konstruksi realitas film

17
Konstruksi Realitas Film (Pendekatan Perspektif Luhamnn dan Paradigma Konstruktivisme) Pendahuluan Dewasa ini menjadi suatu kenyataan yang tidak terbantahkan dan sangat mempengaruhi komunikasi dalam masyarakat modern adalah keberadaan media massa (cetak ataupun elektronik). Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dan ketergantungan manusia terhadap media massa sudah sedemikian sedemikian besar. Demikian Luhmann seorang tokoh sosiologi modern mengemukakan betapa media massa memepengaruhi realitas manusia, yakni menurutnya apapun yang kita ketahui mengenai masyarakat, atau tentang dunia yang kita tinggali, kita mengetahuinya melalui media massa. Demikian kita seringkali menggunakan media massa sebagai landasan dan titik awal kita dalam mendefinisikan realitas 1 . Sehingga dapat dikatakan media massa mampu membentuk masa depan umat manusia. Karena media massa telah mempengaruhi dan membentuk realitas manusia. Film merupakan salah satu produk media massa yang memiliki kemampuan dalam mekonstruksi realitas. Pada awal perkembangannya film memiliki sejarah yang panjang yakni sebagai pembentuk realitas sosial. Melalui film ide-ide mengenai lingkungan sebagaimana adanya ditanamkan kepada masyarakat. Baik itu realitas mengenai hubungan perempuan dan laki-laki di citrakan di dalam film, bagaimana pemerintah 1 Lihat Niklas Luhmann, 2000. The Reality of the Mass Media. U.S.A.: Blackwell Publisher Stanford University.

Transcript of konstruksi realitas film

Konstruksi Realitas Film(Pendekatan Perspektif Luhamnn dan Paradigma Konstruktivisme)

PendahuluanDewasa ini menjadi suatu kenyataan yang tidak terbantahkan dan sangat mempengaruhi komunikasi dalam masyarakat modern adalah keberadaan media massa (cetak ataupun elektronik). Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dan ketergantungan manusia terhadap media massa sudah sedemikian sedemikian besar. Demikian Luhmann seorang tokoh sosiologi modern mengemukakan betapa media massa memepengaruhi realitas manusia, yakni menurutnya apapun yang kita ketahui mengenai masyarakat, atau tentang dunia yang kita tinggali, kita mengetahuinya melalui media massa. Demikian kita seringkali menggunakan media massa sebagai landasan dan titik awal kita dalam mendefinisikan realitas [footnoteRef:1]. Sehingga dapat dikatakan media massa mampu membentuk masa depan umat manusia. Karena media massa telah mempengaruhi dan membentuk realitas manusia. Film merupakan salah satu produk media massa yang memiliki kemampuan dalam mekonstruksi realitas. Pada awal perkembangannya film memiliki sejarah yang panjang yakni sebagai pembentuk realitas sosial. Melalui film ide-ide mengenai lingkungan sebagaimana adanya ditanamkan kepada masyarakat. Baik itu realitas mengenai hubungan perempuan dan laki-laki di citrakan di dalam film, bagaimana pemerintah menggunakan film sebagai media propaganda dengan tujuan pemebentukan realitas yang sesuai dengan ideologi pemerintah yang berkuasa. Terakhir mengenai bagaimana film di dalam wacana postmodern disajikan melampaui realitas sosial. [1: Lihat Niklas Luhmann, 2000. The Reality of the Mass Media. U.S.A.: Blackwell Publisher Stanford University.]

Demikian makalah ini akan membahas mengenai film yang memiliki kemampuan untuk menkonstruksi realitas. Untuk mempermudah dalam penyampaian gagasan maka penulis membagi makalah ini dalam empat bagian, yakni bagian pertama membahas teori sistem sosial karya Luhmann. Bagian kedua memaparkan mengenai paradigma konstruktivisme. Serta bagian ketiga akan membahas media massa.dan bagian keempat membahas mengenai konstruksi realitas film.

Teori Sistem Niklas LuhmannNiklas Luhmann adalah tokoh sosiologi terkemuka abad ke-20 yang memiliki konsepsi yang baru mengenai masyarakat (Society) Dengan pemikirannya yang radikal antihumanis, radikal antiregional, dan radikal konstruktivistik, melalui teori sistem sosial Luhmann bermaksud untuk membawa pencerahan dalam kajian sosiologis. Ia mengatakan bahwa masyarakat tidak terdiri dari individu-individu yang berinteraksi satu sama lain, juga tidak didasarkan akan konsensus nilai, juga bukan merupakan sebuah teks sebagaimana menurut teori-teori sosial interpretatif, melainkan sistem yang terus menerus menciptakan dirinya sendiri. Dimana Luhmann tidak melihat masyarakat sebagai objek, sebagaimana dalam pandangan umum teori-teori sosial yang umum, melainkan subjek yang merupakan bagian dari realitas yang dijelaskan itu (Sitorus, 2008). Dalam mengamati berarti menggunakan suatu pembedaan (distinction) untuk menandai (indicate) satu hal yang diamati (Luhmann, 1990: 261). Seorang pengamat (observer) hanya dapat mengamati hal hal yang keberadaaanya lepas (independent) dari pengamat tersebut karane pengamat itu-dengan kongnisi, sosialisasi, dan emosinya-sekaligus menjadi bagian dari hasil pengamatannya. Dengan demikian, tidak mungkin ada pengamat independen yang memiliki kebenaran mutlak (Krause, 1999, Hanitszh, 2001). Jika teori-teori sosial sebelumnya beranggapan bahwa eksistensi masyarakat dimungkinkan berdasarkan tatanan, kontinuitas dan stabilitas berdasarkan nilai yang dimilki bersama serta adanya struktur yang mengatur peran-peran sosial setiap individu, tetapi menurut Luhmann kategori tersebut tidak begitu signifikan. Bagi luhmann perbedaan (difference) merupakan hal yang utama. Diferensiasi merupakan motor pengerak dibelakang semua peristiwa didalam masyarakat . Masyarakat sebagai sistem terbentuk oleh diferensiasi-diferensiasi. Sistem adalah hasil diferensiasi : diferensiasi sosial sama yang sama dengan teori sosial (karena masyarakat terdiri dari sistem yang merupakan hasil dari diferensiasi-differensiasi). Kunci untuk memahami apa yang dimaksud Luhmann sebagai sistem dapat ditemukan dalam pemisahan antara sistem dengan lingkungannya. Demikian perbedaan antara keduanya merupakan kompleksitas. Sistem selalu kurang kompleks bila dibandingkan dari lingkungannya. Sehingga sistem merupakan hasil reduksi dari kompleksitas lingkungan. Sehingga keberhasilan suatu sistem adalah kemampuannya dalam mereduksi kompleksitas lingkungan. Selain itu konsep utama lainnya yakni sistem autopoiesis yang berasal dari kata Yunani autos (= sendiri) dan poiein (= membuat), maka artinya adalah menciptakan diri, menghasilkan diri atau organisai diri. Mahluk hidup adalah suatu sistem autopoiesis, yakni bahwa sistem ini hidup dan menghasilkan dan mempertahankan dirinya dengan menciptakan komponen-komponennya sendiri. Tujuan sistem ini adalah dirinya sendiri, maka disebut yang berciri self refrensial (Hardiman, 2008: 6). Disamping itu Luhmann berargumen bahwa masyarakat adalah suatu sistem autopoiesis. Karena memenuhi empat karakteristik di atas- masyarakat menghasilkan unsur dasarnya sendiri (Rizter, 2010). Demikian Sistem autopoiesis memiliki beberapa ciri yakni pertama sistem autopoiesis mengasilkan unsur-unsur dasar yang membangun sistem. Kedua menata dirinya dengan dua cara-sistem tersebut menata batas-batas (boundaries) dan struktur internalnya sendiri (internal boundaries). Ketiga merujuk pada dirinya sendiri. Keempat sistem autopoiesis adalah sistem tertutup. Masyarakat adalah komunikasi terang Luhmann, individu disini dipandang relevan bagi masyarakat sejauh ia ambil bagian (berkomunikasi). Demikian bagian diri pribadi yang tidak dikomunikasikan adalah bukan bagian dari masyarakat. Sehingga apapun yang bukan komunikasi merupakan bagian dari lingkungan. Dalam hal ini sistem psikis adalah kesadaran individu, sistem psikis dan masyarakat-sistem seluruh komunikasi memiliki kesamaaan yakni bersandar pada makna. Makna terkait dengan pilihan pilihan suatu sistem. Makna muncul dari adanya kontigensi. Jika tidak ada latar belakang yang berbeda maka tidak akan ada makna tindakan bisa bermakna sejauh pilihan dilakukan dari berbagi kemungkinan tindakan. Demikian karena perbedaan makna dan adanya kontigensi (kemungkinan) memunculkan masalah kontigensi ganda yakni merujuk pada fakta bahwa setiap komunikasi harus mempertimbangkan bagaimana ia akan diterima. Demikian kontigensi ganda merupakan kelipatan perspektif yang kontingen dari dua belah pihak yang saling berhadapan.

Paradigma Konstruktivisme RadikalBertolak dari asumsi bahwa kita tidak mungkin dapat mengetahui dunia sedemikian adanya karena otak kita merupakan sistem yang self-referensial dan tidak memiliki kontak langsung dengan realitas murni. Dengan demikian, konstruktivisme radikal tergolong skeptitisisme radikal karena tidak memungkinan pengetahuan mutlak. Dunia yang kita lihat adalah khayalan, ungkapan Heinz von Foerster dalam sebuah ceramah pada tahun 1973 (1985, dalam Hanitzsch, 2001: 224). Persepsi realitas hakekatnya adalah konstruksi individu dan tidak dapat diukur tingkat kesamannnya dengan realitas obyektif . Oleh karena itu, kriteria kebenaran perlu diganti dengan kriteria baru, yaitu manfaat dan kecocokan dengan tujuan yang diinginkan (Frindte, 1998, Hanitzsch, 2001: 224). Sehingga paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk mengetahui dunia makna (world of meaning) mereka harus menginterpretasikannya. Yakni dengan menyelelidiki proses pembentukan arti yang muncul dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para aktor.

Media MassaLuhmann (2000) dalam mendefinisikan media massa adalah termasuk didalamnya semua institusi masyarakat yang menggunakan teknologi pengkopian untuk menyebarkan komunikasi. Selain itu juga termasuk didalam istilah tersebut adalah penyebaran komunikasi melalui penyiaran. Intinya istilah ini digunakan untuk sejumlah produk yang kelompok sasarannya belum ditentukan. Formasi seperti ini akhirnya merupakan operasi komunikatif yang memungkinkan diferensiasi dan penutupan operasional pada sistem. Tidak ada interaksi antara pengirim dan penerima pesan, karena interaksi dikesampingkan oleh penempatan teknologi. Sehingga mengasilkan kemungkinan lebih untuk komunikasi diatur dalam sistem, dengan cara organisasi diri sendiri dan konstruksi sistem realitas itu sendiri (Luhmann, 2000: 2). Bagaimanapun, ketika kita membicarakan realitas media massa dengan sense lain, apa yang muncul melalui media massa akan menjadi sebuah realitas di dalam masyarakat. Atau mengambil istilah Kantian : media massa menghasilkan sebuah ilusi transenden. Sehingga aktifitas media massa tidak hanya sebagai urutan operasi melainkan juga urutan observasi. Sehingga untuk dapat memahami media massa kita harus mengamati apa yang mereka amati. Demikian terdapat dualitas realitas yang terdapat pada media massa. Realitas pertama (first order observation) yakni pengamatan yang sesuai hubungannya dengan fakta yang ada. Sedangkan realitas kedua (second order observation) diperlukan adopsi sikap pengamat tahap kedua, yakni pengamat dari seorang observers (Luhmann, 2000: 4).Lebih lanjut dikatakan bahwa media massa untuk dapat pengamatan adalah dipaksa untuk membedakan antara self reference (merujuk kepada diri sendiri) dan other reference (merujuk terhadap referensi lain). Topik komunikasi yang memastikan bahwa media massa, meskipun mereka beroperasi secara tertutup, namun juga tidak terlepas dari masyarakat (other reference). Topik adalah hal yang tidak dapat dihindari sebagai kebutuhan dari komunikasi. Mereka merepresentasikan komunikasi dengan referensi lain (other reference). Pada tingkat topik, kemudian, referensi-diri dan referensi lain secara terus-menerus dikoordinasikan dalam hubungan satu sama lain dalam komunikasi sistem itu sendiri. Demikian topik merupakan struktur penghubung media massa dengan domain sosial lain. Keberhasilan media massa di dalam masyarakat adalah berdasarkan kemampuannya memastikan suatu topik di terima masyarakat terlepas apakah terdapat tanggapan positif atau negatif terhadap informasi tersebutSyarat komunikasi apapun akan terhubung dengan komunikasi lain jika memiliki kesamaan makna. Dalam hal ini coding membentuk batas-batas yang menciptakan differensiasi pada setiap sistem. Sehingga setiap sistem memiliki batas-batas kodenya yang membedakannya dari sistem lain Sistem dapat berfungsi (dapat berkomunikasi) jika terdapat kesamaan makna dimana dibutuhkan kode yang sama. Dalam media massa kode tersebut muncul dengan kode biner, yang mana didalamnya bercampur antara nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merujuk pada keterhubungan antara operasi yang ada di dalam sistem. Sedangkan nilai negatif merefleksi di bawah kondisi atas nilai positif yang dapat diembannya. Kode biner adalah sebuah bentuk yang memiliki dua sisi, diposisikan seperti kurva ortogonal untuk membedakan self reference dan other reference.Kode sistem media massa adalah pembedaan antara informasi dan non informasi. Informasi kemudian diartikan sebagai nilai positif, penandaan nilai, yang mana sistem menjelaskan berbagai kemungkinan dari operasinya. Tetapi, kita juga harus memiliki kebebasan untuk melihat suatu hal sebagai informasi dan bukan informasi. Meskipun informasi merupakan non informasi juga dapat berupa sebuah informasi. Sebagai nilai reflektif dari kode ada dalam sistem media, (misalnya, kejahatan harus mampu diperlakukan sebagi kejahatan dalam pandangan hukum) mengakibatkan kemunduran yang surut/infinitife regress karena hal ini membuat operasi tergantung pada kondisi yang tidak dapat ditentukan. Sehingga untuk mengatasi paradoks ini digunakan perbedaan lebih lanjut pada kode dan program. Demikian Semua informasi bergantung pada kategorisasi pembedaan kode saja tidak cukup, pembedaan program juga diperlukan, untuk membagi apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah informasi.Karena media massa bersifat otonom dalam regulasi selektivitas mereka sendiri. Sehingga Selektivitas ini membuat semakin bermakna, dan menjadi lebih layak untuk diperhatiakan. Sehingga untuk menjebatani hal tersebut akhirnya, muncul pembentukan diferensiasi internal berbagai bidang program yang berbeda yakni laporan berita dan dan laporan mendalam, iklan dan hiburan. Setiap program menggunakan kode informasi/non informasi, bahkan mereka menggunakan versi yang amat berbeda. Untuk itu yang dibicarakan adalah pemrograman (bukan susbsistem) dimana tiap program memiliki keyakinan moral dan preferensi khas penonton.

Konstruksi Realitas FilmFilm merupakan salah satu bentuk program yang masuk kedalam kategori program hiburan dimana merupakan salah satu dari tiga jenis program yang di kemukakan Luhmann selain iklan dan berita dan liputan mendalam. Dalam program film penonton seolah-olah diberikan asumsi bahwa penonton mampu untuk mengobservasi permulaan dan akhir dari sebuah babak film. Film bukan berarti sesuatu yang tidak nyata (dalam artian tidak menjadi ada). Film benar-benar mengisyaratkan adanya obyek riil turunan-diri yang memfasilitasi transisi dari realitas riil ke dalam realitas fiksional, pelintasan batas. Di dalam objek ini ditemukan dunia imajinasi yang tidak terlihat dalam dunia riil. Di dunia imajinasi ini, karena tidak harus mengkoordinasikan perilaku sosial, maka tidak diperlukan aturan main apapun. Yang dibutuhkan hanya informasi. Faktor inilah yang memungkinkan media massa mengkonstruksikan berbagai program yang disebut hiburan, berdasarkan kode informasi/non-informasinya. Demikian sejarah kemunculan film di dunia dan dalam konteks indonesia akan dijelaskan dibawah ini.Film muncul sebagai sebuah media massa diawali dari penemuan Thomas Edison, Thomas Dickson, dan Fred Ott berupa kamera gambar bergerak pada tahun 1988. Kemudian berkembang pesat setelah munculnya film bicara. Gendre film yang ada pada saat ini anatara lain drama, kejahatan, animasi , komedi orang aneh, kajian karakter, detektif, ketegangan, monster, horror, music, perang, skeptisme dan serial. Pada kurun waktu 1919 hinga 1927 kemudian muncul sistem studio dan sistem bintang yang membawa film ke dalam industri penuh daya tarik komersial (Straubhaar&La Rose, 2000, Kurnia, 2008: 51). Sejarah film di Indonesia dengan film bisu Lortoeng Kasaroeng karya G. Kruger dan L.Heuveldrop yang diproduksi di Bandung, yang ditetapkan sebgai film cerita Indonesia pertama karena menampilkan cerita asli Indonesia. (Pranajaya: 2005, Kurnia, 2008: 120). Kemudian industri perfileman tumbuh pada tahun 1920 , kemudian mengalami pemasungan pada era pemerintahan jepang, menjadi agen propaganda. Kemudian pemasungan berhenti ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan, kemudian di era orde baru pemasungan film terjadi kembali kemudian pada era reformasi film mendapatkan kebebasannya kembali.Adorno dan Hokrkeimer pada tahun 1972 mengemukakan pendapat bahwa movies and radio no loger pretend to be art. The truth that they are just business in made into an ideology in order to justify the rubbish they deliberately produced . Mereka menegaskan bahwa kehidupan nyata tak bisa lagi dibedakan dari film. Bahkan suara dari film dianggap tidak lagi menyisakan tempat bagi audiens untuk berimaji dan dan berlefleksi. Namun demikian film juga diakui oleh Adorno dan Hokheimer sebagai media yang secara ekstrim menghibur (Kurnia, 2008: 33). Demikian film telah benar-benar membentuk realitas audiens bahkan pada tingkat yang ekstrem mereka benar-benar percaya bahwa isi dalam suatu film merupakan kondisi yang nyata dari lingkungan karena audiens tidak diberikan kesempatan dalam berimaji dan mereflekasikan isi film tersebut. Demikian film dari berbagai gendre mengkonstruksi realitas masyarakat sesuai dengan yang digambarkan pada film tersebut. Salah satunya film merupakan produk media yang dituding mengkonstruksi realitas perempuan sebagai yang rendah diri atau cengeng . Karya Sharon Smith The image of Women in Film : Some Suggestion for future Reseacrh yang dimuat pada pada Juranal Women and Film, karya Marjorie Rosen Popcorn Venus (1973), dan Karya Molly Haskel from Reverence to Rape (1974), dimana melakukan penelitian mengenai aspek kepalsuan serta penindasan pada tingkat tertentu yang terdapat dalam citra perempuan yang ditawarkan oleh film (Thornham, 2010: 119). Selama ini film telah terbukti mampu menghadirkan sosok perempuan yang dilekatkan dengan objek yang ditindas dalam industri yakni dikonstruksikan sebagai pekerjaan yang lekat dengan wilayah domestik seperti menjadi resepsionis, sekertaris, gadis dengan pekerjaan sambilan, gadis yang disokong dan lain-lain. Perempuan juga ditindas dengan diperankan sebagai citra-citra (objek seks, korban, atau perempuan penggoda laki-laki). Sehingga tidak heran jika dalam kehidupan nyata posisi perempuan selalu masih dipandang lebih rendah dari laki-laki karena konstruksi realitas perempuan tidak lebih sebagai objek yang negatif ketimbang sosok yang mampu memberikan inspirasi untuk keluarga, sebagai sosok yang harus dihormati ataupun sebagai sosok yang perlu dilindungi.Selain dalam konstruksi citra yang berbau seksis, film juga merupakan media yang ampuh dalam menciptakan propaganda. Salah satu film propaganda Jepang adalah film dengan judul Berdjoang (Hope of the South) adalah film pertama (Hindia Belanda/sekarang Indonesia dan Jepang) diproduksi pada tahun 1943 oleh Nippon Eigasha yang mengisahkan beberapa warga desa yang berjuang untuk Jepang. Film tersebut merupakan film propaganda yang bertujuan untuk menarik simpati massyarakat Indoensia agar bersedia bergabung dengan pasukan Jepang.[footnoteRef:2] Selain itu film pemerintah pada tahun 1984 mewajibkan semua stasiun televisi menyiarkan film Penghianatan Gerakan 30 September/ PKI. Film sepanjang empat jam ini bercerita mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh pewira Angkatan Darat di Jakarta, dan menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak sekolah (Roosa, 2008: 130). Film ini merupakan medium yang disebarkan secara massif untuk membentuk imaji tentang kekejaman komunis. Horor tentang kaum komunis ditampilkan secara gambling melalui adegan-adegan pembunuhan, penganiayaan penuh darah, kalimat-kalimat seperti bunuh, darah itu merah jenderal. [2: http://id.wikipedia.org/wiki/Berdjoang. Diakses pada tanggal 4 Janurari 2014.]

Kemudian dalam perekembanganya kini persilangan film dengan wacana postmodern memiliki perekembangannya yang lain. Menurut Baudrillad film postmodern[footnoteRef:3], berbeda dengan film-film modern, tidak lagi berpretensi menemukan makna-makna, ataupun merefleksikan kondisi sosial, melalui cerita, penokohan ataupun narasinya. Daripada bersikap heroic demikian, film, postmodern memilih untuk sekedar bermain-main dengan gaya-gaya, citra-citra, media , tanda-tanda yang ada. Dimana film postmodern secara sadar mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan penjelajahan estetik sebagai kekuatan daya tariknya. Seperti film Dick Tracy (1990) ataupun Batman (1993), yang diangkat dari cerita komik, kedua film ini secara jelas mengedepankan prinsip penampakan ketimbang materi cerita , dan citra-citra ketimbang makna dan realitas sosial. Kedua film ini menampilkan realitas komik dalam film hero detektif tahun 1940-an melalui karakterisasi non-human, futuristic-setting, pencahayaan yang berlebihan dan vulgar, special effects yang dasyat, music populer dan pengaturan alur cerita yang sederhana. Film dalam penegertian ini , menjadi tak lebih sebatas hiburan. Makna, kedalaman dan realitas sosial sama sekali tidak diperhitungkan. [3: Postmodern digunakan untuk menunjuk kepada reaksi minor terhadap modernism yang muncul pada saat itu (Featherstone, 1988, dalam Hidayat, 2011: 32).]

Sehingga film postmodern memiliki ciri sifatnya yang mengaburkan, bahkan mencampur-adukan, batas-batas antara realitas dan imajinasi, fakta dan fiksi, produksi dan reproduksi, serta masa lalu, masa kini dan masa depan. Film Postmodern adalah silang-sengkarut berbagai hal seperti moralitas, seni, teknologi, specil effect, fantasi, kekerasan, pornografi, nilai-nilai agama, impian, misteri, pembunuhan, komedi, tragedi serta bahkan surealisme dalam ruang yang sama. Film postmodern, dalam pengertian ini menjadi semacam representasi dunia simulacra dan simulasi dalam terminologi Baudrillad, yakni sebuah dunia buatan dimana realitas dibentuk, direkayasa dan kehilangan segala referensi realitas sebenarnya. Lebih jauh film,film yang memanfaatkan tanda-tanda budaya populer ini berkehendak untuk tampak seolah lebih nyata ketimbang realitas yang sebenarnya. Inilah yang disebut dengan dunia hiperrealitas, dalam pandangan Baudrillad.[footnoteRef:4] [4: Hiperrealitas adalah sebuah gejala dimana banyak bertebaran relitas-realitas buatan bahkan nampak lebih nyata dibandingkan dengan realitas sebenarnya.]

Demikian program hiburan dalam hal ini film bertujuan untuk mengaktifkan pengalaman, dan berharap pada ketakutan, melupakan, seperti halnya cerita dalam mitos yang telah disampaikan. Yakni dimana merindukan romantisme yang sia-sia yakni dengan menciptkan mitos baru dengan sebentuk hiburan media massa yang sudah ada dengan membuat perbedaan mengenai film dengan cerita yang sama. Perbedaan otentik/tidak-otentik. Bentuk media menyarankan kepada pembaca bahwa pengalaman tertentu mereka sendiri. Perbedaan dari dalam dan luar fiksi, dari narasi dan seorang penulis dan penerima dirusak oleh persimpangan konstan batas (fiksi/riil). Kompleks kelidan (silang-sengkarut) antara realitas nyata dan realitas fiksi (Jean Baudrillard). diamana kita sukar untuk membedakan hal mana yang benar-benar nyata, serta hal mana yang disebut sebagai fiksi, dimana tercermin dalam program hiburan.

Kesimpulan Masyarakat modern dalam kehidupannya tidak dapat dihindarkan dengan keberadaan media massa. Begitu juga film sebagai sebuah produk media massa mngkonstruksi pandangan masyarakat megenai realitas sosial. Film sebagai program hiburan bukan berarti sesuatu yang tidak nyata dalam artian tidak menjadi ada. Namun film benar-benar mengisyaratkan adanya obyek riil turunan dari diri yang memfasilitasi transisi dari realitas riil ke dalam realitas fiksional, pelintasan batas. Di dalam objek ini ditemukan dunia imajinasi yang tidak terlihat dalam dunia riil. Dalam makalah ini film dijadikan sebagai media pengkonstruksi realitas, baik mengenai pandangan seksis yakni citra negatifperempuan di dalam film. Juga sebagai agen propaganda oleh pemerintah. Selanjutnya yang terakhir film dalam wacana postmodern dikaitkan dengan kondisi hiperralitas dimana realitas buatan lebih real dibandingkan dengan keadaan sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKABukuHidayat, Medhy A. 2011. Simulaca+Simulasi+Hiperrealitas: Jean Baudrillad & Postmodrnisme. Yogyakarta: Tim Elmatera Publishing.Kurnia, Novi. 2008. Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfileman Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Fisispol UGM.Luhmann, Niklass. 2000. The Reality Of The Mass Media. U.S.A.: Stanford University Press.Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali PressRoosa, Jhon. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra. Thornham, Sue, Feminisme dan Film. Gamble, Sarah (Ed). (2010). Feminisme dan Postfeminisme. Jalasutra: Yogyakarta.

JurnalHardiman, Budi F. 2008. Kebaruhan Teori Sistem Niklas Luhmann. Jakarta: Senat Mahasiswa STF Driyarkara.Sitorus, Fitzgerald K. 2008. Kebaruhan Teori Sistem Niklas Luhmann. Jakarta: Senat Mahasiswa STF Driyarkara.

InternetWikipedia.org. 2013. Berdjoang. http://id.wikipedia.org/wiki/Berdjoang. Diakses 5 Januari 2014.