendengar lebih banyak

perempuan. Karena populasi masyarakat Indonesia lebih banyak

perempuan daripada laki-laki.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 46

Page 47: Konsultasi nasional v e-book final

Strategi

Melakukan dialog kemajemukan dengan semua umat beragama.

Gray matrix: metode yang sukses kami lakukan untuk

mendapatkan izin (lihat slide)

Community center radio. Kami melakukan training untuk

melibatkan pendengar dalam program kami.

Thing. Mendengarkan. Filosofi China: Telinga raja - Mata hati

Kami melakukan program dengan mendengar suara pendengar,

bukan saja pendengar yang mendengar siaran kami. Kami rela

masuk ke pelosok untuk mendapatkan informasi dan kemudian

membuat program untuk disiarkan.

Tanggapan Peserta

Pdt. Ananta Purba: Kami punya pengalaman yang sulit untuk mendirikan

radio, banyak biaya, juga pekerjaan yang harus dilakukan, karena itu disarankan

membuat radio komunitas. Sekarang banyak warga gereja yang mengungsi

karena gunung Sinabung. Saya pernah mendengar tentang radio komunitas

Merapi yang sangat membantu saat peristiwa Merapi bergejolak. Yang kami

tanyakan, apakah radio komunitas ini juga perlu mengurus izin?

Narasumber

Radio komunitas ini diatur oleh perizinan dan ada kategori yang sudah

ditentukan dalam aturan. Jadi memang harus diurus izinnya, kecuali beberapa

radio bergesekan dengan penerbangan itu akan mendapat teguran. Saya juga

pernah berkunjung ke radio Merapi, dan perannya sangat penting dalam rangka

mitigasi bencana. Strategi programnya adalah menggunakan komunitas radio

center, jadi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana radio tidak hanya

melibatkan satu dua orang tetapi melibatkan banyak orang. Kami sekarang ini

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 47

Page 48: Konsultasi nasional v e-book final

melibatkan 30 orang perempuan di Parung Panjang yang terkena kanker

serviks, dan bagaimana orang mendengar perempuan-perempuan itu bercerita.

Pdt. Kotler Siagian: HKBP punya 2 radio, satu di antaranya Radio

Bonafide di Tarutung dan sudah beroperasi selama puluhan tahun. Apa peluang

mendirikan radio dengan menggunakan jaringan streaming? Kami pernah

punya radio di Jakarta tetapi karena persoalan biaya terpaksa gulung tikar.

Tetapi saya juga menjajaki untuk mendirikan radio FM di Jakarta meski sangat

sulit. Apakah karena biaya gelombang frekuensi yang sangat mahal atau ada hal

lain, misalnya berkaitan dengan izin, dsb. Mungkin ada di antara peserta

KONAS yang berasal dari daerah-daerah yang ingin mendirikan radio, menurut

Bapak apakah langkah konkret melakukan hal ini dan bagaimana langkah yang

harus kami usahakan untuk mendirikan radio ini.

Narasumber

Terus-terang, Jakarta sudah full dan semua tempat sudah diborong, selain itu

biaya sangat mahal kecuali kita melakukan take-over terhadap salah satu

stasiun radio yang hampir kolaps. Streaming saya sangat setuju. Ini konvergensi

yang bisa digunakan agar didengar oleh semua komunitas. Untuk radio lokal,

kita bisa berhubungan dengan Komisi Penyiaran Daerah, lalu mengajukan

proposal ke KPID. Kemudian ada evaluasi seperti ujian skripsi lalu membuat

kalkulasi bisnisnya seperti apa. Intinya, kita dapat frekuensi dulu, ini yang

penting. Ini mungkin salah satu strategi.

Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Ada radio Sion sejak tahun 1971 dan sudah

berbentuk Perseroan Terbatas dengan saham milik gereja, juga sudah

streaming. Tantangan radio ini sekarang bermacam-macam, antara lain tuntutan

jemaat misalnya sekian persen harus rohani, padahal aturan sekarang kita harus

lebih umum tidak mungkin selama 1 hari putar lagu rohani terus. Sekarang kita

sedang bergiat dengan news. Pendengar kita dari berbagai kalangan dan kita

butuh sekitar 20 relawan yang ditempatkan di beberapa tempat untuk

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 48

Page 49: Konsultasi nasional v e-book final

mendapatkan berita. Ini masalah kami sekarang. Kami radio lokal, tentu harus

banyak belajar dengan radio di Jakarta dalam pengelolaannya.

Narasumber

Tahun ini saya memulai di Samarinda dengan Gospel Radio. ini bukan radio

rohani tetapi radio yang memperdengarkan lagu yang biasa ,tetapi bermakna

rohani misalnya. Misalnya lagu-lagu Ruth Sahanaya, Jason Miraz, Josh

Groban,dll. Kontennya tetap mempertahankan nilai dan karakter Kristiani,

hanya saja dikemas dalam isu-isu yang kreatif. Nilai adalah sesuatu yang jelas

dan penting, kita tidak meninggalkan otentitas kekristenan tetapi mencari nilai-

nilai universal dan mengemasnya secara kreatif. Misalnya, tentang puasa. Puasa

bukan hanya milik umat Islam tetapi juga umat lain termasuk umat Kristen dan

itu menarik untuk didiskusikan bersama. Saya peduli dengan training.

Sayangnya, banyak yang setelah training kemudian pindah ke radio lain atau

stasiun TV dan bahkan tidak mendengar radio. Mereka beralih ke audiovisual.

Panelis 2: Gerakan Keagamaan Merespons Era Globalisasi, Internet dan

Pluralisme

(Materi ini sedianya dibawakan oleh Bapak Bambang Wijaya, tetapi beliau

berhalangan hadir karena masih berada di luar negeri. Kami dipercaya untuk

menyampaikan materi ini, tentu berdasarkan pengalaman kami menangani

media gereja).

Contoh pemanfaatan media secara internal:

Di antara pengerja: smartphone (BBM, Whatsapp, FB, dll), Skype,

internet (surat elektronik, referensi, pencarian materi, pengiriman

materi), kamera CCTV online dan jaringan LAN. Di Bandung kami

memiliki 4 titik tempat kami dapat mengakses informasi dengan baik

termasuk kamera CCTV online. Pak Bambang bisa memantau keadaan

gereja kami di Indonesia, misalnya ibadah, kondisi kantor, dll.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 49

Page 50: Konsultasi nasional v e-book final

Kepada jemaat: Internet (pendaftaran, surel, dll), warta jemaat,

televisi, proyektor (kotbah, klip video, pengajaran, pengumuman), CD,

DVD dan USB (penyebaran informasi, materi seminar, pengajaran,

foto-foto kegiatan, dll), situs web.

Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam media jemaat:

Ketepatan informasi

Kejelasan informasi

Desain yang menarik/kemasan sangat penting. Banyak gereja

yang lebih mengutamakan konten ketimbang kemasan padahal

kemasan juga sangat menentukan.

Sederhana dan mudah dimengerti

Kekinian/update selalu

Sesuai dengan kebutuhan jemaat

Tambahan dari Pak Bambang:

Apa yang disampaikan Pak Pieter tadi adalah bagian dari upaya gereja kami di

mana multi media sudah mengambil sekian persen apa yang menjadi visi dan

misi gereja kami dan disampaikan kepada audiens dengan harapan komunikasi

yang dibangun itu efektif dan efesien. Tidak dapat dimungkiri, media informasi

menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Dengan kemajuan ini kita bergaul dengan

banyak orang dari berbagai latar-belakang sehingga dibutuhkan pengetahuan

yang cukup, dan ini yang disampaikan gereja kepada publik pendengar agar

kita berkomunikasi dengan siapapun dan mengkomunikasikan Injil kepada

semua orang juga. Karena jika kita tidak dapat mengunakan media dengan tepat

maka jangan salahkan orang lain apabila orang lain dapat menggunakan media

ini. Semua yang kami gunakan ini memang sudah standart tetapi kami tetap

mengutamakan firman Tuhan, Roh Kudus dan Kristus itu point center-nya.

Selain menggunakan media ini, kami juga memanfaatkannya untuk memberkati

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 50

Page 51: Konsultasi nasional v e-book final

gereja-gereja lain atau orang-orang non Kristen untuk dapat mengenal Kristus

dan gerejaNya, dan ini dikemas secara kreatif melalui live, streaming (ibadah

setiap minggu). Kebetulan divisi saya adalah divisi multi media, jadi semua

bentuk konten media itu ada dalam koordinasi dengan divisi kami. Dengan

menggunakan media, isi pengumuman menjadi kompak, jelas dan tepat

sasaran. Itu yang menjadi dasar kami dalam menggunakan media sampai

sekarang.

Tanggapan Peserta

Pdt Amos Puasa: Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengupayakan

semua kebutuhan itu? Kapan kami di Halmahera bisa begitu? Contoh praktis,

misalnya ada beberapa pendeta yang menggunakan Ipad, lalu jemaat komplain

dengan mengatakan,‘ “Bagaimana kalau misalnya buka Alkitab, lalu muncul

yang lain? Ini fakta juga, di satu pihak sudah sangat maju tapi di pihak lain ini

masih jauh tertinggal.”

Narasumber

Kalau saya pikir setiap daerah tidak bisa disamakan, tentu punya konteks

berbeda-beda. Yang penting kita bisa menyampaikan pesan dengan baik sesuai

dengan budaya jemaat kita masing-masing. Dan jemaat itu bisa berkembang

atau mencari jiwa sebanyak mungkin. Memang ada biaya yang harus

dikeluarkan. Tetapi kalau kita berpikir itu efektif, tentu akan lain ceritanya

sebab semua direncanakan untuk pelayanan. Semua peralatan dalam studio itu

tidak didapat secara langsung, tetapi bertahap. Juga dukungan dari jemaat,

sebab jika jemaat melihat itu penting maka akan bisa diusahakan berbagai

peralatannya. Misalnya, kamera di studio kami untuk kepentingan broadcast,

maka kami menggunakan kamera yang seharga Rp. 40 juta. Mengenai

penggunaan gawai untuk kotbah itu tergantung penggunanya. Jika kita tidak

membarui kemampuan kita, akan ketinggalan. Sebagai pendeta, jangan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 51

Page 52: Konsultasi nasional v e-book final

ketinggalan di era ini. Kemampuan itu tidak terjadi dengan sendirinya, semua

mulai dari yang tidak tahu. Pengalamanlah yang menempa kita untuk

berkembang terus. Kalau kita belum yakin dengan penggunaannya maka jangan

paksakan agar tidak mempermalukan kita sendiri.

Pdt. Y.N. Wonmaly (GBI Tanah Papua): Kita bukan berbicara cost yang

mesti dikeluarkan melainkan keharusan injil diberitakan. Yang menjadi

kesulitan kami adalah, kami memerlukan mitra seperti gereja di Jakarta yang

bisa menjadi tempat magang untuk belajar media gereja yang efektif seperti ini.

Narasumber (Pak Pieter): Setiap kali ke daerah untuk melakukan training

broadcast, saya selalu berhadapan dengan gereja yang menghadapi berbagai

situasi sulit. Yang bisa saya katakan, jangan skeptis, jangan pesimis. Ingin

maju ada ongkos yang harus dibayar, ada doa dan dana. Saya katakan ini agar

gereja berpandangan jauh ke depan, bukan gereja yang statis. Apa yang kami

lakukan adalah harga yang harus dibayar untuk jiwa-jiwa yang mau memberi

diri bagi gereja. Kebetulan saya adalah alumni CBN angkatan 8. Dan ini sangat

menolong saya untuk mempercayakan apa yang Tuhan percayakan kepada

saya. Sampai sekarang saya sudah membuat beberapa aplikasi multimedia,

melibatkan banyak tenaga untuk relawan yang masih bersedia dilibatkan

sampai sekarang. Ini yang menurut saya perlu dimiliki setiap pengelola media.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 52

Page 53: Konsultasi nasional v e-book final

Hari Ketiga, 14 November 2013

Refleksi Teologis

Pdt. Sylvana Apituley, M.Th.

“Menjadi Pewarta Keadilan dan Perdamaian, Pengalaman Perempuan”

Hasil-hasil Diskusi Kelompok:

Kelompok I

Kelompok yang termajinalkan adalah kelompok: tidak pernah mandi.

Kelompok Ahmadyah, kelompok banci, kelompok yang tidak terakomodir

dalam aturan gereja, melahirkan di luar pernikahan atau kumpul kebo.

Kedua: Pesan Injil yang membebaskan adalah semua orang berhak

menerima keselamatan dari Yesus siapa pun orangnya. Ketiga: Cara

berdialog adalah bertemu dengan mereka dan berbicara dari hati ke hati,

bahwa gereja tidak tertutup menerima mereka.

Kelompok II

Masalah yang muncul adalah, pertama, wanita yang tertindas karena

mahar yang mahal, misal di Nias, Sumba dan berapa tempat lain.

Termajirnalkan di gereja karena status sosial dan pelayanan di gereja

berbeda antara yang kaya dan miskin. Masalah marjinalisasi masyarakat di

Mentawai akibat kemiskinan yang disebabkan bencana dan akhirnya

banyak yang pindah kepercayaan ke Padang. Di Toraja muncul masalah

tenaga kerja di Serawak dan Sabah. Di Toraja banyak lansia kesepian --

kurang perhatian karena anak-anak sudah menikah dan pisah rumah, tidak

ada teman berdiskusi -- karena gereja tidak perduli. Di Kalimantan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 53

Page 54: Konsultasi nasional v e-book final

Tengah, anak-anak muda yang menjauh dari gereja karena persolan dunia

seperti judi dan lain-lain karena mereka berkerja di pabrik buruh

(tambang) dan uang yang didapat habis untuk berjudi dan mabuk-

mabukan.

Ada tiga poin yang harus disikapi oleh gereja:

1. Gereja harus hadir memberikan sentuhan.

2. Gereja harus mendengarkan dan menyelesaikan masalah yang mereka

hadapi.

3. Gereja harus memberi sentuhan bukan saja mendengar.

Kelompok III

1. Orang yang termarjinalkan adalah yang menjadi korban khususnya

masyarakat yang tanahnya dirampas, dan masyarakat di perairan

pertambangan. Di mana peran gereja selama ini? Kebanyakan gereja

menganut “gereja palang merah” bukan “palang pintu”, karena gereja

tidak perduli -- setelah ada korban gereja baru bertindak. Sering

berdebat dengan aparat dan orang yang didampingi, tetapi tetap tidak

ada jalan keluarnya dengan pemerintah. Kasus yang didampingi di

daerah Dairi Sumatera Utara.

2. Ketika berbicara dengan pihak gereja, kebanyakan mereka menolak.

Hanya ketika duduk bersama saja masalah itu dibahas dan tidak ada

solusinya. Untuk pendampingan orang sakit seperti HIV/AIDS yang

dikeluarkan dari keluarganya dan korban dari lumpur Lapindo, apakah

ada peran gereja?

3. Memandang kelompok lain sama seperti memandang aliran-aliran yang

dianggap sesat. Karena ini bukan saja persoalan teologis melainkan sisi

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 54

Page 55: Konsultasi nasional v e-book final

kemanusiaan seperti Saksi Yehova yang dari dahulu di sebut aliran

sesat. Kita harus bisa memisahkan keluarga Kristen dan bagaimana

menyelamatkan mereka.

Kelompok IV

1. Kelompok yang termajinalkan seperti para pekerja anak berumur di

bawah 17 tahun dan yang tidak tamat sekolah dan menerima gaji yang

tidak layak juga.

2. Mereka yang tinggal di sekitar TPA khususnya anak-anak, dan pernah

ada gereja yang coba mengadakan PAUD tetapi malah ditolak oleh

pemerintah karena curiga kristenisasi.

3. Kelompok anak jalanan dan yang disebut kelompok PUNK

4. Kelompok pekerja sosial khusus yang diperhatikan adalah yang sudah

berumur, apa yang dapat diperbantukan untuk mereka?

5. Kesimpulan dan saran: Karena Kasih Allah adalah kasih untuk semua.

Yang diperlukan adalah pendampingan, pemberdayaan dan

mengupayakan hidup layak dan pelayanan.

Narasumber

Dari hasil diskusi kelompok dapat disimpulkan, antara lain analisis yang

jelas terhadap persoalan, mengindentifikasikan siapa kelompok-kelompok

marjinal, dan bagimana gereja harus bersikap:

1. Pesan Injil apa yang harus disampaikan.

2. Mengkomunikasikan Injil dalam konteks masyarakat yang marjinal.

4. Gereja harus juga menangani AIDS/HIV.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 55

Page 56: Konsultasi nasional v e-book final

5. Bagaimana sikap gereja menangani kasus kelompok yang dianggap

sesat?

6. Belum ada sikap gereja yang jelas untuk para pekerja anak, buruh

migran, lansia, dan pekerja sosial.

7. Gereja yang ditolak oleh pemerintahan untuk melakukan pelayanan dan

memberikan pemahaman kepada masyarakat (pelayanan social justice).

Sesi II

Diskusi Panel

♦ Rukka Sombolinggi (AMAN): Perspektif Bermedia: Media, Masyarakat

Adat, Lingkungan Hidup

♦ Nestor R. Tambunan: Media dan Disabilitas

♦ Syaiful W. Harahap: Media Masa dan ODHA

♦ Moderator: Jeirry Sumampouw

Panelis 1: Media Massa, Masyarakat Adat, Lingkungan Hidup (materi terlampir)

Panelis 2: Media dan Disabilitas (materi terlampir)

Pengertian “Media dan Disabilitas” adalah setiap orang berkelainan fisik,

mental, intelektual, sensorik dan motorik yang dalam interaksinya dengan

berbagai hambatan, dapat merintangi partisipasi mereka secara penuh dalam

masyarakat dan efektif berdasarkan pada azas kesetaraan.

Jurnalisme empati merupakan sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari

sisi orang lain serta memahami dan mampu menempatkan diri pada posisi

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 56

Page 57: Konsultasi nasional v e-book final

orang lain secara emosional dan intelektual dan mampu mengkomunikasikan

pemahaman empati dan sikap itu kepada orang lain.

Penyandang distabilitas sering diabaikan, baik oleh gereja maupun lingkungan

sekolahnya; mereka masih menganggap penyandang disabilitas sebagai

ketidakmampuan melakukan pekerjaan di sekolah maupun di lingkungan

keluarganya. Pemerintah pun tidak peduli akan pendidikan dan kesempatan

mereka untuk bersekolah dan mendapatkan fasilitas umum. Kesimpulan dan

persoalan yang dihadapi para disabilitas adalah memahami keadaan mereka.

Jangan mengaku sudah beradab kalau belum memahami disabilitas.

Panelis 3: Media Massa dan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) (materi

terlampir)

Bagaimana media menyikapi masalah HIV/AIDS? Kelemahan media di

Indonesia, banyak yang tidak bisa menyampaikan secara deskriptif bahkan

menghujat. Yang diharapkan adalah, menyampaikan sesuatu ke khalayak tanpa

ada dugaan atau anggapan hal-hal lain, misalnya bagaimana menyampaikan

kemiskinan masyarakat. Media khususnya televisi gemar menyodorkan isu-isu

keagamaan. KONAS V ini perlu meminta media massa baik cetak maupun

elektronik agar mengangkat pemberitaan HIV/AIDS tidak secara bombastis,

hanya menonjolkan kengerian penyakit tersebut. Pasalnya, banyak orang

dengan ODHA terdiskriminasi akibat pemberitaan semacam itu.

Pemberitaan bombastis memang selalu menjual dan meningkatkan oplah atau

rating. Tetapi pemberitaan semacam itu mengganggu psikologi ODHA. Kita

berharap, media massa lebih bijak dan halus dalam memilih kata menyangkut

penyakit yang ini. Karena memang, kengerian yang diungkapkan tidak sama

dengan kenyataan sebenarnya. Orang yang terjangkit HIV/AIDS, tidak terlihat

secara fisik dirinya teridap virus tersebut. Orang yang terpapar HIV akan tetap

terlihat bertubuh sehat dan beraktivitas selayaknya orang sehat. ODHA juga

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 57

Page 58: Konsultasi nasional v e-book final

bukan orang yang mempunyai perilaku menyimpang, sebagian di antara mereka

ibu rumah-tangga dan anak-anak. Bahkan, ODHA juga mempunyai profesi

dengan pekerjaan yang berkonotasi positif, ada pegawai negeri, ada karyawan,

dan ada pengusaha.

ODHA layak untuk hidup nyaman dan aman. Kehangatan dan dekapan

keluarga merupakan faktor penentu keberlangsungan perawatan pasien.

Menurut Syaiful, ODHA harus menanggung beban ganda. Selain menderita

kesakitan karena penyakitnya, mereka juga masih terus mengalami stigma dan

diskriminasi dari lingkungan, bahkan dari orang-orang terdekatnya. Ini

mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks bebas, pengguna

narkoba dan kematian. Diskriminasi mulai terjadi tatkala pandangan negatif

mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan ODHA secara tidak adil

berdasarkan prasangka terhadap status HIV/AIDS seseorang. Stigma ini masih

terjadi di hampir seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya orang awam, bahkan

tenaga medis yang semestinya membantu pasien malah ada yang

memperlakukan hal yang sama.

Padahal, jika ODHA menderita stres hingga depresi berkepanjangan, derajat

penyakitnya akan bertambah parah. Kadar CD4 yang mengindikasikan

ketahanan tubuh penderita akan merosot drastis jika ODHA mengalami stres

berat.

Moderator

1. Keterbatasan dan ketidakpahaman masyarakat terhadap penyangdang

HIV/AIDS menimbulkan ketakutan tersendiri padahal sehingga

pemberitaan tentang HIV/ AIDS masih cenderung kurang penjelasan.

2. Media berpihak kepada kebenaran terutama kepada yang terabaikan.

Tanggapan Peserta

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 58

Page 59: Konsultasi nasional v e-book final

Chrisostomus Sihotang (Bina Kasih): Membagi pengalaman tentang anak

yang menderita Lupus, gereja harus lebih peka lagi terhadap para difabel

tersebut.

Alex Mangonting: Gereja di Toraja tak punya pelayanan untuk orang-orang

yang disebut berkekurangan khusus, mungkin cara advokasi dari AMAN dapat

membantu, dan melalui KONAS ini bagaimana caranya membangun

kebersamaan antargereja dan orang-orang yang berkekurangan. Di di Toraja

bagaimana membangun kebersamaan antara masyarakat adat dan gereja.

Pdt. Amos Musa: Bagaimana AMAN membantu melestarikan bahasa-

bahasa di Tobelo yang hampir hilang. Untuk orang-orang yang berkekurangan,

memang gereja secara fisik belum mempersiapkan tempat-tempat atau

kemudaan mereka untuk dapat beribadah. Untuk ODHA, di Halmahera terjadi

peningkatan yang signifikan dan kebanyakan mereka tidak berani untuk

mencek darahnya di Rumah Sakit. Belum ada kesadaran dari mereka,

bagaimana cara untuk mengurangi jumlah orang-orang terkena HIV/AIDS

tersebut.

Pdt. Ananta Purba (GBKP): GBKP sudah punya kegiatan untuk mereka

yang disebut anak-anak disabilitas. Sudah lebih dari 35 tahun dan setiap bulan

November Sinode GBKP melakukan kegiatan untuk mereka. GBKP

menyediakan dana pertahun sebesar Rp. 150 juta. Pelayanan HIV/AIDS sudah

dilakukan selama 5 tahun terakhir ini, mereka ditempatkan di rumah singgah di

sebelah RS Adam Malik akibat stigma dari masyarakat sehingga mereka tidak

ingin kembali kepada keluarganya. Di sinilah fungsi komunikasi, jika ditutup-

tutupi tidak ada keterbukaan antara jemaat dan gereja. Kelemahan gereja adalah

membahasakannya dalam komunikasi jurnalistik; bagaimana mendidik mereka

agar komunikasi dan kadang bahasa yang disampaikannya tidak mengalami

distorsi. Keberadaan mereka harus terus-menerus dipublikasikan agar

masyarakat paham akan keberadaan mereka.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 59

Page 60: Konsultasi nasional v e-book final

Dwi Yatmono (WVI): Bagaimana kemampuan kita dalam memilah

informasi yang ada di masyarakat? Apakah lebih banyak berita tertanam dalam

masyarakat kita, sehingga apa yang dibicarakan tentang adat, tentang disabilitas

dan HIV/AIDS menjadi bagian dari pelayanan untuk mereka. Yang kedua,

bagaimana pelaku medianya? Apakah media berita membombardir ihwal

hedonisme dibanding mereka yang harus dibantu seperti penyandang stabilitas,

penderita HIV/AIDS dan penyandang disabilitas, tidak sampai kepada

masyarkat? Pertanyaan untuk Mbak Rukka, adakah pertemuan tokoh-tokoh

adat, kalau ada dapat menjadi kekuatan. Dan ihwal penyandang disabilitas,

gereja perlu difasilitasi agar mereka mengerti untuk melayani penyandang

disabilitas sebab guru-guru Sekolah Minggu pun belum dibekali untuk

memberikan pengajaran kepada mereka.

Debby Manalu: Hanya berbagi, bahwa HKBP juga sudah punya pelayan

tahbisan diakones dan seorang penyandang disabilitas menjadi salah seorang

mahasiswa dan saat ini sudah berkarya di Panti Karya Effatha.

Narasumber (Syaiful A. Harahap)

1. Tempatkan diri anda sebagai orang yang akan dijadikan berita.

2. Dapat memilah-milah informasi yang diterima atau yang disuguhkan

oleh media elektronik dll.

Narasumber (Nestor Rico Tambunan)

1. Masyarakat dan gereja harus memahami keberadaan para penyandang

disabilitas untuk mendapatkan pengakuan dan kemudahan fasilitas baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun di sekolah.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 60

Page 61: Konsultasi nasional v e-book final

2. Media sering tidak mendidik dan mencerdaskan karena tidak

memberikan pemahaman yang benar (melakukan manipulasi dan tidak

adil) terhadap penyandang disabilitas.

3. Gereja dan media gereja harus bisa menyajikan berita bukan hanya

kegiatan rutin saja. Gereja harus bisa menyajikan berita bagi

penyandang disabilitas.

4. Tidak ada data yang valid tentang penyandang disabilitas di

pemerintahan dan gereja.

5. Kebanyakan gereja juga tidak menyediakan program pelayanan kepada

para penyandang disabilitas.

Narasumber (Rukka Sombolinggi)

1. Pertemuan tokoh-tokoh adat se-Indonesia menyatakan, tak semua adat

di Indonesia, termasuk kesultanan, termasuk bagian dari kelompok adat

yang di koordinir oleh AMAN.

2. Dari Tobelo, pertanyaannya bagaimana menyelamatkan bahasa daerah.

Kita harus ikut andil dalam menyelamatkan bahasa daerah kita dengan

cara mengajarkan anak-anak untuk mencintai daerah kita sendiri dan

memberikan pemahaman-pemahaman kepada keturunan kita.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 61

Page 62: Konsultasi nasional v e-book final

Bab III

Diskusi Kelompok

Pokok-pokok Diskusi:

Memetakan persoalan-persoalan komunikasi dan media di lingkungan

organisasi gereja/berbasis gereja, CSO (civil society organization) dan

wilayah setempat (komunitas, kota atau wilayah)

Memetakan SWOT komunikasi dan media bertolak dari konteks

pemetaan persoalan

Menyusun strategi komunikasi bertolak dari SWOT

Menyusun rekomendasi yang dapat dilakukan segera dan dalam rentang

waktu tak terlalu lama (maksimal 2 tahun) untuk (1) YAKOMA-PGI (2)

gereja/organisasi setempat.

Kelompok I

• Habel Nusa (GERMITA)

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 62

Page 63: Konsultasi nasional v e-book final

• Sabarita (LPBH FAS)

• Pdt. Altje Lumi (GMIM)

• Pdt. Nabot Manufandu (GKI Papua)

• Anselmus Puasa (GMIH)

• Pdt. Johan Kristantoro (GKI)

• Peter Ang GKPB

• Pdt. Kotler Siagian (HKBP)

• Dwi Yatmoko (WVI)

• Sony W. Utomo (Yamuger)

Kelompok II

Denny Kaliombo

Hanadi Kepartono (GKI)

Richard C. Hohakay (GMIH)

Binsar Nainggolan (HKBP)

Dominggus Saekoko (YK Bina Kasih)

Debbie Chinta Goodwin Manalu (PDPK Paronggil)

Pnt. Ananta Purba (GBKP)

Orpa BI Lemba (POUK Larangan Indah)

Pdt. Rajiun Nababan (HKBP)

Epifania Raintung (PERSETIA)

Simson Wiwi (GKJ Jateng)

Kelompok III

Florence EC Pohan (Yamuger)

Eka Pusaka Dharma (GIA)

Crisostomus Sihotang (Bina Kasih)

Parningotan Lubis

Yunus Tan (GBI)

Pdt. Lefi Kembuan (GPIB)

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 63

Page 64: Konsultasi nasional v e-book final

Pdt. Yunus Klasjok (GKI)

Pdt. Yohanes Simanjuntak

Pdt. Eliezer N. Bee (GERMITA)

David Rajagukguk (KSPPM-Parapat)

Monalisa Maria Yolmy (GKI Papua)

Pdt. Heski Manus (GMIM)

Hasil-hasil Diskusi Kelompok

Kelompok I

a. Beberapa Permasalahan yang ditemukan dalam diskusi kelompok I:

1. Apakah gereja peduli dan berkomitmen untuk mengelolakomunikasi?

2. Ada lompatan dari budaya baca ke budaya visual.

3. Ketergantungan pada media konvensional seraya menggunakan

media modern.

4. Kebijakan SDM, sarana dan konten belum memadai.

5. Media yang digunakan belum optimal difungsikan.Pemetaan SWOT

6. Kebijakan gereja terhadap madia komunikasi masih cenderung

lemah.

7. Setiap daerah punya konteks lokalitas masing-masing dalam hal

penggunaan teknologi dan media komunikasi.

8. Sumber Daya Manusia.

a. Strategi Komunikasi

1. Gereja perlu lebih peduli dan berkomitmen pada pemanfaatan media

komunikasi

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 64

Page 65: Konsultasi nasional v e-book final

2. Kearifan lokal perlu dipertimbangkan dalam menentukan media yang

tepat.

3. Keluarga perlu membarui (updating) penggunaan media komunikasi

karena tangtangannya terus berkembang.

4. Pengambilan kebijakan perlu mempertimbangkan gaya komunikasi

setiap gerenerasi khususnya.

d. Rekomendasi

1. Peserta KONAS mendorong pemanfaatan media komunikasi menjadi

bagian dari kebijakan dan komitmen komunitas atau organisasi.

2. YAKOMA-PGI menyediakan konten-koten media modern maupun

tradisional yang bisa digunakan dan dikembangkan sesuai konteks.

3. Perlu pemberdayaan melek media pada level keluarga maupun

komunitas.

4. Melibatkan kaum muda dalam produksi konten media komunikasi.

5. Membangun jejaring antargereja melalu portal bersama.

6. YAKOMA-PGI diharapkan memberikan pelatihan sampai pada level

gereja/komunitas lokal.

Kelompok II

Menampilkan film Save Mariam

a. Peta Persoalan

b. Memerlukan definisi atau deskripsi ulang terhadap pengertian

komunikasi sesuai tema.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 65

Page 66: Konsultasi nasional v e-book final

c. Dalam pertemuan ini kita mendengar pertanyaan, “Di mana kalian

sebagai gereja?”

d. Ketika kita bias, dalam beberapa hari ini kita mencoba mencari fokus

yang membatasi pengertian komunikasi itu sendiri.

e. Tetapi tidak ada yang sia-sia, fokus pembicaraan adalah media.

b. Rekomendasi

1. Adanya titik simpul infokom: berupa Media Center.

2. Perlunya PGI/YAKOMA-PGI mendorong terbukanya ruang-ruang

publikasi gereja sehingga baik rencana program dan kegiatan gereja

menjadi terbuka.

3. Untuk mendorong upaya pekabaran Injil atau pewartaan Kabar Baik;

tentang keadilan dan perdamaian, dengan mendirikan stasiun televisi

sendiri.

4. Pemberdayaan sumber daya untuk menggerakkan komunikasi yang lebih

efektif; pelatihan-pelatihan multimedia; baik cetak, video, audio dll.

5. Mengupayakan dana mandiri melalui jejaring dan gerakan.

Kelompok III

S W

Dana (untuk yang sudah mampu)Lebih banyak berkomunikasi secara internal

Jemaat sebagai komunikan Keterampilan bermedia rendah

Pemuda yang punya seni (kreatif dan inovatif)

Gereja kurang berkomitment dalam mengembangkan media

Sudah memiliki media cetak, online, audio dan audio-visual

Akses komunikasi yang masih rendah (khusus daerah perbatasan dan terpencil).

Pelatih tersedia Anggaran rendah

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 66

Page 67: Konsultasi nasional v e-book final

Pekerja yang dilatih kurang diberdayakan (pindah biro)

Inovasi dan kreativitas rendah

Konten kurang sesuai dengan kebutuhan jemaat

Format dan desain kurang menarik

Kurangnya kesadaran jemaat dalam menyikapi konten media (kewaspadaan media)

O T

Perizinan sulit

Pasar tersedia (jemaat minimal) Pandangan masyarakat sekitar gereja tentang “orang Kristen”

Tersedianya slot yang free (media sosial maupun televisi kabel)

Frekuensi terbatas (khusus radio)

Peluang program dari pemerintah dan pengusaha

Hadirnya konten yang kurang baik di media (medsos maupun televisi)

Hadirnya media sosial Akses informasi gampang tetapi tidak ada kontrol

Rekomendasi

1. Merumuskan strategi YAKOMA-PGI ke depan (bukan pelaksana teknis).

2. YAKOMA-PGI membuat majalah yang dikelola dengan baik dan aktual.

3. Berita Oikoumene tidak sekadar “corong” PGI tetapi membangun empati dan advokasi.

4. Pengembangan kerja-sama dengan pemerintah untuk pengembangan program dan pemanfaatan dana publik.

5. Membangun sinergi antargereja untuk membangun komunikasi bersama.

6. Membangun sinergi komunikasi gereja ke luar (lingkungan sekitar).

7. Mailinglist peserta KONAS untuk pengembangan komunikasi ke depan.

8. Pengembangan situs web dan blogger.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 67

Page 68: Konsultasi nasional v e-book final

9. Pengembangan kapasitas pekerja media melalui pelatihan maupun lokakarya, tidak hanya pengembangan wawasan.

10. Membangun kesadaran bermedia (literasi media).

11. Tindak-lanjut dari setiap pelatihan jelas (kontrak komitmen dengan yang dilatih).

12. Pengembangan radio komunitas untuk daerah-daerah perbatasan.

13. Meningkatkan tanggung-jawab gereja dalam mengembangkan YAKOMA-PGI sebagai lembaga pengembangan komunikasi gereja melalui kontribusi (PGI).

Penutupan Konsultasi Nasional Ibadah Penutup dipimpin oleh Pdt. Lefi Kembuan.

Bab IV

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 68

Page 69: Konsultasi nasional v e-book final

Materi-materi

Penelaahan Alkitab 1

KOMUNIKASI SEBAGAI PERWUJUDAN KASIH

Pdt. Dr. Einar M. Sitompul

Tahap-tahap Komunikasi

Saya merasa setelah bertugas sebagai pendeta jemaat sejak 2010 di HKBP Jl. Jambu

Jakarta, di saat menerima undangan menyampaikan refleksi dalam Konas Gereja dan

Komunikasi, justru saya yang tercenung. Ini masalah yang utama tiba-tiba mencuat ke

ranah pekerjaan saya yakni bagaimana membangun komunikasi (gereja) dengan

anggota jemaat yang nota bene satu bahasa (daerah) dengan saya, bersama-sama

menghayati adat dan tradisi (Batak) dan setiap hari bertemu di dalam berbagai kegiatan

baik yang rutin dan khusus (insidentil). Tetapi pertanyaan apakah saya sudah

berkomunikasi dengan tepat? Apakah sebenarnya komunikasi, sekadar kontak

komunikator dengan komunikan? Sebagai pendeta – tentu banyak bicara (khotbah,

mengajar, konseling dan menasihati) – tak urung terlintas di pikiran, apakah saya sudah

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 69

Page 70: Konsultasi nasional v e-book final

berhasil? Berhasil, maksudnya saya dimengerti dan lebih dari itu agar jemaat dimotivasi

melakukan apa yang terbaik. Di dalam kacamata kegerejaan apakah jemaat mengerti

benar yang dimaksud dengan melayani atau bersaksi (tugas utama gereja). Keberhasilan

komunikasi tidak terlepas dari kesan orang. Jemaat perdana dengan cepat bertambah

karena disukai semua orang (Kis. 2:47). Percakapan yang lancar, pengenalan mendalam

tentang budaya bahkan sebagai bagian masyarakat tradisional, belum tentu dengan

sendirinya berhasil. Berada di dalam komunitas hanya awal komunikasi. Komunikasi

adalah proses ketika seseorang sadar bahwa ia tidak bisa sendirian jika ia ingin

mengembangkan dirinya. Mungkinkah kita boleh mengatakan bahwa ketika Allah

mengatakan tidak baik manusia itu seorang diri saja sehingga ia membangun seorang

mitra sepadan dengan dia karena Allah melihat perlunya komunikasi? Manusia Pertama

telah melihat alam sekitarnya, tentu mengolah tanah dan mengendalikan hewan-hewan,

tetapi untuk dirinya tidak ada yang sepadan, maka belum ada komunikasi; yang ada

ialah menolog bukan dialog, maka ia membutuhkan seseorang untuk berkomunikasi

agar ia dan orang lain mampu mengembangkan potensi diri mereka. Agaknya potensi

itu “tidak sempat” dibangun sebab manusia pertama gagal mengalahkan godaan ular

sehingga melampiaskan hasrat berkuasa (sama dengan Allah) dengan memakan buah

pohon pengetahuan yang baik dan buruk, mengambil alih hak Allah, maka komunikasi

pun kacau yakni melemparkan tanggung jawab kepada orang lain (lihat, Kej. 3).

Saya ingin mengutarakan bahwa komunikasi bukan sekedar bertutur kata. Karl Jaspers

membagi tiga tahap komunikasi:

Pertama, komunikasi naif; komunikasi di dalam masyarakat tradisional berlangsung

hanya dalam soal sekedar menerima apa saja yang diwariskan tradisi. Semua orang

diharapkan sadar dan menaatinya. Adat istiadat menguasai identitas. Gambaran ini terus

berlangsung kendatipun di Indonesia kita telah hidup di zaman modern, organisasi

sosial dan keagamaan kita masih sulit melepaskan diri tradisi (organisasi).

Kedua, tahap komunikasi “kesadaran Aku”. Pada tahap ini individu memiliki kesadaran

diri dan orang lain. Komunikasi yang menyangkut perasaan dan pemikiran dituangkan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 70

Page 71: Konsultasi nasional v e-book final

di dalam aturan sosial masyarakat. Ada kesadaran akan keberadaan orang lain

(existence to existence). Tetapi relasi antar individu masih bersifat mengobyekkan atau

memanipulasi orang lain. Orientasinya kekuasaan; saya ingin menguasai orang lain,

orang lain dianggap obyek. Semua belum mencapai interpersonal communication.

Ketiga, tahap komunikasi ide-ide: dalam tahap ini aku atau individu memiliki kesadaran

(the intellect of conscionsness at large). Disini manusia menyadari dirinya tidak

berkembang tanpa orang lain dan relasi dengan komunitas.

Pada masa kini istilah komunitas dilihat dari sudut pemakaian kata mengacu hal-hal

berikut :

Kumpulan orang, kecil atau besar, yang terbentuk dari jaringan yang bersifat

organik – bukan terorganisasi (misalnya, kumpulan orang yang secara teratur

libur bersama).

Sekelompok orang yang mempunyai hubungan keluarga, besar maupun kecil

(keluarga besar, marga, suku).

Sekelompok orang yang tinggal di tempat yang sama dan dalam perjalanan

waktu, mengembangkan ikatan, minat dan kepedulian yang sama (komunitas

pedesaan atau perkotaan).

Pengalaman bersama yang amat emosional yang begitu kuat dialami sekelompok

orang.

Sekelompok orang yang telah lama berkumpul dan bertatap muka, yang berupaya

mengembangkan ikatan dan tanggung jawab bersama (Persekutuan Doa atau

Gereja rumah).

Sekelompok orang yang tinggal bersama dan memiliki misi yang sama

(kelompok keagamaan, gereja/jemaat desa).

Suatu perkumpulan besar yang bertemu secara teratur dan terlibat di dalam

berbagai kegiatan (gereja kota, kelompok-kelompok sosial/keagamaan).

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 71

Page 72: Konsultasi nasional v e-book final

Misi Gereja

Diskripsi terakhir lebih mengena kepada gereja (jemaat lokal, klasis atau sinodal). Suatu

komunikasi keagamaan (gereja) pastilah memiliki misi (beban atau tugas) yang

diangkat dari pesan-pesan Kitab Suci. Secara klasik tradisional komunitas Kristen

mengangkat yang disebut Amanat Agung (bukan istilah teks), Pesan Penginjilan,

walaupun cara memaknai tidak sederhana, seperti kemana-mana berkhotbah,

kebangunan rohani, penyebaran traktat atau siaran keagamaan (Radio, TV, internet dan

media-media teknologi canggih lainnya). Sebuah penafsiran tentang misi dilontarkan

gereja-gereja Lutheran baru-baru ini dalam sebuah konsultasi misi, yang melahirkan

pandangan yang bergeser dari posisi Amanat Agung dengan mengangkat Lukas

24/Perjalanan Emmaus). Dalam perjalanan ke Emmaus (ayat 13 – dst), para murid –

melalui percakapan – menyadari bahwa Yesus telah berjalan bersama mereka. Secara

singkat ingin ditegaskan misi adalah dialog. Saya ingin menekankan misi adalah dialog

untuk menyadari kehadiran “Yang Lain” (The Other) diantara kita. Ini menyodorkan

sebuah nuansa berbeda bagi kita di dalam berkomunikasi; ia tidak hanya menyampaikan

pesan tetapi pesan secara interaktif. Ada beban memperhitungkan komunikan sebagai

pribadi mandiri, penuh dan potensial untuk bersama-sama menemukan sebuah

pengertian baru (new insight).

Disini implisit pengakuan bahwa kepercayaan orang lain memiliki legitimasi sendiri

dan bukan domain kita menilai benar tidaknya sebuah agama, demikian juga bukan

domain kita menilai isi/pesan-pesan Kitab Suci agama-agama lain. Maka perlu

membangun filosofi komunikasi dari komunikator. Komunikator bukanlah “pemilik

tunggal kebenaran” melainkan pengajak orang-orang lain memperhatikan pesan agar

dari komunikan mengolah di dalam konteks sosial-budaya mereka. Konteks sama

absahnya dengan kepercayaan. Semua agama berkembang didalam konteks masyarakat

penghayatnya. Ketika ia dikomunikasikan maka ikut pula bungkus (konteks)-nya.

Agama berkembang bergerak keluar (sentrifugal), dalam gerak melingkar yang semakin

lebar. Murid-murid Yesus dipanggil sebagai saksi (komunikator) mulai Yerusalem,

Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi (Luk. 1:8). Sudah tentu bukan concern kita

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 72

Page 73: Konsultasi nasional v e-book final

untuk mencari isi asli pesan apalagi bentuk-bentuk pesan dan menetapkan mana yang

paling mendasar isi pesan. Misalnya, yang telah saya singgung tadi Matius di akhir

Injilnya menulis pesan penginjilan dan Lukas mengangkat “perjumpaan” di perjalanan

(Luk. 24:13) dan Yohanes mengemukakan penggembalaan sebagai pesan utama.

Berangkat dari “peristiwa Kristus” lahirlah sebuah kontekstualisasi oleh para penulis

Injil dan penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya. Saya memahami seluruh isi Alkitab

adalah hasil usaha kontekstualisasi para penulis-penulisnya. Sudah tentu kita harus

menegaskan pesan utama Tuhan yang menuntun prosesnya. Bentuk yang kita terima

ialah kata (firman), yang terhimpun didalam Alkitab sebagai cara komunikasi Allah

kepada umat manusia. Kita yakin firman-Nya mempunyai kuasa (daya), kuasa

menciptakan, daya mewujudkan, sehingga yang tidak nyata menjadi nyata secara fisik.

Bahkan, Yesus, firman yang menjadi daging, ialah wujud firman-Nya dengan siapa kita

mempunyai Pribadi yang mengantarai komunikasi Allah kepada manusia dan manusia

kepada Allah. Sambil lalu saya ingin mengingatkan kita tentang pandangan Martin

Luther tentang hubungan firman dan gereja, “Gereja adalah creatura verbi divini:

ciptaan firman Allah. Gereja dibentuk oleh tindakan Allah dan bukan usaha manusia”.

Saya hanya ingin mengajak kita memperhatikan berkomunikasi itu melebihi tukar

pikiran dan bukan pula bermuara pada keterampilan teknis kendati itu sangat perlu.

Berkomunikasi berarti kita sedang mengejawantahkan sesuatu yang ilahi. Gereja dan

lembaga kekristenan adalah lembaga komunikasi; dibentuk Allah dan yang bergerak di

dunia ciptaan-Nya. Alkitab hanya wadah fisik dari komunikasi-Nya pada masa lalu.

Daya komunikasi pesan Alkitabiah secara teologis adalah pekerjaan Roh Kudus tetapi

secara teknis adalah usaha hermeneutis. Kepercayaan atau iman sejati, mempercayai

Kristus, semata-mata adalah anugerah.

Lingkungan Komunikasi

Kita tidak mungkin mengabaikan pluralitas masyarakat terutama dalam soal

komunikasi. Namun pluralitas bukan hanya soal sekarang. Setiap umat beragama adalah

“produk” pluralitas masyarakat disebabkan oleh pekerjaan dan konteks sosial-ekonomi.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 73

Page 74: Konsultasi nasional v e-book final

Tetapi sekarang oleh kemajuan teknologi komunikasi dunia terbuka, semua orang dapat

mengetahui dan merespons. Saingan berat lembaga keagamaan adalah lembaga

ekonomi dan politik karena dukungan dana. Pluralitas dan globalisasi menantang

komunikasi kita; di satu pihak kita mesti menangani serius dampak globalisasi dan

digitalisasi dan pada pihak lain bagaimana berinteraksi di dan terhadap masyarakat

pluralistik. Kebersamaan persepsi mutlak diperlukan untuk merasakan bahwa tantangan

komunikasi adalah masalah bersama gereja dan lembaga kristiani. Bahwa kehadiran

kita untuk berbagi visi-misi untuk mengembangkan kehidupan bersama tanpa yang satu

mengabaikan yang lain, tanpa menganggap diri sendiri paling mulia dan mampu.

Kita membangun komunikasi bukan ingin memperbanyak “pelanggan” atau karena

ingin mendominasi (kekuasaan). Kebersamaan semua gereja dan lembaga kristiani

adalah dimotivasi oleh kasih. Karena Allah sendiri digerakkan olah kasih agar kita juga

mengasihi ( 1 Yoh. 4:9-10, 16; band. Rm. 5:8; Yoh. 15:9, 13). Allah memediasi kasih-

Nya melalui Roh Kudus sehingga kasih mencapai karakter yang khusus yakni antara

lain, kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, dan lain-lainnya (Gal.

5:22). Kasih tidak dipisahkan dari komunikasi; seolah kasih adalah wilayah etika dan

komunikasi wilayah kesaksian, kasih diwujudkan melalui komunikasi. Kasih itu adalah

kasih yang mengorbankan diri. Wujudnya sekarang ialah kesediaan menilai ulang

semua bentuk komunikasi yang kita bangun demi menyampaikan pesan-pesan

keagamaan agar berdampak bagi masyarakat luas.

Karl Jaspers merespons kritik terhadap berbagai keterbatasan dan kelemahan didalam

komunikasi (politik, ia berbicara tentang komunikasi politik) sebagai loving struggle

sebagai jalan menuju perbaikan, kebenaran, ketepatan, keadilan dan ketulusan bisa

tercapai. Jaspers seorang filosofi mampu berbicara tentang loving struggle. Uraiannya

didorong oleh keyakinannya bahwa komunikasi bersifat saling membutuhkan dan saling

melengkapi; komunikasi demikian akan mengantarkan orang kepada kepenuhan diri.

Pandangan non-keagamaan saja mengakui utamanya unsur kasih dalam porses

komunikasi berikut kelemahannya untuk dicari cara peningkatannya. Gereja dan

lembaga kekristenan mestinya lebih tergerak lagi berjuang mengembangkan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 74

Page 75: Konsultasi nasional v e-book final

komunikasi di dunia digital dewasa ini. Jika kita tidak dipahami maka yang lebih

dahulu harus disoroti adalah diri kita sendiri.

Sumber Bacaan:

Colin E. Gunton and Daniel W. Hardy (eds), On Being the Church: Essays on the Christian Community, Edinburgh: T.T. Clark, 1989.

Vincent Y. Jolasa, “Tarian Komunikasi Transformatif: Seni mengawal Ruang Publik dan Penyingkap Ruang Privat”, didalam The Dancing Leader, ed. Jusuf Sutanto, Jakarta: Kompas, 2011.

Misi dalam Konteks: Transformasi, Rekonsiliasi dan Pemberdayaan, Hasil Konsultasi Gereja-gereja LWF 2004.

Robert Banks and R. Paul Stevens (eds), The Complete Book of Everyday Christianity,

Bandung: Kalam Hidup, 2012.

Penelaahan Alkitab 2

“Pesan Pembebasan dan Komunikasi Setara Sang Liyan:

Pendekatan feminis membaca Injil Markus 7: 24-30”

Oleh Pdt. Sylvana Apituley

Berteologi Kontekstual

Sejatinya semua teologi bersifat kontekstual, dibangun dan dibentuk dalam konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik tertentu, sekaligus multidimensional.1 Teologi Kontekstual Asia lahir dari rahim pergumulan sosio-teologis gereja-gereja Asia pada akhir abad ke-20. Berteologi, bagi gereja-gereja Asia, adalah berefleksi kritis tentang konteks dan pengalaman nyata masyarakat/komunitas, sekaligus merupakan upaya

1David M.Thompson, Introduction: mapping Asian Christianity in the context of world Christianity, in Kim (ed.), op.cit,19. Kȕster juga secara ringkas menggarisbawahi pentingnya sifat multidimensional teologi kontekstual Asia danAfrika.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 75

Page 76: Konsultasi nasional v e-book final

untuk merekonstruksi identitas kekristenan lokal yang otentik.2Pada umumnya, wajahteologiKontekstual Asia, AfrikadanAmerika Latin dikategorikan kedalam dua tipe utama yang saling berkaitan satu sama lain, pertama tipe cultural-religious, focus pada masalah hubungan Injil dan budaya. Kedua tipe socio-economic and political, focus pada masalah-masalah keadilan sosial, ekonomi dan politik.

Jender dan ekologi adalah dua isu yang mewarnai keduanya.3 Tentang metodologi (ber) teologi kontekstual, Kȕstermenyatakan,

“Methodologically the basic structure of contextual theologies is the hermeneutic circle between text and context that has to be followed time and again facing the relevance-identity dilemma.”

Konteks yang terus menerus berubah, yang membentuk “mata” para pembaca teks, adalah variabel utama proses hermeneutic yang dapat membuat pembaca selalu menemukan perspektif baru atas teks. Dengan demikian, proses hermeneutic bergerak lebih sebagai suatu circulus progrediens (evolving circle), ketimbang suatu circulus vitiosus (vicious circle).4

Cerita mereka yang terbelenggu dan dibungkam5

”Kami bangsa Papua punya martabat. Tapi kami dihina bangsa monyet! Tanah kami

dirampas, kekayaan alam kami dikuras. Kami mau merdeka saja!” -- Seorang laki-

laki Papua penyintas kekerasan oleh aparat keamanan, 2011.

”di hutan sa tra boleh menangis, sa tra boleh tertawa, nanti tentara dengar ktong

dapa tangkap…Sekarang sa pu bapa mantu hina saya, bilang saya anak OPM, gara-

gara saya sa pu paitua tra naik pangkat.” -- Anak penyintas operasi militer di Papua

tahun 1970, kesaksian di tahun 2009.

Cerita Injil: Menyintas Batas Budaya dan Agama untuk Pembebasan dan Pemulihan

2 Volker Kȕster, A Protestant Theology of Passion: Korean Minjung Theology Revisited, Leiden: Brill, 2010, p.1-4.3 Op.cit,p.4-7.4 Op.cit, p.85Disarikan dari Laporan-laporan HAM Komnas Perempuan, 2008-2011 dan kesaksian penyintas, 2004.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 76

Page 77: Konsultasi nasional v e-book final

Kisah penyembuhan anak seorang perempuan Siro-Fenisia ini adalah satu-satunya

penyembuhan seorang bukan Yahudi dalam Injil Markus. Bagi masyarakat Yahudi dan

komunitas Yesus, perempuan Siro-Fenisia ini adalah seorang outsider karena identitas

kebangsaan dan keagamaannya. Identitas perempuan ”tak bernama” ini dicatat sesuai

tempat lahirnya, di Syria. Ia disebut sebagai perempuan Siro-Fenisia, karena terlahir

sebagai seorang Siro-Fenisia (seorang Fenisia dari Syria atau seorang bangsa Siro-

Fenisia/7: 26a). Perempuan ini dengan jelas diidentifikasi sebagai seorang Gentile yang

tidak mengenal Allah. Penamaan ini lebih berfungsi sebagai pelabelan kepadanya,

kemungkinan lebih merupakan pelabelan berdasarkan agama. Selain identitas

kebangsaan dan keagamaannya, penulis Markus hanya menambahkan informasi singkat

tentang dirinya, yaitu ibu dari seorang anak perempuan yang sedang kerasukan roh jahat

(7:25).

Dalam perjalanan menghindari keramaian, Yesus melewati Tyra (7: 24), suatu daerah

dominan Yahudi di Fenisia, sebelah utara Galilea Atas. Perempuan Siro-Fenisia

(perempuan Kanaan) yang percaya diri dan beriman mendatangi Yesus, tersungkur di

kaki Nya dan memohon agar Yesus membebaskan anaknya dari roh jahat. Ann Tolbert

menyatakan, perempuan Siro-Fenisia ini kemungkinan besar kuat secara ekonomi atau

berlatar belakang sosial tinggi. Sebab pada masa itu tindakan menemui seseorang di

rumah orang lain hanya dapat dilakukan oleh perempuan berkelas sosial tinggi.

Bagaimanapun, perempuan ini bukan laki-laki kelas atas yang boleh mewakili

kepentingan dan kehormatan keluarga serta berbicara atas namanya sendiri di ruang

publik. Namun, perempuan yang percaya ini berani bergerak keluar dari zona nyaman,

dari wilayah asalnya, dan pergi menjumpai Yesus di ruang publik di komunitas Nya

sendiri. Perempuan yang percaya ini mendekatkan diri dan mengasosiasikan dirinya

dengan komunitas Yesus.

Sikap Yesus terhadap perempuan Siro-Fenisia berbeda dengan sikapnya kepada orang-

orang lain yang pernah memohon pemulihan dari-Nya. Yesus tidak langsung memenuhi

permintaan perempuan asing yang bertentangan dengan begitu banyak rambu-rambu

sosial, budaya dan politik saat itu. Yesus bahkan menolaknya, memakai perumpaan Ia

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 77

Page 78: Konsultasi nasional v e-book final

membandingkan perempuan Siro-Fenisia dan anaknya dengan “anjing yang tidak

berhak atas roti makanan bagi anak-anak”.Walau anjing yang dimaksudkan di sini

adalah anjing peliharaan, namun perumpamaan ini terdengar merendahkan. Sebab,

umumnya sebutan “anjing kotor/najis” dikenakan oleh orang Yahudi bagi bangsa

lain/kafir. Menurut orang Yunani, sebutan anjing kepada orang lain adalah simbol

“perendahan martabat”. Di Timur Tengah, anjing diidentikkan sebagai binatang

pemakan bangkai, kotor, sumber penyakit dan bermanfaat hanya untuk makan makanan

sisa yang terbuang.

Sikap Yesus ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya kepada orang yang

dirasuk setan (5:1-20) dan kepada Yairus. Perempuan Siro-Fenisia dengan tegar dan

berani menantang penolakan Yesus dan berargumentasi dengan Nya. Meski seorang

”asing”, Ia menyapa (baca: mengakui) Yesus, dengan sebutan ”Lord”, serta menggugat

perumpaan Yesus dengan berkata bahwa ”…anjing yang di bawah meja juga makan

dari remah-remah yang dijatuhkan anak-anak”. (7:28). Perempuan Siro Fenisia ini

mengklaim posisinya bukan dengan cara memprotes “penghinaan komunal” oleh

Yesus, melainkan dengan berargumentasi bahwa baik anak (orang Yahudi) maupun

anjing (non Yahudi) berada di bawah otoritas/tuan yang sama, posisi keduanya

setara.Yesus pada akhirnya mengakui kebenaran perempuan Siro-Fenisia itu dan

berubah sikap. Ia menyatakan pembebasan-pemulihan bagi anak perempuan yang

sedang sakit (7:29). Sikap Yesus ini menegaskan bahwa identitas ”orang asing/liyan”

tak boleh menghambat karya keselamatan Allah bagi manusia/dunia.

Sikap perempuan Siro-Fenisia ini mengandung tiga tindakan radikal, yaitu: menerobos

kebiasaan dan batas-batas sosial budaya, agama dan politik patriarkis jamannya karena

mewakili kepentingan keluarga/anaknya dan berbicara dengan laki-laki asing di rumah

orang lain demi pemulihan sang anak; bersuara ”nyaring” menggugat tradisi agama,

budaya dan politik dominan; keluar dari batas-batas primordial/teritorial yang eksklusif,

mengakui jatidiri/identitas Yesus yang berbeda dengan dirinya dan berkomunikasi

secara setara dengan Yesus. Sang liyan yang marjinalberkomunikasi setara dengan sang

dominan.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 78

Page 79: Konsultasi nasional v e-book final

Mendengardan Mewartakan Injil Bersama yang Terpinggir

Sebagai bentuk kongkrit dari Kesaksian (martyria) gereja, Pekabaran Injil adalah

mengkomunikasikan seluruh pesan Injil kepada semua orang di seluruh dunia, untuk

pembebasan dan penyelamatan dunia bagi kemuliaan Allah.

Gereja-gereja sedunia dalam Together Towards Life menyatakan bahwa seringkali

karya pekabaran Injil kita jauh dari praksis mewujudnyatakan Injil, bahkan

mengkhianati pesan Injil.Karena gereja kesulitan mendengar suara kaum tak bersuara,

tidak peka terhadap pengalaman mereka yang terbungkam dan tertindas. Di sisi lain, tak

jarang Gereja juga dipaksa menelan pil pahit penolakan oleh masyarakat atau

lingkungannya yang memusuhi, menolak dan memperlakukan gereja bagai anjing kotor,

sumber penyakit yang tidak berguna. Bagaimanapun,Gereja dipanggil untuk

merefleksikan kembali keberadaan/jatidirinya sebagai pembawa Injil Kerajaan Allah.

Bahkan, gereja dipanggil untuk ”bertobat”, lebih mendengar, berdialog dan

berkomunikasi setara dengan berbagai kelompok masyarakat dan bermacam-macam

persoalaan kemanusiaan. Kemanusiaan dan penghormatan yang diwujudkan dalam

dialog dengan semua/yang lain, khususnya mereka yang termarjinalkan, adalah dasar

pekabaran Injil. Hanya dengan ini pesan Injil yang membebaskan, memulihkandan

mendamaikan dapat dikomunikasikan bersama semua dan kepada semua.

Pertanyaan panduan diskusi kelompok

1. Identifikasikan 3 contoh individu atau kelompok masyarakat di wilayah

pelayanan Anda yang terpinggir, tertindas dan dibungkam karena status sosial-

ekonomi, identitas kebangsaan/etnis, agama dan jender nya? Apa pesan/suara

mereka kepada Anda?

2. Belajar dari pengalaman Yesus dengan perempuan Siro-Fenisia dalam Injil

Markus 7: 24-30, apakah pesan Injil yang perlu diwartakan untuk pembebasan

dan pemulihan kelompok-kelompok tersebut?

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 79

Page 80: Konsultasi nasional v e-book final

3. Bagaimana/apa cara terbaik/tepat bagi gereja dalam mewartakan/mendialogkan

pesan Injil dengan (suara) komunitas yang termarjinal, terbelenggu dan

dibungkam?

Sumber-sumber:

1. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab.

2. Mary Ann Tolbert, “Mark”, dalam Carol A. Newson & Sharon H. Ringe (eds.),

Women’s Bible Commentary, Westminster John Knox Press, Louisville,

Kentucky, 1998.

3. World Council of Churches, Together Towards Life, Mission and Evangelism

in Changing landscape, 2013.

4. Komnas Perempuan, Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Korban Kekerasan

dan Pelanggaran HAM periode 1963-2009, Jakarta: 2010.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 80

Page 81: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 81

Page 82: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 82

Page 83: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 83

Page 84: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 84

Page 85: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 85

Page 86: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 86

Page 87: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 87

Page 88: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 88

Page 89: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 89

Page 90: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 90

Page 91: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 91

Page 92: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 92

Page 93: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 93

Page 94: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 94

Page 95: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 95

Page 96: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 96

Page 97: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 97

Page 98: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 98

Page 99: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 99

Page 100: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 100

Page 101: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 101

Page 102: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 102

Page 103: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 103

Page 104: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 104

Page 105: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 105

Page 106: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 106

Page 107: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 107

Page 108: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 108

Page 109: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 109

Page 110: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 110

Page 111: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 111

Page 112: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 112

Page 113: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 113

Page 114: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 114

Page 115: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 115

Page 116: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 116

Page 117: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 117

Page 118: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 118

Page 119: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 119

Page 120: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 120

Page 121: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 121

Page 122: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 122

Page 123: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 123

Page 124: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 124

Page 125: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 125

Page 126: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 126

Page 127: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 127

Page 128: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 128

Page 129: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 129

Page 130: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 130

Page 131: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 131

Page 132: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 132

Page 133: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 133

Page 134: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 134

Page 135: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 135

Page 136: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 136

Page 137: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 137

Page 138: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 138

Page 139: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 139

Page 140: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 140

Page 141: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 141

Page 142: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 142

Page 143: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 143

Page 144: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 144

Page 145: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 145

Page 146: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 146

Page 147: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 147

Page 148: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 148

Page 149: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 149

Page 150: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 150

Page 151: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 151

Page 152: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 152

Page 153: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 153

Page 154: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 154

Page 155: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 155

Page 156: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 156

Page 157: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 157

Page 158: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 158

Page 159: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 159

Page 160: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 160

Page 161: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 161

Page 162: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 162

Page 163: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 163

Page 164: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 164

Page 165: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 165

Page 166: Konsultasi nasional v e-book final

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 166

Page 167: Konsultasi nasional v e-book final

Ceramah-ceramah

1. Materi Ignatius Haryanto

2. Dr. Freddy Tulung

3. Rukka Sombolinggi: Media, Masyarakat Adat, dan Lingkungan Hidup

4. Nestor Rico Tambunan: Media massa dan Disabilitas

5. Syaiful W. Harahap: Media dan ODHA

Media dan DisabilitasOleh Nestor Rico Tambunan

Secara umum, persentase pemberitaan mengenai dunia disabilitas di media massa Indonesia masih sangat kecil. Pemberitaan yang minim itu membuat ruang informasi, wawasan dan intelektualitas masyarakat mengenai dunia disabilitas sangat tidak memadai. Keterbatasan ruang pemberitaan itu sendiri karena kemiskinan pemahaman

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 167

Page 168: Konsultasi nasional v e-book final

(persepsi) kalangan media terhadap persoalan dunia disabilitas. Karena itu, media perlu mengembangkan pola jurnalisme yang lebih pas untuk masalah disabilitas, yaitu jurnalisme empati dan advokasi.

Peta Disabilitas di Indonesia

Indonesia salah satu negara dengan banyak penduduk penyandang disabilitas. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2004, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6.047.008 jiwa. Jumlah itu terdiri dari tunanetra 1.749.981 (29 %), tunadaksa 1.652.741 (27 %), tunagrahita 777.761 (12,8 %), tunarungu/wicara 602.784 (9,9 %), eks penderita penyakit kronis dan lain-lain 1.282.881 (21 %). Tidak jauh berbeda dengan data Departemen Kesehatan RI tahun 2011, yang mencatat 6,7 juta jiwa atau 3,11% dari jumlah penduduk Indonesia.

Namun, data jumlah penyandang disabilitas ini diperkirakan belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Menurut WHO, jumlah penyandang disabilitas tiap negara rata-rata mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Menurut Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237,56 juta orang. Jika menggunakan perkiraan WHO, Indonesia memiliki 20 juta lebih penduduk penyandang disabilitas.

Jumlah ini kemungkinan jauh lebih besar - sesuai asumsi WHO juga - mengingat rakyat Indonesia di sana sini masih terbelit kemiskinan, sementara pelayanan kesehatan dan kesejahteraan lain dari pemerintah masih memprihatinkan dan belum merata. Salah satu bukti, menurut data Susenas di atas jumlah penyandang tunanetra hanya 1,7 juta lebih. Sementara menurut data Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), jumlah penyandang tunanetra total saja di Indonesia mencapai 3 juta. Jika digabung dengan penyandang gangguan penglihatan lain, seperti low-vision, mencapai 9 juta.

Secara formal, Indonesia sudah memiliki sangat banyak peraturan perundang-undangan terkait penyandang disabilitas, seperti: (1) UU No. 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; (2) UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; (3) UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat; (4) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; (5) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; (6) UU No. 28/ 2002 tentang Bangunan Gedung; (7) UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan; (8) UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN); (9) UU No. 3/ 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; (10) UU No. 23/ 2007 tentang Perkeretaapian; (11) UU No. 17/2008 tentang Pelayaran; (12) UU No. 1/ 2009 tentang Penerbangan; (13) UU No. 11/ 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (14) UU No. 22/ 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; (15) UU No. 25/ 2009 tentang Pelayanan Publik; (16) UU No. 36/ 2009 tentang Kesehatan; (17). UU No. 13/

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 168

Page 169: Konsultasi nasional v e-book final

2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, terakhir (18). UU No. 19/2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Belum lagi peraturan perundangan pendukung, seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai pelaksanaan UU tersebut, misalnya PP No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keppres No. 83/1999 tentang Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dan banyak lagi.

Namun aplikasi dan implementasi penanganan dan pelayanan terhadap dunia disabilitas di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Bahkan Indonesia termasuk negara terburuk di ASEAN dalam pemberian pelayanan kepada rakyat penyandang disabilitas. Pemerintah Indonesia masih sangat tertinggal dalam memberi dalam assesment dan intervensi dini dalam keluarga, aksesbilitas pelayanan umum, dalam pendidikan, maupun lapangan pekerjaan. Sebagai bukti, baru 4 daerah yang memiliki Perda mengenai disabilitas (Solo, Yogya, Bandung, DKI).

Secara umum masyarakat dan pemerintah masih memberi pelayanan dalam konsep amal (charity), bukan hak (right based) sebagaimana trend dunia dan yang disepakati dalam Resolusi PBB Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) - Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas – yang ditanda tangani 13 Desember 2006. Pelayanan terbaik bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih diberikan organisasi-organisasi penyandang disabilitas/lembaga non-pemerintah. Dan sayangnya, pemerintah tidak mengadopsi pelayanan itu menjadi kebijakan secara nasional.Pers Indonesia dan Disabilitas

Pasca era reformasi, setelah kebijakan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut, jumlah penerbitan pers di Indonesia berkembang luar biasa. Dari hanya 289 di masa Orde Baru, kini diperkirakan ada 2.000 penerbitan di seluruh Indonesia.

Jurnalisme televisi pun sama. Indonesia salah satu negara dengan stasiun TV terbuka terbanyak di Indonesia, sejak TV swasta diijinkan tahun 1990. Sejak tahun 2002, merebak pula stasiun-stasiun TV lokal.

Tahun 1998, detik.com merintis jurnalisme online di Indonesia. Berkembangnya jurnalisme online memaksa media di Indonesia merumuskan kembali dan mencari model baru dalam menyampaikan berita. Selain lahirnya sangat banyak situs-situs berita internet, kini suratkabar, majalah, radio, bahkan televisi juga terpaksa melakukan konvergensi dengan membuat media versi online.

Namun, semua kebebasan dan lahirnya banyak media massa itu tidak serta-merta diikuti kualitas dan profesionalisme media dan para pekerja pers dalam menjalankan fungsinya. Banyak media tanpa misi-visi yang jelas. Banyak jurnalis yang asal-asalan.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 169

Page 170: Konsultasi nasional v e-book final

Televisi pun tidak menampilkan jurnalisme mencerdaskan, karena mayoritas tayangan berisi hiburan. Pers kita baru dalam tahap mencapai kebebasan dan demokratisasi informasi.

Salah satu persoalan yang terabaikan dalam pemberitaan media-media massa itu adalah dunia disabilitas. Persentase pemberitaan mengenai dunia disabilitas di media massa Indonesia masih sangat kecil. Sebagai gambaran, dari riset kecil yang dilakukan majalah Diffa, dari Mei – Desember 2012, hanya ditemukan 18 berita di 9 media cetak dan media online mainstream (Kompas, Tempo, Antara, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, detik.com, okezone.com).

Dunia disabilitas Indonesia boleh disebut terlupakan (termarjinalkan) dalam pemberitaan media massa. Persentase pemberitaan yang sangat minim ini membuat ruang informasi, wawasan, pemahaman dan intelektual masyarakat, juga pemerintah, mengenai dunia disabilitas secara substansial sangat tidak memadai. Jangan kaget, Kementerian Sosial sekalipun, dinilai masyarakat dan organisasi disabilitas tidak memahami sepenuhnya persoalan mereka.

Keironisan inilah antara lain yang melatarbelakangi lahirnya Majalah diffa/majalahdiffa.com tiga tahun lalu. Lembaga sosial Mitra Netra dan VHR-Media, serta beberapa perorangan yang memiliki pemahaman dan keberpihakan merasa sangat perlu ada media sebagai media informasi dan komunikasi, untuk mendorong pemahaman yang benar dan pemberdayaan masyarakat disabilitas.

Pemberitaan dan penulisan yang dilakukan diffa, serta berbagai kegiatan di masyarakat, di kampus-kampus, termasuk advokasi terhadap media-media mainstream membuat pemberitaan mengenai masalah disabilitas, baik di media cetak maupun elektronik (televisi, radio, dan online) meningkat tajam pada tahun terakhir. Namun, tetap belum berarti banyak dalam menghasilkan kebijakan pemerintah dan pelayanan hak terhadap penyandang disabilitas.

Peranan Media Kristiani

Di Indonesia, tugas, fungsi, dan tanggung jawab pers diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Fungsi media massa menurut UU No. 40 /1999 adalah: (1) memberikan informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), (3) menghibur (to entertain), dan (4) pengawasan social (social control).

Media-media yang dikelola lembaga Kristiani tentu tak lepas dari fungsi ini, dengan catatan memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial sesuai ajaran dasar Kristiani, yaitu KASIH.

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 170

Page 171: Konsultasi nasional v e-book final

Untuk dapat menjalankan fungsi sekaligus saluran kasih itu, para pengelola media Kristiani perlu memiliki kesadaran (Awareness) dan pengetahuan (Knowledge) mengenai dunia disabilitas agar dapat mendukung, memberikan informasi yang lebih proporsional, dalam rangka menciptakan kemanusiaan inklusif dan setara.

Kesadaran dan pengetahuan itu menyangkut pemahaman tentang jenis-jenis disabilitas (tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, dan tunarungu/wicara) serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan keterbatasan dan pelayanan (hak) yang mereka butuhkan. Termasuk pengetahuan tentang peraturan perundangan dan kondisi-kondisi perbandingan, baik di dalam maupun luar negeri.

Dari workshop “Guidelines Journalism for Disabilities Issue” yang diselenggarakan Majalah diffa, di Cikopo, pertengahan Februari 2013, yang mempertemukan wartawan/redaktur dari 20-an media dengan tokoh-tokoh dari dunia disabilitas dan ahli-ahli pemerhati sosial/disabilitas, ada 5 golongan masalah yang perlu mendapat perhatian kalangan media dalam pemberitaan/penulisan konten disabilitas:

Pertama, soal alokasi kapling/ruang. Selain tidak banyak, media-media mainstream tidak memberikan kapling atau rubrik khusus yang bersifat tetap untuk liputan/tulisan mengenai disabilitas. Melainkan tersebar, misalnya di rubrik Sosok, Pendidikan, dan sebagainya. Jadi, belum memberikan perhatian khusus atau menjadi kebijakan redaksional.

Kedua, soal posisi isu disabilitas. Karena tidak diberi rubrik khusus, tulisan mengenai disabilitas menduduki posisi bawah dalam urutan rubrik. Terkesan, konten disabilitas tidak penting, tidak menarik, atau mungkin tidak komersial.

Ketiga, soal angle tulisan. Penulisan sering tidak proporsional dan membangun karena tidak memiliki pemahaman/pendalaman yang benar. Presiden atau Menteri menghadiri acara yang berkaitan dengan disabilitas, yang diberitakan hanya kegiatan seremonial, bukan konten latar belakang dan tujuan kegiatan disabilitas itu sendiri. Seorang tunanetra yang berhasil meraih gelar master, hanya menulis keberhasilan tersebut, bukan kesulitan dan perjuangan dalam meraih keberhasilan itu.

Keempat, soal perspektif tulisan. Sering tulisan masih dalam perspektif charity (amal), memberi bantuan, memberi fasilitas, dan sebagainya yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai yang “diberi”. Bukan dalam persfektif pemberdayaan dan penyediaan hak dalam konteks dasar sikap inklusif dan anti-diskriminasi.

Kelima, soal tema tulisan. Media sering menempatkan konten disabilitas dalam jenis tulisan yang kurang tepat dan proporsinal. Misalnya, ditulis dalam bentuk berita (hard news) yang ringkas padahal, akan sangat menarik kalau ditulis dalam bentuk liputan

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 171

Page 172: Konsultasi nasional v e-book final

berkedalaman, misalnya feature. Hanya ditulis dalam bentuk artikel, padahal mungkin sangat berguna kalau ditulis dalam bentuk reportase.

Secara umum, kelima persoalan inilah yang berusaha dijawab Majalah diffa sejak dalam rancangan. Antara lain dengan menampilkan rubrik liputan mengenai pribadi-pribadi penyandang disabilitas yang berprestasi atau berjuang untuk dunia disabilitas. Liputan mengenai lembaga atau badan yang bergerak di bidang dunia disabilitas, dalam berbagai filosofi, konsep, arena dan jenis kegiatan. Berbagai kegiatan dan event penting mengenai dunia disabilitas, baik di dalam maupun luar negeri. Juga pemikiran-pemikiran penting mengenai dunia disabilitas yang ditulis para ahli. Menyediakan rubrik konsultasi mengenai pendidikan, psikologi, dan kesehatan. Memberi ruang pada penyandang disabilitas untuk berkreasi lewat tulisan puisi atau cerita pendek. Dan banyak lagi.

Solusi, Sekadar Saran

Media massa mempunyai kekuatan yang dashyat dalam mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Media massa bisa memperkuat dan menajamkan sense of humanity (humanisasi), membuat masyarakat menjadi berbudaya, beradab, dan beretika.

Media kristiani, dengan mengusung tugas pers dan misi Kasih, harus mampu menjalankan misi humanisasi itu. Menjadi media sosialisasi sekaligus kontrol atas persoalan yang menyangkut dunia disabilitas. Membangun persepsi yang benar dan proper, menyuarakan persoalan saudara-saudara dari masyarakat disabilitas, sekaligus memberikan pemahaman yang benar kepada jemaat, sehingga lahir inklusifisme dan kesetaraan dalam kasih.

Jalan ke arah itu, para pengelola media Kristiani perlu mengembangkan pola “Jurnalisme Empati” dan “Jurnalisme Advokasi”. Jurnalisme yang bisa menempatkan diri dan merasakan sebagai masyarakat disabilitas dan memberikan pembelaan.

Jangan mengaku sudah beradab kalau belum memahami disabilitas. Malu jadi pengikut Kristus kalau tidak memahami disabilitas. *

| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 172