konsul sementara aja
-
Upload
martalenasari -
Category
Documents
-
view
72 -
download
8
description
Transcript of konsul sementara aja
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pembangunan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik
masyarakat, swasta, maupun pemerintah.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan diperlukan
dukungan sistem kesehatan nasional (SKN) yang tangguh. SKN adalah suatu
tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti yang dimaksud pembukaan UUD
1945.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar terselenggaranya pembangunan
nasional salah satunya dengan berkomitmen memberikan jaminan kesehatan bagi
setiap warga Negara. Akan tetapi, banyak kendala untuk mewujudkan hal
tersebut. Sulitnya akses untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu baik dalam
hal kualitas maupun kuantitas dengan harga terjangkau merupakan salah satu
penyebabnya. Dampak yang terjadi sangat dirasakan oleh masyarakat pengguna
jasa pelayanan kesehatan, lembaga pembayar, dan penyelenggara pelayanan
kesehatan (PPK) terutama rumah sakit. Masyarakat merasa harga produk
pelayanan kesehatan semakin tidak terjangkau terlebih lagi pembayaran pelayanan
1
di rumah sakit yang sangat bervariasi antara rumah sakit yang satu dengan yang
lainnya karena adanya standar pelayanan yang berbeda-beda.
Untuk itu perlu dicari suatu solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan
di rumah sakit melalui mekanisme pembayaran pra-upaya (prospective payment
sistem) dalam bentuk tarif paket pelayanan esensial (PPE). Analisis biaya
pelayanan berbasis aktivitas dan tarif PPE ini telah berkembang menjadi tarif
paket dengan model Diagnosis Related’s Group (DRG) yang di Indonesia
dinamakan Indonesia Diagnosis Related’s Group (INA-DRG).
Lisensi INA-DRG yang merupakan software grouper dari PT. 3M
Indonesia berakhir pada tanggal 1 Oktober 2010 (expired). Selanjutnya,
Indonesia menggunakana INA-CBGs dengan sistem yang sama seperti INA-DRG
dengan beberapa peningkatan. INA-CBGs merupakan suatu sistem klasifikasi
kombinasi dari beberapa jenis penyakit/ diagnosa dan prosedur/ tindakan
pelayanan di Rumah sakit yang dikaitkan dengan pembiayaan dengan tujuan
meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan.
INA-CBGs termasuk ke dalam sistem Casemix yaitu salah satu metode/
alat yang memungkinkan upaya menetapkan ekuiti, efisiensi, dan kualitas suatu
rumah sakit dengan melakukan identifikasi dari seluruh sumber daya yang
digunakan. Oleh karena itu, jika kita berbicara tentang INA-CBGs tentu tidak
akan terlepas dari sistem Casemix begitu pun sebaliknya.
Centre for Casemix adalah sebuah wadah yang dibentuk Depkes RI, yang
bertugas mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi mengenai
pelaksanaan Casemix di 15 rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah sebagai
tempat uji coba sistem Casemix. Berbekal data yang dikirimkan dari rumah sakit-
2
rumah sakit tersebut Centre for Casemix menyusun daftar tarif INA-CBGs.
Adapun rumah sakit yang berpartisipasi dalam kerja sama ini salah satunya adalah
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan salah satu rumah sakit umum tipe
B di Kota Padang. RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah salah satu rumah sakit
pemerintah yang telah menggunakan satu sistem pembayaran dengan berdasarkan
Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s) untuk pasien rawat inap kelas 3 (tiga)
dengan jaminan asuransi Jamkesmas. Pada tahun 2012 sebanyak 7.151 pasien
(17,18%) yang dilakukan pada rawat inap dan 34.469 pasien (82,82%) pada
Instalasi Rawat Jalan.
Pemerintah melakukan segala cara untuk mengatasi masalah pembiayaan
kesehatan salah satunya dengan menggunakan sistem Costing INA-CBGs. Sistem
ini sangat bermanfaat bagi nakes sebagai penyedia layanan kesehatan maupun
bagi pasien sendiri sebagai penerima layanan kesehatan. Sistem Costing INA-
CBGs sendiri berdasarkan pengelompokkan beberapa kasus dengan diagnosa dan
ciri klinis yang sama, sehingga pasien dapat mengetahui berapa biaya yang akan
mereka keluarkan kepada rumah sakit untuk menerima pelayanan kesehatan.
Selain itu, Costing INA-CBGs ini juga dapat mengurangi moral hazard sehingga
kontrol biaya dan kontrol mutu dapat dilaksanakan.
Data yang didapat yaitu sebanyak Rp. 8.347.018.297,- selisih dari jumlah
klaim Program Jamkesmas pada instalasi rawat inap yang terdiri dari sebesar Rp.
32.290.111.340,- (untuk tarif RS) dan Rp.23.943.093.043,- (untuk tarif INA
CBGs). Sedangkan, untuk instalasi rawat jalan terdapat selisih sebesar
Rp.5.597.998.045,- yang terdiri atas Rp. 2.312.606.351,- untuk tarif RS dan
3
sebesar Rp. 7.910.604.396,- untuk tarif INA-CBGs. Ini menunjukkan cost RS
lebih besar dari tarif INA CBGs, berarti efektifitas dan efisiensi belum dilakukan
oleh pihak rumah sakit. Dengan kata lain kendali biaya dan kendali mutu RS
masih belum optimal.
Sistem Costing di RSUP Dr. M. Djamil Padang belum menggunakan
sistem Costing INA-CBGs yaitu pengelompokan penyakit dengan diagnosa dan
ciri klinis yang sama melainkan masih menggunakan sistem Costing secara umum
yang sesuai dengan kebutuhan Kemenkes. Sedangkan, idealnya Costing INA
CBGs dilakukan berdasarkan pengelompokkan penyakit dengan diagnosa dan ciri
klinis yang sama bukan secara umum sesuai dengan kebutuhan untuk pengiriman
data kepada Kemenkes saja. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis
bagaimana sistem Costing dalam implementasi INA-CBGs di RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2013.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana system
Costing dalam implementasi Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) di RSUP
DR.M.Djamil Padang Tahun 2013.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a) Diketahuinya ketersediaan Input (kebijakan, tenaga, dana, alat dan bahan,
metode) pada pelaksanaan sistem Costing dalam implementasi Indonesia
Case Base Groups (INA- CBGs) di RSUP DR.M.Djamil Padang Tahun
2013.
4
b) Mengetahui proses (……………………) pada pelaksanaan sistem
Costing dalam implementasi Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) di
RSUP DR.M.Djamil Padang Tahun 2013.
c) Mengetahui hasil/output pada pelaksanaan sistem Costing dalam
implementasi Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) di RSUP
DR.M.Djamil Padang Tahun 2013.
1.3 MANFAAT
1.3.1 Aspek Teoritis
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi para akademisi
dan pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dalam teori tentang analisis sistem
Costing dalam impelementasi Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) di
RSUP DR.M.Djamil Padang Tahun 2013.
1.3.2 Aspek Praktis
Sebagai masukan bagi instansi terkait terhadap program Jamkesmas (Kelas
III) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi input, proses dan output dari
penggunaan sistem Costing berbasis INA-CBGs yang nantinya pada tahun 2014
akan dipakai untuk semua kelas di Rumah Sakit dalam rangka menyambut
kebijakan baru Pemerintah yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan
memberikan masukan bagi rekan-rekan yang ingin melakukan pengembangan
penelitian tentang analisis pelaksanaan sistem Costing dalam impelementasi
Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs).
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian diatas pada latar belakang maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan system Costing dalam implementasi
5
Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) di RSUP DR.M.Djamil Padang Tahun
2013?
1.5 Ruang Lingkup
????????????????????????????????????????????????????????????????
6
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DRG’s (Diagnosis Related Group)
Diagnostic Related Group (DRG) berasal dari Amerika Serikat, dimana
DRG dikembangkan pada akhir tahun 1960-an oleh Prof. Bob Fetter di
Universitas Yale. Sistem DRG didesain untuk mengeompokkan secara bersama
pasien rawat inap akut yang secara klinis mirip dan memiliki kesamaan pola
penggunaan sumber daya. DRG menyediakan cara yang bermakna secara klinis
untuk emnghubungkan jumlah dan tipe pasien yang dirawat dengan sumber daya
yang digunakan. Kelompok DRG dihasilkan dari data diagnostic, prosedur, dan
demografis yang secara rutin dikumpulkan pada lembar rekam medis pasien rawat
inap. Motivasi awal dari pengembangan DRG adalah menciptakan sebuah
kerangka kerja untuk memantau kualitas pelayanan dan utilisasi pelayanan di
rumah sakit, serta sebagai suatu cara untuk mengukur dan mengevaluasi keluaran
(output) sector pelayanan kesehatan.
DRG’s sendiri merupakan suatu cara untuk mengidentifikasikan pasien
yang mempunyai kebutuhan dan keperluan sumber-sumber yang sama di rumah
sakit kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok yang mudah dikelola
kebutuhannya. Australian Refined Diagnosis Related Group (AR-DRG)
mendefinisikan DRG sebagai a patient classification sistem that provides a
clinically meaningful way of relating the types of patients treated in hospital to
the resources required by the hospital. DRG’s dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai pengelompokkan penyakit menurut diagnosis.
7
Motivasi utama untuk mengembangkan DRG adalah untuk menciptakan
framework yang efektif untuk memonitor penggunaan pelayanan dalam rumah
sakit. Sementara itu tujuan awal pembuatan DRG’s adalah untuk menggabungkan
casemix dengan kebutuhan sumber daya dengan biaya rumah sakit. DRG’s
terutama berfokus kepada intensitas sumber daya. DRG’s dan clinical pathway
merupakan cikal bakal dari casemix yang merupakan sistem klasifikasi pasien
yang dikombinasikan dengan jenis penyakit yang dihubungkan dengan biaya
selama perawatan.
Depkes sudah mencoba memulainya dengan menerapkan PPE sebagai
jembatan menuju DRG’s dan memperkenalkan konsep ini ke berbagai rumah sakit
sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, implementasinya terasa sangat sulit sekali
hingga pada awal September 2005 tim dari Universitas Kebangsaan Malaysia
dengan didampingi tim dari UGM dan UI diminta Depkes untuk mensupport
perencanaan Depkes dengan uji coba pada 15 RSUP di Indonesia dengan model
pendekatan yang paling mungkin bisa dilaksanakan. Pemerintah, berdasarkan
keputusan Mentri Kesehatan RS No. 989/ Menkes/ SK/ IX/ 2007 berencana akan
memberlakukan INA DRG mulai 1 September 2007 untuk kelas III di RS
Pemerintah di selurih Indonesia dan 1 Oktober untuk kelas lainnya.
INA-DRG adalah suatu sistem klasifikasi kombinasi dari beberapa jenis
penyakit/ diagnosa dan prosedur/ tindakan pelayanan di rumah sakit dan
pembiayaannnya yang dikaitkan dengan mutu serta efektifitas pelayanan terhadap
pasien. INA DRG merupakan sistem pemerataan, jangkauan, dan berhubungan
dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsure dalam
pembiayaan kesehatan. Selain itu sistem ini juga dapat digunakan sebagai salah
8
satu standar penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam pemberian
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2.1.1 Tujuan Diagnostic Related Group (DRG)
Tujuan dari pelaksanaan Diagnosis Related Group (DRG) antara lain:
a. Kontrol biaya
Jika biaya ditetapkan secara prospektif dan dibayar dengan tanpa melihat
lama tinggal pasien, rumah sakit didorong untuk menghindari biaya yang tidak
penting, khususnya jika ekses dari angka pembayaran melebihi biaya aktual yang
optimal. Berdasarkan indeksasi, metode per diem yang ada dari pembayaran tetap
kecuali bahwa biaya yang reasonable disesuaikan dengan jumlah kompleksitas
casemix.
b. Jaminan mutu
Program jaminan mutu dijalankan terutama melalui pemanfaatan /
utilization. Melalui data DRG yang berguna untuk evaluasi perawatan medis. Data
akan memungkinkan bagi komite yang sesuai untuk membuat perbandingan untuk
pembiayaan, beban/ongkos (charge), dan lama tinggal, dan pelayanan individual
menurut kelompok penyakit antar rumah sakit. Permasalahan yang dicurigai dapat
diuji lebih lanjut dengan informasi yang dibutuhkan, yang diperoleh melalui
diagnosis dalam DRG.
c. Perencanaan
Informasi berdasarkan DRG dapat berguna untuk berbagai macam
keperluan / tujuan. Dalam beberapa hal, DRG dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan staf tenaga medik dalam kasus-kasus tertentu akibat
dari perubahan volume bauran casemix. Data DRG juga bisa digunakan sebagai
9
informasi bagi pihak ketiga sebagai payer untuk membandingkan provider mana
yang menghasilkan pelayanan pada unit cost yang paling rendah.
2.1.2 Syarat dalam Keberhasilan Implementasi DRG
Data yang harus ada dalam Diagnostic Related Group (DRG) yang
menjadi syarat dalam keberhasilan implementasi DRG tergantung pada 3 C
(coding,costing, dan clinical pathway).
a. Coding
Proses terbentuknya tarif DRG tidak terlepas dari adanya peran dari sistem
informasi klinik rekam medis. Tujuan rekam medis untuk menunjang tercapainya
tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Tertib administrasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga keberhasilan pelaksanaan DRG pun
sangat tergantung dengan data pada rekam medis. Data dasar dalam INA-DRG
terdiri dari 14 variabel, yaitu :
1) Identitas Pasien
2) Tanggal masuk rumah sakit
3) Tanggal keluar rumah sakit
4) Lama hari rawatan
5) Tanggal lahir
6) Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan tahun)
7) Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan hari)
8) Umur ketika keluar dari rumah sakit (dalam satuan hari)
9) Jenis kelamin
10) Status keluar rumah sakit (discharge disposition)
10
11) Berat badan baru lahir
12) Diagnosis utama
13) Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas
14) Prosedur atau pembedahan utama.
b. Costing
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan
pembiayaan untuk DRG, yaitu :
1) Top Down Costing
2) Activity Based Costing (ABC)
c. Clinical Pathway
Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien berdasarkan
standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan
tenaga kesehatan lainnya.
2.1.3 Mekanisme Pembayaran Berdasarkan DRG
Hendrartini menyebutkan mekanisme pembayaran berdasarkan Diagnosis
Related Group ’s ( DRG ’s) adalah suatu sistem imbalan jasa pelayanan pada
Prospective Payment Sistem (PPS)/ suatu sistem pembayaran pada pemberian
pelayanan kesehatan, baik rumah sakit atau dokter dalam jumlah yang ditetapkan
sebelum suatu pelayanan di berikan tanpa memperhatikan tindakan yang
dilakukan atau lamanya perawatan. Sedangkan Hartono menyatakan bahwa
mekanisme pembayaran berdasarkan DRG adalah suatu mekanisme pembayaran
11
yang ditetapkan berdasarkan pengelompokkan diagnosa, tanpa memperhatikan
jumlah/pelayanan yang diberikan.
Hartono menyebutkan pentingnya mengontrol pembayaran melalui
mekanisme berbasis DRG, meskipun belum di terapkan di Indonesia. beliau
menyebutkan adanya perbedaaan tarif yang di keluarkan oleh Rumah Sakit untuk
kasus yang sama dengan kriteria yang sama karena ada perbedaan tindakan yang
di lakukan dan diagnostik yang di kerjakan sehingga terdapat kecenderungan
peningkatan tarif yang di bebankan kepada pasien.
Mekanisme untuk penyusunan pembayaran berdasarkan DRG adalah :
a. Melengkapi data pasien
DRG membutuhkan data-data yang dikumpulkan secara rutin oleh rumah
sakit seperti : Identitas pasien, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,lama
hari rawat, umur, jenis kelamin, status keluar rumah sakit, BB baru lahir
(jika neonatal), diagnosis utama, diagnosis sekunder dan prosedur
pembedahan.
b. Analisis pengkelasan dan hasil grouping DRG sesuai dengan ICD 10 yang
diterbitkan oleh WHO
Kewajiban rumah sakit untuk memberikan kode sesuai dengan ICD 10
(Klasifikasi internasional untuk penyakit).
c. Analisis biaya pasien ( DRG Cost)
. Berdasarkan laporan pertama proyek nasional, “Case Costing in Swedish
Health and Medical Care” mendeskripsikan proses pembiayaan kasus
dalam empat langkah:
1) Mengidentifikasi total biaya secara akurat
12
2) Mengalokasikan biaya-biaya tak langsung ke dalam pusat-pusat
penyerapan dana.
3) Mengidentifikasi produk-produk intermediate dan menghitung biaya-
biayanya.
4) Membagi biaya-biaya tersebut kepada pasien.
2.1.4 Casemix dan INA CBGs
Casemix merupakan salah satu metode atau alat yang memungkinkan
upaya menetapkan ekuiti, efisiensi dan kualitas suatu rumah sakit dengan
melakukan identifikasi dari bauran dan jenis kasus / pasien yang dirawat dan
identifikasi dari seluruh sumber daya yang digunakan.
Berdasarkan hasil penelitian Ronnie, Diagnosis Related Group selanjutnya
disebut DRG adalah suatu cara mengidentifikasi pasien yang mempunyai
kebutuhan dan sumber yang sama dirumah sakit kemudian dikelompokkan
kedalam kelompok yang sama. Sistem ini didasarkan pada keadaan yang
menggambarkan berbagai tipe (“mix”) kondisi pasien atau penyakit (“cases”)
selama berobat/dirawat di rumah sakit.
Ibrahim juga menyatakan bahwa casemix ditetapkan sebagai ilmu untuk
mengklasifikasikan dan menilai kuantitas dari sumber daya pelayanan kesehatan
di rumah sakit. Sistem casemix adalah solusi terbaik untuk pengendalian biaya
kesehatan karena berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem
kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan kesehatan serta
mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.
Menurut Hosizah, sistem Casemix tersebut merupakan suatu cara
mengelola sumber daya rumah sakit seefektif mungkin dalam memberikan
13
layanan kesehatan yang terjangkau kepada masyarakat berdasarkan
pengelompokkan spektrum diagnosis penyakit yang homogen dan prosedur
tindakan yang diberikan. Secara umum sistem casemix digunakan dalam hal
Quality Assurance Program, komunikasi dokter – direktur RS dan staf medical
record, perbaikan proses pelayanan, anggaran, profilling, brenchmarking, quality
control, dan sistem pembayaran.
Sistem Casemix merupakan suatu sistem pengelompokkan pasien
berdasarkan kemiripan karakteristik klinis dan homogenitas sumber daya yang
digunakan, dimana sistem ini dinilai mampu mengestimasi untuk menyediakan
pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien secara efektif
dan efisien. Sistem ini akan menghindari penggunaan alat kedokteran canggih
secara berlebihan, serta pemberian obat-obat yang tidak perlu. Dengan sistem
yang berbasis teknologi informasi ini diharapkan dapat memberikan keadilan dan
transparansi bagi pihak pemberi dan pengguna jasa pelayanan kesehatan, terutama
pelayanan di rumah sakit yang bekerjasama menyelenggarakan Jamkesmas.
Implementasi Casemix di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2006
dengan nama INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group), berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1633/Menkes/SK/XII/2005 tanggal 23
Desember 2005 tentang uji coba penerapan Sistem DRG Casemix. Dimana pada
tahap awal implementasi tersebut melibatkan 15 rumah sakit pilot project yang
terdiri dari rumah sakit vertical. Kementerian Kesehatan RI menjajaki kerjasama
dengan United Nation University-International Institute for Global Health (UNU-
IIGH) di Malaysia. Dengan terjadinya pergantian ini maka terjadi pula perubahan
nama dari INA-DRG menjadi INA-CBG’s (Indonesia-Case Based Group’s).
14
Bentuk kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dan UNU-IIGH adalah
serangkaian kegiatan teknis untuk pengembangan dan implementasi sistem
Casemix di Indonesia hingga terciptanya “local norm”, yang nantinya mutlak
menjadi milik Kementerian Kesehatan RI. INA-DRG adalah variasi sistem
casemix untuk Indonesia yang disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit
vertikal, mempergunakan ICD 10 untuk diagnosis dan ICD 9 CM untuk prosedur
tindakan serta biaya berdasarkan tarif yang berlaku pada waktu tersebut. Kunci
Utama dalam pelaksanaan INA DRG adalah :
a. Tulis selengkapnya oleh tenaga medis/paramedis mengenai:
1) Diagnosis Utama
2) Diagnosis Komplikasi
3) Diagnosis Penyakit Penyerta
b. Tulis Kodefikasi Diagnosis diatas berdasarkan ICD 10 dan prosedur
tindakan yang diberikan sesuai ICD 9 CM
c. Ketersediaan dan kesiapan petugas koder dan IT dalam menerapkan
software Grouper.
Kajian dari sistem casemix yang menjadi perhatian adalah bauran kasus,
yaitu apakah diagnosis utama yang ditegakkan pasien serta komplikasi apa yang
mungkin terjadi akibat diagnosis utama tersebut. Diagnosis utama itulah yang
dijadikan acuan untuk menghitung biaya pelayanan. Penghitungan biaya berfokus
pada variabel tersebut, sehingga rumah sakit tidak akan mencantumkan hal-hal
yang tidak seharusnya dalam pembayaran dan penghitungan biaya menjadi lebih
mudah dan tepat. Prioritas pelayanan pasien akan diberikan sesuai dengan tingkat
keparahan, dan tidak dilakukan secara sembarangan. Ini tentunya dapat menekan
15
biaya pelayanan kesehatan yang kerap menjadi masalah bagi masyarakat,
khususnya masyarakat miskin.
Ronnie menyatakan bahwa pembayaran perawatan di rumah sakit berdasar
DRG adalah cara pembayaran perawatan di rumah sakit berdasarkan diagnosis,
bukan berdasarkan utilisasi pelayanan medis maupun non medis yang diberikan
kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Besarnya
pembayaran/tarif per diagnosis telah ditetapkan sebelumnya, sehingga bila biaya
yang dikeluarkan oleh rumah sakit lebih kecil dari tarif yang telah disepakati
maka selisihnya merupakan keuntungan bagi rumah sakit, tetapi bila biaya yang
dikeluarkan rumah sakit lebih besar daripada tarif yang telah disepakati maka
selisihnya merupakan kerugian bagi rumah sakit.
Johari menyatakan selain memberikan fokus dalam masalah penghitungan
biaya, casemix juga memberikan standar nasional mengenai berapa biaya yang
harus dikenakan untuk diagnosis tertentu. Hal ini memberikan kepastian sekaligus
transparansi pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Sehingga biaya dapat diprediksi, dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit pun
dapat lebih pasti.
2.1.5 Manfaat INA-CBGs
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penerapan kebijakan program
Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis dan Ekonomi. Dari segi
medis, para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif,
tetapi langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara
ekonomi, dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam
16
penganggaran biaya kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan akan mengitung
dengan cermat dan teliti dalam penganggaranya.
a. Bagi pasien
Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas
pengobatan berdasarkan derajat keparahan
Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay)
pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari
para petugas rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang
dilakukan biayanya sudah ditentukan.
Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih
baik.
Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang
berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang
dihadapi pasien.
b. Bagi rumah sakit
Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada
beban kerja sebenarnya.
Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan Rumah
Sakit.
Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan
yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat
keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau
17
multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta
dapat memonitor QA dengan cara yang lebih objektif.
Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang
lebih akurat.
Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang
diberikan oleh masing-masing klinisi.
Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian
budget anggaran.
Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan
Clinical Pathway.
c. Bagi penyandang dana pemerintah (provider)
Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian
anggaran pembiayaan kesehatan.
Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap
masyarakat luas akan akan terjangkau.
Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik
sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/ Pemerintah.
Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan
berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya.
2.2 RS dengan sistem Casemix
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Fungsi rumah sakit merupakan pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan
18
sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitasi)
pasien.
Tahap awal implementasi sistem Casemix di Indonesia melibatkan 15
Rumah Sakit sebagai pilot project yang terdiri dari:
1) RSU H. Adam Malik, Medan
2) RSUP Dr. M. Djamil, Padang
3) RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang
4) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5) RSUP Fatmawati, Jakarta
6) RSUP Persahabatan, Jakarta
7) RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta
8) RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
9) RS Kanker Dharmais, Jakarta
10) RSUP Hasan Sadikin, Bandung
11) RSUP Dr. Kariadi, Semarang
12) RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
13) RSUP Sanglah, Denpasar
14) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
15) RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado
Data yang lengkap dan akurat dari sistem casemix dapat berfungsi untuk
memajukan rumah sakit dalam melakukan penilaian terhadap berbagai pelayanan
yang telah diberikan. Sehingga efektivitas pelayanan kesehatan dapat terkontrol
19
dan dievaluasi serta rumah sakit memiliki acuan yang jelas dalam usaha
meningkatkan mutu pelayanan mereka.
Pelaksanaan sistem casemix tidak terlepas dari berbagai kendala, salah
satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya. Sampai
saat ini, selain ke-15 rumah sakit berpartisipasi, rumah sakit di Indonesia banyak
yang belum mulai menggunakan pengkodean medis. Padahal, kunci sukses dari
penyusunan casemix adalah pada diagnosa dan pengkodean yang teliti sehingga
Costing dari setiap kelompok penyakit dengan diagnosa yang sama dapat
diterapkan.
2.3 Analisa Costing (biaya) di Rumah Sakit
2.3.1 Jenis Biaya
Definisi dasar biaya adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan untuk
memproduksi dan mengkonsumsi suatu komoditi tertentu. Dengan demikian
pengertian biaya meliputi semua jenis pengorbanan, bisa dalam bentuk uang,
barang, waktu yang hilang, kesempatan yang hilang dan bahkan kenyamanan
yang terganggu. Ada beberapa cara klasifikasi biaya, seperti diuraikan berikut ini:
a. Berdasarkan sifat kegunaannya:
- Biaya investasi, adalah biaya yang manfaatnya dapat dipergunakan selama
lebih dari satu tahun. Patokan satu tahun didasarkan pada kalaziman
bahwa perencanaan anggaran biasanya dilakukan setiap tahun. Termasuk
dalam klasifikasi biaya investasi adalah biaya gedung, biaya alat medis,
dan biaya alat nonmedis.
- Biaya pemeliharaan, adalah biaya yang fungsinya untuk mempertahankan
atau memperpanjang kapasitas barng investasi. Dengan demikian
20
klasifikasinya mengikuti klasifikasi biaya investasi, yaitu biaya gedung,
biaya alat medis, dan biaya alat nonmedis.
- Biaya operasional, adalah biaya yang diperlukan untuk memfungsikan
atau mengoperasikan barang infestasi. Termasuk dalam klasifikasi ini
adalah biaya personel (gaji), biaya obat dan bahan, biaya makan, biaya
ATK, dan biaya umum (listrik, air, telepon, perjalanan,dan lain-lain).
b. Berdasarkan hubungannya dengan jumlah produk (output):
- Biaya tetap (fix cost), adalah biaya yang besarnya relatif tidak dipengaruhi
oleh jumlah output atau produksi yang dihasilkan. Termasuk dalam
klasifikasi ini adalah barang-barang investasi yang disebutkan di atas.
- Biaya semivariabel (semivariable cost), adalah biaya yang sebetulnya
tidak mengoperasionalkan barang investasi, akan tetapi besarnya tidak
terpengaruh oleh banyaknya produksi. Termasuk dalam kasufikasi ini
adalah biaya gaji pegawai tetap.
- Biaya variable (variable cost), adalah biaya yang besarnya dipengaruhi
oleh banyaknya produksi. Misalnya biaya jarum suntik dalam pelayanan.
c. Berdasarkan fungsinya dalam proses produksi
- Biaya langsung (direct cost), adalah biaya yang manfaatnya langsung
merupakan dari produk atau barang yang dihasilkan. Misalnya biaya jarum
suntik.
- Biaya tak langsung (indirect cost), adalah biaya yang manfaatnya tidak
menjadi bagian langsung dalam produk , akan tetapi merupakan biaya
yang diperlukan untuk menunjang unit-unit produksi.
21
2.3.2 Pusat Biaya
Pusat biaya adalah unit fungsional dimana biaya-biaya tersebut
dipergunakan. Untuk rumah sakit pusat biaya tersebut secara garis besar dapat
dibagi dua, yaitu (1) pusat biaya penunjang, yaitu unit-unit yang tidak langsung
memproduksi produk rumah sakit dan (2) pusat biaya produksi, yaitu unit-unit
dimana pelayanan rumah sakit dihasilkan.
Yang termasuk pusat biaya penunjang misalnya adalah unit pimpinan dan
tata usaha, unit pemeliharaan, unit CSSD/ Laundry, unit dapur, dan lain-lain.
Yang termasuk pusat biaya produksi misalnya adalah laboratorium klinik,
laboratorium patologi anatomi, bagian radiologi, unit rawat jalan, unit gawat
darurat, unit ICU/ ICCU, unit bedah, unit rawat inap, unit rehabilitasi medis, unit
kamar jenazah, dan lain-lain.
2.3.3 Distribusi Biaya
Dalam analisa biaya rumah sakit telah dikembangkan beberapa metode
untuk melakukan distribusi biaya tersebut., yaitu metode distribusi sederhana
(simple distribution method), metode distribusi anak tangga (step down method),
metode distribusi ganda (double distribution method), dan metode distribusi
multiple (multiple distribution method).
2.3.4 Costing INA CBGs
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan
pembiayaan untuk DRG, yaitu :
1) Top Down Costing
22
Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data
keuangan rumah sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan
rawat inap. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan pengeluaran-
pengeluaran tersebut ke masing-masing cost center seperti bangsal rawat inap
(wards), gaji dan jasa medis tenaga medis dan paramedis (medical salaries),
ruang operasi (operating room), bahan dan barang farmasi (pharmacy), radiologi
(radiology), patologi (pathology), dan pekerja sosial serta unit-unit biaya lain
yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan.
2) Activity Based Costing (ABC)
ABC adalah suatu metodologi pengukuran biaya dan kinerja atas aktivitas,
sumber daya, dan objek biaya. ABC memilik dua elemen utama, yaitu pengukuran
biaya (cost measures) dan pengukuran kinerja (performance measures). Sumber
daya-sumber daya ditentukan oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan, sedangkan
aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan yang digunakan oleh objek
biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas mengkonsumsi sumber
daya untuk memproduksi sebuah keluaran (output), yaitu penyediaan layanan
kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di atas, keterkaitan antara
service lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang dikeluarkan penyedia sumber
daya dalam kerangka interaksi antara pengguna layanan, rumah sakit, dan
penyedia sumber daya.
23
2.4 Costing INA-CBGs di RSUP Dr. M. Djamil Padang
System INA-CBGs sudah digunakan di RSUP. Dr. M. Djamil Padang
pada pasien Jamkesmas (Kelas 3). Rencananya, pada tanggal 1 Januari 2014
sesuai dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka
menyongsong Universal Coverage, system ini akan digunakan untuk setiap kelas
di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Implementasi Costing INA_CBGs di RSUP Dr.
M. Djamil Padang sudah ada namun masih secara umum, bukan sesuai diagnosa
kelompok penyakit yang sama. Idealnya sistem Costing INA-CBGs ini
menggunakan sistem Costing per diagnosa kelompok penyakit yang sama.
Sementara itu, Costing pasien jamkesmas di RSUP Dr. M. Djamil Padang dalam
rangka implementasi INA CBGs masih secara umum sesuai dengan kebutuhan
data yang diperlukan Kemenkes (Lihat Lampiran 1). RSUP Dr. M. Djamil Padang
masih dalam perencanaan untuk mengaplikasikan Costing per diagnosa kelompok
penyakit yang sama sesuai dengan implementasi INA CBGs (Lihat lampiran 2).
KERANGKA TEORI
…….
KERANGKA KONSEP
…………….
24
BAB 3 : METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu untuk
menganalisis sistem Costing dalam implementasi INA-CBGs di RSUP Dr. M.
Djamil Padang tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dari informan terpercaya
karena informasi didapatkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki nara sumber serta bersifat deskriptif dan fokus pada fakta lapangan.
3.2 `Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di RSUP
DR.M.Djamil Padang.
3.3 Informan
Pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan
orang-orang yang dianggap mengetahui tentang tujuan penelitian yang selanjutnya
disebut dengan informan penelitian. Penentuan sumber data pada orang yang
diwawancarai atau informan penelitian dilakukan secara Purposive Sampling,
yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.27
a. Informan mengetahui secara lebih luas dan mendalam sehubungan
dengan objek penelitian.
b. Informan dapat dipercaya dan kompeten sebagai sumber data
sehubungan dengan objek penelitian.
Informan Penelitian ini adalah:
1) 1 orang Direktur Keuangan RSUP Dr. M. Djamil Padang.
25
2) 2 (satu) orang Kabag ; bagian Akutansi dan PMD (Perbendaharaan dan
Mobilisasi Dana RSUP Dr. M. Djamil Padang.
3) 1 orang staf sub. Bagian Mobilisasi dana RSUP Dr. M. Djamil Padang.
4) 1 orang bagian Instalasi rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padang.
5) 2 orang dokter RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dimana informan didapatkan dengan wawancara mendalam (indepth
interview). Teknik ini biasanya melekat erat dengan penelitian kualitatif.
Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara di mana pewawancara dan informan
terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Keunggulannya ialah
memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak, sebaliknya
kelemahan ialah karena wawancara melibatkan aspek emosi, maka kerjasama
yang baik antara pewawancara dan yang diwawancari sangat diperlukan.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah peneliti sendiri dengan menggunakan panduan wawancara dan check
list yang sudah disusun secara tertulis sesuai dengan masalah, kemudian
digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan menilai sarana
pengumpulan data. Panduan wawancara berisi daftar pertanyaan yang akan
diajukan kepada informan dan juga dibantu dengan menggunakan tape recorder,
buku catatan dan camera digital sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih
lengkap.
26
3.5 Pengumpulan Data
3.5.1 Data Primer
Data primer adalah data dasar yang sudah ada/ dipublikasikan, sehingga
dapat dikaji dan dianalisis. Data primer pada penelitian ini antara lain:
- Data biaya pasien
- Data pengeluaran RS
- Data pendapatan RS
- Data Klaim Jamkesmas
- Data tarif INA-CBGs
3.5.2 Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pencatatan hasil wawancara dari Informan yang
telah ditentukan di RSUP DR.M.Djamil Padang pada jangka waktu yang telah
ditentukan.
3.5.3 Cara Pengumpulan Data
a. Observasi (Pengamatan)
Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung dimana peneliti
melihat langsung kegiatan dimana penelitian diadakan.
b. Interview (Wawancara)
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semiterstruktur, wawancara
ini sudah termasuk dalam kategori indepth interview. Pelaksanaannya
lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Pewawancara
membawa panduan pertanyaan lengkap dan terperinci sesuai dengan
obyek penelitian.
27
c. Dokumentasi
Merupakan cara pengumpulan data yang didapat dengan cara
pengumpulan catatan peristiwa yang telah lalu baik berbentuk tulisan
(peraturan, keputusan, kebijakan) ataupun gambar.
3.6 Pengolahan dan Analisa Data
3.6.1 Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan
langkah- langkah sebagai berikut :29
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam (Indepth
interview) direduksi kedalam matriks hasil wawancara. Kemudian data-data
itu dikategorikan ke dalam input, proses dan output sehingga diperoleh pola
keteraturan data yang jelas.
b. Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data
(data display). Data-data yang sudah dikategorikan dapat disajikan dalam
bentuk narasi.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion drawing/ verification)
Setelah data disajikan, selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung
pada tahap pengumpulan data berikutnya.
28
3.6.2 Analisa Data
Analisa data yang akan dipakai untuk menganalisis data penelitian ini
dilakukan dengan teknik analisis isi (content analysis) yaitu membandingkan
dengan teori- teori yang ada pada tinjauan pustaka dan dianalisis segera setelah
dilakukan wawancara untuk menghindari kesalahan yang mungkin timbul.
Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian. Untuk menjaga keabsahan data digunakan triangulasi
yaitu :29
a) Triangulasi sumber, dilakukan dengan cara mewawancarai hal yang sama
melalui informan yang berbeda.
b) Triangulasi metode, dilakukan dengan cara mewawancarai hal yang sama
melalui metode yang berbeda, yaitu dengan wawancara mendalam, dan
observasi.
c) Triangulasi waktu, pengumpulan data dilakukan dengan berbagai
kesempatan, pagi, siang dan sore hari.
29
3.7 Definisi Operasional
Variabel Definisi OperasionalCara
Pengukuran
Alat
UkurHasil Ukur
Indikato
r
1. Inp
ut
a) ..
b) ..
2. Pro
ses
3. Out
put
??????????????????????????????????????????????????????????????????
Input biaya yang dikeluarkan antara lain: biaya Penunjang Umum
(Overhead), Biaya penunjang Medik (Intermediete), dan Biaya Pelayanan
Medis (Final).
Proses Analisa Data yaitu proses pengumpulan data dari perhitungan
Costing
Output Cost / Biaya
30
??????????????????????????????????????????????????????????????????
???????????
31